Disusun oleh :
SITI RAHMAH
G3A019114
A. Latar Belakang
Artritis rheumatoid menjadi masalah yang sering terjadi pada lansia yang
ditandai adanya nyeri pada persendian. Hal tersebut menyebabkan penderita
artritis rheumatoid mengalami hambatan dalam melaksanakan mobilisasi
yang dapat memberikan dampak secara psikologis maupun fisiologis
penderita. Dampak fisiologis penderita mengalami penurunan kekuatan dan
ketangkasan otot. Pembatasan pergerakan sendi, kekakuan dan nyeri pada
persendian, sehingga diperlukan terapi untuk meningkatkan kekuatan lansia
untuk mengurangi hambatan dalam melaksanakan mobilisasi atau pergerakan
mereka (Uda, 2016).
Organisasi kesehatan dunia WHO (2017) melaporkan bahwa 20%
penduduk dunia terserang penyakit arthritis rheumatoid, dimana 5-10%
adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20% mereka yang berusia 55
tahun Di Indonesia jumlah penderita Rematik pada tahun 2015 prevalensinya
mencapai 29,35%, pada tahun 2016 prevalensinya sebanyak 39,47%, dan
tahun 2017 prevalensinya sebanyak 45,59%.
Menurut Azizah (2011) nyeri pada persedian disebabkan adanya
perubahan pada jaringan penghubung (kolagen dan elastin) yang merupakan
jaringan pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan
pengikat. Perubahan pada kolagen merupakan merupakan penyebab pada
menurunnya fleksibilitas sendi pada lansia sehingga menimbulkan dampak
berupa nyeri. Sistem musculoskeletal pada lansia, jaringan ikat sekitar
persendian (tendon, ligament, dan fasia) akan mengalami penurunan
elastisitas. Terjadi erosi pada kapsul persendian, sehingga akan menyebabkan
penurunan luas dan gerak sendi, yang akan menimbulkan gangguan berupa
pembengkakan dan nyeri. Artritis rheumatoid dapat mengganggu
kenyamanan dalam beraktifitas akibat nyeri sendi, selain itu juga dapat
menyebabkan resiko komplikasi yang tinggi seperti urolithiasis, nefropati.
Komplikasi tersebut perlu dievaluasi untuk menjelaskan penyebabnya serta
mendapatkan pengobatan yang sesuai (Dincer et al, 2006 dalam Komariah,
2012).
Hasil penelitian Hastini Uda (2016) menunjukkan terjadi peningkatan
fleksibilitas sendi setelah diajarkan latihan berbentuk range of motion selama
6 minggu dengan 5x latihan dalam seminggu. Peningkatan kecenderungan
tulang belakang pada kelompok terlatih ROM sebesar 16,4%, rentang gerak
dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah periode latihan. Berdasarkan
penelitian tersebut, latihan range of motion dapat menjadi salah satu
intervensi untuk mengatasi masalah pada sendi dan otot, sehingga penelitian
tersebut dapat menjadi acuan dalam memberikan intervensi bagi penderita
artritis rheumatoid yang mengalami hambatan dalam mobilitas fsik.
Intervensi tersebut dapat diberikan karena kondisi hambatan mobilitas fisik
juga ditandai dengan penurunan kekuatan otot dan rentang gerak yang
merupakan masalah pada otot dan sendi sacral/hip 29,2%, dan rentang gerak
dada 22,5%.
Terapi non farmakologis lainnya dapat digunakan untuk menurunkan nyeri
sendi tetapi tidak memberikan peningkatan pada kekuatan otot sendi karena
peningkatan kekuatan otot sendi dapat dicapai dengan adanya pergerakan
melalui aktivitas fisik seperti latihan ROM. Latihan range of motion (ROM)
adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki
tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal
dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry,
2011). Melalui latihan teratur mampu mengendalikan kecepatan jantung
sewaktu istirahat, sehingga penderita lebih bugar karena penurunan denyut
jantung secara cepat kedalam batas normal saat istirahat (Eko Setyawan,
2015). Peran perawat dalam menangani gangguan mobilisasi adalah dengan
menerapkan standar asuhan keperawatan yaitu latihan fleksibilitas (ROM)
secara rutin dan bertahap.
