Anda di halaman 1dari 59

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rheumatoid artritis merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik

yang tidak diketahui penyebabnya, dikarakteristikkan oleh kerusakan

dan proliferasi membrane sinovial yang menyebabkan kerusakan pada

tulang sendi, ankilosis dan deformitas, rheumatoid artritis adalah

penyakit yang menyerang anggota tubuh yang bergerak, yaitu bagian

tubuh yang berhubungan antara yang satu dengan yang lain dengan

perantaraan persendian, sehingga menimbulkan rasa nyeri. Semua

jenis rheumatoid artritis menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu.

Kemampuan gerak seseorang dapat terganggu oleh adanya penyakit

rematik Penyakit yang kronis dapat mengakibatkan gangguan gerak,

hambatan dalam bekerja maupun melaksanakan kegiatan sehari-hari

(Kushariyadi, 2011).

Didunia, rheumatoid artritis merupakan penyakit muskuloskeletal

yang paling sering terjadi. Angka kejadian rheumatoid artritis pada

tahun 2013 yang dilaporkan oleh World Health Organization (WHO)

adalah mencapai 20% dari penduduk dunia yang telah terserang

rheumatoid artritis, dimana 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20

tahun dan 20% adalah mereka yang berusia 55 tahun.Berdasarkan

data Riset Kesehatan Dasar (2013), menunjukkan bahwa

kecenderungan prevalensi rheumatoid artritis di Indonesia tahun 2007-

2013 pada usia lansia terdapat 30,3% pada tahun 2007, dan
2

mengalami penurunan pada tahun 2013 yaitu menjadi 24,7%. Pada

Tahun 2016 jumlah penderita rheumatoid artritis adalah sebanyak

23,8%.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018

menunjukkan bahwa prevalensi rheumatoid artritis di Indonesia yang

didapat melalui pemeriksaan pada umur ≥15 tahun sebesar 5,9%

dari jumlah penduduk 261.890.872 jiwa di Indonesia (“Hasil_Riskesda

s_2018[1].pdf,” n.d.).

Dari hasil wawancara dengan pegawai Dinas Kesehatan

Kabupaten Bulukumba bagian Bidang pencegahan dan pengendalian

penyakit (P2P) pada tanggal 8 januari 2019 didapatkan data Dinas

Kesehatan Kabupaten Bulukumba tahun 2018,bahwa dari jumlah

penduduk Kabupaten Bulukumba sebesar 418.326 orang, terdapat

5.249 penderita rheumatoid artritis dan salah satu di Wilayah Kerja

Puskesmas Bonto Bangun Kelurahan Palampang di dapatkan angka

kejadian penyakit Rematoid Atritis pada tahun 2016 sebanyak 354,

tahun 2017 sebanyak 397 dan 2018 sebanyak 582 penderita.

Berdasarkan dari angka penderita diatas, rheumatoid artritis

tidak boleh diabaikan karena termasuk kategori penyakit autoimun.

Penyakit autoimun tersebut bersifat progresif yang bisa menyerang

fungsi organ tubuh lainnya dalam waktu yang cepat. Penyakit autoimun

ini ditandai dengan peradangan kronis pada sendi tangan dan kaki

yang disertai dengan gejala anemia, kelelahan, dan depresi (Elsi, 2018)
3

Peradangan ini menyebabkan nyeri sendi, kekakuan, dan

pembengkakan yang menyebabkan hilangnya fungsi sendi karena

kerusakan tulang yang berujung pada kecacatan progresif. Dalam

waktu dua hingga lima tahun, jari penderita bisa bengkok-bengkok.

Penyakit ini bisa menyerang organ tubuh lainnya di antaranya

jantung,mata, dan paru-paru. Bukan hanya penyakit persendian, tetapi

bisa menurunkan fungsi organ tubuh lainnya sehingga dalam waktu

sepuluh tahun, pasien harus dibantu orang lain dalam aktivitas sehari-

hari (Elsi, 2018).

Gangguan yang terjadi pada pasien rheumatoid artritis lebih

besar kemungkinannya untuk terjadi pada suatu waktu tertentu dalam

kehidupan pasien. Rheumatoid artritis dapat mengancam jiwa pasien

atau hanya menimbulkan gangguan kenyamanan, dan masalah yang

disebabkan oleh penyakit rheumatoid artritis tidak hanya berupa

keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas dan aktivitas hidup

sehari-hari tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas yang dapat

menimbulkan kegagalan organ atau mengakibatkan masalah seperti

rasa nyeri, keadaan mudah lelah, perubahan citra diri serta gangguan

tidur. Bertambah beratnya gejala penyakit rheumatoid artritis sehingga

mengakibatkan ter jadi perubahan aktivitas pada pasien (situmorang,

2017).

Beberapa dampak yang disebabkan dari rheumatoid artritis

diatas sehingga memerlukan upaya-upaya untuk pencegahan namun

sebelumnya di perlukan untukmengetahui faktor-faktor pencetus


4

terjadinya rheumatoid artritis, dimana factor diantaranya yaitu umur,

jenis kelamin, aktivitas fisik, konsumsi alcohol, obesitas dan pola

makan. (Wulan, 2017).

Umur merupakan salah satu pencetus terjadinya rheumatoid

artritis, setiap persendian tulang memiliki lapisan pelindung sendi yang

menghalangi terjadinya gesekan antara tulang dan di dalam sendi

terdapat cairan yang berfungsi sebagai pelumas sehingga tulang dapat

di gerakkan dengan leluasa. Pada mereka yang berusia lanjut, lapisan

persendia mulai menipis dan cairan tulang mulai mengental, sehingga

tubuh mulai sakit saat digerakkan dan meningkatkan resiko terjadinya

rheumatoid artritis (Elsi, 2018).

Jenis kelamin juga merupakan salah satu factor pencetus

rheumatoid artritis, insidennya rheumatoid artritis biasanya dua sampai

tiga kali lebih tinggi pada wanita dari pada pria. Timbulnya rheumatoid

artritis baik pada wanita maupun pria tertinggi terjadi di antara usia

enam puluhtahun. mengenai sejarah kelahiran hidup kebanyakan

peneliti mengumukakan bahwa rheumatoid artritis kurang umum

dikalangan wanita yang menyusui. Salah satu penyebab meningkatnya

rheumatoid artritis pada wanita adalah menstruasi yang tidak teratur

dapat meningkatkan terjadinya rheumatoid artritis(Elsi, 2018).

Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu pendorong

terjadinya rheumatoid artritis, itu terjadi karena timbunan lemak di tubuh

bisa membebani [ersendian, pangguk, pinggang, dan terutama lutut

(Ahdaniar et al., 2014).


5

Hasil penelitian sebelumnya yang lakukan oleh Ahdaniar et al

(2014) bahwa ada hubungan antara obesitas, pola makan, dan aktivitas

fisik dengan kejadian penyakit rheumatoid artritis lansia. Hasil penelitian

yang dilakukan oleh Pratama (2014) Terdapat hubungan kejadian

rheumatoid artritis terhadap usia, gaya hidup, dan mobilitas fisik. dan

Penelitian dilakukan oleh Jazmi (2016) didapatkan hasil usia, jenis

kelamin, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, pola makan dan

mobilitas fisik berisiko terhadap kejadian rheumatoid artritis.

Dari pengambilan data dari pegawai kelurahan palampang pada

tanggal 12 januari 2019 didapatkan bahwa jumlah penduduk di

kelurahan palampang sebanyak 5.500 jiwa dan data yang di dapatkan

dari perawat yang bertugas di puskesmas pembantu di kelurahan

Palampang pada pasien artritis rheumatoid di tahun 2017 sebanyak

127 penderita dan tahun 2018 sebanyak 185 penderita. Hal ini

menjelaskan angka kejadian penyakit rheumatoid artritis dari tahun ke

tahun mengalami peningkatan.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas sehingga peneliti

tertarik melakukan penelitian tentang “ faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian penyakit rematoid atritis pada masyarakat di

kelurahan palampang”.
6

B. Rumusan masalah

Dari fenomena yag didapatkan pada penderita rheumatoid

artritis sebesar 5,9% dari jumlah penduduk di indonesia, kemududian

data yang ada dinas kesehatan Kabupaten Bulukumba tahun

2018,bahwa dari jumlah penduduk Kabupaten Bulukumba sebesar

418.326 orang, terdapat 5.249 penderita rheumatoid artritis dan salah

satu di dapatkan di Wilayah Kerja puskesmas bonto bangun keluran

palampang di dapatkan angka kejadian penyakit rematoid atritis pada

tahun 2016 sebanyak 354, tahun 2017 sebanyak 397 dan 2018

sebanyak 582 penderita.

Berdasarkan uraian diatas,rumusan masalah yang diajukan

dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang berhubungan

dengan kejadian rheumatoid artritis yang dimana isinya, Apakah ada

hubungan antara umur, jenis kelamin, aktivitas fisik, konsumsi alkohol,

obesitas dan pola makan dengan kejadian rheumatoid artritis pada

masyarakat Kelurahan Palampang

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu pernyataan yang merupakan jawaban

sementara penelitian terhadap pertanyaan penelitian (Analitik).

Hipotesis inilah yang akan membuktikan oleh peneliti melalui penelitian

(dahlan and M.Sopoyuddin, 2016).

Hipotesis sementara dalam penelitian ini adalah terdapat

beberapa faktor-faktor yang di antaranya umur, jenis kelamin, aktifitas


7

fisik, konsumsi alkohol, obesitas dan konsumsi obat dapat

mempengaruhi terjadinya penyakit rheumatoid artritis pada masyarakat

di Kelurahan Palampang.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

terjadinya penyakit rheumatoid artritis pada masyarakat di

Kel.Palampang.

2. Tujuan khusus

Teridentifikasinya hubungan dengan kejadian rheumatoid

artritis yang dimana isinya, Apakah ada hubungan antara umur,

jenis kelamin, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, obesitas dan pola

makan dengan kejadian rheumatoid artritis pada masyarakat

Kelurahan PalampangTeridentifikasinya hubungan pola makan

dengan kejadian rheumatoid artritis pada masyarakat Kelurahan

Palampang

E. Manfaat penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis di harapkan dapat

menambah wawasan konsep dan teori terhadap pengetahuan

terhadap faktor-faktor penyebab rheumatoid artritis dan dapat di

jadikan sebagai referensi dalam melakukan penelitian lebih lanjut.


8

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan berguna untuk masyarakat

Kel.Palampang agar dapat meperhatikan dan mengupayakan

faktor-faktor yang dapat meyebabkan penyakit rheumatoid artritis.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori Tentang Reumatoid Artritis

1. Definisi Reumatoid Artritis

Reumatoid artritis adalah kelainan inflamasi yang terutama

mengenai membran sinovial dari persendian dan umumnya di tandai

dengan nyeri persendian,kaku sendi,penurunan mobilitas dan

keletihan. Reumatoid artritis terjadi antara usia 30 tahun dan 50

tahun dengan puncak insiden antara 40 tahun dan 60 tahun.Wanita

terkena dua sampai tiga kali lebih sering dari pada pria. Reumatoid

artritis diyakini sebagai proses imun terhadap antigen yang tidak di

ketahui.Stimulusnya dapat virus atau bakteri.Mungkin juga tedapat

perdisposisi terhadap penyakit (Diane C et al., 2000).

Reumatoid artritis adalah penyakit multisistem kronik yang

ditanda oleh beragam manifestasi klinis dengan, awitan penyakit

umumnya pada usia pada 35 dan 50 tahun.Gambaran utama adalah

sinovitis inflamatorik yang biasanya mengenai sendi perifer.Penyakit

ini memiliki kecenderungan merusak tulang rawan, menyebabkan

erosi tulang, dan menimbulkan kerusakan sendi.Tangan,

pergelangan tangan dan kaki sering terkena.timbul nyeri yang

diperburuk oleh gerakan , disertai pembengkakan dan nyeri tekan

(leveno et al., 2009).

Reumatoid artritis atau sering di kenal sebagai rematik adalah

peradangan kronis, yang mana sistem imun salah menyerang


10

synovium (lapisan sel di dalam sendi) sehingga synovium meradang,

menebal dan berdampak sistemik. Perangan merusak kartilago dan

jaringan disekitar sendi-sendi. Banyak ditemui permukaan tulang

rusak, kemudian tumbuh mengganti jaringan yang rusak dengan

jaringan parut. Hal ini menekan ruangan di antara sendi sehingga

ruangan menjadi sempit dan tulang saling bergesekan (akmal et al.,

2016).

2. Jenis Rheumatoid Atritis

Menurut Hollman. DB (2005) ada 4 (empat) jenis

rheumatoid artritis yaitu sebagai berikut :

a. Rheumatoid Atritis klasik : kaku pagi hari, nyeri pada pergerakan.

b. Rheumatoid Atritis definit : pembengkakan yang disebabkan

karena penebalan jaringan lunak atau cairan.

c. Rheumatoid Atritis probable : pembengkakan paling sedikit satu

sendi lain dan masa bebas gejala dari kedua sendi yang terkena

tidak lebih dari tiga bulan.

d. Rheumatoid Atritis possible : pembengkakan sendi yang simetris

dan terkena sendi yang sama pada kedua sisi yang timbul

bersamaan.

3. Etiologi

Penyebab pada penyakit rheumatoid atritis adalah faktor genetik,

faktor lingkungan yang mengakibatkan gangguan terhadap daya

tahan tubuh, atau gangguan autoimun(bagus, 2009).


11

4. Manifestasi klinis

Gejala-gejala rheumatoid atritis datang dan pergi,tergantung pada

tingkat peradangan jaringan. Peradangan bersifat sistemati,muncul

di kedua sisi tubuh secara berkelanjutan seperti pergelangan tangan,

lutut atau pergelangan tangan.Ketika jaringan-jaringan tumbuh dan

meradang maka penyakitnya aktif. Akan tetapi, ketika peradangan

jaringan surut atau mereda, penyakitnya tidak aktif. Pada saat

penyakitnya aktif gejala-gejala yang muncul yaitu, kelelahan,

kehilangan nafsu makan, demam rendah, nyeri otot dan sendi, serta

adanya sendi biasanya paling terasa pada pagi hari setelah periode-

periode tak aktif (akmal et al., 2016).

5. Patofisiologi Atritis Rheumatoid

Pada rheumatoid artritis, diakibatkan oleh peradangan

berlangsung terus menerus dan menyebar ke struktur-struktur sendi

di sekitarnya termasuk tulang rawan sendi dan kapsul fibrosa sendi,

akhirnya ligamentum dan tendon ikut meradang. Peradangan

ditandai oleh penimbunan sel darah putih, pengaktifan komplemen,

fagositosis ekstensif dan pembentukan jaringan parut. Pada

peradangan, membran sinovial mengalami hipertrofi dan menebal

sehingga terjadi hambatan aliran darah yang menyebabkan nekrosis

sel dan respon peradangan berlanjut. Sinovial yang menebal

kemudian dilapisi oleh jaringan granular yang disebut panus. Panus

dapat menyebar ke seluruh sendi sehingga semakin merangsang

peradangan dan pembentukan jaringan parut. Proses ini secara


12

lambat merusak sendi dan menimbulkan nyeri hebat serta deformitas

(Minarlin, 2016)

6. Penatalaksanaan  rheumatoid artritis 

Pengobatan diarahkan pada upaya untuk meredakan gejala yaitu

dengan kortikosteroid dan imunosupresan. Pada prinsipnya, upaya

penatalaksanaan bersifat simtomatik yaitu mencegah terjadinya

flares, mengurangi keparahan dan mempersingkat waktu timbulnya

flares. Pengobatan yang dilakukan terbagi menjadi dua kategori,

yaitu :

a. Pengobatan farmakologis

Penyakit radang sendi dapat dibagi atas pemberian analgetik,

anti inflamasi non-steroid, kortikosteroid dan obat anti reumatik.

Untuk mengatasi nyeri, obat analgetik seperti asetaminofen dan

anti inflamasi nonsteroid seperti ibuprofen, sering dianjurkan.

b. Pengobatan Non-Farmakologi

Banyak cara untuk mengatasi artritis rheumatoid. Tetapi yang

cukup tepat adalah mengatasi penyakit ini dengan olah raga. Tak

perlu olah raga yang berat-berat, olah raga ringan selama 15

menit hingga 1 jam rutin setiap minggu, dampaknya akan terasa

hingga 3 tahun mendatang. Olah raga yang disarankan untuk para

lansia antara lain berjalan kaki, berenang, yoga, dan olahraga

ringan lainnya. Selain itu, jangan lupa untuk mengkonsumsi ikan

yang baik untuk kesehatan persendian, terutama ikan laut seperti

tuna atau salmon.


13

cara mengatasi penyakit artritis rheumatoid adalah

mengistirahatkan sendi yang terkena, karena pemakaian sendi

yang sakit akan memperburuk peradangan. Dengan

mengistirahatkan sendi secara rutin, hal ini dapat membantu

mengurangi nyeri. Namun untuk mencegah kekakuan, perlu

dilakukan beberapa pergerakan ringan dan sistematis (Minarlin,

2016).

B. Tinjauan Teori Tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

rematik

Penyebab reumatoid atritis tidak diketahui. Banyak kasus yang

diyakini hasil dari interaksi paparan lingkungan, yang diantaranya :

a. Usia

Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur

keberadaan suatu mahluk hidup seperti manusia. Semisal umur

manusia dikatakan lima belas tahun di ukur sejak dia lahir

hingga umur itu hitung. Sehingga umur itu di hitung dari terakhir

dia lahir hingga terakhir menutup mata ( meninggal )(Wulan,

2017).

Usia lanjut adalah fase menurunnya kemampuan akal dan

fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam

hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika manusia mencapai usia

dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan

anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan

tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia


14

lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa

orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam

setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan

kondisi lingkunganya(Wulan, 2017).

Setiap persendian tulang memiliki lapisan pelindung sendi

yang menghalangi terjadinya gesekan antara tulang dan di

dalam sendi terdapat cairan yang berfungsi sebagai

pelumas sehingga tulang dapat digerakkan dengan leluasa.

Pada mereka yang berusia 40 atau 60 ke atas, lapisan

pelindung persendian mulai menipis dan cairan tulang mulai

mengental, sehingga tubuh menjadi sakit saat digerakkan dan

menigkatkan risiko rheumatoid arthritis(Elsi, 2018).

Kategori Umur Menurut Riskesdas (2009) :

1. Masa balita                     = 0 – 5 tahun,

2. Masa kanak-kanak          = 5 – 11 tahun.

3. Masa remaja Awal          =12 – 1 6 tahun.

4. Masa remaja Akhir         =17 – 25 tahun.

5. Masa dewasa Awal         =26- 35 tahun.

6. Masa dewasa Akhir         =36- 45 tahun.

7. Masa Lansia Awal           = 46- 55 tahun.

8. Masa Lansia Akhir           = 56 – 65 tahun.

9. Masa Manula                  = 65 – sampai atas


15

b. Jenis kelamin

Menurut Meliny and Suhadi (2018) jenis kelamin (seks)

adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara

biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh

laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan

sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan

secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan 11

menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan

perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan

fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala

ras yang ada di muka bumi (Wulan, 2017).

Insiden rheumatoid arthritis biasanya dua sampai tiga kali

lebih tinggi pada wanita daripada pria. Timbulnya

rheumatoid arthritis, baik pada wanita dan pria tertinggi terjadi di

antara pada usia enam puluhan. Mengenai sejarah kelahiran

hidup, kebanyakan penelitian telah menemukan bahwa wanita

yang tidak pernah mengalami kelahiran hidup memiliki sedikit

peningkatan risiko untuk rheumatoid arthritis. Kemudian

berdasarkan populasi Terbaru studi telah menemukan bahwa

rheumatoid arthritis kurang umum di kalangan wanita yang

menyusui. Salah satu sebab yang meningkatkan risiko

rheumatoid arthritis pada wanita adalah menstruasi. Setidaknya

dua studi telah mengamati bahwa wanita dengan menstruasi

yang tidak teratur atau riwayat menstruasi dipotong (misalnya,


16

menopause dini) memiliki peningkatan risiko rheumatoid arthritis

(Elsi, 2018).

c. Aktivitas fisik

aktivitas fisik ialah gerakan fisik yang dilakukan oleh otot

tubuh dan sistem penunjangnya. Aktivitas fisik adalah setiap

gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang

memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada

(kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen

untuk penyakit kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan

menyebabkan kematian secara global(leveno et al., 2009).

Orang yang tidak bergerak lama, tidak ada rangsangan

gravitasi bumi atau tekanan mekanik lain, akan membuat

banyak mineral tulang hilang yang memyebabkan tulang

menjadi keropos. Kurangnya olah raga dan latihan secara

teratur menimbulkan efek negatif yang menghambat massa

tulang dan kekakuan tulang (leveno et al., 2009).

Kurang gerat badan akan mengurangi kepadatan tulang

kekuatan dan kebugaran juga akan membuat kalsium keluar

semakin meningkat melalui urin yang akan meyebabkan tulang

keropos.Pada usia lanjut kurang gerak badan menyebabkan

lemah otot dan meningkatnya resiko patah tulang (leveno et al.,

2009).
17

d. Konsumsi alkohol

Minuman beralkohol atau sering disebut minuman keras

adalah jenis NAPZA dalam bentuk minuman yang mengandung

alkohol tidak peduli berapa kadar alkohol didalamnya (bagus,

2009).

Alkohol termasuk zat adiktif, artinya zat tersebut dapat

menimbulkan adiksi (addiction) yaitu ketagihan dan dependensi

(ketergantungan). Penyalahgunaan atau ketergantungan

NAPZA jenis alkohol ini dapat menimbulkan gangguan mental

organic, yaitu gangguan dalam fungsi berpikir, berperasaan dan

berperilaku. Gangguan mental organic ini disebabkan reaksi

langsung alkohol pada neuro – transmitter sel-sel saraf pusat

(otak). Karena sifat adiktifnya itu, maka orang yang

meminumnya lama-kelamaan tanpa disadari akan menambah

takaran/dosis sampai dosis keracunan (intoksikasi) atau mabuk

(bagus, 2009).

e. Obesitas

Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan

meningkatnya resiko untuk timbulnya arthritis rheumatoid baik

pada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya

berkaitan dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung

beban, tapi juga dengan arthritis rheumatoid sendi lain (tangan

atau sternoklavikula). 12 Secara statistik perempuan memiliki

body massa index (BMI) diatas rata-rata dimana kategori BMI


18

pada perenmpuan Asia menurut jurnal American Clinical

Nutrition adalah antara 24 sampai dengan 26,9kg/m2. BMI di

atas rata-rata mengakibatkan terjadinya penumpukan lemak

pada sendi sehingga meningkatkan tekanan mekanik pada

sendi penahan beban tubuh, khususnya lutut (Ahdaniar et al.,

2014).

Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan


menggunakan rumus perhitungan IMT menurut WHO dengan
kategori :
IMT : BB (Kg) / TB (m²)
Kategori IMT (kg/m2)
Berat badan kurang. < 18,5.
Kisaran normal. 18,5-24,9.
Berat badan lebih. > 25.
Pra-Obesitas 25,0-29,9
Obesitas tingkat 1 30,0-34,9
Obesitas tingkat 2 35,0-39,0.
Obesitas tingkat 3 > 40.
Gambar 2.1 kategori IMT
f. Pola makan

Pola makan adalah suatu cara atau usaha dalam

pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan informasi

gambaran dengan meliputi mempertahankan kesehatan, status

nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit

(bagus, 2009).

Menurut bagus (2009) Secara umum pola makan memiliki 3

(tiga) komponen yang terdiri dari: jenis, frekuensi, dan porsi

makanan.

a. Jenis makan
19

Jenis makan adalah sejenis makanan pokok yang

dimakan setiap hari terdiri dari makanan pokok, Lauk

hewani,Lauk nabati, Sayuran ,dan Buah yang dikonsumsi

setiap hari Makanan pokok adalah sumber makanan utama

di negara indonesia yang dikonsumsi setiap orang atau

sekelompok masyarakat yang terdiri dari beras, jangung,

sagu, umbi-umbian, dan tepung.

b. Frekuensi makan

Frekuensi makan adalah beberapa kali makan dalam

sehari meliputi makan pagi, makan siang, makan malam dan

makan selingan (Depkes, 2013). sedangkan menurut

Suhardjo (2009) frekuensi makan merupakan berulang kali

makan sehari dengan jumlah tiga kali makan pagi, makan

siang, dan makan malam.

c. Porsi makanan

Jumlah makan adalah banyaknya makanan yang

dimakan dalam setiap orang atau setiap individu dalam

kelompok.

g. Genetik

Genetika berasal dari bahasa latin  yaitu “Genos” yang

memiliki arti asal-usul atau suku bangsa. Jadi genetika sebagai

ilmu dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang

pewarisan sifat kepada keturunannya (hereditas) dimana

substansi genetika sendiri meliputi materi atau bahan pembawa


20

sifat genetik yaitu kromosom yang terdiri dari protein, dan asam

nukleat. Sedangkan asam nukleat sendiri terdiri dari DNA dan

RNA dan pada DNA terdapat gen yang merupakan unit terkecil

yang menyimpan informasi genetika serta mengatur

metabolisme tubuh (bagus, 2009).

h. Autoimun

Dari segi bahasa auto artinya diri sendiri, dan imun artinya

sistem pertahanan tubuh, jadi pengertian autoimun adalah

sistem pertahanan tubuh mengalami gangguan sehingga

menyerang sel-sel tubuh itu sendiri.

 Faktor risiko dan Penyebab Autoimun

Penyebab pasti gangguan autoimun tidak diketahui,

namun ada sejumlah faktor risiko yang meningkatkan

kemungkinan terkena:

 Genetika - kecenderungan penyakit autoimun terjadi

dalam keluarga atau faktor keturunan.

Namun genetik saja tidak cukup karena ada faktor

lingkungan juga yang mempengaruhi.

 Faktor-faktor lingkungan - termasuk gaya hidup yang

tidak sehat.

 Jenis kelamin perempuan lebih rentan dibandingkan

laki-laki
21

 Hormon seks  seperti estrogen dan progesteron terbu

kti gangguan autoimun cenderung menyerang

selama usia reproduktif.

Infeksi - beberapa penyakit autoimun tampaknya dipicu atau

diperburuk oleh infeksi tertentu (Ahdaniar et al., 2014).

 Pengobatan Penyakit Autoimun

Menurut Ahdaniar et al (2014) gangguan autoimun pada

umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi gejala yang

menimbulkan penderitaan sebagian besar dapat dikendalikan

dengan perawatan sebagai berikut:

 Obat anti-inflamasi - untuk mengurangi peradangan dan

nyeri

 Kortikosteroid - untuk mengurangi peradangan dan menekan

sistem imun

 Obat imunosupresan - untuk menghambat aktivitas sistem

kekebalan tubuh

 Terapi fisik - untuk mendorong mobilitas

 Terapi sulih - misalnya, suntikan insulin dalam kasus diabete

s melitus.

 Operasi - misalnya, untuk mengobati penyumbatan usus

pada kasus penyakit Crohn.

Dengan menekan sistem imun atau pertahanan

tubuh, maka gejala penyakit autoimun dapat ditekan

sehingga memberikan kenyamanan, namun sayangnya


22

belum ditemukan obat yang benar-benar bisa

menyembuhkan gangguan imun ini.

i. Konsumsi obat yang berlebihan

Dalam jangka panjang, sebagian obat bisa menyebabkan

lebih banyak kerugian dibanding manfaat positifnya. Pada

beberapa kasus, terkadang hanya dengan mengubah

kebiasaan sudah cukup mengobati gejala penyakit yang kita

obati. "Selalu ada risiko saat kita minum obat. Termasuk obat

yang dibeli bebas atau obat resep. Jika Anda memiliki kondisi

yang butuh pengobatan jangka panjang, biasanya manfaatnya

melebihi risikonya," kata Jack Chou, dokter keluarga dari

California, AS. Kebanyakan obat jangka pendek dibuat untuk

mengobati masalah yang sifatnya sementara dan ringan.

Namun jika kita mengonsumsi obat seperti ini terus-terusan,

efek sampingnya perlu diwaspadai (Ahdaniar et al., 2014).


23

C. Karangka konsep

Secara teoritis perlu dijelaskan hubungan antara variabel

independen dan dependen.Bila dalam penelitian ada variabel

moderator dan intervening, maka perlu dijelaskan mengapa perlu

dilibatkan dalam penelitian.Pertautan antara variabel tersebut,

selanjutnya dirumuskan kedalam bentuk paradigma penelitian

(Sugiyono, 2018).

Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan, baik itu

dari latar belakang dan tinjauan pustaka maka konsep dari peneliti

ini yaitu sebagai berikut :

Variabel independen variabel dependen

Umur

Jenis kelamin

aktivitas fisik
Kejadian Reumatoid
Artritis
konsumsi alkohol

Obesitas

Pola makan

Genetik

Autoimun

Konsumsi obat
yang berlebihan

Gambar 2.2 Model Hubungan Variabel


24

Keterangan :

: Diteliti

: Variabel Dependen

: Penghubung antara Variabel

: Variabel yang tidak di teliti


25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian kuantitatif adalah metode tradisional, karena metode ini

sudah cukup lama di gunakan. Metode ini disebut sebagai metode

positivistik karena berlandaskan pada filsafat positivisme. Metode ini di

katakan kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan

analisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2018). Penelitian ini bersifat

kuantitatif dengan pendekatan cross sectional untuk melihat faktor-

faktor yang mempengaruhi kejadian rematoid artritis pada masyarakat

kelurahan Palampang.

B. Waktu dan Lokasi penelitian

1. Waktu

Penelitian dilaksanakan pada Tanggal 09 juli – 23 juli 2019.

2. Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di kelurahan Palampang.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek

maupun subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulanya (Sugiyono, 2018). Populasi dalam penelitian ini adalah

keseluruhan masyarakat di kelurahan Palampang yang berumur dari

36 tahun hingga usia lansia tua.

25
26

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut (Sugiyono, 2018). Sampel pada penelitian ini sejumlah 120

sampel, dengan menggunakan rumus (Dahlan,DR,M.EPID, 2012)  :

n= V x 10

n= 6 x 10

0,5

n= 60

0,5

n = 120 sampel

Keterangan :

n = Perkiraan besar sampel

V = Variabel yang di gunakan

P = Proporsi yang ada

Adapun tehnik pengambilan sampel yang digunakan konstruktuf

sampling dengan menggunakan Kriteria Sampel yang diantaranya :

1. Kriteria inklusif

a. Responden yang berada di tempat pada saat pengambilan data

b. Bersedia menjadi responden

2. Kriteria eksklusi

a. tidak bersedia menjadi responden.

b. Yang memiliki gangguan lain seperti kejiwaan

D. Variabel Penelitian
27

a. Variabel bebas (variabel independen) dalam penelitian ini adalah

faktor yang mempengaruhi rematoid artritis pada masyarakat

kelurahan Palampang yang diantaranya umur, jenis kelamin, gaya

hidup (seperti konsumsi alkohol,obat dan obesitas).

b. Variabel terikat (variabel dependent) dalam penelitian ini adalah

kejadian rematoid artritis .

E. Definisi Oprasional

1. Variabel dependen

a. Kejadian rematoid artritis

Kejadian rematoid artritis adalah suatu penyakit berdasarkan

diagnosa medis yang menyerang persendian seseorang yang

dapat menimbulkan gejala seperti nyeri sendi dan nyeri pada

pergelangan.

b. Kriteria objaktif

Mengalami :

Jika responden mengalami penyakit rematoid artritis

Tidak mengalami :

Jika responden tidak mengalami penyakit rematoid artritis

c. Alat ukur

Lembar Kuensioner

d. Skala ukur

Nominal
28

2. Variabel independen

a. Usia

Usia adalah lamanya masa hidup responden secara tahun,

dihitung sejak di lahirkan sampai dilakukan penelitian.

a) Kriteria objaktif

1) Masa dewasa Akhir         =36- 45 tahun.

2) Masa Lansia Awal           = 46- 55 tahun.

3) Masa Lansia Akhir           = 56 – 65 tahun.

4) Masa Manula                  = 65 – sampai atas

b) Alat ukur

Lembar kuensioner

c) Skala ukur

Ordinal

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan perbedaan status antara laki-laki

dan perempuan .

a) Kriteria objaktif

Laki-laki : jika responden berstatus laki-laki

Perempuan : jika responden berstatusperempuan

b) Alat ukur

Lembar kuensioner

c) Skala ukur

Nominal
29

c. aktivitas fisik

Kegiatan responden seperti senam, jalan maupun lari pagi

yang dilakukan rutin tiap harinya minimal dengan durasi 30 menit.

a) Kriteria objaktif

Melakukan :

Jika responden menjawab pertanyaan dengan skor ≥ 5.

Tidak melakukan :

Jika responden menjawab pertanyaan dengan skor < 4

b) Alat ukur

Lembar kuensioner

c) Skala ukur

Ordinal

d. konsumsi alkohol

konsumsi alkohol merupakan suatu kegiatan meminum-

minuman yang dapat memabukkan seseorang.

a) Kriteria objaktif

Mengonsumsi :

Jika responden mengonsumsi minuman beralkohol

Tidak mengonsumsi:

Jika responden tidak mengonsumsi minuman beralkohol

b) Alat ukur

Lembar kuensioner

c) Skala ukur

Nominal
30

e. Obesitas

Obesitas merupakan suatu keadaan berat badan seseoang di

atas nilai hasil perhitungan indeks massa tubuh.

a) Kriteria objaktif

Obesitas : jika nilai IMT ≥ 25

Tidak Obesitas : jika nilai < 25

b) Alat ukur

Lembar kuensioner

c) Skala ukur

Ordinal

f. Pola Makan

Pola makan adalah suatu kegiatan makan yang bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan seseorang dengan menggunakan peraturan

makan untuk mempertahankan kesehatan.

a) Kriteria objaktif

Baik :

Jika responden menjawab pertanyaan dengan skor ≥ 4

Buruk :

Jika responden menjawab pertanyaan dengan skor < 3

b) Alat ukur

Lembar kuensioner

c) Skala ukur

Ordinal
31

F. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur

fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2018).

a. Kejadian Artritis reumatoid

Kejadian Artritis reumatoid di gunakan dengan skala

guttman,bentuk kuensioner dalam bentuk pertanyaan.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Artritis reumatoid

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Artritis reumatoid

digunakan menggunakan skala guttman,bentuk kuensioner terdiri

dari 16 pertanyaan.

G. Tehnik pengumpulan data

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh

peneliti (nursalam, 2017).

Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti data yang telah

diisi oleh responden melalui kuensioner yang telah di bagikan oleh

peneliti.

2.Data sekunder

Data sekunder adalah data yang di peroleh secara tidak langsung

baik itu dari orang lain maupun dari suatu institusi lain (nursalam,

2017).

Data sekunder yang mendukung penelitian ini adalah data yang di

lakukan pada pengambilan data awal, data yang didapatkan yaitu

jumlah penderita Artritis reumatoid di kelurahan palanpang.


32

H. Alur penelitian

Proposal penelitian : Faktor-faktor yang Mempengaruhi kejadian


rematoid artritis pada masyarakat kelurahan palampang.

Hipotesis: terdapat beberapa faktor-faktor yang di antaranya


umur, jenis kelamin, aktifitas fisik, konsumsi alkohol, obesitas
dan konsumsi obat dapat mempengaruhi terjadinya penyakit
rematik pada masyarakat di Kel.Palampang.

Populasi: Seluruhan masyarakat di kelurahan Palampang yang


berumur dari 36 tahun hingga usia lansia tua

Sampel : Sampel yang digunakan dalam


penelitian ini sebanyak 120 sampel

Instrument penelitian:

Izin penelitian

Variabel independen:
faktor yang Pengumpulan Varibel dependen:
mempengaruhi data kejadian
rematoid artritis rematoid artritis

Masyarakat
Kelurahan
Palampang

Analisa data :
Univariat dan Bivariat

Hasil dan pembahasan

Kesimpulan dan saran


33

I. Teknik pengelolaan dan analisa data

1. Teknik pengolahan

a. Editing

Kegiatan untuk memeriksa data mentah yang telah

dikumpulkan, meliputi :

1) Melengkapi data yang kurang/kosong.

2) Meperbaiki kesalahan atau kekurang jelasan dari pecacatan

data.

3) Memeriksa konsistensi data sesuai dengan data yang

diinginkan.

4) Memeriksa keseragaman hasil pengukuran.

5) Memeriksa reliabilitas data (misalnya membuang data-data

yang ekstrim) (nursalam, 2017).

b. Coding

Membeikan tanda adalah mengklafikasikan jawaban –jawaban

dari para responden kedalam bentukangka atau bilangan.

Dengan coding adalah untuk mempermudah pada saat analisa

data dan juga mempercepat pada saat entry (nursalam, 2017).

c. Tabulating

Kegiatan untuk membuat tabel data (menyajikan data dalam

bentuk tabel) untuk memudahkan analisis data maupun

pelaporan. Tabel data dibuat sesederhana mungkin sehingga

informasi mudah ditangkap oleh pengguna data maupun bagi

bagian analisis data (nursalam, 2017).


34

2. Analisa Data

Setelah data di olah menjadi suatu data yang di harapkan,

selanjutnya dilakukan analisa untuk menjawab pertanyaan peneliti.

a. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisa yang dilakukan untuk

menganalisis setiap veriabel. Variabel independent adalah faktor

yang mempengaruhi Rheumatoid Artritis dan variabel dependen

adalah terjadinya Rheumatoid Artritis (nursalam, 2017).

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan lebih dari dua

variabel. Analisa bivariat pada penelitian adalah untuk melihat

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya rematoid artritis

(nursalam, 2017).Dalam penelitian ini uji statistik Chi-square dan

uji kolmogrov smirnov.

J. Etika penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya

rekomendasi dari pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan

permohonan ijin kepada instansi tempat penelitian. Setelah mendapat

persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah

etika penelitian dari KNEPK 2012 yang meliputi :

1. Respect For Person

Menghargai harkat martabat manusia, peneliti perlu

mempertimbangkan hak-hak subjek untuk mendapatkan informasi

yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki


35

kebebasan menentukan pilhan dan bebas dari paksaan untuk

berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.

2. Beneficience

Peneliti melaksankan penelitiannya sesuai dengan prosedur,

peneliti juga mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal

mungkin bagi subjek peneltian dan dapat digeneralisasikan ditingkat

populasi.

3. Justice

Prinsip keadilan memiliki konotasi latar belakang dan keadaan

untuk memenuhi prinsip keterbukaan.Penelitian dilakukan secara

jujur, hati-hati, profesional, berprikemanusian dan memperhatikan

faktor-faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intinitas,

psikologis serta perasaan religius subjek penelitian.

4. Informed Consent

Merupakan pernyataan kesediaan dari subjek penelitian untuk

diambil datanya dan diikursertakan dalam penelitian. Dalam

informad consent harus ada penjelasan tentang penelitian yang akan

dilakukan baik mengenai tujuan penelitian, tata cara penelitian,

manfaat yang akan diperoleh, resiko yang mungkin terjadi dan

adanya pilihan bahwa subjek penelitian dapat menarik diri kapan

saja.
36

K. Jadwal penelitian

No Urutan Kegiatan Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun


1 Pengajuan judul
2 Acc judul
3 Penyusunan

proposal
4 Bimbingan

proposal
5 Acc poposal
6 Ujian proposal
7 Penelitian
8 Penyusunan

skripsi
9 Acc skripsi
10 Ujian skripsi

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

Tabel 4.1.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia, Tingkat Pendidikan, dan
Status Pekerjaan Masyarakat di Kelurahan Palampang
37

Karakteristik Frequency (f) Persent (%)


Responden
Usia
Masa Dewasa Akhir
53 44,2
(36 – 45 tahun)
Masa Lansia Awal
31 25,8
(46– 55 tahun)
Masa Lansia Akhir
15 12,5
(56– 65 tahun)
Manula
21 17,5
(66 – sampai atas)
Total 120 100,0
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah 20 16,7
SD 51 42,5
SMP 26 21,7
SMA 23 19,2
Total 120 100,0
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 65 54,2
Bekerja 55 45,8
Total 120 100,0

Berdasarkan tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa jumlah

frekuensi usia tertinggi terdapat pada usia dewasa akhir sebanyak

53 orang (44,2%) dengan kriteria usia 36 – 45 tahun sedangkan

frekuensi usia terendah terdapat pada masa lansia akhir sebanyak

15 orang (12,5%) dengan kriteria usia 56 – 65 tahun. Dan jumlah

frekuensi tigkat pendidikan tertinggi terdapat pada SD sebanyak 51

(42,5%), sedangkan frekuensi responden terendah terdapat pada

kriteria tidak sekolah sebanyak 20 orang (16,7%). Frekuensi Status

Peerjaan responden, Terdapat tidak bekerja sebanyak 65 orang

(54,2%) merupakan frekuensi


37 tertinggi dan frekuensi terendah
terdapat pada status bekerja sebanyak 55 orang (45,8%).

2. Analisa Univariat

a. Distribusi jumlah responden berdasarkan Kejadian Rheumatoid

Artritis
38

Tabel 4.2.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Rheumatoid Artritis
Masyarakat di Kelurahan Palampang

Kejadian Rheumatoid Artritis Frequency (f) Percent (%)


Mengalami 88 73,3
Tidak Mengalami 32 26,7
Total 120 100,0
Berdasarkan tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa jumlah

distribusi responden berdasarkan Kejadian Rheumatoid Artritis

yang mengalami nyeri sendi yaitu sebanyak 88 orang (73,3%) dan

tidak mengalami Rheumatoid Artritis sebanyak 32 orang (26,7%).

b. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Umur

Tabel 4.3.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Masyarakat
Di Kelurahan Palampang

Usia Frequency (f) Percent (%)


Masa Dewasa Akhir 53 44,2
Masa Lansia Awal 31 25,8
Masa Lansia Akhir 15 12,5
Manula 21 17,5
Total 120 100,0
Berdasarkan tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa jumlah

distribusi responden berdasarkan usia, masa dewasa akhir

sebanyak 53 orang (44,2%), masa lansia awal sebanyak 31 orang

(25,8%), masa lansia akhir sebanyak 15 orang (12,5%) dan

manula sebanyak 21 orang (17,5%).

c. Distribusi jumlah responden berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.4.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Masyarakat di
Kelurahan Palampang

Jenis Kelamin Frequency (f) Percent (%)


Laki – laki 36 30,0
Perempuan 84 70,0
Total 120 100,0
39

Berdasarkan tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa laki-laki

sebanyak 36 orang (30,0%) dan perempuan sebanyak 84 orang

(70,0%).

d. Distribusi jumlah responden berdasarkan aktivitas fisik

Tabel 4.5.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Aktivitas fisik Masyarakat di
Kelurahan Palampang

Aktivitas Fisik Frequency (f) Percent (%)


Melakukan 82 68,3
Tidak Melakukan 38 31,7
Total 120 100,0
Berdasarkan tabel 4.5 diatas menunjukkan bahwa sebagian

besar melakukan aktivitas fisik sebanyak 82 orang (68,3%) dan

yang tidak melakukan sebanyak 38 orang (31,7%).

e. Distribusi jumlah responden berdasarkan konsumsi alkohol

Tabel 4.6.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Konsumsi Alkohol Masyarakat di
Kelurahan Palampang

Konsumsi Alkohol Frequency (f) Percent (%)


Ya 20 16,7
Tidak 100 83,3
Total 120 100,0
Berdasarkan tabel 4.6 diatas menunjukkan bahwa

responden yang mengonsumsi sebanyak 20 orang (16,7%) dan

yang tdak mengonsumsi sebanyak 100 orang (83,3%).

e. Distribusi jumlah responden berdasarkan obesitas

Tabel 4.7.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Obesitas Masyarakat di
Kelurahan Palampang

Obesitas Frequency (f) Percent (%)


Obesitas 24 20,0
Tidak Obesitas 96 80,0
Total 120 100,0
40

Berdasarkan tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa jumlah

distribusi responden yang obesitas sebanyak 24 orang (20,0%)

dan tidak obesitas sebanyak 96 orang (80,0%) .

f. Distribusi jumlah responden berdasarkan pola makan

Tabel 4.8.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Makan Masyarakat di
Kelurahan Palampang

Pola Makan Frequency (f) Percent (%)


Buruk 71 59,2
Baik 49 40,8
Total 120 100,0
Berdasarkan tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa jumlah

distribusi responden berdasarkan pola makan buruk sebanyak 71

orang (59,2%) dan pola makan baik sebanyak 49 orang (40,8%).

