Anda di halaman 1dari 8

2.1.

6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis dari Rheumatoid arthritis dengan anamnesis dan pemeriksaan yang dikorelasikan
dengan data laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Karakteristik pasien, termasuk umur, jenis
kelamin dan etnis, sangat penting, karena hal tersebut berhubungan dengan resiko dan tingkat
keberatan dari penyakit (Kent and Matteson, 2004)
1) Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada pasien dengan Rheumatoid arthritis adalah penilaian standar untuk
peradangan pada sendi, kelemahan dan keterbatasan gerak. Selain itu, pada pemeriksaan fisis
juga menunjukkan adanya gejala-gejala ekstra-artikular seperti skleritis, nodul-nodul, efusi
pleura, splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas bawah (Kent and Matteson, 2004). Pada
Rheumatoid arthritis yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan deformitas boutonnierre
dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs (DIP) dan fleksi pada sendi proksimal
interfalangs (PIP). Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu
deformitas swan-neck (leher angsa), dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan fleksi
dari sendi DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk
menggantinya dengan protesa silikon (Mettler, 2004).

Gambar 2 : Gambaran skematik dari deformitas swan-neck dan deformitas boutonniere, sering
telihat pada Rheumatoid arthritis lanjut.
2) Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis Rheumatoid
arthritis. Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
Rheumatoid arthritis. Sekitar 85% pasien Rheumatoid arthritis memiliki autoantibodi di dalam
serumnya yang dikenal sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah imunoglobulin M
(IgM) yang beraksi terhadap perubahan imunoglobulin G (IgG). Keberadaan dari faktor
reumatoid bukan merupakan hal yang spesifik pada penderita Rheumatoid arthritis. Faktor
reumatoid ditemukan sekitar 5% pada serum orang normal, insiden ini meningkat dengan
pertambahan usia, sebanyak 10- 20% pada orang normal usia diatas 65 tahun positif memiliki
faktro rheumatoid dalam titer yang rendah.
Laju endap darah (LED) adalah suatu indeks peradangan yang tidak spesifik. Pasien
dengan Rheumatoid arthritis nilainya dapat tinggi (100 mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini
berarti bahwa LED dapat dipakai untuk memantau aktivitas penyakit (Carter, 2004).
Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita dengan artritis rematoid
yang aktif melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia ini tidak berespon pada
pengobatan anemia yang biasa dan dapat membuat seseorang merasa kelelahan (Lipsky, 2005).
Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi, walaupun tidak ada
satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk Rheumatoid arthritis. Cairan sinovial
biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan
konsentrasi glukosa yang mengalami sedikit penurunan atau normal. Hitung sel leukosit (WBC)
meningkat mencapai 2000/μL dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan
karakteristik peradangan pada artritis, walaupun demikian, temuan ini tidak mendiagnosis
Rheumatoid arthritis (Lipsky, 2005).

3) Pemeriksaan Radiologi
a) Foto Polos
Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan
radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelah sendi mengalami kerusakan
yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga
dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan
ini biasanya irreversibel (Carter, 2004).

Gambar 3 : Artritis erosif yang mengenai tulang karpal dan sendi metakarpofalangs

Gambar 4: A. Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B. Erosi komplit pada pergelangan
tangan
Gambar 5: C. Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D. Nodul subkutaneus multipel pada tangan

Tanda pada foto polos awal dari Rheumatoid arthritis adalah peradangan periartikular
jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik
sinovial. Nodul rheumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas
permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun
adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini
berkembang sekitar 20% pada penderita Rheumatoid arthritis dan tidak terjadi pada penyakit
lain, sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis.

b) CT Scan
Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam mendiagnosis
Rheumatoid arthritis. Walaupun demikian, CT scan berguna dalam memperlihatkan patologi dari
tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yang sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari
foto polos dan MRI (Tsou, 2011).
CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki kerugian dalam
hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikan letak destruksi tulang dan
stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada pengaturan pre-operatif atau pada tulang
belakang.
c) Ultrasonografi (USG)
Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi digunakan
untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada Rheumatoid arthritis. Efusi dari sendi adalah
hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada sinovium lebih ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid
terlihat sebagai cairan yang memenuhi area kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang
dapat terlihat sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari arthritis reumatoid,
seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat divisualisasikan dengan menggunakan
ultrasonografi. Hal ini sangat berguna pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi
karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinya yang tidak rata dan
lokasinya yang dalam.
Sonografi telah digunakan dalam mendiagnosis Rheumatoid arthritis dengan tujuan
meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi konvensional. Ultrasonografi, terkhusus
dengan menambahkan amplitude color doppler (ACD) Imaging, juga menyediakan informasi
klinis yang berguna untuk dugaan Rheumatoid arthritis. ACD imaging telah diaplikasikan untuk
Rheumatoid arthritis dengan tujuan mengevaluasi manifestasi dari hiperemia pada peradangan
jaringan sendi. Hiperemia sinovial merupakan ciri patofisiologi yang fundamental untuk
Rheumatoid arthritis (Tsou, 2011).

d) MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang baik dengan
penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakan kartilago, dan erosi tulang-
tulang yang dihubungkan dengan Rheumatoid arthritis (Tsou, 2011).
Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama pada Rheumatoid
arthritis. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas MRI dalam mendeteksi erosi dan
sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk perubahan edema tulang, hal itu menandakan bahwa
MRI merupakan penolong untuk mendiagnosis awal penyakit Rheumatoid arthritis. MRI juga
memberikan gambaran yang berbeda pada abnormalitas dari Rheumatoid arthritis, sebagai
contoh, erosi tulang, edema tulang, sinovitis, dan tenosinovitis (Wakefield, 2004).
2.1.7 PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi dari Rheumatoid arthritis adalah (1) mengurangi nyeri, (2) mengurangi
inflamasi, (3) menjaga struktur persendian, (4) mempertahankan fungsi sendi, dan (5)
mengontrol perkembangan sistemik. Adapun penatalaksanaan dari Rheumatoid arthritis adalah
sebagai berikut:
1) Obat-obatan
a. Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID)
Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi proses produksi
mediator peradangan. Tepatnya, obat ini menghambat sintetase prostaglandin atau
siklooksigenase. Enzim-enzim ini mengubah asam lemak sistemik andogen, yaitu asam
arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat
standar yang sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin. Selain aspirin, NSAID
yang lain juga dapat menyembuhkan Rheumatoid arthritis. Produksi dari prostaglandin,
prostasiklin, dan tromboksan ini memberikan efek analgesik, anti-inflamasi, dan antipiretik.
b. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD)
Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas, D-penicilamine,
antimalaria, dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki kesamaan kimia dan farmakologis, pada
prakteknya, obat-obat ini memberikan beberapa karakteristik (Lipsky, 2005). Pemberian obat ini
baru menjadi indikasi apabila NSAID tidak dapat mengendalikan Rheumatoid arthritis. Beberapa
obat-obatan yang telah disebutkan sebelumnya tidak disetujui oleh U.S Food and Drugs
Administration untuk dipakai sebagai obat Rheumatoid arthritis. Tujuan pengobatan dengan
obat-obat kerja lambat ini adalah untuk mengendalikan manifestasi klinis dan menghentikan atau
memperlambat kemajuan penyakit.
c. Terapi glukokortikoid
Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi simptomatik pada
penderita Rheumatoid arthritis. Prednison dosis rendah (7,5 mg/hari) telah menjadi terapi
suportif yang berguna untuk mengontrol gejala. Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru
mengatakan bahwa terapi glukokortikoid dosis rendah dapat memperlambat progresifitas erosi
tulang (Lipsky, 2005)
2) Operasi
Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita Rheumatoid arthritis
dengan kerusakan sendi yang parah. Meskipun artroplasti dan penggantian total sendi dapat
dilakukan pada beberapa sendi, prosedur yang paling sukses adalah operasi pada pinggul, lutut,
dan bahu. Tujuan realistik dari prosedur ini adalah mengurangi nyeri dan mengurangi disabilitas
(Lipsky, 2005).

2.1.1 Gambaran klinis


Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada seseorang artritis
reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat bersamaan oleh
karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan
demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di tangan,
namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal. Hampir semua
sendi diartrodial dapat diserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam; dapat bersifat generalisata tetapi
terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi
pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan
selalu berkurang dari satu jam.
4. Artritis erosif; merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tei tulang.
5. Deformitas; Kerusakan jaringan penungjang sendi meningkatdengan pejalanan
penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metekarpofalangeal,
deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan
yangsering dijumpai. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metersal yang
timbul sekunder dari subluksasi metetersal. Sendi-sendi yang besar juga dapa
teserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam
melakukan gerakan ekstensi.
6. Nodul-nodul reumatoid: adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar
sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering dari
deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di sepanjang permukaan
ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul
pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu
petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi dekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerangorgan-
organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan
pembuluh darah dapat rusak.

Gambar 1 : Tangan reumatoid dengan boutonniere dan deformitas leher angsa.


Terlihat poliartritis pada sendi tangan. Diantara perubahan deformitas yang berat
terdapat otot yang tidak digunakan dalam “snuffbox” anatomik (antara ibu jari dan
jari telunjuk).

Anda mungkin juga menyukai