Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Reumatoid artritis merupakan penyakit inflamasi kronik, dan sistematik yang
menyebabkan destruksi sendi dan deformitas serta menyebabkan disability
(Bandiyah, 2015). Penyakit reumatoid artritis disebabkan oleh autoimun
sehingga dapat terjadinya sendi-sendi bengkak. Manifestasi klinis penyakit
reumatoid artritis di antaranya terjadi nyeri sehingga sehingga tingkat
kemandirian aktifitis kehidupan sehari-hari berkurang (LeMone, 2015). Salah
satu kelompok usia yang paling beresiko memgalami reumatoid artritis adalah
kelompok lansia (Bandiyah, 2015).

Pada tahun 2012, World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa


20%, penduduk dunia terserang penyakit arthritis rheumatoid. Dimana 5-10%
adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 90% mereka yang berusia 55
tahun. Prevalensi penyakit muskuloskeletal pada lansia dengan rheumatoid
artritis mengalami peningkatan mencapai 335 juta jiwa di dunia.

Menurut Arthritis Foundation (2015), jumlah penderita artritis rheumatoid


sebanyak 22% atau lebih dari 50 juta orang dewasa di Amerika Serikat terus
menunjukkan peningkatan atau lebih yang telah terdiagnosa arthritis. Dari
data tersebut, sisanya sekitar 3% atau1,5 juta orang dewasa adalah penderita
yang mengalami keluhan nyeri sendi kronis (Arthritis Foundation, 2015).

Riskesdas (2013) Prevalensi penyakit sendi berdasar diagnosis nakes di


Indonesia 11,9 persen dan berdasar diagnosis atau gejala 24,7 persen.
Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang didiagnosis nakes
meningkat seiring dengan bertambahnya umur, demikian juga yang
didiagnosis nakes atau gejala. Prevalensi tertinggi pada umur ≥75 tahun (33%
dan 54,8%). Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih tinggi pada perempuan
(13,4%) dibanding laki-laki (10,3%) demikian juga yang didiagnosis nakes

1
2

atau gejala pada perempuan(27,5%) lebih tinggi dari laki-laki (21,8%)


(Riskesdas, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Zeng QY et al 2012, prevalensi nyeri rematik di


Indonesia mencapai 23,6% hingga 31,3%. Hasil penelitian yang dilakukan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes)
Depkes 2013, dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama tahun 2013, dari
1.645 responden laki-laki dan perempuan, peneliti menjelaskan sebanyak 66,9
% di antaranya pernah mengalami nyeri sendi. Hal ini menunjukkan rasa
nyeri akibat rematik sudah cukup mempengaruhi lansia dalam aktivitas
sehari-hari (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Reumatoid artritis dapat menyebabkan nyeri karena terjadi reaksi autoimun


dalam jaringan sinovial (cairan sinovial berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan sendi bergerak secara bebas dalam arah) kemudian membran
sinovial berproliferasi sehingga terbentuk pannus, kemudian pannus
menghancurkan tulang rawan sehingga terjadilah erosi tulang sehingga
permukaan sendi hilang dan mengganggu gerak sendi dan otot turut terkena
dampak erosi. Sehingga otot menjadi kaku kemudian leukotriene dan
prostaglandin memecahkan kolagen, pelepasan enzim-enzim dalam sendi
menimbulkan edema dan pelepasan mediator nyeri sehingga timbul rasa nyeri
(Rosyidi, 2013).

Hardywinoto (2005), bahwa adanya nyeri sendi pada rheumatoid artritis sering
kali membuat penderitanya takut untuk bergerak sehingga mengganggu
aktivitas sehari-harinya dan dapat menurunkan produktivitasnya. Penurunan
kemampuan muskuloskeletal karena nyeri sendi dapat juga menurunkan
aktivitas fisik dan latihan, sehingga akan mempengaruhi lansia dalam
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
3

Penelitian Wagiarti, Choiriyyah, dan Widodo (2016) yang menyatakan


terdapat hubungan, bahwa 33 lansia (55,0%) mengalami nyeri sedang disertai
dengan tingkat kemandirian dalam kategori ketergantungan 41 lansia
(68,3%). Uji korelasi Chi Square dengan α = 0,05 diperoleh hasil bahwa
terdapat hubungan antara nyeri RA terhadap pemenuhan kebutuhan Activity
of Daily Living (ADL) pada lansia di Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat
nilai p = 0,005

Penelitian Mardiono, (2012) yang menyatakan pengaruh terapi dalam


menurunkan skala nyeri penyakit artritis rheumatoid pada lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Warga Tama Indralaya Tahun 2012. Pengaruh terapi
dalam menurunkan skala nyeri artritis rheumatoid pada lansia Hasil penelitian
pada skala nyeri sebelum dan sesudah dilakukan terapi, menunjukkan ada
perbedaan mean skala nyeri yang signifikan, yaitu mean sebelum dilakukan
terapi 6,03 dengan standar deviasi 1,474 (p value = 0,005 < = 0,05)

Penelitian Rohaedi, Suci dan Aniq (2016) lansia yang berusia 60 –69 tahun
di Panti Sosial Tresna Wredha Senjarawi Teknik analisa data menggunakan
distribusi frekuensi.Hasil penelitian gambaran tingkat kemandirian lansia (60
–69 tahun) dalam memenuhi activities daily living menunjukan bahwa
sebagian besar lansia mengalami penyakit degeneratif sebanyak 15 orang
(72%). Bahwa sebagian besar lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Senjarawi
memiliki ketergantungan dalam menjalani aktifitas kehidupannya.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh peneliti kunjungan pasien di


