Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit Arthritis Reumotoid


2.1.1 Definisi Arthritis Reumotoid
Penyakit Arthritis Rheumatoid (AR) merupakan
salah satu penyakit autoimun berupa inflamasi arthritis pada
pasien dewasa (Singh et al., 2015). Rasa nyeri pada penderita
AR pada bagian sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa akan
mengalami penebalan akibat radang yang diikuti oleh erosi
tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat,
2010) hingga dapat menyebabkan kecacatan (Yazici & Simsek,
2010). Namun demikian, kebanyakan penyakit rematik
berlangsung kronis, yaitu sembuh dan kambuh kembali secara
berulangulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi secara
menetap pada penderita AR (Muchid, 2006) (Chabib, Ikawati,
Martien, & Ismaill, 2016).
Arthritis Reumatoid (AR) adalah penyakit peradangan
sistemis kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan
manifestasi pada sendi perifer dengan pola simetris. Konstitusi
gejala, termasuk kelelahan, malaise, dan kekakuan pada pagi
hari. Pada AR sering melibatkan organ ekstra-artikular seperti
kulit, jantung, paru – paru, dan mata. AR menyebabkan
kerusakan sendi dan dengan demikian sering menyebabkan
morbiditas dan kematian yang cukup besar (Noor, 2016).
Rematik merupakan suatu penyakit yang telah lama
dikenal dan tersebar luas diseluruh dunia yang secara simetris
mengalami peradangan sehingga akan terjadi pembengkakan,
nyeri dan ahirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi
dan akan mengganggu aktivitas/pekerjaan penderita (Junaidi,
2006). Rematik lebih sering terjadi pada orang mempunyai
aktivitas yang berlebih dalam menggunakan lutut seperti
pedagang keliling, dan pekerja yang banyak jongkok karena
terjadi penekanan yang berlebih pada lutut, umumnya semakin
berat aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam kegiatan
sehari-hari maka pasien akan lebih sering mengalami Rematik
terutama pada bagian sendi dan lebih sering terjadi pada pagi
hari. Penyakit peradangan sendi biasanya dirasakan terutama
pada sendi-sendi bagian jari dan pergelangan tangan, lutut dan
kaki, dan pada stadium lanjut penderita tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari dan kualitas hidupnya akan menurun
(Sarwono, 2001).
2.1.2 Etiologi
Penyebab AR tidak diketahui. Faktor genetik,
lingkungan, hormon, imunologi dan faktor – faktor infeksi
mungkin memainkan peran penting. Sementara itu, faktor
sosial ekonomi, psikologis, dan gaya hidup dapat
mempengaruhi progresivitas dan penyakit.
1. .Genetik
Sekitar 60% dari pasien dengan RA membawa epitop
bersama dari cluster HLA-DR4 yang merupakan salah
satu situs pengikatasn peptida molekul HLA-DR tertentu
yang berkaitan dengan AR.
2. .Lingkungan
Untuk beberapa dekade, sejumlah agen infeksi seperti
organisme Mycoplasma, Epstein-Barr dan virus rubella
menjadi predisposisi peningkatan AR.
3. .Hormonal
Hormon seks mungkin memainkan peran, terbukti
dengan jumlah perempuan yang tidak proporsinal dengan
RA, ameliorasi selama kehamilan, kambuh dalam
periode pospartum dini, dan insiden berkurang pada
wanita yang menggunakan kontrasepsi oral.
4. .Imunologi
Semua elemen imunologi utama memainkan peran
penting dalam propagrasi, inisiasi, dan pemeliharaan dari
proses autoimun AR. Peristiwa selular dan sitokin yang
mengakibatkan konsekuensi patologis kompleks, seperti
proliferasi sinovia dan kerusakan sendi berikutnya.
Keterlibatan limfosit T dan B, antigen presenting sel
(mislanya sel B, makrofag, dan sel dendritik), serta
banyak sitokin. Penyimpangan produksi dan regulasi dari
kedua sitokin proinfalamasi dan antiinfalamasi dan jalur
sitokin ditemukan di AR. Sel T CD4 diasumsikan
memainkan peran penting dalam inisiasi AR. Sel – sel
kemudian dapat mengaktifkan makrifag dan populasi sel
lainnya, termasuk fibrola sinovia. Makrifag dan sinovia
fibroblas menjadi produsen utama dari sitokin
proinflamasi TNF-alfa dan IL-1. Hiperaktivasi dari
membran sinovia membentuk jaringan pannus dan
menyerang tulang sehingga mengalami degradasi oleh
aktivitas osteoklas. Perbedaan utama antara AR dan
bentuk lain dari inflamasi artritis, seperti radang sendi
psoriasis, tidak terletak pada pola sitokin mereka, tetapi
lebih pada potensi merusak yang sangat dari membran
sinovia AR dan autoimun sistemis lokal. Hubungan dua
peristiwa tersebut tidak jelas, namun respon autoimun
dibayangkan mengarah pada pembentukan imunitas
kompleks yang mengaktifkan proses inflamasi ke tingkat
yang lebih tinggu yang jauh dari biasanya (Noor, 2016)
2.1.3 Patofisiologi
AR tidak diketahui penyebabnya. Meskipun etiologi
infeksi telah berspekulasi bahwa penyebabknya adalah
organisme. Mikoplasma, virus Epstein-Barr, pravovirus, dan
rubella, tapi tidak ada organisme yang terbukti bertanggung
jawab. AR dikaitkan dengan banyak respon autoimun, tetapi
apakah autoimunitas merupakan peristiwa sekunder atau
perimer masih belum diketahui (Noor, 2016). AR memiliki
komponen genetik yang signifikan dan berbagi epitop dari
cluster HLA-DR4/DR1 hadir pada 90% pasien dengan AR.
Hiperplas sel cairan sendi dan aktivasi sel endotel adalah
kejadian pada awal proses patologis yang berkembang menjadi
peradangan yang tidak terkontrol dan berakibat pda kehancuran
tulang dan tulang rawan. Faktor genetik dan kelainan sistem
kekebalan berkontribusi terhadap progresivitas penyakit. Sel T
CD4, fagosit mononuklear, fibroblas, osteoklas, dan neutrofil
memainkan peran selular utama dalam patofisiologi AR,
sedangkan limfosit B memproduksi autoantibodi. Produksi
sitokin abnormal, kemokin dam mediator inflamasi lain
(misalnya TNF-alpha, interleukin (IL) -1, IL-6, IL-8, serta faktor
pertumbuhan fibriblas) telah ditunjukan pada pasien AR. Pada
akhirnya, peradangan dan proliferasi sinovium (yaitu pannus)
menuju pada kerusakan dari berbagai jaringan, termasuk tulang
rawan, tulang, tendon, ligamen, dan pembuluh darah. Meskipun
struktur artikular adalah tempat utama yang terlibat oleh AR,
tetapi jaringan lain juga terpengaruh (Noor, 2016).
5.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang khas pada klien Arthritis
Reumatoid adalah munculnya nyeri pada sendi – sendi tangan,
siku dan kaki. Manifestasi klinis yag muncul berupa inflamasi
sendi, bursa dan sarung tendo yang menyebabkan nyeri,
bengkak, dan kekakuan sendi serta hidrops ringan. Serangan
biasanya hilang timbul, dan setiap serangan disertai dengan
gejala dan tanda sistemik berupa demam ringan, malaise, cepat
lelah dan penurunan berat badan. Biasanya AR timbul secara
simetris pada 30% penderita, terlihat nodul subkutan yang sering
terdapat di ekstremitas atas dan tampak sebagai vaskulitis
reumatoid, yang merupakan manifestasi ekstraartikuler. Pada
tahap lanjut akan terjadi deformitas sendi akibat spasme otot
untuk mempertahankan posisi sendi agar tidak nyeri, kerusakan
dalam sendi, kontra fibrosis, serta subluksasio sendi
(Sjamsuhidajat,2016).
Faktor penyebab pada Arhritis reumatoid memang belum
diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah
mekanisme imunitas (antigen-antibodi) dan faktor metabolik
dan infeksi virus. Berikut adalah manifestasi klinis dari Arhritis
rheumatoid :
a. Setempat
1) Sakit pada persendian disertai kaku dan gerakan
terbatas.
2) Semakin lama akan membengkak, panas, merah, dan
lemah.
3) Perubahan bentuk tangan, jari tangan seperti leher
angsa, deviasi ulna
4) Semua sendi dapat terserang (panggul, lutut,
pergelangan tangan, siku, bahu, rahang)
b. Sistemik
1) Mudah capek, lemah, dan lesu
2) Demam
3) Takikardia
4) Berat badan akan mengalami penurunan
5) Anemia
Tabel 2.1 Berikut ini adalah kriteria Arhritis reumatoid menurut
American Reumatism Association (ARA).
Kriteria Tanda dan gejala
1 Kekakuan sendi jari jari tangan pada pagi hari (morning stiffness).
2 Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang – kurangnya
pada satu sendi.
3 Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi
cairan) pada salah satu sendi secara terum menerus sekurang –
kurangnya selama 6 minggu.
4 Pembengkakan pada sekurang – kurangnya salah satu sendi lain.
5 Pembengkakan sendi yang bersifat simetris.
6 Nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang di daerah ekstensor.
7 Gambaran foto rongent yang khas pada Arhritis reumatoid.
8 Uji aglutinasi faktor Arhritis reumatoid.
9 Perubahan karakteristik histologik lapisan sinovia.
10 Gambaran histologik yang khas pada nodul.
11 Pengendapan cairan cousin yang jelek.
Hasil penilaian:
a. Klasik, bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang – kurangnya
selama 6 minggu
b. Definitif, bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang –
kurangnya selama 6 minggu
c. Kemungkinan Arhritis reumatoid, bila terdapat 3 kriteria dan
berlangsung sekurang – kurangnya selama 4 minggu
Sumber: (Noor, 2016).

2.1.5 Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan peninggian
laju endap darah dan faktor reumatoid yang positif sekitar 70%
pada awal penyakit, faktor ini negatif (Sjamsuhidajat, 2016).
Tidak ada tes patognomonik tersedia untuk mengkonfirmasi
diagnosis RA, melainkan diagnosis dibuat menggunakan
klinis, laboratorium dan fitur imaging
a. Tanda peradangan, seperti LED dan CRP, berhubungan
dengan aktivitas penyakit. Selain itu, nilai CRP dari waktu ke
waktu berkorelasi dengan kemajuan radiografi.
17

b. Parameter hematologi termasuk jumlah CBC dan analisis


cairan sinovia
1) Profil sel darah lengkap: anemia, trombisitosis,
trombositopenia, leukositosis, dan leukopenia.
2) Analisis cairan sinovia: inflamasi cairan sinovia, dan
dominasi neutrofil (60 – 80%)
3) WBC count (2000/ul) hadil dengan jumlah WBC umumnya
dari 5000 – 50.000ul.
4) Parameter imunologi: faktor rematoid hadir pda sekitar 60 –
80% pasien dengan AR
5) Radiografi: perhatikan bahwa erosi mungkin ada pada kaki,
bahkan tanpa adanya rasa sakit dan tidak adanya erosi di
tangan.
6) MRI: modalitas ini digunakan terutama pada pasien dengan
kelainan tulang belakang leher; pengenalan awal erosi
berdasarkan citra MRI telah cukup divalidasi
7) Ultrasonografi: hal ini memungkinkan pengkuan efusi pada
sendi yang tidak mudah diakses (misalnya: sendi pinggul dan
sendi bahu pada pasien obesitas) dan kista (kista baker)
8) Bone scanning: temua dapat membantu membedakan
inflamasi dari perubahan yang bisa menyebabkan peradangan
pada pasien dengan minimal pembengkakan
9) Densitometri: temuan yang berguna untuk membantu
mendiagnosis perubahan dalam kepadatan mineral tulang
mengindikasi osteoporosis (Noor, 2016)

2.1.6 Penatalaksanaan
AR harus ditangani secara sempurna. Penderita harus
diberi penjelasan bahwa penyakit ini tidak dapat sembuh dan
diberi dukungan psikologis (Sjamsuhidajat, 2016). Menurut
(Noor, 2016) Perawatan yang optimal pasien dengan arthritis
reumatoid membutuhkan pendekatan yang terpadu dalam terapi
farmakologis dan nonfarmakologi
1. Non farmakologis
a. Pendidikan kesehatan penting dalam membantu pasien untuk
memahami penyakit mereka dan belajar bagaimana cara
mengatasi konsekuensinya.
b. Fisiologi dan terapi fisik dimulai untuk membantu
meningkatkan dan mempertahankan berbagai gerakan,
meningkatkan kekuatan otot, serta mengurangi rasa sakit.
c. Terapi okupasi dimulai untuk membantu pasien untuk
mengguanakn sendi dan tendon efisien tanpa menekankan
struktur ini, membantu mengurangi ketegangan pada sendi
dengan splints dirancang khusus, serta menghadapi
kehidupan sehari – sehari melalui adaptasi kepada pasien
dengan lingkungan dan penggunaan alat bantu yang berbeda
2. Farmakologi

a. DMARD’s merupaka ukuran yang paling penting dalam


pengobatan sukses AR. DMARD’s dapat memperlambat atau
mencegah perkembangan kerusakan dan hilangnya fungsi
sendi. Terapi DMARD’s yang sukses dapat menghilangkan
kebutuhan untuk obat antiinflamasi atau analgesik lainnya.
Agen Xenobiotic DMARD’s, meliputi: garam emas
(misalnya; autrotimalat, auranofin, lainnya); D-penisilamin;
klorokuin dan hidrodklorokuin; sulfasalazin (SSZ),
metotreksat (MTX); azatioprina; dan sikolosporin A
b. Gkukortikoid adalah obat antinflamasi manjur dan biasanya
digunakan pada pasien dengan AR untuk menjembatani
waktu sampai DMARD’s efektif. Dosis prednison 10 mg
perhari biasanya digunakan, namun beberapa pasien
mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi. Pengurangan
dosis tepat waktu dan penghentian obat merupakan hal
penting terkait dengan efek samping penggunaan steroid
jangka panjang.
c. NSAID mengganggu sintesi prostaglandin melalui
penghambatan enzim sikoogsigenase (COX) sehingga
mengurangi pembengkakan dan rasa sakit. Namun, mereka
tidak menghambat kerusakan sendi dan oleh karena itu tidak
cukup untuk mengobati AR ketika digunkan sendiri. Serupa
dengan glukokortikoid, mereka dapat dikurangi dalam dosis
atau dihentikan dengan terapi DMARD’s sukses.
d. Analgesik, seperti asetaminofen/parasetamol, tromadol,
kodein, opiat, dan berbagai obat analgesik lainnya juga dapat
digunakan untuk mengurangi rasa sakit. Agen ini tidak
mengobati kerusakan bengkak atau sendi
3. Pembedahan
Keterlibatan tulang belakang servikal biasanya
memengaruhi C1-C2 dan berpotensi dapat menyebabkan
konsekuensi serius neurologis. Pasien yang mengalami
intubasi atau prosedur yang mungkin melibatkan manipulasi
leher harus menjalani evaluasi yang teliti terhadap tulang
belakang leher. Paien dengan AR sering perlu beberapa operasi
waktu ke waktu (misalnya: sinovekromi, koreksi tendon, dan
pengganti sendi (Noor, 2016).

2.1.7 Komplikasi
AR sendiri tidak fatal, tetapi komplikasi penyakit dapat
mempersingkat hidup beberapa individu. Secara umum, AR
progresif dan tidak bisa disembuhkan. Dalam beberapa waktu
penyakit ini secara bertahap menjadi kurang agresif. Namu,
jika tulang dan ligamen mengalami kehancuran dan perubahan
bentuk apapun dapat menimbulkan efek yang permanen.
Deformitas dan rasa nyeri pada kegiatan sehari – hari dapat
terjadi atau dialami. Sendi yang terkena bisa menjadi cacat dan
kinerja tugas sehari – hari akan menjadi sangat sulit atau tidak
mungkin dilakukan. Menurut satu survei, 70% dari pasien
dengan penyakit AR
menyatakan bahwa AR menghambat produktivitas. Pada tahun
2000, sebuah penelitian di inggris menemukan bahwa sekitar
sepertiga dari individu berhenti bekerja dalam waktu lima
tahun setelah timbulnya penyakit AR adalah penyakit sistemis
yang dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh selain sendi,
seperti berikut ini.
Neuropati perifer memengaruhi saraf yang paling sering terjadi di
tangan dan kaki.
1. Anemia
2. Skleritis adalah suatu peradangan pada pembuluh darah dimata yang
dapat mengakibatkan kerusakan kornea, skleromalasia dan dalam
kasus yang parah skleritis nodular atau perforasi
3. Infeksi. Pasien dengan AR memiliki resiko lebih tinggi untuk
infeksi. Obat – obat imunosupresif perlu dipertimbangkan
4. Masalah GI. Walaupun pasien dengan AR mungkin mengalami
gangguan usus atau perut atau bahkan kanker lambung dan
kolorektal
5. Osteoporosis, adalah lebih umum terjadi pada wanita
postmenopouse dengan AR, terutama pada area pinggul. Risiko
osteoporosis juga tampaknya lebih tinggi pada laki – laki riwayat
AR yang berusia lebih dari 60 tahun.
6. Penyakit paru. Satu studi krcil menemukan pravelensi yang sangat
tinggi terjadinya penyakit paru – paru (radang paru – paru dan
fibrosis) pada apsien yang baru didiagnosa AR. Namun hubungan
antara riwayat merokok dan risiko AR masih perlu diteliti.
Bagaimanapun merokok dapat memperburuk kondisi penyakit.
7. Penyakit jantung. AR dapat memengaruhi pembuluh darah dan
independen meningkatkan risiko penyakit jantung koronenr
iskemik.
8. Sindrom sjogren. Sicca keratokonjungtivitis adalah komplikasi
umum pada dari AR. Selain itu, pembesaran kelenjar ludah juga
berkurang pada umumnya.
9. Sindrom felty. Kondisi ini ditandai oleh kombinasi splenomegali,
leukopenia (neutropenia), dan infeksi bakteri berulang. Sindrom
Felty terkadang merespon terhadap terapi DMARD
10. Linfoma dan kanker lainnya. Perubahan dalam sistem kekebalan
tubuh yang terkait dengan AR mungkin memainkan peran dalam
risiko yang lebih tinggi untuk limfoma. Kanker lain mungkin terjadi
pada pasien dengan AR, termasuk kanker prostat dan paru – paru.
11. Sindrom aktifasi makrofag. Ini adalah komplikasi yang mengancam
nyawa RA dan membuuhkan pengobatan dengan steroid dosis
tinggu dan sklosporin A. Pasien dengan AR harus menyadari gejala,
seperti deman terus menerus, kelemahan, mengantuk dan kelesuan
(Noor, 2016)

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Athritis Reumotoid


2.2.1 Pengkajian
a. Identitas
Identitas klien yang biasa dikaji pada penyakit
sistem muskuloskeletal adalah usia.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien
yang sakit musculoskeletal seperti AR adalah klien
merasakan nyeri pada persendian yang terkena dan
terbatasnya gerak persendian .
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai
penyakit yang diderita oleh klien dari mulai timbulnya
keluhan yang dirasakan sampai klien dibawa ke Rumah
Sakit, dan apakah pernah memeriksakan diri ke tempat
lain selain Rumah Sakit umum serta pengobatan apa
yang pernah diberikan . Riwayat penyakit pada AR
biasanya dominan dengan nyeri, keletihan, dan kekakuan
sendi, keternatasan pergerakan serta pembengkakan
sendi. Nyeri tekan sendi dan kekakuan sendi terjadi
karena inflamasi dan akibat pembentukan jaringan parut.
Kekakuan sendi akan lebih parah terjadi pada pagi hari
dan mengenai sendi secara bilaterla (Corwin, 2009).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kesehatan yang lalu seperti riwayat
penyakit muskuloskeletal sebelumnya, riwayat pekerjaan
pada pekerja yang berhubungan dengan adanya riwayat
penyakit musculoskeletal,dan apakah pernah minum
obat-obatan,riwayat minum-minuman alcohol.

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Apakah di dalam keluarga klien terdapat penyakit
yang sama
f. Pemeriksaan fisik
1 Keadaan Umum
Keadaan klien pada musculoskeletal biasa
hanya berbaring dan lemah
2 Kesadaran
Biasanya pada klien musculoskeletal
Composmetis dan Apatis
3 Tanda-tanda Vital
a) Suhu meningkat (>37c)
b) Nadi meningkat (>70-82x/ menit)
c) Tekanan darah meningkat atau dalam batas normal
d) Pernafasan normal dan bisa saja meningkat

4 Pemeriksaan reviuw of system (ROS)


a) Sistem pernafasan (B1 : Breathing)
Apakah terdapat peningkatan pernafasan atau masih dalam
batas normal.

b) Sistem sirkulasi (B2 : Bleedning)

Kaji adanya penyakit jantung,adakah peningkatan


vena jagularis,warna dan kehangatan.
c) Sistem pernafasan (B3 : Brain)

Kaji tingkat kesadaran adakah penurunan


sirkulasi ,spasme otot,pergerakan
mata/penglihatan ,dilastasi pupil.
d) Sistem perkemihan (B4 : Bleder)

Perubahan eliminasi urin ,seperti inkontinensia


urin ,disuria ,warna dan bau urin
e) Sistem pencernaan (B5 : Bowell)

Kaji adakah konstipasi,kosnsisten feses,frekuensi


eliminasi,askiltasi bising usus,nyeri tekan abdome
f) Sistem musculoskeletal (B6 :Bone)

Kaji adanya nyeri tekan secara tiaba-tiba


mungkin adanya sianosis, dapat berkurang pada
mobilisasi, kekuatan otot,kontrafraktur.

. Pengkajian nyeri meliputi:


1. Onset : Tentukan kapan rasa tidak nyaman
dimulai.
2. Provokasi : faktor pencetus dan penyebab
nyeri,
3. Quality : deskripsi nyeri yang dirasakan
seseorang, karakteristik nyeri.
4. Radiation/Region : region yang mengalami
nyeri dapat ditunjukkan dengan gambar
5. Severity : kekuatan dari nyeri dengan
menggunakan skala nyeri.
6. Time : waktu timbul nyeri, periode (durasi)
nyeri dirasakan
7. Understanding : Bagaimana persepsi nyeri
klien? Apakah pernah merasakan nyeri
sebelumnya? Jika iya, apa masalahnya?
8. Values : Tujuan dan harapan untuk nyeri yang
diderita pasien.

g) Pola fungsi kesehatan


Yang perlu dikaji adanya nyeri berat tiba –

tiba/mungkin terlokalisasi pada area jaringan,

dapat berkurang pada imobilisasi, kekuatan otot,

kontraktur, atrofi otot, laserasi kulit dan

perubahan warna.

h) Pola nutrisi
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan,
dan elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet,
kesulitan menelan, mual/muntah, dan makanan
kesukaan.
i) Pola eliminasi
Menjelaskan pola fungsi ekskresi, kandung
kemih, defekasi, ada tidaknya masalah defekasi,
masalah nutrisi, dan penggunaan kateter.
j) Pola tidur

Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan


persepsi terhadap energi, jumlah jam tidur pada
siang dan malam, masalah tidur, dan insomnia.
k) Pola aktivitas dan istirahat
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi
pernafasan, dan sirkulasi, riwayat penyakit
jantung, frekuensi, irama, dan kedalaman
pernapasan
l) Pola hubungan dan peran
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan
peran klien terhadap anggota keluarga dan
masyarakat tempat tinggal, pekerjaan, tidak
punya rumah, dan masalah keuangan.
m)Pola sensori dan kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola
persepsi sensori meliputi pengkajian penglihatan,
pendengaran, perasa, dan pembau. Pada pasien
AR meliputi pengkajian perasaan nyeri pasien.
Pasien mengekspresikan perilaku (gelisah,
merengek, menangis), ekspresi wajah nyeri
(tampak kacau, gerakan mata berpencar, atau
tetap pada satu fokus, dan meringis).
n) Pola persepsi dan konsep diri

Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan


persepsi terhadap kemampuan konsep diri.
Konsep diri menggambarkan gambaran diri,
harga diri, peran, identitas diri. Manusia sebagai
sistem terbuka dan makhluk bio – psiko – sosio –
kultural – spiritual, kecemasan, ketakutan, dan
dampak terhadap sakit
o) Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan kepuasan/masalah terhadap
seksualitas.
p) Pola mekanisme atau penggunaan koping stres
Menggambarkan kemampuan untuk menangani
stress.
q) Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai
keyakinan termasuk spiritual (Allen, 1998) dalam
buku (Aspiani, 2014).
2.2.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis
tentang respons individu, keluarga atau komunitas
terhadap proses kehidupan/masalah kesehatan. Aktual
atau potensia dan kemungkinan membutuhkan tindakan
keperawatan untuk memecahkan masalah tersebut
(Bararah & Jauhar, 2013). Berikut ini Diagnosa
Keperawatan pada klien AR menurut (Aspiani, 2014):
a) Nyeri akut/krinis berhubungan dengan agen injuri
(bilogis ,kimia ,fisik ,psikologis) ditandai dengan
melaporkan rasa nyeri di tubuh pasien dengan
ekspresi wajah meringis.
b) Definisi pengetahuan berhubungan dengan
kurang paparan ,mudah lupa ditandai dengan
melaporkan adanya masalah dan klien mengikuti
instruksi tidak akurat.
c) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
nyeri dan ketidaknyamanan kerusakan
neuromuscular,kehilangan struktur tulang dan
kekakuan sendi.
d) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional,
prubahan kesehatan, stress, ancaman kematian di
tandai dengan produktifitas kurang , kontak mata
kurang, klien tampak gelisah, klien mudah
tersinggung, klien tampak cemas, reflek
bertambah, wajah tegang, tammpak lelah, tekanan
darah meningkat.
e) Resiko jatuh berhubungan dengan adanya
peradangan pada persendian, penurunan kekuatan
otot, kerusakan mobilitas fisik.
f) Deficit keperawatan diri berhubungan dengan
adanya peradangan musculoskeletal di tandai
dengan klien tidak bisa membersihkan badan atas
atau bawah.
2.2.3 intervensi
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka
intervensi dan aktivitas keperawatan perlu di tetapkan
untuk mengurangi , menghilangkan ,dan mencegah maslah
keperawatan penderita. Tahapan ini disebut sebagai
perencanaan keperawatan yang meliputi penentuan
prioritas ,diagnosa keperawatan ,menetapkan sasaran dan
tujuan menetapkan kriteria evaluasi dan merumuskan
intervensi dan aktivitas keperawatan (Bararah & Jauhar,
2013)

No Diagnosa Perencanaan
keperawatan
Tujuan dan kriteria Intervensi keperawatan
hasil
1 Nyeri akut/kronis Setelah dilakukan NIC: Manajemen nyeri
berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Lakukan pengkajian nyeri
Agen injuri (biologi, selama 4x24 jam secara komprehensif yang
kimia, fisik, diharapkan nyeri klien meliputi lokasi,
psikologis) ditandai dapat berkurang. karakteristik, durasi,
dengan klien frekuensi, kualitas,
melaporkan adanya NOC: intensitas, dan faktor
nyeri pada 1. Tingkat nyeri pencetus
persendian, ekspresi 2. Kontrol Nyeri 2. Observasi adanya petunjuk
wajah meringis. non verbal mengenai
Kriteria hasil: ketidaknyamanan
Definisi: Nyeri akut Tingkat nyeri: 3. Gunakan komunikasi
Pengalaman sensori 1. Melaporkan nyeri terapeutik untuk
dan emosional tidak dengan skala mengetahui pengalaman
menyenangkan 2. Panjangnya nyeri
berkaitan dengan episode nyeri 4. Gali pengetahuan dan
kerusakan jaringan 3. Menggosok area kepercayaan pasien
aktual atau potensal, yang terkena mengenai nyeri
atau yang dampak 5. Kaji pengaruh budaya
digambarkan sebaga 4. Mengerang dan terhadap respon nyeri
kerusakan menangis 6. Evaluasi pengalaman nyeri
(International 5. Ekspresi wajah 7. Bantu keluarga dalam
Association for the nyeri mencari dan menyiapkan
Study of Pain), 6. Tidak bisa dukungan
awitan yang tiba – beristirahat 8. Berikan informasi
tiba atau lambat 7. Agitasi mengenai nyeri, seperti
dengan dengan 8. Iritabilitas penyebab nyeri, berapa
intensitas ringan 9. Mengerinyit lama nyeri akan
hingga berat, dengan 10. Mengeluarkan diarasakan, dan antisipasi
berakhirnya dapat keringat ketidaknyamanan dari
diantisipasi atau 11. Berkeringat prosedur
diprediksi, dan berlebih 9. Kendalikan faktor
dengan durasi kurang 12. Mondar – mandir lingkungan yang dapat
dari 3 bulan 13. Fokus menyempit mempengaruhi respon
14. Ketegangan otot pasien terhadap
Batasan 15. Kehilangan nafsu ketidaknyamanan
Karakteristik: makan 10. Kurang faktor – faktor
1. Perubahan selera 16. Mual yang dapat meningkatkan
makan 17. Intoleransi nyeri
2. Perubahan pada makanan 11. Pilih implementasi
parameter 18. Frekuensi nafas tindakan yang beragam
fisiologis 19. Denyut jantung misal farmakologi,
3. Diaforesis apikal nonfarmakologi relaksasi
4. Perilaku distraksi 20. Denyut nadi radial nafas dalam dan kompres
5. Bukti nyeri 21. Tekanan darah hangat dan dingin,
dengan 22. Berkeringat interpersonal untuk
mengguankan 23. Pernafasan memfasilitasi penurunan
standar daftar nyeri
periksa nyeri Kontrol nyeri 12. Ajarkan prinsip –prinsip
untuk pasien 1. Mengenal kapan menejemen nyeri
yang tidak dapat nyeri terjadi 13. Dorong pasien untuk
mengungkapkan 2. Menggambarkan memonitor nyeri dan
nya faktor penyebab menangani nyerinya yang
6. Perilaku 3. Menggunakan tepat
ekspresif jurnal harian untuk 14. Ajarkan penggunaan
7. Ekspresi wajah memonitor gejala teknik non farmakologi
nyeri dari waktu ke relaksasi nafas dalam dan
8. Sikap tubuh wakti kompres panas dingin
melindungi 4. Menggunakan 15. Ajarkan metode
9. Putus asa tindakan farmakologi untuk
10. Fokus pencegahan menurunkan nyeri
menyempit 5. Menggunakan 16. Berikn tindakan
11. Sikap tindakan penurunan nyeri yang
melindungi area pengurangan nyeri optimal dengan peresepan
nyeri tanpa analgesik analgesik
12. Perilaku protektif 6. Menggunakan 17. Gunakan tindakan
13. Laporan tentang analgesik yang pengontrolan nyeri
perilaku nyeri/ direkomendasikan sebelum bertambah berat
perubahan 7. Melaporkan 18. Evaluasi keefektifan dari
aktivitas perubahan tindakan pengontrolan
14. Dilatasi pupil terhadap gejala nyeri
15. Fokus pada diri nyeri 19. Dukung istirahat yang
sendiri 8. Melaporkan gejala adekuat untuk membantu
16. Keluhan tentang yang tidak penuruan nyeri
intensitas terkontrol 20. Berikan informasi yang
menggunakan 9. Menggunakan akurat untuk
standar skala sumber daya yang meningkatkan
nyeri tersedia pengetahuan keluarga
17. Keluhan tentang 10. Mengenali apa terhadap pengalam nyeri
karakteristik yang terkait 21. Libatkan keluarga dalam
nyeri dengan dengan gejala modalitas penurunan nyeri
menggunakan nyeri yang 22. Monitor kepuasan pasien
standar terkontrol terhadap menejemen nyeri
instrumen nyeri dalam interval spesifik
2 Hambatan mobilitas Setelah dilakukan NIC:Terapi Latihan
fisik berhubungan tindakan keperawatan Mobilitas sendi
dengan Nyeri dan selama 4x24 jam 1. Tentukan batasan
ketidaknyamanan, diharapkan pasien pergerakan sendi dan efek
kerusakan mampu melakukan terhadap fungsi sendi
neuromuskular, aktivitas fisik dengan 2. Kolaborasi dengan ahli
kehilangan integritas maksimal. fisioterapi dalam
struktur tulang, mengembangkan dan
kekakuan sendi atau menerapkan sebuah
kontraktur. program latihan
NOC: 3. Tentukan level motivasi
1. Pergerakan pasien untuk
Definisi: 2. Pergerakan sendi meningkatkan atau
Keterbatasan dalam memelihara pergerakan
gerak fisik atau salah Kriteria Hasil: sendi
satu atau lebih Pergerakan: 4. Jelaskan pada pasien atau
ekstremitas secara 1. Keseimbangan keluarga manfaat dan
mandiri atau terarah. 2. Koordinasi tujuan latihan sendi
3. Cara berjalan 5. Monitor lokasi dan
Batasan 4. Gerakan otot kecenderungan adanya
Karakteristik: 5. Gerak sendi nyeri dan
1. Gangguan sikap 6. Berjalan ketidaknyamanan selama
berjalan 7. Bergerak dengan pergerakan/ latihan
2. Penurunan mudah 6. Inisiasi pengukuran
ketrampilan kontrol nyeri sebelum
motorik Pergerakan sendi: memulai latihan sendi
3. Penurunan 1. Jari jemari 7. Pakaikan baju yang tidak
ketrampilan 2. Pergelangan menghambat pergerakan
motorik kasar tangan sendi
4. Penurunan 3. Siku 8. Lindungi pasien dari
rentang gerak 4. Pergelangan kaki trauma selama latihan
5. Waktu reaksi lutut 9. Bantu pasien mendapatkan
memanjang posisi tubuh yang optimal
6. Kesulitan untuk pergerakan sendi
membolak – pasif maupun aktif
balik posisi 10. Dukung latihan ROM
7. Ketidaknyaman aktif, sesuai jadwal yang
8. Melakukan teratur dan terencana
aktivitas lain 11. Lakukan latihan ROM
sebagai pasif atau ROM dengan
pengganti bantuan, sesuai indikasi
pergerakan 12. Ajarkan pasien/keluarga
9. Dispnea setelah cara melakukan latihan
beraktifitas ROM pasif, ROM dengan
10. Tremor akibat bantuan ataupun ROM
bergerak aktif
11. Instabilitas 13. Sediakan petunjuk tertulis
postur untuk melakukan latihan
12. Gerakan lambat 14. Bantu pasien untuk
13. Gerakan spastik membuat jadwal latihan
14. Gerakan tidak ROM aktif
terkoordinasi 15. Bantu untuk melakukan
pergerakan sendi yang
Faktor yang ritmis dan teratur sesuai
berhubungan: tingkat nyeri yang bisa
1. Intolerah ditoleransi, ketahanan dan
aktivitas pergerakan sendi
2. Ansietas 16. Dukung ambulasi jika
3. Indeks massa memungkinakan
tubuh diatas 17. Tentukan perkembangan
persentil ke-75 terhadap pencapaian
sesuai usia tujuan
4. Kepercayaan 18. Sediakan dukungan positif
tentang budaya dalam melakukan latihan
aktivitas yang sendi
tepat
5. Penurunan
kekuatan otot
6. Penurunan
kendali otot
7. Penurunan massa
otot
8. Penurunan
ketahanan tubuh
9. Depresi
10. Disuse
11. Kurang
dukungan
lingkungan
12. Kurang
pengetahuan
tentang nilai
aktivitas fisik
13. Kaku sendi
14. Malnutrisi
15. Nyeri
16. Fisik tidak bugar
17. Keengganan
memulai
pergerakan
18. Gaya hidup
kurang gerak

Kondisi terkait:
1. Kerusakan
integritas
struktur tulang
2. Gangguan fungsi
kognitif
3. Gangguan
metabolisme
4. Kontraktur
5. Keterlambatan
perkembangan
6. Gangguan
muskuloskeletal
7. Gangguan
neuromuskular
8. Agens
farmaseutika
9. Program
pembatasan
gerak
10. Gangguan
sensori
perseptual
3 Ansietas Setelah dilakukan NIC: Pengurangan
berhubungan dengan tindakan keperawatan Kecemasan
Krisis situasional, selama 4x24 jam 1. kaji tanda verbal dan non
perubahan status diharapkan pasien verbal kecemasan
peran, perubahan mampu mengontrol 2. Gunakan pendekatn yang
status kesehatan, cemas. tenang dan meyakinkan
stres, ancaman 3. Bantu klien
terhdap konsep diri, NOC: Kontrol mengidentifikasi situasi
ancaman terhadap Kecemasan Diri yang memicu kecemasan
kematian ditandai 4. Dukung penggunaan
dengan produktifitas Kriteria Hasil: mekanisme koping yang
berkurang, kontak 1. Memantau sesuai
mata buruk, klien intensitas 5. Dorong keluarga untuk
tampak gelisah, klien kecemasan mendampingi klien
mudah tersinggung, 2. Mengurangi 6. Berada disisi klien untuk
klien tampak penyebab memberikan rasa aman
khaawatir, klien kecemasan] dan mengurangi ketakutan
tampak cemas, 3. Mengurangi 7. Lakukan usapan pada
respirasi meningkat, rangsang punggung secaara tepat
nadi meningkat, lingkungan ketika 8. Identifikasi saat terjadi
suara gemetar, cemas kecemasan
refleks meningkat, 4. Mencari informasi
wajah tegang, untuk mengurangi
anoreksia, kelelahan, kecemasan
peningkatan tekanan 5. Merencanakan
darah, klien sulit strategi koping
berkonsentrasi untuk situasi untuk
situasi yang
Definisi: perasaan menimbulkan
tidak nyaman atau stress
kekhawatiran yang 6. Menggunakan
samar disertai respon strategi koping
otonom (sumber yang efektif
sering kali tidak
spesifik atau tidk
diketahui oleh
individu) perasaan
takut yang
disebabkan oleh
antisipasi terhadap
bahaya. Hal ini
merupakan isyarat
kewaspadaan yang
memperingatkan
individu akan adanya
bahaya dan
memmpukan
individu untuk
bertindak
menghadapi
ancaman

Batasan
karakteristik:
1. Perilaku
a. Agitasi
b. Gelisah
c. Gerakan
ekstra
d. Insomnia
2. Afektif
a. Distres
b. Ketakutan
c. Menggerutuk
kan gigi
d. Menyesal
e. Peka
f. Ragu
3. Fisiologis
a. Gemetar
b. Peningkatan
keringat
c. Suara
bergetar
d. Tremor
4. Simpatis
a. Anoreksia
b. Diare
c. Lemah
d. Kedutan otot
5. Parasimpatis
a. Mual
b. Nyeri
abdomen
6. Kognitif
a. Bloking
b. Gangguan
konsentrasi
c. Melamun
d. Lupa

Faktor yang
berhubungan:
1. Ancaman
kematian
2. Stressor
4 Defisiensi Setelah dilakukan NIC: Pengajaran: Proses
pengetahuan tindakan keperawatan penyakit
berhubungan dengan selama 5x24jam 1. Kaji tingkat pengetahuan
Kurang paparan, diharapkan pasien terkait dengan
mudah lupa, pengetahuan klien proses penyakit yang
misinterpretasi tentang proses spesifik.
informasi ditnadai penyakitnya 2. Review pengetahuan
dengan klien meningkat. pasien mengenai
mengungkapkan NOC: Pengetahuan kondisinya
adanya masalah, menejemen Arthritis. 3. Kenali pengetahuan pasien
klien mengikuti mengenai kondisinya
instruksi tidak Kriteria hasil: 4. Jelaskan tanda dan gejala
akurat. 1. Mengetahui faktor yang umum dari penyakit,
– faktor penyebab sesuai kebutuhan
Definisi: Ketiadaan dan faktor yang 5. Jelaskan mengenai proses
atau defisien berkontribusi penyakit, sesuai kebutuhan
informasi kognitif 2. Mengetahui faktor 6. Identifikasi kemungkinan
yang berkaitan resiko penyebab, sesuai
dengan topik 3. Mengetahui efek kebutuhan
tertentu, atau fisiologis penyakit 7. Berikan informasi pada
kemahiran 4. Mengetahui tanda pasien mengenai
dan gejala kondisinya, sesuai
Batasan penyakit kebutuhan
Karakteristik: 5. Mengetahui 8. Beri informasi kepada
1. Ketidakakuratan strategi untuk keluarga/orang yang
mengikuti meminimalkan penting bagi pasien
perintah perkembangan 9. Jelaskan komplikasi
2. Ketidakakuratan penyakit kronik yang mungkin ada
melakukan tes 6. Mengetahui 10. Instruksikan pasien
3. Perilaku tidak potensial mengenai tindakan untuk
tepat komplikasi mencegah/meminimalkan
4. Kurang penyakit efek samping penanganan
pengetahuan 7. Mengetahui dari penyakit
potensi komplikasi 11. Edukasi pasien mengenai
Faktor yang penyakit tindakan
berhubungan: 8. Mengetahui
1. Kurang manfaat
informasi menejemen
2. Kurang minat arthritis
untuk belajar 9. Mengetahui
3. Kurang sumber kelompok
pengetahuan pendukung
4. Keterangan yang 10. Mengetahui
salah dari orang informasi yang
lain spesifik
Kondisi terkait:
1. Gangguan fungsi
kognitif
2. Gangguan
memori
Sumber: (Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2013). (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, Nursing Intervention Classification (NIC) Edisi Bahasa
Indonesia, 2013). NANDA 2018. NANDA 2017

2.2.4 Intervensi
Pelaksanaan adalah tahap pelaksanaan terhadap
rencana tindakan keperawatan yang telah ditetapkan untuk
perawat bersama pasien. Implementasi dilaksanankan sesuai
dengan rencana setelah dilakukan validasi, disamping itu juga
dibutuhkan keterampilan interpersonal, intelektual, teknik
yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang
tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik,
psikologis. Setelah selesai implementasi, dilakukan
dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah dilakukan
dan bagaimana respons pasien (Bararah & Jauhar, 2013).
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terkahir dari proses
keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah membandingkan
hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan
denga tujuan yang diharapkan dalam perencanaan.
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan
sejauh mana tujuan tercapai:
a. Berhasil: perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam
waktu atau tanggal yang ditetapkan tujuan.
b. Tercapai sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi
tidak sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan.
c. Belum tercapai: pasien tidak mampu sama sekali
menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai dengan
pernyataan tujuan.
2.3 Konsep diagnosa keperawatan : Nyeri

2.3.1 Pengertian nyeri

Nyeri adalah gejala subjektif, hanya klien yang dapat


mendiskripsikannya. Nyeri tidak dapat di ukur secara
obyektif oleh praktisi kesehatan. Seorang ahli teori nyeri
yang terkenal, Margo McCaffery,menyatakan dalam makalah
klasiknya bahwa ”Nyeri adalah apa pun yang di katakana
oleh indifidu yang mengalaminya sebagai nyeri, ada kapan
pun individu tersebut mengangatan ada ”(McCaffery,1968).
Dalam pedoman peraktik klinis untuk penata laksanaan nyeri
akut, AHRQ (Agency For Haeralthcare Research And
Quality) menyatakan bahwa “keluhan kelien adalah satu
satunya indicator terbaik tentang nyeri”. Definisi nyeri dalam
kamus medis menycakup “perasaan distress, penderitaan,
atau kesakitan, yang di sebabkan oleh stimulasi ujung sarap
tertentu tujuan nyeri terutama dalah untuk perlindungan:
nyeri bertindak sebagai suatu peringatan bahwa jaringan
sedang mengalami kerusakan dan meminta penderita untuk
menghilangkan atau menarik diri dari sumber “(miller-keane
& o’toole, 2003). NANDA (North American Nursing
Diagnosis Assocation) juga telah menyetujui nyeri sebagai
sebuah diagnosis keperawatan spesifik (Rosdahl & Kowalski,
2017)
.
2.3.2 Penyebab nyeri

Individu yang merasa nyeri akan mencari obat untuk


meredakan ketidaknyamanan. Menentukan penyebab nyeri
adalah kunci utama, sehingga terapi yang efektif dapat di
mulai dengan segera penyebab nyeri beragam, dan kadang
kala penyebab pasti nyeri mungkin sulit atau tidak mungkin
di tentukan. Tanpa memperhatikan penyebab, asuhan
keperawatan diharapkan pada upaya meredakan nyeri.
Meredakan nyeri dan memberikan kenyamanan melalui
pemberian obat dan sebagai interfensi adalah tanggung jawab
keperawatan yang penting.
Beberapa factor dapat memulai respons nyeri.
Penyebab fisik mencakup setres mekanis dari trauma insisi
bedah, atau perubahan tumor. Tubuh berespon dengan nyeri
dan ketidak nyamanan terhadap tekanan, panas dan dingin,
dan zat kimia tertentu (mis, histamin, bradikinin, dan
asetilkolin) yang di lepaskan ketika jaringan mengalami
kekurangan/deprifasi oksigen. Spasme otot dan akibatnya
ysng berupa penurunan suplai darah ke otot dapat juga
menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan. Saat ketidak
nyamanan meningkat, respon alami tubuh adalah
mengencangkan otot lebih lanjut, yang menunjukan masalah.
Keletihan, ketakutan terhadap sesuatu yang tidak di ketahui,
dan kurangnya pengetahuan tentang penatalaksanaan nyeri
dapat menyebabkan pengencangan otot lebih lanjut. Tanpa
intervensi, siklus nyeri yang tidak berujung dapat terjadi.
Reseptor nyeri tidak menjadi kurang sensitive terhadap
stimulasi merugikan saat stimulasi nyeri akan menghilangkan
penyebab nyeri (Rosdahl & Kowalski, 2017).
2.3.3 Konsep nyeri
Terjadi cidera atau serangan
Lainyang menyebabkan nyeri

Ketakutan, setres, konflik, Ambang batas


nyeri yang rendah

NYER
Ketegangan otot
Kurangnya pengetahuan I
memicu munculnya nyeri yang
lebih hebat

Keletihan sulit
mengatasi nyeri

2.3.4 Transmisi nyeri

Istilah yang digunakan untuk mendiskripsikan


transmisi nyeri nyeri normal dan interpretasinya
adalah nososepsi. Nosisepsi memiliki empat fase:
a. Transduksi: sistem saraf mengubah stimulus nyeri
dalam ujung saraf menjadi ujung implus
b. Transmisi: impus berjalan dari tempat awalnya ke
otak
c. Persepsi: otak mengenali, mengidentifikasikan, dan
berespon terhadap nyeri
d. Modulasi: tubuh mengatifasi respon inhibitor yang
di perlukan terhadap respon nyeri (Craven &
Hirnle, 2007). Jika respon modulasi tubuh ini tidak
berhasil, intervensi eksternal di perlukan untuk
menanganu nyeri (Rosdahl & Kowalski, 2017).

2.3.5 Jenis nyeri

International Association for the Study of Pain


(IASP) telah mengidentifikasi beberapan kategori nyeri.
Di antara kategori ini adalah nyeri akut, nyeri alih,
nyeri kanker, dan nyeri kronis.

a. Nyeri akut
Merupakan sensasi yang terjadi secara
mendadak, paling sering terjadi sebagai respons
terhadap beberapa jenis teruma. Penyebab umum
nyeri akut adalah trauma akibat kecelakaan, infeksi
dan pembedahan. Nyeri akut terjadi dalam periode
waktu yang singakat, biasanya 6 bulan atau kurang,
dan biasanya bersifast intermiten (sesekali) tidak
konstan. Nyeri akut berasal dari cara normal system
saraf memproses trauma pada kulit,otot, dan organ
visceral. Istilah lain dari nyeri akut adalah nyeri
nosiseftif. Setelah penyebab mendasar diidentifikasi
dan diterapi secara suses, nyeri akan menghilang.
b. Nyeri alih
Merupakan nyeri yang berasal dari suatu bagian tubuh,

tetapi dipersepsiakn di bagian tubuh lain. Nyeri alih paling

sering berasal dari dalam visera (organ internal) dan dapat di

persepsikan di kulit, meskipun dapat juga di persepsikan dalam

area internal yang lain.


c. Nyeri kanker

Merupakan hasil dari beberapa jenis


keganasan. Sering kali, nyeri kanker sangat hebat dan
dapat di anggap intractable (tidak dapat diatasi) dan
keronis. Keperawataamn bospice sering kali di
libatkan dalam penatalaksanaan kanker.
d. Nyeri kronis (Nyeri neuropatik)

Di definisikan sebagai ketidaknyamanan yang


berlangsung dalam priode waktu lama (6 bulan atau
lebih) dan dapat terjadi seumur hidup klien. Sering
kali, nyeri kronis menggangu fungsi normal
seseorang. Penyebab nyeri kronis seringkali tidak di
ketahui. Nyeri kronis sebenarnya dapat terjadi akibat
kesalahan system saraf dalam memproses input
(asupan) sensori.
Sindrom nyeri neuropati sangatsulit di hadapi,
dan mekanisme pasti yang terlibat tidak sepenuhnya
dipahami. Nyeri kronis sering kali berlangsung lebih
lama dari perkiraan periode pemulihan normal untuk
nyeri akut. Individu yang mengalami nyeri neuropati
biasanya melaporkan rasa terbakar, sensasi
kesemutan, dan/atau nyeri tertembak yang konstan.
Intervensi yang biasa yang di lakuhkan nyeriini
mungkin tidak efektif, bias any di perlukan tindakan
nyang lebih agresif.
Istilah yang di gunakan untuk nyeri kronis
yang resistan terhadap intervensi terapeutik adalah int
actable pain (nyeri lasat). Penyebab jenis nyeri ini
mungkin dapat di ketahui seperti tumor infasif yang
tidak dapat di oprasi atau mungkin tidak di ketahui.
Efek nyeri kronis dapat menggangu gaya hidup
dan tampilan seseorang, terutama jika penyebab nyeri
tidak di ketahui.reaksi individu mungkin berupa
frustasi dan marah namun, individu mungkin merasa
sulit untuk mengekspresikan perasaan ini karena
keluarga dan teman tampak puas atau tampak tidak
paham. Klien mungkin tidak ingin membuat orang
yang di cintai khawatir, atau mungkin orang yang
dicintai mungkin lelah terus-menerus mendengarkan
tentang keluhan nyeri. Dengan demikian, klien dapat
menghindari membicarakannya. Seringkali, semakin
besar kemarahan, ansietas, dan jarak yang di rasakan
klien, semakin sulit nyeri dan frustasi yang terjadi.
klien bahkan dapat mulai merasa bahwa tidak dada
orang yang percaya bahwa nyeri itu nyata.
Ketika seseorang gagal mengekspresikan
perasaannya, rasa marah yang tertekan dapat terbalik
ke dalam diri dan menyebabkan depresi. Gejala
depresi mencakup keletihan ekstrim, ketidakmampuan
untuk tidur atau tidur terlalu banyak, kurangnya minat
terhadap lingkungan, kekurangan atu kelebihan nafsu
makan, perasaan bersalah impotensi seksual, dan
menarik diri dari aktifitas social. Individu penderita
depresi sering kali kurang memiliki bahagia diri dan
dapat merasa tidak berharga atau membebani orang
lain. Depresi berat, terutama di kombinasikan dengan
nyeri kronis, dapat berperan menyebabkan
penyalahgunaan zat dan ketergantungan serta
menyebabkan bahaya diri yang nyata atau perilaku
menciderai diri sendiri.
Nyeri kronis yang berkelanjutan dapat
menyebabkan seseorang menarik diri di hubungan
social (dari masyarakat) dan menjadi tidakaktif secara
fisik. Sayangnya, inaktifitas memperburuk nyeri karna
otot dan sendi kaku dan mulai memburuk kemudian
gejala menguat.
Ketika merawat klien, coba kenali sedini
mungkin orang-orang yang mengalami nyeri kronis.
Bantu mereka dan tim layanan kesehatan untuk
mengambil langkah agresif kearah terapi. Coba
identifikasi faktir-faktor yang memperburuk nyeri
karena setiap factor yang memperburuk nyeri akan
menguatkan dan meneruskan siklus nyeri dan
membuatnya lebih sulit untuk di putus.
Intervensi ditunjukan untuk memutus siklus
nyeri. Gejala seputar nyeri di terapi karena mungkin
sulit untuk mengidentifikasi penyebab pasti nyeri.
Terapi di fokuskan pada peningkatan harga diri klien
dan membantunya mengatasi perasaan marah,
bersalah, dan frustasi (Rosdahl & Kowalski, 2017).
2.3.6 Faktor yang mempengaruhi persepsi nyeri
Ambang batas nyeri seseorang adalah
“intensitas stimulus terendah yang mengakibatkan
subjek yang mengenali nyeri“ (Taylor Lillis, LeMone,
& Lynn, 2008). Toleransi nyeri menunjukan poin
ketika seseorang tidak lagi dapat menahan nyeri. Tubuh
memiliki mekanisme internal yang membantu
mengontrol persepsi nyeri. System saraf pusat
memproduksi endorphin, zat yang terjadi secara
alamiyah yang meredakan nyeri. Endorphin di lepaskan
setelah melakukan olahraga dan bentuk stimulasi fisik
lain. Sayangnya, endorphin menghilang dengan cepat.
Beberapa pihak percaya bahwa aktifitas selain olahraga
seperti tertawa, juga meningkatkan produksi endorphin.
Ahli teori yakin bahwa asupan zat kimia dan makanan
tertentu, termasuk kafein, nikotin, alcohol, garam dan
gula, menurunkan produksi endorfin (Rosdahl &
Kowalski, 2017).

2.3.7 Pengumpulan data klien mengenai nyeri


Nyeri bersifat subyektif yaitu, hanya klien yang
dapat mendiskripsikan. Mendiskripsikan nyeri tidak
dapat di ukur secara obyektif, beberapa manifestasi
nyeri dapat terpantau. Ingat budaya klien dapat
memengaruhi bagaimana klien mengekspresikan nyeri
Prawat peraktik/ vokasional penting untuk membantu
mengumpulkan informasi mengenai nyeri dari klien.
a. Nyeri sebagai tanda vital kelima

secara teratur apakah mereka mengalami nyeri.


Nyeri kini di anggap sebagai tanda vital kelima
(suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, dan nyeri).
Lalu menanyakan tenatang nyeri dapat
menyebabkan di keluarkannya surat panggilan dari
Joint Commission. Evaluasi nyeri, bersama
Peraturan dari Joint Commission menyatakan
bahwa nyeri harus dikaji kapan pun tanda vital
yang lain diukur. Yaitu, klien harus di tanya tanda
vital yang lain, mengingatkan perawat dan pelayan
tenaga kesehatan lain tentang pentingnya
mengataai nyeri klien. Reda dari nyeri membantu
klien merasa lebih nyaman dan pulih dengan lebih
cepat.
Joint Commission telah mengembangkan standar
akreditasi berikut ini sebagai upaya untuk
meningkatkan penatalaksanaan nyeri (The Joint
Commission, 2011).
1) Pasien mempunyai hak untuk mendapat pengkajian
dan penatalaksanaan nyeri yang tepat.
2) Pengkajian nyeri berkelanjutan harus mencakup
sifat dan intensitas nyeri.
3) Respon terhadap evaluasi nyeri harus di catat dalam
tata cara yang meningkatkan pengkajian yang
teratur dan tindak lanjut.
4) Staf harus diorientasikan dan kompetan dalam
melakuhkan pengkajian dan penatalaksanaan nyeri.
5) Kebijakan dan perosedur yang mendukung
peresepan obat nyeri harus ditegakkan
6) Pasien dan keluarga memerlukan pendidikan
tentang penatalaksanaan nyeri yang efektif.
7) Perencanaan pulang harus membahas kebutuhan
pasien dan penatalaksanaan nyeri pasien.
b. Skala peringkat nyeri

Joint Commission mengharuskan pelayanan


kesehatan menggunakan sekala nyeri untuk mmbantu
klien untuk menunjukan tingkat nyeri mereka.. Skala
ini meminta menilai nyeri mereka, yang di bandingka
dengan pemilihan pada skala.
Skala peringkat seperti skala intensitas nyeri atau
sekala distress nyeri biasanya di berikan pada anak usia
lebih dari 7 tahun dan untuk orang dewasa. Pada skala
ini, klien meminta untuk menilai nyerinya dengan
memilih kata kata deskriptif, dengan memilih angka
yang tepat pada sekala angka dari 0 (tanpa nyeri)
sampai 10 (nyeri tak tertahankan), atau untuk memilih
lokasi pada skala linear (skala analog visual visuai
analog scale, VAS). Individu harus memahami makna
di balik setiap angka. Seorang anak harus cukup usia
untuk memahami konsep “lebih dari” dan “kurang dari”
untuk mengunakan skala ini. Metode peringkat
intensitas nyeri lain mengguanakan kuesioner nyeri,
seperti kuesioner nyeri NcGill-Melzack.
Skala wajah nyeri Wong-Baker dibuat trauma
untuk anak yang sudah dapat berbicara (bahasa verbal)
antara usia 3 dan 7 tahun. Namun, skala ini juga dapat
di gunakan untuk orang dewasa yang mengalami
kesulitan mengekspresiakn diri mereka sendiri atau
orang lain yang tidak dapat berbicara bahasa yang di
gunakan di fasilitas (terlampir). Klien di munta untuk
memilih wajah yang paling mendiskripsikan bagai
mana perasaannya karena rasa sakit atau nyer yang di
alami. Penjelasan yang di berikan kepada klien
menyatakan bahwa wajah di sisi kiri bahagia karena
tidak mengalami nyeri hebat aemaksimal yang anda
bayangkan, meskipun anda tidak harus menangis untuk
merasakan nyeri yang sangat buruk ini.
Direkomendasikan agar salah satu dari skala peringkat
lain di gunakan untuk anak berusia lebih dari 7 tahun
dan untuk sebagian besar orang dewasa.
Alat lain tersedia untuk digunakan pada anak
yang belum dapat berbicara, biasanya pada anak yang
usianya kurang dari 3 tahun. Perawat mengobservasi
wajah anak, tungkai, aktivitas, tangisan dan
konsolabilitas (face, legs, activity, cry and
consolability,FLACC) anak. Alat ini bergantung pada
ketrampilan observasi pemberi asuhan yang kuat karena
anak tidak dapat mendiskripsikan nyeri secara verbal.
Sekala lain yang serupa dengan FLACC disebut NIPS
(Neonatall Infant pain Skale). NIPS berdasarkan pada
observasi wajah, tangisan, pernapasan,lengan, tungkai,
dan status terjaga.
Gambar sekala nyeri
c. Diskripsi nyeri
Selain untuk menentukan tingkat nyeri , informasi
lain harus di dapat dari klien yang merupakan satu-
satunya orang yang dapat yang memberi tahu anda
mengenai informasi ini. Banyak istilah yang di gunakan
untuk mendiskripsikan karakteristik nyeri. Contohnya
antara lain:
1) Karakter: klien dapat mendiskripsikan karakter
nyeri dengan istilah seperti sakit, terbakar, kram,
remuk, seperti dibor tumpul, seperti dihancurkan,
seperti dipukul-pukul, terkoyak pisau, menembus,
menusuk, berdenyut, menyebar, tajam, seperti
tertembak, tertusuk pisau, robek, nyeri berdenyut,
kesemutan, atau hilang timbul.
2) Durasi: klien dapat mengidentifikasikan durasi
nyeri sebagai sesekali, intermiten, spasmodic, atau
honstan
3) Keparahan: intensitas atau keparahan nyeri dapat di
diskripsikan sebagai ringan, sedikit, sedang, berat,
atau memburuk (diskripsikan klien mengenai
intensitas akan membantu penyediaan asuhan
menentukan medikasi yang tepat atau intervensi
lain yang tepat).
4) Kesuksesan penatalaksanaan nyeri tujuan pertama
pada pelayanan kesehatan primer dan staf
keperawatan. Sejumlah intervensi digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri. Factor terkait: akibat
(konsekuensi) nyeri yang tidak reda dapat
mencakup gangguan visual, dan muntah, keletihan,
depresi atau ide bunuh diri, meringis atau regeresi
(Rosdahl & Kowalski, 2017).
d. Komponen Pengkajian Nyeri
Menurut (Zakiyah, 2015) berikut ini komponen
pengkajian nyeri:
1. Onset : Tentukan kapan rasa tidak nyaman dimulai.
2. Provokasi : faktor pencetus dan penyebab nyeri,
3. Quality : deskripsi nyeri yang dirasakan seseorang,
karakteristik nyeri.
4. Radiation/Region : region yang mengalami nyeri
dapat ditunjukkan dengan gambar
5. Severity : kekuatan dari nyeri dengan menggunakan
skala nyeri.
6. Time : waktu timbul nyeri, periode (durasi) nyeri
dirasakan
7. Understanding : Bagaimana persepsi nyeri klien?
Apakah pernah merasakan nyeri sebelumnya? Jika
iya, apa masalahnya?
8. Values : Tujuan dan harapan untuk nyeri yang
diderita pasien.
2.3.8 Penatalaksaan
Penatalaksanaan nyeri bersifat sangat individual,dan
intervensi berasal untuk satu orang klien mungkin tidak
berhasil untuk klien lain. Sering kali, sejumlah intervensi
harus dicoba sebelum satu, atau kombinasi beberapa
intervensi berhasil. Farmakologis, pemberian obat sering
kali menjadi ujung tombak keberhasilan penatalaksanaan
nyeri.
Sejumlah intervensi keperawatan dapat juga
bermanfaat. Selam itu, penyedia pelayanan kesehatan
perimer dapat memperogramkan intervensi alternative atau
komplementer yang di sediakan oleh individu yang terlatih
secara khusus.
Asuhan keperawatan yang empatik dapat membantu
meredakan nyeri. Ada banyak hal yang dapat di lakuhkan
perawat untuk membantu meredakan nyeri klien. Intervensi
keperawatan ini mencakup memberikan pengalihan atau
music, mengubah posisi klien, memandikan klien,
menggosok punggung, atau memasase tangan klien.
Penyedia pelayanan kesehatan dapat memperogramkan
kompres panas atau dingin atau terapi lain (Rosdahl &
Kowalski, 2017).
1) Tindakan kenyamanan
Sebagai perawat dapat secara mandiri melakuhkan
sejumlah tindakan kenyamanan yang di tujukan untuk
membantu klien
menangani nyeri atau meredakan nyeri. Tempat tidur
yang bersih, wajah dan tangan yang bersih, musik yang
tenang, ruang yang hangat, atau ruang yang bercahaya
sedang dapat meningkatkan relaksasi, yang pada
akhirnya dapat membantu mengurangi nyeri. Perubahan
posisi juga dapat membantu. Klien di anjurkan untuk
melakuhkan diet bernutrisi dan mendapatkan cairan yang
adekuat (Rosdahl & Kowalski, 2017).Tindakan fisik
Tindakan fisik dapat di gunakan selain menggunakan
intervensi farmakologis untuk penatalaksanaan nyeri.
a) Stimulus fisik (stimulasi kutaneus)
Masase atau tekaknan lembut dapat meredakan kongesti

atau meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi, dan dengan

demikian meembantu meredakan nyeri. Ini dapat di

aplikasikan dengan lembut dengan memasase area yang

nyeri atau yang lebih umum adalah dengan menggosok

punggung (Rosdahl & Kowalski, 2017).

b) Aplikasi panas & dingin


Aplikasi panas atau dingin dapat membantu
mengendalikan nyeri lokal dengan menghasilkan
vasodilatasi (panas) atau vasokontriksi (dingin)
mengaplikasikan panas dan dingin sering di
lakuhkan, baik dalam asuhan keperawatan atau pun
oleh klien di rumah. Aplikasi panas dan dingin
merupakan salah satu tehnik nonfarmakologis yang
terbukti meredakan nyeri, tehnik yang sering kali
sangat efektif (Rosdahl & Kowalski, 2017)

Anda mungkin juga menyukai