Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

“ARTRITIS REUMATOID”

OLEH :

KELOMPOK 1

KELAS A11-A

Luh Putu Nia Budi Martsiani 17.321.2680

Luh Putu Sukmayanti 17.321.2681

Ni Made Septyari 17.321.2696

Ni Wayan Novi Uliandari 17.321.2704

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

TAHUN AJARAN 2019


LAPORAN PENDAHULUAN ARTRITIS RHEUMATOID

A. Konsep Dasar Teori


1. Definisi
Kata arthritis mempunyai arti inflamasi pada sendi (“arthr” berarti
sendi “itis” berarti inflamasi). Inflamasi menggambarkan tentang rasa
sakit, kekakuan, kemerahan, dan pembengkakan. Rheumatoid arthritis
merupakan suatu penyakit autoimun, dimana target dari sistem imun
adalah jaringan yang melapisi sendi sehingga mengakibatkan
pembengkakan, peradangan, dan kerusakan sendi (The Arthritis Society,
2015).
Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan suatu penyakit autoimun
yang ditandai dengan terdapatnya sinovitas erosif simetrik yang terutama
mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh
lainnya. Pasien dengan gejala penyakit kronik apabila tidak diobati akan
menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang
progresif disabilitas bahkan kematian dini (Suarjana, 2009).

2. Epidemiologi
Prevalensi AR pada populasi dewasa di seluruh dunia memiliki
tendensi yang serupa, dengan pengecualiaan terhadap Australia dan
Jamaika, dimana prevalensinya sangat tinggi, serta Afrika Sub-Sahara,
dimana penyakit ini jarang didapatkan. Pola epidemiologi menunjukan
adanya pengaruh etnik, genetic, social ekonomi, perkotaanpedesaan, dan
faktor infeksi (Shapira, 2010). Di Kanada terdapat penelitian yang
menyatakan jumlah prevalensi penderita AR berkisar antara 0,6% hingga
1%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 1:2. Di Amerika
Serikat terdapat pula data serupa yang menyatakan data prevalensi
penderita AR yang berusia lebih dari 18 tahun adalah sekitar 0,6%. Di
beberapa negara Asia diantaranya Cina, Jepang, Hongkong, Vietnam,
India, Bangladesh, dan Thailand, prevalensi penderita AR berkisar antara
0,12% hingga 0,75% (Wong, 2010).
Di Indonesia terdapat penelitian yang dipublikasikan pada tahun
1991, penelitian ini merupakan suatu penelitian epidemiologi penderita
AR yang melibatkan lebih dari 5500 masyarakat Jawa Tengah. Hasilnya
didapatkan prevalensi AR pada masyarakat perkotaan di Jawa Tengah
adalah 0,3%, sedangkan prevalensinya pada masyarakat desa adalah 0,2%.

3. Klasifikasi
Buffer (2010) mengklasifikasikan reomatoid atritis menjadi 4 tipe yaitu:
1) Reomatoid Atritis Klasik
Pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsng terus menerus, paling sedikit dalam waktu enam minggu
2) Reomatoid Atritis Defisit
Pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu enam minggu
3) Probable Reomatoid Atritis
Pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu enam minggu
4) Possible Reomatoid Atritis
Pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu tiga bulan

4. Stadium Artritis Rheumatoid


Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu
(Nasution, 2011):
a. Stadium sinovitis
Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi
pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat
umumnya simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis
ini menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas
dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi pergelangan tangan
hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan
metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).
b. Stadium destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial (Nasution, 2011).
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap
(Nasution, 2011)
5. Etiologi
Penyebab utama dari kelainan ini tidak diketahui. Ada beberapa teori
yang dikemukakan mengenai penyebab arthtritis reumatoid, yaitu :
a. Infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non hemolitikus
b. Endokrin
c. Autoimun
d. Metabolic
e. Faktor genetik serta faktor pemicu
Pada saat ini, arthtritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor
autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II;
faktor injeksi mungkin disebabkan oleh virus dan organisme mikroplasma
atau group difteriod yang menghasilkan antigen kolagen tipe II dari tulang
rawan sendi penderita. Kelainan yang dapat terjadi pada suatu arthtritis
reumatoid yaitu :
1) Kelainan pada daerah artikuler
- Stadium I (stadium sinovitis)
- Stadium II (stadium destruksi)
- Stadium III (stadium deformitas)
2) Kelainan pada jaringan ekstra-artikuler
Pada jaringan ekstra-artikuler akan terjadi perubahan patologis, yaitu:
- Pada otot terjadi miopati
- Nodul subkutan
- Pembuluh darah perifer terjadi proliferasi tunika intima pada
pembuluh darah perifer dan lesi pada pembuluh darah arteriol dan
venosa
- Terjadi nekrosis fokal pada saraf
- Terjadi pembesaran limfe yang berasal dari aliran limfe sendi
(Nurarif dan Kusuma, 2013).
Sedangkan menurut Price dan Noer S, faktor-faktor yang berperan
dalam timbulnya penyakit Artritis Reumatoid adalah jenis kelamin,
keturunan, lingkungan dan infeksi (Lukman, 2009).

6. Patofisiologi
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema,
kongesti vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang
berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi artikular
kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk panus, atau
penutup yang menutupi kartilago. Panus masuk ke tulang sub chondria.
Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada
nutrisi kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis. Tingkat erosi dari
kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila kerusakan
kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena
jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan
tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa
menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang
sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis setempat.
Lamanya artritisreumatoid berbeda dari tiap orang. Ditandai dengan
masa adanya serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang
yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi.
Yang lain. terutama yang mempunyai faktor reumatoid (seropositif
gangguan reumatoid) gangguan akan menjadi kronis yang progresif. Pada
Artritis reumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi pada jaringan sinovial.
Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim
tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi
membran sinovial, dan akhirnya membentuk panus. Panus akan
meghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang, akibatnya
menghilangkan permukaan sendi yang akan mengalami perubahan
generative dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi
otot.

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi
artikular dan manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009). Manfestasi
artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan
sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan
sendi, serta hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi
berupa nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan
pada awal atau selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan
hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik (Surjana, 2009). Sendi-
sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap,
meskipun sendi-sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah
bertahun-tahun dari onset terjadinya (Longo, 2012).
Manifestasi ekstraartikular jarang ditemukan pada RA
(Syamsyuhidajat, 2010). Secara umum, manifestasi RA mengenai hampir
seluruh bagian tubuh. Manifestasi ekstraartikular pada RA, meliputi
(Longo, 2012) :
a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA
Tanda dan gejalanya berupa penurunan berat badan, demam > 38,3oc ,
kelelahan (fatigue), malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi
kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat inflamasi dan kadang
mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi (Longo,
2012).
b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level
tertinggi aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas,
tidak lembut, dan dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga
bisa terdapat di paru-paru, pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul
bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan
gangren (Longo, 2012).
c. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary
sjogren’s syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan
keratoconjutivitis sicca (dry eyes) atau xerostomia (Longo, 2012).
d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti
dengan penyakit paru interstitial (Longo, 2012).
e. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada
jantung yang disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati,
miokarditis, penyakti arteri koreoner atau disfungsi diastol (Longo,
2012).
f. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan
penyakit RA yang sudah kronis (Longo, 2012).
g. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated
trombocytopenia dan keadaan dengan trias berupa neutropenia,
splenomegaly, dan nodular RA sering disebut dengan felty syndrome.
Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir (Longo, 2012).
h. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih
besar dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-
cell lymphoma sercara luas (Longo, 2012).

8. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis
dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti
inflamasi non steroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit
DMARD (disease modifying antirheumatoid drugs) yang menjadi faktor
penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis rheumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran yang jelas,
sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik.
Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra
servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis

9. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis Pemeriksaan penunjang ini tidak banyak berperan dalam
diagnosis artirits reumatoid, pemeriksaan laboratorium mungkin dapat
sedikit membantu untuk melihat prognosis pasien, seperti :
1. Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) akan meningkat
2. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis
reumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada
pasien lepra, TB paru, sirosis hepatis, penyakit kolagen dan sarkoidosis
3. Leukosit normal atau meningkat sedikit
4. Trombosit meningkat
5. Kadar albumin serum turun dan globulin
6. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun
7. Protein C-reaktif dan antibodi antinukleus (ANA) biasanya positif
8. Laju sedimentasi eritrosit meningkat menunjukkan inflamasi
9. Tes aglutinasi lateks menunjukkan kadar igG atau igM (faktor mayor
dari rheumatoid) tinggi. Makin tinggi iter, makin berat penyakitnya
10. Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakkan diagnosa
dan memantau perjalanan penyakit. Foto rontgen menunjukkan erosi
tulang yang khas dan penyempitan rongga sendi yang terjadi kemudian
dalam perjalanan penyakit tersebut (Rosyidi 2013).

9. Prognosis
Prognosis AR akan semakin memburuk apabila diagnosis dan
terapi tertunda. Perjalanan klinin dari AR adalah eksaserbasi dan remisi.
Sekitar 40% dari penderita AR akan menjadi lumpuh dalam kurun waktu
10 tahun, namun hal ini sangat bervariasi. Beberapa pasien mengalami
kesembuhan, sementara lainnya menjadi penyakit kronik. Data
menunjukan bahwa 50% dari penderita AR masih dapat bekerja penuh
meskipun sudah menderita sakit selama 10-15 tahun. (Smith, 2016).
Pemberian terapi DMARD pada fase awal AR (kurang dari 12 minggu
sejak munculnya gejala), memberikan kesempatan terbaik untuk mencapai
remisi. Ada beberapa faktor yang menjadikan prognosis dari penderita AR
menjadi buruk, yaitu titer autoantibodi serum yang tinggi, manifestasi
ekstra artikuler, banyak sendi yang terkena, usia kurang dari 30 tahun,
wanita, gejala sistemik, dan onset yang mendadak. (Smith, 2016).

10. Penatalaksanaan
1. Pengobatan Pilar Terapi Artritis Reumatoid
Setelah diagnosis AR ditegakkan, perlu ditentukan aktivitas
penyakit (LED, CRP, sinovitis), status fungsional, masalah mekanik
sendi, gejala ekstraartikular serta adanya kerusakan radiologis pada
sendi yang terlibat. Apabila pasien AR akan mendapatkan DMARD
maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium awal meliputi darah
perifer lengkap, LED, CRP, RF atau ACPA, serta pemeriksaan
fungsihati dan ginjal karena beberapa obat DMARD bersifat toksik
terhadap hati dan ginjal. Sebaiknya pasien diperiksa serologi untuk
hepatitis B dan C terutama yang direncanakan untuk penggunaan
MTX. (PRI, 2014). Foto toraks diperlukan untuk mendeteksi ada
tidaknya infeksi (misalnya tuberkulosis paru), karena beberapa jenis
DMARD dapat berpotensi meningkatkan kerentanan untuk mendapat
infeksi, dan manifestasi ekstra artikular pada paru. Pastikan wanita
penderita AR yang akan memakai DMARD tidak dalam keadaan
hamil. (PRI, 2014).
Pemeriksaan rontgen tangan dan atau kaki harus dilakukan karena
kerusakan structural tidak dapat diperkirakan hanya dari pemeriksaan
fisik saja. Untuk pengelolaan yang komprehensif seharusnya meliputi
pilar pengelolaan AR. (PRI, 2014).
Pilar pengobatan artritis rematoid adalah edukasi, latihan/program
rehabilitasi, terapi pengobatan dengan DMARD, agen biologik,
kortikosteroid, atau NSAID, dan terakhir adalah terapi pembedahan.
(PRI, 2014)
2. Terapi Non-Farmakolgis
Terapi non-farmakologi melingkupi terapi modalitas dan terapi
komplementer. Terapi modalitas berupa diet makanan (salah satunya
dengan suplementasi minyak ikan cod), kompres panas dan dingin serta
massase untuk mengurangi rasa nyeri, olahraga dan istirahat, dan
penyinaran menggunakan sinar inframerah. Terapi komplementer berupa
obat-obatan herbal, accupressure, dan relaxasi progressive (Afriyanti,
2009).
3. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis pada AR mencakup 4 golongan besar obat yaitu
DMARD, agen biologik, kortikosteroid, dan NSAID. (PRI, 2014)
a. DMARD
Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD) memiliki
potensi untuk mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan
integritas dan fungsi sendi dan pada akhirnya mengurangi biaya
perawatan dan meningkatkan produktivitas pasien AR. Obat-obat
DMARD yang sering digunakan pada pengobatan AR adalah
metotreksat (MTX), sulfasalazine, leflunomide, klorokuin,
siklosporin, dan azatioprin. (PRI, 2014). Pemilihan jenis DMARD
ditentukan oleh 3 faktor : (PRI, 2014)
 Faktor obat : efektivitasnya, kemudahan pemberian, sistem
pemantauan, waktu yang diperlukan sampai obat memberikan
khasiat, kemungkinan efek samping dan yang tidak kalah
penting adalah biaya pengobatan.
 Faktor pasien: kepatuhan pasien, komorbiditas, beratnya
penyakit dan kemungkinan prognosisnya.
 Faktor dokter: kompetensi dalam pemberian dan pemantauan
obat.
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian menyimpulkan
bahwa terapi kombinasi lebih efektif dibadingkan dengan
monoterapi. Kebanyakan kombinasi menggunakan MTX sebagai
obat utama. Tidak ada bukti yang konsisten dan rekomendasi
mengenai kombinasi terapi yang paling baik. (SIGN, 2011)
b. Agen Biologik
Beberapa DMARD biologik dapat berkaitan dengan infeksi
bakterial yang serius, aktif kembalinya hepatitis B dan aktivasi TB.
Mengingat hal ini, perlu pemeriksaan awal dan pemantauan yang
serius untuk infeksi. Khususnya untuk TNF-α, dimana Indonesia
merupakan daerah endemis untuk Tb, maka skrining untuk Tb
harus dilakukan sebaik mungkin (termasuk tes tuberkulin dan foto
toraks). Efek samping DMARD biologik yang lain adalah reaksi
infus, gangguan neurologis, reaksi kulit dan keganasan. (PRI,
2014)

c. Kortikosteorid
Penggunaan kortikosteroid sistemik dapat memperbaiki klinis dan
juga mengurangi kerusakan radiologis pada pasien AR. (SIGN,
2011). Kortikosteroid oral dosis rendah/sedang bisa menjadi bagian
dari pengobatan AR, tapi sebaiknya dihindari pemberian bersama
OAINS sambil menunggu efek terapi dari DMARD. Berikan
kortikosteroid dalam jangka waktu sesingkat mungkin dan dosis
serendah mungkin yang dapat mencapai efek klinis. Dikatakan
dosis rendah jika diberikan kortiksteroid setara prednison < 7,5 mg
sehari dan dosis sedang jika diberikan 7,5 mg – 30 mg sehari.
Selama penggunaan kortikosteroid harus diperhatikan efek
samping yang dapat ditimbulkannya seperti hipertensi, retensi
cairan, hiperglikemi, osteoporosis, katarak dan kemungkinan
terjadinya aterosklerosis dini. (PRI, 2014). Selain penggunaan
secara sistemik, kortikosteroid juga bisa digunakan secara topical
dengan cara injeksi di daerah sendi yang terlibat. Injeksi
kortikosteroid intraartikular dapat memberikan efek perbaikan
gejala yang cepat pada target sendi. Namun sampai saat ini belum
ada penelitian menegnai efek jangka panjang dalam penggunaan
terapi injeksi kortikosteroid intraartikular. (SIGN, 2011).
d. NSAID
Obat NSAID dapat diberikan pada pasien AR untuk mengurangi
nyeri dan kekakuan pada sendi dengan menghambat
siklooksigenase (COX). (SIGN, 2011) NSAID harus diberikan
dengan dosis efektif serendah mungkin dalam waktu sesingkat
mungkin. Perlu diingatkan bahwa NSAID tidak mempengaruhi
perjalanan penyakit ataupun mencegah kerusakan sendi.
Kombinasi 2 atau lebih OAINS harus dihindari karena tidak
menambah efektivitas tetapi meningkatkan efek samping. (PRI,
2014)

4. Terapi Pembedahan
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan pada pasien AR yang tetap
mengalami sinovitis refrakter terhadap pengobatan, serta pasien yang
mengalami keterbatasan gerak (memburuknya fungsi sendi akibat
kerusakan sendi/deformitas). Pasien yang mengalami nyeri yang terus
menerus yang tidak dapat dikendalikan dengan obat juga perlu
dikonsultasikan dengan spesialis bedah. Pertimbangkan juga konsultasi
dengan spesialis bedah untuk mencegah kerusakan/ cacat yang
ireversibel pada pasien dengan ruptur tendon yang nyata, kompresi
saraf (misalnya sindrom carpal tunnel) dan fraktur tulang belakang.
(PRI, 2014)
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Teoritis
I. Pengkajian
1. Biodata
- Identitas klien meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin,
pendidikan, alamat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal
pengkajian, no register, dan diagnose medis
- Identitas orang tua yang terdiri dari: nama ayah dan ibu, usia,
pendidikan, pekerjaan, agama dan alamat
2. Keluhan utama
Keluhan dapat berupa nyeri pada bagian persendian, kaku pagi hari
pada sendi, pembengkakan jaringan lunak/persendian
3. Riwayat Kesehatan
- Riwayat kesehatan sekarang
Gejala awal yang muncul pada pasien yaitu kelelahan, kekakuan
sendi, mati rasa dan kesemutan serta nyeri sendi.
- Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat kesehatan masa lalu berkaitan dengan kemungkinan
memakan makanan/minuman yang terkontaminasi dan pentingnya
mengetahui perkembangan penyakit klien, dan sejauh mana
perhatian klien dan keluarganya terhadap masalah yang sedang
dialami klien. Artritis rheumatoid mempunyai prognosis buruk bila
ditemukan dini.
5. Riwayat Psiko Sosial
Pasien dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan yang cukup
tinggi apalagi pad pasien yang mengalami deformitas pada sendi-sendi
karean ia merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada dirinya dan
merasakan kegiatan sehari-hari menjadi berubah. Perawat dapat
melakukan pengkajian terhadap konsep diri klien khususnya aspek
body image dan harga diri klien.
6. Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi
(bilateral), amati warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, dan
pembengkakan.
- Lakukan pengukuran passive range of mation pada sendi-sendi
sinovial
 Catat bila ada deviasi (keterbatasan gerak sendi)
 Catat bila ada krepitasi
 Catat bila terjadi nyeri saat sendi digerakkan
- Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara bilateral
 Catat bia ada atrofi, tonus yang berkurang
 Ukur kekuatan otot

- Kaji tingkat nyeri, derajat dan mulainya


- Kaji aktivitas/kegiatan sehari-hari

7. Pola Kesehatan
a. Aktivitas/Istirahat
Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stress
pada sendi; kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi secara
bilateral dan simetris. Limitasi fungsional yang berpengaruh
terhadap gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan. Keletihan.
Tanda dari gejala RA yaitu malaise seperti keterbatasan rentang
gerak; atrofi otot, kulit; kontraktur/kelainan pada sendi dan otot.
b. Kardiovaskuler
Fenomena Raynaud jari tangan/kaki (mis., pucat intermiten,
sianosis, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali
normal).
c. Integritas Ego
Faktor-faktor stress akut/kronis; mis., finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan. Keputusasaan dan
ketidakberdayaan (situasi ketidakmampuan). Ancaman pada
konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi, (mis., ketergantungan
pada diri orang lain).
d. Makanan/Cairan
Ketidakmampuan untuk menghasilkan/mengkonsumsi
makanan/cairan adekuat; mual. Anoreksia. Kesulitan untuk
mengunyah (keterlibatan TMJ).
Tanda dari gejala RA yaitu penurunan berat badan dan kekeringan
pada membran mukosa.
e. Higiene
Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan
pribadi. Ketergantungan pada diri orang lain.
f. Neurosensori
Kebas/kesemutan pada tangan dan kaki., hilangnya sensasi pada
jaringan. Pembengkakan sendi simetris.
g. Nyeri/Kenyamanan
Fase akut dari nyeri mungkin/mungkin tidak disertai oleh
pembengkakan jaringan lunak pada sendi. Rasa nyeri kronis dan
kekakuan (terutama pada pagi hari).
h. Keamanan
Kulit mengkilat, tegang; nodul subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki.
Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga.
Demam ringan menetap. Kekeringan pada mata dan membran
mukosa.
i. Interaksi Sosial
Kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain; perubahan peran;
isolasi.
j. Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat AR pada keluarga (pada awitan remaja). Penggunaan
makanan kesehatan, vitamin, “penyembuhan” arthritis tanpa
pengujian. Riwayat perikarditis, lesi katup; fibrosis pulmonal,
pleuritis. DRG menunjukan rata-rata lama dirawat: 4,8 hari.

II. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ditandai


dengan pasien tampak meringis, gelisah, dan frekuensi nadi meningkat.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal ditandai dengan mengeluh sulit menggerakan
ekstremitas, kekuatan otot menurun, dan rentang gerak (ROM) menurun.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
ditandai dengan menolak melakukan perawatan diri, tidak mampu
mandi/mengenakan pakaian/makan/ke toilet/ berhias secara mandiri dan
minat melakukan perawatan diri kurang.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh
ditandai dengan mengungkapkan kecacatan/kehilangan bagian tubuh,
fungsi atau struktur tubuh berubah, dan mengungkapkan perasaan
negative tentang perubahan tubuh.

III. Intervensi Keperawatan


IV. Intervensi Keperawatan
No Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Dx hasil
1 Setelah dilakukan Manajemen Nyeri 1. Mengetahui skala
asuhan keperawatan Observasi : nyeri pasien
2. Mengidentifikasi
selama ...x 24
jam, 1. Identifikasi skala nyeri
2. Identifikasi respon respon nyeri
diharapkan nyeri pada
nyeri nonverbal nonverbal
pasien dapat teratasi
Terapeutik : 3. Mengurangi rasa
dengan kriteria hasil: 3. Berikan teknik
nyeri pasien
- Keluhan nyeri nonfarmakologi untuk 4. Mengontrol
menurun (Skala mengurangi rasa nyeri lingkungan yang
1 sampai 5) (mis, akupresur, terapi memperberat rasa
- Pasien tidak pijat, kompres hangat nyeri
5. Mengurangi rasa
terlihat meringis, atau dingin, terapi
nyeri pasien
gelisah dan bermain). Titik
6. Mengurangi onset
kesulitan tidur (1 akupresur yaitu:
terjadinya nyeri
- LI 4 (terletak
sampai 5)
dapat dilakukan
dititik tertinggi
- TTV dalam
dengan pemberian
dari otot ketika
rentan normal
analgetika oral
ibu jari dan jari
(TD:60/45-85/55
maupun sistemik
telunjuk yang
mmHg, T: 36-
dalam spectrum
o diadakan
37,5 C, N: 100-
luas/spesifik
bersama-sama)
160x/menit, RR:
- LI 11 (terletak di
30-55 x/menit)
luar lipatan siku)
- ST 36 (terletak
pada empat jari
dibawah
tempurung lutut
dibagian sisi luar
tulang kering)
- GB 34 (terletak di
dalam sebuah
lekukan anterior
dan dibawah
kepala fibula 2
cun dibawah lutut)
4. Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan
dan kebisingan)
Edukasi :
5. Anjarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
6. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2 Setelah dilakukan Dukungan ambulasi 1. Mengidentifikasi
asuhan keperawatan Observasi : penyebab nyeri atau
selama ...x 24 jam, 1. Identifikasi adanya keluhan fisik lainnya
2. Mengidentifikasi
diharapkan kemampuan nyeri atau keluhan
tolerasi untuk
dalam gerakan fisik fisik lainnya
2. Identifikasi tolerasi melakukan ambulasi
secara mandiri
3. Memudahkan pasien
fisik melakukan
meningkat, dengan
untuk berpindah
ambulasi
kriteria hasil :
posisi
- Pergerakan 4. Memudahkan pasien
ekstremitas untuk melakukan
Terapiutik :
meningkat (1 aktivitas
3. Fasilitasi aktivitas 5. Memotivasi
sampai 5)
- Kekuatan ambulasi dengan alat kesembuhan pasien
6. Mengetahui tujuan
meningkat (1 bantu (mis. tongkat,
dan prosedur
sampai 5) kruk)
- Rentang gerak 4. Fasilitasi melakukan ambulasi
7. Mengurangi
(ROM) mobilitas fisik, jika
komplikasi
meningkat (1 perlu
8. Memperbaiki
5. Libatkan keluarga
sampai 5)
sirkulasi
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
Edukasi :
6. Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
7. Anjurkan melakukan
ambulasi dini
8. Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis.
berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda,
berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai
tolerasi)

3 Setelah dilakukan Dukungan Perawatan 1. Mengidentifikasi


asuhan keperawatan Diri kebiasaan dan
selama ...x 24 jam, Observasi : aktivitas perawatan
diharapkan kemampuan 1. Identifikasi kebiasaan diri sesuai usia
2. Memfasilitasi pasien
aktivitas perawatan diri , dan aktivitas
dengan alat bantu
dengan kriteria hasil : perawatan diri sesuai
kebersihan diri,
- Kemampuan usia
2. Identifikasi kebutuhan berpakaian, berhias,
mandi
alat bantu kebersihan dan makan
meningkat (1
3. Memberikan rasa
diri, berpakaian,
sampai 5)
nyaman untuk pasien
- Kemampuan berhias, dan makan
4. Mempercepat
mengenakan
perawatan diri secara
pakaian Terapiutik :
mandiri
meningkat (1 3. Sediakan lingkungan 5. Melatih melakukan
sampai 5) yang terapeutik (mis. perawatan diri secara
- Kemampuan suasana hangat, rileks, teratur
6. Memberikan latihan
makan privasi)
4. Dampingi dalam perawatan diri sesuai
meningkat (1
melakukan perawatan kemampuan pasien
sampai 5)
- Kemampuan ke diri sampai mandiri
5. Jadwalkan rutinitas
toilet
perawatan diri
(BAB/BAK)
meningkat (1
Edukasi :
sampai 5)
6. Anjurkan melakukan
perawatan diri secara
konsisten sesuai
kemampuan

4 Setelah dilakukan Promosi Citra Tubuh 1. Mengetahui


asuhan keperawatan Observasi : perubahan yang
selama ...x 24 jam, 1. Identifikasi perubahan terjadi pada pasien
2. Mengetahui sudut
diharapkan citra tubuh citra tubuh yang
pandang pasien
meningkat, dengan mengakibatkan isolasi
terhadap dirinya
kriteria hasil : sosial
3. Mengetahui stresor
2. Monitor frekuensi
- Verbalisasi
pasien
pernyataan kritik
kecacatan bagian 4. Mengetahui persepsi
terhadap diri sendiri
tubuh meningkat pasien dan keluarga
(1 sampai 5) tentang perubahan
- Verbalisasi Terapiutik :
citra tubuh
perasaan negatif 3. Diskusikan kondisi 5. Memberikan
tentang stres yang informasi tentang
perubahan tubuh mempengaruhi citra perubahan citra tubuh
menurun (1 tubuh (mis. luka, pasien
6. Meningkatkan citra
sampai 5) penyakit, pembedahan)
4. Diskusikan persepsi tubuh
pasien dan keluarga
tentang perubahan
citra tubuh

Edukasi :
5. Jelaskan kepada
keluarga tentang
perawatan perubahan
citra tubuh
6. Latih fungsi tubuh
yang dimiliki

V. Implemantasi
Implementasi keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan
dimana perawat memberikan perawatan kepada pasien. Perawat memulai
dan menyelesaikan tindakan atau intervensi yang diperlukan untuk mencapai
tujuan dan hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan.
VI. Evaluasi
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai
tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan
yang dilakukan dengan format SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Lukman, Ningsih, Nurna. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan


Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jilid 1. Jakarta : Salemba Medika.

Kumar, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC

Nurarif, A. H. dan Hardhi, K. 2015. Aplikasi NANDA NIC NOC,Edisi Revisi


Jilid I. Yogyakarta: Media Action Publishing

Tomlinson, Deborah. 2006. Pediatric Oncology Nursing. Berlin: Springer

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Indikator Diagnostik). Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Tindakan Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI.
PATHWAY

Faktor pencetus: Bakteri,


mikroplasma, atau virus

Penyakit autoimun Menginfeksi sendi secara


antigenik

Individu yang mengidap


Predisposisi genetik AR membentuk antibodi
IgM Reaksi autoimun dalam
jaringan sinovial
(antibodi IgG)

Pelepasan Faktor
Reumatoid (FR)
Respon IgG awal
menghancurkan
mikroorganisme
FR menempati dikapsula
sendi

Inflamasi Kronis Pada Tendon, Ligamen juga terjadi deruksi jaringan

Akumulasi Sel Fagositosis Pembentukan


Darah Putih ektensif Jaringan Parut

Terbentuk nodul- Kekakuan sendi


Pemecahan
nodul rematoid
Kolagen
ekstrasinovium
Rentang Gerak
Edema, poliferasi Berkurang
Kerusakan
membrane sinovial
sendi Progresif
Atrofi Otot
Membrane
Deformitas Sendi sinovium menebal
& hipertropi
MK: Gangguan
MK: Gangguan Citra Tubuh
Mobilitas Fisik
Panus Hambatan
Aliran Darah

Kartilago
dirusak

Nekrosis Sel

Erosi Sendi dan Nyeri


Tulang

MK: Nyeri Akut


Menghilangnya
permukaan sendi

Penurunan
elastisitas dan
kontraksi otot

MK: Defisit
Perawatan Diri

Anda mungkin juga menyukai