Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH

PENGARUH TERAPI BACK MASSAGE UNTUK MENURUNKAN


INTENSITAS NYERI PUNGGUNG PADA PENDERITA ATRHITIS
REUMATHOID

Dosen Pengampu : Sholihul Huda, M,N,S

Disusun:
1. Khoirul Azis Firmansyah (2017011955)
2. Ririn Dian Sutrisni (2017011964)
3. Umma Achsanul K. (2017011975)

STIKES CEENDEKIA UTAMA KUDUS


TAHUN AJAR 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat, kurnia dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “PENGARUH TERAPI BACK MASSAGE UNTUK
MENURUNKAN INTENSITAS NYERI  PUNGGUNG PADA PENDERITA
ATRHITIS REUMATHOID” guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik
ini dengan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu penulis mohon maaf dan selalu terbuka untuk kritik dan saran dari pembaca,
guna penulisan yang lebih baik di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat berguna,
tidak hanya bagi penulis, tetapi untuk semua yang membacanya.

Kudus, 09 November 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang eptici sering terjadi
seluruh dunia. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2015
sebanyak 165 juta jiwa di dunia menderita penyakit rheumatoid arthritis
dengan prevalensi antara 0,3- 0,5% (Zamroni, 2016 dalam Andriyani 2018).
Sedangkan menurut WHO (2016) mencatat penyakit rheumatoid arthritis di
dunia dari 2.130 juta populasi telah mencapai angka 355 juta, yang berarti 1
dari 6 jiwa didiagnosis rheumatoid arthritis. Angka ini diprediksi akan terus
meningkat sampai tahun 2025 dengan kejadian 25% mengalami kelumpuhan
(Andriyani,2018)
Di Indonesia prevalensi penyakit rheumatoid arthritis berkisar antara
0,2- 0,5% (Bawarodi, Rottie, & Malara, 2017 dalam Andriyani 2018).
Menurut hasil badan penelitian dan pengembangan kesehatan RI 2013, dari
diagnosis nakes menunjukkan prevalensi kejadian rheumatoid arthritis di
Indonesia sejumlah 11,9% sedangkan prevalensi berdasarkan hasil
wawancara sejumlah 24,7% pada tahun 2013. Di Jawa Tengah prevalensi
kejadian rheumatoid arthritis sebesar 11,2 % (Kementerian Kesehatan RI,
2013 dalam Andriyani 2018)
Seorang lansia merupakan orang yang sudah menginjak umur diatas 65
tahun ke atas. Lansia bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan
tahap lanjut dari kehidupan manusia yang ditandai dengan menurunnya fungsi
tubuh untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan (Efendy, 2015). Usia
lanjut usia dapat dikatakan sebagai usia emas karena tidak semua orang bisa
mencapai tahap ini (Maryam, 2018).
Indonesia merupakan negraka ke-4 dengan jumlah penduduk terbesar di
Dunia dengan jumlah penduduk mencapai 246,9 juta jiwa pada tahun 2012.
Indonesia termasuk negara berstruktur tua karena memiliki jumlah penduduk
lansia mencapai 7,56% (18,7 juta jiwa) di tahun 2012. Berdasarkan jenis
kelamin jumlah penduduk lansia laki-laki mencapai 6,9% dan penduduk
lansia perempuan mencapai 8,2% di tahun 2012 (Pusat data dan Informasi
Kementrian kesehatan RI 2013).
Ketika memasuki masa lansia, seseorang akan mengalami perubahan
fisiologis. Perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia bukan merupakan
proses patologis, melainkan proses secara alami. Perubahan ini pada setiap
orang tidaklah sama dan tergantung dari keadaan dalam kehidupan seseorang.
Proses Perubahan Fisiologis pada lansia dapat menyebabkan gangguan
kesehatan (Potter dan Perry, 2015).
Nyeri sendi merupakan salah satu masalah kesehatan yang dialami
lansia. Menurut Pusat data dan Informasi Kementrian kesehatan RI tahun
2013 menjelaskan bahwa keluhan kesehatan paling tinggi pada lansia salah
satunya adalah nyeri sendi akibat asam urat. Kadar asam urat yang tinggi
bisa masuk ke dalam organ tubuh salah satunya adalah sendi yang bisa
menyebabkan terjadinya nyeri sendi (Kertia, 2016).

