Anda di halaman 1dari 10

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Ulkus Marjolin

Marjolin’s ulcer adalah kondisi langka kulit yang sebelumnya terluka dan mengalami
inflamasi kronis berubah menjadi keganasan. Pada tahun 1828, seorang ahli bedah
Perancis bernama Jean Nicholas Marjolin mendefinisikan kondisi ini sebagai perubahan
jaringan parut menjadi ganas dan tersering berkembang dari luka bakar. Selain itu,
Marjolin’s ulcer juga dapat berawal dari osteomielitis kronis, lesi diskoid lupus
eritematosus, luka amputasi, fistula kronis, luka bekas vaksin, luka akibat suhu dingin,
ulkus diabetikum, ulkus dekubitus, ulkus vena kronis, dan luka kronis lainnya.1

Ulkus Marjolin adalah keganasan yang muncul pada tempat-tempat dengan luka
kronis. Keganasan atau karsinoma sekunder yang paling sering muncul dari ulkus
Marjolin adalah Karsinoma Sel Skuamosa (KSS), diikuti dengan Karsinoma Sel Basal.2

Ulkus Marjolin adalah lesi maligna yang berasal dari jaringan parut akibat trauma
bakar, osteomielitis kronik, inflamasi kronik atau fistula kronik. Tipe ulkus ini jarang
terjadi, biasanya tumbuh progresif pada luka yang tidak kunjung sembuh, yang disertai
trauma kronik dan terutama parut luka bakar. Ulkus Marjolin tidak jarang berkembang
menjadi KSS meskipun memerlukan waktu yang cukup lama. Karsinoma sel skuamosa
(KSS) adalah neoplasma maligna yang berasal dari keratinosit suprabasal epidermis.
Neoplasma ini merupakan jenis neoplasma non melanoma kedua terbanyak setelah
karsinoma sel basal.3

3.2 Epidemiologi Ulkus Marjolin

Kejadian Marjolin’s ulcer pada pasien luka bakar dilaporkan 2%. Sedangkan
0,2%- 1,7% kasus osteomielitis kronis dilaporkan berkembang menjadi Marjolin’s ulcer.
Oruc (2016) menunjukkan selang waktu terjadinya luka hingga berkembang menjadi
Marjolin’s ulcer adalah 44,2 tahun. Pada penelitian tersebut, dari 63 pasien terdiagnosis
Marjolin’s ulcer, 82,5% berkembang dari luka bakar. Ehsani melaporkan selang waktu
luka hingga berkembang menjadi Marjolin’s ulcer adalah 32,4±18,5 tahun.1

Jenis kelamin pria lebih sering terkena (meskipun wanita lebih sering mengalami
luka kronis pada tungkai bawah) dengan rasio pria dan wanita 3:1, dan usia rata-rata 53-
59 tahun. Untuk mengeksklusikan bahwa ulkus tersebut timbul dari karsinoma primer,
diharuskan ada durasi minimum dari lesi/ulkus tersebut selama 1 bulan - 3 tahun.
Sebanyak 40% kasus Marjolin muncul di pelvis dan ekstremitas bawah, 30% pada kepala
dan leher, 20% pada ekstremitas atas, dan 10% pada batang tubuh. Lokasi tubuh yang
berlekuk atau yang sering melakukan gerakan fleksi lebih rentan terkena ulkus Marjolin.
Menurut Smith et al, ulkus kronis yang telah muncul untuk jangka panjang lebih
prevalen ditemukan pada negara-negara berkembang yang kebanyakan pasien hanya
datang ke dokter setelah mereka mengalami komplikasi seperti nyeri, perdarahan atau
nekrosis jaringan.2
Karsinoma ini meningkat insidensinya di daerah yang lebih banyak paparan sinar
matahari, bahkan mencapai 200–300 kasus tiap 100.000 penduduk di Australia. Usia di
atas 40 tahun, paparan sinar matahari, pengaruh zat-zat karsinogenik (tar, arsen,
hidrokarbon polisiklik aromatik, parafin), merokok, trauma kronik dan/atau luka bakar
pada kulit, radiasi sinar pengion1–3 serta ulkus Marjolin adalah berbagai faktor
predisposisi yang telah diketahui untuk terjadinya KSS. Sebagian besar ulkus marjolin
ditemukan di ekstremitas (85%), terutama di kulit tungkai bawah (58%) akibat luka
bakar. Berbagai laporan menunjukkan bahwa 70–90% ulkus Marjolin terjadi akibat
jaringan parut luka bakar.3

