HERLINA PERTIWI
2015001289
2015001314
2015001250
TYA PERMATASARI
2015001326
DEISY OCTAVIANI
1543700274
MELINA SARASWATI
1543700358
HALAMAN PENGESAHAN
(2015001289)
Program Studi
(2015001326)
(1543700274)
(1543700358)
Profesi Apoteker
Tanggal/Waktu PKPA :
01 14 November 2016
Tempat PKPA
Judul
Disetujui Oleh:
Pembimbing PKPA
LAFIAL Drs. Mochamad Kamal
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Khusus Praktik
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bidang industri di Lembaga Farmasi TNI
Angkatan Laut (LAFIAL) Drs. Mochamad Kamal Jakarta. Kegiatan PKPA ini
dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar apoteker di
Fakultas farmasi Universitas Pancasila (FFUP) dan Fakultas Farmasi Universitas
17 Agusus 1945 dengan harapan agar penulis sebagai calon apoteker
mendapatkan gambaran secara jelas mengenai industri farmasi yang merupakan
salah satu tempat pengabdian profesi apoteker.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada Bapak Mayor Laut (K) Dadang Mulya Santosa, M.Farm., Apt. selaku
pembimbing dari LAFIAL Drs. Mochamad kamal yang telah banyak meluangkan
waktu untuk memberikan pengarahan dan bimbingan selama penyusunan dan
penyelesaian laporan ini sebagai hasil PKPA di LAFIAL Drs. Mochamad Kamal
Jakarta yang dilaksanakan pada bulan November 2016. Tim penulis juga ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:
1. Kolonel Laut (K) Drs. Taufik Riadi, M.Si., Apt. selaku Kepala Lembaga
Farmasi TNI Angkatan Laut (LAFIAL) Drs. Mochamad Kamal yang telah
meberikan kesempatan melaksanakan pelatihan Praktik Kerja Profesi
Apoteker (PKPA).
2. Letkol Laut (K) Drs. Tri Maryanto, Apt., selaku Kepala Bagian Pendidikan,
Penelitian, dan Pengembangan Lembaga farmasi TNI Angkatan Laut
(LAFIAL) Drs. Mochamad Kamal Jakarta.
3. Letkol Laut (K) Drs. Arsyadi, M.Si., Apt., selaku Kepala Bagian Produksi
Lembaga farmasi TNI Angkatan Laut (LAFIAL) Drs. Mochamad Kamal
Jakarta.
4. Letkol Laut (K) Drs. Riswandi, Apt., selaku Kepala Bagian Material
Kesehatan Lembaga farmasi TNI Angkatan Laut (LAFIAL) Drs. Mochamad
Kamal Jakarta.
iii
5. Ibu Hendrika DMP., S.Si., M.Si., Apt., selaku Kepala Bagian Pengawasan
Mutu Lembaga farmasi TNI Angkatan Laut (LAFIAL) Drs. Mochamad
Kamal Jakarta.
6. Seluruh staf dan karyawan Lembaga farmasi TNI Angkatan Laut (LAFIAL)
Drs. Mochamad Kamal Jakarta yang telah memberikan bantuan, saran, dan
pengetahuan-pengetahuan berharga selama kegiatan Praktik Kerja Profesi
Apoteker (PKPA).
7. Orang tua dan keluarga yang tak hentinya memberikan semangat, kasih
sayang, doa, dan nasihat tak terhingga yang tak akan pernah mampu penulis
membalas semua itu.
8. Teman-teman seperjuangan mahasiswa program Profesi Apoteker Universitas
Pancasila angkatan 57 dan Universitas 17 Agustus 1945 atas segala kerjasama,
bantuan, dan motivasi yang telah diberikan.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelsaian makalah ini
yang tidak dapat dituliskan satu persatu.
Tim penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ viii
BAB I
PENDAHULUAN ...............................................................................
1.1. Latar Belakang ............................................................................
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................
1.3. Tujuan ........................................................................................
1
1
2
2
4
4
4
4
4
5
8
8
9
12
12
13
13
14
14
15
15
15
16
17
18
18
20
21
21
21
21
21
22
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Tabel 2.3.
Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
Tabel 4.3.
Tabel 4.4.
Tabel 4.5.
Tabel 4.6.
Tabel 4.7.
Tabel 4.8.
Tabel 4.9.
Tabel 4.10.
Tabel 4.11.
Tabel 4.12.
Tabel 4.13.
vii
6
10
13
24
25
26
28
28
29
29
30
30
31
31
32
32
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1.
Gambar 4.1.
Gambar 4.2.
Gambar 4.3.
viii
14
25
27
33
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Pembuatan
obat yang dimaksud adalah yang dapat menghasilkan obat yang berkhasiat,
berkualitas, dan aman bagi konsumen. Dalam melakukan proses pembuatan obat,
industri farmasi wajib memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB). Penerapan CPOB ini bertujuan untuk memastikan mutu obat yang
dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaannya (CPOB, 2012).
Parameter penting untuk menentukan mutu kimia sediaan tablet adalah
penetapan kadar dan uji disolusi. Absorpsi zat aktif dari suatu sediaan erat
kaitannya dengan terdisolusinya zat tersebut dari sediaannya. Oleh karena itu
semakin cepat zat aktif terdisolusi, maka semakin cepat pula terjadi absorpsi,
sehingga obat akan cepat memberikan efek. Untuk maksud tersebut diperlukan
suatu usaha agar zat aktif dapat terlepas dan melarut dalam cairan saluran cerna
secepat mungkin.
Obat yang telah memenuhi persyaratan keseragaman bobot, kekerasan,
kerenyahan, waktu hancur dan penetapan kadar zat berkhasiat belum dapat
menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi dan
penetapan kadar harus dilakukan pada setiap produksi tablet (Ditjen POM, 1995).
Disolusi adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan
padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya
karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut
melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Obat yang telah
memenuhi persyaratan baik dari waktu hancur, keregasan, keseragaman bobot,
dan penetapan kadar, belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek
terapi. Karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet atau
kapsul.
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut
dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat
tersebutumumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju
absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah
atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut
menjadi tidak sempurna (FI IV, 1995).
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan uji disolusi dan penetapan kadar
terhadap tablet amlodipin yang telah diformulasi untuk memberikan informasi
mengenai mutu tablet yang telah diformulasi. Untuk melihat apakah formulasi
tablet yang dibuat memiliki persamaan dengan produk yang telah beredar di
pasaran, maka dalam pengujian ini digunakan produk generik dan paten sebagai
pembanding.
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam kegiatan evaluasi uji disolusi dan
1.3.
Tujuan
Kegiatan evaluasi uji disolusi dan keseragaman kadar tablet amlodipin ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui keseragaman kadar tablet amlodipin sampel.
2. Mengevaluasi dan membandingkan hasil uji disolusi tablet amlodipin
sampel dengan tablet amlodipin generik dan paten.
1.4.
Manfaat
Kegiatan evaluasi uji disolusi dan keseragaman kadar tablet amlodipin
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
kadar dan profil disolusi tablet amlodipin sampel yang merupakan hasil formulasi,
sehingga dapat memberikan gambaran mengenai mutu tablet amlodipin tersebut.
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tablet
2.1.1. Definisi
Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak berbentuk rata
atau cembung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih
dengan atau tanpa zat tambahan.
2.1.2. Zat Tambahan (Eksipien) Tablet
Zat tambahan yang digunakan dalam formulasi pembuatan tablet adalah
sebagai berikut:
1. Zat pengisi, yaitu untuk memperbesar volume tablet. Biasanya yang
digunakan Saccharum Lactis, Amylum Manihot, Calcii Phoshas, Calcii
Carbonas dan zat lain yang dikocok.
2. Zat pengikat, yaitu agar tablet tidak pecah atau retak, dapat merekat.
Biasanya yang digunakan adalah Mucilago Gummi Arabici 10-20%,
Solutio Methyl-cellulosum 5%.
3. Zat penghancur, yaitu agar tablet dapat hancur dalam perut. Biasanya yang
digunakan Amylum Manihot kering, Gelatinum, Agar-agar, Natrium
Alginat.
4. Zat pelicin, yaitu agar tablet tidak lekat pada cetakan. Biasanya yang
digunakan Talcum 5%, Magnesii Stearas, Acidum Stearinicum.
Dalam pembuatan tablet, zat berkhasiat, zat-zat lain kecuali pelicin dibuat
granul (butiran kasar), karena serbuk yang halus tidak mengisi cetakan tablet
dengan baik maka dibuat granul agar mudah mengalir mengisi cetakan serta
menjaga agar tablet tidak retak (Anief, 1994).
2.1.3. Klasifikasi Tablet
Penggolongan tablet dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Tablet Implantasi adalah tablet yang pemakaiannya dengan cara
menanamkannya dalam jaringan bawah kulit. Contoh: tablet hormon.
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
yang
jika
dilarutkan
dalam
air
akan
menghasilkan
yang bobotnya
seragam
diharapkan
akan
memiliki
kandungan bahan obat yang sama, sehingga akan mempunyai efek terapi
yang sama. Keseragaman bobot dapat ditetapkan sebagai berikut:
ditimbang 20 tablet, lalu dihitung bobot rata-rata tiap tablet. Kemudian
timbang tablet satu persatu, tidak boleh lebih dari 2 tablet bobotnya
menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari yang ditetapkan pada
kolom A dan tidak boleh satu tablet pun bobotnya menyimpang dari bobot
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
ratarata lebih besar dari yang ditetapkan pada kolom B. Jika perlu gunakan
10 tablet yang lain dan tidak satu tablet yang bobotnya menyimpang lebih
besar dari bobot rata-rata yang ditetapkan dalam kolom A maupun kolom
B (Dirjen POM, 1995):
2. Uji kekerasan
Ketahanan tablet terhadap goncangan pada waktu pembuatan, pengepakan
dan distribusi bergantung pada kekerasan tablet. Kekerasan dinyatakan
dalam satuan kg dari tenaga yang diperlukan untuk memecahkan tablet.
Alat yang digunakan untuk uji ini adalah hardness tester, alat ini
diharapkan dapat mengukur berat yang diperlukan untuk memecahkan
tablet. Persyaratan kekerasan tablet umumnya berkisar 4-8 kg, bobot
tersebut dianggap sebagai batas minimum untuk menghasilkan tablet yang
memuaskan (Soekemi, A. R., 1987).
3. Uji keregasan
Kekerasan tablet bukanlah indikator yang mutlak dari kekuatan tablet.
Cara lain untuk menentukan kekuatan tablet ialah dengan mengukur
keregasannya. Gesekan dan goncangan merupakan penyebab tablet
menjadi hancur. Untuk menguji keregasan tablet digunakan alat roche
friabilator. Sebelum tablet dimasukkan kedalam alat friabilator, tablet
ditimbang terlebih dahulu. Kemudiann tablet dimasukkan kedalam alat,
lalu alat dioperasikan selama 4 menit atau 100 kali putaran. Tablet
ditimbang kembali dan dibandingkan dengan berat mula-mula. Selisih
berat dihitung sebagai keregasan tablet. Persyaratan keregasan harus lebih
kecil dari 0,8% (Ansel, H.C., 1989).
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
2.2.
Disolusi
2.2.1. Definisi
Disolusi merupakan proses dimana sutu bahan kimia atau obat menjadi
terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologis, disolusi obat di dalam
medium cair merupakan kondisi yang mempengaruhi absorbsi sistemik. Laju
disolusi obat-obat dengan kelarutan dalam air yang sangat kecil akan
mempengaruhi laju absorbsi sistemik obat (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
Noyes dan Whitney menyatakan bahwa tahap disolusi meliputi proses
pelarutan obat pada permukaan partikel padat, yang membentuk larutan jenuh di
sekeliling partikel. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh, yang disebut stagnant
layer, berdifusi ke pelarut dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah
dengan konsentrasi rendah. Keseluruhan laju disdolusi dapat digambarkan oleh
Persamaan Noyes-Whitney (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005):
dM/dt
Cs
Cb
Dalam banyak uji disolusi kosentrasi pada bulk medium selalu jauh lebih
kecil dibandingkan dengan larutan jenuh (Cs>>Cb). Kondisi ini disebut kondisi
hilang atau sink condition (Mansoor & Beverly, 2003), sehingga Cb bisa
dihilangkan dari persamaan 2.1., sehingga persamaan Noyes-Whitney menjadi
sama dengan persamaan hukum difusi Fick pertama.
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
10
Tabel 2.2. Kondisi yang Dapat Mempengaruhi Pelarutan dan Pelepasan Obat
Bahan obat
- Ukuran partikel
- Luas permukaan
- Polimorf
- Stabilitas kimia dalam media pelarutan
Media
- Volume
- Molaritas
- pH
- Ko-solven, enzim/surfaktan yang ditambahkan
Suhu media
Peralatan
Formulasi produk obat
- Bahan tambahan (lubrikan, bahan pensuspensi, dll)
Hidrodinamika
- Laju pengadukan
- Penempatan tablet dalam wadah
- Bentuk wadah pelarutan
Sinker (untuk produk obat floating dan
produk yang menempel pada sisi wadah)
[Sumber: Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005]
Ukuran dan bentuk wadah dapat mempengaruhi laju dan tingkat pelarutan.
Sebagai contoh, wadah dapat mempunyai rentang ukuran dari beberapa mililiter
sampai beberapa liter. Bentuk wadah dapat mempunyai alas bulat atau datar,
sehingga dalam percobaan yang berbeda, tablet dapat berada dalam posisi yang
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
11
berbeda. Volume media yang lazim 500-1000 ml. Obat-obat dengan kelarutan
dalam air yang kecil memerlukan penggunaan wadah yang berkapasitas sangat
besar (sampai 2000 ml) untuk mengamati pelarutan/disolusi yang bermakna. Pada
beberapa kasus, 1% natrium lauril sulfat (SLS) dapat digunakan sebagai media
disolusi untuk obat yang tidak larut air. Kondisi sink adalah suatu istilah yang
merujuk pada suatu volume media yang berlebih yang memungkinkan obat padat
untuk melarut secara terus-menerus. Jika larutan obat menjadi jenuh, pelarutan
obat lebih lanjut tidak akan terjadi. Menurut USP-NF, jumlah media yang
digunakan hendaknya tidak lebih dari tiga kali dari yang diperlukan untuk
membentuk larutan jenuh dari bahan obat (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
Jumlah pengadukan dan sifat pengaduk mempengaruhi hidrodinamika
sistem, sehingga mempengaruhi laju disolusi. Kecepatan pengadukan harus
dikendalikan dan produk obat memiliki spesifikasi berbeda. Laju pengadukan
rendah (50-75 rpm) lebih membedakan faktor formulasi yang mempengaruhi
pelarutan dibanding laju pengadukan yang lebih tinggi. Akan tetapi, laju
pengadukan yang lebih tinggi diperlukan untuk beberapa formulasi khusus untuk
memperoleh laju pelarutan reprodusibel. Suspensi yang mengandung bahan kental
atau pengental dapat mengendap dalam suatu daerah cone shape difusi terkendali
dalam labu bila laju pengadukan terlalu lambat. Suhu media pelarutan harus
dikendalikan, dan perbedaan suhu harus dihindarkan. Sebagian besar uji disolusi
dilakukan pada 37oC. Namun, untuk produk transdermal, suhu
yang
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
12
produk obat dan lokasi dalam saluran cerna di mana diperkirakan obat akan
melarut (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
Rancangan alat disolusi, bersama faktor-faktor yang digambarkan di atas,
mempunyai pengaruh pada hasil uji disolusi. Tidak satu pun alat uji yang dapat
digunakan untuk seluruh produk obat. Tiap produk obat harus diuji secara
individual dengan uji disolusi yang memberikan korelasi yang paling baik dengan
biavabilitas in vivo (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
Biasanya, laporan uji disolusi akan menyatakan suatu persentase tertentu
dari jumlah obat yang tertera dalam label produk obat yang harus melarut dalam
suatu selang waktu tertentu. Dalam praktik, jumlah absolut obat dalam produk
obat dari tablet yang satu dengan yang lain dapat bervariasi. Oleh karena itu,
untuk mendapatkan suatu laju pelarutan yang mewakili produk biasanya diuji
sejumlah tablet dari tiap lot (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
2.2.3. Kriteria Penerimaan Uji Disolusi
Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan
dipenuhi jika jumlah zat aktif terlarut dari unit yang diuji memenuhi Tabel
penerimaan. Pengujian dilanjutkan hingga tiga tahap kecuali jika hasil sudah
memenuhi pada tingkat L1 atau L2. Batas jumlah zat aktif terlarut dinyatakan
dalam batasan persentase terhadap jumlah yang tertera pada etiket. Batas meliputi
tiap harga Q1, jumlah zat aktif terlarut pada tiap interval penetapan fraksi terlarut
yang ditetapkan (Ditjem POM, 1995 & The United State Pharmacopeia
Convention, 2014).
2.2.4. Uji Disolusi Tablet Amlodipin
Penetapan uji disolusi tablet amlodipin dilakukan menggunakan alat
disolusi tipe 2 (dayung) dengan kecepatan 75 rpm sebagai media disolusi adalah
500 mL asam klorida 0,1 N (Sukmayati A dkk, 2015). Kriteria penerimaan hasil
uji disolusi tablet amlodipin adalah 75% (Q1) zat aktif terhadap jumlah zat yang
tertera dalam etiket harus terlarut dalam 30 menit (USP 38).
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
13
Jumlah
Pengujian
yang Diuji
Kriteria
Tidak satu nilaipun yang terletak di luar rentang penerimaan yang
L1
dinyatakan dan tidak satupun nilai yang kurang dari jumlah yang
dinyatakan pada waktu penetapan akhir.
Nilai rata-rata dari 12 unit sediaan (L1 + L2) terletak dalam tiap
rentang penerimaan yang dinyatakan dan tidak kurang dari jumlah
yang dinyatakan pada waktu pengujian akhir; tidak satupun yang
L2
lebih 10% dari jumlah yang tertera pada etiket di luar tiap rentang
penerimaan yang dinyatakan; dan tidak ada satupun yang lebih 10%
dari jumlah yang tertera pada etiket di bawah jumlah yang
dinyatakan pada waktu pengujian akhir.
Nilai rata-rata dari 24 unit sediaan (L1 + L2 + L3) terletak dalam tiap
rentang penerimaan yang dinyatakan dan tidak kurang dari jumlah
yang dinyatakan pada waktu pengujian akhir; tidak lebih dari 2 dari
24 unit sediaan yang diuji lebih dari 10% dari jumlah yang tertera
L3
12
[Sumber: Ditjem POM, 1995& The United State Pharmacopeia Convention, 2014]
2.3.
Amlodipin
2.3.1. Deskripsi
Amlodipin adalah antagonis kalsium (calcium antagonist = CA) dari kelas
dihidropiridin (DHP) dengan masa kerja yang panjang, sehingga dapat diberikan
sekali sehari untuk pengobatan hipertensi dan angina pectoris.
Struktur amlodipine adalah 3 ethyl 5 methyl 2 - (2aminoethoxymethyl) 4 - (2-chlorophenyl) - 1,4 dihydro 6 methyl
- 3,5 pyridinedicarboxylate benzenesulphonate.
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
14
15
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
16
secara selektif, di mana sebagian besar mempunyai efek pada sel otot polos
vaskular dibandingkan sel otot jantung.
Efek antihipertensi amlodipine adalah dengan bekerja langsung sebagai
vasodilator arteri perifer dan dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskular
serta penurunan tekanan darah. Dosis satu kali sehari akan menghasilkan
penurunan tekanan darah yang berlangsung selama 24 jam. Onset kerja
amlodipine adalah perlahan-lahan, sehingga tidak menyebabkan terjadinya
hipotensi akut.
Efek antiangina amlodipine adalah melaiui dilatasi arteriol perifer
sehingga dapat menurunkan resistensi perifer totat (afterioad). Karena amlodipine
tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, pengurangan beban jantung akan
menyebabkan penurunan kebutuhan oksigen miokardial serta kebutuhan energi.
Amlodipine menyebabkan dilatasi arteri dan arteriol koroner baik pada keadaan
oksigenisasi normal maupun keadaan iskemia. Pada pasien angina, dosis
amlodipine satu kali sehari dapat meningkatkan waktu latihan, waktu timbulnya
angina, waktu timbulnya depresi segmen ST dan menurunkan frekuensi serangan
angina serta penggunaan tablet nitrogliceryne. Amlodipine tidak menimbuikan
perubahan kadar lemak plasma, dan dapat digunakan pada pasien asma, diabetes
serta gout.
2.3.9. Farmakokinetika
Setelah pemberian dosis terapeutik secara oral, amiodipine diabsorpsi
dengan baik dan kadar puncak dalam plasma tercapai setelah 6 - 12 jam. Volume
distribusi amiodipine kira-kira 21 liter/kg. Waktu paruh eliminasi plasma terminal
adalah sekitar 35 - 50 jam dan konsisten pada pemberian dosis sekali sehari.
Kadar mantap dalam plasma tercapai 7 - 8 hari setelah pemberian secara terus
menerus sehari sekali Sebanyak 97,5% amiodipine dalam sirkulasi terikat dengan
protein plasma. Amlodipine sebagian besar dimetabolisme di hati menjadi
metabolit inaktif, di ekskresi di urin 10% dalam bentuk tidak berubah dan 60%
sebagai metabolit. Pada penderita hipertensi, pemberian dosis sehari sekali
memberikan penurunan tekanan darah yang signifikan, secara klinis baik pada
posisi terlentang maupun berdiri setelah interval waktu 24 jam. Karena mula kerja
yang lambat maka tidak terjadi hipotensi akut setelah pemberian amlodipine pada
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
17
penderita angina. Pemberian dosis sekali sehari meningkatkan waktu exercise dan
menurunkan frekuensi serangan angina dan konsumsi tablet nitrogliserin.
Amiodipine tidak mempengaruhi efek metabolisme lipid dalam plasma.
2.3.10. Farmakodinamika
Sebagai CA, amlodipin menghambat masuknya ion kalsium melalui kanal
kalsium pada membran sel otot dan sel saraf. Ada 2 macam kanal kalsium: VOC
(voltage-operated channel) terbuka oleh depolarisasi, dan ROC (receptoroperated channel) terbuka oleh norepinefrin/ neurotransmiter lainnya tanpa
depolarisasi. VOC ada 3 jenis, yakni kanal N (neuronal), T (transient) dan L
(long-lasting). Hanya kanal L (ada di otak, jantung, otot polos, dan otot rangka)
yang sensitif terhadap CA.
Otot jantung memerlukan ion kalsium dari luar, disamping ion kalsium
intrasel otot polos bergantung hampir seluruhnya pada ion kalsium ekstrasel.
Sedangkan otot rangka tidak memerlukan ion kalsium ekstrasel, karena, CA
menghambat kontraksi otot polos dan otot jantung, tetapi tidak menghambat
kontraksi otot rangka. Otot polos yang paling sensitif adalah otot polos vascular,
koroner dan skeletal. Efek CA lemah dan bervariasi dalam menghambat otot
polos vaskular kulit, otot polos bronkus, dan otot polos esophagus dan usus, CA
jauh lebih aktif dalam menyebabkan dilatasi arteriol daripada dilatasi vena.
Pada jantung, ion kalsium ekstrasel juga diperlukan untuk pembentukan
impuls SA dan AV. CA kelas DHP, bersifat vaskuloselektif, artinya aktivitas
hambatannya terhadap kontraksi otot polos vaskular lebih besar dibanding
hambatannya terhadap kontraksi otot jantung maupun terhadap konduksi AV dan
denyut jantung. Amlodipin, sebagai CA golongan DHP generasi baru
menunjukkan efek vaskulo selektivitas yang lebih tinggi dibanding CA generasi
lama.
Sifat vaskulo selektif golongan DHP ini, membawa keuntungan pada
pengobatan hipertensi dan angina karena menurunkan tahanan tepi maupun
serangan angina tanpa efek samping pada jantung dan relatif aman dalam
kombinasi dengan beta-bloker. Di samping itu, pada gangguan fungsi jantung
juga lebih aman; amlodipin dapat diberikan pada gagal jantung derajat ringan
sampai sedang.
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
18
2.4.
Spektrofotometri
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
19
dimasukkan ke dalam molekul dam bila pelarut berubah dari non-polar ke pelarut
polar (Dachriyanus, 2004; Rohmandan Sudjaji, 2007).
Menurut Rohman dan Sudjaji (2007), hal-hal yang harus diperhatikan
dalam analisis spektofotometri ultraviolet adalah:
1. Pemilihan panjang gelombang
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah
panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk
memperoleh panjang gelombang maksimum, dilakukan dengan membuat
kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu
larutan baku pada konsentrasi tertentu. Ada beberapa alasan mengapa
harus menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu :
a. Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal
karena pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan
absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling
besar.
b. Disekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi
datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan
terpenuhi.
c. Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan
oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali,
ketika digunakan panjang gelombang maksimal.
2. Pembuatan kurva baku
Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai
konsentrasi.
Masing-masing
absorbansi
larutan
dengan
berbagai
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
20
= konsentrasi (g.l-1)
A=
Keterangan
. b. C ........................................................................................ (2.4)
= absorptivitas spesifik (ml g-1 cm-1)
:
b
= ketebalan sel
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
BAB III
METODE KERJA
3.1.
3.2.
spektrofotometer UV-Vis, sonikator, pipet volume, spuit 10 ml, dan alat-alat gelas
skala laboratorium.
Bahan yang digunakan antara lain tablet amlodipin sampel (mengandung
amlodipin besilat), tablet amlodipin generik (Hexpharm Jaya), tablet amlodipin
paten (merek Gensia, Pharos), baku amlodipin besilat, metanol, HCl 0,1 N,
aquadest, PVP, amilum, laktosa, nipagin, nipasol, talk, Mg stearat, dan primogel.
3.3.
Prosedur Kerja
21
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
22
10
ppm
diukur
absorbansinya
dengan
menggunakan
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
23
larutan induk amlodipin besilat yang diencerkan ke dalam labu ukur 100
ml dengan pelarut HCl 0,1 N.
Masing-masing larutan diukur serapannya dengan spektrofotometer UvVis pada panjang gelombang 237 nm, kemudian dibuat kurva regresi
linear antara kadar amlodipin dan serapannya sehingga diperoleh
persamaan regresi linear y = a + bx.
2. Uji Disolusi
Uji disolusi tablet amlodipin dilakukan menggunakan alat uji disolusi tipe
2 (tipe dayung) pada suhu 37 0,5C dengan kecepatan 75 rpm selama
satu jam. Uji disolusi dilakukan pada media 500 ml larutan HCl 0,1 N.
Larutan HCl 0,1 N dimasukkan ke dalam enam wadah disolusi dan
dibiarkan hingga suhu 37 0,5 0C. Dari masing-masing tablet amlodipin,
diambil enam tablet dan tiap tablet amlodipin ditimbang satu per satu,
kemudian dimasukkan kedalam wadah disolusi yang berisi 500 ml HCl 0,1
N.
Pada menit ke- 3, 6, 12, 15, 30, 45 dan 60 dilakukan proses pengambilan
cuplikan sampel untuk mengukur kadar amlodipin yang terlarut dengan
mengambil larutan didalam chamber sebanyak 10 ml sesuai waktu yang
telah ditetapkan. Setelah pencuplikan sampel dilakukan penggantian
medium disolusi, yaitu dengan menambahkan 10 ml HCl 0,1 N ke dalam
chamber.
Masing-masing
sampel
larutan
diukur
serapannya
dengan
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Keseragaman Kadar
Persamaan
Regresi Linear
y = 0,0422x 0,0072
Koefisien
Korelasi (r)
r = 0,9998
r = 0,99989
24
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
25
Kadar (%)
104,076
105,972
104,550
104,313
96,967
99,810
105,498
98,389
102,417
101,943
SD RSD (%)
3,091
3,018
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
26
ditetapkan oleh FI IV yaitu kadar terletak antara 90% hingga 110% dari yang
tertera pada etiket, dan memiliki simpangan baku relatif kurang dari 6%, yaitu
3,018%.
Berdasarkan hasil uji keseragaman kandungan, dapat disimpulkan bahwa
tablet amlodipin sampel telah memenuhi persyaratan keseragaman sediaan.
Dengan terpenuhinya persyaratan keseragaman sediaan, faktor kesalahan yang
menyebabkan variasi profil disolusi dari setiap tablet dapat diminimalkan, dimana
faktor perbedaan kadar dari tiap tablet tidak dapat dijadikan suatu alasan ketika
hasil uji disolusi dari tiap tablet bervariasi.
4.2. Disolusi
4.2.1. Pembuatan Kurva Kalibrasi Amlodipin dalam Pelarut HCl 0,1 N
Kurva kalibrasi digunakan untuk penetapan kadar amlodipin dalam tablet
lepas lambat, yang kadarnya dapat dihitung melalui persamaan regresi linier.
Kurva kalibrasi standar amlodipin dibuat dalam pelarut HCl 0,1 N. Dari
pembuatan kurva kalibrasi amlodipin diperoleh persamaan regresi linear y = a +
bx dan koefisien korelasi (r), di mana y menggambarkan absorbansi dan x
menggambarkan konsentrasi. Data kurva kalibrasi dapat dilihat pada tabel 4.3.,
sedangkan gambar kurva kalibrasi dapat dilihat pada gambar 4.2.
C
Absorbansi
(ppm)
0
0,000
5
0,169
10
0,360
15
0,534
20
0,723
25
0,907
Persamaan
Regresi Linear
y = 0,0364x 0,0062
Koefisien
Korelasi (r)
r = 0,9998
r = 0,99989
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
27
28
Waktu
(menit ke-)
0,221
0,335
0,260
0,311
0,167
0,336
0,346
0,355
0,370
0,390
0,323
0,358
0,380
0,367
0,363
0,377
0,367
0,363
15
0,370
0,359
0,354
0,365
0,366
0,349
30
0,347
0,359
0,351
0,358
0,350
0,337
45
0,352
0,343
0,336
0,350
0,342
0,330
60
0,345
0,330
0,327
0,341
0,336
0,326
9,374
7,313
8,714
4,758
9,401
Konsentrasi
rata-rata
SD
RSD
(%)
7,634
1,878
0,143
9,676
9,923
10,335
10,885
9,044
10,005
9,978
0,619
0,062
12
1,.610
10,253
10,143
10,527
10,253 10,143
10,321
0,199
0,021
15
10,335
10,033
9,896
10,198
10,225 9,758
10,074
0,219
0,022
30
9,703
10,033
9,813
10,005
9,786
9,429
9,795
0,221
0,022
45
9,841
9,593
9,401
9,786
9,566
9,236
9,571
0,228
0,022
60
9.648
9.236
9.154
9.538
9.401
9.126
9.351
0.214
0.020
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
29
C
(ppm)
Kadar ZA dalam
10 ml (mg)
Kadar ZA dalam
500 ml (mg)
Kadar ZA
Setelah
Koreksi (mg)
% ZA yang
Terdisolusi
7,634
0,076
3,817
3,817
76,337
9,978
0,100
4,989
5,065
101,307
12
10,321
0,103
5,161
5,260
105,210
15
10,074
0,101
5,037
5,140
102,806
30
9,795
0,098
4,897
4,998
99,964
45
9,571
0,096
4,785
4,883
97,664
60
9,351
0,094
4,675
4,771
95,421
Waktu
(menit)
0,342
0,348
0,353
0,359
0,345
0,314
0,348
0,345
0,345
0,349
0,335
0,339
0,328
0,329
0,336
0,344
0,325
0,333
15
0,328
0,324
0,322
0,330
0,318
0,318
30
0,314
0,313
0,318
0,319
0,306
0,309
45
0,315
0,306
0,305
0,311
0,305
0,305
60
0,303
0,297
0,298
0,300
0,297
0,299
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
30
SD
RSD
(%)
Konsentrasi
rata-rata
7,986
8,129
8,249
8,393
8,058
7,314
8,022
0,375
0,030
8,129
8,058
8,058
8,153
7,818
7,914
8,022
0,130
0,010
12
7,650
7,674
7,842
8,034
7,578
7,770
7,758
0,164
0,013
15
7,650
7,554
7,506
7,698
7,410
7,410
7,538
0,120
0,009
30
7,314
7,290
7,410
7,434
7,122
7,194
7,294
0,121
0,009
45
7,338
7,122
7,098
7,242
7,098
7,098
7,166
0,101
0,007
60
7,050
6,906
6,930
6,978
6,906
6,954
6,954
0,055
0,004
C
(ppm)
Kadar ZA dalam
10 ml (mg)
Kadar ZAdalam
500 ml (mg)
Kadar ZA
Setelah
Koreksi (mg)
% ZA yang
Terdisolusi
8,022
0,080
4,011
4,011
111,411
8,022
0,080
4,011
4,091
113,639
12
7,758
0,078
3,879
3,959
109,975
15
7,538
0,075
3,769
3,847
106,849
30
7,294
0,073
3,647
3,722
103,402
45
7,166
0,072
3,583
3,656
101,558
60
6,954
0,070
3,477
3,549
98,580
31
Waktu
(menit)
0.371
0.373
0.356
0.365
0.348
0.352
0.361
0.358
0.347
0.358
0.341
0.373
12
0.353
0.349
0.333
0.343
0.334
0.362
15
0.344
0.333
0.323
0.335
0.325
0.352
30
0.33
0.323
0.322
0.323
0.315
0.344
45
0.321
0.32
0.31
0.319
0.31
0.338
60
0.314
0.316
0.296
0.309
0.304
0.332
paten
didapatkan
konsentrasi
tablet
amlodipin
dengan
Konsentrasi
rata-rata
SD
RSD
(%)
8,681
8,729
8,321
8,537
8,129
8,225
8,437
0,248
0,021
8,441
8,369
8,106
8,369
7,962
8,729
8,329
0,269
0,022
12
8,249
8,153
7,770
8,010
7,794
8,465
8,074
0,270
0,022
15
8,034
7,770
7,530
7,818
7,578
8,225
7,826
0,266
0,021
30
7,698
7,530
7,506
7,530
7,338
8,034
7,606
0,239
0,018
45
7,482
7,458
7,218
7,434
7,218
7,890
7,450
0,246
0,018
60
7,314
7,362
6,882
7,194
7,074
7,746
7,262
0,293
0,021
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
32
C
(ppm)
Kadar ZA dalam
10 ml (mg)
Kadar ZAdalam
500 ml (mg)
Kadar ZA
Setelah
Koreksi (mg)
% ZA yang
Terdisolusi
8,437
0,084
4,219
4,219
117,184
8,329
0,083
4,165
4,249
118,029
12
8,074
0,081
4,037
4,120
114,446
15
7,826
0,078
3,913
3,994
110,934
30
7,606
0,076
3,803
3,881
107,812
45
7,450
0,075
3,725
3,801
105,586
60
7,262
0,073
3,631
3,706
102,933
(menit)
Tablet Sampel
Tablet Generik
Tablet Paten
76,336
111,411
117,184
101,307
113,639
118,029
12
105,210
109,975
114,446
15
102,806
106,849
110,933
30
99,964
103,402
107,812
45
97,664
101,558
105,586
60
95,421
98,580
102,933
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
33
Gambar 4.3. Profil Disolusi Tablet Amlodipin Sampel, Generik, dan Paten
Hasil uji disolusi dari tablet amlodipin sampel diatas menunjukkan bahwa
tablet amlodipin sampel yang merupakan hasil formulasi serta tablet amlodipin
generik dan paten yang digunakan sebagai pembanding telah memenuhi
persyaratan hasil uji disolusi tablet amlodipin menurut USP 38, dimana dalam
waktu 30 menit kadar amlodipin yang terdisolusi tidak kurang dari 75%.
Berdasarkan hasil uji disolusi pada tabel 17, kadar amlodipin yang
terdisolusi dari tablet amlodipin sampel pada menit ke-3 sudah lebih dari 75%,
yaitu sebesar 76,336%, sedangkan pada menit ke-12 kadar amlodipin yang
terdisolusi sudah mencapai kadar tertinggi, yaitu 105,21% dan setelah itu kadar
amlodipin yang terdisolusi mengalami penurunan kadar pada menit ke-15 hingga
menit ke-60. Bila dibandingkan dengan hasil uji disolusi tablet amlodipin generik
dan tablet amlodipin paten, kecepatan disolusi tablet amlodipin sampel lebih
rendah. Hal ini terlihat dari hasil persentase kadar amlodipin yang terdisolusi,
dimana kedua tablet pembanding pada menit ke-3 kadar amlodipin yang
terdisolusi sudah mencapai lebih dari 75% bahkan 100%, yaitu 111,411% dan
117,184%, sedangkan kadar amlodipin yang terdisolusi tertinggi terjadi pada
menit ke-6, yaitu sebesar 113.639% untuk tablet generik dan 118.029% untuk
tablet paten. Berdasarkan hasil uji disolusi tersebut, kadar amlodipin yang
terdisolusi dari tablet generik dan paten tidak memenuhi syarat, karena kadar
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
34
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
1. Tablet amlodipin sampel memenuhi syarat keseragaman kadar, dimana
kesepuluh tablet amlodipin sampel memiliki kadar antara 96,967% hingga
105,498% dan memiliki simpangan baku relatif kurang dari 6%, yaitu
3,018%.
2. Tablet amlodipine sampel memenuhi syarat uji disolusi tablet amlodipin,
dimana pada menit ke-3 kadar amlodipin yang terdisolusi sudah mencapai
lebih dari 75%, yaitu 76,336% dan kadar amldodipin yang terdisolusi
tertinggi terjadi pada menit ke-12 dengan kadar 105,21%
3. Laju disolusi tablet amlodipin sampel lebih rendah dibandingkan dengan
laju disolusi tablet amlodipin generik dan paten, dimana pada menit ke-3
kadar amlodipin yang terdisolusi dari kedua tablet tersebut sudah lebih
dari 100%, yaitu 111,411% dan 113,639% sedangkan kadar amlodipin
yang terdisolusi tertinggi terjadi pada menit ke-6, yaitu sebesar 113.639%
untuk tablet generik dan 118.029% untuk tablet paten.
4. Persentase kadar amlodipin yang terdisolusi dari tablet amlodipin generik
dan paten yang terdisolusi mencapai lebih dari 110% yng mengindikasikan
tidak terpenuhinya syarat keseragaman kadar.
5.2.
Saran
Perlu dilakukan penepatan keseragaman kadar pada tablet amlodipin
generik dan tablet amlodipin paten, mengingat kadar amlodipin yang terdisolusi
mencapai kadar lebih dari 110% yang berada diluar rentang syarat keseragaman
kadar.
35
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945
36
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Pancasila
Universitas 17 Agustus 1945