Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus Divisi Radiologi

JUVENIL IDIOPATIK ATRITIS PADA ANAK

Maya Susanti
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
RSUP Dr. Wahidin SudiroHusodo, Makassar

PENDAHULUAN

Pengetahuan tentang penyakit reumatik anak telah dikenal dalam kepustakaan


sejak perempat akhir abad 19, dan terus berkembang sampai akhirnya reumatologi
pediatri menjadi salah satu spesialisasi ilmu kedokteran saat ini. Reumatologi pediatri
mempelajari berbagai kelainan sistim muskuloskeletal yang terjadi pada anak, dan saat
ini telah berkembang menjadi spesialisasi sendiri yang menarik banyak minat para
spesialis terutama di Amerika Utara dan Eropa. Pada dasarnya perbedaan antara
penyakit anak dan dewasa disebabkan oleh proses tumbuh dan kembang yang terjadi
pada anak. Untuk penyakit reumatik perbedaan tersebut berhubungan dengan
perkembangan sistim limfoid sampai masa remaja yang akan diikuti kemudian oleh
involusi bertahap. Selain itu terdapat pula perbedaan derajat maturitas tulang pada
setiap tahap perkembangan anak.2

Artritis pada anak dapat disebabkan oleh berbagai penyakit yang mempunyai
spektrum sangat luas, yang secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi 1)
penyakit reumatik dan kondisi yang berhubungan, 2) artritis infeksi, 3) gangguan
muskuloskeletal kongenital, 4) gangguan muskuloskeletal didapat non-reumatik, 5)
penyakit keganasan, dan 6) penyakit lain seperti penyakit sickle cell, hemofilia dan
koagulopati lainnya, hipotiroidisme, sarkoidosis. Penyakit reumatik anak sendiri terdiri
lagi dari ARJ atau AIJ, dermatomiositis, lupus eritematosa sistimik, penyakit jaringan
ikat campuran, vaskulitis sistimik, skleroderma, spondiloartropati, artritis yang
berhubungan dengan penyakit defisiensi imun, dan artritis reaktif (demam reumatik dan

1
artritis yang berhubungan dengan infeksi Gram negatif ). Penyakit tersering pada
kelompok reumatik anak tersebut adalah ARJ/AKJ/AIJ. 2

DEFINISI

Artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit reumatik yang paling sering
ditemukan pada anak. Artritis reumatoid juvenil didefinisikan sebagai adanya tanda
objektif artritis pada sedikitnya satu sendi yang berlangsung lebih dari 6 minggu pada
anak usia kurang dari 16 tahun dan jenis artritis lain pada anak telah disingkirkan.
Adapun artritis didefinisikan sebagai pembengkakan pada sendi atau ditemukannya dua
atau lebih tanda berikut: keterbatasan gerak, nyeri tekan, nyeri saat bergerak, atau
sendi teraba hangat.1

Patogenesis ARJ didasari oleh mekanisme kompleks imun. Banyak sekali faktor
etiologi yang dapat menyebabkan gejala klinis ARJ seperti infeksi, autoimun, trauma,
stres serta faktor imunogenetik. Penyakit ARJ umumnya mudah mengalami remisi,
sehingga pengobatan ditujukan untuk mencegah komplikasi dan timbulnya kecacatan
terutama yang mengenai sendi.

Sejauh ini tidak ada pemeriksaan laboratorium tertentu yang dapat dikatakan
spesifik untuk diagnosis AIJ. Pemeriksaan penunjang umumnya bermanfaat untuk
menemukan atau menyingkirkan penyakit lain karena sesungguhnya tidak ada
pemeriksaan khusus untuk diagnosis AIJ, termasuk pemeriksaan ANA dan faktor
reumatoid (FR) maupun pencitraan. Dengan demikian maka anamnesis yang teliti
terhadap kelainan bengkak sendi, nyeri terutama pada pergerakan, serta gerakan sendi
terbatas atau kaku sendi, menjadi sangat penting. Bila deskripsi keluhan tersebut dapat
didokumentasi dengan benar maka pada 82% anak akan ditemukan kelainan objektif
sendi yang sesuai dengan artritis.2

EPIDEMIOLOGI

Jing-Long Huang menyebutkan bahwa 1 dari 1000 anak-anak di dunia menderita


JIA. Insidensi dan prevalensi yang dilaporkan sangat bervariasi, karena JIA merupakan
diagnosis klinis dari kumpulan gejala yang heterogen dan belum ada diagnosis tes

2
secara spesifik. Data yang ada kadang berada di bawah insidensi dan prevalensi yang
sesungguhnya karena underdiagnosis dan banyak penelitian yang pernah dilakukan
berdasarkan penemuan klinis. Pada penelitian yang dilakukan di RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta, selama kurun waktu Januari 2001 sampai dengan 31
Desember 2006 didapatkan 35,9% pasien JIA dari 198 pasien dengan keluhan utama
Arthritis.6

Dengan perjalanan penyakit ARJ bervariasi, 17% berkembang menjadi arthritis


kronik, 20% dengan gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa pasien ARJ
yang berlangsung lebih dari 7 tahun, 60% mengalami kecacatan. Prevalensi ARJ
dilaporkan sekitar 1-2/100.000/tahun dan Minnesota 35/100.000/tahun. ARJ banyak
menyerang anak-anak dengan tingkat umur terbanyak sekitar 4-5 tahun. Perempuan
lebih banyak dengan perbandingan 3:1. Faktor suku diduga kuat sangat terkait pada
ARJ. Suku Afrika dibanding suku Amerika dan Kaukasia lebih sering terkena di
Amerika. Di AS Schwartz melaporkan bahwa ARJ lebih sering menyerang anak-anak
yang lebih dewasa, khususnya pada kelompok Oligo-artikular, dengan RF positif. 1,5

PATOFISIOLOGI

Sampai kini penyebab ARJ masih belum diketahui dan diakui pula bahwa ARJ
sebetulnya merupakan sekumpulan penyakit yang tidak homogen. Terdapat banyak
sekali faktor etiologi yang dapat menyebabkan gejala klinis ARJ dengan berbagai faktor
penyebab seperti infeksi, autoimun, trauma, stress, serta faktor imunogenetik. Apa pun
penyebabnya, patogenesis ARJ kemungkinan melibatkan pola respons pejamu
terhadap faktor penyebab tersebut. 3

Dalam patofisiologi JRA, setidak-tidaknya ada 2 hal yang perlu diperhitungkan


yaitu hipereaktifitas yang berhubungan dengan HLA dan pencetus lingkungan yang
kemungkinannya adalah virus. Penyebab gejala klinis ARJ antara lain infeksi autoimun,
trauma, stres, serta faktor imunogenetik.

Pada ARJ sistem imun tidak bisa membedakan antigen diri. Antigen pada ARJ
adalah sinovia persendian. Hal ini terjadi karena genetik, kelainan sel T supresor, reaksi
silang antigen, atau perubahan struktur antigen diri. Peranan sel T  dimungkinkan

3
karena adanya HLA tertentu. HLA-DR4 menyebabkan tipe poliartikuler, HLA-DR5 dan
HLA-DR8, HLA-B27 menyebabkan oligoartikuler. Virus dianggap sebagai penyebab
terjadinya perubahan struktur antigen diri ini. Tampaknya ada hubungan antara infeksi
virus hepatitis B, virus Eipstein Barr, imunisasi Rubella, dan mikoplasma dengan ARJ. 

Pada fase awal terjadi kerusakan mikrovaskuler serta proliferasi sinovia. Tahap
berikutnya terjadi  sembab pada sinovia, proliferasi sel sinovia mengisi rongga sendi.
Sel radang yang dominan pada tahap awal adalah netrofil, setelah itu limfosit, makrofag
dan sel plasma. Pada tahap ini sel plasma memproduksi terutama IgG dan sedikit IgM,
yang bertindak sebagai faktor rheumatoid yaitu IgM anti IgG. Belakangan terbukti
bahwa anti IgG ini juga bisa dari klas IgG. Reaksi antigen-antibodi menimbulkan
kompleks imun yang mengaktifkan sistem komplemen dengan akibat timbulnya bahan-
bahan biologis aktif yang menimbulkan reaksi  inflamasi. Inflamasi juga ditimbulkan oleh
sitokin, reaksi seluler, yang menimbulkan proliferasi dan kerusakan sinovia. Sitokin
yang paling berperan adalah IL-18, bersama sitokin yang lain IL-12, IL-15 menyebabkan
respons Th1 berlanjut terus menerus, akibatnya produksi monokin dan kerusakan
karena inflamasi berlanjut.3

Pada fase kronik, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol disebabkan


respons imun seluler. Kelainan yang khas adalah keruskan tulang rawan ligamen,
tendon, kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh produk enzim, pembentukan
jaringan granulasi. Sel limfosit, makrofag, dan sinovia dapat mengeluarkan sitokin,
kolagenase, prostaglandin dan plasminogen yang mengaktifkan system kalokrein dan
kinin-bradikinin. Prosraglandin E2 (PGE2) merupakan mediator inflamasi dari derivat
asam arakidonat, menyebabkan nyeri dan kerusakan jaringan. Produk-produk ini akan
menyebabkan kerusakan lebih lanjut seperti yang terlihat pada Artritis Reumatoid
kronik.

KLASIFIKASI

Secara garis besar International League Against Rheumatism (ILAR) membagi


JIA atas 7 klasifikasi2 :

1. Sistemik
4
2. Oligoartritis
3. Poliartritis RF negatif
4. Poliartritis RF positif
5. Artritis psoriatik
6. Artritis yang berhubungan entesis
7. Artritis lain

Artritis sistemik
Definisi: artritis dengan demam atau didahului oleh demam paling sedikit 2 minggu,
yang terekam sebagai demam quotidian minimal 3 hari, disertai satu atau lebih tanda
berikut:
1. Ruam eritem evanescent, tidak menetap (non-fixed)
2. Pembesaran kelenjar getah bening generalisata
3. Hepatomegali atau splenomegali
4. Serositis.
Eksklusi untuk klasifikasi artritis sistimik tidak dicantumkan, tetapi bila tidak ditemukan
tanda klasik penyakit sistimik, maka kemiripan dengan penyakit infeksi atau keganasan
harus disingkirkan dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat.
Deskriptor :
1 Usia pada saat onset penyakit
2. Pola artritis selama periode onset (selama 6 bulan pertama sakit)
a. oligoartritis
b. poliartritis
c. artritis timbul setelah 6 bulan pertama kelainan sistimik
3. Pola artritis selama perjalanan penyakit (setelah 6 bulan pertama sakit)
a. oligoartritis
b. poliartritis
c. tanpa artritis setelah 6 bulan pertama sakit
4. Gambaran penyakit sistimik setelah 6 bulan
5. Adanya faktor reumatoid (FR)
6. Kadar protein C-reaktif.

5
Oligoartritis
Definisi. artritis pada 1-4 sendi dalam 6 bulan pertama sakit. Terdapat 2 kategori:
1. Oligoartritis persisten: mengenai tidak lebih dari 4 sendi selama perjalanan
penyakit
2. Oligoartritis extended: secara kumulatif mengenai 5 sendi atau lebih setelah 6
bulan pertama sakit.
Eksklusi.
1. Riwayat psoriasis dalam keluarga, paling sedikit pada tingkat 1 atau 2 pedigri,
dengan konfirmasi oleh dermatologis
2. Riwayat penyakit dalam keluarga yang secara medis terbukti berhubungan
dengan HLA-B27 paling tidak pada tingkat 1 atau 2 pedegri
3. FR positif
4. Anak lelaki HLA-B27 positif dengan onset artritis setelah usia 8 tahun
5. Artritis sistemik.
Deskriptor.
1. Usia pada saat onset artritis dan psoriasis
2. Pola artritis pada saat 6 bulan dan kunjungan klinik terakhir
a. hanya sendi besar
b. hanya sendi kecil
c. predominan pada tungkai: (i) tungkai atas predominan, (ii) tungkai
bawah predominan, (iii) tidak ada predominansi tungkai atas atau bawah
d. keterlibatan sendi spesifik (paha, leher)
e. simetri artritis
3. Adanya uveitis anterior (akut atau kronik)
4. Adanya ANA
5. Alel protektif atau predisposisi HLA kelas I atau II.
Poliartritis FR negatif
Definisi. artritis mengenai 5 sendi atau lebih selama 6 bulan pertama sakit, uji FR
negatif.
Eksklusi.
1. FR positif

6
2. Artritis sistemik.
Deskriptor.
1. Usia saat onset artritis
2. Simetri artritis
3. Adanya ANA
4. Adanya uveitis (akut atau kronik).
Poliartritis FR positif
Definisi. artritis mengenai 5 sendi atau lebih selama 6 bulan pertama sakit, dengan uji
FR positif pada dua kali pemeriksaan dengan jarak paling sedikit 3 bulan.
Eksklusi.
1. Uji FR negatif pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak paling sedikit 3 bulan
2. Artritis sistemik.
Deskriptor.
1. Usia saat onset artritis
2. Simetri artritis
3. Adanya ANA
4. Karakter imunogenetik (sebanding dengan populasi artritis reumatoid
dewasa).
Artritis psoriatik
Definisi.
1. Artritis dan psoriasis, atau
2. Artritis dan paling sedikit terdapat 2 dari tanda:
a. daktilitis
b. kelainan kuku (pitting atau onikolisis)
c. riwayat psoriasis dalam keluarga, paling sedikit pada tingkat 1 atau 2
pedegri, dengan konfirmasi oleh dermatologis.
Eksklusi.
1. FR positif
2. Artritis sistemik.
Deskriptor.
1. Usia saat onset artritis atau psoriasis

7
2. Pola artritis pada saat 6 bulan setelah onset sakit, dan kunjungan klinik
terakhir
a. hanya sendi besar
b. hanya sendi kecil
c. predominan pada tungkai: (i) tungkai atas predominan, (ii) tungkai
bawah predominan, (iii) tidak ada predominansi tungkai atas atau bawah
d. keterlibatan tulang punggung
e. keterlibatan sendi sakroiliaka
f. keterlibatan sendi glenohumerus
g. keterlibatan sendi paha
h. keterlibatan sendi sternoklavikula
i. artritis simetri
3. Perjalanan penyakit
a. oligoartritis
b. poliartritis
4. Adanya ANA
5. Uveitis anterior
a. kronik
b. uveitis dengan karakteristik mata nyeri, kemerahan, atau fotofobia
6. Deskriptor HLA.
Artritis yang berhubungan dengan entesitis
Definisi.
1. Artritis dan entesitis, atau
2. Artritis atau entesitis dengan paling sedikit 2 dari tanda:
a. nyeri sendi sakroiliaka dan/atau nyeri punggung inflamasi
b. adanya HLA-B27
c. riwayat penyakit dalam keluarga yang secara medis terbukti
berhubungan HLA-B27 paling tidak pada tingkat 1 atau 2 pedigri
d. uveitis anterior yang biasanya berhubungan dengan mata nyeri,
kemerahan, atau fotofobia
e. onset artritis pada anak lelaki setelah usia 8 tahun.

8
Eksklusi.
1. Psoriasis, paling sedikit pada tingkat 1 atau 2 pedigri, dengan konfirmasi oleh
dermatologis
2. Artritis sistemik.
Deskriptor.
1. Usia saat onset artritis
2. Pola artritis pada saat 6 bulan dan kunjungan klinik terakhir hanya sendi besar
a. hanya sendi kecil
b. predominansi pada tungkai: (i) tungkai atas predominan, (ii) tungkai
bawah predominan, (iii) tidak ada predominansi tungkai atas atau
bawah
c. keterlibatan tulang punggung
d. keterlibatan sendi sakroiliaka
e. keterlibatan sendi glenohumerus
f. keterlibatan sendi paha
3. Simetri artritis
4. Perjalanan penyakit
a. oligoartritis
b. poliartritis
5. Adanya penyakit inflamasi usus.
Artritis lain
Definisi. Artritis pada anak dengan penyebab tidak diketahui yang menetap paling
sedikit 6 minggu, tetapi:
1. Tidak memenuhi kriteria salah satu kategori, atau
2. Memenuhi kriteria lebih dari satu kategori.
Eksklusi. Pasien yang memenuhi kriteria salah satu kategori.
Penelitian yang dilakukan oleh Reem Abdwani et all di Oman menyebutkan
bahwa menurut distribusi penyakit, yang paling sering subtipe adalah poliartikular JIA
RF negatif (39,2%) diikuti oleh oligoartritis JIA (31,8%), sistemik JIA (17,8%),
poliartikular JIA RF positif (7,5%) dan ERA (3%) sementara arthritis psoriatik terdeteksi
pada 0,9% Karakteristiknya fitur subtipe JIA, rasio jenis kelamin, usia rata-rata saat

9
onset dan ANA positif ditunjukkan Oligoarticular JIA dan onset sistemik JIA memiliki
onset penyakit 5.3 ± 3.8 tahun dari JIA poliartikular dengan onset penyakit di 8 tahun
dan ERA dengan usia rata-rata onset pada 12 tahun. Berkenaan dengan distribusi
seks, RF polyarticular + JIA memiliki rasio wanita dan pria tertinggi dibandingkan
keduanya polyarticular JIA RF negatif dan oligoarticular JIA.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis utama yang terlihat secara obyektif adalah artritis, dimana sendi
yang terkena teraba hangat dan biasanya tidak terlihat eritema. Secara klinis artritis
ditentukan dengan menemukan salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi;
atau dengan menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi sendi, yaitu gerakan sendi
yang terbatas, nyeri atau sakit pada pergerakan dan panas. Pembengkakan
disebabkan oleh edema jaringan lunak periartikular, efusi intra-artikular, atau dari
hipertofi membran sinovial. Rasa nyeri atau sakit sendi pada pergerakan biasanya tidak
begitu menonjol, namun gerakan aktif atau pasif tertentu, terutama gerakan yang
ekstrim, dapat memicu nyeri. Pada anak kecil yang lebih jelas adalah kekakuan sendi
pada pergerakan terutama pada pagi hari. Gejala konstitusional yang dapat muncul
antara lain anoreksia, penurunan berat badan, gejala gastrointestinal dan gagal
tumbuh. Kelelahan (fatigue)dapat muncul pada tipe poliartritis dan sistemik, ditandai
dengan peningkatan kebutuhan tidur, merasa lemas dan iritabilitas. 1

Tipe onset poliartritis terdapat pada penderita yang menunjukkan gejala artritis
pada lebih dari 4 sendi, sedangkan tipe onset oligoartritis bila mengenai 4 sendi atau
kurang. Pada tipe oligoartritis sendi besar lebih sering terkena dan biasanya di daerah
tungkai. Keterlibatan sendi kecil di tangan menunjukkan perkembangan ke arah
poliartritis. Selain itu dapat ditemukan atrofi otot ekstensor (seperti vastus lateralis dan
quadriceps) dan kontraktur otot fleksor. Pada tipe poliartritis lebih sering terdapat pada
sendi-sendi jari dan biasanya simetris, tetapi di samping itu dapat ditemukan pula pada
sendi lutut, pergelangan kaki, dan siku. Tipe onset sistemik ditandai oleh demam
intermiten dengan puncak tunggal atau ganda lebih dari 39 oC selama dua minggu atau
lebih, artritis, dan biasanya disertai kelainan sistemik lain berupa ruam reumatoid linier

10
di tubuh atau ekstremitas, serta kelainan viseral (hepatosplenomegali, serositis,
limfadenopati). Ruam juga memberat dengan adanya demam.

Gejala klinis yang lain dapat berupa tenosinovitis, yang biasa terjadi pada
pembungkus tendon ekstensor dari dorsum manus, pembungkus tendon ekstensor dari
dorsum pedis, tendon tibia posterior, tendon peroneus longus dan brevis di sekitar
pergelangan kaki.

Karakteristik artritis kronik menurut tipe onset penyakit 2

Karakteristik Poliartritis Oligoartritis Sistemik

Persentase kasus 30 60 10

Sendi terlibat > 5 < 4 Variasi

Usia onset Seluruh masa Awal masa anak- Seluruh masa


anak- anak, puncak anak-anak, tidak
anak,puncak usia 1-2 tahun ada puncak
usia 1-3 tahun

Rasio jenis 1:3 1:5 1:1


kelamin (laki :
perempuan)

Keterlibatan Penyakit Tidak ada Penyakit sistemik


sistemik sistemik sedang penyakit sistemik, sering self-
penyebab utama limited, sebagian
morbiditas adalah mengalami kronik
uveitis artritis destruktif

Adanya uveitis 5% 5-15% Jarang


kronik

Frekuensi      
seropositif:

11
Faktor reumatoid 10%(meningkat Jarang Jarang
dengan usia
   75-85%  10%
40-50%
Antibodi
antinuklear

Prognosis Sedang Baik, kecuali Buruk


untuk penglihatan

Artritis

Adalah gejala klinis utama yang terlihat secara obyektif. Ditandai dengan salah
satu dari gejala pembengkakan  atau efusi sendi, atau paling sedikit 2 dari 3 gejala
peradangan yaitu gerakan yang terbatas, nyeri jika digerakkan dan panas. Nyeri atau
sakit biasanya tidak begitu menonjol. Pada  anak kecil, yang lebih jelas adalah
kekakuan sendi pada pergerakan, terutama pada pagi  (morning stiffness).

Tipe onset poliartritis

Terdapat pada penderita yang menunjukkan gejala arthritis pada lebih dari 4
sendi, sedangkan tipe onset oligoartritis 4 sendi atau kurang. Pada tipe oligoartritis
sendi besar lebih sering terkena dan biasanya pada sendi tungkai. Pada tipe poliartritis
lebih sering terdapat pada sendi-sendi jari dan biasanya simetris, bisa juga pada sendi
lutut, pergelangan kaki, dan siku.

Tipe onset sistemik

Ditandai dengan demam intermiten dengan puncak tunggal atau ganda, lebih
dari 39o C selama 2 minggu atau lebih, artritis disertai kelainan sistemik lain berupa
ruam rematoid serta kelainan viseral misalnya hepatosplenomegali, serositis atau
limfadenopati.

12
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah: (1) pemeriksaan darah lengkap, (2) urin
lengkap, (3) faal hati, (4) faal ginjal, (5) tes ANA, dan (6) faktor rematoid. Pada ARJ,
didapatkan kadar CRP meningkat khususnya pada kelompok arthritis sistemik. Selain
peningkatan CRP terdapat pula peningkatan LED, C3, C4, amiloid serum, feritin, kadar
trombosit, dan leukosit, Protein-protein ini selain disintesis hati, juga disintesis makrofag
dan sel endotel pada daerah inflamasi. Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai
penunjang diagnosis. Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid
(RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis ARJ menjadi lebih sempurna.
Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertai lekositosis yang
didominasi netrofil.Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik,
seringkali dipakai sebagai petanda reaktifasi penyakit.Peningkatan LED dan CRP,
gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif. 1

Beberapa peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk


aktifitas penyakit. Pengkatan IgM merupakan karakteristik tersendiri dari ARJ,
sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar dan tidak
dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Berbeda dengan pada dewasa C3 dan C4
dijumpai lebih tinggi. AnFaktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada
anak. Bila positif , sering kali pada ARJ poliartritis, anak yang lebih besar, nodul
subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk.

Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah
dideteksi, sedangkan pada ARJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi
laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada ARJ.
Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan
komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih
sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8
dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.

Radiologi

13
Tidak semua sendi kelompok ARJ menunjukkan gambaran erosi, biasanya
hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya
didapatkan pada kelompok poliartikular.

Pemeriksaan pencitraan ARJ dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh


kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat
pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran
ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru
periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi
tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Angkilosis dapat ditemukan
terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai
pada ARJ walaupun dengan pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang. 5

Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang
pada fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak
regional sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik
yang menurut mereka khas untuk ARJ sistemik, yaitu a) tulang panjang yang
memendek, melengkung, dan melebar, b) metafisis mengembang, dan c) fragmentasi
iregular epifisis pada masa awal sakit yang kemudian secara bertahap bergabung ke
dalam metafisis. Pemeriksaan foto Rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit
tulang atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto Rontgen
biasa kelainan tulang dan sendi ARJ dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi
dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang spesifik.
Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang dan
sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi secara
dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan
intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan
secara klinis, seperti pinggul dan bahu.5

Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan
membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon.
Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan inflamasi
sinovium dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek

14
inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto Rontgen,
pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan
perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat menilai progresifitas penyakit.

Pemeriksaan MRI dan/atau ultrasonografi dapat digunakan dalam evaluasi


suspek penyakit inflamasi sendi untuk menentukan ada atau tidaknya sinovitis,
tenosinovitis, entesitis atau erosi tulang. Ultrasonografi dapat digunakan sebagai
pedoman untuk punksi sendi, bursa dan pembungkus tendon. Pada pemeriksaan
radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi,
pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukan
tulang baru periostal. Pada stadium lanjut, biasanya setelah 2 tahun, dapat terlihat
adanya erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat
ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat
ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter tulang panjang
dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase lanjut.
Pada tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran radiologis yang khas
yaitu ditemukannya fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian
secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.

15
16
17
18
19
20
21
DIAGNOSIS

Seperti telah dijelaskan maka diagnosis JIA dibuat semata-mata secara klinis.
Walaupun beberapa pemeriksaan imunologik tertentu dapat menyokong harus tetap
diingat bahwa tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk diagnosis JIA 1

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding pada penyakit ARJ, diantaranya adalah: (1) infeksi bakteri,
virus, tuberkulosis, (2) Post infeksi streptokokus, (3) Trauma, (4) Kelainan hematologi:
Leukimia, hemophilia, (5) Penyakit Kolagen, (6) Demam rematik, yang
membedakannnya dari ARJ ialah, pada demam rematik didapat kan gejala chorea,
interval PR memanjang pada pemeriksaan EKG dan tes ASTO positif. 2

PENATALAKSANAAN

Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Penatalaksanaan JIA


merupakan kombinasi antara anti peradangan, imunomodulatory dengan terapi
okupasional dan fisioterapi, pembedahan, nutrisi, psikososial dan educational
partnership antara pasien dan orangtua. Medikasi JIA bisa menggunakan nonsteroidal
anti-inflamatory drugs (NSAIDs), disease modyfying antirheumatoic drugs (DMARDs)
atau obat-obatan imunosupresive dan kortikosteroid sistemik, kortikostreoid intra
artikuler dan agent modyfying biologic. NSAIDs digunakan untuk mengatasi nyeri sendi,
kekakuan dan demam yang berhubungan dengan artrhtitis sistemik. NSAIDs digunakan
3 kali sehari dengan monitor level serum. Dengan frekuensi ketidak normalan enzim
hepar yang makin besar menyebabkan kemungkinan penyakit berhubungan dengan
Reye syndrome.

NSAIDs yang disetujui oleh Food and Drugs Administration (FDA) pada JIA
adalah tolmetin, naproxen, ibuprofen, diklofenak, ketoprofen, indometasin, piroksikam,
fenoprofen, sulindac dan meloxicam. Efek samping saluran pencernaan yang serius
jarang terjadi, tetapi 28-75% dari pasien yang mengalami gangguan saluran
pencernaan mengalami gastritis dan atau duodenitis. Naproksen berhubungan dengan

22
pseudoporphyria, indometasin menyebabkan efek sistem saraf pusat seperti nyeri
kepala dan disorientasi. Efek samping pada organ ginjal seperti nekrosis papillary atau
kerusakan fungsi tubulus jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada penggunaan
NSAIDs lebih dari 2 jenis.

Pediatrik rheumatologis membatasi penggunaan kortikosteroid karena beberapa


efek samping yang merugikan pada tulang dan pertumbuhan. Kortikosteroid diberikan
pada kondisi severe fever, serositis, dan macrophage activation syndrome atau sebagai
terapi penghubung supaya pengobatan lebih efektif. Kortikosteroid waktu kerja panjang
seperti Triamsinolon yang diinjeksi intraartikuler mempunyai efikasi yang lebih baik bila
dibandingkan intravena maupun per oral. Penelitian yang dilakukan oleh Beth S
Gothlieb et at menunjukkan bahwa 70% pasien dengan oligoartritis tidak mengalami
reaktivasi penyakit pada sendi yang dinjeksi intraartikuler selama 1 tahun dan 40%
setelah lebih dari 2 tahun. Efek samping injeksi intraartikuler ini adalah subkutaneus
atrofi, yang bisa dicegah dengan injeksi saline sejumlah kecil ke dalam sendi dan dikuti
dengan penekanan pada tempat injeksi. Long acting triamsinolon lebih efektif dan lebih
tahan lama dibanding injeksi kortikosteroid yang lain. 3

Methotrexat merupakan terapi utama pada pasien dengan poliartritis. Sebuah


penelitian yang dilakukaan oleh Philip dkk10, menyebutkan bahwa peningkatan 10-15%
methotrexat 15 mg/m2 setiap minggu bisa efektif untuk pasien yang tidak responsif
dengan 10g/m2. Efikasi yang paling baik diperoleh pada pasien dengan extended
oligoarthtitis. Tidak jelas apakah pasien berhenti mengkonsumsi methotrexat akan
kambuh pada 60% pasien setelah menghentikan terapi methotrexat. Penggunaan
methotrexat pada pasien yang mengalami inaktif disease selama lebih dari 1 tahun
berhubungan dengan rendahnya rata-rata munculnya kembali keluhan nyeri dan
kekakuan sendi atau flare up, tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna pada
penderita yang berhenti minum methotrexat antara 3 bulan dengan 1 tahun.
Methotrexat diberikan saat perut kosong karena biovailabilitasnya turun karena
makanan. Pada dosis 10mg/m2 per minggu tidak ada perbedaan bermakna
antaraperoral maupun parenteral, meskipun parenteral lebih mudah ditoleransi.
Methotrexat subcutan diberikan dosis lebih dari 12 mg/m2. Methotrexat harus diminum

23
dengan asam folat 1 mg/minggu diberikan 1 hari setelah dosis metotreksat. Asam folat
dapat mengurangi terjadinya mual, ulserasi mukosa oral, dan mungkin ketidaknormalan
fungsi hepar tanpa mengurangi efektifitas methotrexat. 3

Pada pasien poliartritis JIA dengan rheumatoid faktor negatif, hampir sebagian
besar NSAIDs tidak efektif . Penggunaan NSAID lebih ke mengendalikan gejalanya.
Methotrexat diberikan lebih awal dengan dosis awal 10 mg/m2 per minggu, jika kurang
efektif boleh diberikan lebih dari 15 mg/m2 per minggu dan diberikan secara parenteral.
Alternatif yang lain adalah digunakan sulfasalazine dan leflunomide. Bila belum efektif
boleh diberikan anti TNF meskipun belum ada bukti apakah penggunaan metotreksat
dikombinasi dengan anti TNF lebih efektif apabila hanya anti-TNF tunggal saja. 3

Kombinasi AINS dengan steroid pulse therapy dapat digunakan untuk artritis
onset sistemik. Metilprednisolon dengan dosis 15-30 mg/kgBB/pulse. Protokol yang
diberikan adalah single pulse dengan jarak 1 bulan dengan pulse berikutnya, atau 3
pulse diberikan berurutan dalam 3 hari dalam 1 bulan, atau 3 pulse diberikan secara
berselang dalam 1 bulan. Selama pemberian terapi ini harus dilakukan monitoring
kardiovaskular dan keseimbangan cairan dan elektrolit. 1,3

Imunosupresan diberikan dalam protokol eksperimental untuk keadaan berat


yang mengancam kehidupan walaupun beberapa pusat reumatologi sudah
memakainya dalam protokol baku. Obat yang dipakai adalah azathioprin, siklofosfamid,
klorambusil dan metotreksat. Yang paling sering digunakan adalah metotreksat yang
diindikasikan untuk poliartritis berat atau gejala sistemik yang tidak membaik dengan
AINS, hidroksiklorokuin atau garam emas. Dosis inisial 5mg/m2/minggu; bila respons
tidak adekuat setelah 8 minggu, dosis dapat dinaikkan menjadi 10mg/m2/minggu. Lama
pengobatan 6 bulan dianggap adekuat.

Bedah

Tindakan bedah diperlukan untuk koreksi kecacatan sendi.

Suportif

24
Edukasi pasien dan keluarga: pengenalan dan tata laksana dini merupakan hal
penting untuk mencegah deformitas yang lebih luas. Pengertian tentang penyakit ARJ
pada keluarga dan lingkungan sangat diperlukan untuk mencegah gangguan emosi
pada pasien.

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya)

 Rehabilitasi medik untuk mencegah kekakuan dan kecacatan sendi


 Ahli ortopedi
 Konsultasi berkala ke spesialis mata (3 bulan sekali) untuk deteksi dini uveitis
 Psikiater untuk pencegahan atau pengobatan gangguan emosi akibat kronisitas
penyakit
 Konsultasi ke subbagian lain bila ada keterlibatan organ lain 1
Pemantauan

 Pemantauan terapi mencakup pemantauan efek samping (misalnya, gangguan


gastrointestinal pada terapi asam salisilat) dan efektivitas pengobatan.
Pemantauan aktivitas penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium (LED, CRP).
 Pemantauan tumbuh kembang: pemantauan perkembangan fisik dan mental
dilakukan setiap bulan untuk deteksi dini gangguan tumbuh kembang akibat
pengobatan maupun penyakitnya sendiri.

