Anda di halaman 1dari 12

Rheumatoid Arthritis yang Menyebabkan Nyeri Sendi

Elrana Kersin Palebangi


102017028/A3
Mahasiswi Universitas Kristen Krida Wacana
Elranakerstin97@gmail.com

Abstrak
Arthritis Rheumatoid merupakan penyakit autoimun dengan hipersensitivitas tipe 3.
Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Arthritis Rheumatoid terjadi lebih banyak pada
wanita dibanding dengan pria dengan perbandingan 1:3. Untuk mengetahui apakah seorang
terkena Arthritis Rheumatoid dapat dilakukan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan
penunjang (rheumatoid factor, anti-CCP, laju endap darah, dan uji hitung darah lengkap).
Arthritis Rheumatoid memiliki ciri khas yaitu kaku pagi hari kurang lebih 1 jam. Arthritis
Rheumatoid bisa diobati dengan menggunakan DMARD untuk menurunkan progresif
penyakit pada Arthritis Rheumatoid atau NSAID untuk menghilangkan inflamasi pada
Arthritis Rheumatoid tersebut.

Kata Kunci : Arthritis rheumatoid, DMARD, NSAID

Abstract

Rheumatoid arthritis is an autoimmune disease with type 3 hypersensitivity. The cause is not
yet known with certainty. Rheumatoid arthritis occurs more in women than in men with a
ratio of 1: 3. To find out if a person is affected by Rheumatoid Arthritis can be carried out
physical examination and supporting examination (rheumatoid factor, anti-CCP, blood
sedimentation rate, and complete blood count test). Rheumatoid arthritis has a characteristic
that is morning stiffness of approximately 1 hour. Rheumatoid arthritis can be treated by
using DMARD to reduce the progressive disease in Rheumatoid Arthritis or NSAIDs to
eliminate inflammation in the Rheumatoid Arthritis.

Keywords: Rheumatoid arthritis, DMARD, NSAID

1
Pendahuluan

Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan makin meningkatnya
usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut pada semua organ
dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak pula pada semua sistem muskuloskeletal
dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan
reumatik. Salah satunya adalah atritis rheumatoid. Dengan adanya tinjauan pustaka in
diharapkan mahasiswa mampu mengetahui gangguan musculoskeletal seperti arthritis
rheumatoid, dapat menentukan diagnosis yang tepat, serta melakukan pemeriksaan dan
pelaksanaan yang baik dan tepat.

Isi

Anamnesis

Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pasien akan lebih baik melakukan anamnesis
terlebih dahulu. Sesuai pada kasus anamnesis dilakukan pada seorang perempuan. Perempuan
tersebut berusia 21 tahun sehingga dapat dilakukan autoanamnesis pada perempuan tersebut.
Mempunyai keluhan utama berupa nyeri pada jari-jari tangan, dan pergelangan tangan pada
tangan kanan dan kiri sejak 4 bulan ini. Kemudian diketahui bahwa riwayat penyakit keluarga
berupa sang ibu juga sering mengeluh nyeri sendi terurama pada lutut kirinya.

Pemeriksaan

Pemeriksaan dilakukan agar dapat menentukan diagnosis yang tepat. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada arthritis rheumatoid adalah mengetahui keadaan
tubuh pasien dan tanda-tanda vital pada pasien. Mengetahui pasien sakit ringan atau berat.
Kemudian lakukan inspeksi pada semua sendi apakah ada bengkak, nyeri tekan pada palpasi,
eritema, penebalan synovial, efusi sendi, kisaran gerak berkurang, ankilosis (kekakuan sendi),
subluksasi, deformitas.1
Pada pemeriksaan fisik diketahui berat badan 48 kg tinggi badan158 cm pasien sakit ringan
kesadaran compos mentis dengan tekanan darah 110/80 mmhg, nadi 80x/menit, respiratory
rate didapat 18x/menit, suhu tubuh 36,9oC. Status lokasi terdapat pada bagian Proximal

2
Interphalang (PIP) 2 sampai 4, dan Metacarpal (MCP) 2 sampai 4 terdapat tanda inflamasi
dan nyeri pada PIP dan MCP 2 sampai 4.1
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada tes diagnostic tunggal yang definitive untuk konfirmasi diagnosis arthritis
rheumatoid. The American College of Rheumatology Subcommittee on Rheumatoid
Arthritis(ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk evaluasi
antara lain pemeriksaan darah perifer lengkap (complete blood cell count), faktor rheumatoid
(RF), Laju endap darah atau C-reactive protein (CRP).2 Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal
juga direkomendasikan karena akan membantu dalam pemilihan terapi.
Pada C-reactive protein (CRP) umumnya meningkat sampai > 0,7 picogram/mL, bisa
digunakan untuk monitor perjalanan penyakit. Laju endap darah (LED) ditemukan sering
meningkat >30 mm/jam, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit. Kemudian
pemeriksaan hemoglobin/hematokrit sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10g/dL, anmia
normokronik, mungkin juga normositik atau mikrositik. Serta didapatkan pula jumlah
leukosit mungkin meningkat, jumlah trombosit biasanya meningkat, fungsi hati normal atau
alkali fosfatase sedikit meningkat. Pada faktor rheumatoid (RF) hasilnya negatif pada 30%
penderita arthritis rheumatoid stadium dini. Jika pemeriksaan awal negative dapat diulang
setelah 6-12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikn hasil positif pada beberapa penyakit
seperti SLE, scleroderma, sindrom Sjogren’s, penyakit keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus,
parasit, atau bakteri). Tidak akurat untuk penilaian perburukan penyakit.
Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang bisa digunakan untuk menilai penderita arthritis
rheumatoid antara lain foto polos (plain radiograph) dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging).2 Pada foto polos sendi mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi
dekat celah sendi pada stadium dini penyakit. Foto pergelangan tangan dan kaki penting
untuk data dasar sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya. Osteopenia juxtaarticular
adalah karakteristik untuk arthritis rheumatoid dan chronic inflammatory arthritides lainnya.
Sedangkan MRI mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto
polos, tampilan struktur lebih rinci.
Selain itu ada pemeriksaan penunjang lainnnya yang juga dapat membantu diagnosis yaitu
Anticyclic Citrullinated peptide antibody (anti-CCP), anti-RA33, Imunoglobulin (Ig),
pemeriksaan cairan sendi. Anticyclic Citrullinated peptide antibody (anti-CCP) merupakan
permeriksaan yang berkolerasi dengan perburukan penyakit, sesitivitasnya meningat bila
dikombinasi dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibadingkan RF tetapi tidak semua
laboratorium mempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP. Kemudian Anti-RA33 merupakan
3
pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP negatif untuk membedakan penderita arthritis
rheumatoid yang mempunyai resiko tinggi mengalami prognosis yang buruk. Sedangkan
immunoglobulin (Ig) berupa Ig α-1 dan α-2 ingkin meningkat.2

Diagnosis

Seperti yang telah kita ketahui diagnosis terbag menjadi diagnosis kerja (working diagnosis)
dan diangnosis banding (differential diagnosis). Diagnosis kerja pada kasus ini yaitu
rheumatoid arthritis. Sedangkan diagnosis banding berupa osteoarthritis, pirai/gout,
psedougout, SLE, septic arthritis.

Diagnosis Kerja

Arthritis rheumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik
dan progresif, dimana sendi merupakan target utamanya.2,3 Arthritis rheumatoid terjadi
antara usia 30-50 tahun dengan puncak insiden antara usia 40 tahun dan 60 tahun.4
Reumatoid artritis menyerang lapisan dalam bungkus sendi (sinovium) yang mengakibatkan
radang pada pembungkus sendi. Akibat sinovitis (radang pada sinovium) yang menahun,
akan terjadi kerusakan pada tulang rawan sendi, tulang, tendon dan ligamen dalam sendi.
Peradangan sinovium menyebabkan keluarnya beberapa zat yang menggerogoti tulang rawan
sel sehingga menimbulkan kerusakan tulang dan dapat berakibat menghilangnya permukaan
sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Gejala arthritis rheumatoid Terjadi peradangan
pada sendi, terasa hangat di bagian sendi, bengkak, kemerahan dan sangat sakit. Biasanya
pada banyak sendi, simetris, sendi terasa kaku di pagi hari. Selain itu, gejala lainnya adalah
demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah, dan anemia.3

Diagnosis Banding

Osteoarthritis

Osteoarthritis merupakan penyakit arthritis yang paling sering terjadi. Sering disebut juga
degeneratif osteoarthritis atau hipertropic OA. OA merupakan radang sendi yang bersifat
kronis dan progresif disertai kerusakan tulang rawan sendi berupa integrasi (pecah) dan
perlunakan progresif permukaan sendi dengan pertumbuhan tulang rawan sendi ( osteofit) di
tepi tulang.4
Pada umumnya penderita OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama tetapi
berkembang secara perlahan-lahan. Penderita OA biasanya mengeluh pada sendi yang

4
terkena yang bertambah dengan gerakan atau waktu melakukan aktivitas dan berkurang
dengan istirahat. Selain itu juga terdapat kaku sendi dan krepitus, bentuk sendi berubah dan
gangguan fungsi sendi. Pada derajat yang lebih berat, nyeri dapat dirasakan terus menerus
sehingga sangat mengganggu mobilitas penderita.
OA sendi lutut ditandai oleh nyeri pada pergerakan yang hilang bila istirahat, kaku sendi
terutama setelah istirahat lama atau bangun tidur, krepitasi sewaktu pergerakan dan dapat
disertai sinovitis dengan atau tanpa efusi cairan sendi. Nyeri akan bertambah jika melakukan
kegiatan yang membebani lutut seperti berjalan, naik turun tangga, berdiri lama. Gangguan
tersebut mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat sehingga penderita tidak bisa
berjalan.
OA sendi lutut merupakan kelainan sendi yang mempunyai dampak terhadap kehidupan
sehari-hari penderitanya.  Walaupun belum ada pengobatan medis yang dapat menyembuhkan
dan menghentikan progresifitas OA, banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkan
nyeri, menjaga mobilitas dan meminimalkan disabilitas.
Arthritis Gout
Gout ditandai oleh meningkatnya kadar asam urat plasma dengan serangan artritis berulang.
Kelainan ini disebabkan oleh kelainan metabolisme bawaan dan secara dominan menyerang
laki-laki.5
Secara umum, gejala penyakit gout adalah sendi yang membengkak dan nyeri biasanya pada
sendi metatarsofalang (MTP) pertama dan hiperurisemia asimptomatik. Perubahan radiologi
terjadi setelah bertahun-tahun timbulnya gejala. Terdapat predileksi pada sendi MTP pertama,
walaupun pergelangan kaki, lutut, suku, dan sendi lainnya juga terlibat. Film polos dapat
memperlihatkan efusi dan pembengkakan sendi; erosi yang cenderung menimbulkan
penampakan punched out yang berada terpisah dari permukaan artikular; densitas tulang
tidak mengalami perubahan; dan ditemukan tofi yang mengandung natrium urat dan
terdeposit pada tulang, jaringan lunak, dan sekitar sendi.Gout dapat merusak ginjal sehingga
dapat ditemukan batu ginjal pada pemeriksaan radiologi.

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya
inflamasi tersebar luas yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Gambaran
klinis SLE dapat membingungkan, terutama pada awalnya. Gejala yang paling sering adalah
artritis simetris atau atralgia. Nodul subkutan juga jarang ditemukan pada penyakit SLE.3

5
Gejala berupa adalah demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat badan yang biasanya
timbul pada awal penyakit dan dapat berulang dalam perjalanan penyakit ini. Manifestasi
kulit mencakup ruam eritematosa yang dapat timbul di wajah, leher, ekstremitas, atau pada
tubuh. Dapat timbul alopesia yang dapat menjadi berat. Juga dapat terjadi ulserasi pada
mukosa mulut dan nasofaring. Pleuritis dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari
SLE. SLE juga dapat menyebabkan karditis yang mehyerang miokardium, endokardium, atau
perikardium.
Fenomena Raynaud timbul pada sekitar 40% pasien. Vaskulitis dapat menyerang semua
ukuran arteria dan vena. Kira-kira 65% padien SLE akan mengalami gangguan pada
ginjalnya. SLE juga dapat menyerang sistem saraf pusat maupun perifer. Gangguan
reumatologik lain dapat meyebabkan ANA menjadi postif, namun anti-dsDNA dan anti-Sm
jarang ditemukan kecuali pada SLE. Antibodi dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE.
Laju endap darah pada pasien SLE biasanya meningkat, merupakan uji nospesifik untuk
mengukur peradangan dan tikda berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit.
Uji laboratorium yang kadang masih dipakai sampai sekarang adalah uji faktor LE. Sel LE
dapat juga ditemukan pada gangguan sistemik lain dari penyakit golongan reumatik yang
juga diperantarai oleh imunitas. Urin diperiksa untuk mengaetahui adanya protein, leukosit,
eritrosit, dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya kompliksi ginjal dan untuk
pemantauan perkembangan penyakit.
Septic Arthritis
Infeksi bakteri piogenik (penghasil nanah) akut pada sendi yang jika tidak segera ditangani
dapat berlanjut menjadi kerusakan pada sendi.3 Gejala klinis yang tampak pada bayi berbeda
dengan pada anak-anak dan dewasa. Dapat ditemukan kekakuan pada sendi yang terkena,
nyeri pada pergerakan sendi, dapat terjadi demam, namun gejala ini bukan patokan utama,
dapat terjadi dislokasi patologik pada sendi pada minggu kedua. Sedangkan pada anak-anak
dan orang dewasa dapat memberitahu lokasi terjadinya sakit dan nyeri yang timbul saat
pergerakkan. Karena sendi sakit, maka tubuh secara otomatis berusaha untuk melindunginya
dengan mengontraksikan otot-otot disekitar sendi. Kekakuan sendi jelas terlihat, adanya
demam,subluksasi lebih sering terjadi daripada dislokasi. Bakteri yang paling sering
menyebabkan terjadinya penyakit ini adalah Stafilokokus aureus. Bakteri lain yang dapat
menyebabkan terjadinya penyakit ini adalah golongan Streptokokus, Pneumokokus, dan
Salmonella.. Faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya penyakit ini adalah HIV,
AIDS, dan penggunaan terapi adenokortikosteroid jangka panjang secara intravena.

6
Working Diagnosis
Rheumatoid Arthritis

Gangguan inflamasi kronis yang memengaruhi banyak sendi, termasuk di tangan dan kaki.
Pada radang sendi, sistem kekebalan tubuh menyerang jaringannya sendiri, termasuk sendi.
Dalam kasus yang parah, penyakit ini menyerang organ internal. Rheumatoid artritis
mempengaruhi lapisan sendi, menyebabkan pembengkakan yang menyakitkan. Dalam jangka
waktu yang lama, peradangan yang terkait dengan rheumatoid artritis dapat menyebabkan
erosi tulang dan deformitas sendi. Meskipun tidak ada obat untuk artritis reumatoid,
fisioterapi dan pengobatan dapat membantu memperlambat perkembangan penyakit. Pada
umumnya, penyakit ini dapat ditangani dengan kelas obat yang disebut obat antirematik
(DMARDS).

Etiologi

Seperti yang telah dibahas arthritis rheumatoid adalah penyakit autoimun yang terjadi pada
individu rentan setelah respon imun terhadap agen pemicu yang tidak diketahui, selain itu
dapat juga disebabkan faktor genetik, hormone seks, faktor infeksi.3 Agen pemicunya adalah
bakteri, mikroplasma, atau virus yang menginfekssi sendi atau mirip secara antigenik.
Biasanya respon antibody awal terhadap mikroorganisme diperantarai oleh IgG. Walaupun
respon ini berhasil menghancurkan mikroorganisme, individu yang mengalami arthritis
rheumatoid mulai membentuk antibody lain, biasanya IgM atau IgG terhadap antibody IgG
awal. Antibodi yang ditujukan ke komponen tubuh sendiri disebut faktor rheumatoid
(rheumatoid factor, RF). RF menetap di kapsul sendi sehingga menyebabkan inflamasi kronis
dan kerusakan jaringan. Arthritis rheumatoid diperkirakan terjadi karena predisposisi genetic
terhadap penyakit autoimun. Wanita lebih sering terkena daripada pria. Ada bukti kuat bahwa
berbagai sitokin, terutama faktor nekrsis tumor alfa (tumor necrosis factor alpha, TNF-α)
menyebabkan siklus inflamasi dan kerusakan sendi.

Epidemiologi

Pada kebanyakan populasi di dunia prevalensi arthritis rheumatoid relative konstan yaitu
berkisar antara 0,5-1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chipewwa
Indian masing-masing berkisar 5,3% dan 6,8%. 8 Prevalensi arthritis rheumatoid di India dan
di Negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan
Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik di daerah urban maupun rural.

7
Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi arthritis rheumatoid
sebesar 0,2% di daerah rural dan 0.3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan
di Malang pada penduduk berusia di atas 40 tahun mendapatkan prevalensi sebesar 0,5% di
daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten. Di poliklinik Reumatlogi RSUPN Cipto
Mangunkusuo Jakarta, kasus baru arthritis rheumatoid merupakan 4,1% dari kasus baru tahun
2000 dan pada periode januari s/d juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus arthritis
rheumatoid dari jumlah kunjugngan sebanyak 1346 orang (15,1%). Prevalensi arthritis
rheumatoid lebih banyak ditentukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan
rasio 3:1 dan dapat terjadi di semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi
didapatkan pada dekade keempat dan kelima.

Patofisiologi

Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid dimulai dari proliferasi makrofag dan fibrioblas
synovial setelah adanya faktor pencetus berupa autoimun atau infeksi.2,3 Limfosit
menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel yang selanjutnya
terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh
bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang irregular pada jaringan
synovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan panus. Panus menginvasi
dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase, dan
faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi
sistemik.

Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain menjaga berat badan. Merupakan faktor yang
penting agar bobot yang ditanggung oleh sendi menjadi ringan. Melakukan jenis olahraga
yang tidak banyak menggunakan persendian atau yang menyebabkan terjadinya perlukaan
sendi. Contohnya berenang dan olahraga yang bisa dilakukan sambil duduk dan tiduran.
Aktivitas olahraga hendaknya disesuaikan dengan umur. Jangan memaksa untuk melakukan
olahraga porsi berat pada usia lanjut. Tidak melakukan aktivitas gerak pun sangat tidak
dianjurkan. Meminum obat-obatan suplemen sendi (atas anjuran dokter). Mengkonsumsi
makanan sehat. Lakukan relaksasi dengan berbagai teknik. Hindari gerakan yang
meregangkan sendi jari tangan. Hal tersebut akan menyebabkan tekanan yang tidak merata

8
pada semua permukaan tulang. Selain itu penyuluhan untuk pemeliharaan kesehatan juga
diperlukan untuk mencegah terjadinya arthritis rheumatoid.7

Prognosis

Prediktor prognosis buruk pada stadium dini arthritis rheumatoid antara lain skor fungsional
yang rendah, status sosialekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga
menderita arthritis rheumatoid, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat
permulaan penyakit, RF atau anti-CCP positif, ada perubahan radiologis di awal penyakit,
ada nodul rheumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya. Sebanyak 30% penderita arthritis
rheumatoid dengan manisfestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20
walaupun sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita penyakit lebih ringan
memberikan respon yang baik dengan terapi.2,6

Komplikasi

Komplikasi pada arthritis rheumatoid adalah anemia, kanker, komplikasi kardiak, penyakit
tulang belakang, gangguan mata, peningkatan infeksi, deformitas sendi tangan, deformitas
sendi lainnya, komplikasi pernafasan, nodul rheumatoid, dan vaskulitis.2
Komlikasi anemia pada arthritis rheumatoid berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit.
Dimana 75% pendertia arthritis rheumatoid mengalami anemia karena penyakit kronik dan
25% penderita tersebut memberikan repon terhadap terapi besi.2 Kanker dapat terjadi munkin
akibat sekunder dari terapi yang diberikan. Kejadian limfoma dan leukemia 2-3 kali lebih
sering terjadi pada penderita arthritis rheumatoid dan peningkatan risiko terjadinya tumor
solid. Penurunan resiko kanker genitourinaria, diperkirakan karena penggunaan OAINS.2
Komplikasi kardiak diderita 1/3 penderita arthritis rheumatoid dan mungkin mengalami efusi
pericardial asimptomatik saat diagnosis ditetapkan, miokarditis bisa terjadi, baik dengan atau
tanpa gejala. Penyakit tulang belakang leher (cervical spine disease) seperti penyempitan
celah sendi pada foto servikal lateral, myelopatibisa terjadi ditandai oleh kelemahan bertahap
pada ekstremitas atas parastesia.2
Kemudian peningkatan infeksi merupakan efek terapi dari arthritis rheumatoid. Deformitas
sendi tangan yaitu terjadi deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal, deformitas
boutonniere (fleksi PIP dan hiperekstensi DIP), deformitas swan neck (kebalikan dari
deformitas boutonniere), hipersekstensi dari ibu jari dan peningkatan resiko rupture tendon.
Deformitas sendi lainnya dapat ditemukan antara lain frozon shoulder, kista popliteal,
sindrom terowongan karpal dan tarsal.2

9
Komplikasi pernafasan dapat terjadi seperti nodul paru dapat bersamaan dengan kanker dan
pembentukan lesi kavitas. Bisa ditemukan perwadangan pada send cicroarytenoid dengan
gejaal suara serak dan nyeri pada laring, pleuritis ditemukan pada 20% penderita.2
Nodul rheumatoid ditemukan pada 20-30% penderita arthritis rheumatoid, biasanya
ditemukan pada permukaan ekstensor ekstremitas atau daerah penekanan lainnya tetapi bisa
juga ditemukan pada daerah skelera, pita suara atu vertebra. Selain itu komplikasi berupa
vaskulitis dapat terjadi berupa arteritis distal, perikarditis, neurpati perifer, lesi kutaneus,
arteritis organ vicera, dan arteritis koroner. Terjadi peningkatan resiko pada penderita
perempuan, titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam
DMARD, berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya infark miokard.2

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan atau terapi yang dilakukan dapat berupa terapi farmakologi dan non
farmakologi.

Terapi Farmakologi
Belum ada penyembuhan untuk arthritis rheumatoid. Penyakit biasanya berlangsung seumur
hidup, sehingga memerlukan penanganan seumur hidup pula. Walaupun hingga kini belum
berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan arthritis rheumatoid yang
sempurna, saat ini pengobatan pasa pasien arthritis rheumatoid ditujukan untuk
menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik, mencegah terjadinya
destruksi jaringan, mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar
tetap dalam keadaan baik, dan mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang
terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.
Dalam pengobatan arthritis rheumatoid umumnya selau dibutuhkan pendekatan
multidisipliner. Suatu tim yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli
terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya
memiliki peranan masing-masing dalam pengelolaan pasien arthritis rheumatoid baik dalam
bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan penyakit ini. Beberapa jenis obat yang
digunakan pada arthritis rheumatoid yaitu Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS),
kortikosteroid, Desease Modifing Anti Rheumatoid Drugs (DMARDs), obat imunosupresif,
dan suplemen antiokdsidan.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) obat ini diberikan sejak mulai sakit untuk
mengatasi nyeri sendi akibat proses peradangan. Golongan obat ini tidak dapat melindungi

10
rawan sendi maupun tulang dari proses kerusakan akibat penyakit arthritis rheumatoid.
Contoh obat golongan ini yaitu Asetosal, Ibuprofen, Natrium Diclofenak, Indometasin, Asam
flufenamat, Piroksikam, Fenilbutason, dan Naftilakanon.
Kortikosteroid obat ini berkhasiat sebagai anti radang dan penekan reaksi imun
(imunosupresif), tetapi tidak bisa mengubah perkembangan penyakit arthritis rheumatoid.
Kortikosteroid bisa digunakan secara sistemik (tablet, suntikan IM) maupun suntikan lokal di
persendian yang sakit sehingga rasa nyeri dan pembengkakan hilang secara cepat.
Pengobatan kortikosteroid sistemik jangka panjang hanya diberikan kepada penderita dengan
komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti radang pembuluh darah (vaskulitis). Desease
Modifing Anti Rheumatoid Drugs (DMARDs) obat pengubah perjalanan penyakit. Bila
diagnosis arthritis rheumatoid telah ditegakkan, obat golongan ini harus segera diberikan.
Beberapa ahli bahkan menganjurkan pemberian DMARDs, baik sebagai obat tunggal
maupun kombinasi dengan DMARDs lain pada tahap dini, baru kemudian dikurangi secara
bertahap bila aktivitas arthritis rheumatoid telah terkontrol. Bila penggunaan satu jenis
DMARDs dengan dosis adekuat selama 3-6 bulan tidak menampakkan hasil, segera hentikan
atau dikombinasi dengan DMARDs yang lain. Contoh obat golongan ini yaitu Klorokuin,
Hidroksiklorokuin, Sulfazalazine, D- penisilamin, Garam Emas (Auro Sodium Thiomalate,
AST), Methothexate, Cyclosporin-A dan Lefonomide.
Obat imunosupresif, Obat ini jarang digunakan karena efek samping jangka panjang yang
berat seperti timbulnya penyakit kanker, toksik pada ginjal dan hati. Kemudian suplemen
antiokdsidan, Vitamin dan mineral yang berkhasiat antioksidan dapat diberikan sebagai
suplemen pengobatan seperti beta karoten, vitamin C, vitamin E, dan selenium.
Terapi Non Farmakologi
Ada beberapa cara dalam penanganan arthritis rheumatoid non farmakologi. Beberapa cara
tersebut yaitu olahraga dapat mengurangi rasa sakit dan dapat membantu mengontrol berat
badan seperti yoga dan tai chi, menjaga sendi menggunakan sendi dengan hati – hati. Dapat
menghindari kelebihan stress pada sendi, panas / dingin panas didapat, misalnya dengan
mandi air panas. Panas dapat mengurangi rasa sakit pada sendi dan melancarkan peredaran
darah.Dingin dapat mengurangi pembengkakan pada sendi dan mengurangi rasa sakit. Dapat
didapat dengan mengompres daerah yang sakit dengan air dingin. Pembedahan dilakukakan
apabila sendi sudah benar-benar rusak dan rasa sakit sudah terlalu kuat, akan dilakukan
pembedahan. Dengan pembedahan, dapat memperbaiki bagian dari tulang seperti
tenosinovektomi, tendon repair dan joint replacement. Akupuntur dapat mengurangi rasa

11
sakit dan merangsang fungsi sendi serta pijat dimana pemijatan sebaiknya dilakukan oleh
orang yang ahli di bidangnya.

Kesimpulan

Pada skenario ini, pasien menderita arthritis rheumatoid yaitu penyakit autoimun yang
ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target
utamanya. Penanganan yang tepat bagi penyakit ini yaitu terapi farmakologi berupa Obat
Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), kortikosteroid, obat imunosupresif, dan suplemen
antiokdsidan serta non farmakologi berupa olahraga, menghindari kelebihan stress pada
sendi, pembedahan, akupuntur dan pijat. Prognosis baik jika penderita penyakit ringan
memberikan respon yang baik terhadap terapi.

Daftar Pustaka

1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;


2007.h.191.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid III. Jakarta: InternaPublishing; 2009.h.2495-509.
3. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Ed. 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2007.h.347-9.
4. Baughman DC, Hackley JC. Keperawatan medikal-bedah: buku saku dari brunner &
suddarth. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004.h.49.
5. Sustrani L, Alam S, Hadibroto I. Asam urat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama;
2007.h.21.
6. Patrick D. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Buku EGC; 2011.h.384.
7. Suratum, Heryati, Manurung S, Raenah E. Klien gangguan sistem musculoskeletal: seri
asuhan keperwatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.113.
8. Silman AJ, Pearson JE. Epidemiology and genetic of rheumatoid arthritis. Arthritis Res
2002; (2):S265-S272.

12

Anda mungkin juga menyukai