Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Artritis rheumatoid (AR) merupakan penyakit kronik, autoimun, dan inflamasi


yang dapat menyebabkan kerusakan sendi progresif dan deformitas, mengakibatkan
disabilitas fungsional dan penurunan kualitas kehidupan. Keadaan inflamasi kronik
dari AR juga berhubungan dengan masalah ekstra-artikular dan meningkatkan
mortalitas.1
Onset penyakit AR dapat ditemukan pada usia berapapun, tetapi kejadian
tertinggi ditemukan pada dekade keempat atau kelima. Menurut studi Global Burden
of Disease tahun 2010, prevalensi AR secara keseluruhan diestimasi mencapai 0.24%
dimana angka kejadian wanita 2 kali lebih tinggi dibandingkan pria.2 Pada tahun
2015, menurut Arthritis Foundation sebanyak 22% atau lebih dari 50 juta orang
dewasa di Amerika Serikat berusia 18 tahun atau lebih didiagnosa arthritis. Dari data
tersebut, sekitar 3% atau 1,5 juta orang dewasa mengalami AR. AR terjadi pada 0,5-
1% populasi orang dewasa di negara maju. 3 Sedangkan di Indonesia, menurut
penelitian yang dilakukan oleh nakes tahun 2013 prevalensi AR di Indonesia
berjumlah 11,9%, dengan prevalensi tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur
(33,1%), Jawa Barat (32,1%), dan Bali (30%).4
Perawatan optimal pasien AR terdiri dari pendekatan terpadu yang mencakup
tatalaksana non-farmakologis dan farmakologis. Berbagai tatalaksana non-
farmakologis yang dapat dilakukan pada pasien AR meliputi latihan, diet, konseling,
pengurangan stress, dan latihan fisik. Tatalaksana farmakologis terdiri dari beberapa
agen, termasuk obat anti inflamasi non steroid (NSAID), non biologic and biologic
disease-modifying antirheumatic drugs (DMARDs), imunosupresan dan
kortikosteroid.5 Methotrexate (MTX) adalah DMARDs konvensional yang paling
banyak digunakan dalam penatalaksanaan AR, karena efektivitas dan tolerabilitasnya
serta potensinya untuk meningkatkan efektivitas obat-obatan yang ditargetkan pada
mediator inflamasi AR, yang dikenal sebagai targeted immune modulators (TIMs).

1
2

Namun, pengobatan dengan MTX saja hanya sekitar 50% pasien yang gejalanya
berkurang atau remisi. Agen untuk tatalaksana AR termasuk inhibitor atau antagonis
dari beberapa mediator kaskade inflamasi, termasuk TNF, CD-20 limfosit antigen,
IL-1 dan IL-6, Janus kinase (JAK) dan sel T.6
Aktivasi sitokin proinflamasi dari JAK/STAT dan activator transkripsi sinyal
jalur transduksi penting dalam patogenesis dan progresifitas AR. Dalam keadaan
normal, sinyal JAK/STAT mencerminkan keterlibatan regulator negatif JAK/STAT,
ditunjukkan dengan supresi sinyal sitokin dan inhibitor protein dari STAT yang aktif.
Pada AR kedua regulator ini mengalami disfungsi. Sehingga aktivasi sinyal
JAK/STAT terus menerus pada sendi synovial AR menghasilkan peningkatan
ekspresi gen matriks metalloproteinase, peningkatan frekuensi apoptosis kondrositdan
yang paling jelas terjadinya resistensi apoptosis pada jaringan synovial yang
terinflamasi.Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk menghambat jalur janus
kinase pada pasien AR dengan pemberian jak inhibitor (jakinib).7
Upadaticinib, agen oral yang menghambat janus kinase telah melalui uji klinik
fase III dan disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2019
untuk tatalaksana AR yang tidak respon dengan pengobatan MTX. Makalah ini
memberikan gambaran tentang penggunaan monoterapi upadacitinib, agen oral yang
menghambat JAK1 secara selektif dalam tatalaksana AR.
BAB II
ARTRITIS REUMATOID

2.1 Definisi
Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi
sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi
klinik klasik AR adalah poliartritis simetrik terutama mengenai sendi-sendi kecil pada
tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ
diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru dan mata. Mortalitasnya meningkat
akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan
adanya komorbiditas. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin,
dapat menurunkan progresifitas penyakit.8

2.2 Patogenesis
AR merupakan penyakit kronik inflamasi autoimun.Patogenesis AR
melibatkan komplek imun, reaksi vaskular, infiltrasi limfosit dan monosit ke
sinovium.Adanya perananpenting dari imun bawaan dan adaptif sebagai respon
terhadap inflamasi pada pasien AR. Jalur sitokin penting digambarkan dimana
aktivasi dari sel dendritik (DCs), sel T, sel B dan makrofag menopang ekspresi
sitokin yang tidak teratur sehingga mengaktifasi sel efektor ternasuk netrofil, sel
mast, sel endothelial dan synovial fibroblast.9 Sinovium merupakan target primer
inflamasi pada AR. Faktor pencetus berupa autoimun atau infeksi pada individu
dengan kerentanan genetik menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi dan
sitokin. Sel makrofag dan fibroblast merupakan sumber utama sitokin pada sinovium
AR. yaitu TNF, IL-1 dan IL-6. Sitokin akan menstimulasi osteoklas yang
bertanggung jawab pada destruksi sendi termasuk IL-6 yang meningkatkan
peradangan dan kerusakandi sinovium dan struktur periartikuler, hiperplasia,
infiltrasi sel mononuklear, agregasi limfosit dan ploriferasi vaskular pada sinovium

3
4

AR.10 Integrasi dari berbagai mediasi sitokin dalam synovial tampak dalam gambar
1.9
Selain sitokin-sitokin ini, keterlibatan berbagai reseptor superfamili
pensinyalan sitokin dianggap memegang peranan penting dalam pengembangan AR,
sebagai contohnya termasuk jalur JAK, jalur MAPK, STAT, jalur NF-kB dan jalur
PDE4.

