Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN

GANGGUAN SISTEM SARAF PUSAT DENGAN KASUS RABIES


MATA KULIAH KMB III

KELAS B11-A
OLEH
KELOMPOK 4
?
?
/
?
?

JURUSAN KEPERAWATAN NON REGULER


STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI
2019
KATA PENGHANTAR

“Om Swastyastu”
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa
atas berkat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Saraf Pusat
Dengan Kasus Rabies ” pada mata kuliah KMB III di Stikes Wira Medika Bali ini tepat pada
waktunya.
Makalah ini telah kami susun berkat bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak sehingga
dapat terselesaikan. Untuk itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu selama penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan
kemampuan penulis, sehingga masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca, sehingga kami dapat
menyempurnakan makalah ini untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan agar bisa lebih baik
lagi.
“Om Santih, Santih, Santih, Om”

Denpasar, 10 April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGHANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan...............................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................4
2.1. Pengertian Virus Rabies....................................................................................................4
2.2. Patogenesis Virus Rabies Terhadap Sistem Saraf Pusat....................................................5
2.3. Cara Penularan Rabies......................................................................................................5
2.4. Masa Inkubasi Virus Rabies..............................................................................................6
2.5. Tanda Dan Gejala Rabies..................................................................................................6
2.6. Diagnosis Rabies...............................................................................................................9
2.7. Upaya Pencegahan Rabies..............................................................................................10
2.8. Penatalaksanaan Terkena Gigitan Hewan Dengan Rabies..............................................11
2.9. Vaksin Rabies..................................................................................................................13
2.10. Asuhan Keperawatan Dengan Kasus Rabies...............................................................15
BAB III..........................................................................................................................................16
SIMPULAN DAN SARAN...........................................................................................................16
3.1. SIMPULAN....................................................................................................................16
3.2. SARAN...........................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit Rabies adalah suatu ensefalomielitis akut yang disebabkan oleh virus yang
tergolong Rhabdovirus. Virus rabies termasuk jenis virus neurotropik yang dapat
berkembang biak pada jaringan saraf. Penularan kepada manusia terjadi melalui gigitan
anjing yang mengandung virus rabies. Gigitan kucing, kera dan kelelawar dapat pula
menularkan virus rabies tersebut. Penyakit ini bila sudah menunjukan gejala klinis pada
hewan atau manusia selalu diakhiri dengan kematian.
Penyakit rabies endemik di semua benua, kecuali Antartika. Namun 95% kasus
rabies dilaporkan dari benua Asia dan Afrika. Menurut World Health Organization (WHO)
rabies terjadi di 92 negara dan bahkan bersifat endemik di 72 negara. Diperkirakan 55.000
orang di dunia meninggal akibat rabies setiap tahunnya dan menurut WHO lebih dari 99%
kasus rabies pada manusia terjadi akibat dari gigitan anjing yang terinfeksi.(Kementrian
Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi Kesehatan, 2016)
Menurut WHO, anjing domestik merupakan reservoir yang paling umum dari virus
rabies, dengan lebih dari 95% kematian manusia yang disebabkan oleh anjing yang
memiliki virus rabies. Penyakit ini dikenal di Indonesia sejak diketahui dan dilaporkan
adanya seekor kerbau menderita rabies oleh Esser pada tahun 1884. Kemudian pada tahun
1894 pertama kali dilaporkan rabies pada manusia oleh E.V. de Haan. Penyakit rabies di
Indonesia masih merupakan penyakit hewan yang penting dan termasuk ke dalam penyakit
hewan menular strategis prioritas karena berdampak terhadap sosial ekonomi dan
kesehatan masyarakat. Kejadian rabies pada hewan maupun manusia hampir selalu diakhiri
dengan kematian (case fatality rate 100%) sehingga akibat penyakit ini menimbulkan rasa
takut dan kekhawatiran serta keresahan bagi masyarakat. Selain itu rabies juga
mengakibatkan kerugian secara ekonomi pada daerah tertular di antaranya biaya
penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya perawatan pasca pajanan.
(Kementrian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi Kesehatan, 2014)
Di Indonesia sebanyak 86 orang meninggal karena rabies pada tahun 2016. Saat ini
terdapat sembilan provinsi di Indonesia dinyatakan sebagai daerah bebas rabies, sedangkan
sebanyak 24 provinsi lainnya masih endemis. Dari 9 provinsi tersebut, sebanyak lima
provinsi di antaranya bebas historis (Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Papua Barat,
dan Papua), dan kemudian 4 provinsi lainnya dinyatakan bebas rabies (Jawa Tengah, DI

1
Yogyakarta, Jawa Timur, dan DKI Jakarta). Seluruh provinsi di Indonesia diminta untuk
berkomitmen dalam pengendalian dan penanggulangan rabies demi mencapai “Indonesia
Bebas Rabies 2020”. (Kementrian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi Kesehatan,
2016)
Mengingat akan bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman masyarakat
karena dampak buruknya yang selalu diakhiri kematian, maka usaha pengendalian penyakit
berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilaksanakan seintensif mungkin.
Penatalaksanaan profilaksis rabies sangat kompleks, tergantung dari epidemiologi lokal,
jenis dan sifat hewan pembawa rabies, derajat kontak dan tes diagnostik yang tersedia di
daerah tersebut.
Pemberian vaksin anti rabies (VAR) atau VAR disertai serum anti rabies (SAR)
harus berdasarkan atas tindakan tepat dengan mempertimbangkan hasil-hasil penemuan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mencakup: adanya kontak/ jilatan/gigitan,
kejadian di daerah tertular/terancam/bebas, didahului tindakan provokatif/tidak, hewan
yang menggigit menunjukkan gejala rabies, hewan yang menggigit hilang/lari dan tidak
dapat ditangkap atau dibunuh, hewan yang menggigit mati, tapi masih meragukan
menderita rabies, penderita luka gigitan pernah di VAR, hewan yang menggigit pernah di
VAR, identifikasi luka gigitan (status lokalis) serta temuan lain pada waktu observasi
hewan dan hasil pemeriksaan spesimen dari hewan.(Susilawathi & Raka Sudewi, n.d.)

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian rabies?


2. Bagaimana cara penularan rabies ?
3. Berapa lama masa inkubasi rabies ?
4. Bagaimana tanda dan gejala rabies ?
5. Bagaimana mendiagnosis rabies ?
6. Bagaimana upaya pencegahan rabies ?
7. Bagaimana penatalaksanaan terkena gigitan hewan dengan rabies ?
8. Apa saja vaksin rabies ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan dengan kasus rabies ?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian rabies


2. Untuk mengetahui masa inkubasi rabies

2
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala rabies
4. Untuk mengetahui mendiagnosa rabies
5. Untuk mengetahui upaya pencegahan rabies
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan apabila terkena gigitan hewan dengan rabies
7. Untuk mengetahui vaksin rabies
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan kasus rabies

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Virus Rabies


Rabies merupakan penyakit virus menular yang disebabkan oleh virus dari Family
Rhabdoviridae dan Genus Lyssavirus. Virus rabies mempunyai bentuk menyerupai peluru
dan tersusun atas RNA, protein, lemak, dan karbohidrat. Virus ini berukuran panjang antara
150-260 nm, lebar 100-130 nm, diameter 75 nm. Pada permukaannya terdapat bentuk-
bentuk paku (spikes) dengan ukuran panjang 9 nm. Virus rabies dapat menginfeksi hewan
berdarah panas serta manusia dan menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat. Hewan
berdarah panas yang dapat tertular rabies antara lain yaitu anjing, kucing, kelelawar
penghisap darah, rakun, dan sapi. Hewan pembawa rabies (HPR) yang paling banyak
menularkan rabies ke manusia dan hewan lainnya adalah anjing (Menezes, 2008).
Virus rabies memiliki inti yang dikelilingi oleh ribonukleoprotein yang disebut
kapsid, yang berkombinasi dengan inti membentuk nukleokapsid. Nukleokapsid dibungkus
oleh kapsomer, dan di luarnya terdapat envelope dengan spikes pada permukaannya.
Envelope mengandung lipida yang peka terhadap zat pelarut lemak (detergen, ether,
kloroform, dan aceton), ethanol 45-70%, dan iodium. (Rahmadani, 2012)

4
2.2. Patogenesis Virus Rabies Terhadap Sistem Saraf Pusat
Pada kejadian rabies di lapangan, virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui
gigitan atau luka pada otot atau jaringan subkutan, kemudian terjadi replikasi pada serabut
otot untuk menghasilkan virus dalam jumlah yang cukup sebelum menuju sistem saraf.
Virus menuju sistem saraf melalui ikatan dengan reseptor postsynaptic asethylcholine pada
neuromuscular junction. Apabila virus telah berada pada saraf tepi, virus dapat terbawa
aliran aksoplasma secara retrograde atau melalui saraf sensorik atau motoric menuju korda
spinalis atau ganglion akar dorsal, sebelum berakhir pada sistem saraf.
Saat tiba sistem saraf pusat, virus menginfeksi neuron dan dendrit kemudian terjadi
replikasi besar-besaran pada membrane neuron dan secara langsung akan menyebar dari sel
ke sel lainnya. Di sistem saraf pusat, virus mengalami pergerakan centripetal menuju sel
asinar kelenjar ludah (salivary gland) dengan konsentrasi virus tertinggi pada kelenjar
mandibular, konsentrasi virus sedang pada kelenjar parotid dan terendah pada kelenjar
sublingualis. Replikasi virus rabies pada neuron sistem saraf pusat akan membentuk badan
inklusi intrasitoplasmik (negri bodies).

2.3. Cara Penularan Rabies


Sebagian besar penularan virus rabies terjadi melalui gigitan anjing yang telah
terinfeksi rabies. Virus masuk ke dalam tubuh melalui luka bekas gigitan hewan terinfeksi
rabies dan luka terbuka yang terpapar saliva dari hewan pembawa rabies yang telah
terinfeksi. Penularan rabies juga dapat terjadi melalui jilatan hewan, transplantasi kornea,
dari donor terinfeksi rabies (Mattos et al., 2001).

5
Selain itu, rabies juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan yang
terluka dan terkena air liur yang mengandung penyakit rabies, melalui saluran pencernaan
yang terluka saat memakan bahan makanan yang tercemar virus rabies, serta terbawa angin
dan masuk ke dalam kornea mata (Dharmojono, 2001). Virus yang masuk ke dalam tubuh
akan bereplikasi di neuromuscular junction dan kemudian menjalar melalui lapisan lemak
sistem saraf menuju sistem saraf pusat (Childs dan Real, 2002).
Di dalam sistem saraf pusat, virus rabies kemudian menyebar dan memperbanyak
diri dalam neuron. Virus berpredileksi di sel-sel sistem limbik, hipotalamus, dan batang
otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron, virus kemudian bergerak ke arah perifer
dalam serabut saraf eferen maupun saraf 7 otonom. Dengan demikian virus menyerang
hampir setiap organ tubuh penderita dan berkembang biak pada jaringan seperti kelenjar
ludah (Andriani, 2015).

2.4. Masa Inkubasi Virus Rabies


Masa inkubasi yang dibutuhkan oleh virus rabies untuk dapat menimbulkan gejala
klinis sangat bervariasi tergantung dari jenis inang yang diserangnya (Suatha et al., 2015).
Pada hewan anjing, masa inkubasi yang diperlukan kurang lebih adalah dua minggu, akan
tetapi pada beberapa kasus dapat pula terjadi antara 10 hari hingga delapan minggu.
Namun, masa inkubasi yang hanya lima atau enam hari juga ada, dan hanya sekitar
1-3% kasus rabies pada manusia yang memperlihatkan masa inkubasi di atas enam bulan
(Faber et al., 2009). Lamanya masa inkubasi ini bergantung pada beberapa faktor, yaitu
dosis virus yang masuk ke dalam tubuh, jarak lokasi masuknya virus dengan sistem saraf
pusat, dan tingkat keparahan luka gigitan hewan penginfeksi rabies (jumlah dan tingkat
kedalaman luka) (Suardana dan Soejoedono, 2005). Semakin dekat lokasi masuknya virus
rabies dengan sistem saraf pusat, maka semakin singkat juga masa inkubasinya. Begitu
pula apabila tingkat keparahan luka akibat gigitan hewan pembawa rabies yang telah
terinfeksi semakin tinggi.

2.5. Tanda Dan Gejala Rabies


a. Gejala Klinis Pada Hewan Degan Rabies
Gejala klinik rabies pada anjing mempunyai tiga fase, yaitu:
1. Fase Prodormal
Fase prodormal merupakan fase awal dari terjadinya penyakit rabies. Stadium ini
berlangsung sekitar 1-3 hari. Pada fase ini, anjing mulai menunjukkan perubahan
perilaku dalam tingkat ringan. Anjing menjadi pendiam, menghindar dari pemilik, dan
tidak peduli terhadap perintah tuannya. Anjing mencari tempat-tempat yang gelap dan
sunyi untuk bersembunyi. Apabila dikejutkan oleh sesuatu, anjing menjadi mudah

6
marah, memberontak bila ada provokasi, dan menggigit. Gejala ini biasanya diikuti
dengan tingginya suhu tubuh hewan. Pada anjing yang dipelihara dengan dibebasliarkan,
membuat anjing kurang mendapat perhatian dari pemiliknya, fase ini biasanya tidak
teramati. Pada fase selanjutnya barulah penyakit teridentifikasi oleh pemilik dengan
perubahan perilaku pada anjing yang lebih mencolok (Akoso, 2007).
2. Fase Eksitasi
Fase eksitasi merupakan stadium lanjutan dari fase prodormal yang berlangsung
selama 3-7 hari. Pada fase ini, gejala mulai terlihat secara lebih jelas sehingga mudah
dikenali oleh pemilik. Anjing menjadi mudah merasa terganggu, emosional, dan cepat
bereaksi agresif jika merasa terganggu. Dalam keadaan tidak terprovokasi, anjing
cenderung terlihat murung, kelelahan, dan ketakutan. Apabila melihat atau terkena
cahaya, anjing bereaksi secara berlebihan dan terlihat ketakutan serta menyalak,
menggeram, melolong, bahkan menyerang. Kondisi ini disebut juga dengan fotophobia.
Selain itu, anjing juga menunjukkan perilaku aneh dengan terlihat seperti berhalusinasi
menggapai dan mencaplok objek maya yang ada di udara. Anjing juga mulai menggigit
dan mengunyah benda-benda di sekitarnya, seperti batu, kayu, dan benda asing lainnya.
Keadaan ini disebut dengan pika (Akoso, 2007).
Pada anjing yang tidak dikandangkan biasanya menunjukkan perilaku senang
mengembara dan berjalan tanpa tujuan. Bila rabies menyerang anjing peliharaan, anjing
tersebut biasanya tidak akan dapat lagi berjalan kembali ke rumah tuannya karena
ingatannya yang terganggu atau hilang ingatan. Perubahan juga terjadi pada suara yang
semakin parau akibat otot pita suara melemah.
3. Fase Paralisis
Fase paralisis merupakan fase terakhir dari penyakit rabies. Stadium ini
berlangsung secara singkat sehingga seringkali gejalanya sulit dikenali dan biasanya
langsung berujung pada kematian. Fase ini ditandai dengan munculnya gejala
kelumpuhan (paralisis) pada beberapa bagian tubuh hewan. Kelumpuhan pada otot
pengunyah menyebabkan rahang anjing menggantung ke bawah dan anjing menjadi sulit
untuk menutup mulutnya. Akibatnya, anjing mengalami kesulitan untuk makan dan
minum. Kelumpuhan pada otot tenggorokan menyebabkan air liur keluar secara tidak
terkendali dan keluar terus menerus. Apabila virus telah menyerang daerah kepala dan
leher, kelumpuhan akan berlanjut ke seluruh tubuh karena infeksi susunan saraf pusat
dan menyebabkan kematian (Akoso, 2007).
Lamanya setiap fase pada anjing yang terserang rabies tidaklah sama. Pada anjing
dengan fase eksitasi berlangsung lebih lama dan menonjol disebut dengan furious rabies,
sedangkan pada anjing yang mengalami fase prodormal dan eksitasi dengan cepat hingga

7
terkadang tidak terlihat gejalanya atau langsung menunjukkan gejala pada fase paralisis
disebut dengan dumb rabies (Akoso, 2007).
b. Gejala klinis virus rabies pada manusia
Seperti halnya pada hewan, gejala rabies pada manusia juga terdiri atas beberapa
fase. Terdapat lima fase gejala rabies pada manusia, yaitu fase prodormal, fase neurologik
akut, fase furious, dan fase koma (Soeharsono, 2002). Akan tetapi ada pula beberapa
sumber lain yang menyatakan bahwa gejala rabies pada manusia terdiri atas empat fase,
yaitu fase prodormal, fase sensoris, fase eksitasi, dan fase paralisis. Baik lima maupun
empat fase tersebut menunjukkan tanda-tanda yang sama (Dharmawan, 2009).
1. Fase Prodormal
Pada fase awal ini, gejala yang ditunjukkan umumnya bersifat ringan dan tidak
spesifik. Gejala awal yang terlihat sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah
munculnya perasaan tidak tenang dan diikuti dengan peningkatan suhu tubuh, mual,
nyeri kepala, kedinginan, merasa seperti terbakar, gatal, badan terasa lemah, menurunnya
nafsu makan, dan munculnya rasa nyeri di tenggorokan (Dharmawan, 2009).
2. Fase Sensoris
Pada fase sensoris, penderita penderita mulai merasakan nyeri, panas, dan
kesemutan pada daerah sekitar luka bekas gigitan hewan pembawa rabies (HPR). Gejala
ini diikuti dengan munculnya perasaan cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan
sensoris (Dharmawan, 2009).
3. Fase Eksitasi
Pada fase ini, penderita mengalami ketakutan yang berlebihan, kehausan, takut
terhadap cahaya (fotofobia), takut terhadap tiupan angin (aerophobia), takut terhadap air
(hidrofobia), dan takut terhadap suara keras. Gejala ini dapat diidentifikasi dengan cara
mencoba menghembuskan napas atau meniupkan udara di bagian wajah penderita dan
membujuk penderita untuk minum, akan terlihat reaksi penolakan dari penderita. Suhu
tubuh penderita juga meningkat. Selain itu penderita juga merasakan bingung, gelisah,
tidak nyaman, kemudian mulai berhalusinasi, menjadi agresif, merasa takut berlebihan,
dan tubuh gemetar. Gejala stimulasi saraf otonom juga dialami oleh penderita, seperti
peningkatan volume saliva, mengeluarkan banyak keringat, lacrimasi, dilatasi pupil, dan
piloereksi. Pada umumnya, fase ini bertahan hingga penderita meninggal, akan tetapi
pada beberapa kasus ada juga gejala yang berlanjut ke fase paralisis (Dharmawan, 2009).
4. Fase paralisis
Pada umumnya penderita rabies meninggal pada fase eksitasi, akan tetapi
terkadang juga penderita tidak menunjukkan gejala eksitasi, melainkan terjadi paresis

8
otot yang bersifat progresif. Hal ini terjadi karena gangguan sumsum tulang belakang
yang memperlihatkan gejala paresis otot pernafasan. Pada fase paralisis ini terlihat
perubahan patologi yang dijumpai pada bagian terendah dari medula oblongata, tempat
sumsum tulang belakang berasal (Soeharsono, 2002).

2.6. Diagnosis Rabies


Rabies dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan terhadap perubahan perilaku
yang ditunjukkan oleh penderita. Selain itu, pemeriksaan laboratorium juga perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Cara yang paling mudah dan cepat untuk
melakukan diagnosis terhadap rabies adalah dengan menemukan adanya badan inklusi atau
negri body pada sampel sel otak hewan terduga rabies. Pemeriksaan ini memerlukan
preparat sentuh dari jaringan otak hewan yang telah menggigit atau menunjukkan gejala
klinis rabies dengan metode Seller. Dengan metode ini, badan inklusi menunjukkan warna
magenta dengan granul kecil berukuran 0,2-0,5 μm berwarna basofil pada bagian
interiornya. Metode ini memiliki keuntungan dari segi ekonomi karena mudah dan cepat,
yaitu 5-10 menit dengan spesifisitas hingga hampir 100%. Namun, metode ini juga
memiliki kelemahan berupa sensitivitas yang rendah, yaitu dapat mencapai 30%. Kurang
sensitifnya metode Seller tersebut, maka diperlukan metode lain dengan sensitivitas lebih
tinggi, seperti metode Indirect Fluorescent Antibody Technique (IFAT) atau inokulasi pada
hewan percobaan (Soeharsono, 2002). Metode IFAT memerlukan waktu yang lebih lama
dari metode Seller, yaitu dua jam, dan harus dilakukan di laboratorium yang memiliki
mikroskop khusus IFAT. Akan tetapi metode ini jauh lebih akurat dari metode Seller karena
memiliki sensitivitas hingga mendekati 100% (Suardana dan Soejoedono, 2005).
Apabila setelah pemeriksaan dengan metode IFAT dan atau inokulasi pada hewan
percobaan didapatkan hasil yang negatif, maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan
dengan uji biologik. Pemeriksaan ini memakan waktu lebih lama dari metode IFAT, yaitu
mencapai 4-21 hari. Kini diagnosis rabies dilaporkan juga dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik monoklonal antibodi pada anjing penderita rabies (Astawa et al.,
2010).
Untuk mendukung hasil diagnosis laboratorium, maka terdapat beberapa hal yang
dapat dilakukan di lapangan untuk mengawal kasus teduga kuat rabies, yaitu:
1. Apabila terdapat hewan yang menggigit manusia, maka hewan tersebut harus
ditangkap dan diobservasi untuk melihat perkembangan penyakit rabies. Observasi
dilakukan selama 10-15 hari pada hewan yang menggigit tersebut. Riwayat
penggigitan ditelusuri dan dicermati ada tidaknya provokasi. Mahardika et al., (2009)
menyatakan bahwa jika tanpa adanya tindakan provokasi, anjing dapat terduga kuat
rabies rabies di lapangan, jika ada indikasi sebagai berikut:

9
a. Bila dalam satu hari ada seekor anjing menggigit satu orang tanpa provokasi,
maka kemungkinan hewan tersebut positif rabies 25%.
b. Bila dalam satu hari ada seekor anjing menggigit dua orang tanpa provokasi,
maka kemungkinan hewan tersebut positif rabies 50%.
c. Bila dalam satu hari ada seekor anjing menggigit tiga orang tanpa provokasi,
maka kemungkinan hewan tersebut positif rabies 75%.
d. Bila dalam satu hari ada seekor anjing menggigit empat orang tanpa provokasi,
maka kemungkinan hewan tersebut positif rabies 100%.
2. Dilakukan penelusuran terhadap jumlah korban gigitan yang digigit oleh hewan yang
sama.

2.7. Upaya Pencegahan Rabies


Rekomendasi WHO mencegah rabies tergantung adanya kontak (Tanzil, 2014):
1. Kategori 1: menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan hewan pada kulit yang
intak karena tidak terpapar tidak perlu profilaksis, apabila anamnesis dapat dipercaya.
2. Kategori 2: termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka,
garukan, atau lecet (erosi ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan, dan kaki.
Untuk luka resiko rendah diberi VAR saja.
3. Kategori 3: jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu
(muka,kepala,leher),luka pada jari tangan/ kaki, genitalia, luka yang lebar/dalam dan
luka yang banyak (multiple)/ atau ada kontak dengan kelelawar, maka gunakan VAR
dan SAR.
Adapun strategi yang dilaksanakan untuk mencegah rabies berdasarkan Departemen
Pertanian 2007 antara lain :
1. Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular rabies di
wilayah/daerah untuk mencegah penyebaran penyakit.
2. Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber virus
rabies yang paling berbahaya
3. Vaksinasi semua hewan yang dipelihara di daerah tertular untuk melindungi hewan
terhadap infeksi dan mengurangi kontak terhadap manusia
4. Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah
pembebasan dari penyakit

10
5. Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk
memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas
yang terkait (CIVAS, 2010).
Langkah - langkah pencegahan dan pemberantasan rabies yang dapat dilakukan antara
lain :
1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera
dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
2. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa izin
ke daerah bebas rabies.
3. Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah-daerah
bebas rabies.
4. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi yang
ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.
5. Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah
divaksinasi.
6. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak betuan dengan jalan
pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.
7. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama
10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh,
maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk
diagnosa.
8. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera nan hewan sebangsanya
yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
9. Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-
kurangnya 1 meter (Depkes RI, 2009; Hiswani, 2003).

2.8. Penatalaksanaan Terkena Gigitan Hewan Dengan Rabies


Terdapat 3 unsur yang penting dalam PEP (Post Exposure Praphylaxis), yaitu: (1)
perawatan luka, (2) serum antirabies (SAR), dan (3) vaksin antirabies (VAR). Tindakan
pertama yang harus dilaksanakan adalah membersihkan luka dari saliva yang mengandung
virus rabies. Luka segera dibersihkan dengan cara disikat dengan sabun dan air (sebaiknya
air mengalir) selama 10-15 menit kemudian dikeringkan dan diberi antiseptik
(merkurokrom, alkohol 70%, povidon-iodine, 1-4% benzalkonium klorida atau 1%
centrimonium bromida). Luka sebisa mungkin tidak dijahit. Jika memang perlu sekali,
maka dilakukan jahitan situasi dan diberi SAR yang disuntikkan secara infiltrasi di sekitar

11
luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikkan secara intramuskuler ditempat yang jauh
dari tempat inokulasi vaksin. Disamping itu, perlu dipertimbangkan pemberian
serum/vaksin antitetanus, antibiotik untuk mencegah infeksi, dan pemberian analgetik.
(Tanzil, 2014)
Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada semua orang dengan riwayat kontak
dengan hewan pengidap rabies. Vaksin rabies yang lazim saat ini adalah tissue culture
vaccine, suatu inactivated vaccine yang ditumbuhkan pada kultur sel seperti human diploid
cell vaccine (HDCV), diproduksi sejak tahun 1964, purivied vero cell rabies vaccine
(PVRV), diproduksi mulai tahun 1985, purified chick embryo cell accine (PCEC) yang
mulai dipasarkan tahun 1985. Vaksin generasi lama seperti suckling mouse brain vaccine
(SMBV), suatu nerve tissue vaccine dan duck embryo vaccine (DEV), suatu non-nerve
tissue vaccine, tidak digunakan lagi karena dapat menimbulkan komplikasi ensefalomielitis
post-vaksinasi dan reaksi anafilaksis. Namun demikian nerve tissue vaccine masih
diproduksi dan dipergunakan di beberapa negara Asia. (WHO,2009).
Berikut merupakan alur penatalaksanaan kasus rabies berdasarkan kementrian kesehatan :

12
2.9. Vaksin Rabies
a. Vaksin Rabies
Ada beberapa jenis vaksin anti rabies yang telah digunakan di beberapa negara
antara lain human diploid cell vaccine (HDCV), purified chick embryo cell (PCEC) dan
purified vero cell vaccine (PVRV). HDCV & PCEC memiliki sediaan 1 ml/vial,
sedangkan PVRV mengandung 0,5ml/vial. PVRV merupakan jenis vaksin dengan
distribusi luas ,4-6 termasuk jenis vaksin yang tersedia di Indonesia. PVRV merupakan
vaksin kering beku, satu dosis imunisasi dengan daya proteksi lebih besar atau sama
dengan 2,5 ml Internasional Unit (IU), sebelum dan sesudah pemanasan selama satu bulan
pada suhu + 37 0C. Virus rabies (Wistar Rabies PM/WI 38- 1503-3M strain) diperoleh dari
biakan pada vero contineous cellines, diinaktivasi dengan beta propiolakton. VAR akan
menginduksi respon imun secara aktif dengan menghasilkan neutralizing antibodies kira-
kira 7-10 hari dan menetap lebih dari dua tahun.(Susilawathi & Raka Sudewi, n.d.)
b. Serum Anti Rabies
Pemberian SAR merupakan imunisasi pasif yang bertujuan untuk segera
memberikan neutralizing antibodies sebelum sistem imun penderita siap untuk
menghasilkan antibodi sendiri yang terjadi 7-14 hari setelah VAR diberikan. Ada dua jenis
SAR yang digunakan secara luas yaitu : human rabies immune globulin (HRIG) dan
equine rabies immune globulin (ERIG). Dosis HRIG adalah 20 IU/kgBB, sedangkan
ERIG: 40 IU/kgBB. SAR yang digunakan di Indonesia adalah serum homolog yang
berasal dari serum manusia (HRIG) dengan kemasan vial 2 ml (1 ml = 150 IU). SAR
hanya diberikan sekali pada awal vaksinasi, jika SAR tidak diberikan pada awal vaksinasi
masih dapat diberikan sampai hari ke-7 sejak vaksinasi awal. Setelah hari ke-7 merupakan
kontraindikasi SAR karena telah terjadi respon imun aktif terhadap VAR. (Susilawathi &
Raka Sudewi, n.d.)
c. Vaksinasi Sebelum Terkena Gigitan Hewan Dengan Virus Rabies
Pemberian VAR untuk pencegahan rabies diperuntukkan kepada mereka yang
mempunyai resiko besar untuk mendapatkan infeksi antara lain: dokter hewan, teknisi
yang bekerja pada hewan, karyawan laboratorium yang bekerja dengan virus rabies,
karyawan rumah potong hewan, petugas kesehatan (dokter/perawat) yang menangani
kasus luka gigitan hewan penular rabies/penderita rabies, petugas peternakan yang
menangani hewan penular rabies.
Pemberian VAR ini bertujuan untuk melindungi seseorang dengan resiko tinggi
terhadap kontak yang tidak diketahui dengan virus rabies, mengurangi dosis yang
diperlukan jika terjadi kontak dengan virus rabies dan melindungi seseorang apabila
terjadi keterlambatan pemberian vaksinasi setelah kontak. WHO merekomendasikan
VAR diberikan sebanyak tiga kali dengan dosis yang penuh (0,5 ml PVRV atau 1,0 ml

13
HDCV/PCEC ) pada hari ke-0, ke-7 dan ke-21 atau ke-28. Pemberian secara
intramuskular di daerah deltoid pada orang dewasa dan anterolateral paha pada anak-
anak. Di Indonesia pedoman VAR adalah : dua kali vaksinasi dasar dengan dosis 0,5
ml(PVRV) intramuskular pada hari ke-0 dan ke-28, kemudian VAR ulangan 1 tahun
setelah pemberian pertama dan ulangan selanjutnya tiap 3 tahun
Bagi seseorang yang mempunyai kekebalan rendah oleh karena suatu penyakit
atau efek suatu obat sebaiknya dihindari pekerjaan dengan resiko tinggi tertular rabies.
Jika tidak memungkinkan, VAR tetap diberikan dan harus dilanjutkan dengan pemeriksaan
titer antibodi setelah vaksinasi lengkap untuk memastikan serokonversi setelah vaksinasi.
(Susilawathi & Raka Sudewi, n.d.)
d. Vaksinasi Setelah Terkena Gigitan Hewan Dengan Virus Rabies
Pencegahan rabies setelah gigitan terdiri dari tiga komponen yaitu: penanganan
luka gigitan, pemberian SAR dan pemberian VAR. Setiap ada kasus gigitan hewan
penular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi
atau mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif
ialah mencuci luka gigitan segera dengan air mengalir dan sabun atau detergent selama
10-15 menit kemudian diberikan antiseptik (alkohol, betadine, obat merah dll).
Pemberian profilaksis tetanus dan antibiotik dipertimbangkan pada luka resiko tinggi
antara lain: luka gigitan multipel, luka dalam dan lebar, luka di daerah muka, kepala,
leher, jari tangan/kaki, dan jilatan pada mukosa. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk
dijahit, kecuali jahitan situasi. Disekitar luka gigitan yang terpaksa dijahit, perlu disuntik
SAR sebanyak mungkin, sisanya disuntikan secara intramuskular.
Terhadap luka resiko rendah yang tidak berbahaya seperti: jilatan pada kulit, luka,
garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki, cukup
diberikan VAR saja. Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/ hewan
rabies atau penderita rabies) tetapi tidak ada luka, terjadi kontak tidak langsung atau tidak
ada kontak maka tidak perlu diberikan VAR atau SAR. Pedoman VAR setelah digigit
adalah 4 kali pemberian dengan dosis 0,5 ml intramuskular di daerah deltoid (anak-anak
di daerah paha). Sedangkan pada kasus yang memerlukan SAR, diberikan bersamaan
dengan VAR hari ke-0 dengan dosis 20 IU/kgBB disuntikkan secara infiltrasi disekitar
luka, sisanya disuntikan intramuskular. Bila seorang pasien yang telah divaksinasi dengan
VAR secara komplit dan dalam jangka waktu 3 bulan setelah divaksinasi digigit lagi oleh
hewan pembawa rabies, maka pasien tersebut tidak memerlukan VAR, bila digigit antara
3 bulan -1 tahun cukup diberi VAR 1 kali, sedangkan lebih dari 1 tahun dianggap
penderita baru. Bagi yang kontak dengan penderita rabies, pemberian VAR tidak rutin
dikerjakan. VAR dan SAR diberikan bila terjadi kontak dengan air liur (saliva) pada kulit
yang luka, selaput lendir dan mukosa(Susilawathi & Raka Sudewi, n.d.)

14
2.10.Asuhan Keperawatan Dengan Kasus Rabies
?

15
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1. SIMPULAN
?

3.2. SARAN
?

16
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi Kesehatan. (2014). InfoDATIN Pusat Data
Dan Informasi Kesehatan RI Situasi dan Analisis Rabies.

Kementrian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi Kesehatan. (2016). IndoDATIN Pusat Data
Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI Situasi Rabies Di Indonesia.

Rahmadani, I. (2012). INFEKSI ALAMI VIRUS RABIES PADA ANJING : STUDI


MORFOPATOLOGI DAN IMUNOHISTOKIMIA.

Susilawathi, N., & Raka Sudewi, A. (n.d.). Profilaksis rabies, 1–15.

Tanzil, K. (2014). Penyakit rabies dan penatalaksanaannya, 1.

17

Anda mungkin juga menyukai