3.3 Etiopatogenesis Ulkus Marjolin

Ulkus Marjolin berasal dari luka yang lama tidak sembuh, jaringan parut akibat
trauma bakar, osteomielitis kronik, inflamasi kronik atau fistula kronik, paparan sinar
matahari, kebiasaan merokok, usia geriatrik, dan sering mengalami infeksi.2,3

Beberapa teori patofisiologi Marjolin’s ulcer, di antaranya akumulasi


mutagenik dengan aktivitas mitotik bertujuan regenerasi, produksi toksin
karsinogenik oleh jaringan parut, reaksi imunologis tidak adekuat di daerah jaringan
parut, iritasi kronis, trauma berulang, dan kemungkinan kerusakan DNA pada area
tersebut.1

Mekanisme pasti dari ulkus kronis yang mengembangkan keganasan masih


belum diketahui. Berbagai penyebab termasuk iritasi kronis dan infeksi (yang
mengakibatkan degenerasi dan regenerasi, cocarcinogen), penurunan vaskularisasi
dan kelemahan epitelium, serta meningkatnya ekspresi protoonkogen, telah dianggap
sebagai hal yang membuat luka kronis rentan terhadap transformasi keganasan.
Inflamasi, ulserasi, dan trauma yang berulang, terutama pada daerah tubuh yang
sering fleksi, telah dibuktikan bertahun-tahun bahwa menyediakan cukup banyak
iritasi kronis untuk mendukung perubahan keganasan. Teoriteori mengenai penyebab
dan mekanisme terjadinya ulkus Marjolin ada 9 menurut Nthumba, yaitu teori toksin,
iritasi kronis, implantasi elemen epitelial traumatis, co-carcinogen, iritasi dan
promosi, immunologi, herediter, sinar ultraviolet, dan teori interaksi genetik dengan
lingkungan (Tabel 1).2
Pada pasien-pasien dengan ulkus Marjolin, terdapat peranan dari gen HLA-
DR4 yang berkaitan dengan perkembangan kanker, selain itu terdapat abnormalitas
dari gen p53 serta mutasi gen Fas dalam fungsi apoptosis yang menjadi predisposisi
terjadinya degenerasi keganasan, sebagaimana diungkapkan dalam Teori Herediter.
Gen p53 merupakan tumor suppressor gene yang terletak di kromosom 7 dan
berfungsi melindungi sel dari kerusakan DNA permanen dengan cara memberi sinyal
untuk proses apoptosis dari selsel mutan/pre-kanker. Hilangnya gen p53 berkaitan
dengan peningkatan agresivitas sel dan menurunnya tingkat survival sel. Selain
peranan gen, terdapat juga peranan sel Langerhans yang terdapat di lapisan epidermis
kulit. Sel Langerhans berasal dari lapisan embriologik (tepatnya sel sumsum tulang)
yang mempunyai fungsi khusus dalam imunitas kulit yaitu sebagai suatu cutaneous
immuno-surveillance yang berperan melawan terjadinya keganasan. Sel ini
mengenali, memfagosit, memproses, mempresentasikan antigen asing, dan melalui
ekspresi antigen kelas II (MHC II), menginisiasi proses penolakan pada transplantasi
kulit. Paparan sinar Ultra-Violet (UV) ternyata dapat menyebabkan penurunan jumlah
populasi sel Langerhans. Selain itu sinar UV juga ikut berperan dalam menyebabkan
perubahan pada tumor suppressor gene p53.2

3.4 Penegakan Diagnosis

Diagnosis Marjolin’s ulcer dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


dan penunjang.

a. Anamnesis
Pada anamnesis biasanya pasien mengeluh luka yang tak kunjung sembuh selama
lebih dari 3 bulan, ukuran luka membesar, serta didapatkan faktor risiko lain seperti
kondisi immunocompromised, paparan sinar UV, merokok, dan lain-lain.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan trias klasik, yaitu pembentukan nodul, indurasi,
dan ulserasi di lokasi parut. Selain itu, ditemukan juga luka dengan tepi menggaung,
jaringan granulasi yang berlebih, bau tidak sedap, pembesaran, mudah berdarah, dan
nyeri. (Gambar 1)

c. Pemeriksaan Penunjang
 Biopsi
Biopsi merupakan pemeriksaan baku emas untuk mengetahui adanya sel-sel
ganas. Beberapa peneliti merekomendasikan biopsi diambil pada lebih dari
satu bagian di daerah lesi, misalnya bagian tengah dan tepi. Makin besar
ukuran lesi, makin banyak jumlah daerah yang dibiopsi. Karsinoma sel
skuamosa adalah tipe yang paling sering, kemudian karsinoma sel basal,
melanoma, dan sarkoma. Gambar 2 menunjukkan hasil biopsi lesi Marjolin’s
ulcer.
Marjolin’s ulcer dapat muncul dalam bentuk infiltratif/ulseratif dan
eksofitik/papiler. Bentuk ini ditandai dengan invasi ke jaringan lemak
subkutan, fasia, otot, dan jarang ke tulang. Bentuk ulseratif yang paling sering
bermetastasis; grading penting untuk memperkirakan risiko metastasis.

Derajat Marjolin’s ulcer, seperti kasus keganasan lain, ditentukan


berdasarkan ukuran, keterlibatan limfonodi, dan metastasis. Derajat Marjolin’s
ulcer dapat dibedakan sebagai berikut: Derajat I >75% sel terdiferensiasi,
derajat II 25%-75% sel terdiferensiasi, dan derajat III <25% sel terdiferensiasi.

Klasifikasi KSS dari jaringan ulkus penderita secara histo-PA sesuai


dengan stadium-IV kriteria Broders yang menunjukkan jumlah sel yang
berdiferensiasi baik kurang dari 25% serta jumlah sel yang tidak
berdiferensiasi lebih dari 75%, tanpa menemukan gambaran keratinisasi dan
jembatan interseluler. Jaringan tumor juga menunjukkan gambaran sel-sel
spindel.11 Keadaan ini juga sesuai dengan klasifikasi neoplasma yang poorly
differentiated (high grade) tumor. Temuan histo-PA dari jaringan tumor
penderita merupakan baku emas diagnostik KSS sekaligus dapat meramalkan
prognosis penderita terkait derajat diferensiasi sel tumor dan kemungkinan
metastasisnya.

Menurut Robbins dan Cotran, secara histologis sarang tumor ulkus


Marjolin dikarakterisasi dengan adanya lapisan sel basalis dan stratum
spinosum yang merupakan gambaran diagnostik untuk karsinoma sel
skuamosa. Gambaran diagnostik yang lain adalah adanya mutiara
tanduk/keratin, akumulasi konsentrik pada pusat sarang displastik dari sel-sel
skuamosa.
Men-staging KSS mengikuti pengelompokkan stadium KSS klinis,
yaitu dengan The American Joint Committee on Cancer (AJCC) TNM. Biopsi
merupakan alat diagnostik definitif dan harus memeriksa spesimen dari pusat
dan pinggir/tepi lesi. Punch biopsi sederhana biasanya sudah cukup untuk
diagnosis. Secara histologis, paling sering ditemukan KSS dengan diferensiasi
baik (well differentiated), meskipun agresif dan menyebar secara lokal dengan
prognosis yang buruk. Karsinoma sel skuamosa yang muncul pada lesi kronis
memiliki insidensi metastasis yang lebih tinggi (30%- 40%) dibandingkan
dengan karsinoma yang muncul secara primer pada kulit yang normal (1%-
10%). KSS yang muncul pada bagian atas ulkus lebih ganas daripada ulkus
Marjolin pada jaringan parut atau luka kunci informasi utama: Sentinel lymph
node biopsy memiliki 83% level of trust untuk membuktikan bahwa apabila
sentinel node biopsy itu positif, berarti lesi tersebut sudah dalam tingkat lanjut.

Sistem TNM untuk staging/stadium mengandung 3 kunci informasi


utama, yakni (1) “T” untuk tumor (ukurannya, lokasi, dan sejauh mana tumor
tersebut telah menyebar dalam kulit dan jaringan di sekitarnya); (2) “N” untuk
penyebaran pada limfonodus (kelenjar getah bening) yang berdekatan
(kumpulan sel-sel imun yang berukuran kecil seperti kacang tanah, kanker
biasanya menyebar terlebih dahulu); dan (3) “M” untuk metastasis
(penyebaran pada organ yang jauh) (lihat tabel 2). Gambaran risiko tinggi:
gambaran-gambaran berikut hanya dipakai untuk membedakan antara tumor
T1 dan T2, yakni (1) tumor lebih tebal dari 2 mm; (2) tumor telah menginvasi
hingga bagian dalam dermis atau subcutis (Clark level IV atau V); (3) tumor
telah menginvasi pada nervus-nervus kecil di dalam kulit (perineural
invasion); (4) tumor mulai muncul pada telinga atau bibir yang mengandung
rambut; dan (5) sel tumor terlihat sangat abnormal (poorly differentiated atau
undifferentiated) saat ditinjau di bawah mikroskop.
 Radiologi
Pemeriksaan radiologi juga dapat membantu diagnosis. Dari foto polos
dapat ditemukan lamellated periosteal reaction dan destruksi tulang. CT scan
bisa melihat kondisi tulang, namun evaluasi tulang dan jaringan lunak lebih
baik dengan pemeriksaan MRI. Batas keterlibatan tulang dapat ditampilkan
dengan baik melalui pemeriksaan MRI sehingga dapat membantu proses
operasi.
Gambaran pencitraan esensial ulkus Marjolin adalah destruksi tulang,
massa jaringan lunak, dan reaksi periosteal. Massa jaringan lunak secara
umum terlihat irregular dan noduler; dengan destruksi lesi dan reaksi
periosteal pada tulang yang berdekatan. Radiografi foto polos tidak selalu
dapat memperlihatkan perubahanperubahan ini. MRI, oleh karena kemampuan
handalnya untuk memperlihatkan jaringan lunak dan multiplanar, lebih baik
daripada CT scan untuk memperlihatkan massa jaringan lunak dan batas-
batasnya, serta ekstensi destruksi tulangnya. Sebagai tambahan, MRI juga
bagus untuk memperlihatkan penyebaran perineural sepanjang nervus yang
berdekatan.

3.5 Penatalaksanaan

a. Operasi

Hingga saat ini operasi adalah modalitas penatalaksanaan yang direkomendasikan, yaitu
eksisi lokal mengikutsertakan 2 cm hingga 4 cm jaringan sehat di sekitarnya. Walaupun
demikian, metode ini tidak menjamin tingkat kekambuhan 0%. Oruc (2017) menunjukkan
rata-rata kekambuhan terjadi 15 bulan setelah operasi pada Marjolin’s ulcer derajat II dan
III. Rekonstruksi dapat dilakukan dengan skin graft atau flap lokal. Skin graft lebih
direkomendasikan karena tingkat kekambuhan pada flap lokal lebih tinggi. Observasi
kekambuhan pada defek eksisi Marjolin’s ulcer yang direkonstruksi dengan skin graft
lebih mudah. Selain itu, lokasi donor skin graft dapat digunakan lagi apabila perlu
tindakan rekonstruksi kembali. Waktu operasi yang lebih singkat, tingkat keberhasilan
tinggi, serta dapat menutup defek luas, juga menjadi keunggulan skin graft. Namun, dari
segi ini limfadenektomi pada kasus Marjolin’s ulcer masih kontroversial. Tindakan
amputasi masih kontroversial. mungkin dilakukan jika eksisi lokal luas tidak adekuat
karena adanya keterlibatan tulang dan sendi. Algoritma evaluasi pasien dengan luka kronis
dan penatalaksanaan melalui tindakan operasi dapat dilihat pada gambar 3 dan 4.
b. Radioterapi

5-Fluorouracil (5-FU) adalah modalitas alternatif. Radioterapi tidak lagi direkomendasikan


jika vaskularisasi dianggap tidak baik dan tidak ada kemajuan penyembuhan luka setelah
terapi. Radioterapi sering digunakan pada kasus Marjolin’s ulcer kambuhan dan tidak
mungkin direseksi.

c.Terapi Supportive

Secara suportif pasien harus diterapi secara simtomatis dan klinis yang kita temui, anemia
dan hipoalbuminemia diperbaiki dengan transfusi dan pemberian albumin, disertai asupan
makanan yang tinggi kalori, tinggi protein. Untuk analgesia pasien, disesuaikan dengan
tingkat nyeri pasien (dapat dibantu dengan Visual Analogue Scale) beragam dari
ketorolac, pethidine, hingga morfin dengan memperhatikan dan menangani efek samping
obat-obatan tersebut. Penulis menganjurkan luka pasien dirawat secara topikal dengan
Metronidazole dan Zinc, untuk mempertahankan efeknya yang baik untuk antiseptik,
mengeringkan luka dan mempercepat epithelisasi, ditambah antibiotik sistemik yang
broad spectrum (fokus pada bakteri gram negatif), yakni ceftriaxone.
3.6 Komplikasi

Ulcus Marjolin dengan lesi KSS pada penderita sangat potensial untuk bermetastasis;
baik secara limfogen, hematogen atau secara infiltratif pada jaringan sekitar. Metastasis
KSS dapat terjadi dengan cara ekspansi dan infiltrasi yang menyebabkan destruksi lokal
pada jaringan disekitar tumor. Penyebaran sepanjang saraf atau pembuluh darah pada
perineural atau perivaskular dapat terjadi. Metastasis primer terjadi melalui pembuluh
limfe. Metastasis jauh terjadi melalui diseminasi hematogen, terutama mengenai organ
paru, hati, otak atau tulang yang jauh dari tumor primernya. Lesi KSS yang berkembang
dari jaringan parut luka bakar dan yang terletak di ekstremitas bawah dilaporkan
mempunyai risiko metastasis yang lebih tinggi dibanding lesi KSS yang lain.6,8 Risiko
metastasis meningkat pada lesi dengan diameter lebih dari 2 cm dan lebih tebal dari 4
mm.

3.7 Prognosis

Salah satu faktor yang paling penting adalah derajat histologi. Durasi antara waktu
terjadinya luka dan timbulnya Marjolin’s ulcer yang lebih singkat dan histologi sel
diferensiasi baik, memiliki prognosis yang lebih baik. Gambaran histo-PA, klasifikasi
TNM dan tingkat rekurensi merupakan faktor penentu prognosis KSS. Faktor risiko
rekurensi yang pernah dilaporkan di antaranya adalah; diameter lesi lebih dari 2 cm,
kedalaman lesi lebih dari 4 mm, keterlibatan tulang, otot, serta saraf, lokasi pada telinga
dan bibir, tumor berkembang dari jaringan parut, klasifikasi Broders stadium-III atau IV,
sel tumor yang berderajat diferensiasi buruk, keadaan imunosupresi, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai