Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata artritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, “Arthon” yang berarti sendi. Kedua,
“Itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, artritis berarti radang sendi. Sedangkan
reumatoid artritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian ( biasanya sendi tangan
dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali
akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi ( Gordon, 2002). Engram ( 1998)
mengatakan bahwa reumatoid artitris adalah penyakit jaringan penyambung sistemik dan
kronis dikarakteristikan oleh inflamasi dari membran siovial dari sendi diartroidial.

Reumatoid artritis merupakan suatu penyakit inflamasi sitemik kronik yang manifestasi
utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh
organ tubuh. ( Hidayat, 2006)

Artritis reumatoid diyakini seagai respon imun terhadap antigen yang tidak diketahui.
Stimulusnya dapat virus atau bakterial. Mungkin juga terdapat predisposisi terhadap penyakit.

Reumatoid artritis atau sering disingkat RA merupakan penyakit yang banyak dialami
oleh penduduk dunia. Penelitian tahun 2012 menyatakan bahwa prevalensi penduduk dunia
yang mengidap RA sebanyak 0,5-1%.

Pada salah satu penelitian tahun 2012, sebanyak 46,030 pasien dengan diagnosa RA
teridentifikasi. Dua per tiga pasien adalah perempuan, dan kebanyakan pasien berusia paruh
baya dan lansia. Penderita RA terbesar didapati pada pasien berusia 50-59 tahun (27,7%)
diikuti pasien dengan usia 60-69 tahun, dan kemudian diatas 70 tahun. Rata-rata usia pasien
penderita RA adalah 57 tahun, sedangkan penyakit penyerta yang kerap membarengi adalah
kardiovaskuler, kanker dan diabetes ( Blumentals, 2012).

Di Indonesia sendiri, data penderita RA belum banyak dikaji. Pada tahun 2006, diketahui
sebnayak 0,3-0,6% penduduk di Indonesia menderita RA ( Min Dai, 2003). Secara genetis,
RA dipengaruhi oleh ekspresi dari gen HLA yang merupakan gen pembentuk MCH.
Penelitian mengungkapkan, 70% individu dengan gen HLA terekspresi mengalami RA. Hal
ini juga berlaku bayi kembar monozigot yang memiliki gen tersebut. Tidak semua ras dibumi
akan mengekspresikan gen dari HLA (epitope) tertentu yang berinteraksi dengan MCH
membentuk respon yang spesifik bagi RA, oleh karena itu, penyebaran penyakit RA antar
daerah berbeda beda tergantung dominasi dari ras yang mendiami daerah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi:
1. Bagaimana konsep konsep dasar penyakit reumatoid artritis ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan reumatoid artritis?
1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang penyakit
reumatoid artritis dan konsep asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit reumatoid
artritis.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Reumatoid artritis adalah suatu keadaan kronis dan biasanya merupakan kelainan
inflamasi progresif dengan etiologi yang belum diketahui yang dikarakteristikan dengan sendi
simetrik dan manifestasi sistemik ( Sukandar, 2009).

Reumatoid artritis juga didefinisikan sebagai inflamasi kronis yang umum disebabkan
oleh kelainan autoimun dengan etiologi yang belum diketahui. Inflamasi pada RA akan
mengakibatkan penghancuran pada kartilago dan tulang persendian. Kejadian inflamasi ini
melibatkan sendi terutama membran siovial ( membran yang membungkus sendi berisi cairan
sinovial). Kesehatan penderita RA akan menurun dikarenakan rasa nyeri, kelelaham,
ketidakmampuan fungsional tubuh, serta ekonomi pasien yang dapat melemah akibat
pekembangan penyakit yang progresif ( Gibofsky, 2012).

Reumatoid artritis kerap dikaitkan dengan kelainan hipersensitivitas tipe III. Hal ini
dikarenakan dalam pemeriksaannya kerap ditemukan adanya kompleks imunoglobulin G
yang berada pada cairan sendi yang menyebabkan terjadinya inflamasi. Selain itu, RA
merupakan kelainan sistem imun yang merupakan autoimun disease. Hal ini dikarenakan
pada dasarnya terjadi kelainan pada sel-sel limfosit yang mengakibatkan teraktivasinya jalur
jalur imun dan protein-protein imun sehingga terjadi reaksi inflamasi.

2.2 Etiologi

Penyebab artritis reumatoid ini belum diketahui. Faktor genetik dan beberapa faktor
lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari
terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya
HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4 : 1 untuk
menderita penyakit ini.

Kecenderungan wanita untuk menderita RA dan sering dijumpainya remisi pada wanita
yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai
salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian
hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang
diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang
merupakan penyebab penyakit ini.

Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab RA. Dugaan faktor infeksi
sebagai penyebab RA juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara
mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun
hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal
ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau
endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya RA. Agen infeksius yang
diduga merupakan penyebab RA antara lain adalah bakteri, mikoplasma atau vius.

