Anda di halaman 1dari 18

Laporan Individu 12 November 2012

REUMATHOID ARTHRITIC LAPORAN TUTORIAL MODUL 1 NYERI SENDI BLOK IMUNOLOGI

DISUSUN OLEH : NAMA NO. STAMBUK KELOMPOK PEMBIMBING : Fauzannah F. Karim : 11 777 011 : III ( tiga ) : dr. Nurfaita Mislihat, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. SKENARIO 3 : Seorang perempuan umur 35 tahun, Ibu Rumah Tangga. Dating ke poliklinik dengan keluhan nyeri pada jari jari tangan kiri dan kanan, keluhan dialamai sejak 3 bulan terakhir ini. Kaku pagi hari (+), berlangsung sekitar 30 menit sampai 1 jam. Keluhan demam tidak menggigil sering dialami

B. KATA KUNCI 1. Laki-laki 45 tahun 2. Berjalan pincang 3. Nyeri pada ibu jari kaki kanan 4. Nyeri tiba-tiba pada pagi hari 5. Keluhan yang berulang

C. PERTANYAAN 1. Jelaskan anatomi, fisiologi, histologi dari ekstremitas bawah sesuai dengan skenario ? 2. Jelaskan patomekanisme nyeri ? 3. Mengapa nyeri dirasakan / dialami pada pagi hari ? 4. Diagnosis dari skenario ? 5. Kenapa nyeri dirasakan pada jari kaki ? 6. Apakah ada hubungan jenis kelamin dengan gejala pada skenario ? 7. Jelaskan aspek biokimia yang sesuai dengan skenario ? 8. Apa komplikasi yang bisa terjadi pada skenario ? 9. Differential Diagnosi dari skenario ?

BAB II PEMBAHASAN Definisi Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, dan apabila tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Kelainan ini juga dihubungkan dengan adanya manifestasi ekstra-artikular dan autoantibodi terhadap immunoglobulin dalam sirkulasi, dikenal sebagai faktor reumatoid. Ekstra-artikular keterlibatan organ seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata bisa menjadi signifikan. Faktor genetik, hormon seks, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas penyakit ini, hingga etiologi artritis reumatoid yang sebenarnya belum dapat diketahui pasti. Diagnosis dari artritis reumatoid berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan radiologik. Prinsip terapi dari artritis reumatoid meliputi pengobatan simtomatik, modifikasi penyakit yang mendasari, terapi ajuvan dengan kortikosteroid. Perjalanan penyakit dan hasil pengobatan artritis reumatoid pada setiap pasien tidak dapat diprediksi.

Etiologi Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui walaupun faktor genetik seperti produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR4) dan faktor infeksi telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini.

Epidemiologi Di seluruh dunia, kejadian AR pertahun adalah sekitar 3 kasus per 10.000 penduduk, dan tingkat prevalensi sekitar 1% dari populasi. AR mempengaruhi semua populasi dari semua ras, meskipun penyakit ini jauh lebih umum di beberapa kelompok (misalnya, 5-6% dalam beberapa kelompok penduduk asli Amerika) dan kurang dikelompok tertentu (misalnya, orang hitam dari kawasan Karibia). Apabila seseorang menderita penyakit artritis rematoid maka

kemungkinan besar anak atau keturunannya akan terkena juga. Penyakit artritis reumatoid 2-3 kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. Insidens puncak adalah antara usia 40-60 tahun.

Patofisiologi Patogenesis AR dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada membrane synovial. Pada membran sinovial tersebut, antigen tersebut akan diproses oleh APC yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel dendritik atau makrofag dan semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membrane selnya. AR memiliki komponen genetik yang signifikan, dan berbagi epitop dari cluster HLA-DR4/DR1 sampai dengan 90% dari pasien dengan RA, meskipun juga muncul lebih dari 40% dari kontrol. Hiperplasia sel sinovial dan aktivasi sel endotel adalah kejadian pada awal proses patologis yang berkembang menjadi peradangan yang tidak terkontrol dan mengakibatkan kerusakan pada kartilago dantulang. Faktor genetik dan kelainan sistem kekebalan turut berkontribusi terhadap propagasi penyakit. CD4 T sel, fagosit mononuklear, fibroblas, osteoklas, dan neutrofil berperan penting dalam patofisiologi AR, sedangkan limfosit B memproduksi autoantibodi. Produksi abnormal sitokin, kemokin, dan mediator inflamasi lain (misalnya, tumor necrosis faktor alpha [TNF-alpha], interleukin (IL)1, IL-6, transforming growth faktor beta, IL-8, fibroblast growth faktor, platelet-derived growth faktor) telah ditunjukkan pada pasien dengan AR. Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease

neutral (collagenase danstromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNFb. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat. Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis AR. Peradangan dan proliferasi sinovium (yaitu, pannus suatu jaringan granulasi inflamasi yang menebal dan merupakan lesi patologis yang khas pada AR serta menghasilkan protease dan kolagenase) menimbulkan kerusakan dari berbagai jaringan, termasuk kartilago, tulang, tendon, ligamen, dan pembuluh darah. Destruksi kartilago menyebabkan subluksasi, kerusakan mekanis dan akhirnya menyebabkan ketidakstabilan sendi yang menyebabkan artropati destruktif AR yang khas baik secara klinis maupun radiologis. Meskipun struktur artikular adalah situs utama yang terlibat oleh AR, tetapi jaringan lain juga terpengaruh.

Manifestasi Klinik Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat simetris. Pada kasus AR yang jelas diag-nosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan penyakit, seringkali gejala AR tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang kadang timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis. Walaupun demikian dalam menghadapi AR yang pada umumnya berlangsung kronis ini, seorang dokter tidak perlu terlalu cepat untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Adalah lebih baik untuk menunda diagnosis AR selama beberapa bulan dari pada gagal mendiagnosis terdapatnya jenis artritis lain yang seringkali memberi-kan gejala yang serupa5. Pada penderita harus diberi tahukan bahwa semakin lama diagnosis AR tidak dapat ditegakkan dengan pasti oleh seorang dokter yang berpengalaman, umumnya akan semakin baik pula prognosis AR yang dideritanya.

Diagnosis Gambaran Klinis The American College of Rheumatology mengembangkan kriteria berikut untuk klasifikasi arthritis reumatoid (AR), meliputi: 1. Kekakuan di pagi hari terjadi di dalam dan sekitar sendi dan berlangsung setidaknya 1 jam sebelum perbaikan maksimal.

2. Artritis pada tiga atau lebih sendi : Sedikitnya 3 sendi secara simultan mempunyai pembengkakan jaringan lunak yang

diobservasi oleh seorang dokter. Terdapat 14 sendi kanan

pada interphalangeal

dan kiri, metakarpofalangealis (MCP), pergelangan tangan, siku,

lutut, pergelangan kaki, dan sendi metatarsophalangeal (MTP). 3. Artritis pada sendi tangan: setidaknya satu sendi yang membengkak di pergelangan tangan, MCP, atau sendi PIP.

4. Artritis simetris (keterlibatan sendi pada keterlibatan PIPs, MCPs, dan simetri yang mutlak.

kedua

sisi

tubuh): bilateral

MTPs dapat diterima tanpa

5. Nodul reumatoid: nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau di daerah 6. Faktor rheumatoid juksta artikular. positif: abnormal jumlah serum RF

serum

ditunjukkan dengan hasil positif kurang sehat.

dari 5% dari subyek kontrol

7. Perubahan radiografi khas RA pada foto tangan posisi posteroanterior dan radiografi pergelangan tangan, terdapat erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi. Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya kriteria 1-4 selama minimal 6 minggu, dan dokter harus memperhatikan kriteria 25. Kriteria ini dimaksudkan sebagai pedoman untuk klasifikasi pasien, dan sering digunakan untuk tujuan penelitian. Pasien dengan AR sering ditemukan dengan gejala konstitusional, seperti malaise, demam, kelelahan, penurunan berat badan, dan mialgia. Pasien AR sering melaporkan kesulitan melakukan aktivitas hidup sehari-hari (misalnya, rias, berdiri, berjalan, kebersihan pribadi, dengan menggunakan tangan mereka). Sebagian kecil pasien dengan AR (sekitar 10%) memiliki onset mendadak dengan perkembangan akut sinovitis dan manifestasi ekstra-artikular. Remisi spontan jarang terjadi, terutama setelah 3-6 bulan pertama.

Pemeriksaan Laboratorium

Tanda peradangan, seperti LED dan CRP, berhubungan dengan aktivitas penyakit, selain itu, nilai CRP dari waktu ke waktu berkorelasi dengan kemajuan radiografi.

Parameter hematologi termasuk jumlah CBC dan analisis cairan sinovial. Jumlah sel darah lengkap

Anemia penyakit kronis adalah umum dan berkorelasi dengan aktivitas penyakit, tetapi membaik dengan terapi yang berhasil.

Anemia hipokrom menandakan terjadinya kehilangan darah, biasanya dari saluran GI (terkait dengan NSAID).

Anemia

juga

mungkin

berhubungan

dengan

obat

DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs).


Trombositosis dapat terjadi serta terkait dengan aktivitas penyakit. Leukositosis mungkin terjadi tetapi biasanya ringan.

Analisis cairan sinovial

Pada AR cairan synovial kehilangan viskositasnya dan hitung sel leukosit meningkat mencapai 15.000 20.000/ mm3.

Biasanya, dominasi neutrofil (60-80%) yang diamati dalam cairan sinovial (kontras dengan dominasi sel mononuklear di sinovium).

Kadar glukosa cairan pleura, perikardial, dan sinovial pada pasien dengan AR sering rendah dibandingkan dengan kadar glukosa serum.2,10

Parameter imunologi meliputi autoantibodies (misalnya RF, anti-RA33, anti-PKC, antibodi antinuclear).

Faktor reumatoid ada sekitar 60-80% pada pasien dengan AR, tetapi kurang dari 40% pada pasien dengan AR dini. Nilai RF agak berfluktuasi dengan aktivitas penyakit.

Antibodi Antinuclear ada sekitar 40% pada pasien dengan AR. Antibodi yang baru ditemukan dalam penelitian antara lain: anti-RA33 dan anti-PKC. Antibodi anti-PKC menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas sedikit lebih baik daripada RF, pada frekuensi hasil positif di awal AR. Kehadiran kedua antibodi anti-PKC dan RF sangat spesifik untuk AR. Selain itu, antibodi anti-PKC, seperti halnya RF, menunjukkan prognosis yang buruk.

Pemeriksaan Radiologi 1. Foto Polos Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan radiologi kecuali pembengkakan jaringan lunak. Perubahan radiologis baru

terlihat lama setelah terjadi gejala klinis. Pemeriksaan radiologi konvensional merupakan hal penting dalam menegakkan diagnosa AR dan kelainan sendi lainnya, walaupun terkadang pencitraan lain seperti CT Scan, ultrasound, dan MRI dibutuhkan untuk mendeteksi komplikasinya. AR cenderung memiliki distribusi yang simetris, paling sering mengenai tangan dan kaki. Setiap sendi synovial dapat terlibat, tanda tanda yang paling signifikan pada AR adalah pembengkakan jaringan lunak periarticular, osteoporosis periartikular, penyempitan celah sendi yang simetris, erosi marginal, kista subkondral dan erosi tulang adalah manifestasi dari kerusakan lebih lanjut oleh pannus, kesejajaran sendi yang tidak baik dan deformitas disebabkan oleh kelemahan terhadap kapsular, ligament, dan tendon. Kesejajaran sendi yang tidak baik dapat dibagi menjadi 5 kategori dasar, yaitu: fleksi, ekstensi, deviasi, subluksasi, dan dislokasi. Pada stadium lanjut hilangnya kartilago dan tulang serta fraktur dapat menimbulkan deformitas. Keterlibatan tulang vertebrae pada AR biasanya terbatas pada vertebrae cervical dan paling sering pada sendi atlantoaksial. 2. Ultrasonografi Ultrasonografi (USG) telah digunakan untuk memperlihatkan kelainan inflamasi sendi dini pada AR. USG dapat memperlihatkan sinovitis dan lebih sensitif dalam mendeteksi erosi pada AR dibandingkan dengan foto polos. USG dapat menunjukkan kartilago articular pada pasien AR yang tidak bisa melakukan pemeriksaan MRI. Selain itu, USG juga dapat digunakan sebagai petunjuk diagnostic dan prosedur terapeutik 3. CT Scan CT Scan sangat baik digunakan untuk menunjukkan osteofit (bone spur) dan jaringan lunak di sekitarnya. CT Scan dapat memperlihatkan sinovitis, tenosinovitis, dan mendeteksi erosi tulang pada pasien AR. CT Scan berguna untuk prosedur diagnostic dan terapeutik. 4. MRI Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah digunakan untuk memperlihatkan kelainan inflamasi sendi dini pada AR. MRI dapat digunakan sebagai modalitas

dalam mendiagnosis dan memantau penyakit AR karena kemampuan MRI yang sensitif dalam memperlihatkan erosi, kalsifikasi, sinovitis, tenosinovitis, dan tanda-tanda AR dini.

Penatalaksanaan Tujuan utama dari program pengobatan adalah sebagai berikut : Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari pasien Untuk mencegah dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi

Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama. Pengobatan pada penderita AR, meliputi : 1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama. 2. OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan: a. Aspirin, pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl. b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya. 3. DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs) digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter.

Umumnya segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka. Jenis-jenis yang digunakan adalah: v. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau,

namun efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik. v. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enterik digunakan dalam dosis 1x500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4x500 mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia. v. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus. v. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis. v. Obat imunosupresif atau imunoregulator. Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan yang lain. Dosis

dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian. v. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagaibridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu. 4. Riwayat Penyakit alamiah AR sangat bervariasi. Pada umumnya 25% pasien akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode AR dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Pada pihak lain sebagian besar pasien akan menderita penyakit ini sepanjang hidupnya dengan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita AR yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi. Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa dengan pengobatan yang digunakan saat ini, sebagian besar pasien AR umumnya akan dapat mencapai remisi dan dapat mempertahankannya dengan baik pada 5 atau 10 tahun pertamanya. Setelah kurun waktu tersebut, umumnya pasien akan mulai merasakan bahwa remisi mulai sukar dipertahankan dengan pengobatan yang biasa digunakan selama itu. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien sukar mempertahankan ketaatannya untuk terus berobat dalam jangka waktu yang lama, timbulnya efek samping jangka panjang kortikosteroid. Khasiat DMARD yang menurun dengan berjalannya waktu atau karena timbulnya penyakit lain yang merupakan komplikasi AR atau pengobatannya. Hal ini masih merupakan persoalan yang banyak diteliti saat ini, karena saat ini belum berhasil dijumpai obat yang bersifat sebagai disease controlling antirheumatic therapy (DC-ART).

5. Rehabilitasi pasien AR merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR dengan cara: Mengurangi rasa nyeri Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot Mencegah terjadinya deformitas Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain. Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR. 6. Pembedahan dilakukan jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang cukup kuat. Jenis pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.

Prognosis Perjalanan penyakit dan hasil pengobatan AR pada setiap pasien tidak dapat diprediksikan. Faktor-faktor yang menjadikan prognosis buruk : 1. Poliartritis generalisata 2. LED dan CRP yang tinggi walaupun sudah menjalani terapi 3. Manifestasi ekstraartikular, misalnya nodul/vaskulitis 4. Faktor rheumatoid positif 5. Ditemukannya erosi pada radiografi polos dalam kurun waktu 2 tahun sejak onset penyakit 6. Satus HLA-DR4

