Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dan inflamasi dimana sistem kekebalan menyerang sel-
sel sehat di tubuh dan menyebabkan peradangan di bagian tubuh yang terkena, terutama daerah
persendian. Pada tulisan ini Repro Note akan merangkum mengenai konsep medik dan asuhan
keperawatan atau askep artritis reumatoid menggunakan pendekatan sdki slki dan siki.
Tujuan :
Memahami tentang definisi, epidemiologi, penyebab dan tanda gejala artritis reumatoid
Merumuskan Luaran keperawatan dan Kriteria hasil pada askep artritis reumatoid dengan
pendekatan Slki
Definisi
Artritis reumatoid adalah penyakit inflamatorik kronis dan sistemik, dan paling sering menyerang
sendi periferal, otot, tendon, ligamen, dan pembuluh darah yang mengelilingi. Remisi parsial dan
eksaserbasi yang tidak bisa diduga menandai rangkaian penyakit yang berpotensi melumpuhkan ini.
Artritis reumatoid muncul di seluruh penjuru dunia, menyerang wanita hampir tiga kali lebih banyak
daripada pria. Bisa muncul pada usia berapa pun, tetapi puncak insidensinya pada usia 35 sampai 50
tahun.
Penyakit ini biasanya membutuhkan penanganan seumur hidup dan kadang-kadang pembedahan.
Pada sebagian besar pasien, artritis reumatoid muncul mengikuti rangkaian intermiten dan
memungkinkan penderita melakukan aktivitas normal, tetapi 10% penderita mengalami
ketidakmampuan total akibat deformitas artikular parah, gejala ekstra artikular yang berkaitan, atau
keduanya.
Prognosisnya memburuk jika pasien mengalami perkembangan nodulus, vaskulitis, dan titer tinggi
pada faktor reumatoid (rheumatoid factor - RF).
Jika tidak diobati, proses inflamatorik dalam sendi muncul dalam empat stadium, yaitu:
Stadium pertama
Pada stadium pertama sinovitis muncul akibat kongesti dan edema membran sinovial serta kapsul
sendi. Infiltrasi oleh limfosit, makrofag, dan netrofil terus menyebabkan respons inflamatorik lokal.
Sel-sel ini, dan sel sinoviail yang mirip-fibroblas, memproduksi enzim yang membantu degradasi
tulang dan kartilago.
Stadium kedua
Pada stadium kedua panus atau lapisan jaringan granulasi yang menebal mulai terbentuk, sehingga
menutup dan menginvasi kartilago dan akhirnya menghancurkan kapsul sendi dan tulang.
Stadium ketiga
Pada stadium ketiga mulai muncul ankilosis fibrosa atau invasi fibrosa di panus dan pembentukan
parut yang memacetkan ruang sendi.
Atrofi tulang dan kesejajaran yang salah menyebabkan deformitas yang terlihat jelas dan mengganggu
artikulasi tulang yang berlawanan, sehingga menyebabkan atrofi dan ketidakseimbangan otot serta
kemungkinan dislokasi atau subluksasi parsial.
Stadium keempat
Pada stadium keempat Jaringan fibrosa mengapur, sehingga menyebabkan ankilosis bertulang dan
imobilitas.
Epidemiologi
Di seluruh dunia, insiden tahunan ertritis reumatoid mencapai sekitar 3 kasus per 10.000 penduduk.
Prevalensi sekitar 1% dan meningkat seiring bertambahnya usia serta memuncak antara usia 35 - 50
tahun.
Artritis reumatoid mempengaruhi hampir semua populasi, meskipun jauh lebih umum di beberapa
kelompok seperti 5-6% di beberapa kelompok penduduk asli Amerika.
Hubungan kekerabatan tingkat pertama dari individu dengan artritis reumatoid memiliki risiko 2
hingga 3 kali lipat lebih tinggi. Kesesuaian penyakit pada kembar monozigot adalah sekitar 15-20%,
menunjukkan bahwa faktor nongenetik memainkan peran penting.