B. Tujuan
I. Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui konsep Nyeri.
II. Tujuan Khusus
1. Menjelaskan tentang pengertian Nyeri pada ATRHITIS
REUMATHOID” .
2. Menjelaskan tentang Klasifikasi Nyeri.
3. Agar lebih memahami tentang Konsep Nyeri.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A.  Definisi
Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit autoimun yang
mengenai jaringan persendian, dan sering juga melibatkan organ tubuh
lainnya yang di tandai dengan terdapatnya sinovitis erosif sistemik (Sekar,
2011). Insiden puncak antara usia 40-60 tahun, lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria (Muttaqin, 2018). American College of
Rheumatology (2012) menyatakan bahwa, Rheumatoid Arthritis adalah
penyakit kronis (jangka panjang) yang menyebabkan nyeri, kekakuan,
pembengkakan serta keterbatasan gerak dan fungsi banyak sendi.
Artritis pasca trauma, ini dapat diikuti cedera lutut yang serius.
Patah tulang di lutut atau di ligamen lutut mungkin merusak articular
kartilago, hal ini menyebabkan nyeri lutut dan fungsi lutut menurun (AAOS,
2015).

B. Klasifikasi
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe,
yaitu:
a) Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
b) Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
c) Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
d) Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 3 bulan.

C. Etiologi
Penyebab Rheumatoid Arthritis belum diketahui dengan pasti.
Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara
faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2019).
a) Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini
memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana,
2019). Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari
Placental Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidro
b) piandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis
estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada respon
imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada
RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron
mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini
(Suarjana, 2019).
c) Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk
semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga
muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2019).
d) Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok dan aktifitas
yang berat sehari-harinya (Longo, 2012).

D. Faktor Resiko

Faktor resiko dalam terjadinya RA antara lain jenis kelamin


perempuan, ada riwayat keluarga atau keturunan yang menderita RA, umur
lebih tua, paparan salisilat dan merokok serta aktifitas yang berat sehari-
hari(Suarjana, 2019).
E. Patofisiologi
RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang
sendi. Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi
mulai terjadi dari Poliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit
menginiltrasi daerah perivaskular dan terjadi poliferasi sel-sel endotel
kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat
mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya
pannus akibat terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial
yang mengalami inflamasi. Pannus kemudian menginvasi dan merusak
rawan sendi dan tulang Respon imunologi melibatkan peran sitokin,
interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan
destruksi sendi dan komplikasi sistemik (Surjana, 2019).

F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis utama rheumatoid arthritis adalah poliarthritis yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang
sekitarnya. Kerusakan ini mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki.
Gejala rheumatoid arthritis tidak bermanifestasi dengan jelas (Sekar T.R,
2011).
Menurut American Rheumatoid Arhritis (ARA) (2012) kriteria
rheumatoid arthritis adalah:Kaku pagi hari, arthritis pada persendian tangan,
faktor rheumatoid serum positif, perubahan gambaran radiologis

G. Komplikasi

 Cervical myelopathy
Kondisi ini terjadi ketika rheumatoid arthritis menyerang sendi tulang
leher dan mengganggu saraf tulang belakang.
 Carpal tunnel syndrome
Kondisi ini terjadi ketika rheumatoid arthritis menyerang sendi
pergelangan tangan, sehingga menekan saraf di sekitarnya.
 Sindrom Sjogren
Kondisi ini terjadi saat sistem kekebalan tubuh menyerang kelenjar air
mata dan ludah, sehingga menimbulkan keluhan mata kering dan mulut
kering.
 Limfoma
Limfoma merupakan sejenis kanker darah yang tumbuh pada sistem
getah bening.
 Penyakit jantung
Kondisi ini dapat terjadi bila sistem kekebalan tubuh menimbulkan
peradangan di pembuluh darah jantung.

H. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Nyeri

a. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia. Anak yang masih kecil
mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan
perawat yang menyebabkan nyeri.Anak-anak kecil yang belum dapat
mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan untuk mengucapkan
secara verbal dan mengekspresikan nyeri pada orang tua atau petugas
kesehatan.Secara kognitif, anak-anak todler dan pra sekolah tidak
mampu mengingat penjelasan tentang nyeri atau mengasosiakan nyeri
sebagai pengalaman yang terjadi di berbagai situasi. Dengan memikirkan
pertimbangan perkembangan ini perawat harus mengadaptasi pendekatan
yang dilakukan dalam upaya mencari cara untuk mengkaji nyeri yang
dirasakan anak-anak.
Pada lansia yang mengalami nyeri, perlu dialkukan pengkajian,
diagnosis dan penatalaksaan secara agresif.Namun, lansia memiliki
resiko tinggi mengalami situasi-situasi yang membuat mereka merasakan
nyeri. Kemampuan klien lansia untuk menginterpretasi nyeri dapat
mengalami komplikaasi dengan keberadaan berbagai penyakit disertai
gejala samar-samar yang mungkin mengenai bagian tubuh yang sama.
Apabila klien lansia ini memiliki sumber nyeri lebih dari satu maka
perawat harus mengumpulakan pengkajian yang rinci.
b. Jenis kelamin
Secara umum, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam
merespon nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis
kelamin misalnya seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh
menangis sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang
sama. Toleransi nyeri, sejak lama sudah menjadi subjek penelitian yang
melibatkan pria dan wanita.
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa
yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana
individu bereaksi terhadap nyeri.Ada perbedaan makna dan sikap yang
dikaitkan dengan nyeri di berbagai kelompok budaya. Suatu pemahaman
tentang nyeri dari segi makna budaya akan membantu perawat dalam
merancang asuhan keperawatan yang relevan untuk klien.
d. Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini
juga dikaitkan dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu
akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan hukuman dan
tantangan. Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien
berhubungan dengan makna nyeri.
b. Perhatian
Fokus perhatian klien pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi
nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan respon
nyeri yang menurun. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi
klien pada stimulus yang lain, maka perawat menempatkan nyeri pada
kesadaran yang perifer. Biasanya, hal ini meyebabkan toleransi nyeri
individu yang meningkat khususnya terhadap nyeri yang berlebihan
hanya selama waktu pengaihan.
c. Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas.Individu yang sehat secara
emosional biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri sedang hingga berat
darpada individu yang memiliki status emosional yang kurang
stabil.Apabila rasa cemas tidak memdapat perhatian di dalam suatu
lingkungan berteknologi tinggi, maka rasa cemas tersebut dapat
menimbulkan masalah penatalaksaan nyeri yang serius.Nyeri yang tidak
kunjung hilang seringkali menyebabkan psikosis dan gangguan
kepribadian.
d. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri.Rasa kelelahan
menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping.Hal ini dapat menjadi masalah utama pada setiap
individu yang menderita penyakit dalam jangka lama.Apabila keletihan
disertai kesulitan tidur maka persepsi nyeri dapat terasa lebih berat lagi.
e. Pengalaman Sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu
tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan
datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami seangkaian
episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang
berat.Maka ansietas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya apabila
individu mengalami nyeri dengan jenis yang sama berulang-ulang,
kemudia nyeri tersebut akan berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi
individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri sehingga klien
akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan
untuk menghilangkan nyeri.
f. Gaya koping
Gaya koping mempengaruhi kemampuan individu untuk
mengatasi nyeri.Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik
sebagian maupun keseluruhan. Klien seringkali menemukan berbagai
cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis
nyeri. Penting untuk memahami sumber-sumber koping selama klien
mengalami nyeri.Sumber-sumber seperti berkomunikasi dengan keluarga
pendukung, melakukan latihan, atau menyanyi dapat digunakan dalam
rencana asuhan keperawatan dalam upaya mendukung klien dan
mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu.
g. Dukungan Keluarga dan Sosial
Faktor yang bermakna dalam mempengaruhi respons nyeri adalah
kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka
terhadap klien.Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung
kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan,
bantuan atau perlindungan.Apabila tidak ada keluarga atau teman,
seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan. Kehadiran
orang tua sangat penting bagi anak-anak yang sedang mengalami nyeri.

