INTRODUKSI REUMATOLOGI
A.R. Nasution, Sumariyono
PENDAHULUAN
EPIDEMIOLOGI
DAN MASALAH PENYAKIT
REUMATIK DI INDONESIA
Osteoartritis
Osteoartritis (OA) adalah sekelompok penyakit yang overlap dengan etiologi yang mungkin berbeda-beda, namun
mengakibatkan kelainan bilologis, morfologis dan
gambaran klinis yang sama. Proses penyakitnya tidak
hanya mengenai rawan sendi namunjuga mengenai seluruh
sendi, termasuk tulang subkondral,ligamentum,kapsul dan
2354
REUMATOLOGI
..;
aman.
Perlu dipabami bahwa penyebab nyeri yang terjadi
pada OA bersifat multifaktorial. Nyeri dapat bersumber
dari regangan serabut syarafperiosteum, hipertensi intraosseous, regangan kapsul sendi, bipertensi intra-artikular,
regangan ligament, mikrofraktur tulang subkondral,
entesopati, bursitis dan spasme otot. Dengan demikian
penting difabami, babwa walaupun belum ada obat yang
dapat menyembubkan OA saat ini, namun terdapat
berbagai cara untuk mengurangi nyeri dengan
memperbatikan
kemungkinan
sumber nyerinya,
memperbaiki mobilitas dan meningkatkan kwalitas bidup.
Artritls Reumatoid (AR)
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang
ditandai oleb sinovitis erosif yang simetris dan pada
beberapa kasus disertai keterlibatanjaringan ekstraartikular.
Sebagian besar kasus perjalananya kronik fluktuatifyang
mengakibatkan kerusakan sendi yang progresif, kecacatan
dan bahkan kematian dini .
Prevalensi dan insidensi penyakit ini bervariasi antara
populasi satu dengan lainya, di Amerika Serikat, kanada
dan beberapa daerab di Eropa prevalensi AR sekitar 1 %
pada kaukasia dewasa. Di Indonesia dari basil penelitian
di Malang pada penduduk berusia di atas 40 tabun
didapatkan prevalensi AR 0.5% di daerah Kotamadya dan
0.6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000
kasus baru artritis reumatoid merupakan 4.1 % dari seluruh '
kasus baru.
Dampak penting dari AR adalab kerusakan sendi dan
kecacatan. Kerusakan sendi pada AR terjadi terutama dalam
2 tabun pertama perjalanan penyakit. Kerusakan ini bisa
dicegab
atau dikurangi dengan pemberian DMARD,
sehingga'i diagnosis dini dan terapi agresif sangat penting
untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien AR.
INI'RODUKSIREUMATOLOGI
2355
kependudukantahun 1990,temyatajumlah penduduk yang
berusia 55 tahun atau lebih mencapai 9,2%, meningkat 50%
dibandingkan survey tahun 1971. Dengan demikian, kasus
osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur
diperkirakanjuga akan meningkat.Pada studi epidemiologi
yang dilakukan di Bandungan, Jawa Tengah, temyata
jumlah pasien osteoporosis meningkat secara bermakna
setelah usia 45 tahun, terutama pada wanita. Penelitian
Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak
massa tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dan rata-rata
kehilangan massa tulang pasca menopause adalah 1,4%/
tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik Reumatologi
RSCM mendapatkan faktor risiko osteoporosis meliputi
umur, lamanya menopause dan kadar estrogen yang
rendah, sedangkan faktor proteksinya adalah kadar
estrogen yang tinggi, riwayat berat badan lebih/obesitas .
dan latihan yang teratur.
Berbagai problem yang cukup prinsipiil masih
harus dihadapi oleh Indonesia dalam penatalaksanaan
osteoporosis yang optimal, seperti tidak meratanya
alat pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA),
mahalnya pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya
pengobatan standard untuk osteoporosis di Indonesia.
2356
Tabel
1
Ketidakrnarnpuan
Kerja
Reumatik di Masyarakat Malang
Pria
Jumlah
Jumlah dengan penyakit
reumatik
Jumlah tak dapat aktif
Wanita
Jumlah
Jumlah dengan penyakit
reumatik
Jumlah tak dapat aktif
Karena
Penyakit
Kotamadya
Kabupaten
374
198 (52.9%)
483
193 (43.1%)
25 (6.7%)
21 (4.3%)
391
219 (56.0%)
495
219 (45.5%)
31 (7.9%)
35 (7.1%)
Carapengobatan
1. Pengobatan sendiri
Obat campur-campur
Jamu
Obat dan jamu
2. Pergi ke dokter
3.Berobatkebukandokter
Kotamadya
Kabupaten
59.5%
19.6%
26.3%
21.3%
26.6%
13.9%
64.5%
13.8%
42.4%
15.6%
16.6%
18.9%
MASALAH PENATALAKSANAAN
REUMATIK
PENYAKIT
2357
INTRODUKSI REUMATOLOGI
PENYAKIT
PENYUSUNAN
PROGRAM KEBIJAKAN DAN
SISTEM YANG MEMUNGKINKAN PENINGKATAN
KUALITAS HIDUP PASIEN REUMATIK DAN UPAYAUPAYA PENCEGAHAN
2358
REUMATOLOGI
'
PENELITIAN-PENELITIAN
UNTUK PENCATATAN
PASIEN, EPIDEMIOLOGI
DAN TINDAKAN
PENCEGAHAN YANG BERTUJUAN UNTUK
MEMPERKUAT DASAR ILMIAH
Penelitian Epidemiologik untuk Menetapkan
Besarnya Masalah Penyakit Reumatik
PENDIDIKAN MASYARAKATUNTUKMENINGKATKAN
KESADARAN DAN MEMBERIKAN INFORMASIYANG
AKURATTENTANG PENYAKIT REUMATIK.
REFERENSI
American College of Rheumatology Ad Hoc Commitie on Clinical
Guidelines. Guidelines for the management of rheumatoid
arthritis.
Arthritis Rheum
1996; 39 :
713 -31.
...
INTRODUKSI REUMATOLOGI
2359
di Indonesia serta upaya-upaya penanggulanganya. Temu Ilmiah
Reumatologi 2000 : 1-11.
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis dan pengelolaan
systemic lupus erythematosus. 2004
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis dan pengelolaan
osteoporosis. 2005
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis dan pengelolaan
osteoartritis. 2004
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis dan pengelolaan
artritis reumatoid. In pres.
Nasution AR, Isbagio H, Setiyohadi B. Pendekatan diagnostik
penyakit reumatik. In : Syaifoelah Noer dkk. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 1996 : 43 - 61.
Nasution AR. Pidato pengukuhan guru besar : Peranan dan
perkembangan reumatologi dalam penanggulangan penyakit
muskuloskeletal di Indonesia. 1995.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network : Management of Early
Rheumatoid Arthritis. A National Clinical Guide. 2000 : 1-44.
Terkeltaub RA. Gout : epidemiologi, pathology and pathogenesis.
In : Klippel JL. Primer on the rheumatic diseases. 12 edit. 200 I
: 307-m312.
2369
PEMERIKSAAN SINAR-X
Pemeriksaan sinar-X hanya perlu dilakukanjika obeservasi
dilakukan lebih dari satu tahun.
376
STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN
ENDOTEL VASKULAR
Sumariyono, Linda K. Wijaya
STRUKTURSENDI
RAWANSENDI
Pengertian sendi adalah semua persambungan tulang, baik
yang memungkinkan tulang-tulang tersebut dapat bergerak
satu sama lain, maupun tidak dapat bergerak satu sama
lain. Secara anatomik, sendi dibagi 3, yaitu sinartrosis,
diartrosis dan amfiartrosis.
Sinartrosis adalah sendi yang tidak memungkinkan
tulang-tulang yang berhubungan dapat bergerak satu sama
lain. Di antara tulang yang saling bersambungan tersebut
terdapat j aringan yang dapat berupa j aringan
ikat.(sindemosis), seperti pada tulang tengkorak, antara
gigi dan rahang, antara radius dengan ulna dsb; atau
jaringan tulang rawan (sinkondrosis), misalnya antara
2371
IL-1.
Rawan sendi merupakan salah satu jaringan sumber
keratan sulfat, oleh sebab itu keratan sulfat dalam serum
dan cairan sendi dapat digunakan sebagai petanda
kerusakan rawan sendi.
MEMBRAN SINOVIAL
Membran sinovial merupakan jaringan avaskular yang
melapisi permukaan dalam kapsul sendi, tetapi tidak
melapisi permukaan rawan sendi. Membran ini licin dan
lunak, berlipat-lipat sehingga dapat menyesuaikan diri
pada setiap gerakan sendi atau perubahan tekanan intraartikular.
Membran sinovial tersusun atas 1-3 lapis sel-sel
sinovial (sinoviosit) yang menutupi jaringan subsinovial
di bawahnya, tanpa dibatasi oleh membran basalis.
Walaupun banyak pembuluh darah dan limfe di dalam
jaringan subsinovial, tetapi tidak satupun mencapai lapisan
sinoviosit. Jaringan pembuluh darah ini berperan dalam
transfer konstituen darah ke dalam rongga sendi dan
pembentu.kan cairan sendi.
Se! sinoviosit terdiri dari 2 tipe, yaitu sinoviosit tipe A
yang mempunyai banyak persamaan dengan makrofag dan
sinoviosit B yang mempunyai banyak persamaan dengan
fibroblas. Sebagian besar (70-80%) sinoviosit merupakan
tipe B dan 20-30% merupakan sinoviosit tipe A. Selain itu
ada sebagian kecil sinoviosit yang mempunyai
ultrastruktur antara sel Adan sel B yang disebut sel C.
Sel sinoviosit A befungsi melepaskan debris-debris sel
dan material khusus lainnya ke dalam rongga sendi. Sel
Gambar 1. a. Agregat proteoglikan; b. Matriks rawan sendi KS: Keratan Sulfat; CS:Kondroitin Sulfat; HA:
Asam Hialuronat; OS: Dermatan Sulfat
2372
REUMATOLOGI
CAIRAN SINOVIAL
Pada sendi yang normal, cairan sendi sangat sedikit,
sehingga sangat sulit diaspirasi dan dipelajari. Cairan sendi
merupakan ultrafiltrat atau dialisat plasma. Pada umumnya
kadar molekul dan ion kecil adalah sama dengan plasma,
tetapi kadar proteinnya lebih rendah. Molekul-molekul
dari plasma, sebelum mencapai rongga sendi hams
melewati sawar endotel mikrovaskular, kemudian
melalui matriks subsinovial dan lapisan sinovium. Sawar
endotelial sangat selektif, makin besar molekulnya makin
sulit melalui sawar tersebut, sehingga molekul protein yang
besar akan tetap berada dalam jaringan vaskular.
Sebaliknya, molekul dari cairan sendi dapat kembali ke
plasma tanpa halangan apapun melelaui sistem
limfatik walaupun ukurannya besar. Rasio protein cairan
sendi dan plasma (JF IP) dapat menggambarkan
keseimbangan kedua proses di atas. JF IP untuk
albumin pada sendi lutut yang normal berkisar antara
0,2-0,3. Untuk fibrinogen, tentu lebih rendah lagi,
itulah sebabnya cairan sendi tidak mudah beku.
Karakteristik cairan sendi pada berbagai keadaan
ditunjukkan pada Tabel 1:
MENISKUS
Meniskus merupakan struktur yang hanya ditemukan
didalarn sendi lutut, temporomandibular, sternoklavikular, radioulnar distal dan akromioklavikular.
Meniskus merupakan diskus fibrokartilago yang pipih
atau segitiga atau iregular yang melekat pada kapsul
fibrosa dan selalu pada salah satu tulang yang
berdekatan. Sebagian besar meniskus bersifat avaskular,
tetapi pada bagian yang melekat pada tulang sangat
kaya dengan pembuluh darah, tidak ada jaringan saraf
atau pembuluh limfe. Nutrisi diperoleh secara difusi dari
cairan sendi atau dari pleksus pembuluh darah pada
bagian yang melekat pada tulang.
Berbeda dengan rawan sendi, meniskus mengandung
kolagen tipe I sampai 60-90%, sedangkan proteoglikan
hanya 10%. Konstituen glikosaminoglikan yang
terbanyak adalah kondroitin sulfat dan dermatan sulfat,
sedangkan keratan sulfat sangat sedikit. Selain itu
fibrokartilago meniskus juga lebih mudah membaik bila
rusak.
DISKUS INTERVETERBRAL
Diskus invertebralmerupakan kompleks fibrokartilagoyang
membentuk persendian di antara 2 korpus vertebra yang
berdekatan dan berfungsi sebagai peredam kejut atas beban
yang yangjatuh pada pada tulang belakang. Gerak anatara
2 korpus vertebra terbatas oleh karena konfigurasi diskus
intervetebral mempunyai lingkup gerak yang cukup luas
untuk seluruh tulang belakang.
Bentuk dan ukuran diskus pada masing-masing regio
tulang belakang adalah berbeda, tetapi bentuk dasamya
sama. Diskus intervetebral dibentuk oleh 3 komponen,
yaitu Japisan luar yangmerupakan lapisan-lapisan cincin
fibrosa yang disebut annulus fibrosus; bagian tengah yang
merupakan massa semifluid yang disebut nukleus
pulposus dan lempeng kartilago yang menutupi permukaan
superior dan inferior.
Normal
Grup I
(Non inflamasi
Grup II
( lnflamasi)
Grup Ill
(Septik)
< 3,5
>3,5
>3,5
Viskositas
Sangat tinggi
tinggi
rendah
>3,5
bervariasi
Warn a
Tidak berwarna
kekuningan
Kuning
Tergantung mikroorganismenya
kejernihan
transparan
transparan
Translusen-opak
opak
Bekuan musin
Mudah putus
Mudah putus
Leukosit /mm3
200
200-2000
2000-100.000
>500.000, umumnya
< 25
< 25
> 50
>75
Kultur Mo
Neg at if
Negatif
Negatif
Positif
2373
Otot Polos atau sering disebut otot tak sadar. Otot ini
terdapat pada saluran cema dan pembuluh darah dan
diatur oleh sistem saraf otonom.
Otot jantung, yang didapatkan pada jantung dan
dikontrol oleh sistem saraf otonom. Walaupun sel otot
jantung sangat banyak tetapi otot ini bereaksi secara
sinkron dimana sel ototjantung ini mengalami kontraksi
dan relaksasi dalam waktu yang hampir sama.
Otot rangka I otot skelet, disebut demikian karena otot
ini sebagianbesar menempel ke tulang walaupun dalam
jumlah kecil menempelke fascia,aponeurosisdan tulang
rawan. Otot inijuga disebut otot lurik karena bila dilihat
di bawah mikroskop terlihat lurik. Otot ini kadangkadang juga disebut otot sadar karena umumnya
dikendalikan oleh kemauan.
OTOT
KARAKTERISTIK OTOT
...
Nucleus
Sarcolemma
[ -Sarcoplasm
C:.I
Nerve Ending
TIPE OTOT
2374
STRUKTUR OTOT
Sel otot atau serabut otot rangka merupakan suatu silinder
panjang dan lurus yang mempunyai banyak inti. Serabut
ini berdiameterantara 0.01 mm sampai 0.1 mm dan panjang
antara beberapa sentimeter sampai lebih dari 30 sentimeter.
Inti sel terdapat didalam sarkoplasma. Serabut otot
dikelilingi oleh selaput jaringan ikat yang disebut
endomisium. Serabut-serabut otot ini akan membentuk
fasikulus yang dibungkus oleh perimisium. Pada sebagian
besar otot, fasikulus-fasikulus ini terikat bersama-sama
oleh epimisium, yang merupakan jaringan yang sama
dengan fascia dan kadang-kadang bergabung dengan
fascia. Pada ujung dari otot, jaringan ikat fibrosa dari
epimisium dan perimisiumbercampur dengan serabut putih
dari tendon dan menempel pada periosteum atau tulang.
Setiap serabut otot rangka terdiri dari ratusan miofibril.
Miofibril merupakan kumpulan dari ribuan filamen miosin
dan filamen aktin. Dua jenis filamen ini tersusun pararel
dimana masing-masing saling tumpang tindih. Miosin
berwarna gelap dan tebal sedang aktin tipis dan terang.
REUMATOLOGI
Z line
..
;!
Z line
. . .
Thick filame-nt_s-+--:_-:_-:_-:_-.:_----
I band
A band
..
Thiel< maments
I band
Gambar 5. Sarkomer
Dikutip dari BIO 301 : Human physiology. (cited 2005 Sept).
Available from: http//people.eku.edu
FILAMEN MIOSIN
Sebuah filamen miosin terdiri dari kumpulan sekitar 200
molekul miosin. Masing-masing molekul terdiri dari
kepala dan ekor. Kepala ini terdiri dari protein sedang
ekor terdiri dari dua untai peptida . Kepala ini sangat
penting pada mekanisme cross bridge pada kontraksi
otot.
Myos n tall
MYOSIN MOLECULE
Hinge
Myosinhead
(crossbridge)
Sarkomer
Unit dasar dari miofibril adalah sarkomer. Batas antara
akhiran filamen aktin dan akhiran filamen aktin berikutnya
membentuk daerah gelap yang disebut Z line. Sarkomer
memanjang antara satu Z line dengan Z line berikutnya.
Filamen aktin yang terletak antara kedua sisi Z line ini
akan tampak terang sampai terdapat tumpang tindih
dengan filamen rniosin. Daerah yang terang ini disebut
I band. Daerah gelap yang merupakan tempat
tumpang tindih aktin dan miosin ini disebut A band.
Di tengah A band, daerah yang normalnya berwarna gelap
FILAMEN AKTIN
Filamen aktin terdiri dari dua untai aktin. Selain itu pada
filamen aktin inijuga terdapat dua untai protein lagi yang
terletak pada lekukan yang dibentuk oleh dua untai aktin.
Dua protein tambahan ini adalah molekul tropomiosin.
Pada setiap molekul tropomiosin terdapat satu
molekul troponin. Troponin ini teriri dari tiga sub unit
yaitu T, C dan I. Troponin T mengikatkan troponin
ke tropomiosin, troponin C mengikat ion kalsium
sedang troponin I berikatan dengan aktin dengan
cara menempel/menutupi tempat pada molekul aktin yang
biasanya digunakan untuk berikatan dengan molekul
rniosin.
2375
" """"
-=
1::.=:;::.;;;;=:-1 =:::=:;;-;I
KONTRAKSI OTOT
Neuron
Muscle
cells
CROSS BRIDGES
Actin
Tr~myo.,ln
2376
REUMATOLOGI
KOPEL EKSITASI-KONTRAKSI
OTOT SKELETAL
PERLEKATAN OTOT
2377
SISTEM SARAF
sel yang paling kompleks dari sel tubuh. Sel saraf memiliki
sebuah inti dan sitoplasma seperti sel yang lain, tetapi
sitoplasmanya memanjang diluar badan sel membentuk
tonjolan- tonjolan (processus) yang memanjang.
Processus yang panjang disebut axon, sedang yang
pendek disebut dendrit
PROCESSUS
AXON
ANATOMI NEURON
2378
terdapat pada medulla spinalis, tetapi ada juga yang sampai
satu meter seperti neuron yang ke otot skeletal.
Axon ini kemudian membentuk cabang-cabang yang lebih
kecil sampai ke tempat terakhimya sebagai sebaran dari
serabut-serabut. Axon mengandung neurofibril tetapi
tidak mengandung Niss! granule dan dibungkus oleh
selaput tipis yang disebut axolemma. Beberapa
serabut juga dibungkus oleh bahan lemak yang disebut
myelin. Serabut yang demikian disebut myelinated atau
medulated fiber. Di luar sistem saraf pusat, axon akan
dibungkus lagi oleh selaput dari Schwann atau
neurilemma.
Pada axon yang bermyelin pada interval-interval
tertentu terdapat lekukan yang disebut nodes of Ranvier,
disini bisa keluar cabang axon. Daerah di antara dua
lekukan ini di tutupi oleh satu sel Schwann.
DENDRIT
Processus-processus ..pendek dari neuron multipolar
disebur dendrit. Dendrit mengandung Niss/ granule dan
neurofibril. Dendrit ini sering berhubungan dengan banyak
akhiran dari neuron yang lain.
SARAF
Saraf adalah satu berkas serabut yang dibungkus oleh
jaringan ikat. Saraf motoris hanya mengandung serabutserabut motoris, saraf sensoris hanya mengandung serabut
sensoris dan saraf campuran mengandung serabut sensoris
dan motoris. Sebagian besar saraf adalah tipe campuran.
REUMATOLOGI
SAMBUNGANNEUROMUSKULAR
Sistem saraf berkomunikasi dengan otot melalui
sambungan neuromuskular. sambungan neuromuskular ini
bekerja seperti sinap antar neuron yaitu :
1. Impulse sampai pada akhiran saraf
2. transmiter kimia dilepaskan dan berdifusi melewati/
menyeberangi celah neuromuskular
3.
Molekul transmitermengisi reseptorpada membran otot dan
meningkatkan permeabilitas membran terhadap
natrium
4. Natrium kemudian berdifusi ke dalam membran dan
menyebabkanpotensialmembranmenjadikurangnegatif
5. Apabila nilai ambang potensial terlampaui akan terjadi
potensial aksi dan impuls akan berjalan sepanjang
membran sel otot dan mengakibatkan otot berkontraksi
Otot skeletal tidak akan berkontraksi tanpa stimulasi
dari neuron, sedang otot polos dan otot jantung
berkontraksitanpa stimulasisaraf, tetapi kontraksinyadapat
dipengaruhi oleh sistem saraf
ENDOTELVASKULAR
Seluruh sistem peredaran darah dilapisi oleh endotel
vaskular. Pada awalnya endotel hanya dipandang
sederhana sebagai barier permiabel pasif, akan tetapi pada
saat ini banyak fungsi penting lainnya yang sudah dikenali.
Secara anatomi, endotel vaskular memisahkan antara
kompartemen intra dan ekstra vaskular, menjadi barier
selektif yang permiable, dan merupakan suatu lapisan yang
nontrombogenic.
Perubahan struktur dan fungsi endotel mengakibatkan
perubahan interaksinya dengan sel-sel serta komponen
makromolekul dalam sirkulasi darah dan jaringan di
bawahnya. Perubahan ini termasuk meningkatnya
permeabilitas endotel terhadap lipoprotein plasma,
modifikasioksidatifdari lipoproteintersebut, meningkatnya
adesi leukosit, ketidakseimbangan antara fungsi pro dan
2379
Muscle spindle
(proprioseptif)
Sen.mg mTelln
Terminal akson
Termina l button
Vesikel es etiko il ll
--'
Membra;,' p lasma
serat otot
AsetHko llrieslaras~
2380
REUMATOLOGI
( Activation )
Cytokines
Viral infection
Leukocyte Adhesion
Procoagulant Activity
Growth factors/
Chemoattractants
2381
REFERENSI
Dicorleto P.E. Vaskular endothelium. Klippel J.H.K. Primer on the
rheumatic Diseases. 12th ed, Canada : Arthritis Foundation. 200 I;
29-31
Isbagio H, Setiyohadi B. Sendi, membran sinovia, rawan sendi dan
otot skelet. Dalam Noer Syaifullah. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ketiga. 1996 : 1-6.
Human physiology : Muscle (cited 2005 Sept). Available from :
http//people.eku.edu.
Langley LL, Telford IR, Christensen JB. Dynamic anatomy and
physiology. 5 th' Mc. Graw-Hill. New York. 1980 : 112 - 40.
Langley LL, Telford lR, Christensen JB. Dynamic anatomy and
physiology. 5 thedMc. Graw-Hill. New York. 1980: 212 - 28.
Landau RB. Essential human anatomy and physiology. 2 00 ed. Scott
and Foresman . London . 1980 : 219-34.
Park K.D, Comblath D.R. Peripheral Nerves. Klippel J.H.K. Primer
on the rheumatic Diseases. 12th ed, Canada : Arthritis Foundation.
200
I;
31-33.
377
STRUKTUR DAN BIOKIMIA
TULANG RAWAN SENDI
Harry Isbagio
Cbonaroc)1a f'tilllCs11on
/ and clus tering
Apoplosis assoc iated
Increased synthesis
of type II p rocolageo
Newfufarra
011!inllllldelt\nl
lncreasedcon en o
t f
agg ecan, decorin, lbiglycan
Ci."llrlfred
Partlycaltilage
hypertroph c cartilage
2382
dfibnlatioo
Upregulation ofcytokineexpression,
eg , IL -1, TNF-u
KONDROSIT
Tulang rawan sendi hanya mempunyai satu sel spesialis
yang berperan dalam sintesis dan pemeliharaan matriks
ekstraselular yang dikenal sebagai kondrosit. Lebih dari
70% komponen tulang rawan sendi artikuler adalah air,
sedangkan 90% dari bagian tulang rawan sendi kering
mengandung 2 komponen utama yaitu kolagen tipe II dan
with car11lage
deg-adationan
/
Blk
'
Subchoridra
bore
Angiogenesis
reactivated
(previouslyseenduring growlh)
Subchondral
bone marrow
2383
KOLAGEN
Jumlah(%)
66-78%
22-34%
48-62%
22-38%
<1%
0.4 - 2%
5-6%
PROTEOGLIKAN
::::>--
--<
by
MMPs
and aggrecanase(s)
2384
REUMATOLOOI
Tulang Rawan-sendi
Molekul
Kolagen
Tipe II
[o.1(11)],
Tipe IX
Kekualan rentang ;
Kolagen fibril utama
Regulasi ukuran
fibril;cross-link ke
kolagen tipe II
Kekuatan rentang;
periseluler di antara
fibril tipe II
Mikrofibril pada ruang
periseluler
Berhubungan dengan
fibril kolagen dalam
perikondrium dan
permukaan artikuler
Berhubungan dengan
fibril kolagen di
seluruh tulang rawan
sendi artikuler
TipeXI
TipeVI
Tipe XII
TipeXIV
[o.1(XIV)]
Proteoglikan
Agrekan
Kekenyalan
kompresif
( Compressive
stiffness) melalui
hid rasi atau fixed
charge density
Biglikan
Protein in ti 38 kDa
dengan 2 rantai OS (76
kDa)
Berperan pada
stabilisa'si anyaman
fibril
Dekorin
Sama dengan
bigli kan
1000-3000 kDa
Retensi agrekan di
dalam matriks
Stabilisasi perlekatan
agrekan ke HA via
Domain G1
Mengikat kolagen
tipe II dan kalsium
lnteraksi sel-matriks
Mengikat HA
Fibromodulin
Molekul lainnya
Asam hialuronat
(HA)
Protein
sambungan
38.6 kDa
(Link protein)
Anchorin C II
Sindekan
CD44
Fibronektin
Tenaskin
Trombospondin
Cartilage
oligomericmatrix
protein (COMP)
34 kDa,
membran protein integral
Membran protein intergral
ekstraseluler dengan
rantai samping HS/CS
Membran protein intergral
ekstraseluler dengan
rantai samping HS/CS
Dimer dari subunit 220
kDa
6 subunit 200 kDa
membentuk struktur
heksabraki
3 subunit 138 kDa
550 kDa; 5 subunit 110
kDa
Sama dengan
biglikan
lnteraksi sel-matriks
Mengikat HA
Perlekatan sel via
sekuen RGD
Mengikat kolagen
dan GAG
Berhubungan dengan
kondrogenesis
Pengikat kalsium
Pengikat kalsium
378
STRUKTUR DAN METABOLISME TULANG
Bambang Setiyohadi
DIFERENSIASI OSTEOBLAS
2386
kuboidal per bone-forming site. Di bawah mikroskop
cahaya, osteoblas tampak memiliki inti yang bulat pada
basal sel yang berdekatan dengan permukaan tulang
dengan sitoplasdma yang basofilik kuat dan kompleks
Golgi yang prominen di antara inti dan apeks sel yang
menunjukkan aktivitas biosintesis dan sekresi yang tinggi.
Selain itu osteoblas juga memiliki retikulum endoplasmik
kasar yang berkembang baik dengan cisterna yang.
berdilatasi dan berisi granul-granul padat.
Osteoblas selalu tampak melapisi matriks tulang
( osteoid) yang diproduksinya sebelum dikalsifikasi.
Osteoid yang diproduksi oleh osteoblas tidak langsung
dimineralisasi, tetapi membutuhkan waktu sekitar IO hari,
sehingga secara mikroskopik, osteoid yang belum
dimineralisasi ini akan selalu tampak. Di belakang
osteoblas, selalu tampak sel mesenkimal yang sudah
teraktifasi dan preosteoblas yang menunggu maturasi
untuk menjadi osteoblas.
Membran plasma osteoblas kaya akan fosfatase alkali
dan memiliki resentor untuk hormon paratiroid dan
prostaglandin, tetapi- tidak memiliki reseptor untuk
kalsitonin. Selain itu, osteoblas juga mengekspresikan
reseptor estrogen dan reseptor vitamin DJ' berbagai sitokin,
seperti colony stimulatingfactor 1 (CSF-1) dan reseptor
anti nuklear factor
kB ligand (RANKL) dan
osteoprotegrin (OPG). RANKL berperan pada maturasi
prekursor osteoklas karena prekursor osteoklas memiliki
reseptor RANK pada permukaannya. Sedangkan efek
RANKL akan dihambat oleh OPG.
Cbfa 1 atau Runx2 merupakan faktor transkripsi yang
sangat penting bagi maturasi osteoblas, baik pada osifikasi
intramembranosa maupun endokondral. Cbfa 1 akan
berikatan dengan osteoblast-specific cis-acting element
(OSE2) dan mengaktifkan ekspresi osteoblast-specijic
gene, Osteokalsin (OG2). Terdapat 2 isoform Cbfal, yaitu
Tipe I dan IL Cbfa tipe I diekspresikan oleh jaringan
mesenkimal non-oseus dan sel progenitor osteoblas yang
tidak akan berubah selama diferensiasi osteoblas.
Sedangkan Cbfa 1 tipe II meningkat ekspresinya selama
diferensiasi osteoblas dan promieloblas sebagai respons
terhadap BMP-2. Cbfa 1 juga berperan pada maturasi
kondrosit.
Faktortranskripsi lain yang berperan pada diferensiasi
osteoblas adalah osterix (Osx) yang diekspresikan pada
semua tulang yang sedeang tumbuh dan dibutuhkan pada
diferensiasi osteoblas dan formasi tulang.
REUMATOLOGI
2387
2388
REUMAlOLOGI
')
SlRUKTURDAN METABOUSME
2389
TULANG
2390
meningkatkan diferensiasi osteoblas secara langsung.
Selainitu, FGFjuga memilikiperan yang kecil pada resorpsi
tulang, yaitu dengan meningkatkan ekspresi MMP 13 yang
berperan pada degradasi kolagen dan remodeling tulang.
Pada proses inflamasi, terjadi neovaskularisasi yang
dirangsang oleh FGF, VEGF dan sitokin lainnya. Pada
osteogenesis, VEGF berperan pada angiogenesis dan
formasiu osteoklas. Faktor lain yang juga penting pada
remodeling tulang adalah osteopontin yang dihasilkan oleh
makrofag pada proses inflamasi, maupun makrofag yang
banyak terdapat pada jaringan tumor.
OSTEOSIT
Osteosit merupakan sel yang berbentuk stelat yang
mempunyai juluran sitoplasma (prosesus) yang sangat
panjang yang akan berhubungan dengan prosesus
osteosit yang lain dan juga dengan bone tinning cells.
Didalam matriks, osteosit terletak didalam rongga yang
disebut lakuna, sedangkan prosesusnya terletak didalam
terowongan yang disebut kanalikuli: .Lakuna dan
kanalikuli berhubungan satu sama lain, termasuk dengan
lakuna dan kanalikuli dari osteosit lain dan bone linning
cells dipermukaan tulang membentuk jaringan yang
disebutsistem lakunokanalikular(LCS). Sistem LCS berisi
cairan yang merendam osteosit dan prosesusnya dan turut
berperan pada mekanisme penyebaran rangsang mekanik
dan kimia yang diterima tulang melalui transduksi
mekano-bio-elektro-kemikal.
Jaringan LCS sangat penting untuk kehidupanjaringan
tulang yang sehat. Osteosit merupakan mekanosensor bagi
jaringan tulang. Adanya rangsang mekanik dan kimia pada
jaringan tulang akan diteeruskan ke semua osteosit dan
jaringan tulang melalui struktur padat jaringan tulang, atau
tekanan pada cairan didalam sistem LCS, sehingga semua
osteosit terangsang dan proses remodeling tulang berjalan
dengan normal. Bila osteosit mati, maka lakuna yang
ditempatinya dan matriks tulang disekitarnya akan
diresorpsi dan diformasi atau LCSnya dibiarkan kosong
dan mengalami mineralisasi.
Pada tulang yang osteoporotik, terjadi diskoneksi
antara pcosesus-prosesus tersebut dan osteosit dapat
terpencil sendiri dan berubah bentuk. Akibatnya transduksi
mekano-bio-elektro-kemikal tidak berjalan dengan
sempurna dan proses remodeling tulang juga tidak
sempuma, sehingga tulang akan kehilangan kemampuan
melakukan proses formasi setelah resorpsi berlangsung,
akibatnya pada tulang yang osteoporotik, akan didapatkan
banyak lakuna Howship yang pada akhirnya akan
menyerbabkan turunnya kekuatan tulang. Hal yang sama
juga terjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi lama,
karena rangsangan beban pada tulang berkurang,
sehingga transduksi mekano-bio-elektro-kemikal juga
menjadi hilang, sehingga tulang menjadi osteoporotik.
REUMA10LOGI
KOLAGENDALAMTULANG
Kolagen merupakan protein ekstraselular yang terpentiong
didalamtubuh dan didalamtulang,kolagen merupakan65%
bagian dari total komponen organik didalam tulang.
Kolagen terdiri dari struktur tripe! heliks rantai
polipeptida yang panjang, yaitu rantai a (alfa). Ada 13 tipe
kolagen atau lebih didalam tubuh manusia, yang
dikelompokkan menjadi kolagen fi.brilar(tipe I, II, III dan
V) dan kolagen non-fi.brilar.Kolagen fibrilar merupakan
kolagen yang terbanyak dan ditemukan pada seluruh
jaringan ikat didalam tubuh. Kolagen tipe I merupakan
kolagen yang terbanyak ditemukan didalam tulang, kulit
dan tendon. Setiap kolagen tersusun atas rantai a yang
berbeda yang dikode oleh gen yang spesifikjuga. Kolagen
tipe I terdiri dari 2 rantai al (I) yang dikode oleh gen
COLI AI padakromosom 17, dan I rantai a.2(1) yang dikode
oleh gen COLIA2 di kromosom 7.
Tabel 1. Tipe-tipe Kolagen Fibrilar
Tipe
Gen
Rum us
Mulekul
Jaringan
COL1A
COL1A2
u1(1) u2(1)
II
COL2A1
[u1(11)h
Ill
COL3A1
[u1(111)h
COL5A1
COL5A2
COL5A3
[u1(V)2u(V)h
STRUKTURDAN
2391
METABOUSME TULANG
MINERALISASI TULANG
Menghambat
mineralisasi
Berfungsi
ganda
Tidakjelas
efeknya
Agrekan
a2-HS
glikoprotein
Matrix gla protein
(MGP)
Osteopontin
Osteokalsin
Biglikan
Osteonektin
Fibronektin
Bone
Sialoprotein
(BSP)
Dekorin
BAG-75
Lumikan
Tetranektin
Osteoaderin
Trombospondin
2392
KALSIUM (Ca)
Tubuh orang dewasa diperkirakan mengandung 1000 gram
kalsium. Sekitar 99% kalsium ini berada didalam tulang
dalam bentuk hidroksiapatit dan 1 % lagi berada didalam
cairan ekstraselular dan jaringan lunak. Didalam cairan
ekstraselular, konsentrasi ion kalsium (Ca 2+) adalah 10-3
M, sedangkan di dalam sitosol 106 M.
Kalsium memegang 2 peranan fisiologik yang penting
didalam tubuh. Didalam tulang, garam-garam kalsium
berperan menjaga integritas struktur kerangka, sedangkan
didalam cairan ekstraselular dan sitosol, Ca 2+ sangat
berperan pada berbagai proses biokimia tubuh. Kedua
kompartemen tersebut selalu berada dalam keadaan yang
seimbang.
Didalam serum, kalsium berada dalam 3 fraksi, yaitu Ca
2+ sekitar 50%, kalsium yang terikat albumin sekitar 40%
dan kalsium dalam bentuk kompleks, terutama sitrat dan
fosfat adalah 10%. Kalsium ion dan kalsium kompleks
mempunyai sifat dapat melewati membran semipermeabel,
sehingga akan difihrasi di glomerulus secara bebas.
Reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal terutama terjadi di
tubulus proksimal, yaitu sekitar 70%, kemudian 20% di
ansa Henle dan sekitar 8% di tubulus distal. Pengaturan
ekskresi kalsium di urin, terutama terjadi di tubulus distal.
Sekitar 90% kalsium yang terikat protein, terikat pada
albumin dan sisanya terikat pada globulin. Pada pH 7,4,
setiap gr/dl albumin akan mengikat 0,8 mg/di kalsium.
Kalsium ini akan terikat pada gugus karboksil albumin dan
ikatannya sangat tergantung pada pH serum. Pada
keadaan asidosis yang akut, ikatan ini akan berkurang,
sehingga kadar Ca+ akan meningkat, dan sebaliknya pada
alkalosis akut.
Secara fisiologis, Ca 2+ ekstraselular memegang peranan
yang sangat penting, yaitu :
Berperan sebagai kofaktor pada proses pembekuan
darah, misalnyauntuk faktorVH, IX, X dan protrombin.
Memelihara mineralisasi tulang.
Berperan pada stabilisasi membran plasma dengan
berikatan pada lapisan fosfolipid dan menjaga
permeabilitas membran plasma terhadap ion Na+.
Penurunan kadar Ca2+ serum akan meningkatkan
permeabilitas membran plasma terhadap Na+ dan
menyebabkan peningkatan respons jaringan yang
mudah terangsang.
Kadar Ca2+ didalam serum diatur oleh 2 hormon penting,
yaituPTHdan l,25(0H)2 VitaminD. Didalamsel.pengaturan
homeostasis kalsium sangat kompleks. Sekitar 90-99%
kalsium intraselular, berada didalam mitokondria dan
mikrosom. Rendahnya kadar Ca 2 didalam sitosol, diatur
oleh 3 pompa yang terletakpada membranplasma,membran
mikrosomal dan membran mitokondriayang sebelahdalam.
Pada otot rangka dan ototjantung, kalsium berperan pada
proses eksitasi dan kontraksi jaringan tersebut. Pada otot
REUMATOLOGI
FOSFOR(P)
Tubuh orang dewasa mengandung sekitar 600 mg fosfor.
Sekitar 85% berada dalam bentuk kristal didalam tulang,
dan 15% berada didalam cairan ekstraselular. Sebagian
besar fosfor ekstraselular berada dalam bentuk ion fosfat
anorganik dan didalam jaringan lunak, hampir semuanya
dalam bentuk ester fosfat. Fosfat intraselular, memegang,
peran yang sangat penting dalam proses biokimia intrasel,
termasuk pada pembentukan dan transfer energi selular.
Did alam serum, fosfat anorganikjuga terbagi dalam 3
fraksi, yaitu ion fosfat, fosfat yang terikat protein dan fosfat
dalam bentuk kompleks dengan Na, Ca dan Mg. Fosfat
yang terikat protein hanya sekitar 10% sehingga tidak
bermakna dibandingkan keseluruhan fosfat anorganik
didalam serum. Dengan demikian, sekitar 90% fosfat
(ion dan kompleks) akan dengan mudah di filtrasi di
glomerulus.
Ginjal memegang peranan yang sangat penting pada
homeostasis fosfor didalam serum. Beberapa faktor, baik
intrinsik maupun ekstrinsik, yang mempengaruhi renal
tubular phosphorus threshold (TmP/GFR), akan dapat
mempengaruhi kadar fosfat didalam serum, misalnya pada
hiperparatiroidisme primer, TmP/GFR akan menurun,
sehingga terjadi ekskresi fosfat yang berlebihan, akibatnya
timbul hipofosfatemia. Sebaliknya, pada gangguan fungsi
ginjal dan hipoparatiroidisme, TrnP/GFR akan meningkat,
sehingga ekskresi fosfat menurun dan terjadilah
hiperfosfatemia.
Secara biologik, hasil kali Ca X P selalu konstan,
sehingga peningkatan kadar fosfat didalam serum akan
STRUIOURDAN
METABOUSME TULANG
VITAMIN D
Vitamin D diproduksi oleh kulit melalui paparan sinar
matahari, kemudian mengalami 2 kali hidroksilasi oleh hepar
dan ginjal. menjadi vitamin D yang aktif, yaitu
1,25- dihidroksivitamin D [ 1,25 (OH)p].
Akibat paparan sinar matahari, provitamin DJ
(7-dehidrokolesterol, 7-DHC), akan menyerap radiasi
ultraviolet B (UVB) sinar matahari pada tingkat energi
290-315 run, dan berubah menjadi previtamin DJ. Sekali
terbentuk, previtamin D 3 akan mengalami isomerisasi oleh
panas dan berubah menjadi vitamin Dy Kemudian vitamin
D3, akan masuk kedalam sirkulasi clan berikatan dengan
protein pengikat vitamin D. Pada orang kulit berwarna dan
orang tua, produksi vitamin D oleh kulit akan berkurang,
karena melanin merupakan penahan sinar matahari yang
sangat baik, sehingga fotosintesis vitamin D akan
berkurang, sedangkan pada orang tua, konsentrasi 7-DHC
yang tidak teresterifikasi juga berkurang.
Sumber vitamin D dari makanan sangat jarang, hanya
didapatkan dari lemak ikan dan minyak ikan. Institute of
Medicine, pada 1997, merekomendasikan kebutuhan
vitamin D pada bayi, anak-anak dan orang dewasa <50
tahun adalah 200 IU (5 g)/hari. Pada orang tua 51- 70 tahun
dan > 70 tahun, kebutuhan vitamin D masing-masing
adalah 400 IU (10 g)/hari dan 600 IU (15 g)/hari. Pada
wanita hamil dan laktasi, pada semua umur, kebutuhan
vitamin D adalah 200 IU/hari. Pada keadaan tanpa sinar
matahari, kebutuhan vitamin D pada semua umur hams
ditambah 200 IU/hari. Batas atas asupan vitamin D yang
direkomendasikan pada bayi adalah 1000 IU/hari dan pada
usia di atas l tahun adalah 2000 IU/hari.
Vitamin D yang bersumber dari min yak ikan dan lemak
ikan adalah dalam bentuk vitamin DJ, sedangkan yang
berasal dari ragi dan tanaman adalah vitamin Dr Kedua
bentuk tersebut, didalam sirkulasi akan berikatan dengan
protein pengikat vitamin D dan dibawa ke hepar dan
dihidroksilasi oleh cytochromeP450-vitamin D-25-hydroxy-
lase menjadi 25-hidroksi vitamin D [25(0H)D]. 25(0H)D
akan masuk kedalam sirkulasi dan merupakan bentuk
vitamin D yang terbesar didalam sirkulasi. Hidroksilasi
vitamin D di hepar tidak diatur secara ketat, sehingga
produksi yang berlebihan di kulit atau asupan yang
berlebihan dari makanan akan meningkatkan kadar
25(0H)D didalam serum, sehinggakadar 25(0H)D di dalam
2393
serum dapat digunakan untuk mendeteksi
kecukupan,
defisiensi atau intoksikasi vitamin D. 25(0H)D merupakan
bentuk vitamin D yang inaktif, yang akan dibawa ke ginjal,
dimana hidroksilasi yang kedua oleh cytochrome P450monooxygenase, 25 (OH)D-lcx-hidroksilase, akan merubah
25(0H)D menjadi 1,25 dihidroksivitamin D[ l,25(0H)p].
Secara biokimiawi, vitamin D yang telah mengalami 2 kali
hidroksilasi akan lebih hidrofilik, walaupun masih sangat
larut didalam lemak. Ginjal merupakan produsen utama 25
(OH)D-Ici-hidroksilase; produsen lainnya adalah monosit
dan sel kulit. Selain itu, plasenta pada wanita hamil juga
dapatmemproduksi 1,25(0H)p. Walaupundemikian,pada
keadaan anefrik, ternyata produsen 25 (OH)D 1 uhidroksilase ekstrarenal tidak efektif mengatur homeostasis
kalsium. Pada keadaan hipokalsemia, kadar PTH akan
meningkat dan ini akan meningkatkan perubahan 25(0H)D
menjadi 1,25(0H)p. 1,25(0H) 2D juga dapat mengatur
produksinya sendiri baik secara langsung melalui umpan
balik negatif produksi 25(0H)D-l n-hidroksilase, maupun
secara tak langsung dengan menghambat ekspresi gen
PTH. Selain itu, beberapa hormon, seperti hormon
pertumbuhan dan prolaktin, secara tak langsung akan
meningkatkan produksi 1,25(0H)2D oleh ginjal. Pada orang
tua, seringkali terjadi kegagalan peningkatan produksi
1,25(0H)2D yang dirangsang oleh PTH, sehingga pada
orang tua sering terjadi gangguan absorpsi Ca di USUS.
l,25(0H)2D akan dimetabolisme di organ targetnya
(tulang dan usus) dan hati serta ginjal melalui beberapa
proses hidroksilasi menjadi asam kalsitroat yang secara
biologik tidak aktifBaik 25(0H)D maupun 1,25(0H)2D juga
akan mengalami 24-hidroksilasi menjadi 24,25(0H)2D dan
l,24,25(0H)3D yang secara biologikjuga tidak aktif.
Semua organ target vitamin D, memiliki reseptor vitamin D
pada inti selnya (VDR). VDR memiliki afinitas terhadap
1,25(0H)2D
1000 kali lebih
besar
daripada
terhadap25(0H)D dan metabolit vitamin D lainnya. Setelah
mencapai organ target, 1,25(0H)2D akan terlepas dari
protein pengikatnya, kemudian masuk kedalam sel dan
berinteraksi dengan VDR. Kemudian kompleks 1,25(0H)
20-VDR akan berinteraksi lagi dengan retinoic acid
X receptor (RXR) membentuk heterodimer yang kemudian
akan berinteraksi dengan vitamin D-responsive element
(VORE) didalam DNA. Interaksi ini akan menghasilkan
transkripsi dan sintesis MRNA baru untuk biosintesis
berbagai protein, baik dari osteoblas ( osteokalsin,
osteopontin, fosfatase alkali) maupun dari usus (protein
pengikatkalsium, calcium-binding protein, CABP). Bagian
VDR yang berikatan dengan 1,25(0H)2D adalah pada
daerah terminal-C, yang disebut hormone-bipiding
domain, sedangkan bagian yang berikatan dengan DNA
adalah pada daerah terrninal-N, yang disebut DNA binding domain yang memilikijari-jari Zn.
Gen VDR memiliki 9 ekson. Mutasi khusus pada ekson
tersebut akan menyebabkan resistensi terhadap l ,25(0H)2D
yang disebut vitamin D-dependent rickets type II.
2394
FUNGSI BIOLOGIK VITAMIN D
REUMATOLOGI
STRUKnJRDAN M1'ABOUSME
2395
ruLANG
KALSITONIN (CT)
2396
penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah
pemberian, efek tersebut sudah mulai bekerja sehingga
aktivitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitonin juga
mempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang
osteoblas, tetapi efek ini masih kontroversial. Efek lain
yang penting adalah analgesik yang kuat. Banyak hipotesis
yang menerangkan rnekanisme efek analgesik kalsitonin,
misalnya peningkatan kadar b-endorfin, penghambatan
sintesis PGE2, perubahan fluks kalsium pada membran
neuronal, terutama di otak, mempengaruhi sistem
katekolaminergik, efek anti depresan maupun efek lokal
sendiri. Kalsitonin juga akan meningkatakan ekskresi
kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan menimbulkan
hipokalsem,ia dan hipofosfatemia. Efek lain adalah efek
anti inflamasi, merangsang penyembuhan Iuka dan fraktur,
dan mengganggu toleransi glukosa.
Konsentrasi kalsium plasma merupakan regulator
sekresi kalsitonin yang penting. Bila kadar kalsium plasma
meningkat, maka sekresi kalsitoninjuga akan meningkat,
sebaliknya bila kadar kalsium plasma menurun, sekresi
kalsitonin juga akan menurun. Walaupun demikian, bila
hiperkalsemia dan hipokalsemia berlangsung lama maka
efeknya terhadap sekresi kalsitonin nampaknya tidak
adekuat, mungkin terjadi kelelahan pada sel C tiroid untuk
mrerespons rangsangan tersebut.
Beberapa peptida gastrointestinal, terutama dari
kelompok gastrin-kolesistokinin merupakan sekretagogs
kalsitonin yang poten bila diberikan secara parenteral pada
dosis suprafisiologik.
Kalsitonin, merupakan obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan penyakit-penyakit
yang miningkatakan resorpsi tulang dan hiperka!semia
yang diakibatkannya, seperti Penyakit Paget,
Osteoporosis dan hiperkalsemia pada keganasan.
Pemberiannya secara intranasal, nampaknya akan
mempermudah penggunaan daripada preparat injeksi
yang pertama kali diproduksi.
REUMATOLOGI
SlRUKTURDAN METABOUSME
2397
TULANG
2398
kadar kalsium palsma dengan cara meningkatkan
resorpsi kalsium dari tulang, mengurangi ekskresi kalsium
di ginjal dan secara tak langsung menghambat sekresi
PTH.
Absorpsi kalsium di usus selama laktasi tidak
meningkat, walaupun kebutuhan kalsium meningkat; hal
ini mungkindisebabkantidak meningkatnyakadar l ,25(0H)p.
Secara biokimiawi, petanda resorpsi tulang dan formasi
tulang meningkat selama laktasi. Densitas massa
tulangpun menurun selama laktasi. Peningkatan bone turnover ini diduga lebih disebabkan oleh peningkatan PTHrP
dan bukan karena penurunan estrogen setelah persalinan.
Walaupun demikian, kehilangan densitas massa tulang
akanpulih kembali setelahmasa laktasiselesai.Sama halnya
denga selama kehamilan, osteoporosis pada laktasi bukan
merupakan problem yang serius, kecuali bila didapatkan
faktor risiko osteoporosis lainnya.
REUMATOLOGI
Faktor Nutrisi
Yang paling sering adalah defisien kalsium dan vitamion
D. Defisiensi vitamin D biasanya berhubungan dengan
asupan yang kurang, penurunan respons kulit terhadap
ultraviolet, gangguan konversi 25(0H)D menjadi
l ,25(0H)p di ginjal, penurunan VDR di usus dan
Histomorfometri
Secara
histomorfometri, glukokortikoid
akan
mengakibatkan penurunan tebal dinding tulang trabekular,
penurunan mineralisasi, peningkatan berbagai parameter
resorpsi tulang, supresi pengerahan osteoblas dan
penekanan
fungsi
osteoblas.
S1RUKTURDAN
METABOUSME
2399
TULANG
MIKROPATOANATOMI OSTEOPOROSIS
KEKUATANTULANG
DAN
2400
Trabekula yang menipis masih dapat pulih kembali dengan
mengurangi resorpsi tulang, tetapi trabekula yang putus
biasanya tidak akan pulih kembali. Dengan bertambahnya
usia, makajumlah trabekula yang putus akan makin banyak
sementara formasi dan resorpsi terganggu sehingga
penyembuhan trabekula yang rusak akan terganggu. Selain
itu dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan pada
matriks tulang termasuk penurunan kualitas kolagen yang
ditandai oleh penipisan kulit dan fragilitas pembuluh darah.
Jumlah trabekula ternyata sangat penting dalam
menentukan kekuatan tulang dibandingkan dengan
ketebalan trabekula. Penelitian Silva dan Gibson
mendapatkan bahwa penurunan jumlah trabekula sampai
batas penurunan densitas massa tulang 10% akan
menurunkan kekuatan tulang sampai 70%, sedangkan
penurunan ketebalan trabekula sampai batas penurunan
densitas massa tulang I 0%, hanya akan menurunkan
kekuatan tulang 25%. Oleh sebab itu, mempertahankan
jumlah trabekula sangat penting pada pasien usia lanjut.
Termasuk
dalam hal ini adalah terapi terhadap
osteoporosis, ditujukan untuk mempertahankan atau
memperbaiki jumlah trabekula daripada mempertahankan
ketebalan trabekula.
Pada penelitian terhadap penggunaan risedronat pada
pasien osteoporosis, dilakukan biopsi pada krista iliaka
pasien yang mendapat risedronat dan kontrol yang tidak
mendapat terapi, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan high resolution 3-D micro-computed
tomography dan dianalisis mikrosarsitektur jaringan tulang
tersebut. Ternyata setelah I tahun, kelompok yang
mendapat risedronat menunjukkan tidak ada perubahan
dalam mikroarsitektumya diabndingkan dengan data dasar,
sebalinya dengan kelompok plasebo menunjjuikkan
perrburukan mikroarsitektur yang signifikan. Selain itu,
pada kelompok plasebo juga didapatkan putusnya
trabekula yang tidak didapatkanpada kelompok risedronat.
Putusnya trabekula bersifat ireversibel dan sangat sulit
dibentuk kembali, sehingga mengakibatkan kekuatan
tulang menurun. Penelitian yang dilakukan selama 3 tahun
juga menunjukkan basil yang serupa dengan penilitian
yang sdilakukan selama I tahun. Oleh sebab itu pada
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa risedronat dapat
mempertahankan kekuatan tulang dibandingkan dengan
plasebo.
Faktor lain yang juga turut berperan pada penurunan
kekuatan tulang adalah retakan mikro (mocrodamage,
microcracks) yang jumlahnya makin banyak dengan
bertambahnya usia. Diduga, retakan mikro ini berhubungan
dengan pembebanan yang repetitif yang dapat dimulai
pada tingkat kolagen termasuk putusnya agregat kolagenmineral maupun rusaknya serabut-serabut kolagen
tersebut. Bertumpuknya retakan mikro ini dapat dilihat
dengan mikroskop cahaya. Walaupun belum diketahui
secara pasti hubungan retakan mikro dengan sifat
biomekanik tulang secara invivo, banyak peneliti
REUMATOLOGI
REFERENSI
Bukka P, McKee MD, Karaplis AC. Molecular Regulation of Osteoblas
Differentiation. In: Bronner F, Farach-Carson MC (eds). Bone
Formation, 1st ed. Springer-Verlag. London 2004: 1-17.
Baron R. General Principles of Bone Biology. In: Favus MJ,
Christakos S (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and
Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society of
Bone and Mineral Research, Washington 2003: 1-8
Broadus AE. Mineral balance and homeostasis. In: : Favus MJ (ed).
Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th edition. Lippincott-Raven Pub!
1999:74-80.
Banse X, Devogelaer J, Delloye C et al. Irreversible Perforation in
Vertebral Trabeculae? J Bone Miner Res 2003;18(7):1247-53.
Banse X, Sims TJ, Bailey AJ. Mechanical Properties of Adult
Vertebral Cancellous Bone: Correlation With Collagen
Intermolecular Cross-Links, J Bone Miner Res 2002; 17(9): 1621-8.
Borah B, Dufresne TE, Chmielewski PA. Risedronate Preserves
Trabecular Architecture and Increase Bone Strength in Vertebra
of Ovariectomized Minipigs as Measured by Three-Dimensional
Microcomputed
Tomography.
J Bone Miner
Res
2002; 17(7): 1139-4 7.
Everts V, Delaisse JM, Korper W et al. The Bone Lining Cell: Its
Role in Cleaning Howship's Lacunae and Initiating Bone
Formation. J Bone Miner Res 2002;17(1):77-90.
Eastell R, Barton I, Hannon RA et al. Relationship of Early Changes
in Bone Resorption to the Reduction in Feacture Risk With
Risedronate. J Bone Miner Res 2003; 18(6): 1051-6.
Frost HM. On the Estrogen-Bone Relationship and Postmenopausal
Bone Loss: A New Model. J Bone Miner Res 1999;14(9):1473-7.
Hurley MM, Lorenzo JA. Systemic and Local Regulation of Bone
Remodeling. In: Bronner F, Farach-Carson MC (eds). Bone
Formation, 1st ed. Springer-Verlag. London 2004: 44-70.
Rollick MF. Vitamin D: Photobiology, Metabolism, Mechanism of
action, and clinical aplication. ln : Favus MJ (ed). Primer on the
Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism.
4th edition. Lippincott-Raven Pub! 1999:92-8.
Harlap S. The benefits and risks of hormone replacement therapy:
An Epidemiologic
overview.
Am J Obstet Gynecol
1988; l 66(6,pt2): 1986-92.
Lee CA, Einhorn TA. The Bone Organ System: Form and Function.
In: Marcus R, Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol I,
2nd ed, Academic Press, San Diego, California 2001 :3-20.
Lian JB, Stein GS. Osteoblast biology. In: Marcus R, Feldman D,
Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol I, 2nd ed, Academic Press, San
Diego, California 200 I :21- 72.
Lems WJ, Jacobs JWG, Bijlsma
JWJ. Corticosteroid-induced
osteoporosis. Rheumatology in Europe 1995;24(suppl 2):76-9.
Mundy GR, Chen D, Oyajobi BO. Bone Remodeling. In: Favus MJ,
Christakos S (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and
Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society of
Bone and Mineral
Research,
Washington 2003:46-57
STRUKTURDAN
METABOUSME TULANG
2401
Trabecular Bone in the Femur Are Enhanced by Strongly
Anabolic, Noninvasive Mechanical Intervention. J Bone Miner
Res 2002;17(2):349-57.
Seeman E. Bone Quality. Advances in Osteoporotic Fracture
Management 2002;2(1):2-8
Seeman E. Pathogenesis of bone fragility in women and men.
Lancet 2002;359:1841-50
Tate MLK, Tami AEG, Bauer TW, Knothe U. Micropathoanatomy
of Osteoporosis: Indications for a Cellular Basis of Bone
Disease. Advances in Osteoporotic Fracture Management
2002;2(1 ):9-14
The European Prospective Osteoporosis Study (EPOS) Group. The
Relationship
Between Bone Density and Incident Vertebral
Fracture in Men and Women. J Bone Miner Res
2002; 17(12):2214-21.
Van Der Linden JC, Homminga J, Verhaar JAN, Weinans H.
Mechanical Consequence of Bone Loss in Cancellous Bone. J
Bone Miner Res 2001;16(3):457-65.
Wolf AD, Dixon ASJ. Osteoporosis: A Clinical guide. lst ed. Martin
Dunitz, London 1998:1-56
Watts NB. Bone Quality: Getting Closer to a Definition. J Bone
Miner Res 2002; 17(7): 1148-50.