Wanita terkena artritis reumatoid kira-kira 3 kali lebih sering daripada pria, tetapi perbedaan jenis
kelamin berkurang pada kelompok usia yang lebih tua.
Sebuah penelitian dari Denmark menemukan bahwa tingkat artritis reumatoid lebih tinggi pada
wanita yang melahirkan hanya 1 anak dibandingkan pada wanita yang telah melahirkan 2 atau 3 anak.
Namun angka tersebut tidak meningkat pada wanita nulipara atau yang memiliki riwayat keguguran.
Penelitian di denmark ini juga menemukan risiko artritis yang lebih tinggi di antara wanita dengan
riwayat preeklamsia, hiperemesis selama kehamilan, atau hipertensi gestasional.
Etiologi
Penyebab Artritis reumatoid tidak diketahui. Faktor genetik, lingkungan, hormonal, imunologi,
dan infeksi diduga memainkan peran penting.
Selain iitu, faktor sosial ekonomi, psikologis, dan gaya hidup dapat mempengaruhi perkembangan dan
hasil penyakit.
Faktor genetik
Faktor genetik menyumbang 50% dari risiko seseorang mengembangkan artritis reumatoid. Sekitar
60% pasien RA di Amerika Serikat membawa epitop bersama dari klaster human leukocyte antigen
(HLA)-DR4, yang merupakan salah satu situs pengikatan peptida molekul HLA-DR tertentu yang terkait
dengan artritis reumatoid.
BACA JUGA
Gen selain dari kompleks histokompatibilitas utama (MHC) juga terlibat. Hasil dari sekuensing gen
keluarga dengan RA menunjukkan adanya beberapa gen resistensi dan kerentanan, termasuk PTPN22
dan TRAF5.
Infeksi
Induksi arthritis pada hewan percobaan dengan bakteri atau produk bakteri seperti dinding
sel streptokokus
Adanya produk bakteri, antara lain RNA bakteri pada sendi pasien
Perubahan penyakit setelah diinduksi beberapa agen yang memiliki efek antimikroba seperti
garam emas, agen antimalaria, dan minocycline.
Bukti yang muncul juga menunjukkan hubungan antara artritis reumatoid dengan bakteri
periodontopatik. Misalnya cairan sinovial pasien artritis reumatoid telah ditemukan
mengandung antibodi tinggi terhadap bakteri anaerob yang biasanya menyebabkan infeksi
periodontal seperti porphyromonas gingivalis.
Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga berperan dalam artritis reumatoid, sebagaimana dibuktikan oleh jumlah
wanita yang lebih banyak menderita penyakit ini, adanya perbaikannya selama kehamilan,
kekambuhan pada periode postpartum awal, dan penurunan insiden pada wanita yang menggunakan
kontrasepsi oral.
Penggunaan tembakau adalah faktor risiko gaya hidup utama untuk artritis reumatoid. Perokok
memiliki resiko yang lebih tinggi terkena artritis reumatoid.
Selain itu, kebiasaan diet juga mempengaruhi timbulnya artritis reumatoid. Beberapa jenis diet yang
termasuk faktor risiko antara lain :
Kekurangan vitamin D
Faktor imunologi
Hampir semua elemen imunologi utama memainkan peran mendasar dalam proses autoimun artritis
reumatoid. Kondisi patologis seperti proliferasi sinovial dan kerusakan sendi melibatkan sel T dan B
serta berbagai sitokin. Sel B juga menghasilkan banyak autoantibodi seperti RF dan ACPA yang
mengeluarkan sitokin.