Puskesmas Sri Padang Tebing Tinggi pada tanggal 13 Februari 2017 di
dapatkan hasil yang menderita penyakit Reumatoid Artritis meningkat dari
tahun 2015 sebanyak 219 orang dan pada tahun 2016 menjadi 251 orang.
Penyakit Reumatoid Artiritis ini merupakan peringkat 3 yang tertinggi dari
jenis penyakit Hipertensi, Diabetes Melitus yang berada di Puskesmas Sri
Padang Tebing Tinggi. Dan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti 5
orang mengatakan nyeri Reumatoid Artritis diantaranya 3 orang yang
4

mengatakan kesulitan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari dengan rentang


skala nyeri 7-9 (skala berat) sehingga bergantung pada orang lain, sedangkan
2 orang mengatakan tidak terganggu aktivitas kehidupan sehari-hari dengan
rentang skala nyeri 1-3 (skala ringan) sehingga tidak bergantung pada orang
lain. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan
nyeri Reumatoid Artritis dengan kemandirian dalam aktifitas kehidupan
sehari-hari pada lansia di Puskesmas Sri Padang Tebing Tinggi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti tertarik
untuk Mengetahui bagaimana Hubungan Nyeri Reumatoid Artritis dengan
Kemandirian dalam Aktivitas Kehidupan Sehari-hari pada Lansia di
Puskesmas Sri Padang Tebing Tinggi tahun 2017 ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan nyeri Reumatoid Artritis dengan
kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia di
Puskesmas Sri Padang Tebing Tinggi pada tahun 2017.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui intensitas nyeri Reumatoid Artritis pada lansia di
Puskesmas Sri Padang Tebing Tinggi Tahun 2017
b. Mengetahui kemandirian dalam aktifitas kehidupan sehari-hari pada
lansia di Puskesmas Sri Padang Tebing Tinggi Tahun 2017
5

D. Manfaat Penelitian
1. Untuk Pasien Reumatoid Artritis
Sebagai sumber informasi bagi pasien Reumatoid Artritis untuk
mengatasi nyeri agar tidak terganggu pada saat melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari

2. Untuk Institusi Pelayanan


Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan dasar bagi
Puskesmas Sri Padang umtuk melakukan penyuluhan kesehatan bagi
pasien lanjut usia yang berkaitan dengan nyeri Reumatoid Artritis dan
kemandirian dalam aktivitas kehidupan pada lansia.

3. Untuk Peneliti Selanjutnya


Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan dan sumber bagi peneliti
selanjutnya, dan bagi yang berkepentingan untuk melakukan penelitian
selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Reumatoid Artritis
1. Defenisi Reumatoid Artritis
Reumatoid artritis merupakan penyakit inflamasi kronik, dan sistematik
yang menyebabkan destruksi sendi dan deformitas serta menyebabkan
disability. Penyakit ini sering terjadi dalam 3-4 dekade ini pada lansia.
Penyebab tidak diketahui, tetapi mungkin akibat penyakit autoimun
dimulai dari interfalank proksimal, metakarpofalankeal, pergelangan
tangan dan pada tahap lanjut dapat mengenai lutut dan paha (Fatimah,
2015).

Reumatoid artritis merupakan penyakit autoimun sistem kronik yang


menyebakan inflamasi jaringan ikat, terutama di sendi. Rangkaian dan
keparahan beragam, dan rentanf manifestasi luas. Manifestasi Reumatoid
Artritis mungkin minimal, dengan inflamasi ringan hanya beberapa sendi
dan sedikit kerusakan struktural, atau sedikit progresif, dengan sendi
multipel yang mengalami inflamasi dan deformitas nyata. Sebagian besar
pasien menunjukkan pola keterlibatan simetrik sendi perifer multipel dan
periode remisi dan eksaserbasi (LeMone, dkk, 2015)

2. Etiologi
Penyebab reumatoid artritis tidak diketahui. Faktor genetik diyakini
memainkan peran dalam perkembangannya, kemungkinan kombinasi
dengan faktor lingkungan. Diperkirakan bahwa agen infeksius, seperi
mikroplasma, virus Epstein-Barr, atau virus lain dapat memainkan peran
dalam memulai respon imun abnormal yang tampak di Reumatoid Artritis
(LeMone, dkk 2015).

Antibodi dari aliran darah bergerak ke selaput sendi sinovial,


menyebabkan sendi-sendi bengkak. Bengkak mempengaruhi kemampuan

6
7

tendon, tulang, dan ikatan sendi (ligamen) yang menggerakkan sendi,


menimbulkan sakit ketika bergerak. Etiologi ini dikenal, walaupun
genetika memegang peranan. Serangan umumnya terjadi pada usia 20
sampai 40 tahun, dan itu memengaruhi sekitar 2 persen populasi.
Umumnya terjadi radang dan nodule (bongkol kecil ) di sekitar sendi,
biasanya meliputi pergelangan tangan, tangan, lutut dan kaki (DiGiulio,
dkk 2014)

3. Manifestasi Klinis
Menurut DiGiulio, dkk (2014) tanda dan gejala Reumatoid Artritis yaitu:
a. Kaku di pagi hari pada sendi karena inflamasi
b. Sendi membesar akibat bengkak
c. Sakit bergerak karena kaku
d. Gerak terbatas karena inflamasi dan sakit
e. Demam, tidak enak badan, dan berat badan turun

Awitan reumatoid artritis biasanya tiba-tiba, meskipun akut, dipicu oleh


stressor seperti infeksi, pembedahan, atau trauma. Manifestasi sendi
sering kali dipicu oleh manifestasi trauma sistemik inflamasi, termasuk
keletihan, anoreksia, penurunan berat badan, dan nyeri serta kekakuan
tidak spesifik. Pasien melaporkan pembengkakan sendi dengan kekuan
terkait, hangat, nyeri tekan, dan nyeri. Pola keterlibatan sendi biasanya
poliartikular (melibatkan sendi multipel) dan simetris. Sendi
interfalangeal proksimal (proximal interphalangeal, PIP) dan
metakarpofalangeal (metacarpophalangeal, MCP) jari, pergelangan
tangan, lutut, pengelangan kaki dan jari kaki paling sering terkena,
meskipun reumatoid artritis dapat mengenai semua sendi. Kekakuan di
pagi hari, berlangsung lebih dari 1 jam. Hal tersebut juga dapat terjadi
dengan istirahat yang lama selama sehari dan mungkin lebih hebat setelah
ativitas berlebihan. Pembengkakan, sendi yang mengalami inflamasi
seperti “boggy” atau seperti spons saat palpasi karena edema sinovial.
ROM terbatas pada sendi yang terkena dan kelemahan dapat terjadi
(LeMone, dkk 2015).
4. Patofisiologi
8

Dipercaya bahwa pajanan terhadap antigen yang tidak teridentifikasi


(mis,virus) menyebakan respon imun menyimpang pada pejamu yang
rentan secara genetik. Sebagai akibatnya, antibodi normal
(imunoglobulin) menjadi autoantibodi dan menyerang jaringan pejamu.
Antibodi yang berubah ini, biasanya terdapat pada orang yang
mengalami Reumatoid Artritis, disebut faktor Reumatoid. Antibodi yang
dihasilkan sendiri berikatan dengan antigen target mereka dalam darah
dan membran sinovial, membentuk kompleks imun. Komplemen
diaktivasi oleh kompleks imun, memicu respon inflamasi pada jaringan
sinovial.

