Anda di halaman 1dari 30

Bagian Ilmu Obstetri dan Gynecologi

RSUD Madani Palu


Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

REFARAT OBSTETRI DAN GYNECOLOGI


“KEHAMILAN ETOPIK ”

DISUSUN OLEH :
GLEDIA LINDA MASARRANG
N 111 18 018

PEMBIMBING KLINIK :
dr. Ni Made Astijani, Sp. OG

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN OBSTETRI DAN GYNECOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang

Kehamilan adalah suatu keadaan dimana terjadi pembuahan ovum oleh


spermatozoa yang kemudian mengalami nidasi pada uterus dan berkembang
sampai janin lahir, dimana lamanya hamil normal 32-37 minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir.1
Kehamilan ektopik ialah kehamilan dimana setelah fertilisasi, implantasi
terjadi di luar endometrium kavum uteri.Hampir 90% kehamilan ektopik terjadi di
tuba uterine. Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau rupture apabila
massa kehamilan berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi (misalnya:
tuba) dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu. 2 Dampak
lanjut dari kehamilan ektopik dapat menyebabkan kematian ibu akibat perdarahan
dimana perdarahan bertanggung jawab atas 28% kematian ibu di dunia dan
perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%-60%) kematian ibu
melahirkan di Indonesia. 3
Berdasarkan data WHO angka kematian ibu tahun 2015 sebesar
216/100.000 kelahiran hidup, sedangkan untuk negara berkembang angka ini
sebesar 239/100.000 KH. Angka ini menunjukkan masih jauhnya dari
targetSustainable Development Goals (SDGs) sebesar 70/100.000 KH pada tahun
2030. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2013 menyebutkan
bahwa Angka Kematian Ibu di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup.3
Berdasarkan data WHO angka kematian ibu tahun 2015 sebesar
216/100.000 kelahiran hidup, sedangkan untuk negara berkembang angka ini
sebesar 239/100.000 KH. Angka ini menunjukkan masih jauhnya dari
targetSustainable Development Goals (SDGs) sebesar 70/100.000 KH pada tahun
2030. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2013 menyebutkan
bahwa Angka Kematian Ibu di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Kehamilan ektopik adalah semua kehamilan dimana sel telur yang dibuahi oleh
spermatozoa berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uterus. 4,5
Sedangkan Kehamilan Ektopik Terganggu ialah kehamilan ektopik yang
mengalami abortus atau ruptur apabila masa kehamilan berkembang melebihi
kapasitas ruang implantasi misalnya tuba.Berdasarkan tempat implantasinnya,
kehamilan ektopik dapat dibagi dalam beberapa golongan:4

 Tuba Fallopii

 Uterus (diluar endometrium kavum uterus)

 Ovarium
 Intraligamenter

 Abdominal

 Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus

Berdasarkan penggolongan diatas, maka kehamilan ektopik paling sering


terjadi di Tuba ( 97% ), yang mana 55% muncul di pars ampullaris, 25% di isthmus,
dan 17 % di fimbriae. Sisa 3 % berlokasi di uterus, ovarium, abdominal, dan
intraligamenter, dimana sekitar 2-2,5% muncul di kornua uterus.,5,6

Gambar 1 : Lokasi terjadinya kehamilan ektopik

Ada beberapa pendapat yang menggolongkan kehamilan ektrauterin, namun


pendapat ini tidaklah tepat karena kehamilan di kornu, servik uterus termasuk dalam
kehamilan ektopik.3,4

2. 2 EPIDEMIOLOGI

Insiden dari kehamilan ektopik digambarkan dalam berbagai macam cara


pada beberapa literature. Denominator yang paling umum digunakan adalah
jumlah konsepsi yang dikenali, yang mana digambarkan sebagai jumlah
kehamilan ektopik per 1000 konsepsi. Denominator lainnya adalah jumlah wanita
dalam usia produktif, yang digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik per
10.000 wanita dalam rentang usia 14-44 tahun, dan jumlah total kelahiran yang
digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik per 1000 kelahiran.7

Akan sangat baik bila dapat menghitung insiden kehamilan ektopik per
1000 total konsepsi. Namun, bagaimanapun juga, sejak abortus spontaneous dan
banyak abortus yang direncanakan tidak dilaporkan, denominator itu selalu lebih
kecil dibandingkan dengan angka yang sebenarnya, dan juga sejak kehamilan
ektopik asimptomatis yang tidak diketahui sehingga tidak dilaporkan. Hal ini
mengakibatkan insiden kehamilan ektopik per 1000 total konsepsi yang
sebenarnya tidak akan dapat diukur secara tepat. Jumlah insiden yang dilaporkan
di literature, bagaimanapun juga, merupakan perkiraan yang baik dan, sejak
metodologi yang digunakan sama , maka dapat dibandingkan secara tepat.7

Pada perkembangan terbaru, di Inggris Raya, kehamilan ektopik masih


merupakan penyebab terbesar pada kematian ibu hamil trimester pertama.
Hampir 32.000 kehamilan ektopik terjadi yang tercatat setiap tahunnya di Inggris
Raya. Di Amerika Serikat, jumlah kejadian setiap tahunnya menurun dari 58.178
pada tahun1992 menjadi 35.382 pada tahun 1999. Di Norwegia, diperkirakan
angka kejadian ini menurun seiring dengan menurunnya angka kejadian Pelvic
Inflammatory Disease (PID).8

Di Indonesia, berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik Kesehatan


diketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 20 kasus setiap 1.000 kehamilan
menderita kehamilan ektopik atau 0,02%. (BPS Kesehatan, 2007). Di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2007 terdapat 153 kehamilan
ektopik diantara 4007 persalinan, atau 1 diantara 26 persalinan.9,10

2.3 ETIOLOGI
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, namun sebagian
besar penyebabnya masih tidak diketahui. Pada tiap kehamilan akan dimulai
dengan pembuahan didalam ampulla tuba, dan dalam perjalanan kedalam uterus
telur mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih berada di tuba, atau
nidasinya di tuba dipermudah.1,2,6

Resiko terjadinya kehamilan ektopik ini meningkat dengan adanya


beberapa faktor, termasuk riwayat infertilitas, riwayat kehamilan ektopik
sebelumnya, operasi pada tuba, infeksi pelvis, paparan Diethylstil-bestrol
(DES), penggunaan IUD, dan fertilisasi in vitro pada penyakit tuba. Faktor-
faktor ini mungkin berbagi mekanisme umum yang dapat berupa mekanisme
anatomis, fungsional, atau keduanya. Pastinya, sangat sulit untuk menilai
penyebab dari implantasi ektopik dengan tidak adanya alat pendeteksi kelainan
tuba. 6

Normalnya, seperti disebut diatas, sel telur dibuahi di tuba fallopii dan
berjalan kedalam tuba ketempat implantasi. Mekanisme apapun yang
mengganggu fungsi normal dari tuba fallopii selama proses ini meningkatkan
resiko terjadinya kehamilan ektopik.6,9

Kehamilan ovarium dapat terjadi apabila spermatozoa memasuki folikel


de Graaf yang baru pecah dan membuahi sel telur yang masih tinggal dalam
folikel, atau apabila sel telur yang dibuahi bernidasi di daerah endometriosis di
ovarium. Kehamilan intraligamenter biasanya terjadi sekunder dari kehamilan
tuba atau kehamilan ovarial yang mengalami rupture dan mudigah masuk di
antara 2 lapisan ligamentum latum. Kehamilan servikal berkaitan dengan faktor
multiparitas yang beriwayat pernah mengalami abortus atau operasi pada rahim
termasuk seksio sesarea. Sedangkan kehamilan abdominal biasanya terjadi
sekunder dari kehamilan tuba, walau ada yang primer terjadi di rongga
abdomen.3
Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor pada tuba yang dapat
mendukung terjadinya kehamilan ektopik :2

1. Faktor dalam lumen tuba :


a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping,
sehingga lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu;
b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada
hipoplasia uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia
endosalping;
c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan
sterilisasi yang tidak sempurna.
Gambar 2 : Gambaran mikroskopik dari saluran tuba

2. Faktor pada dinding tuba :


a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi
dalam tuba;2
b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat
menahan telur yang dibuahi ditempat itu.
3. Faktor diluar dinding tuba :2
a) Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat
menghambat perjalanan telur;
b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.

4. Faktor lain :
a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri- atau
sebaliknya- dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke
uterus. Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan
implantasi premature;
b) Fertilisasi in vitro.2

Diantara faktor-faktor tersebut diatas, salpingitis akut merupakan penyebab utama.


Sequele morfologik berpengaruh pada setengah dari episode awal kehamilan ektopik.

Tempat keluar ovum pada ovulasi di ovarium juga disinyalir mempunyai


peran dalam kehamilan ektopik. Ovulasi yang berasal dari arah kontralateral dari
ovarium telah dianggap sebagai penyebab dari terlambatnya transport blastokist, dan
oleh Breen, dilaporkan bahwa ovulasi dari arah kontralateral ditemukan pada
sepertiga dari gestasi tuba yang diobati dengan laparatomi. Bagaimanapun juga, Saito
dkk. mengamati bahwa bagian dari tuba dimana terjadi implantasi pada wanita
dengan kehamilan ektopik adalah sama pada apakah korpus luteum berada di
ipsilateral atau kontralateral. Jika transmigrasi adalah salah satu faktor, hipotesis dari
mereka adalah ada banyak insiden terjadinya kehamilan di distal tuba dengan ovulasi
dari kontralateral ovarium.7