Gambar 1. Integrasi mediasi sitokin dalam synovial9

2.3 Manifestasi klinik


AR adalah penyakit poliartikular yang melibatkan banyak sendi secara
bilateral. Seorang penderita AR biasanya dating dengan pembengkakan dan rasa sakit
di pergelangan tangan dan kaki.11 Kurang lebih 2/3 penderlta AR, awitan terjadi
secara perlahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15% dari penderita mengalami gejala
awal yang lebih cepat yaitu antara beberapa harisampai beberapa minggu. Sebanyak
10 –15% penderita mempunyai awitan fulminant berupa artritis poliartikular,sehingga
5

diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8 –15% penderita, gejala muncul


beberapa hari setelah infeksi. Artritis sering kali diikuti oleh kekakuan sendi pada
pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga
mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia dan
demam.8
Manifestasi klinik pada penderita AR dapat berupa manifestasi intraartikular
dan ekstraartikular. Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan
kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal
pada satu atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri,
bengkak, kemerahan dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau
selama kekambuhan (flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak
dljumpai pada AR yang kronik. Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu
adanya inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Distribusi sendi
yang terlibat pada AR tampak pada tabel 1.8
Tabel 1. Manifestasi intraartikular AR8
Sendi yang terlibat Frekuensi keterlibatan (%)
Metacarpophalangeal (MCP) 85
Pergelangan tangan 80
Proximal interphalangeal (PlP) 75
Lutut 75
Metatarsophalangeal (MTP) 75
Pergelangan kaki (tibiotalar +subtalar) 75
Bahu 60
Midfoot (tarsus) 60
Panggul (Hip) 50
Siku 50
Acromioclavicular 50
Vertebra servikal 40
Temporomandibular 30
Sternoclavicular 30

Manifestasi ekstraartikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang


mempunyai titer faktor reumatoid (RF) serum tinggi. Nodul reumatoid merupakan
6

manifestasi kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan
intervensi khusus. Nodul reumatoid umumnya ditemukan di daerah ulna, olekranon,
jari tangan,tendon achilles atau bursa olekranon. Nodul rheumatoid hanya ditemukan
pada penderlta AR dengan faktor reumatoid positif (sering titernya tinggi) dan
mungkin dikelirukan dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul
yang berhubungan dengan demam reumatik, lepra, MCTD, multicentric
reticulohistiocytosis. Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa
perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa manifestasi
ekstraartikular seperti vaskulitis dan Felty syndrome jarang dijumpai, tetapi sering
memerlukan terapi spesifik.8

2.4 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik pada pasien AR adalah penilaian standar untuk peradangan
pada sendi, kelemahan dan keterbatasan gerak. Selain itu, pada pemeriksaan fisik
juga menunjukkan adanya gejala-gejala ekstraartikular seperti skleritis, nodul-nodul,
garukan perikardial, efusi pleura, splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas
bawah.8
Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan
deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs
(DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas yang lain
merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu deformitas swan-neck,
dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika sendi
metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk menggantinya dengan
protesa silikon.8

2.5 Pemeriksaan diagnostik


Tidak ada pemeriksaan diagnostik yang spesifik untuk mendiagnosis AR.
Namun, beberapa pemeriksaan dapat memberikan data objektif yang menunjang
diagnostik pasti dan memungkinkan memantau perkembangan penyakit. The
7

American College of Rheumatology Subcommittee on Rheumatoid Arthritis


(ACRSRA) merekomendasikan evaluasi laboratorium dasar termasuk darah lengkap
dengan diferensial, C-reactive protein (CRP).12CRP dan LED yang tinggi berkaitan
dengan prognosa buruk. Rematoid factor (RF) dan anticyclic citrullinated peptide
(anti-CCP) antibody harus diperiksa pada tersangka AR.RF yang lebih dari 45IU/mL
dengan pemeriksaan ELISA dan anti-CCP lebih dari 80 IU/mL merupakan penanda
AR.RF terdeteksi selama penyakit pada 75%-85% pasien AR. 50% diantaranya
positif pada enam bulan pertama perjalanan penyakit dan 85% diantaranya akan
positif pada dua tahun pertama penyakit. Sensitifitas RF mencapai 70% dan
spesifisitasnya 80% pada pasien AR. Sensitifitas CCP mencapai 80% dan
spesifisitasnya 90% pada pasien AR. Sejumlah kecil pasien AR merupakan kasus
seronegatif.10,13
Abnormalitas radiografi sangat membantu diagnosis AR. Perubahan awal
berupa osteopenia periartikular pada sendi kecil tangan dan kaki, namun penemuan
ini tidak spesifik pada AR. Perubahan tipikal pada AR berupa erosi juxta-articular
dan penyempitan simetris celah sendi serta erosi pada tepi sendi medial dan
lateral.Penemuan radiografik lanjut berupa subluksasi dan kehilangan aligment sendi
yang disebabkan ruptur ligamen dan tendon disekitar persendian. MRI dan USG
merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi secara dini erosi sendi. MRI bisa
mengevaluasi soft tissue, integritas tendon, struktur artikular dan sinovium secara
lebih baik.8,14
8

Gambar 2. Struktural fenotip AR11

2.6 Diagnosis
Saat ini diagnosis AR di lndonesia mengacu padakriteria diagnosis
menurutAmericon College of Rheumotology/European Leogue Agoinst Rheumotism
2016 (Tabel 2). Diagnosis AR ditegakkan bila pasien memiliki skor 6atau lebih.8

Tabel 2. ACR/EULAR 2016 Kriteria untuk diagnosa dini AR15


Domain I ( Sendi)
- Nyeri sendi dengan kaku pada pagi hari ≥ 1 jam 1 poin
- Tangan (Pergelangan tangan, MCP, PIP) sinovitis
2 poin
- Peradangan Synovium ≥ 2 sendi
- Peradangan simetris 1 poin
- Durasi peradangan ≥ 6 minggu
1 poin
2 poin
9

Domain II
- Wanita tua 1 poin
- Terdapat riwayat keluarga dgn AR pada 1 angkatan
1 poin
- Riwayat merokok
- RF/Anti-CCP positive 1poin
 Positif RF atau Anti-CCP Lebih dari 2
 Positif RF dan Anti CCP
 Titer nilai tinggi pada RF dan/atau Anti CCP 1poin
- HLA-DR4 positif 2 poin
- Hasil X-ray
 Osteoporosis Jucta-articular pada X ray 2 poin
 Erosi pada X-ray atau MRI 1 poin
Lebih dari 2
1 poin
2 poin

Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Di samping itu,
pasien dengan gambaran erosi sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit yang
cocok untuk kriteria sebelumnya diklasifikasikan sebagai AR. Pasien dengan
penyakit yang lama termasuk penyakit yang tidak aktif (dengan atau tanpa
pengobatan) yang berdasarkan data-data sebelumnya didiagnosis AR hendaknya tetap
diklasifikasikan sebagai AR.8
Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan sebagai AR,
kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi seiring
berjalannya waktu.8

2.7 Penatalaksanaan
Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya
gejala, terapi sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh
karena itu sangat penting untuk melakukan diagnosis dan memulai terapi sedini
mungkin. Tujuan terapi AR adalah kontrol sinovitis untuk mencegah kerusakan
persendian, disabilitas dan efek sekunder inflamasi kronis. Pengobatan simtomatik
10

nyeri dan swelling dengan obat anti-infamasi nonsteroid (NSAIDs) dan


glukokortikoid.8,12,14
Tatalaksana AR meliputi non-biologic disease modifying anti-rheumatic
drug (DMARDs), molekul penghambat sintetik, dan terapi biologik. Disease-
modifyingdrugs (DMARDs) dapat dimulai dalam tiga sampai enam bulan pertama
penyakit yang merupakan standar terapi AR. DMARDs yang menjadi pilihan utama
adalah MTX karena mempunyai keuntungan klinik dan efikasi jangka panjang dalam
mengurangi gejala AR dan progresi kerusakan sendi secara radiologis. MTX bisa
dikombinasikan secara efektif dengan bermacam DMARDs lainnya. Sulfasalazine
dan hidroksiklorokuin dapat digunakan sebagai terapi pada AR derajat ringan. Pada
awal perjalanan penyakit kortikosteroid bisa digunakan untuk mencapai kontrol
gejala AR secara cepat. 8,12,14

Gambar 3. bDMARDs dan Jakinib pada tatalaksana AR16


11

Pada kebanyakan kasus, AR dapat dikontrol dengan satu atau lebih obat, jika
AR tidak bisa dikontrol dengan satu atau lebih terapi konvensional, maka terapi
biologik harus dimulai. Akhir-akhir ini penggunaan agen biologik menjadi revolusi
pendekatan terapi pada AR. bDMARDs banyak digunakan pada pasien dengan
respon inadekuat atau intoleran terhadap csDMARDs. Efikasi dan keamanan
bDMARDs serta kemudahannya untuk ditapering dan dihentikan pada remisi
8,12,14
menyebabkan bDMARDs menjadi pilihan pada AR refrakter. Keterbatasan
bDMARDs adalah hanya antagonis terhadap satu sitokin inflamasi atau sel, baik
diberikan secara intravena ataupun subkutan. Mengikuti kemajuan dalam pemahaman
mengenai jalur persinyalan, pengenalan terhadap molekul kecil yang diberikan secara
oral menargetkan kunci faktor intraseluler merupakan terobosan besar sejak
munculnya agen biologis. Jakinib merupakan pendekatan novel untuk terapi AR.
Beberapa agen yang secara langsung menginhibisi JAK telah dikembangkan untuk
penggunaan klinis, membuka jalan untuk pendekatan inovatif untuk tatalaksana dan
sebagai tambahan kelas baru targeted synthetic DMARDs (tsDMARDs) untuk
ketersediaan terapi.17
Inhibisi selektif terhadap single sitokin atau sel dengan berikatan antagonis
reseptor tidak selalu memberikan kepuasan terhadap control penyakit AR, hal ini
mungkin disebabkan karena perkembangan ditemukannya multiple sitokin yang
penting dalam patogenesis AR. Oleh karena itu, konsekuensi logis dari kemajuan
pemahaman mengenai jalur persinyalan telah mengarah kepada perkembangan agen
terapeutik yang baru. JAK adalah grup yang terdiri dari empat enzim intraselular
(JAK1, JAK2, JAK3 dan TYK2) milik famili tirosin kinase. Protein JAK akan
berikatan dengan ekor sitoplasma dari reseptor sel permukaan dan mentransduksi
sinyal-sinyal dari banyak sitokin oleh fosforilasi faktor STAT yang kemudian
mentranslokasi ke dalam nukleus, dimana mereka meregulasi ekspresi gen. Multipel
faktor STAT terlibat dalam ekspresi gen pro-inflmasi dan terekspresi dalam jaringan
synovial pasien AR.17
12

Gambar 4. Algoritma tatalaksana AR berdasarkan rekomendasi EULAR18


13

JAK inhibitor (Jakinib), tersedia dalam bentuk oral DMARDs menargetkan


JAK intraselular dan memiliki efikasi yang serupa dengan biologis. Jakinib pertama
yang disetujui oleh FDA adalah tofacinib, dimana lebih superior dibandingkan MTX
dan tidak lebih inferior dibandingkan TNF inhibitor. Dalam beberapa tahun terakhir,
Jakinib baricitinib telah mendemonstrasikan lebih superior dibandingkan MTX dan
adalimumab TNF inhibitor. Dengan penemuan yang menjanjikan ini, jakinib
diekspektasikan dapat menjadi generasi lanjut untuk tatalaksana AR.17
BAB III
PERAN UPADACITINIB PADA PENATALAKSANAAN AR

3.1 Jalur JAK/STAT


Semua JAKs memiliki struktur yang sama berdasarkan region JAK homologi
(JH) (gambar 4). Dalam skematik ini, domain JH diberi nomor secara struktur, JH1
sampai JH7 berdasarkan domain struktural berurutan dimulai pada terminal carboxy
dan terus berlanjut ke terminal-amino. Analisa struktural juga membuktikan regio
JH2 pernah dipikirkan domain katalis tidak sepenuhnya fungsional dan karenanya
didefinisikan ulang sebagai pseudo-kinase. Regio JH4-JH7 terbukti sangat penting
untuk regulasi interaksi antara JAKs dan protein kinase lainnya serta untuk
peningkatan ikatan reseptor, aktivitas katalis, auto-fosforilasi JAK dan dalam
beberapa kasus bahkan untuk mensupresi aktivitas JAK.19

Gambar 5. Domain JH19

Sinyal JAK/STAT diaktifkan oleh beragam sitokin dan faktor pertumbuhan


yang mengarahkan pada stimulasi proliferasi sel, diferensiasi dan apoptosis. Setelah
terjadinya ikatan dengan ligand gp130, selanjutnya dimerasi JAK menginduksi
fosforilasi STATs dan translokasi inti, dimana STAT berinteraksi dengan rangkaian
ikatan DNA untuk menginisiasi transkripsi gen. Kaskade sinyal ini digunakan oleh
berbagai jenis sel.19

14
15

Gambar 6. Jalur JAK/STAT20

JAK ditemukan di dalam sitosol dan berasosiasi dengan berbagai sitokin dan
reseptor growth factor; karenanya sejumlah besar sitokin dan growth factor
bergantung secara fungsional terhadap JAK1 dan JAK2. Dimer JAK berada dengan
subunit reseptor dan mengalami auto-fosforilasi setelah berikatan dengan sitokin.
Fosforilasi dari reseptor JAK menciptakan tempat perkaitan untuk domain ikatan
STAT, dengan demikian merekrut STATs ke komplek reseptor JAK. Kemudian
JAKS memfosforilasi residu tirosin spesifik yang berlokasi di terminal C-STAT
domain SH2 untuk memfasilitasi dimerisasi STAT dan translokasi. Tujuh anggota
famili STAT yang telah dikarakteristik: STAT1, STAT2, STAT3, STAT4, STAT5a,
STAT5b dan STAT6. Fosforilasi daerah tirosin STATs berinteraksi dengan bentuk
16

homo atau heterodimers, dimana translokasi dari sitoplasma ke nucleus menginisiasi


transkripsi gen. Selain itu, beberapa STATs mengalami fosforilasi serin; namun
demikian relatif tidak diketahui perannya dalam aktivasi STAT, dan mungkin berbeda
dalam beberapa anggota famili.20
Jalur JAK/STAT diatur ketat oleh mekanisme umpan balik yang
dikoordinasikan oleh suppressors of cytokine signaling (SOCS). Mekanisme umum
peran protein SOCS adalah mengatur kekuatan dan durasi sinyal yang diinduksi oleh
sitokin yang bergantung pada STAT. Famili SOCS terdiri dari delapan anggota,
SOCS1 sampai SOCS7 dan CIS (cytokine-inducible SH2-containing protein), dimana
kadarnya rendah pada sel yang tidak terstimulasi, namun dengan cepat diregulasi
dalam menanggapi berbagai sitokin dan growth factors. Protein SOCS juga
mengandung domain SH2 selain kotak SOCS, yang dianggap terlibat dalam
degradasi proteasomal JAKs. Protein SOCS dapat menonaktifkan sinyal JAK/STAT
dengan berbagai mekanisme: menghambat ikatan langsung JAKS dengan reseptor,
kompetitor dengan sinyal molekul domain SH2 pada daerah ikatan dalam reseptor,
penargetan komplek reseptor untuk ubiquitinasi proteasomal, dan degradasi melalui
kotak SOCS.19,20
Protein SOCS sangat penting untuk regulasi sejumlah besar sitokin dan
growth factors. Hasilnya, defisiensi SOCS dapat menyebabkan berbagai defek
perkembangan; namun ada kemungkinan anggota SOCS yang lain dapat
memperbaiki kehilangan spesifik dari protein SOCS (gambar 5).20

3.2 Peran JAK/STAT pada patogenesis AR


AR adalah penyakit sistemik, poliartikular, kronik, progresif, inflamasi
kelainan musculoskeletal dari synovial sendi. Sebagai tambahan, kerusakan jaringan
pasien AR dipertimbangkan dapat timbul di jantung, sebagaimana timbul di paru,
kulit, mata, ginjal dan pembuluh darah. AR dikarakteristikkan pada level molecular
dan patofisiologi oleh abnormal bawaan, selular dan imunitas humoral. Oleh karena
itu, abnormal proliferasi kinetik menghasilkan kelangsungan hidup yang menyimpang
17

dari limfosit T, limfosit B, sel mast, netrofil, makrofag, dan aksesori APC (contohnya
sel dendritik; DCs) serta jaringan synovial fibroblasts (contohnya fibroblast-seperti
synoviocytes) dimana merupakan penanda kardinal selular dari proses penyakit
AR.19,20
Pada synovial sendi AR, membran sinovium single mengalami hiperplasi.
Perubahan ini menghasilkan migrasi stimulasi dan adhesi dari imun aktif dan sel non
imun dibawah peningkatan level beberapa sitokin dan protein adhesi. Sebagai
tambahan, peningkatan signifikan dari sitokin proinflmasi, contohnya TNF-α, IL-1β,
IL-6, IL-7, IL-8, IL-12/IL-23, IL-15, IL-18, IL-32 dan IFN-γ diproduksi oleh
berbagai sel, bersamaan dengan growth factors seperti fibroblast growth factor-2
(FGF-2) dan vascular endothelial growth factor (VEGF), yang terakhir terutama
diproduksi oleh fibroblast menyerupai synovial dan makrofag, telah terbukti sangat
penting untuk kemajuan klinis AR dimana dekstruksi dari kartilago artikular dan erosi
dari tulang subchondral adalah peristiwa utama yang menyebabkan kegagalan sendi
synovial. Jadi, perubahan keseluruhan timbul pada synovial sendi AR sebagai respon
terhadap berbagai faktor, termasuk supresi dari produksi matrik ekstraselular
kartilago, peningkatan frekuensi apoptosis kondrosit, jaringan synovial resisten
apoptosis, dan peningkatan level dari ekspresi gen dari MMP, serta ekspresi gen
ADAM merupakan komponen penting pada proses AR. Beberapa jalur tranduksi
sinyal telah dinyatakan terlibat dalam progresifitas AR. Sebagai contohnya, walaupun
IL-1β tercatat lebih dominan mengaktifkan jalur SAPK/MAPK dan IL-6 dan IFN-γ
terbukti predominan mengaktifkan jalur JAK/STAT dibandingkan aktivasi jalur
SAPK/MAPK. TNF-α dilaporkan terutama mengaktifkan jalur SAPK/MAPK,
ternyata juga mengaktifkan jalur JAK/STAT.TNF-α menyebabkan fosforilasi dari
protein STAT3 oleh kondrosit manusia in vitro tanpa mengubah konten dari
STAT3.19
Aktivasi JAKs oleh IL-6 juga dilaporkan menghasilkan aktivasi jalur
SAPK/MAPK dan sinyal PI3K/Akt/mTOR melalui “crosstalk”, dimana jalur
PI3K/Akt/mTOR, secara khusus dihubungkan dengan kelangsungan hidup yang
18

menyimpang dari sel non-imun dan imun.20Aktivasi abnormal dari sinyal JAK/STAT
melalui mutasi JAK atau sinyal konstitutif TYK2 terbukti sangat penting untuk
induksi perkembangan stem cell hematopoetik aberrant, keganasan hematologi,
autoimun, dan sindrom imunodefisiensi tertentu. Dalam hal itu, inhibitor aktivasi
JAK mengubah sel T, sel NK dan aktivitas DC, yang semuanya berkaitan dengan
patogenesis dan progresifitas kelainan autoimun. Inhibisi farmakologi dari JAKs telah
menunjukkan efisien untuk memblok kejadian hilir yang berhubungan dengan sitokin
tipe I/II dan JAK SMIs (sekarang lebih sering disebut Jakinibs) telah menjadi terapi
medis yang berguna dan berhasil untuk penyakit autoimun seperti AR, psoriasis dan
inflammatory bowel diseases.20

Gambar 7. Gambaran umum pensinyalan JAK/STAT dalam pertahanan host dan


hemostasis seluler.21
19

Sitokin tipe 1 dan 2 mengikat reseptornya dengan sinyal intraselular melalui


jalur JAK/STAT. Domain sitoplasma reseptor sitokin berhubungan dengan berbagai
JAKs. Kinase-kinase ini bertindak melalui autofosforilasi sebagaimana fosforilasi
STAT. Respon utama inflamasi host dimediasi melalui interaksi ini, termasuk yang
menyebabkan penyakit autoimun seperti AR. Gambar 6 menunjukkan jalur sinyal
dari beberapa grup sitokin terpilih, serta dimerisasi dari reseptor sitokin dan
hubungannya dengan JAKs. Sebagai catatan, gambar ini mengesankan interaksi
penting dari pertahanan host melawan infeksi termasuk sinyal dari kedua interferon
tipe 1 dan IFNγ. Sinyal interferon tipe 1 melalui reseptor sitokin tipe II terkait dengan
JAK1 dan JAK2. Jalur sinyal ini sangat penting untuk respon antiviral host. Jalur
pensinyalan lain yang dimediasi oleh JAK/STAT penting untuk homeostasis seluler,
termasuk produksi limfosit dan monosit.21
Dalam keadaan normal, protein-protein STAT adalah protein-protein
sitoplasma yang tidak aktif. Namun, setelah aktivasi sitokin, seperti yang
diilustrasikan oleh ikatan IL-6 dengan kompleks IL-6Rα/gp130, protein STAT
direkrut ke komplek sitokin/reseptor melalui domain SH2, dimana mereka menjadi
terfosforilasi. Perekrutan ini meningkatkan formasi dimers p-STAT (gambar 7).
Bahkan homodimers atau heterodimers p-STAT mempersiapkan mekanisme primer
untuk protein STAT secara efisien translokasi ke nucleus dimana mereka berikatan
dengan motif DNA-respon STAT dan dengan cara itu bertindak sebagai faktor
transkripsi.19,20
20

Gambar 8. Interaksi IL-6 dengan JAK20

3.3 Upadacitinib
Upadacitinib atau ABT-494 adalah agen oral yang menghambat secara
selektif JAK1. Upadacitinib memiliki formula kimia C17H19F3N6O dengan berat
molekular 380,4 g/mol. Upadaticinib telah melalui studi fase III untuk menatalaksana
AR dimana meningkatkan potensi dan efikasi yang didemonstrasikan oleh studi
“Proof of concept” fase I dan II. Lebih lanjut, agen ini telah diinvestigasi untuk
menatalaksana PSA, inflammatory bowel disease dan dermatitis atopik. Upadaticinib
disetujui oleh US FDA pada tanggal 16 Agustus 2019 untuk tatalaksana AR. 22,23
21

Gambar 9. Struktur kimiawi Upadaticinib23

3.3.1 Mekanisme kerja Upadaticinib


Jalur JAK/STAT terlibat dalam spektrum luas patogenesis penyakit autoimun
dan inflamasi karena perannya dalam tranduksi sinyal multipel sitokin yang penting
dalam kelainan yang dimediasi oleh imun. Kaskade sinyal jalur JAK/STAT
dipromosikan oleh ikatan antara JAKs dengan reseptor sitokin tipe 1 dan tipe 2.
Sinyal reseptor berbeda melalui JAKs yang berbeda dengan selektivitas variabel.
Interaksi JAK dengan reseptor mengarahkan ke oligomerisasi dan separasi reseptor
dari JAK. Dengan demikian, selama aktivasinya, JAK memfosforilasi sendiri dan
subunit intraselular dari reseptor dan STAT, membentuk formasi dari STAT
homodimers, heterodimers atau tetramers yang akfif. Akhirnya, STAT dimers yang
terfosforilasi masuk ke dalam nukleus, bertindak sebagai faktor transkripsi, mereka
meregulasi transkripsi berbagai gen yang spesifik. Beberapa reseptor sitokin
berikatan dengan lebih dari satu JAK dan inhibisi dari JAK yang spesifik dapat
menargetkan jalur sitokin yang berbeda. Sebagai contoh, JAK3 dan JAK1 selalu
berpasangan dan berasosiasi dengan imunitas adaptif interleukins (IL-2, IL-4, IL7,
IL-9, IL-15, dan IL-21).Namun demikian, JAK1 meregulasi imunitas bawaan ketika
berpasangan dengan JAK2 dan TYK, meregulasi beberapa sitokin proinflamasi
seperti IL-6 dan interferon tipe 1. 24
22

Gambar 10. Efek target beberapa JAK25

Regulator negatif utama dari pensinyalan JAK/STAT adalah protein yang


disebut dengan SOCS. Pada AR, terjadi disfungsi aktivitas SOCS. Peran penting dari
jalur JAK/STAT dalam pensinyalan sitokin proinflamasi menjadi pendorong utama
untuk pengembangan terapi target AR. Inhibisi dari JAK1 lebih efektif pada penyakit
AR karena memodulasi transmisi sinyal beberapa sitokin proinflamasi yang terlibat
dalam patogenesis AR, terutama IL-6, efek pleiotropik yang penting untuk
pengembangan manifestasi artikular dan ekstra-artikular penyakit.24
23

Gambar 11. Mekanisme kerja Jakinib25

Upadaticinib merupakan Jakinib selektif JAK1. In vitro, upadacitinib


menunjukkan selektifitas lebih tinggi untuk JAK1 diatas JAK2 dan JAK3. Karena itu,
upadacitinib memiliki potensi untuk memenuhi ekspektasi dan lebih aman dibanding
dosis tinggi dari Tofacitinib dan Baricitinib.22,23
24

3.3.2 Farmakokinetik dan Farmakodinamik


Paparan plasma upadaticinib sebanding dengan rentang dosis terapeutik.
Konsentrasi stabil plasma dicapai dalam 4 hari dengan akumulasi minimal setelah
beberapa kali pemberian obat dengan dosis sekali sehari.23
Setelah pemberian formulasi upadaticinib extended-release (Rinvoq©),
upadaticinib diabsorpsi dengan median Tmax 2-4 jam. Pemberian upadaticinib
dengan makanan tinggi lemak dan tinggi kalori tidak mempengaruhi efektifitas dari
upadaticinib. Dalam uji klinis, upadaticinib diberikan tanpa memperhatikan makanan.
Upadaticinib terikat 52% dengan plasma protein.23
Metabolisme upadaticinib dimediasi terutama oleh CYP3A4 dengan
kontribusi kecil dari CYP2D6. Aktivitas farmakologis dari upadaticinib dikaitkan
dengan molekul induk. Upadaticinib dieliminasi terutama sebagai zat induk yang
tidak berubah melalui urine (24%), dan tinja (38%). Sekitar 34% dieksresikan dalam
bentuk metabolit. Rata-rata waktu paruh eliminasi akhir dari upadaticinib berkisar 8
sampai 14 jam.23
Pada sukarelawan yang sehat, pemberian upadaticinib mengakibatkan
penghambatan IL-6 (JAK1/JAK2) diinduksi STAT3 dan IL-7 (JAK1/JAK3)
diinduksi oleh fosforilasi STAT5 dalam darah lengkap. Tatalaksana dengan
upadaticinib dikaitkan dengan peningkatan sementara rata-rata limfosit dalam jumlah
kecil, peningkatan rata-rata ALC dari baseline ini berlangsung sampai minggu ke 36
dimana secara gradual menurun hingga mendekati baseline dengan melanjutkan
pengobatan. Selama periode kontrol, terjadi sedikit penurunan rata-rata IgG dan IgM
dari baseline dengan terapi upadaticinib, namun rata-rata pada awal dan kunjungan
adalah dalam kisaran referensi normal.23
Pada paparan 6 kali dosis rata-rata maksimum 15 mg per hari, tidak ada efek
klinis yang relevan terhadap interval QTc.23
25

3.3.3 Indikasi
Upadaticinib diindikasikan untuk tatalaksana pasien dewasa dengan AR
sedang sampai berat yang aktif dimana tidak mendapatkan respon adekuat atau
intoleran terhadap methotrexate. Penggunaan upadaticinib dengan Jakinib lainnya,
biologic DMARDs, atau dengan imunosupresan poten seperti azathioprine dan
cyclosporine tidak direkomendasikan. Upadaticinib dapat diberikan sebagai
monoterapi atau dikombinasikan dengan methotrexate atau agen non biologic
DMARDs lainnya.23

3.3.4 Dosis dan rekomendasi penggunaan


Rekomendasi dosis upadaticinibadalah 15 mg sekali sehari per oral dengan
atau tanpa makanan. Tablet ini harus ditelan secara utuh, tidak boleh dibagi,
dihancurkan ataupun dikunyah.23
Inisiasi pemberian Rinvoq© (upadaticinib) tidak direkomendasikan pada
pasien dengan ALC kurang dari 500 sel/mm3, ANC kurang dari 1000 sel/mm3 atau
Hb kurang dari 8 g/dL. Upadaticinib juga tidak direkomendasikan pada pasien
dengan gangguan hati berat (Child-Pugh C). Berat badan, jenis kelamin, ras, etnis dan
usia tidak memiliki efek bermakna secara klinis terhadap paparan upadaticinib.
Belum ada penelitian mengenai pemberian upadaticinib pada pasien usia dibawah 18
tahun dan wanita hamil.23
26

Tabel 3. Rekomendasi penghentian dosis berdasarkan kelainan laboratorium23


Ukuran laboratorium Tindakan
Absolute Neutrophil Count (ANC) Terapi harus dihentikan bila ANC kurang
dari 1000 sel/mm3 dan dapat dimulai lagi
setelah ANC diatas nilai tersebut.
Absolute Lymphocyte Count (ALC) Terapi harus dihentikan bila ALC kurang
dari 500 sel/mm3 dan dapat dimulai lagi
setelah ALC diatas nilai tersebut.
Haemoglobin (Hb) Terapi harus dihentikan bila Hb di bawah
8 g/dl dan dapat dimulai lagi setelah Hb
kembali diatas nilai tersebut.
Hepatic transaminase Terapi harus dihentikan bila dicurigai
terjadinya drug-induced liver injury

Gangguan ginjal tidak memiliki efek yang relevan secara klinis pada paparan
upadaticinib. AUC upadaticinib pada gangguan ginjal ringan, sedang dan berat adalah
18%, 33% dan 44% masing-masing lebih tinggi dibanding dengan subjek fungsi
ginjal normal. Cmax upadaticinib serupa pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
dan fungsi ginjal normal.23
Gangguan fungsi hati ringan (Child-Pugh A) dan sedang (Child-Pugh B) tidak
memiliki efek relevan secara klinis terhadap pajanan upadaticinib. AUC upadaticinib
28% dan 24% masing-masing lebih tinggi pada subjek gangguan fungsi hati ringan
dan sedang dibandingkan dengan subjek dengan fungsi hati normal. Cmax
upadaticinib tidak berubah pada subjek dengan gangguan hati ringan dan 43% lebih
tinggi pada gangguan fungsi hati sedang dibandingkan subjek dengan fungsi hati
normal. Upadaticinib tidak dipelajari pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat
(Child-Pugh C).23

3.3.5 Efek samping


27

Efek samping yang paling sering dijumpai adalah infeksi, keganasan,


thrombosis, perforasi gastrointestinal, netropenia, limfopenia, anemia, peningkatan
kolesterol dan fungsi hati. Efek samping yang menyebabkan penghentian obat adalah
infeksi. Infeksi serius dan terkadang fatal dilaporkan pada pasien yang menerima
Rinvoq©. Infeksi serius yang paling sering dilaporkan pada penggunaan Rinvoq©
termasuk pneumonia dan selulitis. Diantara infeksi oportunistik; TBC,
multidermatomal herpes zoster, kandidiasis oral atau esophageal, dan cryptococcosis
dilaporkan pada pengguna Rinvoq©. Hindari penggunaan obat pada pasien dengan
infeksi yang serius, aktif termasuk lokal infeksi. Pertimbangan untung dan rugi
sebelum memulai terapi inisiasi Rinvoq© pada pasien dengan:23
 Infeksi kronik atau rekuren.
 Pasien yang terpapar dengan TBC.
 Riwayat infeksi yang serius atau oportunistik.
 Yang tinggal atau berpegian ke daerah endemis TBC dan mikosis; atau
 Dengan kondisi dasar rentan terhadap infeksi.
Monitor secara ketat perkembangan tanda dan gejala infeksi selama dan setelah terapi
dengan Rinvoq©. Pasien yang mendapatkan infeksi baru selama terapi harus
dilakukan pemeriksaan diagnostik yang cepat dan komplit, terapi antibiotika harus
dimulai dan pasien diawasi dengan ketat. Terapi harus dihentikan apabila pasien tidak
respon dengan terapi antibiotika. Terapi dapat dilanjutkan kembali setelah infeksi
teratasi.23

3.3.6 Profil keamanan


Pasien harus diskrining untuk tuberculosis (TB) sebelum memulai terapi
upadaticinib. Upadaticinib tidak seharusnya diberikan pada pasien dengan TB aktif.
Terapi anti TB harus dipertimbangkan sebelum inisiasi terapi upadaticinib pada
pasien TB laten yang sebelumnya tidak diobati atau pasien TB aktif yang
28

pengobatannya tidak dapat dikonfirmasi, dan untuk pasien yang hasil pemeriksaan
negative untuk TB tetapi ada faktor resiko terinfeksi TB.23
Reaktifasi virus termasuk virus herpes dan hepatitis B, dilaporkan pada studi
klinis dengan Rinvoq©. Jika pasien kemudian menderita herpes zoster,
dipertimbangkan untuk penundaan sementara sampai pasien sembuh dari herpes.
Skrining untuk hepatitis virus dan pengawasan reaktifasi sesuai dengan pedoman
klinis sebelum memulai terapi.23
Keganasan diobservasi pada studi klinis Rinvoq©. Kanker kulit non-
melanoma dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapat terapi. Pemeriksaan kulit
secara berkaladirekomendasikan pada pasien yang memiliki faktor resiko kanker
kulit.23
Thrombosis, termasuk deep venous thrombosis, pulmonary embolism, dan
arterial thrombosis timbul pada pasien yang diterapi menggunakan Jakinib untuk
kondisi inflamasi. Jika gejala thrombosis timbul, pasien harus dievaluasi dan
ditatalaksana dengan segera.23
Kejadian perforasi gastrointestinal juga dilaporkan pada studi klinis, meskipun
peran dari Jakinib pada kejadian ini tidak diketahui. Pada studi ini, banyak pasien
dengan latar belakang menerima terapi NSAIDs.23
Penggunaan terapi upadaticinib dihubungkan dengan peningkatan parameter
lipid, termasuk total kolesterol, kolesterol LDL, dan HDL. Pasien diawasi setelah 12
minggu terapi, dan bila terjadi hiperlipidemia maka tatalaksana mengacu pada
guideline hiperlipidemia. Terapi dengan upadaticinib juga diasosiasikan dengan
peningkatan enzim hati dibandingkan dengan placebo.23
Keterbatasan data penggunaan upadaticinib pada wanita hamil tidak cukup
untuk mengevaluasi risiko terkait obat untuk cacat lahir atau keguguran. Berdasarkan
studi pada hewan, upadaticinib memiliki potensi pengaruh terhadap perkembangan
janin. Disarankan pada wanita masa reproduksi untuk menggunakan kontrasepsi
selama terapi dan 4 minggu setelah selesai terapi.23
29

Dari 4381 pasien yang diterapi dalam lima studi klinis fase 3, sebanyak 906
pasien AR berusia 65 tahun atau lebih, termasuk 146 pasien berusia 75 tahun dan
lebih tua. Tidak ada perbedaan efektifitas pada pasien ini dan yang lebih muda.
Namun, pada usia lanjut terdapat rata-rata efek samping yang lebih tinggi.23

3.3.7 Interaksi obat


Paparan upadaticinib meningkat ketika diberikan dengan obat-obatan inhibitor
CYP3A4. Contoh obat-obatan inhibitor CYP3A4 seperti clarithromycin,
erythromycin, diltiazem, itraconazole, ketoconazole, ritonavir, verapamil.
Upadaticinib harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang mendapatkan
pengobatan inhibitor CYP3A4 yang kuat. 23,26
Sedangkan pada pasien yang menerima pengobatan induksi CYP3A4 yang
kuat (contohnya rifampisin), maka paparan upadaticinib menurun. Contoh obat-
obatan yang menginduksi CYP3A4 adalah fenobarbital, fenitoin, rifampisin,
glukokortikoid dan St. John’s wort. Administrasi upadaticinib dengan penginduksi
CYP3A4 yang kuat tidak direkomendasikan.23,26
Penelitian SELECT-MONOTHERAPY dan SELECT-NEXT pada fase 3
studi klinis membandingkan pemberian upadaticinib sebagai monoterapi dan
upadaticinib kombinasi dengan methotrexate pada pasien yang respon inadekuat
terhadap MTX. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa kemanjuran monoterapi
upadaticinib sebanding bila diberikan dengan kombinasi MTX. 27 Pada penelitian
SELECT-NEXT dan SELECT-BEYOND, yang membandingkan kombinasi
upadaticinib+MTX dengan upadaticinib+konvensional DMARDs lainnya
menghasilkan kesimpulan bahwa kemanjuran pemberian upadaticinib+MTX
sebanding dengan upadaticinib+konvensional DMARDs lainnya.28

3.3.8 Studi klinis


Upadaticinib telah melalui fase 3 dan disetujui oleh FDA pada bulan Agustus
2019 sebagai terapi AR. Tiga fase I dan Dua fase II studi randomized placebo-
30

controlled telah dilakukan untuk menilai farmakokinetik, keamanan, dan toleransi


dari kapsul lepas menengah Upadacitinib.Studi fase I mengikutkan sampel yang sehat
dan pasien AR secara random terpapar dengan plasebo atau Upadacitinib dengan
dosis tunggal 48 mg per hari atau dosis multipel sampai dengan 2x24 mg selama 27
hari. Pasien AR disini telah mendapat pengobatan Methotrexate sekurang-kurangnya
3 bulan dengan dosis stabil 10-25 mg per minggu sekurang-kurangnya selama 4
minggu.29
Studi fase II mengenai rentang dosis dilakukan terhadap pasien AR aktif
setidaknya selama 3 bulan menerima anti-TNF-IRs dalam BALANCE I dan MTX-
IRs dalam BALANCE II. Pasien diwajibkan untuk meneruskan dosis stabil MTX dan
diperbolehkan memiliki obat NSAIDs atau dosis rendah prednisolone kurang dari 10
mg per hari. Pasien secara acak terpapar dengan upadacitinib sampai dengan dua kali
18 mg per hari atau sepadan dengan plasebo selama berminggu-minggu. Peningkatan
kriteria ACR20 sebagai titik akhir primer, gejala klinis dan fungsional sebagai titik
akhir sekunder.29,30
Dari kedua studi ini didapatkan bahwa paparan upadaticinib dengan dosis
proporsional dikarakteristikkan dengan absobsi yang cepat dan eliminasi dalam
konsentrasi plasma mencapai puncaknya dalam 1-2 jam, waktu paruh fungsional
singkat tercapai dalam waktu 3-4 jam, waktu paruh eliminasi terminal 6 sampai 16
jam. Analisis farmakokinetik menunjukkan tidak adanya korelasi signifikan yang
terdeteksi antara pembersihan upadaticinib dan CRP, tetapi hal ini diobservasi pada
pasien usia lanjut dan kapasitas metabolism yang rendah. Efek samping yang paling
sering ditemukan pada fase I adalah cephalgia dan pada fase II ditemukan infeksi
herpes zoster. Penemuan dosis terkait menurunkan sel NK, limfosit dan netrofil
terbukti dan dapat dijelaskan dengan perubahan sinyal IL-15 melalui JAK1 dan
JAK3.29-31
Upadaticinib dievaluasi melalui studi fase III SELECT program AR yang
terdiri dari enam multicenter, randomized, double-blind, danplacebo-controlled
study. Program ini diikuti lebih dari 4000 pasien dengan AR derajat sedang hingga
31

berat dan diperpanjang 5 tahun untuk membuktikan kemanjuran dan data keamanan
lebih lama. Titik akhir primer dan sekunder ditetapkan dengan beberapa variasi studi
untuk menilai klinis dan kemanjuran fungsional dari upadaticinib. Penelitian
mengenai upadaticinib dapat dilihat dalam tabel 4.

Tabel 4. Studi klinis fase III upadaticinib23


BAB IV
SIMPULAN

Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi


sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Beberapa jalur
tranduksi sinyal telah dinyatakan terlibat dalam progresifitas AR. Aktivasi sitokin
proinflamasi dari JAK/STAT dan activator transkripsi sinyal jalur transduksi penting
dalam patogenesis dan progresifitas AR. Pada AR terjadi aktivasi sinyal JAK/STAT
terus menerus pada sendi synovial sehingga menghasilkan peningkatan ekspresi gen
matriks metalloproteinase, peningkatan frekuensi apoptosis kondrosit dan yang paling
jelas terjadinya resistensi apoptosis pada jaringan synovial yang
terinflamasi.Sehingga penghambatan sinyal janus kinase sebagai target terapi AR.
Janus kinase inhibitor merupakantargeted synthetic DMARDs (tsDMARDs)
adalah terapi terkini dalam tatalaksana AR.Upadaticinib (ABT-494) adalah agen oral
yang secara selektif menghambat JAK1. Penghambatan selektif JAK1 mengurangi
efek samping yang ditimbulkan, dan menghambat sitokin-sitokin proinflamasi yang
melalui jalur JAK1 berperanan terhadap patogenesis AR.
Upadaticinib yang telah disetujui oleh FDA ini menghasilkan perbaikan
bermakna pada fungsional, simptomatik pasien AR derajat sedang sampai berat, yang
tidak respon terhadap MTX. Pemberian Upadaticinib dapat sebagai monoterapi,
maupun kombinasi dengan MTX dan non biologis DMARDs lainnya.

32

Anda mungkin juga menyukai