Disusun oleh: AENI MUSTAQIROH ARIE DEVI ARSA ARIF SETIADI BENNY ARIEF SULISTYANTO WIDI WIJAYANTI WINDA WIDIYASTUTI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN-PEKALONGAN PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN 2010
BAB I
A. PENDAHULUAN
Istilah rheumatism berasal dari bahasa Yunani, rhumatismoz, yang berarti mukus; suatu cairan yang dianggap jahat, mengalir dari otak ke sendi dan struktur lain tubuh sehingga menimbulkan nyeri. Beberapa penelitian menunjukkan memang ada perubahan struktur mucine sendi (mukopalisakarida, asam hialuronidonat) pada beberapa jenis penyakit reumatik, sehingga istilah yang telah agak lama dipakai itu agaknya masih sesuai sampai saat ini. Setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal disebut rheumatik, termasuk penyakit jaringan ikat (penyakit kolagen). Sedangkan istilah artritis, umumnya dipakai bila sendi merupakan tempat utama penyakit rheumatik. Peradangan pada jaringan ikat, terutama yang berdekatan dengan sendi atau otot dan tendon disebut fibrositis, sedangkan iritasi jaringan ikat fibrosa di tempat melekatnya pada tulang disebut entesopati. Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk penyakit arthritis, fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainnya yang menimbulkan nyeri somantik dan kekakuan. Hingga kini dikenal lebih dari 100 macam penyakit sendi yang seringkali memberikan gejala yang hampir sama. Oleh karena itu pendekatan diagnostik sangat diperlukan agar didapatkan diagnosis yang tepat, sehingga akhirnya pasien memperoleh penatalaksanaan yang adekuat. Perlu diingat pula bahwa gangguan reumatik dapat merupakan manifestasi artikular berbagai penyakit dan sebaliknya beberapa penyakit reumatik mempunyai manifestasi ekstra-artikular pada beberapa organ. Dalam lebih dari 2 dekade terakhir ini diketahui bahwa berbagai penyakit remaik yang dianggap mempunyai dasar imunologik ternyata berkaitan dengan sistem hipokompatibilitas. Sistem ini ditentukan oleh faktor genetik yang pada manusia dikenal sebagai HLA (Human Leukocyte Antygen) tertentu. Antigen HLA adalah molekul pada permukaan sel yang sifatnya ditentukan oleh
gen respon imun yang sangat polimorfis yang letaknya ada suatu kompleks pada kromosom No.6 manusia. Sampai saat ini, diketahui 2 jenis antigen HLA yang berbeda dalam struktur dan fungsi:
1. Molekul HLA kelas I, yaitu HLA A, B, C dan lokus-lokus lain yang
diekspresikan pada permukaan semua sel berinti dan berfungsi dalam presentasi antigen pada limfosit T sitotoksik (CD8+).
2. Molekul HLA kelas II yaitu HLA-DR, DQ dan DP dan diekspresikan
terutama
pada
makrofag
dan
sel T yang
aktif
dan
berfungsi
mempresentasikan antigen kepada limfosit T helper (CD4+). Saat ini dapat dikatakan penggunaan pemeriksaan HLA dalam klinik masih terbatas. Pada banyak keadaan, antigen HLA yang berkaitan dengan penyakit juga terjadi relatif sering pada penduduk normal sehingga spesifitas penyakit berkurang. Disamping itu tidak semua pasien yang sakit mempunyai jenis HLA yang berkaitan dengan penyakitnya sehingga sensitifitasnya berkurang. Kaitan HLA dengan penyakit juga berbeda-beda pada berbagai etnik populasi. Penjelasan yang mungkin ats kaitan HLA yang bervariasi dan tidak lengkap ini adalah dengan ditemukannya beberapa alel HLA yang bereda tetapi mempunyai sequensi (rentetan) asam amino polimorfis yang sama (hipotesis epitop bersama). Walaupun sekarang dapat dilakukan pemeriksaan HLA secar molekular, sehingga dapat dideteksi urutan asam amino yang berkaitan dengan penyakit, tetapi adanya frekuensi HLA tertentu yang tinggi dalam populasi normal masih membuat manfaatnya terbatas sebagai uji klinis. Walaupun begitu ada beberapa penyakit rematik yang dengan pemeriksaan HLA sekarang ini dapat merupakan informasi klinis yang berguna untuk diagnosis dan prognosis dan dapat berperan lebih besar pada pengobatan di masa yang akan datang.
B. TUJUAN
Setelah mahasiswa membaca makalah ini, mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang penyakit Artritis Reumatoid mulai dari pengertian, etiologi
sampai prognosis sehingga dapat membantu mahasiswa dalam menentukan diagnosa keperawatan yang tepat.
B. ETIOLOGI
Penyebab AR sampai sekarang belum diketahui. Beberapa faktor di bawah ini diduga berperan dalam timbulnya penyakit artritis rheumatoid.
1. Faktor genetik dan lingkungan
Terdapat hubungan antara HLA-DW4 dengan AR seropositif yaitu penderita mempunyai resiko 4 kali lebih banyak terserang penyakit ini.
2. Hormon seks
Faktor keseimbangan hormonal diduga ikut berperan karena perempuan lebih banyak menderita penyakit ini dan biasanya sembuh sewaktu hamil.
3. Infeksi
Dugaan adanya infeksi timbul karena permulaan sakitnya terjadi secara mendadak dan disertai tanda-tanda peradangan. Penyebab infeksi diduga bakteri, mikoplasma, atau virus.
4. Heat Shock Protein (HSP)
HSP merupakan sekelompok protein berukuran sedang yang dibentuk oleh tubuh sebgai respons terhadap stres.
5. Radikal bebas
Contohnya radikal superokside dan lipid peroksidase yang merangsang keluarnya prostaglandin sehingga timbul rasa nyeri, peradangan dan pembengkakan.
6. Umur
Penyakit ini terjdai pada usia 20-60 tahun, tetapi terbanyak antara umur 35-45 tahun. Artritis reumatoid ini merupakan bentuk artritis yang serius, disebabkan oleh peradangan kronis yang bersifat progresif, yang menyangkut persendian. Ditandai dengan sakit dan bengkak pada sendisendi terutama pada jari-jari tangan, pergelangan tangan, siku, dan lutut. Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. Penyakit ini tidak dapat ditunjukkan memiliki hubungan pasti dengan genetik. Terdapat kaitan dengan penanda genetik seperti HLA-DW4 (Human Leukocyte Antigens) dan HLA-DR5 pada orang Kaukasia. Namun pada orang Amerika, Afrika, Jepang, dan Indian Chippewa hanya ditentukan kaitan dengan HLA-DW4. Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi pencernaan oleh produksi, protease, kolagenase, dan enzim hidrolitik lainnya. Enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon, dan tulang pada
sendi, serta dilepaskan bersama sama dengan radikal O2 dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal Destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi atau vaskuler yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi. Di sepanjang pinggir panus terjadi destruksi, kolagen, dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut.
C. PATOFISIOLOGI
Pada artritis reumatoid, reaksi autoimun (yang sudah dijelaskan sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kogen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.
D. GAMBARAN KLINIS
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada seseorang artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat diserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam; dapat bersifat generalisata
tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu berkurang dari satu jam.
4. Artritis erosif; merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.
pejalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metekarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yangsering dijumpai. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metersal yang timbul sekunder dari subluksasi metetersal. Sendi-sendi yang besar juga dapa teserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.
6. Nodul-nodul reumatoid: adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodulanodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodulanodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi
dekstra-artikular;
artritis
reumatoid
juga
dapat
menyerangorgan-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
Gbr. Tangan reumatoid dengan boutonniere dan deformitas leher angsa. Terlihat poliartritis pada sendi tangan. Diantara perubahan deformitas yang berat terdapat otot yang tidak digunakan dalam snuffbox anatomik (antara ibu jari dan jari telunjuk).
E. KRITERIA DIAGNOSTIK
Diagnostik artritis reumatoid dapat menjadi suatu proses yang kompleks. Pada tahap dini mungkin hanya akan ditemukan sedikit atau tidak ada uji laboratorium yang positif; perubahan apda sendi dapat minor; dan gejala gejalanya dapat hanya bersifat sementara. Diagnosis tidak hanya bersandar pada satu karakteristik saja tetapi berdasarkan pada suatu evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala. Kriteria diagnostik yang dipakai adalah sebagai berikut:
1. Kekakuan pagi hari (lamanya paling tidak satu jam) 2. Artritis pada tiga atau lebih sendi 3. Artritis sendi-sendi jari-jari tangan 4. Artritis yang simetris 5. Nodul reumatoid 6. Faktor reumatoid dalam serum 7. Perubahan-perubahan radiologik (erosi atau dekalsifikasi tulang)
Diagnosis artritis reumatoid dikatakan positif apabikla sekurangkurangnya empat dari tujuh kriteria ini terpenuhi. Empat kriteria yang disebutkan terdahulu harus sudah berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak banyak berperan dalam diagnosis reumatoid, namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis gejala pasien.
1. Pemeriksaan laboratorium a. Cairan synovial 1) Kuning sampai putih; derajat kekeruhan menggambarkan peningkatan
imunologis.
7) Peningkatan kadare IgG dan kompleks imun. 8) Phagocites neutrophils yang difagosit oleh kompleks immun. b. Darah tepi 1) Leukosit: normal atau meningkat (<12.000/mm3). Leukosit menurun bila
nodul subkutan.
2) Anti CCP antibodies positif telah dapat ditemukan pada AR dini.
aktivitas penyakit.
6) Meningkatnya kadar alpha1 dan alpha2 globulin sebagai acute phase
reactans.
7) Meningkatnya kadar -gobulin menggambarkan kenaikan/akselerasi dari
terjadi pada keadaan penyakit dengan gejala ekstra artikular yang berat seperti vaskulitis.
9) Adanya circulating immune comlexes serta ditemukan pada penyakit
Pada awal penyakit tidak ditemukan, tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang berat dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan ini sifatnya tidak reversibel. Secara radiologik didapati adanya tanda-tanda dekalsifikasi (sekurang-kurangnya) pada sendi yang terkena.
Gbr. Radiogram tangan reumatoid. Perhatikan penurungan jarak sendi (panah hitam), erosi kaput metakarpal (panah putih kecil) dan tejadi deformitas sendi (panah putih besar).
Belum ada penyembuhan untuk AR. Penyakit biasanya berlangsung seumur hidup, sehingga memerlukan penanganan seumur hidup pula. Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pasa pasien AR ditujukan untuk:
a. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik b. Mencegah terjadinya destruksi jaringan c. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar
sedapat mungkin menjadi normal kembali. Dalam pengobatan AR umumnya selau dibutuhkan pendekatan multidisipliner. Suatu tim yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli
fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing-masing dalam pengelolaan pasien AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan penyakit ini. Beberapa jenis obat yang digunakan pada AR antara lain sebagai berikut:
1. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Obat ini diberikan sejak mulai sakit untuk mengatasi nyeri sendi akibat proses peradangan. Golongan obat ini tidak dapat melindungi rawan sendi maupun tulang dari proses kerusakan akibat penyakit AR. Contoh obat golongan ini yaitu Asetosal, Ibuprofen, Natrium Diclofenak, Indometasin, Naftilakanon.
2. Kortikosteroid
Asam
flufenamat,
Piroksikam,
Fenilbutason,
dan
Obat ini berkhasiat sebagai antiradang dan penekan reaksi imun (imunosupresif), tetapi tidak bisa mengubah perkembangan penyakit AR. Kortikosteroid bisa digunakan secara sistemik (tablet, suntikan IM) maupun suntikan lokal di persendian yang sakit sehingga rasa nyeri dan pembengkakan hilang secara cepat. Pengobatan kortikosteroid sistemik jangka panjang hanya diberikan kepada penderita dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti radang pembuluh darah (vaskulitis).
3. Desease Modifing Anti Rheumatoid Drugs (DMARDs)/ Obat pengubah
perjalanan penyakit Bila diagnosis AR telah ditegakkan, oabt golongan ini harus segera diberikan. Beberapa ahli bahkan menganjurkan pemberian DMARDs, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan DMARDs lain pada tahap dini, baru kemudian dikurangi secara bertahap bila aktivitas AR telah terkontrol. Bila penggunaan satu jenis DMARDs dengan dosis adekuat selama 3-6 bulan tidak menampakkan hasil, segera hentikan atau dikombinasi dengan DMARDs yang lain. Contoh obat golongan ini yaitu Klorokuin, Hidroksiklorokuin, Sulfazalazine, D-penisilamin,
Garam Emas (Auro Sodium Thiomalate, AST), Methothexate, Cyclosporin-A dan Lefonomide.
