Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pelayanan kesehatan diseluruh dunia akan menghadapi tekanan biaya yang berat
pada 10-20 tahun mendatang, karena peningkatan yang luar biasa dari orang yang
terkena penyakit musculoskeletal. Organisasi kesehatan sedunia (WHO)
menyatakan bahwa beberapa juta orang telah menderita karena menderita
penyakit sendi dan tulang, dan angka tersebut diperhitungkan akan meningkat
tajam karena banyaknya orang yang berumur lebih dari 50 tahun pada tahun 2020.
Sekretaris jenderal PBB Kofi Annan dan WHO pada 30 november 1999 telah
mencanangkan suatu ajakan 10 tahun baru yang disebut Bone and Joint Decade.
Ajakan tersebut menghimbau pemerintah di seluruh dunia untuk segera mengambil
langkah-langkah dan berkejasama dengan organisasi-organisasi untuk penyakit
musculoskeletal, profesi kesehatan di tingkat nasional maupun internasional untuk
pencegahan dan penatalaksanaan penyakit musculoskeletal. Di Indonesia
pencanangan Bone and Joint Decade dilakukan pada tanggal 7 oktober tahun 2000
oleh menteri kesehatan dan kesejahteraan social Republik Indonesia dr.achmad
Sujudi, bersamaan dengan temu ilmiah reumatologi ke III di Jakarta.

Banyak kemajuan reumatologi di dunia termasuk di Indonesia, di samping itu juga


banyak permasalahan yang perlu dipecahkan berkaitan dengan pemahaman
penyakit reumatik (baik oleh masyarakat umum maupun kalangan medis),
diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit, pencegahan kecacatan dan
rehabilitasi akibat penyakit reumatik serta pendidikan di bidang reumatologi.

B. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui gejala-gejala klinis penyakit arthitis sehingga dapat segera


ditegakkan diagnosis secara tepat.

2. Mengetahui gambaran radiologis dari penyakit arthitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Arthritis adalah salah satu penyakit reumatologi nyeri somatic dan kekauan sendi
yang dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, genetik, factor lingkungan, dan
gaya hidup (Sudoyo, 2006)

B. Jenis-Jenis Arthritis
Terdapat tiga macam Arthitis, yaitu Osteoarthitis, Arthritis
Rheumatoid dan GoutArthritis.

B.1. Osteoarthitis (OA)

Osteoarthritis adalah sekelompok penyakit yang overlap dengan etiologi yang


mungkin berbeda-beda, namun mengakibatkan kelainan biologis, morfologis dan
gambaran klinis yang sama. Proses penyakitnya tidak hanya mengenai rawan sendi
namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk tulang subkondral, ligamentum,
kapsul dan jaringan synovial serta jaringan ikat periartikular. Osteoarthitis
merupakan penyakit sendi yang paling banyak di jumpai dan prevalensinya semakin
meningkat dengan bertambahnya usia. Masalah osteoarthritis di Indonesia
tampaknya lebih besar dibandingkan Negara barat kalau melihat tingginya
prevalensi penyakit osteoarthritis di malang. Lebih dari 85% pasien osteoarthritis
tersebut terganggu aktivitasnya terutama untuk kegiatan jongkok, naik tangga dan
berjalan. Arti dari jongkok dan menekuk lutut sangat penting bagi pasien
osteoarthritis di Indonesia oleh karena banyak kegiatan sehari-hari yang tergantug
kegiatan ini khususnya sholat dan buang air besar. Kerugian tersebut sulit di ukur
dengan materi (Sudoyo, 2006)

Pemahaman yang lebih baik mengenai pathogenesis osteoarthritis (OA) akhir-akhir


ini diperoleh antara lain berkat meningkatnya pengetahuan mengenai biokimia dan
biologi molekuler rawan sendi. Dengan demikian diharapkan kita dapat mengelola
pasien OA dengan lebih tepat dan lebih aman.

Perlu dipahami bahwa penyebab nyeri yang terjadi pada OA bersifat multifaktorial.
Nyeri dapat bersumber dari regangan serabut syaraf periosteum, hipertensi intra-
osseous, regangan kapsul sendi, hipertensi intra-artikular, regangan ligament,
mikrofraktur tulang subkondral, entesopati, bursitis, dan spasme otot. Dengan
demikian penting dipahami, bahwa walaupun belum ada obat yang dapat
menyembuhkan OA saat ini, namun terdapat berbagai cara untuk mengurangi nyeri
dengan memperhatikan kemungkinan sumber nyerinya, memperbaiki mobilitas dan
meningkatkan kualitas hidup (Sudoyo, 2006)

B.2. Reumatoid Arthitis (RA)

Rheumatoid arthitis merupakan suatu penyakit inflamasi sistematik yang walaupun


manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini
juga melibatkan seluruh organ tubuh. Pada umumnya selain gejala konstitusional
berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan organ non artikular lainnya
(Sudoyo, 2006)

RA merupakan suatu penyakit inflamasi yang menyebabkan rasa sakit,


pembengkakan, kekakuan dan hilangnya fungsi pada sendi. Yang mempunyai
beberapa keistimewaan yang membuat RA berbeda dari jenis lainnya dari artritis.
Contohnya, RA secara umum terjadi pada pola yang simetris, artinya jika satu lutut
atau tangan yang dilibatkan, yang sisi lain juga terkena penyakit ini sering
mempengaruhi sendi-sendi pergelangan tangan (wrist joint) dan sendi-sendi jari
yang terdekat dari tangan. Penyakit ini juga mempengaruhi bagian-bagian tubuh
lain disamping sendi-sendi. Dan RA mungkin juga sebagai manifestasi dari penyakit
sistemik (Sudoyo, 2006)

RA adalah suatu penyakit radang sistemik yang mengakibatkan kerusakan tulang


dan tulang rawan. RA ditandai oleh suatu distribusi dan pola yang khas dari
keterlibatan cairan sendi dan menyebabkan kelainan bentuk dan hilangnya fungsi
pada sendi.

Etiologi RA

Ilmuwan tetap tidak mengetahui persisnya apa penyebab sistem imun untuk
berbalik melawan dirinya sendiri dalam RA, tetapi penelitian di tahun terakhir telah
mulai untuk mengumpulkan faktor-faktor yang terlibat.

Faktor-faktor yang terlibat yaitu: 1) Faktor genetik: Ilmuwan sudah menemukan gen
tertentu yang berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari
terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II,
khususnya HLADR4 dengan RA seropositif. Pengemban HLADR4 memiliki resiko
relatif 4 : 1 untuk menderita penyakit ini.; 2) Faktor lingkungan: sejak tahun 1930,
infeksi telah diduga merupakan penyebab RA. Dugaan faktor infeksi sebagai
penyebab RA juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara
mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.
Walau hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari
jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu
komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan
terjadinya RA. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab RA antara lain
adalah bakteri, mikroplasma atau virus. Ini tidak berarti bahwa RA adalah penyakit
menular.; 3) faktor-faktor yang lain; kecenderungan wanita untuk menderita RA dan
sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan
terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang
berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon
estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang
diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal
memang merupakan penyebab penyakit. Faktor lain yang diduga etiologi RA adalah
Heat Shock protein (HSP) adalah kelompok protein berukuran sedang yang dibentuk
oleh sel seluruh spesies sebagai respon terhadap stress. Walaupun telah diketahui
ada hubungan antara HSP dan sel T pada pasien RA, mekanisme hubungan ini
belum diketahui dengan jelas (Sudoyo, 2006)

Klasifikasi dan Kriteria Diagnostik RA


Kriteria diagnostik RA yang dibentuk oleh The American Rheumatism Association
(ARA) pada tahun 1958 telah digunakan selama hampir 30 tahun, akan tetapi
dengan berkembangnya pengetahuan dalam bidang RA, ternyata diketahui bahwa
dengan menggunakan kriteria tersebut banyak dijumpai kesalahan diagnostik.
Banyak kasus RA yang luput dari diagnosis atau sebaliknya, banyak jenis artritis
yang didiagnosis sebagai RA (Sudoyo, 2006)

Untuk itu pada tahun 1987 ARA telah mempublikasikan susunan kriteria klasifikasi
RA dalam format tradisional yang baru. Kriterianya : 1) Kaku pagi hari; 2) Artritis
pada 3 daerah yaitu pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi
(bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan
yang diobservasi oleh seorang dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14 persendiaan
yang memenuhi kriteria yaitu PIP (Proximal Interphalangeal), MCP
(Metacarpophalangeal) kiri dan kanan; 3) Artritis pada persendian tangan
(sekurang-kurangnya); 4) Artritis simetris; 5) Nodul reumatoid: nodul subkutan pada
penonjolan tulang atau permukaan ekstensor; 6) Faktor reumatoid serum:
terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara
yang memberikan hasil positif <5%>

Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita RA jika ia sekurang-


kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria diatas.

Manifestasi Klinis RA

Manifestasi artikular RA dapat dibagi menjadi 2 kategori: 1) Gejala inflamasi akibat


aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel; 2) Gejala akibat kerusakan struktur
persendian yang bersifat ireversibel. Sangat penting untuk membedakan kedua hal
ini karena penatalaksanaan klinis kedua kelainan tersebut sangat berbeda. Sinovitis
merupakan kelainan yang umumnya bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan
pengobatan medikamentosa atau pengobatan non surgical lainnya. Kerusakan
struktur persendiaan akibat kerusakan rawan sendi atau erosi tulang periartikular
merupakan proses yang tidak dapat diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi
mekanik atau pembedahan rekonstruktif (Sudoyo, 2006)

Manifestasi ekstraartikular yaitu: 1) Kulit, walaupun jarang dijumpai di Indonesia, di


negara Barat nodul reumatoid merupakan suatu gejala RA yang patognomonik.
Nodul rheumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah kulit
terutama pada lokasi yang banyak menerima tekanan seperti olekranon,
permukaan ekstensor lengan dan tendon Achilles. Vaskulitis seringkali
bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis pada kulit dan nekrosis kuku; 2)
Mata, kelainan mata yang sering dijumpai pada RA adalah kerato-konjungtivitis
sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjogren. Pada keadaan dini gejala ini
seringkali tidak dirasakan oleh pasien. Untuk itu ada setiap pasien RA kemungkinan
terdapatnya kelainan mata harus selalu dicari secara aktif agar kerusakan mata
yang berat dapat dicegah; 3) Sistem Respiratorik, peradangan pada sendi
krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada RA. Gejala keterlibatan saluran nafas atas
ini dapat berupa nyeri tenggorokan, nyeri menelan atau disfonia yang umumnya
terasa lebih berat pada pagi hari. Walaupun jarang menunjukkan gejala klinis yang
berat, paru merupakan organ yang sering terlibat pada RA. Umumnya keterlibatan
paru yang ringan hanya dapat diketahui dari hasil autopsi berupa pneumonitis
interstisial. Akan tetapi pada RA yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan
fibrosis paru yang luas; 4) Sistem Kardiovaskuler, lesi inflamatif yang menyerupai
nodul rheumatoid dapat dijumpai pada miokardium dan katup jantung. Lesi ini
dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomen embolisasi, gangguan konduksi,
aoritis dan kardiomiopati; 5) Sistem Gastrointestinal, umumnya pada RA tidak
pernah dijumpai kelainan traktus gastrointestinalis yang spesifik selain daripada
xerostomia yang berhubungan dengan sindrom Sjogren atau komplikasi
gastrointestinal akibat vaskulitis; 6) Ginjal, berbeda dengan lupus eritematosus
sistemik, pada RA jarang sekali dijumpai kelainan glomerular. Jika pada pasien RA
dijumpai proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering disebabkan karena efek
samping pengobatan seperti garam emas dan d-penisilamin atau terjadi sekunder
akibat amiloidosis; 7) Sistem syaraf, komnplikasi neurologis yang sering dijumpai
pada RA umumnya tidak memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar untuk
membedakan komplikasi neurologis akibat lesi artikular dari lesi neuropatik.
Patogenesis komplikasi neurologis pada RA umumnya berhubungan dengan
mielopati akibat instabilitas vertebra, servikal, neuropati jepitan atau neuropati
iskemik akibat vaskulitis; 8) Sistem hematologis, belum ditemukan kelainan pada
sistem ini (Sudoyo, 2006)

B.3. Gout Arthitis

Gout arthritis adalah sekelompok penyakit yang terjadi akibat deposit Kristal
monosodium urat di jaringan. Deposit ini bersal dari cairan Kristal ekstra selular
yang sudah mengalami supersaturasi dari hasil metabolisme purin yaitu asam urat
(Sudoyo, 2006)

Prevalensi di Indonesia, penyakit arthritis gout pertama kali diteliti oleh seorang
dokter Belanda, dr. Van Den Horst tahun 1935. Saat itu masih ditemukan 15 kasus
gout berat di Jawa. Pada tahun 1988, dr. John Darmawan menunjukkan bahwa di
Bandungan Jawa Tengah diantara 4.683 orang berusia 15 45 tahun yang diteliti,
0,8 % menderita asam urat tinggi (1,7 % pria dan 0,05 % wanita) di antara mereka
sudah sampai pada tahap gout. Angka-angka ini diprediksikan akan bertambah
dengan tingginya faktor resiko pada gout (Sudoyo, 2006).

Gout adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara total, yang berarti
sekali terjerat penyakit ini, seseorang harus memperhatikannya seumur hidup
(Murray, 1997). Kadang-kadang kombinasi obat yang disarankan harus dikonsumsi
dalam jangka panjang, dalam hitungan bulan atau tahun. Bahkan ada kalanya
penderita disarankan mengkonsumsi obat penurun asam urat tersebut seumur
hidup apabila tingkat serangan sampai pada tahap yang berat. Hal ini misalnya
terjadi pada penderita batu ginjal asam urat ataupun telah terjadi pengendapan
asam urat pada persendiaan (Murray, 1997)

Jenis-jenis gout

Gout primer

Pada gout primer, hiperurikemia dapat disebabkan adanya kelainan genetik maupun
kelainan bawaan lain yang menyebabkan peningkatan produksi asam urat atau
penurunan kemampuan ekskresi asam urat.

Gout sekunder

Gout sekunder merupakan akibat dari proses penyakit lain atau akibat pengobatan
tertentu. Misalnya obat diuretik tiazid dapat menyebabkan hiperurikemia dengan
penurunan ekskresi asam urat. Selain itu aspirin dengan dosis rendah (kurang dari 1
2 gram/hari), asam nikotinat, dan asetazolamid juga berefek sama (Carter, 2001).

Penyakit-penyakit seperti leukemia, lymphoma, psoriasis juga dapat menyebabkan


gout. Paparan terhadap timbal yang berlebihan dapat merusak ginjal sehingga
berakibat menurunkan kemampuannya mengekskresikan asam urat (Broadhurst).

Penyebab lain gout sekunder adalah konsumsi alkohol. Alkohol dapat meningkatkan
nilai asam urat dengan menyediakan sumber purin yang tinggi serta menghasilkan
produk samping metabolisme alkohol yang dapat menghambat ekskresi asam urat.

Diet tinggi purin dapat memicu terjadinya serangan gout pada orang yang memiliki
kelainan bawaan dalam metabolisme purin (Carter, 2001). Konsumsi makanan
dengan kadar purin yang tinggi seperti hati, ginjal, otak, jantung, paru-paru dan
lain-lain memperbesar resiko pemunculan gout (Murray, 1997).

Selain hal tersebut di atas, seseorang dengan kondisi tertentu mempunyai resiko
yang lebih tinggi untuk mendapatkan penyakit gout dibanding orang normal.
Misalnya obesitas, terdapat hubungan yang jelas antara berat badan dengan nilai
asam urat darah. Pada kasus lain, hipertensi ditemukan dalam 25 50 % pasien
gout, tanpa penyebab yang jelas

Fase klinik gout

Terdapat empat tahap penyakit gout, yaitu :

- Hiperurikemia asimtomatik

Dalam tahap ini penderita tidak menunjukkan gejala-gejala selain peningkatan


asam urat serum. Keadaan ini dapat berlangsung cukup lama, dapat terjadi selama
bertahun-tahun.
- Artritis gout akut

Tahap gout akut adalah tahap gejala gout mulai tampak. Pembengkakan mendadak
dan nyeri yang luar biasa umumnya terdapat pada sendi ibu jari kaki. Terdapat
tanda-tanda peradangan lokal, dengan peningkatan jumlah sel darah putih.
Serangan biasanya pulih tanpa pengobatan, tetapi memakan waktu 10 14 hari.

Tidak terdapat perubahan yang karakteristik pada nilai plasma asam urat saat
inisiasi ataupun selama berlangsungnya serangan gout akut. Bahkan ekskresi asam
urat cenderung meningkat selama serangan yang menyebabkan kadar asam urat
plasma menurun

- Interkritis

Tidak terdapat gejala-gejala pada tahap ini yang dapat berlangsung beberapa bulan
atau beberapa tahun. Mula-mula periode interkritis berlangsung lama, asimtomatik
dan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisik. Lama-kelamaan, serangan akut makin
sering timbul, periode interkritis menjadi lebih pendek.

- Gout kronik

Apabila tidak dilakukan pengobatan, timbunan urat terus bertambah. Peradagan


kronik akibat kristal asam urat menyebabkan rasa nyeri serta pembesaran dan
penyebaran sendi yang membengkak yang disebut tofi (Carter, 2001).

Tofi ini terdiri dari deposit kristal natrium urat bersama dengan matriks protein,
lemak, polisakarida, serta kalsium. Telinga, persendian jari-jari merupakan tempat
yang sering dihinggapi tofi. Selain itu disfungsi renal juga muncul pada penderita
gout. Terbentuknya batu urat ginjal semakin memperburuk penyakit gout akibat
penurunan ekskresi asam urat.

C. Gambaran radiologis

Gambaran radiologis OA dan RA

Gambaran radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA ialah: a) Penyempitan


celah sendi yang sering kali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung
beban); b) Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral; c) Kista tulang; d)
Osteofit pada pinggir sendi; e) Perubahan struktur anatomi sendi.

(Pemeriksaan rontgen lutut AP menunjukkan adanya penyempitan compartment


femorotibial medial dan penajaman spina tibia khas didapat pada OA)

(Gambar rontgen tangan menunjukkan penyempitan, osteophytes dan kita


subchondral yang ditemukan di sendi interphalang distal khas pada OA)

(Gambar pembesaran jari ke V menunjukkan adanya osteophytes dan erosi sentral


(gull wing appearance)
(Gambar pembesaran rontgen sendi interphalangeal distal jari ke V, terdapat erosi
lanjut OA)

Transverse fast spin-echo T2-weighted fat-saturated MR image of the knee reveals


increased signal intensity within the articular cartilage of the patella reflecting
degeneration.

Sindrom Sjogrens didefinisikan sebagai kombinasi RA dengan keratokonjungtivitis


sicca atau xerostomia atau kedua-duanya. Rontgenografi pada sindrom Sjogrens
umumnya telah dibatasi karakteristiknya dengan penemuan sialografi dari ectasia
dan dikenal baik sebagai ciri dari RA dan kalsifikasi vaskuler pada pergelangan
tangan dan kaki pada beberapa pasien dengan RA. Gambaran radiologis RA lainnya
ialah; Sendi yang tipis dan erosi, banyak sendi yang terlibat dan inflamasi pada
synovium serta rusaknya semua jaringan sendi.

(Gambar rheumatoid arthritis)

(Gambar rontgen lutut memperlihatkan osteopenia dengan peluasan epiphysis


distal femur. Epifisis tumbuh berlebihan karena hyperemia kronis)

(Gambar osteopenia luas, carpal crowding (hilangnya kartilago) dan beberapa erosi
yang ditemukan pada tulang karpal dan metacarpal pada pasien anak advanced
juvenile idiopathic arthritis (JIA))

(Gambar panah menunjukkan erosi di area periarticular jari kaki pada pasien RA)

(Gambar erosi multiple dan penyempitan ruang sendi di pancarpal pada pasien RA)

(Gambar panah menunjukkan erosi pada tepi articular tibia pada pasien juvenile
chronic arthritis)

Knee in early juvenile rheumatoid arthritis: MR imaging findings. Radiology 2001


Sep;220(3):696-706.
"Synovial hypertrophy and joint effusions are the most frequent MR imaging findings
of knees in early juvenile rheumatoid arthritis."

Gambaran radiologis Gout arthitis

Penemuan pada fase awal gout dimulai pada jaringan lunak. Penemuan yang khas
adalah pembengkakan yang tidak simetris disekitar sendi yang terkena. Penemuan
lain yang dapat terjadi pada fase awal gout adalah edema pada jaringan lunak
disekitar sendi. Pada penderita yang mengalami episode gout yang multiple pada
sendi yang sama, terdapat gambaran area berkabut yang opak yang dapat dilihat
pada pemeriksaan radiologi film datar.

Fase lanjut dari gout, terjadi perubahan awal pada tulang. Pada umumnya,
perubahan awal pada area sendi metatarsophalangeal. Purubahan awal pada
umumnya terjadi di luar sendi atau pada daerah juxta artikularis. Pada fase lanjut
ini biasanya ditemukan gambaran lesi luar, yang kemudian bisa menjadi sklerotik
karena peningkatan ukurannya.

Pada fase akhir gout, ditemukan tanda topus pada banyak persendian tulang.
Terjadinya perubahan lain pada gambaran radiografi film datar pada stadium akhir
adalah jarak persendian yang menyempit yang sangat menyakitkan. Tanda
deformitas juga dapat terjadi karena efek dari penyakit pada fase akhir. Kalsifikasi
pada jaringan lunak ditemukan juga pada fase akhir gout.

goutAP gout

Click to see larger picture

Gambar Gout Podagra, atau nyeri pada metatarsophalangeal paertama, dapat


dengan mudah difahami ketika gambaran radiologis dari kaki dengan gout kronik
telah dievaluasi. Sklerosis dan ruang antar sendi menyempit tampak pada
metatarsophalangeal paertama, seperti pada sendi interphalangeal keempat.
(Image courtesy of Larry Brent, MD).

Gout Toe:
Gambar Erosi dari gout (panah) ditemukan di sepanjang tepi medial dari metatarsal
yang pertama pada pasien yang menderita gout- relative pula ditemukan pada
kartilago artikular

Gambar Erosi yang luas terlihat pada medial metatarsal pertama bagian distal
(panah tengah) dengan diiringi massa jaringan lunak (panah atas). Gambaran lusen
subchondral dengan sklerotik melibatkan bagian distal metatarsal pertama (panah
dalam). Gambaran sendi dan densitas tulang normal.

GoutMPJ1

Gambaran dorsoplantar dari sendi metatarsophalang pertama. Terjadi peningkatan


densitas jaringan lunak dan volum dan terlihat berdekatan pada puncak dari
metatarsal pertama. Meskipun tampak gambaran erosi yang signifikan pada
metatarsal pertama pada bagian medial dan lateral, ruang sendi relative renggang.
Gambaran erosi bentuk- C disepanjang pada bagian lateral dasar hallux proksimal
phalang dengan penjalaran tepi tulang (panah, AKA Martels sign).

x-ray Click to see larger picture

Gambar Gout pada gambaran ini merupakan kronik topus arthritis gout, erosi tulang
yang meluas ditemukan pada area tulang karpal. Deposisi urat mungkin ditemukan
pada area periartikular (Image courtesy of Larry Brent, MD)

BAB III

KESIMPULAN

Arthritis adalah salah satu penyakit reumatologi nyeri somatic dan kekauan sendi
yang dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, genetik, factor lingkungan, dan
gaya hidup.
Terdapat tiga macam Arthitis, yaitu Osteoarthitis, Arthritis Rheumatoid dan Gout
Arthritis.

Gambaran radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA ialah:

- Penyempitan celah sendi yang sering kali asimetris (lebih berat pada bagian yang
menanggung beban)

- Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral

- Kista tulang

- Osteofit pada pinggir sendi

- Perubahan struktur anatomi sendi.

Sindrom Sjogrens didefinisikan sebagai kombinasi RA dengan keratokonjungtivitis


sicca atau xerostomia atau kedua-duanya. Rontgenografi pada sindrom Sjogrens
umumnya telah dibatasi karakteristiknya dengan penemuan sialografi dari ectasia
dan dikenal baik sebagai ciri dari RA dan kalsifikasi vaskuler pada pergelangan
tangan dan kaki pada beberapa pasien dengan RA. Gambaran radiologis RA lainnya
ialah; Sendi yang tipis dan erosi, banyak sendi yang terlibat dan inflamasi pada
synovium serta rusaknya semua jaringan sendi.

Penemuan pada fase awal gout dimulai pada jaringan lunak. Penemuan yang khas
adalah pembengkakan yang tidak simetris disekitar sendi yang terkena. Penemuan
lain yang dapat terjadi pada fase awal gout adalah edema pada jaringan lunak
disekitar sendi. Pada penderita yang mengalami episode gout yang multiple pada
sendi yang sama, terdapat gambaran area berkabut yang opak yang dapat dilihat
pada pemeriksaan radiologi film datar.

Fase lanjut dari gout, terjadi perubahan awal pada tulang. Pada umumnya,
perubahan awal pada area sendi metatarsophalangeal. Purubahan awal pada
umumnya terjadi di luar sendi atau pada daerah juxta artikularis. Pada fase lanjut
ini biasanya ditemukan gambaran lesi luar, yang kemudian bisa menjadi sklerotik
karena peningkatan ukurannya.

Pada fase akhir gout, ditemukan tanda topus pada banyak persendian tulang.
Terjadinya perubahan lain pada gambaran radiografi film datar pada stadium akhir
adalah jarak persendian yang menyempit yang sangat menyakitkan. Tanda
deformitas juga dapat terjadi karena efek dari penyakit pada fase akhir. Kalsifikasi
pada jaringan lunak ditemukan juga pada fase akhir gout.

DAFTAR PUSTAKA
1. Aru W, Sudoyo, et al, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit
Buku Kedokteran IPD FK UI.

2. Broadhurst, C. L., Ease Gout Pain, Nutrition Science News

(http://www.denutrition.com)

3. Carter, M. A.,, Gout, dalam Sylvia, A. P. And Lorraine, M. W. (Eds), 2001,


Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi IV, Buku II, 1242-1246,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

4. Murray, R. K., Granner, D. K., Mayer, P. A., Rodwell, V. M., 1997, Biokimia Harper,
alih bahasa oleh Andry Hartono, Edisi 24, 366-391, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.

5. www.emedicine.com

Sumber: http://kireihimee.blogspot.com/2009/09/artritis.html

Anda mungkin juga menyukai