379
INFLAMASI
Soenarto
2403
INFLAMASI
Rang sang
Dihllangkan
INFLAMASI
AKUT
Sel-sel
Faktor-faktor
yang larut
Alami (tak
spesifik)
Didapat
(Penyesuaian Speslfik)
Netrofil
Eosinofil
Basofil
Trombosit
Makrofag
Monosit
Sel Mast
Sel NK
Lisozim sitokin
INF
komplemen
Protein fase akut
Sel B dan T
APC
Sel - sel dendritik
Sel - sel Langerhans
ANTIBODI
ANTIBODI
lgG & subklas, lg M
lg A, lg E, lg D
Limfokin
Keratinocytes
Gambar 1.
JARINGAN
PEMBULUH DARAH
I NFLAMASI KRONIK
Rangsang
Dfhllangkan
Mtmghasllkan
ssl-sel peng1n r;ial
spesifik
KULIT
KESEMBUH AN
Amplifikasll
Pengerasen
JARINGAN
RUSAK
Gambar 2.
2404
dan glycosylphosphatidylinositol (GPI) yang menonjol
di membran protein CD 14 yang terdapat di permukaan
fagosit-fagosit profesional, termasuk makrofag yang
beredar dan yang terikat di jaringan dan PMN.
Bentuk cair CD 14 terdapat pula dalam plasma dan
permukaan. Suatu protein plasma, "LPS binding protein"
(LBP), mengirirnkan LPS ke ikatan membran CD 14 yang
cair.Bentuk cairan CD 14/ LPS/ LBP kompleks terikat pada
banyak tipe sel dan dapat berada di dalam sel untuk
mengawali respons selular terhadap mikroba yang
patogen. Telah diketahui bahwa peptidoglikan dan asam
Lipoteichoic dari bakteri gram positif dan produk sel
permukaan dari mikobacteria dan spiroseta dapat
berinteraksi dengan CD14. Tonjolan reseptor GPI tidak
mempunyai daerah sandi di dalam sel, dan "Toll-like
receptors" (TLRs)dari mamalia yang melangsungkansandi
guna mengaktifkan sel-sel akibat ikatan LPS. TLRs
mengawali aktivitas selular lewat rangkaian molekul
pembawa sandi, yang berperan pada translokasi inti dari
faktor transkripsi NF-kB, suatu tombol induk guna
menghasilkan sitokin-sitokininflamasiyang penting seperti
Tumor necrosisFactor a (TNFa) dan interleukin (IL)l.
Permulaan dari inflamasi dapat timbul tidak hanya
dengan LPS dan peptidoglikan tapi juga oleh partikel
virus dan lain-lain hasil mikroba seperti polisakarida,
enzim-enzim, dan toksin. Bakteri flagela mengaktifkan
irtflamasi dengan mengikatkan pada TLRs. Bakteri juga
menghasilkan proporsi yang tinggi dari molekul DNA
dengan residu GpG yang tak mengalami metilasi, yang
mengaktifkan inflamasi melalui TLR9. TLR3 pengenal
double stranded RNA, suatu bentuk pengenal molekul
yang dihasilkan oleh banyak virus selama siklus
pembelahan.TLRl dan TLR6 bersekutudengan TLR2 guna
meningkatkan pengenalan dari protein-protein mikroba
yang mengalami asetilasi dan peptida-peptida.
Molekul mieloid diferensiasifaktor 88 (MyD88) adalah
protein adaptor yang umum, yang terikat pada daerah
sitoplasma dari semua TLRs yang dikenal dan juga pada
reseptor-reseptor yang merupakan bagian dari IL-I
(IL- I Re) famili. Sejumlah studi menunjukkan bahwa
"MyD88-mediated transduction" dari sandi dari TLRs dan
IL- I Re adalah keadaan yang kritis untuk resistensi bawaan
terhadap-infeksi.
REUMATOLOGI
FGF, NGF,FGF-~,SCF
2405
INFLAMASI
T-cell
Expressed
and
Secreted
Substansi P
Respons imun penyesuaian/didapat,terdiri dari zat-zatyang
dibentuk guna melawan:
Produk bakteri seperti lipopolisakarida, Fimbriae,
Hemolisinis,Toksin.
Parasit-parasit seperti Schistosoma mansoni
2406
Virus-virus seperti influenza-A
1NF-a.,IL-12
Lebih lanjut tentang keluarga sitokin dan keluarga
reseptor sitokin dapat disimak pada tabel.
REUMATOLOGI
2407
INFLAMASI
Keluarga
Sitokin
Anggota
Gambaran Umum
IL-1R
IL-IR1,
IRAcP,
18RP.
1Rrp2
Toll-Like R
TLR1-10
Daerah kaya
leucine extrasel
TNFR
Daerah kaya
sistein
ekstraselular
Hematopoietin R
IL-IR 11,
IL-18Ra,
Tl/Sh
ILILIL-
Daerah seperti lg
ekstraselular
Anggota Keluarga
Anggota
TNF
TNF-a, LT-a, L
CD4oL, FasL,
BAFF, TRAIL,RANKL, NGF,
CD27-L, CD30L, OX-40L, 4-1 BBi,
APRIL
IFNR
"Clustered four
Cysteine"
IL-1
IFR-a/~ R, IFN-y R.
IL-1 OR, IL-19R,IL-20R,
IL-22R, IL-24R
Chemokine R
CXCR1-4,
CR, C3XCR
IL-6
'Seven
transmembrane
spanning
domains"
TGF-~ R
IL-10
IL-12
r-s,
Growth Factor R
IL-22,
IL-24,
IL-17
Sitokin sitokin
Hematopoietik
Interferon (IFN)
IFN-a SUBFAMILY,
CXC Kemokines
IFN-p, IFN-y
CC Kemokines
C Kemokines
XCL 1, XCL2
CX3C Kemokines
CXC3CLI
TGF-P Superfamily
Faktor-faktor
penumbuh
CCR1-8
Serine-threonine
kinase
Tyrosine kinase
BAFF, Bcel!-Activatingfactor; BCMA, Beel/ Maturation Antigen; BMP, Bone Morphologic Protein; EGF, Epidermal Growth
Factor; FGF, Fibroblast Growth Factor; G-CSF, Granulocyte
Colony Stimulating Factor; GM-CSF, Granulocyte-Macrophage
Colony-StimulatingFactor; IL, Interleukin; IL-lRacP,InterleukinAccesso1y Protein; IL-1Rrp2, IL-lR Related Protein; M-CSF,
Monocyte ColonyStimulatingFactor; NGF, Nerve Growth Factor;
PDGF, Platelet Derive Growth Factor; RANK, Receptor Activator
of Nuclear Factor
KB; and
SCF,Calcium
Stem Cellmodulator
Factor; TACI,
Transmembrane
Activator
and
CyclophilinLigand Interactor; TGF, Transforming Growth Factor;
TLR, Toll-Like Receptor; TNF, Tumor Necrosis Factor; TPO,
Trombopoietin; TRAIL, TNF-Related Inducing Ligand
2408
fibroblas dan sel-sel endotel. Tentang aktivitas biologisnya
yaitu: mengatur mielopoiesis; meningkatkan aktivitas
bakterisidal dan tumorisidal dari makrofag; mediator dari
maturasi dan fungsi sel dendrit.
M-CSF, dengan
reseptor M-CSFR (C-fims
protoonkogen). Dihasilkan oleh: fibroblas, sel-sel endotel,
monosit/makrofag, sel-sel T, sel-sel B, sel-sel epitel
termasuk epitel timus. Se! targetnya adalah monosit/
makrofag. Aktivitas biologiknya mengatur produksi dan
fungsi monosit/makrofag.
Fraktalkin, dengan reseptomya CX3CRI. Dihasilkan
oleh sel-sel endotel yang diaktifkan. Sel targetnya adalah:
se!-sel NK, sel-sel T, monosit/makrofag. Aktivitas
biologiknya adalah: "Cell surface chemokine/mucin
hybrid molecule" yang berfungsi sebagai kemoatraktan,
aktivator leukosit, dan cell adhesion molecule.
Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa mediatormediator bioaktifpada sel mast hewan coba (tikus) yang
diaktifkan akan menghasilkan:
I. Mediator-mediator lipid yaitu : Leukotrien B4,
Leukotrien C4, Plateled-Activating Factor, dan
prostaglandin D2
2. Mediator-mediator yang dibentuk sebelumnya dari
sekresi granula yaitu: histamin, proteoglikans, Triptase
dan Kimase, Karbopeptidase A.
3. Sitokin sitokin yaitu: IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF,
IL-13,IL-l,INF-P, TNF-a
REUMATOLOGI
Makrofag jaringan
Atau sel mast
Gambar 3.
Molekul
adhesi
Endotil
Molekul adhesi
Lekosit
Menggelinding
E-selectin
P-selectin
HA
Tak diketahui
VCAM-1
ICAM-1
ICAM-2
VCAM-1
HA
ICAM-1
ICAM-2
VCAM-1
PECAM-1
JAM
ESL-1
PSGL-1
CD44
L-selectin
VLA-4
LFA-1, MaC-1
LFA-1
VLA-4
CD44
LFA-1, Mac-1
LFA-1
VLA-4
PECAM-1, Lain-lain?
Pengikat (Ligand)
multipel
Melekat menyatu
Emigrasi
IIIMll'Q1(alilan
-~tkE
5aiBCl.itl
ENDOTEL
Em Qf85
1't1milfT1
~Sttcln
IL~1.TN~lL--6lNFij.i..1~
Merekrut
makrofag
limfosit
Skema kejadlan dalam hasil neutrofil,perekrutan den inflama.si
Tanda Kardlnal (rubor,Lumor,calor,dolor)
PMN(polimorfonuclear)
GCSF(Granulocyle CoJony Stimulating Factor)
Gambar 4.
INFLAMASI
2409
molekulCDI dan kemudianmembinasakansel-selhostyang
terinfeksidengan bakteria intraselulartersebut. Peran utama
dalamirnunitasadaptif,sel-selNK-TmenghasilkanIL-4guna
merekrut "TH2 helper T-cellresponses", dan memproduksi
IgG1 dan IgE.
Neutrofil, peran utamanya dalam imunitas bawaan ialah
memangsa dan membunuh bakteri, dan memproduksi
peptida-peptida antimikrobial. Sedang peran utama dalam
imunitas adaptif ialah menghasilkan "Nitric Oxide
Synthase" dan "Nitric Oxide" yang menghambat
apoptosis dan Limfosit-limfosit dan dapat memperpanjang
respons imunitas adaptif.
Eosinofil, peran utamanya dalam imunitas bawaan ialah
membunuh parasit-parasit yang masuk. Sedang peran
utamanya dalam imunitas adaptif ialah menghasilkan IL-5
yang merekrut "lg-specific antibody responses".
Sel-sel mast dan basofil, peran utamanya dalam imunitas
bawaan ialah mengeluarkan TNF-a, IL-6, IFN-y dalam
merespons pada macam-macam dari "bacterial PAMPs"
(Pathogen-Associated Moleculer Patterns).
Dalam kaitannya dengan peran utama sebagai imunitas
adaptif sel-sel tersebut menghasilkan IL-4 yang merekrut
"TH2 helper cell Responses" dan merekrut lgG 1 dan
"JgE-spesijic antibody Responses".
Sel-sel epitelial, peran utamanya dalam imunitas bawaan
ialah memproduksi peptida-peptida anti-mikrobial; dan
jaringan epitel spesifikmenghasilkanmediatordari imunitas
bawaan lokal, misalnya sel-sel epitel paru memproduksi
protein-protein surfaktan (protein-protein dalam keluarga
collectin) yang mengikat dan memperkembangkan/
meningkatkanpembersihandari mikrobayang masuk dalam
pam
Dalam aktivitas peran utama dalam imunitas adaptif,
menghasilkan TGF-~ yang memicu "lgA-spesific antibody
responses".
2410
REUMATOLOGI
Fosfollpld
membran sel
Foslolipase
Cyclooxygenase
Asam Arakldonat
lkatan Protain
(FLAP)
EOSINOFILKEMOATRAKTAN
5-HPETE
LTA.1
hydrol.ise
LTB4
,D.
L1
LTE4
I
Transport
LTB4 Receptor
PG: Prostaglandln
Gambar 5.
- Smooth muscle
contraction
- lntn b rt agregaUon
-S
moottlmuscte
contraction
- Bronchocoostrictor
-Abortifactant
Vasodi!alalion
TX82
lnacnve
Hyperalgesia
Fever
Diuresis
lmmunomodutal,ons
Gambar 6.
COX lsoforms
(CONS TITUVE)
~~~~~;;'::;,of
Pgs
f-
cox-z lnhibltor
I
COX1/
COX-2 -
'Would healing
= MACAM-MACAM POSTAGLANDIN
PGA,
PGB,
PGB
adalah
Pgs
D
i
s
e
a
s
e
Gambar 7
T
a
r
g
e
t
s
:
A
r
t
r
i
t
i
s
P
a
i
n
=
Cancer
~I
2411
INFLAMASI
Konsep Baru
EICOSANQ/D
Arachldonlc aclc
COXl&2
6.LO
P.450
l.eukotrlenes
Transcelluler
Biosynthesis
Resolution
lnflamation
P450:
Epoxygenases
(Epoxyeicosatetraenoic acid)
Gambar 8
Mediator Lipid
PGE2, LTB4, PAF
PGE2, PGL2, LTB4,
LxA2, PAF
PGE2, PGl1, LTA 4, PAF
PGE2, LTB4, LTC 4, LTD4,
LTE4, PAF
ATL
LT
LX
PAF
PG
Inhibitor
Endogen
Lipoksin,
ATL
<-
-->
Vasodilatasi (PGE2,
pGl2, pgd2, PGII)
-->
Meningkatkan
permeabilitas vaskular
(interaksi dengan Ca5,
LTB4, dan Histamin)
Potensiasi nyeri
(interaksi Bradikinin)
Mengaktifkan limfosit
dan produksi dari
limfokin PGI
Agregasi trombosit.
Pengeluaran PAF
dan PGl2
Desuppressor T
suppressor cells dan
meningkatkan RF
Resopsi daritulang
(-
PGE1, PGE2
menghambat
produksi dari
macrophage
migration inibiting
factor(MIF) oleh selsel T
PGE2 menghambat
proliferasi limfosit T
Menekan proliferasi sel
sinovial
Menekan pembentukan
plasminogen
Menghambat produksi
dari radikal oksigen dan
pengeluaran enzim oleh
neutrofil.
2412
Berbagai macam dari protein dan mediator yang
diturunkan dari lipid mempunyai aktivitas kemotaktik,
proliferatif, trombogenik, dan proteolitik. Pacuan yang
mengaktifkan trombosit guna mengadakan perlekatan dan
degranulasi juga merupakan pemicu pengeluaran AA dari
membran melalui PLA, yang memprakarsai sintesis dari
TXA2, lewat COX-1 dan produk dari Lipoxygenase
12-HETEyang kemudian dimetaboliser menjadi lipoksin.
Produk-produk dan granula-granula trombosit juga
memprakarsaireaksi inflamasilokal. Granula-granulapadat
berisi ADP,suatu agonis yang mengaktifkan ikatan fibrinogen dari trombosit pada sisi dari b, integrin glikoprotein II
bl Illa, dan serotonin, suatu vasokonstriktor yang paten
yang mengaktifkan neutrofil dan sel-sel endotelial.
Alfa granul berisi PF4 dan b-troboglobulin, yang
mengaktifkan leukosit-leukosit mononuklir dan PMN dan
juga tempat dihasilkan PDGF dan TGF-~, yang keduanya
memacu proliferasi sel-sel otot polos dan fibroblas dan
sangat penting dalam perbaikan jaringan dan
angiogenesis. Di samping itu granul trombosit
menghasilkan trombospodin yang memprakarsai neutrofil,
faktor koagulasi F V, VII, vWF, fibrinogen dan fibronektin.
REUMATOLOGI
SEL-SELTSUPPRESSORDANPENOLONG(HELPER)
IL-2 yang disekresi oleh sel-sel Th adalah faktorpenumbuh
yang memacu proliferasi dari sel-sel T sehingga mereka
memproduksi clone-clone sel-sel antigen spesifik yang
akan menjadi sel-sel sitoksik, penolong (helper), atau
suppressor. Sel-sel T suppressor mengurangi pengaturan
respons dari lain-lain sel-sel T dan B.
Ada pula anggapan bahwa prostaglandin-prostaglandin diturunkan sebagai bagian dari proses inflamasi dari
fosfolipid-fosfolipid membran sel yang dapat mengurangi
regulasi sel-sel T suppressor. Selanjutnya priksa tentang
keluarga prostaglandin dan bagan tentang asam
arakidonat. Sel-sel B, mempunyai petanda permukaan pada
awal stadium akan menjadi dewasa. Langkah awal adalah
pengaturan kembali gen-gen dari imunoglobulin rantai
berat. Proses ini meliputi pecahan "germline chromosome"
dan penggabungan dari V8, D8 dan J8, yang kemudian
menjadi bentuk VDJH. Terakhir,terminal deoksitransferase
(TdT) banyak terdapat dalam sel yang mengalami
pengaturan ulang, dan menambah bahan dasar ekstra pada
fragmen-fragmensebelum diadakan rekombinasi. Hasilnya
akan terbentuk banyak macam gen imunoglobulin dari
macam-macam sel pelopor dari B.
Kemudian sel-sel yang berhasil membentuk protein
ikatan-berat yang ditampilkan di permukaan sel, akanjuga
membentukkompleks rantai-ringan. Kompleks ikatanberat
2413
INFLAMASI
ThromboxaneA 2 (Cyclooxgenase
dependent)
12-L-hydroperoxyeicosatetraenoid
acid (Lypoxygenasedependent)
12-L-Hydroxyeicosatetraenoic
acid (lypoxygenasedependent)
Glycoproteinadhesif :
Thrombospodin,
Faktor-faktorpenumbuh : PDGF,
VEGF, TGF-~
(a-granules)
Platelet-spesificprotein : ~Thrombo-modulin,PF4 (agranules)
Cationic protein : chemotactic
factor, permeabilityfactor (agranules)
Acid hydrolases (lysosomes)
Serotonin (dense granule)
plasma
P lb : Platelet
Surface
glycoprotein lb
& agrega
Lysosomes
I
Dense granules:
ADP,ATP,Ca,Mg,Serotonln
Al~gral'klle
thromboglobulin
PF4
-Albumin
F
-PDG
-TGF- beta
-Chemotactic
- Flbrinogen
- Thrombospodin,fibroneclin
-ADP
factor
- VEGF (vascular
Serotonin
endotelin gro'Nth F)
-V.WF
Gambar 9.
embrane
Vasokonstriksi,agregasi
trombosit
: acid hydrolases
2414
REUMATOLOGI
Perlekatan
Degranulasl
1eukoslt
trombosit
(Platelet
Adhesiorl)
Fagisitosis
menlngkat
Pergantian
trombosil
dan sekresl
lexpresl
Pelekatan
leukosit
REFERENSI
Yang berkaitan
dengan pernapasan
meningkat
Penampilan
P-Selecln
RINGKASAN
Kemotaxis
leukosll
meningl<at
Pengerahan
leukosit
381
PERAN PROTEASE, DERIVAT ASAM
ARAKIDONAT DAN OKSIDA NITRIT PADA
PATOGENESIS PENYAKIT REUMATIK
B.P. Putra Suryana
PROTEASE
Degradasi molekul matriks merupakan bagian dari proses
remodelling dalam pertumbuhan, perkembangan dan
turnover ~atriks pada orang dewasa. Proses tersebut tidak
selalu menunjukkan keadaan patologis. Proses tersebut
diatur secara seksama oleh berbagai sitokin, faktor
pertumbuhan dan hormon yang mengatur sintesis
protease (proteinase) dan inhibitomya. Proteolisis yang
berlebihan dapat terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan
antara proteinase dan inhibitornya. Keadaan tersebut
dapat diregulasi secara fisiologis seperti pada growth
plate, atau dapat menjadi patologis seperti pada artritis
(Poole,2005).Proteasedikelompokkanmenjadi4 kelas yaitu
meta/lo proteinase, serine proteinase, cysteine
proteinase,dan aspartateproteinase (Poole,2005)(Tabel 1 ).
PERAN PROTEASE,
Kelas protelnase
(Dikutip
PENYAKIT REUMATIK
2423
Aktivator
Substrat kartilago
Metallo protelnase
Collagenase-1
(MMP-1)
Collagenase-3 (MMP-13)
Collagenase-2 (MMP-8)
Membrane type 1 MMP
GelatinaseA (MMP-2)
Gelatinase B (MMP-9)
Kolagen tipe II
Kolagen tipe II
Aggrecan
Denaturated type II, Aggrecan
Strome/ysin-1(MMP-3)
Urokinasetype plasminogen
activator, MMP-2, MMP-14,
stromelysin-1
Plasmin, cathepsin B
Stromelysin-2 (MMP-10)
Stromelysin-3 (MMP-11)
Furin, plasmin
Proteolisis
Matrilysin (MMP-7)
Aggrecan
Tidak diketahui
Elastin
Tidak diketahui
Aggrecan
Tidak diketahui
Aggrecan
Prometalloproteinase
Proteolisis
(ADAMTS-4)
Aggrecanase-2
(ADAMTS-11)
Serine proteinase
Plasmin (dari
plasminogen)
Tissue plasminogen
activator (dari pro TPA)
Urokinase-type
plasminogen activator
Plasminogen
Cathepsin B
Elastase
Tidak ada
Cathepsin G
Tidak ada
Kallikrein
Faktor XII
fibronectin
kolagen tipe II
Procollagenase,prostromelysin (?),
progelatinase (?)
Cysteine proteinase
CathepsinB
Cathepsin L
Tidak ada
Tidak ada
Cathepsin K
Tidak ada
Aspartate proteinase
Cathepsin D
Tidak ada
Aggrecan,denaturatedtypeIIcollagen
ADAMTS, a disintegrin and metalloproteinase with thrombospondin motifs ; MMP, matrix metalloproteinase ; TIMP, tissue
inhibitor of metalloproteinases ; TPA, tissue plasminogen activator; UPA, urinary plasminogen activator.
2424
dan inhibitornya,
dapat menyebabkan
atau sintesis kartilago (Poole,2005).
degradasi
Sintesis Eikosanoid
Sebagian besar mediator lipid tidak tersimpan dalam sel,
tapi disintesis dari prekursor dalam sel yang dipicu oleh
berbagai stimulus. Biosintesis eikosanoid dipicu oleh
stimulus yang meningkatkan kadar kalsium (Ca2+)
intraselular dan terjadi melalui mekanisme transduksi
signal yang diperantarai oleh reseptor spesifik seperti
hormon dan autakoid (autacoid). Atau melalui disrupsi
keutuhan membran sel akibat dari trauma fisik, kimiawi
maupun imun, peristiwa yang dapat mengaktifkan
fosfolipase (Dennis,2000).
Eikosanoid terbentuk oleh aktivitas tiga klas enzim
intraselular: cyclooxygenase (COX), lipooxygenase (LO)
dan P450 epoxygenase (Gambar).
Peran enzim yang terakhir pada patogenesis inflamasi
masih dalam penelitian, tulisan berikut difokuskan pada
biosintesis dan efek eikosanoid yang terbentuk oleh COX
danLO.
Asam arakidonat mengalami esterifikasi oleh fosfolipid
yaitu fosfatidilkolin, fosfatidiletanolamin,
dan
fosfatidilirfositol. Pelepasan atau deasilasi asam arakidonat
yang mengalami esterifikasi oleh fosfolipase spesifik
berperan sebagai penghenti (limiting step) biosintesis
eikosanoid. Asam arakidonat unesterifiedyang dilepaskan
dari membran fosfolipid diubah menjadi produk aktif oleh
COX-1 atau COX-2 atau LO. Asam arakidonat diubah
menjadi PG oleh COX, sedangkan LT dan LX dibentuk
oleh aktivitas enzim LO (De Caterina, 1993).
Cyclooxygenase (COX)
COX adalah enzim yang mengandung gugus heme dan
merupakan enzim yang berikatan pada membran sel
PERAN PROTEASE,
Eikos anoid
Tanda kardinal
inflamasi
Mediator lipid
PGE2,LT84, PAF
PGE2, PG'2,
LTB4, ~. PAF
PGE2, PG'2,
L~,PAF
PGE2, LTB4,
LTC4, LTD4,LTE 4,
pada
lnflamasi
Inhibitor
endogen
Lipoxin, ATL
PAF
ATL,aspirin-triggered /ipoxin : LT,/eukotriene LX,lipoxin
PAF,platelet activating factor; PG,prostaglandin.
OKSIDA NITRIT
Oksida nitrit (ON) adalah messenger interselular terlarut
2425
dari
Aktivitas pro-inflamasi
lnduksi apoptosis sel, pelepasan autoantigen dalam apoptotic
blebs
lnduksi nekrosis sel
lnduksi vasodilatasi dan kebocoran vaskular Membentuk
peroxynitrite mengubah fungsi protein (melalui proses
nitrasi)
lnduksi cyclooxygenase-2
lnduksi thromboxane synthase
lnhibisi prostacycline synthase
lnhibisi catalase
Berperan pada stres oksidatif
Aktlvitas anti-inflamasi
lnduksi apoptosis sel inflamasi dan sel yang menghasilkan
kolagen
lnhibisi apoptosis sel spesifik
lnhibisi agregasi platelet dan adesi lekosit
lnhibisi ekspresi molekul adesi
2426
REUMA.TOLOGI
Arginine+02 ~O
\Synthase
Kc:im,~
. , ,-, "J:,
No2(Nitrite)
N203
Nitrosation
(thiols)
~oxide(SO)
xl
Peningkatan produksi
marks
Peroxynitr1te
OxldaUon
Nitration(lipids,
(tyrosine)
lipoproteins)
Peroxynitrite
~
Nitrasl rosine
Pelepasan
nukleosom
t/
Produksi
autoantibodi
DNA
Apoptotic Transformasi sel
blebs
Disfungsi
protein
~
Perubahan slntesls
mediator inflamasi
Peningkatan
stres oksidatif I
'
PERAN PROTEASE, DERIVAT ASAM ARAKIDONAT DAN OKSIDA NITRlT PADA PATOGENESIS PENYAKIT REUMATIK.
2427
RINGKASAN
2428
Ignarro LJ. Biosynthesis and metabolism of endothelium-derived
nitric oxide. Annu Rev Pharmaco/ Toxico/ 1990;30:535-560.
Kharitonov SA, Cailes JB, Black CM, et al. Decreased nitric oxide in
the exhaled air of patients with systemic sclerosis with
pulmonary hypertension. Thorax 1997;52:1051-1055.
Leist M, Volbracht C, Kuhnle S, et al. Caspase-mediated apoptosis in
neuronal excitotoxicity triggered by nitric oxide. Mo/ Med
1997;3:750-764.
Mozaffarian N, Berman JW, Casadevall A. Immune complexes
increase nitric
oxide production by interferon-gammastimulated murine macrophage-like 1774.16 cells. J Leukoc Biol
1995 ;57:657-662.
Morris LF, Lemak NA, Arnett FC Jr, et al. Systemic lupus erythematosus diagnosed during interferon alpha therapy. South Med J
1996;89:810-814.
Messmer UK, Lapetina EG, Brune B. Nitric oxide-induced apoptosis
in RAW 264.7 macrophages is antagonized by protein kinase
C- and protein kinase A-activating compound. Mo/ Pharmacol
1995 ;4 7:757- 765.
Miranda KM, Espey MG, Jourd'heuil D, et al. The chemical biology
of nitric oxide. In : Ignnaro LJ,ed. Nitric oxide biology and
pathobiology. New York : Academic,2000:41-55.
Nitsch DD, Ghilardi N, Muhl H, et al. Apoptosis and expression of
inducible nitric oxide synthase are mutually exclusive in renal
mesangial cells. Am J Pathol 1997;150:889-900.
Oates JC, Gilkeson GS. Nitric oxide and related compounds.
In : Koopman WJ, Moreland LW (eds). Arthritis and allied
conditions. A textbook of rheumatology, 15'h ed, vol. I.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005 : 541-555.
Ozmen L, Roman D, Fountoulakis M, et al. Experimental therapy
of systemic lupus erythematosus: the treatment of NZB/W mice
with mouse soluble interferon gamma receptor inhibits the
onset of glomerulonephritis. Eur J Immunol 1995;25:6-12.
Olee T, Hashimoto S, Quach J, et al. IL-18 is produced by articular
chondrocytes and induces proinflammatory and catabolic
responses. J lmmunol 1999;162:1096-1100.
Ramachandaran A, Levonen AL, Brookes PS, et al. Mitochondria,
nitric oxide, and cardiovascular dysfunction. Free Radie Biol
Med 2002;33:1465-1474.
Rolla G, Brussino L, Bertero MT, et al. Increased nitric oxide in
exhaled air in patients with systemic lupus erythematosus.
J Rheumatol 1997;24:1066-1071.
Wang JS, Tseng HH, Shih DF, et al. Expression of inducible nitric
oxide synthase and apoptosis in human lupus nephritis.
Nephron 1997;77:404-411.
Wong CK, Ho CY, Li EK, et al. Elevated production of interleukin18 in associated with renal disease in patients with systemic
lupus erythematosus. Clin Exp lmmunol 2002; 130:345-351.
Weyand C~, Wagner AD, Bjornsson J, et al. Correlation of the
topographical arrangement and the functional pattern of
tissue-infiltrating macrophage in giant cell arteritis. J Clin
Invest 1996;98:1642-1649.
Yamamoto T, Katayama I, Nishioka K. Nitric oxide production and
inducible nitric oxide synthase production in systemic sclerosis.
J Rheumatol 1998;25:314-317.
Bandeira-Melo C, Serra MF, Diaz BL, et al. Cyc\ooxygena
se-2-derived prostaglandin E2 and lipoxin A4 accelerate
resolution of allergic edema Angiostrongylus costaricensisinfected rat: relationship with concurrent eosinophilia.
J lmmunol 2000;164:1029-1036.
Brink C, Dahlen S-E, Drazen J, et al. International Union of
Pharmacology XXXVII. Nomenclature for leucotriene and
lypoxin receptors. Pharmacol Rev 2003;55:195-227.
REUMATOLOGI
REFERENSI (PROTEASE)
Barrett A. The possible role of neutrophil proteinases in damage to
articular cartilage. Agents Actions 1978 ; 8:11-18.
Burkhardt H, Schwingel M, Menninger H, et al. Oxygen radicals as
effector of cartilage destruction: direct degradative effect on
matrix components and indirect action via activation of latent
collagense from polymorphonuclear leukocytes. Arthritis Rheum
l 986;29:379-387.
Barrett AJ. The cystatins: a new class of peptidase inhibitors. TIPS
1987;12:193-196.
Dodge GR, Poole AR. Immunohistochemical detection and
immunochemical analysis of type II collagen degradation in
human normal, rheumatoid and osteoarthritic articular
cartilage and in explants of bovine articular cartilage cultured
with interleukin I. JC/in Invest 1989;83:647-661.
Yamada H, Nakagawa T, Stephens RW, et al. Proteinases and their
inhibitors in normal and osteoarthritic articular cartilage. Biomed
Res 1987;8:289-300.
Konttinen YT, Mordelin I, Li T-F, et al. Acidic endoproteinase
cathepsin K in the degeneration of the superficial articular
hyaline cartilage in osteoarthritis.Arthritis Rheum 2002;46:953-960.
Lark MW, Bayne EK, Flanagan J, et al. Aggrecan degradation in
human cartilage: evidence for both matrix metalloproteinase
and aggrecanase activity in normal osteoarthritic and rheumatoid joints. J Clin Invest 1997;100:93-106.
Lethwaite J, Blake S, Hardingham T, et al. Role of TNF-a in the
induction of antigen induced arthritis in the rabbit and the
anti-arthritic effect of species specific TNF-a neutralizing
monoclonal antibodies. Ann Rheum Dis 1995;54:366-374.
McDonald JA, and Kelley DO. Degradation of fibronectin by human
leukocyte elastase. J. Biol. Chem 1980 ; 255: 8848-8858.
Gunther M, Haubeck H-D, Van de Leur E, et al. Transforming growth
factor al regulates tissue inhibitor of metalloproteinases-1
expression in differentiated human articular chondrocytes.
Arthritis Rheum 1994;37:395-405.
Poole AR. Cartilage in health and disease. In : Koopman WJ, Moreland
PERAN PROTEASE, DERIVAT ASAM ARAKIDONAT DAN OKSIDA NITRIT PADAPATOGENESIS PENYAKIT REUMATIK
2429
382
IMUNOGENETIKA PENYAKIT REUMATIK
Joewono Soeroso
PENDAHULUAN
Imunogenetika adalah' suatu konsep pendekatan genetik
untuk mengetahui hubungan antara gen respons imun
dengan suatu kondisi atau penyakit. Tujuan dari
imunogenetika adalah untuk membuka wawasan bagi
pencegahan primer, terapi, maupun pencegahan sekunder.
Dengan mengetahui gen yang berasosiasi dengan suatu
penyakit, bisa diperkirakan jenis antigen yang mencetus
penyakit, dan bisa dilakukan modulasi, modifikasi, atau
koreksi pada gen tersebut. Berbagai gen yang berperan
pada penyakit yang terkait respons imun antara lain; 1)
gen human leucocyte antigen (HLA) 2) gen cell receptor
(TCR T) 3) gen sitokin 4) gen reseptor sitokin dan 5) gen
imunoglobulin, dan 6) gen HSP (heat shock protein)
Komponen genetik yang banyak dihubungkan dengan
penyakit reumatik adalah gen respons imun yang terletak
pada major histocompatibilitycomplex (MHC). Pada MHC
terletak gen penyandi berbagai molekul respons imun yang
paling berperan pada penyakit yang terkait dengan gen
respons imun. Makalah ini difokuskan pada HLA, yang
mana mekanisme molekulemya sudah difahami.
Faktor risiko genetik dari penyakit reumatik otoimun
dapat berupa; 1) variasi/keragaman susunan nukleotida
pada gen yang disebut sebagai polimorfisme dan 2) defek
genetik akibat mutasi, defek pada proses translasi dan
modifikasi pasca translasi. Kedua keadaan tersebut bisa
menimbulkan gangguan pada sistem sinyal selular yang
akhimya bisa menimbulkan suatu penyakit.
MHC
Region MHC pada manusia merupakankelompok gen yang
berperan respons imun. Gen-gen pada MHC tersusun atas
DNA yang terletak pada kromosom 6p21.3 l (pada
DP ON DM
,....._,'
,....._,
DO
DR
',....._, ,.........
,
DQ
HLA
HLA merupakan molekul yang berperan pada presentasi
antigen. HLA kelas I berfungsi untuk mempresentasi antigen oleh sel T CD8+. HLA-kelas II pada presentasi antigen olehAPC kepada sel T CD4+, untuk selanjutnyaterjadi
aktivasi sistem kekebalan adaptif, kearah sistem imun
selular atau imun humoral. Pada HLA kelas I terdapat 2
ranah pengikatan peptida ( a 1 dan a 2), 2 ranah mirip
imunoglobulin (~2m dan a3), 1 ranah transmembran dan 1
ranah sitoplasmik HLA kelas II terdiri dari 2 rantai
polipeptida yaitu rantai a dengan berat molekul 33 kD
(kilo
Dalton)
dan
rantai
~
(28
kD).
IMUNOGENETIKAPENYAKIT
2431
REUMATIK
~
Ranah
pengik atan peptida
I
JH
Ranah
mirip imonuglobin
Ranah
transmembran
Ranah
sitoplasmik
LINKAGE DISQUILIBRIUM
~inkage disequilibrium (LD) adalah keberadaan bersama
suatu alel HLA dengan ale! HLA lain seperti, HLA-DR, DP
dan DQ atau dengan gen lain (mis; C4). Gen HLA
diturunkan kepada filialnya tanpa mengikuti hukum
Mendel, sehingga frekuensinya
pada filial sulit
diperhitungkan. LD antara suatu HLA dengan HLA yang
lain atau gen lain dapat menunjukkan peningkatan risiko
suatu penyakit
PENENTUANTIPE HLA
Tipe HLA dapat ditentukan melalui 2 cara:
POLIMORFISME HLA
Polimorfisme adalah variasi sekuens nukleotida dari
orang ke orang pada suatu lokus gen. HLA merupakan
molekul paling polimorfik di antara semua molekul di dalam
tubuh manusia. Keadaan ini disebabkan merupakan molekul
HLA paling sering terpapar dengan dunia luar, dalam hal ini
adalah antigen eksogen (alloantigen). Karena paparanpaparan dari antigen yang berbeda-beda, celah pengikatan
peptida, strukturnya mengalami adaptasi dan evolusi
sehingga susunan asam aminonya sangat bervariasi. Variasi
susunan asam amino pada HVR tersebut dapat
mempengaruhi respons imun dan berkaitan penyakit
otoimun .. Gen yang paling polimorfik adalah gen HLA-DR
yang terdiri lebih dari 330 subtipe. Bentuk polimorfisme
antara lain; polimorfisme biasa, polimorfisme nukelotida
tunggal atau single nucleotide polymorphism (SNP), dan
polimorfisme mikrosatelit yaitu pengulangan tandem tiga
atau empat atau lima nukleotida yang sama pada suatu gen.
Struktur nukleotida pada HVR sering mirip dengan antigen
eksogen, dan ini sering disebut sebagai shared epitope (SE).
Menunjukkan
Regio HLA dan prefiks untuk gen
penyandi HLA
Lokus gen HLA tertentu, misal:
DRB1
Kelompok alel penyandi molekul
DR13
HLA-DRB1*13 yang spesifik
Alel nol HLA-DRB1*13 (tidak
menyandi molekul HLA)
Alel HLA-DRB1*13 yang
dibedakan karena mutasi
Alel d HLA-DRB1 *13 dengan
mutasi diluar region penyandian
Alel nol HLA-DRB1 *13dengan
mutasi di luar region penyandian
NOMENKLATURGEN HLA
Garnbar 3. Kristalografi sinar X dari HLA-DRB1 *(dari alas). Lokasi
asam amino residu 70- 74 yang polimorfik pada celah pengikatan
peptida pada HVR dari rantai ~ HLA-DRB1*yang sering
dihubungkan dengan AR
2432
REUMATOLOGI
8*2701, 8*2702,
8*2703, 8*2704,
8*2708, 8*2709,
8*2710
827
Penya kit
Ankylosing spondilitis
(RR=90*), reactive
arthritis, Sindrom Reiter,
chronic inflammatory
bowel disease or
psoriatic arthritis
DPB1*0201
DRB1*0301
DRB1*0312
DRB1*1501/*1503,
DRB1*08
DRB1*040f.
DRB1*0403
DRB1*0404
DRB1*0102
Molekul HLA
(tes
serologis) =
serological
specities
DR3
DR3
DR15
DRS
DR4
DR1
Penyakit
JIA pausiartikular
SLE (*RR=3), Sindroma
Sjogren (RR=6),
Juvenile dermatomiositis
(RR=4), JIA
pausiartikular (RR=5)
SLE (RR=3)
SLE (RR=3)
SLE, (RR=3)
dematomiositis (RR=4)
RA (RR=?), JIA
poliarticular dengan
RF+(RR=5)
RA (RR=3)
HLA Kelas I
Hubungan antara HLA kelas I dengan penyakit reumatik
dapat jelaskan melalui konsep shared epitope!SE antara
bakteri intraselularatau produknya dengan HLA-B27, yang
mana HLA-B27 sebagai otoantigen dikenali oleh sistem
2433
IMUNOGENETIKAPENYAKITREUMATIK
/
kekebalan sebagai eksoantigen. Keadaan ini dapat
menimbulkan reaksi pengikatan oleh sistem kekebalan
selular.
a AS misalnya, dapat terjadi aktivasi sel T CD8+
oleh
A-827 padaAPC yang berperaasebagi otoantigen,
yan mana sel T CDS+ akan mengekspresi perforin dan
granzyme untuk menghancurkan berbagai sel yang
mengekspresi HLA-827. Konsep SE ini hampir
identik dengan yang terjadi pada HLA kelas II (lihat uraian
di bawah ini)
Tabel 4 Asos1as1Antara SE yang Berupa Sekuens Asam
Ammo 70 - 74 pada Ranta, 11 HLA-DRB1 denqan AR
HLA-DRB1*
0401
0403
0404
0102
1001
1419
0402
0439
ro
SekuensAsam Amino
TI
n
n
Q
Q
Q
Q
R
Q
D
Q
K
R
R
R
R
K
E
R
R
R
R
R
R
R
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
Asosiasi
Risiko
Risiko
Risiko
Risiko
Risiko
Risiko
Protektif
Tidak ada
Sel T speslfikaal SE
otornaktif tingg i
apoptosl s
Af'C mempresentasl
anligen artrolrofik
mlrip SE etau peptid
HLA+SE
HLA Kelas II
Salah satu teori yang dapat diterima untuk menghubungan
polimorfisrneHLAkelas II denganAR adalahteori mimikri
molekuler. Kesamaan susunan nukleotida pada HVR
dengan antigen eksogen sering disebut dgn konsep SE.
Sekuens asam amino nomor 70-71-72-73-74 (QKRAA,
QRRAA, RRRAA) pada celah pengikatan peptida
HLA-DR temyata mempunyai struktur yang sama dengan
protein asing seperti E. Coli dnaJ, EB V-gp 110 dsb. Dimulai
sejak kehidupan janin, di mana terjadi seleksi sel T di
kelenjar timus. Sel epitel kelenjar timus mengajari sel T
yang dipapar dengan ribuan otoantigen termasuk peptida
HLA kelas II, agar kelak sel T dapat toleran terhadap
otoantigen tersebut. Kelompok sel T CD4+ yang otoreaktif
kuat terhadap SE akan mengalami apoptosis (seleksi
negatif), sedangkan kelompok sel T CD4+ yang otoreaktif
rendah terhadap SE tetap hidup dan bersirkulasi (seleksi
positifs.
REFERENSI
Anthony
Nolan
Bone Marrow
Trust.
2001
(h.t.Ul.JL
anthonynolan.com).
Andreas J, Bengtsson AA, Sturfelt G, Truedsson L. Analysis of HLA
DR, HLA DQ, C4A, FcaRIIa, FcaRIIIa, MBL, and IL-lRa
allelic variants in Caucasian systemic lupus erythematosus
patients suggests an effect of the combined FcaRIIa R/R and
IL-lRa 2/2 genotypes on disease susceptibility Arthritis Res
Ther. 2004; 6(6): R557-R562.
Albani S, Carson DA,. A multistep molecular mimicry hypothesis
for the pathogenesis of rheumatoid arthritis. Immunology
Today 1996; 17(10):466-4 70.
Auger I, Roudier J,. A Function for the QKRAA amino acid motif :
mediating binding of dnaJ to dnaK implications for the association of rheumatoid arthritis with HLA DR4. J Clin Invest 1997;
99(8): 1818-1822.
Bolstad Al, Roland R. Genetic aspects of Sjogren's syndrome Jonsson
Arthritis Res 2002; 4:353-359
2434
Marsh SGE, Bodmer JG, Albert ED, Bodmer WF, Bontrop RE, Dupont
B, Ehrlich HA, Hansen JA, Mach B, Mayr WR, Parham P,
Pertersdorf EW, Sasazuki T, Th Schreuder GM, Strominger JL,
Svejgaard A, Terasaki PI, 2001. Nomenclature for factors of
the HLA system, 2000. Tissue Antigen 57:236-283.
Reveille JD.Genetic studies in the rheumatic diseases: present status
and implications for the future. J Rheumatol Suppl. 2005
Jan;72:10-31.
Salamon H, Klitz W, Easteal S, Gao X,. Erlich HA, Femandez-Viiia.,
Trachtenberg EA, McWeeney SK, Nelson MP, Thomson G,
1999. Evolution of HLA Class Il Molecules : Allelic and Amino
Acid Site Variability Accross Populations. Genetics 152:393400.
Soeroso J. Hubungan HLA-DRB dan HLA-DQBI dengan reumatoid
artritis. (Disertasi). Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga
2004.
Sediva A, Hoza J, Nemcova D, Pospisilova D, Bartunkova J,
Vencovsky J .Immunological investigation in children with
juvenile chronic arthritis. Med Sci Monit. 2001 Jan-Feb;7(1):99l04.
Varnavidou-Nicolaidou A, Karpasitou K, Georgiou D, Stylianou G,
Kokkofitou A, Michalis C, Constantina C, Gregoriadou C,
Kyriakides G.HLA-B27 in the Greek Cypriot population:
distribution of subtypes in patients with ankylosing spondylitis
and other HLA-B27-related diseases. The possible protective
role of B*2707. Hum Immunol. 2004 Dec;65(12):1451-1454.
INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI
PADA PROSES INFLAMASI
Kusworini Handono, Handono Kalim, Meddy Setiawan
PENDAHULUAN
Banyak penelitian pada hewan coba dan manusia
memberikan bukti tentang adanya komunikasi antara
sistem imun dan susunan saraf pusat (SSP), dan
pentingnya peran komunikasi tersebut pada terjadinya
kerentanan terhadap penyakit keradangan maupun pada
gejala-gejala keradangan itu sendiri. Sistem imun dan SSP
merupakan bagian tubuh yang selalu menjadi benteng
menghadapi gangguan lingkungan yang mengancam
kelangsungan hidupnya. Kedua sistem tersebut dirancang
untuk mengenal adanya gangguan lingkungan dan
memberikan respons terhadap gangguan tersebut untuk
mengembalikan homeostasis. Masing-masing sistem
mengenal gangguan asing yang berbeda : kimiawi,
antigenik atau infeksi oleh sistem imun dan psikologis atau
fisik oleh SSP, tetapi mereka menggunakan banyak sistem
tranduksi yang sama untuk mencetuskan respons terhadap
gangguan yang ada.
Sistem tranduksi tersebut mungkin hormonal atau
mungkin juga neuronal. Dengan demikian sitokin-sitokin
sistem imun tak hanya mempengaruhi sel-sel imun yang
lain,tapi juga bekerja sebagai hormon untuk merangsang
SSP yang mengontrol respons stres. Sebaliknya, hormonhormon respons stres tak hanya mempengaruhi kelenjarkelenjar neuro endokrin,tapi juga menekan atau merubah
respons imun dan keradangan. Sistem imun juga dapat
memberikan sinyalpada SSP melaluijalurneuronal, seperti
saraf vagus, dan S SP dapat memberikan sinyal pada sistem
imun melalui jalur saraf perifer atau simpatik.
Berbagai tahap komunikasi antara sistem imun dan SSP
tersebut merupakan mekanisme fisiologik penting untuk
mengatur intensitas respons imun dan keradangan,
mengatur kerentanan dan ketahanan terhadap penyakit
Gangguan
Lingkungan
,_G_e_n_r_e_sp_o_n_s _im_u_n_
Respons neuro endokrir
D
D
Penyakit
k
adangan
2436
REUMAlULOGI
.>
~Behavior~
RESPONSNEURQ.ENDOKRINPADAKERADANGAN
Sympathetics
..__/)
... _ ........ -#"
PADA
INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI
2437
EB
Neuronal
Hypothalamus
PJ tUi lBry
ffi
~
AqreMI
71
() gla d ~------
i ~
Ul
"Cl
0
0
:0
Q)
.s
>"'
TNF
IL-111
IL-E
2438
REUMA10LOGI
DHEA
Testosteron
Estrogen
CAMP
Norepinephrin (a2)
Norepinephrin (~)
Adenosin (A 1)
Adenosin (.A2)
Substansi P
INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI
ProInflammatory
AntiInflammatory
2439
2440
REUMAlOLOGI
IL-1~
IL-6
Macrophage
lgG
IL-4
11-2
IFNy
B lymphocyte
Synovial tissue
kadamya, hal ini berhubungan dengan aktivitas antikeradanganyang maksimum hanya terjadi pada konsentrasi
fisiologis 1 o-6 - 10-5 M.
Sampai saat ini substansi P (Neurotransmiter afferen
sensoris) dipandang merupakan neurotransmiter
prokeradangan (Tabel 1 ). Sebagai contoh, substansi P
mampu menstimulasi IL-1, IL-2, TNF dan Nuklear Factor
KB dari beberapa tipe sel. Hal ini menunjukkan bahwa
substansi P merupakan agen prokeradangan yang paten.
Peran agen prokeradangan ini pada artritis akut telah
dibuktikan.
Aktivasi aksis HPA dan aksis adrenergik secara
bersamaan telah dibuktikan mempun yai efek modulasi
respons imun yang lebih kuat dari pada efek masingmasing aksis tersebut secara terpisah.Misalnya, pada
pengobatan asma secara lokal atau sistemikBvadrenergik
agonis dan glukokortikoid mempunyai efek sinergistik
dalam mengeliminasi obstruksi bronkus. Aktivasi yang
simultan aksis HPAmelalui peningkatan kortisol dan aksis
adrenergik melalui peningkatan norepineprin, mempunyai
efek tambahan dalam meningkatkan cAMP intraselular
(Gambar 6), seperti yang ditunjukkan pada beberapa sel.
Kortisol akan membantu meningkatkan produksi
norepineprin dan epineprin dari saraf simpatis terminal dan
medulla adrenal, melalui sintesa enzim. Sehingga
peningkatan kadar kortisol dan norepineprin secara
bersamaan dengan konsentrasi lokal 1 o-6 - 10-5 M
mempunyai efek anti-keradangan yang lebih besar dari
pada substansi tersebut berada dalam keadaan tunggal.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedua sistem antikeradangan yaitu aksis HPA dan aksis adrenergik harus
diaktivasi secara simultan untuk mendapatkan efek antikeradangan yang maksimal. Komunikasi aksis HPA dan
aksis adrenergik terlihat terganggu pada penyakit
keradangan kronik.
INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI
PADAPROSES
Actln1!c'1"11f11rt1
_.,.iwttlrnm Mrr
,,,_
~l,...l,;rnfn1111n-
:!:!h~: ~H
, . . . p.
, ~--j----
:=:.:~.:l'
::::::==~'
~,
.NI\
~l~~n.....aa
.. ,- .. ,f--+
-f--l
:1
~-----
I" I---------------+
2441
INFLAMASI
..
PILIHAN
PENGOBATAN
BERDASARKAN
PERSPEKTIFINTERAKSINEUROENDOKRIN- IMUN
Pendekatan terapeutik yang baru harus dipertimbangkan
seiring dengan adanya perubahanjalur umpan balik antikeradangan padaAR (Tabel 2). Berkenaan dengan adanya
interaksi imun-endokrin, substitusi kortisol pada pasien
AR merupakan prinsip terpenting karena adanya sekresi
yang rendah dari hormon ini sehubungan dengan
keradangan. Saat ini penggantian kortisol dosis rendah
( 7 ,5 mg Prednison/hari) telah ditetapkan dalam
pengobatan AR. Lebih jauh lagi pemberian androgen
adrenal seperti DHEA sepertinya menghasilkan efek yang
menguntungkan pada penyakit keradangan kronik.
Tera pi
Substitusi kelenjar
adrenal
Substitusi kelenjar gonad
Blokade substansi P
2442
itu merupakan efek yang kecil karena kontrasepsi oral
hanya merupakan modulator yang lemah pada AR.
Mungkin penggunaan modulator reseptor selektif
estrogen (SERM - Selective Estrogen Receptor
Modulators) dapat diperhitungkan. Kandidat SERM dapat
menginduksi pembentukan tulang tanpa menginduksi efek
prokeradangan sel imun.
Mempertimbangkan aktivitas imunosupresif yang
dihasilkan androgen, hormon pria dan derivatnya,
tampaknya memberikan pendekatan terapeutik yang
paling menjanjikan. Studi terbaru mendukung adanya efek
positif dari terapi pengganti androgen adjuvan pada pasien
AR pria. Obat anti reumatik Cyclosporin A dapat
menghasilkan efek anti-keradangan dengan memacu kadar
testosteron lokal dan metabolitnya di target sel sinovial.
Terapi penggantian sistem saraf simpatis lokal barns
ditujukan pada mekanisme yang merangsang kadar cAMP
intasel pada sel imun target (Tabe] 1). Peningkatan lokal
dari adenosin atau noerepineprin dapat menjadi tujuan
terapi. Adenosin ekstrasel yang meningkat akan
menghasilkan efek anti-keradangan melalui reseptor A2
sebagai akibat dari terapi dengan MTX dosis rendah dan
dengan sulfasalazin atau salisilat. MTX dosis rendah
merupakan salah satu prinsip lain dalam terapi AR, yang
dapat mendukung pendapat bahwa kehilangan serabut
saraf simpatis menyebabkan rendahnya kadar adenosin,
ini menunjukkan sebagai suatu faktor penting dalam
patogenik penyakit. Penggantian lokal dari agonis
m-opiodergikdan agonis b-adrenergikakan menjadi prinsip
yang sangat penting. Substansi-P merupakan
neurotransmiter prokeradangan yang penting, sehingga
inhibisinya dengan neurokrin 1 antagonis atau
kapsaisin lokal dapat dipertimbangkan dalam terapi lokal
AR.
REUMA10LOGI
KESIMPULAN
INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI
REFERENSI
Baerwald CG, Laufenberg M, Specht T. Von Wichert P, Burmester GR,
Krause. A Impaired sympathetic influence on the immune
response in patients with rheumatoid arthritis due tolymphocyte
subset- spesific modulation of beta 2-adrenergic receptor. BrJ
Rheumatol 1997;36: 1262-9.
Blab S, Engel J-M, Burmester G-R. The immunologic homunculus in
rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1999 ; 42 : 2499 - 506.
Carson DA. Rheumatoid arthritis: pathogenesis and future
therapies. Annual Scientific Meeting of the American College
of Rheumatology; 1999 Nov 13-l 7;Boston.
Castagnetta L, Cutolo M, Granata OM, Di Faico M, Bellavia V,
Carruba G. Endogrine end-points in rheumatoid arthritis. Ann N
Y Acad Sci 1999:876; 180-91; discussion 191-2.
Chikanza IC, Petrou P, Kingsley G, Chrousos G, Panayi GS.
Defective hypothalamic response to immune
and
inflammatory stimuli in patients with rheumatoid arthritis.
Arthritis Rheum 1992;35:1281 - 8.
Chrousos GP. The hypothalamic-pituitary-adrenal
axis and
imune-mediated inflammation. N Engi J Med 1995:332:1351 - 62.
Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Barone A, Sulli A, Balleari E, et al.
Androgen metabolism and inhibition of interleukin- I sythesis
in primary cultured 'human synovial macrophages. Mediators
Inflamm 1995;4: 138.
Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Clerico P, Indiveri F, Carruba G, et
al. Evidence for the presence of androgen receptors in the
synovial tissue of rheumatiod arthritis patients and healthy
controls. Arthritis Rheum 1992; 35 :1007-15.
Cutolo M, Sulli A, Seriolo B, Accardo S, Masi AT, Estrogens, the
immune response and autoimmunity. Clin exp Rheumatol 1995;
13:217-26.
Cutolo M, Wilder R. Different roles for androgens and estrogens in
the susceptibility to autoimmune rheumatic diseases. Rheum
Dis Clin North Am 2000 ; 26:825 - 39.
Ebringer A, Wilson C, Tiwana H. Is rheumatoid arthritis a form of
reactivearthritis ? J Rheumatol 2000 ; 27 : 559 - 63.
Ehrhart-Bornstein M, Hinson JP, Bornstein SR, Scherbaum WA,
Vinson GP. Intraadrenal interactions in the regulation of
adrenocortical steroidogenesis. EndocrRev 1998; 19: IO I -43.
Eijsbouts A, van den HF, Laan R, de Waal MM, Hermus A, Sweep C,
et al. Similar response of adrenocorticotrophic hormone,
cortisol and prolaction to surgery in rheumatoid arthritis and
osteoarthritis (letter). Br J Rheumatol 1998 ;3 7: 1138-9.
Firestein GS, Nguyen K, Aupperle KR, Yeo M, Boyle DL, Zvaifler
NJ. Apoptosis in rheumatoid arthritis: p53 overexpresion in
rheumatoid arthritis synovvium. Am J Pathol 1996:149:2143 - 51.
Hales DB, Interleukin-I inhibits leydig cell steroidogenesis
primarily by decreasing 17 alpha-hydroxylase I C 17-20 Iyase
cytochrome p450 expression. Endrocrinologi 1992;131:2165-72.
Harbuz MS, Jessop DS. Is there a defect in cortisol production in
rheumatoid arthritis ? Rheumatology (Oxford) 1999:38:298 - 302.
Hu SK, Mitcho YL, Rath NC. Effect ofestradiol on interleukin I
synthesis by macrophages. Int J Immunopharmacol 1988;
10:247 - 52.
Imai S, Takunaga Y, Konttinen YT, Maeda T, Hukuda S, Santavirta
S. Ultrastructure of the synovial sensory peptidergic fibers is
distinctively altered in different phases of adjuvant induced
arthritis in rats : ultramorphological study
Janossy G, Panayi G, Duke 0, Bofill M, Poulter LW, Goldstein G.
Rheumatoid arthritis : a disease of T-lymphocte/macrophage
immunoregulation. Lancet 1981 ; 2: 839-42.
2443
2444
384
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS
PENYAKIT MUSKULOSKELETAL
Harry Isbagio, Bambang Setiyohadi
TERMINOLOGI
RIWAYAT PENYAKJT
2446
REUMATOLOGI
Usia
pertengahan
(30-50 th)
+
++
++
++
+
+/+
+
+
++
++
+
+
++
++
++
++
++
++
+
+
+
+/+++
++
+
+
+
Usia
lanjut
(65+th)
+/+/+++
++
+
++
++
++
+++
++
+++
++
+++
+
+
+/+
+++
+++
Pria
Pria
Pria
Pria
Pria
Pria
Pria
Pria
Pria
Pria
< wanita (1 : 3)
< wanita
> wanita
> wanita
< wanita
wanita
wanita
> wanita
wanita
< wanita
=
=
=
Kaku Sendi
Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa
sukar untuk menggerakan sendi (worn o./f). Keadaan ini
PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaanjasmani khusus pada sistem muskuloskeletal
meliputi:
2447
Gaya Betjalan
1. Heel strike phaser, 2. Loading/stance phaser, 3 Toe-offphase; 4. Swing phas
Sikap/posturBadan
Perlu diperhatikan bagaimana cara pasien mengatur posisi
bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya
mempunyai tekanan intra-artikularyang tinggi, oleh karena
itu pasien akan berusaha menguranginya dengan mengatur
posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya dalam
posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal
dengan bantal. Pada sendi bahu (glenuhomeral) dengan
cara lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu
menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan.
Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka
pasien akan merasa sangat kesakitan karena terjadi
peningkatan tekanan intraartikular. Ditemukannya postur
badan yang membengkok ke depan disertai pergerakan
vertebra yang terbatas merupakan gambaran khas
spondilitis ankilosa.
Deformitas
Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan
diam, tetapi akan lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu
dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi
(misalnya disebabkan gangguanjaringan lunak) atau tidak
dapat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul sendi atau
kerusakan sendi). Berbagai deformitas di lutut dapat terjadi
antara lain genu varus, genu valgus, genu rekurvatum,
subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian
pula deformitas fleksi di siku. Padajaringan tangan antara
lain boutonniere finger, swan neck finger, ulnar
deviation, subluksasi sendi metakarpal dan pergelangan
tangan. Pada ibujari tangan ditemukan unstable-Z-shaped
2448
REUMATOLOGI
Perubahan Kulit
Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau
penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik.
Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis
dan eritemanodosum. Kemerahandisertai deskuamasipada
kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi
periartikular,yang seringpula merupakantanda artritisseptik
atau artritis kristal.
Pergerakan
Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada
keadaan pasif dan aktif dan dibandingkan kiri dan kanan
Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak
sendi pada semua arah. Tenosinovitisatau lesi periartikular
hanya menyebabkan berkurangnya gerak sendi pada satu
arah saja.Artropati akan memberikan gangguan yang sama
dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih luas
dibandingkandengan gerakan aktif maka kemungkinan ada
gangguan pula pada otot atau tendon. Nyeri gerak
merupakan tanda diagnostik yang bermakna, nyeri ringan
hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan
gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan
disebut sebagai stress pain. Bila didapatkan stress pain
pada semua arah gerak, maka maka keadaan tersebut
merupakan tanda khas untuk gangguan yang berasal dari
luar sendi (tenosinovitis). Nyeri yang dirasakan sama
kualitasnya pada semua arah gerak sendi, lebih
menunjukkan gangguan mekanik dari nyeri inflamasi.
Resisted active movement merupakan suatu cara
pemeriksaan untuk menemukan adanya gangguan
periartikular. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara
pasien melawan gerakan yang dilakukan oleh tangan
pemeriksa, akibatnya terjadi kontraksi otot tanpa disertai
gerakan sendi. Bila timbul rasa nyeri maka hal tersebut
barasal dari otot, tendon, atau insersi tendon, misalnya
pada:
Tahananpada aduksi sendi koksae yang mengakibatkan
timbulnya rasa nyeri pangkal paha merupakan tanda
tendinitis aduktor.
Tahanan pada
aduksi
glenohumeral yang
mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pada lengan atas
merupakan tanda gangguan otot suprasinatus dan lesi
pada tendon.
Tahanan pada ekstensi siku yang menyebabkan nyeri
pada epikondilus lateralis merupakan tanda tennis
elbow.
Sama halnya dengan di atas, pada passive stress test,
bila pasien mengikutigerakantangan pemeriksaakan timbul
rasa nyeri sebagai akibat regangan ligamen atau tendon,
misalnya uji Finkelstein pada tenosinovitis De Quervain
(passive stress otot abduktor polisis longus dan ekstensor
polisis brevis menimbulkan rasa nyeri).
Krepitus
Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba
sepanjang gerakan struktur yang terserang. Krepitus halus
merupakan krepitus yang dapat di dengar dengan
menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang
di sekitamya. Keadaan ini ditemukan pada radang sarung
2449
Perubahan Kuku
Perubahan kuku sering ditemukan pada penyakit reumatik,
antara lain:
Jari tabuh (clubbing finger) berhubungan dengan
osteoartropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis
fibrotik.
Thimble pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk
lubang) dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati
psoriatik dan penyakit Reiter kronik.
Serpihan berdarah (splinter haemorhages) pada
vaskulitis pembuluh darah kecil.
Lesi Membran Mukosa
Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau
artropati reaktif) atau dengan gejala (lupus eritematosus
sistemik, vaskulitis, sindrom Behcet). Perlu diperhatikan
adanya ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung,
telangiektasia.
Gangguan Mata
Gangguan mata meliputi :
Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid,
vaskulitis dan polikondritis.
Iritis pada spondilitis ankilosis dan penyakit Reiter
kronik.
Irdosklitispada artritisjuvenil kronikjenis pausiartikular.
Konjungtivitis pada penyakit Reuter akut dan sindrom
sika.
2450
terletak setinggi sendi stemokostal II. Sendi stemokostal
III sampai dengan VII terletak sepanjang kedua sisi sternum di distal sendi sternokostal IL dari ketiga sendi
tersebut, hanya sendi sternoklavikular yang bersifat
diartrosis, sedangkan sendi yang lain merupakan
amfiartrosis atau sinkondrosis. Sendi sternoklavikular,
berada tepat di bawah kulit, sehingga sinovitis pada sendi
ini akan mudah dilihat dan dipalpasi. Sendi ini juga sering
terserang spondilitis ankilosa, artritis reumatoid dan
osteoartritis. Pada sendi stemokostal, sering didapatkan
nyeri pada sendi tersebut atau rawan iga, keadaan ini
disebut osteokondritis.
Sendi Akromioklavikula(racromioc/avicu/a
jo
r int
=ACJ)
ACJ dibentuk oleh ujung lateral klavikula dan tepi medial
prosesus akromion skapula. Pada orang tua sering
didapatkan penebalan tulang pada sendi ini. Nyeri lokal
pada bahu bersamaan dengan aduksi lengan melewati
depan dinding dada, menunjukkan adanya kelainan pada
ACJ.
.
Sendi Bahu
Sendi bahu merupakan sendi peluru yang dibentuk oleh
kaput humeri dan fossa glenoid skapula. Nyeri pada bagian
lateral sendi ini mungkin berasal dari bursa subdeltoid,
sedangkan nyeri sepanjang kaput longus bisep biasanya
berasal dari tendinitis bisipitalis. Efusi, bila terlihat, akan
menggembung ke anterior. Palpasi sendi balm dan strkturstruktur di sekitamya hams di ikuti dengan pemeriksaan
lingkup gerak sendi. Pertama kali, pemeriksa harus
memeriksa kemungkinan cedera dan rotator cuff Tendon
yang membentuk rotator cuff terdiri dari ligamen
supraspinatus, infraspinatus. Teres minor dan
subskapularis. Untuk mencari adanya lesi pada tendontendon bahu, dilakukan resisted active movements sendi
REUMATOLOGI
rl
1Ji;s1J f
.,\~!~
11D
"
\~
I
,. to
r.. .
""' '
r,
Fleksi - ekstensi
"'
Hi lO lU
"
Dengan rotasl {
Skapula
"'1!:o
,
>I)
..
,,.
..
SAHU
abduks,- adduks:
tii
.,."'
..
~ s
..
,a
...
1o~~u.
I>
''110\lll
..'"=-
\-'t
..
r-' .
,~.-
r. ,
,.
ft
)lllll11;
oo/\
100
:/~'f>l1
ll>:io
'
n u1 :;'"
("
,...._
SAHU
- r 1:---;~
Jr"-
l
Dengan rotasi
Skapula
1
(~h ~
~~~
BAHU
Rotasi internal - eksternal
"
--~
rotation untuk mencari lesi pada tendon suskapularis.
Tes Speed dilakukanpada posisi siku ekstensi, kemudian
pasien melakukan fleksi sendi bahu sementara pemeriksa
menahannya. Tes ini positifbila pasien merasa nyeri pada
bahunya. Pada tes Yergasson, siku pasien difleksikan 90,
kemudian pasien melakukan supinasi, sementarapemeriksa
berusaha menahan agar supinasi tidak terjadi. Tes positif
bila pasien kesakitan. Pada resisted active abductionpasien
melakukan abduksi sendi bahu dan pemeriksamenahannya.
Tes positif bila pasien kesakitan. Bila pasien nyeri pada
lateral sendi bahu tetapi resisted actived abduction pasien
tidak menimbulkan nyeri, maka nyeri berasal dari bursa
subakromnion.Pada resisted active external rotationpasien
t..
,4000
to 70
ee ....
SIKU
fleksi-ekstensi
1301'20,11?1~ :o,o
140
940
ftO Uy
"
ro'soso
'40
~o
L
20 10
s/o
30
60\'~-
TO
eo
90 ---'----
~
I
.J
-~-, I
RADIO-ULNAR
pronasl-supinasi
10 20
30
40so
60
70
+:i'l"'
eo
[JliJ .-am--O
., " J
2a 1Q
..
PER<lELANGAN m,JGAJ,I
de v leer ~lo-uri~
(:~
ti
fl,
10
20
ac ..
'p. "=~.
0.
2.0 10 0
2451
1D ~
,. .. ,o o"o~
"Q
Gambar 3. Gerak pergelangan tangan
Sendi metakarpopalangeal, interfalang proksimal dan distal
(Metacarpophalangeal, proximal and distal interphalangeal
joints= MCP, PIP, DIP)
Sendi Koksae
Sendi koksae dibentuk oleh kaput femoris dan asetabulum.
Lingkup geraknya cukup luas, tapi tidak seluas sendi bahu.
Stabilitas sendi dijaga oleh kapsul sendi yang kuat dan
dikelilingi oleh berbagai ligamen seperti lig iliofemoral
Bertini, Jig pubofemoraldan lig iskiokapsular.Sendikoksae
juga dikelilingi oleh otot-otot yang kuat. Otot fleksor yang
utama adalah otot iliopsoas yang dibantu oleh otot sartorius dan rektus femoris. Aduksi koksae, dilakukan oleh
otot-otot aduktor longus, brevis dan magnus dan dibantu
oleh otot grasilis dan pektineus. Otot gluteus maksimus
merupakan otot abduktor utama, sedangkan gluteus
maksimus dan harmstring muscle merupakan otot
2452
REUMATOLOGI
J\ J
90
KOKSAE
_.acI:
Flak(T
s,u ngHkiaple nIU,kIIsJtSen) s,
80
ro
60
50
40
30
20
10
10
:/JI
..
.o
te
20
70
60~~
eo ~ 100 110
KOKSAE
20
1:i.'OttD
10
o-10
,o
.,
10
KOKSAE
11G
"'
40
30 26
EXT.
10
~,M,
,40
KOKSAE
10
.e
oo "
IO 10
R.
.A.
40
10 20 30
4'0
30 20 10
INT.
'10
20
. .
a.Oulrasi adukasi
30
=v:cf~: . ~===L=-
fl\9
L
iO ID 10 8D
&;7
203040r.o
10'J
Fleksi-(lu tutditekuk)
INT.
10
20
30
EXT.
ekstensor koksae.
Pemeriksaan koksae dimulai dengan mengamati pasien
dalam keadaan berdiri di muka pemeriksa. Bila panggul
terlihat miring, maka mungkin terdapat skoliosis, anatomic
leglength discrepancy atau kelainan koksae. Kontraktur
koksae akan ditandai oleh deformitas abduksi dan aduksi.
Pada kontraktur aduksi, pelvis akan miring ke atas pada
sisi yang sehat, dan kedua tungkai ekstensi. Pasien dengan
kelainan sendi koksae, akan memiliki 2 gaya berjalan yang
abnormal yaitu gaya berjalan antalgik akibat nyeri pada
koksae dan/atau gaya berjalan Trendelenburg pada
kelemahan otot abduktor. Untuk menilai kelemahan otot
abduktor gluteus
medius, dapat dilakukan tes
Trendelenburg, yaitu dengan menyuruh pasien berdiri pada
sisi tungkai yang sakit; pada keadaan normal, otot abduktor
akan menjaga agar pelvis tetap mendatar, bila pelvis pada
sisi yang sehat jatuh, maka dikatakan tes positif dan
terdapat kelemahan otot gluteus medius.
Pada posisi terlentang, kontraktur fleksi koksae dapat
dilihat dari adanya lordosis lumbal dan pelvis yang miring
sehingga tungkai tetap lurus pada meja pemeriksaan.
Untuk menilai adanya kontraktur fleksi, dapat dilakukan
tes Thomas, yaitu dengan memfleksi.kantungkai yang sehat
sehingga lordosis lumbal hilang, akibatnya tungkai yang
sakit akan ikut fleksi. Pada posisi terlentang, juga dapat
diukur leg-length discrepancy, yaitu pada posisi kedua
tungkai ekstensi. True leg-length discrepancy diukur dari
ANAMNESIS
DAN PEMERIKSAAN
F1SIS PENYAKIT
Defonnitas lulut:
A. Genu Varus; B. Genu Valgus; C. Genu Rekurvatum; D..Sublullsasitibia posterior;E Flaks.i Menetap
6:1
511
LUTUT
Fleksi)
50
2453
MUSKULOSKEI.ETAL
50 70 BO i100110 120
'
/ 130
40
Pergelangan Kaki
Pergelangan kaki terdiri dari 2 sendi, yaitu sendi tibiotalar
(true ankle,_, joint) yang merupakan sendi engsel dengan
pergerakan dorsofleksi dan plantar-fleksi, sedangkan sendi
subtalar memungkinkan gerak inversi dan eversi dari kaki.
Maleoli tibia dan fibula memanjang ke bawah, menutupi
talus dari medial dan lateral dan memberikan kestabilan
sendi pergelangan kaki. Kapsul sendi pergelangan kaki
sangat kuat pada bagian posterior dan memungkinkan
untuk pergerakan dorso dan plantar-fleksi.
Pada bagian belakang sendi ini terdapat tendon achiles
yang merupakan tendon otot gastroknemius dan soleus
yang memanjang ke bawah dan berinsersi pada permukaan
posterior os kalkaneus. Radang pada tendon ini,
menyebabkan rasa nyeri bila banyak berjalan atau bila
,=h~.-~,~-.-~
'"
18
OI
n:i
10
PERGELANGAK
NAKI
30 ~~
,o
10
20
Kaki
Yang dimaksud dengan kaki adalah midfoot yang terdiri
dari 5 tulang-tulang tarsal selain talus dan kalkaneus dan
fore foot yang terdiri dari tulang-tulang metatarsal dan
jari-jari kaki. Kaki mempunyai struktur melengkung ke
dorsal yang memungkinkan penyebaran berat badan ke
kalkaneus di posterior dan ke-2 tulang sesamoid pada
tulang metatarsal I dan kaput metatarsal 11-V di anterior.
Fungsi lengkung kaki adalah untuk menjaga fleksibilitas
kaki pada waktu berjalan dan berlari. Lengkung ini dapat
betambah akibat kelainan neurologik dan disebutpes cavus
atau berkurang dan disebut pes planus. Deformitas lain
pada kaki adalah hallux valgus, hammertoe deformity,
mallet toe dan cock-up toe. Hallux valgus adalah deviasi
medial metatarsal sehingga kaki menjadi lebar dan kadangkadang timbul bunion. Hammertoe deformity adalah
hiperekstensi sendi metatarsofalangeal(MTP) diikuti fleksi
sendi PIP. Deformitas fleksi sendi DIP manghasilkan
mallet toe, sedangkan fleksi sendi PIP dan DIP yang diikuti
ekstensi dan subluksasi plantar sendi MTP disebut
cock-up toe deformity.
Nyeri pada tumit, sering disebabkan oleh plantar, spur,
sedangkan peradangan pada MTP I, sering disebabkan
oleh artritis gout.
..
lO JC 1CI
Gambar7. kaki
Vertebra
Vertebraharus diperiksa dalam posisi duduk atau berbaring
telungkup, tetapi untuk menilai kesegarisan vertebra,
pemeriksaan harus dilakukan dalam posisi berdiri.
Kemiringanpelvis dan bahu mancurigakanke arah kelainan
kurvatura vertebra atau leg-length discrepancy. Otot-otot
2454
paraspinal harus selalu di palpasi untuk mencari adanya
nyeri dan spasmus.
Gerakvertebra servikal,meliputiantefleksi45, ekstensi
50-60, laterofleksi 45 dan rotasi 60-80. Separuh dari
fleksi dan ekstensi total servikal terjadi pada ketinggian
oksiput Cl, sedangkan sisanya terbagi rata pada C2-C7.
Selain itu, separuh dari rotasi servikal terjadi pada sendi
atlantoaksial ( odontoid) sedangkan sisanya terbagi rata
pada C2-C6. Pada laterofleksi, semua vertebra servikal
mempunyai andil yang sama besar. Pemeriksaan khusus
yang harus dilakukan vertebra servikalis adalah
foraminal compression test, tes Valsava dan tes Adson.
Tiga tes yang pertama digunakan untuk menilai adanya
jepitan saraf. Pada foraminal compression test, Ieher
dirotasi dan dilaterofleksi ke sisi yang sakit, kemudian
kepala ditekan kebawah, bila ada jepitan saraf akan
menimbulkan nyeri yang menjalar ke lengan atau sekitar
skapula. Bila kepala distraksi ke atas (distraction test),
nyeri akan berkurang. Pada shoulder depression test, 1
tangan pemeriksa diletakkan pada bahu dan tangan
pemeriksa yang lain diletakkanpada kepala kemudian bahu
di tekan ke bawah sedangkan kepala dilaterofleksi ke arah
yang berlawanan, jepitan pada saraf servikal akan
menyebabkan nyeri radikular atau parestesia. Tes Valsava
digunakan untuk menilai adanya tumor intra tekal atau
hernia nukleus pulposus. Pasien disuruh ekspirasi dalam
keadaan glotis tertutup, adanya kelainan di atas akan
menyebabkan nyeri yang menjalar ke dermatom yang
sesuai. TesAdson, digunakan untuk menilai adanyajepitan
pada arteri subklavia. Pemeriksa melakukan palpasi pada
denyut arteri radialis, kemudian pasien melakukan inspirasi
maksimal sambil melakukan rotasi maksimal kepala ke sisi
yang diperiksa,jepitan arteri subklavia akan menyebabkan
denyut arteri radialis melemah atau menghilang.
Pada pemeriksaan vertebra Iumbal, pasien sebaiknya
disuruh melepaskan pakaiannya, sehingga dapat dinilai
berbagai deformitas seperti Iordosis lumbal, kifosis torak
dan skoliosis. Gaya berjalan dan gerakan pinggul juga
harus diperhatikan. Lingkup gerak tulang-tulang spinal,
dapat dinilai dengan melakukan tes Schober, yaitu dengan
menyuruh pasien melakukan antefleksi maksimal,
kemudian ditentukan4 titik mulai dari prominentiaspinosus
sakralis superior ke arah atas denganjarak antara satu titik
dengan titik lainnya masing-masing 10 cm. Kemudian
pasien disuruh berdiri tegak dan jarak titik-titik tersebut
diukur lagi, dalam keadaan normal akan terjadipemendekan
REUMATOLOGI
..
2455
REFERENSI
Doherty M, Doherty J. Clinical examination rheumatology.
London :Wolfe Publishing;l992.
Gattler RA, Scumacher HR. A practical handbook of joint fluid
analysis. 2"" ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1991.
Michet CJ, Hunder GC. Evaluation of the joint. In: Kelly WN, Haris
JED. Ruddy S et al eds. Textbook. of Rheumatology. 4'h ed.
Philadelphia :WB Saunders; l 993.p.351-67.
Shmerling RH, Liang MH. Laboratory evaluation of rheumatic
disease. In: Scurnacher HR, Klippel JH, Koopman WJ,eds. Primer
on the rheumatic diseases. I o- ed. Arthritis Foundation.
1993.p.64:6
385
ARTROSENTESIS DAN
ANALISIS CAIRAN SENDI
Sumariyono
PENDAHULUAN
SINOVIA
SI NOVI UM
2456
2457
ARTROSENTESIS
lndikasi
Diagnostik
Membantu diagnosis artritis
Memberikan konfirmasi diagnosis klinis
Selama pengobatan artritis septik, artrosentesis
dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah
leukosit, pengecatan gram dan kultur cairan sendi.
Terapeutik
Artrosentesis saja
Evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada
pseudogout akut dan crytal induced arthritis yang
lain.
Evakuasi serial pada artritis septik untuk
mengurangi destruksi sendi.
Pemberian kortikosteroid intraartikular
Mengontrol inflamasi steril pada sendi, bila obat
anti inflamasi non steroid telah gagal, kemungkinan
akan gagal atau merupakan kontraindikasi.
Mempersingkat periode nyeri pada artritis gout.
Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat
Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi.
Kontraindikasi
Diag" nostik
Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi
Bakteriemi
Secara anatomis tidak bisa dilakukan
Pasien tidak kooperatif
Terapeutik
Kontraindikasi diagnostik
Instabilitas sendi
Nekrosis avaskular
Artritis septik
ProsedurTindakan (umum)
Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi :
Lakukan pemeriksaan fisik sendi dan bila perlu
periksa foto sendi yang akan diaspirasi
Haros dikuasai anatomi regional sendi yang
akan diaspirasi untukmenghindari
kerusakan
struktur-struktur vital seperti pembuluh darah dan
saraf.
Hams dilakukan teknik yang steril untuk menghindari
terjadinya artritis septik. Untuk desinfekti dipakai
iodine dan alkohol. Dokter hams memakai sarong
tangan untuk menghindari kontak dengan darah dan
cairan sendi pasien.
Untuk mengurangi rasa nyeri dapat digunakan
semprotan etilklorida. Bila diperlukan dapat digunakan
prokain untuk anastesi lokal.
Selama dilakukan prosedur aspirasi harus diingatkan
kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak banyak
menggerakkan sendi.
PROSEDURTINDAKAN (KHUSUS)
Sendi Lutut
Pada efusi sendi lutut yang besar, tusukan dari lateral
secara langsung pada tengah-tengah tonjolan
suprapatela lebih mudah dan lebih enak untuk
pasien.Tonjolan suprapatela ini dapat diperjelas dengan
menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan
menggunakan ujung pulpen dilakukan pemberian tanda
pada daerah target yaitu lebih kurang pada tepi atas
patella (cephalad border of patella). Tada ini akan masih
terlihat dalam waktu yang cukup untuk melakukan
desinfeksi, anastesi dan artrosentesi. Pada efusi sendi
yang sedikit lebih baik dilakukan tusukan dari medial di
bawah titik tengah patella.
2458
REUMATOLOGI
Jenis pemeriksaan
Nilai normal
Rata rata
PH
Jumlah leukosit/mm 3
PMN
Limfosit
Monosit
7.3 - 7.43
13 - 180
0 -25
0 - 78
0 - 71
7.38
63
7
24
48
0 -12
Sel sinovia
1.2-3.0
1.8
Albumin(%)
56 -63
60
Globulin(%)
37 -44
Hyaluronat g/dl
40
0.3
Noninflamasl
(grup I)
Biasanya > 4
Xantokrom
Kejernihan
Transparan
lnflamasi
(grup 11)
Biasanya > 4
Xantokrom
atau putih
Translusen
Krlteria
Viskositas
Tinggi
atau opak
Rendah
Bekuan musin
Bekuan spontan
Jumlah leukosit/mm3
Sedang
sampai baik
Sering
< 3000
Sedang
sampai buruk
Sering
3.000 -50.000
Polimorfonuklear (%)
<25 %
>70%
Purulen
(Grup Ill)
Biasanya > 4
Putih
Opak
Sangat
rendah
Buruk
Sering
50.000300.000
>90 %
PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS
Pemeriksaan makroskopis cairan sendi merupakan
pemeriksaan bedside. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
menentukan cairan sendi tersebut termasuk dalam
kelompok : 1) normal, 2) non inflamasi, 3) inflamasi, 4)
BEKUAN
Cairan sinovia sedikit sekali kandungan protein
pembekuan seperti fibrinogen, protrombin, faktor V, faktor
VII dan tromboplastin jaringan. Sehingga cairan sinovia
normal tidak akan membeku. Tetapipada kondisi inflamasi
"membran dialisat" sendi menjadi rusak sehingga protein
dengan berat molekul yang lebih besar seperti proteinprotein pembekuan akan menerobos masuk ke cairan
sinovia, sehingga cairan sinovia pada penyakit sendi
inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknya
bekuan berkorelasi dengan derajad inflamasi sinovia.
VOLUME
Sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan
sendi., bahkan pada sendi besar seperti lutut hanya
mengandung 3 -4 ml cairan sinov ia. Pada kondisi sinovitis,
yang mengakibatkan rusaknya "membran dialisat" sendi,
sejumlah besar cairan bisa berakumulasi pada ruang sendi.
2459
VISKOSITAS
Normal
Inflamasi
Purulen/septik
Hemoragik
PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS
2460
REUMATOLOOI
PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI
Crystal
on rose background
SODIUM URATE
CRISTAL
---------"'...
2461
REFERENSI
KESIMPULAN
Artrosentesi dan analisis cairan sendi merupakan
pemeriksaan yang penting dibidang reumatologi baik
untuk tujuan diagnostik maupun terapeutik. Analisis
cairan sendi terdiri dari pemeriksaan makroskopis,
mikroskopis dan beberapa pemeriksaan khusus.
Berdasarkan pemeriksaan analisis cairan sendi, cairan
sendi abnormal dapat dikelompokkan menjadi cairan sendi
non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik.
Manfaat utama analisis cairan sendi adalah identifikasi
infeksi dengan pengecatan gram dan biakan cairan sendi,
Fye KH. Arthrocentesis, synovial fluid analysis, and synovial biopsy. In: Klippel JH. Primer on the rheumatic diseases. 12th
edit. 2001 : 138-144.
Gatter RA, Schumacher HR. A practical handbook of joint fluid
analysis. 2 edit. 1991.
Mikuls TR. Synovial fluid analysis. In : Koopman WJ and Moreland
LW. Arthritis and allied conditions. 15th edit. 2005 : 81-96.
Setiyohadi, sumaryono. Aspirasi cairan sendi I artrosentesis. In :
Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Prosedur tindakan di bidang
Ilmu Penyakit Dalam. 1999 : 227-233.m
Swan A, Amer H, Dieppe P. The value of synovial fluid assay in the
diagnosis of joint disease : a literature survey. Ann Rheum Dis
2002 ; 61: 493-498.
386
PEMERIKSAAN CRP, FAKTOR REUMATOID,
AUTOANTIBODI DAN KOMPLEMEN
Amadi, NG Suryadhana, Yoga I Kasjmir
yang
Berhubungan
dengan
Peninqkatan
Normal atau
peningkatan tidak
slgnifikan ( < 1 mg/di )
Peningkatan
Sedang
( 1 -10 mg/di)
Penlngkatan
tlnggi
( > 10 mg/di)
Kerja berat
Common cold
Kehamilan
Gingivitis
Stroke
Kejang
Angina
lnfark miokard
Keganasan
Pankreatitis
lnfeksi mukosa
bronkitis, sistitis )
Penyakit reumatik
Sering ada
Demam reumatik,
artritis reumatoid,
infeksi bakteri akut,
hepatitis akut
Tuberkulosis
Sklerosis multipel,
aktif,tumor ganas
sindroma Guillain
stadium lanjut,
Barre, cacar air,
leprosy, sirosis
pasca bedah,
aktif, Iuka bakar
penggunaan ala!
luas, peritonitis
kontrasepsi intrauterin
CARAAGLUTINASI LATEKS
Prinsip kerja pemeriksaan ini menggunakan partikel lateks
yang permukaannya dibungkus dengan anti
CRP sehingga dapat direaksikan dengan serum kontrol
positif ataupun negatif pada permukaan kaca benda atau
polystyrene
2463
FAKTOR REUMATOID
Faktor Reumatoid (FR) merupakan antibodi sendiri
terhadap determinan antigenik pada fragmen Fe dari
imunoglobulin. Klas imunoglobulin yang muncul dari
antibodi ini ialah lgM, IgA lgG dan IgE. Tetapiyang selama
ini diukur ialah faktor reumatoid kelas IgM. Istilah
reumatoidnya diberikan karena faktor ini kebanyakan
diberikan pada penyakit artritis reumatoid. Berbagai teknik
telah dikembangkan, untuk mengukur adanya antibodi
tersebut. Dapat disebutkan seperti uji aglutinasi,
presipitasi, pengikatan komplemen, imunofluoresensi dan
radioimun.
Sejarah Faktor Reumatoid
Faktor Reumatoid pertamakali di introduksi oleh patolog
Norwegia, Eric Waaler,tahun 1937. Pada waktu itu beliau
melihat bahwa eritrosit biri-biri yang tersensitasi dengan
zat antinya yang diperoleh dari serum kelinci, dapat
2464
infective agent.
Dalam hubungan dengan terjadinya FR, dimulai dengan
terjadinya infeksi yang cenderung bersifat kronik dan
berkembang dalam persendian merangsang pembentukan
antibodi. Zat ini lalu bergabung dengan infective agent
tersebut dan menimbulkan perubahan antigenik molekul
IgG-nya. Adanya ikatan kompleks dan alteredlgG sebagai
antigen barn inilah yang membangkitkan produksi zat
antibodi barn yang dikenal sebagai zat anti antibodi. Zat
inilah yang pada hakekatnya dikenal sebagai Faktor
Reumatoid (FR).
Selanjutnya sarana yang paling adekuat
bagi
perkembangan lanjut reak:si ini ialah persendian. Karena
itu tidak:jarang terjadi pada tiap infeksi asalkan melibatkan
KOMPLEMEN
2465
SpesifisitasI Sensitivitas
2466
aliran darah, dapat dirangsangoleh mitogen sel-sel-Buntuk
memproduksi imunoglobulin secara in vitro. Tetapi
sejumlah besar sel-sel dari kompartemen lainnya, telah
dapat ditunjukkanmemproduksiFR. Telahdiketahuibahwa
cairan sinovial reumatoid kaya dengan IgG-FR, lgM-FR
dan IgA-FR. Jadi FR pada cairan sendi, kemungkinan besar
diproduksi secara lokal oleh limfosit-limfosit yang terletak
dalam membran sinovial ataupun cairannya sendiri. Agen
yang merintis produksi lokal, sampai saat ini masih belum
diketahui. Agaknya memang berbagai faktor itu datangnya
secara bertahap ataupun simultan yang tanpa disadari
terekam oleh tubuh sedikit demi sedikit dan akhirnya
tinggal memerlukan hadirnya suatu penyulut (trigger)
untuk timbulnya penyakit tersebut.
Mengenai tempat diproduksinya FR pada penyakit
kronik lainnya belum dapat diungkapkan, tetapi
kemungkinan seperti modus produksi imunoglobulin
umumnya.
lmunopatogenesis Faktor Reumatoid
Sebenarnya, FR bersifat non-patogenik. Terbukti pada
tranfusi dengan lgM-FR tidak dapat menginduksi artritis
bahkan lgM-FR dapat mengurangi serum sickness, lisis
oleh komplemen dan aktivitas sitotoksik selular, tetapi
hadirnya FR dapat menjadi pemacu dan pemantapan proses
yang ditunjang oleh hal-hal sebagai berikut:
Pasien seropositif,menunjukkanpenampilan klinik dan
komplikasi yang lebih berat dibanding seronegatif.
Pasien seronegatif, mempunyai prognosa yang lebih
baik.
Pengamatan in-vitro menunjukkan bahwa lgM-FR
diproduksi secara spontan oleh limfosit perifer pada
seropositif, sedang seronegatif, tidak.
. Pasien dengan titer FR yang tinggi, menunjukkan
prognosis yang buruk dan lebih sering tampil dalam
manifestasi ekstra artikular seperti nodul-nodul
subkutan, fibrosis paru, vaskulitis, perikarditis. Hal ini
dikaitkan dengan ditemukan CIC ( CirculatingImmune
Complex).
IgM-FR poliklonal mampu mangaktifkan kom-plemen,
sehingga tidak diragukan keterlibatannya, dalam
berbagai kerusakan jaringan.
Meningkatnya kadar lgG-FR, dikaitkan dengan
meningkatnya kekerapan timbulnya nodul subkutan,
LED, jumlah persendian yang terlibat dan menurunnya
kadar komplemen.
Kemungkinan efek patologiknya ialah kenyataan data
klinik yang menunjukkan hubungan FR dengan aktivitas
penyakit terutama manifestasi ekstra-artikulamya. Hal ini
juga berlaku bagi lgG-FR, yang lebih cenderung berkaitan
dengan penyakit sistemik dan vaskulitis dibanding
sinovitis.
Efek biologiknya, yang utama ialah kemampuannya
mengikat komplemen melalui kompleks imun. Dari sinilah
REUMATOLOGI
PEMERIKSAAN
CPR, FAKTORREUMATOID,AUTOANTIBODI
label
3. Penyakit
Reurnatoid
yang
Penyakit Rematik
I nfeksi parasit
lnfeksi bakterialis kronik
Neoplasma
Hyperglobulinemic state
Faktor Reumatoid
- Titer
- Heterogenitas
- Reaksinyaterhadap
, gammaglobulin
manusia dan hewan
- Klas imunoglobulin
- Lokasi produksi
dengan
Faktor
lnfeksi Viral
label 4 Perbandingan
Penyakit Non-reurnatik
Berhubungan
DAN KOMPLEMEN
FR pada Artritis
Artritis
Reumatoid
Reurnatoid dan
Penyakit nonreumatik
Tinggi
Rendah
++
lengkap
tidak lengkap
terutama lgM
tidak jelas, tetapi
bukan pada
daerah sinovial.
lain dari autoantibodi dengan afinitas rendah dengan ciriciri unik yang membawakan sifat patogeniknya dalam
situasi khusus. Memang secara teoritis, hadimya faktor
ini, justru menunjukkan salah satu kegagalan sistem imun
tubuh dalam menangani infiltrasi benda asing secara
tuntas.
Antibodi yang mula pertama dilepaskan temyata tidak
mampu menetralkan benda asing yang masuk. Upaya
tubuh ~enyelesaikan masalah karena kegagalan
pengenalan diri, justru melahirkan antigen-antigen barn,
akibatnya timbul perkembangan barn, sebagai reaksi
terhadap kenyataan tersebut, dengan membentuk zat antiantibodi yang dikenal dengan sebutan FR.
KEMAKNAAN KLINIK
Faktor r eumatoid lgM. Klas ini sepertijuga antibodi IgM
lainnya, bersifat multivalen yang karenanya memiliki daya
aglutinator yang kuat terhadap partikel-partikel yang
terbungkus oleh antigen yang bersangkutan. Faktor ini
2467
2468
TEKNIK ANALISIS
Cara yang paling mudah dalam mengukur IgM-FR ialah
teknik aglutinasi yaitu cara non imunologik menggunakan
lateks dan cara imunologik menggunakan sel darah
biri-biri. Baik lateks ataupun sel darah biri-biri ini
dimaksudkan sebagai perantara/amboseptor
yang
memungkinkan pemunculan ikatan antigen antibodi.
Untuk mendapatkan konsistensi hasil pemeriksaan
maka perlu digunakan gabungan serum positif kuat dan
serum positif lemah yang telah diketahui titemya sebagai
kontrol kualitas internal. Idealnya ialah merujuk dua kontrol
sera dari WHO sehingga pengukurannya
dapat
diseragamkan dalam hitungan unit intemasional.
PEMERIKSAAN AUTOANTIBODI
...
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya
dengan berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik
atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat lebih nyata
pada penyakit-penyakit
otoimun termasuk di dalamnya
kelompok penyakit reumatik otoimun seperti Systemic
Lupus Erythematosus (SLE), Rheumatoid arthritis (RA),
sindrom Sjogren dan sebagainya.
Proses patologik yang terjadi berkatan erat dengan
adanya kompleks ( oto )antigen ( oto )antibodi yang
keberadaannya dapat menimbulkan berbagai masalah yang
seius. Perkembangan yang pesat terhadap deteksi antibodi
membawa pengaruh terhadap fungsi pemeriksaan antibodi.
AntibodiAntinuklear(ANA)
Antinuklear antibodi merupakan suatu kelompok
autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan
nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease
seperti SLE, sklerosis sistemik, mixed connective tissue
diasease (MCTD) dan sindrom sjogren's primer. ANA
pertama kali ditemukan oleh Hargraves pada tahun 1948
pada sumsum tulang pasien SLE. Dengan perkembangan
pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitasANA
yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein(nRNP), Ro/
SS-A dan La/SS-B.ANA dapat diperiksa dengan
menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan
sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue
disease.Dengan pemeriksaan yang baik, 99% pasien SLE
menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada pasien
sindrom Sjogrens dan 40% pada pasien skleroderma.ANA
juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.
Antihiston(Nukleosom)
Antibodi antihiston merupakan suatu antibodi terhadap
komponen protein nukleosom yaitu kompleks DNAprotein (suatu substruktur dari inaktifkromatin transkripsi).
Potein histon terdiri dari Hl ,H2A,H2B,H3 dan H4.Antibodi
ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan ELISA, indirect
immunojluoresence atau imunoblot. Pada 50- 70% LES
terdapat antibodi antihiston terutama terhadap protein H 1,
H2B diikuti H2A, H3 serta H4, dan biasanya berhubungan
anti dsDNA. Antibodi inijuga ditemukan pada lupus induksi
obat dan berhubungan dengan anti ssDNA. Antibodi
antihiston juga ditemukan dengan kadar yang rendah pada
artritis reumatoid, artritis reumatoid juvenile, sirosis bilier
2469
Anti-Ku
Anti-Ku adalah suatu antibodi terhadap antigen Ku yang
terdapat pada kromatin lOS. Anti-Ku terdapat pada
scleroderma-polymyositis overlap syndrome.Anti-Ku juga
ditemukan pada 20-40% serum pasien LES, > 20% pada
pasien hipertensi pulmonal primer dan > 50% serum pasien
penyakit Graves.
AntisnRNP
Anti snRNP adalah suatu auto antibodi terhadap partikel
SS-A/anti Ro
Antibodi ini mempuyai spesifisitas yang berbeda terhadap
partikel ribonucleoprotein yaitu partikel ribonucleoprotein
60 kD dan 52 kD. Antibodi Ro ditemukan pada 40-95%
sindroma Sjogren dengan manifestasi ekstraglandular
(keterlibatan neurologis, vaskulitis, anemia, limfopenia,
trombositopenia) dan 40% pasien SLE.
SS-B/anti La
Targen antigen oleh antibodi ini adalah partikel ribonucleoprotein 4 7 kD yang mempunyai peranan dalam proses
terminasi transkripsi RNA polimerase III. Antibodi ini
dijumpai pada 80% pasien sindroma Sjogren, 10% pasien
SLE dan 5% pasien skleroderma
Antisentromer
Antibodi antisentromer mempunyai target pada proses
mitosis. Antisentromer ditemukan pada 22-36% pasien
sklerosis sistemik. Antisentromer mempunyai korelasi yang
erat dengan fenomena Raynauds, CREST (Calcinosis,
Raynauds phenomenon,
esophageal dysmotility,
sclerodactily dan telengiectasia)
2470
REUMATOLOGI
PEMERIKSAAN KOMPLEMEN
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang
tidak spesifik.Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam
keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen,
kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai
mediator yang aktif untuk menghancurkanantigen tersebut.
Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang
terdiri dari 20 protein palasma dan bekerja secaraberantai
(self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah
dan fibrinolisis. Komplemen sudah ada dalam serum
neonatal, sebelum dibentuknya IgM. Dalam mobilitas
elektroforesis, termasuk kelompok alfa dan beta globulin.
Komplemen dihasilkan terutama oleh sel hati dan beredar
dalam darah sebagai bentuk yang tidak aktif (prekursor),
bersifat termolabil. Pengaktifan, berlangsung melalui dua
jalur, yaitujalur klasik (imunologik)danjalur altematif(nonimunologik). Kedua jalur berakhir dengan lisis membran
sel atau komplekAg-Ab. Jalur klasik diprakarsai oleh: Clq,
Cir, Cls, C4 dan C2. Sedangkan jalur alternatifnya
dicetuskan oleh properdin, faktor B, faktor D dan C3.
Terminal penghancurkedua jalur tersebut ialah C5-9.
Aktivasi ini, masih diimbangi oleh beberapa protein
pengatur yaitu inhibitor C 1, inaktivator C3b, protein
pengikat C4, dan faktor H. sebagai konsekuensi biologik
dari aktivitas membranolisis ini dilepaskan berbagai
subkomponen dari beberapa komponen yaitu:
Aktivitas kemotaktik oleh C3a, dan Anafilatoksin oleh
C3a dan C5a, yang melepaskan histamin dari basofil
ataupun mastosit dan seritinin dari platelet.
Aktivasi seperti kinin oleh C2 dan C4, yang bekerja
meningkatkan permebilitas vaskular dalam sistem
amplikasihumoral
Memacu fagositosis oleh C3b
Tabel 5. Penyak1t yang
Komplemen
Komplemen
C1q
C1r
C2
C3
cs
C6
C7
ca
C9
Berhubungan
dengan Def,siensi
Penya kit
SLE, glomerulonefritis. poikiloderrns
kongenital
SLE, glomerulonefritis, lupus like
syndrome
SLE
SLE,lupus diskoid
SLE,rheumatoid
vasculitis,dermatomyositis,lgA
nephropathy, subacute sclerosing
panecephalitis,scleroderma,sjogrens
syndrome.grave disease
SLE, discoid lupus, polymyositis, HenochSchonlein purpura,Hodgkins
disease,vasculitis,glomerulonefritis,hypog
ammaglobulinemia
Vasculitis, lupus like syndrome,
glomerulonefritis
SLE, infeksi Neisseria
infeksi Neisseria
SLE, rheumatoid arthritis, Raynauds
phenomenon, sclerodactyly, vasculitis,
infeksi Neisseria
SLE ,infeksi Neisseria
infeksi Neisseria
Fagositosis dapat terjadi terhadap kompleks AgAb-C3b, karena pemilikan reseptor C3b pada sel
neutrofil, makrofag, trombosit dan sel B. hal ini
memeperbesar bangunan ikatan kompleks tersebut
sehingga Jebihmempermudah pengenalan benda asing
tersebut yang akhimya mempercepat aksi pembersihan.
Dengan demikian C3b mempunyai efek ganda yaitu di
samping sebagai trigger dalam menggiring proses
penghancuran melalui jalur altematif, juga sebagai
opsonin dalam memacu proses fagositosis.Konsentrasi
C3 dan C4, ditemukanmeningkatdalam cairan saku gusi
dari gingiva yang meradang. Jadi komplemen mampu
menyingkirkankumansetelahbergabungdenganantibodi.
Pada SLE, kadar Cl,C4,C2 dan C3 biasanya rendah,
tetapi pada lupus kutaneus normal.Penurunan kadar
kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE
terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada
pasien dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen
terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.
REFERENSI
Breedveld F. New Insight in the pathogenesis of RA. J. Rheumatol
25; 1998: 3-7.
Cohen A S. Laboratory diagnostic procedures in the rheumatic
diseases. Grune & Stratton, Inc. Sidney, Tokyo 1985.
Dunne J. V, Carson DA, Spiegelberg H, dkk. IgA Rheumatoid factor
in the sera and saliva of patient, with RA and Sjogren syndrom.
Ann. Rheum Dis. 38; 1979: 161.
Edmonds J. Immunological Mechanism and Investigations, in
Rheumatic Disorders Med Int. 1985:896-900
Feltkamp TEW. Immunopathogenese van Rheumatoide arthritis.
Het Medischyaar 1981. Utrech : Scheltme & Holkema, 1980:
452-464.
Klein F, Bronsveld W, Norde W, dkk. A modified Latex Fixation Test
of the detection of Rheumatoid factors. J Clin Path 1979; 32: 90.
H H Chng. Laboratory test, in rheumatic diseases Singapore med J.
1991; 32: 272-275.
Klippel JH, Crofford LJ, Stone JH, Weyand CM in Primer on
Rheumatic Disease 12'h ed,Atlanta,Arthritis Fondation 2001.
Kalim H, Handono K, Arsana PM ed in Basic Imrnuno Rheumatolo gy, Malang, Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, 200
Maddison, P J. the use of the laboratory in diagnostic rheumatology.
Proc 4'h Asean congress of rheumatology Singapore 1993:
117-122.
Monestier. M, Bellon B, Manheimer dkk, Rheumatoid factor Ann N
Y Acad. Sc 475; 1986: 107.
N.G. Suryadhana. dkk Membandingkan
basil lateks dan tes
hemaglutinasi dalam diagnosis penyakit reumatoid arthritis.
Kopapdi V, 1981: hat 1675-1691.
Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Budd RC, Sergent JS in Kelleys
Textbook Of Rheumatology 61h ed,Philadelphia,WB saunders
Company,200 I.
Raitt I. Essential Immunology. Oxford: Blackwell Science. 1997:
399-405
Rose NR. The use of autoantibodies. In. Peter JB, Shoenfeld Y, eds:
Autoantibodies. Elsevier Sciences B.V. 1996: xxvii-xxix
PEMERIKSAANCPR,
FAKTORREUMATOID,AUTOANTIBODI
DAN KOMPLEMEN
2471
389
NYE RI
Bambang Setiyohadi, Sumariyono, Yoga I. Kasjmir, Harry Isbagio, Handono Kalim
TERMINOLOGI NYERI
2484
Anestesia dolorosa, yaitu nyeri yang timbul di daerah yang
hipoestesi atau daerah yang didesensitisasi.
Neuralgia yaitu nyeri yang timbul di sepanjang distribusi
suatu persarafan. Neuralgia yang timbul di saraf skiatika
atau radiks Sl, disebut Skiatika. Neuralgia yang tersering
adalah neuralgia trigeminal.
Nyeri somatik
Nyeri nosiseptifi
{
Nyeri viseral
Nyeri
Nyeri neuropatik
Nyeri non-nosiseptif
{
Nyeri psikogenik
KLASIFIKASI NYERI
Nyeri nosiseptif, adalah nyeri yang timbul sebagai akibat
perangsangan pada nosiseptor (serabut a-delta dan
serabut-c) oleh rangsang mekanik, termal atau kemikal.
Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non
viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metastatik, nyeri
tulang, nyeri artritik.
Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ viseral,
biasanya akibat distensi organ yang berongga, misalnya
usus, kandung empedu, pankreas, jantung. Nyeri viseral
seringkali diikuti referred pain dan sensasi otonom, seperti
mual dan muntah.
Nyeri neuropatik, timbul akibat iritasi atau trauma pada
saraf. Nyeri seringkali persisten, walaupun penyebabnya
MEKANISME NYERI
Proses nyeri mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus
noxiuos sampai terjadinya pengalaman subyektif nyeri
adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bisa
dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu: transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi.
Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi
nociceptor oleh stimulus noxiuos pada jaringan, yang
kemudian akan mengakibatkan stimulasinosiseptor dimana
disini stimulus noxious tersebut akan dirubah menjadi
postensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi
reseptor. Selanjutnya potensial aksi tersebut akan
ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang
berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi
adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke komu
dorsalis medula spinalis, pada komu dorsalis ini neuron
aferen primer bersinap dengan neuron susunan sarap
pusat. Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik keatas
di medula spinalis menuju batang otak dan talamus.
Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara talamus
dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi
respons persepsi dan afektif yang berhubungan dengan
nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptifptif tidak selalu
menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri
bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptifptif. Terdapat proses
modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri
tersebut, tempat modulasi sinyal yang paling diketahui
adalah pada komu dorsalis medula spinalis. Proses terakhir
adalah persepsi, dimana pesan nyeri di relai menuju ke
otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak
menyenangkan.
2485
NYERI
Cortex Th.atamus
- -
:
Anterolateral
fasciculus
spinothalamic
1
spinoreticular
sp llc
non;e5sncepha
Pa
l nenta
Medula Spinalis
Komu dorsalis medula spinalis merupakan relay point
pertama yang membawa informasi sensoris ke otak dari
perifer. Gray matter mengandung badan sel saraf dari
neuron-neuron spinalis dan white matter mengandung
axon yang naik atau turun dari otak. Rexed membagi gray
mattermenjadi 10 lamina.Lamina I - VI terdapatpada komu
dorsalis dan mengandung interneuron yang merelay
informasi sensoris menuju ke otak .
Pada kornu dorsalis serabut aferen nosisepsi
membentuk hubungan dengan neuron-neuron proyeksi
atau intemeuron inhibisi atau eksitasi lokal untuk mengatur
aliran informasi nosisepsi ke pusat yang lebih tinggi.
Terdapat 3 kategori neuron pada kornu dorsalis yaitu
neuron proyeksi, interneuron eksitasi dan interneuron
inhibisi. Neuron proyeksi bertanggung jawab untuk
membawa signal aferen ke pusat yang lebih tinggi, yang
terdiri dari 3 tipe neuron yaitu nocicptive-spesific cells
(NS), low treshold (LT) neuron dan wide dynamic range
(WDR) neuron.
parttoneum
orplwra
NEUROTRANSMITERPADAKORNU DORSALIS
Dorsal root ganglion - - - -
Conduction
velocity
(mis)
Neuron
diameter
(m)
Aa
A~
Ay
Ao
B
60-120
50-70
35-70
5-30
3-30
<3
12-22
4-12
4-12
1-5
1 5-4
< 1.5
Characteristics
Skeletal motor (M)
Touch, vibration, light pressure (M)
lntrafusal proprioception (M)
Primary nociceptive afferent (M)
Autonomic preganglionic (M)
Primary nociceptive afferent (unM)
Autonomic eostganglionic (unM)
,,
Aspek Perifer Nosisepsi
Terdapat 2 tipe serabut sarafaferen primer nosiseptifyaitu
serabut A' dan serabut C. Dua fungsi utama serabut saraf
aferen primer adalah transduksi stimulus dan transmisi
stimulus menuju susunan saraf pusat. Badan sel dari
neuron-neuron ini terdapat pada ganglion radix dorsalis.
Axon dari neuron ini memiliki dua cabang yaitu yang
menuju perifer, yang bagian terminalnya sensitifterhadap
stimulus noxious; dan cabang lainya yang menuju susunan
saraf pusat, dimana kemudian akan bersinap dengan
2486
Di TingkatOtak
Terdapat beberapa nukleus pada talamus lateral yaitu
nukleus ventral posterior lateral, nukleus ventral
posterior medial, nukleus ventral posterior inferior dan
bagian posterior dari nucleus ventromedial; serta di daerah
medial talamus yaitu talamus centrolateral, bagian
ventrocaudal dari nukleus dorsomedial dan nukleus para
fasikular yang berperanan pada proses nyeri. Didaerah
kortex cerebri yang memiliki fungsi nosisepsi adalah
korteks somatosensor primer, somatosensor sekunder serta
daerah disekitamya di parietal operculum, insula, anterior
cingulate cortex dan korteks prefrontal.
MODULASI NOSISEPTIF
Terdapat beberapa tempat modulasi nyeri, tetapi yang
paling banyak diketahui adalah pada komu dorsalis medula
spinalis. Eksitabilitas neuron-neuron di medula spinalis
tergantung dari keseimbangan dari input yang berasal dari
nosiseptor aferen primer, neuron intrinsik medula spinalis
dan descending system yang berasal dari supra spinal.
KONTROL SEGMENTAL(SPINAL)
Modulasi pada tingkat spinal aktivitas nosiseptif
melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental,
keseimbangan aktivitas antara input nosiseptif dan input
aferen lainya serta descending control mechanism.
Reseptor opioid merupakan tempat kunci dalam
analgesia. Mekanisme analgesi utama dari opioid adalah
melalui inhibisi presinap dari injury-evoked neurotransmitter release dari neuron nosiseptif aferen primer (lebih
dari 70% dari total OP3 (Y.) receptor site terdapat pada
terminal aferen primer). Opioid endogen tampaknya juga
menyebabkan inhibisi postsinap neuron nociresponsive
komu dorsalis. Transmisi input nosiseptif pada medula
spinalis bisa dihambat oleh aktivitas segmental dan
aktivitas neuron descenden dari pusat supraspinal. GABA
dan glisin berperan penting pada inhibisi segmental nyeri
di medula spinalis. GABA memodulasi transmisi aferen
informasi nosiseptif melalui mekanisme presinap dan
postsinap. Konsentrasi terbesar GABA adalah pada kornu
dorsalis, dimana disini merupakan neurotransmiter inhibisi
utama. Mekanisme modulasi informasi nosiseptif glisin di
kornu dorsalis adalah melalui inhibisi postsinap.
REUMATOLOGI
Inhibitory
interneuron
Aa/A~fiber
Gate ControlTheory
Aktivitas neuron di medula spinalis yang menerima input
dari serabut nosiseptif dapat dimodifikasi oleh input dari
neuron aferen non-nosiseptif. Konsep ini diperkenalkan
oleh Melzac dan Wall pada 1965 sebagai gate control
theory. Menurut teori ini aktivitas pada serabut aferen A~
menghambat respons neuron komu dorsalis dari input
NYERI INFLAMASI
Pada proses inflamasi, misalnya pada artritis, proses nyeri
terjadi karena stimulus nosiseptor akibat pembebasan
2487
NYERI
NYERI PSIKOGENIK
2488
yang menyebutkan 3 bulan dan ada yang menyebutkan 6
bulan sejak mulainya nyeri digunakan sebagai batas nyeri
akut dan kronik. Batasan lain nyeri kronik adalah nyeri
yang terus berlangsung melebihi periode penyembuhan
cedera jaringan. Batasan ini relatiftidak tergantung pada
batasan waktu, tetapi sayangnya berapa lama proses
penyembuhan itu berlangsung masih belum begitu pasti.
Penulis lain mengartikan nyeri kronik sebagai nyeri yang
menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri yang membutuhkan
waktu perbaikan yang lebih lama dari yang seharusnya
atau yang norma.
Nyeri akut biasanya dicetuskan oleh cedera jaringan
tubuh dan aktivasi nociceptor pada tempat kerusakan
jaringan. Secara umum nyeri akut akan berakhir selama
waktu yang singkat dan sembuh bila kelainan yang
mendasari sudah sembuh.
Nyeri kronik biasanya dicetuskan oleh cedera tetapi
mungkin diperberat oleh faktor-faktor yang baik secara
patogenesis maupun fisikjauh dari penyebab aslinya. Pada
nyeri kronik, karena nyeri terus berlangsung tampaknya
faktor lingkungan dan afektif akhimya berinteraksi dengan
kerusakan jaringan, yang berpengaruh pada terjadinya
persistensi nyeri dan perilaku nyeri.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian
depresi pada pasien nyeri kronik dan kejadian nyeri kronik
pada pasien depresi lebih tinggi dibanding populasi umum.
Pada penelitian epidemiologi di Kanada, yang meneliti
prevalensi dan korelasi depresi mayor pada pasien nyeri
pinggang kronik didapatkan bahwa depresi mayor 5,9%
pada populasi yang tidak nyeri dan 19,8% pada populasi
nyeri pinggang kronik6 Pada penelitian inijuga didapatkan
orang-orang dengan nyeri pinggang kronik 6.2 kali
kemungkinan untuk depresi dari pada orang yang tidak
nyeri. Demikianjuga sebaliknya angka kejadian nyeri pada
pasien depresi lebih tinggi (30-60%) dari pada orang yang
tidak depresi. Tetapi penelitian penelitian tersebut tidak
menjelaskan apakah depresi menyebabkan nyeri kronik
atau sebaliknya nyeri kronik yang menyebabkan depresi5
Terdapat beberapa teori yang berusaha menjelaskan
hubungan antara depresi dan nyeri kronik yaitu teori
biologi, psikologi dan sosiologi. Pada makalah ini akan
dibahas mekanisme kaitan nyeri kronik dan depresi dari
sudut pandang teori biologi.
REUMATOLOGI
Sensitivitas Nyeri
2489
NYERI
lntensitas Nyeri
Kualitas Nyeri
Gunakan terminologi yang dikemukakan oleh pasien itu
sendiri seperti nyeri tajam, seperti terbakar, seperti tertarik,
nyeri tersayat dan sebagainya.
Pengaruh nyeri
Dampak nyeri yang perlu ditanyakan adalah seputar
kualitas hidup atau terhadap hal-hal yang lebih spesifik
seperti pengaruhnya terhadap pola tidur, selera makan,
enerji, aktivitas keseharian (activities of the daily living),
hubungan dengan sesama manusia (lebih mudah
tersinggung dan sebagainya) atau bahkan terhadap mood
(sering menangis, marah atau bahkan berupaya bunuh diri),
kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan atau pembicaraan
dan sebagainya.
PENGUKURANNYERI
Kesulitan dalam mengukur rasa nyeri ini disebabkan oleh
tingkat subyektivitas yang tinggi dan tentunya memberikan
perbedaan secara individual. Di samping itu sebagaimana
dikemukakan pada kajian awal terhadap nyeri di atas, belum
terdapat metoda yang baku baik klinis maupun
menggunakan alat atau pemeriksaan yang dapat diterapkan
pada semua jenis nyeri. Sebagai salah satu contoh sulitnya
mengukur nyeri adalah ketidaktepatan
apa yang
dikemukakan oleh pasien, misalnya kesulitan pasien
mendapatkan kata yang tepat dalam mendeskripsikan rasa
nyeri, kebingungan, kesulitan mengingat pengalaman, dan
penyangkalan terhadap intensitas nyeri.
Pengukuran nyeri seyogyanya dilakukan seobyektif
mungkin dan dapat menggunakan beberapa metoda
pengukuran dan terbanyak adalah dengan kwesioner serta
observasi pola perilaku terkait dengan rasa nyeri. Kategori
pengukuran nyeri beragam sekali namun yang termudah
2490
REUMATOLOGI
No
pain
I
Mild
I
Moderate
Severe
Worst
possible
pain
I
10
I
Worst
possible
pain
No
pain
11
I I
1
110 11
2491
NYERI
Extreme
pain
No
pain1--M-i-ld
No
pain
M_o_d-er_a_t
S_e_v_e-re---1
I Extreme
pain
1----------------il
Extr~n,e
M i I d M o d e tr a Se v e re
pain
No change
Extremal
No
pain 1-S-e_v_e-re----------Sp-lalgin_h_l--1
@@@
Pada skala ini digambarkan garadasi emosional mulai
dari keadaan gembira sampai kesedihan yang dialami
pasien.
Pada dasarnya kedua jenis pengukuran di atas
merupakan pengukuran terhadap skala nyeri (pain scale).
Hingga saat ini terdapat 40 instrurnen yang potensial
dipakai dalam pain scale tersebut. Adapun berbagai
pengukuran nyeri yang sering dijumpai adalah: verbal
rating scale, VAS, numerical rating scale, wisconsin brief
pain questionaire (Dout 1983) yang digunakan untuk
mengukur nyeri pada saat nyeri hebat, berapa lama
bertahan, rerata rasa nyeri dan nyeri saat ini, serta dampak
nyeri pada fungsi dan hasil pengobatan; memorial pain
questionaire (Fishman 1987) berupa kartu dua sisi dimana
salah satu sisi menggambarkan intensitas nyeri dan mood
pasien dan sisi lain merupakan modifikasi Tursky.
Pengukuran Nyeri Secara Multi-dimensional
Pengukuran nyeri dengan cara ini memberikan skala pada
2492
PENATALAKSANAAN NYERI DENGAN OBATOBATAN
Terapi obat yang efektifuntuk nyeri seharusnya memiliki
risiko relatif rendah, tidak mahal, clan onsetnya cepat. WHO
menganjurkan tiga langkah bertahap dalam penggunaan
analgesik. Langkah l digunakan untuk nyeri ringan dan
sedang, adalah obat golongan non opioid seperti aspirin,
asetaminofen, atau AINS, ini diberikan tanpa obat
tambahan lain. Jika nyeri masih menetap atau meningkat,
langkah 2 ditambah dengan opioid, untuk non opioid
diberikan dengan atau tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri
terus-menerus atau intensif, langkah 3 meningkatkan dosis
potensi opioid atau dosisnya sementara dilanjutkan non
opioid dan obat tambahan lain.
Dosis pengobatan harus dijadwal secara teratur untuk
memelihara kadar obat dan mencegah kambuhnya nyeri.
Dosis tambahan yang onsetnya cepat dan durasinya
pendek, digunakan untuk nyeri yang menyerang tiba-tiba.