B. Tujuan
1. TIU
Untuk mengetahui pengaruh latihan range of motion (ROM) dengan
masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia dengan rheumatoid arthritis
2. TIK
Untuk mengetahui pengaruh latihan range of motion (ROM) dengan
masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia dengan rheumatoid arthritis
C. Metode
Penelusuran yang dilakukan dengan metode review jurnal didapat dengan
melalui akses internet. Jurnal yang digunakan untuk evidence based nursing
menggunakan literature adalah Pengaruh Latihan Range Of Motion (Rom)
Pada Lansia Dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik. Jurnal didapat dari
situs website Google Scholar.
D. Sistematika Penulisan
BAB I. Pendahuluan
BAB II. Tinjauan Teori
BAB III. Resume Asuhan keperawatan
BAB IV. Aplikasi EBN
BAB V. Pembahasan
BAB VI. Penutup
Daftar Pustaka
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang
etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang
simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan
ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik,
polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik
kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti
sendi, dan “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti
radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu
penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki)
mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi
(Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan
banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi
dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering
menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan
gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan
waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang
adekuat (Febriana,2015).
2. Etiologi
a. Tidak Dapat Dimodifikasi
1) Faktor genetik
2) Usia
3) Jenis kelamin
b. Dapat Dimodifikasi
1) Gaya hidup
a) Status sosial ekonomi
b) Merokok
c) Diet
d) Infeksi
e) Pekerjaan
2) Faktor hormonal
3) Bentuk tubuh
3. Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu
atau bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.
Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan
keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
a. Keluhan umum Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah,
nafsu makan menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau
penurunan berat badan.
b. Kelainan sendi Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu
sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi
lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula,
panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada
leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan
dan nyeri sendi.
b. Kelainan diluar sendi
1) Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
2) Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan,
namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard
3) Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
4) Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang
sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di
ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
5) Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa
kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase
perforans 11 f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan
spleenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan
neutropenia.
4. Patofisiologi
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana
merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi,
cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis).
Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering
faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai
faktor pencetus.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun
komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai
pencetus awal, 7 mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor
rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi
reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas
diketahui, dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi
berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi,
autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan
berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya saling
terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan
kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin
merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan
pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan.
Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1,
yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan
stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas,
kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan,
enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan
dari pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor)
dan anti-CCP dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc
dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya
sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF
didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai
seropositive. Anti-CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan
spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium
awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana
diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra
dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam
patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T
merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang
terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial,
jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan
melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian
menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi
dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian
tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi
yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan
berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang,
melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang
menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi
proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis,
penyakit jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi
hypothalamic-pituitaryadrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan
depresi (Choy, 2012).
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada
jaringan di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi
PMN, dan penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus.
Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat
sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan
pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel
sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan
pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan
kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis
terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan
tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi
yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta
dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).
5. Pathways
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
1) Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive
Protein (CRP) meningkat
2) Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun
RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis
3) Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya
digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan
spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan antara
anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten
b. Radiologis Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak,
penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”,
osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi,
rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien
dan keluarga. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi,
mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah
destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
a. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug) Diberikan sejak awal
untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat
diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam,
dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi
kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
b. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug) Digunakan untuk
melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh
Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin.
DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra
dkk,2013).
c. Kortikosteroid Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison
5-7,5mg/hari sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan
pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-
16 minggu.
d. Rehabilitasi Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang
terlibat melalui 15 pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan
sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan
fisioterapi. 5. Pembedahan Jika segala pengobatan di atas tidak
memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat dipertimbangkan
pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi,
arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta,
2014)
B. Konsep Asuhan
1. Diagnosa Keperawatan
Gangguan mobilitas fisik
2. Intervensi
No. Tujuan & Kriteria (Noc) Rencana
Dx
(Nic)
Luara utama : O:
BAB III
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Tn. S
Tempat/Tanggal Lahir : Jepara, 23 April 1967
Jenis Kelamin : laki-laki
Nama penanggung jawab : Ny. F
Hubungan dengan pasien : Istri
Alamat : Jepara
Suku : Jawa
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
2. Keluhan Utama
Nyeri kaki dan susah untuk digerakkan
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. S mengatakan sudah menderita penyakit rematik sejak muda, namun
gejala semakin parah sejak 1,5 tahun ini, kemudian sering kambuh
sehingga kaki kaku, tidak bisa berjalan, pergerakan minim.