Heat shcok protein (HSP) adalah sekelompok potein berukuran sedang ( 60 sampai 90
kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap stress. Walaupun telah
diketahui terdapat hubungan antara HSP dan sel T pada pasien RA, mekanisme ini belum
diketahui dengan jelas.

2.3 Faktor predisposisi

Beberapa faktor pencetus dari reumatoid artritis yang banyak menyebabkan gejala, meliputi :

a. Aktifitas / mobiilitas yang berlebihan

Aktifitas klien dengan usia yang sangat lanjut sangatlah membutuhkan perhatian yang
lebih, karena ketika klien dengan kondisi tubuh yang tidak memungkikan lagi untuk
banyak bergerak, akan memberatkan kondisi klien yang menurun lagi terlebih lagi sistem
imun yang sangat buruk. Sehingga klien dengan sistem imunitas tubuh yang menurun,
sangatlah dibutuhkan perhatian lebih untuk mengurangi/ memperhatikan tipe aktivitas /
mobilitas yang berlebih. Hal ini dikarenakan kekuatan sistem muskuloskeletal klien yang
tidak lagi seperti usianya beberapa tahun yang lalu, masih dapat beraktifitas maksimal.

b. Lingkungan

Mereka yang terdiagnosis reumatoid artritis sangatlah diperlukan adanya perhatian


lebih mengenai keadaan lingkungan yang sangat mendukung. Ketika lingkungan
sekitarnya yang tidak mendukung, maka kemungkinan besar klien akan merasakan gejala
penyakit ini. Banyak diantaranya ketika keadaan suhu lingkungan sekitar klien yang
cukup dingin, maka klien akan merasa ngilu, kekakuan sendi pada area-area yang biasa
terpapar, sulit untuk mobilisasi dan bahkan kelumpuhan
2.4 Patofisiologis

Reaksi autoimun dalam jaringan sinovial yang melakukan proses fagositosis yang
menhasilkan enzim-enzim dalam sendi untuk memecah kalogen sehingga terjadi eema
proliferasi membran sinovial dan akhirnya membentuk pannus. Pannus tersebut akan
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang sehingga akan berakibat
menghilangnya permukaan sendi yang akan menggangu gerak sendi.

2.5 Klasifikasi

Buffer ( 2010) mengklasifikasikan reumatoid artritis menjadi 4 tipe, yaitu :

 Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
 Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus tedapat 5 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
 Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
 Posible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.

2.6 Gejala Klinis

Ada beberapa gejala/gambaran klinis yang sering kali di temukan pada klien yang
mengalami atritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang
bersamaan,karna penyakit ini memiliki gambaran klinis yang berfariasi.atritis sering di awali
dengan timbulnya rasa sakit serta lemah pada sendi tangan dan pinggang. Juga di sertai
bengkak kadang terjadi peradangan,tetapi sering tiba-tiba hilang,beberapa gejala klinis yang
kerap kali terjadi pada para penderita atritis reumatoid ini,yakni:

1. Gejala-gejala konstitusional.beberapa gejala tersebut meliputi lelah,anoreksia,BB


menurun,dan demam.bahkan terkadang kelelahan yang sangat hebat
2. Poliatritis simetris.terutama terjadi pada sendi perifer,termasuk sendi-sendi di
tangan namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.hampir
semua sendi diatrodial dapat terserang.
3. Kekakukan di pagi hari.kejadian ini terjadi selama lebih dari 1 jam,dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyarang sendi-sendi.kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan sendi pada osteoatritis,yang biasanya hanya berlangsung selama
beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.
4. Atritis erosif.merupakan cirikhas penyakit ini pada gambaran radiologi
peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat di
lihat pada radiogram.
5. Deformitas.Kerusakan struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit.pergeseran ulna atau jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal,
deformitas boutonniere dan leher angsa. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan)
kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal.
6. Nodula-nodula reumatoid, adalah masa subkutan yang ditemukan pada sekitar
sepertiga penderita dewasa. Lokasi tersering yakni di daerah sepanjang sendi sikut
atau sepanjang permukaan ekstensor lengan. Nodul ini merupakan tanda bahwa
penyakit tersebut aktif.
7. Manifestasi ekstraartikuler. Suatu prognosis dari penyakit ini yang menandakan
akut tidaknya penyakit ini. Manifestasi yang dihasilkan artritis reumatoid yakni
menyerang paru, jantung, mata, pembuluh darah. Kelainan pada organ-organ
tersebut meliputi :
a. Kulit nodula subkutan vaskulitis, bercak-bercak coklat lesi-lesi ekimotik.
b. Jantung
c. Perikarditis temponade perikardium lesi peradangan miokardium dan
katup jantung.
d. Paru-paru : pleuritis dengan atau tanpa efusi peradangan paru-paru
e. Mata : skleritis
f. Syaraf
g. Neuropati perifer sindrom kompresi perifer (neuropati syaraf ulnaris,
paralisis peronialis, abnomalitas vertebra servikal)
h. Sistemik anemia osteoporosis generalisata syndrome felty sindrom sjogren
(kerotokonjungtivitis sika) Amiloidosis.

Kriteria diagnostik Atritis Reumatoid dapat menjadi suatu proses yang kompleks. Pada
tahap dini mungkin hanya akan ditemukan sedikit atau tidak ada uji laboratorium yang
positif. Perubahan-perubahan pada sendi dapat minor dan gejala-gejala yang bersifat
sementara. Diagnostik tidak hanya berstandar pada satu karakteristik saja tetapi berdasarkan
pada suatu evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala
2.7 Pathway

Reaksi Autoimun (Virus)

Fagositosis

Inflamasi

Proliferasi Membran Sinovial

Paanus Nekrosis

Erosi Tulang

Reaksi Peradangan

Informasi
Tentang Proses Tendon Dan Ligamen Melemah Nyeri
Penyakit

Dislokasi Persendian
Kurangnya
Pengetahuan
Kerusakan Sendi

Kekuatan Pada Sendi

Terbatasnya Gerakan Sendi

Gg Mobilitas Fisik
2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis reumatoid


artritis reumatoid. Beberapa hasil uji laboratorium dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis reumatoid artritis. Sekitar 85% pasien reumatoid artritis memiliki autoantibodi
di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah
imunoglobulin M ( IgM) yang beraksi terhadap perubahan imunoglobulin G ( IgG).
Keberadaan dari faktor bukan merupakan hal yang spesifik pada penderita reumatoid
artritis. Faktor reumatoid ditemukan sekitar 5% pada serum orang normal, insiden ini
meningkat dengan pertambahan usia, sebanyak 10-20% pada orang normal usia diatas 65
tahun positif memiliki faktor reumatoid dalam titer yang rendah.

Laju endap darah ( LED) eritrosit adalah suatu indeks peradangan yang tidak spesifik.
Pasien dengan reumatoid artritis nilainya dapat tinggi ( 100 mm/jam atau lebih tinggi
lagi). Hal ini berarti bahwa LED dapat dipakai untuk memantau aktivitas penyakit.

Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita denganreumatoid


artritis yang aktif melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia ini tidak berespon
pada pengobatan anemia yang biasa dan dapat membuat seseorang merasa kelelahan.

Analisis cairan sinovial menujukkan keadaan inflamasi pada sendi, walaupuntidak ada
satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk reumatoid artritis. Cairan sinovial
biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun, peningkatan kandungan protein, da
konsentrasi glukosa yang mengalami sedikit penurunan atau normal. Hitung sel leukosit (
WBC) meningkat mencapai 2000µL. Dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini
merupakan karakteristik peradangan pada artritis, walaupun demikian, temuan ini tidak
mendiagnosis reumatoid artritis.

b. Pemeriksaan Radiologi

Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan
radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelah sendi mengalami
kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya
rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas
tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel.
Tanda pada foto polos awal dari reumatoid artritis adalah peradangan periartikular
jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi
hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya
tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan ataupada
olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik
tekanan. Karakteriistik nodul ini berkembang sekitar 20% pada penderita reumatoid
artritis dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga membantu dalam menegakkan
diagnosis.

c. CT Scan

Computer tomography ( CT) memiliki peran yang minimal dalam mendiagnosis


reumatoid artritis. Walaupun demikian, CT scan berguna dalam mempelihatkan patologi
dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil ditangan yang sangat baik dievaluasi dengan
kombinasi dari foto polos dan MRI.

CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki kerugian dalam
hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengidentifikasi letak destruksi tulang dan
stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada pengaturan pre-opeatif atau pada
tulang belakang.

d. Ultrasonografi (USG)

Sonorafi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi digunakkan
untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada reumatoid artritis. Efusi dari sendi adalah
hipoekhoik, sedangkan hipertofi pada sinovium lebih ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid
terlihat sebagai cairan yang memenuhi area kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi
tulang dapat terlihat sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari
reumatoid artritis, seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat divisualisasikan
dengan menggunakan ultrasonografi. Hal ini sangat berguna pada sendi MCP dan IP.
Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik karena
konfigurasinya yang tidak rata dan lokasinya yang dalam.

Sonografi telah digunakkan dalam mendiagnosis reumatoid artritis dengan tujuan


meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi konvensional. Ultrasonografi,
terkhusus dengan menambahkan amplitudo color doppler ( ACD) Imaging, yang juga
menyediakan informasi klinis yang berguna untuk dugaan reumatoid artritis. ACD
Imaging telah diaplikasikan untuk reumatoid artritis dengan tujuan mengevaluasi
manifestasi dari hiperemia pada peradangan jaringan sendi. Hiperemia sinovial
merupakan ciri patofisiologis yang fundamental untuk reumatoid artritis.

e. MRI

Magnetic Resonance Imaging ( MRI) menyediakan gambaran yang baik dengan


penggambaran yang jelas dari peubahan jaringan lunak., kerusakan kartilago dan erosi
tulang-tulang yang dihubungkan dengan reumatoid artritis.

Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama pada reumatoid
artritis. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas MRI dalam mendeteksi erosi dan
sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk perubahan edema tulang, hal itu menandakan
bahwa MRI merupakan penolong untuk mendiagnosis awal penyakit reumatoid artritis.
MRI juga memberikan gambaran yang berbeda pada abnormalitas dari reumatoid artritis,
sebagai contoh, erosi tulang, edema tulang, sinovitis, dan tenosinovitis.

2.9 Penatalaksana

Penatalaksanaan reumatoid artritis disarankan pada pengertian patofisiologi dari


penyakit ini. Selain itu, perhatian juga ditunjukkan terhadap manifestasi psikososioogis
dan kekacauan-kekacauan psikososial yang menyertainya yang disebabkan oleh
perjalanan penyakit yang fluktuatif dan kronik. Untuk membuat diagnosis yang akurat
dapat memakan waktu sampai betahun-tahun tetapi pengobatan dapat dimulai secara lebih
dini.

Tujuan utama dari pengobatan adalah sebagai berikut :

1. Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan


2. Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimaldari penderita
3. Untuk mencegah dan / memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi

Ada sejumlah cara penatalaksanaan yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan
tujuan ini : pendidikan, istirahat, latihan fisik dan kemoterapi, gizi dan obat-obatan.

Langkah pertama dari program penatalaksanaan ini adalah memberikan pendidikan


yang cukup tentang penyakit kepada penderita, keluarganya dan siapa saja yang
berhubungan dengan penderita. Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian tentang
patofisiologi, penyebab dan prognosis penyakit ini, semua komponen program
penatalaksanaan termaksud rejimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk
mengatasi penyakit ini, dan metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang
diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus dilakukan secara terus-
menerus. Bantuan dapat diperoleh dari diri penderita, masyarakat dan dari orang-orang
lain yang juga menderita reumatoid artritis, serta keluarga mereka.

a. Istirahat penting karena reumatoid artritis biasanya disertai rasa lelah yang hebat.
Walaupun biasanya rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap hari, tetapi ada masa-
masa ketika pasien merasa lebih baik atau lebih berat. Kekakuan dan rasa tidak
nyaman akan meningkat apabila beristirahat, hal ini berarti bahwa pasien dapat mudah
terbangun dari tidurnya pada malam hari karena nyeri. Karena itu metode-metode
untuk mengurangi nyeri malam hari harus diajarkan, misalnya dengan pemberian obat
anti radang kerja lama dan analgesik. Selain itu, penatalaksanaan harus mencakuo
perencanaan aktifitas. Pasien harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali
waktu beraktifitas yang diikuti oleh masa istirahat. Jika ada suatu aktifita tertentu
yang sangat berat, misalnya pesta, maka sebelumnya harus beristirahat.
b. Latihan-latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi.
Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya
2 kali sehari obat-obatan untuk menghilangkan nyeri mungkin perlu diperlukan
sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi-sendi yang sakit dan bengkak
mungkin dapat mengurangi nyeri. Mandi parafin dengan suhu yang biasa diatur dan
mandi dengan suhu panas dan dingin dapat dilakukan dirumah. Latihan dan terapi
panas ini paling baik diatur oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan
khusus, seperti fisioterapis atau terapis kerja. Latihan berlebihan dapat merusak
struktur penunjang sendi yang memnag sudah lemah oleh adanya penyakit.
c. Alat-alat pembantu dan adaptif mungkin diperlukan untuk melakukan aktifitas
kehidupan sehari-hari. Yayasan artritis atau salah satu cabangnya didaerah dapat
menyediakan materi yang menjelaskan bagaimana menggunakkan alat-alat ini dan
dimana alat tersebut dapat dibeli. Tidak dibutuhkan diet khusus untuk pasien
reumatoid artritis ada sejumlah cara pemberian diet dengan berbagai variasi yang
tidak terbukti kebenarannya. Prinsip umumnya adalah pentingnya diet seimbang,
penyakit ini dapat juga menyerang sendi temporamandibular, sehingga membuat
gerakan mengunyah menjadi sulit. Sejumlah obat yang dipakai untuk mengobati
penyakit ini dapat menyebabkan rasa tidak enak pada lambung dan mengurangi
nutrisi yang diperlukan. Mempertahankan berat badan pada batas-batas yang
seajarnya adalah penting. Biasanya pasien akan mudah menjadi terlalu gemuk, sebab
aktifitas penderita reumatoid artritis biasanya rendah. Bertambahnya berat badan
dapat menambah tekanan pada sendi panggul, lutut, dan sendi-sendi pada kaki.
Rujukan ke ahli gizi mungkin dapat membantu mengatasi masalah ini.
d. Terapi pengobatan adalah bagian yang penting dari seluruh program penatalaksanaan
penyakit ini. Obat-obatan dipakai untuk mengurangi nyeri, merendahkan peradangan,
dan untuk mencoba mengubah perjalanan penyakit. Untuk setiap tujuan ini bisa
diberikan obat yang berbeda. Nyeri hampir tidak terpisahkan dari reumatoid artritis,
hal ini berarti ketergantungan terhadap obat harus diusahakan seminimal mungkin.
Cara pengobatan seperti kompres panas atau latihan fisik dapat dipakai untuk
menghilangkan nyeri. Pemberian obat yang utama pada reumatoid artritis adalah
dengan obat-obatan anti inflamasi non steroid ( AINS) kelompok obat ini mngurangi
peradangan dengan mnghalangi prooses produksi mediator peradangan tepatnya,
obat-obatan ini menghambat sintetase prostaglandin atau sikloolksigenase. Enzim-
enzim ini mengubah asam lemak istemik endogen, yaitu asam arakidonat menjadi
prostaglandin, prosestasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat standar
yang sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin, dan semua
golongan AINS lainnya dianggap sama efektif dengan aspirin pada dosis tertentu dari
masing-masing obat tersebut.
Pemberian obat lain baru menjadi indikasi apabila AINS tidak dapat mengendalikan
RA. Pada kelompok ini tercakup berbagai macam obat yang bekerja lambat seperti
senyawa emas, anti malaria, penisilamin, azatioprin, dan metotreksat. Beberapa dari
obat-obatan ini tidak disetujui oleh U.S Food and Drug Administration untuk dipakai
sebagai obat reumatoid artritis. Tujuan pengobatan dengan obat-obatan yang bekerja
lambat ini adalah untuk mengendalikan manifestasi klinis, dan menghentikan atau
memperlambat kemajuan penyakit. Awitan respons terhadap obat-obatan ini sering
sekali timbul perlahan dan dapat berlangsung selama 3 sampai 6 bulan. Respons
maksimum biasanya terjadi setelah 1 tahun. Sedikitnya ada 4 indikasi untuk
pemakaian kortikosteroid. Pemberian oral kronik dilakukan pada kasus-kasus
reumatoid artritis yang tidak berespons terhadap AINS dan obat-obatan yang bekerja
lambat. Indikasi ke dua adalah untuk mengatasi gejala-gejala penyakit yang terjadi
selama menunggu efek dari obat-obatan yanng bekerja lambat. Ketiga suntikan intra-
artikular dilakukan apabila ada eksaserbasi akut dan sinivitis pada satu sendi, yang
gerakannya menjadi sangat terganggu. Indikasi ke empat adalah pemberian dosis
tinggi per oral untuk jangka waktu pendek untuk mengatasi serangan yang berat.
Mekanisme kerja obat kelompok ini adalah sebagai anti peradangan dan
imunosupresi. Peradangan diredakan dengan mnghambat pembentukan prostaglandin,
inhibisi kemotaksis dan fakositosis leukosit dan monosit, stabilisasi enzim-enzim
lisosomal., seperti pencegahan perubahan pada membran kapiler. Penekan ini
imunitas ditimbulkan dengan mengurangiproses antigen dari sel-sel retikuloendotelial
atau monosit makrofag, serta perubbahan fungsi limfosit, ada berbagai efek samping
dari obatobatan ini, terutama bila dipakai untuk suatu jangka waktu yang lama.
Hampir semua sistem oran diganggu oleh efek sampingnya.
2.10 Pencegahan ( Pimer, Sekunder, Tersier )
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer diupayakan agar masyarakat dapat mengetahui atau
menghindari faktor penyebab dari penyakit RA dengan cara berikut :
 Healt Promotion
Pendidikan primer diupayakan agar masyarakat dapat mengetahui atau
menghindari faktor penyebab dari penyakit RA kepada masyarakat.
 General promotion
 Tidak merokok dan menghindari asap rokok seminimal mungkin
 Rajin berolahraga secara teratu setiap hari
 Meminimalisir terjadinya infeksi
 Penggunaan APD untuk meminimalisir tubuh terhadap paparan radikal
bebas
 Meminimalisir penggunaan alat kontrasepsi oral
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder di tujukan untuk mengurangi derajat kesakitan penderita RA
dan mengurangi resiki penyakit lebih lanjut/kronis dengan pengobatan pengobatan
yang tepat.
 Early diagnosis
Pemeiksaan laboratorium, berikut adalah pemeriksaan laboratorium yang bisa
dilakukan untuk membantu menegakan diagnosa RA antara lain :
 Pemeriksaan cairan synovial
Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang
menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.
 Leukosit 5.000 – 50.000 /mm³, menggambarkan adanya proses
inflamasi yang didominasi oleh sel neutrofil (65%)
 Rheumatoid faktor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan
berbanding terbalik dengan airan synovial
 Pemeiksaan kadar sero-imunologi
 Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dai 75% pasien RA
terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra,
tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues,
endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
 Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada RA dini.
 Pemeriksaan darah tepi
 Leukosit : normal atau meningkat sedikit
 Anemia normostik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
 Trombosit meningkat.
 Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
 Protein C- reaktif biasanya positif.
 LED meningkat.
 Laju endap darah
Laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR) yang juga disebut laju
sedimentasi eritrosit adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang
belum membeku, dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak
spesifik. LED dijumpai meningkat selama proses inflamasi akut dan kronis,
kerusakan jarinan ( nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan
kondisi stress fisiologi ( misalnya kehamilan). Menurut sebagian ahli
hematologi LED tidak andal karena tidak spesifik, dan dipengaruhi oleh faktor
fisiologis yang menyebabkan temuan tidak akurat.
1. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang
sering dijumpai. Sebagai obat awal yang kinerja obat ini mampu meredakan
rasa sakit dan peradangan. OAINS yang dapat diberikan :
a. Aspirin
Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1gram / hari,
kemudian dinaikkan 0,3-0,6 gr/minggu sampai terjadi perbaikan atau
gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
b. Ibu profen, naproksen, piroksikam, diklofenak dan sebagainya.
2. Penggunaan DMARD sejak dini secara konsisten untuk menurunkan angka
mortalitas 60% ( dibanding dengan yang tidak menggunakan DMARD).
DMARD merupakan elemen utama dalam pengobatan RA. Obat golongan ini
termasuk : classic, synthetic DMARD ( c DMARD ), biological DMARD, dan
glukokortikoid.
a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau,
namun efektiftasnya lebih rendah dibandinkan dengan yang lain. Dosis
anjuran klorokuin fosfat 250mg / hari hidrosiklorokuin 400mg / hari.
Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan
ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan
anemia hemolitik.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enterik digunakan dalam
dosis 1x500mg / hari. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan
hingga 1 gr / hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai
remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya,
obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi.
Efek sampingnya nausea, muntah dan dipsnea.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat.
Digunakkan dalam dosis 250-300mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan
setiap 2-4 minggu sebesar 250-300mg/hari untuk mencapai dosis total
4x250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit, urtikaria atau
mobiliformis, stomatitis dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak
diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Aurosodium tiomalat
(AST) diberikan IM, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar
10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg,
seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50mg / minggu selama 20
minggu dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2
minggu sampai 3 bulan.
3. Pemberian glukokortikoid jangka pendek (oral, im atau intrartikular) agar
secara cepat memperbaiki gejala pada pasien yang baru terdiagnosa RA jika
mereka tidak menerima glukokortikoid sebagai bagian dari terapi kombinasi
DMARD.

c. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berat, tidak hanya rehabilitasi medis tapi juga rehabilitasi jiwa. Upaya ini
dilakukan pada pasien yang telah atau sedang mengalami tindakan pengobatan
atau terapi pengganti. Pencegahannya sebagai berikut :
 Disability

Tes CRP ( protein C-reaktif) seringkali dilakukan berulang ulang untuk


mengevaluasi dan menentukan apakah pengobatan yang dilakukan efektif.
CRP juga digunakkan untuk memantau penyembuhan luka dan untuk
memantau pasien pasca bedah sebagai sistem deteksi dini kemungkinan
infeksi.

 Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan tindakkan untuk mengembalikan tingkat kemampuan


pasien RA. Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain :

 Mengurangi rasa nyeri dan mencegah terjadinya kekakuan dan


keterbatasan gerak sendi
 Mengistirahatkan sendi yang terlibat dan latihan dengan mengunakan
modalitas terapi fisik seperti pemanasan, pendinginan, peningkkatan
ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisik dalam
pengobatan RA telah terbukti dan saat ini merupakan salah satu
bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan RA.
 Mengurangi stress, mengguatkan sistem pendukung yang biasanya
dari keluarga ataupun teman dekat untuk mengurangi tekanan psikis
pada penderita.
 Mematuhi pola hidup sehat dengan berolahraga teratur dan
mengkonsumsi makanan bergizi seimbang untuk meningkatkan
kualitas hidup sehat.
 Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada
orang lain.
 Program rehabilitasi medis untuk penderita AR, dengan tujuan
mencegah terjadinya deformitas dan memaksimalkan lingkup gerak
sendi fungsional yang bebas nyeri. Latihan beban dan lingkup gerak
sendi telah dilaporkan memiliki efek nutrisi yang menguntungkan
pada kartilago artikular, meskupun penelitian yang ada hanya pada
ekstermitas bawah. Penggunaan tangan untuk aktivitas sehari-hari
sudah merupakan latihan yang cukup bagi sendi.
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan keterlibatan
organ-organ lainnya (misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal) tahapan misalnya
eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaan bersama bentuk-bentuk arthritis lainnya.
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan strespada sendi :
kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan simetris. Limitasi fungsional
yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan, keletihan.
Tanda : Malaise, keterbatasan rentang gerak : atrofi otot, kulit, kontraktor/kelainan
pada sendi.
2. Kardiovaskuler
Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/kaki (misal : pucat intermitten, sianosis,
kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal)
3. Integritas ego
Gejala : Faktor-faktor stress akut/kronis, misal : finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan, keputusan dan ketidakberdayaan (situasi
ketidakmampuan), ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi (misalnya
ketergantungan pada orang lain).
4. Makanan/cairan
Gejala ; Ketidakmampuan untuk menghasilkan / mengkonsumsi makanan / cairan
adekuat, mual, anoreksia, kesulitan untuk mengunyah.
Tanda : Penurunan berat badan, kekeringan pada membran mukosa.
5. Hygiene
Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi,
ketergantungan.
6. Neurosensori
Gejala : Kebas, kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan
pembengkakan sendi simetris.
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Fase akut dari nyeri (mungkin tidak disertai oleh pembengkakan jaringan
lunak pada sendi).
8. Keamanan
Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutaneus, lesi kulit, ulkus kaki, kekeringan
pada meta dan membran mukosa.
9. Interaksi sosial
Gejala : Kerusakan integrasi sosial dengan keluarga/orang lain : perubahan peran ;
isolasi.
10. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Riwayat AR pada keluarga (pada awitan remaja), penggunaan makanan
kesehatan, vitamin, “penyembuhan” arthritis tanpa pengujian, riwayat perikarditis,
lesi katup, fibrosis pulmonal, pleuritis.
Rencana pemulangan : Mungkin membutuhkan bantuan pada transportasi, aktivitas
perawatan diri, dan tugas/pemeliharaan rumah tangga.

Tinjau kembali pemeriksaan diagnostik


Faktor Reumatoid : Positif pada 80-95% kasus
Fiksasi Lateks : Positif pada 75% dari kasus-kasus khas
Reaksi-reaksi aglutinasi : Positif pada lebih dari 50% kasus-kasus khas .
LED : Umumnya menigkat pesat (80-100mm/h) mugkin
kembali normal sewaktu gejala-gejala meningkat
Protein C-reaktif : Positif selama masa eksaserbasi.
SDP : Meningkat pada waktu timbul proses inflamasi.
JDL : Umumnya menunjukkan anemia sedang. Ig (IgM dan
IgG) peningkatan besar menunjukkan proses autoimun
sebagai penyebab AR.
Sinar x dari sendi yang sakit : Menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak,
erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang
berdekatan (perubahan awal) berkembang menjadi
formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan
subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi
secara bersamaan.
Scan Radionuklida : Identifikasi peradangan sinovium
Artoskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan volume
yang lebih besar dari normal : buram, berkabut,
munculnya warna kuning (respon inflamasi, produk-
produk pembuangan degeneratif) elevasi, SDP dan
lekosit, penurunan viskositas dan komplemen (C3 dan
C4).
Biopsi membran sinovial : Menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan
panas.

PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Menghilangkan nyeri
2. Meningkatkan mobilitas
3. Meningkatkan manajemen konsep diri yang positif
4. Mendukung kemandirian
5. Memberikan informasi mengenai proses penyakit / prognosis dan keperluan
pengobatan.

TUJUAN PEMULANGAN

1. Nyeri hilang / terkontrol


2. Pasien menghadapi penyakit ini dengan realistis
3. Pasien dapat menangani aktivitas sendiri / dengan bantuan sesuai kebutuhan
4. Proses / prognosis penyakit dan aturan terapeutik dipahami.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN RENCANA KEPERAWATAN


1. Nyeri akut / Kronis
Dapat dihubungkan dengan : Agen pencedera, distensi jaringan oleh akumulasi
cairan/proses inflamasi. destruksi sendi.
Dapat dibuktikan oleh :
 Keluhan nyeri, ketidaknyamanan, kelelahan.
 Berfokus pada diri sendiri / penyempitan fokus
 Perilaku distraksi / respons autonomic
 Perilaku yang bersifat hati-hati / melindungi

Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan:


 Menunjukkan nyeri hilang / terkontrol
 Terlihat rileks, dapat tidur/beristirahat dan berpartisipasi dalam aktivitas
sesuai kemampuan.
 Mengikuti program farmakologis yang diresepkan.
 Menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan dalam
program kontrol nyeri.

Intervensi :
a) Selidiki keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0-10).
Catat faktor-faktor yang mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit
non verbal.
b) Berikan matras / kasur keras, bantal kecil. Tinggikan linen tempat
tidur sesuai kebutuhan.
c) Dorong untuk mengubah posisi, bantu untuk bergerak di tempat
tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan bawah, hindari gerakan
yang menyentak.
d) Dorong penggunaan teknik manajemen stress, misalnya relakasasi
progresif, sentuhan terapeutik, visualisasi, pedoman imajinasi dan
pengendalian nafas.
e) Beri obat sebelum aktivitas / latihan yang direncanakan sesuai
petunjuk.
f) Kolaborasi : Berikan obat-obatan sesuai petunjuk (misal: asetil
salisilat).

2. Kerusakan Mobilitas Fisik


Dapat dihubungkan dengan : Deformitas skeletal, nyeri, ketidaknyamanan intoleransi
aktivitas, penurunan kekuatan otot.
Dapat dibuktikan oleh :
 Ketidakmauan untuk mencoba bergerak / ketidakmampuan untuk dengan
sendiri bergerak dalam lingkungan fisik.
 Membatasi rentang gerak, ketidakseimbangan koordinasi, penurunan kekuatan
otot / kontrol dan massa (tahap lanjut).
Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi-pasien akan :

 Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya / pembatasan


kontraktur.
 Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan fungsi dari atau
konpensasi bagian tubuh.
 Mendemonstrasikan teknik / perilaku yang memungkinkan melakukan
aktivitas.

Intervensi :
a) Evaluasi / lanjutkan pemantauan tingkat inflamasi/ rasa sakit
pada sendi
b) Pertahankan istirahat tirah baring/ duduk jika diperlukan jadwal
aktivitas untuk memberikan periode istirahat yang terus
menerus dan tidur malam yang tidak terganggu.
c) Bantu dengan rentan gerak aktif / pasif, demikian juga latihan
resistif dan isometris jika memungkinkan.
d) Ubah posisi dengan sering dengan jumlah personil cukup.
Demonstrasikan / bantu tekhnik pemindahan dan penggunaan
bantuan mobilitas, misal trapeze sirkulasi.
e) Posisikan dengan bantal, kantung pasir, gulungan trokanter,
bebat, brace.
f) Dorong pasien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi,
berdiri dan berjalan.
g) Berikan lingkungan yang aman, misalnya menaikan kursi
menggunakkan pegangan tangga pada toilet, penggunaan kursi
roda.
h) Kolaborasi : konsul dengan fisioterapi.
i) Kolaborasi : berikan matras busa / pengubah tekanan.
j) Kolaborasi : berikan obat obatan sesuai indikasi ( steroid )

3. Gangguan citra tubuh / perubahan penampilan peran


Dapat dihubungkan dengan : perubahan kemampuan untuk melaksanakan tugas-
tugas umum, peningkatan penggunaan energi, ketidakseimbangan mobilitas.
Dapat dibuktikan oleh :
 Perubahan fungsi dari bagian bagian yang sakit
 Bicara negatif tentang diri sendiri, fokus pada kekuatan masa lalu, dan
penampilan
 Perubahan pada gaya hidup / kemampuan fisik untuk peran, kehilangan
pekerjaan, ketergantungan pada orang yang terdekat.
 Perubahan pada keterlibatan sosial : rasa terisolasi
 Perasaan tidak berdaya, putus asa

Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi – pasien akan :

 Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk


menghadapi penyakit perubahan gaya hidup, dan kemungkinan
keterbatasan.
 Menyusun rencana realistis untuk masa depan

Intervensi :

a) Dorong pengungkapan mengenai masalah tentang proses penyakit


harapan masa depan
b) Diskusikan arti dari kehilangan / perubahan pada pasien atau orang
terdekat. Memastikan bagaimana pandangan pribadi pasien dalam
memfungsikan gaya hidup sehari hari, termasuk aspek-aspek seksual.
c) Diskusikan persepsi pasien mengenai bagaimana orang terdekat
menerima keterbatasan.
d) Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal atau terlalu
memperhatikan perubahan.
e) Susun batasan pada perilaku maladaptif. Bantu pasien untuk
mengidentifikasi perilaku positif yang dapat membantu koping.
f) Ikut sertakan pasien dalam merencanakan perawatan dan membuat
jadwal aktivitas.
g) Bantu dalam kebutuhan perawatan yang diperlukan
h) Kolaborasi rujuk pada konseling psikiatri, misal : perawat spesialis
psikiatri, psikolog.
i) Kolaborasi berikan obat-obatan sesuai petunjuk, misal : antiansietas
dan obat-obatan peningkat alam perasaan.

4. Kurang perawatan diri


Dapat dihubungkan dengan : kerusakan muskuloskeletal : penurunan kekuatan,
daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.
Dapat dibuktikan oleh : ketidakmampuan untuk mengatur kegiatan sehari hari.
Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan :
 Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten denan
kemampuan individual.
 Mendemonstrasikan perubahan teknik / gaya hidup untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
 Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi / komunitas yang dapat
memenuhi kebutuhan perawatan diri.

Intervensi :

a) Diskusika tingkat fungsi umum ( 0-4) sebelum timbul awitan /


eksaserbasi penyakit dan potensial peubahan yang sekarang
diantisipasi.
b) Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan.
c) Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri. Identifikasi
atau rencana untuk modifikasi lingkungan.
d) Kolaborasi konsul dengan ahli terapi okupasi dan atur konsul dengan
lembaga lainnya misal pelayanan perawatan dirumah, ahli nutrisi.
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Reumatoid artritis adalah suatu bentuk penyakit yang menyeran sendi dan
struktur atau jaringan penunjang disekitar sendi. RA merupakan suatu penyakit
autoimun dimana persendian ( biasanya sendi tangan / kaki )secara simetris
mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali
akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi.
Penyakit ini biasanya muncul pada orang yang berusia 25-50 tahun, tetapi
tidak menutup kemungkinan penderitanya pada usia berapapun. Wanita lebih sering
terserang penyakit ini. Bagian tubuh yang biasa diserang oleh penyakit ini adalah
pada persendian jari, lutut, pinggul dan tulang punggung. RA merupakan penyakit
degeneratif yang sifatnya menahun, serta dapat menghambat aktivitas penderitanya.

Anda mungkin juga menyukai