Obat-Obatan Untuk Nyeri RinganSampai Sedang
Banyak orang dapat mengelola sakit dan nyeri dengan
analgesik OTC, termasuk aspirin, asetaminofen, dan
ibuprofen atau naproksen pada dosis 200 mg dosis
formulasi. Untuk nyeri yang sedang, salisilat, AINS, atau
asetaminofen dosis yang lebih tinggi sering sudah
memadai, jika tidak dokter dapat meresepkan obat-obatan
seperti kodein atau oksikodon.
Aspirin. Aktivitas aspirin terutama disebabkan oleh
kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin.
Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara
irreversibel (prostaglandin sintetase), senyawa yang
mengkatalisisperubahan asam arakidonatmenjadi senyawa
endoperoksida, pada dosis tepat, obat ini akan menurunkan
pembentukan prostaglandin maupun tromboksanA2 tetapi
tidak leukotrien. Sebagian besar dari dosis anti-inflamasi
aspirin akan cepat dideasetilasi membentuk metabolit aktif
salisilat yang menghambat sintesis prostaglandin secara
reversibelAspirinumumnya digunakansebagai obat pilihan
pertama untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang,
aspirin ini merupakan antipiretik efektif dan agen anti
inflamasi. Efek analgesik dapat dicapai pada dosis yang
lebih rendah dibanding efek anti inflamasinya. Aspirin
tersedia dalam berbagai bentuk sediaan oral, yaitu 81; 325;
dan 500 mg. Biasanya penggunaan 1 atau 2 tablet (325-650
mg) setiap4jam saatdiperlukan,diminumdenganairminum.
Iritasi gastrointestinal dapat dikurangi dengan makanan
dan antasida. Aspirin dalam bentuk enteric coated yang
mana lebih mahal (Ecotrin dan lain-lain) sangat penting
untuk mencegah iritasi lambung tetapi absorbsinya lambat.
Efek samping utama aspirin terutama pada dosis tinggi atau
pemberianjangka panjang adalah iritasi lambung dan pada
pemeriksaan mikroskopik, perdarahan terjadi pada usus.
Kadang-kadang ini menjadi perdarahan gastrointestinal
REUMATOLOGI
NYERI
2493
mg setiap 4-6 jam pada tablet yang mengandung aspirin
325 mg atau 500 mg.
Meperidin. Meperidin 50-150 mg secara oral atau
intramuskulersetiap3-4jam memberikanefekanalgesikyang
sama seperti morfin pada nyeri akut tetapi sebaiknya
dihindari pada nyeri kronik yang berat karena durasi
kerjanya pendek dan pada insufisiensi renal karena
akumulasi toksik metabolit obat ini mencetuskan kejang.
Tramadol. Tramadol adalah analgesik atipikal dengan
gambaranopioiddan non opioid,mempunyaikerja rangkap.
Tramadol dan metabolitnya mengikat reseptor opioid:
tramadol bekerja seperti trisiklik dan antidepresan untuk
memblok pengambilan kembali norepinefrindan serotonin.
Dosisyang dianjurkanadalah50-100mg tiap 4-6jam sampai
dosis total 400 mg/hari (maksimwn 300 mg/haripada pasien
umur 75 tahun atau lebih).
Obatan-obatan Adjuvant untuk Mengontrol Nyeri
Kortikosteroid sangat membantu manajemen nyeri kanker.
Deksametason 16-96 mg/hari secara oral atau intravena
atau prednison 40-100 mg/hari secara oral mempunyai
aktivitas antiinflamasi dan mengurangi edema serebral dan
medula spinalis. Karena obat-obatan ini mempunyai efek
anti emetik dan menstimulasi nafsu makan, ini
menguntungkanuntuk penanganan kakeksia dan anoreksia.
Antikonvulsi (misalnya Fenitoin 300-500 mh/hari per
oral, Carbamazepin 200-1600 mg/hari per oral, Gabapentin
900-1800 mg/hari per oral), antidepresan (misalnya
Amitriptilin atau Desipramin 25-150 mg/hari per oral), dan
anestesi lokal (misalnya Bupivacaine) sangat berguna
pada manajemen nyeri neuropati. Antikonvulsan generasi
baru, Gabapentin (neurontin) meningkatkan kadar
gamaaminobutirat otak, efektif untuk nyeri neuropati secra
Iuas.Neuroleptik(misalnyaMetotrimeprazin40-80 mg/hari
intramuskuler) membantu pada sindroma nyeri kronik
karena mempunyai efek antiemetik dan anti cemas.
2494
TerapiStimulasi
ENS (Trans Cutaneous Electrical Stimulation)
menggunakan bantal khusus yang dihubungkan
dengan mesin kecil yang menghantarkan aliran listrik
lemah ke permukaan kulit dari area nyeri
Akupuntur
ProgramManajemenNyeri dan Bantuan Psikologi
Merupakan program rehabilitasi berdasarkan psikologi
untuk pasien dengan nyeri kronik yang tidak pulih dengan
metode terapi. Program ini bertujuan untuk mengurangi
disabilitas dan distress yang disebabkan oleh nyeri kronik
melaluipengajaran fisik,psikologis dan teknispraktis untuk
memperbaikikualitasnyeri. Programini meliputipemulihan
fisik, penerapan teknik relaksasi, informasi dan edukasi
tentang nyeri dan manajemennya, penatalaksanaan
psikologis dan intervensi (terapi kognitif), bersamaan
dengan pemulihan aktivitas harian secara bertahap.
Pembedaban.Padabeberapakasus,terapibedah diperlukan
untuk mengurangi nyeri kronik. Terapi ini merupakan lini
terakhiryang dilakukanbila semuausaha untuk mengurangi
nyeri gagal.
REUMATOLOGI
REFERENSI
Basbaum A. Anatomy and Physiology of Nociception. In: Kanner R
(ed). Pain Managemen secrets. 9'h ed. Hanley & Belfus Inc.
Philadelphia, 1997:8-12
Bellamy N. Musculoskeletal clinical metrology. London: Kluwer
Academic Publisher. 1993: 65-76 dan 117-134.
Beaulieu P, Rice ASC. Applied physiology of nociception. In :
Rowbotham DJ, Macintyre PE : Clinical pain management,
Acute pain. 2003 : 1-16.
Currie SR, Wang JL. Chronic back pain and major depression in
general Canadian population. Pain 2004 ; 107 :54-60.
Handono K, Kusworini H. Penatalaksanaan nyeri yang rasional.
Kursus penatalaksanaan nyeri. Jakarta 2004 : 3-8.
IASP Task Force on Taxonomy. Merskey H, Bogduk N. Eds.
Classification of chronic pain. Seattle: IASP Press. 1994:
209-214.
Meliala KRT. L. Terapi rasional nyeri, Tinjauan khusus nyeri
neuropatik. 2004.
Sullivan MD, Turk DC. Psychiatric illness, depression, and
psychogenic pain. In : Bonicas, Management of pain. 3rd
edition . 2001 : 483-500.
Turk DC, Okifuji A. Pain terms and taxonomi of pain. In : Bonicas,
Management of pain. 3rd edition. 2001 :17-25
390
ARTRITIS REUMATOID
I Nyoman Suarjana
PENDAHULUAN
ETIOLOGI
Faktor genetik
Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat
interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap
kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi
penyakit sebesar 60 %. Hubungan gen HLA-DRB 1 dengan
kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun
beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR
sepertidaerah 18q21 dari gen TNFRSRl lAyang mengkode
aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-KB). Gen
ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor
genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena
aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme
methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor
genetik. 9 10 Pada kembar monosigot mempunyai angka
kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30% dan
2496
REUMATOLOGI
FAKTOR RISIKO
PATOGENESIS
Mekanisme patogenik
lnfeksi sinovial langsung,
superantigen
lnfeksi sinovial langsung
lnfeksi sinovial langsung
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Aktifasi makrofag
2497
ARTRmS REUMATOID
MHCcta&&
ti
( oenet:IO$l..UIC-ept:ll)ltf1V)
co..._
,c:;iii- ......
01'
Tc.en
B....cU
octJvo:llDn
onnnifa1'1
rhunu:!llpfc;l
~.or
ln-.m1.st
OOTnpllJC
l
ro.nn atton
.and
duioaltlcN
AIO.Cl1N:.t
or
c:vtukln
=t=~t
+
Fll)rObll'l:lli1:9,
Chrondroovt.svnov1.nl 011:1Us
---o--
Prc;tlH.er.n:,IO n
C:'~~-~=Cl:c:;.:.r:~~::--*:::::O
E.Kpr
..
s.lOn
of ad.h~n
rnol. cuJo
Aocv.1nt.(O
I .l10f'I
Of
lnftAJT11natot-y
"""''
p~a,'.;g
.....~,tl-ruu.P.on-n<u-s --r-or-m-a-uo-.,-,.-d----------~---~
esb"ucUon
01 bone. earfllaQe;
flbra-9h!t.; anlcYIOSls
Gambar 2. Patogenesis artritis reumatoid.
fl"toct~'O" OI irnU1Uop,~
~
ottt4tr. aO.aor
mol-.::ut
._.,
MIOfa't.tt>f"I
of
,.._.1vrnots>h.Of'lua~
no
o.JI
Pera'n sel T
Induksi respon sel T pada artritis reumatoid di awali oleh
interaksi antara reseptor sel T dengan share epitope dari
major histocompatibilitycomplex class II (MHCII-SE) dan
peptida pada antigen-presenting cell (APC) sinovium atau
sistemik. Molekul tambahan (accessory) yang
diekspresikan oleh APC antara lain ICAM-1 (intracellular adhesion molucle-1) (CD54), OX40L (CD252),
inducible costimulator (ICOS) ligand (CD275), B7-l
(CD80) dan B7-2 (CD86), berpartisipasi dalam aktivasi sel
T melalui ikatan dengan lymphocyte function-associated
antigen (LFA)-1 (CD1la/CD18),0X40 (CD134),
2498
REUMA10LOGI
Peran sel B
Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui
secara pasti, meskipun sejumlah peneliti menduga ada
beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B.
Keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui
mekanisme sebagai berikut:
I. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal
kostimulator yang penting untuk clonal expansion dan
fungsi efektor dari sel T CD4+.
2. Sel B dalam membran sinovialARjuga memproduksi
sitokin proinflamasi seperti TNF-a dan kemokin.
3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang
memproduksi faktor reumatoid (RF). AR dengan RF
positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit
artikular yang lebih agresif, mempunyai prevalensi
manifestasi ekstraartikular yang lebih tinggi dan angka
Inductive
(Systemic
Phase
Effector
or Local)
II
Gambar 4. lnteraksi sel Th17 patogenik dalam synovial microenvironment pada artritis reumatoid
Phase
2499
ARTRITIS REUMATOID
T'ole rnnt.
T cells
)
munoco~
TNF"C'L ,.ILIL6. l_f"N-y
II - 17
/ I
Fe
r9cep~r
tnrg-el
COi.t8
MANIFESTASI KUNIS
Awitan (onset)
Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara
perlahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang
lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang
lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa
minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan
fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15%
penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian
tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh
kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama
satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai
gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan,
anoreksia dan demam ringan.
Manifestasi artikular
PenderitaAR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri
dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga
penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa
sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi
(nyeri,bengkak, kemerahan dan teraba hangat) mungkin
ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan
!_flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin
tidak dijumpai padaAR yang kronik.
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu
adanya inflamasi pada membran sinovial yang
mernbungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena
adalah persendian tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi
persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena.
Frekuensi
keterlibatan (%)
85
80
75
75
75
75
60
60
50
50
50
40
30
30
Manifestasi Ekstraartikular
Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama,
2500
tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga banyak
penderita juga mempunyai manifestasi ekastraartikular.
Manifestasi ekastraartikular pada umumnya didapatkan
pada penderita yang mempunyai titer faktorreumatoid (RF)
serumtinggi. Nodul reumatoidmerupakan manifestasikulit
yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak
memerlukan intervensikhusus.Nodul reumatoid umumnya
ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon
achilles atau bursa olekranon. Nodul reumatoid hanya
ditemukan pada penderita AR dengan faktor reumatoid
positif (sering titemya tinggi) dan mungkin dikelirukan
dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau
nodul yang berhubungan dengan demam reumatik, lepra,
MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis.
Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa
perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi.
Beberapa manifestasi ekstraartikuler seperti vaskulitis dan
Felty syndrome jarang dijumpai, tetapi sering memerlukan
terapi spesifik. Manifestasi ekstraartikular AR dirangkum
dalam Tabel 3.
REUMATOLOGI
Tabel 4. Bentuk-bentuk
Reumatold
Deformitas
pada
Artritis
Bentuk deforrnitas*
Keterangan
Deviasi ulna
Deformitas kunci piano (pianokey)
Deformitas Z-thumb
Arthritis mutilans
Hallux valgus
Tabel 3. Manifestasl Ekastraart1kulardari Artritis Reumatoid
Sistem organ
Manifestasi
Demam, anoreksia, kelelahan (fatigue),
Konsntuslonal
kelemahan, limfadenopati
Kulil
Nodul rematoid, accelerated
rheumatoid nodulosis, rheumatoid
vasculitis, pyoderma gangrenosum,
interstitial granulomatosus dermatitis
with arthritis, palisaded neutrophilic dan
granulornatosis dermatitis, rheumatoid
neutrophilic dermatitis, dan adult-onset
Still disease.
Mata
Sjogren syndrome (keratoconjunctivits
sicca), scleritis, episcleritis,
sclerornalacia.
Kardiovaskular
Pericarditis, efusi perikardial,
edokarditis, valvulitis.
Paru-paru
Pleuritis, efusi pleura, interstitial
fibrosis, nodul reumatoid pada paru,
Caplan's syndrome (infiltrat nodular
pada paru dengan pneumoconiosis).
Hematologi
Anemia penyakit kronik, trornbositosis,
eosinofilia, Felty syndrome ( AR
dengan neutropenia dan splenomegali).
Sjogren syndrome (xerostomia),
Gastrointestinal
amyloidosis, vaskulitis.
Entrapment neuropathy,
Neurologi
myelopathy/myositis.
Amyloidosis, renal tubular acidosis,
Ginjal
interstitial nephritis.
Osteoporosis.
Metabolik
Deforrnitas
KOMPLIKASI
2501
ARTRITIS REUMATOID
Keterangan
Anemia
Berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit; 75% penderita AR mengalami anemia karena
penyakit kronik dan 25% penderita tersebut memberikan respon terhadap terapi besi.
Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan; kejadian limfoma dan leukemia
2 -3 kali lebih sering terjadi pada penderita AR; peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid;
penurunan risiko terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan karena penggunaan OAINS.
1/3 penderita AR mungkin mengalami efusi perikardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan;
miokarditis bisa terjadi, baik dengan atau tanpa gejala; blok atrioventrikular jarang ditemukan.
Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas, hati-hati
bila melakukan intubasi endotrakeal; mungkin ditemukan hilangnya lordosis servikal dan
berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6, penyempitan celah sendi pada
foto sevikal lateral. Myelopati bisa terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada ekstremitas
atas dan parestesia.
Episkleritis jarang terjadi.
Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena, terhubungnya bursa dengan kulit.
Umumnya merupakan efek dari terapi AR
Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal; deformitas boutonniere (fleksi PIP dan
hiperekstensi DIP); deformitas swan neck (kebalikan dari deformitas boutonniere); hiperekstensi
dari ibu jari; peningkatan risiko ruptur tendon
Beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain : frozen shoulder, kista popliteal, sindrom
terowongan karpal dan tarsal
Nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan pembentukan lesi kavitas; Bisa ditemukan
inflamasi pada sendi cricoarytenoid dengan gejala suara serak dan nyeri pada laring; pleuritis
ditemukan pada 20% penderita; fibrosis interstitial bisa ditandai dengan adanya ronki pada
pemeriksaan fisik (selengkapnya lihat Tabel 6)
Ditemukan pada 20 -35% penderita AR, biasanya ditemukan pada permukaan ekstensor
ekstremitas atau daerah penekanan lainnya, tetapi bisa juga ditemukan pada daerah sklera, pita
suara, sakrum atau vertebra.
Bentuk kelainannya antara lain : arteritis distal, perikarditis, neuropati perifer, lesi kutaneus,
arteritis organ viscera dan arteritis koroner; terjadi peningkatan risiko pada : penderita perempuan,
titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam DMARD;
berhubungan
dengan
peningkatan
risiko
terjadinya
infark
miokard.
Kanker
Komplikasi kardiak
Nodul reumatoid
Vaskulitis
Usual interstitial pneumonia, Nonspecific interstitial pneumonia, Organizing pneumonia, Lymphocytic interstitial
pneumonia, Diffuse alveolar damage, Acute eosinophilic pneumonia, Apical fibrobullous disease, Amyloid, Rheumatoid
nodules
Pulmonary vascular disease
Pulmonary hypertension, Vasculitis, Diffuse alveolar hemorrhage with capillaritis
Secondary pulmonary complications
Opportunistic infections
2502
REUMATOLOGI
MRI
Anticyc/ic citrullinated peptide
antibody (anti-CCP)
Anti-RA33
Antinuclear antibody (ANA)
Konsentrasi komplemen
lmunoglobulin (lg)
Pemeriksaan cairan sendi
Fungsi ginjal
Urinalisis
Sensitivitas
(%)
55
45
Spesifisitas
(%)
89
96
PPV"
(%)
84
92
41
28
98
90
96
74
KRITERIA DIAGNOSTIK
Pada penelitian klinis, AR didiagnosis secara resmi dengan
menggunakan tujuh kriteria dariAmerican CollegeofRheumatology seperti tampak pada Tab el 9. Pada penderita AR
stadium awal ( early) mungkin sulit menegakkan diagnosis
definitif dengan menggunakan kriteria ini. Pada kunjungan
awal, penderita harus ditanyakan tentang derajat nyeri,
durasi dari kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan
fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk
mengamati adanya ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas.
Liao dkk" melakukan modifikasi terhadap kriteria ACR
dengan memasukkan pemeriksaan anti-CCP dan membuang
DIAGNOSIS BANDING
AR harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya
seperti artropati reaktifyang berhubungan dengan infeksi,
spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat
lainnya seperti lupus eritematosus sistemik (LES), yang
mungkin mempunyai gejala menyerupai AR. Adanya
kelainan endokrin juga harus disingkirkan. Artritis gout
jarang bersama-sama dengan AR, bila dicurigai ada artritis
gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan.
PROGNOSIS
Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara
lain : skor fungsional yang rendah, status sosialekonomi
2503
ARTRITIS REUMATOID
Definlsi
Ada
Tidak ada
39
14
32
13
33
12
29
17
50
25
74
13
79
21
2504
radiologis hams dilakukan secara rutin. Status fungsional
bisa dinilai dengan kuesioner, seperti Arthritis Impact
Measurement Scale atau Health Assessment Questionnaire. Perlu ditentukan apakah penurunan status
fungsional akibat inflamasi, kerusakan mekanik atau
keduanya, karena strategi terapinya berbeda.
Ada beberapa instumen yang digunakan untuk
mengukur aktivitas penyakit AR antara Jain : Disease
Activity Index including an 28-joint count (DAS28),
Simplified Disease Activity Index (SDAI), European
REUMATOLOGI
+ 0.28 x V (swollen28) +
Keterangan :
KRITERIA PERBAIKAN
American College Of Rheumatology (ACR) membuat
kriteria perbaikan untukAR, tetapi kriteia ini lebih banyak
dipakai untuk menilai outcome dalam uji klinik dan tidak
dipakai dalam praktek klinik sehari-hari. Kriteria perbaikan
ACR 20% (ACR20) didefinisikan sebagai perbaikan 20%
jumlah nyeri tekan dan bengkak sendi disertai perbaikan
20% terhadap 3 dari 5 parameter yaitu : patients global
assessment,physician s global assessment, penilaian nyeri
oleh pasien, penilaian disabilitas oleh pasien dan nilai
reaktan fase akut. Kriteria ini juga diperluas menjadi kriteria
perbaikan 50% dan 70% (ACR50 danACR70)
Questionnaire).
7. Nilai acute-phase reactants : yaitu kadar C-reactive
protein (CRP) atau nilai laju endap darah (LED)
DAS28 cukup praktis digunakan dalam praktek seharihari. Perhitungan DAS 28 (DAS2 8-LED) menghasilkan skala
0-9,84 yang menunjukkan aktivitas penyakit seorang
penderita AR pada saat tertentu. Nilai ambang batas
aktivitas penyakit berdasarkan skor DAS28-LED dan
DAS28-CRP tampak pada Tabel 11.
Kelebihan DAS28 adalah selain dapat digunakan dalam
praktek 'sehari-hari, juga bermanfaat untuk melakukan
titrasi pengobatan. Keputusan pengobatan dapat diambil
berdasarkan nilai DAS28 saat itu atau perubahan nilai
Tabel 11. Nilai Ambang Batas Aktivltas Penyaklt Artrltis
Reumatoid Berdasarkan Nilai DAS28-LED dan DAS28CRP
Aktivitas
Nilai DAS28-LED
Nilai DAS28-CRP
penyakit
Remisi
~2,6
_::2,3
Rendah
_::3,2
.:: 2,7
Sedang
> 3,2 s/c s 5,1
> 2,7 s/d s 4,1
Tinggi
> 5,1
> 4,1
Kriteria remisi
Menurut kriteriaACR, AR dikatakan mengalami remisi bila
memenuhi 5 atau lebih dari kriteria dibawah ini dan
berlangsung paling sedikit selama 2 bulan berturut-turut :
1. Kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari 15 menit
2. Tidak ada kelelahan
3. Tidak ada nyeri sendi (melalui anamnesis)
4. Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi
5. Tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau sarung
tendon
6. LED< 30 mm/jam untuk perempuan atau < 20 mm/jam
untuk laki-laki (dengan metode Westergren)
TERAPI
Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu
sejak timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan
menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu
sangat penting untuk melakukan diagnosis dan memulai
tempi sedini mungkin. ACRSRA mekomendasikan bahwa
2505
ARTRmS REUMATOID
TERAPI FARMAKOLOGIK
Farmakoterapi untuk penderitaAR pada umumnya meliputi
obat anti-inflamasi
non steroid (OAINS) untuk
mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau
intraartikular dan DMARD. Analgetik lainjuga mungkin
digunakan seperti acetaminophen, opiat, diproqualone dan
lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik
untuk AR menggunakan pendekatan piramid yaitu :
pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai saat
diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau
penambahan terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan
gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse
pyramid) lebih disukai, yaitu pemberian DMARD sedini
mungkin untuk menghambat perburukan penyakit.
Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat
dari beberapa penelitian yaitu : 1. kerusakan sendi sudah
terjadi sejak awal penyakit; 2. DMARD memberikan
manfaat yang bermakna bila diberikan sedini mungkin; 3.
Manfaat DMARD bertambah bila diberikan secara
kombinasi; 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia
dan terbukti memberikan efek menguntungkan.
Penderita
dengan
penyakit ringan
dan hasil
pemeriksaan radiologis normal, bisa dimulai dengan terapi
hidroksiklorokuin/klorokuin
fosfat, sulfasalazin atau
minosiklin, meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi
pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau
ada perubahan radiologis harus dimulai dengan terapi
MTX. Jika gejala tidak bisa dikendalikan secara adekuat,
maka pemberian leflunomide, azathioprine atau terapi
kombinasi (MTX ditambah satu DMARD yang terbaru)
bisa dipertimbangkan. Katagori obat secara individual akan
dibahas dibawah ini.
OAINS
OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi
nyeri dan pembengkakan. Oleh karena obat-obat ini
tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh
digunakan secara tunggal. PenderitaAR mempunyai risiko
dua kali lebih sering mengalami komplikasi serius akibat
penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita
osteoartritis, oleh karena itu perlu pemantauan secara ketat
terhadap gejala efek samping gastrointestinal.
Glukokortikoid
Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang
dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala
dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid
harus diberikan dalam dosis minimal karena risiko tinggi
mengalarni efek samping seperti osteoporosis, kata:rak,gejala
Cushingoid, dan gangguan kadar gula darah. ACR
merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi
glukokortikoid harus disertai dengan pemberian kalsium
1500 mg dan vitamin D 400 - 800 IU per hari. Bila artritis
hanya mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas
yang bermakna, maka injeksi steroid cukup aman dan efektif,
walaupun efeknya bersifat sementara. Adanya artritis infeksi
harus disingkirkan sebelum melakukan injeksi. Gejala
mungkin akan kambuh kembali bila steroid dihentikan,
terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga
kebanyakan Rheumatologist menghentikan steroid secara
perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk menghindari
rebound effect. Steroid sistemik sering digunakan sebagai
bridging therapy selama periode inisiasi DMARD sampai
timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi DMARD
terbaru saat ini mempunyai mula kerja relatif cepat.
DMARD
Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua
penderita AR. Pemilihan jenis DMARD harus
mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit,
pengalaman dokter dan adanya penyakit penyerta.
DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX,
hidroksiklorokuin
atau klorokuin fosfat, sulfasalazin,
leflunomide, infliximab dan etanercept. Sulfasalazin atau
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan
2506
sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat,
MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai
terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukkan bahwa
kombinasi DMARD lebih efektif dibandingkan dengan
terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur
(childbearing) harus menggunakan alat kontrasepsi yang
adekuat bila sedang dalam terapi DMARD, oleh kerena
DMARD membahayakan fetus.
Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor
terhadap enzim intraselular yang diperlukan untuk sintesis
pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide
memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur
secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang
baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun. Antagonis
TNF menurunkan konsentrasi
TNF-a,
yang
konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi
penderita AR. Etanercept adalah suatu soluble
TNF-receptor fusion protein, dimana efek jangka
panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat
dalam memperbaiki gejala, sering dalam 2 minggu
terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab,
Tabel 12. Jenis-jenis DMARD yang Oigunakan Oalam Terapi Artritis Reumatoid
DMARD
Mekanisme kerja
Oosis
Waktu
Timbulnya
Res ons
Efek Samping
NON BIOLOGIK
(Konvensional)
Hidroksiklorokuin
(Plaquenil),
Klorokuin fosfat
Menghambat: sekresi
sitokin, enzim lisosomal
dan fungsi makrofag
2-6 bulan
Methotrexate
(MTX)
7,5 - 25 mg p.o, IM
atau SC per minggu
1-2 bulan
Sulfasalazin
Inhibitor dihidrofolat
reduktase,
menghambat
kemotaksis, efek antiinflamasi melalui
induksi pelepasan
adenosin
Menghambat : respon
sel B, angiogenesis
1 - 3 bulan
Azathioprine
(lmuran)
Menghambat sintesis
DNA
2 - 3 bulan
Leflunomide
(Arava)
Menghambat sintesis
pirimidin
4 -12 minggu
Cyclosporine
Menghambat sintesis
IL-2 dan sitokin sel T
lainnya
2 - 4 bulan
2507
AIURmS REUMATOID
.
.
Mekanisme kerja
Dosis
Waktu
timbulnya
respons
Efek samping
0-Penicillamine
(Cuprimine)
Menghambat fungsi
sel T helper dan
angiogenesis
3-6
bulan
Garam emas
thiomalate
(Myochrysine)
Menghambat :
makrofag,
angiogenesis dan
protein kinase C
Menghambat
makrofag dan fungsi
PMN
25-50 mg IM
setiap 2 - 4 minggu
6-8
minggu
4-6
bulan
Antibodi TNF
(human)
40 mg SC setiap 2
minggu
Beberapa hari
-4 bulan
Antagonis reseptor
IL-1
100-150 mg SC
per hari
12-24
minggu
Auranofin
(Ridaura)
BIOLOGIK
Adalimumab
(Humira)
Anakinra
(Kineret)
Etanercept
(Enbrel)
Reseptor TNF
terlarut (soluble)
lnfliximab
(Remicade)
Antibodi TNF
(chimeric)
Rituximab
(Rituxan, Mabthera)
Antibodi anti-sel B
(CD20)
Abatacept
(Orencia)
Belimumab
Menghambat
aktivitas sel T
(costimulation
blockers)
humanized
monoclonal antibody
terhadap 8lymphocyte
stimulator (BlyS)
Tocilizumab
(Actemra TM)
Anti-/L-6 receptor
MAb
Ocrelizumab
lmatinib
(Gleevec)
Denosumab
Inhibitor protein
tirosin kinase
human monoclonal
lgG2 antibody
terhadap RANKL
human
anti-TNF-a antibody
<,
Certolizumab Pegol
(CDP870)
Ofatumumab (HuMaxCD20)
human monoclonal
anti-CD20 lgG1
antibody
25 mg SC
2 kali per minggu
atau 50 mg SC per
minggu
3 mg/kgBB IV (infus
pelan) pada minggu
ke- 0, 2 dan 6
kemudian setiap 8
minggu
1000 mg setiap 2
minggu x 2 dosis
Beberapa hari
-12 minggu
pusing, mual,
hipersensitivitas
Reaksi ringan pada tempat
suntikan, kontraindikasi
pada infeksi, demyelinisasi
Beberapa hari
-4 bulan
3 bulan*
10 mg/kgBB (500,
750 atau 1000 mg)
setiap 4 minggu
6 bulan*
1 mg, 4 mg atau 10
mg/kgBB IV pada
hari 0, 14, 28
kemudian setiap 28
hari selama 24
minggu
24 minggu*
4 mg atau 8
mg/kgBB infus
setiap 4 minggu
10 mg, 50 mg, 200
mg, 500 mg, dan
1000 mg infus pada
hari 1 dan 15
400 mg per hari
24 minggu
4minggu*
3 bulan"
60 mg atau 180mg
SC setiap 6 bulan
selama 1 tahun
1 mg; 5 mg atau 20
mg/kgBB infus
tunggal
300 mg, 700 mg
atau 1000 mg infus
pada hari O dan 14
6 bulan*
4minggu
24minggu*
2508
Tabel 12. Jenis-jenis DMARD yang Digunakan Dalam Terapi Artritis Reumatoid (Lanjutan)
DMARD
Atacicept
Golimumab
Fontolizumab
Mekanisme kerja
Dosis
Waktu
Timbulnya
respons
Efek samping
3 bulan*
16 minggu*
humanised anti-interferon
gamma antibody
Uji klinisfaseII
Keterangan :
.
.
Waktu terpendek yang ditetapkan oleh peneliti untuk menqevaluasi respon terapi
IM = intramuscular; IV = intravenous; p.o. = per oral; SC = subcutan; EBV
metalloproteinases;TB = tuberkulosis; PMN = polymorphonuclear; MAb =
.
.
.
_
.
Epstein-Barr Virus, MMPs - matnx
Terapi Kombinasi
REKOMENDASI KLINIK
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh dokter dalam
penanganan penderita AR dalam praktek klinik sehari-hari
tampak
dalam
Tabel
14.
' Tabel 13. Evaluasi Dasar yang Harus Dilakukan Sebelum Pemberian Terapi DMARD
Jenis DMARD
Non biologik
Hidroksiklorokuin/
Klorokuinfosfat
Leflunomide
Methotrexate
Minocycline
Sulfasalazine
Biologik
Semua agen biologik
*CBC = complete blood counts
Pemeriksaan
Kreatinin
Hepatitis
serum
Bdan C
CBC*
Transaminase
hati
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Oftalmologik
x
x
x
2509
ARTRITIS REUMATOID
Rekomendasi klinik
Penderita AR harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala dan
menghambat perburukan penyakit.
Penderita dengan inflamasi sendi persisten ( lebih dari 6 - 8 minggu) yang sudah
mendapat terapi analgetik atau OAINS harus dirujuk ke insitusi rujukan reumatologi, lebih
baik sebelum 12 minggu.
Melakukan edukasi satu per satu untuk penderita AR setelah diagnosis ditegakkan.
OAINS untuk meredakan gejala harus diberikan dengan dosis rendah dan harus
diturunkan setelah DMARD mencapai respons yang baik.
Gastroproteksi harus diberikan pada penderita usia > 65 tahun atau ada riwayat ulkus
peptikum.
lnjeksi kortikosteroid intra-artikular bermanfaat, tetapi tidak diberikan lebih dari 3 kali dalam
setahun.
Kortikosteroid dosis rendah efektif mengurangi gejala tetapi mempunyai risiko tinggi
terjadinya toksisitas, oleh kerena itu berikan dosis paling rendah dengan periode
pemberian yang pendek.
Efikasi terapi harus dimonitor, perubahan hemoglobin, LED dan CRP merupakan indikator
respon terapi dan penggunaan instrumen kriteria respon dari European League Against
Rheumatism bermanfaat untuk menilai perburukan penyakit.
Pendekatan secara multidisiplin bermanfaat, paling tidak dalam jangka pendek, oleh
karena itu penderita harus bisa mendapatkan perawatan profesional secara luas, yang
meliputi dokter pelayanan primer, ahli reumatologi, perawat khusus, ahli terapi fisik, ahli
occupational, ahli gizi, ahli perawatan kaki (podiatrists), ahli farmasi dan pekerja sosial.
Latihan bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas aerobik dan kekuatan otot tanpa
memperburuk aktivitas penyakit atau derajat nyeri.
2510
REFERENSI
Buch M, Emery P. The aetiology and pathogenesis of rhaumatoid
arthritis. Hospital Farm 2002;9:5-10.
Cush JJ, Kavanaugh A, Stein CM. Rheumatology Diagnosis &
Therappeutics. 2th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2005. p.323-333.
Smith HR. Rheumatoid arthritis. (dikutip tanggal 21 Oktober 2008).
Dapat diperoleh di URL : http://www.emedicine.com/med/
TOIC2024.HTM.
Rindfleisch JA, Muller D. Diagnosis and Management of
Rheumatoid arthritis. Am Fam Physician 2005;72:1037-47.
Silman AJ, Pearson JE. Epidemiology and genetics of rheumatoid
arhtritis. Arthritis Res 2002; 4 (suppl 3):S265-S272.
Mijiyawa M. Epidemiology and semiology of rheumatoid arthritis
in Third World countries. Rev Rhum Engl Ed 1995;62(2):121-6.
Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD. The epidemiology of rheumatoid arthritis in Indonesia. Br J Rheumatol
l 993;32(7):537-40.
Albar Z. Perkembangan Pengobatan Penyakit Rematik. Kajian khusus
terhadap farmakoterapi artritis reumatoid masa kini dan
perkembangannya di masa depan. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007. 54 ha!. Pidato Pengukuhan Guru
Besar.
Bowes J, Barton A. Recent advances in the genetics of RA susceptibility. Rheumalology 2008 47(4):399-402.
Turesson C, Matteson EL. Genetics of rheumatoid arthritis. Mayo
Clin Proc 2006;81(1):94-!01.
Nelson JL, Hughes KA, Smith AG, Nisperos BB, Branchaud AM,
Hansen JA. Maternal-Fetal Disparity in HLA Class II Alloantigens and the Pregnancy-Induced Amelioration of Rheumatoid
Arthritis.
N Engl
J
Med
\ 993;329:466-71.
ARTRmS REUMATOID
2511
criteria for the classification of rheumatoid arthritis. Arthritis
Rheum 1988;3 l :315-24.
Berglin E. Predictors of disease onset and progression in early rheumatoid arthritis. A clinical, laboratory and radiological study
(dikutip tanggal 12 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL :
http://www.diva-portal.org!diva/
getDocument?urn nbn se umu diva-669-2 (ulltext.pdf.
Boers M. Rheumatoid arthritis. Treatment of early disease. Rheum
Dis Clin North Am 2001;27:405-14.
Lindqvist E, Eberhardt K. Mortality in rheumatoid arthritis patients with disease onset in the 1980s. Ann Rheum Dis
1999;58:11-4.
Chehata JC, Hassell AB, Clarke SA, Mattey DL, Jones MA, Jones
PW, et al. Mortality in rheumatoid arthritis: relationship to
single and composite measures of disease activity. Rheumatology 2001 ;40:447-52.
Leeb BF, Andel I, Leder S, Leeb BA, Rintelen B. The patient's
perspective and rheumatoid arthritis disease activity indexes.
Rheumatology 2005;44:360-365.
Smolen JS, Breedveld FC, Schiff MH, Kalden JR, Emery P, Eberl G,
et al. A simplified disease activity index for rheumatoid
arthritis for use in clinical practice. Rheumatology
2003;42:244-257.
Aletaha D, Landewe R, Karonitsch T, Bathon J, Boers M,
Bombardier C, et al. Reporting disease activity in clinical trials
of patients with rheumatoid arthritis: EULAR/ACR collaborative recommendations. Ann Rheum Dis 2008;67;1360-64.
Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis
Rheum 2008;59: 762-784.
Inoue F, Yamanaka H, Hara M, Tomatsu T, Kamatani N.
Comparison of DAS28-ESR and DAS28-CRP threshhold values. Ann Rheum Dis 2006;doi:10.l 136/ ard. 2006. 054205.
EULAR. Disease activity score in rheumatoid arthritis (dikutip
tanggal 12 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://
www.das-score.nl.
van Gestel AM, Haagsma CJ, van Riel PLCM. Validation of rheumatoid arthritis improvement criteria that include simplified joint
counts. Arthritis Rheum 1998;41: 1845-50.
Leeb BF, Andel I, Sautner J, Fass) C, Nothnagi T, Rintelen B. The
Disease Activity Score in 28 Joints in Rheumatoid Arthritis and
Psoriatic Arthritis Patients. Arthritis Rheum 2007;57: 256-60.
Felson DT, Anderson JJ, Boers M, Bombardier C, Furst D, Goldsmith C, et al. ACR Preliminary Definition of Improvement In
Rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1995;38:727-35.
Makinen H, Hannonen P, Sokka T. Definitions of remission for
rheumatoid arthritis and review of selected clinical cohorts and
randomised clinical trials for the rate of remission. Clin Exp
Rheumatol 2006; 24 (Suppl.43):S22-S28.
Emery P, Breedveld FC, Dougados M, Kalden JR, Schiff MH, Smolen
JS. Early referral recommendation for newly diagnosed rheumatoid arthritis: evidence based development of a clinical guide.
Ann Rheum Dis 2002;61:290-7.
Belch JJ, Ansell D, Madhok R, O'Dowd A, Sturrock RD. Effects of
altering dietary essential fatty acids on requirements for nonsteroidal anti-inflammatory drugs in patients with rheumatoid
arthritis: a double blind placebo controlled study. Ann Rheum
Dis 1988;47;96-104.
Kavuncu V, Evcik D. Physiotherapy in Rheumatoid Arthritis.
Medscape General Med 2004;6:3.
Verhagen AP, Bierma-Zeinstra SM, Cardoso JR, de Bie RA, Boers M,
2512
de Vet HC. Balneotherapy for rheumatoid arthritis. Cochrane
Database Syst Rev 2008;(4): CD000518.
Van Den Ende CH, Vliet Vlieland TP, Munneke M, Hazes JM. Dynamic exercise therapy for rheumatoid arthritis. Cochrane
Database Syst Rev 2008;(1):CD000322.
Galarraga B, Ho M, Youssef HM, Hill A, McMahon H, Hall C, et al.
Cod liver oil (n-3 fatty acids) as an non-steroidal anti-inflammatory drug sparing agent in rheumatoid arthritis. Rheumatology 2008;47:665-9.
Egan M, Brosseau L, Farmer M, Ouimet MA, Rees S, Wells G, et al.
Sp) ints/orthoses in the treatment of rheumatoid arthritis.
Cochrane Database Syst Rev 2001;(4): CD004018.
Olsen NJ, Stein CM. New drugs for rheumatoid arthritis. N Engl J
Med 2004;350: 2167-79.
Bijlsma JWJ, Boers M, Saag KG, Furst DE. Glucocorticoids in the
treatment of early and late RA. Ann Rheum Dis 2003;62;1033-37.
van Everdingen AA, Jacobs JW, Siewertsz Van Reesema DR, Bijlsma
JW. Low-dose prednisone therapy for patients with early active
rheumatoid arthritis: clinical efficacy, disease-modifying properties, and side effects. Ann Intern Med 2002;136:1-12.
Cohen S, Cannon GW, Schiff M, Weaver A, Fox R, Olsen N, et al.
Two-year, blinded, randomized, controlled trial of treatment of
active rheumatoid arthritis with leflunomide compared with
methotrexate. Arthritis Rheum 2001 ;44: 1984-92.
Bathon JM, Martin RW, Fleischmann RM, Tesser JR, Schiff MH,
Keystone EC, et al. A comparison of etanercept and methotrexate in patients with early rheumatoid arthritis. N Engl J Med
2000;343: 1586-93.
Lipsky PE, van der Heijde DM, St Clair EW, Furst DE, Breedveld
FC, Kalden JR, et al. Infliximab and methotrexate in the treatment of rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2000;343:1594-602.
Weinblatt ME, Keystone EC, Furst DE, Moreland LW, Weisman
MH, Birbara CA, et al. Adalimumab, a fully human anti-tumor
necrosis factor alpha monoclonal antibody, for the treatment
of rheumatoid arthritis in patients taking concomitant
methotrexate: the ARMADA trial. Arthritis Rheum 2003;48:35-45.
Nuki G, Breshnihan B, Bear MB, McCabe D. Long-term safety and
maintenance of clinical improvement following treatment with
anakinra
(recombinant human interleukin-! receptor
antagonist) in patients with rheumatoid arthritis: extension phase
of a randomized, double-blind, placebo-controlled trial.
Arthritis Rheum 2002; 46: 2838-46.
Finger E, Scheinberg MA. Rituximab (Mabthera), a new
approach for the treatment of rheumatoid arthritis. A systematic review. Einstein 2007;5(4):378-86.
Siddiqui MAA. The Efficacy And Tolerability Of Newer Biologics In
Rheumatoid Arthritis: Best Current Evidence.
Curr Opin
Rheumatol 2007;19(3):308-13.
McGonagle,J), Tan AL, Madden J, Taylor L, Emery P. Rituximab
use in everyday clinical practice as a first-line biologic therapy
for the treatment of DMARD-resistant rheumatoid arthritis.
Rheumatology 2008;47(6):865-67.
Jois RN, Masding A, Somerville M, Gaffney MK, Scott DGI.
Rituximab therapy in patients with resistant rheumatoid arthritis: real-life experience. Rheumatology 2007;46:980-82.
Lee ATY, Pile K. Disease modifying drugs in adult rheumatoid arthritis. Aust Prescr 2003;26:36-40.
Genovese MC, Becker JC, Schiff M, Luggen M, Sherrer Y, Kremer J,
et al. Abatacept for Rheumatoid Arthritis Refractory to Tumor
Necrosis Factor a Inhibition. N Engl J Med 2005;353:1114-23.
67. Shankar S, Handa R. Biological agents in rheumatoid arthritis. J
Postgrad Med 2004;50:293-9.
REUMATOLOGI
Cohen SB, Dore RK, Lane NE, Ory PA, Peterfy CG, Sharp JT, et al.
Denosumab treatment effects on structural damage, bone mineral density, and bone turnover in rheumatoid arthritis: a twelvemonth, multicenter, randomized, double-blind, placebo-controlled, phase II clinical trial. Arthritis Rheum 2008;58(5): 1299309.
Yazici Y. B-Cell-Targeted Therapies: Reports From the ACR 2007
Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : http://www. medscape. com /viewarticle/
567522.
Fox RI. Update on Novel and Emerging Therapies for RA: Report
From the ACR 2007 Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Olctober
2008). Dapat diperoleh di URL ; http://www.medscape.com/
viewarticle/567 521.
Smolen J. The investigational compound tocilizumab (ActemraTM)
significantly reduces disease activity in patients with moderate
to severe rheumatoid arthritis (RA) who have an inadequate
response to methotrexate, researchers announced at the European League Against Rheumatism (EULAR) 2007 (dikutip
tanggal 17 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://
www.medicalnewstoday.com/ healthnews. php?newsid= 743 70.
Kelly J. Progress in RA with rituximab, belimumab, and 2 novel
approaches (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh
di URL : http://www.medscape.com/ viewarhcle/538181.
EULAR 2007. Preliminary Results Show Potential Of Ofatumumab
In Rheumatoid Arthritis ( dikutip tanggal 18 Oktober 2008).
Dapat diperoleh di URL : http://www.medicalnewstoday.com/
articles/7443 7.php.
Novartis Pharma AG. A Study of Tmatinib 400 Mg Once Daily in
Combination With Methotrexate in the Treatment of Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : http:llclinicaltrials.govlct2/show/
NCTOOl 54336? term=imatinib & rank=30.
Tak PP, Thurlings RM, Rossier C, Nestorov I, Dimic A, Mircetic V,
et al. Atacicept in patients with rheumatoid arthritis: Results of
a multicenter, phase lb, double-blind, placebo-controlled, doseescalating, single- and repeated-dose study. Arthritis Rheum
2008;58(1):61-72.
Centocor, Inc. A Study of the Safety and Efficacy of Golimumab
(CNTO 148) in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis
Previously Treated With Biologic Anti-TNFa Agent(s) (dikutip
tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://
clinicaltrials.govlct/show!NCT00299546.
Kay J, Matteson EL, Dasgupta B, Nash P, Durez P, Hall S, et al.
Golimumab in patients with active rheumatoid arthritis despite
treatment with methotrexate: A randomized, double-blind, placebo-controlled, dose-ranging study. Arthritis Rheum
2008;58:964- 75.
BioPharma, Inc. A Phase 2 Study to Evaluate the Safety, Tolerability, and Activity of Fontolizumab in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis ( dikutip tang gal 18 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : http://clinicaltrials.gov/ct2/show/record/
NCT00281294.
Kremer JM, Westhovens R, Leon M, Giorgio ED, Alten R, Steinfeld
S, et al. Treatment of Rheumatoid Arthritis by Selective Inhibition of T-Ce\l Activation with Fusion Protein CTLA4Ig. N
Engl J Med 2003;349:1907-15.
Weinblatt ME, Kremer JM, Bankhurst AD, Bulpitt KJ, Fleischmann
RM, Fox RI, et al. A Trial of etanercept, a recombinant tumor
necrosis factor receptor : Fe fusion protein, in patients with
rheumatoid arthritis receiving methotrexate. N Engl J Med
l
999;340:253-9.
ARTRITIS REUMATOID
2513
Strand V, Cohen S, Schiff M, Weaver A, Fleischmann R, Cannon G,
et al. Treatment of Active
Rheumatoid Arthritis With
Leflunomide Compared With Placebo and Methotrexate. Arch
Intern Med 1999;159:2542-50.
van der Heijde D, Klareskog L, Singh A, Tomero J, Melo-Gomes J,
Codreanu C, et al. Patient reported outcomes in a trial of combination therapy with etanercept and methotrexate for rheumatoid arthritis: the TEMPO trial. Ann Rheum Dis
2006;65;328-34.
Burmester GR, Mariette X, Montecucco C, Monteagudo-Saez 1,
Malaise M, Tzioufas AG, et al. Adalimumab alone and in
combination with disease-modifying antirheumatic drugs for
the treatment of rheumatoid arthritis in clinical practice: the
Research in Active Rheumatoid Arthritis (ReAct) trial. Ann
Rheum Dis 2007;66;732-39.
van Riel PLCM, Taggart AJ, Sany J, Gaubitz M, Nab HW, Pedersen
R, et al. Efficacy and safety of combination etanercept and
methotrexate versus etanercept alone in patients with
rheumatoid arthritis with an inadequate response to methotrex-
ate: the ADORE study. Ann Rheum Dis 2006;65;1478-83.
O'Dell JR, Haire CE, Erikson N, Drymalski W, Palmer W, Eckhoff
J, et al. Treatment of rheumatoid arthritis
with
methotrexate alone, sulfasalazine and hydroxychloroquine, or
a combination of all three medications. N Engl J Med
1996;334: 1287-91.
Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis
Rheum 2008;59:762-84.
Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic DiseaseModifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rheum 2008;59:762-84.
2518
Diagnosis Banding
amiloidosis
diabetes melitus
sarkoidosis
infeksi virus
trauma
psikogenik
Sindrom mata kering bisa disebabkan oleh amyloidosis, inflamasi kronik blefaritis, konjungtivitis, pemfigoid,
sindrom Steven Johnson, hipovitaminosis A. Sedangkan
pembesaran kelenjar parotis ditemukan juga pada
akromegali, gonadal hipofungsi, penyakit metabolik,
pankreatitis kronik, diabetes melitus, sirosishepatis, infeksi
virus
PENGELOLAAN
Prinsipnya hanyalah simtomatik menggantikan fungsi
kelenjar eksokrin dengan memberikan lubrikasi. Lubrikasi
pada mata kering dengan tetes mata buatan membantu
mengurangigejalaakibat sindrommata kering, efek samping
pemberian air mata buatan adalah pandangan kabur. Untuk
mengurangi efek samping sumbatan drainage air mata
pengganti air mata bisa diberi lensa kontak, tetapi
sayangnya risiko infeksi sangat besar. Tetes mata yang
mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena
merangsang infeksi
Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan
sekretagogum yaitu stimulat muskarinik reseptor. Ada 2
jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu
golongan pilokaepin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg
4 kali sehari selam 12 minggu sedangkan cevimelin 30-15
mg diberikan 3 kali sehari
Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini
belum ada obat yang dapat untuk mengatasinya. Pada
umumnya terapi hanya ditujukan pada perawatan gigi,
kebersihanmulut,merangsangkelenjarliur, memberisintetik
air liur. Sintetik yang ada di pasaran yaitu oral balancel ;
karena tidak bertahan lama sangat baik kalau diberikan
malam hari. Cara lain untuk mengurangi xerostamia adalah
merangsang sekresi kelenjar liur dengan memberikan gula.
Nasihat lainnya adalah hindari makanan kering, merokok,
obat-obat kolinergik.
REFERENSI
Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 14 ed
edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia
2005.p . I 736- 73.
Brun JG, Madland lM, Gjesdal CB, Bertelsen LT. Sjogren syndrome
in an out-patient clinic:classification of patients according to
the preliminary European criteria and the proposed modified
Europian criteria.Rheumatol. 2002:41 ;301-4.
Bossini N, savoldi S, Franceschini F, Mombelloni S, Baronio M,
Cavazzana I, et al. Clinical and morphological features of
kidney involvement in primary Sjogren syndrome.
N ephrol.Dial. Transplant.200 I; 16:2328-36.
Christoper LC, Elizabeth B, Roman GC. Treatment of myelopathy
in Sjogren syndrome with a combination of prednisone and
cyclophosphamide, Arch. Neurol. 2001;58:815-9.
Casals MR, Tzioufas AG,Font J. Primary Sjogren syndrome: new
clinical and therapeutic concepts. Ann. Rheum. Dis 2005:64:34754.
Kassan SS, Moutsopulos HM. Clinical manifestation and early diagnosis of Sjogren syndrome. Arch. Int. Med. 2004;164:1275-84
Kovacs L, Paprika D, Takaes R, Kardos A,Tamas T, Lengyel C, et
al. Cardiovascular autonomic dysfunction in primary Sjorgren
Syndrome.
Moutsopulos HM, Tzioufas AG. Sjogren
syndrome. In :
Rheumatology.Klippel JH, Dieppe K PA,eds. l" Edition
.Hongkong: Mosby -Year Book Europe Limited; Hongkong.
1994.p. 6.27.7.1-12
Moore PM, Richardson B. Neurology of the vasculitides and
connective tissue diseases. J Neurol.Neorosurg. Psychiatry.1998:65; 10-22
Papiris SA, Maniati M, Constantopoulos SH, Roussos C, Moutsopulos
HM, Skopouli FN. Lung involment in primary Sjogren Syndrome is mainly related to the small airway disease.
Ann.Rheum.Dis. 1999 :58;61-4.
Price EJ, Venables PJW. Dry eyes and mouth syndrome- a subgroup
of patients presenting with sicca symptoms. Rheumatol.
2002;41: 416-25.
'
398
couri
PENDAHULUAN
EPIDEMIOLOGI
Kadar Sodium
Urat Serum
Total Pasien
diperlksa
<6
6-6,9
7 - 7,9
8-8,9
>9
Total
1281
970
162
40
10
2463
Artritis Gout
Yang Timbul
No
Persen
11
27
28
11
9
86
0,9
2,8
17,3
27,5
90,0
3,5
PATOLOGI GOUT
2557
AKTIVASI KOMPLEMEN
Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui
j alur klasik dan j alur alternatif. Melalui j alur klasik, terjadi
aktivasi komplemen C 1 tanpa peran imunoglobulin. Pada
kadar MSU meninggi, aktivasi sistem komplemen melalui
jalur alternatif terjadi apabila jalur klasik terhambat. Aktivasi
Clq melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi kolikrein
dan berlanjut dengan mengaktifk:an Hageman faktor
(Faktor XII) yang penting dalam reaksi kaskade koagulasi.
lkatan partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses
opsonisasi. Proses opsonisasi partikel mempunyai
peranan penting agar partikel tersebut mudah dikenal, yang
kemudian difagositosis dan dihancurkan oleh netrofil,
monosit atau makrofog. Aktivasi komplemen C5 (C5a)
menyebabkan peningkatan aktivitas proses kemotaksis sel
neutrofil, vasodilatasi serta pengeluaran sitokin IL-1 dan
TNF. Aktivitas C3a dan C5a menyebabkan pembentukan
membrane attack complex (MAC). Membrane attack
complex merupakan komponen akhir proses aktivasi
komplemen yang berperan dalam ion channel yang
bersifat sitotoksik pada sel patogen maupun sel host. Hal
ini membuktikan bahwa melalui jalur aktivasi "komplemen
cascade ". kristal urat menyebabkan proses peradangan
melalui mediator IL-1 dan TNF serta sel radang neutrofil
dan makrofag.
2558
REUMATOLOGI
MANIFESTASI KLINIK
Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul
sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada
gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang
hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat
monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri,
bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik
berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang
Eru!Qtef
Pembuluh darah
Selection
HE~
~
Gllj11laslsblrnatlk
F'ebtjs
Low
~ /~ (
Mediafor
(PGG,,I\IOR ,NO)
Kemotaktik:
leukoslt
?eracfanganlokal
Keterangan :
Stimulasi dapat berupa produk bakteri (polisakarida bakteri, eksotoksin), mediator kimiawi yang
iritan antara lain kristal urat, radiasi dan molekul endogen seperti kompleks imun dan fragmen
komplemen. HEV = high endothelial vessel, MSU = mono sodium urate, NO = nitrit oksid, PGE
= prostaglandin E, POR = produk oksigen reaktif, TNF = tumor necrosisfactor, IL-1 = interleukin
-1, IL-6 = interleukin - 6, IL-8 = interleukin - 8. (19,20)
2559
STADIUM INTERKRITIKAL
DIAGNOSIS
2560
RE FE REN SI
Becker MA. Clinical gout and the pathogenesis of hyperuricemia.
In Koopman WJ editor. Arthritis and allied condition. 14'h
edition. Williams & Ailkins; 2001.p.2281-306.
Becker MA, Jolly M. Clinical gout and the pathogenesis of
hyperuricemia.ln: Arthritis and allied condition. A textbook of
Rheumatology. Koopman WJ,editor. 15'" edition. Baltimore:
Lippincott Williams and Wilkins;2005.p.2303-33.
Darmawan J, Rasker JJ, Nuralim H. The effect of control and self
medication of chronic gout in a developing country : Outcome
after 10 years. J Rheumatol 2003 ; 30 ; 2437-43.
Emmerson BT. Hyperuricemia and gout in clinical practice. Sydney:
Adis Health Sciences; 1983.p.3-60.
Eichenfield LF, Jhonston RB. The complement system. Sigal LH,
Ron Y,editors. Immunology and Inflammation. Basic and
clinical consequences. New York: Mc Graw Hill; 1994.p.359-86
Felson DT. Epidemiology of the rheumatic diseases. gout and
hyperuricemia. Koopman WI, Moreland LW,editors,16 1
edition.Philadelphia:Lippencott WL Wilkins; 205.p.29-30.
Hochberg MC, Thomas J, Thomas DJ, et al. Racial differences in
the incidence of gout the role of hypertension. Arthritis Rheum.
1995; 38:628-32.
Healey LA. Epidemiology
of Hyperuricemia. Gout and purine
metabolism. Proceeding of a conferrence The Arthritis
Foundation 1974 : 709-12.
Hall AP. Barry PE. Dawber TR, et al.Epidemiology 'of gout and
hyperuricemia. Am J Med. 1965;39 : 242-51.
399
KRISTAL ARTROPATI SELAIN GOUT
Farid in
PENDAHULUAN
Sampai dengan tahun 1960,penyebab radang sendi akibat
kristal monosodium urat (MSU crystal) dikenal dengan
artritis gout. Namun berkat kemajuan pemeriksaan analisis
cairan sendi, diketahui bahwa selain kristal MSU juga
ditemukan suatu kristal yang tidak sama dengan kristal
MSU menyebabkan suatu penyakit yang mempunyai
gejala-gejala keradangan sendi yang mirip dengan gout
(pseudogout), dikenal sebagai calcium pyrophosphate
dehidrogenase crystal (CPPD) dengan rumus kimia
Ca2P207 2Hp. Istilah pseudogout dipakai untuk
menggambarkan serangan radang akut yang mirip gout
dan sering tampak pada pasien-pasien dengan
penimbunan kristal CPPD.
Penimbunan kristal CPPD hanya ditemukan di sekitar
sendi dan ditandai dengan kalsifikasi rawan sendi,
meniskus, sinovium, danjaringan sekitar sendi. Identifikasi
kristal CPPD dalam cairan sinovial atau jaringan sekitar
sendi penting untuk membedakan antara penyakit akibat
deposisi kristal CPPD dengan keradangan sendi akibat
penimbunan kristal dan penyakit degeneratif sendi lainnya.
Istilah chondrocalcinosis didasarkan atas ditemukannya
kristal kalsium pada pemeriksaan radiologis sebagai
radioluseh di sekitar sendi. Penimbunan kristal CPPD tidak
terbatas hanya pada rawan sendi, namun kristal CPPD
dapat tertimbun pada synovial lining, ligamentum-ligamentum, tendon-tendon otot, dan jarang pada jaringan
lunak periartikular seperti tofus pada artritis gout kronik.2
Beberapa kristal yang telah dikenal selain kristal MSU
dan CPPD adalah kelompok apatite like crystal yang
menyebabkan peradangan sendi yaitu basic calciumphosphate (BCP), meliputi carbonate subtituted apatite,
octacalcium phosphate,
tricalcium phosphate
(whitlockite), dan dicalcium phosphate dihidrate (brushue) (Lihat tabel 1 ). Kristal ini merupakan bentuk kristal
EPIDEMIOLOGI
Laporan mengenai data epidemiologi penyakit radang
sendi akibat penimbunan kristal (artropati kristal) sangat
jarang. Pseudogout sering ditemukan pada umur
pertengahan dan umur yang lebih tua, data yang pemah
dilaporkan menyatakan bahwa 10-15% mengenai mereka
yang berusia 65-70 tahun dan akan meningkat 30-60%pada
usia di atas 80 tahun, perempuan lebih sering dibanding
laki-laki dengan perbandingan 2-3: 1. Penelitian-penelitian
prevalensi dari CPPD hanya berdasarkan gambaran
radiologis dan patologi dari kondrokalsinosis. Pada suatu
2562
PSEUDOGOUT
Patogenesis
Tabel 2. Manifestas,
Kristal CPPD
Kllnis
Penyakit
Akibat Penimbunan
KRISTALARTROPATI
2563
SELAIN GOUT
untuk
Penyakit
Akibat
Kategori
Definit
: Harus memenuhi kriteria I atau Ila
Probable : Harus memenuhi kriteria Ila atau llb
Possible : Kriteria Illa atau lllb seharusnya mengingatkan
klinisi kemungkinan penyakit dasar timbunan
CPPD
Kriteria
I.