Stadium awal
Anoreksia
Letih
Lesi kardiopulmoner
Infeksi
Sendi yang terasa perih dan nyeri, awalnya hanya jika pasien menggerakkannya tetapi
akhirnya muncul bahkan saat pasien beristirahat
Limfadenopati
Miositis
Osteoporosis
Perikarditis
Neuritis periferal, yang menyebabkan mati rasa atau kesemutan di kaki bawah atau
pelemahan dan hilangnya sensasi di jari tangan
Pleuritis
Jari berbentuk-spindel, yang disebabkan oleh edema dan kongesti yang terlihat jelas di sendi
Otot kaku, lemah, atau nyeri, terutama setelah tidak beraktivitas dan saat bangun di pagi
hari
Vaskulitis, yang bisa menyebabkan lesi kulit, ulser kaki, dan komplikasi sistemik multipel
Pemeriksaan diagnostik
Sinar-X pada stadium awal menunjukkan demineralisasi tulang dan pembengkakan jaringan-
lunak. Pada stadium selanjutnya, sinar-X menunjukkan kartilago hilang dan ruang sendi
menyempit. Akhirnya, sinar-X menunjukkan kehancuran dan erosi kartilago dan sendi,
subluksasi, dan deformitas.
RF positif pada 75% sampai 80% pasien, yang diindikasikan dengan titer 1:160 atau lebih
tinggi.
Analisis cairan sinovial menunjukkan peningkatan volume dan turbiditas namun viskositas
turun dan jumlah sel darah putih meningkat (umumnya lebih dari 10.000/ mm3).
Tingkat sedimentasi eritrosit dan kadar protein reaktif-C naik pada 85% sampai 90% pasien
(bisa digunakan untuk memantau respons terhadap terapi karena kenaikan biasanya
sebanding dengan aktivitas penyakit.)
Jumlah darah lengkap biasanya menunjukkan anemia sedang, leukositosis ringan, dan
trombositosis.
Penatalaksanaan Medik
Salisilat, terutama aspirin, merupakan unsur utama dari terapi RA, karena bisa meringankan
inflamasi dan nyeri sendi.
Cyclophosphamide (Cytoxan), yang menekan sistem imun dan berkaitan dengan efek
merugikan toksik, bisa diberikan pada pasien yang tidak berhasil sembuh dengan terapi lain.
Etanercept (Enbrel), yaitu agens yang bisa diinjeksi, dan infliximab (Remicade), yang
diberikan secara I.V. setiap 2 bulan, menghambat faktor nekrosis protein inflamatorik.
Anakinra (Kinerel), yaitu agens yang bisa diinjeksi, menghalangi protein inflamatorik lain,
yaitu interleukin-1.
Tindakan suportif antara lain tidur selama 8 sampai 10 jam setiap malam, sering beristirahat
di sela-sela aktivitas sehari-hari, dan membelat sendi yang mengalami inflamasi.
Program terapi fisik, antara lain latihan jangkauan-pergerakan dan latihan terapeutik
individual yang dilakukan dengan hati-hati, bisa mencegah hilangnya fungsi sendi.
Kompres panas bisa merilekskan otot dan meringankan nyeri. Sebagian besar panas biasanya
bekerja paling baik pada penderita penyakit kronis. Kantung es efektif saat episode akut.
Intervensi dini dengan pembelatan dan alat pelindung sendi, yang dipandu oleh terapis
okupasional, bisa menunda perkembangan deformitas sendi secara efektif.
Penyakit parah bisa membutuhkan sinovektomi, rekonstruksi sendi, atau artroplasti sendi
total.
Artroplasti reseksional kepala metatarsal dan ulnar distal, pemasukan prostesis Silastic di
antara sendi metakarpofalangeal dan interfalangeal proksimal, dan artrodesis (fusi sendi)
merupakan prosedur pembedahan yang bermanfaat. Artrodesis mengorbankan mobilitas
sendi untuk stabilitas dan meringankan nyeri.
Osteotomi (pemotongan tulang atau eksisi baji tulang) bisa menyejajarkan permukaan sendi
dan mendistribusikan tekanan kembali.
Tendon bisa mengalami ruptur secara spontan, sehingga membutuhkan perbaikan dengan
pembedahan. Transfer tendon bisa mencegah deformitas atau meringankan kontraktur.
Asuhan Keperawatan (Askep) Artritis reumatoid pendekatan Sdki Slki dan Siki
Intervensi Keperawatan:
a. Manajemen Nyeri (I.08238)