4. Obat imunosupresif
Obat ini jarang digunakan karena efek samping jangka panjang yang berat seperti timbulnya penyakit kanker, toksik pada ginjal dan hati.
5. Suplemen antiokdsidan
Vitamin dan mineral yang berkhasiat antioksidan dapat diberikan sebagai suplemen pengobatan seperti beta karoten, vitamin C, vitamin E, dan selenium.
2. Pengobatan Tradisional
temulawak 10 potong, daun murbei 1 genggam, dan bidara upas 1 jari. Semua bahan ini di rebus dalam air sebanyak 2 gelas, kemudian disaring untuk diminum airnya.
e. Dengan obat gosok alami: 1) Air jeruk nipis, minyak kayu putih dan kapur sirih dicampur dan digunakan
minyak kayu putih dan digosokkan pada bagian tubuh yang sakit.
H. KOMPLIKASI
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptikum yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (desease modifying antirhematoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis rheumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan myelopati akibat ketidakstabilan vertebra vertical dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
I. ANJURAN BAGI PENDERITA ARTRITIS RHEUMATOID 1. Makan sayuran (bayam, lobak, wortel, daun singkong, daun ubi jalar,
seledri)
2. Mengkonsumsi buah-buahan segar (tomat, kesemek, pepaya, mangga) 3. Tiga hari berturut-turut minumlah susu dan telur ayam kampung setengah
matang.
4. Jangan mengkonsumsi makanan/minuman yang dingin. 5. Mandi berendam dengan air hangat. 6. Istirahat yang cukup. 7. Jangan sampai kedingingan
Beberapa jenis makanan yang harus dihindari bagi semua penderita rematik adalah sebagai berikut.
1. Minuman berarkohol, teh, kopi, coklat. 2. Mentega, telur ayam negeri, rempah-rempah yang pedas. 3. Kue-kue dari tepung dan gula putih. 4. Sayur kangkung, melinjo (daun dan buah), rebung dan daging.
J. PROGNOSIS
Pada umumnya pasien artritis reumatoid akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode artritis reumatoid dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Tapi sebagian besar penyakit ini telah terkena artritis reumatoid akan menderita penyakit ini selama sisa hidupnya dan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita artritis reumatoid yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwasannya penyakit ini bersifat sistemik. Maka seluruh organ dapat diserang, baik mata, paru-paru, jantung, ginjal, kulit, jaringan ikat, dan sebagainya. Bintik-bintik kecil yang berupa benjolan atau noduli dan tersebar di seluruh organ di badan penderita. Pada paru-paru dapat menimbulkan lung fibrosis, pada jantung dapat menimbulkan pericarditis, myocarditis dan seterusnya. Bahkan di kulit, nodulus rheumaticus ini bentuknya lebih besar dan terdapat pada daerah insertio dan otot-otot atau pada daerah extensor. Bila RA nodule ini kita sayat secara melintang maka kita akan dapati gambaran: nekrosis sentralis yang dikelilingi dengan sebukan selsel radang mendadak dan menahun yang berjajar seperti jeruji roda sepeda (radier) dan membentuk palisade. Di sekitarnya dikelilingi oleh deposit-deposit fibrin dan di pinggirnya ditumbuhi dengan fibroblast. Benjolan rematik ini jarang dijumpai pada penderita-penderita RA jenis ringan. Disamping hal-hal yang disebutkan di atas gambaran anemia pada penderita RA bukan disebabkan oleh karena kurangnya zat besi pada makanan atau tubuh penderita. Hal ini timbul akibat pengaruh imunologik, yang menyebabkan zat-zat besi terkumpul pada jaringan limpa dan sistema retikulo endotelial, sehingga jumlahnya di
daerah menjadi kurang. Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gratitis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (desease modifying antiremathoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
Gejala:Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stress pada sendi : kekakuan pada pagi hari. Keletihan. Tanda: malaise, keterbatasan rentang gerak ; atrofi otot, kulit : kontraktur atau kelainan pada sendi dan otot
2. KARDIOVASKULER
Gejala: Faktor-faktor stress akut atau kronis : Misalnya finansial, pekerjaan, ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan, keputusasaan dan ketidak berdayakan, ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi misalnya ketergantungan pada orang lain
4. MAKANAN ATAU CAIRAN
Gejala: Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan adekuat : mual, anoreksia, Kesulitan untuk mengunyah. Tanda: Penurunan berat badan, kekeringan pada membran mukosa.