Ditemukan kristal CPPD secara definitif dari aspirat
cairan sendi, biopsi atau nekroskopi
II. a. ldentifikasi kristal monoklinik atau triklinik yang
memperlihatkan positif lemah, atau kurang jelas
refraksi ganda
(membias) dengan mikroskop biasa berpolarisator.
b. Adanya kalsifikasi fibrokartilago dan kartilago hialin
yang khas pada gambaran radiologis.
Ill. a. Artritis akut, terutama pada lutut atau sendi besar
lainnya, dengan atau tanpa bersamaan hiperurisemia.
b. Artritis kronik terutama pada lutut, pangkal paha,
pergelangan tangan, tangan, siku, sendi bahu dan
sendi metakarpofalangeal,
terutama
bila
disertai eksaserbasi akut; artritis kronik yang
menunjukkan gambaran tersebut membantu untuk
membedakan dengan OA.
- Letak OA yang tidak lazim, seperti sendi
pergelangan tangan, sendi metakarpofalangeal,
atau sendi bahu.
Gambaran radiologis misalnya penyempitan celah
sendi radiokarpal, atau patelofemoral, terutama
bila terisolasi (patela yang membungkus femur).
- Pembentukan kista subkondral
- Degenerasi progeresif berat: kolaps tulang
subkondral
(mikrofraktur),
dan
fragmentasi
dengan pembentukan badan-badan radiodens
intra artikular.
Pengobatan
Pada serangan akut sendi besar dapat dilakukan
aspirasi sekaligus dilanjutkan dengan pemberian steroid
intraartikular. Tindakan ini di samping bertujuan untuk
mengurangi tekanan intra artikular juga sebagai tindakan
diagnostik untuk pemeriksaan kristal.
Pemberian OAINS berupa fenilbutazon dosis 400-600
mg/hari untuk beberapa hari dapat bermanfaat, indometasin
dosis 75-150 mg/hari ataudengan OAINS lainnya, dengan
tetap memperhatikan efek samping OAINS pada saluran
cema dan pemberian pada usia lanjut.
Kolkisin efektif menghambat pelepasan faktor-faktor
kemotaktik seperti sel-sel neutrofil dan mononuklir dan
juga menghambat ikatan sel neutrofil dengan endotel.
Pemberian kolkisin intravena efektif untuk pengobatan
pseudogout, sedangkan kolkisin oral tidak sebaik pada
pengobatan gout dibanding pseudogout (primer), tapi
untuk pencegahan serangan dapat digunakan kolkisin oral.
2564
Mengistirahatkan sendi penting selama serangan akut
dan latihan fisik dilakukan setelah serangan akut bertujuan
memperbaiki ketegangan otot dan lingkup gerak sendi
untuk menghindari kontraktur.
Radang sendi akibat timbunan kristal Basic Calcium
Phosphate
Penimbunan kelompok basic calciumphosphate (BCP)
ditemukanpadajaringan sendi, kulit, pembuluh darah arteri
danjaringan lainnya. Pada sistem muskuloskletal, kristal
dapat ditemukan pada tendon otot, diskus intervertebral,
kapsul sendi, sinovium,dan kartilago.Umumnya kalsifikasi
berbentuk tunggal, dapat pula multipel. Dari kelompok ini
yang terbanyak ditemukan adalah kristal hidroksiapatit
(HA). Timbunan HA merupakan faktor penting pada
kejadian artropati kronik destruktif yang sangat berat,
terjadi pada usia lanjut dan sering terjadi pada sendi lutut
dan bahu. Meskipun penyakit ini jarang, namun
manifestasi klinis yang kadang-kadang mirip dengan OA,
maka perlu difikirkan kemungkinan kristal HA dan
golongannya.
Peranan kristal BCP dalam patogenesis penyakit sendi
belum diketahui. Hipotesis yang dikemukakan,kristal BCP
dapat mengakibatkan peradangan sendi, dan memicu
terjadinya radang sendi.
Menggunakan mikroskop elektron, kristal HA
mempunyai ukuran 5-120 m, berbentuk bundar atau
gumpalan tidak beraturan, tidak bersifat birefringence.
Sindrom bahu Milwaukee (Milwaukee shoulder
syndrome)
Sindrom bahu Milwaukee, merupakan kelainan pada
bahu yang umumnya ditemukan pada perempuan usia
lanjut. Gambaran klinis mirip dengan kelainan-kelainan
pada sendi bahu, seperti tendinitis rotator cuff, robekan
tendon otot-otot rotator cuff, bursitis. Pada sindrom ini
biasa ditemukan efusi, robekan tendon otot-otot rotator
cuffyang luas, gambaran radiologis ditemukan kalsifikasi
periartikular, subluksasi kaput humeral. Analisis cairan
sendi ditemukan kristal BCP,jumlah leukosit sinovial yang
rendah. Gambaran klinis berupa nyeri bahu ringan sampai
berat, keterbatasan lingkup gerak sendi bahu, pada
beberapa kasus terdapat subluksasi sendi bahu. Belum
REUMATOLOGI
REFERENSI
Finckh A, Linthoudt VD, Duvoisin B, Bovay P,Gerster JC.The
cervical spine in calcium pyrophosphate dihydrate deposition
disease. A prevalent case control study. J Rheumatol. 2004;3l:
545-9
Gatter RA, Schumacher HR . Special studies for crystalline material.
In Joint fluid analysis.Z'" edition, Philadelphia:Lea &
Fabiger; 1991.p.78-84
Halverson PB., Ryan LM.: Arthritis asociated with calcium
containing crystal. In: Klippel JR.Primer on the rheumatic disease, J21h edition, Atlanta:Arthritis foundation; 2001.p.298-306
Halverson PB. Basic calcium phosphate (apatite, octacalcium
phosphate, tricalcium phosphate) crystal deposition and calcinosis. In: Arthritis and allied conditions, 15th ed vol. 2, Koopman
WJ, Moreland LW. PhiladelphiaL:LippincotWilliam & Wilkins;
2005.p.2397-416
Pons-Estel BA, Gimeniz C, Sacnon M, et al .Familial osteoarthritis
and Milwaukee shoulder associated with calcium pyrophosphate
and apatite crystal deposition. J Rheumatol. 2000;27 : 471-80
Rosenthal AK, Ryan LM : Calcium pyrophosphate crystal deposition disease, pseudogout, and articular chondrcalcinosis. In
Arthritis and allied conditions, 15th edition, Koopman WJ,
Moreland LW. Philadelphia:Lippincot William & Wilkins;
2005 .p.23 73-96
Reginato AJ, Reginato AM.Diseases association with deposition of
calcium pyrophosphate or hydroxyapatite. In Kelley textbook
of rheumatology. 6'h edition, Ruddy S, Harris ED, Sledge CB.
Philadelphia:W.B. Saunders; 2001.p.1377-90
Soenarto.Kristal artropati selain gout. Dalam: Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi ketiga jilid I, Editor: Noer S, Waspaji
S,Rachman AM, dkk. Jakarta:Balai Pustaka FKUI;l996.p.89-96
Tehupeiory ET, Faridin HP .Pseudogout. Dalam: Naskah lengkap
temu ilmiah reumatologi 2000, Bambang Setyohadi, Yoga I
Kasjmir, Siti Mahfudzohv editors, Jakarta, 6-8 Oktober 2000 :
49-52
... \
..
~ J
'"
I'
406
SENDI
~mbangSetiyohadi, A. SanusiTambunan
J1
ARTRITIS BAKTERIALIS
Artritis septik akut yang disebabkan infeksi nonmicobakterial merupakan masalah serius, yang dihadapi
baik di negara berkembang maupun dinegara maju.
Beberapa rute bakteri untuk mencapai sendi antara lain
secara hematogen, penyebaran langsung dari osteomielitis,
penyebaran dari jaringan sekitar sendi yang mengalami
infeksi akibat tindakan presedur diagnostik maupun
terapeutik seperti artrosintesis atanpun astroskopi dan Iuka
tembus.
Pasien dengan artritis septik akut ditandai nyeri sendi
hebat, bengkak sendi, kaku dan ,:gangguan fungsi, di
samping itu ditemukan berbagai gejala sistemik yang lain
seperti demam dan kelemahan umum.
Sendi lutut sering dikenai dan biasanya bersifat
indolent monoartritis. Beberapa faktor risiko antara, Iain.
I) Protesis pada sendi lutut dan sendi panggul disertai
infeksi kulit. 2)Infeksi kulit tanpa protesis. 3)Protesis
pa11g&UJ. ga~ l~uJJ'}.O.PJl .in{*s,! l~t,Yt tan~it.jnfe.k!\USY,Lit ~)
umur "lebih dart' 80 tahuri, :5)' D t\Qt'!:.!i meli~s. 6)Artntis
Reumatoid yang mendapat 'p~ngbbatart' immrido~~pr~sif.
+'
~y'
!/
Produk-prcduk
bakteri
1
gtarn'
e'nddto'ksin
seperti
(lipop'olisalczjda) 'bakteri
negatif, 'fr;ag'meh ~j_nd)l'\'g
seJ bakteri gram positif clan komplek.'s ' imiln'.'. ~ah
merangsang se)~ el sinovial untuk melepaskan TNF - alfa
da.1L-1 betayang akan ~encetttslQlp m'filtr~sfciatl'aktffi&i
dan1~~1-s"ef PMN'.-rsJr1s~i"rii'g'JgH:i1<
},
1.
1,
r r-
2640
REUMATOLOGI
Li\! ,
: '
, , 4l111 8rai~
sehagei berikut:
Infeksi koksae pada anak-anak
Sendi-sendi yang sulit dilakukan joint drainage
secara adekuat baik secara aspirasi jarum maupun
karena letak anatomiknya.
Bersamaan dengan ostepitri~ti&
.
lnfeksi berkembang ke jaringan lunak sekitamya.
Penatalaksanaan
Pada dugaan terhadap .kemungkinaa artritia bakterial,
aspirasi cairan.s endi harus :sege1a-~i lak\l.kan. ;\i.ntuk
.analisis, pewarnaan.Gram dao kujtf cairan.sendi
Bila cairan.sendi bersifat.purulen.dan ~u:.d.it~~ukan
bakteri pada pewarnaan Gra.111, segera diberikan
antibiotik .b erspektrum luas. Karena pada umumnya
.disebabkaa.oleh
S.
.~. "
-.<::j1.
"
....
"'!,
.......
r""4 ~
rl
- r-
... -
. . . --
t1,
...
ti:_
..
'
~~be"rap;
ie;balW~}ia~
ll!'b~. Um ump.ya pasien artritis
oen.,i~a: mud'a,
sehal o~n kehidupan seksualiiya aktif gecata lllinis 'dapat
timbul dalam beqtuk monoartritis, poJHittm ~dlfi
ten6si8t>vWi~. sJfa.~riit& jb\i dapa'f c1rs' 'ttaPteiollg1,1i
icetai~ttii knlft~e~~Hi 1,1: Rie',' 'i,h in pti ruf( 6uf
J?~l
dae~
lieinotagik'at~u1esfnekt'roi1ft:
;,. ;.
,--:
.....
:o..- . .
l :.''1b%clra'11iil
s..-J ..~,: . .
""'tti,_
- ....
2641
inkubasi dari kontak seksual sampai timbul DGI berkisar
antara ,1 hari sampai 2 bulan. Hanya 25%-pasien DGI
mempunyai keluhan genitourinaria dan 25% mempunyai
riwayatpemalr menderita gonore. DGI jarang berulang,
bila hal irri 'timbnl, maka harus dipikirkan kemurrgkinaa
defisieasi kemplemen. terutama C5-C9 Wanita yang
terinfeksi' sekitar masa menstruasi ataupada waktu hamil
memiliki risiko untuk berkembang menjadi DGL
menyerang usia
l)olllaifiiilgiii':11a, etmatitts
din ~osiJIOvltls
<
Nongonokokal
Artritis Bakterial
nongonokokal
Blasanya terjadi pada anak,
orang tua atau pasien
denga'daya tahan tubuh
menurun
Didahutui penyakit sendi
tertentu, inteksi intra
artikular atau protesis sendi
Biasanya monoartritis
Penatalaksanaan
Terapi antibiotik sangat efektif untuk DGI biasanya dipilih
penisilinatau sefalosporin. Dalam waktu 24-48 jam, demam
akan turun secara drastis dan kelainan sendi dan kulit akan
hilang dalam beberapa hari. Walaupun demikian, pas~n
dengan efusi purulen yang banyak terjadi pada kasus yang
resisten terhadap penisilin. Dalam keadaan ini, harus dipilih
sefalosporin generasi ketiga, misalnya seftriakson,
pengobatan secara parenteral selama 7-10 hari dan
dilanjutkan _dengan terapi oral f/ucloxacilin atau
cephalospurin selama 6 minggu.
OSTEOMIELITIS
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang yang biasanya
menyerang metafisis tulang panjang dan banyak terdapar
pada anak-anak. Bakteri mencapai tulang dapat secara
langsung
(perkontinuitatum)
atau dari aliran darah
(hematogen).
Streptococos dan stapilococus aureus
terutama menyerang anak dan dewasa. t. Pada saat ini, yang
menjadi problem adalah infeksi yang berasal dari prostesis
sendi. Secara klinis dapat dibagi atas osteomielitis akut,
serta osteomielitis subakut dan kronik. Osteomielitis akut
biasanya menyerang anak-anak sampai usia pubertas.
OSTEOMIELITIS
Gejala Klinis_dc\ln Diagoosis
Poliartralgia yang berpindah-pindah selain artritis pada
sendi yang terinfeksi merupakan tanda awal sebagian besar
pasien DGI dan seringkali timbul
5 hari sebelum
diagnosis klinis ditegakkan. Gejala klinis lainnya adalah
demam, menggigil, tenosinovitis dan kelainan kulit.
Tenosinovitis umumnya didapatkan pada dorsum manus,
pergelangan tangan, pergelangan kaki atau lutut, Kelainan
kulit se.P,erti yang disebutkan diatas biasanya terjadi pada
ekstremitas atau batang tubuh, tetapi membutuhkan
pemeriksaan yang teliti untuk mendapatkannya, karena
sering asimtomatik. Kadang-kadang lesi kulit baru timbul
setelah terapi antibiotik, te~~4t~\l~)i~~S5~fll ~,eng~ilall~
beberapa hari setelah pengobatan. 'Pada biopsi kulit, jarang
ditemukan N gonorrhoeae.;
. Efusi purulen pada sendi banya didapatkan pada
25-:50% kasu . Hitung leukosit cairan sendi berkisar antara
35.000- 70.000/ml cairan sendi. Kasus dengan tenosinovitis
dan dermatitis, biasanya rnemiliki hitung leukosit cairan
sendi yang rendab.
3-
PELVIK
SPONDILITIS
lnfeksi pada korpus vertebra disebut spondilitis. Korpus
vertebra merupakan tempat yang sering terkena
osteomielitis hematogenik pada orang dewasa. lnfeksi ini
dapat menyebar melalui ligamen yang berdekatan sehingga
sering mengenai 2 korpus vertebra yag berdekatan. Diskus
intervebral tidak memiliki vaskularisasi tapi dapat terinfeksi
2642
. REUMATOLOG1
OSTEOITIS
Osteoitis adalah iafeksi pada tulang pipib dart tulang
pendek, biasanyaterjadi pada kaki tetapi kadang-kadang
juga -dapaf timbel pada tangan. Infeksi ini bia:sanya
didahului oleh infeksi pada lculit atau jaringan lunak dan
biasanya pasien memiliki 'perryakit dasar seperti diabetes
melitus atau arterosklerosis. Gejala klinisnya lebih ringan,
demam pun tidak ada dan nyeri serta pembengkakan tidak
seberat osteomielitis. Kadang-kadang tiri:tbnl :frstcl; dan
abrasi sehingga infeksi dapat menyebar ke jaringan sekitamya,
Penatalaksanaan
Begitu diagnosis ditegakkan, antibiotik berspektrum luas
dengan dosis yang adekuat hams segara diberikan. Pada
osteomielitis akut, pemberian antibiotik selama 7-10 hari
biasanya sudah menam~akka.hasi) yang baik, tetapi pada
ostelfrruel.iti'~'~oruk'k1aaaa'' -K~aa{;1 '6.int/ ri~, 'ni:\1~tit
'I ti
'',;ff
rg;, r
,i
J;~p
11i1
?;i~~.
1
ri'
Iirfekki
tipggi.
di~per,a~_!
atau ,revisi
,.,
Tabel 2. Antibiotik
Prostestik
Profilaktik
dengan
Sendi
"
B. Prosedufpada
cer,na,
pada Pasien
Prosedur
A. Prosedur pada gigi,
mulut
'saluran
f'"
r~~~mM*:il~:
ti
,-
r.
irJfus
,,
.. 'I
in~nuriiriny&
-H1b6'tku'Wi&
_;1.l:Lri:.n
1.r
llJif:..::"'.
2643
merupakan penyakit yang jarang ditemukan, yaitu kira-c; : . menyebabkan penyempitan rongga sendi, Jadi.perubahan
kira hanya' 1-2%. dar] selunih kasus tuberkulosjsc"":/;
'ff<>llggasendiy~gnyata,barutimbulsetelahprosesinfeksi
ekstrapulmoner hampir separoh pasien rnengidap
berlangsung lama.
tuberkulosis
pulmoner alctif maupun nonaktif Umumnya
Osteomielitis pada .tulang panjang dapat merupakan tulang dan
sendi yang terkena adalah sendi penopang
komplikasi sinovitis tuberkulosa dan selanjutnya berat badan,
terutama korpus vertebra, disusul sendi
ostecimielitis tuberkulosa, inijarang menyebabkan artritis septik. pinggul
(koksae), sendi lutut kadang-kadang terjadi
Pada anak-anak tulang pendek seperti tulang-tulang serangan
pada tangan (dalctilitistuberkulosis == spina ventosa).
jari tangan dan kaki juga bisa terkena dan disebut daktilitis
tuberkulosa, ini jarang terjadi pada orang dewasa.
Tenosinovitis tuberkulosis biasanya menyerang bursa
Gejala Klinis
ulnar dan radial dan membentuk ganglion palmar.
Perjalanan klinis artritis tuberkulosis berlangsung lambat,
; _ Terkenanya tendon-tendon ekstensor tangan, tendon
kronik dan biasanya hanya mengenai I sen.di. Keluhan
fleksor jari tangan atau kaki merupakan kejadian yang
biasanya ringan dan rriakin laina makin berat. disertai
jarang terjadi. Kedua lokasi yang terakhir biasanya
perasaan lelah pada sore dan malam hari, subfebris,
merupakan tuberkulosis sekunder dari tempat lain. Bila
penurunan berat badan. Keluhan yang lebih berat seperti
tendon fleksor tangan terkena, akan timbul sindrorn
panas tinggi, malaise, kerihgat malam1- anoreksia biasanya
terowongan karpal.
bersamaan dengan tuberkulosis milier:
Reaksi terjadinya granuloma pada diafisis akan
Pada sendi, mula-mula jarang timbul gambarart yang
menyebabkan destruksi medula, pencairan lesi dan lamelasi
khas seperti pada artritis yang lainnya. Tanda awal berupa
periosteal. Lesi tunggal yang mencair pada tulang panjang
bengkak, nyeri dan keterbatasan lingkup gerak seP'ti, ~ulit
pedu_ dibedakan dari tumor primer osteoblastoma, Adanya
di atii.~ .daerah yang terkena teraba panl;ls, kadang,)cadang
granuloma pada sinovium tidak selalu ada hubungannya
malah dingin, berwarnarnerah k.ebiruan, Bisa terj,1di sendi
dengan nekrosis kaseosa tuberkulosis. Jadi bi la ditemukan
\)erada .dalam kedudukan fleksi berkelanjutan. clan mungkin
granuloma, perlu dipikirkan kemungkinan tuberku,lo~is dan
disertai, tenosinovitis ...
perlu dilakukan biopsi untuk membedaknnya . dengan
.Pada arn1.k-anak dapat ditemukan spasme otot pada
granuloma karenajamur, Kadang-kadang pada biopsi dan
mala~ hii (n{gh{ s,((lrt) .. Ji,1nglqn., cljs,ert~ d~wan;i., tapi
Jcu,H,yr. ,1~J?f1l1 <;l;~\yI!HJ,kan, pii ~q l;>fl,!qei:hi.m, ff~R atp}lf,
~\a~any,a;:(ig~., !}Ma jq,~l.J~ WW& bea,.t,,! l<~JM'!ah!'(n ;P,tqt
w. a.laupun gambaran inflamasinya tidak si;w~if%1
P!S41 terjq.\f~. ~~AAO}~a.C!'<P.ill~a iJ;l:l~IltY<entPlli.tL111:m\:l .. ., . J
~ep.~anfi9.~ iid~~y.a gr~lO,Wj\-belIJ~. ~~r~~ ~HD . ;
,, )ilila ,pj~ggl!,l;Y.F\D~;lt:rkei!~i ma.k.i1: ,!erj~ih:~IY,m.ah:wi
~be~lQSJS ~tauJa,m~,Slf~-~ppt.q1.Sfllw.o/~r,
1 ,J'.i:1 _
tung!@._ lie.i;iganrralla;;ti~ en*, Dil~Jc<;aqaan.,y~ illUjut
i
~
9ldt
>;ting_
,te9,{;~na bjasaJ?.Xt, p;i.emb1==sw11' &all'!.93,f )1
~8.Q ;~rat, pasie 1 su~r ,1 n,eoggj;jrc).\<l<:illf qa,n; lllef\g@gkat
pr.<;>Mfr,;asi
1 efusi,s 4i_~viWJ), pii:,ngajdp~~
Jctrf ~9ilffi~n
turigl~{1.i._pa4a.-~end,i_ping.gu.l yang t~,a, q.~1yrt;air,a!l,a [ia,k.it
li~glcu~ ie~~k.. sendiyang ,progr~_i.f,, ot,o~ di, sep.~ra
yang sa9g~t. niei;i_ggan,gg!.l dj ~e,kitar. pllha <;la d<\erllti
ffi\!~ja_di_.sJws.1* ~ ser;wg tezj~d~ ~~lelll,a~P; ptpt,~~g
pinggl,tef.Seb_k ,,
, 1.1;, ,
1'11!
'.I !'.,J
11!
cepj!Ji Y\lPS mc::nyen,1.P,ai, kel,u._mp,u.J1a.I1,,(p~,ogres:1jve
, , ; , TuberkulQsisy~rteqr~(penyi1.l}it .Pott) q~a,8M}ya tfJja,d,i
~~ting).
.
~r;i_ toraj(olu{Il9aL P~oyakjt Pott 111~.i;upaican 5Q(o. da~
Selain terjadi p~l,lS.~inov,.iat mungkinjuga terbentuk
~etW;WI I<.ii~us tul>ei::~lqs1s;tl;m,g .<;lan,~m;li,,l?ada ,~\llanya
4Qiip, ~~t;a~asJc'!l~~- din beada. arn,orf';s~~~rti beras
proses terjadi dil;>,agia .ci~paq ,dii\,ku~.i11ter:vert~pr,a,
("rice bodies") yang terdi3plltdi tepi granuloma sinovial,
menyebabkan penyempitan ruang diskus, memberi keluhari
~f.c1. bodies _ ll_l~ .Prrtfil:~ali 'dilaporkan oleh Reise I?ada
nyeri punggung yang menahun kemyd,\<J.r,cl,i,~.~nai
t~hi~ I S'9?, Pf1df1 kasus artritis ,tl}berkul,osa yang juga
mupculnya kifos.is runcing akJbat hancu~~yr~orpil;s
~pat.dite01;ukan papa artritis reumatoid dan artritis kronik
~~!
p~
4i
fan~ .
v~~ebt
1,1.,
,..i
1:1
1t
I'
Patolpg;i ,,;,.c:;
seWe~ti-asi 'ti.ilaiig
yang
l8f1Y':
1,
!,
:,q
.1
t.ap,o
~tr~fi.:
mi"bfaa
Dos is
Anak/Hari
Dos is
Dewasa/Hari
Rifampisin
10 mg/kg BB p.o
lseniazid (INH)
5 mg/kg BB p.o
Pirazinarnid
Streptomisin
20-40 mg/kg IM
Etambutol
15 mg/kg BB JM
(> 60 th:10 mg/kg)
15-25 mg/kg p.o
aJcib'at
pe!ldJu~~
~hllf~r:I
kasus arl.itis
'ahi Yfin
t1e'twainJ
erliectaan
o.
mw~
Dosis Maksimum/Hari
Efek Samping
600 mg
300-400
Hepatitis, febris,
diskotorisasi jihgga pada
urin
Hepatitis, neuropati
perifer
Hepatotoksisitas,
hiperurisemia, artralgia,
skin rash.
Ototoksisitas nefrotoksik
mg
2 gr
1 gr
(>60 th: 750 mg IM)
2,5 gr
Radiologi
Pada tahap awal terlihat gambaran seperti osteoporosis
dan suramnya gambaran tulang. Selanjutnya terjadi erosi
yang memperlihatkan gambaran berupa pemmkaan sertdi
yang compang camping. Sering pula terlihat lesi kistik pada
metafisis, lempeng epifisis dan diafisis. Pada trokanter
mayor yang terkena akan tampak gambaran khas berupa
luasnya bagian yang erosi dan bayangan iregular lebar di
bagian luas akibat kalsifikasi perkijuan pada bursa
subgluteal. Kadallg kadang lesi tulang tidak khas dan sukar
dibedakan dengan kerusakan akibat sebab yang lain.
Pada pemeriksaan radiologis tulang punggung, terlihat
gambaran berupa destruksi tulang disertai pembentukari
tulang barn dibagian yang telah sembuh. Ada perbedaan
yang jelas aritara kelainan ini dengan dehgan gambarari
suafa ineta'Stasis; infeksi diskus itervertebral yang
destniktif serta meny'ebar ke korpus vertebra didekatnya.
Ham.pit separuh-kasus a:rtrifis tuberkulosa mempunyai
gambaran radiologi.'sparu yang normal.
,> 'j;?
... .
,-
','f
Labor~tori
um
.f>J~eriksaari.
1 cairan 's1oovial
r....
r
1
cukup
, '&ervariasi.
f
T
Sec.ara
7
Oia~nosis
.,
penata~~ adal~
Ketl!lot~lffltu&Jt!~bera.u_tasinfeksi
Memberikan istirahat pada sendi yang terkena sejak
permulaan dengan rnemberikan bidai atau lainnya,
Operasi, bila ada abses dan infeksi menetap, misalnya
sinovektomi,
Fiksasi seadi (artrodesrS)tau artroplasti bila kerusakan
sendi sud~
parah,
kemeterapi, penanggulangan
temtama dengan melakukan
s~
~q?icyli
1}1:,li
r-,
.,.,
X ~ ''1i2 ;2~0(1
, .,,:
, ~ ,,.,'~:.,.
grup
Manifestasi
PenMalaksanaan
,;/
:11).
i\
;,;:~,;,,
!,,)
1)
l1H~:.1:,(;:
.. ,
:tiri~ma
selama3-4 ming~.
11'1.feRsi' awal! stadiilni 2 (disse#iinated ihfection}. Dafatii.
waktu 'beberapa hflti' sanipaM~~'tY~r<apa mitiggu, sp1tarcieta
2646
ini berlangsung singkat (3 hari sampai 6 minggu); blok
jaritung komplit jarang menetap lebih dari l minggu dan
pemasangan pacu j an tung permanen tidak pernah
diperlukan,
I
Infeksi lanjut:
stadium
3 (Infeksi ., perslsten),
Rata-rataji
'
.
I '
.
' . ,
bulan setelah muJai timbul, 60% pasien rnengalami
oligoartritis yang asimetrik, terutama pada sendi- endi
besar, misalnya sendi lutut. Kadang-kadang juga diikuti
serangan pada struktur periartikuler termasuk entesopati,
Walaupun polanya bervariasi, episode artritis akan
memanjang pada tahun kedua dan ketiga penyakit, Pada
10% kasus; artritis menjadi kronik, yaitu serangan inflamasi
yangterus menerus selama 1 tahun atau lebih. Artritis kronik
ini biasanya hanya mengenai 1 atau kedua lutut dapat
menimbulkan erosi pada rawan sendi dan tulang. Walaupun
didapatkan nyeri sendi, pembengkakan sendi jar.a~g
didapatkan dalamjangka waktu yang lama. Pada beberapa
kasufllapat ditemukan dsteomielitis,- panikulitis, atau
Re.girnen
Si stem
lnfeksi awal
(lokal atau diseminata)
* Dewasa
11
li.~
:.
,:
'"Anak
r,
,,.1
.. ; (8tahun.atau
J'i:,
.fofek,si :trc1nsplase,11;taj.
:,i
terse but, .
Jlf
! ,rl
,,
Id
ii
~ra(,~,' _!
;i
.IJi:!:f,i., :
I,.
,,;;;
_,-;
,r
Artritis
(intermiten
.!rl I'.,
1' ,,,
tJ:,.:
30
dapat
1
foglkgthari .
diberikaii ~tiirbmisfn
dalam 3 dosis;,pelrora]; selama 10
ii
bt~;:iiin
atau
2 1'00 rrig/ha;iselama
'
AmCDksris~lin 4 x 500mg1hari +
pr9';>efi1e~i\i
, 4 . >! ~OP fITIQ/hari,
peroral, selama 30 hari
'Seftriakson 2
I.V, sekan sehari,
s:elama 14 hari , ,
P~ni. s)llin . ,2 P j1.Jta. tJihari . di~agi
dalam 6 dosis, selama 14 hari
''
Seflriatl:.son 2 gr 'LV Sekall set\ari,
selama 14 - 30 hali
Sefotaksim 3 x 2 gr/h;ari IV, sela(ll,a
11-30harj
...
30 hari
kronik)
gr
i..-
'
'' :
1
.1
i'
,i;
.ir.l
setetah' ihastdfk:ediliam 1t1:1\.it; B. m-kgdd,:ie}-,.aka1fmefiyeoo-r
men'ib~brnl<.~rRJma mi"gr-ai:is clan n'iei'l'yel\a'r-'secat'a
helliatogeti ke otgJMigatt laillllyi: Pada aJ.a1ftya r-esp6n~
PatogetiesiS"'lil .'
lj
.
selama 10 ~ 30 h13ri
. . ,
,11 ''Artiokiilsti1iri'2-0'mgM~/tiijr('dalari('
kurang) ., 3,-dosis;.peror:al,tselama
10: 301
. Kelairian Neuro1ogis
{awal atau 1anjut)
.
[rn11~);11i~i, traw,pla~~ntal, clap: ..8,.~urgdorferi.dilaporkan
wa 2 bayi yang iPUJ1Ya t:n~n<;J,ei:tta penyakit.Lyme dan
~lillf1,1a~y;;i. meningga] pada.minggu perta~1cehi,clupa@ya,
Kelainan jantung
D~,k~i~ikiin
x 200 mg/h~r(pe(
oral, selama 30 hari '
2647
Gambarari Labotatorlum
Pemeriksaan serologis hanya bersifat membantu diagnosis.
Pada awal minggu-minggu pertama,
beberapa pasien
menunjukkan tes yang positif 'terhadap antibodi
Biburgdorferi. Sebagaimana tes serologis yang lain, kadangkadang didapatkan basil positif palsu atau negatif palsu.
Untuk memastikan' hasil serologis positif palsu, dapat
yang
Manifestasi Reumatlk
Berbagai spektrum kelainan reumatik dapat terjadi pada
infeksi HIV, mulai dari artralgia sampai artritis rektif dan
segem
2648
Kelaianan reumatik lain yang sering timbsl pada infeksi
HIV adah\h sfogren;'s like syndrome, dengan
gambaran
:!,-:
I l,f ,fl!'JI,
.L;/!
~:
;~.
ir!
';i,
II
lr1
!I
IJ,!1; ,f,
_.,
MIRt~J~ft;~!ir.,i~ 1~t:'.1~;>'A1:sm.9-s)s_ .
menetap walaupun erupsi kulit sudah x;J;11j:ngp.il~Secara histologik akaa tampak gam.~rapin,flaUlilsi ,clii
penebalan septa di dalamjaringan lemak. Laju endap darah
hampir selalu meningkat,
Untuk menegakkan diagnosis, harus dil~tr
biops!
kulit (fell thickness skin bibpsy). Pemeriksaan lain
tergantung pada kasus perkasus; seperti ifmnrg 'le'ukosit,
hi~ng jenis, titer AS!O, fot? da~1 kui~ fJrihg d~
kulit untulc tuberkulosis, koks'idloidothikdsts, 1Slasttn4rikosis
dan histoplasmosis,
rs
r;,;.;,
. :
2649
REFERENSI
) 15 \'
i mll,l.lolo&r, ; i997 : 2.1 o . 222
Lidgren L. Septic Arthritis and Osteomyelitis. In: Hochbers M, Silman 't,;_ ~ass'l opou'los. D, Calabrese L. Rheumatic Aspects of HIV infection
AJ, Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe
and other lmmunodeficiens stases. In : Hochbers M, Silman AJ,
Limited 2003:1055-66.
Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe Limttetli 2003:1115-29.
: .1 '~, . i r _.,:-ri
'J~ .:
I .;(1-'
.i:,_:ilJ{;
,.
,
.,I
11' 1(
)
:[1
''
-L j
' r. ; .: [,
J;,..-1;
11.;L
,r
407
i ,
~~
'
OSTEOPOROSIS
Bambang Setiyohadi
2651
OSTEOPOROSIS
Faktorrisikoklinis
Sampai saat ini, telah diketahuiberbagai faktorrisiko fraktur
osteoporotik selain umur dan densitas massa tulang.
Beberapa faktor risiko bervariasi tergantung pada umur.
Misalnya risiko terjatuh pada gangguan penglihatan,
imobilisasi dabn penggunaan sedatif akan menjadi risiko
fraktur yang tinggi pada orang tua dibandingkan pada
orang muda. Asupan kalsium yang rendah merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya fraktur panggul,
walaupun demikian, banyak dokter dan pasien tidak
Tabet 2. Rasio risiko fraktur panggul pada berbaga, laktor risiko osteoporosis
setelah disesuaikan dengan umur dan BMO (Kanis, et al)
lndikator risiko
Tanpa
BMD
Dengan
BMD
RR
1,95
0,83
1,85
2,27
1,84
2,31
1,68
1,95
95%CI
1,71-2,22
0,69-0,99
1,58-2, 17
1,47-3,49
1,52-2,22
1,67-3,20
1,19-2,36
1, 11-3,42
RR
1,42
1,00
1,62
2,28
1,60
2,25
1,70
1,73
95%CI
1,23-1,65
0,82-1,21
1,30-2,01
1,48-3,51
1,27-2,02
1,60-3,15
1,20-2,42
0,94-3,20
2652
2653
OSTEOPOROSIS
Umur (tahun)
Perempuan : laki-laki
Tipe kerusakan tulang
Bone turnover
Lokasi fraktur terbanyak
Fungsi paraliroid
Efek estrogen
Etiologi utama
Tipe I
Tipe II
50-75
>70
2:1
6:1
Terutama
Tinggi
Vertebra,
Menu run
Terutama
Defisiensi
radius distal
skeletal
estrogen
Estrogen
Sel tulang
Reseptor
estrogen
Osteoblas
Osteosit
Bone marrow stromal cells
Osteoklas
Kondrosit
trabekular
Berbagai
Sel Tulang
Osteoklas
Osteosit
ekspresi ERa,
-l. formasi
Kondrosit
2654
REUMATOLOGl
Patogenesis OsteoporosisTipe II
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang
spinalnya sebesar 42% dan kehilangan tulang femumya
sebesar 58%. Pada dekade ke delapan dan sembilan
kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling
tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan
formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan
menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan
mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur.
Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko fraktur yang
independen terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin
Osteoporosis
Gambar 1. Patogenesis
osteoporosis
pasca menopause
Usia lanjut
J.absorpsi Ca
diusus
Definisi vitamin D,
J.aktifitas 1-cl:lidroksilase,
resistensi thd vit D
....._
2. Patogenesis
Osteo
i.--------l
porosis
2655
OSTEOPOROSIS
Anamnesis
Anamnesis memegang peranan yang penting pada
evaluasi penderita osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan
utama dapat langsung mengarah kepada diagnosis,
misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis,
bowing leg pada riket, atau kesemutan dan rasa kebal di
sek:itar mulut dan ujungjari pada hipokalsemia. Pada anakanak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek, nyeri
tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi
ekstraskeletal, kesemuanya mengarah kepada penyakit
tulang metabolik.
Faktor lain yang harus ditanyakanjuga adalah fraktur
pada trauma minimal, imobolisasi lama, penurunan tinggi
badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari,
asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, latihan yang teratur
yang bersifat weight-bearing.
Obat-obatan yang diminum dalamjangka panjangjuga
harus diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon tiroid,
anti konvulsan, heparin, antasid
yang mengandung
alumunium, sodium-fluorida dan bifosfonat etidronat.
Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko
osteoporosis.
Penyakit-penyakit
lain yang harus
ditanyakan yang juga berhubungan dengan osteoporosis
adalah penyakit ginjal, saluran cema, hati, endokrin dan
insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan
menopause, penggunaan obat-obat kontraseptif juga
harus diperhatikan. Riwayat keluarga dengan osteoporosis juga harus diperhatikan, karena ada beberapa penyakit
tulang metabolik yang bersifat herediter.
Pemeriksaan Fisik
Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap
penderita
osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan
penderita, deformitas tulang, leg-length inequality, nyeri
spinal dan jaringan parut pada leher (bekas operasi tiroid ?).
Sklera yang biru biasanya terdapat pada penderita
osteogenesis imperfekta. Penderita ini biasanya juga akan
mengalami
ketulian, hiperlaksitas
ligamen dan
hipermobilitas sendi dan kelainan gigi. Cafe-au-lait spots
biasanya didapatkan pada sindrom McCune-Albright.
Pada anak-anak dengan vitamin D-dependent rickets tipe
II, sering didapatkan alopesia, baik total atau hanya
berambut jarang.
Pada rikets, beberapa penemuan fisik sering dapat
mengarahkan ke diagnosis, seperti perawakan pendek,
nyeri tulang, kraniotabes, parietal pipih, penonjolan sendi
kostokondral (rashitic rosary), bowing deformity tulangtulang panjang dan kelainan gigi.
Hipokalsemia ditandai oleh iritasi muskuloskeletal,
yang berupa tetani. Biasanya akan didapatkan aduksi
jempol tangan, fleksi sendi MCP dan ekstensi sendi-sendi
2656
IP. Pada keadaan yang laten, akan didapatkan tanda
Chovstek dan Trosseau.
Pada penderita hipoparatiroidismeidiopatik,pemeriksa
harus mencari tanda-tanda sindrom kegagalan
poliglandular, seperti kandidiasis mukokutaneus kronik,
penyakit Adison, alopesia, kegagalan ovarium prematur,
diabetes melitus, tiroiditis otoimun dan anemia pemisiosa.
Pada penderitahiperparatiroidismeprimer, dapat ditemukan
band keratoplasty akibat deposisi kalsium fosfat pada tepi
limbikkomea.
Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan
kifosis dorsal atau gibbus (Dowager's hump) dan
penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan
protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral dan
kulit yang tipis (tanda McConkey).
REUMATOLOGI
2657
OSTEOPOROSIS
PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
Pemeriksaan radiologik untuk menilai densitas massa
tulang sangat tidak sensitif. Seringkali penurunan densitas
massa tulang spinal lebih dari 50% belum memberikan
gambaran radiologik yang spesifik. Selain itu, tehnik dan
tingginya kilovoltage juga mempengaruhi
basil
pemeriksaan radiologik tulang.
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis
adalah penipisan korteks dan daerah trabek:uler yang lebih
lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra
yang memberikan gambaran picture-frame vertebra.
Pada tulang-tulang vertebra, pemeriksaan radiologik
sangat baik untuk mencari adanya fraktur kompresi, fraktur
baji atau fraktur bikonkaf. Pada anak-anak, fraktur kompresi
dapat timbul spontan dan berhubungan dengan osteoporosis yang berat, misalnya pada osteogenesis
imperfekta, rikets, artritis reumatoid juvenil, penyakit Crohn
atau penggunaan steroid jangka panjang. Bowing deformity pada tulang-tulang panjang, sering didapatkan pada
anak-anak dengan osteogenesis imperfekta, rikets dan
displasia fibrosa.
Resorpsi subperiosteal
merupakan gambaran
patognomonik hiperparatiroidsme, terlihat pada 10%
kasus, terutama pada daerah radial falang medial j ari II dan
III. Kelainan ini akan tampak dengan baik bila
menggunakan film mamografi. Selain itu dapat juga terlihat
lesi fokal atau multipel yang juga spesifik untuk
hiperparatiroidisme
yang disebut
brown tumor
(osteoklastoma) yang berisi sel-sel raksasa yang sangat
responsif terhadap PTH. Kelainan ini akan hilang dengan
pembuangan adenoma paratiroid.
Vertebra
Gambaran osteoporosis pada foto polos akan menjadi lebih
radiolusen tetapi barn terdeteksi setelah terjadi penurunan
massa tulang sekitar 30%. Variabilitas faktor teknis dalam
pengambilan foto polos, dan variasi jenis serta ketebalan
jaringan lunak yang tumpang tindih dengan vertebra akan
mempengaruhi gambaran radiologisnya dalam menilai
densitas tulang. Selain itu adanya kompresi vertebra, akan
meningkatkan densitas tulang karena terjadi perpadatan
trabek:ula dan pembentukan kalus. Tetapi ada pendapat
lain yang menyatakan bahwa angka 30% itu karena
berdasarkan misinterpretasi pada penelitian in vitro yang
telah dilakukan 40 tahun yang lalu. Lachman dan Whelan
menunjukkan bahwa hal tersebut benar untuk daerah
kortikal sedangkan pada tulang-tulang yang mempunyai
kadar trabek:ula tinggi osteoporosis dapat dilihat secara
radiogram bila terjadi defisit mineral tulang sebesar 8-14%.
Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan
osteoporosis vertebra :
1. Kriteria yang paling subyektif adalah peningkatan daya
tembus sinar pada korpus vertebra atau penurunan
2658
REUMATOLOGI
densitas tulang.
2 Hilangnya trabekula borisontal disertai semakin
jelasnya trabekula vertikal. Resorpsi, penipisan dan
menghilang terutama pada trabekula horisontal
dibandingkan trabekula yang vertikal sehingga
menghasilkan gambaran densitas striata vertikal.
Adanya diskrepansi resorpsi trabekula dapat berkaitan
dengan efek dari kompresi, yang selanjutnya terjadi
tulang subkondral yang tipis dan tegas.
KriteriaBone Atrophy Class (SilverScienceGroup, 1990)
merupakan salab satu metode yang dapat digunakan
dalam menilai osteoporosis berdasarkan perubahan
trabekulasi. Kriteria Bone Atrophy Class membagi
tingkatan perubaban trabekulasi menjadi 4 tingkatan,
yaitu:
- Grade 2
- Grade 3
- Grade 4
Klas O Normal
Klas I Trabekula longitudinal lebihjelas Klas II
Trabekula longitudinal menjadi kasar Klas III
Trabekula longitudinal menjadi tidakjelas
3. Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus
vertebra. Pemeriksaan ini sangat sulit karena tebal
korteks yang sangat kecil sehingga menimbulkan
kesalahan dalam pengukuran selain sulit menentukan
tepi korteks.
4. Perubaban end plates, baik secara absolut maupun
relatif dengan membandingkan antara korpus vertebra
dengan end plates. Penurunan kandungan kalsium
dalam vertebra menghasilkariend plates akan semakin
jelas terlibat. Indikator perubaban end plates ini
merupakan indikator yang paling sensitif dalam
menentukan osteoporosis.
5. Abnormalitas bentuk korpus vertebrae dapat berupa
bentuk baji (diametervertebra anteriorkurang atau lebih
rendah daribagian posterior),bikonkaf,frakturkompresi
(bila tinggi kedua tepi vertebra berkurang).
Menurut penelitian Oda dick bahwa bentuk baji dari
vertebra merupakan deformitas tulang yang paling
seringterj adi, kemudiandiikutibikonkaf,flat/frakturvertebra. Terdapat beberapa cara dalam menilai
bikonkavitas vertebra, salah satu diantaranya Spine
score yang digunakan Barnet dan Nordin dengan
membandingkan persentase antara tinggi vertikal
korpus vertebra lumbal 3 bagian tengah (melalui pusat
vertebra) dengan tinggi vertikal bagian anterior pada
foto lateral vertebra lumbal. Apabila spine score < 80
menunjukkan osteoporosis. Salah satu usaba untuk
menentukan tingkat atau derajat skala osteopenia pada
tulang vertebra yaitu menggunakan metode Saville
dengan penilaian terhadap densitas, end plates dan
trabekula vertikal. Skor osteopenia semikuantitatif
Saville sederbana dan mudah diaplikasikan tetapi
membutuhkan interpretasi yang masih subyektif.
Terdapat korelasi yang kasar/luas antara nilai skor
TfnT
VDS
O Hp, Hm, Ha= 100%
iLt_Ji
DOD
u
. ----
D
U
----.
--~---
~.
;~
---------
1. A.Hm<85%
b. Ha<85% a
b
2. A. Hm<70%
b. Ha<70%
----5---
----------:
_:
3. Hp,Hm,Ha <85%
<70%
OSTEOPOROSIS
pada vertebra lumbal-1 mempunyai korelasi yang paling tinggi, diikuti dengan densitas korpus vertebra
dibandingkan denganjaringan lunak yang berdekatan.
Kemudianjumlah trabekula. Ketiga kriteria radiologis
tersebut temyata bermaknapada densitasmineral tulang
diatas 110 Mg/CM3 Sehingga disimpulkan kriteria
radiologis pada foto polos vertebra lumbal lateral dapat
memperkirakan densitas tulang pada penderita non osteoporosis (di atas ambang fraktur) serta dapat
memperkirakan kuantitas tulang vertebra (kehilangan
mineral tulang di bawah 40%).
2659
Femur Proksimal
Telah lama diketahui bahwa bagian ujung proksimal tulang
femur terdiri dari trabekula tulang yang tersusun dalam 2
lengkung yang sating menyilang. Dan telah dibuktikan
melalui analisa matematika bahwa susunan trabekula ini
berkaitan dengan weight bearing dimana tekanan yang
diterima kaput femoris diteruskan ke shaft tulang femur
melalui susunan trabekula ini.
Pada tahun 1970 Singh dan kawan-kawan telah berhasil
menetapkan bentuk trabekula pada ujung atas femur
sebagai sebuah indeks osteoporosis. Terdapat 5 kelompok
anatomitrabekula sebagai berikut :
1. Principal compressive group, berupa deretan trabekula
yang berjalan dari medial kortek leher femur ke arah
bagian atas kaput femoris, merupakan trabekula yang
paling tebal dan dense.
2. Secondary compressive group, trabekula yang berjalan
sedikitmelengkungdari medial leher femurdibawahdari
kelompok principal compressive ke arah trokhanter
mayor. Trabekulanya tipis dan agak renggang.
3. Greater trochanter group, merupakan trabekula tipis
dan berbatas kurang tegas dari kelompok tensile yang
berjalan dari lateral dibawah trokhanter mayor menuju
2660
REUMATOLOGI
Metakarpal
Resorpsi pada korteks tulang dapat tampak di 3 tempat
spesifik yaitu permukaan endosteal, intrakortikal dan
periosteal.
Pada pemeriksaan foto tangan yang perlu diperhatikan
adalah metakarpal ke 2 pada tangan kanan. Dilakukan
pengukuran tebal kortek yaitu selisih antara diameter
tulang dengan tebal medulla, serta rasio tebal korteks
dengan diameter tulang. Didapatkan hasil hubungan vang
bermakna antara rasio tebal kortek dan diameter tulang
terhadap hasil biopsi. Atau dilakukan perhitungan dengan
rumus:
CA/TA= TW2 - MW2
TW2
CA/TA ==> perbandingan daerah korteks (CA) dengan
daerah keseluruhan (TA)
TW ==> tebal keseluruhan
MW ==> tebalmedula
2661
OSTEOPOROSIS
Diagnostik
Normal
Osteopenia
Osteoporosis
Osteo orosis berat
T-Score
> -1
< -1
< -2,5 (tanpa fraktur)
< -2,5 den an fraktur
2662
umur 25-44 tahun, kemudian densitas semua tulang akan
menurun setelah menopause antara umur 45-55 tahun.
Setelah umur 70 tahun densitas tulang pada lumbar
menurun lebih lambat dibandingkan radius karena adanya
proses degeneratif. Radius merupakan tempat yang
paling baik digunakan untuk menilai densitas tulang pada
usia lanjut karena proses terjadinya degeneratif yang
sedikitdibandingtempatlainsertabasilpresisinyayangtinggi.
Nilai koefisien akurasi DXA sebesar 4-10% dan
koefisien presisi 1-3%. Nilai koefesien presisi untuk
vertebra 0,26-2,6% sedangkan untuk femur 0,7 - 2,1%.
Faktor yang dapat mempengaruhi kesalahan dalam
perhitungan yaitu faktor tulang ( osteofit, kompresi
vertebra, kalsifikasi aorta dll) dan non tulang (barium
intraluminal, prothese, obat-obatan yang mengandung
kalsium, pergerakan pasien dll).
Indikasi densitometri tulang :
1. Wanita premenopause dengan risiko tinggi, misalnya
hipomenore atau amenore, menopause akibat
pembedahan atau anoreksia nervosa. Dengan tujuan
untuk evaluasi pengobatan.
2. Laki-laki dengan satu atau lebih faktor resiko, misalnya
hipogonadisme (testosteron rendah), pengguna
alkohol,osteoporosispada radiografiatau fraktur karena
trauma ringan.
3. lmobilisasilama (lebih dari 1 bulan).
4. Masukan kalsium yang rendah 'lebih dari 10 tahun.
Misalnya hiperkalsiuria dengan atau tanpa batu ginjal
(4mg/kg/hr), malabsorpsi atau hemigastrektomi (10
tahun setelah operasi).
5. Artritis reumatoid atau ankylosing spondylitis selama
lebih dari 5 tahun terus-menerus.
6. Awai pengobatan kortikosteroid atau methotrexat dan
setiap 1-2 tahun pengobatan.
7. Menggunakan terapi antikonvulsan dengan dilantin
atau fenobarbital selama lebih dari 5 tahun.
8. Kreatinin klirens <50 milmenit atau penyakit tubular
ginjal.
9. Osteomalasia dengan kalsium serum yang rendah,
fosfor serumrendah dan atau alkali fosfatasemeningkat.
10. Hiperparatiroidismedengankalsium serumtinggi,fosfor serum
rendah dan atau hormon paratiroid meningkat
(terutama untuk kasus ringan atau non-bedah untuk
melihat efektifitasterapi).
11. Penggunaan terapi pengganti tiroid lebih dari 1 0 tahun.
12. Evaluasi terapi osteoporosis, yaitu estrogen atau
estrogen/progesteron, pengganti
testosteron,
kalsitonin, vitamin D dan kalsium, difosfonat, fluorida
serta anabolik steroid.
13. Wanita postmenopause dengan 2 atau lebih faktor
resiko. Misalnya dengan riwayat keluarga osteoporosis, masukankalsium rendah, fraktur pada orang dewasa
dengan trauma minimal, osteopeni pada radiografi
konvensional, kontraindikasi atau intoleran terhadap
terapi estrogen, umur lebih dari 65 tahun, pengguna
REUMATOLOGI
alkohol.
14. Insulin dependent diabetes melitus.
Tabel 7 Region of Interest (ROI)
Bagian-bagiantulang yang diukur (Region of Interest, ROI):
Tulang belakang (L1-L4)
Panggul
- Femoral neck
- Total femoral neck
- Trokanter
Lengan,bawah(33% radius), bila:
- Tulang belakang dan/atau panggul tak dapat diukur
- Hiperparatiroidisme
- Sangat obes
Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah
yang digunakan untuk diagnosis osteoporosis
= -----------------
Z-score
= -----------------
SONODENSITOMETRI
2663
OSTEOPOROSIS
2664
trabekular pada laki-laki lebih tebal dibandingkan
wanita, sehingga risiko fraktur juga lebih rendah.
REUMATOLOGI
pada
5. ldiopatik
Sekitar 30% osteoporosis pada laki-laki ternyata tidak
diketahui secara jelas penyebabnya. Diagnosis osteoporosis idiopatik ditegakkan setelah semua penyebab yang lain
dapat disingkirkan. Saat ini diduga terdapat hubungan
antara osteoporosis idiopatik dengan rendahnya kadar
IGF-1 atau IGF-1 bindingprotein 3 (IGFBP-3).
Efek GlukokortikoicfpadT
aulang
1. Histomorfometri
Secara histomorfometri, glukokortikoid akan mengakibatkan penurunan tebal dinding tulang trabekular, penurunan
mineralisasi, peningkatan berbagai parameter resorpsi
tulang, supresi pengerahan osteoblas dan penekanan
fungsi osteoblas.
OSTEOPOROSISAKIBAT GLUKOKORTIKOID
3. Efek pada Resorpsi Tulang
Glukokortikoid
sangat banyak digunakan untuk
mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit
otoimun.
Glukokortikoid
merupakan
penyebab
osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik yang
terbanyak.Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan
absorbsi kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium
lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia,
hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja
osteoklas. Selain itu glukokortikoid uga akan menekan
produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen
menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat
kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan
menghambat kerjanya, sehingga formasi tulang menurun.
Dengan adanya penin gkatan resorpsi tulang oleh
osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas,
maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan
meta-analisis didapatkan bahwa risiko fraktur panggul pada
pengguna steroid meningkat 2,1-4,4 kali. Oleh sebab itu
terapi osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai
bila T-score mencapail dan BMD serial harus dilakukan
tiap 6 bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperti pada
osteoporosis primer.
Efek glukokortikoid pada tulang trabekular jauh lebih
besar daripada efeknya pada tulang kortikal, dan
kehilangan massa tulang yang tercepat sampai terjadi
frakturpada umumnya terjadi pada vertebra, iga dan ujung
tulang panjang. Kehilangan massa tulang tercepat terjadi
pada tahun pertama penggunaan steroid yang dapat
mencapai 20% dalam l tahun.
Insidens yang pasti fraktur akibat osteoporosis pada
pengguna steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu,
penggunaan steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga
D (l,25(0H\D)
OSIU)POROSIS
PENATALAKSANAAN
Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara
menghambat kerja osteoklas (anti resorptit) dan/atau
meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang).
Walaupun demikian, saat ini obat yang beredar pada
umumnya bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan
obat anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen,
bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk
stimulator tulang adalah Na-fluorida, PTH dan lain
sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek
anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan
untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses
formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan
menyebabkan
peningkatan
produksi
PTH
(hiperparatiroidisme sekunder) yang dapat menyebabkan
pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif.
Edukasi dan Pencegahan
1. Anjurkanpenderitauntuk melakukanaktivitasfisikyang
2665
teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan
koordinasi sistem neuromuskular serta kebugaran,
sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai
latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60
menit/hari, bersepeda maupun berenang.
2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui
makanan sehari-hari maupun suplementasi,
3. Hindari merokok dan minum alkohol,
4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi
testosteron pada laki-laki dan menopause awal pada
wanita.
5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat
menimbulkan osteoporosis,
6. Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada
penderita yang sudah pasti osteoporosis
7. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan
penderita terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-obat
sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat
menyebabkan hipotensi ortistatik,
8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orangorang yang kurang terpajan sinar matahari atau pada
penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE. Bila
diduga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(0H)D
serum harus diperiksa. Bila 25(0H)D serum menurun,
maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/
hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita
dengan gagal ginjal, suplementasi l,25(0H)p harus
dipertimbangkan.
9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal
dengan membatasi asupan Natrium sampai 3 gram/hari
untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus
ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari,berikan
diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari).
10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis
tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian
glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan
sesingkat mungkin,
11. Pada penderitaArtritis Reumatoid dan artritis inflamasi
lainnya, sangat penting mengatasi aktifitas
penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan
penurunan densitas massa tulang akibat artrituis
inflamatifyang aktif.
Latihan dan Program Rehabilitasi
Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi
penderita osteoporosis karena dengan latihan yang
teratur, penderita akan menjadi lebih lincah, tangkas dan
kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain
itu latihan juga akan mencegah perburukan osteoporosis
karena terdapat rangsangan biofisikoelektrokemikal yang
akan meningkatkan remodeling tulang.
Pada penderita yang belum mengalarni osteoporosis,
maka sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang,
sedangkan pada penderiota yang sudah osteoporosis,
2666
maka latihan dimulai dengan latihantanpa beban, kemudian
ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan
beban yang adekuat.
Selain latihan, bila dibutuhkan maka dapat diberikan
alat bantu (ortosis), misalnya korset lumbal untuk penderita
yang mengalami fraktur korpus vertebra, tongkat atau alat
bantu berjalan lainnya, terutama pada orang tua yang
terganggu keseimbangannya.
Hal lain yangjuga barus diperharikan adalah mencegah
risiko terjatuh, misalnya menghindari lantai atau alas kaki
yang licin; pemakaian tongkat atau rel pegangan taogan,
terutamadi kamar mandi atau kakus, perbaikan
penglihatan, misalnya memperbaiki penerangan,
menggunakan kaca mata dan lain sebagainya. Pada
umumnya fraktur pada penderita osteoporosis
disebabkan oleh terjatuh dan risiko
terjatuh yang paling sering justru terjadi didalam rumah,
oleh sebab itu tindakan pencegahan harus diperhatikan
dengan baik, dabn keluarga juga harus dilibatkan dengan
tindakan-tindakan pencegahan ini.
Tabel 9. Daftar Kandungan Kalsium Per 100 gr Bahan
Makanan
Kelompok Bahan
Bahan
Mg Ca/100
Makanan
Makanan
grbahan
Susu dan produknya
lkan
Sayuran
Kacang-kacangan dan
hasil olahannya
Serealia
Susu sapi
Susu kambing
Susu manusia
Keju
Yoghurt
Teri kering
Rebon
Teri segar
Sarden
kalengan (dg
tulang)
Daun pepaya
Bayam
Sawi
Brokoli
Kacang
panjang
Susu kedelai
(250 ml)
Tempe
Tahu
Jali
Havermut
116
129
33
90-1180
150
1200
769
500
354
353
267
220
110
347
250
129
124
213
53
Estrogen
Proses resorpsi oleh osteojklas dan formasi oleh osteoblas
dipengaruhi olerh banyak faktor, seperti faktor humeral
(sitokin,prostaglandin, faktorpertumbuhan dll), dan faktor
sistemik (kalsitonin, estrogen, kortikosteroid, tiroksin dll).
Sitokin yang meningkatkan kerja osgteoklas adalah
granulocyte-macrophage colony-stimulating factors
(GM-CSF), macrophage colony-stimulating factors (M-
CSF), tumour necrosisfactor a (TNFa), interleukin-I (ILl) dan interleukin-6 (IL-6). Sedangkan faktor lokal yang
meninghkatkan kerja osteoblas adalah IL-4, dan
transforming growth factor/3 (TGF/J).
Secarapasti, tidak diketahuibagaimanamekanisme anti
resorptif estrogen terhadap tulang; walaupun demikian
diduga ada 2 mekanisme yaitu mekanisme langsung dan
tidak langsung.
Reseptor estrogen ditemukan baik pada osteoblas
normal maupun pada populasi osteoblast-like osteosarcoma cell. Reseptor pada sel-sel tersebut relatif dalam
konsentrasi yang rendah bila dibandingkan dengan
resptor pada sel target estrogen yang lain. Pada penelitian
in vitro, temyata I 7,B-estradiol akan meningkatkan mRNA
pada sel osteoblas yang bertanggung jawab pada sintesis
rantai a I prokolagen tipe I. Selain itu I 7,B-estradioljuga
akan meningkatkan mRNA insulin-like growth factor- 1
(IGF-I) dan PTH yang dirangsang oleh aktifitas adenilat
siklase.
IL-1 dan TNF merupakan sitokin yang akan
meningkatkan stimulasi osteoblas untuk pertumbuhan dan
pematangan osteoklas dari prekursornya di sumsum
tulang. Selain itu, kedua sitokin tersebut juga akan
meningkatkan pelepasan mediator-mediator lain yangjuga
berperan untuk pematangan osteoklas, seperti IL-6,
M-CSF dan GM-CSF. Pada penelitian, dapat dibuktikan
bahwa estradiol dapat menghambat pelepasan TNF oleh
monosit dan wanita yang telah mengalami ooforektomi
menunjukkan peningkatan konsentrasi IL-I sampai IL-6.
Selain itu estrogen juga akan menghambat produksi IL-6
baik oleh osteoklas maupun sumsum tulang. Pada
penelitian biopsi tulang, didapatkan bahwa kadar mRNA
yang mengkodingIL-I a, IL-I {3, TNFa dan IL-6 padawanita
yang menggunakan HRT ternyata lebih rendah
dibandingkan pada spesimen tanpa HRT. Penelitian lain
menunjukkan bahwa konsentrasi estrogen yang normal
akan menekan pelepasan IL-I oleh monosit darah perifer.
Faktor lokal lain adalah prostaglandin, terutama PGE2
yang pada kadar rendah akan merangsang formasi tulang
sedangkan pada kadar tinggi akan merangsang resorpsi
tulang melalui osteoblas. Efek estrogen terhadap
prostaglandin tidak diketahui secara jelas, tetapi pada
kultur jaringan tulang yang diambil dari tikus yang
diooforektomi, ternyata estrogen dapat menghambat
pelepasan prostaglandin.
Efek HRT terhadap produksi kalsitonin in vivo masih
kontroversial, sementara pada penelitian in vitro
didapatkan bahwa l 7b-estradiol ternyata dapat
merangsang sel C-tiroid untuk meningkatkan produksi
kalsitonin.
Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa
(misalnya vagina) dan saluran cema. Pemberian estradiol
transdermal akan mencapai kadar yang adekuat didalam
darah pada dosis 1/20 dosis oral. Estrogen oral akan
mengalami metabolisme terutama di hati. Estrogen yang
2667
OSnx>POROSIS
OH R1 OH
I
I
I
I
I
I
0= P-C-P=O
OH R2 ~OH
Gambar 6.Struktur umur bisfosfonat, R 1 dan R 2 dapat dimodifikasi
untuk mengubah potensi dan profil efek samping
Raloksifen
2668
REUMATOLOGI
Contoh
Etidronat
Klodronat
Tiludronat
Pamidronat
Alendronat
Risedronat
lbandronat
Zoledronat
R,
R2
OH
Cl
H
OH
OH
OH
OH
OH
CH3
Cl
CHi-S-fenil-CI
CH2-CH2NH2
(CH2)JNH2
CH2-S-piridin
CH2CH2N(CH3)(pentil)
CH2-imidazol
OSTEOPOROSIS
2669
preparat kalsium 1000-1500 mg/hari. Pada penelitian
pemberian etidronat pada penderita yang mendapatkan
glukokortikoid jangka panjang yang diberikan dalam 100
hari setelah pemberian glukokortikoid, temyata kelompok
yang mendapat etidronat selama 1 tahun, tidak
menunjukkan perubahan BMD baik pada lumbal maupun
trokanter, dibandingkan dengan plasebo.
Pamidronat merupakan bisfosfonat generasi kedua
yang pemberiannya adalah intravena. Bisfosfonat ini
biasanya digunakan didalam klinik untuk mengobati
Penyakit Paget atau Hiperkalsemia akibat keganasan
dengan dosis 60 mg/kali per-drip sebulan sekali. Pada
pasien-pasien penyakit reumatik inflamatif yang
mendapatkan prednison dosis tinggi,
pemberian
pamidronat 30 mg/kali setiap 3 bulan selama 1 tahun
temyata memberikanperbedaan BMD pada daerah lumbalo.
8,9% dan daerah trokanter 7,5% lebih b aik dibandingkan
yang mendapatkan suplementasi kalsium saja.
Alendronat 5 mg/hari dan risedronat 5 mg/hari, juga
temyata dapat melindungi tulang penderita-penderita yang
mendapatkan steroid dosis tinggi dan jangka panjang.
Dalam waktu 1 tahun, alendronatakan meningkatkan BMD
0,8%, sedangkan kelompok yang tidak mendapat
alendronat, turun BMD-nya sampai 4,1% dalam waktu 1
tahun. Pemberian risedronat 5 mg/hari sejak awal
pemberian steroid,juga memberikanperbedaan BMD yang
bermakna sampai 3,8% lebih baik dibandingkan kelompok
yang tidak mendapat risedronat.
Bisfosfonat untuk Pengobatan Osteoporosis
Akibat Steroid
Pada penelitian selama 2 tahun terhadap 49 pasien yang
mendapat glukokortikoid jangka panjang, ternyata
pemberian etidronat siklikal meningkatkan BMD lumbal
secara bermakna dibandingkan kontrol. Walaupun
demikian, BMD pada pinggul dan petanda biokimia tulang
temyata tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.
Alendronat 10 mg/hari temyata juga memberikan basil
yang baik untuk pengobatan osteoporosis akibat steroid.
Dalam waktu 48 minggu, temyata BMD pada lumbal dan
leher femur meningkat pada kelompok alendronat dan
berbeda bermakana dibandingkan yang tidak mendapat
alendronat.
Risedronat2,5 mg/hari dan 5 mg/hari dalam pengobatan
osteoporosis akibat steroid, juga secara bermakna
meningkatkan BMD lumbal, leher femur dan trokanter
dibandingkan kelompok yang tidak mendapat risedronat.
Selain itu, risedronat 5 mg/hari juga lebih efektif
dibandingkan dengan risedronat 2,5 mg/hari dalam
pengobatan selama 12 bulan.
Dari berbagai penelitian dan meta-analisis terhadap
penelitian dengan bisfosfonat, ternyata bisfosfonat
mempunyai efek yang baik untuk pengobatan osteoporosis akibat steroid, terutama untuk meningkatkan BMD
------'
2670
pada daerah lumbal. Selain itu penggunaan bisfosfonat
untuk terapi juga memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan untuk pencegahan.
Kalsitonin
Kalsitonin (CT) adalah suatu peptida yang terdiri dari 32
asam amino, yang dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan
berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas.
Aksi biologikini digunakandidalamklinik untuk mengatasi
peningkatan resorpsi tulang, misalnya pada penderita
osteoporosis, penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat
keganasan.
Sekresi CT, secara akut diatur oleh kadar kalsium
didalam darah dan secara kronik dipengaruhi oleh umur
dan jenis kelamin. Kadar CT pada bayi, akan tinggi,
sedangkan pada orang tua, rendah kadamya. Pada wanita,
kadar CT ternyatajuga lebih rendah daripada laki-laki.
Saat ini, telah diketahui struktur kalsitonin dari IO
spesies yang berbeda, yang secara umum terdiri dari glisin
pada rersidu 28, amida prolin pada termninal karboksi dan
kesamaan pada 5 dari 9 asam amino pada terminal amino.
Se! C kelenjar timid merupakan sumber primer
kalsitonin pada mamalia, sedangkan pada hewan
submamalia,dihasilkan oleh kelenjarultimobrarikial.Selain
itu gen kalsitonin juga menghasilkan calcitonin gene
related product (CGRP) yang merupakan peptida yang
terdiri dari 37 asam amino yang memiliki aktifitas biologik
berbeda dengan kalsitonin, yaitu sebagai vasodilator dan
neurotransmiter dan tidak bereaksi dengan reseptor
kalsitonin. Jaringan lain yangjuga menghasilkan kalsitonin
adalah sel-sel hipofisis dan sel-sel neuroendokrin yang
tersebar diberbagai jaringan, tetapi kalsitonin nontiroidal
ini tidak mempunyai peran yang penting pada kadar
kalsitonin di perifer. Kalsitonin merupakan petanda tumor
yang penting pada karsinoma tiroid meduler.
Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai
penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah
pemberian, efek tersebut sudah mulai bekerja sehingga
aktifitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitoninjuga
mempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang
osteoblas, tetapi efek ini masih kontroversial. Efek lain
yang penting adalah analgesik yang kuat. Banyak
hipotesis yang menerangkan mekanisme efek analgesik
kalsitonin, misalnya peningkatan kadar P-endorfin,
penghambatansintesisPGE2, perubahan fluks kalsiumpada
membran neuronal, terutama di otak, mempengaruhisistem
katekolaminergik, efek anti depresan maupun efek lokal .
sendiri. Kalsitonin juga akan meningkatakan ekskresi
kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan menimbulkan
hipokalsem,ia dan hipofosfatemia. Efek lain adalah efek
anti inflamasi, merangsang penyembuhan Iuka dan fraktur,
dan mengganggu toleransi glukosa.
Konsentrasi kalsium plasma merupakan regulator
sekresi kalsitonin yang penting. Bila kadar kalsium plasma
2671
meningkat, maka sekresi kalsitonin juga akan meningkat,
sebaliknya bila kadar kalsium plasma menurun, sekresi
kalsitonin juga akan menurun. Walaupun demikian, bila
hiperkalsemia dan hipokalsemia berlangsung lama maka
efeknya terhadap sekresi kalsitonin nampaknya tidak
adekuat, mungkin terjadi kelelahan pada sel C tiroid untuk
mrerespons rangsangan tersebut.
Beberapa peptida gastrointestinal, terutama dari
kelompok gastrin-kolesistokinin merupakan sekretagogs
kalsitonin yang poten bila diberikan secara parenteral pada
dosis suprafisiologik.
Kalsitonin,
merupakan obat
yang
telah
direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan penyakitpenyakit yang miningkatakan resorpsi tulang dan
hiperkalsemiayang diakibatkannya,seperti Penyakit Paget,
Osteoporosis dan hiperkalsemia pada keganasan.
Pemberiannya secara intranasal, nampaknya akan
mempermudah penggunaan daripada preparat injeksi yang
pertama kali diproduksi.Dosis yang dianjurkan untuk
pemberian intra nasal adalah 200 U perhari. Kadar puncak
didalam plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit,
dan akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal. Pada
sekitar separuh pasien yang mendapatkan kalsitonin lebih
dari 6 bulan, ternyata terbentuk antibodi yang akan
mengurangi efektifitas kalsitonin.
StrontiumRanelat
Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis yang
memiliki efek ganda, yaitu meningkatkan kerja osteoblas
dan menghambat kerja osteoklas. Akibatnya tulang
endosteal terbentuk dan volume trabelar meningkat.
Mekanisme kerja strontium ranelat belum jelas benar,
diduga efeknya berhubungan dengan perangsangan
Calsium sensing receptor (CaSR) pada permukaan selsel tulang. Dosis strontium ranelat adalah 2 gram/hari
yang dilarutkan didalam air dan diberikan pada malam
hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum makanan dan 2 jam
setelah makan. Sama dengan obat osteoporosis yang lain,
pemberian strontium ranelat hams dikombinasi dengan
Ca dan vitamin D, tetapi pemberiannya tidak boleh
bersamaan dengan pemberian strontium ranelat. Efek
samping strontium ranelat adalah dispepsia. Pada
bebverapa kasus juga dilaporkan tromboemboli vena dan
reaksi obat yang disertai eosinofilia dan gejala sistemik
lainnya.
Hormon Paratiroid Hormon Paratiroid berfungsi untuk
mempertahankankadar kalsium didalam cairan
ekstraseluler dengan cara merangsang sintesis
l,25(0H)p di ginjal, sehingga absorpsi kalsium di
usus meningkat. Selain itu juga merangsang formasi
tulang. Fragmen aminoterminal 1-34 (hPTH[1-34])dari 84
asam aminopolipeptidaini merupakan komponen yang
aktif yang telah dapat disintesis dan
2672
REUMATOLOGI
Natrium fluorida
Natrium fluoridamerupakan stimulatortulang yang sampai
sekarang belum disetujui oleh FDA, tetapi tetap digunakan
di beberapa negara. Saat ini tersedia 2 preparat, yaitu
natrium fluorida (NaF) dalam bentuk tablet salut yang
bersifat lepas lambat, dan tablet monofluorofosfat (MFP).
Dua ratus mg disodium MFP setara dengan 36 mg NaF
atau 16,4 mg ion fluorida. Walaupun dosis optimal masigh
diperdebatkan, penelitian pada umumnya menunjukkan
hasil yang baik pada dosis ion fluorida 20-30 mg perhari.
Sebagai perbandingan, dosis fluorida yang dibutuhkan
untuk mencegah karies dentis adalah 2-4 mg perhari.
Fluorida merupakan mitogenik terhadap osteoblasyang
aksinya membutuhkan ketersediaan faktor pertumbuhan.
Berbeda dengan efek anti resorptif yang sangat lambat,
pemberian fluorida akan meningkatkan massa tulang
spinal secara dramatik dan linier rata-rata 9%/tahun selama
4 tahun. Walaupun demikian, temyata pemberian fluorida
akan menyebabkan penurunan densitas pada tulang
kortikalsehinggameningkatkanrisiko fraktur tulangperifer.
Risiko ini dapat dikurangi dengan pemberian fluorida
secara siklik (ada massa bebas fluorida) atau dengan
mengkombinasikannya dengan kalsium dan vitamin D.
Fluorida akan cepat diabsorpsi pada pemberian
peroral dan akan mencapai kadar puncak dalam waktu 30
menit. Absorpsi akan lebih baik bila diberikan dalam
keadaan perut kosong; adanya makanan didalam lambung
akan menurunkan absorpsi sampai 30-50%. Ginjal akan
mengekskresikan fluorida sekitar 50% dan sisanya akan
disimpan di tulang. Ekskresi fluorida akan menurun bila
CCT menurun sampai40-50 ml/menit.
Berdasarkan data yang terbatas, efek terapertik fluorida
akan tercapai bila kadar fluorida didalam serum mencapai
0,1-0,25mg/1 (5-lOmmol/l).
Dosis NaF dibawah 30-40 mg/hari ternyata tidak
memberikan efek terapetik yang nyata, tetapi dosis diatas
75-80 mg/hari akan menyebabkankelainan tulang. Fluorida
akan mengganggu mineralisasi tulang dengan mengganti
gugus hidroksil pada hidroksiapatit menjadi fluoroapatit
yang lebih tidak stabil tetapi resisten terhadap resorpsi.
Walaupun demikian tulang yang mengandung fluoroapatit
akan menunjukkan gambaran histologik yang abnormal,
mineralisasi yang rendah dan kurang kuat dibandingkan
tulang yang normal.
Efek samping lain selain peningkatan risiko fraktur
perifer adalah iritasi lambung dan artralgia yang mungkin
berhubungan dengan mikrofraktur atau remodeling tulang
yang terlalu cepat. Untuk mengatasi iritasi lambung, dapat
digunakan tablet salut NaF atau preparat MFP.
Kalsium
Asupan kalsium pada pendyuduk Asia pada umumnya
lebih rendah dari kebutuhan kalsium yang
direkomendasikan oleh Institute of Medicine, National
Academyof Science(1997),yaitu sebesar 1200mg. Kalsium
sebagai monoterapi, ternyata tidak mencukup untuk
mencegah fraktur pada penderita osteoporosis. Preparat
kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat, karena
mengandungkalsium elemen400 g/gram,disusulKalsium
fosfat yang mengabndung kalsium elemen 230 g/gram,
kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemen 211 g/
gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemen
130 g/gram dan kalsium glukonat yang mengandung
kalsium elemen 90 g/gram.
Denosumab
Denosumab merupakan antibodi monoklonal (IgGJ
manusia yang akan berikatan dengan receptor activator
of nuclear factor kappa B ligand (RANKL) yang
Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktifitas
estrogenik. Ada banyak senyawa fitoestrogen, tetapi yang
telah diteliti adalah isoflavon dan lignans. Isoflavon yang
2673
OSTEOPOROSIS
Selectiveestro-gen
receptor
modulators
(SERMs)
Kalsitonin
Honnon seks
Nama generik
Kemasan
Risedronat
Alendronat
lbandronat
Zoledronat
Tablet, 35 mg, 5 mg
Tablet 70 mg, 10 mg
Tablet, 150 mg
Vial, 4 mg,
5 mg
Pamidronat
Klodronat
Raloksifen
Tab, 60 mg
Kalsitonin
Estrogen terko-nyugasi
alamiah
Tablet40 mg
Kombinasi testosteron
propionat, tes-tosteron
fenilpro-pionat,
testosteron dekanoat
Hipogonadisme,
osteoporosis
akibat
defisiensi
androgen: 120-160 mg/hari selama 2-3 minggu,
dilanjutkan dosis pemeliharaan 40-1.20mg/hari
Hipogonadisme, osteoporosis akibat defi- siensi
androgen : 1 ml IM, 3-4 minggu sekali
Strontium
ranelat
Kalsium
Medroksiprogesteron
asetat (MPA)
Testosteron
undecanoate
,
Vitamin D
Dosis
Bubuk,
2 gram/bungkus
Kalsitriol
Softcap, 0,25 g
Alfakalsidol
Kalsium karbonat
Kalsium hidrogen-fosfat
2674
REUMATOLOGI
Pendekatan dioagnostik
Penatalaksanaan
Dugaan
fraktur
vertrbra
(nyeri punggung/ping-gang,
hiperkifosis, tinggi badan
turun,)
Densitometri tulang
T-score <-2,5
Pengguna glukokorti-koid
jangka -panjang
Densitometri tulang
T-score <-2,5
Densitometri
T-score >-1
T-score <-1
T-score >-1
OSTIIDPOROSIS
REFERENSI
Isbagio H. Beberapa Aspek Perkembangan Terbaru di bidang
Reumatologi. Dalam: Sudoyo AW, Markum HMS et al (eds).
Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit
Dalasa 1998. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
1998:137-54.
Favus J Murray et al (eds). Primer on The Metabolic- Bone Disease
and Disorders of Mineral Metabolism. 6th ed. American Societry
for Bone and Mineral Research, Washington DC, 2008
Seeman E. Bone Quality. Advances in Osteoporotic Fracture
Management 2002;2(1):2-8
Watts NB. Bone Quality: Getting Closer to a Definition. J Bone
Miner Res 2002; 17(7): 1148-50.
Seeman E. Pathogenesis of bone fragility in women and men.
Lancet 2002;359: 1841-50
Kanis JA. Assessment of Fracture Risk. Who Should be Screened ?
In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases
and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society
2675
for Bone and Mineral Research, Washington DC, 2003:316-23.
Kanis JA, Borgstrom F, De Laet C et al. Assessment of fracture risk.
Osteoporosis Int 2005(16):581-9.
Marcus R. Feldman D, Nelson DA (eds). Osteoporosis. 3rd ed. Vol 2.
Elsevier Academic Press, London, 2008
Riggs B, Khosla S, Melton J. A Unitary model for involutional
osteoporosis: Estrogen deficiency causes both type I and type
II osteoporosis in postmenopausal women and contributes to
bone loss in aging men. J Bone Miner Res 1998;13:763-73.
Frost HM. On the Estrogen-Bone Relationshp and Postmenopausal
Bone Loss: A New Model. J Bone Miner Res 1999;14(9):1473-7.
Bonnick SL. Bone Densitometry in Clinical Practice: Application
and Interpretation, 1st ed. Humana Press, Totowa, New Jersey,
1998.
Meunier PJ. Osteoporosis: Diagnosis and Management. 1st ed. Mosby,
London, 1998.
Wolf AD, Dixon AJ. Osteoporosis: A Clinical Guide. 2nd ed. Martin
Dunitz, London 1998.
Daftar Komposisi Bahan Makanan, Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI, Penerbit Bhratara, Jakarta 1996.
Hauselmann HJ. Osteoporosis in men. Rheumatology in Europe
1995;24(suppl 2):73-6.
Sambrook PN. Glucocorticoid Induced-Osteoporosis. Dalam : Favus
MJ (ed). Primer on the metabolic bone diseases and disorders of
mineral metabolism. 6th ed. American Society of Bone and
Mineral Research, Washington DC 2008:296-301
American College of Rheumatology Ad Hoc Committe on
Glucocorticoid-Induced Osteoporosis. Recommendatiom for the
Prevention and Treatment of Glucocorticoid-Induced Osteoporosis: 2001 Update. Arthritis Rheum 2001;44(7):1496-1503.
Lem WJ, Jacob JWG, Bijlsma JWJ. Corticosteroid indiced osteoporosis. Rheumatology in Europe l995;24(suppl):76-9.
Spencer CP, Stevenson JC. Oestrogen and anti oestrogen for the
prevention and treatment of osteoporosis. In :Meunier PJ (ed).
Osteoporosis: Diagnosis and Management. Mosby. St Louis.
1998: 111-22.
Wolf AD, Dixon ASJ. The menopause and hormonal replacement
therapy. In: Wolf AD, Dixon ASJ (eds). Osteoporosis: A Clinical
guide. 2nd ed. Martin Dunitz, London 1998: 195-214.
Watts NB. Pharmacology of agents to treat osteoporosis. In: Favus
MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders
of Mineral Metabolism. 4th ed. Lippincott William & Wilkins.
Philadelphia 1999:278-83.
Russel RGG, Rogers MJ, Frith JC et al. The Pharmacology of
Bisphosphonates and New Insights into Their Mechanisms of
Action. J Bone Miner Res 1999;14(suppl 2):53-65.
Grauer A, Bone H, McCloskey EV et al. Discussion:Newer
Bisphosphonates in the treatment of Paget's disease of Bone:
Where We are and Where we want to go. J Bone Miner Res
1999; 14(suppl 2):74-8.
Harris ST, Watts NB, Genant HK. Effects of Risedronate treatment
on Vertebral and Nonvertebral fractures in women with
postmenopausal osteoporosis: A Randomized controlled trial.
Vertebral efficacy with risedronate therapy (VERT) Study group.
JAMA 1999;282(14):1344-52.
Mortensen L, Charles P, Bekker PJ et al. Risedronate increases bone
mass in an early postmenopausal population: Two years of
treatment plus one yer of follow up. J Clin Endocrinol Metab
1998;83(2):396-402.
Delmas PD, Salena R, Confravreux E et al. Bisphosphonate
Risedronate prevents bone loss in women with artificial
menopause due to chemotherapy of breast cancer: A double
2676
REUMA'OOLOGI
408
OSTEOMALASIA
Nyoman Kertia
PENDAHULUAN
2678
tubular renal tipe II memiliki ganguanreabsorpsibikarbonat
dan bermanifestasi asidosis
hipokalemia hiperkloremia dengan hipofosfatemia yang disebabkan oleh
bertambahnya fosfaturia.
Rendahnya kadar 1,25 (OH\ vitamin D pada beberapa
pasien menjadi konsekuensi dari abnormalitasmetabolisme
tubular proksimal. Pasien dengan asidosis tubular renal
dan sindrom Fanconi juga mengekskresikan banyak
kalsium, magnesium, kalium, asam urat, glukosa, asam
amino dan sitrat. Osteomalasia akibat penggunaan
aluminium pada pasien dengan gagal ginjal kronik saat ini
sudah jarang terjadi karena pembatasan penggunaan
pengikat fosfat yang mengandung aluminium untuk
mengendalikan hiperfosfatemia dan perbaikan metode
untuk mempersiapkan larutan dialisat.
REUMATOLOGI
REFERENSI
Basha B, Rao D, Han Z, Parfitt A.M., 2000 Osteomalacia due to
vitamin D depletion: a neglected consequence of intestinal
malabsorption. Am J Med ;108:296-300.
Chesney R.W., 1999 Fanconi syndrome and renal tubular acidosis. In:
Favus M, ed. Primer on the metabolic hone diseases and
disorders of mineral metabolism, 4'" ed. Chicago: Lippincott
Williams & Wilkins. p. 340-3.
Elder G., 2002 Patophysiology and recent advanced in the
management of renal osteodystrophy. J Bone Miner Res ;
17:2094-105.
Heaney R.P, Davies K.M, Chen T.C, 2003 Human serum
25-hydroxycholecalciferol response to extended oral dosing
with cholecalciferol. Am J Clin Nutr; 77:204-10.
Holick M.F., 1999 Vitamin D in Shils M, Olson J. Shike M, Ross A,
eds. Modern nutrition in health and disease, 9th ed. Baltimore:
Williams & Wilkins, p.329-45.
Liberman U.A, Marx S., 1999 Vitamin D-dependent rickets. In:
Favus M, ed. Primer on the metabolic bone diseases and
disorders of mineral metabolism, 4'h ed. Chicago: Lippincott
Williams & Wilkins. p: 323-8.
Karaaslan Y, Haznedaroglu S, Ozturk M., 2000 Osteomalacia
associated with carbamazepine I valproate. Ann Pharmacother
; 34:264-5.
Klein G.L., 1999 Metabolic bone disease of total parenteral
nutrition. In:Favus MJ, ed. Primer on the metabolic bone
disease and disorders of mineral metabolism, 4 th ed. Chicago:
Lippincott Williams & Wilkins. p. 319-2:l.
Mina! S.K, Dash S.C, Tiwari S.C, 1999 Bone histology in patients
with nephritic syndrome and 11orrnal renal function. Kidney Int ;
55:1912-19.
Ozuah P., 2000 Planning the treatment of a patient who has
2679
409
PENYAKIT PAGET
Nyoman Kertia
PENDAHULUAN
GAMBARAN KLINIS
EPIDEMIOLOGI
DIAGNOSIS
Klinis
2681
PENYAKIT PAGET
Radiologis
Diagnosis penyakit Paget terutama adalah secara
radiologis. Sejumlah gambaran radiologis berbeda
digambarkan oleh banyak peneliti. Meskipun sejumlah
besar diagnosis diferensial harus dipertimbangkan,
diagnosis radiologis biasanya bukan masalah. Jika dalam
foto polos tampak samar-samar, maka Computered
Tomography (CT) scan bisa membantu, terutama jika teknik
resolusi tinggi digunakan untuk menunjukkan struktur
skeletal internal.
Foto polos kurang sensitif dibandingkan skintigrafi
pada diagnosis penyakit Paget. Tidak ada manfaat yang
didapatkan dari survei skeletal dari foto polos untuk menilai
luasnya keterlibatan skeletal sedangkan isotop scanning
bisa jadi lebih sensitif dan menggunakan sedikit
radiasi. Foto polos berharga dalam mendiagnosis
komplikasi sekunder penyakit Paget seperti artritis atau
fraktur. Ada beberapa hal yang bisa direkomendasikan
mengenai foto polos:
Diagnosis penyakit Paget dapat ditegakkan dengan foto
polos dari minimal satu area tulang pada semua pasien
dengan kondisi ini.
Survei tulang menyeluruh tidak tepat untuk menegakkan
luasnya keterlibatan skeletal.
Area yang nyeri pada penyakit Paget harus diperiksa
dengan foto polos untuk menentukan apakah ada
penyebab yang mendasarinya.
Isotope bone scanning dengan menggunakan 99mTclabeled bisphosphonate tracer lebih sensitif dibandingkan
foto polos dalam mengidentifikasi lesi pagetik. Satu studi
menunjukkan bahwa isotope scanning seperti ini akan
mendeteksi hingga 50% lebih lesi dibandingkan yang terlihat
pada foto polos. Teknik ini juga menguntungkan untuk
bisa memvisualisasikan seluruh tulang dan menilai luasnya
penyakit. Seperti diketahui bahwa distribusi penyakit
berguna dalam merencanakan terapi (khususnya untuk
menentukan apakah basis kranii terlibat) maka
isotope scintigraphy harus dipertimbangkan pada semua
pasien untuk menilai luas dan aktivitas penyakit.
Direkomendasikan bahwa meskipun isotope scintigraphy
bukan merupakan metode pilihan untuk mendiagnosis
penyakit Paget, semua pasien dengan penyakit Paget harus
menjalani scintigraphy untuk menilai luasnya keterlibatan
skeletal.
Biokimiawi
Penyakit Paget berkaitan dengan peningkatan turnover
tulang. Marker turnover tulang pada umumnya meningkat
pada penyakit aktif. Aktivitas alkaline fosfatase plasma
meningkat pada 85% pasien dengan penyakit Paget yang
tidak diterapi. Pada banyak pasien dengan aktivitas
alkaline fosfatase 'normal' penyakit ini monostotik atau
terbatas pada sedikit tulang. Ada hubungan kuat antara
luasnya aktivitas penyakit yang diukur dengan skintigrafi
Histologis
Biopsi tulang jarang
dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis penyakit Paget. Kadang,
pemeriksaan ini
bermanfaat dalam membedakan metastase osteoblastik
atau osteosarkoma.
PENANGANAN
Simptomatik
Simptom utama penyakit Paget adalah nyeri. Dalam
beberapa kasus nyeri ini tampaknya meningkat
berhubungan dengan peningkatan turnover tulang, namun
juga disebabkan oleh kompresi saraf sebagai akibat dari
deformitas tulang atau artritis yang sudah ada. Pada semua
pasien perlu dilakukan penilaian klinis yang hati-hati untuk
menentukan berbagai kemungkinan penyebab nyeri,
sehingga terapi yang tepat bisa diberikan. Nyeri tulang
Paget adalah akibat dari peningkatan turnover tulang yang
merespons baik terhadap pemberian inhibitor osteoklas,
dimana nyeri ini meningkat untuk kompresi saraf namun
tidak demikian pada osteoartritis. Penyebab-penyebab
nyeri ini harus diterapi dengan obat standar, seperti
analgesik sederhana, NSAID atau opioid analgesik secara
sendiri-sendiri atau dalam kombinasi. Banyak pasien
mendapatkan
manfaat dari penambahan
terapi
antidepresan trisiklik dosis rendah sebagai regimen
analgesik. Metode fisik pengendalian nyeri bisa juga
membantu. Ini meliputi akupunktur, stimulasi saraflistrik
transkutaneus, fisioterapi dan hidroterapi. Banyak pasien
juga mendapat manfaat dari cara lain seperti pemakaian
alat bantu tongkat berjalan dan juga sepatu khusus.
2682
Penggantian sendi harus dipertimbangkan pada pasien
dengan osteoartritis lanjut yang simptomnya menetap
walau sudah diterapi. Pembedahanjuga diperlukan untuk
sindrom kompresi saraf yang tidak respons dengan terapi
medis.
Spesifik
Terapi spesifik untuk penyakit Paget bertujuan untuk
menurunkanturnoverabnormaltulang.Karena defekprimer
tampakya pada osteoklas, kebanyakan terapi bertujuan
menurunkan resorpsi tulang osteoklas. Terapiberbeda telah
digunakan selama bertahun-tahun. Dengan ditemukannya
bisfosfonat maka peluang pengobatan penyakit Paget
secara labih baik mulai terbuka. Penggunaan obat-obatan
ini mungkin dibatasi hanya di pusat spesialis saja.
Perbandingan efektivitas terapi antar satu regimen dengan
regimen lainnya sulit diketahui sebab kurangnya penelitian
mengenai respons terapi. Yang banyak adalah laporanlaporan awal yang menggambarkan respons mengenai
turunnya persentase aktivitas alkaline fosfatase. Selain
bisfosfonat maka ada beberapa jenis terapi lain yang bisa
diberikan yang akan dibahas di bawah ini.
REUMATOLOGI
fosfatase antara 40% dan 70% dan reduksi yang sama pada
ekskresi hydroxyproline urin. Meskipun kendali biokimia
lebih baik dengan dosis etidronat yang lebih tinggi, dosisdosis ini berkaitan dengan efek samping yang lebih banyak
termasuk peningkatan efek samping gastrointestinal.
Penggunaan dosis rendah etidronat berhubungan dengan
rendahnya angka efek samping gastrointestinal mendekati
kondisi yang sama dengan populasi umum. Meskipun regimen dosis rendah memberi manfaat klinis, namun dosis ini
berhubungan dengan angka kegagalan terapi biokimia yang
lebih tinggi dibandingkan regimen dosis tinggi. Terapi
dengan etidronat dosis rendah juga brhubungan dengan
reistensi jangka panjang terhadap terapi.
Untuk menghindari defek mineralisasi, kini
direkomendasikan bahwa etidronat dapat diberikan dalam
dosis 400 mg/ hari selama tidak lebih dari 6 bulan. Setelah
periode 6 bulan bebas terapi maka terapi ulang bisa
diberikankembali.
Pamidronat. Pamidronat secara original diberikan per oral
dalam manajemen penyakit Paget. Namun tingginya
insidensi efek samping saluran cerna mengakibatkan
penggunaannya lebih banyak sebagai infos intravena.
Berbagai regimen terapi berbeda telah diteliti, namun kini
protokol yang direkomendasikanuntuk diberikan tiga infus
60 mg dengan interval 2 minggu atau 6 infus dari 30 mg
dengan interval waktu yang sama. Terapiini menyebabkan
reduksi antara 50% dan 80% dalam aktivitas alkaline
fosfataseplasma, perbaikan rasa nyeri dan perbaikan dalam
radiologis dan tampilan skintigrafi. Meskipun pamidronat
secara umum dapat ditoleransi dengan baik, obat ini
berhubungan dengan kejadian reaksi febris setelah terapi
intravena. Tampaknya paling sering terjadi setelah infus
pertama. Beberapa pasien mengalami peningkatan nyeri
tulang setelah infus pamidronat.
2683
PENYAKIT PAGET
b. Kalsitonin
Kalsitonin adalah peptida 32-asam amino yang disekresikan
oleh sel C tiroid. Aksi fisiologis utama tampaknya
mensupresi konsentrasi kalsium plasma dengan kombinasi
menurunkan resorpsi tulang dan meningkatkan hilangnya
kalsium urin. Kemaknaan fisiologis pada mamalia yang
hidup di darat tidak jelas, meskipun efek ini jelas pada
ikan. Kalsitonin menghambat resorpsi tulang dengan aksi
langsung terhadap osteoklas, yang dimediasi oleh reseptor
kalsitonin yang ditemukan dalam sel-sel tersebut. Sebelum
adanya bisfosfonat, kalsitonin adalah terapi pilihan untuk
manajemen penyakit Paget. Studi-studi menunjukkan
bahwa agen ini mampu menghambat aktivitas tulang
pagetik.
Sebagai polipeptida, kalsitonin dengan cepat dirusak
dalam saluran gastrointestinal dan perlu diberikan secara
parenteral (intravena). Awalnya dilakukan pemberian
dengan menggunakan injeksi subkutan dan intramuskuler
namun kedua rute pemberian ini berhubungan dengan efek
samping bermakna meliputi flushing, nausea dan vomitus. Aktivitasnya lebih lemah, durasi aksi yang lebih pendek
dan efek samping yang lebih banyak dibandingkan
dengan bisfosfonat menyebabkan kalsitonin tidak
direkomendasikan sebagai lini pertama manajemen
penyakit Paget. Agen ini memegang peran pada pasien
jika bisfosfonat tidak dapat ditoleransi atau terbukti tidak
efektif
c. Plikamisin
Plikamisin ( dahulunya mitramisin) adalah antibiotika
sitotoksika yang mampu menghambat aktivitas osteoklas.
Meskiptin bahan ini mampu menurunkan turnover tulang
dan nyeri tulang pada pasien dengan penyakit Paget, efek
ini dibatasi oleh toksisitas sistemik yang berat, terutama
toksisitas terhadap sumsum tulang dan hepar. Obat ini
tidak direkomendasikan
penggunaannya
di luar pusat
spesialis dan diberikan hanya dengan indikasi yang tepat
dan tanpa adanya kontraindikasi.
d. Agen Lain
Berbagai agen lain kadang digunakan untuk manajemen
penyakit Paget. Agen ini meliputi galium nitrat, glukagon,
kortikosteroid dan berbagai agen sitotoksik. Di antara
2684
semua obat ini tidak ada yang bisa direkomendasikandalam
manajemen rutin penyakit Paget.
Pembedahan
Dalam manajemen penyakit Paget, pembedahan secara
umum dibatasi untuk manajemen fraktur, deformitas atau
artritis. Meskipun dinyatakan bahwa karena tulang pagetik
lebih vaskular maka ada peningkatan risiko perdarahan
selama pembedahan, namun ini tidak dilaporkan oleh
banyak peneliti. Tampaknya beralasan untuk memberikan
terapi antipagetik sebelum pembedahan, hal ini untuk
meyakinkan bahwa terapi penyakit dasar tidak bisa
menggantikanperlunya pembedahan.Pembedahankadang
dilakukan untuk memperbaiki kondisi fraktur, deformitas
dan artritis.
REFERENSI
Altman, R.,D., Bloch, C.A., Hochberg, M.C., and Murphy, W.A.
Prevalence of pelvic Paget's disease of bone in the United States.
J Bone Miner Res 15:461-465:2000.
Alvarez, L., Guanabens, N., Peris, P., Monegal, A., Bedini, J.L.,
Deulofeu, R., et al . Discriminative value of biochemical markers of bone turnover in assessing the activity of Paget's disease.
J Bone Miner Res 10:458-465:1995.
Altman, R.D. Long-term follow up of therapy with intermittent
etidronate disodium in Paget's disease of bone. Am J Med 79:583590: 1985.
Aitken, J. M. and Lindsay, R. Mithramycin in Paget's disease.
Lancet i: 1177-1178: 1973
Brown, J.P., Hosking, D.J., Ste-Marie,L., Johnston, C.C.Jr.
Ryan,W.G., et al. Risedronate, a highly effective, short-term
oral treatment for Paget's disease: A dose-response study. Calcif
Tissue Int 64:93-99:1999.
Buckler, H., Fraser, w., Hosking, D., /Ryan, W.. , Maricic, M.J.,
Singer, F. et al. Single infusion of zoledronate in Paget's disease
of bone: A placebo-controlled, dose -ranging study. Bone 24
(Suppl 5): 81S-85S: 1999.
Canfield, R., Rosner, W., Skinner, J., McWhorter, J., Resnick, L.,
Feldman, F., et al. Diphosphonate therapy of Paget;s disease of
bone. J. Clin Endocrinol Metab 44:96-106: 1977.
Cantril,J.A., Buckler, H.M., and Anderson, D.C. Low dose
intravenous 3-amino-1-hydroxypropylidene-l, 1-bisphoshonate
(APD) for the treatment fo Paget's disease of bone. Ann Rheum
Dis 45d012-1018: 1986
Barker, D. J., Clough, P. W., Guyer, P.B., and Gardner, M.J. Paget's
disease of bone in 14 British town. Br. Med J. 1:1181-1183: 1977.
Bell, N. H., Avery, S., and Johnston, c. C. Jr. Effects of calcitonin if
Paget's disease and polyostotic fibrous dysplasia. J Clin
Endocrinol Metab 31 :283-290: 1970.
Bidner, S. and Finnegan, M. Femoral fractures in Paget's disease.
J Orthop Trauma 3:317-322: 1989.
Cooper, C., Schafheutle, K., Dennison, E., Kellingray,S., Guyer, P.,
and Barker, D. The epidemiology of Paget's disease in Britain: Is
the prevalence decreasing? J Bone Miner Res 14:192-197: 1999.
Delmas, P.D. and Meunier, P.J.Drug therapy: The management of
Paget's disease disease of bone. N Engl J Med 336:558-566:
1997.
REUMATOLOGI
Douglas, D.L., Duckworth, T., Kanis, J.A., Preston, C., Beard, D.J.,
Smith. T.W., et al. Biochemical and clinical responses to
dichloromethylene diphosphonate (C12MDP) In Pager's
disease of bone. Arthritis Rheum 23: 1185-1192: 1980.
Eastell, R.Biochemical markers of bone turnover in Paget's disease
of bone. Bone 24(suppl.5): 49S-50S: 1999.
Grauer, a., Heichel, S., Knaus, J., dosch,E., and Ziegler, R. Ibandronate
treatment in Paget's disease of bone. Bone 24(suppl.5): 87-89:
1999.
Gonzales, D.C., and Mautalen, C.A .. Short-term therapy with oral
olpadronate in active Paget's disease of bone. J Bone Miner Res
14:2042-2047: 1999.
Gennari, C., Passeri, M., Chierichetti, S.M., and Piolini, M.
Side-effects of synthetic salmon and human calcitonin (letter).
Lancet I :594-595: 1983.
Hamdy, R. Paget s disease of bone assessment and Management.
London:Praeger: 1981.
Kanis, J.A. Pathophysiology and Treatment of Pagels disease of
bone. 2 Ed.London: Martin Dunitz: 10:1998.
Khairi, M.R., Robb, J.A., Wellman, H.N., and Johnston, C.C. Jr.
Radiographs and scans in diagnosing symptomatic lesion of
Paget's disease of bone '(osteitis deformans). Geriatrics 29:4954: 1974.
Kanis, J.A. Pathophysiology and Treatment of paget s disease of
bone. 2 ed.London: Martin Dunitz:110-138:1998
Kanis, J.A. Pathophysiology and Treatment of Pagels disease of
bone. 2 ed.London: Martin Dunitz:139-158:1998.
Kanis, J.A. Pathophysiology and Treatment of paget s disease of
bone. 2 ed.London: Martin Dunitz:99: 1998.
Ludkowski, P., and Wilson-Macdonald, J. Total arthroplasty in Paget's
disease of the hip. Clin Orthop Rel Res 255:160-167: 1990.
Louette, L., Lammens, J., and Fabry, G. The Illizarov external fixator
for treatment of deformities in Paget's disease. C/in Orthop Rel
Res 323:298-303: 1996.
Miller, P.D., Brown, J.P., Siris, E.S., Hoseyni, M.S., Axelrod, D.W.,
and Bekker, P.J.A. A randomized, double-blinde comparison of
risedronate and etidronate in the treatment of Paget's disease
of bone. Paget's Risedronate/Etidronate Study Group. Am J
Med 106:513-520: 1999.
Miller, P.D., Brown, J.P., Siris, E.S., Hoseyni, M.S., Axelrod, D.W.,
and Bekker, P.J.A. A randomized, double-blinde comparison of
risedronate and etidronate in the treatment of Paget's disease
of bone. Paget's Risedronate/Etidronate Study Group. Am J
Med 106:513-520: i999.
O'Doherty, D.P., Bickerstaff, DR., McC!oskey, E.V., Hamdy, N.A.,
Beneton, M.N., Harris., et al. Treatment of Paget's disease of
bone with aminohydroxybutylidene bisphosphonate. J Bone
Miner Res 5:483-491: 1990.
Reginster, J.Y., Colson, F., Morlock, G., Combe, B., Ethgen, D., and
Geusens, P. Evaluation of the efficacy and safety of oral
tiludronate in Paget's disease of bone. A double-blind, multipledosage, placebo-controlled study. Arthritis Rheum 35:967-974:
1992.
Selby, P.L., David, W.J., Ralston., Stone, M.D., Guidelines on the
Management of Paget's Diseases of Bone. Bone: 31: I 0-19:
2002.
Sochart, D.H., and Porter, M.L. Chamley low-friction arthroplasty
for Paget's disease of the hip. J Arthroplasty 15:210-219: 2000.
Wellman, H.N., Schauwecker, D., Robb, J.A., Khairi, M.R., and
Johnston, C.C. Skeletal scintimaging and radiography in the
diagnosis and management of Paget's disease. C/in Orthop Rel
Res 127:55-62: 1977.
410
HIPERKALSEMIA DAN HIPOKALSEMIA
Bambang Setiyohadi
HIPERKALSEMIA
Hiperkalsemia terjadi bila pemasukan kalsium kedalam
darah lebih besar daripada pengeluarannya. Penyebab
hiperkalsemia yang tersering adalah resorpsi tulang
osteoklastik dan penyerapan kalsium di saluran cema yang
2686
Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan hiperkalsemia tergantung pada kadar
kalsium darah dan ada tidaknya gejala klinik akibat
hiperkalsemia. Pada kadar kalsium < 12 mg/di, biasanya
tidak diperlukan tindakan terapetik, kecuali bila ada gejala
klinikhiperkalsemia. Pada kadarkalsium 12-14mg/di,terapi
agresif harus diberikan bila terdapat gejala klinik
hiperkalsemia. Pada kadar > 14 mg/dl,terapi hams diberikan
walaupuntidak ada gejala klinik. Selain itu upaya mengatasi
penyakit primernya juga harus diperhatikan
Hidrasi dengan NaCl 0,9% per-infus 3-4 liter dalam 24
jam merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan
pada keadaan hiperkalsemia. Tindakan ini kadang-kadang
dapat menurunkan kadar kalsium serum sampai 1-3 mg/dl.
Hidrasi dengan NaCl 0,9% akan meningkatkan ekskresi
kalsium denganjalan meningkatkan filtrasi glomerulus dan
menurunkan reabsorbsi kalsium di tubulu proksimal dan
distal.
Setelah hidrasi tercapai, tetapi kadar kalsium serum
masih tinggi, dapat diberikan dosis kecil loop diuretics,
misalnya furosemid 20-40 mg atau asam etakrinat. Diuretik
tidak boleh diberikan sebelum keadaan hidrasi tercapai,
karena akan memperberat dehidrasi dan hiperkalsemia.
Loop diuretics akan bekerja dengan cara menghambat
reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle. Diuretik
tiazid merupakan kontra-indikasi dalam penatalaksanaan
hiperkalsemia karena akan menurunkan ekskresi kalsium
lewat ginjal.
Pada keadaan hiperkalsemiayang berat, kadang-kadang
diperlukan tindakan dialisis dengan menggunakan cairan
dialisat yanbg rendak kalsium atau bebas kalsium.
Setelah keadaan klinik memungkinkan, pasien harus
dimotivasi untuk mobilisasi segera untuk mencegah
keseimbangan kalsium yang negatif.
Beberapa obat juga dapat diberikan pada penatalaksanaan hiperkalsemia, tetapi hidrasi hams diberikan
terlebih dahulu sebelum memikirkan penggunaan obatobatan.
Pamidronat merupakan salah satu bisfosfonat yang
dapat diberikanuntuk mengatasihiperkalsemiakarena obat
ini akan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Obat
ini dapat diberikan secara per-infus dengan dosis 60-90
mg dalam waktu 4-6 jam. Efek samping obat ini adalah
demam, mialgia dan kadang-kadang hipertensi. Selain itu
obat inijuga dapat mengakibatkan hipokalsemia, sehingga
selama pemberian harus diawasi dengan ketat.
Plikamisin (dahulu disebut mitramisin), merupakan
sitotoksik yang dapat menghambat sintesis RNA didalam
osteoklas sehingga akan menghambat resorpsi tulang.
Dosis obat ini adalah 15-25 mg/kgBB, diberikan per-infus
dalam waktu 4-6jam. Efek hipokalsemiaakan mulai terlihat
setelah 12 jam pemberian dan mencapai puncaknya dalam
waktu 48-72 jam. Pada umumnya dosis tunggal plikamisin
sudah mencukupiuntuk mencapaikeadaan normokalsemia,
tetapi bila diperlukan, pemberian dapat diulang setelah
REUMATOLOGI
HIPERPARATIROIDISME
PRIMER
HIPERKALSEMIADAN
HIPOKALSEMIA
Penatalaksanaan
Hiperparatiroidisme
primer akan sembuh bila kelenjar
paratiroid yang abnormal dibuang. Walaupun demikian,
keputusan tindakan bedah tidak mudah karena sebagian
besar bersifat asimtomatik.
lndikasi pembedahan pada hiperparatiroidisme
primer
adalah:
Kadar kalsium serum > 1 mg/di di atas batas normal
tertinggi,
Didapatkan komplikasi hiperparatiroidisme primer,
seperti nefrolitiasis, osteotis fibrosa cystica,
Episode akut hiperparatiroidisme primer dengan
hiperkalsemia yang mengancam jiwa,
Hiperkalsiuria yang nyata (> 400 mg/hari)
Densitometri tulang pada radius distal yang menurun
dengan nilai skor T < -2,
Umur di bawah 50 tahun.
Bila pasien tidak dapat dilakukan tindakan pembedahan,
maka beberapa tindakan medik dapat dilakukan, seperti
hidrasi yang adekuat, asupan kalsium yang cukup,
pemberian preparat fosfat, terapi estrogen pada wanita
pasca menopause, bisfosfonat dan mungkin dimasa yang
akan datang dapat diberikan obat-obat kalsimimetik.
Pemberian kalsium pada pasien hiperparatiroidisme
primer harus mencukupi, tidak boleh terlalu tinggi
maupoun terlalu rendah. Asupan kalsium yang terlalu
rendah akan merangsang sekresi PTH lebih lanjut.
Sindrom HiperparatiroidFamilial
Seki tar I 0% kasus hiperparatiroid primer, disebabkan oleh
kelainan genetik, seperi Neoplasia Endokrin Multipel (MEN)
tipe I (sindrom Wenner), MEN tipe IIA (Sindrom Sipple)
dan Sindrom Rahang-Hiperparatiroidisme.
MEN I pertama kali ditemukan oleh Wenner pada tahun
1954, diturunkan secara otosomal dominan dan ditandai
oleh tumor paratiroid, hipofisis anterior dan pankreas.
Tumor hipofisis yang tersering adalah prolaktinoma dan
kadang-kadang menyebabkan akromegali dan Sindrom
2687
Cushing akibat sekresi hormon pertumbuhan dan ACTH
yang berlebihan. Tumnor pankreas pada MEN I umumnya
dalam bentuk islet cell tumours yang sering meningkatkan
sekresi gastrin sehingga menimbulkan sindrom ZollingerEllison dan kadang-kadangjuga menyebabkan hipersekresi
insulin sehingga menimbulkan hipoglikemia puasa.
MEN TIA, pertama kali ditemukan oleh Sipple pada tahun
196 l, bersifat otosomal dominan dan ditandai oleh karsinoma
tiroid meduler (MTC), faeokromositoma bilateral dan
hiperplasia paratiroid. MTC merupakan kelainan yang
dominan pada MEN IIA dan sering mengakibatkan kematian
akibat metastasisnya. Sedangkan hiperparatiroidisme
merupakan kelainan yangjarang terdapat pada MEN IIA.
Sindrom tumor rahang-hiperparatiroidisme merupakan
kelainan yang pertama kali ditemukan oleh Jackson pada
tahun 1958, diturunkan secara otosomal dominan dan saat
ini sudah diketahui bahwa kelainannya
terletak pada
kromosom 1 q2 l-q3. Penyakit ini ditandai dengan
hiperkalsemia yang berat sejak anak-anak dengan adenoma
so liter paratiroid yang besar. Kelainan tulang pada sindrom
ini sangat eksklusif hanya menyerang maksila
dan
mandibula.
FamilialHypocalciuric
Hypercalcemia (FHH)
FHH merupakan kelainan otosomal dominan yang ditandai
oleh hiperkalsemia dan hipokalsiuria relatif. Kelainan ini
bersifat asimtomatik. Secara biokimia, kelainan ini ditandai
oleh peningkatan kadar kalsium serum, ekskresi kalsium
urin yang normal dan kadar PTH dan l,25(0H)p
yang
juga normal.
Paratiroidektomi, biasanya hanya memberikan efek
norrnokalsernik yang sementara, walaupun demikian, tetap
diindikasikan pada keadaan:
Hiperparatiroidisme primer pada neonatus akibat dosis
ganda gen FHH,
Orang dewasa dengan pankreatitis berulang
Anak-anak atau orang dewasa dengan hiperkalsemia
menetap > 14 mg/dl.
-~
2688
REUMATOLOGI
Humoral
pada
Keganasan
(HumoralHypercalcemia
of Malignancy, Hhm)
2689
akan mengaktifkan osteoklas pada permukaan endosteal
yang berdekatan. Selain itu lingkungan mikro di tulangjuga
akan meningkatkan pertumbuhan sel mieloma, sehingga
terjadi lingkaran setan yang terus menerus. IL-6 yang
dihasilkan oleh osteoklas dan osteoblas bersifat mitogenik
dan menurunkan apoptosis sel mieloma. Selain itu, IGF-1
yang dihasilkan oleh sel stromal sumsum tulangjuga akan
mencegah kematian sel mieloma. Walaupun terjadi destruksi
tulang, lebih dari separuh pasien mieloma multipel tidak
mengalami hiperkalsemia. Pada umunya hiperkalsemia pada
multipel mieloma disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal
sehingga ekskresi kalsium lewat urin menurun. Selain itu,
kadar alkali fosfatase pada mieloma multipel juga seringkali
tidak meningkat, karena aktivitas osteoblas juga tidak
meningkat. Oleh sebab itu, pada keadaan ini, seringkali bone
scanning juga memberikan basil negatif.
2690
Kadar 25(0H)D merupakan pemeriksaan yang sensitif
untuk menentukan indeks kandungan vitamin D aktif.
Kadar normal 25(0H)D didalam serum> 20ng. Defisiensi
25(0H)D bila kadarnya < lOng dan insufisiensi bila
10-20ng.Pada pasien pasca stroke dengan hemiplegi dalam
studi ini ditemukan :
Enam puluh empat persen pasien rawat jalan dan 82%
pasien rawat inap mengalami defisiensi vitamin D
Tiga puluh satu persen pasien rawat jalan dan 16%
rawat inap mengalami insufisiensivitamin D
Di Amerika, lnggris dan Jepang, pasien usia lanjut
dengan penyakit kronik yang jarang keluar rumah ternyata
mengalamidefisiensivitaminD.
Pada beberapa kasus ditemukan peningkatan kadar
hormon paratiroid karena kompensasi terjadinya defisiensi
25(0H)D.
Sorva dan kawan-kawan melakukan penelitian pada
pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi. Studi
tersebut mendapatkan bahwa peningkatan resorpsi tulang
tidak disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder tetapi
terjadi peningkatan resorpsi primer. Pemberian vitamin D
tidak memperlihatkan efek yang diharapkan. Mobilisasi
segera ternyata dapat mengurangi efek dari imobilisasi ini.
Patogenesis Hiperkalsiuria pada lmobilisasi
Mekanisme pasti hiperkalsemia dan hiperkalsiuria pada
imobilisasi masih belumjelas. Tetapi peningkatan proses
resorpsi massa tulang melalui aktivasi osteoklas atau
penurunan proses formasi massa tulang. Secara histologi
pada biopsi tulang panggul ditemukan peningkatanjumlah
osteoklas dan mencapai puncaknya 16 minggu setelah
imobilisasi. Hal ini juga bersamaan dengan peningkatan
sekresi hidroksiprolin urin. Formasi tulang menurun
dengan bukti pengurangan osteosit dan mineralisasi tulang.
Imobilisasi menginduksi hiperkalsemia seperti high
bone turn over pada anak dan orang tua. Hal ini dapat
diketahui dengan mengukur ion kalsium dan kalsium
nonionik. Peningkatan kalsium serum ini mempunyai
korelasi yang erat dengan indeks Barthel. Secara
meyakinkan ditemukanpeningkatankonsentrasipyrinoline
cross/inked carboxyterminal telopeptide (ICTP). ICTP
adalah suatu kolagen tipe I dan merupakan petanda
aktivasi resorpsi tulang oleh osteoklas. Adanya
hiperkalsemia ini akan menghambat sekresi hormon
paratiroid. Jadi akan ditemukan kadar hormon paratiroid
rendah atau normal. terjadijuga defisiensi atau insuf isiensi
vitamin D karena intake yang buruk, kurang mendapat
sinar matahari atau karena keduanya.
Aktivitas dan imobilisasi mempunyai pengaruh pada
tulang. Menurut hukum Wolfe's formasi dan resorpsi
tulang dipengaruhi secara langsung oleh stres lokal pada
tulang. Stres (tekanan) terutama pada tulang penyangga
tubuh dan regangan kontraksi otot. Terdapat 4 model yang
sering dipakai untuk melihat pengaruh imobilisasi pada
REUMATOLOGI
2691
HIPOKALSEMIA
Hipokalsemia adalah penurunan kadar kalsium serum
yang dapat terjadi pada beberapa keadaan, seperti
hipoparatiroidisme, defisiensi vitamin D, gangguan
metabolisme vitamin D, hipomagnesemia dan gaga) ginjal
akut atau kronik. Dengan melihat kadar hormon PTH,
hipokalsemiadapat dikelompokkankedalam 2 bagian, yaitu
hipokalsemia dengan kadar PTH yang rendah
(hipoparatiroidisme) dan hipokalsemia dengan kadar PTH
yang meningkat (hiperparatiroidisme sekunder).
Secara klinik, gejala utama hipokalsemia adalah
peningkatan iritabilitas neuromuskuler yang dapat
kesemutan pada ujung-ujungjari dan sekitar mulut. Dalam
keadaan lanjut akan didapatkan tanda Chvostek dan
Trousseau. Tanda Chvostek adalah twitching pada daerah
sekitar mulut bila dilakukan ketokan pada nervus fasialis
di anterior telinga. Tanda Trousseau adalah spasme karpal
yang terjadi bila dilakukan bendungan lengan dengan
menggunakan manset tensimeter pada tekanan 20 mmHg
di atas tekanan sistolik selama 3 menit. Spasmekarpal yang
klasik akan berupa fleksi pergelangan tangan, ekstensi
interfalang dan aduksijari-jari.
Gejala hipokalsemia yang lain adalah kejang otot yang
mengenai pinggang, tungkai dan kaki. Pada keadaan yang
berat dapat timbul spasme karpopedal spontan (tetani),
laringospasme atau bronkospasme, sampai kejang-kejang
umum.
Hipokalsemia berat dapat memperpanjang interval
QT pada EKG yang reversibel setelah hipokalsemia
dikoreksi.
Bone
formation
Mechanical
strain
2692
intravena. Pemberian kalsium glukonat (90 mg kalsium
elemental/I Oml ampul) lebih disukai daripadakalsium sitrat (272
mg kalsiumelemental/10 ml ampul)karenatidak iritatif.
