Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Banyak orang menganggap sepele rheumatoid arthritis dan

menganggap penyakit itu sebagai radang sendi biasa, sehingga mereka

terlambat melakukan pengobatan. Rheumatoid arthtritis tidak boleh di

abaikan karena termasuk kategori penyakit autoimun. Penyakit autoimun

tersebut besifat progresif yang bisa menyerang fungsi organ tubuh lainnya

dalam waktu yang cepat. Penyakit autoimun ini ditandai dengan

peradangan kronis pada sendi tangan dan kaki yang disertai dengan gejala

anemia, kelelahan, dan depresi. Peradangan ini menyebabkan nyeri sendi,

kekakuan, dan pembengkakan yang menyebabkan hilangnya fungsi sendi

karena kerusakan tulang yang berujung pada kecatatan progresif. Dalam

waktu dua hingga lima tahun, jari penderita bisa bengkok-bengkok.

Penyakit ini bisa menyerang organ tubuh lainnya diantaranya jantung,

mata, paru-paru. Bukan hanya penyakit persendian, tetapi bisa

menurunkan fungsi organ tubuh lainnya sehingga dalam waktu sepuluh

tahun, pasien harus dibantu orang lain dalam aktivitas sehari-hari (sasetyo,

2013).

Rheumatoid arthritis adalah penyakit inflamasi sistemik kronik,

inflamasi sistemik yang dapat mempengaruhi banyak jaringan dalam organ,

tetapi terutama menyerang fleksibel (sinovial) sendi.


Faktor risiko dalam peningkatan terjadinya RA diantaranya adalah

jenis kelamin perempuan, genetik atau riwayat keluarga, usia, gaya hidup

seperti merokok, dan konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari,

(suarjana, 2009) obesitas juga merupakan salah satu faktor risiko

(symmons, 2006).

Faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit rheumatoid

arthritis. seperti merokok, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa

merokok meningkatkan risiko rheumatoid arthritis. Ini mungkin karena

menghirup sejumlah besar bahan kimia yang terkandung didalam rokok

dapat menyebabkan gangguan kekebalan tubuh, mengakibatkan

peradangan dan pemicu penyakit. Hubungan obesitas dengan penyakit

reumatoid arthritis, disebabkan oleh ketidakseimbangan penderita untuk

memelihara berat badan idealnya. Selain itu, genitik juga dampak faktor

dari penyakit rheumatoid arthritis karena jika anggota keluarga memiliki

RA, anggota lainnya cenderung menderita penyakit ini.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) melaporkan bahwa 20%

penduduk dunia terserang penyakit arthritis rheumatoid, mereka yang

berusia 55 tahun (WHO,2012). WHO pada tahun 2010 menyebutkan

bahwa lebih dari 355 juta orang di dunia menderita penyakit rheumatoid

arthritis. Itu berarti setiap enam orang didunia, satu diantaranya adalah

penyandang rheumatoid arthritis.

Dari tahun 2010 – 2012 diperkiran terdapat 52,2 juta orang dewasa di

amerika serikat yaitu, sekitar 22,7% penduduk pertahunnya, yang pernah


divonis dokter mengidap jenis rheumatoid arthritis. Rheumatoid artritis

lebih sering diderita oleh wanita, dan terjadi lebih sering dengan

bertambahnya umur.

Di indonesia rheumatoid arthritis mencapai 23,6% hingga 31,3%.

Angka ini menunjukkan bahwa tingginya angka kejadian reumatik,

berdasarkan data statistik indonesia (2016).

Di indonesia prevalensi RA 23,3%- 31,6% dari jumlah penduduk

indonesia. Pada tahun 2007 lalu, jumlah pasien ini mencapai 2 juta orang

dengan perbandingan pasien wanita tiga kali lebih banyak dari pria. Angka

ini diperkiran terus meningkat hingga 2025 dengan indikasi lebih dari 25%

akan mengalami kelumpuhan (wiyono, 2010).

Sementara data yang di peroleh dari puskesmas walenrang timur

sebanyak 98 yang menderita penyakit rheumatoid arthritis pada tahun

2018.

Berdasarkan data yang ada diatas maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian di puskesmas walenrang timur, dengan alasan bahwa

ingin lebih mengetahui Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian

penyakit rheumatoid arthtritis.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan rumus di atas, rumusan masalah di kemukakan sebagai

berikut :

1. Apakah ada hubungan merokok dengan kejadian penyakit

rheumatoid arthritis?
2. Apakah ada hubungan obesitas dengan kejadian penyakit

rheumatoid arthritis?

3. Apakah ada hubungan genetik dengan kejadian penyakit

rheumatoid arthritis?

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan penyakit

rheumatoid arthtritis di puskesmas walenrang timur tahun 2019.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui hubungan merokok dengan kejadian penyakit

rheumatoid arthtritis.

b. Untuk menegtahui hubungan obesitas dengan kejadian penyakit

rheumatoid arthritis.

c. Untuk mengetahui hubungan genetik dengan kejadian penyakit

rheumatoid arthrtitis.
D. Manfaat penelitian

1. Manfaat institusi

Sebagai bahan masukan atau informasi bagai departemen kesehatan

dan institusi terkait lainnya dalam rangka menentukan kebijaksanaan

untuk pembangunan dalam bidang kesehatan.

2. Manfaat ilmiah

Sebagai bahan pustaka bagi masyarakat dan peneliti yang ingin

melanjutkan peneltian ini.