3.Analisis Bivariat

a.Analisa responden berdasarkan usia dengan kejadian Rheumatoid

Artritis

Tabel 4.9
41

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan usia Dengan kejadian Rheumatoid Artritis


pada masyarakat kelurahan palampang

Kejadian Rheumatoid Artritis


Tidak % Mengalami % Total % p
Mengalami
Masa 14 26,4% 39 73,6% 100%
53
Dewasa
Akhir 9 29,0% 22 71,0% 100% 0,00
31
Masa Lansia 0
Usia
Awal 6 40,0% 9 60,0% 100%
15
Masa Lansia
Akhir 3 14,3% 18 85,7% 100%
21
Manula
Total 26,7
32 88 73,3% 120 100%
%
Sumber : Kolmogrov smirnov

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan usia dengan

Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa 14 responden

(26,4%) yang berusia masa dewasa akhir yang tidak mengalami

rheumatoid artritis dan 39 responden (73,6%) yang mengalami

aheumatoid artritis, 9 responden (29,0%) masa lansia awal tidak

mengalami rheumatoid artritis dan 22 responden (71,0%) yang

mengalami rheumatoid artritis, 6 responden (40,0%) masa lansia

akhir tidak mengalami rheumatoid arthritis sedangakan 9

responden ( 60,0%) mengalami rheumatoid arthritis, 3 responden

(14,3%) yang tidak mengalami rheumatoid artritis dan 18

responden (85,7%) yang mengalami rheumatoid arthritis, serta nilai

p yang di dapatkan dari hasil uji Kolmogrov smirnov sebesar 0,575,

sehingga dapat dimaknai bahwa usia responden mempengaruhi

kejadian rheumatoid artritis, ditunjukkan dengan nilai ρ = 0.000

>0.05.
42

b. Analisa responden berdasarkan jenis kelamin, aktivitas fisik,

konsumsi alkohol, obesitas dan pola makan dengan kejadian

Rheumatoid Artritis

Tabel 4.10
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan jenis kelamin, Aktivitas Fisi ,
Konsumsi alkohol, Obesitas, dan Pola makan Dengan kejadian Rheumatoid
Artritis pada masyarakat kelurahan palampang

Kejadian Rheumatoid Artritis


Tidak % Men- % Total % P
Mengala galam
mi i
Laki – 13 36,1% 23 63,9% 36 100% 0,176
Jenis laki
kelamin Perem- 19 22,6% 65 77,4% 84 100%
puan
Tidak 7 18,4% 31 81,6% 100%
Melaku- 38
Aktivita
kan
s Fisik
Melaku- 100% 0,189
25 30,5% 57 69,5% 82
kan
Kon- Tidak 30 30,0% 70 70,0% 100 100%
sumsi  0,095
Alkohol Ya 2 5,3% 18 14,7% 20 100%
Tidak
Obesi- 31 32,3% 65 67,7% 100%
96
Obesi- tas
Tas 0,004
Obesi- 100%
1 4,2% 23 95,8% 24
tas
Pola Buruk 3 4,2% 68 95,8% 71 100%
Makan Baik 29 59,2% 20 40,8% 24 100% 0,000
Total 32 26,7% 88 73,3% 120 100%
Sumber : Uji Chis-quer

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin

dengan Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa 13

responden (36,1%) yang jenis kelamin laki-laki yang tidak

mengalami rheumatoid artritis dan 23 responden (63,9%) yang

mengalami aheumatoid artritis, 19 responden (22,6%) jenis

kelamin perempuan yang tidak mengalami rheumatoid artritis dan

65 responden (77,4%) yang mengalami rheumatoid arthritis, serta

nilai p yang di dapatkan dari hasil uji chis-quer sebesar 0,176,


43

sehingga dapat dimaknai bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi

kejadian rheumatoid arthritis ditunjukkan dengan nilai ρ = 0.176 >

0.05.

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan aktivitas fisik

dengan Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa 7

responden (18,4%) yang tidak melakukan aktivitas fisik yang tidak

mengalami rheumatoid artritis dan 31 responden (81,6%) yang

mengalami rheumatoid artritis, 25 responden (30,5%) melakukan

aktivitas fisik dan tidak mengalami rheumatoid artritis dan 57

responden (69,5%) yang mengalami rheumatoid arthritis, serta nilai

p yang di dapatkan dari hasil uji chis-quer sebesar 0,189, sehingga

dapat dimaknai bahwa aktivitas fisik tidak mempengaruhi kejadian

rheumatoid arthritis ditunjukkan dengan nilai ρ = 0.189>0.05.

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan konsumsi

alkohol dengan Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa

30 responden (30,0%) yang tidak mengonsumsi alkohol dan tidak

mengalami rheumatoid artritis dan 70 responden (70,0%) yang

mengalami rheumatoid artritis, 2 responden (5,3%) yang

mengonsumsi alkohol tetapi tidak mengalami rheumatoid artritis

dan 18 responden (14,7%) yang mengalami rheumatoid arthritis,

serta nilai p yang di dapatkan dari hasil uji chis-quer sebesar 0,095,

sehingga dapat dimaknai bahwa  konsumsi alkohol tidak

mempengaruhi kejadian rheumatoid arthritis ditunjukkan dengan

nilai ρ = 0.095>0.05.
44

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan obesitas

dengan Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa 31

responden (32,3%) yang tidak obesitas dan tidak mengalami

rheumatoid artritis dan 65 responden (67,7%) yang mengalami

rheumatoid artritis, 1responden (4,2%) yang obesitas tetapi tidak

mengalami rheumatoid artritis dan 23 responden (95,8%) yang

mengalami rheumatoid arthritis, serta nilai p yang di dapatkan dari

hasil uji chis-quer sebesar 0,004, sehingga dapat dimaknai bahwa

obesitas mempengaruhi kejadian rheumatoid arthritis ditunjukkan

dengan nilai ρ = 0.004<0.05.

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan pola makan

dengan Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa 3

responden (4,2%) yang pola makannya buruk tetapi tidak

mengalami rheumatoid artritis dan 68 responden (95,8%) yang

mengalami rheumatoid artritis, 29 responden (59,2%) yang pola

makannya baik dan tidak mengalami rheumatoid artritis dan 20

responden (40,8%) yang mengalami rheumatoid arthritis, serta

nilai p yang di dapatkan dari hasil uji chis-quer sebesar 0,000,

sehingga dapat dimaknai bahwa pola makan mempengaruhi

kejadian rheumatoid arthritis ditunjukkan dengan nilai ρ = 0.000

<0.05.

B.Pembahasan

a. Analisa responden berdasarkan usia dengan kejadian Rheumatoid

Artritis
45

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan usia dengan

Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa 14 responden

(26,4%) yang berusia masa dewasa akhir yang tidak mengalami

rheumatoid artritis dan 39 responden (73,6%) yang mengalami

aheumatoid artritis, 9 responden (29,0%) masa lansia awal tidak

mengalami rheumatoid artritis dan 22 responden (71,0%) yang

mengalami rheumatoid artritis, 6 responden (40,0%) masa lansia

akhir tidak mengalami rheumatoid arthritis sedangakan 9 responden

( 60,0%) mengalami rheumatoid arthritis, 3 responden (14,3%) yang

tidak mengalami rheumatoid artritis dan 18 responden (85,7%) yang

mengalami rheumatoid arthritis, serta nilai p yang di dapatkan dari

hasil uji Kolmogrov smirnov sebesar ρ = 0.000<0.05. Dari penjelasan

diatas maka peneliti dapat berasumsi bahwa usia responden

mempengaruhi kejadian rheumatoid artritis.

Sehingga peneliti berasumsi bahwa Umur dapat mempengaruhi

fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan. Dengan

bertambahnya usia atau umur secara perlahan-lahan kemampuan

jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan

fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan

memperbaiki kerusakan yang diderita. Pada mereka yang sudah

berusia lanjut, lapisan pelindung persendian mulai menipis dan

cairan sendi mulai mengental. Menyebabkan tubuh menjadi kaku

dan sakit saat digerakkan.


46

Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan

dengan makin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak

awal kehidupan hingga usia lanjut pada semua organ dan jaringan

tubuh. Reumatik dapat terjadi pada usia dewasa hingga usia lanjut.

Dan gangguan reumatik akan meningkat dengan meningkatnya umur

Jazmi (2016).

Diusia orang-orang yang tergolong usia lansia akhir yaitu 56-64

mempunyai keluhan pada sendi-sendinya, misalnya linu-linu, pegal,

dan kadang- kadang terasa seperti nyeri. Biasanya yang terkena

ialah persendian pada jari-jari, tulang punggung, sendi-sendi

penahan berat tubuh (lutut dan panggul), Pada mereka yang berusia

lanjut, lapisan pelindung persendian mulai menipis dan cairan tulang

mulai mengental, sehingga tubuh menjadi sakit saat digerakkan dan

menigkatkan risiko Rheumatoid Arthritis

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Pratama (2014) Penelitian ini menganilisis 56 sampel dalam

penelitian. Dari 36 sampel yang umur 45-59 tahun terdapat 21

sampel yang menderita arthritis rheumatoid dan terdapat 15 sampel

yang tidak menderita arthritis rheumatoid, sedangkan dari 20 sampel

yang berumur 60-74 tahun terdapat 17 sampel yang menderita

arthritis rheumatoid dan terdapat 3 sampel yang tidak menderita

arthritis rheumatoid. Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya

hubungan anatara umur dengan kejadian arthritis rheumatoid

dengan nilai ρ (0,041) < α (0,05). Peneliti menganalisa bahwa umur


47

ada hubungan dengan kejadian arthritis rheumatoid pada lansia

karena gangguan rematik akan meningkat dengan bertambahnya

umur.

Elsi, M (2018) Berdasarkan hasil analisis data kuesioner terhadap

31 responden penderita arthritis rheumatoid diketahui bahwa

penderita artritis reumatoid paling banyak terdapat pada kelompok

usia 56-65 tahun (83,9%). Sehingga dapat disimpulkan ada

hubungan antara usia dengan kejadian rheumatoid arthritis di

Wilayah Kerja Puskesmas Danguang Danguang Kabupaten

Limapuluh Kota.

b. Analisa responden berdasarkan jenis kelamin dengan kejadian

Rheumatoid Artritis

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin

dengan Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa 13

responden (36,1%) yang jenis kelamin laki-laki yang tidak

mengalami rheumatoid artritis dan 23 responden (63,9%) yang

mengalami aheumatoid artritis, 19 responden (22,6%) jenis

kelamin perempuan yang tidak mengalami rheumatoid artritis dan

65 responden (77,4%) yang mengalami rheumatoid arthritis, serta

nilai p yang di dapatkan dari hasil uji chis-quer sebesar 0,176,

sehingga dapat dimaknai bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi

kejadian rheumatoid arthritis ditunjukkan dengan nilai ρ = 0.176 >

0.05.
48

Dari penjelasan diatas maka peneliti dapat berasumsi bahwa

jenis kelamin responden belum tentu mempengaruhi kejadian

rheumatoid artritis, karena perbedaan antar jenis kelamin hanya

perbedaan anatomi dan fisiologi. Sesuai dengan hasil penelitian

yag di dapatkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki sama

mengalami reumatoid artritis. Sehingga dapat di tarik kesimpulan

bahwa kejaian rheumatoid artritis terjadi bukan karena jenis kelamin

tetapi namun banyak faktor lain.

Sehingga penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh akmal et al (2016) tidak ada hubungan antara

jenis kelamin (p=0,503 > α=0,05) dengan kejadian arthritis

rheumatoid. Dalam penelitian ini disimpulkan tidak ada

hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian rheumatoid

arthritis.

(Wulan, 2017) bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin

dengan penyakit arthritis rheumatoid pada lansia, didapatkan

bahwa nilai p = (0,217 > 0,05). Sehingga dapat di simpulkan

bahawa Ho di terima dan Ha di tolak ada tidak terdapat hubungan

antara jenis kelaimin dengan kejadian rheumatoid arthritis.

c. Analisa responden berdasarkan aktivitas fisik dengan kejadian

Rheumatoid Artritis

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan aktivitas fisik

dengan Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa 7

responden (18,4%) yang tidak melakukan aktivitas fisik yang tidak


49

mengalami rheumatoid artritis dan 31 responden (81,6%) yang

mengalami rheumatoid artritis, 25 responden (30,5%) melakukan

aktivitas fisik dan tidak mengalami rheumatoid artritis dan 57

responden (69,5%) yang mengalami rheumatoid arthritis, serta nilai

p yang di dapatkan dari hasil uji chis-quer sebesar 0,189, sehingga

dapat dimaknai bahwa aktivitas fisik tidak mempengaruhi kejadian

rheumatoid arthritis ditunjukkan dengan nilai ρ = 0.189>0.05.

Dari penjelasan diatas maka peneliti dapat berasumsi bahwa

meskipun kita melakukan aktifitas fisik belum tentu kita terhindar

dari pentakit rheumatoid artritis. Karena Aktivitas fisik

membutuhkan pengunaan sendi-sendi kecil seperti sendi jari

tangan dan pergelangan tangan, bukan Aktivitas fisik yang berat

seperti buruh, petani, nelayan dan lainnya mempunyai risiko dua

kali menyebabkan terjadinya penyakit rheumatoid arthritis atau

memperparah rasa sakit pada arthritis.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang sejalan dengan

penelitian ini yang dilakukan oleh (Elsi, 2018). Berdasarkan data

dari hasil kusioner, tercata sebanyak 22 penderita Arthritis

Rheumatoid (71%) dalam beraktifitas tidak terlalu meguras tenaga,

sedangkan ada 9 % yang bekerja terlalu berat dan menguras

tenaga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Aktifitas fisik tidak

dominan menyebabkan RA Pada responden dengan nilai p = 0,094.


50

leveno et al (2009) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan

antara aktivitas fisik dengan kejadian Rheumatoid Artritis

berdasarkan dari hasil uji chis-quer didapatkan nilai p = 0,157.

d. Analisa responden berdasarkan konsumsi alkohol dengan kejadian

Rheumatoid Artritis

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan konsumsi

alkohol dengan Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa

30 responden (30,0%) yang tidak mengonsumsi alkohol dan tidak

mengalami rheumatoid artritis dan 70 responden (70,0%) yang

mengalami rheumatoid artritis, 2 responden (5,3%) yang

mengonsumsi alkohol tetapi tidak mengalami rheumatoid artritis

dan 18 responden (14,7%) yang mengalami rheumatoid arthritis,

serta nilai p yang di dapatkan dari hasil uji chis-quer sebesar 0,095,

sehingga dapat dimaknai bahwa  konsumsi alkohol tidak

mempengaruhi kejadian rheumatoid arthritis ditunjukkan dengan

nilai ρ = 0.095>0.05.

Dari penjelasan diatas maka peneliti dapat berasumsi bahwa

responden yang konsumsi alkohol belum tentu mempengaruhi

kejadian rheumatoid artritis, namun banyak faktor lain yang sangat

mempengaruhi kejadian rheumatoid arthritis selain.

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Jazmi (2016) menjelaskan bahwa tidak terdapat hubungan antara

responden yang konsumsi alkohol dengan kejadian rheumatoid

artritis (p = 0,063). Responden yang mengonsumsi alkohol, terdapat


51

61,1% yang tidak mengalami rheumatoid artritis . Sedangkan

responden yang mengonsumsi alkohol terdapat 33,3% yang

mengalami rheumatoid artritis.

d. Analisa responden berdasarkan obesitas dengan kejadian

Rheumatoid Artritis

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan obesitas

dengan Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa 31

responden (32,3%) yang tidak obesitas dan tidak mengalami

rheumatoid artritis dan 65 responden (67,7%) yang mengalami

rheumatoid artritis, 1responden (4,2%) yang obesitas tetapi tidak

mengalami rheumatoid artritis dan 23 responden (95,8%) yang

mengalami rheumatoid arthritis, serta nilai p yang di dapatkan dari

hasil uji chis-quer sebesar 0,004, sehingga dapat dimaknai bahwa

obesitas mempengaruhi kejadian rheumatoid arthritis ditunjukkan

dengan nilai ρ = 0.004<0.05.

Obesitas (Kegemukan) merupakan salah satu pendorong

terjadinya osteoartritis (Pengapuran sendi) yang bisa memunculkan

rematik. Itu terjadi karena timbunan lemak di tubuh bisa membebani

persendian, panggul, pinggang, dan terutama lutut. Untuk itu,

mereka yang kegemukan disarangkan untuk lebih sering

berolahraga agar mengurangi risiko terjadinya rematik Ahdaniar et

al (2014).

Sehingga peneliti berasumsi bahwa dalam hal ini obesitas

sangat berhubungan dengan kejadian rematik dibanding yang tidak


52

obesitas. Orang yang mengalami obesitas atau kegemukan

juga beresiko tinggi terserang penyakit rematik. Jadi dapat

disimpulkan bahwa obesitas sangat berhubungan dengan kejadian

penyakit rematik .

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Ahdaniar et al (2014) Berdasarkan hasil penelitian

menunjukkan rata-rata responden menjalani tingkat obesitas

dengan kejadian penyakit rematik pada lansia yang obesitas yaitu

39 responden atau 50,0% dari total sampel. Hasil uji statistik

menunjukkan ada hubungan antara obesitas dengan kejadian

penyakit rematik pada lansia di wilayah puskesmas Kassi-kassi

Kota Makassar (P= 0,038). Dengan demikian faktor obesitas

sebagai faktor yang berhubungan kejadian rematik pada lansia

hingga Ha diterima dan Ho ditolak dengan Interpretasi ”Ditemukan

Adanya Hubungan Obesitas dengan kejadian rematik pada lansia

di wilayah Puskesmas Kassi-kassi Kota Makassar.

Meliny, M dkk (2018) Menunjukkan obesitas merupakan faktor

risiko terjadinya rematik pada pada usia 45-54 tahun di wilayah

kerja Puskesmas Puuwatu (p value = 0,000). Hasil analisis ini juga

menunjukkan bahwa responden usia 45-54 tahun yang obesitas,

memiliki risiko menderita rematik sebesar 8,34 kali, dibandingkan

dengan responden yang tidak obesitas

e. Analisa responden berdasarkan pola makan dengan kejadian

Rheumatoid Artritis
53

Dari distribusi frekuensi responden berdasarkan pola makan

dengan Kejadian Rheumatoid Artritis menunjukkan bahwa 3

responden (4,2%) yang pola makannya buruk tetapi tidak

mengalami rheumatoid artritis dan 68 responden (95,8%) yang

mengalami rheumatoid artritis, 29 responden (59,2%) yang pola

makannya baik dan tidak mengalami rheumatoid artritis dan 20

responden (40,8%) yang mengalami rheumatoid arthritis, serta nilai

p yang di dapatkan dari hasil uji chis-quer sebesar 0,000, sehingga

dapat dimaknai bahwa pola makan mempengaruhi kejadian

rheumatoid arthritis ditunjukkan dengan nilai ρ = 0.000 <0.05.

Sehingga peneliti berasumsi bahwa rheumatoid arthritis

merupakan rematik yang serangannya sangat di pengaruhi oleh

pola makan. Mengkomsumsi makanan yang banyak mengandung

purin dapat menyebabkan terjadinya pengkristalisasian dalam

sendi.

Hal ini terlihat dari seringnya responden mengonsumsi

makanan sumber makanan tinggi purin seperti daging sapi, ikan,

dan hasil laut lainnya yang banyak tersedia dan mudah di dapat. Di

lokasi penelitian juga banyak didapatkan tempat yang menjual

makanan dengan menu makanan yang tinggi protein serta disisi

lain adanya budaya lokal yang sering melakukan acara

kekeluargaan dengan menyajikan hidangan masakan tinggi protein

dan berlemak.
54

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang di lakukan

oleh Jazmi (2016) Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui

frekuensi responden pola makan dengan kejadian penyakit rematik

pada lansia yang tidak teratur dan berisiko sebanyak 10 responden

(12,8%), sedangkan yang tidak berisiko sebanyak 28 responden

(35,9%). Responden dengan tingkat pola makan dengan kejadian

penyakit rematik pada lansia yang teratur dan berisiko sebanyak 22

responden (28,2%), sedangkan yang tidak berisiko sebanyak 18

responden (23,1%) dengan nilai P= 0,012. Dengan demikian faktor

pola makan sebagai faktor yang berhubungan kejadian rematik.

Ahdaniar et al (2014) faktor pola makan sebagai faktor yang

berhubungan kejadian rematik pada lansia hingga Ha diterima dan

Ho ditolak dengan Interpretasi ”Ditemukan Adanya Hubungan Pola

Makan dengan kejadian rematik pada lansia di wilayah Puskesmas

Kassi-kassi Kota Makassar” dengan nilai p = 0,034.

Meliny, M dkk (2018) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

pola makan merupakan faktor risiko rematik (p value = 0,000 ; 95%

CI=6,18-60,44). Selain itu, bahwa responden dengan pola makan

kurang baik memiliki risiko menderita rematik 19,33 kali lebih besar

dibanding responden dengan pola makan baik.

C.Keterbatasan Penelitian
55

Faktor-faktor yang mempengarhi kejadian rheumatoid artritis pada

masyarakat kelurahan palampang dalam penelitian ini hanya terdiri

dari enam variabel, yaitu umur, jenis kelamin, minuman alkohol, pola

makan, aktifitas fisik dan obesitas, sedangkan masih banyak faktor lain

yang berhubungan dengan kepatuhan berobat yang bisa diteliti oleh

peneliti selanjutnya dan tidak ada kuesioner yang baku sehingga

peneliti membuat kuesioner sesuai dengan teori.


56

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

a. Usia mempengaruhi kejadian rheumatoid arthritis pada masyarakat

kelurahan palampang

b. Jenis kelamin tidak mempengaruhi kejadian rheumatoid arthritis pada

masyarakat kelurahan palampang

c. Aktivitas fisik tidak mempengaruhi kejadian rheumatoid arthritis pada

masyarakat kelurahan palampang

d. Konsumsi alkohol  tidak mempengaruhi kejadian rheumatoid arthritis

pada masyarakat kelurahan palampang

e. Obesitas mempengaruhi kejadian rheumatoid arthritis pada

masyarakat kelurahan palampang

f. Pola makan mempengaruhi kejadian rheumatoid arthritis pada

masyarakat kelurahan palampang

B.Saran

a. Penulis merekomendasikan kepada peneliti selanjutnya untuk

meneliti faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian rheumatoid

arthritis disebabkan banyak faktor, sehingga tidak hanya diukur dari

usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, obesitas serta

pola makan.

b. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi

dalam memperkaya wawasan ilmu pengetahuan dan bahan acuan

bagi penelirian selanjutnya.

58
57

c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi

masyarakat agar dapat mengurangi penderita penyakit rheumatoid

arthritis serta penelitian ini berguna untuk perawat agar dapat

meperhatikan dan mengupayakan faktor-faktor yang dapat

menyebabkan terjadinya penyakit rheumatoid arthritis.


58

DAFTAR PUSTAKA

Ahdaniar, A., Hasanuddin, H., Indar, I., 2014. Faktor yang berhubungan

dengan kejadian penyakit rematik pada lansia di wilayah kerja

kassi-kassi kota makassar. Jurnal Ilmiah kesehatan diagnosis 4,

150–156.

akmal, M., Indahaan, Z., Widhawati, Sari, S., 2016. Ensiklopedi kesehatan

untuk umum. AR-RUZZ MEDIA, Jl.Anggrek 126

sambilegi,Maguwoharjo Depok.

bagus, 2009. Solusi sehat mengatasi asam urat dan rematik. Katalog

Dalam Terbitan (KDT), jakarta : afromedia pustaka.

dahlan, M.Sopoyuddin, 2016. Metodologi penelitian ilmu keperawatan.

salemba medika, jakarta.

Dahlan,DR,M.EPID, M.S., 2012. langkah-langkah membuat proposal

penelitian bidan kedokteran dan kesehatan, 2nd ed, 3. SERI

EVIDENCE BASED MEDICINE.

Diane C, Baughman, Joann, 2000. Keperawatan medikal bedah = Buku

saku untuk Brunner dan Suddarth. Katalog Dalam Terbitan (KDT),

jakarta.

Elsi, M., 2018. Gambaran faktor dominan pencetus Arthritis Rheumatoid di

Wilayah kerja puskemas Danggung-danggung Payakumbuh Tahun

2018. Menara Ilmu 12.

Hasil_Riskesdas_2018[1].pdf, n.d.

JAZMI, M.S., 2016. Faktor resiko terjadinya rematik artritis pada lansia di

posyandu wilayah kerja puskesmas II Baturanden.


59

leveno, kenneth J., Cunnngham, F.G., Gant, N.F., Alexander, J.M., 2009.

Obstetri Williams panduan ringkas, 21st ed. Katalog Dalam

Terbitan (KDT), jakarta : EGC.

Meliny, M., Suhadi, S., 2018. Analisis faktor resiko rematik usia 45-54

tahun diwilayah kerja puskesmas puuwatu kota kendari tahun 2017.

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat 3.

Minarlin, M., 2016. Aanalisis faktor yang mempengaruhi terjadinya artritis

rheumatoid di ruang mawar rumahsakit malahayati medan.

JURNAL KEPERAWATAN FLORA 9, 85–93.

nursalam, nursalam, 2017. metodologi penelitian ilmu

keperawatan:Pendekatan praktis, 4th ed. salemba medika, jakarta.

PRATAMA, G.W., 2014. Faktor - faktor yang mempengaruhi kejadian

reumatooid artrithis di wilayah kerha puskesmas semarang.

situmorang, paskah rina, 2017. Gambaran faktor-faktor yang

mempengaruhi pengetahuan lansia terhadap upaya pencegahan

rematoid artritis di kelurahan medan labuhan tahun 2017. jurnal

ilmiah ILMELDA 3 NO 1.

Sugiyono, 2018. metode penelitian kuantitatif,kualitatif dan R&D. alfabete,

bandung.

Wulan, R.E., 2017. Faktor Risiko Kejadian Rematik Di Wilayah Kerja

Puskesmas Alahan Panjang Kabupaten Solok Tahun 2016.

Anda mungkin juga menyukai