I. Karakteristik Nyeri

Karakteristik nyeri termasuk letak (dimana nyeri pada berbagai organ


mungkin merupakan alih), durasi (meliputi menit, jam, hari, bulan, dsb),
irama (misalnya terus-menerus, hilang dan timbul, periode bertambah dan
berkurangnya intensitas atau keberadaan nyeri) dan kualitas (misalnya nyeri
seperti ditusuk, seperti dibakar, sakit, nyeri seperti digencet).
Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik:

Karakteristik Nyeri akut Nyeri kronik


Tujuan Memperingatkan adanya Tidak ada
cidera atau masalah

Awitan Mendadak Terus-menerus dan


intermiten

Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat

Durasi < 6 bulan > 6 bulan

Respon Otonom a. Konsisten dengan Tidak ada respon otonom


respons stres simpatis
b. Frekuensi jantung
meningkat
c. Volume sekuncup
meningkat
d. Tekanan darah
meningkat
e. Dilatasi pupil
meningkat
f. Tegangan otot
meningkat
g. Motilitas
gastrointestinal
menurun
h. Aliran saliva menurun

Komponen Psikologis Cemas Depresi, mudah marah,


dan Respons lainnya menarik diri, tidur
terganggu, libido
menurun, nafsu makan
menurun
Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, arthritis

