MOLA HIDATIDOSA
Disusun Oleh :
Dita Aridhatamy
N 111 18 042
Pembimbing Klinik :
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
dibandingkan dengan negara-negera Barat. Di negara-negara Barat dilaporkan
1:2000 kehamilan. Frekuensi mola umumnya pada wanita di Asia lebih tinggi
sekitar 1: 120 kehamilan. Di Indonesia sendiri didapatkan kejadian mola pada 1 :
85 kehamilan. Biasanya dijumpai lebih sering pada usia reproduktif (15-45
tahun); dan pada multipara. Jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan
menderita mola akan lebih besar. Sekitar 10% dari seluruh kasus akan cenderung
mengalami transformasi ke arah keganasan, yang disebut sebagai gestational
trophoblastic neoplasma.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Yang dimaksud dengan mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang
berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh
vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik.2
Mola hidatidosa adalah plasenta dengan vili korialis yang berkembang
tidak sempurna dengan gambaran adanya pembesaran, edema, dan vili
vesikuler sehingga menunjukkan berbagai ukuran trofoblas proliferatif tidak
normal.4
2. Klasifikasi
Terdapat dua subtipe mola hidatidosa, yaitu mola hidatidosa komplet
dan mola hidatidosa parsial. Mola hidatidosa komplet tidak memungkinkan
terjadinya embriyogenesis sehingga tidak pernah mengandung bagian janin.
Mola hidatidosa parsial masih memungkinkan pembentukan mudigah awal
sehingga mengandung bagian-bagian janin dan memiliki vilus korion yang
normal.5
Sel epitel pada mola hidatidosa komplet bersifat diploid (46,XX atau,
yang jarang, 46,XY) sedangkan sel epitel pada mola hidatidosa parsial
hampir selalu triploid (missal, 69,XXY). Kedua pola terjadi karena kelainan
pembuahan; pada mola hidatidosa komplet, sebuah sel telur kosong dibuahi
oleh dua spermatozoa (atau satu spermatozoa diploid), menghasilkan
kariotipe diploid, sedangkan pada mola parsial sebuah telur normal dibuahi
oleh dua spermatozoa (atau satu sperma diploid) sehingga terbentuk kariotipe
triploid).5
2
Kariotipe Umumnya 69 XXX 46 XX atau 46 XY
atau 69 XXY
Patologi
a. Janin Sering dijumpai Tidak ada
b. Amnion, sel darah Sering dijumpai Tidak ada
merah janin
c. Edema vilus Bervariasi, fokal Difus
d. Proliferasi trofoblas Bervariasi, fokal, Bervariasi, ringan sampai
ringan sampai sedang berat
e. P57Kip2 immunostaining Negatif Positif
Gambaran klinis
a. Diagnosis Missed abortion Gestasi mola
b. Ukuran uterus Kecil untuk masa 50 % besar untuk masa
kehamilan kehamilan
c. Kista teka lutein Jarang 25-30 %
d. Penyulit medis Jarang Sering
e. Penyakit pascamola Kurang dari 5-10 % 20 %
3. Epidemiologi
Secara umum dikatakan bahwa insiden mola hidatidosa di Negara
barat lebih rendah daripada Negara di Asia dan beberapa Negara Amerika
Latin, tetapi angkanya sukar diperbandingkan karena umumnya mereka
menggunakan data populasi, sedangkan di Negara berkembang menggunakan
data rumah sakit.6
Insiden mola hidatidosa di beberapa Negara:6
Amerika Serikat 1 : 1000-1500 persalinan
Korea Selatan 1 : 429 – 1 : 488 persalinan
Malaysia 1 : 357 persalinan
Jepang 1 : 538 kelahiran hidup
Beberapa kabupaten Jawa Barat 1 : 28-105 persalinan
Beberapa kota Indonesia 1 : 51-141 kehamilan
3
4. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab terjadinya mola hidatidosa tidak diketahui dengan pasti,
diperkirakan adanya peranan kelainan kromosomal.7
Dua faktor risiko yang paling penting yaitu usia pasien dan riwayat
kehamilan mola sebelumnya. Usia pasien baik terlalu muda atau terlalu tua
terdapat kenaikan risiko secara signifikan untuk terjadinya mola hidatidosa,
terutama mola hidatidosa komplet. Peningkatan yang paling mencolok pada
wanita berusia 40 tahun atau lebih, dimana risiko terjadinya mola hidatidosa
komplet 7,5 kali lebih tinggi daripada wanita berusia antara 21 dan 35 tahun.
Riwayat abortus berulang sebelumnya lebih umum terjadi pada pasien
dengan mola hidatidosa. Setelah satu kehamilan mola, risiko untuk terjadinya
mola hidatidosa yang baru meningkat 1% sampai 2%, dan setelah kehamilan
mola kedua, risiko terjadinya kehamilan mola ketiga yaitu 15% sampai 20%.
Mola hidatidosa lebih sering terjadi di negara-negara Asia, dan kemungkinan
diet yang berperan.8
Kintage BH(2013) melakukan penelitian mengenai prevalensi dan
faktor risiko yang terkait dengan mola hidatidosa pada pasien dengan abortus
inkomplet di Pusat Kesehatan Bugando dan Rumah Sakit Sekou Toure di
kota Mwanza, Tanzania Barat Laut. Studi rumah sakit ini dilakukan pada
bulan Februari sampai April 2013 dengan jumlah sampel sebanyak 180
orang. Berikut ini adalah data mengenai prevalensi mola hidatidosa
berdasarkan karakteristik maternal: 9
4
30-39 55 (30,6) 8 (14,6)
40-49 7 (3,9) 0 (0,0)
Paritas
Primipara 101 (56,1) 16 (15,8)
Multipara 72 (40) 7 (9,7)
Grandemultipara 7 (3,9) 0 (0,0)
Merokok
Ya 23 (12,8) 5 (21,7)
Tidak 157 (87,2) 18 (11,5)
Penggunaan kontrasepsi
Ya 85 (47,2) 11 (12,9)
Tidak 95 (52,8) 12 (12,6)
Riwayat abortus
Ya 63 (35) 9 (14,3)
Diinduksi 5 (7,9) 0 (0,0)
Spontan 58 (92,1) 9 (15,5)
Tidak 117 (65) 14 (12)
Riwayat mola hidatidosa
sebelumnya
Ya 0 (0,0) 0 (0,0)
Tidak 180 (100) 23 (12,8)
Golongan darah
A 35 (19,4) 7 (20)
B 40 (22,2) 3 (7,5)
AB 31 (17,2) 1 (3,2)
O 74 (41,2) 12 (16,2)
5. Patofisiologi
Vili korialis yang mengalami degenerasi hidrofik pada mola hidatidosa
awalnya diduga disebabkan karena hipersekresi akibat proliferasi sel-sel
trofoblas sehingga terjadi obliterasi vaskular dan kematian janin. Kausa lain
adalah dari kegagalan sirkusi janin akibat kematian janin tersebut yang
5
menyebabkan edema vili korialis. Pada awal mola komplet terjadi gangguan
diferensiasi vaskulogenesis yang akan mengakibatkan peningkatan apoptosis
pada sel prekursor pembuluh darah mengakibatkan penimbunan cairan
vesikuler sampai membentuk sisterna.10
6. Gejala Klinis
Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda
dengan kehamilan biasa, yaitu amenore, mual, muntah, pusing, dan lain-lain,
hanya saja derajat keluhannya lebih hebat. Selanjutnya perkembangannya
lebih pesat, sehingga pada umumnya besar uterus lebih besar dari usia
kehamilan. Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besar
walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perlu dipikirkan
kemungkinan adanya jenis dying mole(mola hidatidosa dengan ukuran uterus
lebih kecil atau sama besar dengan usia kehamilan).2,6,11
Pada trimester 1 dan terutama selama trimester ke-2 sejumlah
perubahan terjadi, yang paling umum adalah perdarahan pervaginam
berwarna kecoklatan yang sering disertai dengan jaringan-jaringan
menyerupai buah anggur, pembesaran ukuran uterus biasanya lebih besar
untuk usia kehamilan terutama pada kasus mola hidatidosa komplet (4
minggu lebih tua), dan denyut jantung janin tidak ditemukan. Anemia terjadi
pada kasus-kasus prolonged bleeding (perdarahan berkepanjangan) yang
ditandai dengan gejala fatique dan sesak nafas, preeklampsi yang ditandai
dengan hipertensi dapat terjadi sebelum usia kehamilan kurang dari 24
minggu. Tanda lainnya yang dapat ditemukan pada kehamilan mola adalah
hipertiroid dan terbentuknya kista ovarium yang disebabkan tingginya
kadarβ-hCG perdarahan terutama pada mola hidatidosa komplet.7
7. Diagnosis
Adanya mola hidatidosa harus dicurigai pada wanita dengan amenorea,
perdarahan pervaginam, uterus yang lebih besar dari usia kehamilan, dan
tidak ditemukan tanda kehamilan pasti seperti baloteman dan detak jantung
janin. Selain itu dapat pula ditemukan tekanan pelvis atau nyeri, kista theca
lutein, anemia, hiperemesis gravidarum, hipertiroidisme, preeklampsia
6
sebelum usia kehamilan 20 minggu, dan pengeluaran vesikel hidrofik dari
vagina.2, 12
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu β-hCG kuantitatif
dan USG. β-hCG biasanya meningkat, 40% lebih tinggi daripada 100.000
IU/L. Pada pemeriksaan USG untuk mola komplet didapatkan tidak adanya
embrio atau fetus, tidak ada cairan amnion, adanya massa heterogen dengan
ruangan anechoic yang terpisah-pisah (berkaitan dengan vili korionik yang
hidrofik, disebut gambaran badai salju atau snowstrom).12
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 3 tahap, yaitu:2
a. Perbaikan keadaan umum
Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk
memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi
penyulit seperti preeklampsia atau tirotoksikosis.
2) Histerektomi
7
Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur dan
cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah
karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi
untuk terjadinya keganasan. Batasan yangdipakai adalah umur 35
tahun dengan anak hidup 3. Tidak jarang pada sediaan histerektomi
bila dilakukan pemeriksaan histopatologi sudah tampak adanya tanda-
tanda keganasan berupa mola invasif/ koriokarsinoma.
8
Secara keseluruhan, 80% hingga 90% mola tetap menjadi jinak setelah
kuretase bersih; 10% mola komplet menjadi invasif, tetapi tidak lebih dari 2%
hingga 3% yang menjadi koriokarsinoma. Mola parsial jarang menjadi
koriokarsinoma.5
BAB III
LAPORAN KASUS
9
I. IDENTITAS
Nama : Ny. NMD
Umur : 23 tahun
Alamat : Labuan Salambone
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Pendidikan : SD
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri perut bawah tengah
10
Riwayat haid:
Menarche = 13 tahun
Siklus haid = Tidak Teratur
Lama haid = 3 hari
mengganti pembalut 5 kali sehari.
Riwayat KB:
Pasien tidak menggunakan kontrasepsi
Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, usia pernikahan ± 7 tahun
2 2 - - Abortus - - -
III.PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik Tekanan Darah :110/80mmHg
Kesadaran : Compos mentis Nadi : 80 x/menit
BB :- Respirasi : 20 x/menit
TB :- Suhu : 36,6ºC
Kepala – Leher :
11
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), pembesaran KGB (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-).
Thorax :
I : Pergerakan thoraks simetris
P :Vocal Fremitus kanan=kiri
P : Sonor pada kedua lapang paru, batas jantung DBN
A : Bunyi pernapasan vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing(-/-).
Bunyi jantung I/II murni Regular
Pemeriksaan Obstetri :
Leopold 1,2,3,4 : Sulit dievaluasi
BJF: Tidak didapatkan
Genitalia :
Pemeriksaan dalam: Perdarahan (+), darah berwarna kecoklatan. Pembukaan (-)
12
Tanggal 04 Desember 2019
B-HCG kuantitatif :>50.000 mIU/ml
V. RESUME
Pasien G3P1A1 masuk IGD Kebidanan RSUD undata dengan keluhan nyeri
perut bagian bawah tengah sejak 1 minggu yang lalu, nyeri dirasakan hilang
timbul dan memberat ketika beraktivitas. Ketika nyeri perut muncul disertai
dengan adanya darah kecoklatan yang terus bertambah banyak setiap hari.
Mual (+), muntah (+), BAB (+) biasa, BAK (+) lancar, HPHT 5 agustus 2019.
Adanya darah dan jaringan keluar dari jalan lahir saat 1 jam setelah pasien
masuk ke IGD kebidanan undata.
Pemeriksaan tanda vital TD 110/80 mmHg, Nadi 80x/menit, respirasi
20x/menit, suhu 36,6oCelcius.
Menarche pada usia 13 tahun, siklus haid tidak teratur, lama haid 3 hari,
mengganti pembalut 5 kali sehari.
Pemeriksaan laboratorium: WBC 10,24 x 103/ul, HGB 7,9 gr/dl, PLT 231
x 106/ul, HbSAg non reaktif, Anti HCV non reaktif dan B-HCG positif.
VI. DIAGNOSIS
Mola hidatidosa + Anemia sedang
V. PENATALAKSANAAN
IVFD RL + oxytosin 2 amp 30 tpm
Transfusi PRC 2 labu
Inj. Dexamethasone 1 amp/12 jam/IV
Cefadroxil tab 2x500 mg
Asam mefenamat tab 3x500 mg
Sf 1x1
Periksa PA jaringan mola
Kuretase pada tanggal 4 Desember 2019
13
Periksa B-HCG kuantitatif (setelah kuretase)
VII. FOLLOW UP
14
Diagnosis kerja pada pasien ini sudah tepat, karena berdasarkan
anamnesis, pemeriksaanfisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan,
penyakit pasien ini mengarah ke mola hidatidosa + anemia sedang.
Dari anamnesis diperoleh data pasien mengeluh nyeri perut bagian tengah,
amenore, mual, muntah. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa
gejalamolahidatidosa adalah amenore, mual, muntah, perdarahan pervaginam
berwarna kecoklatan yang sering disertai dengan jaringan-jaringan menyerupai
buah anggur.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan besar uterus lebih besar dari
usia kehamilan, tidak ditemukan denyut jantung janin. Hal ini mengarah pada
mola hidatidosa, tapi untuk menentukan lebih pasti perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang. Dalam kasus ini pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
pemeriksaan B-HCG dan pemeriksaan USG pada saat di IGD kebidanan,
didapatkan hasil USG adanya gambaran honey comb.
Pada pasien ini dilakukan transfusi darah dimana sesuai teori bahwa untuk
memperbaiki syok atau anemia.Pada pasien ini pasien mengalami anemia sedang.
Pada pasien ini adanya darah dan jaringan keluar dari jalan lahir saat 1 jam setelah
pasien masuk ke IGD kebidanan, kemudian dilakukan pemeriksaan USG kembali
ditemukan masih ada jaringan mola yang tersisa makadilakukan kuretase untuk
mengeluarkan jaringan mola yang masih tertinggal.Berdasarkan teori pada
tindakan pengeluaran mola hidatidosa dapat dilakukanvakum kuretase dengan
kuretase menggunakan sendok kuret tumpul. Tindakan kuret cukup dilakukan 1
kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi. Jika setelah
evakuasi awal gejala (misalnya perdarahan pervaginam) menetap, maka perlu
dikonsultasikan dengan pusat skrining sebelum dilakukan pembedahan.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Hauth JC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Wenstrom KD.
Obstetri Williams: Penyakit Trofoblastik Gestasional. 23rd ed. Vol 2. Jakarta :
EGC ; 2012. p. 271-276.
2. Hadijanto B. Perdarahan pada Kehamilan Muda. In: Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta : PT Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo ; 2009. p. 488-490.
3. Syafii, Aprianti S, Hardjoeno. Kadar β-HCG Penderita Mola Hidatidosa
Sebelum dan Sesudah Kuretase. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory 2016; 13(1): p. 1-3.
4. Anwar M, Baziad A, Prabowo P, editors. Ilmu Kandungan, 3 rd ed. Jakarta: PT
Bina Pustaka Prawiroharjo; 2011.
5. Crum CP, Lester SC, Cotran RS. Sistem Genitalia Perempuan dan Payudara.
In: Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi. 7 th ed. vol. 2.
Jakarta: EGC; 2007. p.784-787.
6. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, editors. Obstetri
Patologi: Ilmu Kesehatan Reproduksi. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2004. p. 29-33.
7. Simbolon YW. Mola Hidatidosa. Laporan Kasus. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada ;2015. 29 p.
8. Niemann I, et. al. Gestational Trophoblastic Disease: Clinical Guidelines for
Diagnosis, Treatment, Follow-up, and Counselling. Dan Med J2015; 62(11).
p. 1-19.
9. Kitange BH. Prevalence and Associated Risk Factors of Hydatidiform Moles
Among Patients with Incomplete Abortion Evacuated at Bugando Medical
Centre and Sekou Toure Hospital in Mwanza City, North-Western Tanzania.
Disertation. Cuhas-Bugando: Catholic University of Health and Allied
Sciences; 2016. 51 p.
10. Silfiah N. Penilaian Ekspresi Protein p57 Kip2 dengan Pengecatan
Imunohistokimia Vlid dalam Membedakan Mola Hidatidosa Tipe Komplit dan
Parsial. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana; 2015.143 p.
10
11. Lubis JM. Kurva Regresi β-Huma Chorionic Gonadotropin Serum pada
Penderita Penyakit Trofoblas Ganas Resiko Rendah yang Mendapat
Kemoterapi Metotrexat Tunggal di RSUP. H. Adam Malik Medan. Tesis.
Medan: Universitas Sumatera Utara; 2015 .93 p.
12. Fox JC. Atlas of Emergency Ultrasound. United Kingdom: Cambridge
University Press; 2011. p. 96-97.
11
LAMPIRAN
12