Penyebab lain yang lebih fisiologik adalah ketidakseimbangan hormonal,


yang mana peningkatan kadar estrogen atau progesterone yang beredar dapat merusak
kontraktilitas normal tuba. Kenaikan rata-rata kehamilan ektopik dilaporkan terjadi
pada wanita yang digambarkan secara fisiologis dan farmakologis mempunyai kadar
progestin yang meningakat. Secara iatrogenik, dapat terjadi peningkatan estrogen dan
progesterone setelah induksi ovulasi baik itu dengan clomiphene citrate atau human
menopausal gonadotrophins, dan dilaporkan terjadi kenaikan angka kehamilan
ektopik pada wanita dengan perlakuan seperti itu. Kemungkinan penyebab lainnya
adalah perkembangan embrionik yang abnormal. Stratford memeriksa 44 konseptus
dari gestasi ektopik dengan mikrodiseksi dan potongan histologik dan menemukan
sekitar duapertiga abnormal dan setengahnya mempunyai banormalitas structural
umum. Kelainan abnormal-abnormal ini dapat mengganggu transport normal di tuba.7

Tatum dan Schmidt menyimpulkan bahwa kehamilan yang mucul yang


dikarenakan kegagalan beberapa metode kontrasepsi mempunyai kesempatan yang
lebih besar untuk menjadi ektopik dibandingkan pada wanita yang hamil karena tidak
memakai alat kontrasepsi. Wanita yang menjadi hamil sewaktu memakai IUD Copper
T380 atau kontrasepsi oral progestin saja, mempunyai kemungkinan 5% lebih tinggi
untuk mengalami kehamilan ektopik. Wanita yang menjadi hamil selama memakai
progesterone-releasing IUD bahkan lebih tinggi, sekitar 25%, bahkan bila
dibandingkan dengan wanita yang tidak memakai alat kontrasepsi sama sekali,
kemungkinan terjadi kehamilan ektopik lebih besar dua lipat. Hal ini disebabkan
progesterone menghambat kontraksi tuba.
Walaupun pada banyak laporan yang mengatakan bahwa riwayat aborsi yang
diinduksi meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik, Levin dkk.
menunjukkan metode statistik yang digunakan untuk mengontrol efek dari faktor-
faktor resiko, riwayat dari satu aborsi yang diinduksi tidak meningkatkan secara
bermakna kemungkinan terjadi kehamilan ektopik. Efek itu baru akan nyata bila
sudah dua atau lebih aborsi.

2.4 PATOFISIOLOGI

Kebanyakan dari kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii. Tempat yang


paling umum terjadi adalah pada pars ampullaris, sekitar 80 %. Kemudian berturut-
turut adalah isthmus (12%), fimbriae (5%), dan bagian kornu dan daerah intersisial
tuba (2%), dan seperti yang disebut pada bagian diatas, kehamilan ektopik non tuba
sangat jarang.1,2,7. Kehamilan pada daerah intersisial sering berhubungan dengan
kesakitan yang berat, karena baru mengeluarkan gejala yang muncul lebih lama dari
tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan biasanya menghasilkan perdarahan yang
sangat banyak bila terjadi rupture.7

Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya
sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau
interkolumner. Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot
endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi
dan biasanya telur mati secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara interkolumner
telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur
dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan
dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna
malahan kadang-kadang tidak tampak, dengan mudah villi korialis menembus
endosalping dan masuk dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan
pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor,
seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang
8
terjadi oleh invasi trofoblas.

Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum


gravidatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, dan endometrium dapat
pula berubah menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada
endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan
intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur. Sitoplasma sel
dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-kadang ditemukan mitosis.
Perubahan ini hanya terjadi pada sebagian kehamilan ektopik.8

Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik


dalam tuba. Karena tuba bukan merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan
hasil konsepsi, tidak mungkin janin dapat tumbuh secara utuh seperti di uterus.
Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 minggu
sampai 10 minggu.2 Kemungkinan itu antara lain :2,10

1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi


Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan
ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang terlambat
untuk beberapa hari.

2. Abortus tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh
villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah dari koriales pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya,
tergantung dari derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh,
mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian
didorong oleh darah kearah ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam
tuba tergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum
terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris, sedangkan penembusan dinding
tuba oleh villi koriales kea rah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan
pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars amoullaris lebih
luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi
dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.

Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,


perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai
berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan akan keluar melalui fimbriae dan
masuk rongga abdomen dan terkumpul secara khas di kavum Douglas dan
akan membentuk hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup, tuba fallopii
dapat membesar karena darah dan membentuk hematosalping.

3. Ruptur tuba
Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan rupture pada
saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran kadar
korionik gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada
trimester pertama oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih sering
terjadi bila ovum berimplantasi pada isthmus dan biasanya muncul pada
kehamilan muda, sedangkan bila berimplantasi di pars intersisialis, maka
muncul pada kehamilan yang lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan,
atau karena trauma ringan seperti koitus atau pemeriksaan vagina.
Gambar 3 : Ruptur tuba

Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan
ostium tuba tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena
invasi dari trofoblas, akan pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-
kadang ruptur terjadi diarah ligamentum latum dan terbentuk hematoma
intraligamenter. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter.
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila
robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.
Bila pasien tidak mati dan meninggal karena perdarahan, nasib janin
bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin
mati dan masih kecil, dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak dapat
diubah menjadi litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati dengan
masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh,
kemungkinan tumbuh terus dalam rongga abdomen sehingga terjadi
kehamilan abdominal sekunder.
2.5 GAMBARAN KLINIK
Pada wanita dengan faktor resiko untuk kehamilan ektopik, dengan
penggunaan tes hormonal awal dan sonografi vagina, sekarang dimungkinkan
untuk menegakkan diagnosis dari kehamilan ektopik sebelum keluar gejala.
Namun, bila umur gestasi sudah meningkat dan perdarahan intraperitoneal
muncul karena keluarnya dari dari fimbriae atau ruptur, maka dapat timbul
gejala. Bila memang terjadi kehamilan ektopik namun belum muncul gejala,
maka kita sebut kehamilan ektopik belum terganggu. 4,5

Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri


abdomen, amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut menjadi
sangat penting dalam memikirkan diagnosis pada pasien yang datang dengan
kehamilan di trimester pertama. Namun sayangnya, hanya 50% pasien dengan
kehamilan ektopik ini yang menampilkan gejala-gejala tersebut secara khas.
Pasien yang lain mungkin muncul gejala-gejala yang umumnya terjadi pada
masa kehamilan awal termasuk mual, lelah, nyeri abdomen ringan, nyeri bahu,
dan riwayat disparenu baru-baru ini. Sedangkan gejala dan tanda kehamilan
ektopik terganggu, seperti tersebut diatas, dapat berbeda-beda, dari yang khas
sampai tidak khas sehingga sukar untuk mendiagnosisnya.4,5,7

Pada pemeriksaan fisik harus difokuskan pada tanda vital dan


pemeriksaan abdomen dan pelvik. Hipotensi dan takikardi yang dapat terjadi
akibat perdarahan banyak akibat ruptur tuba tidak dapat memperkirakan adanya
kehamilan ektopik walau tanda itu menunjukkan perlunya resusitasi segera,
bahkan faktanya kedua hal tersebut lebih khas pada komplikasi kehamilan
intrauterin. Lebih jauh lagi, tanda vital yang normal tidak dapat menyingkirkan
adanya kehamilan ektopik. Pada pemeriksaan dalam, dapat teraba kavum
douglas yang menonjol dan terdapat nyeri gerakan serviks. Adanya tanda-tanda
peritoneal, nyeri gerakan serviks, dan nyeri lateral atau bilateral abdomen atau
nyeri pelvik meningkatkan kecurigaan akan kehamilan ektopik dan merupakan
temuan yang bermakna. Disisi yang lain, ketidakadaan tanda dan gejala ini tidak
menyingkirkan kehamilan ektopik. Terabanya massa adneksa juga tidak dapat
memperkirakan kehamilan ektopik secara tepat. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Dart dkk., massa adneksa hanya muncul kurang dari 10% pada
pasien yang di diagnosis dengan kehamilan ektopik. Satu yang harus diingat juga
adalah pemeriksaan pelvik benar-benar normal pada kira-kira 10% pasien
dengan kehamilan ektopik.2,5

Kesimpulannya, beberapa riwayat dan penemuan pemeriksaan fisik


meningkatkan kecurigaan terhadap kehamilan ektopik. Untuk itu, bagaimanapun
juga, tidak ada kombinasi penemuan yang boleh dianggap oleh seorang dokter di
ruang gawat darurat yang menyimpulkan adanya kehamilan ektopik berdasarkan
penemuan klinik saja.5

2.6 DIAGNOSIS
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik yang belum
terganggu sangat besar, sehingga pasien harus mengalami rupture atau abortus
dahulu sehingga menimbulkan gejala. Dalam menegakkan diagnosis, dengan
anamnesis yang teliti dapat dipikirkan kemungkinan adanya kehamilan ektopik,
namun untuk menegakkan diagnosis pasti harus dibantu dengan pemeriksaan fisik
yang cermat dan dibantu dengan alat bantu diagnostik. Sekarang ini, peran alat
bantu diagnostik sangatlah penting, dan sudah merupakan sesuatu yang harus
dilakukan,apabila memang tersedia, untuk menentukan diagnosis.2

a. Anamnesis. Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan terlambat haid


untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif
kehamilan muda. Terdapat nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, dan
kadang-kadang tenesmus. Perdarahan pervaginam dapat terjadi, dan
biasanya terjadi setelah muncul keluhan nyeri perut bagian bawah, berapa
jumlah perdarahannya, warna dari darahnya, apakah mengalir seperti air
atau hanya seperti tetesan saja, dan apakah keluar gumpalan-gumpalan.
Ditanyakan juga riwayat kehamilan sebelumnya, bila sudah pernah
hamil, riwayat menstruasinya.2,4
b. Pemeriksaan umum. Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak
pucat dan kesakitan. Pada perdarahan dalam rongga perut aktif dapat
ditemukan tanda-tanda syok dan pasien merasakan nyeri perut yang
mendadak. Pada jenis yang tidak mendadak, mungkin hanya terlihat perut
bagian bawah yang sedikit menggembung dan nyeri tekan.2
c. Pemeriksaan ginekologi.
Pada pemeriksaan dalam mungkin ditemukan tanda-tanda kehamilan
muda. Perabaan serviks dan gerakkannya menyebabkan nyeri. Bila uterus
dapat diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang
teraba tumor disamping uterus dengan batas yang sukar ditentukan.
Kavum Douglas juga teraba menonjol dan nyeri raba yang menunjukkan
adanya hematokel retrouterina. Kadang terdapat suhu yang naik,
sehingga menyulitkan perbedaan dengan infeksi pelvik.2,4
d. Pemeriksaan laboratorium.Para dokter di ruang gawat darurat biasanya
menggunakan beta-human chorionic gonadotropin (β-hCG) untuk
mendiagnosis kehamilan, dan untuk membantu menentukan potensi
pasien mengalami kehamilan ektopik. β-hCG diproduksi oleh trofoblas
dan dapat dideteksi dalam serum pada kira-kira 1 minggu sebelum haid
berikutnya. Jika serum β-hCG negative, kemungkinan besar tidak
terjadi kehamilan. Hanya ada sedikit sekali kasus yang dilaporkan pasien
dengan tes serum β-hCG negative dengan kehamilan ektopik. Dinamika
normal kenaikan kadar β-hCG dua kali lipat kira-kira setiap 1,4 sampai
2,1 hari sampai mencapai puncaknya 100.000 mIU/ml. kenaikan ini akan
melambat bila sudah mencapai nilai puncaknya, dan pada saat itu sudah
harus dilakukan diagnosis dengan USG. Pemeriksaan tunggal tes β-hCG
kuantitatif ini berguna untuk mendiagnosis kehamilan, namun tidak dapat
membedakan antara kehamilan ektopik atau kehamilan intrauterine.
Pemeriksaan laboratorium umum lainnya adalah pemeriksaan darah rutin
untuk mengetahui kadar hemoglobin yang dapat rendah bila terjadi
perdarahan yang sudah lama. Juga dinilai kadar leukosit untuk
membedakan apakah terjadi infeksi yang bisa disebabkan oleh kehamilan
ektopik ini atau dugaan adanya infeksi pelvik. Pada infeksi pelvik
biasanya lebih tinggi hingga dapat lebih dari 20.000. 2,5

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diluar dari kemajuan teknologi sekarang ini, kehamilan ektopik sering


salah terdiagnosis pada saat kunjungan pertama pasien tentang keluhannya.
Diagnosis awal diperlukan untuk perawatan yang maksimal terhadap ketahanan
tuba dan mencegah potensi terjadinya perdarahan intraperitoneal. Atrash dkk.
Menemukan bahwa perdarahan menjadi penyebab terbesar (88%) kematian pada
kasus kehamilan ektopik. Pada saat ini, yang merupakan batu acuan untuk
mendiagnosis kehamilan ektopik adalah Transvaginal Ultrasonography dan
pemeriksaan kadar hCG serial. Transvaginal Ultrasonography sekarang ini telah
menggantikan posisi Laparaskopi karena lebih menguntungkan.8,9

Beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk membantu


mendiagnosis kehamilan ektopik adalah berikut ini :1,7

 Kuldosentesis
Sebelum adanya perkembangan dari sonografi pelvis, terutama transvaginal,
kuldosentesis merupakan salah satu alat bantu diagnosis yang penting untuk
mengenali kehamilan ektopik. Penemuan hasil darah yang tidak membeku
pada kuldosentesis dan terutama bila hematokrit lebih dari 15 % adalah
bantuan yang amat berguna.

 Laparaskopi
Diagnosis definitif dari kehamilan ektopik dapat hampir selalu ditegakkan
dengan melihat organ pelvis secara langsung melalui laparaskopi. Namun,
dengan adanya hemoperitoneum, adhesi, atau kegemukan dapat menjadi
penyulit dari laparaskopi.

Gambar 4 : Tehnk laparaskopi

Dalam penelitian oleh Samuellson dan Sjovall, didapatkan ada 4 dari 166
kehamilan ektopik yang tidak dapat dilihat oleh laparaskopis karena hal
diatas, sehingga ada kemungkinan 2-5 % terjadi false-positif atau false-
negatif.

 Human Chorionic Gonadotrophin


Wanita dengan kehamilan ektopik menunjukan adanya kadar hCG dalam
serum, walaupun 85% diantaranya lebih rendah dibandingkan dengan kadar
hCG pada kehamilan normal. Uji hCG tunggal kuantitatif tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis kehamilan ektopik karena tanggal pasti dari
ovulasi dan konsepsi terjadi tidak diketahui pada banyak wanita. Pada
kehamilan yang abnormal seperti kehamilan ektopik ini, kadar hCG biasanya
tidak meningkat seperti seharusnya. Kadar dkk. melaporkan bahwa jika
persentase kenaikan kadar hCG tidak lebih dari 66%, maka kemungkinan
seseorang untuk mempunyai kehamilan abnormal tinggi.