5. HIGIENE
Gejala: Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas pribadi, ketergantungan pada orang lain.
6. NEUROSENSORI
Gejala: kebas/kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan Tanda: Pembengkakan sendi
7. NYERI / KENYAMANAN
Gejala: fase akut dari nyeri, terasa nyeri kronis dan kekakuan
8. KEAMANAN
Gejala: Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga, kekeringan pada mata dan membran mukosa
9. INTERAKSI SOSIAL
INTERVENSI Mandiri
-
dan intensitas (skala 0 10). Catat faktor-faktor yang mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non verbal
-
kecil akan melihara kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan setres pada sendi yang sakit. Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan pada sendi yang terinflamasi / nyeri
biarkan atau
pasien duduk
mengambil di kursi.
pada
penyakit
berat,
tirah
posisi yang nyaman pada waktu tidur Tingkatkan istirahat di tempat tidur sesuai indikasi
umum
posisi.
bergerak di tempat tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan di bawah, hindari gerakan yang menyentak
otot dan mobilitas, menurunkan rasa kekakuan di pagi hari. Sensitifitas pada panas dapat dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan
air hangat atau mandi pancuran pada waktu bangun. Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari. Pantau suhu air kompres, air mandi
Meningkatkan
Meningkatkan relaksasi, mengurangi Kolaborasi beri obat sebelum aktivitas atau latihan yang direncanakan sesuai petunjuk seperti asetil salisilat (aspirin) ketegangan otot, memudahkan ikut serta dalam terapi.
Kriteria Hasil : Klien mampu berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan. INTERVENSI Pertahankan istirahat tirah baring/duduk jika diperlukan.
-
seminimal mungkin.
-
Berikan obat-obatan
sistemik akut
3. DIAGNOSA 3 : Resiko tinggi cedera b/d penurunan fungsi tulang.
Menyingkirkan bahaya yang tampak jelas, mengurangi potensial cedera akibat jatuh ketika tidur misalnya menggunakan penyanggah tempat tidur, usahakan posisi tempat tidur rendah, gunakan pencahayaan malam siapkan lampu panggil.
Memantau
regimen
medikasi
Izinkan kemandirian dan kebebasan maksimum dengan memberikan kebebasan dalam lingkungan yang aman, hindari penggunaan restrain, ketika pasien melamun alihkan perhatiannya
merasa pasien
Kriteria Hasil : klien dapat memenuhi kebutuhan istirahat atau tidur. INTERVENSI Mandiri
-
RASIONAL tidur
-
Tentukan
kebiasaan
Mengkaji
perlunya intervensi
dan yang
Berikan
tempat
nyaman.
aspek sebanyak kebiasaan lama, stress dan ansietas yang berhubungan dapat berkurang. Membantu menginduksi tidur.
-
karena
perubahan
ukuran
tinggi untuk
tempat tidur, pagar tempat tidur memberikan keamanan membantu mengubah posisi.
Mungkin
diberikan
untuk
indikasi
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Sylvia Price, McCarty, Wilson Lorraine. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6, volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Dalimartha, Setiawan. 2007. 96 Resep Tumbuhan Obat untuk Reumatik. Jakarta: PENEBAR SWADAYA. Gunadi, W. Rachmat, Et all. 2006. Diagnosis & Terapi Penyakit Reumatik. Bandung: SAGUNG SETO. Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sudoyo, Aru, Et all. 2006. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM. JILID III, EDISI IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Depertemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Utomo, Prayogo. 2005. APRESIASI PENYAKIT PENGOBATAN SECARA TRADISIONAL DAN MODERN. Jakarta: Penerbit RINEKA CIPTA. Winoto, Pandi. 2003. Pengobatan Alternatif. Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS.