Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

Arthritis Reumatoid (AR)


DI Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Kasih Sayang Ibu Batusangkar

Disusun Oleh :
Nama : DIFFA PUTRI ANDRESA
NIM : 2014201053

Ci AKADEMIK Ci KLINIK

(Ns.Tomi jepisa,M.kep) (fitrianita,Amd.kep)


Diketahui
Kasi ppp3
(junita,S.sos)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PADANG


TAHUN AJARAN 2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Arthritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit sistematik yang bersifat
progresif, yang cenderung menjadi kronis dan menyerang sendi serta jaringan
lunak. Artritis rheumatoid adalah suatu penyakit autoimun dimana, secara
simetris persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan
sehingga menyebabkan terjadinya pembengkakan, nyeri, dan sering kali
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi. Karakteristik artritis
rheumatoid adalah radang cairan sendi (sinovitis inflamatoir) yang persisten,
biasanya menyerang sendi-sendi perifer dengan penyebaran yang simetris
(Junaidi, 2018)
Penderita artritis reumatoid di seluruh dunia telah mencapai angka 355
juta jiwa, artinya 1 dari 6 orang di dunia ini menderita artritis reumatoid.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) melaporkan bahwa 20%, penduduk dunia
terserang penyakit artritis reumatoid. Dimana 5-10% adalah mereka yang
berusia 5-20 tahun dan 20% mereka yang berusia 55 tahun. (Junaidi,2013)
Prevalensi penyakit sendi atau Rematik di Indonesia berdasar diagnosis
sebesar 11,9% dan berdasar diagnosis atau gejala sebesar 24,7%. Prevalensi
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi berada di Bali yaitu
berjumlah 19,3% dan terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu sebesar
5,6%. Sedangkan prevalensi penyakit sendi di provinsi Sumatera Selatan
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 8,4% dan berdasarkan
diagnosis atau gejala sebesar 15,6% (Riskesdas, 2018).
Hasil dari Laporan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun
2013, didapatkan angka kejadian gangguan jaringan lunak lainnya (reumatik)
menempati posisi keempat dari 10 penyakit terbesar di kota Palembang
dengan jumlah penderita 45.153 jiwa sedangakan pada tahun 2014, didapatkan
angka kejadian gangguan jaringan lunak lainnya (reumatik) mengalami
peningkatan angka kejadian dengan jumlah penderita yaitu sebanyak 49.292
jiwa kemudian pada bulan Januari sampai bulan April 2022, didapatkan angka
kejadian gangguan jaringan lunak lainnya (reumatik) menempati posisi
keempat dari 10 penyakit terbesar di kota Palembang dengan jumlah penderita
18.260 jiwa.
Puskesmas Basuki Rahmat Palembang merupakan wilayah yang padat
penduduk dimana kasus Artritis Reumatoid sering terjadi pada wilayah
tersebut dengan total kunjungan pasien mencapai 1.000 sampai 2.000 jiwa
pada setiap bulannya. Data dari Puskesmas Basuki Rahmat menunjukkan
bahwa pada tahun 2013 penyakit akut pada system otot dan jaringan pengikat,
tulang sendi serta reumatik termasuk dalam urutan ke-2 dari 10 penyakit
terbesar dengan jumlah penderita sebanyak 3.499 jiwa. Sedangkan pada tahun
2014 terjadi peningkatan jumlah penderita penyakit akut pada system otot dan
jaringan pengikat, tulang sendi serta rematik yaitu sebanyak 3.562 jiwa (Profil
Puskesmas Basuki Rahmat Palembang, 2022).
Dampak dari penyakit rematik adalah terganggunya aktivitas karena
nyeri, tulang menjadi keropos, terjadi perubahan bentuk tulang. Dari 100 jenis
rematik, diketahui Artritis Reumatoid yang dapat menyebabkan kecacatan
yang paling parah pada penderitanya. Asupan makanan yang kurang sehat,
kurangnya berolahraga, stress dan lain sebagainya diketahui sebagai faktor
pencetus terjadinya rematik. Salah satu solusi untuk penyakit ini adalah
dengan menjaga perilaku hidup sehat baik dari aktivitas, seperti rajin
berolahraga, dan memenuhi kebutuhan nutrisi dengan sempurna dengan cara
memenuhi asupan makanan yang bergizi, hal itu dianjurkan untuk mengurangi
kekakuan pada sendi, dan untuk meminimalisirkan bagi yang sudah menderita
penyakit rematik tidak berulang atau mengalami kekambuhan (Purwoastuti,
2019).
Pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan artritis reumatoid
tentu saja akan berdampak pada ekonomi keluarga tersebut karena kronisitas
serta resiko kecacatan yang dialami penderita menyebabkan banyaknya
pengeluaran yang akan digunakan untuk meminimalisir tingkat keparahan
penyakit. Selain itu, karena artritis reumatoid dapat menimbulkan kelemahan
yang disebabkan oleh serangan nyeri yang terus menerus, maka hal ini
mengakibatkan penderita tidak mampu untuk melakukan kegiatan sehari-hari
secara mandiri. Hal tersebut tentu saja menyebabkan penderita akan sangat
bergantung pada keluarga untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti
mandi, berjalan, buang air kecil dan lain sebagainya (Lukman, 2019)
Mengingat bahwa banyaknya penderita artritis reumatoid serta besarnya
dampak yang ditimbulkan dari penyakit ini, maka upaya promotif dan
preventif sangat besar peranannya dalam penanganan masalah artritis
reumatoid yaitu melalui upaya binaan terhadap keluarga. Oleh karena itu,
dalam menanggulangi dampak tersebut, peran perawat sebagai pemberi
asuhan keperawatan, konselor, pendidik, atau peneliti agar keluarga dapat
mengenal tanda bahaya dini gangguan kesehatan pada anggota keluarganya
sangat diperlukan sehingga apabila keluarga tersebut mempunyai masalah
kesehatan, mereka tidak datang ke pelayanan kesehatan dalam keadaan kronis.
Perawat keluarga juga memiliki peran yang sangat strategis dalam
pemberdayaan kesehatan dalam sebuah keluarga sehingga keluarga mampu
menjalankan 5 tugas kesehatan keluarga yaitu mengenal masalah kesehatan
keluarga, mengambil keputusan tindakan yang tepat bagi keluarga, merawat
anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan untuk menjamin
kesehatan keluarga serta memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada dengan
baik sehingga upaya pencegahan maupun pengobatan dapat berjalan dengan
baik (Harmoko, 2022)
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penelitian ini, difokuskan kepada Keperawatan
Keluarga yaitu memberikan Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Artritis
Reumatoid. Data diperoleh dengan cara wawancara, observasi, pemeriksaan
fisik, dan penelusuran data sekunder. Penelitian ini akan dilakukan di Wilayah
Kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang dan dilaksanakan pada bulan Juni
2017.

1. Untuk Perawat Komunitas


Penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan, sumber
pemikiran, dan pedoman bagi profesi keperawatan dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan pelayanan keperawatan,
terutama dalam bidang keperawatan komunitas dan keluarga.
2. Untuk Puskesmas
Menjalin kerjasama dengan pihak puskesmas dalam upaya memberi
asuhan keperawatan keluarga yang berkualitas pada klien rawat jalan dan
memberi informasi pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga pada klien
artritis reumatoid serta untuk pelaksanaan asuhan keperawatan lebih lanjut
melalui sarana home visite.
3. Untuk Institusi Pendidikan
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dan pustaka
bagi pembaca, mahasiswa, dan penulis lainnya serta merupakan bahan
evaluasi tentang rangkaian kegiatan proses pembelajaran. Serta diharapkan
dapat digunakan oleh mahasiswa dan pendidik untuk mengembangkan
metode pembelajaran yang tepat dalam meningkatkan kemampuan
mahasiswa dalam memahami dan menerapkan asuhan keperawatan.
1. Pemeriksaan Fisik (head to toe)
Pemeriksaan fisik adalah teknik mengumpulkan data dari
tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit dari ujung
rambut sampai ujung kaki pada setiap sistem tubuh dengan
menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
2. Penelusuran Data sekunder (Rekam Medik)
Penelusuran rekam medis dilakukan dengan menggunakan
berkas yang berisi catatan dan dokumen yang berkaitan dengan
status kesehatan klien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit


2.1.1. Pengertian
Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit sistematik yang
bersifat progresif, yang cenderung menjadi kronis dan menyerang sendi
serta jaringan lunak. Karakteristik artritis rheumatoid adalah radang
cairan sendi (sinovitis inflamatoir) yang persisten, biasanya menyerang
sendi-sendi perifer dengan penyebaran yang simetris (Junaidi, 2013).
Menurut Noer S (1997) dalam Lukman (2019), artritis reumatoid
merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun
manifestasi utamanya adalah poliatritis yang progresif, akan tetapi
penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh.
Artritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dan sistemik
yang menyebabkan destruksi sendi dan deformitas serta menyebabkan
disability. Penyakit ini sering terjadi dalam 3-4 dekade ini pada lansia.
Penyebab artritis rheumatoid tidak diketahui, tetapi mungkin akibat
penyakit autoimun dimulai dari interfalank proksimal,
metakarpofalankeal, pergelangan tangan dan pada tahap lanjut dapat
mengenai lutut dan paha (Fatimah, 2020).
2.1.2 Etiologi
Penyebab utama dari kelainan ini tidak diketahui. Ada beberapa
teori yang dikemukakan mengenai penyebab arthtritis reumatoid, yaitu :
1. Infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non hemolitikus
2. Endokrin
3. Autoimun
4. Metabolic
5. Faktor genetik serta faktor pemicu
Pada saat ini, arthtritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor
autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II ;
faktor injeksi mungkin disebabkan oleh virus dan organisme
mikroplasma atau group difteriod yang menghasilkan antigen kolagen
tipe II dari tulang rawan sendi penderita. Kelainan yang dapat terjadi
pada suatu arthtritis reumatoid yaitu :
1. Kelainan pada daerah artikuler
a. Stadium I (stadium sinovitis)
b. Stadium II (stadium destruksi)
c. Stadium III (stadium deformitas)
2. Kelainan pada jaringan ekstra-artikuler
Pada jaringan ekstra-artikuler akan terjadi perubahan patologis, yaitu:
a. Pada otot terjadi miopati
b. Nodul subkutan
c. Pembuluh darah perifer terjadi proliferasi tunika intima pada
pembuluh darah perifer dan lesi pada pembuluh darah arteriol
dan venosa
d. Terjadi nekrosis fokal pada saraf
e. Terjadi pembesaran limfe yang berasal dari aliran limfe sendi
(Nurarif dan Kusuma, 2023).
Sedangkan menurut Price (2018) dan Noer S, (2022), faktor-faktor
yang berperan dalam timbulnya penyakit Artritis Reumatoid adalah jenis
kelamin, keturunan, lingkungan dan infeksi (Lukman, 2019).
2.1.3 Patofisiologi
Pemahaman mengenai anatonomi normal dan fisiologi persendian
diartrodial atau sinovial merupakan kunci untuk memahami patofisiologi
penyakit reumatik. Fungsi persendian sinovial memilki kisaran gerak
tertentu kendati masing-masing orang tidak mempunyai kisaran gerak
yang sama pada sendi-sendi yang dapat digerakkan.
Pada sendi sinovial yang normal, kartilago artikuler membungkus
ujung tulang pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta
ulet untuk gerakkan. Membran sinovial melapisi dinding dalam kapsula
fibrosa dan mensekresi cairan ke dalam ruangan antar tulang. Fungsi dari
cairan sinovial ini yaitu sebagai peredam kejut (shock absorber) dan
pelumas yang memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas dalam
arah yang tepat.
Sendi merupakan salah satu bagian tubuh yang paling sering
terkena inflamasi. Meskipun memilki keankearagaman mulai dari
kelainan yang terbatas pada satu sendi hingga kelainan multisistem yang
sistemik, semua penyakit rematik meliputi inflamasi dan degenerasi
dalam derajat tertentu yang bisa terjadi sekaligus. Inflamasi ini akan
terlihat pada persendian sebagai sinovitis. Pada penyakit rematik
inflamatori, inflamasi adalah proses primer dan degenerasi yang terjadi
merupakan proses sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus
(proliferasi jaringan sinovial). Inflamasi tersebut merupakan akibat dari
respon imun tersebut.
Sebaliknya, pada penyakit rematik degeneratif dapat terjadi proses
inflamasi yang sekunder sinovitis ini biasanya lebih ringan serta
menggambarkan suatu proses reaktif, dan lebih besar kemungkinannya
untuk terlihat pada penyakit lanjut. Pelepasan proteoglikan tulang rawan
yang bebas dari kartilago artikuler yang mengalami degenerasi dapat
berhubungan dengan sinovitis kendati faktor-faktor imunologi dapat
pula terlibat (Smeltzer dan Bare, 2022).
Pada artritis reumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi pada
jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam
sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi
edema, proliferasi membran sinovial, dan akhirnya membentuk panus.
Panus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang,
akibatnya menghilangkan permukaan sendi yang akan mengganggu
gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami
perubahan generatif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan
kontraksi otot (Lukman, 2019).
Bagan 2.1 Pathway Artritis Reumatoid

Reaksi faktor R dengan


antibody, faktor Reaksi peradangan Nyeri
metabolik, infeksi dengan
kecenderungan virus