4. Riwayat penyakit dahulu
Tn. S mengatakan sejak dahulu sudah memiliki riwayat penyakit rematik
5. Riwayat keluarga
Tn. S mengatakan tidak ada keluarga yang menderita penyakit serupa
6. Pengkajian Fisik
a. Pengukuran Umum
1) Berat Badan : 55 gram
2) Tinggi/Panjang Badan : 167 cm
b. Tanda Vital
1) Suhu : 36,7 oC
2) Frekuensi Jantung : 85x/menit
3) Frekuensi Pernafasan : 21 x/menit
4) Tekanan Darah : 120/80 mmHg
c. Kepala
1) Bentuk kepala : Simetris
2) Fontanel anterior/posterior : tertutup
3) Warna dan tekstur Rambut : Hitam keputihan
Kebutuhan oksigenasi
d. Hidung
1) Patensi nasal : Kanan: paten Kiri: paten
2) Rabas nasal : Kanan: tidak Kiri: tidak
3) Bentuk : Simetris
4) Tes penciuman : Kanan: baik Kiri: baik
e. Dada
1) Bentuk : Simetris
2) Retraksi interkostal : Tidak
3) Suara perkusi dinding dada : Sonor
4) Fremitus Vokal : Vibrasi simetrsis
Kebutuhan Nutrisi dan Cairan
f. Mulut
1) Membran Mukosa : kering
2) Gusi : Pink
3) Warna Lidah : pink keputihan
4) Gerakan lidah : Terkontrol
5) Tes pengecapan : Baik
g. Abdomen
1) Bentuk : SimterisUmbilikus : Bersih
2) Bising usus : Ada
3) Pembesaran hepar : Ada
4) Pembesaran Limpa : Ada
5) Perkusi dinding perut: Timpani
h. Kebutuhan Eliminasi
Pola Buang Air Besar (BAB) Sehat Sakit
Frekuensi 1 hari sekali 1-2 hari
Konsistensi Sedang Sedang
Warna Kuning kecoklatan Kuning kecoklatan
Keluhan saat BAB - -
B. Diagnosa keperawatan
Gangguan mobilitas fisik
C. Intervensi
No. Tujuan & Kriteria (Noc) Rencana
Dx
(Nic)
Luara utama : O:
D. Implementasi
No . Tindakan Respon Ps
Dx
1 Latihan rentang gerak (ROM) Ds : Tn. S mengatakan bersedia dilakukan tindakan, Tn. S
juga mengtatakan saat dilakukan tindakan terasa nyeri
Do : pasien kooperatif, pasien tampak berusaha untuk
menggerakkan persendiannya, pasien bisa ROM aktif walau
dibarengi dengan ROM paisf
E. Evaluasi
No Evaluasi
Dx
1 S:
Tn. S mengatakan setelah dilakukan tindakan terasa nyeri (skala 5) namun kaki terasa ringan
O:
Tampak nyaman, tampak sendi sudah bisa diluruskan sedikit (kaki kanan)
A:
Maslaah teratasi sebagian
P:
Lanjutkan intervemsi dan kolaborasi dengan fisioterapis
BAB IV
APLIKASI JURNAL EVIDENCE BASED NURSING RISET
A. Data Fokus
Data (Ds Dan Do) Masalah (P) Etiologi (E)
DS : Gangguan Peradanagn
Tn. S mengeluh nyeri persendian dan sulit melakukan mobilitas fisik sendi
poergerakan, tangan kesemutan
P : saat digerakkan
Q : seperti cekot-cekot
R : nyeri dirasa di area lutut kaki kanan dan kiri
(tekukan lutut)
S:6
T : hilang timbul
DO :
Saat dikaji, pasien sulit menggerakkan kaki, saat
disuruh untuk menggerakkan terlihat ekspresi meringis
diwajah pasien. Ttv : Td : 120/80, N : 85, RR : 21, S :
36,7
B. Diagnosa keperawatan
Gangguan mobilitas fisik
C. Analisa sisntesa
RHEUMATOID ARTHRITIS
Invasi Kolagen
B. SARAN
EBN ini menerapakan latihan rentang gerak (ROM) pada pasien gangguan
mobilitas fisik dengan rheumatoid artritis. Pasien diharapkan dapat
menerapkan tindakan yang telah diperoleh dari pemberian latihan range of
motion yang diberikan petugas kesehatan sehingga penderita dapat
mengurangi gangguan yang dialami. Tenaga Kesehatan diharapkan dapat
memberikan penyuluhan pada pasien dan keluarga tentang latihan range of
motion yang lebih intensif, sehingga pasien dapat melakukan latihan dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA