Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENYAKIT KULIT

Terapi Cuci Muka


Cuci muka dengan air hangat 2 kali

Nonfarmakologi
sehari dan sedikit mungkin dengan
sabun lembut. Dikeringkan dengan
lembut, jangan digosok.

Sifat jerawat adalah kumat-kumatan


dan kita tidak dapat menghilangkan
jerawat dari tubuh, namun kita
hanya dapat mengontrol jerawat. Kontak dengan tangan
Jangan memijat atau menggaruk
jerawat dengan tangan karena
dapat merusak kulit dengan
terjadinya infeksi, meradang, dan
meninggalkan bekas.

Konsumsi Makanan
Diet makanan berlemak, makan
makanan berserat seperti sayuran
dan buah-buahan.

JERAWAT
(ACNE VULGARIS)
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakoterapi & Terminologi
Medik
Dosen Pengampu :Dr. Sri Haryanti, M.Si., Apt.

Disusun Oleh :

Ariyani Faizatus Solihah 1061811015


Diah ayu A 1061822011
Rizki nur khasanah 1061821029

1
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI” SEMARANG
2019

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Jerawat atau acne vulgaris adalah penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada
pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja (Movita, 2013). Acne memiliki gambaran
klinis beragam, mulai dari komedo, papul, pustul, hingga nodus dan jaringan parut (Cunliff
and Gollnick, 2001). Tempat predileksi jerawat adalah muka, bahu, dada, punggung, leher,
dan lengan (Wasitaatmadja, 2011). Acne Vulgaris merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh
banyak faktor, yaitu faktor genetik, lingkungan, hormonal, stres, makanan, kosmetik, dan
obat-obatan (Djatmiko, 2012).
Onset acne pada perempuan lebih awal daripada laki-laki karena masa pubertas
perempuan umumnya lebih dulu daripada laki-laki. Prevalensi acne pada masa remaja cukup
tinggi, yaitu berkisar antara 47-90% selama masa remaja (Cunliff and Gollnick,2001).
Perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik memiliki prevalensi acne tinggi, yaitu 37% dan
32%, sedangkan perempuan ras Asia 30%, Kaukasia 24%, dan India 23%. Pada ras Asia, lesi
infl amasi lebih sering dibandingkan lesi komedonal, yaitu 20% lesi infl amasi dan 10% lesi
komedonal. Tetapi pada ras Kaukasia, acne komedonal lebih sering dibandingkan acne infl
amasi, yaitu 14% acne komedonal, 10% acne inflamasi (Preknis dkk., 2011). Penelitian
Tjekyan (2008) membuktikan bahwa hampir setiap orang pernah mengalami acne vulgaris
dan biasanya dimulai ketika pubertas, dari survey di kawasan Asia Tenggara terdapat 40-80%
kasus acne vulgaris sedangkan menurut catatan studi dermatologi kosmetika Indonesia
menunjukan yaitu 60% penderita akne vulgaris pada tahun 2006, 80% terjadi pada tahun
2
2007 dan 90% pada tahun 2009. Prevelansi tertinggi yaitu pada umur 14-17 tahun, dimana
pada wanita berkisar 83-85% dan pada pria yaitu pada umur 16-19 tahun berkisar 95-100%.
Pada umumnya banyak remaja yang bermasalah dengan Akne vulgaris.

1.1 Rumusan masalah


1. Apa pengertian dari acne vulgaris?
2. Bagaimana epidemiologi dan etiologi acne vulgaris?
3. Apa saja faktor resiko dari acne vulgaris?
4. Bagaimana patofisiologi dan manifestasi klinis acne vulgaris?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang dan diagnosis acne vulgaris?
6. Bagaimana tata laksana terapi non farmakologi dan farmakologi acne vulgaris?

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari acne vulgaris
2. Untuk mengetahui epidemiologi dan etiologi acne vulgaris
3. Untuk mengetahui faktor resiko dari acne vulgaris
4. Untuk mengetahui patofisiologi dan manifestasi klinis acne vulgaris
5. Untuk mengetahuipemeriksaan penunjang dan diagnosis acne vulgaris
6. Untuk mengetahuitata laksana terapi non farmakologi dan farmakologi acne vulgaris

