Anda di halaman 1dari 90

ATRITIS REUMATOID

PENDAHULUAN

Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik
dan progresif , dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik klasik AR adalah
poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain
lapisan synovial sendi, AR juga bisa mengenai organ – organdiluar persendian seperti kulit,
jantung, paru – paru dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi
kardiovaskuler, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas. Menegakkan
diagnosis dan terapi sedini mungkin, dapat menurunkan progresifitas penyakit. Metode terapi
yang dianut saat ini adalah pendekatan pyramid terbailk, yaitu pemberian DMARD sedini
mungkin untuk menghambat pemburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat,
akan terjadi destruksi sendi, deformitas dan disabilitas. Morbiditas dan mortilitas AR berdampak
terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan
DMARD biologik, memberi harapan baru dalam penatalaksanaan penderita AR.

ETIOLOGI

Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya
penyakit ini, Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks
histokompabilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositive. Pengemban
HLA-DR4 memiliki resiko relative 4:1 untuk menderita penyakit ini.

Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang
sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah
satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormone
estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga
kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit
ini.

Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan faktor infeksi sebagai
penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan
timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.
Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan
synovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen
peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR. Agen
infeksius yang diduga merupakan penyebab AR antara lain adalah bakteri, mikoplasma, atau
virus.

PATOFISIOLOGI

Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa pathogenesis AR terjadi akibat rantai peristiwa
imunologis sebagai berikut :

Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membrane synovial, akan diproses oleh antigen
presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritic
atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLS-DR pada membrane selnya.
Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+.

Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor
interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oleh CD4+ akan mengikatkan
diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis
dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap
berada dalam lingkungan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi
berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor ϐ (TNF-ϐ), interleukin 3
(IL-3),interleukin 4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta
beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas
fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi
antibodi.Produksi antibody oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.

EPIDEMIOLOGI

Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR konstan yaitu berkisar antara 0,5 – 1 %.
Prevalensi yang tinggi di dapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing – masing sebesar
5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di IIndia dan negara Barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75%.
Sedangkan di China, Indonesia dan Filliphina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik di daerah
urban aupun rural.
Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% di daerah
rural dan 0.3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di malang pada penduduk
berusia diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah kotamdaya dan 0,6%
di daerah kabupaten. Di poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus
baru AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari s/d Juni
2007 didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan sebnanyak 1.346 orang
(15,1%). Prevalensi AR banyak ditemukan pada perempuan disbanding laki – laki dengan rasio
3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan
pada dekade keempat dan kelima.

GAMBARAN KLINIK

Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid.
Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit
ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.

Manifestasi artikular
Penderita AR pada umunya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada sendi, walaupun ada
sepertiga penderita mengalami gejala wal pada satu atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda
cardinal inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan, dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada
awal penyakit atau selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak
dijumpai pada penderita AR yang kronik.

Manifestasi ekstraartikular
Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama, tetapi AR merupakan penyakit sistemik
sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekstraartikular. artritis reumatoid juga
dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi seperti jantung (perikarditis), paru-paru
(pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

Poliartritis simetris
Terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan
sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
Artritis erosif
Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi
yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.

Deformitas
Deformitas adalah kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit.
Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal,
deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai
pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari
subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan
kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.

Deformitas leher angsa Deformitas boutoniere

Deviasi ulna
Nodula Reumatoid
Nodula - nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang
dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa
olekranon (sendi siku) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian
nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini
biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.

DIAGNOSA

Arthritis Reumathoid harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif
yang berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat
lainnya seperti lupus eritematosus sistemik (LES), yang mungkin mempunyai gejala menyerupai
AR. Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan. Artritis gout jarang bersama – sama
dengan AR, bila dicurigai ada artritis gout maka pemeriksanaan cairan sendi perlu dilakukan.
Diagnosa arthritis reumatoid dapat dikatakan positif apabila sekurang - kurangnya empat dari
kriteria yang sekurang - kurangnya sudah berlangsung selama 6 minggu.
Kriteria tersebut adalah :
 Kekakuan dipagi hari  Faktor rheumatoid dalam
lamanya sekitar 1 jam serum
 Arthritis pada tiga atau lebih  Perubahan-perubahan
sendi radiologik, seperti:
 Arthritis pada sendi - sendi 1. Pembengkakan jaringan lunak
jari tangan 2. Erosi
 Arthritis yang simetris 3. Osteopororosis articular
 Nodul rheumatoid
Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis, yaitu:
 Pemeriksaan cairan synovial
1. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan peningkatan
jumlah sel darah putih.
2. Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang didominasi
oleh sel neutrophil (65%).
3. Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding terbalik
dengan cairan sinovium.
 Pemeriksaan darah tepi
1. Leukosit : normal atau meningkat. Leukosit menurun bila terdapat splenomegali; keadaan
ini dikenal sebagai Felty’s Syndrome.
2. Anemia normositik atau mikrositik
 Pemeriksaan kadar sero-imunologi
1. Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita dengan nodul subkutan.
2. Anti CCP antibodi positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.

PENANGANAN

Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera
berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dan keluarganya dengan dokter atau
tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk
dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup
lama

Penggunaan OAINS dalam pengobatan AR

OAINS umunya diberikan pada pasien AR sejak masa dini penyakit ini dimaksudkan untuk
mengatasin nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi
proliferasi synovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan
efek analgesic yang sangat baik.
Keterbatasan penggunaan OAINS adalah toksisitasnya. Toksisitas OAINS yang paling sering
dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinal, terutama jika OAINS digunakan
bersama obat lain, alkohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan
suatu faktor resiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat OAINS. Bagi pasien
yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS dalam bentuk suppositoria, pro-drugs, enteric
coated slow release atau non-acidic. Preparat dalam bentuk ini kurang berpengaruh pada mukosa
lambung dibandingkan dengan preparat biasa. Pada pihak lain, walaupun OAINS dalam bentuk
ini seringkali dianggap kurang menyebabkan timbulnya iritasi gastrointestinal akibat kontak
langsung dengan mukosa gastroduodenal, ummumnya obat dalam bentuk ini tetap meiliki efek
sistemik terutama dalam menekan sintesis prostaglandin sehingga obat ini juga harus digunakan
secara berhati – hati terutama pada pasien yang telah memiliki gangguan mukosa
gastroduodenal. Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain
adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta penekanan system
hematopoetik.

Penggunaan kortikosteroid pada pengobatan AR

Kortikosteroid memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresif, akan tetapi pada AR obat ini
tidak terbukti memiliki khasiat untuk mengubah riwayat alamiah penyakit. Karena efek
sampingnya yang sangat berat, penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang umumnya
hanya digunakan untuk pengobatan AR dengan komplikasi yang berat dan mengancam jiwa
seperti vasculitis.

Kortikosteroid dosis rendah sangat bermanfaat untuk digunakan sebagai bridging therapy dalam
mengatasi gejala synovitis selama menunggu obat DMARD mulai bekerja. Penggunaan
kortikosteroid dosis rendah ini harus dihentikan secara bertahap jika obat golongan DMARD
telah menunjukkan khasiatnya.

Suntikan kortikosteroid intra articular akan sangat bermanfaat untuk mengatasi synovitis jika
terdapat peradangan yang berat satu atau dua persendian. Sebelum suntikan kortikosteroid intra
articular diberikan,adanya infeksi pada sendi tersebut harus disingkirkan terlebih dahulu.
Rehabilitasi pasien AR

Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR dengan


cara :

 Mengurangi rasa nyeri


 Mencegah terjadinya kekauan dan keterbatasan gerak sendi
 Mencegah terjadinya atrofi dan kelamahan otot.
 Mencegah terjadinya deformitas
 Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
 Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain

Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang
terlibat, latihan serta menggunakan modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan,
peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR
ternyata telah terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam
penanganan AR.

Diet untuk Pasien

Diet pada penderita Artritis Reumatoid (AR) memang perlu dikhususnya terkait dengan adanya
beberapa kondisi khusus pada penderita AR. Berikut adalah diet bagi penderita AR:
1. Konsumsi makanan bervariasi sesuai kebutuhan kalori tubuh.
Penderita AR diharapkan untuk mengkonsumsi makanan bervariasi terdiri dari kombinasi
daging ternak, ikan, banyak buah dan sayuran segar (5 porsi per hari), kacang-kacangan
dan sedapat mungkin menggunakan minyak zaitun. Namun, sungguh penting disertai
adanya usaha untuk menjaga berat badan ideal, sebab adanya kelebihan berat badan dapat
memperberat beban sendi sehingga nyeri dapat bertambah hebat.

2. Konsumsi makanan kaya akan omega 3


Omega 3 baik bagi kesehatan jantung dan diketahui membantu mengurangi peradangan
dan dapat mengurangi nyeri dan kekakuan pada sendi. Sumber omega 3 seperti ikan
sarden, salmon dan tuna. Makan ikan ini setidaknya dua porsi (1 porsi =140 gr) ikan
setiap minggu.

3. Konsumsi kaya akan zat besi


Kelelahan yang dirasakan penderita AR seringkali diperberat dengan keadaan anemia
(kurangnya hemoglobin darah untuk mentransportasikan oksigen ke seluruh tubuh).
Anemia pada penderita AR dapat disebabkan oleh adanya peradangan kronis yang terjadi
atau efek samping dari penggunaan obat anti inflamasi non-steroid (OAINs) jangka
panjang seperti perdarahan internal atau tukak lambung. Untuk mengatasi hal ini,
konsumsilah makanan kaya akan zat besi secara berkala seperti: daging merah, telur,
sayur-sayuran hijau, kacang-kacangan, buncis. Konsumsi vitamin C juga diperlukan
untuk memudahkan penyerapan zat besi. Vitamin C banyak terdapat dalam sayuran dan
buah-buahan.

4. Makan makanan kaya akan kalsium


Penderita AR memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami osteoporosis, untuk itu
penting untuk menkonsumsi kalsium. Sumber kalsium seperti susu, keju, yogurt dan
produk susu lainnya, sayur-sayuran hijau, almond, ikan seperti sarden dan teri. Sebaiknya
dipilih jenis susu yang memiliki kandungan lemak yang lebih rendah seperti skimmed
milk atau semi skimmed milk, karena jumlah kandungan kalsiumnya sama saja. Untuk
penyerapannya kalsium membutuhkan vitamin D. Vitamin D bisa didapatkan dari sinar
matahari. ikan, telur , margarin. dan sereal terfortifikasi.

5. Kenali makanan yang membuat serangan bertambah


Beberapa ahli berpendapat alergi makanan dapat mencetuskan peradangan pada penderita
AR. Makanan yang dapat mencetuskan peradangan dapat berbeda bagi setiap penderita
AR. Untuk itu, perlu diidentifikasi makanan pencetus peradangan dengan melakukan
program eksklusi makanan satu persatu.

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI


Pada waktu timbulnya penyakit, sangat sulit menentukan prognosis untuk setiap penderita.
Sekitar 10% penderita yang mendapat artritis reumatoid akan mengalami kecacatan yang hebat,
tergantung pada sebagian atau seluruh aktivitas normalnya setiap hari. Berlawanan dengan ini,
paling sedikit 20% penderita hanya mempunyai gejala yang sangat ringan dan kecacatan yang
relative kecil. Mereka mungkin mempunyai pembengkakan sendi yang intermiten dan kesulitan
dalam pergerak seperti menyisir rambut ke belakang kepala.
Sisanya yang 70% penderita mempunyai tingkat ketidakmampuan yang bermacam – macam dan
sebagian besar memerlukan berbagai pengobatan, paling sedikit sewaktu terjadi serangan
penyakit.
Walaupun penyakit rheumatoid dapat memberat dan progresif tetapi sangat jarang menyebabkan
kematian. Infeksi lebih sering ditemukan pada penderita rheumatoid artritis daripada populasi
umum; yang meliputi septik artritis, pneumonia, pericarditis supurativa dan septicemia. Kultur
darah penting pada penderita rheumatoid artritis yang sangat berat. Antara 5 sampai 15%
penderita dengan penyakit rheumatoid artritis menderita reaktif (AA) dan amyloidosis.

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Gejala penyakit ini dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias Lupus
Eritomatosus, artinya kemerahan. Sedangkan sistemik bermakna menyebar luas ke berbagai
organ tubuh. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir
seluruh organ yang ada di dalam tubuh.

Lupus atau istilah kesehatannya disebut systemic lupus erythematosus adalah sejenis penyakit
auto-imun. Tak seperti penderita penyakit HIV/AIDS yang kehilangan sistem kekebalan tubuh
akibat virus HIV. Sistem kekebalan tubuh atau antibodi penderita justru hiperaktif dan balik
menyerang organ tubuh yang sehat.

Penyakit ini biasa menyerang wanita produktif dan penderitanya disebut odapus. Meski kulit
wajah penderita Lupus dan sebagian tubuh lainnya muncul ruam-ruam merah dan bercak-bercak
merah, penyakit itu tidak menular.

Sistem imunitas yang normal biasanya akan menghasilkan protein yang disebut antibodi yang
berguna menjaga tubuh terhadap serangan virus, bakteri, dan benda asing lainnya. Benda tersebut
disebut antigen. Dalam suatu ketidaknormalan fungsi auto imun seperti lupus, sistem tubuh ini
kehilangan kemampuan untuk membedakan benda asing (antigen) dan jaringan tubuh itu sendiri.

Sistem imunitas ini kemudian membuat antibodi yang akan menyerang terhadap jaringan tubuh
itu sendiri. Antibodi ini disebut auto antibodi, yang akan bereaksi dengan antigen dan akan
membentuk sistem imun kompleks. Sistem imun kompleks terjadi di dalam jaringan tubuh akan
mengakibatkan inflamasi, luka atau infeksi jaringan dan sel serta sakit.

Penyakit lupus tidak bisa dikatakan sebagai penyakit keturunan. Hingga kini, tingkat jumlah nilai
penderita lupus akibat faktor genetik hanya mencapai 10%.

ETIOLOGI

Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks
dan multifaktor antara variasi genetic dan faktor lingkungan. Faktor genetic diduga berperanan
penting dalam predisposisi penyakit ini.

Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadic tanpa identifikasi faktor genetic, berbagai faktor
lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab.

a. Faktor Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit.
Sekitar 10 – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang juga
menderita SLE. Angka terdapatnya SLE pada saudara kembar identic pasien SLE adalah
24 – 69% lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik 2- 9%. Penelitian – penelitian
terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang mengkode
unsur – unsur system imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu, terutama HLA-DR2
dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan pada faase awal reaksi
ikat komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) telah terbukti.Gen – gen lain yang mulai
terlihat ikut berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T, immunoglobulin dan
sitokin.

b. Faktor Hormonal
SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Serangan pertama kali
SLE jarang terjadi pada usia pubertas dan setelah menopause. Metabolisme estrogen yang
abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin, dimana peningkatan hidroksilasi
16á dari estrone mengakibatkan peningkatan yang bermakna konsentrasi 16á
hidroekstrone. Metabolit 16á lebih kuat dan merupakan feminising estrogen. Perempuan
dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah, termasuk
testosteron, dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron (DHEA) dan
dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan oksidasi testosterone pada C-17 atau peningkatan aktivitas aromatase
jaringan. Konsentrasi androgen berkolerasi negative dengan aktivitas penyakit.
Konsentrasi testosteron plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi LH
ditemukan pada beberapa penderita SLE laki – laki. Jadi estrogen yang berlebihan
dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki – laki maupun
perempuan, mungkin bertanggunng jawab terhadap perubahan respon imun. Konsentrasi
progresteron didapatkan lebih rendah pada penderita SLE perempuan dibandingkan
dengan orang yang sehat.

Prolaktin adalah hormon yang terutama berasal dari kelenjar hipofise anterior, diketahui
menstimulasi respon imun homural dan selular, yang diduga berperanan dalam
patogenesis SLE. Selain kelenjar hipofise, sel – sel imun juga mampu mensintesis
prolactin. Fungsi prolactin menyerupai sitokinin, yang mempunyai aktivitas endokrin
parakrin dan autokrin. Prolaktin diketahui menstimulasi sel T, sel natural killer, makrofag,
neutrophil, sel hemopoietik CD34+ dan sel dendritik presentasi antigen.

Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam patogenesis SLE adalah leptin.
Penelitian konsentrasi leptin serum pda penderita SLE perempuan mendapatkan kadar
leptin pada penderita SLE lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang sehat.

c. Faktor Lingkungan
Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan presdisposisi untuk SLE,
tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen dan
lingkungan. Agen infeksi seperti virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon
spesifik melalui kemiripan molecular dan gangguan terhadap regulasi imun; diet
mempengaruhi produksi mediator inflamasi ; toksin/obat – obatan memodifikasi respon
selular dan imunogenisitas dari self antigen; dan agen fisik/kimia seperti sinar ultraviolet
(UV) dapat menyebabkan inflamasi, memiccu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan
jaringan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap predisposisi individual dangat bervariasi.
Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas adan adanya periode bergantian antara
remisi dan kekambuhan dari penyakit ini.

Radiai UV bisa mencetuskan dan mengeksaserbasi ruam fotosintesitivitas pada SLE, juga
ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat mengubah struktur DNA yang menyebabkan
terbentuknya autoantibodi. Sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosit
manusia yang menghasilkan blebs nuclear dan autoantigen sitoplasmotik pada
permukaan sel.

Penggunaan estrogen meningkat pada perempuan postmenopause dan untuk kepentingan


kontrasepsi. Paparan estrogen secara kronik pada tikus pubertas non-imun mempengaruhi
perkembangan timus dan toleransi imun. Paparan senyawa estrogenic selama kehidupan
fetus bisa menimbulkan risiko imunologik yang potensial. Paparan dietilstilbesterol
prenatal berhubungan dengan gangguan autoimun, meskipun masih memerlukan
investigasi lebih lanjut. HRT dan penggunaan pil kontasepsioral juga berhubungan
dengan sedikit peningkatan resiko berkembangnya SLE. Estrogen lingkungan dan
gangguan endokrin mungkin merupakan pencetus yang penting untuk autoimunitas pada
individu yang peka.
EPIDEMIOLOGI

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit utama di dunia. Prevalensi SLE
di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda – beda
bervariasi antara 2.9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu
seperti bangsa negro, Cina, dan mungkin jga filiphina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor
ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan
pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15 – 40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada
wanitadibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5 – 9) : 1. Pada lupus
eritematosus yang disebabkan obat rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.

GAMBARAN KLINIK

Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai dengan
tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada
satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe
menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.

1. Onset
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan
sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian
kehamilan dan trauma fisis/psikis.
Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise,
kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling
menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

2. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE ialah gejala musculoskeletal, berupa arthritis atau
artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Kaku pagi hari jarang ditemukan.
Mungkin juga terdapat nyeri otot dan myositis. Arthritis biasanya simetris tanpa
menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid.
Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang
mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena
adalah kaput femoris.

3. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit
yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, discoid dan livido
retikularis.
Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis
SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang agak
edematous pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini
dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul
ruam kuilt yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi ini termasuk
lesi kulit akut.

Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular. Lesi discoid berkembang melalui tiga
tahap yaitu eritema, hiperkeratosisdan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak
eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai adanya penyumbatan
folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk sikatriks. Livido retikularis suatu
bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.

Lesi Akut
Lesi kulit subakut

Lesi Diskoid

Livido Retikularis

4. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu
nefritis lufus difus dan netritis lupus membranosa. Nefritis lufus difus merupakan
kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi
serta gangguan fungsi ginjal sedang samapi berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang
ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta
perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan
ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberculosis
ginjal dan sebagainya, gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.

5. Kardiovaskular
Kelaianan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia
miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).

6. Paru - paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin
ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian
terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis lupus baru dapat ditegakkan jika faktor –
faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan.
7. Saluran pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah jarang)
dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sitemiknya mendapat
pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau
arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus.
Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.

8. Hati dan Limpa


Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus.
Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/kembali normal.

9. Kelenjar Getah Bening


Pembesaran kelenjar getah bening sering ditemukan (50%). Biasanya berupa
limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-
kadang disangka sebagai limfoma.

10. Kelenjar Parotis


Kelenjar parotis membesar pada 6% kasus SLE

11. Susunan Saraf Tepi


Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan mororik. Biasanya bersifat
sementara.

12. Susunan Saraf Pusat


Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organic dan
kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif
SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi di samping
gejala khas kelainan organic otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan tidak
sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.

Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organic yang secara klinis tak dapat
dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui
dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik
jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis steroid sebaliknya.

Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang
mungkin ditemukan ialah Korea, kejang tipe Jackson, Paraplegia karena mielitis
transversal, hemiolegia, afasia dan sebagainya.

13. Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan
subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.

Sindrom Lupus Atipik


* Lupus tanpa ANA
Beberapa pasien SLE tetap tidak menunjukkan adanya ANA selama perjalanan penyakitnya.
Ginjal dan SSP lebih jarang terkena dan jangka hidupnya lebih panjang.

* Sindrom Antifosfolipid
Sebagian pasien SLE dengan antibodi terhadap salah satu jenis fosfolipid, yaitu kardiolipin
menunjukkan thrombosis pembuluh darah (vena maupun arteri) yang berulang, abortus berulang
dan trombositopenia. Di lain pihak, pasien antibodi terhadap kardiolipin sering menunjukkan
gejala lupus yang tidak khas, tes terhadap ANA negatif dan tidak memenuhi kriteria ARA untuk
diagnosis SLE. Di samping itu mereka menunjukkan insidensi berbagai macam kelainan SSP
yang tinggi terutama stroke. Berdasarkan fakta inilah lahir istilah sindrom antifosfolipid.

* Lupus Eritematosus Karena Obat ( Druginduced LE )


Beberapa jenis obat dapat menimbulkan gejala-gejala yang menyurpai SLE, misalnya hidantoin,
hidralazin, dan prokainamid. Keadaan ini dulu disebut juga sindrom hidralazin, alfametil dopa,
PTU serta metimazol dan kinidin. Biasanya kelainan ginjal dan susunan saraf pusat jarang
ditemukan. Anti-dsDNA, hipokomplemenemia serta imun kompleks juga tidak sering ditemukan.

Penyakit yang Dapat Ditemukan Bersama-sama SLE


1. Arthritis rheumatoid dan penyakit jaringan ikat lainnya.
2. Miastenia gravis.
3. Trombotik trombositopenik purpura.

PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
factor-faktor genetic, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE
akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibody
diperkirakan terjadi akibat funsi sel T supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya
serangsang antibody tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

DIAGNOSIS

Diagnosisi SLE harus dipikirkan pada seseorang, terutama wanita dalam masa reprodukstif yang
mempunyai keluhan / gejala multisystem, disertai terdapatnya berbagai macam autoantibodi
dalam tubuh, terutama antibody terhadap komponen – komponen inti sel. Kelainan yang paling
sering diteemukan ialah astritis/astralgia dan lesi kulit.

Kriteria diagnosis

Pada tahun 1982, para dokter di “The American Rheumatism Association (ARA)” menemukan
terdapat 11 gejala serta tanda yang akan membedakan lupus dari penyakit lainnya. Untuk
seorang dokter dapat mendeteksi lupus, seorang pasien harus memiliki paling tidak 4 atau lebih
gejala-gejala di bawah ini selama suatu waktu dari masa penyakitnya itu berjangkit, diantaranya :

1. Ruam (rash) di daerah malar


Ruam berupa eritema terbatas, rata atau meninggi, letaknya di daerah malar, biasanya tidak
mengenai lipat nasolabialis.

2. Lesi diskoid

Lesi ini berupa bercak eritematora yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat disertai
penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin terbentuk sikatriks.

3. Fotosensitivitas

Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui
melalui anamnesis atau melalui pengamatan dokter.

4. Ulserasi mulut

Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui melalui pemeriksaan dokter.

5. Artritis

Artritis non-erosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.

6. Serositis

a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh dokter
atau adanya efusi pleura.

b. Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau
adanya efusi perikard.

7. Kelainan ginjal

a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau > 3+

b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit, hemoglobulin granular, tubular atau campuran

8. Kelainan neurologis

a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkan atau kelainan
metabolik seperti uremia, ketosidosis, dan gangguan keseimbangan elektrolit.
b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkannya atau
kelainan metabolik seperti uremia, ketosidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.

9. Kelainan hematologik

a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis

b. Leukopenia, kurang dari 400/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.

c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.

d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3, tanpa adanya obat yang mungkin


menyebabkannya.

10. Kelainan imunologi

a. Adanya sel LE.

b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA (anti-ds DNA) dengan titer abnormal.

c. Anti-Sm : adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos.

d. Uji serologi untuk sifilis yang positif semu selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat
oleh uji imobilisasi treponemapallidum atau uji fluoresensi absorpsi antibodi treponema.

11. Antibodi antinuklean

Titer abnormal antibodi anti nuklean yang diukur dengan cara imunofluoresensi atau cara
lain yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak adanya obat-obat yang berkaitan
dengan sindrom lupus karena obat.

Diagnosis Banding

- Artritis rheumatoid dan penyakit jaringan ikat lainnya.

- Endokarditis bacterial subakut

- Septikimia disebabkan gonokokus/meningokokus yang disertai arthritis dan lesi kulit.

- Reaksi terhadap obat


- Limfoma

- Leukemia

- Trombotik trombositopenik purpura

- Sarkoidosis

- Lues II

- Sepsis bacterial

PENANGANAN

Sampai sekarang SLE belum disembuhkan dengan sempurna. Meskipun demikian, pengobatan
yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang terjadi, mengatasi fase akut dan
dengan demikian memperpanjang remisi dan survival Rate.

Program pengobatan yang tepat sangat individual karena gambaran klinis dan perjalanan
penyakit sangat bervariasi.

Pendidikan Terhadap Pasien

Pasien diberi penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi,
prognosis dan sebagainya), sehingga dapat bersikap positif terhadap penanggulangan penyakit
ini. Di beberapa negara telah tersedia materi pendidikan dalam bentuk brosur atau booklet; juga
perkumpulan pasien SLE.

Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE

1. Monitoring yang teratur.


2. Penghematan energi
Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluahan yang menonjol. Diperlukan
waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang
cukup.
3. Fotoproteksi
Kontak dengan sinar matahari atau sinar ultraviolet harus dikurangi atau dihindarkan.
Dapat juga dipakai lotion tertentu (sunscreener lotion) untuk mengurangi kontak dengan
sinar matahari.
4. Mengatasi infeksi
Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya, pasien
harus segera memeriksakan diri. Di Amerika dianjurkan vaksinasi dengan vaksinasi
influenza dan pneumokokus. Diperlukan terapi pencegahan dengan antibiotik pada
operasi gigi, traktus urinarius atau prosedur bedah invasive lain.
5. Merencanakan kehamilan
Kehamilan harus dihindakan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapat
pengobatan dengan obat imunosupresif.

Obat-obatan

Bentuk pengobatan SLE ditentuan antara lain oleh aktivitas penyakit. Aktivitas penyakit
sebenarnya merupakan gabungan antara gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium
yang mencerminkan adanya inflamasi aktif, sekunder terhadap SLE.

NSAID dan Salisilat

1. NSAID terutama dipakai dengan gejala ringan.

2. Kortikosteroid untuk mengurangi dosis kortikosteroid.

3. Preparat salisilat atau preparat lain seperti indometasin ( 3 x 25 mg/hari ).

4. Aseta,inofen ( 6 x 650 mg/hari )

5. Ibuprofen ( 4 x 300-400 mg/hari )

6. Istirahat yang cukup

7. Terapi simtomatis lain misalnya diperlukan pada :

- Eritema

Terapi local dengan krem atau salep kortikosteroid

- Ulserasi mulut dan nasofaring diberi terapi local

- Fenomen Raynoud

Pencegahan timbulnya fenomen ini diusahakan dengan protective clothing.


8. Obat anti makirik

9. Imunosupresif

Diet pasien lupus

Penyakit Lupus adalah penyakit yang menyerang daya tahan tubuh, juga jaringan tubuh yang
sehat. Hal ini menyebabkan penderita mengalami peradangan, pembengkakan dan kerusakan
organ tubuh seperti darah, sendi, kulit, ginjal, jantung dan paru-paru.

Dipastikan bahwa tidak ada makanan yang memicu penyakit Lupus atau yang dapat
menyembuhkannya. Namun karena penyakit ini menyerang kekebalan tubuh, maka nutrisi yang
baik sangat penting dalam perawatan penderita penyakit ini secara keseluruhan.

Secara umum, penderita Lupus disarankan menjaga diet yang seimbang termasuk banyak
mengkonsumsi buah-buahan, sayuran dan juga biji-bijian. Selain itu juga perlu mengkonsumsi
protein secukupnya seperti daging sapi, unggas dan ikan yang mengandung minyak omega 3.

Lupus adalah penyakit yang menyebabkan peradangan, untuk itu jika salah memilih makanan
dapat memperburuk kondisi peradangan. Sebaliknya disarankan makanan-makanan yang
mengandung anti-inflamasi seperti omega-3, yaitu ikan, kacang-kacangan, biji rami, minyak
canola, dan minyak zaitun.

Makanan yang menyebabkan peradangan adalah makanan yang mengandung minyak jenuh dan
harus dihindari. Berikut adalah makanan yang mengandung minyak jenuh: gorengan, makanan
yang dipanggang, sup krim dengan saus, daging merah, lemak hewan, daging olahan, produk
susu tinggi lemak, keju, mentega dan es krim. Yang perlu diingat adalah makanan yang
mengandung asam amino akan merangsang sistem kekebalan tubuh dan membuat peradangan
pada penderita Lupus. Bawang putih adalah salah satu sumber makanan yang patut diwaspadai.
Kebutuhan nutrisi sangat penting bagi penderita Lupus, terutama agar tulang dan otot kuat. Salah
satunya karena obat-obatan yang dikonsumsi dapat membuat penderita mengalami osteoporosis,
kondisi ini membuat tulang mudah patah. Untuk itu disarankan untuk mengkonsumsi makanan
yang mengandung kalsium tinggi, namun pilihlah yang rendah lemak atau bebas lemak.
Pilihannya bisa meliputi :

 Susu skim
 Rendah lemak, rendah sodium yogurt

 Keju rendah lemak

Jika Anda tidak dapat minum susu, alternatif terbaik bisa berupa :

 Susu bebas laktosa


 Susu Kedelai

 Susu Almond

 Jus yang diperkaya dengan kalsium dan vitamin D

 Sayuran hijau juga bisa menjadi sumber kalsium yang baik.

Diet yang tepat dapat juga membantu penderita Lupus untuk mengatasi efek samping dari obat
yang dikonsumsi. Contohnya diet rendah sodium dapat mengurangi retensi (penahanan) cairan
dan menurunkan tekanan darah.

Diet tinggi asam folat dengan mengkonsumsi sayuran hijau, buah-buahan dan ditambah roti serta
sereal baik bagi penderita. Jika penderita sering mual karena obat, maka disarankan makan
makanan kecil yang mudah dicerna seperti sereal kering, roti dan biskuit. Juga hindari makanan
berminyak, pedas dan asam.

INFLAMMATORY BOWEL DISEASE (IBD)

Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit peradangan menahun pada usus yang
tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan melibatkan reaksi sistem imun tubuh terhadap
saluran pencernaan. Inflammatory bowel disease terdiri atas dua tipe, yaitu kolitis ulseratif dan
penyakit Crohn. Sesuai dengan namanya, kolitis ulseratif hanya mengenai kolon sedangkan
penyakit Crohn dapat mengenai semua segmen saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai
anus.

Penyakit Crohn adalah peradangan menahun pada dinding usus. Penyakit ini mengenai seluruh
ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada bagian terendah dari usus halus (ileum) dan
usus besar, namun dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut
sampai anus, dan bahkan kulit sekitar anus.

Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar mengalami
peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut dan demam. Tidak seperti
penyakit Crohn, kolitis ulserativa tidak selalu memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus dan
tidak pernah mengenai usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon sigmoid
(ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau seluruh usus besar.
PENYAKIT CROHN

Penyakit Crohn (Enteritis Regionalis, Ileitis Granulomatosa, Ileokolitis) adalah peradangan


menahun pada dinding usus. Enteritis regional, ileokolitis, atau Penyakit Crohn merupakan suatu
penyakit peradangan granulomatosa kronik pada saluran cerna yang sering terjadi berulang.
Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada bagian terendah
dari usus halus (ileum) dan usus besar, namun dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran
pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan bahkan kulit sekitar anus.

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi penyakit Crohn (CD) berkisar 0,7-56 kasus per 100.000 orang dan lebih sering terlihat
pada orang kulit putih yang tinggal di negara-negara industri Barat. Di Amerika Serikat, sekitar 7
per 100.000 orang terkena penyakit ini. Orang-orang Eropa (Ashkenazi) yang mempunyai
keturunan Yahudi memiliki prevalensi 3-5 kali lebih tinggi dari anggota dari populasi umum.

Insiden dan prevalensi penyakit Crohn terus meningkat, terutama di iklim utara dan daerah
perkotaan, tetapi penyakit Crohn juga menjadi lebih umum di daerah-daerah seperti Afrika,
Amerika Selatan, dan Asia. Meskipun kondisi ini dapat terjadi pada semua usia, ada 2 puncak
kejadian, satu di masa dewasa awal (kisaran remaja berusia 20-an) dan satu lagi di kelompok
usia 60-70 tahun. Pria dan wanita yang terkena, tetapi ada kecenderungan perempuan sedikit
untuk penyakit ini.
ETIOLOGI
Penyebab penyakit Crohn belum diketahui secara pasti, tetapi banyak penelitian berpendapat
bahwa penyakit ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti :

 Gangguan sistem kekebalan tubuh, yang menyebabkan usus terlalu responsive terhadap
agen – agen infeksius, makanan, dan lingkungan. Peradangan bisa dipicu oleh bakteri
yang terdapat pada usus. Pada kelainan respon imun, system kekebalan tubuh tidak hanya
menyerang virus atau bakteri, tetapi juga menyerang sel – sel di saluran cerna.
 Faktor herediter. Penyakit Crohn lebih sering terjadi pada orang – orang yang memiliki
anggota keluarga dengan penyakit ini, sehingga diduga terdapat gen yang membuat
seseorang lebih rentan terkena penyakit Crohn. Namun, sebagian besar orang dengan
penyakit Crohn tidak memiliki anggota keluarga dengan penyakit yang sama.

Walaupun tidak ditemukan adanya autoantibodi, enteritis regional diduga merupakan reaksi
hipersensitivitas atau mungkin disebabkan oleh agen infektif yang belum diketahui. Teori-teori
ini dikemukakan karena adanya lesi-lesi granulomatosa yang mirip dengan lesi-lesi yang
dtemukan pada jamur dan tuberkulosis paru. Terdapat beberapa persamaan yang menrik antara
enteritis regional dan kolitis ulseratif. Keduanya adalah penyakit radang, walaupun lesinya
berbeda. Kedua penyakit ini mempunyai manifestasi di luar saluran cerna yaitu uveitis, artritis
dan lesi-lesi kulit yang identik.

PATOFISIOLOGI
Enteritis regional umumnya terjadi pada remaja atau dewasa muda, tetapi dapat terjadi kapan
saja selam hidup. Keadaan ini sering terihat pada populasi 50-80 tahun. Meskipun ini dapat
terjadi dimanasaja disepanjang saluran gastrointestinal, area paling umum yang serin terkena
adalah ilium distal dan kolon.

Enteritis regional adalah inflamasi kronis dan subkutan yang meluas keseluruh lapisan dimding
usus dari mukosa usus, ini disebut juga transmural. Pembentukan fistula, fisura, dan abses terjadi
sesuai luasnya inflamasi kedalaman peritonium, lesi (ulkus) tidak pada kontak terus menerus,
granuloma terjadi pada setengah kasus.
Pada kasus lanjut mukosa usus mempunyai penampilan ”Coblestone”. Dengan berlanjutnya
penyakit, dinding usus menebal dan menjadi tibrotit, dan lumen usus menyempit.
Coblestone Normal
GAMBARAN KLINIS

Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah diare menahun, nyeri kram perut, demam,
nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan
atau rasa penuh pada perut bagian bawah, lebih sering di sisi kanan.

Komplikasi yang sering terjadi dari peradangan ini adalah penyumbatan usus, saluran
penghubung yang abnormal (fistula) dan kantong berisi nanah (abses). Fistula bisa
menghubungkan dua bagian usus yang berbeda. fistula juga bisa menghubungkan usus dengan
kandung kemih atau usus dengan permukaan kulit, terutama kulit di sekitar anus. Adanya lobang
pada usus halus (perforasi usus halus) merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Jika mengenai
usus besar, sering terjadi perdarahan rektum. setelah beberapa tahun, resiko menderita kanker
usus besar meningkat.

Sekitar sepertiga penderita penyakit crohn memiliki masalah di sekitar anus, terutama fistula dan
lecet (fissura) pada lapisan selaput lendir anus. Penyalit crohn dihubungkan dengan kelainan
tertentu pada bagian tubuh lainnya, seperti batu empedu, kelainan penyerapan zat gizi dan
penumpukan amiloid (amiloidosis).

Bila penyakit crohn menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita juga
bisa mengalami :
 Peradangan sendi (artritis)
 Peradangan bagian putih mata (episkleritis)

 Luka terbuka di mulut (stomatitis aftosa)

 Nodul kulit yang meradang pada tangan dan kaki (eritema nodosum) dan

 Luka biru-merah di kulit yang bernanah (pioderma gangrenosum).

Jika penyakit crohn tidak menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita
masih bisa mengalami :

 Peradangan pada tulang belakang (spondilitis ankilosa)


 Peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis)

 Peradangan di dalam mata (uveitis) dan

 Peradangan pada saluran empedu (kolangitis sklerosis primer).

Pada anak-anak, gejala-gejala saluran pencernaan seperti sakit perut dan diare sering bukan
merupakan gejala utama dan bisa tidak muncul sama sekali. Gejala utamanya mungkin berupa
peradangan sendi, demam, anemia atau pertumbuhan yang lambat.

Pola Umum dari Penyakit Crohn


Gejala-gejala penyakit crohn pada setiap penderitanya berbeda, tetapi ada 4 pola yang umum
terjadi, yaitu :

1. Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut bawah sebelah kanan


2. Penyumbatan usus akut yang berulang, yang menyebabkan kejang dan nyeri hebat di
dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan muntah-muntah

3. Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang menyebabkan kurang gizi dan
kelemahan menahun
4. Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi nanah (abses), yang
sering menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang terasa nyeri dan penurunan
berat badan.

DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kram perut yang terasa nyeri dan diare berulang,
terutama pada penderita yang juga memiliki peradangan pada sendi, mata dan kulit. Tidak ada
pemeriksaan khusus untuk mendeteksi penyakit crohn, namun pemeriksaan darah bisa
menunjukan adanya:

 Anemia
 Peningkatan abnormal dari jumlah sel darah putih

 Kadar albumin yang rendah

 Tanda-tanda peradangan lainnya.

Barium enema bisa menunjukkan gambaran yang khas untuk penyakit crohn pada usus besar.

Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar)
dan biopsi untuk memperkuat diagnosis. CT scan bisa memperlihatkan perubahan di dinding
usus dan menemukan adanya abses, namun tidak digunakan secara rutin sebagai pemeriksaan
diagnostik awal.

PENANGANAN

Mengingat bahwa etiologi dan patogenesis penyakit crohn belum jelas, maka pengobatannya
lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi (kalau memang tidak dapat
dihilangkan sama sekali).

Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi dalam bentuk bakteri intraluminal dan
komponen diet sehari-hari yang dapat memutuskan proses inflamasi kronik pada kelompok
orang yang rentan diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik,
lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus dan perubahan pola diet.
Metronidazol cukup banyak diselidiki dan cukup bermanfaat pada penyakit crohn dalam
menurunkan derajat aktivitas penyakitnya.

Disamping beberapa konstituen diet yang harus dihindari karena mencetuskan serangan (seperti
wheat, cereal yeast dan produk dan produk peternakan) terdapat konstituen yang bersifat anti
oksidan yang dalam penelitian terbatas terlihat bermanfaat pada kasus penyakit crohn yaitu
glutamin dan asam lemak rantai pendek. Mengingat penyakit ini bersifat kronik eksaserbasi,
edukasi pada pasien dan keluarganya mempunyai peranan penting.

Kortikosteroid

Sampai saat ini glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk penyakit crohn (semua derajat).
Pada umumnya pilihan jatuh pada prednison, metilprednisolon (keduanya bentuk oral) atau
hidrokortison enema. Pada keadaan berat dapat diberikan secara parenteral. Dengan tujuan
memperoleh konsentrasi steroid lokal di usus yang tinggi dengan efek sistemik (dan efek
samping) yang rendah telah dicoba golongan glukokortikoid non sistemik untuk pengobatan
penyakit crohn. Untuk penyakit crohn dipakai preparat oral lepas lambat. Termasuk golongan ini
antara lain budesonid oral/enema. Dosis rata-rata yang banyak digunakan adalah setara prednison
40 – 50 mg per hari dan bila remisi telah tercapai dilakukan trappering dose dalam waktu 8 - 12
minggu.

Kortikosteroid (misalnya prednison) bisa menurunkan demam dan mengurangi diare,


menyembuhkan sakit peru dan memperbaiki nafsu makan dan menimbulkan perasaan enak,
tetapi penggunaan kortikosteroid jangka panjang memiliki efek samping yang serius, biasanya
dosis tinggi dipakai untuk menyembuhkan peradangan berat dan gejalanya, kemudian dosisnya
diturunkan dan obatnya dihentikan sesegera mungkin.

Metronidazol
Pada penyakit crohn sering diberikan antibiotik berspektrum luas. Antibiotik metronidazol bisa
membantu mengurangi gejala penyakit crohn, terutama jika mengenai usus besar atau
menyebabkan terjadinya abses dan fistula sekitar anus. Penggunaan metronidazol jangka panjang
dapat merusak saraf, menyebabkan perasaan tertusuk jarum pada lengan dan tungkai. Efek
samping ini biasanya menghilang ketika obat dihentikan tapi penyakit crohn sering kambuh
kembali setelah obat ini dihentikan.

Asam Aminosalisilat

Pemakaian aminosalisilat telah lama mapan pada pengobatan penyakit crohn. Preparat
sulfasalozin di dalam usus akan dipecah menjadi sulfapirin dan saminosalicyclin acid (5-ASA).
Telah diketahui bahwa yang bekerja sebagai antiinflamasi pada penyakit crohn adalah 5-ASA.
Saat ini tersedia preparat 5-ASA murni, baik dalam bentuk lepas lambat pada pH > 5 (di
Indonesia salofalk) maupun ikatan diazo. Baik sulfasalazin maupun 5-ASA mempunyai
efektivitas yang relatif sama pada penyakit crohn, hanya dilaporkan efek samping pada 5-ASA
lebih rendah. Hal ini disebabkan efek samping yang terjadi diakibatkan komponen sulfapiridin.
Dosis oral rata-rata yang banyak digunakan adalah 2 – 4 gram perhari. Sulfasalazin dapat
menekan peradangan ringan, terutama pada usus besar, tetapi sulfasalazin kurang efektif pada
penyakit crohn yang kambuh secara tiba-tiba dan berat.

Imunosupresif

Bila dengan 5-ASA dan glukokortikoid gagal dicapai remisi, alternatif lain adalah penggunaan
obat imunosupresif seperti 6 merkaptopurin (1,5 mg/kgBB/hari), azotioprin, siklosporin dan
metotreksat.

Azatioprin dan merkaptopurin merubah kerja dari sisten kekebalan tubuh, efektif untuk penyakit
crohn yang tidak memberikan respon terhadap obat-obatan lain dan terutama digunakan untuk
mempertahakan waktu remisi (bebas gejala) yang panjang.

Obat ini mengubah keadaan penderita dan sering menyembuhkan fistula. Tetapi obat ini sering
tidak memberikan keuntungan selama 3-6 bulan dan bisa menyebabkan efek samping yang
serius. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan terjadinya
alergi, peradangan pankreas (pankreatitis) dan penurunan jumlah sel darah putih.

Diet untuk Pasien

Makanan yang dikonsumsi untuk diet pada penderita Penyakit Crohn sebaiknya lunak, tidak
merangsang, tinggi serat dan rendah lemak. Tetapi bila ada steatorea atau striktur, diet harus
rendah lemak dan rendah serat. Di bawah ini terdapat beberapa jenis makanan yang biasanya
dapat memicu atau memperburuk gejala yang telah ada, yaitu:

 Alkohol
 Mentega, mayonnaise, margarin, minyak lainnya

 Minuman bersoda

 Kopi, teh, coklat

 Berbagai produk susu

 Makanan yang digoreng atau berminyak

 Makanan tinggi serat

 Makanan yang menghasilkan gas, seperti kacang-kacangan, kol, brokoli, dan bawang

 Buah dan sayuran mentah

 Daging merah dan babi

 Makanan pedas
 Gandum

Menghindari berbagai makanan di atas mungkin dapat membantu mengurangi gejala yang anda
alami. Bila sayur atau buah mentah membuat gangguan pencernaan memburuk, sebaiknya
dimasak terlebih dahulu sebelum memakannya untuk mengurangi gangguan pencernaan. Selain
itu, dokter sebaiknya memberikan suplemen vitamin D. Sebagian besar penderita penyakit
Crohn mengalami kekurangan vitamin D. Pemberian vitamin D 1.000-2.000 IU setiap harinya
dapat membantu mengurangi resiko kanker kolorektal.

Diet Cair
Beberapa penelitan menemukan bahwa makanan cair tinggi kalori dapat membantu mengurangi
gejala pada penyakit Crohn. Diet atau makanan cair ini sangat membantu bila penderita penyakit
ini mengalami malnutrisi dan membutuhkan nutrisi ekstra dalam waktu cepat atau bila usus
penderita tidak dapat menyerap berbagai nutrisi dalam makanan dengan baik.

COLITIS ULSERATIF

Colitis Ulseratif adalah gangguan peradangan kronis idiopatik yang terjadi pada usus besar,
khususnya bagian kolon desenden sampai rectum

EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif. Insidennya 10.4-12 kasus per
100.000 orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000 orang.
Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini
telah dilaporkan terjadi pada setiap dekade kehidupan. Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering
daripada Crohn disease. Colitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih daripada
orang African American atau Hispanic. Colitis ulseratif juga lebih sering terjadi pada wanita
daripada laki-laki.

ETIOPATOGENESIS

Etiologi pasti dari colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi penyakit ini multifaktorial dan
polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor lingkungan, disfungsi imun, dan
predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti bahwa anak dengan berat badan lahir di bawah rata-
rata yang lahir dari ibu dengan colitis ulseratif memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya
perkembangan penyakit.

Histocompatibility human leukocyte antigen (HLA-B27) merupakan antigen yang sering


teridentifikasi pada pasien-pasien dengan colitis ulseratif, meskipun penemuan ini tidak
berhubungan dengan kondisi pasien, dan adanya HLA-B27 tidak menunjukkan peningkatan
risiko untuk colitis ulseratif. Colitis ulseratif bisa dipengaruhi oleh makanan, meskipun makanan
hanya sebagai faktor sekunder. Antigen makanan atau bakterial dapat berefek pada mukosa usus
yang telah rusak, sehingga meningkatkan permeabilitasnya.

Sementara penyebab colitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu dari penyakit ini
telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor familial atau genetik,
infeksi, imunologik dan psikologik.

1. Faktor Genetik

Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam dan
orang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi genetik terhadap perkembangan
penyakit ini.

2. Faktor Infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus-menerus untuk
kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha menemukan agen bakteri, jamur,
atau virus, belum ada yang sedemikian diisolasi. Laporan awal isolate varian dinding
sel Pseudomonas atau agem yang ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur
jaringan masih dikonfirmasi.

3. Faktor Imunologik

Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi
ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya arthritis, perikolangitis) dapat
mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau
azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif.
Pada 60-70% pasien dengan colitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-
neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam pathogenesis
penyakit colitis ulseraif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, dimana pasien dengan p-
ANCA negative lebih cenderung menjadi HLA-DR4 positif.

4. Faktor Psikologik

Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim bahwa
penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya stress
psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa
pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi
rentan terhadap stress emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi
gejalanya.

5. Faktor lingkungan

Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit colitis ulseratif berdasarkan
analisis bahwa insiden penyakit colitis ulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang
menjalani operasi apendiktomi pada dekade ke-3.

Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit colitis ulseratif di


antara perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko
penyakit colitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan
perokok.

GAMBARAN KLINIS

Gejala utama colitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali dengan
demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit ringan, bisa terdapat satu
atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi
sistemik.

Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan, berdasarkan frekuensi
diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang terjadi dan laju endap darah
(klasifikasi Truelove). Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan
pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap minggu.
Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat.

Pada colitis ulseratif, terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara
makroskopik, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran
mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah
tersisa mukosa yang normal. Pasien juga dapat mengalami :

a. Anemia i. Terdapat darah dan nanah dalam


b. Fatigue/ kelelahan
kotoran
c. Berat badan menurun
j. Perdarahan rektum
d. Hilangnya nafsu makan
k. Kram perut
e. Hilangnya cairan tubuh dan
l. Sakit pada persendian
nutrisi m. Anoreksia
f. Lesi kulit (eritoma nodusum) n. Dorongan untuk defekasi
g. Lesi mata (uveitis) o. Hipokalsemia
h. Buang air besar beberapa kali
dalam sehari (10-20 kali sehari)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan arsitektur mukosa, perubahan epitel dan
perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur mukosa, perubahan permukaan, berkurangnya
densitas kripta, gambaran abnormal arsitektur kripta (distorsi, bercabang, memendek). Pada
kolon normal, permukaan datar, kripta tegak, sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama,
dan dasar dekat muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian atas lamina
propria.

Perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia sel Paneth serta permukaan viliform
juga diperhatikan. Perubahan lamina propria meliputi penambahan dan perubahan distribusi sel
radang. Granuloma dan sel-sel berinti banyak biasanya ditemukan. Gambaran mikroskopik ini
berhubungan dengan stadium penyakit, apakah stadium akut, resolving atau kronik/menyembuh.
Gambaran khas untuk colitis ulseratif adalah adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel
mononuclear dan polimorfonuklear di lamina propria.

Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit colitis ulseratif menjadi
kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria mayor harus dipenuhi untuk
diagnosis colitis ulseratif.
Ø Kriteria mayor colitis ulseratif :
1. Infiltrasi sel radang yang difus pada Ø Kriteria minor colitis ulseratif :
mukosa 1. Jumlah sel goblet berkurang
2. Basal plasmositosis 2. Metaplasia sel Paneth
3. Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa
4. Abses kripta
5. Kriptitis
6. Distorsi kripta
7. Permukaan viliformis
Tetapi pada colitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat dibedakan dari colitis infektif.
Colitis ulseratif mempunyai tiga stadium yang gambaran mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu
diingat bahwa pada seorang penderita dapat ditemukan gambaran ketiga stadium dalam satu
sediaan.

DIAGNOSA
 Contoh feses (pemeriksaan digunakan dalam diagnosa awal dan selama penyakit), terutama
mengandung mukosa, darah, pus dan organisme usus khususnya entomoeba histolytica.
 Protosigmoi doskopi, memperlihatkan ulkus, edema, hiperermia, dan inflamasi.
 Sitologi dan biopsy rectal membedakan antara pasien infeksi dan karsinoma. Perubahan
neoplastik dapat dideteksi, juga karakter infiltrat inflamasi yang disebut abses lapisan bawah.
 Enema barium, dapat dilakukan setelah pemeriksaan visualisasi dilakukan, meskipun jarang
dilakukan selama akut, tahap kambuh, karena dapat membuat kondisi eksasorbasi.
 Kolonoskopi, mengidentifikasi adosi, perubahan lumen dinding, menunjukan obstruksi usus.
 Kadar besi serum rendah karena kehilangan darah
 ESR meningkat karena beratnya penyakit. Trombosis : dapat terjadi karena proses penyakit
inflamasi.
 Elektrolit, adanya penurunan kalium dan magnesium umum pada penyakit berat.
PENATALAKSANAAN
Mengingat bahwa etiopatogenesis IBD belum jelas, maka pengobatannya lebih ditekankan pada
penghambatan kaskade proses inflamasi. Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi yang
dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok rentan, maka diusahakan
mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus, pengikat produk
bakteri, mengistirahatkan kerja usus dan perubahan pola dietetik. Pada prinsipnya, pengobatan
IBD ditujukan pada serangan akut dan terapi pemeliharaan waktu fase remisi. Obat baku pertama
mengandung komponen5-acetil salicylic acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid (baik sistemik
maupun topikal). Bila gagal, maka diberikan obat lini kedua yang pada umumnya bersifat
imunosupresif (seperti 6-merkaptopurin, azatriopin, siklosporin dan metotreksat), anti-TNF
(infliximab). Pada kasus tertentu atau terjadi komplikasi perforasi, perdarahan masif, ileus karena
stenosis, megatoksik kolon, maka diperlukan intervensi surgical.
Sulfasalazine merupakan derivate dari 5-acetil salisilic acid, yang mempunyai efek antiinflamasi,
berfungsi untuk mempertahankan remisi dan untuk menginduksi remisi pada serangan ringan.
Berguna untuk mengobati colitis ulseratif ringan-sedang. Bekerja secara lokal pada kolon untuk
menurunkan respon inflamasi dan secara sistemik menghambat sintesis prostaglandin.

Temuan klinis pada colitis ulseratif yang berat berhubungan dengan nekrosis luas pada mukosa
kolon dan perforasi dengan sepsis. Antibiotik intravena diberikan pada pasien yang diduga atau
berpotensi terjadi sepsis.

Seringkali pasien dengan colitis ulseratif juga diberi antihistamin. Karena histamin terdapat
pada enterochromaffin like cell, sel mast dan nervus intramural pada traktus gastrointestinal,
yang menstimulasi sekresi asam lambung, beberapa cairan dan mucus, mempengaruhi motilitas
usus, berpartisipasi dalam alergi tipe cepat dan respon inflamasi, stimulasi pertumbuhan dan
proses regenerasi serta meningkatkan pembentukan kolagen. Semua efek ini dimediasi melalui
reseptor H1, H2, H3 dan H4. Hiperplasia sel mast pada mukosa dan submukosa merupakan
karakterisitik dari IBD kronik. Inflamasi colitis ulseratif utamanya mengenai mukosa, dan
meningkatkan pengeluaran mediator sel mast intestinal.

Diet untuk Pasien


Berdasarkan Crohn’s and Colitis Foundation of America, diet bukan merupakan faktor utama
dalam proses inflamasi. Namun beberapa makanan spesifik, dapat mempengaruhi gejala dari
colitis ulseratif dan ikut berperan dalam proses inflamasi. Penatalaksanaan diet pada colitis
ulseratif, serat yang insoluble (tinggi serat) tidak baik untuk pasien, contohnya : kubis, brokoli,
jagung manis, kulit buah seperti apel dan anggur), karena jenis serat ini melewati seluruh traktus
digestivus tanpa dicerna, dan dapat menempel pada dinding colon ketika inflamasi, semakin
mengiritasi kolon dan memperparah colitis. Serat yang soluble sangat baik untuk pasien karena
akan dicerna dalam kolon, menghasilkan feses yang lunak dan pergerakan usus yang bagus, tidak
menempel pada dinding usus dan tidak menyebabkan inflamasi. Contoh serat yang soluble
adalah buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah dikupas, bubur, dan nasi putih.

Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi : perforasi usus yang terlibat, terjadinya
stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik perdarahan, dan degenerasi maligna.

TIROIDITIS HASHIMOTO

DEFINISI

Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun yang paling umum dan
bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru Hashimoto pada tahun 1912, dengan istilah lain
struma limfomatosa. Disebut pula sebagai tiroiditis autoimun kronis dan merupakan penyebab
utama hipotiroid di daerah yang iodiumnya cukup. Penyakit ini sering mengenai wanita berumur
antara 30-50 tahun. Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi, infiltrasi
limfositik termasuk sel B dan T, dan apoptosis sel folikel tiroid. Penyebabnya sendiri diduga
kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan.
Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis yang disebabkan oleh proses autoimun dan berdasarkan
waktu kejadian termasuk tiroiditis kronik. Jika jaringan tiroid yang mengalami tiroiditis diperiksa
dibawah mikroskop maka akan tampak gambaran peradangan berupa infiltrasi sel-sel limfosit.
Tiroiditis Hashimoto ini ditandai oleh munculnya antibodi terhadap tiroglobulin dalam darah.
Pada tahun 1956, Roitt dkk untuk pertama kalinya menemukan antibodi terhadap tirogobulin,
yang bertindak sebagai autoantigen, dalam serum penderita penyakit Hashimoto sehingga terjadi
inflamasi akibat autoimun. Perjalanan penyakitnya sendiri pada awalnya mungkin dapat terjadi
hipertiroid oleh adanya proses inflamasi, tetapi kemudian kerusakan dan penurunan fungsi tiroid
yang luas dapat menyebabkan hipotiroidisme. Kelenjar tiroidnya bisa membesar membentuk
nodul goiter. Sekali mulai timbul hipotiroid maka gejala ini akan menetap sehingga diperlukan
terapi hormon tiroid yang bertujuan mengatasi defisiensi tiroid serta memperkecil ukuran goiter.

ETIOLOGI

Tiroiditis Hashimoto adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor penyebab multifaktorial
berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan, yang mengawali
respon autoimun terhadap antigen tiroid.

Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data
epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis tiroiditis
hashimoto. Selanjutnya diketahui pula pada tiroiditis hashimoto terjadi karena kerusakan seluler
dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja secara
bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte)
dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan
reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid
yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak
sebagai autoantigen

PATOFISIOLOGI

Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor genetik dan
lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi tiroid, ditambah
adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi pada proses penyakit
ini.

a. Faktor genetik

Gen yg terlibat dalam patogenesis tiroiditis hashimoto adalah gen yang mengatur respon imun
seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang
mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase),
transporter iodium, TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru
enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4),
CD40, HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR

Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang terlibat


dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T
dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan
reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada PC
(seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28, CTLA-4, dan
CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen.

CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat meningkatkan
suseptibilitas terhadap tiroiditis hashimoto dan proses autoimun lain. CTLA-4 berasosiasi dan
terkait dengan tiroiditis hashimoto dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1,
penyakit Addison, dan myasthenia gravis.

Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini
menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial.
Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi antitiroid
dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic autoimmune
thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik dengan
kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits Hashimoto
dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus dilaporkan
asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan
HLA-DR9 pada bangsa Cina.

b. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit
tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium,
defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi,
mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat
radiasi, serta infeksi virus dan bakteri. Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium,
interferon-α, amiodarone dan Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid.

Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid. Hipotiroid lebih sering
ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan
prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih
sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman
kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium.

Asupan iodium berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang
mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat
menyebabkan hipotiroid dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi
bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves,
asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada
kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid
pada sistem imun, yang pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu
iodium sebenarnya merupakan pula faktor risiko terjadinya Penyakit Hashimoto.

Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine, yang juga
disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun. Defisiensi selenium
akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie,
mungkin karena limfosit T memerlukan selenium.

Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan radikal
bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaitu
selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi hormon tiroid.
Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat kanker
(cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan meningkatkan volume
tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian
dilaporkan pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium
methionine) pada penderita hipotiroid subklinik akan menurunkan titer antibodi anti-TPO
serta juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid.

Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu
hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek imunosupresif.
Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2,
mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan
memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral
meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu seringkali
didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit Graves. Belum diketahui
apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor stress.

Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga mempengaruhi
sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan
produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan
meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah
pengobatan dengan iodium radioaktif.

Epidemiologi
Insiden Thyroiditis Hashimoto didunia diperkirakan sekitar 0,3 – 1,5 kasus per 1000 populasi
pertahun. Insiden lebih sering terjadi pada wanita 10 –15 kali lebih sering daripada pria, dapat
mengenai semua usia, tetapi terutama pada usia pertengahan antara 30 –50 tahun. Pada
Thyroiditis Hashimoto tidak ada perbedaan yang jelas mengenai ras yang terkena. Berkaitan
dengan adanya riwayat penyakit thyroid dalam keluarga dan kemungkinan terdapat faktor
predisposisi kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal dominan.

Gambaran Klinis
Penyakit Hashimoto tidak memiliki tanda-tanda dan gejala selama bertahun-tahun dan tidak
terdiagnosis sampai ditemukannya pembesaran kelanjar tiriod atau hasil pemeriksaan darah yang
abnormal pada pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala yang berkembang berhubungan dengan efek
tekanan lokal pada leher yang disebabkan pembesaran kelenjar tiroid tersebut, atau akibat
penurunan kadar hormon tiroid dalam darah. Tanda pertama penyakit ini mungkin berupa
bengkak tidak nyeri pada leher depan bagian bawah. Efek tekanan lokal akibat pembesaran
kelenjar tiroid dapat menambah gejala seperti kesulitan menelan.

Pasien tiroiditis Hashimoto yang berkembang mengalami hipotiroid biasanya menunjukkan


tanda dan gejala meliputi kelelahan dan kelesuan, sering mengantuk, jadi pelupa, kesulitan
belajar, kulit kering dan gatal, rambut dan kuku yang rapuh, wajah bengkak, konstipasi, nyeri
otot, penambahan berat badan, peningkatan sensitivitas terhadap banyak pengobatan, menstruasi
yang banyak, peningkatan frekuensi keguguran pada wanita yang hamil.

DIAGNOSIS
Pada tiroiditis Hashimoto, pemeriksaan goiter yang terbentuk dapat diidentifikasi melalui
pemeriksaan fisik, dan keadaan hipotiroid diketahui dengan identifikasi gejala dan tanda fisik
yang khas, serta melalui hasil pemeriksaan laboratorium.

Peningkatan antibodi antitiroid merupakan bukti laboratorik paling spesifik pada tiroiditis
Hashimoto, namun tidak semuanya dijumpai pada kasus. Pemeriksaan hormon tiroid biasanya
diperiksa kadar TSH dan FT4. Dikatakan hipotiroid apabila peningkatan kadar TSH disertai
penurunan FT4.
Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan secara histopatologis melalui biopsi. Kelainan
histopatologisnya dapat bermacam – macam yaitu antara lain infiltrasi limfosit yang difus,
obliterasi folikel tiroid, dan fibrosis. Aspirasi jarum halus biasanya tidak dibutuhkan pada
penderita tiroiditis ini, namun dapat dijadikan langkah terbaik untuk diagnosis pada kasus yang
sulit dan merupakan prosedur yang dibutuhkan jika nodul tiroid terbentuk.

Makna klinis penentuan antibodi antitiroid


Tiga antibodi yang paling sering ditentukan kadarnya di klinik adalah TRAb (Thyrotropin
Receptor Antibody), TPOAb (anti TPO antibody), TgAb (ATA: anti Tg antibody), dan penentuan
berbagai antibodi lainnya lebih bersifat minat akademik. Perlu diketahui bahwa autoantibodi
tiroid tidak selalu ditemukan dalam serum penderita, antara lain disebabkan oleh sensitivitas
metoda assay.

TRAb ditemukan pada sebagian besar penderita yang pernah atau sedang menderita penyakit
Graves. Selama kehamilan, karena dapat melewati sawar plasenta, TRAb merupakan faktor
resiko disfungsi tiroid fetal maupun neonatal. Prevalensi antibodi antitiroid meningkat pada
penderita penyakit autoimun organ specific lain seperti DM tipe 1 dan anemia pernisiosa, serta
juga dengan bertambahnya umur.

Antibodi anti-TPO merupakan faktor resiko disfungsi tiroid, termasuk tiroiditis postpartum dan
penyulit autoimun akibat penggunaan obat-obat tertentu. Antibodi anti-TPO merupakan kelainan
yang pertama ditemukan pada hipotiroidi akibat tiroiditis Hashimoto. Lebih dari 95% penderita
tiroiditis Hashimoto dan sekitar 85% penderita penyakit Graves mempunyai antibodi anti-TPO

PENANGANAN
Jika penyakit Hashimoto menyebabkan kekurangan hormon tiroid, penderita memerlukan terapi
penggantian hormon tiroid yang bertujuan mengatasi defisiensi tiroid serta mengecilkan ukuran
nodul goiter. Pengobatan dengan penggunaan sehari-hari dari hormon tiroid sintetis seperti
levotiroksin (levothroid, Levoxyl, Synthroid). Hormon sintetis ini mirip dengan hormon tiroid
dan membantu mengembalikan tingkat tiroid sehingga mengurangi gejala tiroiditis Hashimoto.
Kadang tidak diperlukan pengobatan karena strumanya kecil dan asimtomatik. Bila kelenjar
tiroid sangat besar mungkin diperlukan tindakan pengangkatan, sebaiknya operasi ini ditunda
karena kelenjar tiroid tersebut dapat mengecil sejalan dengan waktu. Pemberian tiroksin dapat
mempercepat hal tersebut. Disamping itu tiroksin juga dapat diberikan pada keadaan
hipotiroidisme.

Pada pasien usia tua, dosis dimulai dengan yang rendah dan ditingkatkan secara bertahap. Pada
pasien usia muda, dapat langsung dimulai dengan dosis besar. Aksi hormon tiroid sangat lambat
pada tubuh, sehingga pengobatan memerlukan waktu beberapa bulan sambil melihat
perkembangan gejala atau ukuran goiter. Karena secara umum gejala hipotiroid pada penyakit ini
bersifat menetap, maka kadang dibutuhkan pengobatan seumur hidup dengan dosis yang
disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai keadaan individual pasien.

Diet untuk pasien

 Pasien harus mengurangi asupan kafein, gula, dan berbagai pengawet makanan.
 Makanan yang dianjurkan untuk penderita tiroiditis Hashimoto diantaranya adalah
brokoli, kangkung, kol, bayam, lobak, kedelai, kembang kol, sawi, dll.
 Pasien harus menghindari makanan kaya yodium seperti rumput laut. Penting untuk
memiliki asupan harian protein tanpa lemak seperti ikan, ayam, kacang-kacangan, putih
telur, dan daging.
 Protein dalam makanan akan membantu mengurangi rambut rontok yang merupakan
salah satu tanda hipotiroidisme.
 Makanan berserat tinggi seperti kacang merah, apel, pir, brokoli, sayuran berdaun hijau,
biji-bijian, almond, dan biji rami juga harus dimasukkan dalam diet tiroiditis Hashimoto.
 Suplemen vitamin serta suplemen seng akan membantu mengurangi gejala HashIMOTO
PSORIASIS
Definisi
Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif, dapat mengenai
semua umur yang ditandai dengan plak kemerahan yang ditutupi oleh sisik yang
tebal berwarna putih keperakan dan berbatas tegas. Umumnya lesi psoriasis
berdistribusi secara simetris dengan predileksi terutama di daerah siku dan
lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia.

Etiologi dan Faktor Pencetus


Penyebab penyakit psoriasis belum diketahui meskipun telah dilakukan penelitian
dasar dan klinis secara intensif. Diduga merupakan interaksi antara faktor genetik,
sistem imunitas, dan lingkungan. Sedangkan tiga komponen patogenesis dari
psoriasis adalah infiltrasi sel-sel radang pada dermis, hiperplasia epidermis,
dan
diferensiasi keratinosit yang abnormal.

1. Faktor Genetik
Sekitar 1/3 orang yang terkena psoriasis melaporkan riwayat penyakit keluarga
yang juga menderita psoriasis. Pada kembar monozigot resiko menderita psoriasis
adalah sebesar 70% bila salah seorang menderita psoriasis. Bila orangtua tidak
menderita psoriasis maka risiko mendapat psoriasis sebesar 12%, sedangkan bila
salah satu orang tua menderita psoriasis maka risiko terkena psoriasis
meningkat menjadi 34-39%. Berdasarkan awitan penyakit dikenal dua tipe yaitu:
a. Psoriasis tipe I dengan awitan dini dan bersifat familial.
b. Psoriasis tipe II dengan awitan lambat dan bersifat nonfamilial.
Hal lain yang menyokong adanya faktor genetik adalah bahwa psoriasis berkaitan
dengan HLA. Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13, B17, Bw57 dan
Cw6. Psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA-B27 dan Cw2, sedangkan psoriasis
pustulosa berkaitan dengan HLA-B27. Pada analisa Human Leukocyte Antigen
(HLA) yang spesifik dalam suatu populasi, didapatkan bahwa suseptibilitas
terhadap psoriasis berhubungan dengan Major Histocompatibility Complex
(MHC) klas I dan II pada atau dekat dengan kromosom 6 dan lainnya berada di
kromosom 17. Lokus Psoriasis Susceptibilitas 1 (PSORS1) dianggap lokus yang
terpenting untuk suseptibilitas psoriasis. Hal ini disebabkan PSORS1 berkaitan
lebih dari 50% kasus psoriasis. Lokus
suseptibilitas lainnya berada pada kromosom 17q25 (PSORS2), 4q43 (PSORS3), 1q
(PSORS4), 3q21 (PSORS5), 19p13 (PSORS6) dan 1p (PSORS7). Pada onset awal
yang merupakan psoriasis tipe I diperoleh hubungan dengan HLA-Cw6, HLA-
B57, dan HLA-DR7. Sedangkan pada onset lanjutan yang merupakan tipe 2
didapatkan gambaran HLA-Cw2 menonjol. Individu yang memiliki HLA-B17 dan
HLA-B13 memiliki kemungkinan untuk menderita psoriasis 5 kali lebih banyak dari
individu normal.

2. Faktor Imunologik
Defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan pada salah satu dari ketiga jenis
sel yaitu limfosit T, sel penyaji antigen (dermal) atau keratinosit. Keratinosit psoriasis
membutuhkan stimuli untuk aktivasinya. Lesi psoriasis umumnya ditemukan
limfosit T di dermis yang terutama terdiri atas limfosit T CD4 dengan sedikit limfositik
dalam epidermis. Sedangkan pada lesi baru pada umumnya lebih didominasis oleh
sel limfosit T CD8. Pada lesi psoriasis terdapat sekitar 17 sitokin yang produksinya
bertambah. Sel Langerhans juga berperan dalam imunopatogenesis psoriasis.
Terjadinya proliferasi epidermis dimulai dengan adanya pergerakan antigen baik
endogen maupun eksogen oleh sel langerhans. Pada psoriasis pembentukan
epidermis lebih cepat, hanya 3-4 hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27
hari. Nickoloff (1998) berkesimpulan bahwa psoriasis merupakan penyakit
autoimun. Lebih 90% dapat mengalami remisi setelah diobati dengan
imunosupresif. Berbagai faktor pencetus pada psoriasis yang disebutkan dalam
kepustakaan diantaranya adalah stress psikis, infeksi fokal, trauma
(Fenomenan Kobner), endokrin, gangguan metabolik, obat, alkohol dan merokok.
Stress psikis merupakan faktor pencetus utama. Infeksi fokal mempunyai hubungan
yang erat dengan salah satu jenis psoriasis yaitu psoriasis gutata, sedangkan
hubungannya dengan psoriasis vulgaris tidak jelas. Pernah dilaporkan
kesembuhan psoriasis gutata setelah dilakukan tonsilektomi. Umumnya infeksi
disebabkan oleh Streptococcus. Faktor endokrin umumnya berpengaruh pada
perjalanan penyakit.Insiden psoriasis terutama pada masa pubertas dan
menopause. Pada waktu kehamilan umumnya membaik sedangkan pada masa
postpartum umumnya memburuk. Gangguan metabolisme seperti dialisis dan
hipokalsemia dilaporkan menjadi salah satu faktor pencetus. Obat yang
umumnya dapat menyebabkan residif ialah beta adrenergik blocking agents, litium,
anti malaria dan penghentian mendadak steroid sistemik.

3. Faktor Pencetus
Penyebab dan patogenesis psoriasis vulgaris belum diketahui dengan pasti, secara
patologis terjadi proliferasi yang berlebihan pada keratinosit dan peradangan
kronis, sehingga penyakit ini bersifat kronik-residif. Banyak teori tentang
patogenesis yang berhubungan dengan psoriasis, seperti sebagai kelainan
autoimun, trauma mekanik, infeksi staphylococcus, stress psikologis, radiasi sinar
ultraviolet, infeksi HIV, peran obat, alkohol, perubahan hormonal dan profil lipid
dalam darah. Semua di atas dikatakan merupakan faktor pencetus dari psoriasis.
Faktor pencetus ini dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor lokal dan sistemik .
Faktor pencetus lokal terjadinya psoriasis antara lain trauma, paparan sinar
ultraviolet, dan lokasi atau posisi anatomis. Berbagai trauma baik fisik, kimiawi,
bedah, infeksi dan peradangan dapat memperberat atau mencetuskan lesi psoriasis.
Lesi psoriasis yang berbentuk plakat dan terjadi pada tempat trauma disebut
dengan Fenomena Koebner. Fenomena Koebner adalah paparan sinar matahari
juga mengakibatkan eksaserbasi melalui reaksi Koebner. Beberapa penelitian
menyatakan terjadinya peningkatan keparahan penyakit seiring dengan
meningkatnya paparan sinar matahari. Sedangkan faktor pencetus sistemik antara
lain: infeksi, obat, konsumsi alkohol, stres, endokrin, dan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Infeksi bakteri, virus, atau jamur dapat
mencetuskan terjadinya psoriasis vulgaris. Bakteri dapat menghasilkan
endotoksin yang berfungsi sebagai superantigen yang dikemudian hari akan
meningkatkan aktivasi sel limfosit T, makrofag, sel Langerhans, dan keratinosis.
Infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh spesies Streptococcus β-hemoliticus juga
sering dikaitkan dengan eksaserbasi psoriasis. Beberapa obat yang dapat
mencetuskan perkembangan lesi psoriasis antara lain: NSAID, lithium, ACE
inhibitor, gemfribosil, dan β-blocker (Ashcroft
dkk, 2000). Mekanisme eksaserbasi psoriasis akibat obat-obatan lainnya belum
diketahui. Konsumsi alkohol juga dilaporkan dapat mencetuskan psoriasis
walaupun mekanismenya belum diketahui. Hubungan antara stres dan eksaserbasi
psoriasis belum terlalu jelas namun diduga karena mekanisme
neuroimunologis. Psoriasis dilaporkan akan bertambah buruk dengan timbulnya
stres yaitu pada 30-40% kasus. Pada saat periode premenstruasi, lesi psoriasis
dikatakan sering kambuh. Angka kejadian psoriasis meningkat pada waktu
pubertas dan menopause dan diduga peranan dari faktor endokrin. Psoriasis pada
penderita HIV lebih berat karena terjadi defisiensi sistem imun.
Faktor pencetus yang belum banyak diungkapkan dan masih kontroversial
adalah profil lipid terutama trigliserida dan HDL, hal ini banyak dihubungkan
dengan gangguan metabolisme lipid, dislipidemia, sindroma metabolik, diabetes
melitus dan penyakit jantung koroner. Mengenai gangguan metabolisme lipid
terutama trigliserida dan HDL akan dibicarakan lebih dalam dalam uraian
berikutnya

Epidemiologi
Psoriasis dijumpai di seluruh dunia dengan prevalensi yang berbeda-beda
dipengaruhi oleh ras, geografis, dan lingkungan. Di Amerika Serikat terjadi pada 2%
dari populasi atau sekitar 150.000 kasus baru per tahun. Insiden tertinggi di
Denmark (2,9%) sedangkan rerata di Eropa Utara sekitar 2%. Insiden psoriasis
pada laki- laki dan perempuan hamper sama, namun melaporkan insiden lebih
sering pada perempuandibandingkan laki-laki dan meningkat sesuai usia.
Distribusi usia pasien psoriasis menunjukkan peningkatan sesuai dengan
kronisitas penyakit, namun terjadi penurunan setelah usia 75 tahun seiring
berkurangnya usia harapan hidup pada pasien psoriasis akibat hubungan
psoriasis dengan diabetes atau aterosklerosis.

Gambaran Klinis
Keluhan utama pasien psoriasis adalah lesi yang terlihat, rendahnya
kepercayaan diri, gatal dan nyeri terutama jika mengenai telapak tangan, telapak
kaki dan daerah intertriginosa. Selain itu psoriasis dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari bukan hanya oleh karena keterlibatan kulit, tetapi juga menimbulkan
arthritis psoriasis. Gambaran klinis psoriasis adalah plak eritematosa sirkumskrip
dengan skuama putih keperakan diatasnya dan tanda Auspitz. Warna plak dapat
bervariasi dari kemerahan dengan skuama minimal, plak putih dengan skuama
tebal hingga putih keabuan tergantung pada ketebalan skuama. Pada
umumnya lesi psoriasis adalah simetris (Gudjonsson dan Elder, 2012). Beberapa
pola dan lokasi Psoriasis antara lain:

1. Psoriasis Vulgaris
Merupakan bentuk yang paling umum dari psoriasis dan sering ditemukan (80%).
Psoriasis ini tampak berupa plak yang berbentuk sirkumskrip. Jumlah lesi pada
psoriasis vulgaris dapat bervariasi dari satu hingga beberapa dengan ukuran mulai
0,5 cm hingga 30 cm atau lebih. Lokasi psoriasis vulgaris yang paling sering
dijumpai adalah ekstensor siku, lutut, sakrum dan scalp. Selain lokasi tersebut
diatas, psoriasis ini dapat juga timbul di lokasi lain.

2. Psoriasis Gutata
Tampak sebagai papul eritematosa multipel yang sering ditemukan terutama
pada badan dan kemudian meluas hingga ekstremitas, wajah dan scalp. Lesi
psoriasis ini menetap selama 2-3 bulan dan akhirnya akan mengalami resolusi
spontan. Pada umumnya terjadi pada anak-anak dan remaja yang seringkali
diawali dengan radang tenggorokan.

3. Psoriasis Pustulosa Generalisata (Von Zumbusch)


Psoriasis jenis ini tampak sebagai erupsi generalisata dengan eritema dan pustul.
Pada umumnya diawali oleh psoriasis tipe lainnya dan dicetuskan oleh
penghentian steroid sistemik, hipokalsemia, infeksi dan iritasi lokal.
4. Psoriasis Pustulosa Lokalisata
Kadang disebut juga dengan pustulosis palmoplantar persisten. Psoriasis ini
ditandai dengan eritema, skuama dan pustul pada telapak tangan dan kaki
biasanya berbentuk simetris bilateral.

(a) (b) (c)


Gambar, (a) Psoriasis gutata, (b) psoriasis pustulosa, (c) psoriasis vulgaris

Patogenesa-Patofisiologi
Seperti telah diketahui bahwa penyebab dan patogenesis psoriasis belum
diketahui dengan pasti, banyak sistem dalam tubuh berperan dalam
patogenesis psoriasis, banyak komponen, elemen mediator yang terlibat
terhadap terjadinya atas kekambuhan psoriasis. Namun ada tiga hal yang perlu
diperhatikan oleh para peneliti, diantaranya gangguan diferensiasi keratinosit,
hiperproliferasi keratinosit dan imunologis. Hal tersebut menjadi dasar patologis
terjadinya psoriasis yang multifaktor tersebut, namun ketiganya tidak bekerja
sendiri-sendiri namun saling berkaitan.

1. Gangguan Diferensiasi Keratinosit


Secara patologis, psoriasis ditandai dengan adanya hiperproliferasi dan
diferensiasi abnormal dari keratinosit epidermis, infiltrasi limfosit yang terutama
terdiri dari limfosit T dan berbagai perubahan vaskular endotel di lapisan dermis,
seperti angiogenesis dan dilatasi pembuluh darah. Lapisan epidermis
berdiferensiasi berlebihan yang berbeda dengan sel normal, keratinosit pada
psoriasis membentuk amplop cornified (CE) yang mudah terjadi pengelupasan,
pembentukan lapisan korneum yang berlebihan mengakibatkan epidermis
menebal. Pada fase akhir, kapilarisasi dermal yang luas menyebabkan infiltrasi sel
radang pada ikatan dermal-epidermal yang tampak sebagai papilomatosis,
merupakan gambaran khas pada psoriasis. Beberapa mediator sebagai
penanda diferensiasi keratinosit yang abnormal pada psoriasis; transglutaminase I
(TGase
K), skin-derived antileukoproteinase (SKALP), migration inhibitory factorrelated
protein-8 (MRP-8), Involucrin, Filaggrin.TGase K yang mengawali mengkatalisis
untuk terbentuknya CE, yang penting pada lesi psoriasis. SKALP yang hanya
ditemukan pada lesi psoriasis,
mediator ini merupakan polipeptida inhibitor elastase dominan, yang disekresikan
oleh keratinosit epidermal. Elastase adalah lysosomal serin proteinase yang
spesifik untuk degradasi elastin, protein yang ditemukan dalam jaringan yang
membutuhkan elastisitas kulit. MRP-8, merupakan Ca2+ -binding protein,
walaupun fungsi biokimia tidak sepenuhnya dipahami, namun ditemukan pada
psoriasis dan penyakit inflamasi lainnya, tidak pada kulit normal. Peran MRP-8
dalam reorganisasi sitoskeleton selama patogenesis psoriasis. Involucrin,
merupakan prekursor protein yang membantu untuk menstabilisasikan CE. Pada
kulit normal, protein ini merupakan konstituen utama dari CE pada tahap awal
pembentukan epidermis, involucrin tetap konstituen utama dari CE selama proses
maturasi. Filaggrin yang biasanya ditemukan pada stratum granular epidermis,
tidak ada dalam lesi psoriasis. Hilangnya stratum granular kulit stratum
korneumdalam psoriasis kemungkinan besar petanda ketidakhadiran filaggrin
tersebut

2. Hiperproliferasi Keratinosit
Hiperproliferasi keratinosit adalah kategori kedua gejala psoriasis vulgaris.
Beberapa penyebab biokimiawi yang mungkin menyebabkan produksi keratinosit
berlebihan telah ditemukan pada lesi psoriasis: Epidermal Growth Factor (EGF),
Bone Morphogenetic Protein-6 (BMP-6), Transforming Growth Factor-
alpha(TGF-α), Activating Protein (AP-1) dan Mitogen-activated protein kinase
(MAPK).Epidermal Growth Factor yang menstimuli pertumbuhan dan diferensiasi
lapisan epidermis, merupakan mediasi respon seluler dengan mengikat
reseptor spesifik. Ikatan EFG terhadap sel imun dua kali lipat pada lapisan atas
epidermis. Peningkatan kekuatan mengikat dapat menyebabkan stimuli yang
berlebihan pertumbuhan keratinosit sehingga menyebabkan hiperproliferasi. BMP-6
merupakan faktor pertumbuhan ini sudah dapat dijumpai pada bayi baru lahir, tapi
biasanya menghilang setelah dewasa, kecuali pada pasien psoriasis, hal ini
menyebabkan ditemukan TGF-α dibagian atas lesi psoriasis, tetapi tidak dalam kulit
normal. Vasoactive Intestinal Polipeptide (VIP), merupakan neuropeptida dengan
berat molekul besar, menginduksi produksi TGF-α in vivo, sebelumnya diduga
bahwa efek hiperproliferasi dari VIP dimediasi oleh peningkatan level dari
cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang disebabkan oleh aktivitas
activated adenylate cyclase, namun penelitian lain menunjukkan bahwa VIP
menstimuli pertumbuhan keratinosit melalui TGF-α bukan.Activating protein(AP-
1), sebuah kompleks dari oncoproteins, menstimulasi ekspresi banyak gen
yang penting dalam proliferasi sel dan inflamasi. Faktor-faktor ini terbukti
memiliki pola ekspresi yang bereda-beda pada lesi psoriasis sehingga
mediator
tersebut terlibat dalam patogenesis psoriasis. Mediator terakhir, MAPK,
membantu mengatur proliferasi sel. Banyak growth factor dan sitokin memodulasi
aktivitas MAPK, yang lebih banyak pada fibroblas psoriasis.
3. Imunologis dan Inflamasi
Mengawali peran imunitas pada psoriasis melalui antigen precenting cell (APC)
akan memproses dan mempresentasikan antigen pada sel T. Antigen
precenting cell ini mengekspresikan MHC klas I dan II pada permukaannya.
Lapisan epidermis pada penderita psoriasis akan terjadi peningkatan jumlah
denritic cell (DC) walaupun tidak spesifik untuk penyakit ini. DC di dermis
menjadi tipe APC yang berperan pada psoriasis dan terletak pada papilla dermis.
Pada pasien psoriasis, jumlah DC plasmasitoid meningkat baik pada bagian kulit
yang terlibat atau tidak, tetapi hanya aktif pada kulit yang terlibat. Proses antigen
diakhiri dengan timbulnya peptida antigen di permukaan APC oleh MHC.
Komplek peptide-protein ini akan dikenali secara spesifik oleh reseptor sel T
(TCR). APC yang telah aktif akan berjalan menuju limfonoid untuk mengaktifkan sel
T. Interaksi sel T dan APC di limfonoid akan menstimulasi sel T. Proses ini terdiri dari
dua sinyal. Sinyal pertama dihasilkan oleh komplek antigen yaitu MHC dan
TCR sedangkan sinyal yang kedua berperan sebagai konstimulasi. Konstimulasi
ini diperankan oleh reseptor dengan ligand pada sel T. Kemudian sinyal 1 dan
2 akan mengaktivasi sel T
Salah satu sel dendritik yang berpengaruh dalam patogenesis psoriasis adalah
selSel Langerhans yang mengenali dan menangkap antigen, bermigrasi ke
kelenjar getah bening lokal, dan mempresentasikannya ke sel T. Aktivasi limfosit T
akan menghasilkan sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α yang menyebabkan
proliferasi keratinosit. Hiperproliferasi ini menyebabkan menurunnya waktu transit
epidermis (perkiraan waktu yang diperlukan oleh sel kulit untuk maturasi secara
normal) dari 28 hari menjadi 2-4 hari dan memproduksi sisik kemerahan yang tipikal
pada psoriasis. IFN-γ juga menghambat apoptosis keratinosit dengan menstimulasi
protein anti-apoptosis, demikian juga IL-6 lebih tinggi secara bermakna antara
psoriasis (61,26+57,40) dengan kontrol (2,38 +1,94).
Awalnya terjadi hiperproliferasi keratinosit akibat adanya aktivasi oleh faktor
pertumbuhan seperti epidermal growth factor, nerve growth factor, endothelial
growth factor dengan target sel dendritik imatur di epidermis menstimulasi sel T
dari kelenjar getah bening sebagai respons terhadap stimulasi unidentified antigen.
Aktivasi sel T, TNF-α, dan sel-sel dendritik adalah faktor patogenik yang
distimulasi dalam respon terhadap faktor pencetus, seperti trauma fisik, inflamasi
bakteri, virus, atau withdrawal kortikosteroid. Infiltrat limfosit pada psoriasis
kebanyakan adalah sel T CD4 dan CD8. Setelah sel T menerima stimulasi
pertamanya dan teraktivasi, menyebabkan terjadinya sintesis IL-6. Peningkatan
IL-6 dari sel T yang teraktivasi dan IL-12 dari sel Langerhans menstimulasi IFN-γ,
TNF-α, dan IL-6, yang bertanggung jawab dalam diferensiasi, maturasi, dan
proliferasi sel T menjadi sel memori efektor. Kemudain sel T bermigrasi ke kulit,
dimana mereka berkumpul di sekitar pembuluh darah dermis. Ini merupakan
perubahan imunologik pertama yang menyebabkan diferensiasi dan proliferasi
keratinosit pada psoriasis akut telah mendemonstrasikan defisiensi aktivitas sel T
regulator
(T reg) pada pembuluh darah perifer dan di kulit pasien dengan psoriasis.
Meskipun jumlah absolut sel T reg yang bersirkulasi pada pasien psoriasis adalah
normal dibandingkan pasien yang sehat, ternyata terdapat defisiensi relatif dalam
kemampuan mereka untuk menekan proliferasi sel T CD4. Angiogenesis bukan
kejadian awal dari patogenesis psoriasis, namun memahami mekanisme yang
menyebabkan angio-proliferasi dapat membantu menemukan obat anti-psoriasis
yang tepat. Angiogenesis dan hiperpermeabilitas vaskular disebabkan oleh
meningkatnya produksi vascular endothelial growth factor (VEGF) oleh
keratonosit yang telah terstimulasi oleh TGF-α yang dihasilkan oleh sel T dan
keratinosit. TNF-α juga meningkatkan angiogenesis. Pizzorno dan Murray
berpendapat “unidentified antigen” yang disebutkan di atas merupakan hasil dari
pencernaan protein yang tidak sempurna, meningkatnya permeabilitas usus,
dan
alergi makanan; toksemia usus; gangguan detoksifikasi hati; defisiensi garam
empedu; konsumsi alkohol; defisiensi nutrisi (vitamin A dan E, seng, selenium); dan
stress psikologis. Data terbaru menyatakan bahwa selain TNF-α, IL-20 dan IL-
17 juga sangat berperan di dalam patogenesis psoriasis. IL-17 yang disekresikan
oleh sel Th17 juga dapat mengaktifasi inflamasi di berbagai sistem organ.
Seperti misalnya, IL-17 juga meningkat pada serum pasien dengan penyakit arteri
koroner.
Sel T yang teraktivasi ini akan memasuki sistem sirkulasi menuju jaringan perifer.
Sel T akan berikatan dengan endotel dimana leucocyte functionassociated
antigen-1 (LFA-1) pada sel T dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1)
pada sel endotel akan berinteraksi. Setelah interaksi tersebut, diapedesis akan
terjadi. Diapedesis adalah migrasi dari sel T melalui dinding pembuluh darah
yang akan menuju ke dermis dan epidermis. Setelah sel T mencapai kulit,
maka terjadi aktivasi kembali sel T. Sel T yang teraktivasi tersebut akan
memproduksi sitokin yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi. Baik CD4+
dan CD8+ sama-sama memproduksi sitokinin Th1. Ekspresi yang
berlebihan dari sitokin tipe-1 seperti IL-2, IL-6, IL-8, IL-12, IFNγ dan TNFα
menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel netrofil. Sinyal utama dari Th1 adalah IL-
12 yang merangsang produksi IFNγ intraseluler. Pada psoriasis, sel Th
langsung mengatur sel B untuk menghasilkan autoantibodi, dan yang menjadi
target antigen adalah sel-sel kulit itu sendiri. Sedangkan pada psoriasis arthritis,
targetnya adalah sel-sel pada sendi. Apabila produksi sitokin terlalu berlebihan
akan menimbulkan kerusakan pada kulit yang berlebihan juga. Dari penelitian
terbaru menyimpulkan bahwa mayoritas sel T CD4+ pada lesi kulit psoriasis
adalah sel T yang memproduksi IL-22 dan IL-17. Sumber utama IL-22 pada lesi
psoriasis adalah sel Th17 dan Th1. Adanya single-nucleotide polymorphisms
(SNP) pada gen reseptor IL-23 yang berhubungan dengan psoriasis akan
mendukung peran sel Th17 didalam imunopatogenesis psoriasis IL-15 adalah
faktor pencetus keterlibatan sel-sel inflamasi, angiogenesis dan menghasilkan
IFN-γ, TNF-α, dan IL-17 yang semuanya mengatur plak psoriasis. IL-2
berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan sel T sedangkan IFN-γ dapat
menghambat apoptosis keratinosit yaitu dengan cara menstimulasi ekspresi
protein anti apoptosis B cell lymphoma-x (Bcl-x) yang memungkinkan terjadinya
hiperploriferasi keratinosit. Target spesifik untuk terapiadalah dengan melibatkan
TNF-α, ikatan leucocyte function-associated antigen-1(LFA-1)/interceluler adhesion
molecule-1 (ICAM-1) dan ikatan LFA-3/CD2.IFNγ dan TNFα menginduksi
keratinosit untuk memproduksi IL-7, IL-8, IL-12,IL-15, dan TNFα. IL-17 dan IL-15
berperan dalam poliferasi dan keseimbanganhomeostatik sel CD8+. IL-17 dan
IFNγ meningkatkan produksi sitokinproinflamasi dan kemokin oleh keratinosit.
TNF-α. menginduksi ICAM-1 padapermukaan keratinosit yang menyebabkan sel
T akan terikat langsung padakeratinosit melalui molekul LFA-1. Selain itu, TNFα
juga meningkatkan molekuladhesi sel endotel pembuluh darah (Schon dan
Boehncke, 2005; Chan dkk, 2006).
Keratinosit dapat diaktivasi terutama oleh sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-22). Namun
setelah beberapa waktu tertentu peran tersebut akan digantikan olehsitokin Th17 (IL-
6, IL-17, dan IL-22), dan akhirnya dimainkan oleh sitokin yangmdiproduksi oleh
makrofag dan sel dendritik (TNF-α, IL-6, IL-18, IL-19, dan IL-31 dan sitokin yang
diproduksi sendiri oleh keratinosit seperti TGF-α, IL-19 dan IL-20. Akan tetapi,
sampai saat ini belum dapat ditentukan sitokin mana yang bertanggung jawab
dalam peningkatan poliferasi keratinosit.

Imunosit dan keratinosit pada lesi psoriasis memproduksi faktor angiogenik,


yaitu VEG-F, yang meningkatkan proses angiogenesis dan aktivasi sel endotel.
Nilai VEG-F meningkat dalam keadaan hiperinsulinemik seperti sindrom
metabolik dimana adiposit adalah sumber primernya (Cargil dkk., 2007)Faktor
genetik juga berperan penting dalam suseptibilitas psoriasis dan gangguan
metabolik, termasuk dislipidemia. Lebih dari 20 lokus genetik yang
mengandung berbagai macam jumlah gen telah dikaitkan dengan suseptibilitas
psoriasis. Dari gen-gen ini, beberapa juga dihubungkan dengan gangguan
metabolik. Lokus suseptibilitas psoriasis PSORS2, PSORS3, dan PSORS 4 juga
terhubung dengan lokus suseptibilitas untuk gangguan metabolik, diabetes tipe 2,
dislipidemia dan penyakit kardiovaskular.

Diagnosa
Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis danpemeriksaan
histopatologi. Apabila ditemukan fenomena bercak lilin, fenomena Auzpitz dan
fenomena Koebner dapat memberikan diagnosis yang tepat.

Penanganan (Penatalaksanaan)
Psoriasis sebagai penyakit yang multifaktorial dengan penyebab belum
diketahui dengan pasti, sehingga penanganannya juga sangat bervariasi dan setiap
pusat pendidikan mempunyai acuan yang berbeda. Ashcroft dkk., 2000
mengemukakan bahwa terdapat berbagai variasi terapi psoriasis, mulai dari
topikal untuk psoriasis ringan hingga fototerapi dan terapi sistemik untuk psoriasis
berat.Edukasi kepada pasien tentang faktor-faktor pencetusnya perlu disampaikan
kepada pasien maupun keluarganya. Beberapa regimen terapi yang sering
digunakan topikal maupun sistemik sebagai berikut:
A. Topikal
Preparat Tar
Obat topikal yang biasa digunakan adalah preparat tar, yang efeknya adalah anti
radang. Preparat tar berguna pada keadaan-keadaan: Bila psoriasis telah resisten
terhadap steroid topikal sejak awal atau pemakaian pada lesi luas. Lesi yang
melibatkan area yang luas sehingga pemakaian steroid topikal kurang tepat. Bila
obat-obat oral merupakan kontra indikasi oleh karena terdapat penyakit sistemik.
Menurut asalnya preparat tar dibagi menjadi 3, yakni yang berasal dari :
Fosil, misalnya iktiol. Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski dan
Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens. Cara kerja obat ini
sebagai
antiinflamasi ringan.

Kortikosteroid
Kerja steroid topikal pada psoriasis diketahui melalui beberapa cara , yaitu:
1. Vasokonstriksi untuk mengurangi eritema.
2. Sebagai antimitotik sehingga dapat memperlambat proliferasi seluler.
3. Efek anti inflamasi, diketahui bahwa pada psoriasis terjadi peradangan kronis
akibat aktivasi sel T. Bila terjadi lesi plak yang tebal dipilih kortikosteroid dengan
potensi kuat seperti: Fluorinate, triamcinolone 0,1% dan flucinolone topikal
efektif untuk kebanyakan kasus psoriasis pada anak. Preparat hidrokortison 1%-
2,5% digunakan bila lesi sudah menipis.

Ditranol (antralin)
Hampir sama dengan tar memiliki efek antiinflamasi ringan, sebab dapat mengikat
asam nukleat, menghambat sintesis DNA dan menggabungkan uridin ke dalam
RNA nukleus.

Vitamin D analog (Calcipotriol)


Calcipotriol ialah sintetik vit D yang bekerja dengan menghambat proliferasi sel
dan diferensiasi keratinosit, meningkatkan diferensiasi terminal keratinosit.
Preparatnya berupa salep atau krim 50 mg/g, efek sampingnya berupa iritasi,
seperti rasa terbakar dan menyengat.

Tazaroten
Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, efeknya menghambat proliferasi
dan normalisasi petanda differensiasi keratinosit dan menghambat petanda
proinflamasi pada sel radang yang menginfiltrasi kulit. Tersedia dalam bentuk gel,
dan krim dengan konsentrasi 0,05 % dan 0,1 %. Bila dikombinasikan dengan
steroid topikal potensi sedang dan kuat akan mempercepat penyembuhan dan
mengurangi iritasi. Efek sampingnya ialah iritasi berupa gatal, rasa terbakar, dan
eritema pada 30 % kasus, juga bersifat fotosensitif.

Humektan dan Emolien


Efek emolien ialah melembutkan permukaan kulit dan mengurangi hidrasi kulit
sehingga kulit tidak terlalu kering. Pada batang tubuh (selain lipatan), ekstremitas
atas dan bawah biasanya digunakan salep dengan bahan dasar vaselin 1-2
kali/hari, fungsinya juga sebagai emolien dengan akibat meninggikan daya
penetrasi bahan aktif. Jadi emolien sendiri tidak mempunyai efek antipsoriasis.

Fototerapi
Narrowband UVB untuk saat ini merupakan pilihan untuk psoriasis yang
rekalsitran dan eritroderma. Sinar ultraviolet masih menjadi pilihan di beberapa
klinik. Sinar ultraviolet B (UVA) mempunyai efek menghambat mitosis, sehingga
dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis. Cara yang terbaik adalah
dengan penyinaran secara alamiah, tetapi tidak dapat diukur dan jika
berlebihan maka akan memperparah psoriasis. Karena itu, digunakan sinar
ulraviolet artifisial, diantaranya sinar A yang dikenal sebagai UVA. Sinar
tersebut dapat digunakan secara tersendiri atau berkombinasi dengan psoralen
(8-metoksipsoralen, metoksalen) dan disebut PUVA, atau bersama-sama dengan
preparat ter yang dikenal sebagai pengobatan cara Goeckerman. PUVA efektif
pada 85 % kasus, ketika psoriasis tidak berespon terhadap terapi yang lain.

B. Sistemik
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sistemik masih kontroversial kecuali yang bentuk
eritrodermi, psoriasis artritis dan psoriasis pustulosa Tipe Zumbusch. Dimulai
dengan prednison dosis rendah 30-60 mg (1-2 mg/kgBB/hari), atau steroid lain
dengan dosis ekivalen. Setelah membaik, dosis diturunkan perlahan-lahan,
kemudian diberi dosis pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak akan
menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi Psoriasis Pustulosa Generalisata.

Sitostatik
Bila keadaan berat dan terjadi eritrodermi serta kelainan sendi dapat sitostatik
yang biasa digunakan ialah metotreksat (MTX). Obat ini sering digunakan
Psoriasis Artritis dengan lesi kulit, dan Psoriasis Eritroderma yang sukar
terkontrol. Bila lesi membaik dosis diturunkan secara perlahan. Kerja metotreksat
adalah menghambat sintesis DNA dengan cara menghambat dihidrofolat
reduktase dan juga hepatotoksik maka perlu dimonitor fungsi hatinya. Karena
bersifat menekan mitosis secara umum, hati-hati juga terhadap efek supresi
terhadap sumsum tulang.

Etretinat (tegison, tigason)


Etretinat merupakan retinoid aromatik, derivat vitamin A digunakan bagi psoriasis
yang sukar disembuhkan dengan obat-obat lain mengingat efek sampingnya.
Etretinat efektif untuk Psoriasis Pustular dan dapat pula digunakan untuk psoriasis
eritroderma. Kerja retinoid yaitu mengatur pertumbuhan dan diferensiasi terminal
keratinosit yang pada akhirnya dapat menetralkan stadium hiperproliferasi. Efek
samping dapat terjadi kulit menipis dan kering, selaput lendir pada mulut,
mata, dan hidung kering, kerontokan rambut, cheilitis, pruritus, nyeri tulang dan
persendian, peninggian lipid darah, gangguan fungsi hepar(peningkatan enzim
hati).
Siklosporin A
Digunakan bila tidak berespon dengan pengobatan konvensional. Efeknya ialah
imunosupresif. Dosisnya 1-4mg/kgbb/hari. Bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik,
gastrointestinal, flu like symptoms, hipertrikosis, hipertrofi gingiva,serta
hipertensi. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah obat dihentikan
dapat terjadi kekambuhan.

TNF-antagonis
Tumor Necrosis Factor (TNF) alpha merupakan sitokin proinflamasi yang
memegang peran penting dalam patogenesis psoriasis. Saat ini sedang
dikembangkan sebagai terapi yang memberi haparan baru. Sediaannya antara lain
Adalimumab, Infliximab, etanercept, alefacept dan efalizumab.

Derajat Keparahan Psoriasis


Banyak cara yang digunakan untuk mengukur tingkat keparahan psoriasis, namun
yang sering digunakan adalah metode Fredriksson T, Pettersson U (1987) yang
telah banyak dimodifikasi oleh peneliti lain. Psoriasis Area and Severity Index
(PASI) adalah metode yang digunakan untuk mengukur intensitas kuantitatif
penderita berdasarkan gambaran klinis dan luas area yang terkena, cara ini
digunakan ntuk mengevaluasi perbaikan klinis setelah pengobatan. PASI
merupakan baku emas pengukuran tingkat keparahan psoriasis. Beberapa
elemen yang diukur oleh PASI adalah eritema, skuama dan ketebalan lesi dari
setiap lokasi di permukaan tubuh seperti kepala, badan, lengan dan tungkai.
Bagian permukaan tubuh dibagi menjadi 4 bagian antara lain: kepala (10%),
abdomen, dada dan punggung (20%), lengan (30%) dan tungkai termasuk bokong
(40%). Luasnya area yang tampak pada masing-masing area tersebut diberi skor 0
sampai dengan 6, seperti terlihat dalam tabel dibawah ini:
Karakteritis klinis yang dinilai adalah; eritema (E), skuama (S), dan ketebalan
lesi/indurasi (T). Karakteristik klinis tersebut diberi skor sebagai berikut; tidak ada lesi
=0, ringan=1, sedang=2, berat=3 dan sangat berat=4. Nilai derajat keparahan
diatas dikalikan dengan weighting factor sesuai dengan area permukaan tubuh;
kepala = 0,1, tangan/lengan = 0,2, badan = 0,3, tungkai/kaki = 0,4. Total nilai
PASI diperoleh dengan cara menjumlahkan keempat nilai yang diperoleh dari
keempat bagian tubuh. Total nilai PASI kurang dari 10 dikatakan sebagai
psoriasis ringan, nilai PASI antara 10-30 dikatakan sebagai psoriasis sedang, dan
nilai PASI lebih dari 30 dikatakan sebagai psoriasis berat.

Prognosa
Prognosis dari psoriasis adalah tidak menyebabkan kematian tetapi bersifat kronik
residif. Sedangkan komplikasi psoriasis adalah sebagai berikut :
a. Dapat menyerang sendi, menyebabkan arthritis psoriasis
b. Psoriasis pustulosa : pada eritema timbul pustule miliar. Jika menyerang telapak
tangan dan kaki serta ujung jari disebut psoriasis pustule tipe barber. Namun jika
pustule timbul pada psoriasis dna juga kulit diluar lesi, dan disertai gejala
sistemik berupa panas / rasa terbakar disebut zumbusch.
c. Psoriasis eritordemia : jika lesi psoriasis terdapat diseluruh tubuh dengan
skauma halus dna gejala konstitusi berupa badan panas dingin.

Grave’s Disease
Definisi
Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830,
adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisem (produksi
berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves
disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk
pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goites adalah suatu pembengkakan
atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa
bermacam-macam. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda usia 20
–40 tahun terutama wanita, tetapi penyakit ini dapat terjadi pada segala umur .
Kelenjar tiroid dalam keadaan normal tidak tampak, merupakan suatu kelanjar
yang terletak di leher bagian depan, di bawah jakun. Kelenjar tiroid ini berfungsi
untuk memproduksi hormon tiroid yang berfungsi untuk mengontrol metabolisme
tubuh sehingga tercapai pertumbuhan dan perkembangan yang normal.

Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui. Karenai ini merupakan penyakit autoimun yaitu
saat tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari
jaringan itu sendiri, maka penyakit ini dapat timbul tiba-tiba. Tidak diketahui
mekanismenya secara pasti, kebanyakan dijumpai pada wanita. Reaksi silang
tubuh terhadap penyakit virus mungkin merupakan salah satu penyebabnya
( mekanisme ini sama seperti postulat terjadinya diabetes mellitus tipe I).Obat-
obatan tertentu yang digunakan untuk menekan produksi hormon kelenjar tiroid
dan Kurang yodium dalam diet dan air minum yang berlangsung dalam kurun
waktu yang cukup lama mungkin dapat menyebabkan penyakit ini. Walaupun
etiologi penyakit Graves tidak diketahui, tampaknya terdapat peran antibody
terhadap reseptor TSH, yang menyebabkan peningkatan produksi tiroid.
Penyakit ini ditandai dengan peninggian penyerapan yodium radioaktif oleh
kelenjar tiroid.

Epidemiologi
Sampai saat ini belum ada didapatkan angka yang pasti insidensi dan prevalensi
penyakit Graves’ di Indonesia. Sementara di Amerika Serikat Sebuah studi yang
dilakukan di Olmstead Country Minnesota diperkirakan kejadian kira-kira 30
kasus per 100.000 orang per tahun. Prevalensi tirotoksikosis pada ibu adalah
sekitar 1 kasus per 500 orang. Di antara penyebab tirotoksikosis spontan,
penyakit Graves’ adalah yang paling umum. Penyakit Graves’ merupakan 60-
90% dari semua penyebab tirotoksikosis di berbagai daerah di dunia. Dalam
Studi Wickham di Britania Raya, dilaporkan 100-200 kasus per 100.000
penduduk per tahun. Insidensi pada wanita di Inggris telah dilaporkan 80 kasus
per 100.000 orang per tahun. Pada populasi umum prevalensi gangguan fungsi
hormon tiroid diperkirakan 6%

Gambaran Klinis
Pada penyakit Graves’ terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid
yang berlebihan.Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan.Pasien mengeluh lelah,
gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab,
berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi,
diare dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa
oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan
mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan
konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit Graves’ antara lain adalah tri
tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus.Pada penderita yang
berusia lebih muda,
manifestasi klinis yang umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah
capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih
senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit Graves’ dapat
berupa amenore atau infertilitas. Pada anakanak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Sedangkan pada
penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama
adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi,
dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Kelas Uraian
0 Tidak ada gejala dan tanda
1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
2 Perubahan jaringan lunak orbita
3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
5 Perubahan pada kornea (keratitis)
6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)

Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal
tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya
diobati secara adekuat.
Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema
periorbita, kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer.
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif
terutama pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran
menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka
akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping.
Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).
Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan
kebutaan.

Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler


disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang
orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan
proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola
mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat
diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot
terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan
menimbulkan kebutaan.

Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum
ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare,
berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada
wanita muda gejala utama penyakit graves dapat berupa amenore atau
infertilitas.Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan
proses pematangan tulang.
Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih
mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai
dengan adanya palpitasi , dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat
badan.
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang
ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan.
Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif
tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena
tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena
pembedahan.

Patogenesa – Patofisiologi
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen
yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B
untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis
akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan
merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody.
Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan
aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor
penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati
pada penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R).
Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada
permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam
proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita
penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan
mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti
DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.

Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Graves

Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan
HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-
B17 pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam
patogenesis penyakit tiroid otoimun seperti penyakit Graves. Virus yang
menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada
permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama
interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica, yang
menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan
otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat
bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada membran sel tiroid yang dapat
mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan yodium yang tinggi dapat
meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih imunogenik
sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid otoimun.
Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa
manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor
sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid otoimun. Faktor stres juga diduga
dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves, namun sampai saat ini belum
ada hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut.
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan
antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang
berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata
dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan
inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan
otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin
didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikans .
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin,
seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas
katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya
peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.(2)

Diagnosa
Penyakit Graves mulai dipikirkan apabila terdapat pembesaran kelenjar tiroid
difus disertai tanda dan gejala ke arah tirotoksikosis. Untuk memastikan
diagnosis, diperlukan pemeriksaan TSH dan T4-bebas dalam darah.
Pemeriksaan TSH sangat berguna untuk skrining hipertiroidisme, karena dengan
peningkatan sekresi hormon tiroid yang sedikit saja, sudah akan menekan
sekresi TSH. Pada stadium awal penyakit Graves, kadang-kadang TSH sudah
tertekan tetapi kadar T-4 bebas masih normal. Pada keadaan demikian,
pemeriksaan T-3bebas diperlukan untuk memastikan diagnosis T-3 toksikosis.(2)
Apabila dengan pemeriksaan fisis dan laboratorium belum juga dapat
menegakkan diagnosis penyakit Graves, dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan
dengan tes supresi tiroksin.

Penanganan

Terdapat 3 modalitas pengobatan pada penyakit Graves, yaitu obat antitiroid,


operasi dan Iodium-131 (131I). Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa
hal, antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma,
ketersediaan obat antitiroid dan respons/reaksi terhadapnya, serta penyakit lain
yang menyertainya.

I. Obat-obatan

1. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan
nama metimazol dan karbimazol.(4) Obat golongan tionamid lain yang baru
beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol..

Mekanisme Kerja

Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi
intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3
dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium,
menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang
utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya
PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4
ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan
penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol
adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU,
sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.(3,4)

Dosis

Besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis
PTU dimulai dengan 3×100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan
20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini, dosis
dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila
respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU
50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat
mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas
normal.4 Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan
biokimia, dosis dapat dinaikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan
memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum
obat, aktivitas fisis dan psikis.

Efek Samping

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping,


yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang
lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam
beberapa bulan pertama pengobatan.3 Untuk mengantisipasi timbulnya efek
samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar
termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-
bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian
penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu,
dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi.
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti
dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
(3,4)

Evaluasi

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves


adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi.
Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai
perkembangan klinis dan bikokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya.
Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat
mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis
terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Parameter biokimia yang
digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis), karena hormon-
hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap
rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan
eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan,
nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata.(3,4,5)
2. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat


bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis
(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas
melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik,
obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3
melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol
umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan
durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal
atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek
serupa dengan propranolol.(4)

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek
samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue,
dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam,
agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini
dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung
yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada
keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam
terapi penghambat monoamin oksidase.(4)

3. Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,


potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan
kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar
pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada
keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi
iodium radioaktif.(4)

II. Operasi

Pilihan operasi jenis tiroidektomi subtotal pada penyakit Graves diindikasikan bila
struma besar atau dengan struma retrosternal hingga menyebabkan
pendesakan, respons terhadap obat antitiroid kurang memadai, atau terdapat
efek samping obat.
Sebelum tindakan operasi dilaksanakan, keadaan hipertiroidismenya harus
diobati terlebih dulu hingga tercapai eutiroidisme baik klinis maupun biokimia.
Iodida inorganik biasanya diberikan selama 7-10 hari sebelum operasi dengan
tujuan mengurangi vaskularisasi kelenjar tiroid dan mempermudah prosedur
operasi. Di senter yang berpengalaman, angka hipertiroidisme yang teratasi
mencapai 98% dengan sedikit komplikasi operasi. Komplikasi hipotiroidisme
yang terjadi, terutama disebabkan sedikitnya sisa tiroid yang tertinggal dan
adanya antibodi antitiroid.(3,4,5)
Angka kekambuhan hipertiroidisme dilaporkan sebanyak 5-15%, sebagian besar
dialami kelompok pasien dengan kadar TR-Ab tinggi sebelum operasi dan
dengan keterlibatan mata yang serius. Pada kelompok seperti ini sebaiknya
dilakukan tiroidektomi total, bukan tiroidektomi subtotal. Pada kelompok yang
mengalami kekambuhan pasca tiroidektomi subtotal, pilihan selanjutnya ialah
terapi Iodium radioaktif.(2,4)

III. Iodium Radioaktif

Terapi iodium radioaktif merupakan terapi pilihan pada pasien yang mengalami
kekambuhan setelah terapi obat antitiroid jangka panjang dengan problem
kardiak, atau pasien Graves yang berat karena kelompok tersebut diperkirakan
akan sulit mencapai remisi dengan obat antitiroid. Indikasi lain terapi ini ialah bila
terdapat efek samping serius terhadap obat antitiroid, juga pada sebagian besar
pasien multinodular-uninodular toksik. Terapi iodium radioaktif
dikontraindikasikan pada wanita hamil dan sedang menyusui.(3,4)

Evaluasi pasien dilakukan dengan interval 4-6 minggu selama 3 bulan pertama,
dan selanjutnya sesuai dengan keadaan klinis dan biokimia. Bila ingin hamil,
sebaiknya ditunda hingga 4 bulan pascaterapi.2 Hipotiroidisme, yang sering
merupakan komplikasi terapi iodium radioaktiv, dapat muncul pada 6-12 bulan
pertama setelah terapi, tetapi dapat juga muncul setiap saat. Bila hipotiroidisme
terjadi, dapat diberikan L-tiroksin dosis titrasi, dengan target kadar FT-4 dan TSH
normal. Bila telah tercapai eutiroid yang stabil, evaluasi dapat dilakukan setahun
sekali.(5)
Oftalmopati Graves
Meskipun mekanisme hubungan penyakit Graves dengan oftalmopati Graves
belum jelas, pengelolaan terhadap tirotoksikosis merupakan langkah awal yang
harus dilakukan. Pada oftalmopati ringan atau sedang, di samping usaha
mempertahankan keadaan eutiroidisme, yang juga perlu dilakukan ialah:(2,4)

 Hentikan rokok
 Hindari cahaya yang sangat terang dan debu
 Tidur dengan posisi kepala terangkat
 Gunakan artificial tears dan salep mata sederhana pada malam hari
 Obat diuretik.
Pada oftalmopati berat, ditandai dengan memberatnya diplopia dan keratitis
ekspose atau neuropati optika, perlu pengobatan tambahan: (2,4)

 Glukokortikoid (prednison 40-80 mg/hari, dosis diturunkan bertahap,


paling tidak selama 3 bulan)
 Radioterapi (dosis 20 Gy, diberikan dalam 10 kali dosis 2 Gy)
 Operasi dekompresi orbita
 Obat-obatan (eksperimental) imunosupresi seperti azatioprin atau
siklosporin

Prognosa
Pada umumnya penyakit Grave’s mengalami periode remisi dan eksaserbasi.
Namun pada beberapa penderita setelah terapi tetap pada kondisi eutiroid dalam
jangka lama, beberapa penderita dapat berlanjut ke hipotiroid. Pemantauan
jangka panjang diperlukan untuk penderita dengan penyakit grave’s.

Komplikasi
Oftalmopati Graves’ terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang
orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan
proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola
mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otototot bola mata dapat
diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot
terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan
menimbulkan kebutaan.
Celiac Disease
Definisi
Penyakit celiac merupakan akibat dari reaksi abnormal terhadpa konsituen
gandum, protein, yang merusak permukaan enterosit usus halus sehingga
sangat mengurangi kemampuan absorpsi nya.

Epidemiologi
Penyakit coeliac mengenai sekitar 1 dari 2000 penduduk di inggris, tetapi
dibagian barat irlandia insiden nya meningkat menjadi 1 dari 300 penduduk.
Meskipun demikian, insiden ini diperkirakan meningkat akibat intoleransi
terhadap gluten yang semakin meluas. Pada penelitian dalam keluarga ternyata
insiden penyakit coeliac pada anak kembar adalah antara 10-20% dan terdapat
peningkatan pada orangtua nya.

Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah karena usus halus tidak mampu menyerap dan
mencerna gluten. Gluten merupakan protein yang banyak terdapat pada
gandum, jelai (suku padi-padian), dan gandum hitam. Pada beberapa orang
yang mengkonsumsi makanan yang mengandung gluten, terdapat suatu enzim
yang bernama transglutaminase yang mengubah gluten menjadi zat kimia yang
menyebabkan peradangan pada lapisan usus halus sehingga menjadi rusak dan
mencegah penyerapan secara normal terhadap nutrisi lain dari makanan.
Gangguan penyerapan nutrisi vitamin, mineral dan lainnya dapat menyebabkan
kerusakan organ lain pada tubuh seperti hati, tulang dan otak atau organ lain
yang membutuhkan suatu nutrisi untuk berfungsi normal. Jika penyakit ini terjadi
anak-anak, maka akan menyebabkan pertumbuhannya terganggu.

Banyak ahli kesehatan berasumsi penyakit celiac banyak disebabkan oleh faktor
keturunan. Namun tidak semua anggota keluarga mengalami penyakit ini
dimanag salah satu anggotanya menderita penyakit ini. Pada umumnya,
penyakit ini diderita oleh orang yang mengalami penyakit diabetes melitus tipe 1,
radang usus besar (colitis), sindrom Sjögren dan penyakit pada kelenjar tiroid.

Gambaran Klinis
Usus kecil mempunyai lapisan dalam dari sel-sel yang membentuk projections
(penonjolan-penonjolan) seperti jari-jari tangan yang disebut villi. Villi adalah
akan meningkatkan jumlah dari sel-sel dan area permukaan yang tersedia untuk
penyerapan (absorpsi) nutrisi-nutrisi dari intestinal lumen kedalam aliran darah.
Pada penyakit celiac, peradangan menghancurkan villi, menyebabkan lapisan
dalam dari usus kecil menjadi rata. Kehilangan villi mengurangi sel-sel dan area
permukaan yang tersedia untuk penyerapan nutrisi-nutrisi. Penyerapan dari
nutrisi-nutrisi yang terganggu dirujuk sebagai malabsorpsi. Malabsorpsi dari
nutrisi-nutrisi menjurus pada kekurangan-kekurangan nutrisi, dirujuk sebagai
malnutrisi. Panjang (jumlah) dari usus kecil yang terpengaruh oleh kehilangan
villi bervariasi dari pasien ke pasien, dan panjang yang terlibat menentukan
keparahan dari tanda-tanda dan gejala-gejala. Jadi, pasien-pasien yang seluruh
usus kecilnya terpengaruh oleh kehilangan villi mempunyai tanda-tanda dan
gejala-gejala yang lebih parah dari malabsorpsi daripada pasien-pasien yang
mempunyai hanya sebagain dari usus kecil yang terpengaruh. Ketika hanya
sebagain dari usus kecil yang terpengaruh, biasanya adalah usus kecil bagian
atas (duodenum dan jejunum) yang lebih terpengaruh daripada usus kecil bagian
bawah (ileum).
2.3.1 Tanda-Tanda dan Gejala dari Penyakit Celiac Tanda-tanda dan gejala-
gejala dari penyakit celiac tergantung pada derajat dari malabsorpsi, tanda-tanda
dan gejala-gejala dari penyakit celiac bervariasi diantara individu-individu,
mencakup dari asimtomatik, tanda-tanda dan gejala-gejala yang sedikit atau
ringan, sampai tanda-tanda dan gejala-gejala yang banyak atau parah. Ada dua
kategori-kategori dari tanda-tanda dan gejala-gejala:
a. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang disebabkan oleh malabsorpsi,
b. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang disebabkan oleh malnutrisi termasuk
kekurangan-kekurangan vitamin dan mineral.

a. Tanda-tanda dan gejala-gejala dari malabsorpsi Tiga kategori utama dari


nutrisi diet adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Absorpsi (penyerapan) dari
semua nutrisi ini dapat berkurang pada penyakit celiac; bagaimanapun, lemak
adalah nutrisi yang paling umum dan parah dipengaruhi. Kebanyakan dari
gejala-gejala dan tanda-tanda pencernaan dari penyakit disebabkan oleh
penyerapan yang tidak cukup dari lemak (malabsorpsi lemak). Gejala-gejala
pencernaan dari malabsorpsi lemak termasuk diare, malodorous flatulence (gas
yang berbau busuk), perut yang kembung, dan jumlah yang meningkat dari
lemak dalam feces (steatorrhea). Lemak yang tidak terserap diurai oleh bakteri-
bakteri usus kedalam asam lemak, dan asam lemak ini mempromosikan sekresi
air kedalam usus, berakibat pada diare. Feces yang berlemak secara khas
adalah besar dalam volumenya, berbau busuk, berminyak, berwarna coklat atau
abu terang. Kehilangan villi usus juga menyebabkan malabsorpsi dari
karbohidrat, terutama gula lactose. Lactose adalah gula utama dalam susu.
Lactose terbentuk dari dua gula yang lebih kecil, glucose dan galactose. Dalam
rangka untuk lactose diserap dari usus dan kedalam tubuh, ia harus pertama
dipisah kedalam glucose dan galactose. Glucose dan galactose kemudian dapat
diserap oleh sel-sel yang melapisi usus kecil. Enzim yang memisahkan lactose
kedalam glucose dan galactose disebut lactase, dan ia berlokasi pada
permukaan dari villi usus kecil. Pada penyakit celiac villi usus bersama dengan
enzim lactase pada permukaan mereka hancur, menjurus pada malabsorpsi dari
lactose. Tanda-tanda dan gejala-gejala dari malabsorpsi lactose terutama
menyolok pada individu dengan penyakit celiac yang mempunyai
ketidaktoleranan lactose yang mendasarinya, pengurangan yang ditentukan
secara genetik dalam aktivitas dari lactase. Gejala-gejala dari malabsorpsi
lactose (diare, kentut yang berlebihan, nyeri perut dan kembung perut) terjadi
karena lactose yang tak terserap lewat melalui usus kecil dan kedalam colon
(usus besar). Di colon, ada bakteri normal yang mengandung lactase dan
mampu memisahkan lactose, yang menggunakan hasil glucose dan galactose
untuk tujuan-tujuannya sendiri. Ketika terpisahnya lactose kedalam glucose dan
galactose, bakteri juga melepaskan gas (hydrogen dan/atau methane). Proporsi
dari gas dikeluarkan dan bertanggung jawab untuk buang gas yang meningkat
yang mungkin terjadi pada penyakit celiac. Tidak semua dari lactose yang
mencapai colon dipisahkan dan digunakan oleh bakteri colonic. Lactose yang
tidak terpisah yang mencapai colon menyebabkan air ditarik kedalam colon
(dengan osmosis). Ini memajukan diare.
b. Tanda-tanda dan gejala-gejala dari malnutrisi dan kekurangan-kekurangan
vitamin atau mineral Gejala-gejala dari malnutrisi dan kekurangan vitamin atau
mineral termasuk: kehilangan berat badan, penahanan cairan, anemia,
osteoporosis, mudah memar, peripheral neuropathy (kerusakan syaraf),
kemandulan, dan kelemahan otot.

Kehilangan berat badan dan penahanan cairan: Kehilangan berat badan adalah
akibat langsung dari penyerapan yang tidak cukup dari karbohidrat, protein dan
lemak. Bagaimanpun, kehilangan berat badan mungkin tidak selalu terjadi
karena pasien-pasien dengan penyakit celiac seringkali mempunyai nafsu makan
yang besar yang mengkompensasi pengurangan absorpsi dari nutrisi. Lebih dari
itu, kehilangan berat badan dapat disembunyikan dengan penahanan cairan.
Penahanan cairan terjadi pada malnutrisi yang telah lanjut karena pengurangan
absorpsi protein berakibat pada tingkat protein yang rendah dalam darah.
Tingkat protein yang tinggi dalam darah adalah perlu untuk mempertahankan
cairan dari kebocoran keluar dari pembuluh darah dan kedalam jaringan-jaringan
tubuh. Ketika tingkat-tingkat protein darah jatuh seperti pada penyakit celiac,
cairan bocor kedalam banyak jaringan (edema) namun terutama pergelangan
kaki dan kaki, yang membengkak disebabkan oleh edema.v

Anemia: Kekurangan absorpsi dari vitamin B12 dan zat besi dapat menjurus
pada anemia.v

Osteoporosis: Kekurangan absorpsi dari vitamin D dan calcium dapat menjurus


pada osteoporosis dan patah tulang.v

Mudah memar: Kekurangan absorpsi dari vitamin K dapat menjurus pada


kemampuan yang berkurang dari darah untuk menggumpal (membeku) dan
karenanya mudah memar atau perdarahan yang berlebihan. v

Peripheral neuropathy (kerusakan syaraf): Kekurangan-kekurangan vitamin B12


dan thiamine mungkin berkontribusi pada kerusakan syaraf dengan gejala-gejala
dari keseimbangan yang buruk, kelemahan otot, dan mati rasa dan kesemutan
pada lengan-lengan dan kaki-kaki. v

Kemandulan: Penyakit celiac yang tidak dirawat dapat menjurus pada


kemandulan pada wanita-wanita, kekurangan menses (menstruation),
keguguran-keguguran secara spontan dan bayi-bayi yang lahir dengn berat
badan yang rendah.v

Kelemahan otot: Kekurangan absorpsi dan tingkat-tingkat yang rendah dari


potassium dan magnesium dapat menjurus pada kelemahan otot yang parah,
kejang-kejang otot, dan sensasi-sensasi mati rasa atau kesemutan pada lengan-
lengan dan kaki-kaki. 2.3.2 Gejala-Gejala Dari Penyakit Celiac Berbeda Dengan
Umur Dari Penimbulan Yang perlu dipertimbangkan pada penyakit celiac adalah
penyakit terutama pada bayi dan anak-anak. Sekarang terdapat tanda-tanda dan
gejala-gejala awal dari penyakit celiac dapat terjadi pada kaum dewasa dan
bahkan pada kaum tua.

a. Gejala-gejala pada bayi-bayi Bayi dengan penyakit celiac secara khas


mempunyai diare, steatorrhea, kejang-kejang perut, perut yang kembung, mudah
teriritasi, penyusutan otot, dan gagal untuk tumbuh dengan subur dan tumbuh.
Gejala-gejala ini secara khas terjadi setelah pengenalan dari cereal-cereal yang
mengandung gluten kedalam diet-diet (makanan) mereka.

b. Gejala-gejala pada anak-anak Anak-anak dengan penyakit celiac secara khas


mempunyai diare, jumlah-jumlah yang meningkat dari lemak dalam feces
(steatorrhea), membuang gas (kentut), postur tubuh yang pendek dan
kehilangan berat badan. Perawatan yang tepat dengan diet yang bebas gluten
dapat menjurus pada pertumbuhan yang dipercepat pada tinggi. Ketika anak-
anak dengan penyakit celiac memasuki masa remaja, banyak akan mengalami
remis secara spontan (gejala yang berkurang) dan tetap bebas dari tanda dan
gejala dari penyakit celiac hingga kemudian pada masa dewasa. Pengaktifan
kembali kemudian ini dapat dipercepat oleh stress seperti kehamilan atau
operasi.

c. Gejala-gejala pada kaum dewasa Orang-orang dewasa dengan penyakit


celiac mungkin mempunyai gejala-gejala dari diare, steatorrhea, kehilangan
berat badan dan buang gas (kentut); bagaimanapun, banyak orang-orang
dewasa tidak mempunyai diare atau steatorrhea. Mereka tidak mempunyai
gejala-gejala atau hanya ketidaknyamanan perut yang samar seperti kembung,
perut yang menggelembung dan gas yang berlebihan. Mereka juga mungkin
mempunyai hanya satu, atau hanya sedikit tanda-tanda dari malnutrisi seperti
anemia kekurangan zat besi, perdarahan yang abnormal, atau patah-patah
tulang.
Beberapa pasien-pasien dengan penyakit celiac dan gejala-gejala
pencernaan disalah diagnosa dengan irritable bowel syndrome (IBS). Telah ada
perubahan-perubahan selama 20 tahun yang lalu dalam cara dimana penyakit
celiac didiagnosa. Umur rata-rata dimana penyakit celiac didiagnosa telah
meningkat, kemungkinan karena kesadaran yang meningkat bahwa penyakit
dapat pertama-tama menyebabkan gejala-gejala atau tanda-tanda pada kaum
dewasa. Dimana diare dulu adalah gejala awal pada 80% dari pasien-pasien, ia
sekarang adalah gejala awal pada hanya 40%. Proporsi kecil dari pasien-pasien
-kira-kira 15%-- sekarang didiagnosa dengan tes-tes antibodi darah karena
mereka mempunyai hubungan yang erat dengan penyakit celiac dan mereka
sedang disaring untuk melihat apakah mereka juga mempunyai penyakit

Patogenesa – Patofisiologi
Penyakit Celiac adalah penyakit autoimun dan jaringan enzim transglutaminase
(TTG) telah ditemukan sebagai autoantigen dikompensasi dengan respon imun
abnormal diarahkan. Gluten adalah faktor lingkungan tunggal utama yang
memicu penyakit coeliac, yang memiliki asosiasi sempit dan sangat spesifik
dengan haplotype kelas II HLA DQ2 (haplotype-DR 17 atau DR5 / 7) dan, pada
tingkat lebih rendah DQ8, (haplotype-DR 4). Penyakit coeliac tampaknya
polyfactorial, baik dalam bahwa lebih dari satu faktor genetik dapat
menyebabkan penyakit dan yang lebih dari satu faktor yang diperlukan untuk
penyakit untuk mewujudkan pada pasien. Hampir semua pasien coeliac memiliki
varian alel HLA-DQ2. Namun, sekitar 20-30% dari orang tanpa penyakit celiac
telah mewarisi alel HLA-DQ2. Hal ini menunjukkan faktor tambahan yang
diperlukan untuk penyakit celiac untuk dikembangkan. Alel HLA-DQ2
menunjukkan penetrasi yang tidak lengkap, sebagai gen alel yang terkait dengan
penyakit ini muncul pada kebanyakan pasien tetapi tidak hadir di semua kasus
dan tidak cukup dengan sendirinya untuk menyebabkan penyakit.

1. Genetik Sebagian besar pasien coeliac memiliki satu dari dua jenis HLA-DQ.
Gen ini adalah bagian dari kelas MHC II antigen-presenting reseptor (juga
disebut antigen leukosit manusia) sistem dan membedakan sel antara diri dan
non-self. untuk keperluan sistem kekebalan tubuh. gen ini terletak pada lengan
pendek kromosom keenam dan telah diberi label CELIAC1. Ada tujuh HLA-DQ
varian (DQ2 dan DQ4-DQ9). Lebih dari 95% dari pasien celiac memiliki isoform
dari DQ2 atau DQ8, yang diwariskan dalam keluarga. Alasan gen ini
menghasilkan peningkatan risiko penyakit celiac adalah bahwa reseptor dibentuk
oleh mengikat gen untuk gliadin peptida lebih erat daripada bentuk-bentuk lain
dari reseptor antigen-presenting. Oleh karena itu, bentuk reseptor lebih
cenderung untuk mengaktifkan limfosit T dan memulai proses autoimun.
Prolamin Protein utama pada makanan yang responsive atau bertanggung jawab
untuk reaksi imun pada penyakit celiac adalah prolamin. Prolamin ini merupakan
tempat penyimpanan protein yang kaya akan prolin (prol-) dan glutamine(-amin).
Prolamin banyak ditemukan pada jenis sereal yang berbeda namun masih
termasuk dalam kelompok prolamin, seperti gandum (gliadin), barley(hordein),
rye(secalin), jagung(zein) dan sebagai protein kecil, avein pada oat. Salah satu
daerah dari α-gliadin menstimulasi membrane sel, enterosit, dari usus untuk
memungkinkan molekul-molekul yang lebih besar mengelilingi segel antara sel-
sel. Disrupsi atau gangguan dari sambungan yang kuat memungkinkan peptide-
peptida yang lebih besar dari tiga asam amino untuk masuk kedalam sirkulasi.
Membrane yang bocor mengizinkan peptide-peptida glandin menstimulasi 2 level
dari respon imun, (respon bawaan dan respon adaptif ( sel T pembantu
termediasi). Satu peptide protease resisten dari α-gliadin berisi suatu wilayah
yang menstimulasi limfosit dan menghasilkan pelepasan interleukin-15. Respon
bawaan untuk gliadin ini menghasilkan sinyal pada system imun yang menarik
sel-sel radang dan meningkatkan pelepasan bahan-bahan kimia peradangan.
Respon adaptif terkuat dan paling umum untuk gliadin adalah diarahkan
langsung sebuah fragmen α2-gliadin dari 33 asam amino yang panjang. Respon
terhadap 33mer terjadi pada kebanyakan coeliac yang memiliki isoform DQ2.
Peptida ini, ketika diubah oleh transglutaminase usus, memiliki kerapatan epitop
sel T tumpang tindih yang tinggi. Hal ini meningkatkan kemungkinan isoform
DQ2 akang mengikat dan tetap terikat pada peptida ketika dikenali oleh sel T.
Gliadin yang terkandung dalam gandum diyakini sebagai kelompok prolamin
yang paling berkontribusi untuk penyakit celiac walupun begitu hordein yang
terkandung dalam barley dan secalin dari rye juga member kontribusi untuk
penyakit celiac ini.

2. Transglutaminase Jaringan Antibodi Anti-transglutaminase terhadap enzim


transglutaminase jaringan (tTG) ditemukan pada sebagian besar kasus.
Transglutaminase jaringan memodifikasi peptida gluten menjadi suatu bentuk
yang dapat menstimulasi system imun lebih efektif. Peptida-peptida ini
dimodifikasi oleg tTG melalui dua cara, deamidasi atau transmidasi. Deamidasi
adalah reaksi oleh residu glutamat yang terbentuk oleh pembelahan kelompok
epsilon-amino dari suatu rantai samping glutamine. Transamidasi, yang terjadi
tiga kali lebih sering daripada deamidasi, adalah salib-penyambung, dari residu
glutamin dari peptida gliadin untuk residu lisin dari tTG dalam reaksi yang
dikatalisis oleh transglutaminase tersebut. Silang ini dapat terjadi baik didalam
ataupun diluar dari celah aktif enzim. Kasus terakhir menghasilkan sebuah
kompleks permanen, antara gliadin dan tTG. Hasil ini dalam pembentukan epitop
baru diyakini untuk memicu respon imun primer dimana autoantibody menyerang
TTG berkembang. Biopsi tersimpan dari pasien yang diduga coeliac telah
mengungkapkan bahwa deposit autoantibodi di coeliac subklinis terdeteksi
sebelum penyakit klinis. Deposito tersebut juga ditemukan pada pasien yang
hadir dengan penyakit autoimun lainnya, fenomena anemia atau malabsorpsi di
tingkat yang lebih-meningkat selama populasi normal komponen Endomysial
antibodi (EMA) untuk TTG yang diyakini diarahkan sel-permukaan.
transglutaminase, dan antibodi ini masih digunakan dalam mengkonfirmasikan
diagnosis penyakit celiac. Namun, studi 2006 menunjukkan bahwa pasien celiac
EMA-negatif cenderung laki-laki tua dengan gejala perut lebih parah dan
frekuensi yang lebih rendah dari "atipikal" gejala termasuk penyakit autoimun.
Dalam studi ini anti-TTG deposito antibodi tidak berkorelasi dengan keparahan
kerusakan vili. Temuan ini, ditambah dengan pekerjaan baru-baru ini
menunjukkan gliadin yang memiliki komponen respon bawaan menunjukkan
gliadin yang mungkin lebih bertanggung jawab atas manifestasi utama penyakit
celiac, sedangkan TTG merupakan faktor besar dalam efek sekunder seperti
respon alergi dan sekunder autoimun penyakit. Dalam persentase besar pasien
celiac, antibodi anti-TTG juga mengakui protein yang disebut Rotavirus VP7.
Antibodi ini merangsang proliferasi monosit, dan infeksi rotavirus mungkin
menjelaskan beberapa langkah awal dalam kaskade proliferasi sel kekebalan.
Memang, studi sebelumnya kerusakan rotavirus di dalam usus menunjukkan ini
menyebabkan atrofi vili. Ini menunjukkan bahwa. Viral protein dapat mengambil
bagian dalam perataan awal dan merangsang diri-crossreactive anti-VP7
produksi. Antibodi untuk VP7 juga dapat memperlambat penyembuhan hingga
presentasi ttg gliadin-dimediasi menyediakan sumber kedua antibodi silang
reaktif.

4. Kekebalan Bawaan Limfosit intraepithelial (IELs) memainkan peran penting


dalam penghancuran sel epitel. Melalui spesifik reseptor pembunuh alami (NKR)
diekspresikan pada permukaan mereka, IELs mengakui kompleks
histocompatability nonclassical utama (MHC)-Saya molekul diinduksi pada
permukaan enterosit oleh stres dan peradangan. Interaksi ini menyebabkan
aktivasi dari IELs effector bersenjata untuk menjadi sel membunuh limfokin-
diaktifkan, mereka menyebabkan kematian sel epitel dalam reseptor sel T (TCR)
cara-independen. membunuh ini sangat ditingkatkan melalui sitokin interleukin
(IL) -15 yang sangat dinyatakan dalam mukosa celiac. NKG2D telah ditemukan
untuk memainkan peran penting dalam peradangan usus di penyakit coeliac.
2.5.5 Imunitas Adaptif Respon imun adaptif terhadap gluten telah dijelaskan
dengan baik, dengan identifikasi urutan peptida spesifik ditunjukkan dalam
pengikatan khusus untuk molekul HLA-DQ2 atau DQ8 dan merangsang gluten-
spesifik sel T CD4. Sel-sel T mengekspresikan α / β TCR, dan dapat diisolasi dari
lamina propria dan dibudidayakan. In vitro, mereka telah terbukti untuk
mengenali peptida gluten khusus disajikan melalui interaksi dengan molekul DQ2
atau DQ8. Gluten adalah makromolekul kompleks yang berisi prolin berlimpah
dan residu glutamin, rendering itu sebagian besar dicerna. Dalam keadaan
biasa, gluten yang tersisa (sebagian) tidak diserap oleh saluran pencernaan.
Gluten terdiri dari glutenins dan gliadins, alkohol-air fraksi larut. Gliadins ini
selanjutnya dibagi menjadi alfa, gamma, dan fraksi omega berdasarkan
electrodensity. Di antara fraksi, satu fragmen peptida tertentu adalah gliadin
alpha 33-mer, yang berisi fragmen peptida imunodominan. Fragmen ini
deamidated oleh TTG. TTG merupakan enzim di mana-mana dan dikenal untuk
deamidate glutamin menjadi asam glutamat, menciptakan muatan negatif yang
kuat dalam peptida. Modifikasi ini sangat penting dalam meningkatkan seleksi
dengan muatan positif dalam saku mengikat molekul HLA-DQ2 atau DQ8 pada
antigen-presenting sel pada lamina propria. Ketika disampaikan kepada gluten
sel tertentu CD4 + T, menginduksi proliferasi dan induksi respon sitokin Th1,
terutama dengan rilis interferon-γ. Sel B menerima sinyal melalui interaksi HLA,
menyebabkan produksi autoantibody TTG. Peran autoantibodies ini masih belum
jelas, mereka telah terbukti disimpan di sepanjang wilayah subepitel bahkan di
normal-muncul temuan biopsi usus sebelum serologi positif dan tanpa terjadinya
kerusakan sel epitel terbuka.

5. Relevan Anatomi Terutama penyakit Celiac mempengaruhi usus kecil. Organ


ini skematis dibagi menjadi 3 bidang: duodenum (yang dimulai di luar pilorus,
terletak di ujung perut), jejunum, dan ileum (berakhir di persimpangan ileocecal,
awal dari usus besar). Ini 3 bagian saham arsitektur jaringan yang sama dan
bertanggung jawab atas sebagian besar penyerapan gizi tubuh. Dinding usus
memiliki 4 lapisan, yaitu (dari lumen ke dalam) yang disebut mukosa,
submucosa, muskularis, dan serosa. The 2 fungsi utama dari mukosa ini adalah
untuk menyelesaikan semua proses pencernaan-serap untuk nutrisi dan elektrolit
dan untuk menyediakan fungsi penghalang dengan mengecualikan antigen asing
dan racun. Penyakit Celiac mempengaruhi lapisan mukosa: di sini, sebuah riam
peristiwa kekebalan mengakibatkan perubahan yang bisa didokumentasikan oleh
histologi.

6. Atrofi Vili dan Malabsorpsi Proses inflamasi, dimediasi oleh sel T,


menyebabkan gangguan struktur dan fungsi lapisan mukosa usus kecil dan
menyebabkan malabsorpsi karena merusak kemampuan tubuh untuk menyerap
nutrisi, mineral dan vitamin yang larut dalam lemak A, D, E dan K dari makanan.
Intoleransi laktosa dapat hadir karena permukaan usus menurun dan
berkurangnya produksi laktase tetapi biasanya setelah menyelesaikan kondisi
diperlakukan. Alternatif penyebab kerusakan jaringan ini telah diajukan dan
melibatkan pelepasan interleukin 15 dan aktivasi dari sistem kekebalan tubuh
bawaan oleh peptida gluten lebih pendek (p31-43/49).
Hal ini akan memicu pembunuhan enterosit oleh limfosit dalam epitel atrofi
vili dilihat pada biopsi mungkin juga karena penyebab yang tidak berhubungan,
seperti sariawan tropis, giardiasis dan enteritis radiasi. Sementara serologi positif
dan biopsi khas sangat sugestif penyakit coeliac, kurangnya respon terhadap
diet mungkin memerlukan alternatif, diagnosa ini harus dipertimbangkan.

7. Pengubah Resiko
Ada berbagai teori mengenai apa yang menentukan apakah seorang individu
yang secara genetik rentan akan terus mengembangkan penyakit celiac. Teori
utama meliputi infeksi oleh rotavirus atau adenovirus usus manusia. Sebuah
studi 2005 prospektif dan observasi menemukan bahwa waktu paparan untuk
gluten pada anak adalah pengubah risiko penting. Orang yang terpapar untuk
gandum, barley, atau rye sebelum penghalang usus telah sepenuhnya
berkembang (dalam tiga bulan pertama setelah kelahiran) telah lima kali resiko
terkena penyakit celiac relatif terhadap mereka yang terpapar pada empat
hingga enam bulan setelah lahir. Mereka lebih dari enam terkena bahkan
berbulan-bulan setelah kelahiran ditemukan hanya memiliki risiko sedikit
meningkat dibandingkan dengan mereka yang terpapar pada empat hingga
enam bulan setelah lahir.
Sebuah studi yang dilakukan tahun 2006 menunjukkan bahwa pengenalan
awal butir adalah pelindung terhadap alergi gandum. Namun, penelitian ini
secara eksplisit dikecualikan setiap peserta ditemukan memiliki penyakit celiac.
Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa memperpanjang pemberian ASI
sampai diperkenalkannya mengandung gluten-butir ke dalam makanan dikaitkan
dengan penurunan risiko 52% terkena penyakit celiac pada masa bayi. 2.6
KOMPLIKASI Gangguan utama dalam penyakit ini adalah gangguan penyerapan
nutrisi yang memasuki tubuh maka gangguan yang dapat terjadi adalah anemia
kekurangan zat besi, kadar protein darah menurun drastis, akan terjadi
penimbunan cairan dan pembengkakan jaringan atau edema. Pada beberapa
penderita, gejala tersebut tidak nampak sampai mencapai usia dewasa.
Bila gangguan sudah terjadi sejak usia anak resiko yang akan terjadi
adalah gangguan pada tulang-tulang panjang atau osteopeni. Tergantung pada
berat dan lamanya kelainan, akibat kadar protein, kalsium, natrium dan kalium
darah yang rendah. Akibat adanya malabsorbsi dapat terjadi karena kekurangan
zat gizi yang menimbulkan gagal tumbuh atau gangguan peningkatan berat
badan dan tinggi badan. Kekurangan protrombin yang diperlukan dalam proses
pembekuan darah akan menyebabkan penderita mudah menjadi memar dan
mudah mengalami perdarahan. Beberapa peneliti menyebutkan penyakit celiac
dapat mengakibatkan manifestasi neurologi atau gangguan persarafan,
diantaranya adalah epilepsi, kejang, gangguan belajar, gangguan konsentrasi,
depresi dan pada anak sering rewel yang tidak diketahui sebabnya.
Juga dilaporkan adanya gangguan neuropati perifer dengan gejala
kesemutan dan rasa kebas pada kaki dan tangan. Gangguan neurologis lain
yang dilaporkan adalah "mielopati", "ensefalitis brainstem", "sindrom serebelar",
"myoclonic ataxia" (sindrom Ramsay-Hunt) dan "leukoencefalopati progresif
kronik". Banyak peneliti mengungkapkan bahwa penderita celiac sering dikaitkan
dengan terjadinya penyakit "autoimmune" lainnya seperti: penyakit thyroid, lupus,
diabetes tipe 1, penyakit liver, penyakit pembuluh darah kolagen, rheumatoid
artritis atau sindrom Sjögren's. Disebutkan penderita celiac akan 50 kali lebih
mudah mengalami penyakit diabetes dibandingkan orang normal. Penderita juga
10 kali lebih mudah mengalami kekurangan Imunoglubulin A yang
mengakibatkan daya tahan tubuh seseorang berkurang sehingga mudah
terserang infeksi demam, batuk dan pilek. Penderita celiac yang tidak tertangani
dengan baik akan beresiko menimbulkan proses keganasan (kanker) pada
saluran cerna seperti adenocarcinoma dan "Enteropathy-Associated T-Cell
Lymphoma.

Diagnosa
Diagnosis untuk menegakkan perkiraan seorang memiliki penyakit celiac terdiri
dari : Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan Laboratorium Eliminasi diet
1. Anamnesis Evaluasi awal dimulai dengan anamnesis riwayat medismdan
pemeriksaan fisis yang mendalam, pertimbangan diagnose banding, termasuk
gangguan metabolik, abnormalitas anatomik, keganasan, reaksi merugikan
terhadap makanan yang non imunologik dan gangguan-gangguan yang dapat
memberikan gejala yang serupa.

2. Pemeriksaan Fisik Selama pemeriksaan fisik perhatian diarahkan ke sistem


kulit, gastrointestinal, dan respiratorik. Misalnya rasa gatal dan adanya ruam di
kulit. Dicurigai suatu penyakit celiac, bila seorang anak tampak pucat, bokongnya
datar dan perutnya buncit meskipun makannya benar; terutama jika ada riwayat
penyakit ini dalam keluarganya.
3. Pemeriksaan Laboratorium Karena tidak terdapat tes diagnostik yang spesifik,
3 kriteria harus ditemukan untuk menegakkan diagnosis celiac Disease :
a. Bukti Malabsorbsi dengan Pemeriksaan Feces Lemak dalam sample dari
feces yang ditempatkan pada slide kaca dapat dinodakan dengan zat pewarna
(Sudan stain) untuk membuat lemak terlihat dibawah mikroskop sebagai
globules. Feces dari pasien dengan penyakit celiac seringkali mengandung
banyak globules dari lemak yang ternoda, dan Sudan staining adalah tes
penyaringan yang cepat dan mudah untuk jumlah-jumlah yang meningkat dari
lemak dalam feces (steatorrhea).
Untuk mendiagnosa steatorrhea secara konklusif, bagaimanapun, feces
diambil melalui periode 72 jam, ada lemak dalam feces secara kimia diukur dan
dikuantifikasikan. Steatorrheic stools mempunyai kuantitas lemak yang tingginya
abnormal. Karena malabsorpsi dan steatorrhea dapat terjadi dengan penyakit-
penyakit usus lain (seperti pertumbuhan yang terlalu cepat bakteri usus kecil,
reseksi atau pemotongan keluar usus kecil sebelumya, penyakit Crohn yang
ekstensif dari usus kecil, dan chronic pancreatitis), feces dengan jumlah lemak
yang besar hanya menaikan kecurigaan dari penyakit celiac namun tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosa penyakit celiac. Perubahan dalam usus juga
membuatnya kurang mampu menyerap nutrisi, mineral dan vitamin yang larut
dalam lemak A, D, E, dan K.
b. Biopsi Usus Halus
Diagnosis pasti harus dengan melakukan biopsi usus halus (duodenum), yang
menunjukkan permukaannya yang mendatar dengan karakteristik adanya
limfositosis intraepithelial, hiperplasia Kripta, atrofi dan pada pemeriksaan
ulangan ditemukan perbaikan setelah makanan yang mengandung gluten
dihentikan. Kriteria diagnostic yang dikembangkan oleh the European Society for
Pediatric Gastroenterology and Nutrition hanya dibutuhkan criteria perbaikan
klinis dengan penghindaran diet gluten. Suatu biopsi usus (jejunal) tidak normal
yang menunjukan penumpulan dan pemipihan vili bersamaan dengan perubahan
epitel permukaan.
c. Tes Darah Orang dengan penyakit celiac memiliki tingkat autoantibodi (protein
yang bereaksi terhadap tubuh sendiri) lebih tinggi dibandingkan dengan yang
normal. Untuk mendiagnosa penyakit celiac, dokter akan tes darah untuk tinggi
tingkat jaringan transglutaminase antibodi (tTGA) atau anti-endomysium
antibody.
Pemeriksaan ini merupakan metode yang bermakna untuk skrining
penyakit celiac di antara anggota keluarga. Pemeriksaan darah standar yang
dilakukan adalah pemeriksaan antibodi endomysial IgA yang mempunyai
petanda spesifik yang tinggi pada penyakit ini dengan akurasi sekitar 100%,
pemeriksaan lain adalah dengan antibodi gliadin dengan akurasi yang lebih
rendah. 2.7.4 Eliminasi diet Begitu makanan tertentu dicurigai swbagai penyebab
alergi makanan, dimulailah suatu diet eliminasi dalam upaya mendukung
diagnosis. Keberhasilan dengan cara ini membutuhkan eksklusi dari alergen atau
alergen-alergen dalam diet eliminasi, kemampuan pasien untuk menjaga dietnya
bebas dari segala bentuk alergen yang dituju dan tidak adanya faktor-faktor yang
mungkin akan memperberat gejala selama masa penelitian apabila semua faktor
disingkirkan, tidak adanya suatu respon terhadap diet eliminasi secara esensial
akan mengeksklusi makanan yang di eliminasi sebagai penyebab dari gangguan
alergi. Diagnosis dari penyakit celiac harus ditegakkan secara dengan kuat
sebelum memulai perawatan dengan diet yang bebas gluten untuk beberapa
sebab-sebab.
Diet yang bebas gluten adalah komitmen (janji) yang membosankan dan
seumur hidup yang tidak harus diambil dengan ringan. Ia adalah lebih mahal
daripada diet yang normal dan mempunyai implikasi-implikasi sosial yang
signifikan untuk makan keluar. Pasien-pasien dengan irritable bowel syndrome
(IBS) mungkin mengalami perbaikan-perbaikan dalam kekembungan, nyeri
perut, dan diare dengan diet yang bebas gluten. Pasien-pasien ini mungkin
disalahdiagnosa sebagai mempunyai penyakit celiac. Tanpa konfirmasi dari
penyakit celiac dengan biopsi usus kecil, mereka mungkin tidak perlu terikat
pada pembatasan gluten seumur hidup. Diet yang bebas gluten dapat
menurunkan tingkat-tingkat darah antibodi dan mengizinkan penampakan
microscopic dari usus kecil untuk menghilangkan penampakan yang khas dari
penyakit celiac, mempersulit usaha-usaha yang berikut pada pembuatan
diagnosis yang kuat dari penyakit celiac

Penatalaksanaan
Hindari oats. Beberapa pasien-pasien dengan penyakit celiac dapat mentolerir
oats dalam diet. Untuk waktu yang lama, oats dianggap beracun juga, dan
penghapusan oats dari diet telah direkomendasikan.Ø Hindari semua makanan
yang terbuat dari gandum, rye, dan barley. Contoh-contoh adalah roti-roti, cereal,
pasta, crackers, cakes, pie, cookies, dan gravies. Ø Sampai saat ini tidak
didapati ada kesembuhan untuk penyakit celiac. Satu-satunya pengobatan untuk
penyakit celiac adalah diet bebas gluten (gluten-free diet). Pasien-pasien
penyakit celiac bervariasi pada toleransi gluten mereka; beberapa pasien-pasien
dapat mencerna sejumlah kecil dari gluten tanpa mengembangkan gejala-gejala.
Mereka harus menghentikan konsumsi bahan yang mengandung gluten,
meskipun sebenarnya dosis konsumsi harian yang lebih besar dari 10 mg yang
dapat menyebabkan reaksi mukosa. Gejala GI pada pasien dengan penyakit
celiac gejala yang mematuhi diet bebas gluten biasanya diselesaikan dalam
waktu beberapa minggu. Sementara yang lain mengalami diare yang besar-
besaran dengan hanya mengkonsumsi sejumlah kecil dari gluten. Perawatan
standar dari penyakit adalah menganjurkan penghindaran sepenuhnya dari
gluten untuk seumur hidup. Dasar-dasar dari diet yang bebas gluten termasuk:
Berikan perhatian pada makanan-makanan yang diproses yang mungkin
mengandung gluten. Tepung terigu adalah ramuan yang umum pada banyak
makanan-makanan yang diproses. Ø Namun, selama dekade terakhir,
semakin banyak bukti ilmiah yang diperoleh dari studi in vitro maupun dari
investigasi klinis (terutama pada orang dewasa, tetapi juga, baru-baru ini pada
anak-anak) menunjukkan bahwa oats tersebut benar-benar aman. Namun
keamanan jangka panjang dari oats pada pasien-pasien penyakit celiac tidak
diketahui. Juga beberapa preparasi-preparasi oat dapat terkontaminasi dengan
gandum. Jadi, mungkin adalah baik untuk menghindari oats paling sedikit selama
perawatan awal dengan diet yang bebas gluten. Sekali remisi penyakit dicapai
dengan diet bebas gluten yang ketat, kuantitas-kuantitas kecil dari oats dapat
diperkenalkan kembali kedalam diet dibawah pengawasan medis.
Contoh-contoh dari makanan-makanan yang mungkin mengandung
gluten, untuk menyebutkan hanya beberapa, termasuk: o soup kalengan, o salad
dressings, o es krim, o candy Hindari susu dan produk-produk susu lain yang
mengandung lactose. Pasien-pasien dengan penyakit celiac yang tidak dirawat
seringkali tidak mentolerir lactose.Ø Hati-hati dengan preparasi-preparasi dari
tablets, capsules, dan vitamin yang mengandung gluten. Wheat starch secara
umum digunakan sebagai agent pengikat pada tablets dan capsules. Gluten juga
dapat ditemukan pada banyak produk-produk vitamin, dan produk-produk
kosmetik seperti lipstick. Øbars, o kopi instant, o daging-daging luncheon, o
ketchup, o mustard, o daging-daging yang diproses dan dikalengkan, o yogurt, o
sosis-sosis dan, o pasta.
Berkonsultasi pada ahli-ahli diet dan perkumpulan-perkumpulan penyakit celiac
nasional untuk daftar dari makanan-makanan yang bebas gluten. Baca label-
label makanan dan produk sebelum membeli atau mengkonsumsi segala produk.
Ini perlu karena pabrik mungkin mengubah ramuan-ramuan produk setiap waktu.
Produk yang dahulu bebas gluten mungkin sekarang mengandung gluten.
Bahkan produk-produk yang bermerek mungkin bebas gluten di satu negara
namun mengandung gluten di negara lain.ØDianjurkan untuk mengkonsumsi
ikan, daging-daging segar, nasi, jagung, kacang kedele, kentang, unggas
(ayam), buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk-produk susu (untuk pasien-
pasien yang dapat mentolerir lactose). Ø Dengan perawatan yang sukses,
produk-produk susu dapat diperkenalkan secara perlahan kedalam diet
kemudian.
Karena pasien-pasien dengan malabsorpsi yang parah dapat mengembangkan
kekurangan-kekurangan vitamin dan mineral, suplemen-suplemen vitamin dan
mineral adalah penting. Semua pasien-pasien harus mengambil multivitamin
setiap hari. Pasien-pasien dengan anemia kekurangan zat besi harus dirawat
dengan zat besi. Pasien-pasien dengan anemia yang disebabkan oleh
kekurangan folate atau B12 harus dirawat dengan asam folat (folic acid) dan
B12. Pasien-pasien dengan ProTime yang abnormal harus dirawat dengan
vitamin K. Pasien-pasien dengan tingkat-tingkat kalsium darah yang rendah atau
dengan osteoporosis harus dirawat dengan suplemen-suplemen calcium dan
vitamin D. Pada kebanyakan pasien-pasien, diet yang bebas gluten akan
berakibat adanya perbaikan pada gejala-gejala dalam beberapa minggu. Banyak
pasien-pasien melaporkan perbaikan-perbaikan gejala dalam 48 jam. Pada
anak-anak dengan penyakit celiac, respon pada diet yang bebas gluten dapat
menjadi dramatik. Tidak hanya diare dan ketidaknyamanan perut, namun
psikologynya juga membaik, dan pertumbuhan mulai kembali (dengan menyusul
ketinggalan pada tinggi yang cepat). Bagi kebanyakan orang, mengikuti diet ini
akan berhenti gejala, menyembuhkan ada kerusakan usus, dan mencegah
kerusakan lebih lanjut. Perbaikan dimulai dalam beberapa hari setelah memulai
diet. Usus kecil biasanya sembuh dalam 3 sampai 6 bulan pada anak-anak tapi
mungkin membutuhkan beberapa tahun di orang dewasa. Sebuah usus sembuh
berarti seseorang sekarang memiliki vili yang dapat menyerap nutrisi dari
makanan ke dalam aliran darah. Untuk tetap baik, orang dengan penyakit celiac
harus menghindari gluten untuk sisa hidup mereka. Perbaikan-perbaikan pada
gejala ini diikuti oleh penampakan kembali dari villi usus. Normalisasi
sepenuhnya dari villi usus mungkin memakan waktu berbulan-bulan. Pada
banyak pasien-pasien dewasa, perbaikan pada gejala-gejala diikuti oleh hanya
regenerasi sebagian dari villi usus. Pada pasien-pasien dengan dermatitis
herpetiformis, luka-luka kulit juga membaik dengan diet yang bebas gluten.
Banyak pasien-pasien dengan penyakit celiac mungkin tidak mengerti
pentingnya ketaatan seumur hidup pada diet yang bebas gluten. Studi baru-baru
ini menemukan bahwa diantara pasien-pasien yang didiagnosa paling sedikit 20
tahun lebih awal dengan penyakit celiac, hanya setengah dari pasien-pasien
yang mengikuti diet bebas gluten yang ketat. Sebab utama bahwa pasien-pasien
mengikuti diat adalah untuk mencegah gejala-gejala - bukan untuk mencegah
komplikasi-komplikasi. Ada bukti dari kekurangan zat besi yang ringan dan
kepadatan tulang yang abnormal setiapnya pada sepertiga dari pasien-pasien,
yang menyarankan bahwa kekurangan dari ketaatan pada diet mempunyai
konsekuensi-konseuensi kesehatan

Komplikasi
Komplikasi-komplikasi dari penyakit celiac termasuk kanker-kanker, luka-luka
usus kecil (ulcerative jejunoileitis),dan penyakit collagenous celiac.
Kanker
Kaum dewasa dengan penyakit celiac mempunyai beberapa kali lebih tinggi
daripada risiko normal mengembangkan lymphomas (kanker-kanker dari
kelenjar-kelenjar getah bening) dalam usus kecil dan ditempat lain. Mereka juga
mempunyai risiko yang tinggi dari carcinoma-carcinoma usus kecil dan , pada
derajat yang lebih sedikit, dari esophagus (kanker-kanker dari lapisan dalam dari
usus dan esophagus). Lymphoma cenderung berkembang pada pasien-pasien
dewasa yang telah mempunyai penyakit celiac lebih lama dari 20-30 tahun dan
pada pasien-pasien dengan penyakit celiac refractory. Gejala-gejala dari
lymphoma atau carcinoma usus kecil termasuk anemia, perdarahan kedalam
usus, nyeri perut, kehilangan berat badan, demam, dan rintangan usus kecil
(dengan gejala-gejala dari penggelembungan perut, muntah dan nyeri perut yang
kejang). Lymphoma dan carcinoma usus kecil adalah sulit untuk didiagnosa.
Adakalanya pada pasien-pasien dengan penyakit celiac, dimana penyakitnya
telah dikontrol dengan diet bebas gluten, kekambuhan dari kehilangan berat
badan, anemia, nyeri perut, dan gejala-gejala dari rintangan usus akan
memimpin dokter-dokter untuk mencari lymphoma dan carcinoma usus.
Computerized tomography (CT) scans dari perut, enteroclysis (satu tipe dari
barium x-ray dari usus kecil), dan enteroscopy (inspeksi dari usus kecil yang
menggunakan endoscope yang panjang dan lentur) adalah prosedur-prosedur
yang digunakan dokter-dokter untuk mendiagnosa lymphoma dan carcinoma
usus kecil. Adakalanya diagnosis dari lymphoma atau carcinoma usus dapat
hanya dibuat dengan operasi (open laparotomy) atau dengan laparoscopy
(pemeriksaan dari rongga perut dengan endoscopes yang lentur). Prognosis
untukpasien-pasien yang mengembangkan lymphoma usus biasanya adalah
buruk. Kelangsungan hidup jangka panjang (diatas 5 tahun) dari pasien-pasien
dengan lymphoma usus kecil diperkirakan adalah hanya 10%. Kanker-kanker
lain yang mungkin meningkat pada pasien-pasien penyakit celiac termasuk
kanker-kanker dari hati, rongga mulut, dan usus besar.

Ulcerative jejunoileitis
Ulcerative jejunoileitis adalah komplikasi yang jarang dari penyakit celiac. Pada
ulcerative jejunoileitis ada episode-episode kekambuhan dari luka-luka borok
usus dan pembentukan dari strictures (penyempitan dari lumen usus). Luka-luka
borok usus kecil dan pembentukan stricture dapat menjurus pada perdaraha
usus, kehilangan berat badan, nyeri perut, dan rintangan usus. Pasien-pasien
dengan ulcerative jejunoileitis berisiko tinggi mengembangkan lymphomas usus.
Diagnosis dari ulcerative jejunoileitis dibuat dengan enteroclysis dari usus kecil,
enteroscopy, atau CT scan dari perut. Perawatan melibatkan diet bebas gluten
dan pemotongan keluar secara operasi dari bagian-bagian usus kecil yang paling
berpenyakit. Prognosis adalah buruk; kelangsungan hidup jangka panjang untuk
pasien-pasien dengan ulcerative jejunoileitis diatas 5 tahun adalah kurang dari
50%.

Penyakit celiac collagenous


Penyakit celiac collagenous adalah komplikasi yang jarang namun serius dari
penyakit celiac dimana pasien mungkin mempunyai gejala-gejala dari penyakit
celiac awalnya, namun mereka gagal untuk membaik pada diet bebas gluten,
dan setelah beberapa tahun sejumlah besar jaringan parut (collagen) terbentuk
tepat dibawah lapisan usus. Tidak ada perawatan untuk penyakit celiac
collagenous, dan prognosisnya adalah buruk.

Diabetes tipe 1
Kadang dikelirukan dengan diabetes tipe 1 yang tergantung pada pasokan
insulin atau pada juvenile diabetes. Diabetes tipe 1 terjadi jika tubuh tidak atau
kurang memproduksi insulin. Insulin merupakan hormon yang penting karena
membantu gula memasuki sel-sel. Jika gula tidak bias masuk ke sel, maka tubuh
tidak mendapatkan energy. Dengan demikian pasien diabetes tipe 1 sering kali
mengalami kelaparan. Padahal berat badan tidak boleh meningkat. Mereka juga
sering kali buang air kecil karena glukosa tidak dapat memasuki sel, terhambat di
darah dan menyebabkan sering kencing dan sering haus. Beberapa gejala
diabetes tipe 1 adalah fatique, sakit perut, menstruasi terhenti, mual dan berat
badan menurun. Hamper 18 juta penduduk amerika serikat yang menjadi pasien
diabetes, 5-10% nya penderita tipe 1. Diabetes tipe 1 bisa diderita siapa pun,
pria maupun wanita, dewasa maupun anak-anak. Namun umumnya diawali
ketika masih anak-anak atau dewasa muda.

Anda mungkin juga menyukai