J. Fungsi Tubuh Terganggu Karena Nyeri Pada Lansia


Lansia dapat merasakan sakit sebagai bagian dari proses penuaan,
mengalami penurunan sensasi atau persepsi rasa sakit, Kelesuan, anoreksia,
dan kelelahan dapat menjadi indikator rasa sakit. Lansia akan menahan
keluhan sakit karena takut pengobatan, dapat menjelaskan rasa sakit dengan
cara yang berbeda dari gatal, nyeri, atau tidak nyaman. Lansia dapat
mengakui atau menunjukkan bahwa rasa sakit adalah sesuatu yang tidak
dapat diterima.
Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan ikat pada jaringan
penghubung perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan penuaan. Hal
ini menyebabkan penurunan fleksibilitas dalam kebangkitan, orang tua
memberi kepada dampak nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan
kekakuan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, dan
berjalan, dan hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari mereka.
Tulang rawan,tulang rawan pada persendian menjadi lunak dan memiliki
granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Perubahan ini sering
terjadi dalam tubuh leverage baret besarsensi. Sebagai hasil dari perubahan
itu mudah untuk menjadi sendi meradang, kekakuan, nyeri, gerak terbatas,
dan gangguan aktivitas sehari-hari. Tulang, jaringan kehilangan dan ukuran
tulang secara keseluruhan menyebabkan kekuatan dan kekakuan tulang
menurun, efeknya adalah osteoporosis yang menyebabkan rasa sakit, cacat,
dan patah tulang. Sendi kehilangan fleksibilitas sehingga penurunan luas
dalam gerakan bersama. Beberapa kelainanyang terjadi pada lansia sensi
meliputi osteoartritis, artritis reumatid, gout, dan pseudogout yang
menyebabkan gangguan dalam bentuk pembengkakan kekakuan,,nyeri sendi,
keterbatasan luas gerak sendi, gangguan jalan.
K. Pengkajian Nyeri dengan Teknik PQRST
a. P (Provoking Incident)
Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab nyeri.
Apakah nyeri berkurang apabila beristirahat, apakah nyeri bertambah
berat bila beraktivitas (aggravation), faktor–faktor yang dapat
menyebabkan nyeri (misalnya gerakan, kurang bergerak, pengerahan
tenaga, istirahat, obat – obat bebas, dsb), dan apa yang dipercaya klien
dapat membantu mengatasi nyerinya.
b. Q (Quality or Quantity of Pain)
Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien,
apakah seperti terbakar, berdenyut, tajam atau menusuk.
c. R (Region, Radiation,Relief)
Dimana lokasi nyeri harus ditunjukkan dengan tepat oleh klien,
apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar,
dan dimana rasa sakit terjadi. Tekanan pada saraf atau akar sraf akan
memberikan di dalam nyeri yang disebut radiating pain misalnya pada
skiatika dimana nyeri menjalar mulai dari bokong sampai anggota gerak
bawah sesuai dengan distribusi saraf. Nyeri lain yang disebut nyeri
kiriman atau referred pain adalah nyeri pada suatu tempat yang
sebenarnya akibat kelainan dari tempat lain misalnya nyeri lutut akibat
kelainan pada sendi punggung.
d. S (Severity/Scale of Pain)
Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien bisa berdasarkan
skala nyeri deskriptif (tidak ada nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri
berat, nyeri tak tertahankan) dan klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit memperngaruhi kemampuan fungsinya terhadap aktifitas kehidupan
sehari–hari (misalnya tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan
orang lain, gerakan fisik, bekerja, dan aktifitas – aktifitas santai).Nyeri
akut sering berkaitan dengan cemas dan nyeri kronis dengan depresi.
e. T (Time)
Berapa lama nyeri berlangsung (bersifat akut atau kronis), kapan,
apakah ada waktu – waktu tertentu yang menambah rasa nyeri. Lansia
merupakan tahapan akhir dalam kehidupan manusia (Budi Anna Keliat,
1999 dalam R.Siti Maryam dkk, 2008). Menurut UU no 13 Tahun 1998
tentang kesejahteraan lansia, lansia adalah seseorang yang memiliki usia
lebih dari 60 tahun. Menurut WHO, terdapat 3 kategori lansia yaitu
elderly (seseorang yang memiliki usia 60-74 tahun), old (seseorang yang
memiliki usia 75-89 tahun).
Pengkajian nyeri yang perlu dilakukan pada lansia adalah Riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik, dengan berfokus pada bagian yang
mengalami nyeri, Review lokasi nyeri, intensitas nyeri, dan faktir yang
meringankan atau memperberat nyeri dan efek nyeri terhadap mood atau
tidur, Pengkajian fungsi kognitif, Pengkajian ADL pasien, pengkajian
keseimbangan dan gaya berjalan.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Penelitian
Journal “Efektivitas Pijat Punggung Terhadap Intensitas Nyeri
Rematik Sedang Pada Wanita Lanjut Usia Di Desa Karyawangi
Kabupaten Bandung Barat” ditulis oleh Siahaan, dkk, 2017.
Dari penelitian yang dilakukan oleh siahaan.dkk, 2012 Rematik
merupakan masalah persendian yang menimbulkan rasa nyeri baik
wanita maupun laki-laki dan sering terjadi pada orang tua dibandingkan
pada usia muda. Penanganan yang tepat untuk menangani rematik secara
nonfarmakologis salah satunya adalah pijat punggung. Pijat punggung
dapat menurunkan rasa nyeri, hal ini disebabkan pijat punggung
menghasilkan pelepasan endorphin serta menstimulasi serabut saraf
sensorik delta –A dan serabut C sehingga menurunkan impuls nyeri.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas pijat punggung
terhadap intensitas skala nyeri sedang pada wanita lanjut usia .Penelitian
ini merupakan penelitian eksperimen dengan one group pretest-posttest
designt. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 17 orang sesuai dengan
kriteria penelitian. Penelitian dilakukan dengan metode mengusap
pungung dan bahu secara perlahan selama 30 menit dan dilakukan
selama 2 hari berturut-turut. Hasil uji statistik pada pijat punggung
menunjukkan bahwa terhitung (8,641) > ttabel (2,120) dengan taraf
kepercayaan 95% α = 0,05. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
terdapat penurunan yang signifikan terhadap penurunan skala nyeri
rematik pada wanita lanjut usia .
ANALISA JURNAL

KOMPONEN HASIL ANALISA


Judul Asli EFFECTIVENESS OF MASSAGE INTENSITY OF PAIN
RHEUMATIC BACK OFTEN IN
ELDERLY WOMAN IN THE VILLAGE OF WEST
BANDUNG REGENCY KARYAWANGI
Judul EFEKTIVITAS PIJAT PUNGGUNG TERHADAP
INTENSITAS
NYERI REMATIK SEDANG PADA WANITA LANJUT USIA
DI
DESA KARYAWANGI KABUPATEN BANDUNG BARAT
Pengarang Pera Siahaan,Nurhayati Siagian, Yunus Elon

Publikasi Januari – juni 2017

Tempat Desa karyawangi kabupaten Bandung Barat


Kata kunci Pijat punggung, nyeri rematik, lanjut usia
Masalah Efektifitas pijat punggung terhadap intensitas nyeri sedang
Penelitian
Tujuan Untuk mngetahui efek pemberian pijat punggung terhadap
Penelitian skala nyeri rematik

Desain Penelitian eksperimen dengan one group pretest-posttest


Penelitian designt
Kelebihan - Isi jurnal mudah dipahami
- Bahasa yang digunakan dapat dipahami
- Jurnal ber-ISSN

Kekurangan - Desain penelitian tidak di tampilkan di jurnal


- Di dalam jurnal Tidak di jelaskan cara pijat sesuai sop
BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Pemberian asuhan keperawatan kepada lansia memanglah tidak
mudah. Kita harus mampu mengkaji kondisi lansia secara komprehensif.
Sehingga setiap detail kondisi pada lansia dapat kita temukan terdapatnya
masalah atau tidak.
Atrhitis remathoid merupakan suatu penyakit autoimun yang
menyerang persendian dan menyebabkan inflamasi yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri dan dapat menyebabkan kerusakan sendi yang
berakibat pada disabilitas tubuh. Nyeri yang ditimbulkan dari arthritis
reumatik dapat dikurangi dengan terapi back massage.
Penelitian kristanto didukung oleh penelitian peera siahaan
“Efektivitas Pijat Punggung Terhadap Intensitas Nyeri Rematik Sedang
Pada Wanita Lanjut Usia Di Desa Karyawangi Kabupaten Bandung
Barat” yang juga menyebutkan hal sama bahwa terapi back massage
dapat dilakukan selama 30 menit selama 2 hari berturut-turut.

B.     SARAN
Terapi non farmakologis back massage dapat membantu
mengurangi  rasa nyeri pada penderita arthritis reumatik. Terapi back
massage dapat dilakukan dengan cara menggogok  secara halus dari
dalam keluar selama 30 menit dilakukan 2 hari berturut-turut. Terapi ini
sangat membantu mengurangi rasa nyeri serta tidak menimbulkan banyak
efek samping pada tubuh dan dapat dilakukan setiap orang.

DAFTAR PUSTAKA
1.  Kristanto T, Malia A.2012. Pengaruh Terapi Back Massage Terhadap
Intensitas Nyeri Reumatik Pada Lansia Di Wilayah Puskesmas
Pembantu Karang Asem.Surakarta.
2.  Wibowo D A, Zen D N, Agustina Y.2019.Pengaruh Terapi Back Massage
Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri Pada Penderita Rheumatoid Arthitis
di Desa Raja Desa Kecamatan Raja Desa Kabupaten Ciamis Tahun
2018 Volume 1 No 1.
3.    Siahaan P, Siaginan N, Elon Y.2017. Efektivitas Pijat Punggung
Terhadap Intensitas Nyeri Rematik Sedang Pada Wanita Lanjut Usia Di
Desa Karyawangi Kabupaten Bandung Barat Vol.3 No.1.Bandung.
4.      Hidayah N, Nisak R..2018. Buku Ajar Terapi Komplementer Untuk
Mahasiswa Keperawatan (Efidence Based Practice). Yogjakarta :
Samudra Biru.
5.  Mawarni T, Destiyadi. 2018.Pengaruh Pemberian Stimulus Kutaneus
Slow Stoke Back Massage (SSBM) Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri
Rematik Pada Lansia Di Pantai Sosial Tahun 2018 Caring Nursing
Jornal Volume 2 No 2. Banjarmasin
6.    Andriyani N A.2018.Gambaran Factor Predisposisi Dan Presipitasi
Kejadian Rheumatoid Athritis Pada Individu Yang Hidup Di
Komunitas.Karya Tulis Ilmiah

Anda mungkin juga menyukai