Mula-mula, dapat diberikan 1-2 ampul kalsium glukonat
dalam 50-100 ml dekstrosa 5% dan diberikan per-infus
5-10 menit. Dosis ini dapat diulang bila masih didapatkan
gejala hipokalsemia.Hipokalsemiayang berat dan persisten
dapat diberikan kalsium per-drip dalam jangka waktu yang
lebih lama, misalnya 15 mg/kgBBkalsium elementaldiinfus
selama 4-6 jam. Secara praktis dapat dilakukan dengan
melarutkan 10 ampul kalsium glukonat dalam 1 liter
dekstrosa 5% dan diinfus dengan kecepatan 50 ml/jam
(45 mg kalsium elemental/jam). Larutan yang lebih pekat
dari 200 mg kalsium elemental/I 00 ml dekstrosa 5% harus
dihindari karena akan bersifat iritatif terhadap vena maupun
jaringan disekitarnya bila terjadi ekstravasasi.
Pada hiperkalsemia berat dan persisten, juga harus
dipikirkan kemungkinan pemberian kombinasi kalsium
oral 1-2 gram/hari dan l,25(0H)2D 0,5-1,0 mgr/hari.
Pada keadaan hipomagnesemia, maka terapi terhadap
hipomagnesemia juga harus dilakukan selain terapi
terhadap hipokalsemianya.
HIPOPARATIROIDISME
REUMATOLOGI
PSEUDOHIPOPARATIROIDISME
HIPOMAGNESEMIA
2693
HIPERKAlSEMIADANHIPOKAUEMIA
trauma
2694
umumnya ditemukan pada anak-anak, tetapi kadangkadang ditemukan secara sporadik pada orang dewasa.
Hipofosfatasia. Merupakankelainanyang diturunkansecara
resesif autosomal dan ditandai oleh rendahnya kadar alkali
fosfatase di serum danjaringan. Mekanisme osteomalasia
pada kelainan ini tidak jelas; diduga akibat kegagalan
hidrolisa pirofosfat yang merupakan inhibitor mineralisasi,
sehingga terjadi defek mineralisasi tulang.
De Toni-Debre-Fanconi Syndrome. Ditandai oleh
fosfaturia, aminoasciduria, glikosuria, bikarbonaturia dan
kadang-kadangasidosis dan hiperkalsiuria.Kelainan tulang
biasanya berhubungan dengan asidosis, hipofosfatemia
dan metabolisme vitamin D yang abnormal.
Sindrom Nefrotik. Diakibatkan oleh pembuangan vitamin
D yang berlebihan lewat urin. Didalam darah, vitamin D
terikat pada a-globulin yang disebut vitamin D-btnding
protein (DBP). Pada sindrom nefrotik, DBP ikut terbuang
lewat urin sehingga vitamin D yang terikat DBP ikut
terbuang. Walaupun demikian, kadar vitamin D bebas
didalam serum tetap dalam batas normal, sehingga
pengukuran kadar vitamin D total dapat menyesatkan.
Penyakit hati kronik. Hati berperan pada hidroksilasi
vitamin D pada posisi 25, walaupun demikian, penurunan
kadar 25(0H)D terutama disebabkan oleh penurunan
sintesis DBP oleh hati, nutrisi yang buruk dan malabsorpsi.
Hipoparatiroidisme. PTH berperan sebagai stimulator
produksi l,25(0H\D, sehingga hipoparatiroidisme akan
mengakibatkan penurunan produksi l ,25(0H\D.
Anti konvulsan. Penggunaan fenitoin atau fenobarbital
jangka panjang akan merangsang enzim sitokrom P450 di
hepar sehingga mengganggu metabolisme vitamin D.
Akibatnyakadar 25(0H)D didalamserumturun, tetapikadar
l,25(0H)p tetap dalam batas normal. Selain itu, fenitoin
juga dapat menurunkan absorpsi kalsium di usus dan
meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun
demikian, penggunaan anti konvulsanjarang menimbulkan
gejala klinik osteomalasia, kecuali bila disertai faktor
predisposisi lain, seperti nutrisi yang buruk atau paparan
sinar matahari yang kurang.
Intoksikasi alumunium. Terjadi akibat asupan kalsium
yang berlebih, misalnya penggunaan pengikat fosfat yang
mengandung Alumunium, atau
anatasida yang
mengandung alumunium atau penggunaan cairan dialisat
yang mengandungalumuniumpada pasien gagal ginjalyang
menjalani hemodialisis. Alumunium akan menghambat
aktivitas PTH dan l u-bidroksilase, menghambat aktivitas
osteoblas dan mengganggu mineralisasi tulang.
Tumor-induced hypophosphatemic osteomalacia.
Diakibatkan oleh produksi faktor humoral oleh tumor
(biasanya mesenkimal) yang akan menekan produksi
REUMATOLOGI
REFERENSI
Abdulmutalib. Osteolisis pada keganasan .. Dalam: Markum HMS,
Hardjodisastro D (eds). Perkembangan Mutakhir Ilmu Penyaskit
Dalam. Bagian Ilmu Penyakit Dalam 1996:109-20.
Bikle DD. Osteomalacia and Rickets. In: Andreoli TE, Mandell GL,
Muray JF et al (eds). Cecil Textbook of Medicine. Vol 2. 19th
ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 1988.p.1406-12
Bilezikian JP. Primary Hyperparathyroidism .
In: Favus MJ et al
(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 1999.p .187-92.
Indridason OS, Quarles LD. Tertiary Hyperparathyroidism
and
Refractory Secondary Hyperparathyroidism .. In: Favus MJ et
al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders
of Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins;l999:1 98-202.
Goltzman D, Cole DEC. Hypoparathyroidism .. In: Favus MJ et al
(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th ed.Philadelphia.: Lippincott Williams
& Wilkins: 1999.p.226-30.
Klein GL. Nutritional Rickets and Osteomalasia. In: Favus MJ et al
(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 1999.p.315-9.
Krane SM. Hyperostosis, Neoplasms and other disorders of bone
and cartilage. In: Isselbacher KJ, Adams RD, Braunwald E, et al
(eds). Harrison's Principles of Internal Medicine. 9th ed. New
York: Mc Graw-Hill Book Co; 1980:1863-9.
Pettifor JM. Nutritional and Drug-induced Rickets and Osteomalacia. In : Favus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases
and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. Washington:
ASBMR; 2003.p. 399-406
Roberts MM, Stewart AF. Humoral Hypercalcemia of Malignancy ..
In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases
and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 1999.p.2083-7.
Shane E. Hypercalcemia: Pathogenesis, Clinical Manifestation,
Differensial Diagnosis and Management. In: Favus MJ et al
(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins;l999.p.183-7.
Shane E. Hypocalcemia: Pathogenesis, Differensial Diagnosis and
Management. . In: Favus MJ et al (eds). Primer on the
Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism.
4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
1999.p.223-6.
411
NYERITULANG
Bambang Setiyohadi
OSTEODISTROFI RENAL
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi gangguan
fungsi ginjal. Pada gagal ginjal tahap akhir, umumnya sudah
terdapat kelainan histologik tulang. Hampir semua pasien
yang menjalani dialisis, mengidap osteodistrofi renal yang
secara klinis terlihat sebagai gangguan metabolisme
kalsium, fosfor, PTH, dan vitamin D.
Akibat penurunan fungsi ginjal, akan terjadi retensi
fosfat sehingga kadar fosfat serum meningkat dan kadar
kalsium serum menurun. Peningkatan kadar fosfat serum
akan menurunkan kadar 1,25 dihidroksivitamin D, sehingga
kadar kai;ium akan makin menurun karena absorbsi kalsium
menurun. Kadar kalsium dan l ,25 dihidroksivitamin D yang
menurun akan merangsang produksi PTH dan proliferasi
sel-sel kelenjar paratiroid, sebingga terjadi mobilisasi
kalsium dari tulang ke dalam darah. Pada pasien gagal
ginjal, terjadi resistensi tulang terhadap PTH, akibatnya
hiperparatiroidisme akan semakin berat.
Osteodistrofi renal, merupakan kelainan tulang dan
sendi dengan spektrum yang luas yang terjadi pada pasien
gagal ginjal. Kelainan ini ditandai oleb nyeri tulang,
kelemahan otot, deformitas skeletal, retardasi pertumbuban
dan kalsifikasi ekstraskeletal. Ada 4 tipe osteodistrofi
renal, yaitu
tipe
2696
REUMATOLOGI
OSTEONEKROSIS
2697
NYERI TUI.ANG
REFERENSI
Alarcon GS. Osteonecrosis. In: Klippel JH, editor. Primer on the
rheumatic diseases. 12'b edition. Atlanta:Arthritis Foundation;
2001.p.503-6.
Goodman WG, Coburn JW, Slatopolsky E, et al. Renal osteodystrophy in adults and children. In : Favus Ml.editor.Primer on the
metabolic bone diseases and disorders of mineral metabolism.
5th edition. Washington:ASBMR;2003.p.430-48.
Krane SM, Holick MF. Metabolic bone disease. In: Isselbacher KJ,
Adams RD, Braunwald E, et al,edition. Harrison's principles of
internal medicine. 9th edition. New York :Mc Graw-Hill Book;
l 980.p.1849-60.
412
REUMATIK EKSTRA ARTIKULAR
Blondina Marpaung
PENDAHULUAN
EPIDEMIOLOGI
,L_
FAKTOR PENYEBAB
2699
REUMATIK EKSTRAAIUIKULAR
Deposisi Kristal
Deposisi kristal kalsium sering dijumpai pada jaringan
periartikular dan berperan penting dalam menginduksi
reaksi inflamasi intermiten.
DESKRIPSI REUMATIKEKSTRAARTIKULAR
Beberapa REA yang penting dan sering dijumpai pada
umumnya diklasifikasikan dalam 4 bentuk di bawah ini.
PeriartritisKalsifik
Karakteristik periartritis kalsifik adalah dijumpainya
deposisi agregat kristal yang mengandung kalsium di
sekitar sendi. Biasanya mengandung hidroksiapatit,
meskipun kadang dijumpai kristal kalsium pirofosfat
dihidrat. Tempat yang biasanya dijumpai adalah pada
tendon supraspinatus dekat sendi bahu; sendi interfalang
distal dan sendi panggul apakah pada tendon rektus
femoris ataupun trokanter mayor femoris
Entesopati
Karakteristik entesopati adalah tenderness dan inflamasi
terlokalisasi pada insersi ligamen atau tendon. Dapat terjadi
oleh karena peregangan traumatik atau akibat inflamasi
reumatik yang mendasarinya. Contoh yang paling sering
adalah 'ten is elbow' atau epikondilitis lateral dan
tendinitis achilles. Beberapa contoh
lain adalah
epikondilitis medial (epitrokleitis atau seringjuga disebut
golfers elbow), periartritis panggul, tendinitis pes
anserinus.
Tenosinovitis
Tenosinovitis berbeda dengan entesopati. Pada entesopati
insersi tendon dan ligamen teriritasi, sementara pada
tenosinovitis
sarung tendon sinovial mengalami
inflamasi.Oleh karena itu tenosinovitis merupakan bagian
dari sinovitis umum dan sering dijumpai pada penyakit
reumatik.contoh tenosikonitis de quervein
Bursitis
Bursa sinovial dapat mengalami inflamasi dan nyeri pada
suatu penyakit inflamasi sinovial sistemik seperti pada
artritis reumatoid. Dapat menjadi rusak oleh karena trauma
pada penonjolan tulang seperti pada lutut atau olekranon
siku.
Di bawah ini dideskripsikan beberapa penyakit reumatik
ekstra artikular berdasarkan lokasi bagian tubuh yang
dikenai.
Bahu
Berbagai kelainan reumatisme ekstra artikuler di bahu antara
lain:
2700
diik:uti dengan jarak gerakan aktif, OAINS, injeksi lokal
kortikosteroid dosis kecil disekitar sarung tendon.
Thoracic Outlet syndrome. Thoracic outlet syndrome
adalah sekumpulan gejala yang diakibatkan adanya
kompresi di jaringan neurovask:ularpada pleksus brakial
dan arteri/vena subklavikula. Jaringan neurovaskular
tersebut berada di pinggir bawah tulang iga pertama, di
depan otot anterior sklaneus dan di belakang otot medius
sklaneus. Gambaran klinis tergantung pada bagian mana
yang tertekan, apakah pembuluh saraf, pembuluh darah
atau kedua-duanya. Gejala neurologis adalah yang paling
tersering ditemukan berupa nyeri, parestesia, dan hilang
rasa di mana disebarkan dari leher dan bahu ke daerah
lengan dan tangan terutamajari ke 4 dan 5. Tandaawal atau
sudah terjadinya perburukan gejala didapati sewaktu
aktivitas terutama dengan abduksi bahu. Kelemahan dan
atropi dari otot intrinsik sering terlambat ditemukan. Gejala
vaskular yang muncul adalah gangguan membedakan
wama, demam, nyeri aktivitas,danRaynauds phenomenon.
Insidens laki-laki lebih seringterkenadibandingperempuan.
Diagnosis sulit ditegakkan, maka itu diperlukan beberapa
pemeriksaan antara lain denganAdson test didapati denyut
nadi melemah sewaktu menarik napas dalam dan dengan
manuver hiperabduksi di mana lengan diletakkan di atas
kepala, ditemukan penurunan denyut nadi yang
diindikasikan adanya kompresi arteri. pemeriksaan seperti
ini bisa dijumpaipositip pada individunormal. Managemen
terapi adalah secara konservatif ; difokuskan dengan
menjaga postur tubuh dengan baik, relaksasi otot sklaneus
dan pektoralis, mobilisasi skapula dan pasang korset di
daerah otot bahu, injeksi anestesi lokal bila dijumpai
trigger point pada otot sklaneus antikus.
Robekan Rotator Cuff. Robekan spontan rotator cuffpada
orang muda jarang dijumpai bila tidak didapati penyakit
yang mendasarinya, dan biasanya dihubungkan dengan
trauma (terjatuh). Mengetahui adanya robekan yang kecil
atau parsial (menyingkirkan inflamasi) sulit. Pengobatan
sama dengan rotator cuff tendinitis.
Siku
Epikondilitis Lateral (Tennis Elbow) dan Epikondilitis
Medial (Golfer's Elbow). Keadaan ini ditandai dengan ciri
khas nyeri lokal subakut atau kronik pada bagian medial
atau lateral sendi sik:u (regio epikondilus). Timbul akibat
gerakan fleksi dan ekstensi pergelangan tangan berulang
serta rotasi dan supinasi lengan bawah. Karena gerakan
tadi terjadi secara simultan dan berulang, maka timbul
inflamasi dan degenerasi didaerah otot ekstensor dan
fleksor khususnya tendon ekstensor dan fleksor carpi
radialis brevis. tendinitis lateral umurnnya timbul pada
mereka yang menggunakan lengannya secara berlebihan,
rnisalnyamengangkatbeban berat, gemar berkebun,pemain
tenis atau golf, tukang cat, tukang las,tukang kayu, dokter
gigi, terlalu sering berjabatan tangan (para pejabat atau
REUMATOLOGI
REUMATIK EKSTRAARTIKULAR
2701
sensasi geli makin menjadi pada saat mengetuk, memeras,
menggerakkan pergelangan tangan. Nyeri bertambah hebat
pada malam hari sehingga terbangun dari tidur (nocturnal
pain). Kadang kala pergelangan tangan terasa diikat ketat
dan kaku gerak. Selanjutnya kekuatan tangan menurun,
kaku dan terjadi atropi tenar. Pekerjaan yang berisiko
menyebabkan sindromcarpal tunnelyaitu penjahit, pekerja
garmen, juru tulis, juru ketik, penyortir surat, tukang cuci
pakaian, operator komputer. Beberapa pemeriksaan yang
dapat membantu menegakkan diagnosispenyakit ini adalah
tes provokasi (phalen test positip) yaitu nyeri bertambah
dengan ekstensimaksimalatau fleksimaksimalpergelangan
tangan selama 60 detik. Tznnels sign yaitu perkusi ringan
pada n.medianuspergelangantangan timbul rasa nyeri yang
menjalarke lengan danjari I, II, III. Testomiket positifyaitu
pemasangan tensimeter pada lengan atas dan
dipertahankan selama 60 detik di atas tekanan sistolik
kemudian dilepaskan, mengakibatkan rasa seperti ditusuktusuk jarum pada pergelangan tangan. Pemeriksaan
elektromiografi juga dapat menunjukkan gangguan
n.medianus.Diagnosisditegakkanberdasarkangejalaklinis,
tinnel s sign,phalen s test, tes tomiket dan elektromiografi.
Pengobatan dengan pemasangan bidai pada pergelangan
tangan dalam posisi netral, injeksi lokal kortikosteroidpada
area carpal tunnel, bila terapi konservatif gagal maka
dilakukan pembedahan.
Panggul
Bursitis Trokanterik. Bursitis adalah peradangan bursa
yang terjadi pada tempat perlekatan tendon atau otot
dengan tulang oleh sebab yang belum diketahui dengan
jelas. Gejala utama bursitis yaitu nyeri, pembengkakan
lokal, panas dan merah. Meskipun sering, bursitis
trokanterik kerap kali tidak terdiagnosis. Penyakit tersebut
dominan muncul pada usia pertengahan hingga usia tua
dan sedikit lebih sering didapati pada perempuan dibanding
laki-laki. Gejala utamanya adalah nyeri di daerah trokanter
mayor, nyeri tekan di atas daerah panggul lateral dan dapat
menjalar kebawah, ke kaki atau lutut. Rasa nyeri terutama
dirasakan pada malam hari dan bertambah nyeri kalau
dibengkokkan, rotasi internal atau kalau mendapat
penekanan.Nyeri secaraintensifdirasakansewaktuberjalan,
gerakan yang bervariasi dan berbaring pada sisi yang
terkena. Serangan bisa akut tetapi lebih sering secara
bertahap, dengan gejala-gejala yang timbul didapati
berbulan-bulan. Pada kasus kronis, pasien bisa
mengemukakan perasaan nyeri pada lokasi tersebut dan
klinisi sering kali gagal mengetahui penyakit tersebut
sehinggaterlambat untuk dikoreksi.Adakalanya,nyeri bisa
menyerupai radikulopati,menyebar di daerah bagian lateral
paha. Cara terbaik mendiagnosisbursitis trokanterik adalah
dengan mempalpasi area trokanterik dan dijumpainya
tenderness point. Nyeri spesifik didapat dengan tekanan
yang dalam di area trokanterik. Perburukan nyeri bisa
2702
dijumpai dengan gerakan rotasi ekstema dan abduksi
melawan tahanan.Patogenesisyang berperanadalah trauma
lokal dan degenerasi, pada beberapa kasus bisa dijumpai
dengankalsifikasi.Keadaan yang dapat memberi kontribusi
terhadap kejadianbursitis trokanterikyaitu adanyapenyakit
penyerta pada lokasi tersebut seperti OA panggul atau
lumbar spin dan skoliosis. Pengobatan dengan injeksi lokal
kortikosteroid, NSAID, menurunkan berat badan,
memperkuatdan meregangotot gluteusmediusdan iliotibial.
Bursitis illiopsoas (llliopectinial). Bursa illiopsoas
berbatasan; di belakang dengan otot illiopsoas, di anterior
dengan sendi panggul, di lateral dengan pembuluh femoral.
Prevalensinyadijumpai 15% dari seluruhgangguanregional
panggul. Nyeri dijumpai pada sendi paha dan anterior paha
apabila bursa sudah terlibat dan dapat menjalar sepanjang
tungkai dan lutut. Nyeri bertambah berat dalam keadaan
hiperekstensi pasif dari panggul dan kadang-kadang pada
keadaan fleksi terutama dengan adanya tahanan. Guna
menguranginyerinya,pasien memilihposisi fleksidan rotasi
ekstemal panggul. Diagnosis dikonfirmasi dengan adanya
riwayattraumaatau inflamasi artritis,gejalaklinis, fotopolos
dan injeksi zat kontras ke daerah bursa atau dengan MRI.
Secara umum bursitis illiopsoas respons terhadap terapi
konservatif termasuk dengan injeksi kortikosteroid, eksisi
dari bursa dapat dilakukanbila terjadi rekurensi penyakit.
Bursitis ischial (lschioglutea[). adalah peradangan bursa
yang disebabkan oleh trauma atau duduk yang berlamalama pada kursi yang keras (weavers bottom). Gejala klinis
yang utama yaitu adanya nyeri pada bokong (pantat) dan
nyeri sering bertambah berat dalam keadaan duduk atau
tidur telentang dan dapat menjalar ke belakang paha.
Tendernesspoint dapat dijumpaidi daerah tuberositas iskial.
Terapi dengan memakai bantal sebagai alas untuk duduk
dan injeksi kortikosteroid biasanya dapat membantu.
Lutut
REUMATOLOGI
2703
REUMATIK EKSTRAAKI1KULAR
Fibrositis
Fibrositis adalah peradangan pada jaringan ikat terutama
pada batang tubuh dan anggota gerak, sehingga
memberikan gejala kekakuan dan perasaan nyeri pada otot
dan insersi tendon, tetapi tanpa ditemukan tanda objektif
lokal yang lain. Rasa kekakuan terutama terjadi pada pagi
hari, yang berlangsung selama kira-kira 30 menit yang
diikuti kelemahan umum, bangun pagi yang kurang terasa
segar dan badan terasa capek. Patogenesis fibrositis
dihubungkan dengan timbulnya edema pada serat otot
dan spasme otot akibat proses hipertonik otot. Penyakit
ini lebih banyak dijumpaipada usia tua, di mana perempuan
dua kali lebih sering dari pada pria. Fibrositis di negara
Barat dijumpai pada 23% pasien kelainan muskuloskletal,
sedangkan di Asia 21-31 %. Terdapat tempat-tempat
predileksi terjadinya gejala klinik fibrositis, di antaranya
jaringan ikat subkutan, tempat insersi otot, aponeurosis
otot fascia, ligamen dan tendon terutama pada daerah
trapezius bagian tengah, iga kedua pada pertemuan antara
bagian rawan dengan tulang, epicondylus lateralis 1-2 cm
distal, origo m. supraspinatus dekat pertengahan skapula,
daerah vertebra servikalis bawah, daerah vertebra lumbalis
(L4-Sl), bagian atas lateral m. gluteus medius.
Untuk menegakkan diagnosis fibrositis, selain tempat
predileksi tersebut di atas juga dipakai kriteria: nyeri dan
kekakuan lebih dari 3 bulan, nyeri tekan lokal, tenderpoint,
titik nyeri pada tempat yang berbeda, pemeriksaan
laboratorium dan radiologis normal, kepribadian
perfeksionis.
Pengobatan dapat berupa pemberian OAINS, diazepam,
pemanasan, massage, rangsanganlistrik, latihan fisik, sikap
tubuh yang benar sewaktu duduk dan berdiri, psikoterapi
dan darmawisata/berlibur.
PENATALAKSANAAN UMUM
Terapi Obat
Obat oral yang diberikan antara lain OAINS dan analgetik.
OAlNS mengurangi inflamasidan nyeri. Sebagaitambahan
untuk mengatasi nyeri dapat ditambahkan analgesik seperti
asetaminofen. Penatalaksanaan komprehensif harus
dilakukan tidak hanya dengan pemberian obat oral tetapi
juga harus dievaluasi aspek penyebabnya dan dilakukan
modifikasi aktivitas.
lnjeksi Intra Lesi
Injeksi kortikosteroid, lidokain lokal biasanya bermanfaat
untuk REA. Prinsip dasar injeksi intralesi mencakup teknik
aseptik, penggunaan jarum ukuran kecil (25 gauge).
Penggunaan kortikosteroid yang lebih larut dalam air akan
mengurangi kemungkinan kelemahan tendon yang
diinduksi oleh kortikosteroidatau kemerahan pasca injeksi.
Terapi Fisik
Tujuan terapi ini adalah meningkatkan fleksibilitas dengan
peregangan, meningkatkan kekuatan otot dengan latihan
resistif. Modalitas panas dan dingin akan menghilangkan
nyeri dan merelaksasi otot. Tetapi manfaat jangka panjang
masih dipertanyakan.
REFERENSI
Adnan M. Reumatik non artikuler. Simposium RNA. Semarang.
Oktober 1987; 8-14
Badsha H. Soft tissue rheumatism and joint injection techniques for
family physicians. The Singapore Family Physician. 2002; 28(2):
19-27.
Biundo JJ. Regional rheumatic pain syndromes. In: Klippel JH. Edi- tor.
Primer on the rheumatic diseases. 11 'h Ed. Atlanta: Arthritis
Foundation; 1997. p.136-48.
Celiker R. Nonarticular rheumatism physiopathology and rehabilitation. Hacettepe University, Faculty of Medicine, Department
of
Physical
Medicine
and
Rehabilitation
2704
Clauw DJ. Fibromyalgia. In: Ruddy S, Harris ED, Sledge CB. Editors.
Kelley's textbook of rheumatology. 6Lh Ed. Philadelphia: WB
Saunders Company; 2001. p. 417-27.
Effendi Z, lsbagio H, Setiyohadi B. Sindrom fibromialgia. Dalam:
Noer S, Waspadji S, Rahman AM, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I, Edisi ke 3. Jakarta: Balai penerbit FK UI; 1996.
h. 97-107.
Freundlich B, Leventhal L. Diffuse pain syndromes. In: Klippel JH.
Editor. Primer on the rheumatic diseases. l J th Ed. Atlanta:
Arthritis Foundation; 1997. p.123-6.
Jhon J, Peter E. Disorders of the joints. In: Fauci AS, Braunwald E,
lsselbacher KJ, et al, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 14th Ed. New York: Mc Graw Hill; 1998. p.1928-35
Katz JN, Simmons BP. Carpal tunnel syndrome. N Engl J Med.
2002; 23: 1807-12.
Muller D. Non articular rheumatism /regional pain syndrome.
In: Wolf RE, Talaver F, Diamond H, Mechaber AJ, Weinstein A
REUMA'IOLOGI
413
GANGGUAN MUSKULOSKELETAL
AKIBAT KERJA
Zuljasri Albar
PENDAHULUAN
EPIDEMIOLOGI
2706
Faktor risiko yang berperan pada MSD :
Jenis Industri
Angka MSD paling tinggi ditemukan pada industri
pengepakan daging, selanjutnya perusahaan perajutan
pakaian dalam, kendaraan bermotor dan pengolah
makanan teroak.
Jenis Pekerjaan
Tukang batu, tukang kayu, tukang sulam dsb.
Faktorrisikoyang lebih spesifik, dilihatdari segiperorangan,
fisik dan psikososial.
Perorangan
REUMATOLOGI
Fisik
GANGGUAN MUSKULOSKELETALAKIBAT
KERJA
2707
ada tidaknya beban. Dapat terjadi penekanan saraf
ditempat-tempat tertentu. Pada ekstremitas atas misalnya
penekanan n.medianus pada pergelangan tangan (sindrom
terowongan karpal) dan n.ulnaris pada siku (sindrom
terowongan siku). Cedera langsungterhadap sarafini dapat
juga terjadi akibat tekanan dari luar yang berulang-ulang.
2708
Cumulative trauma disorders menimbulkan kerugian
besar akibat hilangnya produktifitas dan biaya kompensasi
yang harus dibayarkan perusahaan. Meskipun demikian,
CTD umumnya dapat dicegahmelalui penilaianlingkungan
kerja yang tepat oleh ahli ergonomi.
Akibat Kegiatan Fisik yang Dasarnya adalah
Mengangkat, Mendorong dan Menarik
Beberapa petunjuk untuk mencegah cedera akibat
mengangkat :
Beban yang diangkat tidak melebihi 50% bataskekuatan
perorangan (Personal strength limit).
Menghindarkan gerakan berputar sambil membawa
beban; jika memang perlu berputar, putarlah panggul.
Dekatkan beban kearah tubuh jika mengangkat dsb.
Beberapa petunjuk untuk mencegah cedera akibat
mendorong atau menarik:
Pastikan daerah dihadapan beban rata dan tidak ada
yang menghalangi.
Behan sebaiknya didorong, bukan ditarik. Keuntungan
lain ialah pandangan kearah gerakan dengan sendirinya
lebih baik.
Gunakan sepatu yang kuat mencekam.
Gangguan Akibat Proses atau Bahan Kimia atau
Lain-lain
Bahan kimia dapat mempengaruhi metabolisme tulang
secara langsung, misalnya Cadmium menyebabkan
osteoporosis, pseudofraktur. Fluor mengakibatkan
timbulnya daerah hipo- dan hipermineralisasi, eksostosis
pada tulang. Vinil klorida dapat menyebabkan
akroosteolisis. Pembentukan gelembung nitrogen dalam
jaringan pada penyakit Caisson dapat menyebabkan
gangguan aliran darah sehingga terjadi kelainan tulang
dan sendi. Di samping itu dapat juga mengganggu
koagulasi darah sehinggaterjadi infark hipoksikpada sendi.
REUMATOLOGI
PENATALAKSANAAN
Secara umum, pengobatan CTD dilakukan dengan
mengistirahatkan bagian yang terkena dengan alat bantu
seperti pemasangan bidai-malam, neck braces dan korset
lumbal. Penanganan fase akut dapat berupa kompres es,
obat antiinflamasi nonsteroid, suntikan steroid lokal dan
perujukan ke ahli fisioterapi yang dapat memberi petunjuk
latihan peregangan dan penguatan yang tepat serta
membimbing pasien melaksanakan program aerobik
progresif untuk meningkatkan kebugaran tubuh secara
menyeluruh.
Tindakan pembedahan hanya dipertimbangkan jika
semua tindakan konservatif gagal setelah dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya selama paling sedikit 3 bulan.
Pengobatan CTD tidak terbatas pada tindakan medik
terhadap keluhan saja, melainkan juga mencakup saran
perbaikan/perubahan pada tempat kerja untuk
menghindarkan atau mengtirangi cedera lebih lanjut, baik
terhadap pasien maupun teman sekerjanya. Ergonomi,
suatu cabang ilmu yang merencanakan kenyamanan serta
produktifitas maksimal dengan cedera minimal ditempat
kerja telah berkembang menjadi bagian sangat penting
dalam penanganan cedera ditempat kerja.
Untuk mencegah berulangnya cedera, penilaian faktor
risiko ditempat kerja memungkinkan diajukannya saran
perubahan seperti menggunakan alat yang berbeda,
mengurangi waktu bekerja ditempat dengan risiko tinggi
dengan melakukan rotasi kerja atau menggunakan alat
pelindung seperti bantalan dan bidai.
REFERENSI
Rock MD : Sports and occupational injuries. Dalam Klippel JH
(Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. Arthritis Foundation,
, Atlanta, GA, l l " ed., 1997, p 149-54.
Hales TR, Bernard BP : Epidemiology of work-related musculoskeletal disorders. Dalam Orthopedic Clinics of North America.
27:4; 679-703, Oct 1996.
Gassett RS, Hearne PT, Keelan B : Ergonomics and body mechanics
in the work place. Dalam Orthopedic Clinics of North America.
27:4;861-877,
Oct 1996.
Ratti N, Pilling K : Occupational Medicine & Rheumatic diseases Back pain in the workplace. Brit J Rheumatol 36:260-264;
1997.
414
FIBROMIALGIA DAN NYERI MIOFASIAL
O.K. Moehad Sjah
PENDAHULUAN
2710
ini. Sekitar 80% produksi growth hormon dikeluarkanpada
saat tidurpadastage IV (non random eye movement sleep
atau restorative sleep). Stage IV didapatkan pada saat
tidur yang paling dalam dan hal ini berhubungan dengan
intensitas dan tidur yang cukup. Growth hormon juga
menyebabkan hati membentuk suatu protein yang
disebut somatomedin atau insulin like growth factor
yang paling banyak dikeluarkan pada saat tidur yang
dalam (stage IV). Benneth dkk, ( 1992)mendapatkan kadar
somatomedin yang rendah pada pasien fibromialgia
dibandingkan group kontrol.
Prolaktin juga dikeluarkan pada saat tidur panjang
dalam dan diduga dapat meningkatkan efisiensi tidur.
Kadar prolaktin dijumpai rendah pada pasien fibromialgia.
Serotonin dan triptopan juga pegang peranan.
Triptopan adalah prekursor dari serotonin, suatu
neurotransmiter yang juga berperan dalam regulasi tidur,
dan jika kadar serotonin rendah dapat menimbulkan
msomrna.
Perubahan Otot
Growth hormon juga suatu peptida anabolik yang
menstimulasi peningkatan sintesis DNA, RNA dan
protein yang berperan pada pertumbuhan semua jaringan
tubuh dan pada orang dewasa memegang peran penting
pada homeostasis otot dalam ha! memelihara otot yang
normal dan perbaikannya akibat dari pemakaian sehari-hari
dan kerusakan otot.
Pada fibriomialgia didapatkan kontraksi isokinetik
dan isometrik otot berkurang serta penurunan kapasitas
aerobik otot dan aliran darah otot juga berkurang.
Juga dijumpai penurunan kadar ATP dan ADP dan
peningkatan AMP.
REUMATOLOGI
KLASIFIKASI
Fibromialgia Primer
Gambaran karakterstik fibromialgia tanpa diketahui
penyebabnya atau penyakit yang melatarbelakangi.
FibromialgiaSekunder
Gambaran karakteristik fibromialgia yang diketahui
penyebabnya atau penyakit yang melatarbelakanginya dan
dapat merupakan manifestasi penyakit lain yang erat
hubungannya dengan fibromialgia, dan ditandai dengan
hilangnya keluhan fibromialgiasetelah penyakit primemya
teratasi.
Fibromialgia Regional atau Terlokalisasi
Nyeri miofasial terlokalisir yang disertai dengan trigger
point, biasanya sekunder terhadap strain otot (pekerjaan
berulang) sangat mirip dengan sindrom miofasial lokal,
regional atau spesifik dan tidak memenuhi syarat kriteria
untuk fibromialgia primer/sekunder.
Fibromialgia Usia Lanjut
.
Sama dengan fibromialgia primer atau sekunder, perlu
perhatian khusus terhadap kemungkinan adanya
polimialgiareumatika,penyakitdegeneratifatau neurologik,
osteoporosis, penyakit Parkinson, sindrom otak organik
atau sindrom kelelahan pasca penyakit virus.
Fibromialgia Juvenile
Sama dengan fibromialgia primer pada pasien usia muda.
GAMBARAN KLINIS
Faktor Psikologi
Faktor psikologi juga memegang peranan penting
yang dapat menimbulkan spasme otot sehingga
muncul simptom fisik seperti nyeri otot, kaku dan
pembengkakanjaringan lunak yang tak dapat diterangkan.
Riwayat depresi pada keluarga lebih sering dijumpai
pada pasien fibromialgia dibandingkan dengan artritis
reumatoid.
Selain hal-hal tersebut di atas maka diketahui pula
bahwa kadar serotonin yang rendah pada pasien
fibromialgia berkorelasi dengan jumlah tender point dan
kadar triptopan yang rendah menyebabkan serotoninjuga
menurun dan mengakibatkan rasa nyeri persisten yang
difus pada pasien fibromialgia.
Substansi P yaitu suatu neurotransmitter yang
berperan pada nyeri kronik juga meningkat pada
fibromialgia3 kali dari nilai normal dan ha] ini berhubungan
dengan nyeri di otot dan nyeri tekan. Peningkatan ini juga
mengakibatkan peningkatan transmisi rasa nyeri dan
direspons sebagai hiperalgesia.
=! '
2711
Ada tiga gejala utama yang dikenal dengan triad fibromialgia, yaitu;
Nyeri Muskuloskletal
DIAGNOSIS
2712
REUMATOLOGI
DIAGNOSIS BANDING
Fibromialgia dapat sebagai penyakit yang berdiri sendiri
atau muncul bersama penyakit lain seperti LES, RA,
sklerosis multipel atau kelainan autoimun lain.
Diagnosis banding fibromialgia antara lain:
?a!iang-ar, tend"erpofnm.
persedlean
me<llal
Sindromnyeri miofasial
Artritis reumatoid
Polimialgia reumatika/giant cell arteritis
Polimiositis/dermatomiositis. Miopati karena kelainan
endokrinhipotiroid,hipertioid, hipoparatiroid,
hiperparatiroid,insufisiensi adrenal) Miopati
metabolik (glycogen storage disease.lipid
rnyopathies)
Neurosis (depresi, ansietas)
Karsinoma metastase.
Sindromfatique kronis.
Parkinsonisme (fase diskinetik)
Sindrom
Nyeri
Kelelahan
Menyeluruh I difus
Sangat nyata I sering
Kekakuan
pagi hari
Palpasi
Generalisata I sering
Terapi
Prognosis
Fibromialgia
Tender points:
Tersebar luas I Difus
Latihan umum
Obat gangguan tidur
Penyakit cenderung
kronik dengan beberapa
disabilitas fungsional
Fibromialgia
O
Sindrom Miofasial
Regional / lokal
Biasanya tidak ada I
jarang
Regional I Jarang
Trigger point:
Regional I Lokal
Menghindari faktor
pemberat
Latihan peregangan
Diharapkan resolusi
sempurna, walaupun
sering kambuh
Gambar
PENGELOLAAN
Pendekatan awal penatalaksanaan memprioritaskan
pendidikan dan keyakinan pasien. Pasien harus diberitahu
bahwa fibromialgiabukanlah gangguan psikiatri dan gejala
yang dijumpai pada penyakit ini adalah seringjuga ditemui
pada masyarakat umum dan penting menjelaskan bahwa
FlBROMIALGIA
2713
TUJUAN PENGELOLAAN
PENATALAKSANAAN
ATAS:
PENGOBATANSECARAFARMAKOLOGI
Trisiklik antidepressant:
Amitriptilin5-50 mg/hari, Nortriptilin(PamelorI)0-50 mg/
hari, Sinequan (Doksepin) 2,5- 75 mglhari. Selektif
serotonin re uptake inhibitors (SSRI): Trazodon
(Desirel) 25-50 mglhari, Fluoksetin (Prozak:)
1-20 mglhari, Paroksetin(Paksil)5-20 mglhari.
Musclerelaksan:Siklobenzaprin(FlekserilI)0-30 mglhari.
Benzodiazepin:
Klonazepam(Klonopin)0,50-1 mglhari,
Alprazolam(Xanax)0,25-1,25 /hari.
Analgesik sederhana
OAINS (Ibuprofen, selekoksib), Asetaminofen (tidak boleh
lebih 4 gram/hari)
Analgesik sentral golongan Opioid: Kodein, metadon,
Tramadol
Topikal krim:
Capsaicin 0,25%
PROGNOSIS
REFERENSI
Affleck G, Urrows S, Tennen H, Higgins P, Abeles M. Sequential
daily relations of sleep, pain intensity, and attention to pain
among women with fibromyalgia. Pain .1996; 68: 363-8.
Bennett RM. Fibrositis. In: Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge
CB eds. Text book of rheumatology. Philadelphia:WB
Saunders; 1989.p.541-53.
Bennet,
R. Scientific basis for understanding pain in
fibromyalgia. April 12, 2003. from http:/www.myalgia.com
Scientific%20basis.htm
Benneth RM, Clark SR, Campbell SM, Burckhard! CS . Low levels of
somatomedin
C in patients
with the fibromyalgia
syndrome.Arthritis and Rheumatism, 1992;35: 1113-6.
Clarke AK. Fibromyalgia. In: Clarke AK. Rehabilitation in
rheumatology. Singapore:Toppan Printing; 1987 .p.81-6.
Chichasova N, Igolkina E, Nasonov E, Folomeev MY, Repas Ch. A
long-term
treatment of fibromyalgia
with tramadol
(preeliminary report). IX Symposium Eular, Madrid 1996: 126
(Abstract).
Drewes AM. Pain and sleep disturbances with special reference to
Fibromyalgia and rheumatoid arthritis. Rheumatology 1999;
38: 1035-44.
Freundlich
B,Leventhal
L.The
fibromyalgiasyndrome.
Jn:Schumacher HR,Klippel JH, Koopmaan W J,eds. Primer on
the rheumatic disease. Atlanta:Arthritis Foundation;l993:247-9.
For EA, Sexton H. Weather and the pain in fibromyalgia:are they
2714
related ? J Ann Rheum. Dis. 2002;6 l: 242-50.
Fibromyalgia. http://www.fmsni.freeserve.co.uk
Fibromyalgia. http://www.muhealth.org/-vocrehab/fibro/index.htm
Griep EN. Fibromyalgia: neuroendocrine perspective and
pathophisiology. Proceeding of XIX ILAR Congress of
Rheumatology. Singapore: l 997.p.136-8.
Griffiths ID. Fibromyalgia. Lectures in rheumatology. Penang
International teaching course in Rheumatology.
Penang,
Practical Printers, 1990: 105-8.
Gerber LH. Pathogenesis of fibromyalgia. In: Toorralba T.T, Amarte
CM, Navarra ST (Eds). Proceeding of the 5 th Asean Congress
of Rheumatology. 3rd Aplar Symposium on the Theraphy of
Rheumatic Disease. Manila.1998: 44-45.
Geel SE. The Fibromyalgia syndrome: Musculoskletal pathofisiology.
Seminars in Arthritis and Rheumatism 1994; 23: 347-53.
Goldenberg DL. Treatment of fibromialgia . In: Benneth RM,
Goldengberg DL, Rheum Dis Clin North Am. Philadelphia: WB.
Saunders; 1989.p.61- 72.
Gilliland BG. Miscellaneus arthritis and extraarticular rheumatism.
In: Fauci AS, Braunwald E, lsselbacher KJ, Wilson JD, Kasper
DL, et al eds. Harrisons principles of internal medicine. 15 th
ed. New York:Mc Graw Hill;2001.p.2520-52
Hench PK. Evaluation and differential diagnosis of fibromyalgia.In
: Benneth RM, Goldenbrg DL. Rheum Dis Clin of North Am.
15. Philadelphia: B Saunders 1989.p.19-30.
Hannonen P, Malminiemi K, Yli-Kerttula U, Isomeri R, Roponen
P. A Randomized, double-blind, placebo-controlled study of
moclobemide and amitriptyline in the treatment of fibromyalgia
REUMATOLOGI
415
NYERI SPINAL
Yoga I. Kasjmir
NYERI SERVIKAL
Walaupun insidensi nyeri servikal tidak sebanyak keluhan
nyeri pinggang bawah, namun penelusuran terhadap nyeri
tersebut seringkalimenyulitkanpara klinisi.Pada umurnnya
sebelum timbul nyeri servikal pasien mengeluh kaku
servikal. Keluhan ini mulai menyerang pasien berusia
25-29 tabun dengan presentasi sebesar 25-30%. Pada
mereka yang berusia di atas 45 tahun, prevalensinya
meningkat sampai 50%.
Penyebab terbanyak nyeri servikal adalah artritis dan
trauma, walaupun lebih tepat dikatakan adalah berbagai
faktor mekanik yang mengganggu pergerakan. Gangguan
pergerakan ini baik pada diskus, ligamen atau sendi dapat
memberikan sensasi nyeri, rasa tidak enak di servikal
bahkan disabilitas.
Terdapat beberapa istilah yang digunakan pada nyeri
servikal ini dan berkaitan dengan proses penyebab yang
mendasarinya. Di antaranya sindrom servikal (cervical
syndrome) dimana nyeri servikal disebabkan oleh iritasi
Anatomi
Banyak jaringan yang merupakan sumber nyeri pada
daerah servikal. Umurnnya rasa nyeri berasal darijaringan
lunak atau ligamen, radiks saraf, faset artikular, kapsul,
otot serta dura. Nyeri dapat diakibatkan oleh iritasi, trauma,
inflamasi, atau infeksi. Pada gambar 1, dapat dilihat
berbagaijaringan di daerah servikal yang dapat merupakan
sumber nyeri.
Di samping itu perlu diperhatikan adanya nyeri alih dari
berbagaijaringanatau organ lain yang merupakangambaran
distribusi dermatomal yang dipersarafi oleh sarafservikal.
Pemahaman anatomi berbagai jaringan di servikal ini
sangatmembantudalammenetapkanpenyebabnyeriservikal.
Lig longitudinale
----.......
anterior
poslorio r
Korpus
v ertebra- ---,,--
Radikssaraf
2716
REUMATOLOGI
Gangguanlokalpadaleher
Osteoartritis
Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid Juvenilis
Tendinitis
Sternokleidomastoideus
Strain Servikal Posterior Akut
lnfeksi Farings Limfadenitis
Servikal Osteomielitis
Meningitis
Spondilitis Ankilosa
Penyakit Paget
Tortikolis
Keganasan (primer/
metastasis)
Neuralgia Oksipital
DISH (Diffuse ldiophatic
Skeletal Hyperostosis)
Demam Reumatik
Gout
Keterangan
Fisis
Emosional
Kalalnan bawaan
lnfeksl
~1
lritasljalingan
J-ca--
Trauma ftsis
lmobHtas
Keteganganotot
lskemia jaringan
Fibrous reaction
Hal11biltanpema~'otot.restrikSi geralcan_sendl,
katertiatasanf.ungsiieodo n, pemem,tekaofascia
J.
j r- 1
'
2717
NYERI SPIRAL
Pemeriksaan Radiologis
2718
REUMATOLOGI
Penatalaksanaan
Dalam menghadapi pasien dengan nyeri servikal, perlu
diperhatikan selain penyebabnya adalah berat ringannya
gejala, ada tidaknya keterlibatan neurologis, serta beratnya
gambaran radiologis.
2719
NYERI SPIRAL
3.
Radikulopati
kiri.
Sindrom Skapulokostal
Fibromiositis
Keganasan
2720
NYERI PINGGANG
Nyeri pinggang bawah atau low back pain merupakan
salah satu keluhan yang paling banyak dijumpai pada
pasien reumatik . Keluhan ini yang berkisar antara 65-80
persen dari populasi merupakan sepertiga keluhan
reumatik. Di Poliklinik Divisi Reumatologi, Departemen
IlmuPenyakitDalam,FKUJJRSUPNCiptoMangunkusumo,
dalam kurun waktu 1991-1994,nyeri pinggang merupakan
keluhan yang menempati urutan ketiga di bawah
osteoartritis dan reumatism ekstraartikuler. Untuk daerah
rural sekalipun keluhan pada pinggang menempati urutan
kedua setelah nyeri pada sendi perifer. Masalah ini
mengakibatkan disabilitaspada mereka yang berusia muda,
serta berdampak lain yang merugikan seperti banyaknya
cuti sakit, hilangnya jam kerja serta besarnya biaya
pemeliharaan kesehatan yang harus dikeluarkan.
Penyebab keluhan nyeri pinggang ini sangat beragam
dan memerlukan suatu pendekatan yang sistematik dalam
upaya mencari penyebab utamanya. Faktor risiko potensial
untuk terjadinya nyeri pinggang bawah adalah merokok,
multiparitas, mengendarai kendaraan bermotor dan
mengangkat beban berulang-ulang. Dernikian pula dalam
penatalaksanaan keluhan nyeri pinggang tersebut
memerlukan seni tersendiri.
Anatomi
Tidak semua bagian segmen vertebra lumbalis dapat
merupakanjaringan penyebab sumber nyeri pinggang. Di
samping itu kinetika pergerakan segmen vertebra lumbalis
tersebut perlu diperhatikan dengan seksama agar dapat
dicegahgerakanyang menimbulkan atau menguranginyeri.
Sumbernyeri dapat berasal dari persoalan kulit, otot, tulang
belakang, organ visera, ataupun kebiasaan (habit)
seseorang dalam posisi tertentu serta aktiviatas rutin dalam
pekerjaan. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat lokasi
jaringan sebagai sumber nyeri pinggang bawah.
Evaluasi Klinispada Pasien Nyeri Pinggang
Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang berkaitan
erat dengan usia. Biasanya nyeri ini mulai dirasakan pada
mereka pada usia dekade ke dua dan insiden tinggi
dijumpai pada dekade ke lima. Keluhan nyeri ini juga
berkaitan erat dengan aktivitas mengangkat beban berat,
sehingga riwayat pekerjaan sangat diperlukan dalam
penelusuran penyebab serta penanggulangan keluhan ini.
Keluhan nyeri dapat beragam dan diklasifikasikan
sebagai nyeri yang bersifat lokal, radikular, menjalar
(refferedpan) atau spasrnodik. Nyeri lokal berasal dari
proses patologik yang rnerangsang ujung saraf sensorik,
umumnya rnenetap, narnun dapat pula intermiten, nyeri
dapat dipengaruhi perubahan posisi, bersifat nyeri tajarn
atau turnpul.Biasanyadapat dijumpai spasrneparavertebral.
Nyeri alih atau menjalar dari pelvis atau visera
REUMATOLOGI
LPl(gJ.l$01te1(gkll,ur<llnale
---1~c:!f'-i~r--
Anulus fibrosus
--~r----:::.r-.~r
2721
NYERI SPIRAL
Sumber Nyeri
Sifat Nyeri
Perubahan Neurologis
Tajam
Tumpul
Dalam, aching
Pergerakan
Tidak ada
Nyeri Diskus
Sklerotomal
Lokal
Sklerotomal
Radikular
Radikular
Sklerotomal
Dermatomal
Parestesia
Baal
Pola klaudikasio
spinal
Dalam, aching
Nyeri Spinal
Dlstribusl
Tidak ada
Ekstensi lumbal
Berjalan
Berkaitan dengan organ yang terkena
Ada
Nyeri dan
dlsestesla
Kelemahan otot
dan atrofi
Penurunan
relaks
L4
Tungkai atas
(posterolateral)
Tungkai bawah
(anteromedial)
Tungkai atas
(posterior)
Tungkai bawah
(anterolateral)
Kaki slsl medial dan
ibujari
Quadriceps
Knee jerk
Tibialis anterior
Tidak ada
Ankle jerk
LS
Seqi Reurnatoloqi
Tidak ada
Ada
51
S2-S4
Tungkai atas
(posterior)
Tungkai bawah
(posterior)
Kaki (posterolateral)
Jari sisi lateral
Gluteus dan
perineum
Tungkai alas
(posterior)
Tungkai bawah
(posterior)
Kaki (plantar)
Extensor hallucis
longus
Atrofi
kompartemen
anterior tungkai
bawah
Gastrosoleus
Gluteus maksimus
Hamstring
Gastrosoleus
Foot intrinsic dan
fleksor longus,
stinkier anal dan
kandung kemih
Ankle jerk
Ankle jerk
Absent
plantar
responses
2722
Dalam posisi terlentang dilakukanpemeriksaanpanjang
tungkai, melihat adanya atrofi otot. Ketidaksamaan
panjang tungkai dapat merupakan salah satu sebab
timbulnya nyeri pinggang dan keadaan ini dapat diatasi
dengan meninggikan alas sepatu. Laseque atau straight
leg raising (SLR) dilakukan dalam keadaan lutut ekstensi
sampai pasien merasa nyeri dan otot hamstring meregang.
Apabila nyeri terjadi pada daerah pinggang dan bersifat
radikular, hal ini menunjukkan adanya herniasi diskus.
Tes ini bemilai diagnostik apabila radiks yang terkena
lebih distal yaitu setinggi L5 dan Sl. Untuk mengenali
kelainan radiks yang lebih tinggi dari L5 dilakukan tes
Ely. Pasien dalam posisi telungkup, lutut difleksikan
dan dilakukan hiperekstensi panggul. Iritasi setinggi L3
dan L4 akan membatasi gerak hiperekstensi tersebut.
Sendi sakroiliaka diperiksa dengan tes fabere atau
Patrick. Dilakukan fleksi, abduksi, rotasi ekstemal dan
ekstensi panggul.
Evaluasi psikologis diperlukan bilamana dijumpai
kelainanpada faktorkepribadiandan menyangkutkesulitan
dalam upaya pengobatan. Salah satu cara penialaian
emosional pasien dilakukan dengan MMPI(The Minnesota
Multiphasic Personality Inventory). Dengan metoda ini
mudah diketahuibesamyaskalahisteria maupunhipokondria
pada pasien. Memang sangat sulit menentukan apakah
gangguan psikologis atau emosional terjadi akibat proses
nyeri itu sendiri atau sebaliknya.
Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dijumpai satu pemeriksaan laboratorium yang dapat
digunakan sebagai penyaring penyebab keluhan nyeri
pinggang bawah. Tes laboratorium hanya dipakai sebagai
data tambahan terhadap berbagai penyakit kausal
yangmemangmemilikikarakteristiknilailaboratoriktertentu.
Pemeriksaan Radiologis
Foto polos. Standard pemeriksaan untuk nyeri pinggang
bawah adalah foto posisi anteroposterior, lateral dan coned
down lateral view. Data tambahan dapat diperoleh melalui
posisi foto oblik. Dengan diskus awal tampak apabila
terdapat pengurangan tinggi celah diskus di sisi anterior
dan pergesaran intervertebra anteroposterior pada posisi
lateralfleksi dan ekstensi. Keadaan lebih lanjut akan tampak
berupa kolaps celah diskus, sklerosis serta pembentukan
osteofit. Akan tetapi kelainan lain seperti adanya osteofit
yang dijumpaipada osteoartritislumbal dapat pula dijumpai
pada beberapa penyakit tulang belakang seperti sindrom
reiter, spondilitisankilosa atau artritispsoriatik serta adanya
kelainan pada diskus tidak mencerminkan sebagai sumber
nyeri pinggang bawah. Kelainan seperti skoliosis, lordosis
lumbal yang meningkat mempengaruhi keluhan nyeri
tersebut di samping diskrepansipanjang tungkai yang lebih
dari4,5cm.
REUMATOLOGI
2723
NYERI SPIRAL
DIAGNOSIS BANDING
2n,
Beberapa penyakit di antaranya adalah ulkus peptik, g
astritis, tumor pada duodenum, gaster atau pankreas, dan
pendarahan retroperitoneal. Pada wanita, tumor pada
uterus aatau vesika urinaria memberikan rasa nyeri
pinggang namun lebih ke arah sakral. Demikian pula
nyeri akibat haid dan malposisi uterus.
REFERENSI
Adnan M. Low Back Pain Dipandang dari Segi Reumatologis. Dalam.
Lurribantobing SM, Tjokronegoro A. Judana A, eds. Nyeri
Pinggang Bawal:i (Low Back Pain). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 1983 :51-65.
Cailliet R. Low Back Pain. Philadelphia: EA Davis Company. 1987.
Cailliet R. Neck and Arm Pain. Philadelphia: EA Davis Company.
1978.
Frymoyer JW, Booth RE, Rothmman RH. Osteoarthritis syndromes
of the lumbar spine. In: Moskowitz RW, Howell DS, Mankin HJ.
Eds. Osteoarthritis, Diagnosis and Medical/
Surgical
Management. Philadelphia: WB Saunders Co. 1992: 683-736.
Hardin JG, Halla JT. Cervical spine syndrome. In: McCarty DJ.
Koopman WJ. Eds. Arthritis and Allied Condition. 12ed.
Philadelphia: Lea & Febiger, 1993: 1563-71.
Hoppenfeld S. Physical Examination of The Spine and Extremities.
Norwalk Connecticut: Appleton Century Croft. 1976; 105-131,
237-63.
416
PENYAKIT JARINGAN IKAT HEREDITER
Faridin
PENDAHULUAN
Penyakit jaringan ikat herediter merupakan suatu
konsekuensi akibat gangguan struktur atau kuantitas
matriks ekstraselular, termasukjaringan kolagen spesifik,
fibrilin-fibrilin, dan matriks ekstraselular nonkolagen serta
proteoglikan. Komposisi molekul dan organisasijaringan
ikat disebut sebagai matriks ekstraselular yang luar biasa
kompleks . Masih banyak hal yang belum diketahui tentang
jumlah, struktur, lokasi gen yang mengontrol sintesis dan
metabolisme jaringan ikat ini. Gen yang terususun lebih
dari 195 protein, termasuk gen yang mengatur metabolisme
dan perkembangan skeletal telah diketahui. Mutasi dari
gen ini merupakan penyebab berbagai variasi kelainan dari
penyakit jaringan ikat. Kelainan jaringan ikat herediter akan
mengikuti hukum Mendel , namun memperlihatkan variasi
heterogenitas dalam anggota keluarga.
Penyakit j aringan ikat herediter pertama kali ditemukan
oleh McKusick pada tahun 1955, mencakup pada
Osteodistrofi Imperfecta (OJ), sindrom Marfan (SMF) ,
sindrom Ehlers-Danlos (SED), pseudosantoma elastikum.
Karakteristik fenotip dari kelainan jaringan ikat herediter
kadang tidakjelas, masih memerlukan pemahaman genetik
dan biokimia. Lebih dari 200 kelainan termasuk kelainan
jaringan ilcat herediter.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa penyakit-penyakit
jaringan ikat herediter yang sering ditemukan.
SINDROM MARFAN
Sindrom Marfan (SMF) ditemukan kelainan pada beberapa
organ dan jaringan, khususnya kelainan skeletal, mata,
kardiovaskular, paru-paru dan susunan saraf pusat .
Diagnosis didasarkan atas gejala klinis, bentuk herediter
autosom dominan. Pada beberapa kasus SMF yang telah
2726
Ukuran aorta ascenden diperiksa dengan ekokardiografi, bila diameter aorta lebih dari dua kali ukuran normal
(sekitar 55 mm pada orang dewasa) harus dilakukan
tindakan bedah. Untuk mengurangi ketegangan dinding
aorta dapat diberikan beta adrenergik. Perempuan yang
menderita SMF mempunyai risiko terjadinya ruptur aorta
pada masa kehamilan.Perempuan dengan diameterpangkal
aorta lebih dari 40 mm, merupakan kontra indikasi untuk
hamil.
Kelainan dinding dada berupa pektus ekskavatus dan
karinatus, atas indikasi kosmetik dapat dilakukan koreksi
dengan tindakan bedah. Kadang-kadang tindakan
dini diperlukan jika ada gangguan respirasi yang
membahayakan.
HOMOSISTINURIA
Homosistinuria dihubungkan dengan kelainan
metabolisme metionin sejak lahir, hal ini diakibatkan
oleh defisiensi ensim sistationin beta-sintase,
Gejala klinis mirip dengan SMF, seperti ektopia lentis,
postur tubuh yang tinggi, araknodaktili, dan kelainan
skeletal dan dinding dada, yang berbeda dengan
homosistinuria adalah ditemukan osteoporosis
generalisata, retardasi mental, trombosis arteri dan vena.
Dikenal tiga tanda kardinal dari gambaran klinis
homosistinuria adalah retardasi mental, kelainanjaringan
ikat dan trombosis. Patogenesis dari manifestasi klinis di
atas tidak diketahui.
Pasien dengan homosistinuria, sekitar 50% akan
berespons dengan pemberian vitamin B6 (piridoksin) dosis
besar (dosis lebih dari 50 mg perhari), untuk menurunkan
plasma metionin plasma dan homosistinuria. Vitamin B6
merupakan ko-faktor untuk sintesis beta sistationin.
Adanya retardasi mental dan ektopia lentis yang terjadi
Iebih dahulu, tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
vitamin B6, sangat diperlukan diagnosis dini sehingga
terapi dapat diberikan lebib dini pula. Diagnosis dini dapat
dilakukan dengan memeriksa kadar metionin darah saat
lahir. Pada pasien yang tidak berespons baik dengan
vitamin B6 (piridoksin-nonresponsders), terapi bisa
dilakukan dengan diet rendah metionin dan terapi oral
betain, terapi ini biasanya berhasil.
SINDROM STICLER
Sindrom Sticler merupakan kelainan autosom dominan
berat, yang ditandai dengan miopia progresif, degenerasi
vitreal, perlengketan retina, kehilangan pendengaran yang
bersifat sensori-neural, hipoplasia mandibula, hiper dan
hipomotilitas sendi, displasia epifiseal tulang panjang,
dislokasi dan degenerasi sendi. Keadaan ini disebut juga
artro-oftalmopati. Sindrom Sticler disebabkan oleh mutasi
SINDROMEHLERS-DANLOS
Sindrom Ehlers-Danlos (SEO) merupakan suatu kelompok
kelainan dengan variasi fenorip yang luas karena luasnya
variasi genetik yang terjadi. Tanda-tanda kardinal SEO
berhubungan dengan kelainan sendi dan kulit, berupa
hiperekstensibilitaskulit, peningkatanmobilitas sendi, kulit
mudah memar, dan fragilitasjaringan abnormal. Terdapat6
tipe SEO, yang didasarkan pada gambaran fenotip dan
karakteristikherediter,dengan gejala-gejala klinis masingmasing tipe akan dijelaskan di bawah ini:
Sindrom ehlers-danlos tipe klasik. Tipe ini sebelumnya
dikenal pula sebagai SEO tipe I dan II. Ditandai dengan
hiperekstensibilitassendi dan kulit, kulit mudah memar dan
sangat rapuh, Iuka yang sukar menyembuh sekalipunhanya
karena trauma ringan, penutupan sutura yang terlambat.
Dislokasi sendi panggul saat baru lahir,pada usia tua sering
terjadi dislokasi sendi, efusi sendi, dan spondilolistesis,
skoliosis kadang-kadang berat.
SindromEhlers-Danlostipe klasik ini diturunkansecara
autosomal dominan dengan variasi yang luas. Penanganan
difokuskan pada pencegahan trauma dan perawatan Iuka.
Sindrom ehlers-danlos tipe hipermobilitas. Dahuludikenal
dengan SEO tipe IV. SED tipe ini, keterlibatan kulit jarang
ditemukanjika dibandingkandengan tipe klasik. Umumnya
ditemukan kelainan sendi, berupa hiperekstensi bentuk
sedang hingga bentuk ekstrim. Bila seseorang didapatkan
keluhan kelemahan sendi tanpa disertai ketidakstabilan
sendi, dapat dikategorikanke dalam ripe ini.
Sindrom ehlers-danlos tipe vaskular. Tipe ini sangat
berbahaya, oleh karena mudah terjadi ruptur arteri dan usus
yang dapat menyebabkan kematian. Pasien SEO tipe
vaskularditemukandefisiensikolagen tipe III, akibat mutasi
yang terjadi pada gen COL3Al. SED tipe vaskular
sebelumnyadikenal sebagaitipe SED-IY.Kulit sangatripis,
translusen, hiperekstensibilitas dan ditemukan kelemahan
sendi terbatas pada sendi-sendi jari tangan. Diturunkan
secara autosomal dominan, dapat terjadi secara sporadik
dalam keluarga.
Siodrom ehlers-danlos tipe kifoskoliosis. Sebelumnya
dikenalsebagai SEO ripeV, disebut tipe kifoskoliosiskarena
melibatkan sendi-sendi vertebra, berupa kifosis dan
skoliosis yang berlebihan. Kelainan lain yang dapat
ditemukan adalah bola mata yang rapuh, kulit dan
ketidakstabilan sendi. Diturunkan secara autosomal resesif.
PENYAKIT JARINGAN
2727
IKAT HEREDITER
SINDROM OSTEOGENESIS
IMPERFEKTA
Gambaran klinis yang sering ditemukan pada osteogenesis imperfekta (OI) adalah pada tulang, mata, gigi,
gangguan pendengaran dan sistem kardiovaskular.
Gambaran klinis pada tulang berupa tulang yang sangat
rapuh, dapat terjadi fraktur intra-uterina didasarkan
diagnostik radiologi antenatal, fraktur tulang iga multipel.
Gambaranklinis pada mata adalah skleraberwarna biru,
atau kebiru-biruan (sering ditemukan pada OI tipe I, II dan
III), dan komea mata tipis.
Gangguan pendengaran dapat terdeteksi pada dekade
dua atau ketiga dari kehidupan. Gangguan pendengaran
pada OI akibat dari otosklerosis yang terjadi sebelum usia
dewasa. Penyebab lain adalah akibat menipisnya membran
timpani, dan tulang-tulang pendengaran tidak saling
berhubungan (disconnected).
Manifestasi klinis pada gigi dari pasien OI adalah gigi
tampak berwama biru atau kecoklatan baik pada gigi susu
maupun pada gigi permanen. Hal ini sangat mudah
diketahui hanya dengan observasi langsung dalam rongga
mulut. Kelainan akibat pada proses pertumbuhan gigi
semasa janin.
Prolapsus katup mitral ditemukan sekitar 15% pada
pasien 01, dilatasi aorta kadang ditemukan, namunjarang
bila dibandingkan dengan MVP (mitral value prolaps).
Diagnosis banding 01 seperti: osteoporosis juvenile
idiopatik; osteoporosis juvenile yang disertai dengan
gangguan pada mata dan retardasi mental, sindrom
Hadju-Cheney, piknodisostosis (sindrom dwarfisme,
tulang rapuh, ramus mandibula tidak terbentuk, fontanela
yang menetap, akroosteolisis), dan hipofosfatasia.
PENATALAKSANAAN
PSEUDOSANTOMA
ELASTIKUM
FIBRODISPLASIA
OSSIFICAN PROGRESIF
2728
yang dapat mengarahkan diagnosis FOP adalah bentuk
kaki pendek dan besar kadang disertai jempol kaki yang
pendek. FOP merupakan penyebab hallux valgus
kongenital. Harapan hidup pasien FOP akan menurun
akibat gangguan pernapasan yang disebabkan oleh
pengembangan paru-paru mengalami restriksi progresif.
REFERENSI
Astrom E, Soderhall S. Beneficial effect of long term intra-venous
bisphosphonate treatment of osteogenesis imperfecta. Arch Dis
Child. 2002;86 : 356-364
Dolan AL, Arden NK, Grahame R, et al : Assessment of bone in
REUMATOLOGI
419
OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID
Najirman
PENDAHULUAN
MEKANISME KERJA
2738
REUMA10LOGI
COX-1
(Constitutive)
ll
COX-2
(Inducible)
(-)
Fospo pas~ A,
5 Uvoksi
Glukokortlkold
l
genasc
S1k ooksige~ase
lntegritas gastrointestina
' Agregasi trombosit
Fungsl ginjal
"Ternpat inflamasi
- Marofag
- Sinoviosit
- Sel endotel
Fungsi ginjal
' Ovarium dan uterus
Pembentukan tulang
2739
KLASIFIKASI
FARMAKOKINETIK
Nama OAINS
Diklofenac
Etodolac
Fenoprofen
Flurbiprofen
Ibuprofen
lndomethacin
Ketoprofen
Ketorolac
Meclofenamate
Tolmetin
Celecoxib
Valdecoxib
Salisilat
Diflunisal
Nabumetone
Naproxen
Oxaprozin
Phenylbutazone
Piroxicam
Sulindac
Tenidap
Meloxicam
Rofecoxib
Dosls
50-100 mg, 2x/hari
200-300 mg, 2 x/hari
300-600 mg, 3-4 x/hari
50-100 mg, 2-3 x /hari
300-800 mg, 3-4 x/hari
25-50 mg, 3-4 x/hari
50-75 mg, 3-4 x/hari
10 mg, 3-4 x/hari
50-100 mg, 3 x/hari
400-600 mg, 3 x/hari
100-200 mg, 2 x/hari
10-20 mg, 1-2 x/hari
2,4-6 g/hari, dosis terbagi 4-5x
0,5-1,5 g/hari, dosis terbagi 2 x
500-1000 mg, 2 x/hari
250-500 mg, 2 x/hari
600-1200 mg, 1 x /hari
100-400 mg, 1 x/hari
10-20 mg, 1 x/hari
150-200 mg, 2 x/hari
120 mg, 1 x/hari
7,5-15 mg, 1x/hari
12,5-25 mg, 1 x/hari
2740
REUMATOLOGI
Aspirin
Diflunisal
Benorylate
Trisalicylate
salsalate
Sodium
Salicylate
Diclofenac
Alclofenac
Fenclofenac
Fentiazac
Etodolac
lndomenthcine
Sulindac
Tolmetin
Tenidap
Zomepirac
Clopirac
Keterolac
Tromenthamine
Carprofen
Fenibufen
Flurpirofen
Ketoprofen
Oxaprozin
S uprofen
Ti
Ibuprofen
naproxen
Fenoprofen
lndoprofen
Benoxaprofen
Pirprofen
Piroxicam
Sudoxicam
lsoxicam
Tenoxicam
Meloxicam
Flufenamic
mefenamic
Meclofenam ic
Niflumec
Nabumetone
Proquazone
Tiaramide
befexamac
Flunizone
Epirazone
Tinoridine
Oxyphenbutazone
Phenilbutazone
Azapropazone
Feprazone
Coxib - celecoxib
- Rofecoxib
Valdecoxib
Etoricoxib
- parecoxib
-Lumiracoxib
Nimesulide
FARMAKODINAMIK
Efek Antiinflamasi
Efek antiinflamasi OAINS terkait dengan kemampuan obat
ini dalam menghambat sintesa prostaglandin, karena
prostaglandin baik langsung ataupun tidak langsung
bertindak sebagai mediator inflamasi. Dengan demikian
OAINS sering digunakan sebagai obat lini pertama untuk
mengatasi proses inflamasi.
Efek Analagesik
Obat anti inflamasi nonsteroid menghambat nyeri baik di
perifer ataupun di sentral. Obat ini efektif mencegah ketiga
jenis nyeri yakni nyeri fisiologis, nyeri inflamasi dan nyeri
neuropatik.
Efek Antipiretik
Prostaglandin E2 merupakan mediator terjadinya
peningkatan
suhu tubuh. Selama demam terjadi
peningkatan kadar PGE2 di hipotalamus dim ventrikel ke
III. Peningkatan PGE2 dihipotalamus mengakibatkan
2741
Efek samping.
Efek samping OAINS selalu dikaitkan dengan kerja obat
tersebut menghambat COX-1. Efek samping yang
sering terjadi melibatkan saluran cerna, ginjal, hati,
paru, sistem reproduksi, susunan saraf pusat dan
hematologi.
Ginjal
Sebanyak 5% pasien yang mendapat OAINS akan
mengalami komplikasi pada ginjal. Manifestasi klinis yang
sering adalah edema perifer, penurunan fungsi ginjal secara
akut hiperkalemia, nefritis interstisialis dan nekrosis
papila renalis. Sebagianbesar dari efek samping pada ginj al
tersebut bersifat reversibel. Edema perifer terjadi
dise-babkan oleh peningkatan reabsorpsi natrium dan air
pada tubulus koligen akibat penurunan PGE2 yang
berfungsi mengatur aliran darah pada bagian medula dan
tubulus koligen
Pada individu yang sehat OAINS tidak akan
mempengaruhifungsi ginjal. Gangguanfungsi ginjal terjadi
bila pada pasien dehidrasi, sudah ada gangguan fungsi
sebelumnya, pasien diabetes dan sirosis hepatis atau
pasien usia lanjut. Gagal ginjal akut biasanya terjadi bila
OAINS diberikan dengan dosis besar.
Pemberian OAINS juga dapat menyebabkan terjadi
hiperkalemia. Hal ini terjadi karena terhambatnya prostaglandin yang berfungsi merangsang pelepasan renin dari
ginjal. Konsentrasi renin yang rendah mengakibatkan
produksi aldosteron juga berkurang dan pada gilirannya
terjadilahpengurangan ekskresi kalium. Hiperkalemiapada
pemberian OAINS ini dapat juga terjadi bila pada waktu
yang bersamaanjuga diberikan obat anti hipertensi hemat
kalium danACE inhibitor.
Komplikasi lain yang dapat terjadi tetapi jarang
ditemukan adalah nefritis interstitial, sindrom nefrotik dan
nekrosis papila renalis. Nefritis interstitial dan sindrom
nefrotik dapat terjadi setelah 8-18 bulan penggunaan
OAINS dan belumjelas patofisiologi yang mendasarinya.
Nekrosis papila renalis terjadi akibat defisiensi PG yang
bersifat vasodilator, sehingga mengakibatkan timbulnya
iskemik dan nekrosis pada papila ginjal.
SALURAN CERNA
NSAID
Decrease in gastric
mucosal prostaglandins
Hati
Kelainan hati akibat pemberian OAINS mulai dari yang
ringan sampai berat seperti hepatitis fulminant, walaupun
ini jarang terjadi. adanya gangguan fungsi hati dapat
diketahui dengan peningkatan enzim transaminase.
Insiden gangguan fungsi hati yang berat akibat OAINS
ditemukan sebanyak 2,2 dari 100.000pasien yang dirawat.
Sulindak merupakan OAINS yang paling sering
mengakibat gangguan fungsi hati.
2742
REUMA.TOLOGI
Paru
Ku lit
Walaupunjarang ditemukan, OAINS dapat menimbulkan
kelainan pada kulit seperti eritema multi forme, sindrom
Stevens Johnson dan toksik epidermal nekrolisis. Obat
yang sering menimbulkan efek samping ini adalah
piroksikam,zomepirak,sulindak, sodiummeklofenamatdan
benoksaprofen
Efek Samping Lain
Jantung
Tabel 3. Metabolisme
Obat [kutip
9)
Metabolisme
Nama obat
Metabolisme
Hali
Hali
Hali, siklus enterohepalik
Hali
Hali
Hali, siklus enlerohepalik
Hali
Hali
Hati
Hali
Hali
Hali
Hali dan ginjal
Diflunisal
Nabumelone
Naproxen
Oxaprozin
Phenylbulazone
Piroxicam
Sulindac
Tenidap
Meloxicam
Rofecoxib
Hali
Hali
Hali dan ginjal
Hali
Hali
Hali, siklus enlerohepalik
Hali
Hali
Hali
Hati
Nama obat
Diklofenac
Elodolac
Fenoprofen
Flurbiprofen
Ibuprofen
lndomelhacin
Ketoprofen
Ketorolac
Meclofenamate
Tolmetin
Celecoxib
Valdecoxib
Salisilat
Efek
Warfarin
Sulfonylurea
Beta blocker
Phenylbutazone
COX-1 spesifik
Phenylbutazone
Salisilat dosis tinggi
Non selektif OAINS
Hydralazine
Prazosin
ACEinhibitor
Diuretics
Phenytoin
Lithium
Digoxin
Aminoglycosides
Methotrexate
Sodium
Sebagian
Sebagian
Sebagian
Sebagian
Aspirin
besar
besar
besar
besar
OAINS
OAINS
OAINS
OAINS
valproate
Antacids
lndomethacin
Sallicylates
OAINS lainnya
Piroxicam
Cimetidine
Probenecid
Chlestyramine
Caffein
Metoclo ramide
REFERENSI
Collier DH. Nonsteridal Antiinflammatory Drugs. In : West S
(editors). Rheumatology Secrets 2'h edition. Hanley & Belfus
Inc, Philadelphia 2002561-57
De Broe ME, Elseviers MM. Analgesic Nephropathy. NEJM
1998 ;33 8 :452
Furst DE, Hillson j. Aspirin and Other Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs. In : Koopman WJ (Ed). Arthritis and Allied
Conditions 141 edition. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia 2001: 665- 703
Leto A. Pertimbangan baru dalam pemilihan
selektivitas
penghambatan COX-2 sebagai anti nyeri dan anti inflamasi.
Dalam : Setiyohadi B, Kasjmir YI (Editor).Temu
Ilmiah
Reumatologi 2002:7 8-81.
2743
Osiri M, Moreland LW. Specific Cyclooxygenase 2 Inhibitors:
A New Choice of Non Steroidal Anti-Inflammatory Drug
Therapy. Arthritis Care and Research 1999; 12(5):351-9
Pelletier MJ, Lajeunesse D, Reboul P, Pelletier JP. Therapeutic role
of dual inhibitors of 5-LOX and COX, selective and
non-selective non-steroidal
anti-inflammatory drugs. Ann
Rheum Dis 2003;62:501-9
Robert JL II, Morrow JD. Analgesic-antipyretic and anti-inflammatory agents and drugs employed in the treatment of gout.
In : Wonsiewicz MJ, Morriss JM (Eds). Goodman and Gilman's
The Pharmacological basis of therapeutics, l O". Mc Graw-Hill
Medical Publishing Division, New York, 2001: 687-727.
Sabagun ES, Weisman MH. Nonsteroidal Anti-inflammatoey Drugs.
In: Ruddy S, Harris ED, Sledge (Eds).Kelley's Textbook of
Rheumatology 61h edition. WB Sounders Company, Philadelphia 2001 :799-822
Sundy JS. Non Steroidal Antiinflammatory Drugs. In :Koopman,
Moreland LW (Eds). Arthritis and Allied Conditions 15'"
edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia 2005:
679-98
Simon LS. NSAIDs: Overview of adverse effects. http://www. UpTo
Date 2005
Wolfe MM, Lichtenstein DR, Sing G. Gastrointestinal toxicity of
nonsteroidal antiinflammatory drugs. NEMJ 1999; 17:
1888-99.
Wilder RL. Nonsteroidal antiinflammatory drugs. In : Klippel JH
(Eds). Primer on The Rheumatic Diseases,
12th edition.
Arthritis
Foundation,
Atlanta
2001:
583-91
420
OPIOID, ANTI DEPRESAN DAN
ANTI KONVULSAN PADA TERAPI NYERI
Riardi Pramudiyo
OPIOID
Mekanismekerjadan pengaruhopiat.Opioidmempunyai
efek farmakologi pada hampir setiap organ dalam tubuh.
Beberapa efeknyamenguntungkandan yang lain merugikan
tubuh. Obat ini dapat mempengaruhi berbagai macam organ tubuh penting antara lain: susunan saraf pusat, saluran
cema, sistem kardiovaskular, paru-paru, genitourinaria.
OPIOID,
ANTI DEPRESAN
2745
2746
opioid dosis terapi sehingga tekanan pada traktus biliaris
meningkat dan mengakibatkan epigastrik-distres yang
dapat diatasi dengan pemberian nalokson dosis rendah,
nitrogliserin atau amilnitrat (relaksan otot polos).
REUMATOLOGI
ANTI DEPRESAN
Anti depresan pasa saat ini dipakai juga untuk mengobatan
nyeri. Anti depresan yang paling banyak dipakai adalah
kelompok anti depresan trisiklik (TCA) dan dari banyak
obat yang termasuk dalam kelompok ini hanya amitriptilin
sajalah yang banyak dipakai dan mempunyai hasil, bahkan
sampai saat ini masih merupakan terapi lini pertama (first
line therapy) untuk pengobatan nyeri khususnya nyeri
pada neuropati diabetik. (Dallocchio dkk,2000; Baron
R,2004) Mekanisme kerja utama anti depresan trisiklik
terutama pada kemampuannya untuk menghambat ambilan
kembali serotonin (serotonin reuptake) dan norepinefrin ke
pre sinaps. Telah dibuktikan pula bahwa antidepresan
trisiklik mempunyai efek blokade pada u-adrenergik, kanal
natrium, dan antagonis NMDA. (Meliala dan Pinzon,2004)
Menurut Baron R (2004), mekanisme kerja kelompok
antidepresan trisiklik adalah menghambat ambilan kembali
transmiter monoaminergik. Hal ini akan mempunyai
pengaruh potensiasi dengan aminergik pada jalur painmodulating susunan saraf pusat dan memblok kanal sodium voltage-dependent ( efek anestesi lokal) dan respons
adrenergik. Dari golongan TCA, amitriptilin-lah yang pada
saat ini banyak dipakai secara luas untuk pengobatan nyeri
kronik. Dosis rata-rata yang dipakai untuk mengurangi rasa
nyeri antara 75-150 mg/hari dan dosis ini biasanya lebih
rendah dari pada dosis yang diperlukan untuk mencapai
efek antidepresan. Amitriptilin dan golongan TCA lainnya
mempunyai efek samping yang signifikan. Efek samping
sebagai akibat dari blokade reseptor o-adrenergik adalah :
hipotensi ortostatik; dan sebagai akibat bloking reseptor
histamin adalah sedasi. Efek samping lain yang dapat
timbul adalah : retensi urin, hilangnya daya ingat dan
abnormalitas konduksi jantung ( oleh karena efek
antikolinergik). Khususnya bagi pasien lansia, pemakaian
obat ini sebaiknya dimulai dengan dos is rendah (10 mg)
dan secara pelan-pelan dosis dinaikkan. (Baron R,2004)
Desipramin dan nortriptilin, keduanya bekerja dengan
cara memblok ambilan kembali norepinefrin dan efektif
untuk pengobatan nyeri pasca herpes dan neuropati
diabetik. Obat ini mempunyai efek antikolinergik dan sedasi
yang
lebih
ringan.(Baron
R,2004)
ANTI KONVULSAN
2747
2748
dengan subyek 25 orang, membandingkan gabapentin
dengan TCA (amitriptilin) pada pasien nyeri neuropati
diabetik dan temyata gabapentin memberikan basil yang
baik dan mungkin dikemudian hari dapat dipertimbangkan
sebagai terapi lini pertama, dan hal ini didukung oleh
kenyataan dimana obat ini dapat ditoleransi dengan baik,
profil yang aman dan tidak ada interaksi dengan obat lain.
Di samping itu gabapentin mempunyai kemampuan untuk
masuk kedalam sel dan berinteraksi dengan reseptor a}>
yang merupakan subunit dari kanal kalsium. Gabapentin
dapat merubah aktivitas glutamik acid dekarboksilase,
sehingga mampu meningkatkan GABA (inhibisi).
Berdasarkan mekanisme kerja seperti di atas, gabapentin
dapat digunakan pada nyeri neuropatik maupun inflamasi.
Oleh karena mampu mengantagonis induksi nyeri di
pusat.(Dallocchio dkk,2000) Gabapentin telah diuji coba
untuk mengatasi berbagai macam nyeri, antara lain : nyeri
pasca herpes, nyeri neuropati perifer pada diabetes,
sindromnyeri neuropati campuran,nyeri phantom, sindrom
Quillian-Barre, nyeri akut dan kronik pada gangguan
sumsum tulang belakang menunjukkan pengurangan nyeri
yang signifikan dibandingkan dengan plasebo. Beberapa
pasien menunjukkan perbaikan dalam tidur, mood dan
kualitas hidupnya. Efek samping gabapentin: somnolen,
pusing, edema perifer ringan. Pada manula dapat
mengakibatkan kehilangan keseimbangan sehingga
jalannya sempoyongan dan gangguan daya ingat.
Penyesuaian dosis perlu dilakukan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal. Efek samping terjadi terutama pada
waktu peningkatan dosis untuk mencapai dosis
terapeutik.(BaronR,2004) Interaksi obat. Gabapentin tidak
menghambat enzim mikrosomal hati dan ikatannya dengan
REUMATOLOGI
REFERENSI
Baron R. Neuropathic Pain - From Mecamisms to Symptoms to
Treatment : An Update. Int J Pain Med Pall Care 2004;3(3):78-90.
Beydoun A, Kutluay E. Oxcarbacepine. Expert Opinion in Pharmacology, 2002,3(1 ):59- 71.
Chong MS dan Smith TE. Anticonvulsants for the Management of
Pain. Pain Review 2000;7: 129-49.
Dallocchio C, Buffa C, Mazzarello P, Chiroli S. Gabapentin vs.
Amitriptyline in Painful Diabetic Neuropathy : An Open-Label
Pilot Study. J Pain Syndrome Manage 2000;20:280-5.
Fong GCY, Cheung BMY, Rukmana CR. Gabapentin. Medical
Progress, 2003, p:41-48,2003.
Kiguchi S, Imamura T, Ichikawa K, Kojima M. Oxcarbazepin
Antinociception in Animals with lnflamatory Pain or Pianful
Diabetic Neuropathy. Clin Exp Pharmacol
Physiol,
2004,31(2):57-64.
Meliala L dan Pinzon R. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri
Pasca Herpes. Dalam : Meliala L, Rusdi I, Gofir A, Pinzon R.
Eds. Kumpulan Makalah Welcoming Symposium : Towards
Mecanism-Based Pain Treatment. Jogjakarta, 2004:83-9.
Miyoshi HR, Lecband SG. Systemic Opioid Analgesics. In : Loeser
JD, Butler SH, Chapman CR, Turk DC. Eds. Bonica's
Management of Pain. 3th Ed. Part III. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia USA, 200 I: 1682- 709.
421
PERAN KORTIKOSTEROID DI BIDANG
REUMATOLOGI
A.M.C. Karema-Kaparang,
PENDAHULUAN
Candra Wibowo
PADA
2750
prolaktin serta migration inhibitory factor (MIF); selain
itu merangsang kelenjar adrenal meningkatkan sekresi
kortisol. Kortisol menekan proses inflamasi melalui down
regulation pelepasan TNF a, IL-1~ dan IL-6; sebaliknya
prolaktin dan MIF memiliki efek berlawanan dengan
kortisol menjaga keseimbangan respons imun dan
inflamasi.Di siniAHP memproduksihormon kortikosteroid
dengan mekanisme reaksi umpan balik; sehingga setelah
kadar kortikosteroidyang diinginkan tercapai, maka terjadi
supresi produksi sitokin-sitokin pro/inflamasi.
Pada tingkat molekuler, TNF a, IL-1 ~ dan IL-6
mengawali sejumlah kejadian signalling intraselular yang
meliputi aktivasi transkripsi activatorprotein- I (AP-1) dan
nuclear factor-kB (NF-KB) melalui disosiasi yang
tergantung pada proses fosforilasi dan atau degradasi
inhibitor-kB (I-KB)oleh enzimkinase spesifik(I-KBkinase
1 dan 2). Peristiwa ini akan meningkatkan produksi sitokin
pro/inflamasi. Faktor-faktor transkripsi inilah yang
merupakan sasaran dari kerja kortisol dan obat-obat
kortikosteroid lainnya. Nuclearfactor-ldJ berperan dalam
patogenesis inflamasi penyakit sendi; di samping itu TNF
a, IL-1~ dan IL-6juga mampu mengaktivasij alur mitogenac ti vat ed protein kinase (MAPK) p38 yang dapat
memperpanjang masa dan proses inflamasi.
Sitokin sebagai Regulator Fisiologis Kortikosteroid
Selainsitokin-sitokinTNF a, IL-1~ dan IL-6 yang diketahui
berperan dalam regulasi fisiologis kortikosteroid melalui
AHP secara reaksi umpan batik; MIF yang disekresi oleh
kelenjar pituitari bersamaan dengan sekresi ACTH secara
sirkadian, dan juga disekresi oleh makrofag secara lokal
sebagai respons terhadap inflamasi atau saat kadar
kortikosteroid rendah, juga ikut mengatur fisiologis
kortikosteroid dalam tubuh. Efek MIF sendiri sebenamya
berupa down regulation imunosupresi kortikosteroid,
meskipun mekanismenya secara tepat belum diketahui.
MIF mampu meningkatkan fosfolipase A2 dan proliferasi
sel, mengatur sekresi IL-2 serta proliferasi sel T.
REUMATOLOGI
2751
ankilosing disertai artritis perifer, beberapa penyakit
otoimun yang melibatkan sendi, osteoartritis, artritis gout,
bahkan inflamasi sendi akibat trauma.
Beberapa keadaan yang merupakan kontra indikasi
pemberiankortikosteroidlokal meliputi:terdapatnyainfeksi
lokal ( artritis septik, abses, gangren, osteomielitis ),
hipersensitivitas terhadap bahan yang disuntikan, diatesis
hemoragi, sendi yang tidak stabil, fraktur intra artikular,
sendi yang sulit dicapai pada penyuntikan, osteoporosis
juksta artikular yang berat, suntikan terdahulu tidak
memberikan basil yang baik, tidak ada indikasi yang tepat,
lesi ireversibel yang tidak memberikan respons
pengobatan, faktor psikologis pasien yang merasakan baik
jika disuntik lokal, pasien yang takut disuntik lokal.
Suntikan intra artikuler pada kasus artritis gout dan
osteoartritis masih terdapat kontroversi beberapa ahli;
tetapi pada dasamya pemberian intra artikuler dianjurkan
jika terdapat sinovitis yang refrakter pada artritis gout atau
keluhan rasa sangat nyeri pada sendi yang mengganggu
aktivitas harian maupun kualitas hidup pasien
osteoartritis. Pemberian kortikosteroid intra artikuler pada
artritis gout sangat efektif, tetapi harus dipastikan tidak
terdapat infeksi persendian karena gejala artritis gout mirip
dengan artritis septik. Penelitian Gray dkk dan Alloway
dkk mendapatkan manfaat pemberian kortikosteroid intra
artikular pada pasien-pasien gout dengan dosis
disesuaikan besar kecilnya sendi.
Tentang osteoartritis, Neustadt dkk pada tahun 1992
menemukan kejadian Charcot-like arthropathy pada
pasien-pasien osteoartritis yang diberi suntikan intra
artikular kortikosteroid berulang kali. Namun, pada akhir
penelitian Saxne dkk menyimpulkan bahwa kortikosteroid
intra artikuler dapat mengurangi produksi mediator dan
sitokin pro/inflamasi serta enzim protease lainnya yang
berpengaruh pada degradasi kartilago; di samping itu efek
anti inflamasi steroid mampu menurunkan permeabilitas
vaskular sinovial dan mencegah berulangnya edema
maupun efusi ruang sendi. Penelitian klinis teracak yang
dilakukan Dieppe dkk menyimpulkan steroid intra artikuler
lebih efektif dibandingkan plasebo dalam menghilangkan
nyeri osteoartritis lutut dengan atau tanpa efusi ruang
sendi. Demikian pula Ravaud dkk dalam penelitian klinis
teracak menemukan hilangnya nyeri sendi dan perbaikan
fungsi sendi secara bennakna pada kelompok yang dikelola
dengan kortikosteroid intra artikuler selama 1-4 minggu
dibandingkan plasebo; namun setelah minggu ke-12
sampai 24 tidak didapatkan perbedaan bermakna.
Tampaknya manfaat kortikosteroid intra artikular pada
osteoartritis bersifat jangka pendek terutama yang
berhubungan dengan proses inflamasi.
Komplikasi Suntikan Lokal Kortikosteroid
Suntikan kortikosteroid lokal sebaiknya dilakukan dengan
hati-hati dan oleh tenaga medis yang terlatih/
2752
berpengalaman, karena berisiko terjadi komplikasi lokal
yang mengakibatkan kecacatan sendi dan menurunkan
kualitas hidup pasien. Tindakan aseptik dan antiseptik
hams diutamakandalam melakukan suntikanlokal.Aspirasi
cairan sendi sebaiknya dilakukan untuk memastikanjarum
masuk ke dalam ruang sendi sebelum dilakukan
penyuntikan. Setelah dilakukan suntikan, sendi diatur
dalamposisi netral dan relaksasi sekitar 15-30menit, sambil
digerakkan dalam lingkup gerak sendi yang fisiologis;
sedangkan bagi sendi yang memikul berat badan
sebaiknya dihindari weigh-bearing selama 24-48jam. Pada
pasien diabetes, pemakai antikoagulan atau pasien ulkus
peptikum sebaiknya ditunda sampai keadaan stabil/
terkontrol. Namun jika harus dilakukan, sebaiknya
dilindungi dengan tindakan serta obat-obatan yang mampu
mengendalikan kadar gula, perdarahan maupun ulkus
peptikum.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada tindakan
suntikan kortikosteroid lokal adalah: infeksi lokal (angka
kejadian 1 dibanding 1.000-16.000), perdarahan, kerusakan
rawan sendi (jika interval suntikan kurang dari 6 minggu
atau lebih dari 8 kali per tahun), nekrosis aseptik berupa
infarktulang subkondralakibat artropatisteroid,atrofi kulit/
jaringan subkutan dan saraf, sinovitis kristal (akibat larutan
mikrokristal steroid yang kemudian hilang dalam waktu
4-24jam dengan istirahat,kompres dingin atau analgetika),
ruptur tendon/ligamen, supresi korteks adrenal (jarang dan
bersifat sementara).
REUMATOLOGI
PENUTUP
Penggunaan kortikosteroid di bidang reumatologi masih
diperlukan sampai saat ini, dan tampaknya akan terus
digunakan mengingat perannya sebagai anti inflamasi
yang poten dalam sistem imun tubuh kita. Hal yang perlu
diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid adalah
indikasi, kontra indikasi, cara dan dosis serta risiko
komplikasi yang sering dijumpai baik pada pemakaian
secara lokal maupun sistemik. Bagai pedang bermata dua,
bila digunakan secara tepat akan bermanfaat; sebaliknya
jika digunakan secara membabi buta akan mendatangkan
bahaya yang fatal.
REFERENSI
Alloway JA, Moriarty MJ, Hoogland YT, Nashe! DJ. Comparison of
triamcinolone acetonide with indomethacin in the treatment
of acute gout arthritis. J Rheumatol 1998; 20: 111-3.
Auphan N, Didonato JA, Rosette C, Helmberg A, Karin M.
Immunosuppression by glucocorticosteroids: inhibition of NFkB activity through induction of I-kB synthesis. Science 1995;
2753
270:286-90.
Beato M. Gene regulation by steroid hormones. Cell 1999; 56:335-9.
Cush JJ, Kavanaugh AF, Olsen NJ, Stein CM, Kazi S, Saag KG.
Rheumatology diagnosis and therapeutics. Pennsylvania
Lippincott Williams & Wilkins. 1999.
Chikanza IC, Grossman AS. Reciprocal interactions between the
neuroendocrine and immune systems. Rheum Dis Clin North
Am 2000; 26: 693-712.
Chikanza IC, Kozaci DL. Corticosteroid resistance in rheumatoid
arthritis: molecular and cellular perspective. Rheum 2004; 43:
1337-45.
Calandra T, Bucala R. Macrophage inhibitory factor: a glucocorticoid counter-regulator
within the immune system. Crit Rev
Immunol 1997; 17: 77-88.
Dixon ASJ, Graber J. Local injection therapy in rheumatic diseases.
Switzerland EULAR Publishers Basie. 1983.
Dieppe PA, Sathapatayavongs B, Jones HE, Bacon PA, Ring EF.
Intra-articular steroids in osteoarthritis. Rheumatol Rehabil
1990; 19: 212-7.
Eskandari F, Stember EM. Neural-immune interactions in health
and disease. Ann Rheum Sci 2002; 966: 20-7.
Emmerson BT. The Management of gout. N Engl J Med 1996; 334:
445-51.
Gold R, Buttgereit
F, Toyka KV. Mechanism of action of
glucocorticosteroid hormones: possible implications for therapy
of neuroimmunological disorders. J Neuroimmunol 200 I; 2:
1171-8.
Gray RG, Tenenbaum J, Gottlieb NL. Local corticosteroid injection
treatment in rheumatic disorders. Semin Arthritis Rheum 1988;
10: 231-54.
Hart FD. Systemic corticosteroids and corticotrophin. In: Drug
Treatment of the Rheumatic Disease. 41h ed. Singapore PG
Publishing. 1998.p.92-l 03.
Kassel 0, Sancono A, Kratzschmar J, Kreft B, Stassen M, Cato AC.
Glucocorticoids inhibit MAP kinase via increased expression and
decreased degradation of MKP-1. Endocrinol Metab J 2001; 20:
7208-16.
Lassa M, Ma:htani KR, Finch A, Brewer G, Saklatvala J, Clark AR.
Regulation of cyclo-oxygenase 2 mRNA stability by mitogen
activated protein kinase p38. Mo! Cell Biol 2000; 20: 4265-74.
Ono K, Han J. The p38 signal transduction pathway: activation
and function. Cell Signal 2000; 12: 1-13.
Lasa M, Abraham SM, Boucheron C, Saklatvala J, Clark AR.
Dexamethasone
causes sustained expression
of mitogenactivated protein kinase (MAPK) phosphatase I and
phosphatase-mediated inhibition of MAPK p38. Mo! Cell Biol
2002; 22: 7802-11.
Moll JMH. Rheumatology in clinical practice. OxfordBlackwell
Scientific Publications. 1997
Neustadt DH. Intraarticular steroid therapy. In: Moskowitz RW,
Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ (Eds). Osteoarthritis.
Diagnosis and Medical/Surgical Management. 2"d ed. Philadelphia WB Saunders Company. 1997.p .439-92.
Ravaud P, Moulinier L, Giraudeau B, Ayral X, Guerin C, Noel E, et al.
Effects of joint lavage and steroid injection in patients with
osteoarthritis of the knee. Results of a multicenter, randomised,
controlled trial. Arthritis Rheum 1999; 42: 475-82.
Stein CM, Pincus T. Glucocorticoids. In: Kelly WN, Harris ED,
Ruddy S, Sledge CB (Eds). Textbook of rheumatology. 5 .. ed.
Philadelphia WB Saunders Company. I 997.p.787-804.
Scheinman RI, Cogswell PC, Lofquist AK, Baldwin AS. Role of
transcriptional activation of I-kB in the mediation of immunosuppression by glucocorticoids. Science 1996; 270: 283-6.
2754
422
DISEASE MODIFYING ANTI RHEUMATIC
DRUGS (DMARD)
Hermansyah
PENDAHULUAN
Obat-obat yang mempengaruhi proses perjalanan artritis
reumatoid (AR) disebut sebagai "Slow Acting Anti
Rheumatic Drugs" (SAARD) atau yang dikenal juga
Disease ModifyingAnti RheumaticDrugs (DMARD) yang
menghambat progresivitas penyakit. Obat golongan ini
akan memperlihatkan efeknya setelah 4-6 bulan
pengobatan, dan tidak mempunyai efek langsung
menghilangkan sakit dan inflamasi, oleh karena itu
sambil menunggu kerja obat ini biasanya diberikan
obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS).
Dahulu pengobatan AR menggunakan sistem piramid,
di mana pengobatan dimulai dengan analgesik dan
OAINS disertai penyuluhan dan fisioterapi. Bila hasil
yang diperoleh tidak memuaskan, barn ditambahkan
DMARD satu-persatu sesuai dengan kebutuhan.
Bila timbul deformitas yang berat, dapat dipertimbangkan
tindakan operatif. Ternyata cara lama itu tidak
memberikan hasil yang memuaskan, bahkan sering
didapatkan destruksi sendi yang berat, sementara pasien
terus tersiksa oleh rasa nyeri dan inflamasi yang
berkepanjangan,
Penggunaan DMARD yang menggunakan pola
piramid telah banyak ditinggalkan. Saat ini lebih banyak
digunakan metode step down bridge dengan menggunakan
kombinasi beberapajenis DMARD yang dimulai pada saat
yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada
saat aktivitas AR telah dapat terkontrol. Hal ini didasarkan
pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektifhanya
dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa
dini penyakit.
Umurnnya pada pasien yang diagnosisnya telah dapat
ditegakkan dengan pasti, DMARD dapat dimulai diberikan
2756
REUMATOLOGI
Tabel 2.
f oksisitas
Hidroksiklorokuin
Sulfasalazine
D-penicillamin
Emas oral
Emas parenteral
Azatioprin
Metotreksat
Siklofosfamid
Klorambucil
Siklosporin
Hematologi
+
++
+++
+
+++
+
+
++
++
+
++
++
+
+++
+++
+
KLOROKUIN
Hidroksiklorokuin dan klorokuin telah dipergunakan
untuk pengobatan AR sejak tahun 1950. obat ini terikat
kuat pada DNA, menghambatfungsi limfosit,menstabilkan
membran lisosom, menurunkan kemotaksis, fagositosis,
dan produksi superoksid oleh leukosit polimorfonuklir,
menekan produksi dan pelepasan interleukin I (IL 1 ),
klorokuin mempunyai waktu paruh yang panjang, steady
state dalam darah tercapai dalam waktu 3 sampai 4 bulan,
inilah yang menyebabkan efeknya lambat, Pada penelitian
"
Gastrointestinal
+ +
++
++
+++
+
++
+++
++
+
+++
Hepatik
++
+
+
+
++
++
Ginjal
++
+
++
++
2757
SULFASALAZIN
Sulfasalazin(SAS)pertama kali ditemukantahun 1930, yang
diindikasikansebagai antibiotikterhadap bakteri, kemudian
dipergunakan untuk penyakit radang saluran cema (IBD
= JnflamatoryBowel Disease). Dalam dekade terakhir obat
ini diketahui dapat dipergunakan untuk anti inflamasi baik
seropositif maupun sero negatif. Sulfasalazin sedikit
diabsorbsi dalam usus, dirobah oleh bakteri usus menjadi
5 aminofetil salisilik acid (5-ASA) dan sulfapiridin. 5-ASA
diekskresikan dalam feses, sedangkan sulfapiridin diserap
dan dimetabolisme dalam hati, komponen aktif dari
Sulfasalazin pada AR adalah sulfapiridin. Sulfasalazin
menghambat angiogenesis sinovium, menekan limfosit
dan fungsi polimorfonuklir. Dari penelitian klinik
sulfasalazin dapat menekan erosi sendi dibandingkan
dengan plasebo. Sulfasalazin mempunyai efektifitas
hampir sama dengan preparat emas dan d-penisilamin.
Untuk pengobatan AR sulfasalazin dalam bentuk
enterik coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500
mg/hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap
minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg atau 2 x 1000
mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g/hari, dosis
diturunkan kembali sehingga mencapai l g/hari untuk
digunakan dalamjangka panjang sampai remisi sempurna
terjadi. Jika sulfasalazin tidak menunjukkan khasiat yang
dikehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan
digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan
D-PENISILAMIN
D-penisilamin (DP) mulai meluas penggunaannya sejak
tahun tujuh puluhan. Walaupun demikian, karena obat ini
bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai lagi untuk
digunakan dalam pengobatan AR. Umurnnya diperlukan
pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat mencapai
keadaan remisi yang adekuat, dan rentang waktu ini
dianggap terlalu lama bagi sebagian besar pasien AR.
Dalam pengobatan AR, DP (Kuprimin 250 mg atau
Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai
300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua
sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300 mg/hari. Efek
samping DP antar lain adalah ruam kulit urtikaria atau
morbiliformisakibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus.
DP juga dapat menyebabkan trombositopenia,leukopenia
dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan
timbulnya proteinuria ringan yang reversible sampai pada
suatu sindrom nefrotik. Efek samping lain yang juga dapat
timbul adalah "lupus like syndrome", polimiositis,
neuritis, miastenia gravis, gangguan mengecap, nausea,
muntah, kolestasis intra hepatik dan alopesia.
GARAMEMAS
Auro sodium Tiomalat (AST) intramuskulartelah dianggap
sebagai suatu "gold standard' bagi DMARD sejak 20
tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak diragukan lagi,
walaupunpenggunaan obat ini seringkalimenyertakan efek
samping dari yang ringan sampai yang cukup berat. AST
(Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intra
muskular yang dimulai dengan dosis percobaan pertama
sebesar 10 mg, disusul dengan dosis percobaan kedua
sebesar 20 mg, kemudian, setelah 1 minggu, dosis penuh
diberikan sebesar 50 mg setiap 20 minggu. Jika respons
pasien belum memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan
dapat diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu
sampai keadaan remisi yang memuaskan dapat tercapai.
2758
Efek sampingAST antara lain adalah pruritus, stomatis,
proteinuria, trombositopenia dan aplasia sumsum tulang.
Efek samping AST agaknya terjadi lebih sering pada
pengemban HLA-DR3A. Jika timbul efek samping yang
ringan, dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan
sementara. Jika gejala efek samping tersebut menghilang,
AST kemudian dapat diberikan lagi dalam dosis yang lebih
rendah. Auranofin tablet 3 mg adalah preparat garam emas
oral telah dikenal sejak awal decade yang lalu dan dianggap
sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST.
Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan
AR, lebih mudah digunakan serta tidak memerlukan
pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli yang
berpendapat bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik
dibandingkan dengan AST.
Auranofin sangat berguna bagi pasien AR yang
menunjukkan efek samping terhadap AST. Auranofin
diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping
proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai
dibandingkan dari penggunaan AST. Pada awal
penggunaan auranofin, banyak pendeirta yang mengalami
diare, yang dapat diatasi dengan menurunkan dosis
pemeliharaan yang digunakan.
AZATIOPRIN
METOTREKSAT
REUMATOLOGI
SIKLOSPORIN-A
2759
LEFLUNOMID
Leflunomid, suatu derivat isoksazol, merupakan salah satu
obat paling barn yang dipergunakan untuk AR. Leflunomid
(LFM) t~lah disetujui untuk digunakan sebagai DMARD
oleh FDA sejak bulan Oktober 1998. uji klinis yang dilakukan
membuktikan bahwa LFM memiliki khasiat yang setara
dengan MTX dan merupakan suatu altematif yang baik
bagi pasien AR yang gaga] diobati dengan MTX atau
intoleran terhadap MTX. Sebagaimana dengan DMARD
lainnya, mekanisme kerja LFM belum sepenuhnya diketahui.
Diduga efek terapeutik LFM pada AR berhubungan dengan
kemampuan LFM menghambat aktivitas enzim dehidrorotat
dehidrogenase. Progresivitas erosi sendi nyata lebih lam bat
pada pasien yang menerima 20 mglhari leflunomid daripada
metotreksat atau sulfazalazin.
REFERENSI
American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Clinical
Guidelines. Guidelines for the Management of Rheumatoid
Arthritis. Arthritis Rheum. 1996 : 9 : 713-22.
Avina, Zubieta JA, et al. long term effectiveness of anti malarial
drugs. In rheumatic disease. Ann Rheum Dis. 1998; 57 : 582-87.
Borigini MJ, Pualus HE. Rheumatoid arthritis. In: Weisman MH,
Weinblatt ME, Louise JS eds. Treatment of rheumatic diseases.
2"' ed. Philadelphia:W. B. Saunders; 2001.p.217-35.
Brooks P. Management of rheumatoid arthritis. Medicine International. 2002.p.50-3.
Brooks P. disease modifying anti Rheumatic drugs. In: Klippel JH
ed. Primer on the rheumatic diseases. 111 ed. Atlanta:Arthritis
Foundation; 1997 .p.432-6.
Chatham WW. Gold and d-Penicillamine. In Koopman JW (ed).
Arthritis and allied conditionts. 141 ed. Lippincott WW.
Philadelphia, 2001; 717-33.
Cush JJ., Tugwell P., WeinblattM, et al. US consensus guidelines for use
of cyclosporine A in rheumatoid arthritis. J. Rheumatol, 1999; 26:
1176-86.
Daud R. Combination of sulfasalazine and chloroquine in the
2760
treatment of patients with rheumatoid arthritis. A Randomized
controlled trial. M. Sc. Thesis, Mc Master University, Hamilton,
Ontario, Canada, 1992.
Felson DT, Anderson JJ, Meenan RF. The comparative efficacy and
toxicity of second-line drugs in rheumatoid arthritis. Results of
two metaanalyses. Arthritis Rheum. 1990; 33: 1449-61.
Fox RI., kang HI. Mechanism of action of hydroxychloroquine as
an anti rlteumatic drugs. Semin. Arthritis Rheum, 1993; 23 : 82-91.
Fermocioli GF., Baibak LW., Ferraris M. Effects of cyclospirine on
joint damage in rheumatoid arthritis. Clin Exp Rheumatol. 1997;
15 : 583-9.
Jones SK. Ocular toxicity and hydroxychloroquine guidelines for
screening. Br J. Derma toI, 1999; 140 : 3-7.
Jackson CG, Elegg DO. Sulfasalazine and minocycline. In Koopman
JW (ed).
Arthritis
and allied
conditionts.
14'h.
ed.Philadelphia:Lippnicott WW; 2001; 1 : 769-82.
Gomisiewicz M, Moreland L. Rheumatoid arthritis. In: Robin L
ed.Clinical care in rheumatic diseases. 2 ed.Atlanta: American
College of Rheumatology; 2001.p.89-96.
Kremer JM. Methotraxate and leflunomide. Biochemical basis for
combination therapy in the rheumatoid arthritis. Semin Arthritis Rheum. 1993, 29 : 14-25.
L.S. Simon and D. Yocum. New and drug therapies for rheumatoid
arthritis. B J Rheumatol. 2000 ; 39 (supp) : 36-42.
Leipold G, et al. Azathioprine induced severe pancytopenia due to a
homozygous
two-point
mutation of thiopurine
methyltransperase gene in patient with juvenile. HLA B27.
Associated spondylarthritis. Arthritis Rheum, 1997; 40 : 1896-98.
Mc Casly DJ. Personal Experience in the treatment of seropositive
rheumatoid arthtritis with drugs use in combination. Semin
Arthritis Rheum. 1993, 23 : 42-9.
Motonen T, et al. comparison of combination therapy with single
drug therapy in early rheumatoid arthtiris a ramdomized trial.
Lancet. 1999, 353 ; 568-1573.
REUMATOLOGI
423
AGEN BIOLOGIK DALAM TERAPI
PENYAKIT REUMATIK
B.P. Putra Suryana
2762
REUMATOLOGI
Tabet 1. Mekanisme
Kerja dan Target Terapl
(diringkas dari Shanahan dan More!and,2005)
Mekanisme
kerja
Anti-sitokin
Target terapi
TNF-a (etanercept,
infliximab,
adalimumab)
IL-1 (anakinra) dan
IL-18
IL-6
IL-17
IL-12, IL-15 dan IL-7
MMIF
VIP
PIF
Signaling intraseluler
Anti limfosit T
Anti limfosit B
CD20 (rituximab)
IL-8
CCR1
RANTES
lntegrin
CD44
Mengaktifkan
apoptosis
Menghambat
kerusakan jaringan
akibat inflamasi
Reseptor Fas
Reseptor TRAIL
Menghambat
komplemen
Meta/loproteinase
Oksida nitrit
Spesies oksigen
reaktif
C5
C3 converlase
Menghambat
reseptor Fe
Menghambat
osteoklas
FcyRIII
FcyRI
RAN KL
Agen
Biologik
Extracellular
domain of
human P 75
TNF RII receptor
Uji klinis
AR, spondilitis
ankilosa, artritis
psoriatik, vaskulitis
AR (binatang coba)
AR (binatang coba)
Lupus (binatang
coba)
AR (ex vivo model)
AR (binatang coba)
AR (binatang coba)
Sinovitis (binatang
coba)
Sinovitis (binatang
coba)
Artritis (binatang
coba)
AR
AR (binatang coba)
AR, LES (binatang
coba ), Psoriasis
LES
AR, LES (binatang
coba ), Psoriasis
AR, LES, ITP,
vaskultis, limfoma
AR, artritis psoriatik
Sel-sel sinovium
Sinovitis (binatang
coba)
AR (binatang coba)
AR
AR (binatang coba)
LES (binatang coba)
AR dan OA (binatang
coba)
Artritis (binatang
coba)
AR (binatang coba)
Fe region of
human lgG
TNF
J
~Mouse
Human
Binding site
Fe region
human lgG
2763
Agen blologik
lndlkasl
Etanercept
(monoterapi atau
kombinasi dengan
MTX)
lnfliximab
(kombinasi
dengan MTX)
Adalimumab
(monoterapi atau
kombinasi dengan
MTX)
Anakinra
(monoterapi atau
kombinasi dengan
MTX)
ANTI-CD20
ANTAGONIS INTERLEUKIN-1
2764
sel B memori yang mengekspresikan antigen permukaan
CD20, sehingga jumlah limfosit B berkurang. Rituksimab
tidak menyerang sel plasma sehingga kadar imunoglobulin
pada pasien yang mendapat terapi rituksimab tidak
berubah. Ablasi limfosit B terjadi melalui kombinasi
sitotoksisitas yang diperantarai antibodi dan sitotoksisitas
yang diperantarai komplemen, juga melalui aktivasi
apoptosis akibat terjadinya cross-linking FcR (Reff et
al,1994)(Shan et al,2000).
REUMA10LOGI
RINGKASAN
Agen biologik adalah molekul yang dibuat dengan
teknologi rekombinan DNA, yang dapat berupa antibodi
monoklonal, reseptor terlarut atau pengikat sitokin. Agen
biologik mempunyai target kerja pada komponen tertentu
dalam patogenesis inflamasi dan penyakit. Target kerja
agen biologik dapat pada sitokin, sel limfosit T dan B,
komplemen, serta proses inflamasi atau apoptosis. Agen
biologik yang telah banyak diteliti dan dikembangkan
adalah anti-TNFa (etanercept, infliksimab dan
adalimumab), anti-IL-1 (anakinra) dan anti-CD20
(rituksimab). Indikasi terapi agen biologik pada penyakit
reumatik adalah apabila terapi anti-inflamasi dan disease
modifying anti-rheumatic drug konvensional tidak
memberikan respons klinis yang memuaskaan.Anti-TNFa
dan anti-IL-I telah digunakan untuk terapi AR aktifyang
refrakter terhadap disease modifying anti-rheumatic drug
konvensional. Agen biologik sebagai monoterapi maupun
kombinasi pada terapi AR menunjukkan respons klinis
yang baik dan mampu menghambat kerusakan sendi.
Etanercept juga diindikasikan untuk terapi AR juvenil,
spondilitis ankilosa dan artritis psoriatik, sedangkan
rituksimab masih dalam tahap penelitian untuk pasien LES.
Efek sampingterapi agenbiologikadalahpeningkatanrisiko
infeksi oportunistik termasuk tuberkulosis,
REFERENSI
Anolik J, Campbell D, Felgar R, et al. B lymphocyte depletion in
the treatment of systemic lupus erythematosus: a phase I/II
trial of rituximab in SLE. Arthritis Rheum 2002;46(suppl 9):289.
Arend WP. Interleukins and arthritis-IL- I antagonism in
inflammatory arthritis. Lancet 1993;341:155-6.
Arend WP, Welgus HG, Thompson RC, et al. Biological properties
of recombinant human monocyte-derived interleukin
I
receptor antagonist. J Clin Invest 1990;85:1694-7.
Braun J, Brandt J, Listing J, et al. Treatment of active ankylosing
spondylitis with infliximab: a randomised controlled multicentre
trial. Lancet 2002;359: 1187-93.
Braun J, Baraliakos X, Golder W, et al. Magnetic resonance imaging
examination of the spine in patients with ankylosing spondylitis,
before and after successful therapy with infliximabevaluation of a new scoring system. Arhritis Rheum
2003;48: 1126-36.
Bazzoni F, Beutler B. The tumor necrosis factor ligand and receptor
families. N Engl J Med 1996;334:1717-25.
Criscione LG, St.Clair EW. Twnor necrosis factor-a antagonist for the
treatment of rheumatic diseases. Curr Opin Rheumatol
2002;14:204-11.
Colotta F, Re F, Muzio M, et al. Interleukin-I type II receptor: a
2765
decoy target for IL-I that is regulated by IL-4. Science
1993;261 :472-5.
Drevlow BE, Lovis R, Haag MA, et al. Recombinant
human
interleukin- I receptor type I in the treatment of patients with
active rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1996;39:257-65.
Elliott MJ, Maini RN, Feldmann M, et al. Treatment of rheumatoid
arthritis with chimeric monoclonal antibodies to tumor
necrosis factor alpha. Arthritis Rheum 1993;36: 1681-90.
Economides AN, Carpenter LR, Rudge JS, et al. Cytokine traps:
multi-component, high-affinity blocker of cytokine action. Nat
Med 2003;9:47-52.
Gorman JD, Sack KE, Davis JC. Treatment of ankylosing spondylitis
by inhibition of tumor necrosis factor alpha. N Engl J Med
2002;346: 1349-56.
Haque U and Bathon JM. Cytokine inhibitors: tumor necrosis factor
and interleukin-I. In : Koopman WJ, Moreland LW (eds).
Arthritis and allied conditions. A textbook of rheumatology, l 5'h
ed, vol.I. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005
: 839-53.
Leandro MJ, Edwards JC, Cambridge G, et al. An open study of B
lymphocyte depletion in systemic lupus erythematosus.
Arthritis Rheum 2002;46:2673- 77.
Mease PJ, Goffe BS, Metz J, et al. Etanercept in the treatment of
psoriatic arthritis and psoriasis: a randomised trial. Lancet
2000;356:385-90.
.
Mohler KM, Torrance DS, Smith CA, et al. Soluble tumor necrosis
factor (TNF) receptors are effective therapeutic agents in
lethal endotoxinemia and function simultaneously as both TNF
carriers and TNF antagonists. J Jmmunol I 993; 151: 1548-61.
Ory P, Sharp JT, Salonen D, et al. Etanercept (Enbrel) inhibits
radiographic progression in patients with psoriatic arthritis.
Arthritis Rheum 2002;46(suppl 9): 196.
Reff ME, Carner K, Chambers KS, et al. Depletion of B cells in vivo
by a chimeric mouse human monoclonal antibody to CD20.
Blood 1994;83:435-45.
Shanahan J, Moreland LW. Investigational biologic therapies for
the treatment of rheumatic diseases. In : Koopman WJ,
Moreland LW (eds). Arthritis and allied conditions. A textbook
of rheumatology, 15" ed, vol.l. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins, 2005 :859-76.
Shanahan JC and St.Clafr EW. Short analytical review. Tumor
necrosis factor-a blockade: a novel therapy for rheumatic
disease. Clinical Immunology 2002;103:231-42.
Shan D, Ledbetter JA, Press OW. Signaling events involved in
anti-CD20-induced
apoptosis of malignant B cells. Cancer
Immunol lmmunother 2000;48:673-83.
Sfikakis PP. Behcet disease: a new target for anti-tumor necrosis
factor treatment. Ann Rheum Dis 2002;6l(suppl 2):52-3.
Stone JH, Uhlfelder ML, Hellmann DB, et al. Etanercept combined
with conventional treatment in Wegener's granulomatosis: a
six-month open-label trial to evaluate safety. Arthritis Rheum
200 I ;44: 1149-54.
Symons JA, Eastgate JA, Duff GW. Purification and characterization of a novel soluble receptor for interleukin 1. J Exp Med
1991;174:1251-4.
Panayi GS. B cell-directed therapy in rheumatoid arthritis-clinical
experience. J Rheum 2005;32 (suppl 73):19-24.
van de Putte LBA, van Riel PLCM, den Broeder A, et al. A single
dose placebo controlled phase I study of the fully human
anti-TNF antibody D2E7 in patients with rheumatoid arthritis.
Arthritis Rheum 1998;4l(suppl):57.
vandenBerg WB, Joosten LAB, Helsen M, et al. Amelioration of
established murine collagen-induced arthritis with anti-IL-I treatment. C/in Exp lmmunol 1994;95:237-43.