Anda di halaman 1dari 10

TUGAS FALSAFAH KEFARMASIAN

Farmasi Industri Kosmetik

Anggota Kelompok:
Meiza Orchid Dewani (051911133056)
Kurnia Kawaguchi (051911133061)
Risma Damayanti (051911133062)
Feby Hafidah Sari (051911133063)
Sania Putri Arista (051911133064)
Mia Etika Rahayu (051911133079)

Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga
2019
I. Definisi
Kosmetik berasal dari kata Yunani “kosmetikos” yang berarti keterampilan
menghias, mengatur. Definisi kosmetik dalam peraturan Mentri Kesehatan RI No.
445/MenKes/Permenkes/1998 adalah sebagai berikut “kosmetik adalah sediaan atau
paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut,
kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk membersihkan,
menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan
baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau
menyembuhkan suatu penyakit” Sedangkan Obat adalah bahan, zat, atau benda yang
dipakai untuk diagnose, pengobatan, dan pencegahan suatu penyakit atau yang dapat
mempengaruhi struktur dan faal tubuh.
Dalam definisi kosmetik diatas, yang dimaksud dengan “tidak dimaksudkan untuk
mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit” adalah sediaan tersebut seyogianya tidak
mempengaruhi struktur dan faal tubuh. Namun bila bahan kosmetik tersebut adalah bahan
kimia meskipun berasal dari alam dan organ tubuh yang dikenai (ditempeli) adalah kulit,
maka dalam hal tertentu kosmetik itu akan mengakibatkan reaksi-reaksi dan perubahan
faal kulit tersebut.

Tidak ada bahan kimia yang bersifat indeferens (tidak menimbulkan efek apa-apa)
jika dikenakan pada kulit. Karena itu, pada tahun 1955 Lubowe menciptakan istilah
“Cosmedics” yang merupakan gabungan dari kosmetik dan obat yang sifatnya dapat
mempengaruhi faal kulit secara positif, namun bukan obat. Pada tahun 1982 Faust
mengemukakan istilah “Medicated Cosmetics”. Untuk memperbaiki dan
mempertahankan kesehatan kulit diperlukan jenis kosmetik tertentu bukan hanya obat.
Selama kosmetik tidak mengandung bahan berbahaya secara farmakologis aktif
mempengaruhi kulit, penggunaan kosmetik jenis ini menguntungkan dan bermanfaat
untuk kulit itu sendiri.

Tujuan utama penggunaan kosmetik pada masyarakat modern adalah untuk


kebersihan pribadi, meningkatkan daya tarik melalui make-up, meningkatkan rasa
percaya diri dan perasaan tenang, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan sinar UV,
polusi dan factor lingkungan yang lain, mencegah penuaan, dan secara umum, membantu
seseorang lebih menikmati dan menghargai hidup.

II. Sejarah Industri Kosmetik


Kosmetik berasal dari kata konmein (yunani) yang berarti "berhias" bahan yang
pakai dalam usaha untuk mempercantik diri sendiri, dahulu diramu dari baha-bahan alami
yang terdapat di sekitarnya. Sekarang kosmik dibuat manusia tidak hanya dari bahan
alami tetapi juga dari bahan buatan untuk maksud untuk meningkatkan kecantikan.
Menurut Wall dan Jellinek, 1970, pemakaian kosmetik mulai mendapakan perhatian yaitu
selain untuk kecantikan juga untuk kesehatan, sehingga para pakar kosmetik dahulu
adalah juga pakar kesehatan, seperti para tabib dukun bahkan penasehat keluarga istana
dalam perkembangannya kemudian terjadi pemisahan antara kosmetik dengan obat baik
dalam jenis, efek samping, dan lain-lain.

III. Perkembangan Kosmetik di Indonesia


Industri kosmetik dalam negeri semakin tumbuh pesat naik sebesar 16% tiap tahunnya.
Sayangnya hadirnya kosmetik import dan ketersedian bahan baku masih menjadi kendala.
Presiden direktur PT Victoria care Indonesia (VCI) Billy hartono salim menuturkan,
industri kecantikan domestik diprediksi masih akan bertumbuh naik 16% atau bahkan 20%
di tahun ini. Masih tingginya kebutuhan kosmetik untuk kaum wanita maupun pria ikut
memacu penjualan kosmetik. Namun hadirnya kosmetik import serta minimnya bahan
baku masih menjadi kendala utama. Industri kosmetik lokal mendapatkan saingan berat
dengan kosmetik import. Persaingan sangat ketat ini mendorong kosmetik lokal untuk terus
ber inovasi , ungkapnya saat perayaan hari ulang tahun PT. Victoria Care Indonesia ke 5.
Peluang industri kosmetik kedepan menurut Billy, masih terbuka lebar. Produk kosmetik
yang dihasilkan Victoria care diantaranya, lulur mandi, parfum, pewarna rambut, lotion,
roll on, sabaun sirih, dan lain-lain.

IV. Penggolongan Kosmetik


A. Menurut Menurut Peraturan Mentri Kesehatan RI, kosmetik dibagi menjadi 13
kelompok :
1) Preparat untuk bayi, misalnya minyak bayi, bedak bayi, dll.
2) Preparat untuk mandi, misalnya sabun mandi, bath capsule, dll.
3) Preparat untuk mata, misalnya mascara, eyes-shadow, dll
4) Preparat wangi-wangian, misalnya parfum, toilet water, dll
5) Preparat untuk rambut, misalnya cat rambut, hair spray, dll
6) Preparat pewarna rambut, misalnya pewarna rambut, dll
7) Preparat make-up (kecuali mata), misalnya bedak, lipstick, dll
8) Preparat untuk kebersihan mulut, misalnya pasta gigi, mount washes, dll
9) Preparat untuk kebersihan badan, misalnya deodorant, dll
10) Preparat kuku, misalnya cat kuku, losion kuku, dll
11) Preparat perawatan kulit, misalnya pembersih pelembab, pelindung, dll
12) Preparat cukur, misalnya sabun cukur, dll
13) Preparat untuk suntan dan sunscreen, misalnya sunscreen foundation, dll
B. Penggolongan menurut sifat dan cara pembuatan
1) Kosmetik modern, diramu dari bahan kimia dan diolah secara modern
(termasuk didalamnya cosmedics)
2) Kosmetik Tradisional,
a) Betul-betul tradisional, misalnya mangir, lulur, yang dibuat dari
bahan alam dan diolah menurut resep dan cara yang turun-temurun
b) Semi tradisional, diolah secara modern dan diberi bahan pengawet
agar tahan lama
c) Hanya namanya yang tradisional, tanpa komponen yang benar-
benar tradisional dan diberi zat warna yang menyerupai bahan
tradisional.

V. UU yang Mengatur peran Apoteker di bidang Industri


• PP 51 no 2009 pasal 9
a. Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai penanggung jawab
masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap
produksi Sediaan Farmasi
b. Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1
(satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab.

• Permenkes No 1175/MENKES/PER/VII/2010
1) Izin produksi industri kosmetika Golongan A diberikan dengan persyaratan:
a. Memiliki apoteker sebagai penanggung jawab;
b. Memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan dibuat;
c. Memiliki fasilitas laboratorium; dan
d. Wajib menerapkan CPKB.
2) Izin produksi industri kosmetika Golongan B diberikan dengan persyaratan:
a. Memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian sebagai penanggung
Jawab;
b. Memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana sesuai produk

VI. Perusahaan Industri Kosmetik di Indonesia

PT. Paragon Technology and Innovation (Wardah Cosmetics)

 Visi & Misi Produk Kosmetik Wardah


1. Visi dari perusahaan Wardah adalah menjadi perusahaan yang bermanfaat bagi
masyarakat dan terus berkembang di berbagai bidang dengan menjadikan hari
ini lebih baik dari hari ini.
2. Misi perusahaan Wardah adalah sebagai berikut:
1). Mengembangkan karyawan yang berkompeten dengan menciptakan
lingkungan kerja yang baik untuk mendukung tercapainya kepuasan pelanggan.
2). Secara berkesinambungan menyediakan produk dan jasa yang berkualitas
tinggi serta memenuhi kebutuhan pelanggan melalui program pemasaran yang
baik.
3). Mengembangkan operasi perusahaan yang sehat dalam segala aspek.
Terus berinovasi, menguasai ilmu, menerapkan teknologi baru, dan berinovasi
demi kepuasan pelanggan.

 Struktur Keorganisasian Perusahaan Wardah

VII. Peran & Tanggungjawab Apoteker dalam Industri Kosmetik


1). Perencanaan produksi dan pengendalian persediaan (PPIC)
2). Produksi
3). Pengawasan mutu
4). Pemastian mutu
5). Penelitian dan pengembangan produk (RnD)
6). Pengembangan bisnis
7). Registrasi
8). Pemasaran
9). Pengembangan Bisnis
10). Pengadaan/Pembelian

Apoteker memiliki tanggung jawab memastikan produk yang diproduksi memenuhi


standart dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Selain itu, Apoteker juga
berperan dalam upaya kesehatan masyarakat dengan memproduksi sediaan farmasi.

VIII. Masalah pada Industri Kosmetik

1. Sertifikat BPOM yang Cukup Lama


Badan Pengawas Obat dan Makanan atau disingkat Badan POM adalah sebuah
lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di
Indonesia. Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien
yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk dengan tujuan
melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun
di luar negeri. Untuk itu telah dibentuk Badan POM yang memiliki jaringan nasional dan
internasional serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibilitas profesional
yang tinggi.Salah satu fungsi BPOM ialah Lisensi dan sertifikasi industri di bidang
farmasi berdasarkan “Cara-cara Produksi yang Baik”.
Untuk mendapatkan sertifikat BPOM ini, industri kosmetik biasanya menunggu
hingga setahun lamanya. Sehingga untuk mengedarkan produknya, industri kosmetik
juga harus menunggu waktu lama.

2. Tersedianya Bahan Baku yang Terbatas


Walaupun Indonesia kaya bahan baku kosmetika dari alam, namun pelaku
industri kosmetika dalam negeri masih lebih doyan impor bahan baku. Pejabat
Kementerian Perindustrian mensinyalir, hampir 80% kebutuhan bahan baku kosmetik
dipasok dari luar negeri. Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian
Perindustrian Harjanto mengatakan, jika industri kosmetika ini berkembang, risikonya
adalah peningkatan kebutuhan impor bahan baku. Jika dibiarkan, kondisi ini tentu tidak
sehat.
Karena itu, Harjanto mengatakan bahwa Industri domestik impor bahan
kosmetika kimia. Di sisi lain, Indonesia ekspor bahan baku alam. Sehingga pelaku
industri kosmetika domestik diminta untuk segera mengolah bahan baku kosmetika dari
alam Indonesia. Agar bahan baku kosmetik dari alam Indonesia menghasilkan nilai
tambah, komoditas tersebut harus diolah lebih dulu sebelum diekspor.
Dalam catatan Kemperin, Indonesia menghasilkan 250 jenis bahan baku kosmetik
dari tanaman. Nuning S Barwa, Ketua Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia
(Perkosmi), membenarkan memang banyak bahan baku kosmetika. Di Indonesia diekspor
ke negara tetangga dalam bentuk komoditas mentah. Bahkan banyak diolah di negara
tetangga daripada di Indonesia. Jika bahan baku itu diolah di dalam negeri, hasilnya bisa
menambah penyerapan tenaga kerja, menghidupi petani dan mengurangi impor.
Nuning berharap, peningkatan penggunaan bahan baku dalam negeri diiringi
kesadaran memakai produk dalam negeri. Banyak konsumen Indonesia suka kosmetik
impor karena gengsi. Padahal, banyak konsumen kosmetika di Eropa menyenangi produk
kosmetika dari Indonesia.

3. Kalah Saing dengan Produk Impor


Pasar dalam negeri masih dikuasai oleh perusahaan multinasional. Alhasil
penguasaan pangsa pasar sebanyak 70 persen dikuasai oleh tangan asing. Industri lokal
hanya kebagian sisanya. Untuk melihat pertumbuhan industri kosmetik di Indonesia, kita
bisa membedah laporan keuangan tahunan empat pemain besar yang mencatatkan
sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Mereka adalah PT Unilever Indonesia Tbk, PT
Mandom Indonesia Tbk, PT Mustika Ratu Tbk, dan PT Martina Berto Tbk.
Pada 2015, penjualan Unilever naik hingga 5 persen ketimbang tahun
sebelumnya. Divisi home and personal care memberikan kontribusi hingga 74 persen laba
kotor atau Rp13 trilun pada perusahaan. Divisi ini tentunya tak memroduksi kosmetik
saja, tetapi juga barang-barang personal care dan turunanannya seperti Oral Care, Hair
Care dan Baby Care. Karena itu kita tak bisa mengetahui secara persis kontribusi dari
kosmetik itu seperti apa, apakah meningkat atau malah menurun.Hanya saja jika kita
merujuk dari laporan keuangan tersebut, Unilever mengklaim bahwa produk kosmetik
wajah Fair and Lovely merupakan brand dengan pertumbuhan tercepat. Namun, untuk
soal angka tidak dipaparkan oleh mereka.
Sedangkan pada PT Mandom Indonesia, pertumbuhan penjualannya pada tahun
2015 amat kecil hanya 0,3 persen, dari Rp2,308 triliun jadi Rp 2,314 trilun. Pertumbuhan
terbesar produsen Gatsby dan Pixy ini dicatatkan produk perawatan rambut sebesar 6,2
persen. Sedangan pertumbuhan terbesar kedua dicatatkan oleh produk perawatan kulit
dan rias yang tumbuh sebesar 2,1 persen yaitu dari Rp 794 miliar di tahun 2014 menjadi
Rp 811 miliar.Sama seperti Unilever, penjualan kosmetik tidak dapat diketahui cukup
jelas karena datanya bercampur dengan produk-produk personal care lainnya, seperti
parfum, cologne, dan hair care.
Nasib berbeda dialami dua raksasa lokal PT Mustika Ratu dan PT Martina Berto
yang memang menfokuskan diri menjual produk-produk kosmetik. Berdasarkan laporan
keuangan Mustika Ratu tahun 2015 terungkap bahwa penjualan mereka turun hingga 2
persen, dari Rp435 miliar menjadi Rp428 miliar. Penurunan produk kosmetik mencapai
0,5 persen. Angka ini bisa bertambah karena retur dari potongan penjualan masih
bercampur. Hal mengejutkan, laba bersih Mustika Ratu turun drastis hingga 578 persen.
Laba perusahaan yang dirintis Mooryati Soedibyo ini hanya Rp1,04 miliar pada akhir
2015 lalu. Padahal pada 2014, mereka meneguk untung Rp7,05 miliar.
Kondisi ini juga menimpa PT Martina Bento Tbk yang menaungi Martha Tilaar
Group. Dalam soal penjualan produk memang mengalami peningkatan hingga 3,48
persen pada 2015, dari Rp636,7 miliar menjadi Rp647,2 miliar. Jika dirinci lebih detail
pertumbuhan paling besar bukan disektor penjualan kosmetik, tetapi tol manufaktur
(43,31 persen) dan penjualan jamu herbal (15,71 persen). Penjualan bersih dari kosmetik
sendiri hanya naik 1,65 persen. Penjualan yang meningkat tak selaras dengan laba yang
didapat. Laba bersih Martha Tilaar turun hingga 434,4 persen alias rugi senilai Rp14
miliar. Padahal pada 2014 mereka untung Rp4,2miliar. Capaian pada tahun lalu ini tentu
sungguh ironis karena suplai pabrik baru yang di Cikarang sudah mulai beroperasi sejak
Februari 2015. Di sisi lain, mereka pun menambah beban biaya pariwara, pameran dan
promosi hingga 5 persen menjadi Rp153 miliar. Angka ini lebih banyak ketimbang
Mustika Ratu yang hanya Rp90 miliar.
Dua perusahaan ini memang perlu menggenjot branding agar bisa bersaing
dengan produk asing. Menurut survei Credit Suisse yang melibatkan 1.500 konsumen di
Indonesia, merek asing memang lebih dipilih konsumen ketimbang merek lokal.
Tingginya konsumen yang rata-rata berkelas menengah jadi sebabnya. Muncul sebuah
perasaan bangga pada pemakai produk-produk asing. Gengsi jika memakai produk lokal.
Di sisi lain karakteristik pelanggan produk kosmetik adalah pribadi yang
cenderung loyal pada merek. Ini berbeda dengan produk makanan yang memiliki banyak
substitusi, sehingga konsumen gampang beralih ke produk lain bila tidak puas. Karena
itu, permintaan terhadap produk kosmetik asing akan relatif tetap terjaga, atau malah
tumbuh, tergantung segencar apa perang pariwara dilakukan.
Meski begitu sebuah riset yang dilakukan Nielsen pada 2013 menemukan
fenomena menarik. Muncul sebuah tren rasa keinginan konsumen untuk mencoba satu
atau lebih merek yang berbeda. Persentase konsumen yang loyal terhadap satu merek saja
turun semula 49,2 persen menjadi 45,4 persen.Di sisi lain, konsumen yang memilih lebih
dari dua merek naik dari 27,1 persen menjadi 30,2 persen. Persentase konsumen yang
membeli lebih dari tiga merek pun meningkat dari 12,4 persen menjadi 15,9 persen.
Dalam konteks pasar dalam negeri, industri lokal sudah angkat tangan.
Sebenarnya, tak hanya pasar dalam negeri yang gagal membuat pertumbuhan hingga dua
digit, pasar ekspor pun sama. Martha Tilaar hanya mampu menaikan ekspor 7 persen dari
Rp6,2 miliar jadi Rp6,6 miliar.Sedangkan Mustika Ratu malah sebaliknya. Dalam tiga
tahun terakhir, nilai ekspor cenderung turun. Dari Rp16,3 miliar pada 2013, jadi Rp8,3
miliar pada 2014 dan anjlok parah jadi Rp2,2 miliar pada tahun lalu. Mereka berdalih
penyebab penurunan adalah krisis ekonomi global, termasuk Malaysia yang memang
jadi pasar terbesar kedua setelah Indonesia. Hal yang wajar jika Mustika Ratu kini mulai
mengincar pengembangan distribusi ekspor ke wilayah Indochina yaitu Vietnam,
Kamboja, Myanmar, dan Laos.
Hasil buruk yang menimpa dua perusahaan besar di atas tidaklah sepenuhnya
menggambarkan industri kosmetik dalam negeri saat ini. Ini mengingat Kemenperin
mencatat setidaknya ada 760 perusahaan kosmetik di Indonesia, dengan 80 persen di
antaranya adalah UKM yang sulit didapat data keuangan detailnya.
4. Masuknya Barang Impor Secara Ilegal
Banyaknya produk impor yang masuk secara ilegal mengganggu industri
kosmetik nasional. Untuk hal itu, harus disikapi dengan adanya bea cukai. Karena yang
memperoleh dampaknya tidak hanya industri kosmetik, namun pemerintah akan
kehilangan bea masuk juga. Hal ini tentunya perlu penindakan agar dapat mendorong
industri lokal. Sebab saat ini, industri kosmetik punya tantangan terus naiknya biaya
produksi hingga logistik. Maka dari itu, perlu adanya dorongan agar industri kosmetik
domestik tetap tumbuh.

5. Industri Kosmetik Belum Bisa Terapkan CPKB


Hingga kini 91,7 persen industri kosmetik di dalam negeri belum bisa
menerapkan standar Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB). Menteri Kesehatan
Siti Fadilah Supari di Jakarta, Senin, mengatakan menurut hasil pemetaan Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dari 671 industri kosmetik yang ada baru 56 di
antaranya yang sudah menerapkan CPKB. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Husniah Rubiana Thamrin Akib menambahkan, saat ini baru 54 dari 78
perusahaan kosmetik besar di dalam negeri yang menerapkan CPKB. Itupun, 21 di
antaranya merupakan perusahaan dengan modal asing. Sedang untuk yang UKM, dari
593 industri baru dua yang menerapkan CPKB.
Padahal kesepakatan harmonisasi ASEAN di bidang kosmetik mengharuskan
setiap negara anggotanya untuk menerapkan standar produksi kosmetik ASEAN
(ASEAN Cosmetik Directive/ACD) pada 1 Januari 2008. Apabila Industri Kosmetik
tidak menerapkan CPKB, maka mereka tidak memiliki peluang untuk masuk ke pasar
global.
Berkenaan dengan hal itu Ketua Bidang Industri dan Perdagangan Persatuan
Perusahaan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) Putri K. Wardani menjelaskan, selama ini
pelaku industri kosmetik dalam negeri masih mengalami kesulitan untuk menerapkan
CPKB. Menurut Husniah, penerapan CPKB membutuhkan peningkatan kapasitas
perusahaan dan dukungan dana yang besar. Sementara industri kosmetik dalam negeri
yang mayoritas UKM rata-rata belum punya cukup dana untuk menerapkannya.
Ia menjelaskan, guna mengatasi masalah itu pemerintah berusaha melakukan
pembinaan dan pendampingan terhadap pelaku industri kosmetik, terutama untuk usaha
kecil dan menengah, supaya mereka bisa segera menerapkan CPKB. Departemen
Keuangan, katanya, juga menyatakan akan menyediakan alokasi dana khusus untuk
membantu pelaku industri kosmetik menerapkan CPKB. Namun dia belum tahu berapa
banyak dana yang akan dialokasikan Departemen Keuangan untuk membantu pelaku
industri kosmetik menerapkan CPKB. Namun demikian, katanya, hingga kini BPOM
belum bisa memulai pemetaan karena tidak punya cukup dana untuk melakukannya.

Anda mungkin juga menyukai