Anda di halaman 1dari 17

MANAJEMEN GANGGUAN

MUSKULOSKELETAL

Oleh :

Marseyla undeng

15061198

FAKULTAS KEPERWATAN

UNIVERSITAS KATOLIK DELASALLE

MANADO
1. Latar Belakang

Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno yaitu mnagement, yang memiliki
arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan
diterima secara universal. Kata manajemen mungkin berasal dari bahasa Italia (1561) yaitu
maneggiare yang berarti mengendalikan, terutamanya mengendalikan kuda yang berasal dari
bahasa latin manus yang berati tangan. Kata ini mendapat pengaruh dari bahasa Perancis
mange yang berarti kepemilikan kuda (yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti seni
mengendalikan kuda), dimana istilah Inggris ini juga berasal dari bahasa Italia. Manajemen
adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu
kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata
(Robbins dan Coulter ,2002). Manajemen adalah Suatu keadaan terdiri dari proses yang
ditunjukkan oleh garis (line) mengarah kepada proses perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan, dan pengendalian, yang mana keempat proses tersebut saling mempunyai fungsi
masing-masing untuk mencapai suatu tujuan organisasi.

Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat di
dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan
untuk mencapai tujuan. Fungsi manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang industrialis
Perancis bernama Henry Fayol pada awal abad ke-20. Ketika itu, ia menyebutkan lima fungsi
manajemen, yaitu merancang,mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan mengendalikan.

Prevalensi penyakit muskuloskeletal pada lansia dengan rheumatoid arthritis mengalami


peningkatan mencapai 335 juta jiwa di dunia. Rheumatoid arthritis telah berkembang dan
menyerang 2,5 juta warga eropa, sekitar 75 % diantaranya adalah wanita dan kemungkinan dapat
mengurangi harapan hidup mereka hampir 10 tahun. Di amerika serikat, penyakit ini menempati
urutan pertama, dimana penduduk AS dengan Rheumatoid arthritis 12,1 % yang berusia 27-75
tahun memiliki kecacatan pada lutut, panggul dan tangan, sedangkan di inggris sekitar 25 %
populasi yang berusia 55 tahun keatas menderita Rheumatoid arthritis pada lutut.
2. Manfaat

Dengan tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis tentang


manajemen Gangguan pada muskuloskeletal

3. Analisis literature
Menurut penelitian Breedveld (2003) Penderita rheumatoid arthritis di seluruh dunia
mencapai angka 355 juta jiwa di tahun 2009, artinya 1 dari 6 orang di dunia ini menderita
rheumatoid arthritis
Menurut Golden et all (2002) Penderita penyakit kronik seperti rheumatoid arthritis
mengalami berbagai macam gejala yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup
mereka. Banyak usaha yang dilakukan agar pasien dengan rheumatoid arthritis dapat
merasa lebih baik dan dapat memperbaiki kualitas hidup mereka. Gangguan yang terjadi
pada pasien rheumatoid arthritis lebih besar kemungkinannya untuk terjadi pada suatu
waktu tertentu dalam kehidupan pasien. Kebanyakan penyakit rheumatoid arthritis
berlangsung kronis yaitu sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga
menyebabkan kerusakan sendi secara menetap. Rheumatoid arthritis dapat mengancam
jiwa pasien atau hanya menimbulkan gangguan kenyamanan
Menurut Wendy Green (2010), Artritis adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan inflamasi atau peradangan sendi.Kata ini berasal dari bahasa yunani arthros
yang artinya sendi dan itis, yang artinya inflamasi.) Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi
kronis, destruktif, dimana sistem imun menyerang lapisan sendi dan bagian dari luar tubuh,
termasuk tendon, ligamen dan tulang. Penyakit ini cenderung kambuh, biasanya tanpa alasan
yang jelas, dan lalu sembuh sendiri kadang-kadang selama satu bulan atau bahkan setahun.
Artritis reumatoid(AR) adalah gangguan kronis, inflamasi sistemik yang dapat mempengaruhi
banyak jaringan dan organ, tetapi terutama menyerang fleksibel (sinovial) sendi. Proses ini
melibatkan suatu respon inflamasi dari kapsul sekitar sendi (sinovium) sekunder pembengkakan
(hiperplasi) sel sinovial, cairan sinovial berlebih, dan pengembangan jaringan fibrosa (pannus) di
sinovium.
Menurut dr.iskandar junaidi (2013) RA merupakan penyakit autoimun (penyakit yang
terjadi pada saat tubuh diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan
peradangan dalam waktu lama pada sendi.Penyakit ini menyerang persendian, biasanya
mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur-
struktur sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang. Arthritis rheumatoid ( AR ) adalah suatu
penyakit sistematik yang beersifat progresif, yang cenderung menjadi kronis dan menyerang
sendi serta jaringan lunak.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes) Depkes, dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama tahun 2006 menunjukkan
angka kejadian gangguan nyeri muskuloskeletal yang menggangu aktifitas, merupakan
gangguan yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagian responden. Dari 1.645
responden laki-laki dan perempuan yang diteliti, peneliti menjelaskan sebanyak 66,9%
diantaranya pernah mengalami nyeri sendi. Penyakit ini cenderung diderita oleh wanita
(tiga kali lebih sering dibanding pria). Hal ini dapat diakibatkan oleh stres, merokok, faktor
lingkungan dan dapat pula terjadi pada anak karena faktor keturunan .
A. Rheumatoid arthritis

a. Definisi

Rheumatoid arthritis (RA) atau artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan
inflamasi kronik, yang di tandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan
sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur. Artritis reumatoid
kerap dikaitkan dengan kelainan hipersensitivitas tipe III. Hal ini dikarenakan dalam
pemeriksaanya kerap ditemukan adanya kompleks imunoglobulin G yang berada pada cairan
sendi yang menyebabkan terjadinya inflamasi. Pasien mengalami nyeri kronis serta peningkatan
disabilitas, yang bila tidak diobati, dapat menurunkan angka harapan hidup.

b. Prevalensi

Prevalensi penyakit muskuloskeletal pada lansia dengan artritis reumatoid mengalami


peningkatan mencapai 335 juta jiwa di dunia. Artritis reumatoid telah berkembang dan
menyerang 2,5 juta warga eropa, sekitar 75 % diantaranya adalah wanita dan kemungkinan dapat
mengurangi harapan hidup mereka hampir 10 tahun. Di amerika serikat, penyakit ini menempati
urutan pertama, dimana penduduk AS dengan artritis reumatoid 12,1 % yang berusia 27-75 tahun
memiliki kecacatan pada lutut, panggul dan tangan, sedangkan di inggris sekitar 25 % populasi
yang berusia 55 tahun keatas menderita artritis reumatoid pada lutut.

Di indonesia, data epidemiologi tentang penyakit RA masih sangat terbatas. Menurut


survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2004, penduduk dengan keluhan sendi sebanyak
2%. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FKUI), badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan (Balitbangkes)
Depkes dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama 2006 menunjukan angka kejadian gangguan
nyeri muskuloskeletal yang mengganggu aktifitas, merupakan gangguan yang sering dialami
dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar responden. Perjalanan RA bervariasi, tergantung dari
kepatuhan penderita berobat dalam jangka waktu yang lama.
Sekitar 50-70 % penderita dengan RA akan mengalami remisi dalam 3 sampai 5 tahun
dan selebihnya akan mengalami prognosis yang lebih buruk dan umumnya akan mengalami
kematian lebih cepat 10 15 tahun daripada penderita tanpa RA. Keadaan penderita akan lebih
buruk apabila lebih dari 30 buah sendi mengalami perandangan dan sebagian besar penderita
akan mengalami RA sepanjang hidupnya. Sekitar 80-85% penderita RA mempunyai
autoantibodi yang dikenal dengan nama Rheumatoid faktor dalam serumnya dan menunjukkan
RF positif. Faktor ini merupakan suatu faktor anti-gammaglobulin. Kadar RF yang sangat tinggi
menandakan prognosis buruk dengan kelainan sendi yang berat.