3. Manfaat praktis

Sebagai wahana penulis untuk mengembangkan dan memperdalam

pengetahuan dalam penelitian kesehatan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Rheumatoid Arthtritis

1. Pengertian

a. Rheumatoid arthtritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya

belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada

beberapa kasus disertai oleh keterlibatan jaringan ekstraartkular .

perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik, dan

progresif. Sebagian besar kasus perjalanannya kronik kematian dini

(rekomendasi perhimpunan reumatologi indonesia, 2014).

b. Kata arthtritis berasal dari bahasa yunani, “arthon” yang berarti sendi,

dan “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthtiris berarti radang

ppada sendi. Sedangkan rheumatoid arthtritis adalah suatu penyakit

autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami

peradangan, sehingga terjadi pembengkaka, nyeri dan seringkali

menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi (febriana, 2015).

Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak

mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak

sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapi

kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran

karateristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana


sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat

(febriana, 2015).

c. Rheumatoid arthritis adalah penyakit yang tidak hanya menyerang sendi,

tetapi juga menyerang organ atau bagian tubuh lainnya. Secara umum,

penyakit rheumatoid arthtritis adalah penyakit yang menyerang sendi

dan struktur atau jaringan penunjang disekitar sendi. Penyakit

rheumratoid arthtritis yang paling umum adalah osteoarthtiris akibat

degenarasi atau proses penuaan, rheumatoid arthtiris ( penyakit

autoimun ), dan goat karena asam urat tinggi. (iskandar junaidi, 2012).

2. Etiologi

Penyebab penyakit rheumatoid arthtritis belum dketahui secara pasti,

namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas ( antigen-

antibodi), faktor system, infeksi virus ( suratun, heyati, manurung & raenah,

2008).

Faktor risiko berhubungan dengan penyakit rheumatoid arthtritis :

a. Faktor genetik

Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA.

Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRBI. Selain itu juga dapat ada

gen tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial

pada faktor genetik RA terdapat diantara poppulasi Eropa dan Asia.

HLA-DRBI terdapat diseluruh populasi penelitian, sedangkan

polifofisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada


populasi Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam

keluarga dengan kejadia RA pada keturunan selanjutnya.

b. Faktor usia

RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun

penyakit ini jika dapat terjadi pada dewasa tua dan anak anak

(rheumatoid arthtritis juvenil). Dari semua faktor risiko untuk timbulnya

RA, faktor ketuaan adalah yang kuat. Prevalensi dan beratnya RA

semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak pernah

pada anak-anak, jarang pada pada usia di bawah 40 tahun dan sering pada

usia 60 tahun.

c. Jenis kelamin

RA jauh lebih sering pada perempuan di banding laki-laki denagn

rasio 3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum

jelas. Perbedaan pada hormon seks kemungkina memiliki pengaruh.

d. Gaya hidup

1) Status sosial ekonomi

Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat

kaitan antara faktor sosial dan ekonomi dengan RA, berbeda dengan

penelitian di Sedia yang menyatakan terdapat kaitan antara tingkat

pendidikan dengan perbedaan paparan saat bekerja dengan risiko RA.

2) Merokok

Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukan bahwa

rokok tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA.


Merokok berhugan dengan produksi dari rheumatoid factor (RF) yang

akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga

berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana merokok menjadi

10 hingga 40 kalih lebih tinggi perbandingan bukan perokok.

Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab namun

kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.

Walaupun rokok bukanlah penyebab langsung artritis, sekarang

diketahui bahwa rokok merupakan faktor risiko. Merokok

menyebabkan bermacam masalah kesehatan yang hampir dipastikan

memperparah segala macam penyakit yang diderita perokok daripada

yang bukan perokok. Beberapa efek khusus karena merokok dapat

sangat merugikan penderita arttritis.

Sebagai risiko yang ditimbulkan itu sebagai berikut:

a. Perokok lebih mungkin menderita tekanan darah tinggi, penyakit

jantung koroner, dan penggumpalan darah yang menyebabkan

sirkulasi buruk di kaki, yang kadang-kadang menyebabkan

kelemayuh (gangren) sehingga kaki itu harus dipotong.

b. Penderita rheumatoid arthtritis parah dapat mengengbangkan

masalah peedaran darah. Merokok dapat memperbesar risiko

artitritis dua kali lipat. Artritis biasanya membatasi gerakan, dan

akhirnya merokok menyebabkan kerusakan sistem sirkulasi.

3) Diet
Banyaknya isu terkait faktor risio RA sala satunya adalah makan

yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison dkk,

isu mengenai faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan

jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis makanannya. Penelitian

tersebut menyebutkan daging merah dapat meningkatkan risiko RA

sedangkan buah-buahan dan minyak ikan memproduksi kejadian RA.

Selain itu penelitian lain menyebabkan konsumsi kopi juga sebagai

faktor risiko namun masih belum jelas bagaimana hubungannya.

4) Infeksi

Banyaknya penelitian mengkaitkan adanya infeksi epstein barr

virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan

synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya parvovirus B19,

mycoplasma pnemoniae, proteus, bartonella, dan chlamydia juga

meningkatkan risiko RA.

5) Pekerjaan

Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,

petambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun

risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan

paparan silica.

6) Faktor hormonal

Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu

pada perempuan dengan sindrom polikstik ovari, siklus menstruasi

iregular, dan menarche usia sangat muda.


7) Bentuk tubuh

Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang dimiliki indeks

massa tubuh (IMT) lebih dari 30.

Manusia dirancang untuk bertubuh lansing bukan gemuk

berlemk, dan epidemi obesitas didunia barat menimbulkan

peningkatan dalam banyak kondisi penyakit, termasuk arttritis.

Kelebihan berat badan merupakan salah satu faktor risiko pada arttritis

yang sudah terbukti. Sistem pertahanan mana pun akan aus lebih cepat

bila diberi beban yang berlebihan. Kelebihan berat badan dapat

meneyebakan tekanan yang sebetulnya tidak diperlukan pada sendi.

Tendon dan ligamen dapat terpisah oleh lapisan-lapisan lemak,

sehingga mengganggu perlekatannya dengan tulang. Orang genuk

biasanya kurang aktif dibandingkan orang kurus, dan ini juga

merupakan efek buruk bagi penderita artritis. Latihan sedang dan

teratur dapat membantu penderita artritis.

3. Patofisologi

Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan

penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor

dalam (usia, jenis kelamin, keturunan dan psikologis). Diperkirakan infeksi

virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Seiring faktor cuaca yang

lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.

Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun

komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai
pencetus awal, mungkin unfeki virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid,

suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun

komplek (autoimun).

Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui,

dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran

imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai meditor peradangan.

Semua peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirnya

menyebabkan keradangan pda sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya

dan mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang

dapat menyebabkan pertumbuhan, diferenisasi dan aktifitas sel, dalam

proses keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan

yaitu TNF a, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag

menyebabkan stimulasi dari sel mesezim seperti sel fibroblast sinovium,

osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran penghancur jaringan,

enzim matrix metalloproteases (MMPs) (putra dkk, 2013).

Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari

pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF ( rheumatoid factor) dan anti-

CCP dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari igG. Dan

terdapat pemebentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri. Akibat

paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada

75 sampai 80% penderita RA, yajg dikatakan sebagai seropositve. Anti-CCP

didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%)

dan terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saa ini RF dan anti
–CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan

progresifitas penyakit (putra dkk, 2013).

Sel B, sle T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam

patofifiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T

merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya

sinofitis. Sinofitis adalah peradangan pada memran sinovial, jaringan yang

melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui

pembentukan anti bodi mengikat patogen, kemudian menghancurkannya.

Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan

pembuluh darah baru pada memran sinovial. Kejadian tersebut

menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri

dari sel fibroplas yang berproliferasi, mikrovaskuler dan berbagai jenis sel

radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulag, melalui enzim yang

dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago.

Disamping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah

satu reaksi sitemik yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut (CRP),

anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoprosis serta mampu

mempengaruhi hypothalamic-pituitary- adrenalaxis, sehingga menyebabkan

kelellahan dan depresi (choy, 2012).

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada

jaringan dibawah sinovium, poliferasi ringan dan sinovial, infiltrasi PNM,

dan penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA

yang secara klinis sudah jelas, secara mikros akan terlihat sinovium sangat
edema dan menonjol keruang sendi dengan pembentukan vili. Secara

mikros terlihat hyperplasia dan hypertropisel sinovia dan terlihat kumpulan

residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah vokal atau segmental

berupa distensi vena, penyumbatan kapilar, daerah trombosis dan

pendarahan ferivaskular. Pada RA kronis terjai kerusakan menyeluruuh dari

tulang rawal, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek

yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan

akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya pannus (putra dkk,

2013).

4. Manifestasi klinis

Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau

bulan. Sering pada keadaan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.

Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan

keluhan diluar sendi (putra dkk, 2013).

a. Keluhan umum

Keluhan umum dapat berupa perasaan bdan lemah, nafsu makan

menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penuruna berat

badan.

b. Kelainan sendi

Terutama mengenai sendin kecil dan semetris yaitu sendi

pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga

dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul,


pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan

sering berupa kau sendi dipagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.

c. Kelainan diluar sendi

1) Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)

2) Jantung : kelainan jantung yang sintomatis jarang didapatkan, namun

40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard.

3) Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan

kelaina pleura (efusi pleura, nodul subpleura).

4) Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering

terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris diekstremitas dengan

gejala foot or wrist drop.

5) Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa

kekeringan mata, skeliritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans.

6) Kelenjar limfe : syndrom felty adalah RA dengan spleenomegali,

limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni.

5. Diagnosis

Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal

ini disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil

pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa.

Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat

ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang

direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang

digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik.


Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan

sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002).

Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association)

yang direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis

RA:

a. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1

jam sebelum perbaikan maksimal.

b. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah

sendi atau lebih secara bersamaan.

c. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu

pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal),

MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.

d. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi

misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal),

atau MTP (metatarsophalangeal).

e. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau

permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.

f. Rheumatoid Factor serum positif

g. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan

atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi

yang terlibat.

Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria

di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu.


Selain kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA

berdasarkan skor dari American College of Rheumatology

(ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA.

Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin memenuhi kriteria RA secara

prospektif (gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat

domain didapatkan dari riwayat penyakit) (Putra dkk,2013).

6. Pemeriksaan penunjang

a. Faktor reumatoid, fiksasi lateks, reaksi-reaksi aglutenasi

b. Laju endap darah : umumnya meningkat pesat (80-100 mm/h)

mungkin kembali normal sewaktu gejala-gejala meningkat.

c. Protein C-reaktif: positif selama masa eksaserbasi.

d. Sel darah putih: meningkat pada waktu timbul proses inflamasi.

e. Hemoglobin: umumnya menunjukkan anemia sedang.

f. Ig (ig M dan ig G); peningkatan besar menunjukkan proses autoimun

sebagai penyebab RA.

g. Sinar x dari sendi yang sakit: menunjukkan pembengkakan pada

jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang

berdekatan (perubahan awal) bekembang menjadi formasi kista tulang,

memeperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan osteoartristik

yang terjadi secara bersamaan.

h. Scan radionuklida: identifikasi peradangan sinovium.

i. Artroskopi langsung, aspirasi cairan sinovial


j. Biopsi membran sinovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan

perkembangan panas.

7. Penatalaksanaan

Setelah diagnosis RA dapat ditegakan, pendekatan pertama yang

harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang

baik antara pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan

yang merawatnya.

a. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan

yang akan dilakukan segingga terjalin baik dan terjamin ketaatan pasin.

b. OAINS diberikan sejak dini untuk megatasi nyeri sendi akibat

inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang dpaat diberikan:

1) Aspirin; pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1g/

hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai erjadi

perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.

2) Ibuprofen, naproksen, piroksikam,diklofenak, dan sebagainya.

3) DMARD (disiase-modifying antirheumatic drugs) digunakan untuk

melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat

rheumatoid arthtritis. Mula khaisatnya baru terlihat setelah 3-12

bulan kemudian.

8. Pencegahan

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menekan faktor risiko:

a. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi

risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS


yang menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami

perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.

b. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.

Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun,

menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot

lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.

c. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja

lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan

diet makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang

pada sendi.

d. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,

jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin

A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi

akibat radikal bebas.

e. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas

pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan

mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan

sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa

terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari.

(Candra, 2013).

f. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa

merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu


upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak

menjadi perokok aktif maupun pasif. (Febriana, 2015).

B. Faktor Penyebab Penyakit Remathoid Artritis

1. Merokok

Rokok adalah silinder yang terbuat dari kertas berukuran panjang

sekitar 70 hingga 120 mm dengan berdiameter sekitar 10 mm dan berisi

daun tembakau yang telah dicacah. Rokok biasanya dijual dalam

bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas yang dapat dimasukkan

dengan mudah ke dalam kantong. Sejak beberapa tahun terakhir,

bungkusan-bungkusan tersebut juga umumnya disertai pesan kesehatan

yang memperingatkan perokok akan bahaya kesehatan yang dapat

ditimbulkan dari merokok, misalnya kanker paru-paru atau serangan

jantung(walapun pada kenyataanya itu hanya tinggal hiasan, jarang sekali

dipatuhi).

Berikut ini beberapa bahan berbahaya yang terkandung pada sebatang

rokok :

a. Aseton : ditemukan dalam cairan pembersih kuteks (cat kuku )

b. Amonia : pembersih rumah yang umum digunakan

c. Asam atetat : bahan cat rambut

d. Arsenik : digunakan pada racun tikus

e. Benzene : ditemukan d semen karet

f. Butane : ditemukan dalam cairan korek

g. Kadmium : komponen aktif dalam asam baterai


h. Karbon monoksida : tercipta dalam asam knalpot

i. Formaldehida : cairan pengawet

j. Hexamine : ditemukan di caian korek berbekyu

k. Lead : digunakan dalam baterai

l. Naftalena : bahan dalam kapur barus

m. Methanol : komponen utama bahan bakar roket

n. Nikotin : digunakan sebagai intektisida

o. Tar : material untuk mengaspal jalan

p. Toluene : digunakan untuk bahan cat

Rokok memiliki berbagai racun dari bahan kimia yang dikandungnya.

Bahaya meokok bagi kesehatan yang paling utama datang dari racun

karsionogen (penyebab kanker) dan karbon monoksida pada asap rokok.

Kedua zat tersebut akan terhirup saluran pernafasan, yang pada akhirnya

dapat memicu kerusakan organ dan menurutnya fungsi dari organ sistem

jantung, pembuluh darah, dan pernafasan.

Akibatnya, tubuh akan lebih sulit melawan bibit penyakit yang berada

di lingkungan sekitar karena harus mengatasi kerusakan organ dan melawan

racun dari paparan asap rokok. Akibat tubuh akan lebih ulit melawan bibit

penyakit yang beraa dilingkungan karena harus mengatasi kerusakan organ

dan melawan racun dari paparan asap rokok.

Penurunan fungsi kekebalan tubuh ditandai dengan kurangnya

kemampuan tubuh dalam melawan bibit penyakit yang bisa menyebabkan


infeksi. Hal ini dapat dikarenakan kerusakan organ dan komponen imunitas

yang tidak dapat bekerja dengan baik saat tubuh kekurangan asupan yang

dibutuhkannya. Misalnya, oksigen dan antioksidan. Hal tersebut sangat

mungkin disebabkan oleh kebiasaan merokok. Berikut ini beberapa bahaya

merokok bagi kesehatan terutama sistem imun anda :

1) Kerusakan saluaran pernafasan

Kerusakan saluran pernafasan adalah efek rokok paling awal yang

menyebabkan penurunan daya tahan tubuh. Racun pada rokok dapat

menyebabkan iritasi serta timbulnya lendir pada saluran pernafasan yang

dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada tenggorokan ingga paru.

2) Memicu kondisi autoimun

Dampak rokpk tak hanya pada saluran pernafasan saja, melainkan juga

dapat memicu kondisi autoimun. Kandungan racun karsinogen dan tar

pada sebatang rokok menyebabkan tubuh anda menjadi kurang efektif

melawan peradangan. Sistem imun yang melemah juga berbahaya karena

dapt memicu penykit autoimun seperti rematik.

3) Menghambat aliran darah

Kandungan nikotin pada sebatang rokok dapat mebuat drah menjdi lebih

kental. Karena itulah nutrisi, minerial, dan oksigen yang disebabkan

melalui darah tidak bisa diserap banyak dan optimal pada tubuh.

Dampak rokok ini mengakibatkan peradangan pada bagian luar maupun

organ dalam tubuh jadi lebih lama disembuhkan.


4) Jumlah antibodi yang berkurang

Efek rokok yang telah memasuki aliran darah mengurangi jumlah

antibodi dalam tubuh anda. Antibodi sendiri merupakan protein darah

yang berperan dalam mengurangi jumlah bibit penyakit terntentu pada

tubuh. Akibatnya, perokok akan mengalami masa penyembuhan yang

lebih lama dari biasanya ketika sedang sakit.

5) Mengurangi kadar antioksidan

Senyawa antioksidan seperti yang berasal dari vitamin C dalam drah

berfungsi untuk menangkal radikal bebas dan memperbaiki kerusakan

organ. Sayangnya, efek rokok membuat kadar antioksidan dalam tubuh

parah perokok menjadi lebih sedikit dibandingkan pada orang yang tidak

merokok. Hal ini menyebabkan para perokok rentan sakit dan proses

penyembuhan sakitnya pun cenderung lama.

6) meningkatkan sel darah putih

sama seperti antibodi, sel darah putih juga berfungsi untuk melawn

infeksi. Namun pada perokok, peradangan dan kerusakan yang terus

terjadi menyebabkan kadar sel darah putih berada dalam jumlah yang

tinggi.

Diantara faktor-faktor risiko, bukti terkuat dan paling konsisten

adalah untuk hubungan antara merokok dan RA. Sebuah riwayat

merokok dikaitkan dengan sederhana sampai sedang (1,3-2,4 kali)

peningkatan risiko RA. Hubungan antara merokok dan RA terkuat di


antara orang-orang yang ACPA positif (protein anti-citrullinated /

peptida antibodi), penanda aktivitas auto-imun.

Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukan bahwa rokok

tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok

berhugan dengan produksi dari rheumatoid factor (RF) yang akan

berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan

dengan gen ACPA-positif RA dimana merokok menjadi 10 hingga 40

kalih lebih tinggi perbandingan bukan perokok. Penelitian pada perokok

pasif masih belum terjawab namun kemungkinan peningkatan risiko

tetap ada.

Walaupun rokok bukanlah penyebab langsung artritis, sekarang

diketahui bahwa rokok merupakan faktor risiko. Merokok menyebabkan

bermacam masalah kesehatan yang hampir dipastikan memperparah

segala macam penyakit yang diderita perokok daripada yang bukan

perokok. Beberapa efek khusus karena merokok dapat sangat merugikan

penderita artritis.

Sebagai risiko yang ditimbulkan itu sebagai berikut:

a. Perokok lebih mungkin menderita tekanan darah tinggi, penyakit

jantung koroner, dan penggumpalan darah yang menyebabkan

sirkulasi buruk di kaki, yang kadang-kadang menyebabkan kelemayuh

(gangren) sehingga kaki itu harus dipotong.

b. Penderita rheumatoid arthtritis parah dapat mengembangkan masalah

peredaran darah. Merokok dapat memperbesar risiko artitritis dua kali


lipat. Artritis biasanya membatasi gerakan, dan akhirnya merokok

menyebabkan kerusakan sistem sirkulasi.

2. Obesitas

a. Pengertian obesitas

adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya

ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh

dan kadang terjadi perluasan ke dalam jaringan organnya.

Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan

ketidakseimbangan antara tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak

dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang melampaui

ukuran ideal.

Terjadinya obesitas lebih ditentukan oleh terlalu banyaknya

makan, terlalu sedikitnya aktivitas atau latihan fisik, maupun keduanya.

Dengan demikian tiap orang perlu memperhatikan banyaknya

masukan makanan (disesuaikan dengan kebutuhan tenaga sehari hari)

dan aktivitas fisik yang dilakukan. Perhatian lebih besar mengenai kedua

hal ini terutama diperlukan bagi mereka yang kebetulan berasal

dari keluarga obesitas, berjenis kelamin wanita, pekerjaan

banyakduduk, tidak senang melakukan olahraga, serta emosionalnya labil.

b. Penentuan Obesitas

Keadaan obesitas ditentukan dengan mengklasifikasikan status gizi

berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh (IMT)

merupakan rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh


orang dewasa, dan dinyatakan sebagai berat badan dalam kilogram

dibagi dengan kwadrat tinggi badan dalam ukuran meter.

c. Resiko obesitas

Dari segi fisik, orang yang mengalami obesitas akan mengalami

rendah diri dan merasa kurang percaya diri. Sehingga seringkali

akan mengalami tekanan, baik dari dirinya sendiri maupun dari

lingkungannya .Kelebihan penimbunan lemak diatas 20% berat

badan idial, akan menimbulkan permasalahan kesehatan hingga

terjadi gangguan fungsi organ tubuh. Orang dengan obesitas akan

lebih mudah terserang penyakit degeneratif. Penyakit - penyakit

tersebut antara lain :

1) Hipertensi

Orang dengan obesitas akan mempunyai resiko yang tinggi terhadap

Penyakit hipertensi. Menurut hasil penelitian menunjukkan

bahwa pada usia 20 - 39 tahun orang obesitas mempunyai resiko

dua kali lebih besar terserang hipertensi dibandingkan dengan

orang yang mempunyai berat Badan normal.

2) Penyakit jantung koroner

adalah penyakit yang terjadi akibat penyempitan pembuluh

darah koroner. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dari 500

penderit kegemukan, sekitar 88 % mendapat resiko terserang

penyakit jantung koroner. Meningkatnya factor resiko penyakit

jantung koroner sejalan dengan terjadinya penambahan berat


badan seseorang. Penelitian lain juga menunjukkan kegemukan

yang terjadi pada usia 20 - 40 tahun ternyata berpengaruh lebih

besar terjadinya penyakit jantung dibandingkan kegemukan yang

terjadi pada usia yang lebih tua.

3) Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus dapat disebut penyakit keturunan, tetapi kondisi

tersebut tidak selalu timbul jika seseorang tidak kelebihan berat

badan. Lebih dari 90 % penderita diabetes mellitus tipe serangan

dewasa adalah penderita kegemukan. Pada umumnya penderita

diabetes mempunyai kadar lemak yang abnormal dalam darah.

Maka, dianjurkan bagi penderita diabetes yang ingin menurunkan

berat badan sebaiknya dilakukan dengan mengurangi konsumsi

bahan makanan sumber lemak dan lebih banyak mengkonsumsi

makanan tinggi serat.

4) Gout

Penderita obesitas mempunyai resiko tinggi terhadap penyakit

radang sendi yang lebih serius jika dibandingkan dengan orang yang

berat badannya ideal. Penderita obesitas yang juga menderita

gout harus menurunkan berat badannya secara perlahan-lahan.

5) Batu Empedu

Penderita obesitas mempunyai resiko terserang batu empedu lebih

tinggi karena ketika tubuh mengubah kelebihan lemak makanan

menjadi lemak tubuh, cairan empedu lebih banyak diproduksi


didalam hati dan disimpan dalam kantong empedu. Penyakit

batu empedu lebih sering terjadi pada penderita obesitas tipe buah

apel. Penurunan berat badan tidak

akan mengobati penyakit batu empedu, tetapi hanya membantu

dalam pencegahannya. Sedangkan untuk mengobati batu

empedu harus menggunakan sinar ultrasonic maupun melalui

pembedahan.

Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang dimiliki

indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 30. Manusia dirancang untuk

bertubuh lansing bukan gemuk berlemak, dan epidemi obesitas

didunia barat menimbulkan peningkatan dalam banyak kondisi

penyakit, termasuk arttritis. Kelebihan berat badan merupakan

salah satu faktor risiko pada arttritis yang sudah terbukti. Sistem

pertahanan mana pun akan aus lebih cepat bila diberi beban yang

berlebihan. Kelebihan berat badan dapat meneyebakan tekanan

yang sebetulnya tidak diperlukan pada sendi. Tendon dan ligamen

dapat terpisah oleh lapisan-lapisan lemak, sehingga mengganggu

perlekatannya dengan tulang. Orang genuk biasanya kurang aktif

dibandingkan orang kurus, dan ini juga merupakan efek buruk bagi

penderita artritis. Latihan sedang dan teratur dapat membantu

penderita artritis.
3. Genetik

Genetika adalah ilmu yang berhubungan dengan studi dari

pemahaman dari faktor keturunan. Evolusi, perkembangan, ekologi,

biologi molekuler dan ilmu forensik. Seorang ilmuan jerman dengan

nama Gregor Johann Mendel adalah pendiri pertama genetika, maka ia

juga dikenal sebagai bapak genetik. Dia pertama kali menunjukkan

pewarisan sifat pada tanaman kacang dan kemudian disebut disebut

pewarisan model. Konsep utama dibalik mempelajari gentika adalah :

Gentika menjelaskan bagaimana sifat diwariskan dari orang tua untuk

anak mereka. Genetika juga menjelaskan tentang jumlah gen dan

kromosom yang ada dalam individu dengan kepentingan mereka.

Istilah keturunan dapat didefinisikan sebagai proses mentransfer

karakter atau ciri-ciri dari orang tua kepada keturunannya. Dalam proses

transformasi, karakter akan ditransfer melalui gen yang hadi dalam DNA.

DNA ini adalah hadir dalam kromosom, yang hadir dalam inti sel.

Menstransfer karakter, termasuk kontribusi jumlah yang sama materi

gentik dari kedua orang tua (ayah dan ibu) untuk anak-anak mereka.

Gen adalah segmen DNA, yang berisi segala macam informasi

yang diperlukan untuk pengkodean beberapa fungsi penting. Oleh karena

itu gen yang disebut sebagai unit informasi. Setiap sel dalam organisme

memiliki satu set yang sama gen. Gen ditransfer dari orang tua kepada

keturunan mereka.
Ekspresi gen adalah aktivasi gen, yang menghasilkan protein.

Ekspresi gen adalah proses dimana informasi genetik yang digunakan

dalam sintesis gen. Proses ini umumnya digunakan dalam semua eukariota,

prokariota dan virus untuk menghasilkan mesin makromolekul hidup.

Sebuah kode yang berisi semua jenis informasi genetik, yang hadir

dalam urutan nukleotida DNA atau RNA dan kemudian diterjemahkan

menjadi protein oleh sel-sel hidup. Kode-kode ini dapat dinyatakan baik

sebagai kodon RNA atau kodon DNA. Kode tersebut menginstruksikan

gen untuk memandu sel untuk membuat protein tertentu. A, T, G, C adalah

huruf abjad dari kode DNA. Huruf-huruf ini berdiri untuk adenin timin,

guanin dan sitosin, yang benar-benar membentuk basa nukleotida DNA.

Setiap kode empat bergabung dengan bahan kimia untuk sintesis protein.

DNA disebut cetak biru kehidupan karena mengandung semua

jenis instruksi untuk membuat protein dalam sel. Ini adalah polimer yang

sangat panjang dan bentuk dasar DNA adalah seperti tangga bengkok.

Oleh karena itu juga disebut sebagai heliks ganda DNA. Tulang punggung

molekul DNA adalah fosfat, gula deoksi ribosa dan basa nitrogen.

Informasi dalam DNA disimpan sebagai kode terdiri dari empat basa

kimia: adenin (A), guanine (G), sitosin (C), dan timin (T).

Hal ini dapat didefinisikan sebagai transformasi sifat dari orang tua

kepada keturunannya. Setiap orang memiliki dua salinan dari setiap gen

antara yang satu warisan dari sel induk dan satu lagi adalah warisan dari

sel ayah.
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA.

Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRBI. Selain itu juga dapat ada gen

tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada

faktor genetik RA terdapat diantara poppulasi Eropa dan Asia. HLA-DRBI

terdapat diseluruh populasi penelitian, sedangkan polifofisme PTPN22

teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi Asia. Selain itu

ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga dengan kejadia RA pada

keturunan selanjutnya.

Peneliti telah menemukanderetan asam nukleat khusus sala satu

penyusun DNA (cetak biru genetika tubuh), yang merupakan penanda

rheumatoid arthtritis. Orang yang mewarisi deretan ini dari ayah maupun

ibunya lebih berkemungkinan untuk mengalami penyakit ini lebih parah.,

yang dapat melibatkan organ dalam dan sendi.

Faktor genetika diketahui meminkan peranan dalam predisposisi

orang yang menderita penyakit rheumatoid arthtritis. Untuk saat ini,

ilmuan percaya bahwa rheumatoid arthtritis mungkin dihasilkan dari

kombinasi faktor-faktor genetika yang membuat seseorang peka terhadap

penyakit ini dan pemicu lingkungan tertentu.


E. Kerangka Konsep

Merokok

Obesitas Rheumatoid
Arhtritis

Genetik

KETERANGAN :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen
F. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis null (Ho)

a. Tidak ada hubungan merokok dengan kejadian penyakit rheumatoid arthtritis

di puskesmas walenrang timur tahun 2019.

b. Tidak ada hubungan obesitas dengan kejadian penyakit rheumatoid arthtritis

di puskesmas walenrang timur tahun 2019.

c. Tidak ada hubungan genetik dengan kejadian penyakit rheumatoid arthritis

di puskesmas walenrang timur pada tahun 2019.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Desain penenlitian adalah rancangan penenlitian yang terdiri atas beberapa

komponen yang menyatu satu sama lain untuk memperoleh data dan fakta dalam

rangka menjawab pertanyaan atau masalah penenlitian (lapau, 2012).

B. Lokasi dan waktu penenlitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Walenrang Timur

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan februari-juli 2019

C. Populasi Dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang mengalami penyakit

rheumatoid arthtritis di Puskesmas Walenrang Timur.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang mengalami penyakit

rheumatoid arthtritits di Puskesmas Walenrang Timur.

N
𝑛=
1 + N. d2

98
𝑛=
1 + 98(0,12 )

98
𝑛=
1 + 98.0,01
98
𝑛=
1,98

n = 49

3. Sampling

Untuk menentukan sampel yang di ambil digunakan teknik pengambilan

sampel, yaitu dengan total sampling semua anggota populasi menjadi sampel.

Subjek penelitian yang diambil sebagai sampel harus memenuhi kriteria

sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi

1) PaSien yang bersedia menjadi responden

2) Pasien yang mengalami penyakit rheumatoid arthtritis

b. Kriteria eksklusi

Pasien yang tidak bersedia menjadi responden pada saat penelitian

berlangsung.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner untuk menilai

kejadian rheumatoid arthtritis, merokok, obesitas, dan genetik berisi tabel cheks

list.

E. Pengumpulan Data Analisa Data

1. Data primer

Data primer diperoleh dengan cara memberikan kuesioner secara langsung

kepada responden seperti ibu atau bapak yang terkena penyakit rheumatoid

arhtritis sehingga tercapai jumlah responden yang diharapkan.

2. Data sekunder

Data sekunder berasal dari Puskesmas Walenrang Timur berapa jumlah data

yang menderita penyakit rheumatoid arthtritis.


F. Pengolahan Dan Analisa Data

1. Pengolahan data

Apa bila data terkumpul maka tahap selanjutnya adalah mengorganisir

atau mengklasifikasikan data tersebut guna tujuan penelitian, dimana data

dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan perangkat komputer

yang dimulai dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Editing

Dilakukan setelah semua data terkumpul, untuk memeriksa semua

kelengkapan data, kesinambungan dan seragaman data.

b. Coding

Untuk memudahkan dalam pengolahan data semua data perluh

disederhanakan yaitu dengan mengklasifiksikan jawaban dari

responden menurut macamnya dengn memberi kode pada

masing0masing jawaban menurut item pada kuesioner.

c. Tabulasi

Semua dta telah terkumpul dikelompokkan dalam suatu tabel

menurut sifat-sifat dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian dengan

cara :

1) Menyusun data yang tersedia menurut urutannya, misalnya dari

variabel yang bernilai kecil ke variabel bernilai besar.

2) Mengelompokan dan menghitung jumlah masing-masing

variabel.

3) Memindahkan variabel yang telah dikelompokan ke dalam

variabel yang telah disiapkan.

G. Analasisa Data
Analisa data kuantitatif dimaksudkan untuk mengolah dan mengorganisasikan

data, serta menemukan hasil dapat dibaca dan dapat di intreprestasikan meliputi

a. Analisa univariat

Analisa univariat dilakukan terhadap variavel dari hasil penelitian dengan

menggunakan tabel distribusi frekuensi, sehingga menghasilkan distribusi

dan persentase dari setiap variabel penelitian.

b. Analisa bivariat

Analisa data yang ditujukan untuk menjawab tujuan penelitian yakni menguji

hipotesis penelitian untuk mengetahui hubungan antara variabel independen

sebagi resiko dengan variabel sebagai faktor akibat degan kontinensi tingkat

kemaknaan 0,05 menguji hipotesis penelitian. Untuk maksud tersebut uji

statistik yang digunakan adalah chi square dengan menggunakan tabel

tabulasi silang 2x2.

H. Etika Penelitian

Terdapat empat prnsip utama yang perlu dipahami oleh peneliti yaitu

(siswanto,2014)

1. Menghormati hakikat dan martabat manusia (respec for human dignity)

prinsip pertama, peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk

mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian

serta memliki kebebasan menentukan pilihan dn bebas dari beberapa

tindakan yang terkait dengan prinsip menghormati harkat dan martabat

manusia, adalah: peneliti menyiapkan formulir persetujuan subyektif

(informed consent) yang terdiri dari :

a. Penjelasan manfaat penelitian


b. Penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamananyang dapat

ditimbulkan

c. Penjelasan manfaat yang akn didapatkan

d. Persetujuan penelitian dapat menjawwab setiap pertanyaan yang ajukan

subyek berkaitan dengan prosedur penelitian.

e. Persetujuan subyek dapat mengundrurkan diri kapan saja dan

f. Jaminan anonimitas dan kerahasiaan.

Namun kendala formulir persetujuan subyek tidak cukup memberikam

proteksi bagi subyek itu sendiri terutama untuk penelitian-penelitian klinik

karena terdapat perbedaan pengetahuan dan otoritas antara peneliti dengan

subyek kelemahan tersebut dapat diantisipasi dengan adanya prosedur

penelitian.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privasy

and confidentiality)

Prinsip kedua, setiap manusia dapat memliki hak-hak dsar individu termasuk

privasi dan kebebasan individu pada dasarnya penelitian akan memberikan

akibat terbukanya informasi individu termasuk informasi yang bersifat

pribadi. Sedangkan tidk semua orang menginginkan informasinya dikteatahui

oleh orang lain, sehingga peneliti perlu memperhatikan hak-hak dasar

individu tersebut, dalam aplikasinya. Peneliti tidak boleh menampilkan

inforrmasi mengenai identitas baik nama maupun asal subyek dalam

kuesioner dan alat ukur apapun untuk menjaga anonimitas dan kerahasian

identitas subyek peneliti dapat menggunakan koding inisial atau

( identification number) sebagai pengganti identitas responden.

3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)


Prinsip ketiga, prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan

adil. Untuk memenuhi prinsip keterbukaan, peneliti dilakukan secara jujur,

hati-hati, professional, berperikemanusiaan, dan memperhatiakn faktor-

faktor ketepatan, keseksamaan , kecermatan, intimitas, psikologis serta

perasaan religius subyek penelitian. Lingkungan penelitian dikondisikan

agar memenuhi prinsip keterbukaan yaitu kejelasan prosedur penelitian.

Keadilan memiliki barmacam-macam teori, namun yang terpenting adalah

bagaimanakah keuntungan dan beban harus didistribusikan di antara

anggota kelompok masyarakat. Prinsip keadilan menekankan sejauh mana

kebijakan penelitian membagikan keuntungan dan beban secara merata

atau menurut kebutuhan, kemampuan, kontribusi dan pilihan bebas

masyarakat. Sebagai contoh dalam prosedur penelitian, peneliti

mempertimbangkan aspek keadilan gender dan hak subyek untuk

mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum, sealama, maupun

sesudah berpartisipasi dalam penelitian.

4. Memperhitungkan manfaat dan dan kerugian yang ditimbulakan

(balancing harms and benefits)

Prinsip keempat, peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan

prosedur penelitian guna mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal

mungkin bagi subyek penelitian dan dapat digeneralisasikan di tingkat

populasi (beneficience). Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan

bagi subyek (nonmaleficence). Apabila intervensi penelitian berpotensi

mengakibatkan cedera atau stress tambahan maka subyek dikeluarkan dari


kegiatan penelitian untuk mencegah terjadinya cedera, kesakitan, setress,

maupun kematian subyek penelitian.

Anda mungkin juga menyukai