PENDAHULUAN
1
2
Namun, pengobatan dengan MTX saja hanya sekitar 50% pasien yang gejalanya
berkurang atau remisi. Agen untuk tatalaksana AR termasuk inhibitor atau antagonis
dari beberapa mediator kaskade inflamasi, termasuk TNF, CD-20 limfosit antigen,
IL-1 dan IL-6, Janus kinase (JAK) dan sel T.6
Aktivasi sitokin proinflamasi dari JAK/STAT dan activator transkripsi sinyal
jalur transduksi penting dalam patogenesis dan progresifitas AR. Dalam keadaan
normal, sinyal JAK/STAT mencerminkan keterlibatan regulator negatif JAK/STAT,
ditunjukkan dengan supresi sinyal sitokin dan inhibitor protein dari STAT yang aktif.
Pada AR kedua regulator ini mengalami disfungsi. Sehingga aktivasi sinyal
JAK/STAT terus menerus pada sendi synovial AR menghasilkan peningkatan
ekspresi gen matriks metalloproteinase, peningkatan frekuensi apoptosis kondrositdan
yang paling jelas terjadinya resistensi apoptosis pada jaringan synovial yang
terinflamasi.Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk menghambat jalur janus
kinase pada pasien AR dengan pemberian jak inhibitor (jakinib).7
Upadaticinib, agen oral yang menghambat janus kinase telah melalui uji klinik
fase III dan disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2019
untuk tatalaksana AR yang tidak respon dengan pengobatan MTX. Makalah ini
memberikan gambaran tentang penggunaan monoterapi upadacitinib, agen oral yang
menghambat JAK1 secara selektif dalam tatalaksana AR.
BAB II
ARTRITIS REUMATOID
2.1 Definisi
Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi
sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi
klinik klasik AR adalah poliartritis simetrik terutama mengenai sendi-sendi kecil pada
tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ
diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru dan mata. Mortalitasnya meningkat
akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan
adanya komorbiditas. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin,
dapat menurunkan progresifitas penyakit.8
2.2 Patogenesis
AR merupakan penyakit kronik inflamasi autoimun.Patogenesis AR
melibatkan komplek imun, reaksi vaskular, infiltrasi limfosit dan monosit ke
sinovium.Adanya perananpenting dari imun bawaan dan adaptif sebagai respon
terhadap inflamasi pada pasien AR. Jalur sitokin penting digambarkan dimana
aktivasi dari sel dendritik (DCs), sel T, sel B dan makrofag menopang ekspresi
sitokin yang tidak teratur sehingga mengaktifasi sel efektor ternasuk netrofil, sel
mast, sel endothelial dan synovial fibroblast.9 Sinovium merupakan target primer
inflamasi pada AR. Faktor pencetus berupa autoimun atau infeksi pada individu
dengan kerentanan genetik menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi dan
sitokin. Sel makrofag dan fibroblast merupakan sumber utama sitokin pada sinovium
AR. yaitu TNF, IL-1 dan IL-6. Sitokin akan menstimulasi osteoklas yang
bertanggung jawab pada destruksi sendi termasuk IL-6 yang meningkatkan
peradangan dan kerusakandi sinovium dan struktur periartikuler, hiperplasia,
infiltrasi sel mononuklear, agregasi limfosit dan ploriferasi vaskular pada sinovium
3
4
AR.10 Integrasi dari berbagai mediasi sitokin dalam synovial tampak dalam gambar
1.9
Selain sitokin-sitokin ini, keterlibatan berbagai reseptor superfamili
pensinyalan sitokin dianggap memegang peranan penting dalam pengembangan AR,
sebagai contohnya termasuk jalur JAK, jalur MAPK, STAT, jalur NF-kB dan jalur
PDE4.
manifestasi kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan
intervensi khusus. Nodul reumatoid umumnya ditemukan di daerah ulna, olekranon,
jari tangan,tendon achilles atau bursa olekranon. Nodul rheumatoid hanya ditemukan
pada penderlta AR dengan faktor reumatoid positif (sering titernya tinggi) dan
mungkin dikelirukan dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul
yang berhubungan dengan demam reumatik, lepra, MCTD, multicentric
reticulohistiocytosis. Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa
perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa manifestasi
ekstraartikular seperti vaskulitis dan Felty syndrome jarang dijumpai, tetapi sering
memerlukan terapi spesifik.8
2.6 Diagnosis
Saat ini diagnosis AR di lndonesia mengacu padakriteria diagnosis
menurutAmericon College of Rheumotology/European Leogue Agoinst Rheumotism
2016 (Tabel 2). Diagnosis AR ditegakkan bila pasien memiliki skor 6atau lebih.8
Domain II
- Wanita tua 1 poin
- Terdapat riwayat keluarga dgn AR pada 1 angkatan
1 poin
- Riwayat merokok
- RF/Anti-CCP positive 1poin
Positif RF atau Anti-CCP Lebih dari 2
Positif RF dan Anti CCP
Titer nilai tinggi pada RF dan/atau Anti CCP 1poin
- HLA-DR4 positif 2 poin
- Hasil X-ray
Osteoporosis Jucta-articular pada X ray 2 poin
Erosi pada X-ray atau MRI 1 poin
Lebih dari 2
1 poin
2 poin
Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Di samping itu,
pasien dengan gambaran erosi sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit yang
cocok untuk kriteria sebelumnya diklasifikasikan sebagai AR. Pasien dengan
penyakit yang lama termasuk penyakit yang tidak aktif (dengan atau tanpa
pengobatan) yang berdasarkan data-data sebelumnya didiagnosis AR hendaknya tetap
diklasifikasikan sebagai AR.8
Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan sebagai AR,
kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi seiring
berjalannya waktu.8
2.7 Penatalaksanaan
Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya
gejala, terapi sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh
karena itu sangat penting untuk melakukan diagnosis dan memulai terapi sedini
mungkin. Tujuan terapi AR adalah kontrol sinovitis untuk mencegah kerusakan
persendian, disabilitas dan efek sekunder inflamasi kronis. Pengobatan simtomatik
10
Pada kebanyakan kasus, AR dapat dikontrol dengan satu atau lebih obat, jika
AR tidak bisa dikontrol dengan satu atau lebih terapi konvensional, maka terapi
biologik harus dimulai. Akhir-akhir ini penggunaan agen biologik menjadi revolusi
pendekatan terapi pada AR. bDMARDs banyak digunakan pada pasien dengan
respon inadekuat atau intoleran terhadap csDMARDs. Efikasi dan keamanan
bDMARDs serta kemudahannya untuk ditapering dan dihentikan pada remisi
8,12,14
menyebabkan bDMARDs menjadi pilihan pada AR refrakter. Keterbatasan
bDMARDs adalah hanya antagonis terhadap satu sitokin inflamasi atau sel, baik
diberikan secara intravena ataupun subkutan. Mengikuti kemajuan dalam pemahaman
mengenai jalur persinyalan, pengenalan terhadap molekul kecil yang diberikan secara
oral menargetkan kunci faktor intraseluler merupakan terobosan besar sejak
munculnya agen biologis. Jakinib merupakan pendekatan novel untuk terapi AR.
Beberapa agen yang secara langsung menginhibisi JAK telah dikembangkan untuk
penggunaan klinis, membuka jalan untuk pendekatan inovatif untuk tatalaksana dan
sebagai tambahan kelas baru targeted synthetic DMARDs (tsDMARDs) untuk
ketersediaan terapi.17
Inhibisi selektif terhadap single sitokin atau sel dengan berikatan antagonis
reseptor tidak selalu memberikan kepuasan terhadap control penyakit AR, hal ini
mungkin disebabkan karena perkembangan ditemukannya multiple sitokin yang
penting dalam patogenesis AR. Oleh karena itu, konsekuensi logis dari kemajuan
pemahaman mengenai jalur persinyalan telah mengarah kepada perkembangan agen
terapeutik yang baru. JAK adalah grup yang terdiri dari empat enzim intraselular
(JAK1, JAK2, JAK3 dan TYK2) milik famili tirosin kinase. Protein JAK akan
berikatan dengan ekor sitoplasma dari reseptor sel permukaan dan mentransduksi
sinyal-sinyal dari banyak sitokin oleh fosforilasi faktor STAT yang kemudian
mentranslokasi ke dalam nukleus, dimana mereka meregulasi ekspresi gen. Multipel
faktor STAT terlibat dalam ekspresi gen pro-inflmasi dan terekspresi dalam jaringan
synovial pasien AR.17
12
14
15
JAK ditemukan di dalam sitosol dan berasosiasi dengan berbagai sitokin dan
reseptor growth factor; karenanya sejumlah besar sitokin dan growth factor
bergantung secara fungsional terhadap JAK1 dan JAK2. Dimer JAK berada dengan
subunit reseptor dan mengalami auto-fosforilasi setelah berikatan dengan sitokin.
Fosforilasi dari reseptor JAK menciptakan tempat perkaitan untuk domain ikatan
STAT, dengan demikian merekrut STATs ke komplek reseptor JAK. Kemudian
JAKS memfosforilasi residu tirosin spesifik yang berlokasi di terminal C-STAT
domain SH2 untuk memfasilitasi dimerisasi STAT dan translokasi. Tujuh anggota
famili STAT yang telah dikarakteristik: STAT1, STAT2, STAT3, STAT4, STAT5a,
STAT5b dan STAT6. Fosforilasi daerah tirosin STATs berinteraksi dengan bentuk
16
dari limfosit T, limfosit B, sel mast, netrofil, makrofag, dan aksesori APC (contohnya
sel dendritik; DCs) serta jaringan synovial fibroblasts (contohnya fibroblast-seperti
synoviocytes) dimana merupakan penanda kardinal selular dari proses penyakit
AR.19,20
Pada synovial sendi AR, membran sinovium single mengalami hiperplasi.
Perubahan ini menghasilkan migrasi stimulasi dan adhesi dari imun aktif dan sel non
imun dibawah peningkatan level beberapa sitokin dan protein adhesi. Sebagai
tambahan, peningkatan signifikan dari sitokin proinflmasi, contohnya TNF-α, IL-1β,
IL-6, IL-7, IL-8, IL-12/IL-23, IL-15, IL-18, IL-32 dan IFN-γ diproduksi oleh
berbagai sel, bersamaan dengan growth factors seperti fibroblast growth factor-2
(FGF-2) dan vascular endothelial growth factor (VEGF), yang terakhir terutama
diproduksi oleh fibroblast menyerupai synovial dan makrofag, telah terbukti sangat
penting untuk kemajuan klinis AR dimana dekstruksi dari kartilago artikular dan erosi
dari tulang subchondral adalah peristiwa utama yang menyebabkan kegagalan sendi
synovial. Jadi, perubahan keseluruhan timbul pada synovial sendi AR sebagai respon
terhadap berbagai faktor, termasuk supresi dari produksi matrik ekstraselular
kartilago, peningkatan frekuensi apoptosis kondrosit, jaringan synovial resisten
apoptosis, dan peningkatan level dari ekspresi gen dari MMP, serta ekspresi gen
ADAM merupakan komponen penting pada proses AR. Beberapa jalur tranduksi
sinyal telah dinyatakan terlibat dalam progresifitas AR. Sebagai contohnya, walaupun
IL-1β tercatat lebih dominan mengaktifkan jalur SAPK/MAPK dan IL-6 dan IFN-γ
terbukti predominan mengaktifkan jalur JAK/STAT dibandingkan aktivasi jalur
SAPK/MAPK. TNF-α dilaporkan terutama mengaktifkan jalur SAPK/MAPK,
ternyata juga mengaktifkan jalur JAK/STAT.TNF-α menyebabkan fosforilasi dari
protein STAT3 oleh kondrosit manusia in vitro tanpa mengubah konten dari
STAT3.19
Aktivasi JAKs oleh IL-6 juga dilaporkan menghasilkan aktivasi jalur
SAPK/MAPK dan sinyal PI3K/Akt/mTOR melalui “crosstalk”, dimana jalur
PI3K/Akt/mTOR, secara khusus dihubungkan dengan kelangsungan hidup yang
18
menyimpang dari sel non-imun dan imun.20Aktivasi abnormal dari sinyal JAK/STAT
melalui mutasi JAK atau sinyal konstitutif TYK2 terbukti sangat penting untuk
induksi perkembangan stem cell hematopoetik aberrant, keganasan hematologi,
autoimun, dan sindrom imunodefisiensi tertentu. Dalam hal itu, inhibitor aktivasi
JAK mengubah sel T, sel NK dan aktivitas DC, yang semuanya berkaitan dengan
patogenesis dan progresifitas kelainan autoimun. Inhibisi farmakologi dari JAKs telah
menunjukkan efisien untuk memblok kejadian hilir yang berhubungan dengan sitokin
tipe I/II dan JAK SMIs (sekarang lebih sering disebut Jakinibs) telah menjadi terapi
medis yang berguna dan berhasil untuk penyakit autoimun seperti AR, psoriasis dan
inflammatory bowel diseases.20
3.3 Upadacitinib
Upadacitinib atau ABT-494 adalah agen oral yang menghambat secara
selektif JAK1. Upadacitinib memiliki formula kimia C17H19F3N6O dengan berat
molekular 380,4 g/mol. Upadaticinib telah melalui studi fase III untuk menatalaksana
AR dimana meningkatkan potensi dan efikasi yang didemonstrasikan oleh studi
“Proof of concept” fase I dan II. Lebih lanjut, agen ini telah diinvestigasi untuk
menatalaksana PSA, inflammatory bowel disease dan dermatitis atopik. Upadaticinib
disetujui oleh US FDA pada tanggal 16 Agustus 2019 untuk tatalaksana AR. 22,23
21
3.3.3 Indikasi
Upadaticinib diindikasikan untuk tatalaksana pasien dewasa dengan AR
sedang sampai berat yang aktif dimana tidak mendapatkan respon adekuat atau
intoleran terhadap methotrexate. Penggunaan upadaticinib dengan Jakinib lainnya,
biologic DMARDs, atau dengan imunosupresan poten seperti azathioprine dan
cyclosporine tidak direkomendasikan. Upadaticinib dapat diberikan sebagai
monoterapi atau dikombinasikan dengan methotrexate atau agen non biologic
DMARDs lainnya.23
Gangguan ginjal tidak memiliki efek yang relevan secara klinis pada paparan
upadaticinib. AUC upadaticinib pada gangguan ginjal ringan, sedang dan berat adalah
18%, 33% dan 44% masing-masing lebih tinggi dibanding dengan subjek fungsi
ginjal normal. Cmax upadaticinib serupa pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
dan fungsi ginjal normal.23
Gangguan fungsi hati ringan (Child-Pugh A) dan sedang (Child-Pugh B) tidak
memiliki efek relevan secara klinis terhadap pajanan upadaticinib. AUC upadaticinib
28% dan 24% masing-masing lebih tinggi pada subjek gangguan fungsi hati ringan
dan sedang dibandingkan dengan subjek dengan fungsi hati normal. Cmax
upadaticinib tidak berubah pada subjek dengan gangguan hati ringan dan 43% lebih
tinggi pada gangguan fungsi hati sedang dibandingkan subjek dengan fungsi hati
normal. Upadaticinib tidak dipelajari pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat
(Child-Pugh C).23
pengobatannya tidak dapat dikonfirmasi, dan untuk pasien yang hasil pemeriksaan
negative untuk TB tetapi ada faktor resiko terinfeksi TB.23
Reaktifasi virus termasuk virus herpes dan hepatitis B, dilaporkan pada studi
klinis dengan Rinvoq©. Jika pasien kemudian menderita herpes zoster,
dipertimbangkan untuk penundaan sementara sampai pasien sembuh dari herpes.
Skrining untuk hepatitis virus dan pengawasan reaktifasi sesuai dengan pedoman
klinis sebelum memulai terapi.23
Keganasan diobservasi pada studi klinis Rinvoq©. Kanker kulit non-
melanoma dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapat terapi. Pemeriksaan kulit
secara berkaladirekomendasikan pada pasien yang memiliki faktor resiko kanker
kulit.23
Thrombosis, termasuk deep venous thrombosis, pulmonary embolism, dan
arterial thrombosis timbul pada pasien yang diterapi menggunakan Jakinib untuk
kondisi inflamasi. Jika gejala thrombosis timbul, pasien harus dievaluasi dan
ditatalaksana dengan segera.23
Kejadian perforasi gastrointestinal juga dilaporkan pada studi klinis, meskipun
peran dari Jakinib pada kejadian ini tidak diketahui. Pada studi ini, banyak pasien
dengan latar belakang menerima terapi NSAIDs.23
Penggunaan terapi upadaticinib dihubungkan dengan peningkatan parameter
lipid, termasuk total kolesterol, kolesterol LDL, dan HDL. Pasien diawasi setelah 12
minggu terapi, dan bila terjadi hiperlipidemia maka tatalaksana mengacu pada
guideline hiperlipidemia. Terapi dengan upadaticinib juga diasosiasikan dengan
peningkatan enzim hati dibandingkan dengan placebo.23
Keterbatasan data penggunaan upadaticinib pada wanita hamil tidak cukup
untuk mengevaluasi risiko terkait obat untuk cacat lahir atau keguguran. Berdasarkan
studi pada hewan, upadaticinib memiliki potensi pengaruh terhadap perkembangan
janin. Disarankan pada wanita masa reproduksi untuk menggunakan kontrasepsi
selama terapi dan 4 minggu setelah selesai terapi.23
29
Dari 4381 pasien yang diterapi dalam lima studi klinis fase 3, sebanyak 906
pasien AR berusia 65 tahun atau lebih, termasuk 146 pasien berusia 75 tahun dan
lebih tua. Tidak ada perbedaan efektifitas pada pasien ini dan yang lebih muda.
Namun, pada usia lanjut terdapat rata-rata efek samping yang lebih tinggi.23
berat dan diperpanjang 5 tahun untuk membuktikan kemanjuran dan data keamanan
lebih lama. Titik akhir primer dan sekunder ditetapkan dengan beberapa variasi studi
untuk menilai klinis dan kemanjuran fungsional dari upadaticinib. Penelitian
mengenai upadaticinib dapat dilihat dalam tabel 4.
32