Anda di halaman 1dari 24

APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING (EBN) “PENGARUH LATIHAN

RANGE OF MOTION (ROM) PADA LANSIA DENGAN MASALAH


HAMBATAN MOBILITAS FISIK” DALAM ASUHAN KEPERAWATAN
Tn. S DENGAN RHEUMATOID ARTHRITIS DI RUANG RAJAWALI 5.A
RSUP Dr. KARIADI KOTA SEMARANG

Disusun oleh :
SITI RAHMAH
G3A019114

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019

Siti Rahmah (G3A019114) Evidence Based Nursing


1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Artritis rheumatoid menjadi masalah yang sering terjadi pada lansia yang
ditandai adanya nyeri pada persendian. Hal tersebut menyebabkan penderita
artritis rheumatoid mengalami hambatan dalam melaksanakan mobilisasi
yang dapat memberikan dampak secara psikologis maupun fisiologis
penderita. Dampak fisiologis penderita mengalami penurunan kekuatan dan
ketangkasan otot. Pembatasan pergerakan sendi, kekakuan dan nyeri pada
persendian, sehingga diperlukan terapi untuk meningkatkan kekuatan lansia
untuk mengurangi hambatan dalam melaksanakan mobilisasi atau pergerakan
mereka (Uda, 2016).
Organisasi kesehatan dunia WHO (2017) melaporkan bahwa 20%
penduduk dunia terserang penyakit arthritis rheumatoid, dimana 5-10%
adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20% mereka yang berusia 55
tahun Di Indonesia jumlah penderita Rematik pada tahun 2015 prevalensinya
mencapai 29,35%, pada tahun 2016 prevalensinya sebanyak 39,47%, dan
tahun 2017 prevalensinya sebanyak 45,59%.
Menurut Azizah (2011) nyeri pada persedian disebabkan adanya
perubahan pada jaringan penghubung (kolagen dan elastin) yang merupakan
jaringan pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan
pengikat. Perubahan pada kolagen merupakan merupakan penyebab pada
menurunnya fleksibilitas sendi pada lansia sehingga menimbulkan dampak
berupa nyeri. Sistem musculoskeletal pada lansia, jaringan ikat sekitar
persendian (tendon, ligament, dan fasia) akan mengalami penurunan
elastisitas. Terjadi erosi pada kapsul persendian, sehingga akan menyebabkan
penurunan luas dan gerak sendi, yang akan menimbulkan gangguan berupa
pembengkakan dan nyeri. Artritis rheumatoid dapat mengganggu
kenyamanan dalam beraktifitas akibat nyeri sendi, selain itu juga dapat
menyebabkan resiko komplikasi yang tinggi seperti urolithiasis, nefropati.
Komplikasi tersebut perlu dievaluasi untuk menjelaskan penyebabnya serta
mendapatkan pengobatan yang sesuai (Dincer et al, 2006 dalam Komariah,
2012).
Hasil penelitian Hastini Uda (2016) menunjukkan terjadi peningkatan
fleksibilitas sendi setelah diajarkan latihan berbentuk range of motion selama
6 minggu dengan 5x latihan dalam seminggu. Peningkatan kecenderungan
tulang belakang pada kelompok terlatih ROM sebesar 16,4%, rentang gerak
dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah periode latihan. Berdasarkan
penelitian tersebut, latihan range of motion dapat menjadi salah satu
intervensi untuk mengatasi masalah pada sendi dan otot, sehingga penelitian
tersebut dapat menjadi acuan dalam memberikan intervensi bagi penderita
artritis rheumatoid yang mengalami hambatan dalam mobilitas fsik.
Intervensi tersebut dapat diberikan karena kondisi hambatan mobilitas fisik
juga ditandai dengan penurunan kekuatan otot dan rentang gerak yang
merupakan masalah pada otot dan sendi sacral/hip 29,2%, dan rentang gerak
dada 22,5%.
Terapi non farmakologis lainnya dapat digunakan untuk menurunkan nyeri
sendi tetapi tidak memberikan peningkatan pada kekuatan otot sendi karena
peningkatan kekuatan otot sendi dapat dicapai dengan adanya pergerakan
melalui aktivitas fisik seperti latihan ROM. Latihan range of motion (ROM)
adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki
tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal
dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry,
2011). Melalui latihan teratur mampu mengendalikan kecepatan jantung
sewaktu istirahat, sehingga penderita lebih bugar karena penurunan denyut
jantung secara cepat kedalam batas normal saat istirahat (Eko Setyawan,
2015). Peran perawat dalam menangani gangguan mobilisasi adalah dengan
menerapkan standar asuhan keperawatan yaitu latihan fleksibilitas (ROM)
secara rutin dan bertahap.
B. Tujuan
1. TIU
Untuk mengetahui pengaruh latihan range of motion (ROM) dengan
masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia dengan rheumatoid arthritis
2. TIK
Untuk mengetahui pengaruh latihan range of motion (ROM) dengan
masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia dengan rheumatoid arthritis

C. Metode
Penelusuran yang dilakukan dengan metode review jurnal didapat dengan
melalui akses internet. Jurnal yang digunakan untuk evidence based nursing
menggunakan literature adalah Pengaruh Latihan Range Of Motion (Rom)
Pada Lansia Dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik. Jurnal didapat dari
situs website Google Scholar.

D. Sistematika Penulisan
BAB I. Pendahuluan
BAB II. Tinjauan Teori
BAB III. Resume Asuhan keperawatan
BAB IV. Aplikasi EBN
BAB V. Pembahasan
BAB VI. Penutup
Daftar Pustaka
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang
etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang
simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan
ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik,
polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik
kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti
sendi, dan “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti
radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu
penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki)
mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi
(Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan
banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi
dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering
menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan
gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan
waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang
adekuat (Febriana,2015).

2. Etiologi
a. Tidak Dapat Dimodifikasi
1) Faktor genetik
2) Usia
3) Jenis kelamin
b. Dapat Dimodifikasi
1) Gaya hidup
a) Status sosial ekonomi
b) Merokok
c) Diet
d) Infeksi
e) Pekerjaan
2) Faktor hormonal
3) Bentuk tubuh

3. Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu
atau bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.
Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan
keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
a. Keluhan umum Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah,
nafsu makan menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau
penurunan berat badan.
b. Kelainan sendi Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu
sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi
lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula,
panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada
leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan
dan nyeri sendi.
b. Kelainan diluar sendi
1) Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
2) Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan,
namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard
3) Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
4) Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang
sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di
ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
5) Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa
kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase
perforans 11 f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan
spleenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan
neutropenia.

4. Patofisiologi
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana
merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi,
cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis).
Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering
faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai
faktor pencetus.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun
komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai
pencetus awal, 7 mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor
rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi
reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas
diketahui, dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi
berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi,
autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan
berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya saling
terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan
kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin
merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan
pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan.
Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1,
yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan
stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas,
kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan,
enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan
dari pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor)
dan anti-CCP dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc
dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya
sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF
didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai
seropositive. Anti-CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan
spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium
awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana
diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra
dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam
patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T
merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang
terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial,
jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan
melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian
menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi
dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian
tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi
yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan
berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang,
melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang
menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi
proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis,
penyakit jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi
hypothalamic-pituitaryadrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan
depresi (Choy, 2012).
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada
jaringan di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi
PMN, dan penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus.
Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat
sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan
pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel
sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan
pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan
kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis
terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan
tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi
yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta
dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).

5. Pathways
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
1) Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive
Protein (CRP) meningkat
2) Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun
RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis
3) Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya
digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan
spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan antara
anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten
b. Radiologis Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak,
penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”,
osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi,
rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien
dan keluarga. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi,
mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah
destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
a. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug) Diberikan sejak awal
untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat
diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam,
dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi
kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
b. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug) Digunakan untuk
melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh
Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin.
DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra
dkk,2013).
c. Kortikosteroid Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison
5-7,5mg/hari sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan
pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-
16 minggu.
d. Rehabilitasi Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang
terlibat melalui 15 pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan
sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan
fisioterapi. 5. Pembedahan Jika segala pengobatan di atas tidak
memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat dipertimbangkan
pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi,
arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta,
2014)

B. Konsep Asuhan
1. Diagnosa Keperawatan
Gangguan mobilitas fisik
2. Intervensi
No. Tujuan & Kriteria (Noc) Rencana
Dx
(Nic)

1. Setelah dilakukan tindakan Intervensi utama :


keperawatan 2x7 jam mobilitas pasien
membaik dengan luaran : Dukungan mobilasi

Luara utama : O:

Mobilitas fisik : Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya

Pergerakan ekstermitas, kekuatan otot, Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan


rentang gerak (ROM) meningkat N:
Luaran tambahan : Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
Pergerakan sendi : (pagar bed)

Pergerakan kaki (kiri/kanan), lutut E:


(kiri/kanan) meningkat Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(duduk di tempat tidur)
Intervensi pendukung :
Edukasi latihan fisik
O:
Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
N:
Tentukan waktu yang tepat untuk memberikan
pendidikan kesehatan
E:
Jelaskan jenis latihan yang sesuai dengan kondisi
pasien
Jelaskan frekuensi, durasi, dan intensitas program
latihan
Latihan rentang gerak (ROM)
O:
Identifikasi keterbatasan pergerakan sendi
Monitor lokasi ketidaknyamanan atau nyeri pada saat
bergerak
N:
Fasilitasi mrngoptimalkan posisi tubuh untuk
pergerakan sendi yang aktif dan pasif
Lakukan gerakan pasif dengan bantuan sesuai dengan
indikasi
E:
Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
Ajarkan melakukan rentang gerak pasif dan aktif
secara sistematis
Ajarkan rentang gerak aktif sesuai dengan program
latihan
C:
Kolaborasi dengan fisioterapis mengembangkan
program latihan

BAB III
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Tn. S
Tempat/Tanggal Lahir : Jepara, 23 April 1967
Jenis Kelamin : laki-laki
Nama penanggung jawab : Ny. F
Hubungan dengan pasien : Istri
Alamat : Jepara
Suku : Jawa
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
2. Keluhan Utama
Nyeri kaki dan susah untuk digerakkan
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. S mengatakan sudah menderita penyakit rematik sejak muda, namun
gejala semakin parah sejak 1,5 tahun ini, kemudian sering kambuh
sehingga kaki kaku, tidak bisa berjalan, pergerakan minim.
4. Riwayat penyakit dahulu
Tn. S mengatakan sejak dahulu sudah memiliki riwayat penyakit rematik
5. Riwayat keluarga
Tn. S mengatakan tidak ada keluarga yang menderita penyakit serupa
6. Pengkajian Fisik
a. Pengukuran Umum
1) Berat Badan : 55 gram
2) Tinggi/Panjang Badan : 167 cm
b. Tanda Vital
1) Suhu : 36,7 oC
2) Frekuensi Jantung : 85x/menit
3) Frekuensi Pernafasan : 21 x/menit
4) Tekanan Darah : 120/80 mmHg
c. Kepala
1) Bentuk kepala : Simetris
2) Fontanel anterior/posterior : tertutup
3) Warna dan tekstur Rambut : Hitam keputihan
Kebutuhan oksigenasi
d. Hidung
1) Patensi nasal : Kanan: paten Kiri: paten
2) Rabas nasal : Kanan: tidak Kiri: tidak
3) Bentuk : Simetris
4) Tes penciuman : Kanan: baik Kiri: baik
e. Dada
1) Bentuk : Simetris
2) Retraksi interkostal : Tidak
3) Suara perkusi dinding dada : Sonor
4) Fremitus Vokal : Vibrasi simetrsis
Kebutuhan Nutrisi dan Cairan
f. Mulut
1) Membran Mukosa : kering
2) Gusi : Pink
3) Warna Lidah : pink keputihan
4) Gerakan lidah : Terkontrol
5) Tes pengecapan : Baik
g. Abdomen
1) Bentuk : SimterisUmbilikus : Bersih
2) Bising usus : Ada
3) Pembesaran hepar : Ada
4) Pembesaran Limpa : Ada
5) Perkusi dinding perut: Timpani
h. Kebutuhan Eliminasi
Pola Buang Air Besar (BAB) Sehat Sakit
Frekuensi 1 hari sekali 1-2 hari
Konsistensi Sedang Sedang
Warna Kuning kecoklatan Kuning kecoklatan
Keluhan saat BAB - -

Pola Buang Air Kecil (BAK) Sehat Sakit


Frekuensi Sering Sering
Warna Kuning Kuning
Volume Sedang sedang
Keluhan saat BAK - -

i. Kebutuhan Aktivitas dan Istirahat


Pola Aktivitas Sehat Sakit
Temperamen Baik Baik, tenang, kooperatif

Pola Tidur Sehat Sakit


Jam Tidur – Bangun Malam 8 jam 8 jam
Siang 7 jam (sering bangun) 7 jam (sering bangun)
Ritual sebelum tidur - -
Gangguan Tidur - -
j. Kebutuhan Higiene Personal
1) Frekuensi mandi : Selama dirawat Tn. S tidak pernah mandi,
hanya sibin
2) Tempat mandi : RS
3) Berpakaian : Total
4) Genetalia : Tidak ( terpasang selang dianus dan cateter
di penis)
Analisa data

Data (Ds Dan Do) Masalah (P) Etiologi (E)


DS : Gangguan mobilitas Peradanagn
Tn. S mengeluh nyeri persendian dan sulit melakukan fisik sendi
poergerakan, tangan kesemutan
P : saat digerakkan
Q : seperti cekot-cekot
R : nyeri dirasa di area lutut kaki kanan dan kiri (tekukan lutut)
S:6
T : hilang timbul
DO :
Saat dikaji, pasien sulit menggerakkan kaki, saat disuruh untuk
menggerakkan terlihat ekspresi meringis diwajah pasien. Ttv :
Td : 120/80, N : 85, RR : 21, S : 36,7

B. Diagnosa keperawatan
Gangguan mobilitas fisik

C. Intervensi
No. Tujuan & Kriteria (Noc) Rencana
Dx
(Nic)

1. Setelah dilakukan tindakan Intervensi utama :


keperawatan 2x7 jam mobilitas pasien
membaik dengan luaran : Dukungan mobilasi

Luara utama : O:

Mobilitas fisik : Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya

Pergerakan ekstermitas, kekuatan otot, Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan


rentang gerak (ROM) meningkat N:
Luaran tambahan : Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
Pergerakan sendi : (pagar bed)

Pergerakan kaki (kiri/kanan), lutut E:


(kiri/kanan) meningkat Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(duduk di tempat tidur)
Intervensi pendukung :
Edukasi latihan fisik
O:
Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
N:
Tentukan waktu yang tepat untuk memberikan
pendidikan kesehatan
E:
Jelaskan jenis latihan yang sesuai dengan kondisi
pasien
Jelaskan frekuensi, durasi, dan intensitas program
latihan
Latihan rentang gerak (ROM)
O:
Identifikasi keterbatasan pergerakan sendi
Monitor lokasi ketidaknyamanan atau nyeri pada saat
bergerak
N:
Fasilitasi mrngoptimalkan posisi tubuh untuk
pergerakan sendi yang aktif dan pasif
Lakukan gerakan pasif dengan bantuan sesuai dengan
indikasi
E:
Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
Ajarkan melakukan rentang gerak pasif dan aktif
secara sistematis
Ajarkan rentang gerak aktif sesuai dengan program
latihan
C:
Kolaborasi dengan fisioterapis mengembangkan
program latihan

D. Implementasi
No . Tindakan Respon Ps
Dx

1 Latihan rentang gerak (ROM) Ds : Tn. S mengatakan bersedia dilakukan tindakan, Tn. S
juga mengtatakan saat dilakukan tindakan terasa nyeri
Do : pasien kooperatif, pasien tampak berusaha untuk
menggerakkan persendiannya, pasien bisa ROM aktif walau
dibarengi dengan ROM paisf

E. Evaluasi
No Evaluasi
Dx

1 S:
Tn. S mengatakan setelah dilakukan tindakan terasa nyeri (skala 5) namun kaki terasa ringan
O:
Tampak nyaman, tampak sendi sudah bisa diluruskan sedikit (kaki kanan)
A:
Maslaah teratasi sebagian
P:
Lanjutkan intervemsi dan kolaborasi dengan fisioterapis

BAB IV
APLIKASI JURNAL EVIDENCE BASED NURSING RISET

A. Data Fokus
Data (Ds Dan Do) Masalah (P) Etiologi (E)
DS : Gangguan Peradanagn
Tn. S mengeluh nyeri persendian dan sulit melakukan mobilitas fisik sendi
poergerakan, tangan kesemutan
P : saat digerakkan
Q : seperti cekot-cekot
R : nyeri dirasa di area lutut kaki kanan dan kiri
(tekukan lutut)
S:6
T : hilang timbul
DO :
Saat dikaji, pasien sulit menggerakkan kaki, saat
disuruh untuk menggerakkan terlihat ekspresi meringis
diwajah pasien. Ttv : Td : 120/80, N : 85, RR : 21, S :
36,7

B. Diagnosa keperawatan
Gangguan mobilitas fisik

C. Analisa sisntesa
RHEUMATOID ARTHRITIS

Peradangan, Autoimun, Metabolik, Infeksi

Invasi Kolagen

Rupture Tendon Parsial/Total

Gangguan Mobolitas Fisik

D. Mekanisme penerapan EBN


1) Kriteria klien Latihan Rentang Gerak (ROM)

Pasien dengan rheumatoid arthritis yang mengalami hambatan mobilitas


fisik, dan dilakukan terapi murottal
2) Prosedur
Setelah dilakukan pengkajian, kemudian ditemukan masalah hambatan
mobilitas fisik dengan pergerakan yang minim dan rentang gerak terbatas.
Lakukan persiapan dengan kontrak waktu, jelaskan prosedur dan tujuan
tindakan, dan persiapan lingkungan. Lakukan gerakan ROM aktif atau
pasif sesuai kemampuan klien. Kaji ulang respon evaluasi setelah
dilakukan tindakan.
BAB V
PEMBAHASAN

A. Hasil yang dicapai


Pengkajian sebelum tindakan didapatkan hasil pasien mengeluh kaki sulit
digerakkan (diluruskan) dan merasa nyeri skala 6, setelah dilakukan terapi
latihan rentang gerak (ROM), hasil yang didapat menunjukkan pasien
mengatakan nyeri (berkurang skala 5), namum kaki terasa ringan.
Pengertian ROM lainnya adalah latihan gerakan sendi yang
memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien
menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik
secara aktif ataupun pasif. Latihan range of motion (ROM) adalah latihan
yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat
kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan
lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry,
2011).
Batasan karakteristik dari hambatan mobilitas fisik menrut Carpenito
(2011) yaitu keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik
halus, keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar,
keterbatasan rentang pergerakan sendi.
Range of motion (ROM), adalah gerakan yang dalam keadaan normal
dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. Range of motion dibagi
menjadi dua jenis yaitu ROM aktif dan ROM pasif (Suratun & Raenah,
2010). Menurut Potter & Perry (2011), adapun tujuan dari ROM (Range Of
Motion), yaitu meningkatkan atau mempertahankan fleksibiltas dan kekuatan
otot, mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan, mencegah kekakuan
pada sendi, merangsang sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk, kekakuan
dan kontraktur.
Hasil penerapan ini menunjukkan bahwa pemberian latihan range of
motion (ROM) pada pasien yang mengalami hambatan mobilitas fisik
mempengaruhi kemampuan pasien dalam melakukan gerakan. Dari observasi
menunjukkan setelah pemberian latihan pasien sudah dapat melakukan
mobilisasi meskipun dengan sedikit bantuan dan terbatas sesuai kemampuan.

B. Kelebihan /manfaat EBN


Kelebihan dari EBN ini adalah sebagai suatu upaya terapi non farmakologi
pada pasien gangguan mobilitas fisik dengan rheumatoid arthritis. Latihan
ROM dapat membantu pasien untuk menggerakkan persendian dan
mengurangi kekakuan serta nyeri yang dialami sehingga pasien dapat
melakukan mobilisasi dengan baik.

C. Kekurangan dari EBN


Kekurangan dari EBN ini tidak bisa dijadikan terapi tunggal untuk
penyembuhan, terapi ini hanya terapi nonfarmakologi, tentunya akan lebih
maksimal hasilnya jika dikolaborasi dengan terapi farmakologi
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hasil penerapan ada pengaruh latihan rentang gerak (ROM) terhadap
kemamampuan mobilitas fisik pasien dengan rheumatoid artritis.

B. SARAN
EBN ini menerapakan latihan rentang gerak (ROM) pada pasien gangguan
mobilitas fisik dengan rheumatoid artritis. Pasien diharapkan dapat
menerapkan tindakan yang telah diperoleh dari pemberian latihan range of
motion yang diberikan petugas kesehatan sehingga penderita dapat
mengurangi gangguan yang dialami. Tenaga Kesehatan diharapkan dapat
memberikan penyuluhan pada pasien dan keluarga tentang latihan range of
motion yang lebih intensif, sehingga pasien dapat melakukan latihan dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA

Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis


Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society
for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11.
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle
Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839.
Komariah. 2012. Pengaruh Senam Ergonomis Terhadap Kadar Asam Urat Pada Lansia
Dengan Gout di Pos Binaan Terhapu Kelurahan Pisangan Ciputat Timur. Jurnal
Kesehatan UIN Jakarta.
Potter, P.A., & Perry, A.G. 2011. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses
dan Praktik edisi 4. Jakarta : EGC.
PPNI (2016). Standar Diagnosisi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnostik. Keperawatan, Edisi 1, Cetakan I. Jakarta DPP PPNI. ISBN : 978-602-
18445-6-4.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan. Keperawatan, Edisi 1, Cetakan II. Jakarta DPP PPNI. ISBN : 978-
602-18445-9-5.
PPNI (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawtan. Keperawatan, Edisi 1, Cetakan II. Jakarta DPP PPNI. ISBN : 978-602-
51680-0-0.
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
Uda, Hastini. 2016. Pengaruh Latihan ROM Terhadap Mobilitas Fsik.
WHO. 2017. A Global Grief On Artritis. Global Public Health. Tersedia di .
www.who.int diakses tanggal 15 November 2018.

Anda mungkin juga menyukai