 Progesteron
Karena pemeriksaan kadar hCG secara tunggal tidak dapat memberikan
informasi untuk mendiagnosis kehamilan ektopik, sehingga membutuhkan
beberapa hari untuk melakukan serial tes, maka pengukuran kadar
progesterone serum tunggal oleh beberapa kelompok dapat dipakai untuk
membedakan kehamilan ektopik dengan kehamilan normal intrauterin.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa jumlah progesterone yang dihasilkan
korpus luteum pada kehamilan ektopik lebih sedikit dibandingkan dengan
korpus luteum pada kehamilan normal. Stern dkk. mengukur sampel kadar
progesterone pada beberapa wanita hamil di minggu gestasi ke 4, 5, dan 6.
Mereka melaporkan bahwa pada minggu ke-4 dengan kadar kurang dari 5
ng/ml, sensitifitas yang didapat 100% dan spesifitasnya 97% dan menurun
seiring meningkatnya umur gestasi. Bila kadar progesterone lebih dari 25
ng/ml menyingkirkan kehamilan ektopik dengan kepastian 97,4%.

 Ultrasonography
Dengan menggunakan ultrasonografi abdominal, Kadar dkk. melaporkan
pada tahun 1981 bahwa jika level hCG lebih besar dari 6500 mIU/ml dan
tidak ada kantong gestasi pada uterus, hampir pasti kehamilan ektopik. Tapi,
teknik ini tidak berguna secara klinik, karena banyak wanita (90%) dengan
kehamilan ektopik mempunyai level hCG yang jauh dibawah nilai diatas.

Perkembangan alat dengan transduser transvaginal dengan frekuensi 5.0


sampai 7.0 MHz, lebih mampu melihat lebih tepat organ pelvis pada awal
kehamilan dibandingkan transabdominal. Dengan alat ini biasanya mungkin
bisa untuk mengidentifikasi kantong gestasi intrauterine saat kadar hCG
mencapai 1500 mIU/ml dan selalu bila kadar hCG sudah mencapai 2000
mIU/ml pada sekitar 5 atau 6 minggu setelah haid terakhir. Karena
kombinasi kehamilan intrauterine dan ekstrauterin hampir merupakan
kejadian yang jarang, maka penemuan kantong gestasi intrauterine hampir
selalu dapat menyingkirkan adanya kehamilan ektopik. Bila kantong gestasi
tidak ditemukan dan kadar hCG lebih dari 1500 mIU/ml, lebih mungkin
terjadi kehamilan patologis, apakah itu kehamilan ektopik, atau suatu gestasi
intrauterine tidak viable, dan harus dipikirkan kemungkinannya. Biasanya
massa adneksa dan/atau struktur yang menyerupai kantong gestasi dapat
dikenali pada saluran telur saat kehamilan ektopik muncul yang
menghasilkan kadar hCG diatas 2500 mIU/ml.

Gambar 5 : Contoh gambaran USG kehamilan ektopik

Jadi kriteria diagnosis USG dengan menggunakkan transduser transvagina


untuk kehamilan ektopik termasuk : adanya komplek atau massa kistik
adneksa atau terlihatnya embrio di adneksa dapat dideteksi, dan/atau tidak
adanya kantong gestasi dimana diketahui bahwa usia gestasi sudah lebih dari
38 hari, dan/atau kadar hCG diatas ambang tertentu, biasanya antara 1500
dan 2500 mIU/ml.

 Dilatasi kuretase
Saat serum kadar hCG lebih dari 1500 mIU/ml, usia gestasi lebih dari 38
hari, atau serum kadar progesterone kurang dari 5 ng/ml dan tidak ada
kantong gestasi interauterin yang terlihat denga transvaginal USG, kuretase
kavum endometrial dengan pemeriksaan histologi pada jaringan yang
dikerok, dengan potong beku bila mau, dapat dikerjakan untuk menentukan
apakah ada jaringan gestasi. Spandorfer dkk. melaporkan bahwa potong beku
93 % akurat dalam mengenali villi koriales. Jika tidak ada jaringan villi
koriales yang terlihat pada jaringan yang diangkat, maka diagnosis
kehamilan ektopik dapat dibuat dan dilakukan tindakan.