Spektrum beratnya AR berkisar mulai dari bentuk yang ringan sampai bentuk agresif dan destruksi, yang berkaitan dengan angka kematian yang tinggi. Sebanyak 30% pasien akan keluar dari angkatan kerja dalam 5 tahun sejak onset penyakit, dan tidak sampai separuh pasien tersebut dapat menjalani

kerjafulltime dalam 10 tahun sejak onset penyakit.Faktor yang juga turut meningkatkan angka kematian yaitu penyakit infeksi kardiovaskular dan penyakit neoplastik. Kerusakan jangka panjang lainnya diakibatkan:

Efek samping obat, terutama steroid jangka panjang Mielopati servikal Keterlibatan jantung Penyakit paru rheumatoid

Secara keseluruhan AR mengurangi lamanya hidup sebanyak 5-10 tahun.

BAB III PENUTUP

Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien artritis reumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progesifitasnya. Pada umumnya selain gejala artikular, AR dapat pula menunjukkan gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan organ non artikular lainnya. Artritis Reumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput sendi (sinovium) yang mana menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak dan merah. Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan kartilago. Sel penyebab radang melepaskan enzim yang dapat mencerna tulang dan kartilago. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan kemampuan bergerak.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Daud Rizasyah. Artritis Reumatoid.Sudoyo AW, editors. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FK UI;2006. Hal.1174 - 81.

2.

Carter Michael.

Artritis

Reumatoid.Price

A Sylvia, editors. Dalam:

Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : EGC;2005. Hal.1385 90. 3. Davey Patrick. Artritis Reumatoid. Dalam: At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga; 2006. Hal.384 7 4. Smith R Howard. Rheumatoid Arthritis. [online] Sep 22, 2010 [cited 2 November 2010]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/331715overview 5. Gupta Kavita. Rheumatoid Arthritis. [online] Mar 30, 2010 [cited 2 November 2010]. Available from:http://emedicine.medscape.com/article/305417-overview 6. Buranda Theopilus. Arthrologi. Dalam: Anatomi Umum. Makassar: Bagian Anatomi FK Unhas; 2008. Hal. 40 - 3 7. Shiel William. Rheumatoid Arthritis. [online] Sep 22, 2010 [cited 2 November 2010]. Available from:http://www.medicinenet.com/rheumatoid_

arthritis/article.htm 8. Smith R Howard. Rheumatoid Arthritis. [online] Sep 22, 2010 [cited 2 November 2010]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/331715diagnosis 9. Williams Lippincott, Wilkins. Rheumatoid Arthritis. Brant E William, Helms A Clyde, editors. In: Fundamentals of Diagnostic Radiology 2th Edition. 2005.p.6-10 10. Gould Paula. MRI and Ultrasound Reveal Early Signs of Rheumatoid Arthritis. [online] Mar 10, 2009 [cited 4 November 2010]. Available from:

http://www.diagnosticimaging.com/image/image_gallery 11. Harper Erica. Immunity, Inflammation, and Rheumatoid Arthritis. [online] 2007 [cited 4 November 2010]. Available from:

http://www.lurj.org/article.php/vol2n1/arthritis.xml&imgurl

12.

Tehupeiory S Edu. Osteoartritis dan Artritis Gout. HP Faridin, editor. In: Buku Kuliah Ilmu Reumatologi. Makassar: sub-bagian reumatologi bagian ilmu penyakit dalam FKUH; 2007. Hal. 4 17

13.

Smith R Howard. Rheumatoid Arthritis. [online] Sep 22, 2010 [cited 2 November 2010]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/331715treatment & medication

MIND MAP

Anatomi

Definisi Epidemiologi Etiologi Patomekanisme

Artritis Reumatoid Artritis Septik

C. Histologi
Dasar Teori Differntial Diagnosis

Arthritis Gout Osteoarthritis

D. Biokimia
Fisiologi E.

NYERI SENDI
Gambaran Klinis : 1. Anamnesis 2. Pemfis Penataksanaan Diagnosis Penunjang : 1.Radiologi 2.Patologi Klinik 3. Patologi Anantomi

Non-Farmakologi

Farmakologi

Anda mungkin juga menyukai