Dengan bertambahnya umur, penyakit ini meningkat baik wanita maupun laki-laki.
Puncak kejadian umur 24-45 tahun dan penyakit Rheumatoid arthritis ini sering di jumpai pada
usia diatas 60 tahun dan jarang di jumpai pada usia dibawah 40 tahun. Prevalensi lebih tinggi
pada wanita dibandingkan laki-laki, lebih dari 75 % penderita RA adalah wanita. Artritis
reumatoid terungkap sebagai keluhan atau tanda dengan keluhan utama sistem muskuloskeletal
yaitu nyeri, kekakuan, dan spasme otot serta adanya tanda utama yaitu pembengkakan sendi,
kelemahan otot, dan gangguan gerak. Jika tidak segera ditangani artritis reumatoid bisa membuat
anggota tubuh berfungsi tidak normal, sendi akan menjadi kaku, sulit berjalan, bahkan akan
menimbulkan kecacatan seumur hidup, sehingga aktivitas sehari-hari lansia menjadi terbatas.
Selain menurunkan kualitas hidup, artritis reumatoid juga meningkatkan beban sosial ekonomi
bagi para penderita dan tentunya akan menimbulkan masalah untuk keluarga.

Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas masyarakat indonesia yang kian padat dapat
menimbulkan berbagai ketidakmampuan yang diakibatkan oleh bermacam gangguan khusunya
pada penderita artritis reumatoid. Tetapi seiring dengan bertambahnya jumlah penderita artritis
reumatoid di indonesia, justru kesadaran dan salah pengertian tentang penyakit ini masih tinggi.
Banyaknya pandangan masyarakat Indonesia yang menganggap sederhana penyakit ini karena
sifatnya yang dianggap tidak menimbulkan ancaman jiwa, padahal gejala yang ditimbulkan
akibat penyakit ini justru menjadi penghambat yang mengganggu bagi masyarakat untuk
melakukan aktivitas mereka sehari-hari.

c. Patofisiologi
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan perubahan konformasi pada sendi akibat adanya
inflamasi kronis pada persendian tersebut. Inflamasi ini disebabkan karena adanya kelainan pada
sistem imun. RA kerap dihubungkan dengan adanya hipersensitivitas tipe III dan adanya
kelainan autoimun yang memicu teraktivasinya sistem imun secara berlebihan.

1. Patofisiologi Hipersensitivitas tipe III


Secara umum, hipersensitivitas tipe III adalah kelainan sistem imun yang disebabkan
adanya kompleks antibodi (imunoglobulin) yang kemudian menjadi suatu antigen yang
mengaktivasi jalur komplemen. Karena kompleks antibodi ini mengaktivasi jalur komplemen
klasik, maka akan terjadi sekresi protein-protein imun dan sel-sel imun yang kemudian dapat
memicu reaksi inflamasi sehingga dapat melukai sel ataupun bagian dimana kompleks imun
tersebut terbentuk seperti persendian dan glomerulus nefron.
Berbeda dengan hipersensitivitas tipe II, kompleks imun yang terbentuk disebabkan
oleh antigen yang terlarut dalam cairan (plasma, sinovial, dan cairan tubuh lain) sehingga tidak
terjadi kompleks dengan sel tubuh. Hipersensitivitas tipe III ini dipicu oleh berbagai sebab
seperti kelainan autoimun, toxin bakteri, maupun antigen yang terpapar dari luar seperti spora
jamur (Marc, 2009).
Proses yang terjadi adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Pembentukan kompleks imun (Immunopaedia.org, 2010)


Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus yang dapat
memicu pembentukan kompleks dari imunoglobulin tertentu. Beberapa antigen yang dapat
memicu kompleks antibodi adalah antigen dari dalam diri (autoimun) seperti vimetin, fibrin, dll,
kemudian dikatakan adanya infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya alergen seperti spora dari
aspergilus yang menyebabkan terjadinya kompleks antibodi pada paru-paru. Kompleks antibodi
kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat (Marc, 2009).

Gambar 2. Aktivasi jalur komplemen klasik (Immunopaedia.org, 2010)


Adanya timbunan kompleks imun pada jaringan ini menyebabkan teraktivasinya protein
komplemen tipe 1 (C1) yang kemudian memicu teraktivasinya komplemen jalur klasik. Protein
C1 akan menempel pada Fc di kompleks imun tersebut. Protein C1 (terdiri dari C1 q,r,s) akan
membelah protein C4 menjadi C4a dan C4b dimana C4b akan menempel pada kompleks imun
sebagai anafilotoksin yang memacu inflamasi. Selain itu, protein C1 akan membelah protein C2
menjadi protein C2a dan C2b dimana protein C2b akan menempel pada C4b membentuk C3
konvertase yang mengubah C3 menjadi C3a dan C3b. C3b memiliki 2 peran yang pertama
bergabung dengan C3 konvertase membentuk C5 konvertase dan yang kedua menempel pada
permukaan kompleks imun dan berperan sebagai opsonin bagi fagosit. C5 konvertase akan
membelah C5 menjadi C5a sebagai opsonin dan C5b sebagai MAC (membrane attack complex)
bersama dengan protein komplemen lain (C7, C8, dan C9).
Gambar 3.Inflamasi pada sel target (Immunopaedia.org, 2010)
Pada akhirnya, akan terjadi migrasi sel-sel imun seperti netrofil, basofil, dan eosinofil
yang juga melepaskan mediator-mediator inflamasi dan menyebabkan peradangan sendi.

2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Terkait Hipersensitivitas Tipe III


Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang dapat terjadi karena penyebab
internal berupa genetik maupun eksternal berupa antigen-antigen khusus (toksin bakteri dan
rokok). Dari segi genetik, seseorang akan mengalami peningkatan prosentase menderita RA
apabila pada DNA nya terdapat gen HLA-DRB1 yang diekspresikan. Pengekspresian gen ini
akan menyebabkan perubahan epitope pada sel limfosti yang nantinya akan berikatan dengan
MHC dan menghasilkan antibodi IgG yang berbeda pada orang normal. Antibodi ini disebut
dengan ACPA (Anti Citrunillated Protein Antigen). ACPA akan berikatan dengan protein-
protein tersitrunilasi dan menyebabkan pembentukan kompleks imun pada sendi yang disebut
Rheumatoid Factor (RF) (Mclnnes, 2011).
Selain adanya gen HLA-DRB1 yang diekspresikan, beberapa faktor eksternal juga
mempengaruhi terjadinya RA. Salah satu agen yang paling banyak menyebabkan RA adalah
rokok. Rokok dapat memicu terjadinya sitrunilasi pada protein-protein yang berada dalam
jaringan ikat seperti vimetin. Vimetin merupakan protein yang terdapat banyak pada sel-sel
jaringan ikat terutama persendian. Pada penderita RA, vimetin tersitrunilasi merupakan
antigen utama pemicu kelainan ini. Selain itu, beberapa sekret bakteri dapat menyebabkan
terjadinya sitrunilasi tersebut (Klareskog, 2006). Apabila terdapat sitrunilasi protein maka
akan terbentuk antigen tersitrunilasi dan ACPA akan berikatan dengan antigen tersebut
sehingga terjadilah kompleks imun (RF). Dalam diagnosisnya, ACPA positif belum tentu
menunjukkan adanya RF. Hal ini dikarenakan walaupun terdapat ACPA, namun belum tentu
seorang penderita terpapar dengan antigen tersitrunilasi sehingga belum tentu terbentuk
kompleks imun (Scott, 2010). Selain itu, walaupun tidak diekspresikanya gen HLA-DRB1,
dengan adanya antigen RA (protein tersitrunilasi), aktivasi sel-sel imun pada cairan sinovial
akan terjadi sehingga menyebabkan terbentuknya IgG yang berlebihan dan membentuk
kompleks (Ursum, 2009).

3. Peradangan Sendi Akibat Reaksi Imun pada Rheumatoid Arthritis


Pada penderita RA, dalam cairan sinovialnya terdapat banyak sel myeloid dan sel
dendrit yang melimpah. Sel-sel ini akan terkatifasi dengan adanya antigen berupa protein
tersitrunilasi. Sel T helper terutama Th 1 dan Th17 yang teraktivasi akan menghasilkan
berbagai mediator-mediator inflamasi seperti IL-17, IL-17F, IL-22, dan TNF alfa sedangkan
sel dendrit dan myeloid akan menghasilkan IL-1beta, IL-6, IL-21, dan, TGF-beta. Protein-
protein inflamasi ini akan menyebabkan deferensiasi IL-17 meningkat dan menurunkan
deferensiasi sel T regulatory (sel T yang dapat menekan sistem imun). Pada penderita RA,
ditemukan dalam cairan sinovialnya sel T regulatory yang memiliki penurunan fungsi,
sehingga tidak ada proses supresi dari mediator-mediator inflamasi. Hal ini mengakibatkan
adanya inflamasi pada daerah persendian. Sel B (CD20) yang membantu Sel T pada membran
sinovial juga akan membentuk sel B plasma yang akan mensekresikan IgG. Pada orang
dengan alele HSL-DRB1, IgG yang dihasilkan merupakan IgG dengan FC anti protein
tersitrunilasi (ACPA) sehingga akan membentuk kompleks imun dengan protein tersitrunilasi.
Akibatnya, protein komplemen akan teraktivasi menggunakan jalur klasik sehingga terjadi
kerusakan pada persendian (Mclnnes, 2011).
Gambar 4. Regulasi sel-sel imun pada proses inflamasi sendi

Selain itu, sel-sel imun yang lain juga berperan dalam proses inflamasi seperti
netrofil, makrofag, sel mast, dan NK-cells. Makrofag akan mensekresikan mediator-mediator
inflamasi seperti IL-6, IL-1, (juga 12, 15, 18, dan 23) dan TNF alfa. Selain itu, makrofag akan
memfagositosis sel-sel tulang pada persendian sehingga menyebabkan kerusakan sendi.
Selain makrofag, netrofil juga berperan dalam patogenesis RA, sebagai pensintesis sitokin dan
senyawa oksigen reaktif. Sel Mast juga berperan dalam mensintesis beberapa kemokin dan
amina vasoaktif penyebab inflamasi pada sendi (Scott, 2010).
Beberapa sitokin yang berperan penting dalam patogenesis RA adalah IL-1, IL-6, dan TNF
alfa. Ketiga sitokin ini akan menyebabkan osteoklas sehingga menyebabkan deformasi sendi.
Keseluruhan sitokin yang diseksresikan oleh sel-sel imun melalui protein reseptor tirosin
kinase dengan jalur JAK (Mclnnes, 2011).

d. Manifestasi Rheumatoid Arthritis


Inflamasi kronis yang terjadi akibat RA ini akan menyebabkan berbagai macam
manifestasi. Dua macam manifestasi yang paling banyak terjadi adalah kerusakan tulang
rawan dan erosi tulang.
a. Kerusakan Tulang Rawan
Pada penderita RA, terjadi kehilangan efek protektif dari sinovium (cairan sendi) seperti
menurunya ekspresi dari lubricin, mengubah karakter dari permukaan protein binding pada
kartilago, meningkatkan adhesi dan invasi FLS (Fibroblast-Like Sinoviocyte). FLS akan
mensintesis MMP (Matrix Metaloproteinase) sehingga meningkatkan perombakan dari
kolagen. Selain itu, enzim matriks lain seperti ADAMTS akan mengurangi integritas dari
kartilago. Berbagai macam sitokin pada cairan sendi juga akan meningkatkan perombakan
tulang rawan pada persendian. Hal ini menyebabkan radiografi pada penderita RA
menunjukan adanya penyempitan jarak antar persendian (Mclnnes, 2011).
b. Erosi Tulang
Erosi pada tulang terjadi pada 80% penderita setelah 1 tahun terdiagnosa RA dan
berhubungan dengan inflamasi yang berkepanjangan dan progresif. Berbagai macam sel
imun seperti makrofag akan menyebabkan perubahan osteoklas dan invasi pada permukaan
periosteal. TNF alfa dan IL-6, IL-17, dan IL-1 akan meningkatkan deferensiasi dari
osteoclast dan aktivasinya. Osteoclast akan menyebabkan reaksi enzimatik asam yang akn
menghancurkan jaringan bermineral termasuk tulang rawan dan tulang (Mclnnes, 2011).

Gejala dan tanda rheumatoid arthritis


Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat
peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan
berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan
pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala
penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi
(kambuh) ataupun gejala kembali (AHRQ, 2008).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurangnya
nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi
biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis
sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri,
pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik
untuk rheumatoid arthritis (AHRQ, 2008).
Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi,
berat badan menurun, anemia. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai
pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai persendian,
lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular.
Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada
pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki adalah hal yang
umum (AHRQ, 2008).
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis
2. Stadium destruksi
3. Stadium deformitas
Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini
sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut pada sendi-sendi
tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan dan pasien
cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu
yang lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas
dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang tergeser terhadap
lainnya dan menghilangkan rongga sendi (AHRQ,2008).
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut
usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan
pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat
bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa
sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.
Kerusakan sendi berlangsung dengan rasa sakit. Gejala khas pada arthritis adalah nyeri
sendi. Nyeri hebat di pagi hari setelah istirahat malam. Nyeri juga hebat ketika beristirahat
daripada ketika bekerja. Kekakuan sendi adalah gejala lain. Kekakuan otot-otot selama pagi
setelah bangun terlihat pada pasien rheumatoid arthritis serta osteoarthritis. Namun, di antara
pasien dengan osteoarthritis kekakuan pergi setelah sekitar setengah jam aktivitas. Untuk pasien
rheumatoid arthritis kekakuan dapat bertahan lebih lama. Sendi bisa menjadi meradang. Hal ini
ditandai dengan kehangatan dan kemerahan dari sendi. Ada pembengkakan di atas sendi bersama
dengan kemerahan. Sendi terasa panas dan menyakitkan untuk disentuh. Seiring waktu sendi
kecil dapat rusak dan menyebabkan cacat permanen. Cacat yang disebabkan karena erosi tulang
yang berakhir pada sendi, erosi kartilago dan pecahnya tendon di sekitar sendi. Kelainan ini
bersifat terlihat di tangan dan sendi jari. Misalnya, ibu jari yang cacat dan ini kita disebut
deformitas Boutonniere jempol. Ujung jari melengkung atau disebut cacat leher angsa dll (NHS,
2012).
Pada pasien rheumatoid arthritis mungkin terjadi radang di sekitar sendi. Ini muncul
sebagai lesi bengkak disebut nodul rematik. Ini biasanya tidak nyeri, keras, oval atau bulat
massa yang umum selama titik-titik tekanan seperti pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki
dll. Nodul rheumatoid dapat juga terjadi pada mata atau organ lain seperti paru-paru. Dalam
paru-paru mereka dapat menyebabkan komplikasi seperti akumulasi cairan di dalam dan sekitar
paru-paru. Gejala lain dari rheumatoid arthritis adalah anemia atau rendahnya jumlah sel darah
merah. Hal ini karena mungkin ada kekurangan produksi sel darah merah baru untuk menebus
yang hilang. Jumlah trombosit juga dapat diubah (NHS, 2012).
Beberapa pasien mungkin menderita radang pembuluh darah atau vaskulitis arthritis.
Komplikasi ini mungkin mengancam nyawa. Hal ini dapat menyebabkan ulserasi kulit yang
dapat terinfeksi, ulkus lambung dan kerusakan saraf. Ulkus lambung dapat menyebabkan
komplikasi seperti perdarahan atau perforasi dan patologi saraf dapat menyebabkan nyeri, mati
rasa atau kesemutan sensasi. Pembuluh darah dari otak dan jantung juga mungkin terlibat
menyebabkan serangan jantung atau stroke. Dalam hati mungkin ada akumulasi cairan yang
disebut pericarditis. Otot-otot jantung bisa meradang menyebabkan miokarditis. Kondisi ini
dapat menyebabkan gagal jantung. Beberapa orang mungkin mengalami peningkatan mendadak
dalam gejala dan ini disebut flare-up. Flare up biasanya sulit untuk memprediksi dan dapat
terjadi lebih sering pada pagi hari setelah bangun tidur (NHS, 2012).
Rheumatoid arthritis secara keseluruhan memiliki dampak yang parah pada kualitas hidup. Ada
dampak yang parah pada fungsi fisik, sosial dan kesejahteraan emosional serta kesehatan mental.
Kondisi terkait lainnya dengan kondisi ini termasuk depresi dan kecemasan (NHS, 2012).

E. Segitiga Epidemiologi

Menurut dasar epidemiologi (Triangle Epidemiologi) apabila ada perubahan dari salah satu
faktor, maka akan terjadi perubahan keseimbangan diantara mereka, yang berakibat akan
bertambah atau berkurangnya penyakit yang bersangkutan.

Konsep segitiga epidemiologi digunakan untuk menganalisis terjadinya suatu penyakit.


Dalam konsep ini faktor-faktor yang menentukan terjadinya penyakit diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Agen penyakit (faktor etiologi):
a. Zat nutrisi
b. Agen kimiawi
c. Agen fisik
d. Agen infeksius
2. Faktor pejamu (mempengaruhi pajanan, kerentanan, respons terhadap agen):
a. Genetik
b. Usia
c. Jenis kelamin
d. Ras
e. Status imunulogis
f. Perilaku manusia
g. Penyakit lain yang sudah pernah ada

3. Faktor lingkungan (mempengaruhi keberadaan agen, pajanan atau kerentanan terhadap


agen):
a. Lingkungan fisik (iklim)
b. Lingkungan biologis (populasi manusia, flora, fauna)
c. Lingkungan sosial ekonomi (pekerjaan, bencana alam)
5.1 Kesimpulan

Kasus artritis reumatoid sering terjadi dikalangan masyarakat. Penatalaksanaan kasus


artritis reumatoid tidak lah sulit namun perlu manajemen yang baik untuk mengatasinya, jika
tidak angka kesakitan artritis reumatoid akan tetap tinggi. Program kegiatan manajemen kasus
artritis reumatoid berupa promosi kesehatan dengan penyuluhan, preventif dengan kesehatan
lingkungan, kuratif dengan penemuan kasus dan penatalaksanaan, rehabilitatif dengan sosialisasi
dan edukasi. Diharapkan melalui program-program ini dan dengan manajemen kasus yang
baikdapat menurunkan angka kesakitan karena artritis reumatoid.
Daftar Pustaka

1. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid III.
Jakarta : EGC, 2007. Hal 2495-2502
2. Rheumatoid Arthritis Medicines: A Guide for Adults, Available at :
http://www.effectivehealthcare.ahrq.gov/repfiles/rheumarthritisconsumerguide_Singlepa
ge.pdf
3. Rheumatoid artrhitis. 2009 Available at : http://www.nice.org.uk/guidance/cg79
4. Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Penyakit Reumatoid Artritis. 2009. Diunduh dari :
http://perpus.fkik.uinjkt.ac.id/file_digital/SKRIPSI.pdf.
5. Media Informasi Peresepan Rasional Bagi Tenaga Kesehatan Indonesia. Volume 9, 2011.
Di unduh dari : piolk.ubaya.ac.id/img/layanan/24_20110728104725.pdf
6. Budiman, Suyono. Kesehatan Lingkungan. 2012. Diunduh dari : http://e-
journal.kopertis4.or.id/file.php?file=karyailmiah&id=742.
7. Hartati A.S. pemeriksaan rheumatoid faktor pada penderita tersangka rheumatoid
arthritis. Di unduh dari :
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=119655&val=5479\

Anda mungkin juga menyukai