KOMPLIKASI
Ada beberapa komplikasi yang terjadi pada JIA, antara lain Macrophage
Activation Syndrome (MAS). MAS merupakan komplikasi JIA yang mengancam nyawa,
lebih sering terjadi pada JIA sistemik, yang ditandai dengan pansitopenia, gangguan
fungsi hati, gangguan koagulasi dan gejala neurologis dan diduga disebabkan karena
aktivasi dan proliferasi yang tidak bisa dikendalikan dari limfosit T dan makrofag
berdiferensiasi sehingga menyebabkan hemofagositosis dan produksi sitokin yang
berlebihan. MAS serupa dengan Haemophagocytic Lymphohistiocytosis (HLH) dan
MAS mengacu pada HLH sekunder pada penyakit rheumatik. MAS paling sering terjadi

25
pada sistemik JIA, tetapi dapat ditemui juga pada penyakit rheumatik lain seperti JIA
poliartikular, SLE dll. MAS berpotensi menyebabkan kematian terutama pada pasien
yang terjadi keterlibatan multisistem atau bila diagnosis terlambat.
Komplikasi yang lain adalah uveitis. Uvetis merupakan inflamasi kronik
nongranulomatosa yang menyerang iris dan body ciliar yang akhirnya menyebabkan
kerusakan. JIA merupakan penyakit sistemik non infeksius yang paling sering
berhubungan dengan uveitis pada anak-anak. Uveitis dikelola oleh dokter spesialis
mata dan rawat bersama dengan dokter anak.
Amyloidosis merupakan komplikasi JIA dimana terdapat penumpukan protein
amyloid pada jaringan. Merupakan komplikasi yang jarang terjadi di Amerika utara,
tetapi banyak dijumpai di bebereapa bagian di Eropa. Amyloidosis bermanifestasi
sebagai proteinuria, sindroma nephrotik, hepatopslenomegali atau anemia yang bisa
menyebabkan gagal ginjal.
Komplikasi lain yang umum dari JIA adalah gangguan pertumbuhan ( seperti
perbedaan panjang kaki ) . Sendi yang terlibat ( seperti lutut ) memiliki peningkatan
aliran darah karena sifat inflamasi arthritis lokal . Peningkatan aliran darah mendorong
daerah pertumbuhan tulang ( lempeng pertumbuhan ) untuk aktivitas maksimum dan
dengan demikian kaki yang terlibat lebih panjang dari non - anggota tubuh yang terlibat.
Namun, sebagai penyakit berlangsung , sifat kronis arthritis dapat merusak wilayah
lempeng pertumbuhan menyebabkan fusi prematur dan dengan demikian kaki yang
terlibat akan terhambat relatif terhadap ekstremitas tidak terlibat. Banyak pasien
mengalami nyeri sedang dari sendi yang terlibat mengakibatkan terbatasnya
penggunaan wilayah tersebut . Akibatnya, hilangnya kalsium dari tulang dapat
mengakibatkan osteoporosis.7,8,9
PROGNOSIS
Prognosis dan outcome JIA sangat bervariasi berdasarkan tipe dan derajat
keparahan penyakit. Banyak anak dengan JIA mempunyai prognosis yang memuaskan
dan hampir bebas dari keterbatasan fisik. Prognosis pada JIA sering ditentukan oleh 3
pengukuran utama, yaitu : frekuensi remisi, functional impairment, dan kerusakan
tulang. Rata-rata remisi bermacam-macam diantara beberapa kelompok JIA,
dikarenakan terjadi perbedaan dalam pendekatan dan penelitian, tetapi terdapat

26
persamaan pelaporan bahwa remisi tertinggi terdapat pada tipe oligoartikuler sebanyak
36-84%. Poliartikuler JIA mempunyai angka remisi sebanyak 12,5% sampai 65%,
sedangkan tipe sitemik mempunyai angka remisi sebanyak 0-75%.
Keterlambatan dalam merujuk pasien JIA dan penanganan yang tidak adekuat
mempunyai prognosis yang buruk. JIA poliartikuler dengan rheumatoid factor positif,
antibodi cyclic citrullinated peptides, HLA-DR4, nodule dan keterlibatan sendi-sendi
kecil sejak awal penyakit mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding JIA
oligoartikuler yang biasanya mempunyai outcome yang baik. Begitu juga dengan pasien
arthritis sistemik yang tergantung pada kortikosteroid untuk mengendalikan gejala
sistemik dan mempunyai angka trombosit lebih dari 600x103 /uL setelah 6 bulan sakit
juga mempunyai prognosis yang buruk. Pasien dengan sistemik dan poliartikuler JIA
akan berlanjut menjadi penyakit rheumatik yang aktif pada saat dewasa sebanyak 50-
70% sedangkan tipe oligoartikuler sebanyak 40-50%. Diperkirakan sebanyak 20 %
pasien pada saat dewasa mempunyai ketidak mampuan fungsional tingkat sedang
sampai berat dan sebanyak 30-40% mempunyai kecacatan jangka panjang sampai
menyebabkan tidak bekerja. Pembedahan tulang termasuk joint replacement diperlukan
sebanyak 25-50%.
Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk: (1) tipe sistemik yang aktif
pada 6 bulan pertama, (2) Poliartritis, (3) Perempuan, (4) Faktor rheumatoid positif, (5)
Kaku sendi yang persisten, (6) Tenosinovitis, (7) Nodul Subkutan, (8) Tes ANA +, (9)
Artritis pada jari tangan dan kaki pada awal penyakit, (10) erosi yang progresif, (11)
Pausiartikuler tipe eksten.7,8,9

27
LAPORAN KASUS

AF, anak laki-laki umur 9 tahun 8 bulan, masuk rumah sakit Poliklinik RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo (RSWS) Makassar pada tanggal 10 maret 2020.

Nama : AF
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 13-06-2010
Umur saat terdiagnosis : 9 tahun 5 bulan
Umur saat diambil kasus : 9 tahun 8 bulan
Alamat : Bone
Masuk Rumah Sakit Pertama Kali: 04-11-2019
Nomor Rekam Medik : 900485

Data Pasien Saat Pertama Kali Masuk RS Wahidin Sudirohusodo (4 November


2019)
Anamnesis (Alloanamnesis dari ibu penderita)
AF, anak laki-laki usia 9 tahun 8 bulan, pertama kali masuk ke Rumah Sakit
Wahidin Sudirohusodo (RSWS) bulan November 2019, saat usia 9 tahun 8 bulan.
Keluhan utama saat itu adalah keluhan nyeri pada sendi dialami sejak 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya nyeri pada tungkai kiri kemudian berpindah ke tingkai
kanan dan selangkangan, kemudian ke punggung bawah. Nyeri dirasakan terus-
menerus, tidak demam, tidak kejang, ada riwayat sering-sering demam sejak 1 bulan
yang lalu, terakhir demam tadi malam. Tidak batuk, tidak sesak, tidak biru, tidak
muntah. Anak malas makan dan minum. Buang air kecil kuning lancar, Buang air besar
belum 2 hari. Riwayat dirawat di RSUD Bone sebanyak 4 kali dengan keluhan nyeri
sendi dan muntah. Riwayat infeksi saluran napas akut tidak ada. Riwayat tanda-tanda
perdarahan tidak ada. Riwayat trauma tidak ada. Pasien dirawat selama 20 hari. Pada

28
perawatan hari ke 20 kondisi pasien membaik, nyeri pada kaki berkurang. Pasien mulai
bisa sedikit-sedikit berjalan dan diijinkan pulang.
Pasien rutin kontrol dipoliklinik. Pada tanggal 5 Maret 2020, pasien masuk rumah
sakit Wahidin Sudirohusodo untuk ke 3 kalinya dengan keluhan nyeri pada pergelangan
kaki yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien dirawat selama 5
hari. Pada perawatan hari ke 5 nyeri sendi berkurang, anak diizinkan rawat jalan dan
kontrol di poliklinik mother and child.

AYAH IBU

Keterangan :
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
PASIEN
Gambar 6. Pedigree

Pemeriksaan Fisis
Status present
 Keadaan umum : Sakit berat/ gizi buruk/ sadar GCS 15 E4M6V5
 Tensi : 90/60 mmHg
 Nadi : 98 kali/menit
 Respirasi : 24 kali/menit
 Suhu : 36,8 °C
 Skala nyeri : 1NRS

Status generalis
 Kepala : mesosefal, normosefal.

29
 Rambut : hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
 Wajah : simetris kiri dan kanan, tidak ada old man face
 Mata : tidak ada konjungtivitis.
 Hidung : tidak tampak sekret.
 Telinga : tidak ada otorrhe.
 Mulut : tidak ada ulserasi pada mulut. Tonsil ukuran T1-T1,
tidak hiperemis. Faring tidak hiperemis.
 Leher : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, tidak
teraba kelenjar tiroid, tidak ada kaku kuduk, tidak ada
rangsang meningeal.
 Dada : bentuk dan pergerakan simetris
 Paru : bunyi pernapasan vesikuler, bunyi tambahan tidak
ada.
 Jantung : iktus kordis tidak tampak, bunyi jantung satu dan dua
murni, reguler, tidak ada bising atau irama gallop.
 Abdomen : datar ikut gerak napas, bising usus kesan
normal,hepar dan lien tidak teraba.
 Ekstremitas : Ada wasting. Motorik: kekuatan 5/5/5/5, tonus otot normal,
refleks fisiologis kesan normal, reflex patologis tidak
ditemukan.
 Kulit : tampak scar BCG.
 Kelenjar : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
 Punggung : tidak ada gibbus maupun skoliosis.

Status antropometri
 Berat badan (BB) : 20 kg
 Panjang Badan (PB) : 125 cm
 Lingkar kepala : 47 cm (46 - 51 cm)  Normosefal
 BB/TB : 26/20x100% = 76% (gizi buruk)

30
 BB/U : 20/30x100% = 66% (berat badan sangat kurang)
 TB/U : 125/135x100% = 92% (perawakan normal)

Gambar 1. Kurva berat badan berdasarkan tinggi badan


menggunakan standar pertumbuhan anak dari CDC.

31
Pemeriksaan Penunjang (saat pertama terdiagnosis)

Parameter Nilai normal

HB 9,5 12-16 g/dl

MCV 74 80-100 µm3

MCH 25 27-32 pg

MCHC 34 32-36 gr/dl

HCT 28 37-47%

Leukosit 6.800 4000-10.000 mm3

Eritrosit 3,74x106 3.800.000-5.800.000/mm3

Trombosit 437.000 150.000-400.000/mm3

Natrium 127 136-145 mmol/L

Kalium 4,1 3,5 - 5,1 mmol/L

Klorida 98 97 - 111 mmol/L

Ureum 19 10 - 50 mg/dl

Kreatinin 0,63 L(<1,3), P (<1,1)

SGOT 18 <38 U/L

SGPT 14 <41 U/L

Laju endap darah Jam I = 60 < 10 mm


Jam II = 159

CRP Kuantitatif 86,3 <5 mg/l

Hasil Apusan darah tepi 5 November 2019


Eritrosit = Normositik normokrom, anisopoikilositosis, ovalosit (+), sel pensil (+), benda
inklusi (-), normoblast (-)
Leukosit = Jumlah cukup, PMN > Limfosit , morfologi normal
Trombosit = Jumlah cukup, morfologi normal
Kesan/Saran = Anemia dimorfik suspek kausa defisiensi Fe

32
Laboratorium 5/11/2019
Ferritine > 1200 (13.00 - 400.00 ng / ml)

ASTO 100 < 5 mg/l

Laju Endap Darah Jam I= 64 II= 90 < 10 mm

Imunoserologi Lain = RF 14.4

Hasil Pemeriksaan Radiologi

Foto Thorax AP (4/11/2019)


- Corakan bronchovaskular dalam batas normal
- Tidak tampak pemadatan pada hilus bilateral
- Cor: ukuran normal
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
- Jaringan lunak kesan baik
URAIAN KESAN PEMERIKSAAN :
Tidak tampak kelainan radiologic

Gambar 2. Foto thoraks tidak


tampak kelainan

33
Foto Genu/Knee Joint AP + Lateral D+S (07-11-2019)
- Alignment genu joint bilateral baik, tidak tampak dislokasi
- Tidak tampak fraktur dan destruksi tulang
- Densitas tulang berkurang
- Celah sendi yang tervisualisasi kesan baik
- Jaringan lunak sekitar genu kesan swelling
URAIAN KESAN PEMERIKSAAN :
- Osteopenia
- Soft tissue swelling

Gambar 3. Pada foto Genu/Knee Joint AP + Lateral tampak densitas tulang


berkurang dan jaringan lunak sekitar genu kesan swelling

34
Foto elbow joint bilateral AP/Lateral (07-11-2019 )
- Alignment elbow joint bilateral baik, tidak tampak dislokasi
- Tidak tampak fraktur dan destruksi tulang
- Densitas tulang berkurang
- Celah elbow joint bilateral baik
- Jaringan lunak sekitar kesan baik
URAIAN KESAN PEMERIKSAAN : Osteopenia

Gambar 4. Pada foto elbow joint bilateral tampak densitas tulang berkurang

35
Foto Pelvis/Panggul AP 07-11-2019
- ALignment kedua SI dan Hip joint baik, tidak tampak dislokasi
- Tidak tampak fraktur dan destruksi
- Densitas tulang baik
- Celah sendi yang tervisualisasi
- Jaringan lunak sekitar baik
URAIAN KESAN PEMERIKSAAN : Tidak tampak kelainan radiologik pada foto pelvis
ini

Gambar 5. Pada foto pelvis tidak tampak kelainan

36
Foto Ankle joint bilateral AP/Lateral ( 19-11-2019)
- Alignment ankle joint bilateral baik, tidak tampak dislokasi
- Tidak tampak fraktur dan destruksi tulang
- Densitas tulang berkurang dan tampak erosi pada ephypisis distal os tibia bilateral
dan os cuneiform
- Celah sendi yang tervisualisasi kesan baik
- Jaringan lunak sekitar kesan baik
URAIAN KESAN PEMERIKSAAN : Gambaran Juvenile Idiopathic Arthritis

Gambar 6. Pada foto ankle joint bilateral tampak densitas tulang berkurang
dan tampak erosi pada ephypisis distal os tibia bilateral dan os cuneiform

Diagnosis Kerja:
Juvenile Idiopathic Arthritis
Nutritional marasmus
Anemia Penyakit Kronik

Tatalaksana :

37
 Natrium diklofenak 3mg/kgbb/hari
 Methylprednisolon 15mg/kgbb/hari
 Rehabilitasi medic
 Awasi tanda anoksia jaringan
 Konsul divisi nutrisi dan penyakit metabolik : Tatalaksana gizi buruk

Prognosis

 Qua ad vitam : dubia


 Qua ad sanationem: dubia

DISKUSI

Pada kasus ini, pasien anak usia 9 tahun 8 bulan didiagnosis dengan Juvenile
Idiopathic Arthritis datang dengan keluhan nyeri pada sendi dialami sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri pada tungkai kiri kemudian berpindah ke
tingkai kanan dan selangkangan, kemudian ke punggung bawah. Nyeri dirasakan terus-
menerus. Tidak ada riwayat trauma, tidak ada riwayat demam sebelumnya. Dari
pemeriksaan fisik, tanda vital dalam batas normal, dari ekstremitas tampak bengkak
pada lutut kanan dan kiri, tidak tampak hiperemis, hangat pada perabaan, ada nyeri
tekan dan gerak, dilakukan pemeriksaan foto Ankle joint bilateral AP/Lateral dengan
kesan gambaran Juvenile Idiopathic Arthritis. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan adanya peningkatan dari CRP dan LED yang menandakan adanya inflamasi
akut, namun nilai Rheumatoid Factor masih dalam batas normal.

Hal ini sesuai dengan teori bahwa JIA didefinisikan sebagai adanya tanda
objektif artritis pada sedikitnya satu sendi yang berlangsung lebih dari 6 minggu pada
anak usia kurang dari 16 tahun dan jenis artritis lain pada anak telah disingkirkan.
Adapun artritis didefinisikan sebagai pembengkakan pada sendi atau ditemukannya dua
atau lebih tanda berikut: keterbatasan gerak, nyeri tekan, nyeri saat bergerak, atau
sendi teraba hangat. Dari klasifikasinya termasuk jenis Oligoarthritis dimana mengenai

38
hanya 3 sendi yaitu pinggul, lutut, dan pergelangan kaki dimana dominan pada sendi-
sendi besar, dengan hasil Rheumatologi factor negatif.

Pasien ini diberikan terapi AINS Diclofenak dengan dosis 3mg/kgbb/hari terbagi
dalam 2 dosis, kortikosteroid methylprednisolon 1mg/kgbb/hari. Dalam perjalanan
penyakit, setelah pemberian AINS dan kortikosteroid didapatkan gejala klinis masih
belum ada perbaikan secara signifikan sehingga dikombinasikan dengan pemberian
steroid pulse therapy dengan dosis methylprednisolon 15mg/kgbb/hari selama 3 hari
berturut-turut.
Pasien ini juga didiagnosis sebagai anemia penyakit kronik yang didapatkan
kadar hemoglobin yang rendah dengan index eritrosit hipokrom mikrositik dan kadar
ferritine >1200 ng/ml.
Anemia didefinisikan sebagai menurunnya jumlah hemoglobin atau jumlah dari
sel darah merah dari nilai normal. Anemia penyakit kronik

RINGKASAN
Telah dilaporkan suatu kasus Juvenile Idiopathic Arthritis pada anak laki-laki
berusia 12 lahun 11 bulan. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Prognosis pasien ini quo ad vitam dubia
dan quo ad sanationem dubia.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Antonius H. Pudjiadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris,


Ellen P. Gandaputra, Eva Devita Harmoniati, Klara Yuliarti. 2011. PEDOMAN
PELAYANAN MEDIS IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA. Jakarta : Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Arwin Akib, Zakiuddin Munasir, Nia Kurniati. 2010. BUKU AJAR ALERGI-
IMUNOLOGI ANAK Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia
3. Arwin AP Akib. (2003). Artritis Idiopatik Juvenil Kesepakatan Baru Klasifikasi dan
Kriteria Diagnosis Penyakit Artritis pada Anak. Sari Pediatri, 5(2), 40-48.
4. Kwang Nam Kim, M.D. (2010). Treatment of juvenile rheumatoid arthritis. Korean J
Pediatr 2010;53(11): 936-941.
5. Elizabeth F. Sheybani et al. (2013). Imaging of Juvenile Idiopathic Arthritis : A
multimodality Approach. Radiographics.rsna.org., 5, 1253-1275.
6. Abdwani et al. (2015). Epidemiology of Juvenile Idiopathic Arthritis in Oman.
Pediatric Rheumatology 13(33). 1-6.
7. Asmae Hari et al (2014). Body composition in children with juvenile idiopathic
arthritis : effect of dietary intake of macronutrient: result from a cross sectional
study. Pan African Medical Journal (2015) 20. 244-231.
8. Wioleta et al (2008). Growth retardation and delayed puberty in children and
adolescents with juvenile idiopathic arthritis. Arch Med Science (2010). 20-25.
9. Pachkam et al (2002). Long-term follow-up of 246 adults with juvenile idiopathic
arthritis: functional outcome. British Society for Rheumatology (2002). 1428-1435.

40
LAPORAN KASUS
BAGIAN RADIOLOGI
1 MARET – 31 MARET 2020

JUVENILE IDIOPATIK ATRITIS PADA ANAK

MAYA SUSANTI

PEMBIMBING :
dr. Dario Nelwan, Sp.Rad

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU

41
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

42

Anda mungkin juga menyukai