2.8 PENATALAKSANAAN

Ada banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan ektopik,
yaitu terapi bedah dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi, namun hanya
bisa dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tidak ada bukti
adanya rupture atau ketidakstabilan hemodinamik. Namun pada pilihan ini pasien
harus bersedian diawasi secara lebih ketat dan sering dan harus menunjukkan
perkembangan yang baik. Pasien juga harus menerima segala resiko apabila
terjadi rupture harus dioperasi.2,8,6,10

2.9 TERAPI BEDAH

Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan membutuhkan


tindakan bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal (salpingektomi) atau
konservatif ( biasanya salpingotomi ) dan tindakan itu dilakukan dengan jalan
laparaskopi atau laparatomi. Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih
bila pasien secara hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan
laparaskopi, fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang, atau
ada hambatan teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus, pasien-
pasien ini membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak,
hanya beberapa kasus saja salpingotomi dapat dilakukan. Pada pasien kehamilan
ektopik yang hemodinamiknya stabil dan dikerjakan salpingotomi dapat
dilakukan dengan teknik laparaskopi. Salpingotomi laparaskopik diindikasikan
pada pasien hamil ektopik yang belum rupture dan besarnya tidak lebih dari 5 cm
pada diameter transversa yang terlihat komplit melalui laparaskop.12,13

Gambar 6 : Terapi bedah menggunakan tehnik laparatomi pada kehamilan


ektopik

Linier salpingektomi pada laparaskopi atau laparatomi dikerjakan pada


pasien hamil ektopik yang belum rupture dengan menginsisi permukaan
antimesenterik dari tuba dengan kauter kecil, gunting, atau laser. Kemudian
diinjeksikan pitressin dilute untuk memperbaiki hemostasis. Gestasi ektopik
dikeluarkan secara perlahan melalui insisi dan tempat yang berdarah di kauter.
Pengkauteran yang banyak didalaam lumen tuba dapat mengakibatkan terjadinya
sumbatan, dan untuk itu dihindari. Penyembuhan secara sekunder atau dengan
menggunakan benang menghasilkan hasil yang sama. Tindakan ini baik untuk
pasien dengan tempat implantasi di ampulla tuba. Kehamilan ektopik ini
mempunyai kemungkinan invasi trofoblastik kedalam muskularis tuba yang
lebih kecil dibandingkan dengan implantasi pada isthmus. 12

Gambar 7 : Linear salpingektomi di permukaan antimesenterik tuba pada


kehamilan ektopik di pars ampullaris.

Pasien dengan implantasi pada isthmus akan mendapatkan hasil yang lebih
baik dari reseksi segmental dan anastomosis lanjut. Bagaimanapun juga, jika
diagnosis ditegakkan lebih awal, maka pada tempat idthmus dapat dilakukan
salpingotomi. Pada kehamilan ektopik yang berlokasi pada ujung fimbriae, dapat
dilakukan gerakan seeperti memeras (milking) untuk mengeluarkan jaringan
trofoblastik melalui fimbriae.12
Gambar 8 : Kehamilan ektopik tuba kanan yang terlihat pada
laparaskopi.

Tuba kanan yang membesar karena terdapat kehamilan ektopik ada


disebelah kanan di E.

Tuba kiri yang tersumbat terlihat pada L- wanita ini pernah dilakukan
ligasi tuba

Secara umum, perawatan pada laparaskopi lebih cepat dan lebih sedikit
waktu yang hilang dalam penanganannya dibandingkan laparatomi. Parsial atau
total salpingektomi laparaskopik mungkin dilakukan pada pasien dengan
riwayat penyakit tuba yang masih ada dan diketahui mempunyai faktor resiko
untuk kehamilan ektopik. Komplikasi bedah yang paling sering adalah
kehamilan ektopik berulang (5-20 %) dan pengangkatan jaringan trofoblastik
yang tidak komplit. Disarankan pemberian dosis tunggal methotrexate post
operasi sebagai profilaksis para pasien resiko tinggi.6,10

2.10 TERAPI FARMAKOLOGI


Diagnosis dini yang telah dapat ditegakkan membuat pilihan pengobatan
dengan obat-obatan memungkinkan. Keuntungannya adalah dapat menghindari
tindakan bedah beserta segala resiko yang mengikutinya, mempertahankan
patensi dan fungsi tuba, dan biaya yang lebih murah. Zat-zat kimia yang telah
diteliti termasuk glukosa hiperosmolar, urea, zat sitotoksik ( misl: methotrexate
dan actinomycin ), prostaglandin, dan mifeproston (RU486). Disini akan
dibahas lebih jauh mengenai pemakaian methotrexate sebagai pilihan untuk
terapi obat.10

Penggunaan methotrexate pertama kali direkomendasikan oleh Tanaka dkk.


untuk kehamilan pada intersisial. Kemudian diikuti oleh Miyazaki (1983) dan
Ory dkk. yang menggunakannya sebagai terapi garis pertama pada kehamilan
ektopik. Sejak itu banyak dilaporkan pemakaian methotrexate pada berbagai
jenis kehamilan ektopik yang berhasil. Lalu, sengan semakin banyaknya
keberhasilan memakai obat, maka mulai diperbandingkan pemakaian
methotrexate dengan terapi utama salpingostomi.10

Perdarahan intra-abdominal aktif merupakan kontraindikasi bagi


pemakaian methotrexate. Ukuran dari massa ektopik juga penting dan oleh
Pisarska dkk. (1997) direkomendasikan bahwa methotrexate tidak digunakan
pada massa kehamilan itu lebih dari 4 cm. Keberhasilannya baik bila usia
gestasi kurang dari 6 minggu, massa tuba kurang dari 3,5 cm diameter, janin
sudah mati, dan β-hCG kurang dari 15.00 mIU. Menurut American College of
Obstetricians and Gynaecologist (1998), kontraindikasi lainnya termasuk
menyusui, imunodefisiensi, alkoholisme, penyakit hati atau ginjal, penyakit
paru aktif, dan ulkus peptik. 10

Methotrexate merupakan suatu obat anti neoplastik yang bekerja sebagai


antagonis asam folat dan poten apoptosis induser pada jaringan trofoblas. Pasien
yang akan diberikan methotrexate harus dalam keadaan hemodinamika yang
stabil dengan hasil laboratorium darah yang normal dan tidak ada gangguan
fungsi ginjal dan hati. Methotrexate diberikan dalam dosis tunggal (50 mg/m 2
IM) atau dengan menggunakan dosis variasi 1 mg/kgBB IM pada hari ke 1,3,5,7
ditambah Leukoverin 0,1 mg/kgBB IM pada hari ke 2,4,6,8. Setelah pemakaian
methotrexate yang berhasil, β-hCG biasanya menghilang dari plasma dalam
rata-rata antara 14 dan 21 hari. Kegagalan terapi bila tidak ada penurunan β-
hCG, kemungkinan ada massa ektopik persisten atau ada perdarahan
intraperitoneal.10

2.8 PROGNOSIS

Kematian ibu karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun


dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Namun bila pertolongan
terlambat, maka angka kematian akan meningkat. Sedangkan janin pada
kehamilan ektopik biasanya akan mati dan tidak dapat dipertahankan karena
tidak berada pada tempat dimana ia seharusnya tumbuh.11,12

Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat


bilateral. Sebagian wanita dapat menjadi steril setelah mengalami kehamilan
ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain.
Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0-14,6 %. Dengan
kemajuan terapi yang ada sekarang, kemungkinan ibu untuk dapat hamil
kembali membesar, namun ini harus didukung kemampuan untuk menegakkan
diagnosis dini sehingga dapat diintervensi secepatnya. 12
BAB III

KESIMPULAN

Kehamilan Ektopik ialah kehamilan dimana sel telur setelah dibuahi (fertilisasi)
berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri.
1. Kehamilan Ektopik Terganggu ialah kehamilan ektopik yang mengalami abortus atau
ruptur apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi
misalnya tuba.
2. Berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik Kesehatan diketahui bahwa pada tahun
2007 terdapat 20 kasus setiap 1.000 kehamilan menderita kehamilan ektopik atau
0,02%.
3. Beberapa faktor penyebab terjadinya kehamilan ektopik adalah faktor dalam lumen
tuba, faktor dinding tuba, faktor luar dinding tuba dan faktor lainnya.
4. Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri abdomen,
amenore, dan perdarahan pervaginam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sepilian, Vicken; Ellen W. Ectopic Pregnancy.


www.emedicine.com/health/topic3212.html
2. Wiknjosastro, Hanifa. Kehamilan Ektopik. Ilmu Kebidanan edisi ketiga.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.2005.hal 323-
338.
3. Wiknjosastro, Hanifa. Gangguan Bersangkutan Dengan Konsepsi. Ilmu
Kandungan edisi kedua. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Jakarta.2005.hal 250-260.
4. Wiknjosastro, Hanifa. Kehamilan Ektopik. Ilmu Bedah Kebidanan edisi
pertama. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.
2000.hal 198-210.
5. Della-Guistina, David; Mark Denny. Ectopic Pregnancy. Emergency
Medicine Clinics of North America. Volume 21 number 3. W.B Saunders
Company. August 2003.
6. Attar, Erkut. Endocrinology of Ectopic Pregnancy. Obstetric and
Gynecology Clinics. Volume 31 number 4. W.B Saunders Company.
December 2004.
7. Stenchever. Ectopic Pregnancy. Comprehensive Gynecology, 4th ed.
Mosby Inc. 2001.
8. Sowter, Martin; Cindy Farquhar. Ectopic Pregnancy: an update.
Current Opinion in Obstetrics and Gynecology. 2004, 16:289-293.
9. Lemus, Julio. Ectopic Pregnancy:an update. Current Opinion in
Obstetrics and Gynecology. 2000, 12:359-376.
10. Cunnuingham, FG et. Al. Reproductive Succes and Failure. Williams
Obstetrics, 21st ed. Prentice Hall International Inc. Appleton and Lange.
Connecticut. 2006.
11. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Kehamilan Ektopik. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo.Jakarta.2002.
12. Standar Tatalaksana Medis Rumah Sakit fatmawati. Kehamilan ektopik
Terganggu.Jakarta.2002
13. Depkes RI, 2007. Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai