Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH NYERI SENDI

(RHEUMATOID ARTHRITIS)
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakoterapi &
Terminologi Medik
Dosen Pengampu : Dr. Sri Haryanti, M.Si., Apt.

Disusun Oleh :
Fildzah Hasyati Adani 1061821014
Fransisca Claudia Kristi D.G. 1061822015
Kinanthi Sekartanjung Putri 1061821020
Vevi Lelyya 1061821035

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI”
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nyeri Sendi (Arthritis) adalah penyakit yang menyerang persendian dan
struktur di sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis.Salah satu jenis dari
penyakit athritis adalah Rheumatoid Arthritis. Rheumatoid Arthritis (RA) adalah
penyakit autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem
muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara
keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi
jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian
prematur (Mclnnes, 2011). Nyeri dapat muncul apabila adanya suatu rangsangan
yang mengenai reseptor nyeri. Penyebab RA belum diketahui secara pasti,
biasanya hanya kombinasi dari genetic, lingkungan, hormonal, dan faktor system
reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri,
mkroplasma dan virus (Yuliati, et al., 2013).
Rheumatoid arthritis menempati urutan pertama (44%) penyakit kronis yang
dialami oleh lansia. Penderita arthritis rheumatoid pada lansia diseluruh dunia
telah mencapai angka 355 juta jiwa, artinya 1 dari 6 lansia didunia ini menderita
reumatik. Diperkirakan angka ini terus meningkat hingga tahun 2025 dengan
indikasi lebih dari 25% akan mengalami kelumpuhan. Organisasi kesehatan dunia
(WHO) melaporkan bahwa 20% penduduk dunia terserang penyakit arthritis
rheumatoid,imana 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20% mereka
yang berusia 55 tahun (WHO, 2012). Di Indonesia sendiri, prevalensi penyakit ini
mencapai 23,6% hingga 31,3% (Depkes RI, 2006).Telah diketahui bahwa RA
adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila tidak dilakukan
penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang
progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuchs (2002), hanya
15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami
remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17%
dengan tanpa disabilitas.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari rheumatoid arthritis?
2. Bagaimana epidemiologi dan etiologi rheumatoid arthritis?
3. Apa saja faktor resiko dari rheumatoid arthritis?
4. Bagaimana patofisiologi dan manifestasi klinis rheumatoid arthritis?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang dan diagnosis rheumatoid arthritis?
6. Bagaimana tata laksana terapi non farmakologi dan farmakologi
rheumatoid arthritis?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari rheumatoid arthritis
2. Untuk mengetahui epidemiologi dan etiologi rheumatoid arthritis
3. Untuk mengetahui faktor resiko dari rheumatoid arthritis
4. Untuk mengetahui patofisiologi dan manifestasi klinis rheumatoid arthritis
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dan diagnosis rheumatoid
arthritis
6. Untuk mengetahui tata laksana terapi non farmakologi dan farmakologi
rheumatoid arthritis
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Rheumatoid Arthritis


Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada
beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit
RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus
perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia,2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan
“itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi.
Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam
sendi (Febriana,2015). Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi,
kecacatan dan banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi
dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai
kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik
yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat
untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).
2.2 Etiologi Rheumatoid Arthritis
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti,
namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi),
faktor metabolik, dan infeksi virus. Beberapa analisis genomik menunjukkan
bahwa etiologi rheumatoid arthritis dipengaruhi faktor regulasi imun yang
menjadi predisposisi penyakit ini, seperti seleksi sel T, presentasi antigen, atau
perubahan dalam afinitas peptida, yang secara autoreaktif memicu respon imun
adaptif. Salah satu faktor imunologi yang telah lama diketahui adalah
adanya human leukocyte antigen (HLA)-DRB1 yang ditemukan pada pasien
dengan temuan faktor rheumatoid atau ACPA positif.
2.3 Epidemiologi Rheumatoid Arthritis
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan
lainnya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar
1% pada kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar
0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar
1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-
50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survei
epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang
di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5%
di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA
merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan
Sadikin didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002
(Aletaha et al,2010).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data
terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah
kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203
dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009)
memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas
angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.
Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa RA adalah
peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke
tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu wilayah
pedesaan di Bali.
Klasifikasi rheumatoid arthritis menurut Buffer, 2010 dibagi menjadi 4
tipe, yaitu :
a) Rheumatoid arthritis klasik, pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus-menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.
b) Rheumatoid arthritis defisit, pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus-menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.
c) Rheumatoid arthritis probable, pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus-menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.
d) Rheumatoid arthritis possible, pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus-menerus, paling sedikit dalam
waktu 3 bulan.
2.4 Faktor Resiko Rheumatoid Arthritis
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan
menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi.
A. Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen
yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase
PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat
diantara populasi Eropa dan Asia. HLADRB1 terdapat di seluruh populasi
penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan
jarang pada populasi Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam
keluarga dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun penyakit
ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (Rheumatoid Arthritis
Juvenil). Dari semua faktor risiko untuk timbulnya RA, faktor ketuaan adalah
yang terkuat. Prevalensi dan beratnya RA semakin meningkat dengan
bertambahnya usia. RA hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia
dibawah 40 tahun dan sering pada usia diatas 60 tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio
3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas.
Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.
B. Dapat Dimodifikasi
1. Gaya hidup
a. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan
antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di Swedia
yang menyatakan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan perbedaan paparan
saat bekerja dengan risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok
tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok berhubungan
dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10
hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan dengan gen ACPA-positif RA
dimana perokok menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan
perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab namun
kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah makanan
yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison dkk, isu
mengenai faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu
lebar mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging
merah dapat meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan
memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi
kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas bagaimana
hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus
(EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial pada
pasien RA. Selain itu juga adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae,
Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,
pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko
pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan paparan silica.
2. Faktor hormonal Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko
RA yaitu pada perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi
ireguler, dan menarche usia sangat muda.
3. Bentuk tubuh Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki
Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari 30.

2.5 Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan


penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam
(usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan
bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah
dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun
komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus
awal mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi
terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan
teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling
terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas
selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran
ini, satu sama lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan
pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya.
Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan,
diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan
dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh
monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel
fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim
penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA


Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari
pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP
dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat
pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen
luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80%
penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada
hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat
pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana
diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra
dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam
patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang
pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis
adalah peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan
melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi,
mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali
dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran
sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan
granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan
berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui
enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di
samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi
sistemik yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat
penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi
hypothalamic-pituitaryadrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi
(Choy, 2012).

Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada


jaringan di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan
penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara
klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan
menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat
hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies.
Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena,
penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA
kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan
tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang
mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena
adanya Pannus (Putra dkk,2013).

2.6 Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis

Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau


bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan
tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi
(Putra dkk,2013).

1. Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun,
peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.

2. Kelainan sendi terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi
pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat
terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki.
Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi
di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.

3. Kelainan diluar sendi

a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)


b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40%
pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard
c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan
pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering terjadi
berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or
wrist drop
e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan
mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans.
f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali,
limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni

2.7 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid Arthritis

A. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP)
meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif
tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam
diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan
sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya
penyakit tidak konsisten
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi,
demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi
sendi.
B. Diagnosis

Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini
disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil
pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa.
Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat ukur
diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi
tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang digunakan
dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. Sebagai
contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas
hanya 54%. (Bresnihan, 2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association)
yang direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis
RA:

1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama1 jam
sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah
sendi atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal),
MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi
misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau
MTP (metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau
pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang
terlibat

Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas


dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain kriteria diatas,
dapat pula digunakan criteria diagnosis RA berdasarkan skor dari American
College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti
menderita RA. Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin memenuhi kriteria RA
secara prospektif (gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat
domain didapatkan dari riwayat penyakit) (Putra dkk,2013).

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa RA antara


lain,pemeriksaan serum untuk IgA, IgM, IgG , antibodi anti-CCP dan RF analisis
cairan sinovial, foto polos sendi, MRI, dan ultrasound (Longo, 2012).
2.8 Tata Laksana Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi

A. Terapi Farmakologi
Tujuan utama terapifarmakologi adalah untuk memicu remisi total dan
mengurangi aktivitas penyakit. Selain itu, terapi diharapkan dapat menghilangkan
inflamasi, mencegah deformitas,mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah
destruksi jaringan lebih lanjut (DiPiro, 2015)

Gambar 3. Algoritma Terapi Awal RA (DiPiro, 2015)

1. Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD)

Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD) memiliki potensi


untuk mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi
dan pada akhirnya mengurangi biaya perawatan dan meningkatkan produktivitas
pasien AR. Obat-obat DMARD yang sering digunakan pada pengobatan AR
adalah metotreksat (MTX), sulfasalazine, leflunomide, klorokuin, siklosporin,
azatioprin.

Semua DMARD memiliki beberapa ciri yang sama yaitu bersifat relatif
slowacting yang memberikan efek setelah 1-6 bulan pengobatan kecuali agen
biologik yang efeknya lebih awal. Setiap DMARD mempunyai toksisitas masing-
masing yang memerlukan persiapan dan monitor dengan cermat. Keputusan untuk
memulai pemberian DMARD harus dibicarakan terlebih dahulu kepada pasien
tentang risiko dan manfaat dari pemberian obat DMARD ini.Pemberian DMARD
bisa diberikan tunggal atau kombinasi. Pada pasien-pasien yang tidak respon atau
respon minimal dengan pengobatan DMARD dengan dosis dan waktu yang
optimal, diberikan pengobatan DMARD tambahan atau diganti dengan DMARD
jenis yang lain.

Gambar 3. Algoritma Terapi Lanjutan RA (DiPiro, 2015)

Prinsip-prinsip penggunaan DMARD

1. Semua pasien AR yang diagnosisnya sudah tegak harus mendapatkan DMARD


sedini mungkin kecuali ada kontra indikasi. Idealnya dalam waktu 3 bulan sejak
timbulnya gejala.

2. Penggunaan DMARD pada pasien yang hamil.

Sebagian besar pasien AR akan membaik selama kehamilan. Hasil observasidari


sejumlah penelitian didapatkan 60-94% AR akan mengalami perbaikan selama
kehamilan dan sebagian besar (74-76%) terjadi pada trimester pertama. Tetapi
kemudian terdapat risiko terjadi kekambuhan pada saat postpartum.Tidak
didapatkan peningkatan kejadian abortus atau kematian ibu hamil dengan AR.
Pengobatan AR dengan kehamilan merupakan masalah khusus, karena sebagian
besar obat-obat yang digunakan pada pengobatan AR(DMARD) belum terbukti
keamananya sehingga tidak bisa diberikan pada kehamilan. Berdasarkan laporan
penelitian pada pasien LES (Lupus Eritematosus Sistemik), klorokuin dan
azatioprin dapat diberikan kepada pasien yang hamil sehingga obat tersebut
dapatdipertimbangkan untuk diberikan pada pasien AR yang hamil.Kortikosteroid
merupakan obat yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada wanita hamil
dengan AR, tetapi perlu penilaian lebih cermat mengenai manfaat dan risikonya
sebelum memberikan obat ini.Pengelolaan pasien seperti ini perlu kerjasama yang
baik antara dokter kebidanan dan dokter ahli penyakit dalam konsultan
reumatologi.

3. Pemilihan jenis DMARD ditentukan oleh 3 faktor :


a. Faktor obat : efektivitasnya, kemudahan pemberian, sistem pemantauan, waktu
yang diperlukan sampai obat memberikan khasiat, kemungkinan efek samping
dan yang tidak kalah penting adalah biaya pengobatan.
b. Faktor pasien: kepatuhan pasien, komorbiditas, beratnya penyakit dan
kemungkinan prognosisnya.
c. Faktor dokter: kompetensi dalam pemberian dan pemantauan obat.
Tabel 1.DMARD yang digunakan pada pengobatan Rheumatoid Athritis

(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014)

2. DMARD Biologik

Masing-masing pasien mempunyai gambaran klinik dan aktivitas penyakit


yangberbeda-beda dengan beberapa pasien tidak menunjukkan respon yang
memuaskan bahkan dengan kombinasi DMARD nonbiologik.Dengan
ditemukannya agen biologik yang baru maka timbul harapan adanya kontrol
terhadap penyakit pada pasien-pasien tersebut. Semakin banyak bukti yang
menunjukkan efikasi agen Biologikyang lebih baik pada pengobatan AR, akan
tetapi respon pasien dan adanya efek samping obat dapat berbeda-beda.
Mengingat harga dan efek samping serius yang dapat timbul pada obat ini,
makapenggunaannya untuk penyakit reumatik seperti AR, artritis Psoriatik,
Spondilitis Ankilosa dan LES harus dilakukan oleh dokter konsultan rematologi
atau spesialis penyakit dalam yang sudah mendapat pelatihan khusus. Pasien yang
diberi obat ini seharusnya diberikan penjelasan yang memadai tentang risiko dan
anfmaat jangka panjang obat tersebut.Beberapa DMARD biologik dapat berkaitan
dengan infeksi bakterial yang serius, aktif kembalinya hepatitis B dan aktivasi
TB.Mengingat hal ini, perlu pemeriksaan awal dan pematauan yang serius untuk
infeksi.Khususnya untuk anti TNF-α, dimana Indonesia merupakan daerah
endemis untuk TB, maka skrining untuk TB harusdilakukan sebaik mungkin
(termasuk tes tuberkulin dan foto toraks). Efek samping DMARD biologik yang

lain adalah reaksi infus, gangguan neurologis, reaksi kulit dan keganasan.

(Perhimpunan
Tabel 2. DMARD Biologik yang digunakan Reumatologi
untuk pengobatan Indonesia,
Rheumatoid 2014)
Athritis
3. Kortikosteroid

Kortikosteroid memiliki daya anti-inflamasi dan imunosupresan. Obat


jenis ini dapat mengintevensi adanya antigen pada limfosit T, menghambat
sintesis prostaglandin dan leukotriene, serta menghambat neutrophil dan monosit
radikal. Kortikosteroid oral (prednisone dan metilprednisolon) dosis
rendah/sedang bisa menjadi bagian dari pengobatan AR sebagai pengontrol nyeri
dan sinovitis, tapi sebaiknya dihindari pemberian bersama OAINS sambil
menunggu efek terapidari DMARDS. Berikan kortikosteroid dalam jangka waktu
sesingkat mungkin dandosis serendah mungkin yang dapat mencapai efek klinis.
Dikatakan dosis rendah jika diberikan kortiksteroid setara prednison < 7,5 mg
sehari dan dosis sedang jika diberikan7,5 mg – 30 mg sehari. Selama penggunaan
kortikosteroid harus diperhatikan efeksamping yang dapat ditimbulkannya seperti
hipertensi, retensi cairan, hiperglikemi,osteoporosis, katarak dan kemungkinan
terjadinya aterosklerosis dini.

4. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)/NSAID bekerja dengan


menghambat sintesis prostaglandin.Obat-obat ini memiliki efek analgesik dan
anti-inflamasi, dapat diberikan dengan dosis efektif serendah mungkin dalam
waktu sesingkat mungkin. Perlu diingat bahwa OAINS tidak mempengaruhi
perjalanan penyakit ataupun mencegah kerusakan sendi. Pemilihan OAINS yang
digunakan tergantung pada biaya dan efek sampingnya. Cara penggunaan,
monitor dan cara pencegahan efek samping dapat dilihat lebih detail pada
rekomendasi penggunaan OAINS. Kombinasi 2 atau lebih OAINS harus dihindari
karena tidak menambah efektivitas tetapi meningkatkan efek samping
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014).
Tabel 3.Regimen Dosis OAINS (DiPiro, 2015)

5. Pembedahan

Tindakan bedah perlu dipertimbangkan pada pasien AR yang tetap


mengalami sinovitis refrakter terhadap pengobatan, serta pasien yang mengalami
keterbatasan gerak (memburuknya fungsi sendi akibat kerusakan
sendi/deformitas). Pasien yang mengalami nyeri yang terus menerus yang tidak
dapat dikendalikan dengan obat juga perlu dikonsultasikan dengan spesialis
bedah. Pertimbangkan juga konsultasi dengan spesialis bedah untuk mencegah
kerusakan/ cacat yang ireversibel pada pasien dengan ruptur tendon yang nyata,
kompresi saraf (misalnya sindrom carpal tunnel) dan fraktur tulang belakang.
Jelaskan pada pasien mengenai manfaat yang dapat diharapkan dari tindakan
operasi yaitu meredakan nyeri, memperbaiki fungsi sendi atau pencegahan
kerusakan/deformitas sendi lebih lanjut. Tindakan sinovektomi yang dilakukan
pada sinovitis persisten dapat juga dilakukan dengan cara non bedah yaitu dengan
menggunakan radioisotope (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014).

B. Terapi Non Farmokologi

Terapi non-farmakologi untuk rheumatoid arthritis meliputi latihan, istirahat,


pengurangan berat badan dan pembedahan (Shiel, 2011).

(1). Latihan

Penelitian menunjukkan bahwa olahraga sangat membantu mengurangi


rasa sakit dan kelelahan pada pasien rheumatoid arthritis serta meningkatkan
fleksibilitas dan kekuatan gerak. Tiga jenis olahraga yang disarankan adalah
latihan rentang gerak, latihan penguatan dan latihan daya tahan (aerobik). Aerobik
air adalah pilihan yang sangat baik karena dapat meningkatkan jangkauan gerak
dan daya tahan, juga dapat menjaga berat badan dari sendi-sendi tubuh bagian
bawah (Shiel,2011).

(2). Istirahat

Istirahat merupakan komponen esensial pada terapi non-farmakologi RA.


Istirahat dapat menyembuhkan stres dari sendi yang mengalami peradangan dan
mencegah kerusakan sendi yang lebih parah. Tetapi terlalu banyak istirahat
(berdiam diri) juga dapat menyebabkan imobilitas, sehingga dapat menurunkan
rentang gerak dan menimbulkan atrofi otot. Pasien hendaknya tetap menjaga
gerakan dan tidak berdiam diri terlalu lama. Dalam kondisi yang mengharuskan
pasien duduk lama, pasien mungkin dapat beristirahat sejenak setiap jam,
berjalan-jalan sambil meregangkan dan melenturkan sendi (Schuna, 2008).

(3). Pengurangan berat badan

Menurunkan berat badan dapat membantu mengurangi stres pada sendi


dan dapat mengurangi nyeri. Menjaga berat badan tetap ideal juga dapat
mencegah kondisi medis lain yang serius seperti penyakit jantung dan diabetes.
Pasien hendaknya mengkonsumsi makanan yang bervariasi, dengan
memperbanyak buah dan sayuran, protein tanpa lemak dan produk susu rendah
lemak. Berhenti merokok akan mengurangi risiko komplikasi rheumatoid arthritis
(Shiel, 2011).

BAB III

KASUS DAN ANALISIS SOAP

3.1 Kasus

Seorang pasien bernama Ny. A umur 60 tahun datang ke apotek dengan


membawa resep dokter. Hasil wawancara apoteker dengan pasien, pasien
mengeluhkan nyeri pada persendian lutut dan jari tangan disertai demam,
mengalami pembengkakan pada daerah nyeri. Pasien didiagnosa menderita
Rheumatoid arthritis.

3.2 Analisis SOAP


1. Subjek
 Nama : Ny A
 Umur : 60 tahun
 Berat Badan :-
 Keluhan : Nyeri dan bengkak pada lutut dan jari tangan,
demam.
 Riwayat :-
 Diagnosis : Rheumatoid arthritis
2. Objek : tidak ada tanda-tanda vital dan data lab yang
menunjang

3. Assesment :

Nama Obat Analisis

Sulfasalazin  Indikasi :
kondisi autoimun, seperti rheumatoid atrhitis dan
lupus eritomatosus.
 Dosis :
2 x 500 mg/hari.
 Mekanisme :
Menghambat angiogenesis dan migrasi PMN
(Polymorphonuclear Neutrofil).
 Efek Samping :
Mual dan muntah, nyeri kepala, ruam, supresi sumsum
tulang

Meloxicam  Indikasi :
Nyeri dan radang pada penyakit reumatik, osteoatritis
yang memburuk (jangka pendek).
 Dosis :
RA: 1 x 7,5 -15 mg/hari
 Mekanisme :
Menghambat sintesis prostaglandin dengan hambatan
pada enzim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakidonat menjadi PGG2 terganggu.
 Efek Samping :
Diskrasia darah, reaksi anafilaktik, serangan asma,
hipersensitivitas kulit.

Omeprazole  Indikasi :
Tukak lambung, tukak duodenum, GERD,
hipersekresi patologis.
 Dosis :
1x20 mg/hari
 Mekanisme :
Menghambat kerja enzim K+H+ATPase yang akan
memecah K+H+ATP menghasilkan energy yang
digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari sel
parietal ke dalam lumen lambung.
 Efek Samping :
Urtikaria, mual dan muntah, nyeri abdomen,
konstipasi, mulut kering.

Paracetamol  Indikasi :
Nyeri ringan sampai sedang, demam.
 Dosis :
500 mg-1000 mg, diberikan 4-6 jam. Maksimum 4
gram/hari

 Mekanisme :
Bekerja pada pusat pengatur suhu di hipotalamus
untuk menurunkan suhu tubuh. Menghambat sintesis
prostaglandin sehingga dapat mengurangi nyeri
ringan-sedang.

 Efek Samping :
Reaksi alergi, ruam kulit, hipotensi, kerusakan hati.

Azithromycin  Indikasi:
Infeksi yang disebabkan oleh organisme yang peka.
Infeksi saluran nafas, infeksi kulit dan jaringan lunak.
 Dosis:
1x 500 mg/hari
 Mekanisme:
Menghambat sintesis protein bakteri dengan cara
berikatan secara reversible dengan ribosom subunit
50S, umumnya bakteriostatik.
 Mual, muntah, kembung, nefritis, sakit kepala.

3.3 Drug Related Problem


DRP ada indikasi tidak ada obat : -
DRP tidak ada indikasi ada obat : Omeprazole tidak ada indikasi
DRP obat kurang tepat :-
DRP dosis obat berlebih : Dosis omeprazole berlebih 2x20 mg,
seharusnya 1x20 mg
DRP dosis obat kurang :
DRP efek samping obat : Efek samping meloxicam yaitu
mengiritasi lambung
DRP interaksi obat :
 Meloxicam dengan sulfasalazine, meningkatkan efek sulfasalazine.

4. Plan :
 Omeprazole digunakan untuk mengobati atau mengurangi efek
samping meloxicam (NSAID) yaitu menyebabkan iritasi lambung,
sehingga diberikan omeprazole.
 Menurunkan dosis omeprazole menjadi 1x20 mg sehari sebelum
makan.
 Pemantauan efek samping obat meloxicam.
 Pemantauan efek sulfasalazine dan tanda-tanda ketoksikan.
5. KIE :
a) Istirahat yang cukup
b) Olahraga ringan untuk melatih fleksibilitas sendi
c) Menjaga fungsi sendi, tidak terlalu banyak bergerak/ memperberat
kerja sendi
d) Mengkonsumsi obat secara rutin
e) Terapkan pola makan sehat
f) Hindari makanan berlemak dan tinggi gula
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya


belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada
beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular.
2. Klasifiasi rheumatoid arthritis diantaranya adalah klasik, deficit,
probable, dan possible.
3. Faktor resiko rheumatoid arthritis diantaranya adalah faktor genetic,
usia, dan gaya hidup.
4. Manifestasi klinis rheumatoid arthritis yaitu keluhan umum, kelainan
sendi, dan kelainan di luar sendi.
5. Pemeriksaan penunjang rheumatoid arthritis dapat meliputi
6. Terapi farmakologi rheumatoid arthritis meliputi Disease Modifying
Anti Rheumatic Drugs (DMARD), DMARD biologik, kortikosteroid,
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), dan pembedahan.
7. Terapi non farmakologik meliputi

4.2 Saran

Penanganan nyeri sendi (rheumatoid arthritis) harus mengetahui efek


samping dan kontrainsikasi pada obat yang dikonsumsi. Selain obat, juga harus
mengetahui riwayat penyakit serta obat-obat yang pernah dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti, N, F. 2009. Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Rheumatoid Arthritis


Di Panti Sosial Tresna Werdha (pstw) Budi Mulya 1 Cipayung Jakarta Tahun
2009. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. 2010.
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative.
Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81.

Bodamyali T, Kancler JM, Millar TM, Blake DR, Stevens CR. 2002. Free
radicals in rheumatoid arthritis: Mediators and modulators. Di dalam: Redox
Genome interaction in Health and Disease. Ed J. Fuchs, M. Podda, L. Packer.
New York: Marcel Dekker.

Bresnihan B. 2002. Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The


Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12

Buffer. 2010. Rheumatoid Arthritis. http://www.rheumatoid_arthritis.net/

Choy E. 2012. Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The


Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the
British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11

DiPiro, Joseph T., Dipiro, Cecily V., Wells, Barbara G., Schwinghammer, Terry
L. 2015. Pharmacitherapy Handbook: Ninth Edition. US: McGraw-Hill
Education

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien
Penyakit Arthristis Rematik. Jakarta: Depkes RI.

Febriana. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis


Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
McInnes I.B., Schett G., 2011. Mechanisms of Disease:The Pathogenesis of
Rheumatoid Arthritis. The New England Journal of Medicine. 365:2205- 19

Nainggolan,Olwin. 2009. Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di


Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2014. Rekomendasi Perhimpunan


Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.

Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. 2013. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu


Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. 2013. Keluhan-Keluhan


Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu Wilayah
Pedesaan di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48.

Yuliati, Agrina dan Misrawati.2013. Gambaran Pengetahuan Keluarga tentang


Pengobatan Rematik dengan Air Rebusan Jahe di Kelurahan Meranti Pandak
Wilayah Kerja Puskesmas Rumbai. Laporan Penelitian. Riau: Program Studi
Ilmu Keperawatan Universitas Riau.

Sjamsuhidajat R. Dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC

Shiel, Jr.W.C. 2011. Rheumatoid Arthritis


http://www.emedicinehealth.com/rheumatoid_arthritis/article_em.htm,

Schuna, A.A., in Rheumatoid Arthritis, Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C.
Matzke, G.R., Wells, B.G. and Posey, L.M., (Eds), 2008, Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach, Seventh Edition, 1505-1515, McGraw Hill, Medical
Publishing Division, New York.

Harms, R.W., 2009. Rheumatoid Arthritis, http://www.mayoclinic.com


/health/rheumatoid-arthritis/DS00020/DSECTION=treatments-and-drugs

Anda mungkin juga menyukai