Kekakuan sendi Synovial menebal


Kurangnya
informasi

Hambatan mobilitas fisik Pannus


Defisiensi pengetahuan
Ansietas

Nodul Infiltrasi dalam os. subcondria

Hambatan nutrisi pada


Deformitas sendi kartilago artikularis

Gangguan body
image
Kartilago nekrosis Kerusakan kartilago dan
tulang

Erosi kartilago

Hambatan Adhesi pada permukaan


mobilitas fisik sendi

Kekuatan sendi
Ankilosis tulang

Keterbatasan gerakan
sendi Mudah luksasi dan Hilangnya kekuatan
subluksasi otot

Deficit perawatan diri


Resiko cedera
Sumber : Nurarif dan Kusuma, 2020
2.1.4 Manifestasi Klinis
Gejala utama rematik biasa terjadi pada otot dan tulang, termasuk
di dalamnya sendi dan otot sendi. Gangguan nyeri yang terus
berlangsung menyebabkan aktivitas sehari-hari terhambat (Purwoastuti,
2019).
Menurut Lukman (2019), ada beberapa manifestasi klinis yang
lazim ditemukan pada klien artritis reumatoid. Manifestasi ini tidak
harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan. Oleh karena itu,
penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun, dan demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang hebat.
2. Poliarhtritis simetris, terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-
sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi
interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini
berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoarthritis, yang biasanya
hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari
satu jam.
4. Arhtritis erosif, merupakan ciri khas artritis reumatoid pada
gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan
erosi di tepi tulang dan dapat dilihat pada radiogram.
2.1.5 Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis
dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat
anti inflamasi non steroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan
penyakit DMARD (disease modifying antirheumatoid drugs) yang
menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis
rheumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran
yang jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi
neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis
(Mansjoer, 1999).
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang ini tidak banyak berperan dalam diagnosis
artirits reumatoid, pemeriksaan laboratorium mungkin dapat sedikit
membantu untuk melihat prognosis pasien, seperti :
1. Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) akan meningkat
2. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis
reumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada
pasien lepra, TB paru, sirosis hepatis, penyakit kolagen dan
sarkoidosis
3. Leukosit normal atau meningkat sedikit
4. Trombosit meningkat
5. Kadar albumin serum turun dan globulin
6. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun
7. Protein C-reaktif dan antibodi antinukleus (ANA) biasanya positif
8. Laju sedimentasi eritrosit meningkat menunjukkan inflamasi
9. Tes aglutinasi lateks menunjukkan kadar igG atau igM (faktor mayor
dari rheumatoid) tinggi. Makin tinggi iter, makin berat penyakitnya
10. Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakkan
diagnosa dan memantau perjalanan penyakit. Foto rontgen
menunjukkan erosi tulang yang khas dan penyempitan rongga sendi
yang terjadi kemudian dalam perjalanan penyakit tersebut
(Mansjoer, 1999 dan Rosyidi 2018).
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan
Arthtritis Reumatoid yaitu :
1. Langkah pertama dari program penatalaksanaan artritis reumatoid
adalah memberikan pendidikan kesehatan yang cukup tentang
penyakit kepada klien, keluarganya, dan siapa saja yang
berhubungan dengan klien. Pendidikan kesehatan yang diberikan
meliputi pengertian tentang patofisiologi penyakit, penyebab, dan
prognosis penyakit, semua komponen program penatalaksanaan
termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan
untuk mengatasi penyakit, dan metode-metode yang efektif tentang
penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan
2. Sejak dini, klien diberikan OAINS (Obat Anti Inflamasi Non
Steroid) untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering
dijumpai. OAINS yang dapat diberikan yaitu :
a. Aspirin, dengan ketentuan pasien umur <65 tahun dosisinya 3-4
x 1g/hr, kemudian dinaikkan 0.3-0,6 g per minggu sampai terjadi
perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl
b. Ibuprofen, naproksen, diklofenak, dan sebagainya
3. DMARD (disease modifying antirheumatoid drugs) digunakan untuk
melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat
arthtritis reumatoid ini. Jenis-jenis yang digunakan yaitu : klorokuin
(yang paling banyak digunakan, karena harganya yang terjangkau),
sulfasalazin, garam emas (gold standard bagi DMARD), obat
imunosupresif atau imunoregulator, dan kortikosteroid.
4. Rehabilitasi, tujuannya yaitu unttuk meningkatkan kualitas hidup
klien. Beberapa cara yang bisa dilakukan yaitu :
a. Pemakaian alat bidai untuk mengistirahatkan sendi yang sakit,
kursi roda, sepatu dan alat
b. Terapi mekanik
c. Pemanasan : baik hidroterapi maupun elektroterapi
d. Terapi mekanik
5. Pembedahan, pembedahan ini dilakukan jika berbagai cara telah
dilakukan dan tidak berhasil serta ada alasan yang cukup kuat,
sehingga dapat dilakukan pembedahan (Mansjoer, 1999 dan
Lukman, 2019).
Perawatan dan pengobatan tradisional atau obat luar juga bisa kita
berikan pada klien dengan Arthritis Reumatoid,yaitu sebagai berikut :
1. Hindari faktor resiko seperti aktivitas yang berlebihan pada sendi,
faktor cuaca dan pola makan yang tidak sehat
2. Olahraga yang teratur dan istirahat yang cukup, seperti melakukan
senam rematik.
3. Kompres panas dapat mengatasi kekakuan dan kompres dingin dapat
membantu meredakan nyeri.
4. Pertahankan berat badan agar tetap normal
5. Bila nyeri, lakukan relaksasi untuk mengurangi sakit
6. Mengurangi dan menghindari makanan yang mengandung purin,
seperti bir dan minuman beralkohol, daging, jeroan, kembang kol,
jamur, bayam, asparagus, kacang-kacangan, sayuran seperti daun
singkong (tidak semua jenis sayuran mempunyai efek kambuh yang
sama pada setiap orang)
7. Memakan buah beri untuk menurunkan kadar asam urat, memakan
makanan seperti tahu untuk pengganti daging
8. Banyak minum air untuk membantu mengencerkan asam urat yang
terdapat dalam darah sehingga tidak tertimbun sendi
9. Lakukan latihan gerak sendi/ senam rematik (Maryam, dkk., 2020)

2.2 Konsep Perilaku


2.2.1 Pengertian Perilaku
Perilaku manusia adalah semua tindakan atau aktivitas dari
manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas,
baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati.
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme (makhluk hidup yang bersangkutan). Sedangkan dari segi
kepentingan kerangka analisis, perilaku adalah apa yang dikerjakan
oleh organisme tersebut baik dapat diamati secara langsung maupun
tidak langsung (Notoatmodjo, 2017).
Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2022), perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses
adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme
tersebut merespons, maka teori ini disebut teori “S-O-R” atau
Stimulus Organisme Respons. Respon tersebut dibagi menjadi dua,
yaitu :
1. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang
ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu.
Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena
menimbulkan respons-respons yang relative tetap. Respondent
respons ini juga mencakup perilaku emosional.
2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang
timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau
perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing
stimulation atau reinforce, karena memperkuat respons.
2.2.2 Macam – Macam Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2022), perilaku dibedakan menjadi dua,
yaitu :
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung
atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini
masih terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan/kesadaran,
dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus
tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan
nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas
dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat
diamati atau dilihat oleh orang lain.
2.2.3 Perilaku Kesehatan
Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner, maka
perilaku kesehatan adalah respons seseorang terhadap stimulus atau
objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor
yang mempengaruhi sehat-sakit seperti lingkungan, makanan,
minuman, dan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Dengan
kata lain, perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan
seseorang baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati
yang terkait dengan pemeliharaan dan peningkatan taraf atau derajat
kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup pencegahan atau
perlindungan diri terhadap berbagai macam penyakit dan masalah
kesehatan lain, meningkatkan derajat kesehatan, dan mencari
penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan.
Klasifikasi tentang perilaku kesehatan menurut Becker (1979)
dalam Notoatmodjo (2012) yaitu :
1. Perilaku sehat
Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan
upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan atau
pola/gaya hidup sehat (healthy life style)
2. Perilaku sakit (illness behavior)
Perilaku sakit mencakup respons seseorang terhadap sakit dan
penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang
penyakit yang dialaminya.
3. Perilaku peran orang sakit
Dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran
yang mencakup hak-haknya, dan kewajiban sebagai orang sakit.
Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri
maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya
disebut perilaku peran orang sakit (the sick role). Perilaku ini
meliputi :
a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan,
b. Mengenal/mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan
penyembuhan penyakit yang layak,
c. Mengetahui hak dan kewajiban orang sakit
2.2.4 Perubahan (Adopsi) Perilaku dan Indikatornya
Adopsi atau perubahan perilaku adalah suatu proses yang
kompleks dan memerlukan waktu yang tidak singkat, ada 3 tahap
sebelum seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru,yaitu
sebagai berikut :
1. Pengetahuan, indikator-indikator yang dapat digunakan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan ataus kesadaran terhadap
kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi :
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit : penyebab penyakit,
gejala atau tanda-tanda penyakit, cara pengobatan dan kemana
harus berobat, bagaimana cara penularannya, bagaimana cara
pencegahannya seperti imunisasi dan lain sebagainya
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara
hidup sehat, yaitu : jenis-jenis makanan yang bergizi, manfaat
makanan yang bergizi, pentingya olahraga bagi kesehatan,
pentingnya istirahat, rekereasi, dan sebagainya
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan, seperti : manfaat air
bersih, cara pembuangan limbah yang sehat, akibat dari polusi
(air, udara, dan tanah) bagi kesehatan dan sebagainya.
2. Sikap, indikator dari sikap beriringan dengan pengetahuan
kesehatan, yakni :
a. Sikap terhadap sakit dan penyakit, bagaimana seseorang
berpendapat terhadap penyakit tersebut.
b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat, bagaimana
pendapat dan sikap seseorang terhadap pemeliharaan kesehatan
dan cara hidup yang sehat
c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan, bagaimana pendapat
seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya bagi
kesehatan.
3. Praktik atau tindakan (practice), indikator dari praktik ini yaitu:
a. Tindakan (praktik) sehubungan dengan penyakit, mencakup
bagaimana tindakan kita dalam mencegah dan menyembuhkan
penyakit
b. Tindakan (praktik) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan,
mencakup bagaimana cara memelihara dan meningkatkan
kesehatan dengan mengkonsumsi makanan dengan gizi
seimbang, berolahraga secara teratur, tidak merokok, dan
sebagainya
c. Tindakan (praktik) kesehatan lingkungan, mencakup bagaimana
cara menjaga kesehatan lingkungan dengan membuang limbah
rumah tangga yang ada pada tempatnya (Notoatmodjo, 2017).
2.2.5 Aspek Sosio-Psikologi Perilaku Kesehatan
Menurut Notoadmojo (2017), emosi merupakan salah satu
penyebab adanya perilaku. Aspek psikologis yang mempengaruhi
emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, sedangkan keadaan
jasmani merupakan keturunan, dalam perkembangan mencapai
kedewasaannya, semua aspek yang memiliki hubungan dengan
keturunan dan emosi akan berkembang sesuai dengan hukum
perkembangan. Jadi, perilaku yang berhubungan dengan emosi adalah
perilaku bawaan.
Dalam pendidikan kesehatan, mempelajari perilaku kesehatan
sangatlah penting, karena pendidikan kesehatan masyarakat
merupakan bagian dari kesehatan masyarakat. Yang berfungsi sebagai
media atau sarana untuk menyediakan kondisi sosio-psikologis yang
baik sehingga individu atau masyarakat dapat berperilaku sesuai
dengan norma-norma hidup sehat.
2.3 Konsep Keluarga
2.3.1 Definisi Keluarga
Menurut WHO (1969) dalam Harmoko (2012), keluarga adalah
anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian
darah, adopsi atau perkawinan.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyrakat yang terdiri atas
kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di
suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling
ketergantungan (Depkes RI, 1988 dalam Padila, 2018).
Johnson’s (1992) mendefinisikan keluarga adalah suatu ikatan
atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa
yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang perempuan
yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri
atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga (Padila, 2018).
Jadi, dari beberapa definisi diatas maka keluarga adalah unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan
beberapa orang yang saling berhubungan melalui pertalian darah,
adopsi atau perkawinan dan tinggal dibawah satu atap dalam keadaan
saling ketergantungan serta mempunyai peran atau kewajiban yang
harus dilaksanakan.
2.3.2 Strukur Keluarga
Ciri – ciri struktur keluarga menurut Widyanto (2018) :
1. Terorganisasi
Keluarga merupakan cerminan organisasi dimana setiap anggota
keluarga memiliki peran dan fungsinya masing-masing untuk
mencapai tujuan keluarga. Dalam menjalankan peran dan
funsinya, anggota keluarga saling berhubungan dan saling
bergantung.
2. Keterbatasan
Setiap anggota keluarga memiliki kebebasan, namun juga
memiliki keterbatasan dalam menjalankan peran dan fungsinya.
3. Perbedaan dan Kekhususan
Setiap anggota keluarga memiliki peran dan fungsinya masing-
masing. Peran dan fungsi tersebut cenerung berbeda dan khas,
yang menunjukkan adanya ciri perbedaan dan kekhususan.
Macam – macam struktur keluarga :
1. Patrilineal, adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak
saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu
disusun melalui jalur ayah.
2. Matrilineal, adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak
saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu
disusun melalui jalur garis ibu.
3. Matrilokal, adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama
keluarga sedarah istri.
4. Patrilokal, adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama
keluarga sedarah suami.
5. Keluarga kawinan, adalah hubungan suami istri sebagai dasar
bagi pembinaan keluarga dan beberapa sanak (Padila, 2012).
2.3.3 Tipe Keluarga
Keluarga yang memerlukan pelayanan kesehatan berasal dari
berbagai macam pola kehidupan. Sesuai dengan perkembangan sosial,
maka tipe keluarga berkembang mengikutinya. Agar dapat
mengupayakan peran serta keluarga dalam meningkatkan derajat
kesehatan, maka perawat perlu memahami dan mengetahui berbagai
tipe keluarga. Menurut Mubarak (2012) tipe-tipe keluarga antara lain:
1. Traditional Nuclear
Keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang tinggal
dalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu
ikatan perkawinan, satu/keduanya dapat berkerja di luar rumah.
2. Extended family
Adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya
nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi, dan
sebagainya.
3. Reconstitude nuclear
Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali
suami/istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah dengan anak-
anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun hasil dari
perkawinan baru. Satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.
4. Middle age/Aging couple
Suami sebagai pencari uang, istri dirumah/kedua-duanya bekerja di
luar rumah, dan anak-anak sudah meninggalkan rumah karena
sekolah/perkawinan/meniti karir.
5. Dyadic nuclear
Suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak,
keduanya/salah satu bekerja di luar rumah.
6. Single parent
Satu orang tua sebagai akibat perceraian/kematian pasangannya dan
anak-anaknya dapat tinggal di rumah/di luar rumah.
7. Dual carrier
Suami istri atau keduanya berkarir dan tanpa anak.
8. Commuter married
Suami/istri atau keduanya orang karir dan tinggal terpisah pada
jarak tertentu, keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu.
9. Single adult
Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya
keinginan untuk menikah.
10. Three generation
Tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah.
11. Institutional
Anak-anak atau orang dewasa tinggal dalam satu panti.
12. Comunal
Satu rumah terdiri atas dua/lebih pasangan yang monogami dengan
anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas.
13. Group marriage
Suatu rumah terdiri atas orang tua dan keturunannya di dalam satu
keluarga dan tiap individu adalah menikah dengan yang lain dan
semua adalah orang tua dari anak-anak.
14. Unmarried parent and child
Ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki, anaknya
diadopsi.
15. Cohibing couple
Dua orang/satu pasangan yang tinggal bersama tanpa pernikahan.
Menurut Padila (2019), selain tipe keluarga diatas, terdapat juga
tipe keluarga tradisional dan tipe keluarga nontradisional, yaitu:
1. Keluarga tradisional
a. Keluarga inti, suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri,
dan anak (kandung/amgkat). Biasanya keluarga yang melakukan
perkawinan pertama atau keluarga dengan orang tua campuran
atau keluarga tiri.
b. Pasangan suami istri, yang terdiri dari suami dan istri saja tanpa
anak, atau tidak ada anak yang tinggal bersama mereka.
Biasanya keluarga dengan karir tunggal atau dengan karir
keduanya.
c. Keluarga dengan orang tua tunggal, biasanya sebagai
konsekuensi dari perceraian dan kematian.
d. Bujangan dewasa sendirian.
e. Keluarga besar, terdiri dari keluarga inti dan orang-orang yang
berhubungan.
f. Pasangan lanjut usia, keluarga inti dimana suami istri sudah tua
dan anak-anaknya sudah terpisah.
2. Tipe keluarga non tradisional
a. Keluarga dengan orang tua yang memiliki anak tanpa menikah,
bisanya ibu dan anak.
b. Pasangan yang memiliki anak tapi tidak menikah, didasarkan
pada hukum tertentu.
c. Pasangan kumpul kebo, kumpul bersama tanpa menikah.
d. Pasangan homoseksual, orang-orang berjenis kelamin yang
sama hidup bersama sebagai pasangan yang menikah.
e. Keluarga komuni, keluarga yang terdiri dari lebih dari satu
pasangan monogami dengan anak-anak secara bersama
menggunakan fasilitas, sumber daya yang sama.
2.3.4 Peran Keluarga
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan orang
lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam satu sistem
(Mubarak dkk 2012). Peran didasarkan pada preskipsi dan harapan
peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan
dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan mereka
sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran tersebut
(Harmoko, 2018).
1. Peran formal keluarga
Setiap posisi formal dalam keluarga adalah peran-peran yang
bersifat terkait, yaitu sejumlah perilaku yang kurang lebih bersifat
homogen. Keluarga membagi peran secara merata kepada
anggotanya. Dalam peran formal keluarga ada peran yang
membutuhkan keterampilan dan kemampuan tertentu dan ada juga
peran yang tidak terlalu kompleks, sehingga dapat didelegasikan
kepada anggota keluarga lain yang kurang terampil. Contoh peran
formal yang terdapat dalam keluarga adalah pencari nafkah, ibu
rumah tangga, sopir, pengasuh anak, tukang masak, dan lain-lain.
Jika seorang anggota keluarga meninggalkan rumah, dan
karenanya ia tidak memenuhi suatu peran maka anggota keluarga
lain akan mengambil alih kekosongan ini dengan memerankan
perannya agar terap berfungsi (Mubarak, 2018).
2. Peran informal keluarga
Peran-peran informal bersifat implisit, biasanya tidak tampak,
dimainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
emosional individu dan/atau untuk menjaga keseimbangan dalam
keluarga. Peran informal keluarga lebih didasarkan pada atribut-
atribut personalitas atau kepribadian anggota keluarga individu.
Beberapa contoh peran informal keluarga adalah pendorong,
pengharmoni, inisiator, pendamai, koordinator, pionir keluarga,
dan lain-lain (Harmoko, 2022).
2.3.5 Fungsi Keluarga
Dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat
dijalankan. Fungsi keluarga tersebut menurut Mubarak (2022) adalah
sebagai berikut:
1. Fungsi biologis, yaitu fungsi untuk meneruskan keturunan,
memelihara dan membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan
gizi keluarga.
2. Fungsi psikologis, yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman
bagi keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga,
memberikan kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta
memberikan identitas pada keluarga.
3. Fungsi sosialisasi, membina sosialisasi pada anak, membentuk
norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan
masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya.
4. Fungsi ekonomi, mencari sumber-sumber penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga saat ini dan menabung untuk
memenuhi kebutuhan keluarga di masa yang akan datang.
5. Fungsi pendidikan, yaitu menyekolahkan anak untuk memberikan
pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak sesuai
dengan bakat dan minat yang dimilikinya, dan mendidik anak
sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Friedman dalam Padila (2022) ada lima fungsi dasar
keluarga diantaranya adalah:
1. Fungsi afektif (the affective function)
Fungsi afektif berkaitan dengan fungsi internal keluarga yang
merupakan basis kekuatan dari keluarga. Fungsi afektif berguna
untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan fungsi
afektif tampak melalui keluarga yang bahagia. Dalam fungsi ini
anggota keluarga mengembangkan gambaran diri yang positif,
perasaan memiliki dan dimiliki, perasaan yang berarti, dan
merupakan sumber kasih sayang. Fungsi afektif merupakan
sumber energi yang menentukan kebahagiaan keluarga.
2. Fungsi sosialisasi (the socialization function)
Sosialisasi merujuk pada proses perkembangan dan perubahan
yang dialami oleh seorang individu sebagai hasil dari interaksi
dan belajar berperan dalam lingkungan sosial. Keluarga
merupakan tempat individu melakukan sosialisasi. Dalam fungsi
ini anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya serta perilaku
melalui hubungan dan interaksi dalam keluarga, sehingga individu
mampu berperan dalam masyarakat.
3. Fungsi reproduksi (the reproductive function)
Dalam fungsi ini keluarga berfungsi untuk meneruskan
kelangsungan keturunan dan meningkatkan sumber daya manusia.
4. Fungsi ekonomi (the economic function)
Fungsi ini menjelaskan untuk memenuhi kebutuhan keluarga
seperti makanan, pakaian, dan perumahan, maka keluarga
memerlukan sumber keuangan.
5. Fungsi perawatan keluarga/pemeliharaan kesehatan (the health
care function)
Fungsi lain keluarga adalah fungsi perawatan kesehatan. Selain
keluarga menyediakan makanan, pakaian dan rumah, keluarga
juga berfungsi melakukan asuhan kesehatan kepada anggotanya
baik untuk mencegah terjadinya gangguan maupun merawat
anggota yang sakit. Keluarga juga menentukan kapan anggota
keluarga yang mengalami gangguan kesehatan memerlukan
bantuan atau pertolongan tenaga profesional. Kemampuan ini
sangat mempengaruhi status kesehatan individu dan keluarga.
2.3.6 Tugas Keluarga
Menurut Harmoko (2018) di dalam sebuah keluarga ada
beberapa tugas dasar yang didalamnya terdapat 8 tugas pokok, yaitu:
1. Memelihara kesehatan fisik keluarga dan para anggotanya.
2. Berupaya untuk memelihara sumber-sumber daya yang ada dalam
keluarga.
3. Mengatur tugas masing-masing anggota sesuai dengan
kedudukannya.
4. Melakukan sosialisasi antar anggota keluarga agar timbul
keakraban dan kehangatan para anggota keluarga.
5. Melakukan pengaturan jumlah anggota keluarga yang diinginkan.
6. Memelihara ketertiban anggota keluarga.
7. Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang
lebih luas.
8. Membangkitkan dorongan dan semangat para anggota keluarga.
Selain keluarga harus mampu melaksanakan fungsi dengan
baik, keluarga juga harus mampu melaksanakan tugas kesehatan
keluarga. Tugas kesehatan keluarga Menurut Friedman adalah sebagai
berikut:
1. Mengenal masalah kesehatan keluarga
Keluarga perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-
perubahan yang dialami oleh anggota keluarganya. Perubahan
sekecil apapun yang dialami anggota keluarga, secara tidak
langsung akan menjadi perhatian keluarga atau orang tua. Apabila
menyadari adanya perubahan, keluarga perlu mencatat kapan
terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan seberapa besar
perubahannya.
2. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
Tugas ini merupakan upaya utama keluarga untuk mencari
pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga. Tindakan
kesehatan yang dilakukan keluarga diharapkan tepat agar masalah
kesehatan yang sedang terjadi dapat dikurangi atau diatasi. Jika
keluarga mempunyai keterbatasan dalam mengambil keputusan,
maka keluarga dapat meminta bantuan kepada orang lain di
lingkungan tempat tinggalnya.
3. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
Anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan
perlumemperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah
yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan di
institusi pelayanan kesehatan atau di rumah apabila keluarga telah
memiliki kemampuan tindakan untuk pertolongan pertama.
4. Mempertahankan suasanan rumah yang sehat
Rumah merupakan tempat berteduh, berlindung, dan bersosialisasi
bagi anggota keluarga. Oleh karena itu kondisi rumah haruslah
dapat menjadikan lambang ketenangan, keindahan dan dapat
menunjang derajat kesehatan bagi keluarga.
5. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat
Apabila mengalami gangguan atau masalah yang berkaitan
dengan kesehatan keluarga atau anggota, keluarga harus dapat
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di sekitarnya.
Keluarga dapat berkonsultasi atau meminta bantuan tenaga
keperawatan untuk memecahkan masalah yang dialami anggota
keluarganya, sehingga keluarga dapat bebas dari segala macam
penyakit.
2.3.7 Peran Perawat Keluarga
Perawat kesehatan keluarga adalah pelayanan kesehatan yang
ditujukan kepada keluarga sebagai unit pelayanan untuk mewujudkan
keluarga yang sehat. Fungsi perawat, membantu keluarga untuk
menyelesaikan masalah kesehatan dengan cara meningkatkan
kesanggupan keluarga melakukan fungsi dan tugas perawatan
kesehatan keluarga.
Menurut Widyanto (2019), peran dan fungsi perawat dalam
keluarga yaitu :
a. Pendidik Kesehatan, mengajarkan secara formal maupun informal
lepada keluarga tentang kesehatan dan penyakit.
b. Pemberi Pelayanan, pemberi asuhan keperawatan kepada angota
keluarga yang sakit dan melakukan pengawasan terhadap
pelayanan/pembinaan yang diberikan guna meningkatkan
kemampuan merawat bagi keluarga.
c. Advokat Keluarga, mendukung keluarga berkaitan dengan isu-isu
keamanan dan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
d. Penemu Kasus (epidiomologist), mendeteksi kemungkinan
penyakit yang akan muncul dan menjalankan peran utama dalam
pengamatan dan pengawasan penyakit.
e. Peneliti, mengidentifikasi masalah praktik dan mencari
penyelesaian melalui investigasi ilmiah secara mandiri maupun
kolaborasi.
f. Manager dan Koordinator, mengelola dan bekerja sama dengan
anggota keluarga, pelayanan kesehatan dan sosial, serta sektor lain
untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
g. Fasilitator, menjalankan peran terapeutik untuk membantu
mengatasi masalah dan mengidentifikasi sumber masalah.
h. Konselor, sebagai konsultan bagi keluarga untuk mengidentifikasi
dan memfasilitasi keterjangkauan keluarga/masyarakat terhadap
sumber yang diperlukan.
30

i. Mengubah atau Memodifikasi Lingkungan, memodifikasi


lingkungan agar dapat meningkatkan mobilitas dan menerapkan
asuhan secara mandiri.
2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga
2.4.1 Pengkajian
Menurut Mubarak (2022), pengkajian adalah tahapan seorang
perawat mengumpulkan informasi secara terus-menerus terhadap
anggota keluarga yang dibinanya. Secara garis besar data dasar yang
dipergunakan mengkaji status keluarga adalah:
1. Struktur dan karakteristik keluarga
2. Sosial, ekonomi, dan budaya
3. Faktor lingkungan
4. Riwayat kesehatan dan medis dari setiap anggota keluarga
5. Psikososial keluarga
Pengkajian data pada asuhan keperawatan keluarga
berdasarkan format pengkajian keluarga meliputi :
1. Data Umum
a. Nama kepala keluarga, usia, pendidikan, pekerjaan, dan
alamat kepala keluarga, komposisi anggota keluarga yang
terdiri atas nama atau inisial, jenis kelamin, tanggal lahir,
atau umur, hubungan dengan kepala keluarga, status
imunisasi dari masing-masing anggota keluarga, dan
genogram (genogram keluarga dalam tiga generasi).
Bagan 2.2 Contoh genogram
Keterangan :
Tipe Keluarga: Keluarga Inti
: Laki-laki : Perempuan
: Meninggal, Laki-laki : Tinggal serumah

: Meninggal, Perempuan : Klien


: Hubungan suami istri

b. Tipe keluarga, menjelaskan jenis tipe keluarga beserta


kendala atau masalah yang terjadi dengan jenis tipe keluarga
tersebut.
c. Suku bangsa atau latar belakang budaya (etnik), mengkaji
asal suku bangsa keluarga tersebut, serta mengidentifikasi
budaya suku bangsa terkait dengan kesehatan.
d. Agama, mengkaji agama yang dianut oleh keluarga serta
kepercayaan yang dapat mempengaruhi kesehatan.
e. Status sosial ekonomi keluarga, ditentukan oleh pendapatan,
baik dari kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya.
Selain itu, status sosial ekonomi keluarga ditentukan pula
oleh kebutuhan-kebutuhan yang dikeluarkan oleh keluarga
serta barang-barang yang dimiliki oleh keluarga.
f. Aktivitas rekreasi keluarga dan waktu luang, rekreasi
keluarga tidak hanya dilihat kapan keluarga pergi bersama-
sama untuk mengunjungi tempat rekreasi, namun dengan
menonton TV dan mendengarkan radio juga merupakan
aktivitas rekreasi, selain itu perlu dikaji pula penggunaan
waktu luang atau senggang keluarga. (Mubarak, 2018)
2. Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga
a. Tahap Perkembangan Keluarga Saat Ini
Data ini ditentukan oleh anak tertua dalam keluarga.
b. Tahap Perkembangan Keluarga yang Belum Terpenuhi
Data ini menjelaskan mengenai tugas dalam tahap
perkembangan keluarga saat ini yang belum terpenuhi dan
alasan mengapa hal tersebut belum terpenuhi.
c. Riwayat Keluarga Inti
Data ini menjelaskan mengenai penyakit keturunan, riwayat
kesehatan masing-masing anggota keluarga, status imunisasi,
sumber kesehatan yang biasa digunakan serta pengalaman
menggunakan pelayanan kesehatan.
d. Riwayat Keluarga Sebelumnya
Data ini menjelaska riwayat kesehatan dari pihak suami dan
istri.
3. Pengkajian Lingkungan
a. Karakteristik Rumah
Data ini menjelaskan mengenai luas rumah, tipe, jumlah
ruangan, jumlah jendela, pemanfaatan ruangan, penempatan
perabot rumah tangga, jenis WC, serta jarak WC ke sumber
air. Data karakteristik rumah disertai juga dalam bentuk
denah.
b. Karakteristik Tetangga dan Komunitas Setempat
Data ini menjelaskan mengenai lingkungan fisik setempat,
kebiasaan dan budaya yang mempengaruhi kesehatan.
c. Mobilitas Geografis Keluarga
Data ini menjelaskan mengenai kebiasaan keluarga berpindah
tempat.
d. Perkumpulan Keluarga dan Interaksi dengan Masyarakat
Data ini menjelaskan mengenai kebiasaan keluarga
berkumpul, sejauh mana keterlibatan keluarga dalam
pertemuan dengan masyarakat. (Widyanto, 2018)
4. Struktur Keluarga
a. Sitem Pendukung Keluarga
Data ini menjelaskan mengenai jumlah anggota keluarga
yang sehat, fasilitas keluarga, dukungan keluarga dan
masyarakat sekitar terkait dengan kesehatan dan lain
sebagainya.
b. Pola Komunikasi Keluarga
Data ini menjelaskan mengenai cara komunikasi dengan
keluarga serta frekuensinya.
c. Struktur Peran
Data ini menjelaskan mengenai peran anggota keluarga dan
masyarakat yang terbagi menjadi peran formal dan informal.
d. Nilai/Norma Keluarga
Data ini menjelaskan mengenai nilai atau norma yang dianut
keluarga terkait dengan kesehatan.
e. Fungsi Afektif
Hal yang perlu dikaji yaitu gambaran diri anggota keluarga,
perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan
keluarga terhadap anggota keluarga dan bagaimana keluarga
mengembangkan sikap saling menghargai
f. Fungsi Sosialisasi
Dikaji bagaimana interaksi atau hubungan dalam keluarga,
sejauh mana anggota keluarga belajar disiplin, norma,
budaya, serta perilaku.
g. Fungsi Perawatan Kesehatan
1) Untuk mengetahui kemampuan keluarga mengenal
masalah kesehatan, sejauh mana keluarga mengetahui
fakta-fakta dari masalah kesehatan yang meliputi
pengertian, faktor penyebab, tanda dan gejala serta yang
mempengaruhi keluarga terhadap masalah.
2) Untuk mengetahui kemampuan keluarga dalam
mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang
tepat. Kemampuan keluarga yang tepat akan mendukung
proses perawatan.
3) Untuk mengetahui sejauh mana keluarga merawat
anggota keluarga yang sakit. Yang perlu dikaji sejauh
mana keluarga mengetahui keadaaan penyakit anggota
keluarganya dan cara merawat anggota keluarga yang
sakit.
4) Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga
memelihara lingkungan rumah yang sehat. Yang perlu
dikaji bagaimana keluarga mengetahui manfaat atau
keuntungan pemeliharaan lingkungan. Kemampuan
keluarga untuk memodifikasi lingkungan akan dapat
mencegah resiko cedera.
5) Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga
menggunakan fasilitas kesehatan yang mana akan
mendukung terhadap kesehatan dan proses perawatan.

5. Fungsi reproduksi
Mengkaji berapa jumlah anak, merencanakan jumlah anggota
keluarga, serta metode apa yang digunakan keluarga dalam
mengendalikan jumlah anggota keluarga.

6. Fungsi ekonomi
Mengkaji sejauh mana keluarga memenuhi kebutuhan
sandang, pangan, dan papan. Bagaimana keluarga memanfaatkan
sumber yang ada di masyarakat guna meningkatkan status
kesehatan.
7. Stres dan koping keluarga
a. Stresor jangka pendek, yaitu stresor yang dialami keluarga
yang memerlukan penyelesaian dalam waktu 6 bulan
b. Stresor jangka panjang, yaitu stresor yang saat ini dialami
yang memerlukan penyelesaian lebih dari 6 bulan
c. Kemampuan keluarga berespon terhadap situasi atau stressor
d. Strategi koping yang digunakan, strategi koping apa yang
digunakan keluarga bila menghadapi permasalahan
e. Strategi fungsional, menjelaskan adaptasi disfungsional yang
digunakan keluarga bila menghadapi permasalahan.
8. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua anggota keluarga.
metode yang digunakan pada pemeriksaan ini tidak berbeda
dengan pemeriksaan fisik di klinik. Pada pemeriksaan fisik kita
juga bisa menanyakan mengenai status kesehatan dari klien.
Pada klien dengan Artritis Reumatoid, kita dapat mengkaji
mengenai nyeri yang dialami klien, yaitu :
a. Status kesehatan umum selama setahun yang lalu
b. Status kesehatan umum selama 5 tahun yang lalu
c. Keluhan utama : Jika nyeri, tanyakan mengenai PQRST,
1) Provokative/pemicu nyeri
2) Quality/kualitas nyeri
3) Region/daerah nyeri
4) Severity Scale/skala nyeri (0-10)
5) Timing/waktu terjadi nyeri (pagi, siang, malam hari)

9. Harapan keluarga
Pada akhir pengkajian, perawat menanyakan harapan
keluarga terhadap petugas kesehehatan yang ada. ( Padila, 2018)
2.4.2 Perumusan Diagnosis Keperawatan Keluarga
Diagnosis keperawatan adalah keputusan klinis mengenai
individu, keluarga, atau masyarakat yang diperoleh melalui suatu
proses pengumpulan data dan analisis data secara cermat,
memberikan dasar untuk menetapkan tindakan-tindakan dimana
perawat bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Diagnosis
keperawatan keluarga dianalisis dari hasil pengkajian terhadap
masalah dalam tahap perkembangan keluarga, lingkungan keluarga,
struktur keluarga, fungsi-fungsi keluarga, koping keluarga, baik yang
bersifat aktual, resiko, maupun sejahtera dimana perawat memiliki
kewenangan dan tanggung jawab untuk melakukan tindakan
keperawatan bersama-sama dengan keluarga, berdasarkan
kemampuan, dan sumber daya keluarga (Mubarak, 2018).
Mubarak (2019) merumuskan diagnosis keperawatan keluarga
berdasarkan data yang didapatkan pada pengkajian. Komponen
diagnosis keperawatan meliputi problem atau masalah, etiology atau
penyebab, dan sign atau tanda yang selanjutnya dikenal dengan PES.
1. Problem atau masalah (P)
Masalah yang mungkin muncul pada penderita artritis
rheumatoid.
2. Etiology atau penyebab (E)

Penyebab dari diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan


keluarga berfokus pada 5 tugas kesehatan keluarga yang
meliputi:
a. Mengenal masalah kesehatan.
b. Mengambil keputusan yang tepat.
c. Merawat anggota keluarga yang sakit.
d. Memodifikasi lingkungan.
e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Sign atau tanda (S)
Tanda atau gejala yang didapatkan dari hasil pengkajian.
Menentukan prioritas masalah
Menurut Mubarak (2019), tipologi dari diagnosis keperawatan yaitu:
1. Diagnosis aktual (terjadi defisit atau gangguan kesehatan)
Dari hasil pengkajian didapatkan data mengenai tanda dan gejala
dari gangguan kesehatan, dimana masalah kesehatan yang dialami
oleh keluarga memerlukan bantuan untuk segera ditangani dengan
cepat.
2. Diagnosis resiko tinggi (ancaman kesehatan)
Sudah ada data yang menunjang namun belum terjadi gangguan,
tetapi tanda tersebut dapat menjadi masalah aktual apabila tidak
segera mendapatkan bantuan pemecahan dari tim kesehatan atau
keperawatan.
3. Diagnosis potensial (keadaan sejahtera atau wellness)
Suatu keadaan jika keluarga dalam keadaan sejahtera, kesehatan
keluarga dapat ditingkatkan.

Setelah data dianalisis, kemungkinan perawat menemukan lebih


dari satu masalah. Mengingat keterbatasan kondisi dan sumber daya yang
dimiliki oleh keluarga maupun perawat, maka masalah-masalah tersebut
tidak dapat ditangani sekaligus. Oleh karena itu, perawat bersama
keluarga dapat menyusun dan menentukan prioritas masalah kesehatan
keluarga dengan menggunakan skala perhitungan yang dapat dilihat pada
tabel 2.1.
Tabel 2.1 Skoring Masalah Keperawatan

No. Kriteria Skor Bobot


1. Sifat Masalah 1
a. Tidak/kurang sehat 3
b. Ancaman kesehatan 2
c. Krisis atau keadaan sejahtera 1
2. Kemungkinan Masalah dapat 2
Diubah
a. Dengan mudah 2
b. Hanya sebagian 1
c. Tidak dapat 0
3. Potensial Masalah untuk 1
Dicegah
a. Tinggi 3
b. Cukup 2
c. Rendah 1
4. Menonjolnya Masalah 1
a. Masalah berat, harus segera 2
ditangani
b. Ada masalah, tetapi tidak
perlu segera ditangani 1
c. Masalah tidak dirasakan
0
Sumber : (Baylon dan Maglaya dalam Padila, 2022 dan Widyanto, 2020)

Proses skoring dilakukan untuk setiap diagnosis keperawatan


dengan cara berikut ini:
1. Tentukan skor untuk setiap kriteria yang telah dibuat.
2. Selanjutnya skor dibagi dengan angka tertinggi yang dikalikan
dengan bobot.
Skor x bobot
Angka tertinggi
3. Jumlahkanlah skor untuk semua kriteria, skor tertinggi adalah 5,
sama dengan seluruh bobot.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada keluarga
dengan artritis reumatoid yaitu:
1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga
dalam merawat anggota keluarga yang sakit
2. Gangguan mobilitas fisik akibat penurunan kekuatan otot pada
penderita artritis reumatoid berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit
3. Resiko cedera akibat penurunan fungsi motorik pada penderita
artritis reumatoid berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga
dalam merawat anggota keluarga yang sakit
4. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit artritis reumatoid
berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga mengenal masalah
kesehatan
5. Gangguan citra tubuh/ perubahan penampilan peran berhubungan
dengan ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kesehatan
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit
7. Ansietas berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga mengenal
masalah kesehatan
Sumber : (Doengoes, 2020 dalam Lukman, 2019)
2.4.3 Perencanaan
Rencana keperawatan keluarga adalah kumpulan rencana
tindakan yang dibuat oleh perawat yang nantinya diimplementasikan
dalam tindakan yang nyata dengan mengerahkan segala kemampuan
yang dimiliki untuk perbaikan kesehatan keluarga yang lebih baik
dari sebelumnya.
Perencanaan keperawatan keluarga terdiri dari tujuan (umum
dan khusus), rencana intervensi, serta rencana evaluasi yang memuat
criteria dan standar. Perumusan tujuan dilakukan secara spesifik,
dapat diukur (measurable), dapat dicapai (achivable), rasional dan
menunjukkan waktu (SMART). Rencana intervensi ini ditetapkan
untuk mencapai tujuan (Padila, 2022).
Berikut ini klasifikasi intervensi keperawatan menurut Feeman
(2022) dalam Friedman (2018), yaitu :
1. Intervensi Suplemental, perawat memberikan perawatan
langsung kepada keluarga karena tidak dapat dilakukan keluarga
2. Intervensi Facilitate, perawat membantu mengatasi hambatan
yang dimiliki keluarga dengan berusaha memfasilitasi pelayanan
yang diperlukan, seperti pelayanan medis, kesejahteraan sosial,
transportasi dan pelayanan kesehatan di rumah
3. Intervensi Developmental, perawat melakukan tindakan dengan
tujuan meningkatkan dan memperbaiki kapasitas keluarga dalam
perawatan diri dan tanggung jawab pribadi. Perawat juga
membantu keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan yang
berasal dari sumber diri sendiri , termasuk dukungan sosial
internal maupun eksternal ( Padila, 2022).
2.4.4 Implementasi Keperawatan Keluarga
Implementasi atau pelaksanaan keperawatan adalah proses
dimana perawat mendapatkan kesempatan untuk menerapkan
rencana tindakan yag telah disusun dan membangkitkan minat dan
kemandirian keluarga dalam mengadakan perbaikan ke arah perilaku
hidup sehat. Namun sebelum melakukan implementasi, perawat
terlebih dahulu membuat kontrak agar keluarga lebih siap baik fisik
maupun psikologis dalam menerima asuhan keperawatan yang
diberikan. Tindakan keperawatan keluarga mencakup hal-hal di
bawah ini yaitu :
1. Merangsang kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai
masalah kesehatan dan kebutuhan kesehatan dengan cara
memberi informasi, mengkaji kebutuhan dan harapan tentang
kesehatan serta memberi motivasi atau dorongan sikap emosi
yang sehat terhadap masalah.
2. Membantu keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang
tepat, dengan cara memberitahu konsekuensi jika tidak
melakukan, mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki
keluarga, dan membicarakan dengan keluarga tentang
konsekuensi tiap tindakan.
3. Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga
yang sakit, dengan cara mendemonstrasikan cara perawatan,
memanfaatkan alat dan fasilitas yang ada di rumah, dan
mengawasi keluarga dalam melakukan tindakan.
4. Membantu keluarga untuk memodifikasi lingkungan menjadi
sehat, dengan cara menggali sumber-sumber yang ada pada
keluarga dan memodifikasi lingkungan semaksimal mungkin
5. Memberi motivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas
kesehatan tyang ada, dengan cara mengenalkan fasilitas
kesehatan yang ada di lingkungan keluarga, serta membantu
keluarga menggunakan fasilitas kesehatan yang ada. (Widyanto,
2018)
Namun, tidak semua pelaksanaan tindakan ini berjalan
dengan baik, ada faktor-faktor penyulit dari keluarga yang dapat
menghambat minat keluarga dalam berkerja sama melakukan
tindakan kesehatan ini, yaitu :
1. Kurang jelasnya informasi yang didapat keluarga, sehingga
membuat keluarga keliru
2. Kurang lengkapnya informasi yang didapat keluarga sehingga
keluarga melihat masalah sebagian
3. Keliru, keluarga tidak dapat mengkaitka informasi yang di dapat
dengan kondisi yang dihadapi
4. Keluarga tidak mau menghadapi situasi
5. Anggota keluarga tidak mampu melawan tekanan dari keluarga
atau lingkungan sekitar
6. Keluarga ingin mempertahankan suatu pola tingkah laku
7. Gagalnya keluarga dalam mengaitkan tindakan dengan sasaran
atau tujuan upaya keperawatan
8. Keluarga kurang percaya dengan tindakan yang diajukan perawat
Selain itu, ada juga kesulitan yang dihadapi petugas dalam
tahap pelaksanaan ini, seperti :
1. Perawat kaku dan kurang flekesibel dan cenderung menggunakan
1 pola pendekatan
2. Kurangnya pemberian penghargaan dan perhatian terhadap
faktor-faktor sosial budaya dari petugas
3. Perawat kurang mampu dalam mengambil
tindakan/menggunakan berbagai macam teknik dalam mengatasi
masalah yang rumit. (Mubarak, 2022)
2.4.5 Evaluasi
Menurut Mubarak (2022), evaluasi proses keperawatan ada
dua yaitu evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif.
1. Evaluasi Kuantitatif
Evaluasi kuantitatif dilaksanakan dalam kuantitas, jumlah
pelayanan, atau kegiatan yang telah dikerjakan.
2. Evaluasi Kualitatif
Evaluasi kualitatif merupakan evaluasi mutu yang dapat
difokuskan pada salah satu dari tiga dimensi yang saling terkait.
Tahapan evaluasi dapat dilakukan pula secara formatif dan
sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan selama
proses asuhan keperawatan sedangkan evaluasi sumatif adalah
evaluasi yang dilakukan pada akhir asuhan keperawatan (Mubarak,
2022).
Evaluasi dilaksanakan dengan pendekatan SOAP (Subyektif,
Obyektif, Analisa, dan Planning)
S : adalah hal-hal yang dikemukakan oleh keluarga secara subjektif
setelah dilakukan intervensi keperawatan.
O : adalah hal-hal yang ditemui oleh perawat secara objektif setelah
dilakukan intervensi keperawatan.
A : adalah analisa dari hasil yang telah dicapai dengan mengacu
pada tujuan yang terkait dengan diagnosis.
P : adalah perencanaan yang akan datang setelah melihat respon
dari keluarga pada tahapan evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Junaidi. (2013). Arthritis Reumatoid. Jakarta: Sagung Seto.

Lukman. (2019). Arthritis Reumatoid. Yogyakarta: Deepublish.

Fatimah. (2020). Arthritis Reumatoid. Jakarta: EGC.

Noer S. (1997). Arthritis Reumatoid: Manifestasi dan Pengobatan. Jakarta: Salemba Medika.

Riskesdas. (2018). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Jakarta: Kementerian KesehataRI.

Profil Puskesmas Basuki Rahmat Palembang. (2022). Palembang: Dinas Kesehatan Kota
Palembang.

Anda mungkin juga menyukai