Anda di halaman 1dari 11

Selulitis merupakan bentuk umum dari infeksi kulit dan jaringan lunak yang

menyebabkan lebih dari 600.000 rawat inap per tahun, dan bersamaan dengan abses kulit, lebih
dari 9 juta kunjungan ke RS. Streptokokus -hemoliticus dan staphylococcus aureus
merupakan Agen penyebab utama., dan terapi empiris dengan antibiotik -laktam merupakan
terapi andalannya. Namun, selama dekade yang lalu, banyak laporan telah mendapati adanya
S. aureus resisten methicillin (MRSA) secara luas. Sebelumnya, infeksi MRSA terbatas pada
infeksi yang didapat di rumah sakit atau kasus masyarakat dengan eksposur nosokomial. Dalam
beberapa dekade yang terakhir, ditemukan peningkatan proporsi isolat S. aureus rawat jalan
yang resistant methicillin. Infeksi MRSA yang terjadi pada pasien rawat jalan atau dalam 48
jam di rawat inap dan terpapar eksposur nosokomial seperti alat peristirahatan, baaru di rawat
inap, operasi, dialisis, atau tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang, disebut sebagai S.
aureus resisten methicillin yang didapat masyarakat atau komunitas (CAMRSA). Studi terbaru
menyimpulkan bahwa mayoritas infeksi S. aureus pada kulit dan jaringan lunak sekarang
resisten methicillin, dan CA-MRSA adalah isolat yang paling umum dari infeksi kulit dan
jaringan lunak purulen. di Amerika Serikat

Meskipun CA-MRSA telah dikenal sebagai penyebab utama infeksi kulit dan jaringan
lunak, perannya dalam kasus selulitis masih tidak pasti. Beberapa penulis telah
merekomendasikan agar semua kasus selulitis diobati sebagai MRSA, sementara penulis lain
Merekomendasikan bahwa terapi CA-MRSA harus dibatasi hanya pada kasus-kasus yang
sangat sakit atau gagal terapi empiris dengan antibiotik -laktam. atau bila tingkat MRSA lokal
>10% dari isolat. Pada bulan Februari 2011, Infectious Disease Society of Amerika (IDSA)
menerbitkan pedoman pertamanya untuk pengobatan MRSA, termasuk didalamnya selulitis,
yang sama dengan pedoman IDSA dari tahun 2005 untuk pengelolaan infeksi kulit dan jaringan
lunak, membentuk dasar rekomendasi pengobatan pada tinjauan ini.

DEFINISI

Terminologi yang digunakan untuk menggambarkan berbagai jenis infeksi kulit dan jaringan
lunak susah karena penggunaan istilah untuk menggambarkan berbagai bentuk infeksi
(selulitis, abses, erysipelas), skenario klinis (Fournier gangren, Ludwig angina), dan agen
etiologinya (" Myonecrosis klostridial, "" strepococcal necrotizing fasciitis ")

Jenis utama infeksi jaringan lunak dan kulit pada orang dewasa meliputi:
1. Selulitis: penyebaran infeksi yang melibatkan dermis dan jaringan subkutan. Selulitis
purulen didefinisikan sebagai selulitis dengan drainase purulen atau eksudat purulen yang
berkaitan dengan tidak adanya drainase abses. Pembedaan ini penting karena kasus purulen
lebih mungkin terjadi karena S. Aureus
2. Erysipelas: jenis selulitis spesifik yang melibatkan struktur dermal yang lebih superficial
dibedakan secara klinis oleh batasan yang jelas antara kulit yang terlibat dan yang tidak
terlibat. Perbedaan ini penting karena erisipelas dianggap sebagian besar disebabkan oleh
streptokokus -hemoliticus.
3. Abses: kumpulan pus di dalam dermis atau jaringan subkutan. Secara klinis, pasien datang
dengan nodul disekitarnya eritema dan fluktuasi. Perbedaan antara abses dan selulitis
sangat penting karena abses lebih mungkin terjadi karena S. aureus, dan tatalaksana
utamanya dengan insisi dan drainase.
4. Infeksi jaringan lunak nekrotik: infeksi nekrosis yang melibatkan lapisan jaringan lunak
manapun, termasuk dermis, jaringan subkutan, fasia superfisial atau dalam, dan otot.

ETIOLOGI

Seperti dicatat dalam pedoman 2005 dari IDSA, dalam pembelajaran secara tradisional
dikatakan bahwa kebanyakan kasus selulitis disebabkan oleh: streptokokus -hemolitik,
seringkali kelompok A, tetapi juga kelompok B, C, atau G. S aureus juga diketahui
menyebabkan selulitis, terutama bila dikaitkan. Dengan furunkel, carbunkel, atau abses.
Meskipun demikian, frekuensi yang tepat dari patogen spesifik dan proporsi relatif
streptokokus dan S. aureus tetap tidak pasti, terutama karena kesulitan dalam mengkultur
sebagian besar kasus selulitis. Sumber potensial untuk kultur meliputi darah perifer, aspirasi
jarum, biopsi kulit, dan spesimen bedah pada kasus dengan purulensi, abses, atau nekrosis.
Sayangnya, kultur dari darah, aspirasi jarum, dan biopsi kulit memiliki hasil yang relatif
rendah, dan banyak kasus selulitis bersifat nonpurulen

Sebuah tinjauan baru-baru ini mengenai studi tentang selulitis yang menggunakan
aspirasi jarum atau biopsi pungsi untuk menjawab pertanyaan mengenai diagnosis dari
pembelajaran tradisional yang menyatakan bahwa sebagian besar kasus selulitis disebabkan
oleh streptokokus. Penulis ini menemukan bahwa S. aureus menyumbang 51% kultur positif,
dibandingkan dengan hanya 27% dari streptokokus grup A. Di sisi lain, studi melaporkan hasil
kultur darah pada pasien dengan selulitis tampaknya mendukung peran utama streptokokus.
Meskipun tingkat kultur positif yang dilaporkan rendah, berkisar antara 1% sampai 18%,
spesies streptokokus mencapai 51% isolat yang dilaporkan, sedangkan S. aureus hanya 15%
dari isolat. Anehnya, berbagai organisme gram negatif menyumbang 25% lainnya.

Pedoman baru-baru ini tentang pengelolaan infeksi oleh MRSA yang dikeluarkan IDSA
menjelaskan kontribusi relatif streptokokus dan S. aureus dengan menekankan Perbedaan
antara tipe purulen dan nonpurulen. Mengutip sebuah penelitian besar tentang infeksi jaringan
lunak purulen di departemen gawat darurat di seluruh AS, yang Menemukan bahwa 76% kasus
disebabkan oleh S. aureus, termasuk 59% oleh CA-MRSA, pedoman tersebut menyatakan
bahwa dalam kasus-kasus dengan purulensi, terapi harus diarahkan pada CA-MRSA. Dalam
kasus selulitis nonpurulen, di sisi lain, pedoman tersebut mengutip sebuah penelitian terbaru
yang menilai bukti streptokokus menggunakan serologi antibakteri antistreptolysin O dan
antibody anti-DNase-B. Studi ini menemukan bahwa 73% kasus Selulitis nonpuruen memiliki
serologi positif, mendukung pembelajaran tradisional mengenai asal streptokokus predominan
untuk selulitis nonpurulen

KLINIK SIGNIFIKANSI

Selulitis adalah salah satu infeksi yang paling umum


dilihat oleh dokter perawatan primer dan dokter
berbasis rumah sakit.

Selulitis yang terkait dengan drainase purulen paling


sering terjadi karena Staphylococcus aureus,
termasuk S. aureus resisten methicillin (CA-
MRSA). Terapi antimikroba empiris dalam kasus ini
harus ditujukan terhadap CA-MRSA, dan
dimodifikasi berdasarkan hasil kultur.

Lebih umum lagi, pada selulitis nonpurulen. Terapi


antimikrobanya harus diarahkan pada streptokokus
-hemolitik dan S. aureus sensitif-methicillin.

PRESENTASI KLINIS
Pasien dengan selulitis biasanya datang dengan riwayat rasa nyeri, kemerahan, dan
pembengkakan pada kulit yang terlibat. Biasanya ada riwayat predisposisi untuk selulitis,
termasuk obesitas, edema, pengangkaatan vena saphena sebelumnya, terapi radiasi
sebelumnya, atau Kelainan kulit yang menjadi portal masuk potensial, termasuk borok, luka,
kulit kering dengan fissuring, penyakit kulit kronis, dan stasis vena. kaki web intertrigo juga
terbukti menjadi faktor risiko selulitis, terutama jika diperparah oleh Kolonisasi bakteri oleh
bakteri patogen.

Riwayat harus mencakup penilaian faktor risiko yang terkait dengan patogen tertentu
(Tabel 1). Faktor risiko MRSA mencakup rentang eksposur nosokomial, serta faktor risiko
putatif untuk CA-MRSA. intinya, faktor risiko MRSA ini berasal dari penelitian retrospektif,
dan belum terbukti secara prospektif bermanfaat secara klinis untuk membedakan antara
infeksi MRSA dan non-MRSA.

Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada karakteristik area selulitis dan menilai adanya
bukti infeksi abses atau nekrosis. umumnya, selulitis terjadi di ekstremitas bawah, ekstremitas
atas, badan, perineum, atau kepala dan leher. Ruam hampir secara universal ditemukan panas,
merah, lembek, dan bengkak, dan mungkin Dikaitkan dengan lymphangitis atau limfadenopati.
Pada erisipelas, ruam berbatas secara jelas, sedangkan di selulitis, batasnya kurang jelas.
Mungkin ada vesikula dan bula, jika ada, bulla umumnya dipenuhi cairan bening dibandingkan
dengan cairan hemoragik atau cairan yang ditemukan pada infeksi nekrosis.

Demam dan gejala konstitusional sering ringan atau bahkan tidak ada pada selulitis tanpa
komplikasi. Dalam seri yang dipublikasikan, demam dilaporkan hanya 26% -67% kasus.
Hipotensi jarang terjadi, dilaporkan pada suatu penelitian hanya 2,7% pada pasien rawat inap.
Leukositosis dan peningkatan rasio sedimentasi terjadi pada Sekitar satu setengah dari kasus.

DIAGNOSA BANDNG

Berbagai kondisi dapat terlihat sebagai selulitis, termasuk infeksi seperti fasciitis
nekrosis, varicella zoster, herpetic whitlow, dan eritema migrans; Kondisi inflamasi seperti
artritis akut, asam urat, atau bursitis; Atau kondisi dermatologis seperti dermatitis kontak,
reaksi hipersensitivitas, reaksi obat tetap, dan penyakit stasis vena (Tabel 2). Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, abses kutaneus harus dibedakan dengan selulitis karena kebutuhan
drainase
Dalam praktik umum pada pasien dengan selulitis ekstremitas bawah untuk
menyingkirkan diagnosa deep vena trombosis adalah dengan ultrasound dupleks. Data tentang
hal ini beragam. Glover dan Bendick mengkaji 241 pasien dengan diagnosis klinis selulitis
yang dirujuk untuk ultrasound, dan tidak menemukan adanya deep vena trombosis proksimal
(2 kasus telah mengisolasi trombosis calf). Di sisi lain, Rabuka dkk secara retrospektif
meninjau semua USG dupleks yang digunakan di bagian gawat darurat dengan pertanyaan
tentang selulitis versus deep vena trombosis. Dalam penelitian ini, 17% mengalami deep vena
trombosis. Berdasarkan penelitian ini, nampaknya hasil USG ekstremitas bawah rutin pada
pasien dengan selulitis yang mudah terlihat sangat rendah, namun untuk pasien yang
diagnosisnya diragukan, USG lebih bermanfaat

Karakteristik
Infeksi
Fasciitis Nekrosis Triasnya adalah nyeri hebat, bengkak, dan demam. Rasa
sakit di luar proporsi, toksisitas berat, bula hemoragik atau
kebiruan, gas atau krepitus, nekrosis kulit atau ekimosis luas,
perkembangan cepat.

Erisipelas Bentuk selulitis dengan batas tepi yang jelas.

Abses kulit Abses dini mungkin tampak mirip dengan selulitis. Akhirnya
bisa dibedakan dengan munculnya nodul dengan fluktuasi
dan drainase.

Herpetic whitlow Vesicular. Ciri khas pada jari.

Erythema migrans Seringkali tidak nyeri, biasanya tidak terletak pada


ekstremitas bawah, penampilan ovoid. Paparan Tick
Inflamasi
Artritis akut (asam urat, Hal penting adalah keterlibatan sendi, dengan nyeri yang
septik) tidak proporsional pada gerakan sendi

Bursitis akut Lokasi karakteristik seperti pada patella atau olekranon,


seringkali ditemukan teraba cairan.
Dermatologis
Stasis dermatitis Dibedakan dari selulitis karena demam kurang, nyeri
minimal, deposisi heme, dan polanya melingkar.

Reaksi hipersensitivitas Pruritis bukan nyeri, tidak demam.

Reaksi obat Biasanya terjadi segera setelah konsumsi obat, biasanya tidak
nyeri kecuali terjadi erosi, lokasi karakteristik pada genitalia,
wajah, badan (jarang), ekstremitas bawah.
Miscellaneous
Deep vena Trombosis Biasanya tidak berhubungan dengan kemerahan kulit
ataupun demam.
Jarang
Demam mediteranian Pasien mungkin mengalami eritema seperti eritipelas selama
keluarga episode. Dibedakan dari erysipelas karena sifatnya berulang,
riwayat keluarga yang positif, dan sering pada orang Yahudi
Sephardik dan orang-orang dari Timur Tengah.

Pyoderma gangrenosa Seringkali pada bagian anterior, ulkus dengan batas yang
tidak beraturan. Seringkali pada pasien dengan penyakit
radang usus.

Sweet Sindrom Terkadang keliru sebagai selulitis. Lesi khas adalah papula
yang menyatu menjadi plak. Umumnya pada ekstremitas dan
wajah bagian atas. Diobati dengan kortikosteroid

MENYINGKIRKAN INFEKSI JARINGAN LUNAK NEKROSIS

Meskipun tidak lazim infeksi jaringan lunak nekrosis penting untuk didiagnosis,
mengingat angka kematiannya yang tinggi tanpa pembedahan, dan biasanya disebabkan oleh
streptokokus atau polymicrobial. Sebagian besar pasien dengan infeksi jaringan lunak nekrosis
datang dengan trias klinis nyeri hebat, pembengkakan, dan demam. Temuan pemeriksaan fisik
termasuk toksisitas berat, bula hemoragik atau kebiruan, nekrosis kulit atau ecchymosis, gas
atau krepitus, anestesi kutaneous, edema yang melampaui batas eritema, dan perkembangan
yang cepat. Sayangnya, tanda-tanda infeksi jaringan lunak nekrosis sulit disebut "pasti" ini
sering tidak didapatkan.

Pemeriksaan laboratorium mungkin berguna untuk menilai risiko infeksi jaringan lunak
nekrosis. Wall et al menemukan bahwa kombinasi hitung jenis leukosit < 15.500 sel/mm3 dan
konsentrasi serum natrium >134 mmol/L secara efektif dapat mengesampingkan infeksi
jaringan lunak nekrosis, walaupun kehadiran pemeriksaan ini tidak efektif dalam menentukan
diagnosis. Demikian pula, Wong et al menjelaskan skor risiko berdasarkan nilai laboratorium
untuk memprediksi kemungkinan infeksi jaringan lunak nekrosis, di mana skor risiko rendah
memiliki nilai prediksi negatif 96% dan skor risiko sedang hingga tinggi memiliki nilai
prediksi positif 92%. Kedua penulis kemudian menjelaskan pendekatan terhadap infeksi
jaringan lunak nekrosis menggunakan algoritma mereka

Diagnostik imaging juga mungkin berguna dalam menilai kemungkinan adanya infeksi
jaringan lunak nekrosis. Film polos mungkin menunjukkan gas subkutan, temuan infeksi
nekrosis yang relatif spesifik namun tidak sensitif. CT lebih sensitif dalam menunjukkan gas
jaringan lunak, dan mungkin juga menunjukkan penebalan yang dalam atau abses jaringan
dalam yang terkait. MRI disebut sebagai pemeriksaan imaging pilihan untuk membedakan
infeksi nekrosis dari selulitis. Temuan yang dilaporkan meliputi Keterlibatan fasia bagian
dalam yang mengalami penebalan dan peradangan, dan tidak adanya peningkatan kontras
gadolinium pada gambaran T1, yang mencerminkan adanya nekrosis jaringan. Karena studi
diagnostik imaging untuk nekrosis fasciitis umumnya adalah kasus retrospektif yang tidak
memiliki kelompok pembanding bermakna, sensitivitas dan spesifisitas Data tidak diketahui.

Pada akhirnya, satu-satunya cara untuk secara definitif mendiagnosis infeksi jaringan
lunak nekrosis adalah dengan eksplorasi pembedahan, yang dianjurkan segera untuk kasus
apapun dengan perhatian besar. Temuan operasi untuk diagnostik infeksi jaringan lunak
nekrosis mencakup adanya fasia nekrosis, kurangnya resistansi fasia otot yang melekat secara
normal (tes jari positif), kurangnya perdarahan fasia saat diseksi, dan adanya bau busuk pus
"Air cucian piring "

STUDI DIAGNOSTIK

Sebagian besar kasus selulitis dikelola secara empiris. Menurut pedoman IDSA, kultur
darah, aspirasi jarum, dan biopsi kulit bersifat opsional. Mengingat hasil yang relatif rendah
pada kultur selulitis dan risiko kontaminasi, kultur pada umumnya tidak dikejar selain pada
praktik umum, kultur darah hanya untuk pasien yang diobati. di sisi lain, Infeksi purulen, harus
debridemen dan kultur.

IDSA merekomendasikan aspirasi jarum atau biopsi kulit perlu dipertimbangkan pada
pasien yang mengalami immunocompromised atau memiliki riwayat paparan abnormal, seperti
luka gigitan. Pemeriksaan ini juga harus dipertimbangkan pada pasien yang gagal dengan
antibiotik empiris. Berbagai metode telah dijelaskan untuk aspirasi jarum, namun yang paling
umum adalah menggunakan jarum 22-gauge untuk aspirasi Cairan dari sisi tepi selulitis setelah
dibersihkan dengan larutan povidone-iodine. Hasil pemeriksaan mikrobiologi rata-rata yang
dilaporkan dalam penelitian menggunakan aspirasi jarum atau biopsi kulit untuk kultur adalah
24%, meskipun biasanya bervariasi dari 0-40%. Alternatif selain dengan aspirasi jarum dapat
menggunakan pungsi biopsi untuk kultur, walaupun tidak jelas apakah ini meningkatkan hasil
diagnostik.
Penelitian mengenai pasien dengan selulitis dengan luka terbuka atau ulkus yang
menggunakan swab untuk kultur didapatkan hasil yang tinggi dari patogen potensial, namun
membedakan antara agen penyebab dan kontaminan mungkin sulit.

Ringkasan tes diagnostik yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan selulitis
ditemukan pada Tabel 3.

Pemeriksaan yang perlu dipertimbagkan pada pasien selulitis


Pemeriksaan laboratorium:
CBC, kimia darah, ESR, CRP Umumnya nonspesifik. Dapat digunakan untuk
skor LRINEC dan kriteria jika diduga ada infeksi
nekrosis.

CK Mungkin berguna untuk mengetahui keterlibatan


infeksi jaringan lunak, yang dapat dilihat pada
infeksi nekrosis dan miositis bakteri.
Pencitraan:
Film polos Adanya gambaran udara sangat khas pada infeksi
nekrosis jaringan lunak. Tanda khas namun tidak
sensitif.

Ultrasound Pemeriksaan pilihan jika pasien mengalami


abses.

CT Pemeriksaan untuk mengevaluasi infeksi


jaringan lunak nekrosis. Tanda yang dilaporkan
meliputi gambaran udara jaringan lunak,
penebalan facia dalam, dan terkait abses jaringan.

MRI Pemeriksaan untuk mengevaluasi infeksi


jaringan lunak nekrosis atau osteomielitis.
keterlibatan Deep fascial dibuktikan adanya
penebalan fascial dan enhancement, udara, dan
adanya cairan.
Kultur bakteri:
Kultur darah Umumnya hasilnya tidak sensitif, umumnya
dilakukan pada pasien rawat inap.

luka atau ulkus Hasilnya sangat sensitif, tidak pasti patogen


kecuali dilakukan dari dasar debris. Ambil
spesimen dengan biopsi atau kuretase, atau
aspirasi jarum yang berpotensi. Hindari
mengusap ulkus yang tidak rata atau drainase
luka.

Aspirasi jarum Umumnya tidak terlalu sensitif, pertimbangkan


pada pasien immunocompromised atau pasien
yang gagal dalam perawatan empiris.
kultur dari pungsi biopsi Tidak jelas lebih unggul dari diatas, berpotensi
menjadi jaringan parut.

kultur dari bulla yang mengandung Mungkin sensitifitasnya tinggi, mudah


cairan dilakukan.

kultur drainase Mungkin sensitif namun resiko kontaminasi saat


pengusapan. Jika purulen Luka umumnya harus
debris sebelum kultur

PENGOBATAN

Secara tradisional, selulitis telah dikelola secara empiris dengan antibiotik yang dipilih
untuk mengatasi streptococci -hemolitikus dan S. aureus sensitif-methicillin. beberapa dekade
terakhir, dengan adanya CA-MRSA secara luas sebagai patogen potensial, banyak dokter telah
memilih untuk mengobati selulitis dengan terapi yang mengarah pada MRSA. Sebuah studi
baru-baru ini dari Denver, misalnya, melaporkan bahwa 85% pasien rawat inap dengan selulitis
diobati dengan vankomisin atau terapi anti-MRSA lainnya, sedangkan hanya 20% yang diobati
dengan cefazolin dan 8% dengan nafcillin. Setelah diterapi, 48% diberikan trimetoprim-
sulfametoksazol, dibandingkan dengan hanya 6% dengan sefaleksin dan 3% dengan
dikloxacillin

Pedoman terbaru dari IDSA mengenai pengobatan MRSA secara substansial mengubah
rekomendasi sebelumnya tentang pengobatan selulitis. Untuk pasien rawat jalan dengan
selulitis purulen, direkomendasikan terapi empiris CA-MRSA, sambil menunggu hasil kultur.
Terapi empiris untuk streptokokus -hemolitikus dianggap tidak perlu (rekomendasi kelas A-
II). Pilihan yang tercantum termasuk klindamisin, trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMZ),
tetrasiklin seperti doksisiklin atau minocycline, atau linezolid (Tabel 4). Untuk pasien rawat
jalan dengan selulitis nonpurulen, terapi empiris untuk infeksi karena streptokokus -
hemolitikus dan S. aureus sensitif-metisilin masih direkomendasikan (A-II), sedangkan terapi
untuk CA-MRSA diberikan pada pasien yang gagal terapi -laktam atau yang sakit parah.
Pilihan yang tercantum meliputi cephalexin, dikloxacillin, dan clindamycin. Jika terapi untuk
keduanya CA-MRSA dan streptokokus -hemolitikus, pilihan mencakup: -laktam seperti
amoksisilin ditambah TMP-SMZ atau tetrasiklin, atau hanya linezolid. Monoterapi dengan
TMP-SMZ atau tetrasiklin untuk selulitis nonpurulen tidak dianjurkan mengingat data efikasi
yang dipublikasikan terbatas dan kekhawatiran tentang efektivitas melawan streptokokus
Pasien rawat inap dengan selulitis, merupakan komplikasi infeksi kulit dan jaringan
lunak, yang juga mencakup pasien dengan infeksi jaringan lunak yang dalam, infeksi luka
bedah dan trauma, abses mayor, dan ulkus dan luka bakar yang terinfeksi. Bagi pasien ini,
IDSA merekomendasikan untuk diterapi sebagai CA-MRSA saat hasil kultur belum ada.
Pilihan yang tercantum meliputi vankomisin, linezolid, daptomycin, dan telavancin (semua A-
I). Clindamycin juga terdaftar sebagai pilihan, namun dengan tingkat bukti lebih rendah (A-
III). Untuk pasien yang dirawat di rumah sakit dengan selulitis nonpurulen, pedoman IDSA
menyatakan bahwa terapi -laktam tetap merupakan pilihan, dengan pertimbangan terapi
MRSA untuk pasien yang tidak merespons.

Dari catatan, IDSA tidak merekomendasikan antibiotik yang berbeda untuk penderita
diabetes dengan selulitis daripada untuk nondiabetes, kecuali pada kasus infeksi kaki diabetes
kronis. Obat antimikroba berdasarkan rekomendasi IDSA, termasuk untuk infeksi jaringan
lunak nekrosis, tercantum dalam Tabel 4. Pendekatan keseluruhan terhadap selulitis
ditunjukkan pada Gambar 2.

Pengobatan Adjuvant untuk Selulitis

Meskipun tidak dipelajari secara khusus, pengobatan edema pasien saat ini dapat
mempercepat pemulihan dan mencegah selulitis rekuren. Hal ini bisa dilakukan dengan
dressing kompresi atau stocking, elevasi kaki, dan dapat diberikan diuretik bila diindikasikan.

Pengobatan adjuvant potensial lainnya adalah kortikosteroid. Mengingat kesulitan


mengkultur mikroba dalam selulitis, beberapa pihak telah menduga bahwa banyak manifestasi
selulitis bersifat inflamasi. Hal ini menyebabkan setidaknya satu percobaan kortikosteroid
ajuvan, yang menemukan bahwa pasien yang diberi prednisolon 8 hari memiliki durasi
penyakit yang jauh lebih pendek dan rawat inap lebih cepat. Meskipun bukan praktik yang luas,
IDSA merekomendasikan agar dokter mempertimbangkan penambahan kortikosteroid. Untuk
pengobatan selulitis

Durasi Terapi dan Gagal respon

Durasi optimal antibiotik untuk selulitis tidak diketahui. Sebagian besar peneliti
mengatakan bahwa jangka waktu yang dibutuhkan 5-10 hari, atau lebih lama, tergantung pada
respons klinis. The Sanford Guide to Antimicrobial Therapy merekomendasikan agar terapi
diteruskan sampai 3 hari setelah "peradangan akut hilang." Pada Praktik umum Antibiotik
dilajutkan sampai eritema hilang namun dipertanyakan oleh setidaknya satu penelitian, yang
mengacak sekelompok pasien dengan selulitis tanpa komplikasi yang membaik setelah 5 hari
terapi standar terhadap plasebo atau antibiotik 5 hari tambahan. Para penulis ini menemukan
bahwa 98% Dari kedua kelompok pasien memiliki perbaikan klinis selulitis lengkap,
menunjukkan bahwa setidaknya untuk pasien dengan selulitis tanpa komplikasi yang sudah
membaik setelah 5 hari pengobatan, antibiotik tambahan tidak diperlukan.

Bagi pasien yang gagal respon terapi empiris, pilihannya dengan penambahan terapi anti-
MRSA, menambahkan cakupan gram negatif, mencari fokus drainase dengan pencitraan, dan
aspirasi jarum untuk kultur. Bahkan dengan diagnosis dan terapi yang tepat, beberapa pasien
lambat meresponsnya. Untuk pasien rawat inap, rata-rata lama perawatan selulitis di AS adalah
4,5 hari, namun beberapa pasien tetap dirawat di rumah sakit untuk waktu yang lebih lama.
Satu studi menemukan bahwa Prediktor independen untuk perawatan yang berkepanjangan
termasuk edema, penggunaan diuretik sebelumnya, dan jumlah neutrofil absolut >10% x109/
L, yang menunjukkan bahwa edema dan tingkat keparahan penyakit mungkin merupakan
faktor penentu durasi terapi. Meski belum terbukti, ini menunjukkan bahwa terapi agresif untuk
edema yang ada dapat menjadi terapi adjuvant yang bermanfaat

KESIMPULAN

Selulitis adalah penyebab umum infeksi pada pasien dewasa. Sampai dekade terakhir,
perawatan empiris menggunakan antibiotik -laktam telah menjadi standar. Diagnosis
mikrobiologis spesifik jarang diperiksa atau ditemukan. Namun, selama dekade yang lalu,
isolat komunitas S. aureus telah terbukti semakin resisten terhadap -lactams spektrum luas.
Penelitian mengenai infeksi kulit dan jaringan lunak pada masa kini terutama infeksi purulen,
telah ditemukan proporsi yang besar karena CA-MRSA. Namun, tetap tidak diketahui berapa
banyak kasus yang tidak terjadi karena CA-MRSA. Percobaan trandomized control trial
dengan kualitas tinggi diperlukan untuk membandingkan rejimen antibiotik yang berbeda
untuk selulitis non-purulen. Terakhir, penelitian untuk mengevaluasi durasi terapi dan strategi
pencegahan juga sudah terlambat.

Anda mungkin juga menyukai