3
BAB II
ISI

2.1 Pengertian jerawat atau acne vulgaris


Jerawat atau acne vulgaris adalah penyakit peradangan kronis pada folikel
pilosebasea, ditandai dengan adanya lesi polimorfik berupa komedo, papul, pustul, nodus,
dan kista di tempat predileksi. Kadang-kadang terdapat rasa gatal ringan. Akne yang sembuh
dapat meninggalkan sekuele berupa makula hiper/hipopigmentasi atau jaringan parut
hiper/hipotrofi (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia, 2017).
Jenis-jenis jerawat terbagi menjadi lima jenis, diantaranya:
1. Komedo tertutup (white-head)
Komedo tertutup adalah jerawat yang bentuknya seperti tonjolan yang berwarna
putih kekuningan. Komedo tertutup merupakan kelainan berupa bintil kecil dengan
lubang kecil atau tanpa lubang karena sebum yang biasanya disertai bakteri menumpuk di
folikel kulit dan tidak bisa keluar. Komedo tertutup lebih mudah diraba dari pada dilihat.
Komedo ini berupa papula yang sangat kecil dengan titik atau penonjolan ditengah,
paling banyak terdapat di dahi dan pipi (Graham da Burns, 2002).

Gambar 1. Komedo tertutup (Kusantati,2008)

2. Komedo terbuka (black-head)


Menurut Prianto (2014) Komedo terbuka disebabkan oleh pelebaran dari folikel
rambut yang disebabkan oleh sel keratin yang menumpuk disertai minyak dari kelenjar
sebum. Warna hitam yang terlihat disebabkan pigmen yang terdapat dalam sel kulit mati
tersebut bercampur sejumlah kotoran yang terdapat disekitar lubang atas folikel rambut
(pori- pori kulit wajah).

Gambar 2. Komedo terbuka (Kusantati, 2008)


3. Papula
4
Papula adalah jerawat yang berbintik kecil berwarna merah (Graham dan Burns,
2002). Papula terjadi ketika dinding folikel rambut mengalami kerusakan atau pecah
sehingga sel darah putih keluar dan terjadi inflamasi di lapisan dalam kulit. Papula
berbentuk benjolan-benjolan lunak kemerahaan di kulit tanpa memiliki kepala.

Gambar 3. Pustula (Kusantati, 2008)


4. Pustule
Pustule adalah benjolan meradang berisi nanah. Pustule terjadi beberapa hari
kemudian ketika sel darah putih keluar ke permukaan kulit. Pustule berbentuk benjolan
merah dengan titik putih atau kuning di tengahnya yang mengandung sel darah putih.
Jenis jerawat yang akan diberi perlakuan yaitu jenis jerawat pustule karena jenis ini
mengalami pertumbuhan bakteri sangat banyak hingga bernanah. Selain itu, proses
penyembuhannya lebih dapat diamati dari pada jenis jerawat lain (Graham dan Burns,
2002).

Gambar 4. Pustule (Kusantati, 2008)


5. Nodula/Kista
Semakin bertambahnya peradangan dan semakin bertambah dalamnya peradangan,
maka makin bertambah besar jerawat yang dapat dilihat dan diraba yang berakibat pada
terbentuknya nodul/kista yang sangat dalam (Graham dan Burns, 2002). Nodula/Kista
adalah benjolan keras dan besar di bawah kulit. Bila folikel pecah di dasarnya maka
terjadi benjolan radang yang besar yang sakit bila disentuh. Nodula/Kista biasanya terjadi
akibat rangsang peradangan oleh fragmen rambut yang berlangsung lama.

5
Gambar 5. Klasifikasi acne berdasarkan jumlah dan tipe lesi (Dipiro, 2008)

2.2 Epidemiologi
Secara global, Acne vulgaris merupakan penyakit kulit yang paling umum di derita
oleh masyarakat. Saat ini tidak begitu banyak sumber yang memuat mengenai prevalensi
acne vulgaris di seluruh penjuru dunia. Di Inggris, 85 % dari penduduk usia 12-24 tahun
menderita acne vulgaris (Ismail, 2012). Onset acne pada perempuan lebih awal daripada laki-
laki karena masa pubertas perempuan umumnya lebih dulu daripada laki-laki. Prevalensi acne
pada masa remaja cukup tinggi, yaitu berkisar antara 47-90% selama masa remaja maupun
menjelang dewasa. Perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik memiliki prevalensi acne
tinggi, yaitu 37% dan 32%, sedangkan perempuan ras Asia 30%, Kaukasia 24%, dan India
23%. Pada ras Asia, lesi inf amasi lebih sering dibandingkan lesi komedonal, yaitu 20% lesi
inf amasi dan 10% lesi komedonal (Perknis dkk., 2017).

2.3 Etiologi
Penyebab utama acne belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga pertumbuhan acne
vulgaris disebabkan oleh berbagai faktor seperti herediter, endokrin (androgen, pituitary
sebotropic), faktor makanan (diet), keaktifan dari kelenjar sebasea, faktor psikis / stres, iklim,
infeksi bakteri (Propionibacterium acnes), kosmetika, dan bahan kimia yang lain (Alexander,
2015). Walaupun banyak literatur yang menyebutkan bahwa terjadinya acne vulgaris karena
multifaktorial, namun faktor kebersihan tidak dapat dipisahkan pada kejadian acne vulgaris.

2.4 Faktor resiko jerawat atau acne vulgaris


a. Sebum
Merupakan faktor utama penyebab timbulnya akne. Produksi sebum dipengaruhi
oleh diet/makanan tinggi lemak, karbohidrat, yodium, alkohol dan makanan pedas.

6
Pemakaian kosmetik seperti krim muka, pelembab, sunscreen, minyak rambut juga
berperan dalam meningkatkan produksi sebum (Cordain et al., 2002).
b. Genetik
Faktor herediter yang sangat berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar glandula
sebasea. Apabila kedua orang tua mempunyai parut bekas akne, kemungkinan besar
anaknya akan menderita akne (Efendi, 2003).
c. Usia
Umumnya insiden terjadi sekitar umur 14–17 tahun pada wanita, 16–19 tahun pada
pria dan pada masa itu lesi yang predominan adalah komedo dan papula dan jarang
terlihat lesi berat pada penderita (Efendi, 2003).
d. Psikis
Pada beberapa penderita, stres dan gangguan emosi dapat menyebabkan eksaserbasi
akne. Stress akan mengakibatkan teraktivasinya HPA (Hypothalamus Pituitary Axis).
Stresor psikologis menghasilkan perasaan emosional : gelisah, takut, marah, frustasi,
depresi, dan sebagainya, dimana timbulnya dan besarnya perasaan tersebut bergantung
pada penilaian seseorang terhadap suatu keadaan. Kondisi stres tersebut selain dapat
memicu timbulnya akne vulgaris juga dapat memperberat kondisi akne vulgaris yang
sudah ada (Rahmawati, 2012).
e. Hormon endokrin:
1) Androgen
Konsentrasi testosteron dalam plasma penderita akne pria tidak berbeda
dengan yang tidak menderita akne. Berbeda dengan wanita, pada testosteron plasma
sangat meningkat pada penderita akne (Finaly, 2004). Hormon androgen memegang
peranan penting karena hormon ini dapat mempengaruhi aktifitas kelenjar sebasea dan
proliferasi dari sel keratinosit. Hormon androgen dapat meningkatkan produksi sebum
dan hiperkeratinosit pada folikel yang dapat memicu sumbatan pada saluran sebasea.
Hal ini yang dapat memicu timbunnya akne vulgaris.
2) Estrogen
Pada keadaan fisiologi, estrogen tidak berpengaruh terhadap produksi sebum.
Estrogen dapat menurunkan kadar gonadotropin yang berasal dari kelenjar hipofisis.
Hormon gonadotropin mempunyai efek menurunkan produksi sebum (Finaly, 2004).

7
3) Progesteron
Progesteron, dalam jumlah fisiologi tidak mempunyai efek efektivitas
terhadap kelenjar lemak. Pada siklus menstruasi sebum akan tetap diproduksi, akan
tetapi kadang-kadang progesteron dapat menyebabkan akne premenstrual (Folkman,
2001). Pada 60-70% wanita, lesi akne menjadi lebih aktif kurang lebih satu minggu
sebelum haid karena hormon progesteron. Estogen dalam keadaan tertentu seperti
pada saat selesai masa haid dapat menekan pertumbuhan akne vulgaris. Karena pada
saat masa haid selesai terjadi peningkatan kadar hormon estrogen. Peningkatan
hormon androgen dan progesteron secara tidak langsung meningkakan insidensi
timbulnya akne vulgaris sedangkan peningkatan hormon estrogen dapat menurunkan
timbulnya akne vulgaris (Gunawan, 2007).
f. Iklim
Di daerah yang mempunyai empat musim, biasanya akne bertambah hebat pada
musim dingin, sebaliknya kebanyakan membaik pada musim panas. Bertambah hebatnya
akne pada musim panas tidak disebabkan oleh sinar UV melainkan oleh banyaknya
keringat pada keadaan yang sangat lembab dan panas tersebut (Brown dan Burns, 2005).
g. Kosmetika
Pemakaian bahan-bahan kosmetika tertentu seperti, bedak dasar (faundation),
pelembab (moisturiser), krim penahan sinar matahari (sunscreen), dan krim malam secara
terus menerus dalam waktu lama dapat menyebabkan suatu bentuk akne ringan yang
terutama terdiri dari komedo tertutup dan beberapa lesi papulapustular pada pipi dan dagu
(American family physician, 2004).

2.5 Patogenesis
Patogenesis acne meliputi empat faktor, yaitu hiperproliferasi epidermis folikular
sehingga terjadi sumbatan folikel, produksi sebum berlebihan, inflamasi, dan aktivitas
Propionibacterium acnes (P. acnes). Androgen berperan penting pada patogenesis acne
tersebut. Acne mulai terjadi saat adrenarke, yaitu saat kelenjar adrenal aktif menghasilkan
dehidroepiandrosteron sulfat, prekursor testosteron (Movita, 2013). Penderita acne memiliki
kadar androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal,
meskipun kadar androgen serum penderita acne masih dalam batas normal. Androgen akan
meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan merangsang produksi sebum, selain itu juga
merangsang proliferasi keratinosit pada duktus seboglandularis dan akroinfundibulum.

8
Hiperproliferasi epidermis folikular juga diduga akibat penurunan asam linoleat kulit
dan peningkatan aktivitas interleukin 1 alfa. Epitel folikel rambut bagian atas, yaitu
infundibulum, menjadi hiperkeratotik dan kohesi keratinosit bertambah, sehingga terjadi
sumbatan pada muara folikel rambut, selanjutnya di dalam folikel rambut tersebut terjadi
akumulasi keratin, sebum, dan bakteri, dan menyebabkan dilatasi folikel rambut bagian atas,
membentuk mikrokomedo. Mikrokomedo yang berisi keratin, sebum, dan bakteri, akan
membesardan ruptur. Selanjutnya, isi mikrokomedo yang keluar akan menimbulkan respon
inflamasi. Akan tetapi, terdapat bukti bahwa inflamasi dermis telah terjadi mendahului
pembentukan komedo (Movita, 2013).

Gambar 6. Proses terjadinya acne (Adhi dkk.,2008)

2.6 Manifestasi klinik


Acne vulgaris mempunyai predileksi di wajah dan leher (99%), punggung (66%).
Dada (15%), serta bahu dan lengan atas. Lokasi yang paling sering adalah pada bagian wajah
(85%). Kadang pasien mengeluh gatal dan nyeri. Efloresensi acne terbagi mejadi (Movita,
2017) :
-lesi non inflamasi : berupa komedo terbuka, komedo tertutup
-lesi inflamasi : berupa papul, pustul, nodul dan kista

2.7 Diagnosis
a. Erupsi Akneiformis
Erupsi Akneiformis disebabkan oleh obat (kortikosteroid, INH, barbiturat, yodida,
bromida, difenil hidantoin, dll). Berupa erupsi papulo pustul mendadak tanpa adanya
komedo dihampir seluruh tubuh, dapat disertai demam (Cunliffe dan Gollnick, 2001).
b. Akne Rosasea
9
Akne Rosasea adalah peradangan kronis kulit, terutama wajah dengan predileksi
dihidung dan pipi. Gambaran klinis akne rosasea berupa eritema, papul, pustul, nodul,
kista, talengiektasi dan tanpa komedo (Sukanto, dkk., 2005)
c. Dermatitis Perioral
Dermatitis perioral adalah dermatitis yang terjadi pada daerah sekitar mulut sekitar
mulut dengan gambaran klinis yang lebih monomorf (Baumann dkk., 2009).
d. Moluskulum kontagiosum
Moluskulum kontagiosum Merupakan penyakit virus, bila lesinya di daerah seborea
menyerupai komedo tertutup (Nguyen dkk., 2007).
e. Folikulitis
Folikulitis Peradangan folikel rambut yang disebabkan oleh Staphylococcus sp.
Gejala klinisnya rasa gatal dan rasa gatal di daerah rambut berupa makula eritem disertai
papul atau pustul yang ditembus oleh rambut (Gabrielli dkk., 2012)

Berbagai gambaran klinis pada akne vulgaris dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Minyak yang berlebihan pada kulit
2. Lesi non-inflamasi, komedo terbuka (blackhead) dan tertutup komedo (whitehead)
3. Lesi inflamasi, termasuk papula dan pustula
4. Jaringan parut dari berbagai tingkat keparahan
5. Pigmentasi post-inflamasi

2.8 Tatalaksana terapi farmakologi dan terapi non farmakologi

10
Gambar 7. Algoritma Acne Treatment (Dipiro, 2008)
1. Terapi Farmakologi
Agen Topikal (First-Line Terapi)
 TRETIONIN
Tretinoin (retinoid, topikal asam vitamin A) adalah agen komedolitik yang dapat
meningkatkan pergantian sel di dinding folikel dan mengurangi kekompakan sel,
menyebabkan ekstruksi komedo dan penghambatan pembentukan komedo baru.
Tretinoin tersedia dalam bentuk solutio 0,05%, gel 0,01% dan 0,025%, serta dalam
bentuk krim 0,025%, 0,05%, dan 0,1%.
Efek samping yang dapat terjadi yaitu iritasi kulit, eritema, pengelupasan, alergi
kontak dermatitis (jarang), dan meningkatkan kepekaan terhadap paparan sinar matahari,
angin, dingin, dan penyebab iritasi lainnya. Untuk mengatasi jerawat yang ringan terapi
yang direkomendasikan adalah krim 0,025% pada kulit sensitif dan tidak berminyak.
Untuk jerawat tingkat sedang digunakan gel 0,01% pada kulit yang mudah teritasi dan
berminyak, dan gel 0,025% untuk kulit tidak sensitif dan berminyak.

 SIPROTERON ASETAT

11
Indikasi: Pengobatan hormonal untuk jerawat berat pada wanita yang sukar
disembuhkan dengan terapi antibakteri yang panjang, hirsutisme sedang sampai berat
Dosis: sekali sehari 2 mg selama 21 hari dimulai pada hari pertama siklus menstruasi dan
ulangi setelah interval 7 hari, umumnya untuk beberapa bulan; hentikan jika jerawat atau
hirsutisme telah hilang (pemberian kembali dapat dilakukan jika terjadi kekambuhan)

 Asam azelaic (Azelex)


Memiliki aktivitas antibakteri komedolitik, antiinflamasi, dan digunakan untuk
peradangan jerawat ringan sampai sedang tetapi khasiat terbatas dibandingkan dengan
terapi lain. Merupakan sebuah alternatif untuk retinoid topikal untuk terapi
pemeliharaan. Asam azelaic tersedia dalam krim 20% dan gel 15%, dengan pemakaian
dua kali sehari (pagi dan sore) pada kulit kering dan bersih. Kebanyakan pasien
mengalami perbaikan dalam waktu 4 minggu, tetapi pengobatan dapat dilanjutkan
selama beberapa bulan jika perlu

 Adapalene
Adapalene merupakan retinoid generasi ketiga dengan fungsi sebagai komedolitik,
keratolitik, dan antiinflamasi. Indikasi: akne vulgaris topikal, menormalkan diferensiasi
sel epitel folikular, sehingga mengurangi pembentukan komedo. Sediaan : Cream: 0.1%,
Gel: 0.1% Dosis: oleskan pada area kulit yang terkena, satu kali sehari pada waktu
malam sebelum tidur dan setelah dicuci/dibersihkan

 Tazarotene
Tazarotene (Tazorac) merupakan asetilenik retinoid yang dikonversi menjadi bentuk
aktifnya, asam tazarotenik setelah diaplikasikan secara topikal. Tazarotene memiliki
ikatan selektif terhadap RARs dan dapat merubah ekspresi gen yang berperan dalam
proliferasi sel, diferensasi sel, serta inflamasi. Tarazarotene digunakan pada acne ringan
hingga sedang dengan aktivitas komedolitik, keratolitik, dan antiinflamasi. Produk
tersedia di pasaran dengan konsentrasi 0,05% dan 0,1% baik berupa gel atau krim.

Agen Topikal ( Second-Line Terapi)

12
 Dapson
Dapson topikal memiliki aktivitas antibakteri dan antiinflamasi. Dapson topikal gel
0,5% direkomendasikan oleh FDA sebagai treatment pada pasien acne diatas 12 tahun
Sediaan : gel 5%. Dosis : setiap 12 jam Agen Sistemik (First-Line therapy-severe
nodulaar/ conglobata)
 Isotretinoin Sebagai retinoid oral
Isotretinoin merupakan agen sebosupresive paling efektif yang mempengaruhi seluruh
faktor etiologi yang mempengaruhi inflamasi pada acne, termasuk menginduksi
terjadinya atropi kelenjar sebaseus dengan penurunan produksi sebum dan perubahan
komposisi dari sebum, menginhibisi pertumbuhan P. acnes dalam folikel, menginhibisi
inflamasi, dan mengubah susunan kerantinasi dalam folikel (memperkecil ukuran dan
meningkatkan diferensiasi). Oleh karena itu isotretinoin merupakan pengobatan pilihan
pada acne nodulaositik parah, pasien dengan acne scarring, pasien dengan acne kronik,
dan pada pasien acne yang mengalami gangguan psikologi yang parah. Terdapat
beberapa efek samping akibat penggunaan isotretinoin secara oral tergantung jumlah,
frekuensi dan dosis yang digunakan. Dosis isotretinoin yang dianjurkan yaitu pada
rentang 0,5 higga 1 mg/kg per hari dalam 2 dosis terbagi.

Systemic Agent (First-Line Therapy-Moderate Papulaar Pustulaar/Nodulaar)


 Antibiotik Makrolida
Antibiotik makrolida (eritromisin, azitromisin, dan klindamisin) menunjukkan efek
antiinflamasi pada pasien acne. Eritromisin dapat digunakan pada pasien yang
membutuhkan antibiotik sistemik tetapi tidak dapat mentoleransi tetrasiklin, atau pada
pasien dengan bakteri yang resisten terhadap antibiotic tetrasiklin. Dosis lazim yang
digunakan 1 g/hari dengan makanan untuk meminimalkan intoleransi gastrointestinal.
Kombinasi dengan zink dapat meningkatkan penetrasi eritromisin menuju unit
pilosebaseus. Kombinasi dengan BPO dapat mengurasi resiko resisten terhadap P. acnes.
Azitromisin yang merupakan turunan dari eritromisin aman untuk digunakan dan efektif
untuk pengobatan pasien dengan acne inflamasi yang sedang hingga parah. Dengan
waktu paruhnya yang mencapai 68 jam, obat ini dapat digunakan tiga kali dalam
seminggu. Beberapa penelitian mengungkapkan penggunaan obat anti jerawat lebih
efektif jika digunakan dengan tambahan antibiotik. Antibiotik baik oral ataupun topikal
dapat mengurangi populasi dari acne secara in vivo. Antibiotik yang biasanya

13
dikombinasikan dengan obat jerawat topikal adalah antibiotik clindamycin, tetrasikline,
eritromycine, atau doxycycline (Dipiro, et al., 2008)

Jenis –Jenis obat jerawat lainnya


 Benzoilperoksida (Benzolac)
Adalah zat keratolitik yang juga berdaya bakteriostatis terhadap kuman jerawat.
Benzoilperoksida (Benzolac) berupa krim atau gel 5% yang dioleskan pada jerawat 2
kali sehari dalam kondisi kulit bersih. Untuk efek yang lebih baik dapat diganti dengan
krim 10%. Efek samping berupa terjadinya iritasi kulit dengan gejala kemerahan, kulit
berserpih dan gatal. Bila satu atau lebih efek ini muncul, pengobatan sebaiknya
dilanjutkan dengan sediaan yang kadarnya lebih rendah, atau dihentikan sama sekali dan
berkonsultasi pada dokter. Selama pengobatan dengan gel sebaiknya menghindari sinar
matahari. Tidak boleh digunakan pada kulit yang rusak dan wanita hamil dapat
menggunakannya dengan aman.
 Asam salisilat
Asam salisilat berkhasiat sebagai fungistatik, bakteriostatik, dan keratolitik. Asam
salisilat berupa lotion atau krim (10%) yang dioleskan 2 kali sehari. Efek samping
berupa iritasi, rasa terbakar, dan gatal-gatal.
 Sulfur atau belerang endap
Sulfur atau belerang endap merupakan obat jerawat yang berupa suspensi yang
berguna sebagai obat germisida, fungisida, parasitisida, dan keratolitik. Aturan pakai
sulfur dengan cara dioleskan pada kulit yang berjerawat. Efek samping yang
ditimbulkan berupa iritasi. Hal yang harus diperhatikan adalah hindari kontak dengan
mata, mulut, dan mukosa (Dipiro, et al., 2008)

14
Gambar 8. Kekuatan potensi obat (Dipiro, 2008)

2. Terapi Non Farmakologi


Untuk membuka atau membersihan pori-pori tidak memerlukan penggosokan wajah
dengan scrub yang kasar atau mencuci muka terlalu sering. Membersihkan wajah dengan
sabun dan air akan mempengaruhi sebum dan bakteri pada permukaan kulit serta
memberikan sedikit pengaruh pada folikel dan pengobatan jerawat. Penggunaan
pembersih yang tidak menyebabkan kulit kering sangat diperlukan untuk menghindari
terjadinya iritasi dan kekeringan kulit selama pengobatan jerawat (Dipiro, 2008)

15
BAB III
KASUS DAN ANALISIS SOAP

1. Subjek
 Nama : Ny R
 Umur : 23 tahun
 Berat Badan : -
 Keluhan : jerawat di wajah
 Riwayat :-
 Diagnosis : jerawat di wajah, meradang dan kemerahan
2. Objek : tidak ada tanda-tanda vital dan data lab yang menunjang
3. Assesment
Nama Obat Analisis

Clindamycin  Indikasi : Infeksi serius akibat bakteri anaerob atau bakteri


aerob gram positif
 Mekanisme: Bekerja menghambat sintesis protein dengan
cara berikatan dengan ribosom 50s. efek bakteriostatik
atau bakterisidal clindamysin bergantung pada konsentrasi
obat, jenis organisme, dan lokasi infeksi
 Dosis: dewasa : 150-300 mg tiap 6 jam. Anak : 8-16
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
 Efek Samping :Gangguan saluran cerna, reaksi
16
hipersensitivitas, gangguan fungsi hati
(MMN, 2017)
Licodexon  Indikasi : Inflamasi dan alergi
(Dexamethasone)  Mekanisme : mengurangi peradangan dengan menekan
migrasi leukosit polimorfonuklear (PMN) dan mengurangi
permeabilitas kapiler.
 Dosis: 0,5-10 mg per hari dalam dosis terbagi
 Efek Samping : mual muntah, gangguan pada
pertumbuhan
(medscape)

Mediklin  Indikasi : acne vulgaris, bakteri vaginosis,


Clindamycin  Dosis: Clindamycin phosphate, 1-2 kali sehari oleskan di
phosphate area kulit yang terkena jerawat, oleskan tipis
 Mekanisme : Bekerja menghambat sintesis protein dengan
cara berikatan dengan ribosom 50s. Efek bakteriostatik
atau bakterisidal clindamysin bergantung pada konsentrasi
obat, jenis organisme, dan lokasi infeksi. Mekanisme yang
tepat dalam mengobati jerawat tetapi clindamycin
menghambat Propionibacterium acnes in vivo
 Efek Samping : Kekeringan, eritema, mengupas, terbakar,
gatal
(medscape)

Drug Related Problem


DRP ada indikasi tidak ada obat :-
DRP tidak ada indikasi ada obat :-
DRP obat kurang tepat : Clyndamycin oral
DRP dosis obat berlebih :-
DRP dosis obat kurang :-
DRP efek samping obat :-
DRP interaksi obat :-

4. Plan
Farmakologi

17
• Monitoring penggunaan antibiotik (clindamycin) seperti kemerahan dikulit dan
hipersensitivitas.
• Kortikosteroid monitoring perbaikan inflamasi.
• Stop clindamycin tablet, rekomendasi cukup dengan topikal saja.
Non Farmakologi
• Bersihkan wajah dengan menggunakan air hangat atau uapnya
• Sepulang dari pergi bersihkan wajah dengan milk cleanser
• Mencuci wajah dengan sabun pembersih muka akan memberikan efek yang relatif
kecil terhadap jerawat.
• Menjaga kebersihan

5. KIE
a. Menghindari faktor pencetus timbulnya jerawat
b. Menekan adanya stress karena dapat menjadi sala satu penyebab timbulnya jerawat.
c. Mencuci muka dengan facial wash yang tidak mengandung parfum.
d. Hindari scrubbing untuk mencegah reptur folikular.
e. Tidak menyentuh, menggaruk atau memencet jerawat dengan tangan karena
meningkat risiko infeksi.
f. Tidak menggunakan make up di area jerawat yang terinfeksi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Adhi, D., Hamzah, M., Aisyah, S. 2008. Akne vulgaris, Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Alexander, Nick. 2015. Hubungan Stress Dengan Keluhan Akne Vulgaris Pada Mahasiswa
Fakultas Kedokteran. Skripsi. Surabaya: Universitas Katolik Widya Mandala.
American Family Physician. 2004. Acne. USA: American Family Physician, Available
From:http://www.aafp.org/afp/20040501/2135ph.
Brown, G.R., and Burns, T. 2005. Akne, Erupsi, Akneiformis, dan Rosasea. Lecture Notes :
Dermatology . Ed8. Jakarta : Erlangga. 55-65
Baumann L, Sogol S., dan Edmund W. 2009. Cosmetic dermatology principles and practice.
2 nd ed. New York: Mc Graw Hill. 43(1): 121-7.
Cordain, L., Hurtado, M., Eaton, S.B. 2002. Acne vulgaris: A disease of Western Draelos JD,
2009, Skin care maintenance product, Dalam Atlas of cosmetic dermatology, Churcill
Livingston, 77-82
Cunliff W.J., and Gollnick H.P., M. 2001, Clinical features of acne. In: Cunliff e WJ,
Gollnick HPM, eds. Acne diagnosis and management. London: Martin Dunitz Ltd,
49-68.
Dipiro, J.T., Talbert, R.C., Yee, G.C., Matzake, G.R., Wells, B.R., Posey, L.M. 2008.
Pharmacotherapy. Edisi 7. New York: McGraw-Hill.

Djatmiko. 2012. Info Selamat dan Sehat (Kesehatan Kulit). BATAN: Pusat Teknologi Nuklir
Bahan dan Radiometri.
Efendi, Z. 2003. Peranan Kulit dalam Mengatasi Terjadinya Akne Vulgaris. Available from:
http://library.usu.ac.id/download/fk/histologizukesti3.pdf
Finaly, A.Y. 2004. Clinical Efficacy of Adapalene, In: Griffiths, C.E.M.,Ortonne,J.P. (EDS),
2000. Journal of Dermatological Treatment, University of Wales: College of
Medicine, Cardiff: 9-12
Folkman, L., et al., 2001, Psyhososial Impact Of Acne Vulgaris, Evaluation Of Therelation
Between A Change In Clinical Acne Severity And Psychosocial State, Dermatology,
203(2):124-30
Graham-Brown, R., and Burns, T. 2002. Lecture Notes on Dermatologi, Eighth Edition,
Blackwell Science, Penerjemah Zakaria M. A., 2005, Catatan Kuliah Dermatologi,
Edisi Delapan. Jakarta : Erlangga.

19
Gabrielli, A. Svegliati S, Moroncini G, dan Amico D. 2012. New Insights into theRole of
Oxidative Stress in Scleroderma Fibrosis. The Open Rheumatology Journal. 1(4): 87-
95.
Gunawan ,B., 2007, Stres dan Sistem Imun Tubuh : Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi,
Cermin DuniaKedokteran, 154 : 13-16.
Ismail, 2012, High Glycemic Load Diet, Milk And Ice Cream Consumption Are Related To
Acne Vulgaris In Malaysian Young Adults : BMC Dermatology, Available from :
http://www.biomedcentral.com/1471-5945/12/13 Diakses pada tanggal 17 April 2019
Kusantati, H., dkk., 2008, Tata Kecantikan Kulit, Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Departemen Pendidikan Nasional
Nguyen, S.H, Dang TP and Maibach HI. 2007. Comedogenicity in rabbit: somecosmetic
ingredients/vehicles. Cutaneous and Ocular Toxicology. USA: University of
California. 26(4):287-92.
Perkins, A.C., Cheng, C.E., Hillebrand, G.G., Miyamoto, K., Kimball, A.B., 2011,
Comparison Of The Epidemiology Of Acne Vulgaris Among Caucasian, Asian,
Continental Indian and African American women. J Eur Acad Dermatol Venerol.
25(9):1054-60.
Prianto, 2014, Cantik panduan lengkap merawat kulit wajah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Rahmawati, Dewi., 2012, Hubungan Perawatan Kulit Wajah Dengan Timbulnya Acne
Vulgaris, Skripsi, FK UNDIP, Semarang
Sukanto, H., Martodihardjo, S., dan Zulkarnain, I., 2005, Ilmu Penyakit Kulit Ed.3, RSUD
Dokter Soetomo, Surabaya
Movita, T., 2013, Acne Vulgaris, CDK-203/vol.40, 269-272
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. 2017. Panduan Praktis Klinis,
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, Indonesia
Tjekyan, R., M. 2008, Kejadian dan Faktor Resiko Akne Vulgaris. Jurnal Media Medika
Indonesiana. 43(1): 6-12

20

Anda mungkin juga menyukai