Leukosit tertarik ke membran sinovial dari sirkulasi, tempat neutrofildan


makrofakg mengingesti kompleks imun dan melepaskan enzim yang
mendegradasi jaringan sinovial dan kartilagi artikular. Aktivasi limfosit B
dan T menyebabkan peningkatan produksi faktor reumatoid dan enzim
yang meningkatkan dan melanjutkan proses inflamasi.

Membran sinovial rusak akibat proses inflamasi dan imun. Membran


sinovial membengkak akibat infiltrasi leukosit dan menebal karena sel
berproliferasi membesar secara abnormal. Prostaglandin memicu
vasodilatasi, dan sel sinovial dan jaringan menjadi hiperaktif. Pembuluh
darah baru tumbuh untuk menyokong hiperplasia sinovial, membentuk
jaringan granulasi vaskular disebut pannus.

Kerusakan sendi yang terjadi pada Reumatoid merupakan hasil dari


minimal tiga proses:
a. Pannus inflamasi menyebar untuk menutupi kartilago sendi dan
menghasilkan enzim seperti kolagen dan protease lain yang memicu
kerusakan jaringan.
b. Sitokin, khususnya interleukin 1 (IL-1) dan faktor nekrosis tumor
alfa (TNF-alpha), mengaktifasi kondrosit untuk menyerang kartilago
sendi.
9

c. Sitokin ini, bersama dengan IL-6, juga mengaktivasi osteoklas,


menyebakan resorpsi dan demineralisasi tulang yang menyertai.

Kompleks imun yang bersirkulasi dan sitokin IL-1, TNF, dan IL-6
terhitung untuk gambaran sistemik reumatoid artritis, termasuk malaise,
keletihan, dan vaskulitis (LeMone, dkk 2016) .

5. Prognosis
Prognosis reumatoid artritis bervariasi. Beberapa pasien sembuh dan
hanya membutuhkan perawatan ringan. Beberapa yang lain parah dengan
fungsi yang berkurang, dengan penyakit jantung, ginjal, dan pernapasan.
Harapan hidup sangat sedikit untuk kelompok ini (DiGiulio,2014).

6. Artritis Reumatoid pada Lansia


Lansia tidak kebal terjadinya reumatoid artritis, insidens terus meningkat
setelah usia 60 tahun. Meskipun beberapa lansia dapat berkembang relatif
ringan, reumatoid artritis terbatas, pasien dengan peningkatan titer
reumatoid artritis dapat mengalamai rangkaian penyakit yang lebih agresif,
dengan aktifitas penyakit yang persisten, manifestasi lebih sistemik, dan
kerusakan sendi yang lebih cepat (LeMone, dkk 2016).

B. Karakteristik Nyeri
1. Defenisi Nyeri
Nyeri berperan sebagai mekanisme untuk memperingatkan kita mengenai
potensial bahaya fisik. Oleh karenanya, nyeri merupakan mekanisme
pertahanan tubuh untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dengan
memberikan dorongan untuk keluar dari situasi yang menyebabkan nyeri.
Menurut McCaffery, salah seorang penggagas dalam keperawatan nyeri,
mendefenisikan nyeri sebagai “segala sesuatu yang dikatakan oleh
individu yang merasakan nyeri dan ada ketika individu tersebut
mengatakan ada (Black and Hawks 2014).

2. Pengkajian Karakteristik Nyeri


10

Menurut Jocye M. Black and Jane Hokanson Hawks (2014) pengkajian


karakteristik nyeri diantaranya yaitu:
a. Pengkajian
Seluruh klien harus di skrining untuk nyeri, dan jika terdapat nyeri ,
pengkajian nyeri yang komprehensif harus dilengkapi. Tujuan utama
dari pengkajian nyeri adalah untuk mengidentifikasi penyebab nyeri,
untuk memahami persepsi klien tentang nyeri, untuk mengukur
karakteristik nyeri, untuk memutuskan tingkatan nyeri sehingga
klien dapat meneruskan dan berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari (activity daily living [AD]). Untuk mengkaji laporan awal
tentang nyeri, perawat mengumpulkan riwayat nyeri, riwayat
munculnya nyeri dalam keseharian ( yang termasuk faktor yang
memparah dan mengurangi nyeri), serta pengumpulan data subjektif
dan objektif dengan menggunakan alat ukur.

Alat pengkajian tunggal termasuk Visual Analog Scale (VAS), Skala


Numerik (0-10), dan skala deskripsi visual. Skala nyeri ini dapat
digunakan untuk mengukur baik intensitas nyeri fisik maupun di
stres psikologis .

Skala Analog Visual (VAS)

Skala Numerik 0-10 Intensitas nyeri

b. Lokasi
Lokasi nyeri dapat dilakukan oleh deskripsi verbal atau dengan
menandai lokasi pada gambar berbentuk tubuh manusia.
11

Menggunakan gambar ini memberikan kesempatan pada klien untuk


melaporkan berbagai lokasi nyeri menggunakan dokumen mandiri
yang dapat dimasukkan kedalam rekam medis. Dokumen ini dapat
digunakan oleh semua pemberi layanan kesehatan yang menangani
klien tersebut

c. Kualitas
Kualitas nyeri biasanya di indikasikan dengan kata sifat yang
deskriptif seperti “ seperti ditusuk pisau” atau “berdenyut-denyut.
Beberapa klien mungkin memiliki kesulitan mendeskripsikan
kualitas sensasi nyeri, atau mereka mungkin memiliki kesulitan
menggunakan istilah “nyeri” untuk mengindikasikan ketidaknyaman
mereka.

d. Durasi
Durasi merupakan waktu onset, durasi, interval nyeri. Istilah yang
digunakan untuk mengklasifikasikan pola nyeri adalah “ konstan,
stabil, intermiten, periodik, sesaat atau sesekali.

e. RAPS (Rheumatoid Arthritis Pain Scale)


Dikutip dari peneliti sebelumnya (Cyntyawati, 2014) Menurut
Anderson (2001) mengatakan bahwa untuk merancang instrumen
RAPS, dilakukan dengan penilaian klinis dan wawancara individu
yang mengalami Reumatoid Artritis, dan kesamaan dari jawaban
responden diidentifikasi antara dimensi rasa sakit. Selanjutnya, sub-
skala dan definisi dari sub-skala disusun berdasarkan landasan RAPS
dalam teori yaitu:
1). Teori kontrol gerbang yaitu menjelaskan tentang mekanisme
transmisi nyeri. Kegiatannya bergantung pada aktivitas serat
saraf aferen berdiameter besar atau kecil yang dapat
mempengaruhi sel saraf di substansia gelatinosa. Aktivitas serat
yang berdiameter besar menghambat transmisi yang artinya
12

“pintu ditutup” , sedangkan serat saraf yang berdiameter kecil


mempermudah transmisi yang artinya “pintu dibuka” (Asmasdi,
2008).
2). Model motivasi afektif menjelaskan bahwa pertanyaan afektif
meningkatkan minat dan motivasi untuk mempelajari perasaan,
nilai-nilai, keyakinan, dan sikap terhadap suatu topik yang
sedang dipelajari. Pertanyaan afektif tingkat rendah diarahkan
untuk merangsang kesadaran dan ketanggapan peserta didik
pada suatu topik, pertanyaan afektif tingkat menengah dapat
menentukan seberapa kuat suatu keyakinan atau dalamnya
internalisasi suatu nilai, sedangkan 22 pertanyaan afektif tingkat
tinggi menggali informasi tentang seberapa dalamnya integrasi
suatu nilai (Bastable, 2002).

Hal ini menyebabkan instrumen yang terdiri dari 4 sub-skala, yang


mewakili aspek utama nyeri pada Rheumatoid Arthritis yaitu
fisiologis, afektif, sensorik- diskriminatif, dan kognitif.
a. Komponen fisiologis mengacu pada manifestasi klinis dari
Reumatoid Artritis seperti yang didefinisikan oleh American
College of Rheumatologymendeskripsikan aspek fisiologis dari
penyakit yaitu kekakuan di pagi hari, nyeri saat digerakkan,
nyeri pada satu sendi atau lebih, pembengkakan pada satu sendi,
pembengkakan setidaknya pada satu sendi lainnya, simetris pada
sendi yang bengkak dan adanya kelelahan.
b. Komponen afektif menggambarkan pada tahap ketidaknyamanan,
kesedihan, dan gangguan nyeri bervariasi dengan intensitas
sensasi yang menyakitkan. Tahap ini meliputi ketakutan jangka
pendek atau ketakutan pada saat ini dan kecemasan terkait
dengan implikasi dari rasa nyeri.
c. Komponen sensorik-diskriminatif mewakili intensitas, durasi,
lokasi, dan kualitas sensasi nyeri.
13

d. Komponen kognitif mengacu pada tahap sekunder rasa


nyeriyang terkait yaitu berdasarkan proses kognitif yang terkait
dengan yang diingat atau dibayangkan. Tahap ini meliputi
ketakutan jangka panjang, implikasi yang lebih rumit memiliki
rasa sakit seperti depresi, kebebasan, bagaimana pengaruh nyeri
dalam aktivitas kehidupan 23 sehari-hari, dan harga diri, serta
juga mencakup kenangan dan pengalaman masa lalu. Tahap ini
adalah tahap yang banyak dianggap sebagai penderitaan
(Anderson, 2001).

3. Mekanisme Nyeri
Secara keilmuan, nyeri (pengalaman yang subjektif ) terpisah dan
berbeda dari istilah nosisepsi. Nosisepsi merupakan ukuran kejadian
fisiologis. Nosisepsi merupakan sistem yang membawa informasi
mengenai peradangan, kerusakan, atau ancaman kerusakan pada jaringan
ke medula spinalis dan otak. Nosisepsi biasanya muncul tanpa ada rasa
nyeri dan berda di bawah alam sadar. Terlepas dari nosisepsi memicu
nyeri dan dan perasaan tidak nyaman, sistem ini merupakan komponen
yang penting dari sistem pertahanan tubuh (Black and Hawks, 2014)

4. Pola Nyeri
Menurut Black and Hawks (2014) pola nyeri diantaranya sebagi berikut :
a. Nyeri Akut
Nyeri akut disebkan oleh aktifitas nosiseptor, biasanya berlangsung
dalam waktu yang singkat (kurang dari 6 bulan), dan memiliki onset
yang tiba-tiba seperti nyeri insisi setelah operasi. Individu yang
mengalami nyeri akut biasanya tidak mengalami trumatis karena
sifat nyeri yang terbatas, seperti nyeri pada saat melahirkan. Nyeri
akut mungkin disertai respon fisik yang dapat diobservasi, seperti (1)
peningkatan dan penurunan tekanan darah, (2) takikardi, (3)
diaforesis. (4) takipnea, (5) fokus pada nyeri, dan (6) melindungi
bagia tubuh yang nyeri.
14

b. Nyeri Kronis
Nyeri kronis biasanya dianggap sebagai nyeri yang berlangsung
lebih dari 6 bulan (atau 1 bulan lebih dari normal di masa-masa akhir
kondisi yang menyebabkan nyeri) dan tidak diketahui kapan akan
berakhir kecual jika terjadi penyembuhan yang lambat, seperti pada
luka bakar. Klien dengan nyeri kronis mungkin mengalami nyeri
yang lokal atau menyebar serta terasa ketika disentuh, beberapa
terasa nyeri di titik yang dapat diprediksi, namun hanya disertai
sedikit temuan fisik.

c. Nyeri Kutaneus (Superfisial)


Nyeri kutaneus dapat dikarakteristikkan sebagai onset yang tiba-tiba
dengan kualitas yang tajam atau menyengat atau onset yang
berlangsung perlahan dengan kualitas seperti sensasi terbakar,
bergantung dari tipe serat saraf yang terlibat. Reseptor nyeri
kutaneus berakhir dibawah kulit dan, karena tingginya konsentrasi
ujung saraf, memproduksi nyeri yang mudah dideskripsikan., lokal,
dan berlangsung dalam waktu yang pendek.

d. Nyeri Somatik
Nyeri somatik berawal dari ligamen, tendon, tulang., pembuluh
darah, dan saraf. Nyeri ini dideteksi oleh nosiseptor somatik, namun
reseptor ini bersifat langka, sehingga nyeri tersaa tumpul dan sulit
dilokalisasi.

e. Nyeri Viseral
Viseral berasal dari visera tubuh dan organ. Nosiseptor visera
terletak didalam organ tubuh dan celah bagian dalam. Nyeri
viseralsangat sulit untuk dilokalisasi., dan beberapa cedera pada
jaringan viseral mengakibatkan terjadinya nyeri yang menjalar,
dimana sensasi nyeri berada diarea sebenarnya tidak berkaitan
15

dengab sama sekali dengan lokasi cedera. Sensasi yang dairasakan


dapat muncul di dada bagian atas sebagai perasaan sesak, atau
sebagai rasa sakit di bahu kiri, lengan ataupun tangan.

f. Nyeri Menjalar
Nyeri menjalar merupakan bentuk dari nyeri viseral dan dirasakan di
area yang jauh dari lokasi stimulus, hal itu terjadi ketika serat saraf
yang berada di area tubuh yang jauh dari lokasi stimulus melewati
stimulus itu sendiru dalam jarak dekat.

g. Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik disebakan oleh kerusakan atau cedera pada serat
saraf di pertifer atau kerusakan pada SSP. Hal ini tidak menyebakan
aktivasi nosiseptor akibat cedera.

5. Faktor yang memepngaruhi nyeri


Menurut Black and Hawks (2014) faktor yang mempengaruhi nyeri
diantaranya sebagai berikut:
a. Persepsi Nyeri
Persepsi nyeri, atau interpretasi nyeri, merupakan komponen penting
dalam pengalaman ntyeri. Persepsi nyeri tidak hanya bergantung dari
derajat kerusakan fisik baik stimulus fisik maupun faktor psikososial
dapat mempengaruhi pengalaman kita akan nyeri.

b. Usia
Usia dapat mengubah persepsi dan pengalaman nyeri. Nyeri juga
dapat berarti kelemahan, kegagalan, atau kehilangan kontrol bagi
orang dewasa. Tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa persepsi
nyeri berubah pada usia lanjut kecuali terjadi kerusakan pada SSP.
Transmisi dan persepsi mungkin melambat karena penuaan, namun
intensitas nyeri tidak hilang. Pengkajian secara cermat pada nyeri
16

yang dialami oleh lansia merupakan tahapan yang penting dalam


mencegah kesakitan yang tidak perlu.

c. Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat menjadikan faktor yang signifikan dalam respon
nyeri, pria lebih jarang melaporkan nyeri dibandingkan wanita.
Dibeberapa buda di Amerika Serikat, pria diharapkan jarang
mengekpresikan nyeri dibandingkan wanita

C. Lanjut Usia
1. Defenisi Lanjut Usia
Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan
waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua
adalah fase akhir dari rentang kehidupan. Menurut UU RI No. 4 tahun
1965 usia lanjut adalah mereka yang berusia 55 tahun keatas. Sedangkan
menurut dokumen pelembagaan lanjut usia dalam kehidupan bangsa
yang diterbitkan oleh Departemen Sosial dalam rangka perencanangan
Hari Lanjut Usia Nasional tanggal 29 Mei 1996 oleh Presiden RI, batas
usia lanjut adalah 60 tahun atau lebih (Fatimah, 2015).

Manusia lanjut Usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami


perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Perubahan ini akan
memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk
kesehatannya. Oleh karena itu, kesehatan manusia usia lanjut perlu
mendapatkan perhatian khusus dengan tetap di pelihara dan ditingkatkan
agar selama mungkin dapat hidup secara produktif sesuai dengan
kemampuannya dapat ikut serta berperan aktif dalam pembangunan.
(UUKesehatan No. 23 tahun 1992, pasal 19 ayat 1).
a. Penuaan biologik
Merujuk pada perubahan struktur dan fungsi tubuh yang terjadi
sepanjang kehidupan (Zarit, 1980)
b. Perubahan fungsional
17

Merujuk pada kapasitas individual mengenai fungsinya dalam


masyarakat, dibandingkan dengan orang lain yang sebaya (Birren,
Renner, 1977)

c. Penuaan Psikologik
Perubahan perilaku, perubahan dalam persepsi diri, dan reaksinya
terhadap perubahan biologis (Gress, Bahr, 1984)

d. Penuaan sosiologik
Merujuk pada dan kebiasaan sosial individudi masyarakat (Birren,
Renner 1977)

e. Penuaan Spritual
Merujuk pada perubahan diri dan persepsi diri, cara berhubungan
dengan orang lain atau menempatkan diri di dunia dan pandangan
dunia terhadap dirinya ( Stallwood, Stoll. 1975)

2. Klasifikasi Lanjut Usia


Menurut Organisasi Kesehatan Duni (WHO) lanjut usia meliputi usia
pertengahan ( middle age ) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun,
lanjut usia ( elderly ) ialah antara umur 60 sampai 74 tahun, lanjut usia
tua ( old ) ialah antara umur 76 sampai 90 tahun dan usia sangat tua
( very old ) di atas 90 tahun.

D. Proses Menua
1. Defenisi Menua
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti
dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang di derita
(CONSTANTANIDES, 1994). Ini merupakan proses yang terus-menerus
(berlanjut) secara alami. Ini di mulai sejak lahir dan umumnya di alami
pada semua mahluk (Bandiyah, 2015).

Jika proses menua mulai berlangsung, di dalam tubuh juga mulai terjadi
perubahan-perubahan struktural yang merupakan proses degeneratif.
18

Misalnya sel-sel mengecil atau komposisi sel pembentukan jaringan ikat


baru menggantikan sel-sel yang menghilang dengan akibat timbulnya
kemunduran fungsi organ-organ tubuh. Beberapa kemunduran organ
tubuh seperti yang di sebutkan Kartari (1990) di antaranya adalah kulit
berubah menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi, rambut
rontok, warna menjadi putih, kering dan tidak mengkilat, jumlah sel otot
berkurang, ukurannya antrofi, volume otot secara keseluruhan menyusut,
dan tulang pada proses menua kadar kapur (kalsium) dalam tulang
menurun, akibatnya tulang menjadi kropos dan mudah patah (Bandiyah,
2015).

Ketika memasuki proses menua, tubuh cenderung mengalami perubahan.


Perubahan yang terjadi bisa menimbulkan berbagai kelainan hingga
berbagai penyakit. Hal ini harus di antisipasi sebelum terjadi. Yang sering
terjadi pada warga usia kencana adalah soal kesehatan fisik (Bandiyah,
2015).

2. Perubahan Fisik Penuaan


Penuaan intrinsik mengacu pada perubahan yang diakibatkan oleh proses
penuaan normal yang telah diprogram secara genetik dan pada dasarnya
universal dalam spesies yang bersangkutan. Penuaan ekstrinsik terjadi
akibat pengaruh dari luar diri seperti penyakit, polusi udara dan sinar
matahari dan merupakan penuaan yang abnormal yang dapat dihilangkan
atau dikurangi dengen intervensi perawatan kesehatan yang efektif
(Fatimah, 2015).

Perubahan fisik diantaranya adalah perubahan musculoskeletal pada


wanita pasca menopause mengalami densitas tulang yang massif akan
mengakibatkan tulang kropos dan berhubungan dengan kurang aktivitas,
masukan kalsium yang tidak adekuat dan kehilangan estrogen.
Pengurangan dan penyusutan tinggi tubuh akibat dari perubahan
osteoporotic pada tulang punggung, kifosis dan fleksi pinggul serta lutut.
19

Perubahan ini menyebakan penurunan mobilitas, keseimbangan dan


fungsi organ internal. Ukuran otot berkurang dan otot kehilangan
kekuatan, fleksibilitasdan ketahanannya sebagai akibat penurunan
aktifitas dan penuaab. Kartilago sendi memburuk secara progresif mulai
usia pertengahan (Fatimah, 2015).

Selain secara fisik proses menua jugak dapat menyebabkan berbagai


macam penyakit yang diantaranya terkait dengan sistem musculoskletal
yaitu Reumatoid Artritis.

E. Kemandirian dalam aktivitas kehidupan pada Lansia


1. Defenisi Kemandirian
Menurut penelitian jurnal Rohaedi, dkk (2016) Dalam kamus psikologi
kemandirian berasal dari kata “independen” yang diartikan sebagai suatu
kondisi dimana seseorang tidak tergantung pada orang lain dalam
menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri (Husain, 2013).

Kemandirian merupakan sikap individu yang diperoleh secara komulatif


dalam perkembangan dimana individu akanterus belajar untuk bersikap
mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga
individu mampu berfikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian
seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk berkembang ke yang lebih
mantap (Husain, 2013).

Kemandirian lansia dalam ADL didefinisikan sebagai kemandirian


seseorang dalam melakukan aktivitas dan fungsi-fungsi kehidupan sehari
-hari yang dilakukan oleh manusia secara rutin dan universal (Ediawati,
2013). Untuk menilai ADL digunakan berbagai skala seperti Katz Index,
Barthel yang dimodifikasi, dan Functional Activities Questione (FAQ)
(Ediawati, 2013)

2. Kemandirian Aktivitas Lansia


20

Perubahan fisik yang terjadi pada lansia tentunya akan mempengaruhi


kemandirian lansia. Kemandirian adalah kebebasan untuk bertindak,
tidak tergantung pada orang lain, tidak terpengaruh pada orang lain dan
bebas mengatur diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu
maupun kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit (Ediawati,
2012).

Kemandirian pada lansia sangat penting untuk merawat dirinya sendiri


dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Meskipun sulit bagi anggota
keluarga yang lebih muda untuk menerima orang tua melakukan aktivitas
sehari-hari secara lengkap dan lambat. Dengan pemikiran dan caranya
sendiri lansia diakui sebagai individu yang mempunyai karakteristik yang
unik oleh sebab itu perawat membutuhkan pengetahuan untuk memahami
kemampuan lansia untuk berpikir, berpendapat dan mengambil keputusan
untuk meningkatkan kesehatanya (Atut, 2013)

3. Aktivitas Sehat
Pijakan penting lain dari gaya hidup sehat adalah aktivitas yang sehat.
Orang yang aktif menjalani hidup lebih lama dan lebih sehat daripada
yang kurang aktif. Namun lebih dari 60% orang dewasa tidak mencapai
lefel aktifitas fisik reguler yang direkomendasikan, dan 40% orang
dewasa tidak mendapatkan aktivitas fisik sebagai waktu bersantai.
Inaktivitas fisik meningkat sering dengan pertambahan usia, dan wanita
lebih inaktif daripada pria. Inaktivitas fisik merupakan masalah serius
berskala nasional yang menyebabkan beban signifikan pada sakit dan
kematian prematur (Black and Hawks, 2014)
4. Manfaat Aktivitas Fisik
Manfaat aktivitas fisik termasuk (1) mempertahankan berat badan, (2)
menurunkan tekanan darah, (3) memperbaiki mood. (4) meredakan
depresi, (5) meningkatkan perasaan seha, (6) menurunkan resiko diabetes
tipe 2, (7) mengurangi kematian akibat jantung koroner, (8)
meningkatkan level puncak masa tulang. Pada orang dengan kondisi
21

lumpuh yang kronis, aktivitas memperbaiki stamina, kekuatan otot, dan


kualitas hidup. Oleh karena itu, kaji aktivitas klien, dan bekerja samalah
dengan mereka untuk memperbaiki level aktivitas (Black and Hawks,
2014)

5. Berbagai komponen aktivitas dan kebugaran


a. Self efficacy (keberdayagunaan-mandiri) adalah suatu istilah untuk
menggambarkan rasa percaya atas keamanan dalam melakukan
aktivitas. Hal ini sangat berhubungan dengan ketidak-tergantungan
dalam aktivitas sehari-hari instrumental (I-ADL). Dengan
keberdayagunaan mandiri ini seorang lansia mempunyai keberanian
dalam melakukan aktivitas/olahraga.
b. Keuntungan fungsional atas latihan bertahanan (reseistence training)
berhubungan dengan hasil yang didapat atas jenis latihan bertahan,
antara lain yang mengenai kecepatan gerak sendi, luas lingkup gerak
sendi dan jenis kekuatan yang dihasilkannya (pemendekan atau
pemanjangan otot).
c. Daya tahan (endurance) dan keuntungannya. Daya tahan
(endurance) atau kebugaran yang ditunjukkan dengan VO2 maks
akan menurun dengan lanjut usia, dimana penurunan akan 2 x lebih
cepat pada orang inaktif dibandingkan atlit. Kebugaran ini
merupakan sebagian karena penurunan massa otot skeletal. Sebagian
akibat hilangnya otot skeletal, sedangkan sebagian lagi akibat
penurunan laju jantung maksimal, penurunan isi jantung sekuncup
maksimal dan penurunan oksigen yang dapat di ekstraksi oleh otot-
otot yang terlatih. Latihan kebugaran dapat memperbaiki semua
faktor tersebut kecuali laju jantung maksimal (Reuben et al, 1996).
Pada lansia, latihan daya tahan/kebugaran yang cukup keras akan
meningkatkan kekuatan yang didapat dari latihan bertahan. Hasil
dari latihan kebugaran tersebut bersifat khas untuk latihan yang
dijalankan (training specific), sehingga latihan kebugaran akan
meningkatkan kekuatan berjalan lebih dibandingkan dengan latihan
bertahan.
22

d. Kelenturan Pembatasan atas lingkup gerak sendi banyak terjadi pada


usia lanjut, yang sering sebagai akibat keketatan/ kekuatan otot dan
tendon dibandingkan sebagai akibat kontraktur sendi. Keketatan otot
betis sering memperlambat gerak dorso-fleksi dan timbulnya
kekuatan otot dorsofleksor sendi lutut yang diperlukan untuk
mencegah jatuh ke belakang.
e. Keseimbangan merupakan penyebab utama yang sering
mengakibatkan seorang lansia mudah jatuh. Keseimbangan
merupakan tanggapan motorik yang dihasilkan dari berbagai faktor
diantaranya input sensorik dan kekuatan otot. Keseimbangan juga
bisa dianngap sebagai penampilan yang tergantung atas aktivitas atau
latihan yang terus menerus dilakukan (Martono & Kris, 2009).

F. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep
satu dengan konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Setiadi, 2013),
kerangka konsep pada penelitian ini menggambarkan bahwa yang diteliti
adalah Hubungan nyeri Reumatoid Artritis dengan kemandirian dalam
aktifitas kehidupan sehari-hari pada lansia.

Skema 2.1
Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independent Variabel Dependent

Nyeri Reumatoid Kemandirian


Artritis dalam aktifitas
G. Hipotesis
Ha : Ada hubungan nyeri Reumatoid Artritis dengan kemandirian dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia
23

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional
yang bertujuan untuk mengetahui hubungan intensitas nyeri dengan
kemandirian lansia yang mengalami Gout Artritis
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang menderita Gout
Artritis yang datang ke Puskesmas Bies Aceh Tengah tahun 2019
sejumlah orang.

2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian lansia yang datang untuk
berobat ke Puskesmas Bies Aceh Tengah yang mengalami penyakit Gout
Artritis. Besar sampel penelitian ini di tentukan dengan . Maka dapat
digunakan rumus sebagai berikut:

Jadi besar sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 72 responden


yang di ambil dengan menggunakan tehnik accidental sampling yaitu
lansia yang kebetulan datang berobat ke Puskesmas Sri Padang
mengalami penyakit Reumatoid Artritis.

C. Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Puskesmas Bies Aceh Tengah 2019

D. Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari – Juni 2019.
24

E. Defenisi Operasional

Tabel 3.1
Defenisi Operasional, Alat Ukur, Hasil Ukur
dan Skala Ukur Vaibael
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Intensitas Perasaan yang tidak Kuesioner dengan 1.Ringan: 21-38 Ordinal
Nyeri nyaman yang dialami menggunakan 2.Sedang: 39-56
oleh lansia yang 3.Berat: 57-74
diakibatkan Gout 4.Sangat nyeri:
Artritis 75-92
Kemandirian Kemampuan lansia Kuesioner ADL 1. Ketergantungan Ordinal
Lansia dalam melakukan Barthel Index dan (tidak) : 0-6
aktivitas sehari-hari. kuesioner IADL 2. Mandiri (ya) :
(Instrument 7-14
Activity Daily
Living jumlah 14
pertanyaan

F. Aspek Pengukuran
1.
2. Alat untuk mengukur variabel kemandirian dalam aktivitas kehidupan
digunakan Kuesioner ADL Barthel Indeks + IADL (instrument activity
daily living) ini meliputi 14 item pertanyaan yang terdiri dari mandi,
berpakaian, makan, kebersihan diri, berdiri dan jongkok di toilet,
mengontrol BAK (buang air kecil), mengontrol BAB (buang air besar),
berjalan di lantai datar, naik dan turun tangga, beribadah, melakukan
pekerjaan rumah, berbelanja, mengelola keuangan, menggunakan
transportasi, menyiapkan obat, mengambil keputusan dan beraktivitas di
waktu luang. Kuesioner ini menggunakan skala Gutman yang terdiri dari
dua kategori jawaban yaitu Ya dan Tidak. Untuk jawaban Ya (skor 1) dan
Tidak bernilai (Skor 0), sehingga pengkategorian Kemandirian dalam
aktivitas dikatakan tertinggi 14 dan nilai terendah 0. Kategori
kemandirian dalam aktivitas kehidupan adalah ketergantungan dengan
nilai 0-6 dan mandiri dengan nilai 7-14

G. Alat dan Prosedur Pengumpulan Data


25

1. Alat Pengumpulan Data


a. Alat pengumpulan data
1) Alat atau aspek pengukuran intensitas nyeri Gout Artritis
2) Alat atau aspek pengukuran kemandirian lansia berupa
pernyataan

b. Uji Validitas dan Realibilitas

Sedangkan variabel tingkat kemandirian lansia didapatkan nilai


Alpha Cronbach (α) sebesar 0,906. Dari kedua hasil uji reliabilitas
tersebut dapat dinyatakan bahwa kedua kuesioner tersebut reliabel
dan dapat digunakan karena nilai Alpha Cronbach (α) > 0,60.

2. Prosedur Pengumpulan Data


1). Jenis Data

Data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif, yang diperoleh menggunakan

observasi dan kuesioner mengenai intensitas nyeri dengan kemandirian lansia

yang mengalami Gout Artritis di Puskesmas Bies Aceh Tengah.

2). Sumber Data

a. Data Primer

Sumber data primer diperoleh dari hasil menggunakan pengamatan dan kuesioner

oleh peneliti mengenai intensitas nyeri dengan kemandirian lansia yang

mengalami Gout Artritis

a. Data Sekunder

Sumber data sekunder di peroleh dari Puskesmas Bies Aceh Tengah berdasarkan

hasil pencacatan dan pelaporan tentang ada kunjungan pasien Gout Artritis

3). Cara Pengumpulan Data


26

Peneliti melakukan pengumpulan data secara mandiri dengan observasi


mengenai intensitas nyeri menggunakan VAS dan wawancara kepada responden
dengan kemandirian Gout Artritis menggunakan kuesioner yang telah disiapkam
sesuai tujuan penelitian.

H. Etika Penelitian

Setiap penelitian yang menggunakna subjek manusia harus tidak bertentangan


dengan etika. Sebelum melakukan penelitian peneliti akan mempertimbangkan
prinsip dalam etika penelitian meliputi autonominity (hak untuk menjadi
responden), anominity (tanpa nama), confidentiality (kerahasiaan), beneficience,
(Polit & Hugles, 2012).

1. Informed consent (Lembar Persetujuan) yaitu sebelum pelaksanaan penelitian


ini, responden akan diberikan penjelasan mengenai manfaat, tujuan, dan resiko
penelitian. Jika reponden bersedia menjadi responden maka harus
menandatangani surat persetujuan menjadi responden.
2. Anominity (tanpa nama) yaitu peneliti tidak mencantumkan nama responden
pada lembar pengumpulan data, hanya menuliskan nama dengan menyebutkan
huruf depan saja pada lembar observasi.
3. Confidentiality (kerahasiaan) yaitu kerahasiaan informasi yang telah
dikumpulkan dijamin oleh peneliti, hanya kelompok tertentu yang dilaporkan
pada hasil riset.
4. Beneficience yaitu tindakan yang diberikan tidak akan membahayakan nyawa
pasien.
5. Veracity yaitu prinsip veracity atau kejujuran menekankan peneliti untuk
menyampaikan informasi yang benar dan tidak melakukan kebohongan kepada
responden. Pada penelitian ini semua responden diberitahu bahwa responden
adalah subjek penelitian.
6. Non maleficence yaitu prinsip ini menekankan peneliti untuk tidak melakukan
tindakan yang menimbulkan bahaya bagi responden. Responden dibuat bebas
dari rasa tidak nyaman. Penelitian ini menggunakan prosedur yang tidak
menimbulkan bahaya bagi pasien.
27

I. Pengolahan dan Analisa Data


1. Pengolahan Data
Menurut Notoadmojo (2012) ada beberapa langkah yang dilakukan dalam
pengolahan data yaitu sebagai berikut:
a. Editing
Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah
terkumpul. Sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit terlebih
dahulu, sehingga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
mengedit data yaitu kelengkapan, kejelasan dan kesempurnaan data,
dalam pengertian bahwa semua pertanyaan atau pernyataan harus
terjawab atau terisi dan jelas. Data hasil pengisian responden sebelum
diolah,dilakukan pengecekan terlebih dahulu kelengkapan karakteristik
dan setiap pernyataan pada instrumen, kemudian data dimasukan
kedalam perangkat komputer (Microsoft excel) untuk diolah
menggunakan sistem komputer.
b. Coding
Coding adalah pemberian kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk
dalam kategori yang sama. Data yang dikumpulkan dapat berupa
angka atau kalimat, untuk memudahkan pengolahan jawaban tersebut
perlu diberi kode.
c. Entry
Data yang sudah melewati tahap proses pengkodean dan sudah terisi
secara lengkap, kemudian dilakukan pemrosesan data dengan
memasukan data ke program komputer sesuai dengan variable masing-
masing secara teliti untuk meminimalkan kesalahan. Data dimasukan
kedalam perangkat lunak komputer.
d. Cleaning
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan kembali data yang sudah di
masukan untuk melihat ada tidaknya kesalahan pemasukan data, dan
selanjutnya dilakukan tabulasi data yaitu mengelompokan data
kedalam tabel menurut kategorinya, sehingga data siap dilakukan
analisis baik secara univariat maupun bivariat.
28

2.Analisa Data

a. Analisa Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian.Pada umumnya dalam analisis ini
hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase tiap variabel
(Notoatmodjo, 2010).
b. Analisa Bivariat
Analisis bivariat dilakukan bertahap 2 variabel (Suyanto, 2011).Teknik
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji Spearman Rank
Correlation. Analisa ini bertujuan untuk menguji perbedaan proporsi dua
atau lebih kelompok sampel, sehingga diketahui ada atau tidaknya
hubungan yang bermakna secara statistik. 46 Derajat kepercayaan yang
digunakan adalah 95% dengan α 5% sehingga jika nilai P (p value) < 0,05
berarti terdapat hubungan bermakna (signifikan) antara variabel yang
diteliti. Jika nilai P > 0,05 berarti tidak ada hubungan bermakna antara
variabel yang diteliti (Notoatmodjo, 2005)

Anda mungkin juga menyukai