Anda di halaman 1dari 265

373

INTRODUKSI REUMATOLOGI
A.R. Nasution, Sumariyono

PENDAHULUAN

Reumatologi merupakan ilmu yang relatif muda di


Indonesia dibandingkan dengan sejawatnya Ilmu Bedah
Ortopedi. Istilah reumatologi pertama kali diperkenalkan
oleh Joseph I Hollander dalam buku ajar yang terbit tahun
1949. Dalam berbagai buku kuno penyakit reumatikjarang
didiagnosis secara jelas seperti sekarang. Sebagai contoh
William Heberden tahun 1802 menggunakan istilah
rheumatism untuk beragam keluhan nyeri pada sendi tanpa
membedakanjenisnya.
Salah satu tonggak penting dalam perkembangan
reumatologi adalah berdirinya International League
Against Reumatism (ILAR) pada tahun 1928. Pada tahun
1953 ILAR memutuskan bahwa reumatologi adalah salah
satu cabang Ilmu PenyakitDalam. Reumatologiadalah ilmu
yang mempelajaripenyakit sendi, termasukpenyakit artritis,
fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainya yang
menimbulkan nyeri somatik dan kekakuan. Reumatologi
mencakup penyakit autoimun, artritis dan kelainan
muskuloskeletal. Jenis, berat dan penyebaran penyakit
reumatik dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti
faktor umur,jenis kelamin, genetik dan faktor lingkungan.
Saat ini telah dikenal lebih dari 110jenis penyakit reumatik
yang sering menunjukkan gambaran klinik yang hampir
sama. Dari sekianbanyakpenyakitreumatikini yang banyak
dijumpai adalah osteoartritis, artritis reumatoid, artritis
gout, osteoporosis, spondioloartropati seronegatif, lupus
eritematosus sistemik, serta penyakit reumatik jaringan .
lunak.
Pelayanan kesehatan di se]uruh dunia akan
menghadapi tekanan biaya yang berat pada 10 - 20 tahun
mendatang, karena peningkatan yang luar biasa orang
yang terkena penyakit muskuloskeletal. Organisasi
kesehatan sedunia (WHO) menyatakan bahwa beberapa
juta orang telah menderita karena penyakit sendi dan

tulang, dan angka tersebut diperhitungkan akan meningkat


tajam karena banyaknya orang yang berumur lebih dari 50
tahunpada tahun 2020. Sekretaris Jenderal PBB KofiAnnan
dan WHO pada 30 Nopember 1999 telah mencanangkan
suatu ajakan 10 tahun barn yang disebut Bone and Joint
Decade. Ajakan tersebut menghimbau pemerintah di
seluruh dunia untuk segera mengambil langkah-langkah
dan bekerjasama dengan organisasi-organisasiuntuk
penyakit muskuloskeletal, profesi kesehatan di tingkat
nasional maupun intemasional untuk pencegahan dan
penatalaksanaan penyakit muskuloskeletal. Di Indonesia
pencanangan Bone and Joint Decade dilakukan pada
tanggal 7 Oktober tahun 2000 oleh Menteri Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia dr. Achmad
Sujudi,bersamaan dengan Temu Ilmiah Reumatologi ke III
di Jakarta.
Banyak kemajuan reumatologi di dunia termasuk di
Indonesia, di samping itu juga ban yak permasalahan yang
perlu dipecahkan berkaitan dengan pemahaman penyakit
reumatik (baik oleh masyarakat umum maupun kalangan
medis), diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit,
pencegahan kecacatan dan rehabilitasi akibat penyakit
reumatik serta pendidikan di bidang reumatologi.

EPIDEMIOLOGI
DAN MASALAH PENYAKIT
REUMATIK DI INDONESIA

Osteoartritis

Osteoartritis (OA) adalah sekelompok penyakit yang overlap dengan etiologi yang mungkin berbeda-beda, namun
mengakibatkan kelainan bilologis, morfologis dan
gambaran klinis yang sama. Proses penyakitnya tidak
hanya mengenai rawan sendi namunjuga mengenai seluruh
sendi, termasuk tulang subkondral,ligamentum,kapsul dan

2354

REUMATOLOGI
..;

jaringan sinovial serta jaringan ikat periartikular.


Osteoartritis merupakan penyakit sendi yang paling banyak
di jumpai dan prevalensinya semakin meningkat dengan
bertambahnya usia. Masalah osteoartritis di Indonesia
tampaknya lebih besar dibandingkan negara barat kalau
melihat tingginya prevalensi penyakit osteoartritis di
Malang. Lebih dari 85% pasien osteoartritis tersebut
terganggu aktivitasnya terutama untuk kegiatan jongkok,
naik tangga dan berjalan. Arti dari gangguan jongkok dan
menekuk lutut sangat penting bagi pasien osteoartritis di
Indonesia oleh karena banyak kegiatan sehari-hari yang
tergantung kegiatan ini khususnya Sholat dan buang air
besar. Kerugian tersebut sulit diukur dengan materi.
Pemahaman yang lebih baik mengenai patogenesis
osteoartritis (OA) akhir-akhir ini diperoleh antara lain berkat
meningkatnya pengetahuan mengenai biokimia dan biologi
molekuler rawan sendi. Dengan demikian diharapkan kita
dapat mengelola pasien OA dengan lebih tepat dan lebih

aman.
Perlu dipabami bahwa penyebab nyeri yang terjadi
pada OA bersifat multifaktorial. Nyeri dapat bersumber
dari regangan serabut syarafperiosteum, hipertensi intraosseous, regangan kapsul sendi, bipertensi intra-artikular,
regangan ligament, mikrofraktur tulang subkondral,
entesopati, bursitis dan spasme otot. Dengan demikian
penting difabami, babwa walaupun belum ada obat yang
dapat menyembubkan OA saat ini, namun terdapat
berbagai cara untuk mengurangi nyeri dengan
memperbatikan
kemungkinan
sumber nyerinya,
memperbaiki mobilitas dan meningkatkan kwalitas bidup.
Artritls Reumatoid (AR)
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang
ditandai oleb sinovitis erosif yang simetris dan pada
beberapa kasus disertai keterlibatanjaringan ekstraartikular.
Sebagian besar kasus perjalananya kronik fluktuatifyang
mengakibatkan kerusakan sendi yang progresif, kecacatan
dan bahkan kematian dini .
Prevalensi dan insidensi penyakit ini bervariasi antara
populasi satu dengan lainya, di Amerika Serikat, kanada
dan beberapa daerab di Eropa prevalensi AR sekitar 1 %
pada kaukasia dewasa. Di Indonesia dari basil penelitian
di Malang pada penduduk berusia di atas 40 tabun
didapatkan prevalensi AR 0.5% di daerah Kotamadya dan
0.6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000
kasus baru artritis reumatoid merupakan 4.1 % dari seluruh '
kasus baru.
Dampak penting dari AR adalab kerusakan sendi dan
kecacatan. Kerusakan sendi pada AR terjadi terutama dalam
2 tabun pertama perjalanan penyakit. Kerusakan ini bisa
dicegab
atau dikurangi dengan pemberian DMARD,
sehingga'i diagnosis dini dan terapi agresif sangat penting
untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien AR.

Pada sisi lain diagnosis dini sering menghadapi kendala


yaitu pada masa dini sering belum didapatkan gambaran
karakteristik AR karena gambaran karakteristik AR
berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah
terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat .
Diagnosis AR bingga saat ini masih mengacu pada kriteria
diagnosis menurut ACR tabun 1987, tetapi di Indonesia
gejala klinis nodul reumatoid sangat jarang dijumpai.
Berdasarkan hal ini perlu dipikirkan untuk membuat kriteria
diagnosis AR versi Indonesia pada masa yang akan datang
berdasarkan data pola klinis AR di Indonesia. Artritis
reumatoid sering mengenai penduduk pada usia produktif
sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Gout
Gout adalab sekelompok penyakit yang terjadi akibat deposit kristal monosodium urat di jaringan. Deposit ini
berasal dari cairan ekstra selular yang sudab mengalami
supersarurasi dari basil akhir metabolisme purin yaitu asam
urat.
Prevalensi gout di Eropa dan Amerika Utara hampir
sama yaitu 0.30% dan 0.27%, sedang pada populasi Asia
Tenggara dan New Zaeland prevalensinya lebib tinggi.
Lebib dari 90% serangan gout primer terjadi pada laki-laki,
sedang pada wanita jarang terjadi sebelum menopause.
Manifestasi klinik gout meliputi artritis gout, tofus, batu
asam urat saluran kemib dan nefropati gout. Tiga stadium
klasik perjalanan alamiab artritis gout adalab artritis gout
akut, gout.interkritikal dan gout kronik bertofus.
Artritis gout atau lebih umum di masyarakat disebut
dengan istilah sakit asam urat, selama ini banyak terjadi
mispersepsi yaitu bahwa hampir semua keluhan reumatik
yang berupa nyeri, kaku dan bengkak sendi dianggap
sebagai kelainan akibat asam urat atau artritis gout. Bahkan
sejumlab kalangan medis ada yang masib memiliki persepsi
yang sama dengan sebagian besar masyarakat tersebut.
Selain itu, pemberian obat penurun asam urat juga masib
perlu mendapat perhatian lebih, agar pemberian obat
tersebut dapat lebib tepat sehingga akan memberikan
manfaat yang lebib besar bagi pasien.
Lupus Eritematosus Sistemik
Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan
nama systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan
penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum diketahui
etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta
berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini
ditandai oleb adanya periode remisi dan episode serangan
akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan
dengan berbagai organ yang terlibat. SLE merupakan
penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita
pada usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik dan
hormonal serta lingkungan berperan dalam proses
patofisiologi penyakit SLE.
Prevalensi SLE di Amerika adalab 1 : 1. 000 dengan rasio

INI'RODUKSIREUMATOLOGI

jender wanita dan laki-laki antara 9-14: 1. Data tahun 2002


di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4%
kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi. Belum terdapat data epidemiologi yang
mencakup semua wilayah Indonesia, namun insidensi
SLE dilaporkancukuptinggidi Palembang. Meskipunrelatif
jarang, penyakit ini menimbulkan masalah tersendiri
karena seringkali mengenai wanita pada usia produktif
dengan prognosis yang kurang baik. Kesintasannya
(survival) SLE berkisar antara 85% dalam kurun waktu
10 tahun pertama dan 65% setelah 20 tahun menderita
SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih
tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun
pertama mortalitas SLE berkaitandengan aktivitas penyakit
dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan
dengan penyakit vaskular ateroslerotik. Kalim H dan
KusworiniH (1996)melaporkanbahwa meskipungambaran
klinis dan penyebab kematian pasien LES di Malang
tidak berbeda dengan pasien Kaukasia (kulit putih),
harapan hidup pasien-pasien tersebut nyata lebih rendah
yaitu 67 ,5% 5 tahun dan 48,65% harapan hidup 10 tahun.
Faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan dan
penghasilan dipandang berperan penting pada timbulnya
perbedaan harapan hidup pasien LES. Meskipun demikian
latar belakang genetik (ras) perlu diperhatikan. Kusworini
H (2000) melaporkan bahwa alel kerentanan untuk
timbulnya LES pada populasi Indonesia ialah HLA-DR 2
yang temyata sama dengan yang dilaporkan pada Cina
(ras Mongoloid) dan Afro-Amerika (ras Negroid).
Telah diketahui bahwa harapan hidup pasien LES Cina
dan Afro- Amerika tersebut lebih buruk dari pada ras
Kaukasoid, denganalelkerentananHLA-DR3. Dalamkaitan
dengan LES, orang-orang dengan alel HLA DR2
diduga mempunyai respons imun yang lebih patogenik
dari pada orang-orang dengan alel HLA-DR3. Apakah hal
ini bahwa secara genetik pasien lebih rentan terhadap LES,
masih perlupenelitianlebih lanjut.Bagaimanainteraksilatar
belakang genetik tersebut dengan faktor sosial ekonomi
dalam menentukan harapan tetap hidup, juga perlu diteliti.
Osteoporosis

Osteoporosis adalab penyak:it tulang sistemik yang


ditandai oleb penurunan densitas massa tulang dan
perburukan mikroarsitektur tulang sebingga tulang menjadi
rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001,
National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi
baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang '
ditandai oleh compromisedbone strength sehingga tulang
mudah patah.
Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka
berbagai penyakit degeneratif dan metabolik, termasuk
osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal yang
memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Pada survey

2355
kependudukantahun 1990,temyatajumlah penduduk yang
berusia 55 tahun atau lebih mencapai 9,2%, meningkat 50%
dibandingkan survey tahun 1971. Dengan demikian, kasus
osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur
diperkirakanjuga akan meningkat.Pada studi epidemiologi
yang dilakukan di Bandungan, Jawa Tengah, temyata
jumlah pasien osteoporosis meningkat secara bermakna
setelah usia 45 tahun, terutama pada wanita. Penelitian
Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak
massa tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dan rata-rata
kehilangan massa tulang pasca menopause adalah 1,4%/
tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik Reumatologi
RSCM mendapatkan faktor risiko osteoporosis meliputi
umur, lamanya menopause dan kadar estrogen yang
rendah, sedangkan faktor proteksinya adalah kadar
estrogen yang tinggi, riwayat berat badan lebih/obesitas .
dan latihan yang teratur.
Berbagai problem yang cukup prinsipiil masih
harus dihadapi oleh Indonesia dalam penatalaksanaan
osteoporosis yang optimal, seperti tidak meratanya
alat pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA),
mahalnya pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya
pengobatan standard untuk osteoporosis di Indonesia.

MASALAH PENYAKIT REUMATIK SEBAGAI


PENYEBABKETIDAKMAMPUAN
Dua jenis ketidakmampuan timbul dari penyakit reumatik.
Ketidak mampuan fisik mengakibatkan gangguan pada
fungsi muskoloskeletal dasar seperti; membungkuk,
mengangkat, berjalan dan menggenggam. Ketidak
mampuan sosial menunjuk pada aktivitas sosial yang lebih
tinggi seperti makan, memakai baju, pergi ke pasar
dan interaksi dengan orang lain. Penyakit reumatik
pertama-tama menyebabkan gangguan fungsi fisik
yang kemudian menyebabkan gangguan fungsi
sosial. Osteoartritis atau reumatisme merupakan
penyebab paling sering dari ketidakmampuan di Amerika
Serikat.
Ketidak mampuan kerja merupakan bagian terbesar dari
beaya tak langsung dari penyakit reumatik. Telah
ditunjukkan bahwa ketidakmampuan kerja timbul dengan
cepat pada pasien artritis reumatoid (AR). Kerusakan
sendi yang memburuk timbul dalam 2 tahun setelah onset
penyakit pada 50% pasien. Keadaan ini disusul dengan
penurunan fungsional yang nyata dan ditunjukkan
oleh ketidakmampuan kerja. Sulit sekali dan hampir tak
mungkin untuk menghitung nilai uang dari hambat
an-hambatan tersebut (Sharma, Fellson, 1998). Beberapa
penelitian telah melihat akibat non-moneter dari penyakit
reumatik. Secara keseluruhan, hal itu disebut dengan
hambatan aktivitas. Hasil penelitian di Malang
menunjukkan bahwa cukup banyak orang yang tak dapat
aktifkarena penyakit reumatik (Tabet 1 ).

2356

Tabel
1
Ketidakrnarnpuan
Kerja
Reumatik di Masyarakat Malang

Pria
Jumlah
Jumlah dengan penyakit
reumatik
Jumlah tak dapat aktif
Wanita
Jumlah
Jumlah dengan penyakit
reumatik
Jumlah tak dapat aktif

Karena

Penyakit

Kotamadya

Kabupaten

374
198 (52.9%)

483
193 (43.1%)

25 (6.7%)

21 (4.3%)

391
219 (56.0%)

495
219 (45.5%)

31 (7.9%)

35 (7.1%)

Tabel 2. Cara Pengobatan yang Dilakukan oleh Penderita


Reumatik di Masyarakat Malang

Carapengobatan
1. Pengobatan sendiri
Obat campur-campur
Jamu
Obat dan jamu
2. Pergi ke dokter
3.Berobatkebukandokter

Kotamadya

Kabupaten

59.5%
19.6%
26.3%
21.3%
26.6%
13.9%

64.5%
13.8%
42.4%
15.6%
16.6%
18.9%

Dari daftar National Health Interview Study, 1984


ditemukan bahwa 2,8% dari 38 juta (15% penduduk
Amerika Serikat) dengan artritis terhambat aktivitasnya.
Artritis menjadi alasan utama hambatan artritis pada usia
di atas 50 tahun. Fibrositis dan SLE juga mengakibatkan
hambatan aktivitas yang lebih tinggi.
Besamya masalah penyakit reumatik di seluruh dunia
dapat di dilihat dari data-data di bawah :
1. Di seluruh dunia penyakit sendi merupakan separuh
dari semua penyakit menahun pada orang-orang di atas
60 tahun.
2. Osteoartritis dengan nyeri yang nyata dijumpai pada
25% masyarakatdenganusia di atas 60 tahun diAmerika
Serikat
'
3. Nyeri pinggang merupakan penyebab hambatan
aktivitas yang paling sering pada usia muda dan
pertengahan, menjadi salah satu penyebab yang
paling seringuntukpergi ke dokter dari masyarakatkerja
(Editori~I, 2000).
Hasil di atas sesuai dengan hasil penelitian di berbagai
negara yang menunjukkan bahwa penyakit reumatik
merupakan penyakit dan penyebab ketidak mampuan yang
paling besar (Chaia dkk, 1998).

MASALAH PENATALAKSANAAN
REUMATIK

PENYAKIT

Penatalaksanaan penyakit reumatik merupakan upaya


jangka panjang yang memerlukanpengertian dan kerjasama
yang baik antara dokter, pasien dan keluarganya. Banyak

pasien (danjuga dokter) kurang memahami hat ini sehingga


mengakibatkan rendahnya tingkat kepuasan pasien
reumatik yang berobat. Selain itu sering dokter tidak
memberikan penjelasan yang cukup kepada pasien.
Keadaan tersebut mungkin merupakan faktor penting yang
berkaitan dengan banyaknya pasien yang mengobati
sendiri penyakit reumatiknya dengan menggunakan obat
yang kurang tepat atau campur-campur.

MASALAH EFEK SMAMPING OBAT ANTI REUMATIK


NON-STEROID (OAINS)

Banyaknya pasien yang mengobati sendiri penyakit


reumatiknya dapat menimbulkan efek samping yang serius.
Di Indonesia dan Philipina, kebanyakan pasien dengan
keluhan ringan tidak berobat ke dokter, didiagnosis dan
diobati oleh tenaga kesehatan yang relatif kurang
berpengalaman. (WHO 1992).
Penekanan dari pendidikan masyarakat mengenai
penyakit reumatik ialah pada pemakaian obat, pengenalan
penyakit-penyakit yang sering dijumpai dan faktor-faktor
risiko yang berperan. Harus disadari oleh pasien bahwa
walaupun reumatik menimbulkan nyeri yang dapat hebat
sekali, sebagian besar tidak berkaitan dengan kematian.
Dalam hal seperti itu maka penggunaan obat yang dapat
menimbulkan risiko tinggi sedapat mungkin dihindari.
Salah satu efek samping yang serius dari obat anti
inflamasi non steroid (OAINS) adalah perdarahan saluran
cema. Risiko tersebiut akan semakin besar dengan semakin
tingginya dosis, pemakaian campuran dan tingginya usia
pasien. Tidak jarang dijumpai pasien reumatik (biasanya
orang tua) masuk rumah sakit bukan karena penyakit
reumatiknya tetapi karena efek samping obat atau jamu
anti reumatik yang diminumnya. Risiko tertinggi kematian
akibat perdarahan saluran cema tersebut adalah pada
orang tua, pasien yang memakai banyak obat dan pasien
dengan penyakit lain (misalnya ginjal dan hati).

MASALAH BEBAN SOSIAL EKONOMI PENYAKIT


REUMATIK

Melihat pada tingginya prevalensi, banyaknya


ketidakmampuan dan turunya produktivitas karena
penyakit reumatik, maka dapat dimaklumi j ika dilaporkan
bahwa beban ekonomi (nasional maupun pribadi)
penyakit reumatik adalah tinggi. Behan ekonomi dibagi
menjadi 2 komponen utama. Beban langsung menunjuk
pada jumlah uang yang diperlukan untuk mengobati
penyakit, sedang beban tak langsung menunjuk pada
hilangnya produktivitas karena morbiditas dan mortalitas.
Hasil penelitian di negara-negara maju menunjukkan
bahwa beban sosial-ekonomi (baik bagi negara maupun
pasien) penyakit reumatik adalah besar sekali. Besamya

2357

INTRODUKSI REUMATOLOGI

beban tersebut timbul dari tingginya prevalensi


penyakit reumatik, lamanya pengobatan yang diperlukan
dan efek samping obat, ketidakmampuan pasien dan
penurunan aktivitas atau jam kerja.
Besarnya beban sosial-ekonomi penyakit khususnya
penyakit reumatik sampai sekarang belum diteliti dengan
baik di Indonesia, akan tetapi, beban tersebut dapat
diperkirakan dengan melihat data di atas dan juga data
dari Inggris (Moll, 1987,) maupun negara-negara lain.

UPAYA MENGATASI MASALAH


REUMATIK DI INDONESIA

Melalui kerjasama dengan organisasi-organisasi


kesehatan yang berkecimpung di bidang reumatologi,
dilakukan upaya-upaya perbaikan kebijakan dan sistem
kesehatan yang seimbang. Tujuan utama upaya ini ialah
meningkatkan pelayanan kesehatan pasien penyakit
reumatik, menyebar luaskan upaya menolong
sendiri pasien penyakit reumatik dengan merancang
pendidikan menolong sendiri (self-help) pada
penatalaksanaan reumatik sehari-hari, dan menunjang
program aktivitas fisik yang bermanfaat untuk pasien
reumatik.

PENYAKIT

Masalah penyakit reumatik pada masa mendatang jelas


akan semakin meningkat karena :
l. Bertambahnya jumlah orang tua, urbanisasi,
peningkatan industri dan pencemaran lingkungan yang
akan meningkatkan prevalensi penyakit reumatik.
2. Tuntutan akan pelayanan yang lebih baik dari
masyarakat karena tingkat pendidikan dan kesadaran
yang makin tinggi.
3. Harga obat-obatan dan prosedur diagnostik yang
semakin mahal karena datangnya obat-obat baru dan
alat-alat canggih yang lebih baik.
4. Globalisasi di bidang kesehatan yang akan memaksa
dokter-dokter di Indonesia mengembangkan
kemampuanya sendiri untuk dapat bersaing dengan
dokter-dokter dari luar negeri.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atasjelas terlihat bahwa
upaya mengatasi masalah penyakit reumatik merupakan
kebutuhan yang nyata yang harus dipikirkan mulai
sekarang. Upaya ini merupakan usaha yang terus menerus
dengan tujuan pokok untuk pencegahan dan
penatalaksanaan penyakit reumatik yang sebaik-baiknya.
Supaya usaha tersebut dapat berhasil, maka perlu adanya
program terpadu secara nasional mengenai penyakit
reumatik.

PENYUSUNAN
PROGRAM KEBIJAKAN DAN
SISTEM YANG MEMUNGKINKAN PENINGKATAN
KUALITAS HIDUP PASIEN REUMATIK DAN UPAYAUPAYA PENCEGAHAN

a. Menyusun program penanganan penyakit reumatik


yang terpadu.
Kegiatan di bidang ini meliputi pelatihan untuk tenaga
kesehatan yang terpadu secara nasional, merancang
jaringan kerja sama, meningkatkan kesadaran
masyarakat, membentuk badan-badan penasehat,
mengkoordinasikan aktivitas secara nasional dan uji
coba usaha-usaha intervensi.
b. Memperbaiki sisterrrdan kebijakan kesehatan.

PERBAIKAN KURIKULUM PENDIDIKAN DOKTER


YANG MENYANGKUT REUMATOLOGI

Peningkatan ketrampilan dan pengetahuan dokter


umum maupun ahli penyakit dalam sangat penting untuk
segera dilakukan. Kebutuhan ini tak hanya timbul di
Indonesia, akan tetapi juga di negara-negara lain, oleh
karena temyata porsi yang diberikan untuk penyakit
reumatik di berbagai fakultas kedokteran maupun di
pendidikan ahli penyakit dalam sangat tak memadai. Jam
kuliah dan lamanya pelatihan hendaknya dikoreksi
sehingga dapat sesuai dengan kenyataan bahwa penyakit
reumatik merupakan salah satu penyakit yang tersering
dan dijumpai di mana-mana (Dequeker & Raskar, 1998).
Dengan perubahan termaksud, maka hasil pendidikan
dokter di masa depan dapat menjawab tantangan
kesehatan, sesuai yang banyak diharapkan oleh ahli
kesehatan (Towle, 1998).
Pentingnya pendidikan reumatologi dibicarakan
dengan mendalam pada suatu simposium liga anti
reumatik Eropa (EULAR) pada 1987. Pada saat itu
beberapa fakultas kedokteran di Eropa masih belum
memberikan pengajaran reumatologi, tapi pemeriksaan
sistem lokomotor telah masuk ke dalam kurikulum
pendidikan dokter. Di Australia, hasil-hasil terakhir telah
menunjukkan bahwa lebih dari setengah mahasiswa
kedokteran tak cukup mendapat pendidikan reumatologi.
Secara keseluruhan, pendidikan dokter di fakultas
kedokteran kurang menekankan pentingnya penyakit
sendi, meskipun pada kenyataannya, lebih dari 20% dari
pasien di tempat praktek adalah penyakit reumatik (WHO,
1992).
Sistem pendidikan ahli penyakit dalam di Indonesia
pada saat ini juga menunjukkan kurangnya perhatian
terhadap penyakit reumatik. Keberadaan sub bagian
reumatologi dalam pusat pendidikan ahli penyakit dalam
merupakan suatu keharusan. Sebelum ini asisten yang
menempuh pendidikan penyakit dalam tak diharuskan
bekerja di sub bagian tersebut. Jika kita ingin memperbaiki
pelayanan pasien reumatik, maka sub bagian ini harus lebih
diperhatikan
(Nasution,
1988).

2358

REUMATOLOGI

'
PENELITIAN-PENELITIAN
UNTUK PENCATATAN
PASIEN, EPIDEMIOLOGI
DAN TINDAKAN
PENCEGAHAN YANG BERTUJUAN UNTUK
MEMPERKUAT DASAR ILMIAH
Penelitian Epidemiologik untuk Menetapkan
Besarnya Masalah Penyakit Reumatik

Informasi tentang prevalensi clan kecenderungan penyakit


reumatik sangat penting untuk merangsang dan
inplementasi program-program pencegahan. Dalam survei
kesehatan rumab ke rumab perlu ditambahkan hal-hal yang
mencakup penyakit reumatik. Dalam kaitan dengan
penelitian epidemiologi, maka perlu diperhatikan peran
keadaan sosial, kesesuaian kriteria diagnosis yang
digunakan dan pandangan penyakit reumatik sebagai
penyakitkerja (Bernarddan Fries, 1997). Di antaragolongan
sosial yang lebih rendah temyata lebih sering dijumpai
keluhan yang lebih berat. Di samping itu juga terdapat
lebih sering penyakit reumatik, kecuali gout dan anklosing
spondylitis(Adebayo, !991). Prevalensi beberapapenyakit
yang Iebih tinggi di pedesaan mungkin dapat dijelaskan
karena perbedaan golongan sosial. Misalnya, terdapat
bukti-bukti bahwa gout sering dijumpai pada masyarakat
desa dari pada masyarakat kota yang sebanding dan di
Indonesia lebih sering dijumpai pada suku tertentu
(Padang, 1997;Tehupeiory, 1992).
Dengan penelitian epidemiologis diharapkan dapat data
yang bermanfaat untuk :
Menetapkan besamya penyakit dan ketidakmampuan
yang ditimbulkannya di masyarakat
Dikembangkannyakriteriaklasifikasipenyakit reumatik
Menilai perjalanan penyakit alami dan prognosanya
Penetapan faktor-faktor etiologi yang meliputi dua
unsur yaitu genetik dan lingkungan
Penilaian mengenai pengaruh dan efektifitas
usaha-usaha pengobatan dan pencegahan
Tindakan untuk Menghambat Ketidakmampuan
karena Penyakit Reumatik

Upaya pencegahan penyakit reumatik di masyarakat masih


terhambat karena banyaknya mitos bahwa penyakit
reumatik rnerupakanakibat yang tak dapat dihindarkan dari
ketuaan. Akibatnya banyak pasien dan keluarganya yang
menyerah begitu saja pada penyakit reumatik. Akan tetapi,
sebenamya banyak upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegab atau mengurangi nyeri dan ketidak mampuan ,
karena penyakit reumatik. Misalnya, osteoartritis lutut
dapat dicegah dengan mengurangi kegemukan dan
mencegab pekerjaan berat dan cedera olah raga. Nyeri dan
ketidak mampuan yang menyertai penyakit reumatik dapat
dikurangi dengan diagnosis awal, penatalaksanaan yang
baik, termasuk mengontrol berat badan/aktivitas fisik,
terapi fisik, dan operasi penggantian sendi kalau
diperlukan.

Klarifikasi Pentingnya Peran Nutrisi dan Aktivitas


Fisik yang Baik. .

Perlu dilakukan penelitian-penelitian untuk mengetahui


peran aktivitas fisik dalam mencegab atau mengurangi e~e.k
penyakit reumatik. Hal ini penting, khususnya osteoartn~1~
lutut yang lebih sering timbul pada kegemukan. Nutrisi
yang baik dan olab raga merupakan faktoryang perlu dal~
menjaga berat badan yang ideal. Latihan fisik yang baik
juga penting untuk menjaga kesehatan sendi.
Evaluasi Strategi lntervensi

Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengembangkan dan


menilai efektivitas program pendidikan pasien dan
masyarakat tentang penyakit reumatik dalam kerangka
layanan terpadu.

PENDIDIKAN MASYARAKATUNTUKMENINGKATKAN
KESADARAN DAN MEMBERIKAN INFORMASIYANG
AKURATTENTANG PENYAKIT REUMATIK.

Peran masyarakat adalah penting oleh karena penyakit


reumatik pada umumnya merupakan penyakit yang
menahun dengan beberapa faktor risiko yang dapat
dikendalikan. Program pendidikan masyarakat di
Indonesia akan memperoleh dukungan jika masyarakat
dapat segera menikmati basilnya. Mengingat hal itu, maka
perbaikan pelayanan kesehatan pada pasien penyakit
reumatik merupakan upaya pertama yang perlu segera
dilaksanakan. Beberapa penyakit reumatik, misalnya
bursitis dan tennis elbow memang dapat membaik dengan
pengobatan yang sederhana. Akan tetapi keban_yak~n
penyakit reumatik memerlukanpenangananyang lebih baik
untuk mencapaibasil yang memuaskan.Hal ini memerlukan
pengetahuan yang lebih baik dari dokter-dokter di pusat
pelayanan kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) maupun
di Rumah Sakit. Di rumah sakit daerah, penatalaksanaan
pasien reumatik memerlukan kerjasama yang baik dari
dokter-dokter yang terlibat (seperti abli penyakit dalam,
penyakit saraf, fisioterapi, abli bedah tulang dan lain-lain).
Di beberapa negara, iklan di kendaraan umum dan
televisi digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
mengenaipenyakit reumatik. Departermen Kesehatan telab
mengeluarkaniklan-iklankampanye yang memperingatkan
masyarakatmengenaimerokok,narkotik,alkoholclanAIDS.
Kampanye serupa hendaknya juga diberikan untuk
mencegah osteoporosis dan beberapa penyakit reumatik
yang lain.

REFERENSI
American College of Rheumatology Ad Hoc Commitie on Clinical
Guidelines. Guidelines for the management of rheumatoid
arthritis.
Arthritis Rheum
1996; 39 :
713 -31.

...

INTRODUKSI REUMATOLOGI

American College of Rheumatology Subcommittee on Rheumatoid


Arthritis Guidelines. Guidelines for the Management of
Rheumatoid Arthritis 2002 Update. Arthrits Rheum 2002; 46 :
328-346.
American College of Rheumatology
2004. Frequently asked
question.
Becker MA, Jolly M. Clinical gout and the pathogenesis of hyperuricemia. In : Koopman WJ, Moreland LW. Arthritis and allied
conditions a textbook of rheumatology. 11 edit. 2005 :
2303 - 2339.
Combe B, Eliaou JF, Daures JP, Meyer 0, Clot J Sany J. Prognostic
factor in rheumatoid arthritis : comparative study of two subset
of patients according to severity of articular damage. Br J
rheumatol. 1995 ; 34 : 529-34.
Darmawan J. Rheumatic condition in the northern part of Central
Java. An epidemiological survey. 1988 : 97-111.
Emery P, Breedveld FC, Dougados M, Kalden JR, Schiff MH, Smolen
JS. Early referral recomendation for newly diagnosed
rheumatoid arthritis: evidence based development of clinical
guide. Ann Rheum Dis 2002 ; 61: 290-7
Handono Kalim, Kusworini Handono. Masalah penyakit reumatik

2359
di Indonesia serta upaya-upaya penanggulanganya. Temu Ilmiah
Reumatologi 2000 : 1-11.
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis dan pengelolaan
systemic lupus erythematosus. 2004
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis dan pengelolaan
osteoporosis. 2005
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis dan pengelolaan
osteoartritis. 2004
Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis dan pengelolaan
artritis reumatoid. In pres.
Nasution AR, Isbagio H, Setiyohadi B. Pendekatan diagnostik
penyakit reumatik. In : Syaifoelah Noer dkk. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 1996 : 43 - 61.
Nasution AR. Pidato pengukuhan guru besar : Peranan dan
perkembangan reumatologi dalam penanggulangan penyakit
muskuloskeletal di Indonesia. 1995.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network : Management of Early
Rheumatoid Arthritis. A National Clinical Guide. 2000 : 1-44.
Terkeltaub RA. Gout : epidemiologi, pathology and pathogenesis.
In : Klippel JL. Primer on the rheumatic diseases. 12 edit. 200 I
: 307-m312.

2369

ME'TROLOGI DAI.AM BIDANGREUMATOLOGI

ACUTE PHASE REACTANT


Peningkatan kadar protein fase akut umumnya terjadi akibat
respons terhadap jejas jaringan atau infeksi. Pada manusia,
konsentrasi C-reactive protein (CRP), serum amyloid
protein (SAA) dan cx1 antichymotrypsin akan meningkat
100 - 3000 kali jika terdapat suatu stimulus inflamasi. Laju
endap darah (LED) secara tidak langsung menggambarkan
peningkatan konsentrasi proteins serum, terutama molekul
asimetrik seperti fibrinogen, protein fase akut yang lain
atau imunoglobulin. Walaupun LED juga dipengaruhi oleh
faktor yang tidak berhubungan dengan inflamasi seperti
morfologi eritrosit, LED sering digunakan sebagai ukuran
protein fase akut karena sangat sederhana dan mudah
untuk dilakukan. Uji LED yang umum dilakukan adalah
menurut cara Westergreen (pembacaan l jam) yang telah
terpilih oleh the International Committee for Standardization in Hematology untuk mengukur LED.

PEMERIKSAAN SINAR-X
Pemeriksaan sinar-X hanya perlu dilakukanjika obeservasi
dilakukan lebih dari satu tahun.

global. Indeks fungsional sebaiknya disertakan dalam


pengukuran walaupun indeks yang terbaik yang terbaik
untuk OA masih harus ditetapkan. Ukuran seperti grip
strength pada OA tidak banyak berguna kecuali pada
pasien OA dengan keterlibatan persendian tangan.
Suatu hal yang perlu diperhatikan pada OA adalah
walaupun range of motion merupakan ukuran yang banyak
digunakan dalam penelitian OA, kesalahan type II pada
ukuran ini akan sangan tinggi jika keterlibatan sendi yang
ingin diukur sangat rendah. Hal ini dapat diatasi dengan
pemilihan subjek penelitian yang teliti.
Saat ini The Western Ontario McMaster (WOMAC)
Scales merupakan instrumen yang paling banyak
digunakan untuk mengukur status fungsional pada pasien
osteoartritis (OA). WOMAC adalah suatu instrumen yang
telah di validasi yang di disain secara spesifik untuk
penilaian nyeri ektremitas bawah dan status fungsional
pada pasien OA lutut atau panggul. WOMAC Scales pada
beberapa penelitian terbukti lebih responsif dibandingkan
instrumen lain yang pemah digunakan pada pasien OA
sperti index Lequesnewomac2 Walaupun demikian WOMAC
masih dipengaruhi oleh comorbiditas lain seperti fatig,
depresi atau nyeri pinggang bawah sehingga dalam
interpretasi
comorbiditas
tersebut
hams selalu
diperhitungkan womac

OUTCOMEPADAPENYAKIT REUMATIKYANG LAIN


REFERENSI
Untuk osteoartrosis
(OA), belum terdapat
suatu
kesepakatan yang pasti mengenai outcome apa yang perlu
digunakan dalam penelitian. Akan tetapi dianjurkan untuk
antara lain menggunakan ukuran rasa nyeri dan status

Bellamy N. Musculoskeletal Clinical Metrology. 1 '' ed. Kluwer


Academic Publioshers, Boston, 1993.

376
STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN
ENDOTEL VASKULAR
Sumariyono, Linda K. Wijaya

Tulang manusia saling berhubungan satu dengan yang


lain dalam berbagaibentuk untuk memperolehfungsi sistem
muskuloskeletal yang optimal. Aktivitas gerak tubuh
manusia tergantung pada efektifnya interaksi antara sendi
yang normal dengan unit-unit neuromuskular yang
menggerakkanya. Elemen-elemen tersebut juga
berinteraksi untuk mendistribusikan stres mekanik ke
jaringan sekitar sendi. Otot, tendon, ligamen, rawan sendi
dan tulang saling bekerjasama di bawah kendali sistem
saraf agar fungsi tersebut dapat berlangsung dengan
sempuma.
Dahulu endotel vaskular hanya dilihat secara
sederhana yaitu hanya sebagai barier permeabel pasif,
akan tetapi pada saat ini telah banyak diketahui fungsifungsi penting lainnya yang hams dipahami oleh semua
dokter. Oleh karena itu pada bab ini selain akan membahas
struktur sendi, otot dan saraf juga akan dibahas struktur
dan fungsi dari endotel vaskular.

kedua os pubika pada orang dewasa; atau jaringan tulang


(sinostosis) misalnya persambungan antara os olium,
osiskium dan os pubikum.
Diartrosis adalah sambungan antara 2 tulang atau lebih
yang memungkinkan tulang-tulang tersebut bergerak satu
sama lain. Di antara tulang-tulang yang bersendi tersebut
terdapat rongga yang disebut kavum artikulare. Diatrosis
disebut juga sendi sinovial. Sendi ini tersusun atas
bonggol sendi (kapsu/ artikulare), bursa sendi dan ikat
sendi (ligamentum). Berdasarkan bentuknya diartrosis
dibagi dalam beberapa sendi, yaitu sendi engsel
(interfalang, humereoulnaris, talokruralis ), sendi kisar
(radio ulnaris), sendi telur (radiokarpea), sendi pelana
(karpometakarpalI), sendipeluru (glenohumeral)dan sendi
buah pala (coxae).
Amfiartrosis merupakan sendi yang memungkinkan
tulang-tulang yang saling berhubungan dapat bergerak
secara terbatas, misalnya sendi sakroiliaka dan sendi-sendi
antara korpus vertebra.

STRUKTURSENDI
RAWANSENDI
Pengertian sendi adalah semua persambungan tulang, baik
yang memungkinkan tulang-tulang tersebut dapat bergerak
satu sama lain, maupun tidak dapat bergerak satu sama
lain. Secara anatomik, sendi dibagi 3, yaitu sinartrosis,
diartrosis dan amfiartrosis.
Sinartrosis adalah sendi yang tidak memungkinkan
tulang-tulang yang berhubungan dapat bergerak satu sama
lain. Di antara tulang yang saling bersambungan tersebut
terdapat j aringan yang dapat berupa j aringan
ikat.(sindemosis), seperti pada tulang tengkorak, antara
gigi dan rahang, antara radius dengan ulna dsb; atau
jaringan tulang rawan (sinkondrosis), misalnya antara

Pada sendi sinovial (diartrosis), tulang tulang yang saling


berhubungan dilapisi rawan sendi. Rawan sendi
merupakan jaringan avaskular dan juga tidak memiliki
jaringan saraf, berfungsi sebagai bantalan terhadap beban
yang jatuh ke dalam sendi.
Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi (kondrosit)
dan matriks rawan sendi. Kondrosit berfungsi menyintesis
dan memelihara matriks rawan sehingga fungsi bantalan
rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matriks rawan sendi
terutama terdiri dari air, proteoglikan dan kolagen.
Proteoglikan merupakan molekul yang kompleks yang

2371

STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

tersusun atas inti protein dan molekul glikosaminoglikan.


Glikosaminoglikan yang menyusun proteoglikan terdiri dari
keratan sulfat, kondroitin-6-sulfat dan kondroitin-4-sulfat.
Bersama-sama dengan asam hialuronat, proteoglikan
membentuk agregat yang dapat menghisap air dari
sekitamya sehingga mengembang sedemikian rupa dan
membentuk bantalan yang baik sesuai dengan fungsi
rawan sendi. Bagian proteoglikan yang melekat pada asam
hialuronat adalah terminal-N dari inti proteinnya.
Pada terminal ini juga melekat protein-link. Terminal inti
karboksi inti protein proteoglikan, merupakan ujung be bas
yang mungkin berperan dalam interaksinya dengan matriks
ekstraselular lainnya.
Kolagen merupakan molekul protein yang sangat kuat.
Terdapat berbagai tipe kolagen, tetapi kolagen yang
terdapat di dalam rawan sendi terutama adalah kolagen
tipe IL Kolagen tipe II tersusun dari 3 rantai alfa yang
membentuk gulungan triple-heliks. Kolagen berfungsi
sebagai kerangka bagi rawan sendi yang akan membatasi
pengembangan berlebihan agregat proteoglikan.
Rawan sendi merupakan jaringan yang avaskular, oleh
sebab itu makanan diperoleh dengan jalan difusi. Behan
yang intermiten pada rawan sendi sangat baik bagi fungsi
difusi nutrien untu.k rawan sendi.
Pada rawan sendi yang normal, proses degradasi dan
sintesis matriks selalu terjadi. Salah satu enzim proteolitik
yang dihasilkan oleh kondrosit dan berperan pada
degradasi kolagen dan proteoglikan adalah kelompok enzim
metaloprotease, seperti kolagenase dan stromelisin.
Berbagai sitokin juga berperan pada proses degradasi dan
sintesis matriks. Interleukin- I (IL-I) yang dihasilkan oleh
makrofag berperan pada degradasi kolagen dan
proteoglikan dan menghambat sintesis proteoglikan.
Growth factors seperti transforming growth factor-beta

(TGF-b) dan insulin-like growthfactor-] (IGF-1) berperan


merangsang sintesis proteoglikan dan menghambat kerja

IL-1.
Rawan sendi merupakan salah satu jaringan sumber
keratan sulfat, oleh sebab itu keratan sulfat dalam serum
dan cairan sendi dapat digunakan sebagai petanda
kerusakan rawan sendi.

MEMBRAN SINOVIAL
Membran sinovial merupakan jaringan avaskular yang
melapisi permukaan dalam kapsul sendi, tetapi tidak
melapisi permukaan rawan sendi. Membran ini licin dan
lunak, berlipat-lipat sehingga dapat menyesuaikan diri
pada setiap gerakan sendi atau perubahan tekanan intraartikular.
Membran sinovial tersusun atas 1-3 lapis sel-sel
sinovial (sinoviosit) yang menutupi jaringan subsinovial
di bawahnya, tanpa dibatasi oleh membran basalis.
Walaupun banyak pembuluh darah dan limfe di dalam
jaringan subsinovial, tetapi tidak satupun mencapai lapisan
sinoviosit. Jaringan pembuluh darah ini berperan dalam
transfer konstituen darah ke dalam rongga sendi dan
pembentu.kan cairan sendi.
Se! sinoviosit terdiri dari 2 tipe, yaitu sinoviosit tipe A
yang mempunyai banyak persamaan dengan makrofag dan
sinoviosit B yang mempunyai banyak persamaan dengan
fibroblas. Sebagian besar (70-80%) sinoviosit merupakan
tipe B dan 20-30% merupakan sinoviosit tipe A. Selain itu
ada sebagian kecil sinoviosit yang mempunyai
ultrastruktur antara sel Adan sel B yang disebut sel C.
Sel sinoviosit A befungsi melepaskan debris-debris sel
dan material khusus lainnya ke dalam rongga sendi. Sel

Gambar 1. a. Agregat proteoglikan; b. Matriks rawan sendi KS: Keratan Sulfat; CS:Kondroitin Sulfat; HA:
Asam Hialuronat; OS: Dermatan Sulfat

2372

REUMATOLOGI

sinoviosit B berperan menyintesis dan menyekresikan


hialuronat yang merupakan zat aditif dalam cairan
sendi yang berperan dalam mekanisme lubrikasi. Cairan
sendi yang normal bersifatjemih, kekuningan dan viskous,
hanya beberapa ml volumenya dalam sendi yang
normal. Viskositas cairan ini diperlihara oleh hialuronat
dan material proteinaseus lainnya. Selain itu sinoviosit B
juga berperan memperbaiki kerusakan sendi yang
meliputi produksi kolagen dan melakukan
proses
remodelling.
Sinovium
dan kapsul sendi diinervasi oleh
mekanoreseptor, pleksus saraf dan ujung bebas saraf yang
tidak dibungkus mielin. Ujung saraf ini merupakan
neuron aferen primer yang berfungsi sebagai saraf sensoris
dan memiliki neuropeptida yang disebut substansi-P (SP)

CAIRAN SINOVIAL
Pada sendi yang normal, cairan sendi sangat sedikit,
sehingga sangat sulit diaspirasi dan dipelajari. Cairan sendi
merupakan ultrafiltrat atau dialisat plasma. Pada umumnya
kadar molekul dan ion kecil adalah sama dengan plasma,
tetapi kadar proteinnya lebih rendah. Molekul-molekul
dari plasma, sebelum mencapai rongga sendi hams
melewati sawar endotel mikrovaskular, kemudian
melalui matriks subsinovial dan lapisan sinovium. Sawar
endotelial sangat selektif, makin besar molekulnya makin
sulit melalui sawar tersebut, sehingga molekul protein yang
besar akan tetap berada dalam jaringan vaskular.
Sebaliknya, molekul dari cairan sendi dapat kembali ke
plasma tanpa halangan apapun melelaui sistem
limfatik walaupun ukurannya besar. Rasio protein cairan
sendi dan plasma (JF IP) dapat menggambarkan
keseimbangan kedua proses di atas. JF IP untuk
albumin pada sendi lutut yang normal berkisar antara
0,2-0,3. Untuk fibrinogen, tentu lebih rendah lagi,
itulah sebabnya cairan sendi tidak mudah beku.
Karakteristik cairan sendi pada berbagai keadaan
ditunjukkan pada Tabel 1:

MENISKUS
Meniskus merupakan struktur yang hanya ditemukan
didalarn sendi lutut, temporomandibular, sternoklavikular, radioulnar distal dan akromioklavikular.
Meniskus merupakan diskus fibrokartilago yang pipih
atau segitiga atau iregular yang melekat pada kapsul
fibrosa dan selalu pada salah satu tulang yang
berdekatan. Sebagian besar meniskus bersifat avaskular,
tetapi pada bagian yang melekat pada tulang sangat
kaya dengan pembuluh darah, tidak ada jaringan saraf
atau pembuluh limfe. Nutrisi diperoleh secara difusi dari
cairan sendi atau dari pleksus pembuluh darah pada
bagian yang melekat pada tulang.
Berbeda dengan rawan sendi, meniskus mengandung
kolagen tipe I sampai 60-90%, sedangkan proteoglikan
hanya 10%. Konstituen glikosaminoglikan yang
terbanyak adalah kondroitin sulfat dan dermatan sulfat,
sedangkan keratan sulfat sangat sedikit. Selain itu
fibrokartilago meniskus juga lebih mudah membaik bila
rusak.

DISKUS INTERVETERBRAL
Diskus invertebralmerupakan kompleks fibrokartilagoyang
membentuk persendian di antara 2 korpus vertebra yang
berdekatan dan berfungsi sebagai peredam kejut atas beban
yang yangjatuh pada pada tulang belakang. Gerak anatara
2 korpus vertebra terbatas oleh karena konfigurasi diskus
intervetebral mempunyai lingkup gerak yang cukup luas
untuk seluruh tulang belakang.
Bentuk dan ukuran diskus pada masing-masing regio
tulang belakang adalah berbeda, tetapi bentuk dasamya
sama. Diskus intervetebral dibentuk oleh 3 komponen,
yaitu Japisan luar yangmerupakan lapisan-lapisan cincin
fibrosa yang disebut annulus fibrosus; bagian tengah yang
merupakan massa semifluid yang disebut nukleus
pulposus dan lempeng kartilago yang menutupi permukaan
superior dan inferior.

Tabet 1. Karakteristik Cairan Sendi


Sifat cairan sendi

Normal

Grup I
(Non inflamasi

Grup II
( lnflamasi)

Grup Ill
(Septik)

Volume (lutut, ml)

< 3,5

>3,5

>3,5

Viskositas

Sangat tinggi

tinggi

rendah

>3,5
bervariasi

Warn a

Tidak berwarna

kekuningan

Kuning

Tergantung mikroorganismenya

kejernihan

transparan

transparan

Translusen-opak

opak

Bekuan musin

Tak mudah putus

Tak mudah putus

Mudah putus

Mudah putus

Leukosit /mm3

200

200-2000

2000-100.000

>500.000, umumnya

Sel PMN (%)

< 25

< 25

> 50

>75

Kultur Mo

Neg at if

Negatif

Negatif

Positif

2373

STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

Otot Polos atau sering disebut otot tak sadar. Otot ini
terdapat pada saluran cema dan pembuluh darah dan
diatur oleh sistem saraf otonom.
Otot jantung, yang didapatkan pada jantung dan
dikontrol oleh sistem saraf otonom. Walaupun sel otot
jantung sangat banyak tetapi otot ini bereaksi secara
sinkron dimana sel ototjantung ini mengalami kontraksi
dan relaksasi dalam waktu yang hampir sama.
Otot rangka I otot skelet, disebut demikian karena otot
ini sebagianbesar menempel ke tulang walaupun dalam
jumlah kecil menempelke fascia,aponeurosisdan tulang
rawan. Otot inijuga disebut otot lurik karena bila dilihat
di bawah mikroskop terlihat lurik. Otot ini kadangkadang juga disebut otot sadar karena umumnya
dikendalikan oleh kemauan.

KAPSUL DAN LIGAMEN

Struktur ligamen dan kapsul satu sendi berbeda dengan


sendi yang lain baik dalam hal ketebalannyamaupun dalam
hal posisinya. Pada sendi bahu, struktur ligamennya tipis
dan longggar, sedangkan pada sendi lutut tebal dan kuat.
Pada beberapa sendi, ligamen menyatu ke dalam kapsul
sendi sedangkan pada sendi yang lain dipisahkan oleh
lapisan areolar. Kelonggaran kapsul sendi sangat berperan
pada lingkup gerak sendi yang bersangkutan.
Ligamen dan kapsul sendi, terutama tersusun oleh serat
kolagen dan elastin, dan sedikit proteoglikan. Komponen
glikosaminoglikannya terutama adalah kondroitin sulfat
dan dermatan sulfat.

OTOT

Otot merupakanjaringan tubuh yang memiliki kemampuan


berkontraksi. Terdapat tiga jenis otot dalam tubuh manusia
yaitu otot rangka (sfelet), otot polos dan ototjantung. Otot
rangka secara normal tidak berkontraksi tanpa rangsangan
saraf, sedang otot yang lain akan berkontraksi tanpa
rangsangan saraf tetapi dapat dipengaruhi oleh sistem saraf.
Oleh karena itu maka sistem saraf dan otot merupakan suatu
sistem yang saling berkaitan. Kerangka tubuh dibentuk
oleh tulang dan sendi, adanya otot akan memungkinkan
tubuh untuk menghasilkan suatu gerakan. Hampir 40%
tubuh kita terdiri dari otot rangka yang berjumlah lebih
kurang 500 otot, sedangkan otot polos dan otot jantung
hanya 10% saja. Pada bab ini dibatasi pada otot rangka.

KARAKTERISTIK OTOT

Setiap otot memiliki 4 karakteristik :


Iritabilitas : ototmemilikikemampuanuntukmenerima dan merespons
berbagai jenis stimulus. Otot dapat merespons
potensial aksi yang dialirkan oleh serabut saraf
menjadi stimulus elektrik yang dialirkan secara
langsungke permukaanpermukaan otot atau tendonnya.
Kontraktilitas : apabila otot menerima stimulus maka
otot.memilikikemampuanuntuk memendek.
Ekstensibilitas : otot mampu memanjang baik pasif
maupun aktif.
Elastisitas : Setelah otot memendek atau memanjang,
maka otot mampu untuk kembali pada kondisi
normal atau istirahat baik dalam hal panjang maupun
bentuknya.

...

Gambar 2. Otot rangka (kiri) dan otot polos (kanan)

STRUKTUR DAN PERLEKATAN OTOT

Bila kita memperhatikan pergerakan tubuh pada aktivitas


sehari-hari maka kita akan mendapatkan kesan
kompleksitasdari sistemmuskuloskeletal.Kemampuanotot
untuk melakukan gerakan sangat tergantung pada bentuk
otot dan arsitektur sistem skeletal. Otot bervariasi
dalam bentuk, ukuran dan struktumya menurut fungsi yang
hams dilakukan. Beberapa otot di desain terutama
untuk kekuatan, untuk memungkinkan ruang gerak yang
luas, untuk gerakan yang cepat, untuk gerakan yang
lama dan beberapa di desain untuk melakukan gerakan
yang halus.

Nucleus

Sarcolemma

[ -Sarcoplasm

C:.I

Nerve Ending

TIPE OTOT

Terdapat tiga jenis jaringan otot :

Gambar 3. Struktur otot


Dikutip dari BIO 301 : Human physiology. (cited 2005 Sept).
Available from : http//people.eku.edu

2374

STRUKTUR OTOT
Sel otot atau serabut otot rangka merupakan suatu silinder
panjang dan lurus yang mempunyai banyak inti. Serabut
ini berdiameterantara 0.01 mm sampai 0.1 mm dan panjang
antara beberapa sentimeter sampai lebih dari 30 sentimeter.
Inti sel terdapat didalam sarkoplasma. Serabut otot
dikelilingi oleh selaput jaringan ikat yang disebut
endomisium. Serabut-serabut otot ini akan membentuk
fasikulus yang dibungkus oleh perimisium. Pada sebagian
besar otot, fasikulus-fasikulus ini terikat bersama-sama
oleh epimisium, yang merupakan jaringan yang sama
dengan fascia dan kadang-kadang bergabung dengan
fascia. Pada ujung dari otot, jaringan ikat fibrosa dari
epimisium dan perimisiumbercampur dengan serabut putih
dari tendon dan menempel pada periosteum atau tulang.
Setiap serabut otot rangka terdiri dari ratusan miofibril.
Miofibril merupakan kumpulan dari ribuan filamen miosin
dan filamen aktin. Dua jenis filamen ini tersusun pararel
dimana masing-masing saling tumpang tindih. Miosin
berwarna gelap dan tebal sedang aktin tipis dan terang.

REUMATOLOGI

Z line

..

;!

Z line

. . .

Thick filame-nt_s-+--:_-:_-:_-:_-.:_----

I band

A band

..

Thiel< maments

I band

Gambar 5. Sarkomer
Dikutip dari BIO 301 : Human physiology. (cited 2005 Sept).
Available from: http//people.eku.edu

ini, terdapat satu daerah yang pada kondisi tertentu


akan berwarna terang, daerah ini disebut H zone yang
akan tampak apabila ujung dari filamen aktin tertarik
lepas. Pada otot yang normal tidak mungkin filamen
aktin ini terpisah sehingga H zone akan terlihat
hanya apabila otot diregangkan secara paksa.

FILAMEN MIOSIN
Sebuah filamen miosin terdiri dari kumpulan sekitar 200
molekul miosin. Masing-masing molekul terdiri dari
kepala dan ekor. Kepala ini terdiri dari protein sedang
ekor terdiri dari dua untai peptida . Kepala ini sangat
penting pada mekanisme cross bridge pada kontraksi
otot.

Myos n tall

MYOSIN MOLECULE
Hinge

Myosinhead
(crossbridge)

Gambar 6. Molekul miosin

Gambar 4. Struktur otot

Sarkomer
Unit dasar dari miofibril adalah sarkomer. Batas antara
akhiran filamen aktin dan akhiran filamen aktin berikutnya
membentuk daerah gelap yang disebut Z line. Sarkomer
memanjang antara satu Z line dengan Z line berikutnya.
Filamen aktin yang terletak antara kedua sisi Z line ini
akan tampak terang sampai terdapat tumpang tindih
dengan filamen rniosin. Daerah yang terang ini disebut
I band. Daerah gelap yang merupakan tempat
tumpang tindih aktin dan miosin ini disebut A band.
Di tengah A band, daerah yang normalnya berwarna gelap

FILAMEN AKTIN
Filamen aktin terdiri dari dua untai aktin. Selain itu pada
filamen aktin inijuga terdapat dua untai protein lagi yang
terletak pada lekukan yang dibentuk oleh dua untai aktin.
Dua protein tambahan ini adalah molekul tropomiosin.
Pada setiap molekul tropomiosin terdapat satu
molekul troponin. Troponin ini teriri dari tiga sub unit
yaitu T, C dan I. Troponin T mengikatkan troponin
ke tropomiosin, troponin C mengikat ion kalsium
sedang troponin I berikatan dengan aktin dengan
cara menempel/menutupi tempat pada molekul aktin yang
biasanya digunakan untuk berikatan dengan molekul
rniosin.

2375

STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

" """"

-=

1::.=:;::.;;;;=:-1 =:::=:;;-;I

Gambar 9. Kontraksi otot


Gambar 7. Struktur molekular actin dan hubunganya dengan
troponin dan tropomiosin
Dikutip dari BIO 301 : Human physiology. (cited 2005 Sept).
Available from : http//people.eku.edu

KONTRAKSI OTOT

Motor unit adalah unit fungsional dari otot skelet. Otot


terdiri dari ribuan motor unit. Motor unit terdiri dari
beberapa serabut otot yang masing-masing diinervasi oleh
satu cabang saraf dari satu motor neuron. Jumlah serabut
otot pada satu motor unit bervariasi, yang berhubungan
dengan tipe gerakan dari otot tersebut. Sebagai contoh
otot gastrocnemius- yang terdiri dari lebih kurang 2000
serabut otot per motor unit, bila sejumlah besar motor unit
diaktivasimaka akan terlaksana gerakan plantar fleksi yang
kuat, sebaliknya otot-otot yang menggerakkan bola mata
yang memerlukan ketepatan tinggi dengan tenaga ringan
memiliki serabut otot yang sedikit per motor unit. .
Setiap serabut otot didalam motor unit berkontraksi
menurut prinsip " all-or-nothing " apabila mendapat
stimulus dari motor neuron.

Neuron

Muscle
cells

myosin yang tertinggal pada H zone dan tampak lebih


terang dibandingkan pada saat kedua filamen tersebut
sating tumpang tindih. Kontraksi akan menyebabkan kedua
filamen tersebut saling tumpang tindih dan tampak lebih
gelap. I band hanya terdiri dari molekul aktin, pada saat
kontraksi ujung myosin akan masuk kedaerah ini
sehinggga terlihat lebih gelap. Pada saat kontraksi penuh
seluruh filamen aktin dan myosin saling tumpang tindih
sehingga tidak ada daerah yang terang.

CROSS BRIDGES

Mekanisme sliding (tumpang tindih) antara filamen aktin


dan myosin adalah sebagai berikut. Kepala molekul
myosin akan melekat pada satu tempat di molekul aktin
kemudian membuat lekukan dan menarik molekul aktin.
Selanjutnya kepala tersebut akan melepaskan diri dari
molekul aktin dan lekukan pada kepala tersebut kembali
seperti posisi sebelumnya, kemudian membentuk ikatan
lagi dan terjadi proses seperti sebelurnnya. Setiap gerakan
myosin menarik aktin tersebut hanya akan menyebabkan
pergerakan yang sediktjaraknya, tetapi oleh karena adanya
sejumlah gerakan menarik yang sangat cepat dari sejumlah
besar molekul myosin, maka akan terjadi pemendekan otot.
Kepala myosin yang melekat ke filamen aktin disebut
sebagai cross bridge.
.

Gambar 8. Motor unit .

Actin

Tr~myo.,ln

Gabungan dari neuron motorik beserta semua otot yang


dipersarafi disebut motor unit.

MEKANISME KONTRAKSI OTOT

Mekanisme kontraksi otot sama antara otot rangka, otot


polos dan otot jantung. Untuk lebih mudah memahami
mekanisme kontraksi otot ini sebaiknya pernbaca
rnemperhatikan dengan seksama gambar 3 dan 4 terlebih
dahulu.
Pada saat kontraksi filarnen aktin dan myosin saling
tumpang tindih sehingga Z line menjadi semakin dekat
antara satu dengan lainya, sedang H zone semakin
menyempit. Apabila otot diregangkan maka ujung dari
molekul aktin akan tertarik sehingga hanya molekul

Gambar 10. Struktur molekular dan hubungan dari miosin dan


aktin pada mekanisme kontraksi otot (Dikutip dari BIO 301 :
Human physiology. (cited 2005 Sept). Availablefrom : http//
people.eku.edu)

TROPOMYOSIN, TROPONIN DAN ION KALSIUM

Myosin dan aktin memiliki afinitas yang tinggi antara


keduanya, sehingga bila diletakkan bersama-sama pada

2376

REUMATOLOGI

suatutempat akan membuat ikatanyang kuat. Tetapiapabila


ada untaian tropomyosin di antaranya maka tidak akan
terjadi ikatan. Menurut hipotesis ini terdapat tempat ikatan
spesifik (spesific binding site) pada molekul aktin dimana
kepala myosin secaranormal melekat.Untaian tropomyosin
diperkirakan terletak di atas tempat ikatan tersebut
sehingga tidak terjadi ikatan keduanya. Selanjutnya ion
kalsium akan dikeluarkan dan bereaksi dengan troponin,
akibatnya akan terjadi perubahan bentuk dan secara fisik
akan memindahkan tropomyosin sehingga binding site
pada aktin tidak tertutup dan kepala myosin sekarang
bebas untuk melekat pada binding site tersebut.
Bila hipotesis ini benar maka ada dua asumsi lagi yang
hams dibuat yaitu : I. Apabila ion kalsium dikeluarkan dari
daerah cross bridge, maka tropomyosin akan kembali
menutupi binding site sehingga tidak terjadi perlekatan
aktin-myosin dan otot berhenti berkontraksi. 2. Hams ada
mekanisme yang mengantarkan dan mengeluarkan ion
kalsium ke daerah cross bridge. Sistema dari retikulum
sarkoplasma mengandung ion kalsium konsentrasi tinggi.
Potensial aksi yang memulai suatu kontraksi akan
menyebabkan pelepasan ion kalsium. Sistema terletak
sangat dekat dengan sarkomere dan terdapat dua sistema
tiap sarkomere. Sehingga ion kalsium yang dilepaskan dari
sistema tersebut akan berdifusi ke filamen-filamentersebut
dan menyebabkan terjadinya kontraksi. Pompa kalsium
diasumsikan sebagai kekuatan yang mampu mengerakkan
ion kalsium melawan gradien konsentrasi kembali masuk
ke sistema. Pada saat potensial aksi berhenti dan tidak
ada lagi ion kalsium yang dilepaskan,maka pompa kalsium
akan dengan cepat memompa kalsium dari daerah filamen
kembali ke sistema.

KOPEL EKSITASI-KONTRAKSI

OTOT SKELETAL

Di dalam tubuh otot skeletal berkontraksi sebagai hasil


dari potensial aksi yang ditimbulkanpada membran serabut
otot. Hubungan antara potensial aksi ( eksitasi) dan
koritraksi disebut sebagai excitation-contraction
coupling. Potensial aksi menyebar sepanjang sarkolema,
masuk dan melalui T tubule ke sistema. Melalui beberapa
cara, mungkin perubahan permeabilitas membran sistema,
ion kalsium akan dilepaskan ke sarkoplasma sekitar
miofibril. Selanjutnyakalsium akan bereaksi dengan troponin dan selanjutnya terjadi mekanisme kontraksi seperti
yang disebutkan sebelumnya. Apabila potensial aksi
berhenti maka pelepasan kalsium juga akan berhenti,
selanjutnya pompa kalsium akan segera mengembalikan
ion kalsium dari sarkoplasma ke sistema.
TIPE KONTRAKSI OTOT

Apabila suatu potensial aksi yang dijalarkan oleh motor


neuron ke serabut otot cukup kuat untuk menimbulkan

respons, maka serabut otot akan berkontraksi. Kontraksi


adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan
terbentuknya suatu respons tegangan otot terhadap
stimulus. Otot hanya bisa menarik yang arahnya ke tengah
otot. Tegangan pada tempat perlekatan biasanya sama.
Terdapat dua tipe kontraksi yaitu isotonik dan isometrik.
(Gambarll)

Kontrasi isometrik Kontraksikonsentrik Kontrasi eksentrik


Gambar 11. Tipe kontraksi otot.

Kontraksi isometrik terjadi apabila tegangan didalam


serabut otot tidak menyebabkan gerakan sendi . Isometrik
berarti panjang otot sama antara sebelum dan saat
kontraksi.
Kontraksi isotonik melibatkan kontraksi otot dan
gerakan sendi. Pada kontraksi isotonik ini tegangan tetap
konstan sedangpanjang otot memendek.Apabila suatu otot
menjadi aktif dan menghasilkan suatu tegangan yang
menyebabkan otot menjadi memendek dan mengakibatkan
gerakan disebut sebagai kontraksi konsentrik. Contoh
kontraksi konsentrik adalah apabila otot fleksor lengan
memendekyang mengakibatkansikumenjadifleksi. Apabila
lengan tersebut secara perlahan-lahan menurunkan beban
pada ujung lengan dari kondisi fleksi ke relaksasi secara
perlahan-lahan adalah contoh kontraksi eksentrik.

PERLEKATAN OTOT

Fascia. Fascia adalah selaput membran yang menutupi


berbagai struktur didalam tubuh. Fascia ini dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: fascia superficial, fascia dalam, dan fascia subserosa. Fascia
subserosa menutupi rongga-rongga tubuh sepanjangmembrana serosa.
Fascia superficial didapatkan persis di bawah kulit dan
menutupi seluruh tubuh. Fascia ini terdiri dari dua lapis.
Fascia ini didapatkanjuga pada fascia yang membungkus
pembuluh darah, limfe, saraf-sarafkulit, deposit lemak dan
pada daerah-daerah kusus seperti muka dan leher serta
otot-otot yang melekat ke kulit.
Fascia dalam terdiri dari sejumlah selaput membran
yang padat dan bervariasi dalam bentuk ukuran dan
kekuatanya tergantung dari fungsinya. Fascia ini terletak

2377

STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

lebih dalam dari fascia superficial dan mendukung otot


dan struktur lainya pada posisi tertentu sehingga dapat
berfungsi secara efektif untuk menghasilkan atau
membatasi gerakan. Selaput fascia di antara kelompokkelompok otot disebut septa intramuskular, yang
memungkinkan kelompok otot tersebut bergerak secara
independen. Beberapa fascia dalam ini sangat tebal dan
kuat, yang selain berfungsi untuk membungkus otot juga
berfungsi sebagai perlekatan otot. Contohnya adalah
fascia lata yang merupakan tempat perlekatan
musculus tensor fascia lata dan gluteus maximus.
Tendon dan aponeurosis.Sebuah tendon terdiri dari
sejumlah serabut kolagen putih yang berfungsi untuk
menghubungkan otot dan perlekatanya di tulang. Pada
tempat perlekatan tersebut serabut-serabut ini akan
menyebar ke periosteum. Bentuk tendon bervariasi
tergantung dari fungsinya. Beberapa tendon berbentuk
seperti ekor misalnya tenton otot hamstring, ada j uga yang
berbentuk lebar dan ceper yang disebut aponeurosis seperti
aponeurosis pada otot-otot daerah abdominal.
Origo dan insersio. Perlekatan dari otot anggota gerak
disebut origo dan insersio. Para ahli anatomi menjelaskan
origo otot adalah perlekatan ke arah yang lebih proksimal,
sedang insersio adalah perlekatan ke arah yang lebih
distal. Beberapa ahli lain menjelaskan bahwa perlekatan
yang biasanya stasioner pada suatu gerakan otot disebut
origo, sedang perlekatan yang lebih bergerak (more
moveable attachment site) disebut insersio.

SISTEM SARAF

Sistem saraf dan hormon memiliki tugas untuk memelihara


sejumlah aktivitas tubuh dan mempersiapkan respons
tubuh terhadap lingkungan ekstemal. Sistem saraftersebar
luas di dalam tubuh. Jmpuls saraf dapat ditransmisikan
jaringan saraf dari satu akhiran sarafke akhiran sarafyang
lain, sehingga banyak didapatkan interkoneksi yang
mengakibatkan aktivitas pada satu daerah di tubuh dapat
dipengaruhi oleh kejadian di daerah tubuh yang lain.
Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat
dan perifer. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medulla
spinalis, sedang saraf perifer terbentuk dari saraf-saraf
yang membawa impuls antara sistem saraf pusat dan otot,
kelenjar, kulit serta organ-organ lainnya. Saraf perifer
berdasarkan fungsinya dibagi atas serabut saraf motorik,
sensorik, dan autonom. Pada bah ini dibatasi pada saraf
perifer.

sel yang paling kompleks dari sel tubuh. Sel saraf memiliki
sebuah inti dan sitoplasma seperti sel yang lain, tetapi
sitoplasmanya memanjang diluar badan sel membentuk
tonjolan- tonjolan (processus) yang memanjang.
Processus yang panjang disebut axon, sedang yang
pendek disebut dendrit

BADAN SEL ( CELL BODY)

Di dalam badan sel terdapat sebuah inti besar, sejumlah


granula (dark-staining granule) yang disebut Niss!
bodies, filamen-filamen yang disebut neurofibril,
mitokondria, badan golgi, sejumlah lemak dan granula
berpigmen. Badan sel hampir selalu tidak memiliki
centrosome yang mencerminkan bahwa sel saraf tidak
mampu mengadakan mitosis dan tidak di reproduksi, sekali
badan sel mati maka tidak akan diganti lagi. Hampir seluruh
badan sel terdapat didalam sistem saraf pusat, hanya
sebagian kecil yang berada diluar, yang biasanya
berkelompok disebut ganglion yang dikelilingi oleh
jaringan ikat. Di dalam otak dan medulla spinalis badan sel
ini berkelompok disebut nukleus.

PROCESSUS

Processus saraf mengandung sitoplasma dan neurofibril.


Processus ini menentukan klasifikasi neuron. Neuron
disebut unipolar bila satu processus menempel pada badan
sel. Neuron bipolar bila didapatkan dua processus yang
terpisah sedang neuron multipolar adalah neuron dengan
beberapa processus pendek dan satu processus panjang.
(Gambar12)

Gambar 12. Neuron

AXON
ANATOMI NEURON

Unit anatomi dan fungsional dasar dari sistem saraf adalah


sel saraf atau neuron. Secara struktural sel saraf merupakan

Processus panjang dari sebuah neuron disebut axon. Axon


keluar dari badan sel pada daerah yang bebas dari Niss!
granule yang disebut axon Hillock. Panjang axon
bervariasi bisa pendek seperti neuron-neuron yang

2378
terdapat pada medulla spinalis, tetapi ada juga yang sampai
satu meter seperti neuron yang ke otot skeletal.
Axon ini kemudian membentuk cabang-cabang yang lebih
kecil sampai ke tempat terakhimya sebagai sebaran dari
serabut-serabut. Axon mengandung neurofibril tetapi
tidak mengandung Niss! granule dan dibungkus oleh
selaput tipis yang disebut axolemma. Beberapa
serabut juga dibungkus oleh bahan lemak yang disebut
myelin. Serabut yang demikian disebut myelinated atau
medulated fiber. Di luar sistem saraf pusat, axon akan
dibungkus lagi oleh selaput dari Schwann atau
neurilemma.
Pada axon yang bermyelin pada interval-interval
tertentu terdapat lekukan yang disebut nodes of Ranvier,
disini bisa keluar cabang axon. Daerah di antara dua
lekukan ini di tutupi oleh satu sel Schwann.

DENDRIT
Processus-processus ..pendek dari neuron multipolar
disebur dendrit. Dendrit mengandung Niss/ granule dan
neurofibril. Dendrit ini sering berhubungan dengan banyak
akhiran dari neuron yang lain.

NEURON AFEREN DAN EFEREN


Pada keadaan normal suatu impuls saraf akan bergerak
sepanjang neuron hanya satu arah. Pada neuron
multipolar, dendrit selalu membawa impuls ke badan sel,
sedang axon akan membawa impuls keluar sel. Beberapa
neuron hanya membawa impuls ke badan sel saraf yang
disebut neuron sensoris atau aferen, beberapa hanya
membawa impuls keluar badan sel saraf yang disebut
neuron motoris atau eferen. Di dalam otak dan medulla
spinalis terdapat neuron-neuron lain yang berfungsi
sebagai penghubung antara neuron sensoris dan motoris,
atau yang menyampaikan impuls ke pusat. Neuron ini
disebut neuron asosiasi atau intemeuron.

SARAF
Saraf adalah satu berkas serabut yang dibungkus oleh
jaringan ikat. Saraf motoris hanya mengandung serabutserabut motoris, saraf sensoris hanya mengandung serabut
sensoris dan saraf campuran mengandung serabut sensoris
dan motoris. Sebagian besar saraf adalah tipe campuran.

AKHIRAN SARAF KHUSUS


Terdapat beberapa akhiran saraf sensoris khusus yang
disebut reseptor yang masing masing hanya responsif

REUMATOLOGI

terhadap satu tipe stimulus. Akhiran saraf khusus ini


didapatkan di mata, hidung, telingga dan lidah. Selain itu
terdapat reseptor sensoris umum yang terdapat di semua
bagian tubuh yang responsif terhadap nyeri, perubahan
suhu, sentuhan dan tekanan. Reseptor yang paling
sederhana adalahfree nerve ending yang menghantarkan
stimulus nyeri. Reseptor-reseptor yang lain diselimuti oleh
jaringan ikat. Contoh dari reseptor ini adalah Meissner 's
corpuscle yang responsif terhadap sentuhan, Ruffini dan
Krause yang merupakan thermoreceptor, Paccini yang
responsif terhadap sentuhan dalam atau tekanan dan
Stretch receptor (muscle spindle) yang terdapat pada otot
dan tendon untuk proprioseptif.

SAMBUNGANNEUROMUSKULAR
Sistem saraf berkomunikasi dengan otot melalui
sambungan neuromuskular. sambungan neuromuskular ini
bekerja seperti sinap antar neuron yaitu :
1. Impulse sampai pada akhiran saraf
2. transmiter kimia dilepaskan dan berdifusi melewati/
menyeberangi celah neuromuskular
3.
Molekul transmitermengisi reseptorpada membran otot dan
meningkatkan permeabilitas membran terhadap
natrium
4. Natrium kemudian berdifusi ke dalam membran dan
menyebabkanpotensialmembranmenjadikurangnegatif
5. Apabila nilai ambang potensial terlampaui akan terjadi
potensial aksi dan impuls akan berjalan sepanjang
membran sel otot dan mengakibatkan otot berkontraksi
Otot skeletal tidak akan berkontraksi tanpa stimulasi
dari neuron, sedang otot polos dan otot jantung
berkontraksitanpa stimulasisaraf, tetapi kontraksinyadapat
dipengaruhi oleh sistem saraf

ENDOTELVASKULAR
Seluruh sistem peredaran darah dilapisi oleh endotel
vaskular. Pada awalnya endotel hanya dipandang
sederhana sebagai barier permiabel pasif, akan tetapi pada
saat ini banyak fungsi penting lainnya yang sudah dikenali.
Secara anatomi, endotel vaskular memisahkan antara
kompartemen intra dan ekstra vaskular, menjadi barier
selektif yang permiable, dan merupakan suatu lapisan yang
nontrombogenic.
Perubahan struktur dan fungsi endotel mengakibatkan
perubahan interaksinya dengan sel-sel serta komponen
makromolekul dalam sirkulasi darah dan jaringan di
bawahnya. Perubahan ini termasuk meningkatnya
permeabilitas endotel terhadap lipoprotein plasma,
modifikasioksidatifdari lipoproteintersebut, meningkatnya
adesi leukosit, ketidakseimbangan antara fungsi pro dan

2379

STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

Ujung sarafbebas (nyeri)

Badan Ruffini (panas)

Badan Pacini (tekanan)

Muscle spindle
(proprioseptif)

Badan Meissner (raba)

Badan Krause (dingin)

Gambar 13. Reseptor sensoris

AAson neuron mo to rik

Sen.mg mTelln

Terminal akson

Perambatan potens (al aks l


d i neuron motor ik

Salura[l kats jum

Termina l button
Vesikel es etiko il ll

--'
Membra;,' p lasma
serat otot

AsetHko llrieslaras~

Gambar 14. Sambungan Neuromuskular


1. Aksi potensial ke terminal button saraf motorik; 2. ion Ca" masuk kedalam terminal button; 3.
eksositosis vesikel ACh; 4. ACh berdifusi ke ruang antara sel saraf dan sel otot dan berikatan
dengan reseptornya(AChR) di motor end plate sel otot; 5. Ion Na' masuk ke dalam sel otot sehingga
menghasilkan aksi potensial di motor end plate; 6. Aksi potensial merambat ke seluruh serat otot; 7.
ACh diuraikan oleh asetilkolinesterasedi membran otot dan mengakhiri respons sel otot

anti trombotik dari faktor lokal, growth stimulator,growth


inhibitor, dan substansi vasoaktif. Manifestasi perubahan
struktur dan fungsi endotel ini disebut dengan disfungsi
endotel, yang berperanan pada inisiasi, progresi dan
komplikasi dari berbagai bentuk penyakit inflamasi dan
degenerasi. Growth promoting factors untuk sel endotel
seperti vascular endothelial growth factor (VEGH)
dibentuk pada tempat inflamasi, mengakibatkan
penyimpangan respons angiogenik.Pada artritisreumatoid,

pembuluh darah yang baru ini mempunyai peranan


penting dalam membentuk dan mempertahankan pannus,

ANATOMI DAN FUNGSI DARI ENDOTEL NORMAL

Lokasi endotel merupakan faktor penting dalam


interaksinya dengan sel didalam peredaran darah dan
jaringan
sekitarmya.

2380

REUMATOLOGI

Endotel memegang peranan penting pada sistem


koagulasi dan fibrinolitik. Beberapa mekanisme
antikoagulan alamiah berkaitan dengan endotel dan
ekspresinya bervariasi tergantung dari vaskular bed. Hal
ini meliputi mekanisme heparin-antitrombin, mekanisme
protein C-trombomodulin,
dan tissue plasminogen
aktivator mechanism. Disfungsi sel endotel dapat
mengaktifkan sifat protrombotik dari trombosit yaitu
sintesis kofaktor adesif, seperti faktor van Willebrand,
fibronectin, dan thrombospondin; komponen prokoagulan
seperti faktor V dan inhibitor jalur fibrinolitik dikenal
sebagai plasminogen activator inhibitor-I, yang
mengurangi kecepatan penghancuran fibrin. Sehingga
endotel mempunyai peranan "pro" dan "anti" hemostaticthrombotic.
Sebelum ditemukannya endothelium-derived relaxing
factor (EDRF), "irarna" kardiovaskular dipandang hanya
sebagai fungsi dari respons otot polos vaskular terhadap
rangsangan saraf atau hormon di sirkulasi. Ditemukanya
EDRF sebagai nitric oxide endogen dan pengenalan
terhadap mekanisme kerjanya pada vasodilatasi,
pertahanan sel dan ekspresi gen telah banyak meningkatkan
pengertian kita terhadap regulasi "irama" vaskular.
Sejumlah substansi dari endotel menyeimbangkan aksi
vasorelaksasi dari nitric oxide dan prostasiklin.
Vasokonstriktor ini termasuk angiotensin II yang
dihasilkan permukaan endotel oleh angiotensin-converting enzim; platelet-derived growth factor (PDGF), yang
disekresi oleh sel endothel dan bekerja sebagai agonis
dari kontraksi otot polos; dan endothelin 1 yang merupakan
vasokonstriktor yang unik.
Endotel vaskular menghasilkan bermacam-macam
sitokin, growth factor dan growth inhibitor yang bekerja

lokal untuk mempengaruhi perilaku sel-sel vaskular yang


berdekatan dan beriteraksi dengan elemen darah.

DISFUNGSI ENDOTEL I ENDOTEL TERAKTIVASI

Kerusakan atau aktivasi dari endotel dapat menyebabkan


induksi gen yang pada keadaan fisiologis tertekan. Banyak
faktor yang mempengaruhi ekspresi gen endotel selama
inflamasi. Penyebabnya dapat berupa perubahan
henodinamik, sitokin atau protease lokal, infeksi virus,
radikal bebas dan lipid teroksidasi.

EKSPRESI DARI MOLEKUL ADESI LEUKOSIT

Interaksi molekuler antara leukosit dalam sirkulasi dan


endotelmemegangperananpenting pada inflamasi.Netrofil
dan monosit menghasilkan parakrin growth faktor dan
sitokin, faktor sitotoksik terhadap sel tetangga, dan
menyebabkan degradasi darijaringan ikat lokal. Langkah
pertama pengambilan leukosit ke subendotelial adalah
melalui penempelan (attachment) sel leukosit ke endotel.
Endotel yang sehat tidak akan mengikat leukosit. Tetapi
neutrofil,monosit, dan limfositakan terikat dengan molekul
adesi leukosit yang baru terekspresi pada permukaan
endotel sebagai respons terhadap agen-agen aktivator
seperti interleukin 1, tumor nekrosis faktor a lipopolisakarida dan lipid teroksidasi.
Proses penempelan dan diapedesis leukosit melibatkan
sejumlah molekul adesi dan kemokin. Endotel dan
leukosit memainkan peranan yang aktif dalam proses ini,
termasuk memulai rolling atau thetering, signaling

( Activation )

Cytokines

Viral infection

Leukocyte Adhesion
Procoagulant Activity

Growth factors/
Chemoattractants

Gambar 15. Proses terjadinya disfungsi endotel.


Sejumlah stimulator yang berperanan terhadap proses aktivasi sel endotel. Sejumlah respons
dari endotel yang dikaitkan dengan progresi dari penyakit vaskular dan inflamasi. Dikutip dari
Vaskular endothelium. Klippel J.H.K. Primer on the rheumatic Diseases. 121h ed, Canada :
Arthritis
Foundation.
2001;
29-31

2381

STRUKTURSENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

process, strong attachment step dan migrasi sel


transendotel dari leukosit. Banyak yang sudah dipelajari
dari proses ini melalui genetika dari tikus dan bermacammacam model inflamasi.

PRODUKSI GROWTH FACTORMELALUI AKTIVASI


ENDOTEL

Endotel teraktivasi merupakan sumber penting growth


factor untuk set otot polos dan' fibroblast. Plateletderived groth factor (PDGF), mitogen yang berperanan
pada penyembuhan Iuka dan aterosklerosis, diekspresikan
oleh sel endotel. Penginduksi alamiah paling efektif
produksi PDGF oleh sel endotel adalah n-trombin, yang
merupakan komponen protease dari sistem koagulasi yang
meningkatkanekspresi gen PDGF melaluimekanisme yang
unik. Endotel juga memproduksi growth faktor lainnya
untuk sel-seljaringan ikat seperti insuli-like growthfaktor
1, basicfibroblast growthfactor dan transforming growth
factor /3. Mitogens ini berperanan pada fibrosis yang
terlihat pada banyak penyakit inflamasi.

REFERENSI
Dicorleto P.E. Vaskular endothelium. Klippel J.H.K. Primer on the
rheumatic Diseases. 12th ed, Canada : Arthritis Foundation. 200 I;
29-31
Isbagio H, Setiyohadi B. Sendi, membran sinovia, rawan sendi dan
otot skelet. Dalam Noer Syaifullah. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ketiga. 1996 : 1-6.
Human physiology : Muscle (cited 2005 Sept). Available from :
http//people.eku.edu.
Langley LL, Telford IR, Christensen JB. Dynamic anatomy and
physiology. 5 th' Mc. Graw-Hill. New York. 1980 : 112 - 40.
Langley LL, Telford lR, Christensen JB. Dynamic anatomy and
physiology. 5 thedMc. Graw-Hill. New York. 1980: 212 - 28.
Landau RB. Essential human anatomy and physiology. 2 00 ed. Scott
and Foresman . London . 1980 : 219-34.
Park K.D, Comblath D.R. Peripheral Nerves. Klippel J.H.K. Primer
on the rheumatic Diseases. 12th ed, Canada : Arthritis Foundation.
200
I;
31-33.

377
STRUKTUR DAN BIOKIMIA
TULANG RAWAN SENDI
Harry Isbagio

Rawan sendi normal merupakan jaringan ikat khusus


avaskular dan tidak memilikijaringan sarafyang melapisi
permukaan tulang dari sendi diartrodial. Tulang rawan
sendi berperan sebagaibantalan yang menerima (meredam)
beban benturan yang terjadi selama gerakan sendi normal
dan meneruskannya ke tulang di bawah sendi.
Rawan sendi terdiri dari zona superfisial ( disebut pula
zona tangensial), zona tengah (disebut pula zona intermediate atau transisional), zona dalam (deep)(disebut pula
zona radial atau radiate) dan zona kalsifikasi (calcified).
Densitas sel yang paling tinggi pada permukaan sendi,
makin ke dalam makin berkurang. Se! berbentukpipih (flat)
pada zona superfisial, karena pada daerah inilah j aringan
terpajan maksimal pada gaya gesekan, gaya menekan dan
regangan dari persendian. Di zona tengah, sel berbentuk
bulat dan dikelilingi suatu matriks ekstraselular yang padat.
(Lihat Gambar 1)
Keunikan dari rawan sendi terletak pada komposisi dan
struktur matriks ekstraselular yang terutama mengandung
agregat proteoglikan dalam konsentrasi tinggi dalam
sebuah ikatan yang erat dengan serabut kolagen dan
sejumlah. besar air. Pelumasan oleh cairan sendi
memungkinkan berkurangnya gesekan antara permukaan
tulang rawan sendi artikuler pada pergerakan.

proteoglikan berukuran besar yaitu agrekan.Pada manusia


dewasa normal,kondrositmenempati kurang dari 2% volum
total dari tulang rawan sendi.

Apoptosisassociated with cartilage


degradaOOn and fibrill ation

Cbonaroc)1a f'tilllCs11on
/ and clus tering
Apoplosis assoc iated

glono chondrocyte hypertrophy,


Roog ncreaseofPTI-1rPandils
f
.lreceptor, type X co agen
,
annexinV
TypeVl collagen increased

Increased synthesis
of type II p rocolageo

Newfufarra
011!inllllldelt\nl

lncreasedcon en o
t f
agg ecan, decorin, lbiglycan
Ci."llrlfred

Partlycaltilage
hypertroph c cartilage

2382

dfibnlatioo

Upregulation ofcytokineexpression,
eg , IL -1, TNF-u

KONDROSIT
Tulang rawan sendi hanya mempunyai satu sel spesialis
yang berperan dalam sintesis dan pemeliharaan matriks
ekstraselular yang dikenal sebagai kondrosit. Lebih dari
70% komponen tulang rawan sendi artikuler adalah air,
sedangkan 90% dari bagian tulang rawan sendi kering
mengandung 2 komponen utama yaitu kolagen tipe II dan

with car11lage

deg-adationan
/

Blk

'

Subchoridra
bore
Angiogenesis

reactivated

(previouslyseenduring growlh)

Subchondral

bone marrow

Gambar 1. Perubahan pada tulang rawan sendi OA yang


melibatkan kondrosit dan matriks ekstraselular. Dikutip dari Poole
AR,
Howell DS.
Etiopathogenesis of osteoarthritis.

2383

STRUK.TUR DAN BIOKIMIA TULANG RAWAN SENDI

KOLAGEN

Matriks ekstraselular terutama mengandung kolagen


(sebagian besar kolagen tipe II dan sejumlah kecil kolagen
tipe lain seperti kolagen tipe IX dan tipe XI) dan
proteoglikan (terutama agrekan, yang berukuran besar dan
beragregrasi dengan asam hialuronat). (Tabel 1)
label 1 Komposisi Tulang Rawan Sendi Artlkular Normal
Komposisi
Air
Matriks Kolagen
tipe II
Proteoglikan
Hialuronan
Kondrosit
Anorganik

Jumlah(%)
66-78%
22-34%
48-62%
22-38%
<1%

0.4 - 2%
5-6%

Kolagen tipe II, IX dan XI dari tulang rawan sendi


membentuk anyaman fibriler yang merupakan struktur
penyangga dari matriks dalam bentuk serabut inhomogen
dan anisotropik yang dikelilingi oleh larutan yang kaya
akan proteoglikan yaitu agrekan.(Gambar 2)

Kolagen tipe II didegradasikan oleh enzim proteolitik


yang disekresi oleh kondrosit dan sinoviosit, antara lain
matriks metaloproteinase (MMP) seperti kolagenase
(MMP1, MMP8, MMP13), membrantipe MMP (MT-MMPs),
gelatinase dan stromelisin (terutama Stromelisin-1=SLN-1
yang disebut pula sebagai MMP-3). Selain matriks
metaloproteinase (MMP) terdapat pula kelompok proteinase lain yang dipercaya berperan pula dalam degradadasi
matriks ekstraselular yaituADAMTS (a disintegrin and a
metalloprotease with thrombospondin motifs).
Aktivasi MMP diregulasi oleh oleh inhibitor endogen
alami yang disebut sebagai Tissue inhibitors of
metalloproteinase (TIMP) yang bereaksi dengan MMP
aktif
dalam
rasio
molar
1:
1

PROTEOGLIKAN

Proteoglikan merupakan suatu makromolekul kompleks


yang memiliki protein inti, tempat melekat rantai
glikosaminoglikan. Glikosaminoglikan dari tulang rawan
sendi artikuler terutamakondroitin sulfat dan keratan sulfat.
Glikosaminoglikanyang dalam larutan berrnuatan negatif
mempunyai peranan pada hidrasi dan pengembangan
jaringan terhadap suatu tekanan. Dalam jaringan tulang
rawan sendi ditemukan pula sejumlah proteoglikan lain
yang berukuran kecil serta sejumlah molekul lain yang
mungkin berhubungan langsung dengan fibril kolagen.

Gambar 2. Organisasi dari fibril kolagen tipe 11, mengandung


kolagentipe IX dan tipe XI, dan proteoglikanagrekanyang mengikat
asam hialuronat (HA) dalam matriks ekstraselular tulang rawan
sendi artikuler Oikutip dari Poole AR, Howell OS. Etiopathogenesis of osteoarthritis.

Sintesis kolagen tipe II berjalan seiring dengan sintesis


glikoprotein lainnya yang disekresi oleh kondrosit.
Beberapa saat setelah sekresi, segera seteiah molekul
mencapai ruang ekstraselular maka domain non-helikal
pada kedua ujung heliks amino-terminal tipe II dan
karboksi-terminaltipe II prokolagen-propeptide= (PIINPdan
PIICP) akan terpotong dari domain helikal. Jadi PIINP dan
PIICP dapat digunakansebagai marker dari sintesiskolagen.

::::>--

--<

Chondroitin sulfate chain (n=100)


keratan sulfate chain (n=30)
N-linked oligosaccharldes
0- linked oligosaccharide (n=42)
Region ofprimary cleavage sites

by

MMPs

and aggrecanase(s)

Gambar 3. Struktur proteoglikan agrekan dan link protein, yang


berikatan satu sama lain dan dengan hialuronan melalui domain
globular G1. Oikutip dari Poole AR, Howell OS .

2384

REUMATOLOOI

Tabel 2. Komponen Matnks Ekstraselular


Art1kular

Tulang Rawan-sendi

Molekul
Kolagen
Tipe II

Stuktur dan Ukuran

Fungsi dan Lokasi

[o.1(11)],

Tipe IX

u1(1X) u2(1X) o.3(1X)


Rantai OS atau CS
tunggal
u1(XI) u2(XI) a3(XI)

Kekualan rentang ;
Kolagen fibril utama
Regulasi ukuran
fibril;cross-link ke
kolagen tipe II
Kekuatan rentang;
periseluler di antara
fibril tipe II
Mikrofibril pada ruang
periseluler
Berhubungan dengan
fibril kolagen dalam
perikondrium dan
permukaan artikuler
Berhubungan dengan
fibril kolagen di
seluruh tulang rawan
sendi artikuler

TipeXI
TipeVI
Tipe XII

cx1(VI) o.2(VI) a3(VI)


Mikrofibril
[u1(Xll)l,

TipeXIV

[o.1(XIV)]

Proteoglikan
Agrekan

Protein inti 255 kDa;


Rantai samping CS/KS ;
Terminal-c EGF, dan
domain seperti-lektin
\

Kekenyalan
kompresif
( Compressive
stiffness) melalui
hid rasi atau fixed
charge density

Biglikan

Protein in ti 38 kDa
dengan 2 rantai OS (76
kDa)

Berperan pada
stabilisa'si anyaman
fibril

Dekorin

Protein inti 36.5 kDa


dengan 1 rantai samping
CS atau DS
Rantai KS 4N-linked (58
kDa)

Sama dengan
bigli kan

1000-3000 kDa

Retensi agrekan di
dalam matriks
Stabilisasi perlekatan
agrekan ke HA via
Domain G1
Mengikat kolagen
tipe II dan kalsium
lnteraksi sel-matriks
Mengikat HA

Fibromodulin
Molekul lainnya
Asam hialuronat
(HA)
Protein
sambungan

38.6 kDa

(Link protein)

Anchorin C II
Sindekan
CD44
Fibronektin

Tenaskin
Trombospondin
Cartilage
oligomericmatrix
protein (COMP)

34 kDa,
membran protein integral
Membran protein intergral
ekstraseluler dengan
rantai samping HS/CS
Membran protein intergral
ekstraseluler dengan
rantai samping HS/CS
Dimer dari subunit 220
kDa
6 subunit 200 kDa
membentuk struktur
heksabraki
3 subunit 138 kDa
550 kDa; 5 subunit 110
kDa

Sama dengan
biglikan

lnteraksi sel-matriks
Mengikat HA
Perlekatan sel via
sekuen RGD
Mengikat kolagen
dan GAG
Berhubungan dengan
kondrogenesis
Pengikat kalsium
Pengikat kalsium

Agrekan merupakan proteoglikan yang mempunyai


komposisi berupa protein inti (core protein) dan rantai
glikosaminoglokan (GAG) yang melekat secara kovalen
pada protein inti. Protein inti dari agrekan mempunyai
massa molekul sebesar 230 kd dan terdiri atas 3 domain
globular (Gl,G2,G3) dan 2 domain GAG yang melekat
padanya (yaitu domain keratan sulfat = KS dan kondroitin
sulfat = CS), sehingga massa molekulnya dapat mencapai

2.200 kd. Domain G 1 mempunyai strukturyang mempunyai


3 buah loop terikat disulfid. Loop A mempunyai struktur
karateristik yang umum dikenal sebagai anggota keluarga
IgG dan terlibat pada interaksi di antara agrekan dan
link-protein. Loop B dan B' berperan dalam ikatan dengan
HA. Domain intraglobuler di antara G 1 dan G2 (IGD)
mempunyai bentuk cabang dan merupakan lokasi yang
sensitif terhadap enzim proteolitik pemotong (cleavage)
seperti Metaloprotease, aspartik protease, serin protease
(seperti plasmin dan leukosit estalase) dan sistein
protease (seperti katepsin B). Domain G2 mempunyai asam
amino yang 67% homolog dengan loop B-B' dari domain
G 1. Setelah sintesis protein inti oleh kondrosit melaluijalur
yang umum digunakan oleh molekul sekretori lainnya maka
pada protein inti dilekatkan 50 rantai KS dan 100rantai CS,
kedua karbohidrat ini merupakan 90% massa molekul.
Sebagian besar rantai KS berlokasi pada domain KS dari
terminal-C domain G2. Pada agrekan maka domain CS
merupakan domain terbesar. Domain G3 yang berlokasi
pada terminal-C mempunyai 3 modul yaitu modul-miripepidermal growth factor (EGF), modul lektin tipe-C dan
modul komplemen regulator protein. (Gambar 3)
Rawansendi normal mengandungpula sejumlahmolekul
molekul non-kolagendan non-agrekanyang dapatdigunakan
sebagai investigasi patofisiologi OA/AR. (Tabel 2)
REFERENSI
Eyre D. Collagen of articular cartilage. Arthritis Res 2002; 4:30-5.
Goldring MB. The Musculoskeletal system B.Articular cartilage. In
Klippel HJ, editor . Primer on the rheumatic diseases. 12th ed.
Atlanta: Arthritis Foundation; 200 I. p.10-6 .
Gamero P, Rousseau J-C, Delmas P. Molecular basis and clinical use
of biochemical markers of bone, cartilage and synovium in
joint diseases. Arthritis Rheum 2000:43:953-61.
Mayne R. Structure and function of collagen. In: Koopman WJ,
editor. Arthritis and Allied Conditions.A Textbook of Rheumatology. 13th ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1997, p.207-27.
Murphy Ci, Knauper V, Atkinson S, Butler G, English W, Hutton M,
et al. Matrix metalloproteinases in arthritic disease. Arthritis
Res 2002; 4 (suppl 3): S39-S49.
Mort JS, Billington CJ. Articular cartilage and changes in arthritis.
Matrix degradation. Arthritis Res 2001; 3:337-41.
Sandy JD .Plaas AHK, Rosenberg L. Structure, function and
metabolism of cartilage proteoglycan. In : Koopman WJ,
editor. Arthritis and Allied Conditions. A Textbook of Rheumatology. 13th ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1997, p. 229-41.
Poole AR. Cartilage in health and disease. In : Koopman WJ, editor.
Arthritis and Allied Conditions. A Textbook of Rheumatology.
13th ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1997, p. 255-308.
Poole AR, Howell DS. Etiopathogenesis of osteoarthritis. In:
Moskowitz WR, Howell DS, Altman RD, Buckwater JA, Goldberg
VM editors. Osteoarthritis. Diagnosis and Medical/surgical
Management. 3,d ed. Philadelphia: WB Saunders; 2001,p.29-47.
Roughley PJ. Articular cartilage and changes in arthritis.
Noncollagenous and proteoglycans in the extracellular matrix
of cartilage. Arthritis Res 2001; 3 :342- 7.

378
STRUKTUR DAN METABOLISME TULANG
Bambang Setiyohadi

Tulang adalah organ vital yang berfungsi untuk alat gerak


pasif, proteksi alat-alat didalam tubuh, pembentuk tubuh,
metabolisme kalsiuln dan mineral, dan organ hemopoetik.
Tulangjuga merupakanjaringan ikat yang dinamis yang
selalu diperbarui melalui proses remodeling yang terdiri
dari proses resorpsi dan formasi. Dengan proses resorpsi,
bagian tulang yang tua dan rusak akan dibersihkan dan
diganti oleh tulang yang barn melalui proses formasi.
Proses resorpsi dan formasi selalu berpasangan. Dalam
keadaan normal, massa tulang yang diresorpsi akan sama
dengan massa tulang yang diformasi, sehingga terjadi
keseimbangan. Pada pasien osteoporosis, proses resorpsi
lebih aktif dibandingkan formasi, sehingga terjadi defisit
massa tulang dan tulang menjadi semakin tipis dan
perforasi.
Sebagaimana jaringan ikat lainnya, tulang terdiri dari
komponen matriks dan sel. Matriks tulang terdiri dari seratserat kolagen dan protein non-kolagen. Sedangkan sel
tulang terdiri dari osteoblas, osteoklas dan osteosit.
Osteoblas adalah sel tulang yang bertangung jawab
terhadap proses formasi tulang, yaitu berfungsi dalam
sintesis matriks tulang yang disebut osteoid, yaitu
komponen protein darijaringan tulang. Selain itu osteoblas
juga berperan memulai proses resorpsi tulang dengan cara
membersihkan permukaan osteoid yang akan diresorpsi
melalui berbagai proteinase netral yang dihasilkannya.
Pada permukaan osteoblas, terdapat berbagai reseptor
permukaan untuk berbagai mediator metabolisme tulang,
termasuk resorpsi tulang, sehingga osteoblas merupakan
sel yang sangat penting pada bone turnover.
Osteosit merupakan sel tulang yang terbenam didalam
matriks tulang. Sel ini berasal dari osteoblas, memiliki
juluran sitoplasma yang menghubungkan antara satu
osteosit dengan osteosit lainnya dan juga dengan bone
lining cells di permukaan tulang. Fungsi osteosit belum
sepenuhnya diketahui, tetapi diduga berperan pada

transmisi signal dan stimuli dari satu sel dengan sel


lainnya. Baik osteoblas maupun osteosit berasal dari sel
mesenkimal yang terdapat didalam sumsum tulang,
periosteum, dan mungkin endotel pembuluh darah. Sekali
osteoblas selesai mensintesis osteoid, maka osteoblas akan
langsung berubah menjadi osteosit dan terbenam didalam
osteoid yang disintesisnya.
Osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab
terhadap proses resorpsi tulang. Pada tulang trabekular,
osteoklas akan membentuk cekungan pada permukaan'
tulang yang aktif yang disebut lakuna Howship. Sedangkan
pada tulang kortikal, osteoklas akan membentuk kerucut
sebagai basil resorpsinya yang disebut cutting cone, dan
osteoklas berada di apex kerucut tersebut. Osteoklas
merupakan sel raksasa yang berinti banyak, tetapi berasal
dari sel hemopoetik mononuklear.

DIFERENSIASI OSTEOBLAS

Seperti dijelaskan di muka, osteoblas berasal dari dari


stromal stem cell atau connective tissue mesenchymal stem
cell yang dapat berkembang menjadi osteoblas, kondrosit,
sel otot, adiposit dan sel ligamen. Sel mesenkimal ini
memerlukan tahap-tahap transisi sebelum menjadi sel yang
matang. Setiap tahap transisi tersebut membutuhkan faktor
aktifasi dan supresi tertentu. Untuk diferensiasi dan
maturasi osteoblas dibutuhkan faktor pertumbuhan lokal,
seperti fibroblast growth factor FGF), bone morphogenetic proteins (BMPs) dan Wntproteins. Selain, itu juga
diubutuhkan faktor transkripsi, yaitu Core bindingfactor
1 (Cbfa 1) atau Runx2 dan Osterix (Osx). Prekursor
osteoblas ini akan berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi preosteoblas dan kemudian menjadi osteoblas
yang matur. Osteoblas selalu ditemukan berkelompok pada
permukaan tulang yang dapat mencapai 100-400 sel

2386
kuboidal per bone-forming site. Di bawah mikroskop
cahaya, osteoblas tampak memiliki inti yang bulat pada
basal sel yang berdekatan dengan permukaan tulang
dengan sitoplasdma yang basofilik kuat dan kompleks
Golgi yang prominen di antara inti dan apeks sel yang
menunjukkan aktivitas biosintesis dan sekresi yang tinggi.
Selain itu osteoblas juga memiliki retikulum endoplasmik
kasar yang berkembang baik dengan cisterna yang.
berdilatasi dan berisi granul-granul padat.
Osteoblas selalu tampak melapisi matriks tulang
( osteoid) yang diproduksinya sebelum dikalsifikasi.
Osteoid yang diproduksi oleh osteoblas tidak langsung
dimineralisasi, tetapi membutuhkan waktu sekitar IO hari,
sehingga secara mikroskopik, osteoid yang belum
dimineralisasi ini akan selalu tampak. Di belakang
osteoblas, selalu tampak sel mesenkimal yang sudah
teraktifasi dan preosteoblas yang menunggu maturasi
untuk menjadi osteoblas.
Membran plasma osteoblas kaya akan fosfatase alkali
dan memiliki resentor untuk hormon paratiroid dan
prostaglandin, tetapi- tidak memiliki reseptor untuk
kalsitonin. Selain itu, osteoblas juga mengekspresikan
reseptor estrogen dan reseptor vitamin DJ' berbagai sitokin,
seperti colony stimulatingfactor 1 (CSF-1) dan reseptor
anti nuklear factor
kB ligand (RANKL) dan
osteoprotegrin (OPG). RANKL berperan pada maturasi
prekursor osteoklas karena prekursor osteoklas memiliki
reseptor RANK pada permukaannya. Sedangkan efek
RANKL akan dihambat oleh OPG.
Cbfa 1 atau Runx2 merupakan faktor transkripsi yang
sangat penting bagi maturasi osteoblas, baik pada osifikasi
intramembranosa maupun endokondral. Cbfa 1 akan
berikatan dengan osteoblast-specific cis-acting element
(OSE2) dan mengaktifkan ekspresi osteoblast-specijic
gene, Osteokalsin (OG2). Terdapat 2 isoform Cbfal, yaitu
Tipe I dan IL Cbfa tipe I diekspresikan oleh jaringan
mesenkimal non-oseus dan sel progenitor osteoblas yang
tidak akan berubah selama diferensiasi osteoblas.
Sedangkan Cbfa 1 tipe II meningkat ekspresinya selama
diferensiasi osteoblas dan promieloblas sebagai respons
terhadap BMP-2. Cbfa 1 juga berperan pada maturasi
kondrosit.
Faktortranskripsi lain yang berperan pada diferensiasi
osteoblas adalah osterix (Osx) yang diekspresikan pada
semua tulang yang sedeang tumbuh dan dibutuhkan pada
diferensiasi osteoblas dan formasi tulang.

FAKTOR PERTUMBUHAN OSTEOGENIK


Hormon pertumbuhan ( GrowthHormone, GH). Hormon
ini mempunyai efek langsung dan tidak langsung terhadap
osteoblas untuk meningkatkan remodeling tulang dan
pertumbuhan tulang endokondral. Defisiensi GH pada
manusia akan menyebabkan gangguan pertumbuhan

REUMATOLOGI

tulang. Efek GH langsung pada tulang adalah melalui


interaksi dengan reseptor GH pada permukaan osteoblas,
sedangkan efek tidak langsungnya melalui produksi insulin-like growthfactor-1 (IGF-1).
Insulin-like Growth Factor-I dan 2 (IGF-1 dan IGF-2).
IGF merupakan growth hormone-dependent polypeptides
yang memilikiberat molekul7.600. Ada 2 macam IGF, yaitu
IGF I dan IGF II, yang disintesis oleh berbagai macam
jaringan, termasuk tulang, dan mempunyai efek biologik
yang sama, walaupunIGF I lebihpoten4-7 kali dibandingkan
IGF II. IGF I mempunyai efek merangsang sintesis matriks
dan kolagen tulang dan juga merangsang replikasi sel-sel
turunan osteoblas. Selain itu, IGF I juga menurunkan
degradasi kolagen tulang. Dengan demikian IGF I
memegang peranan yang penting pada formasi tulang dan
juga berperan mempertahankan massa tulang. Berbagai
faktor sistemik dan lokal turut berperan mengatur sintesis
IGF-1 oleh osteoblas, antara lain, estrogen, PTH, PGE2 dan
BMP-2, sedangkan PDGF dan glukokortikoidmenghambat
ekspresiIGF-1dan 1,25(0H)p3, TGFbdanFGF-2merniliki
efek stimulator dan inhibitor ekspresi IGF-1. Didalam
sirkulasi, IGF akan terikat pada IGF binding proteins
(IGFBPs). Sampai saat ini telah ditemukan 6 IGFBP yang
diproduksi oleh sel tulang, dan jumlah yang terbanyak
adalah IGFBP-3. IGFBP memiliki afinitas yang tinggi
terhadap IGF, menghambat interaksi IGF dengan
reseptomya dan mempengaruhi aksi IGF.
Bone Morphogenetic Proteins (BMPs). Merupakan
anggota superfamili TGFP, terdiri dari BMP-2 sampai - 7.
BMP disintesis oleh jaringan skeletal dan ekstraskeletal,
sedangkan BMP-2, -4 dan -6 disintesis oleh sel-sel seri
osteoblas dan berperan pada diferensiasi osteoblas. Selain
itu BMPs juga berperan pada osifikasi endokondral dan
kondrogenesis.
Protein Wot. Protein Wnt memiliki aktivitas yang sama
dengan BMP dan menginduksi diferensiasi sel. Signat Wnt
yang optimal pada osteoblas membutuhkan lipoprotein
receptor-related protein 5 (LRP 5). LRP 5 diekspresikan
oleh osteoblas dan sel stromal dan distimulasi oleh BMP.
Mutasi yang menyebabkan inaktifasi LRP 5 menyebabkan
penurunan densitas tulang sedangkan mutasi yang
menyebabkan LRP 5 resisten terhadap inaktifasi
menyebabkan peningkatan massa tulang.
TGF ~- Merupakan polipeptida dengan BM 25.000. Pada
mamalia didapatkan 3 isoform yang memiliki aktivitas
biologik yang sama dan diekspresikan oleh sel tulang dan
sel osteosarkoma, yaitu TGF Pl, TGF P2 dan TGF P3. TGF
p berfungsi menstimulasi replikasi preosteoblas, sintesis
kolagen dan menghambat resorpsi tulang dengan cara
menginduksi apoptosis osteoklas.
Fibriblast Growth Factors (FGFs). FGF I dan 2 adalah
polipeptida dengan BM 17.000, bersifat angiogenik dan

2387

S1RUICTURDAN METABOUSME TULANG

berperan pada neovaskuiarisasi, penyembuhan Iuka dan


reparasi tuiang. FGF 1 dan 2 akan merangsang repiikasi seI
tuiang sehingga popuiasi sel tersebut meningkat dan
memungkinkan terjadinya sintesis koiagen tuiang.
Walaupun demikian, FGF tidak akan meningkatkan
diferensiasi osteobias secara Iangsung. Seiain itu, FGFjuga
memilikiperan yang keciIpada resorpsitulang,yaitu dengan
meningkatkan ekspresi MMP 13 yang berperan pada
degradasi kolagen dan remodeling tulang.
Platelet-Derived Growth Factor (PDGF). Merupakan
polipeptida dengan BM 30.00 dan pertama kaii diisoiasi
dari trombosit dan diduga berperan penting pada awal
penyembuhanIuka. PDGFmerupakandimeryang dihasilkan
oleh 2 gen, yaitu PDGF-A dan -B. PDGF-AB dan -BB
merupakan isoform yang terbanyak didapatkan dalam
sirkulasi. Sama dengan FGF, PDGF berfungsi merangsang
replikasi sel dan sintesis koiagen tulang. Selain itu PDGFBB juga berperan meningkatkan jumlah osteoklas dan
menginduksi ekspresi MMP 13 oleh osteoblas.
Vascular Endothelial Growth Factors (VEGF).
Merupakan polipeptida yang berperan pada angiogenesis
yang sangat penting pada perkembangan skeletal.
Osteoblas mengekspresikan 2 tipe reseptor VEGF, yaitu
VEGFR-1 dan -2. VGEF berperan sangat penting pada
osifikasiendokondral.Selamaosifi.kasi endokondral,terjadi
invasi pembuluh darah kedalam rawan sendi selama
mineralisasi matriks, apoptosis kondrosit yang hipertrofik,
degradasimatriksdan formasi tulang.InaktifasiVEGF pada
tikus yang berumur 24 hari menyebabkanpenekanan invasi
pembuluh darah, peningkatan zona hipertrofik kondrosit
dan gangguan formasi tuiang trabekular.

REGULASI HORMONAL FORMASI TULANG

Steroid dan hormon polipeptida berperan pada


pertumbuhan osteoprogenitor dan pertumbuhannya
menjadi osteoblas yang matur. PTH berperan pada
pertumbuhan populasi osteoprogenitor sedangkan PTHrP
berperan pada diferensiasi osteoblas. Glukokortikoid
berperan pada diferensiasi sel mesenkimal menjadi
osteoblas in vitro, tetapi penggunaan glukokortikoid untuk
pengobatan justru menghambat formasi tuiang dan
menyebabkan osteoporosis. Vitamin D [l,25(0H)p3]
merupakan regulator trsnkripsi gen yang poten yang
berperan meningkatkan atau menurunkan ekspresi
berbagai gen fenotip osteoblas, misalnya meningkatkari
sintesis osteokaisin. Hormon steroid seks memiliki efek
anabolik terhadap tuiang dan osteoblas. Asam retinoat
berperan pada pertumbuhantulang selama masa embrional.
Andrenomedulin berperan pada pertumbuhan osteobias.
Leptin yang disekresikan oleh jaringan adiposa dan
osteoblasmemiliki efek anabolik terhadap osteoblas. Selain
itu leptin juga dapat mebnginduksi apoptosis seI stromal

sumsum tulang. Nampaknya leptin merupakan regulator


yang penting
pada sel tulang dan mengkontrol
pertumbuhan tulang dan aktivitas osteoblas melalui
berbagai mekanisme.

OSTEOKLAS DAN REMODELING TULANG

Setelah pertumbuhan berhenti dan puncak massa tulang


tercapai, maka proses remodeling tulang akan dilanjutkan
pada permukaan endosteal. Osteoklas akan melakukan
resorpsi tulang sehingga meninggalkan rongga yang
disebut lakuna Howship pada tulang trabekular atau
rongga kerucut (cutting cone) pada tulang kortikal. Setelah
resorpsi selesai, maka osteoblas akan melakukan formasi
tulang pada: rongga yang ditinggaikan osteoklas
membentuk matriks tulang yang disebut osteoid,
dilanjutkan dengan mineralisasi primer yang berlangsung
da]am waktu yang singkat dilanjutkan dengan mineralisasi
sekunder dalam waaktu yang lebih panjang dan tempo
yang lebih lambat sehingga tulang menjadi keras.
Proses remodeling tulang merupakan proses yang
kompleks dan terkoordinasi yang terdiri dari proses
resorpsi dan formasi tuiang barn yang menghasilkan
pertumbuhan dan pergantian tulang. Hasil akhir dari
remodeling tulang adalah terpeliharanya matriks tulang
yang termineralisasi dan kolagen. Aktivitas sel-sel tulang
terjadi disepanjang permukaan tulang, terutama pada .
permukaan endosteal. Proses resorpsi dan formasi tulang,
tidak terjadi disembarang tempat disepanjang tulang, tetapi
merupakan proses pergantian tulang lama dengan tulang
baru. Pada tulang dewasa, formasi tulang hanya terjadi
bila didahului oleh prost::~ resorpsi tulang. Jadi urutan
proses yang terjadi pada tempat remodeling adalah
aktifasi-resorpsi-formasi (urutan ARF). Pada fase antara
resorpsi dan formasi (Jase reversal), tampak beberapa sel
mononuklear seperti makrofag pada tempat remodeling
membentuk cement line yang membatasi proses resorpsi
dan merekatkan tulang lama dan tulang baru.
Osteoklas yang bertanggung jawab terhadap proses
resorpsi tulang, berasal dari sel hemopoetik/fagosit
mononuklear. Diferensiasinya pada fase awal
membutuhkan faktor transkripsi PU-1 dan MiTf yang akan
merubah sel progenitor menjadi sel-sel seri mieloid.
Selanjutnya dengan rangsangan M-CSF, sel-sel ini
berubah menjadi sel-sel monositik, berproliferasi dan
mengekspresikan reseptor RANK. Selainjutnya, dengan
adanya RANK ligand (RANKL), sel ini berdiferensiasi
menjadi osteoklas.Berbeda dengan sel makrofag, osteoklas
mengekspresikan beribu-ribu reseptor RANK, kalsitonin
dan vitronektin (integrin avb3). Setelah selesai proses
resorpsi, osteoklas akan mengalami apoptosis dengan
pengaeuh estrogen. Pada defisiensi estrogen, menopause
atau ovariektomi, apoptosis osteoklas akan terhambat
sehingga terjadi resorpsi tulang yang berlebihan.

2388

REUMAlOLOGI

Proses remodeling tulang diatur oleh sejumlah hormon


dan faktor-faktor lokal lainnya. Hormon yang berperan
pada proses remodeling tulang adalah hormon paratiroid
(PTH), insulin, hormon pertumbuhan, vitamin D, kalsitonin,
glukokortikoid, hormon seks dan hormon tiroid.

mempunyai efek langsung terhadap remodeling tulang,


tetapi melalui perangsangan terhadap IGF I, GH dapat
mengatur formasi tulang. Efek langsung GH pada formasi
tulang sangat kecil, karena sel-sel tulang hanya
mengekspresikan reseptor GH dalam jumlah yang kecil.

Osteoprotegrin (OPG)/RANKL/RANK. OPG adalah

1,25-Dihydroxyvitamin-03 [1,25(0H)2D3], merupakan


hormon yang disintesis secara primer oleh ginjal dan
mempunyai fungsi yang sama dengan PTH, yaitu
merangsang resorpsi tulang dan efek ini berlangsung melalui
peningkatan ekspresi RANKL oleh osteoblas. Selain itu
1,25( 0 H\D 3 juga dapat meningkatkan sintesis osteokalsin
oleh osteoblas, menghambat sintesis kolagen tulang,
meningkatkan ikatan IGF I pada pada reseptomya yang
terdapat di sel-sel turunan osteoblas dan merangsang
selected IGF binding proteins yang dapat memodifikasi
aksi dan konsentrasi IGF. I ,25(0H)p3 juga merupakan
imunomodulator yang poten yang dapat menghambat
proliferasi sel T dan produksi IL-2.

anggota superfamili reseptor TNF yang tidak memiliki


domain transmembran sehingga akan disekresikan kedalam
sirkulasi. Ekspresi OPG akan menghambat resorpsi tulang
yang fisiologik maupun patologik. Ligand OPG hanya 2,
yaitu RANKL dan TRAIL. Perlekatanan OPG pada RANKL
akan menghambat perlekatan RANKL terhadap RANK di
permukaan progenitor osteoklas, sehingga akan
menghambat maturasi osteoklas dan resorpsi tulang. OPG
juga menghambat formasi osteoklas yang diinduksi oleh
hormon osteotropik dan sitokin,seperti I ,25(0H)p3, PTH,
PGE2, IL- I dam IL-I 1. Ekspresi OPG di sel stromal dan
osteoblas akan ditingkatkan oleh TGF~, hal ini mungkin
yang menerangkan mekanisme penghambatan resorpsi
tulang oleh TGF~. RANKL merupakan protein membran
tipe II yang diekspresikan oleh sel-sel seri osteogenik
termasuk osteoblas yang matur. Dengan pengaruh M-CSF,
RANKL akan merangsang maturasi osteoklas dan
akibatnya, proses resorpsi tulang meningkat. I ,25(0H)p3,
PTH, PGE2, IL-1b, TNF-a, IL- I 1, IL-6 dan FGF temyata dapat
meningkatkan kadar mRNA RANKL. RANK adalah
protein transmembran tipe I, yang merupakan anggota
superfamili TNFR dan satu-satunya reseptor untuk
RANKL. RANK diekspresikan pada permukaan osteoklas
dan berperan pada diferensiasi osteoklas dari sel progenitor hematopoetik dan aktifasi osteoklas yang matur.
Overekspresi RANK pada fibroblas embrio manusia
menginduksi aktifasi ligand independen NF-kB dan
berhubungan dengan peningkatan diferensiasi dan
maturasi osteoklas yang independen terhadap RANKL.

Hormon paratiroid berperan merangsang formasi dan


resorpsi tulang in vitro maupun in vivo, tergantung pada
cara pemberiannya apakah intermiten atau terus menerus.
Mekanisme kerja yang berbeda ini tidakjelas, tetapi diduga
melalui jalur Cbfa, karena Cbfa merupakan faktor transkripsi
untuk diferensiasi osteoblas, selain itu Cbfa juga mengatur
ekspresi llANKL. Jadi efek PTH terhadap osteoklas tidak
bersifat langsung karena osteoklas tidak memiliki reseptor
PTH. Selain PTH, PTHrP juga memiliki efek bifasik terhadap
tulang.
Insulin mempunyai peranan dalam merangsang sintesis
matriks tulang dan pembentukan tulang rawan. Selain itu,
insulin juga sangat penting pada mineralisasi tulang yang
normal, dan merangsang produksi IGF I oleh hati. Peranan
insulin pada sintesis matriks terutama pada fungsi
diferensiasi osteoblas, sedangkan IGF I meningkatkan
jumlah sel yang dapat mensintesis matriks tulang.

Hormon pertumbuhan (growth hormon, GH) tidak

Kalsitonin merupakan inhibitor yang poten terhadap efek


resorpsi tulang dari osteoklas, tetapi efek ini hanya
sementara, terutama pada pemberian kalsitonin yang
berkepanjangan. Kalsitonin menyebabkan kontraksi
sitoplasma osteoklas dan pemecahan osteoklas menjadi
sel mononuklear dan menghambat pembentukan osteoklas.

Glukokortikoid mempunyai efek merangsang resorpsi


tulang, mungkin melalui penurunan absorbsi kalsium yang
kemudian akan diikuti oleh peningkatan PTH. Pemberian
glukokortikoid jangka pendek pada konsentrasi fisiologik,
dapat merangsang sintesis kolagen tulang. Tetapi
pemberianjangka panjang dapat menurunkan replikasi sel
preosteoblastik, sehingga jumlah osteoblas menurun dan
pembentukan matriks tulang terhambat. Selain itu,
glukokortikoid juga menghambat sintesis IGF I oleh sel
tulang dan hal ini mungkin berperan pada penghambatan
formasi tulang.
Estrogen dan Androgen memegang peranan yang sangat
penting pada maturasi tulang yang sedang tumbuh dan
mencegah kehilangan massa tulang. Reseptor estrogen
pada sel-sel tulang sangat sedikit diekspresikan, sehingga
sulit diperlihatkan efek estrogen terhadap resorpsi dan
formasi tulang. Estrogen dapat menurunkan resorpsi tulang
secara tidak langsung melalui penurunan sintesis berbagai
sitokin, seperti IL- I, TNF-a dan IL-6. IL-6diketahui banyak
terdapat pada lingkungan-mikro tulang dan berperan
merangsang resorpsi tulang.
Hormon tiroid berperan merangsang resorpsi tulang. Hal
ini akan menyebabkan pasien hipertiroidisme akan disertai
hiperkalsemia dan pasien pasca-menopause yang mendapat
supresi tiroidjangka panjang akan mengalami osteopenia.
Hormon tiroid (T 3 dan T 4) merupakan regulator
pertumbuhan tulang yang penting. Terdapat 4 isoform
reseptorhormon tiroid, yaitu TRal, TRa2, TRbI dan TRb2

')

SlRUKTURDAN METABOUSME

2389

TULANG

yang kesemuanya diekspresikan pada kondrosit pada


tempat osifikasi endokondral.
Prostaglandi.J.! merupakan mediator inflamasi yang
merupakan metabolit asam arakidonat dan memiliki efek
yang kompleks terhadap tulang. Prostaglandin
berhubungan dengan hiperkalsemia dan resorpsi tulang
pada keganasan dan keradangan kronik. Walaupun
demikian, efek prostaglandinterhadap tulang pada manusia
masih belum jelas. PGE2 pada dosis rendah temyata
berperan merangsang formasi tulang, sedangkanpada dosis
tinggi berperan meningkatkan resorpsi tulang tanpa
menghambat formasi tulang. Pada fase resorps tulang,
produksi PGE2 akan meningkat, sedangkan pada formasi
tulang atau fase penyembuhan, produksi PGE 2 akan
menurun.
Leukotrien. Samahalnya dengan prostaglandin,leukotrien
juga merupakan mediator inflamasi dan metabolit asam
arakidonat yang diproduksi melalui jalur enzim
5-lipoksigenase(5-LO). Leukotrienberperanmengaktifkan
osteoklas dan berhuhungan dengan resorpsi tulang pada
giant cell tumors pada tulang. Leukotrien juga diketahui
berperan pada inflamasi kronik,seperti artritis reumatoid,
asma bronkiale, psoriasis, penyakit periodontal dan kolitis
inflamatif. Metabolit 5-LO juga diketahui menurunkan
fungsi osteoblas dan formasi tulang pada inflamasi akut,
misalnya pada artritis reumatoid. Inhibitor sintesis
leukotrien atau antagonis reseptor leukotrien telah
digunakan secara baik untuk terapi asma bronkiale dan
diduga memiliki efek formasi tulang.
Sitokin juga berperan pada remodeling tulang. IL-I
merupakan sitokin yang berperan pada remodeling tulang.
Ada 2 macam IL-I, yaitu IL-I a dan IL-I 13, yang mempunyai
efek biologik yang sama dan bekerja pada reseptor yang
sama pula. IL- I dilepaskan oleh sel monosit yang aktif dan
juga oleh sel yang lain seperti osteoblas dan sel tumor.
Peranan IL- I pada proses remodeling tulang cukup banyak,
antara lain adalah merangsang resorpsi tulang, replikasi
sel tulang dan meningkatkansintesisIL-6. IL-I, nampaknya
juga berperan pada mekanisme hiperkalsemia pada
keganasan hematologik.Pada beberapa kasus osteoporosis,
temyata kadar IL-1 juga meningkat. Efek IL-1 pada tulang
diketahui'melalui jalur RANKL. Limfotoksin dan TNFa
merupakan sitokin yang berhubungan dengan IL- I dan
fungsinya juga banyak tumpang tindih dengan IL-1.
Bahkan reseptomya juga sama dengan reseptor IL-1.

IL-6 juga berperan pada resorpsi tulang dengan jalan


mengerahkan sel-sel osteoklas. IL-6 diekspresikan dan
disekresikan oleh sel tulang sebagi respons terhadap PTH,
I,25(0H\D3 dan IL-I. Sintesis IL-6 akan dihambat oleh
estrogen dan hal ini nampak pada penurunan resorpsi
tulang pada terapi estrogen.
CSF-I diproduksi oleh sel stromal dalam lingkungan
mikro osteoklas. Ekspresinya berrhubungan dengan

RANKL dan TGF-13 akan menyebabkan resorpsi tulang


oleh osteoklas.
TGF-13 merupakan polipeptida yang multifungsional
yang diproduksi oleh sel sistem imun danjuga sel stromal
dan osteoblas. TGF-13 akan merangsang prostaglandin dan
menyebabkan resorpsi tulang. Selain itu, TGF-13juga akan
menghambat formasi osteoklas dengan cara menghambat
proliferasi dan diferensiasi osteoklas. TGF-13 juga
meningkatkan proliferasi osteoblas, meningkatkan protein
matriks tulang dan meningkatkan mineralisasi tulang.

INFLAMASI DAN REMODELING TULANG

Secara molekular, temyata remodeling tulang memiliki


kesamaan dengan proses inflamasi. Inflamasi dimulai oleh
rangsangan, baik akibat trauma maupun benda asing,
sedangkan remodeling dicetuskan oleh faktor mekanik
yang mengenai permukaan tulang yang termineralisasi.
Pada inflamasi, trauma atau benda asing akan merangsang
makrofag menghasilkan berbagai sitokin yang akan
merangsang produksi dan migrasi sel darah putih lainnya
ke tempat inflamasi. Berbagai sitokin yang dihasilkan pada
inflamasi merupakan stimulator yang kuat terhadap
diferensiasi osteoklas dan resorpsi tulang oleh osteoklas.
IL-1 dan TNF-a yang dihasilkan pada inflamasi akan
merangsang osteoblas untuk mengekspresikan RANKL
dan M-CSF dan menghambat produksi OPG Selain itu,
dengan pengaruh IL-1, TNF-a akan meningkatkan
diferensiasi makrofag menjadi osteoklas. IL-1 dan TNF-a,
terutama dihasilkan oleh monosit, sedangkan beberapa
sitokin yang dihasilkan oleh sel T, bersifat menghambat
osteoklastogenesis,misalnya Interferon (IFN)-y,GM-CSF,
IL-4 dan IL-13.m, sedangkan sitokin dari sel T yang
merangsang osteoklastogenesis adalah IL-17.
Seperti diketahui, estrogen berperan menghambat
proliferasi dan diferensiasi prekursor osteoklas melalui
mekanisme yang belum jelas. Reseptor estrogen,
ditemukan pada permukaan monosit, osteoblas, prekursor
osteoklas maupun osteoklas. Defisiensi estrogen akan
mengakibatkan peningkatan produksi IL-1, TNF, IL-6 dan
kompleks reseptor IL-6, M-CSF dan GM-CSF.
Pada fase lanjut dari inflamasi, akan terjadi pengerahan
fibroblast yang akan menghasilkan matriks untuk
mengisolasi benda asing penyebab inflamasi darijaringan
lain. Berbagai faktor pertumbuhan, seperti
fibroblast growth factor (FGF) turut berperan pada proses
ini. Persamaan proses ini dengan remodeling tulang adalah
pengerahan osteoblas yang akan menutupi area resorpsi.
FGF 1 dan2 adalahpolipeptidadenganBM 17.000,bersifat
angiogenik dan berperan pada neovaskularisasi,
penyembuhan Iuka dan reparasi tulang. FGF 1 dan 2 akan
merangsang replikasi sel tulang sehingga populasi sel
tersebut meningkat dan memungkinkan terjadinya sintesis
kolagen tulang. Walaupun demikian, FGF tidak akan

2390
meningkatkan diferensiasi osteoblas secara langsung.
Selainitu, FGFjuga memilikiperan yang kecil pada resorpsi
tulang, yaitu dengan meningkatkan ekspresi MMP 13 yang
berperan pada degradasi kolagen dan remodeling tulang.
Pada proses inflamasi, terjadi neovaskularisasi yang
dirangsang oleh FGF, VEGF dan sitokin lainnya. Pada
osteogenesis, VEGF berperan pada angiogenesis dan
formasiu osteoklas. Faktor lain yang juga penting pada
remodeling tulang adalah osteopontin yang dihasilkan oleh
makrofag pada proses inflamasi, maupun makrofag yang
banyak terdapat pada jaringan tumor.

OSTEOSIT
Osteosit merupakan sel yang berbentuk stelat yang
mempunyai juluran sitoplasma (prosesus) yang sangat
panjang yang akan berhubungan dengan prosesus
osteosit yang lain dan juga dengan bone tinning cells.
Didalam matriks, osteosit terletak didalam rongga yang
disebut lakuna, sedangkan prosesusnya terletak didalam
terowongan yang disebut kanalikuli: .Lakuna dan
kanalikuli berhubungan satu sama lain, termasuk dengan
lakuna dan kanalikuli dari osteosit lain dan bone linning
cells dipermukaan tulang membentuk jaringan yang
disebutsistem lakunokanalikular(LCS). Sistem LCS berisi
cairan yang merendam osteosit dan prosesusnya dan turut
berperan pada mekanisme penyebaran rangsang mekanik
dan kimia yang diterima tulang melalui transduksi
mekano-bio-elektro-kemikal.
Jaringan LCS sangat penting untuk kehidupanjaringan
tulang yang sehat. Osteosit merupakan mekanosensor bagi
jaringan tulang. Adanya rangsang mekanik dan kimia pada
jaringan tulang akan diteeruskan ke semua osteosit dan
jaringan tulang melalui struktur padat jaringan tulang, atau
tekanan pada cairan didalam sistem LCS, sehingga semua
osteosit terangsang dan proses remodeling tulang berjalan
dengan normal. Bila osteosit mati, maka lakuna yang
ditempatinya dan matriks tulang disekitarnya akan
diresorpsi dan diformasi atau LCSnya dibiarkan kosong
dan mengalami mineralisasi.
Pada tulang yang osteoporotik, terjadi diskoneksi
antara pcosesus-prosesus tersebut dan osteosit dapat
terpencil sendiri dan berubah bentuk. Akibatnya transduksi
mekano-bio-elektro-kemikal tidak berjalan dengan
sempurna dan proses remodeling tulang juga tidak
sempuma, sehingga tulang akan kehilangan kemampuan
melakukan proses formasi setelah resorpsi berlangsung,
akibatnya pada tulang yang osteoporotik, akan didapatkan
banyak lakuna Howship yang pada akhirnya akan
menyerbabkan turunnya kekuatan tulang. Hal yang sama
juga terjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi lama,
karena rangsangan beban pada tulang berkurang,
sehingga transduksi mekano-bio-elektro-kemikal juga
menjadi hilang, sehingga tulang menjadi osteoporotik.

REUMA10LOGI

KOLAGENDALAMTULANG
Kolagen merupakan protein ekstraselular yang terpentiong
didalamtubuh dan didalamtulang,kolagen merupakan65%
bagian dari total komponen organik didalam tulang.
Kolagen terdiri dari struktur tripe! heliks rantai
polipeptida yang panjang, yaitu rantai a (alfa). Ada 13 tipe
kolagen atau lebih didalam tubuh manusia, yang
dikelompokkan menjadi kolagen fi.brilar(tipe I, II, III dan
V) dan kolagen non-fi.brilar.Kolagen fibrilar merupakan
kolagen yang terbanyak dan ditemukan pada seluruh
jaringan ikat didalam tubuh. Kolagen tipe I merupakan
kolagen yang terbanyak ditemukan didalam tulang, kulit
dan tendon. Setiap kolagen tersusun atas rantai a yang
berbeda yang dikode oleh gen yang spesifikjuga. Kolagen
tipe I terdiri dari 2 rantai al (I) yang dikode oleh gen
COLI AI padakromosom 17, dan I rantai a.2(1) yang dikode
oleh gen COLIA2 di kromosom 7.
Tabel 1. Tipe-tipe Kolagen Fibrilar
Tipe

Gen

Rum us
Mulekul

Jaringan

COL1A
COL1A2

u1(1) u2(1)

II

COL2A1

[u1(11)h

Ill

COL3A1

[u1(111)h

COL5A1
COL5A2
COL5A3

dan bentuk lain

Tulang, dentin, kulit,


tendon, dinding
pembuluh darah,
saluran cerna
Rawan sendi, cairan
vitreus, diskus
intervertebral
Jaringan fetal dengan
kolagen tipe I pada
semua jaringan
Jaringan vaskular, otot
polos

[u1(V)2u(V)h

Biosintesis kolagen terdiri dari beberapa tahap. Pertama


kali akan disintesis protokolagen. Kemudian akan terjadi
beberapa modifikasi antara lain di osteoblas akan terjadi
hidroksilasiprolin dan lisin membentuk hidroksiprolin dan
hidroksilisin. Selanjutnya rantai a akan membentuk tripeI
heliks sebelum disekresikan.Kemudian terminal-C dan -N
propeptida terpisah bersamaan dengan sekresinya.
Selanjutnya tropokolagen membentuk serabut-serabut
kolagen. Sementara itu struktur dasar tripe! heliks akan
dipertahankan sebbagai tulang punggung molekul
diperkuat dengan ikatan (cross-link) kovalen selama
maturasi kolagen. Ikatan tersebut terdiri dari piridinolin
dan deoksipiridinolin yang teryutama terletak pada terminal-C dan -N, dimana struktur tripe! heliks digantikan
dengan domain non-tripelyang disebut telopeptida. Pada
turnover kolagen, maka ikatan piridinolin dan
deoksipiridinolin atau peptida yang mengandung
keduanya akan dilepas dan diekskresikan lewat urin.
Pengukuran keduanya didalam urin dapat menjadi petanda

STRUKTURDAN

2391

METABOUSME TULANG

rwesorpsi tulang karena ikatan ini hanya didapatkan pada


kolagen yang matur. Didalam jaringan tulang, kolagen
berinteraksi dengan komponen j aringan lainnya, termasuk
proteoglikan, glikoprotein dan mineral. Selain di tulang,
kolagen tipe I juga didapatkan pada jaringan lain, tetrapi
yang mnengalami mineralisasi, hanya kolagen tripe I di
tulang. Proses degradasikolagen membutuhkankolagenase
dan pelepasan mineral karena mineral melindungi kolagen
dari proses denaturasi. Hasil degradasi matriks tulang yang
meliputi berbagai perptida dan asam amino termasuk
hidroksiprolindan hidroksilisinakan dilepaske aliran darah,
kemudian diekskresikanmelaluiurin.

(MEPE),dentinmatrixprotein-I (DMP-1),osteonectin dan


bone acidic glycoprotein-75 (BAG-75). Selain itu juga
disintesis kolagen tipe I, fibronektin, trombospondin,
vitroneektin, fibrilin dan osteoadherin. Tabel 2
menunjukkan fungsi protein-protein tersebut pada
mineralisasi tulang.

Tabel 2 Elek Protein Matr1ks Tulang pad;:, M,neralisas,


Merangsang
formasi apatit
Kolagen tipe I
Proteolipid

MINERALISASI TULANG

Mineral tulang yang matur adalah hidroksiapatit dengan


rumus molekul Ca10(P04)/0H\ yang bentuk kristalnya
hanya dapat dilihat di bawah mikroskop elektron,
sedangkan di bawah mikroskop cahaya tampak amorf.
Hidrosiapatit akan mengisi lubang-lubang didalam serat
kolagen dan menyebar sehingga membentuk tulang yang
terkalsifikasi secara sempurna. Pada tulang yang matur,
kristal-kristal mineral akan bertambah besar akibat
penambahan ion-ion pada kristal dan dan agregasi kristalkristal itu sendiri. Setelah osteoid dibentuk oleh osteoblas,
terdapatjeda 10-15hari sebelum mineralisasi berlangsung.
Dua-pertiga mineralisasi akan berlangsung dengan cepat,
sedang sepertiga sisanya akan berlangsung selama
beberapa bulan.
Kalsium berperan sangat penting sejak awal
mineralisasi. Kalsium memiliki afinitas yang kuat
terhadap tetrasiklin sehingga labelisasi tetrasiklin dapat
digunakan untuk menilai derajat mineralisasi dengan
menggunakan mikroskop fluoresensi. Total kalsium
tubuh adalah 1300gr dan 99,9% berada didalam tulang.
Didalam sirkulasi, kalsium dapat dibagi dalam 3
komponen, yaitu kalsium ion, kalsium yang terkat albumin
dan kalsium dalam bentuk garam kompleks. Dari ketiga
bentuk ini, hanya kalsium ion yang berfungsi untuk sel
hidup, yaitu untuk formasi tulang, metabolisme,
konduksi saraf, kontraksi otot, kontrol hemostatik dan
integritas kulit.
Selain kalsium, kation yang penting juga
untuk mineralisasi tulang adalah magnesium sedangkan
elemen lain yang juga penting adalah fosfor dan
fluorida.
Pada umumnya, sel-seljaringan ikat akan berinteraksi'
dengan lingkungan ekstraselularnya termasuk perlekatan
dengan makromolekul ekstraselular. Sel tulang minimal
mensintesis 9 protein yang akan menjadi mediator
perlekatan sel dengan struktur ekstraselularnya, termasuk
anggota keluarga SIBLING (small integrin-bindingligand,
N glycosylatedproteins),yaitu osteopontin,bone sialoprotein
(BSP), matrix extracellular phosphoglycoprotein

Menghambat
mineralisasi

Berfungsi
ganda

Tidakjelas
efeknya

Agrekan
a2-HS
glikoprotein
Matrix gla protein
(MGP)
Osteopontin
Osteokalsin

Biglikan
Osteonektin
Fibronektin
Bone
Sialoprotein
(BSP)

Dekorin
BAG-75
Lumikan
Tetranektin
Osteoaderin
Trombospondin

PETANDA BONE TURNOVER

Bone turnover merupakan mekanisme fisiologik yang


sangat penting untuk memperbaiki tulang yang risak atau
mengganti "tulang tua" dengan "tulang baru". Petanda
bone turnover, yang meliputi petanda resorpsi dan
petanda formasi tulang, merupakan komponen matriks
tulang atau enzim yang dilepaskan dari sel tulang atau
matriks tulang pada waktu proses remodeling tulang.
Petanda ini dapat menggambarkan dinamika remodeling
tulang, tetapi tidak mengatur remodeling tulang. Yang
termasuk petanda resorpsi tulang adalah hidroksiprolin
(HYP), piridinolin (PYD), Deoksipiridinolin (DPD),
N-terminal cross-linking telopeptaide of type I collagen
(NTX) dan C-terminal cross-linking telopeptide of type
I collagen (CTX); sedangkan petanda formasi tulang
adalah Bone alkaline phosphatase (BSAP), Osteokalsin
(OC), Procollagen type I C-propeptide (PICP) dan
Procollagen type I C-propeptide (PINP).
Pengobatan dengan anti resorptif akan menurunkan
kadar petanda bone turnover lebih cepat dibandingkan
dengan perubahan densitas massa tulang yang diukur
dengan alat DEXA. Penurunan ini terjadi lebih cepat
daripada perubahan BMD, sehingga dapat digunakan
untuk mengukur efektivitas pengobatan. Pada penelitian
dengan risedronat (VERT study) didapatkan bahwa
penurunan NTX urin > 60% dan CTX urin > 40% setelah
pengobatan 3-6 bulan berhubungan dengan penurunan
risiko fraktur vertebra dalam waktu 3 tahun.
Walaupun demikian, terdapat hubungan yang
kompleks antara turnover tulang dengan kualitas tulang.
Tidak selamanya penekanan turnover tulang jangka
panjang menghasilkan kualitas tulang yang baik, karena
tulang menjadi sangat keras akibat mineralisasi sekunder
yang berkepanjangan dan tulang menjadi getas dan mudah
fraktur.

2392
KALSIUM (Ca)
Tubuh orang dewasa diperkirakan mengandung 1000 gram
kalsium. Sekitar 99% kalsium ini berada didalam tulang
dalam bentuk hidroksiapatit dan 1 % lagi berada didalam
cairan ekstraselular dan jaringan lunak. Didalam cairan
ekstraselular, konsentrasi ion kalsium (Ca 2+) adalah 10-3
M, sedangkan di dalam sitosol 106 M.
Kalsium memegang 2 peranan fisiologik yang penting
didalam tubuh. Didalam tulang, garam-garam kalsium
berperan menjaga integritas struktur kerangka, sedangkan
didalam cairan ekstraselular dan sitosol, Ca 2+ sangat
berperan pada berbagai proses biokimia tubuh. Kedua
kompartemen tersebut selalu berada dalam keadaan yang
seimbang.
Didalam serum, kalsium berada dalam 3 fraksi, yaitu Ca
2+ sekitar 50%, kalsium yang terikat albumin sekitar 40%
dan kalsium dalam bentuk kompleks, terutama sitrat dan
fosfat adalah 10%. Kalsium ion dan kalsium kompleks
mempunyai sifat dapat melewati membran semipermeabel,
sehingga akan difihrasi di glomerulus secara bebas.
Reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal terutama terjadi di
tubulus proksimal, yaitu sekitar 70%, kemudian 20% di
ansa Henle dan sekitar 8% di tubulus distal. Pengaturan
ekskresi kalsium di urin, terutama terjadi di tubulus distal.
Sekitar 90% kalsium yang terikat protein, terikat pada
albumin dan sisanya terikat pada globulin. Pada pH 7,4,
setiap gr/dl albumin akan mengikat 0,8 mg/di kalsium.
Kalsium ini akan terikat pada gugus karboksil albumin dan
ikatannya sangat tergantung pada pH serum. Pada
keadaan asidosis yang akut, ikatan ini akan berkurang,
sehingga kadar Ca+ akan meningkat, dan sebaliknya pada
alkalosis akut.
Secara fisiologis, Ca 2+ ekstraselular memegang peranan
yang sangat penting, yaitu :
Berperan sebagai kofaktor pada proses pembekuan
darah, misalnyauntuk faktorVH, IX, X dan protrombin.
Memelihara mineralisasi tulang.
Berperan pada stabilisasi membran plasma dengan
berikatan pada lapisan fosfolipid dan menjaga
permeabilitas membran plasma terhadap ion Na+.
Penurunan kadar Ca2+ serum akan meningkatkan
permeabilitas membran plasma terhadap Na+ dan
menyebabkan peningkatan respons jaringan yang
mudah terangsang.
Kadar Ca2+ didalam serum diatur oleh 2 hormon penting,
yaituPTHdan l,25(0H)2 VitaminD. Didalamsel.pengaturan
homeostasis kalsium sangat kompleks. Sekitar 90-99%
kalsium intraselular, berada didalam mitokondria dan
mikrosom. Rendahnya kadar Ca 2 didalam sitosol, diatur
oleh 3 pompa yang terletakpada membranplasma,membran
mikrosomal dan membran mitokondriayang sebelahdalam.
Pada otot rangka dan ototjantung, kalsium berperan pada
proses eksitasi dan kontraksi jaringan tersebut. Pada otot

REUMATOLOGI

rangka, mikrosom berkembang sangat baik menjadi


retikulum sarkoplasmik dan merupakan gudang kalsium
yang penting didalam sel yang bersangkutan. Depolarisasi
membran plasma akan diikuti dengan masuknya sedikit Ca
2+
ekstraselular kedalam sitosol dan hal ini akan
mengakibatkan terlepasnya Ca 2+ secara berlebihan
dari retikulum sarkoplasmik kedalam sitosol. Kemudian
Ca 2+ akan berinteraksi dengan troponin yang akan
mengakibatkan interaksi aktin-miosin dan terjadilah
kontraksi otot. Proses relaksasi otot, akan didahului oleh
reakumulasi Ca 2+ oleh vesikel retikulum secara cepat dari
dalam sitosol, sehingga kadar Ca 2+ didalam sitosol akan
kembalinormal.
Sel utama kelenjar paratiroid sangat sensitifterhadap
kadar Ca 2+ didalam serum. Peran PTH pada reabsorpsi Ca
di tubulus distal, resorpsi tulang dan peningkatan absorpsi
kalsiumdi usus melaluipeningkatankadar 1,25(OH)2Vitamin
D, sangat penting untuk menjaga stabilitas kadar Ca 2+
didalam serum. Selain itu, peningkatan PTH akan
menurunkan renal tubular phosphate threshold (TmPI
GFR) sehingga fosfat yang diserap dari usus dan
dimobilisasi dari tulang akan diekskresi oleh ginjal.

FOSFOR(P)
Tubuh orang dewasa mengandung sekitar 600 mg fosfor.
Sekitar 85% berada dalam bentuk kristal didalam tulang,
dan 15% berada didalam cairan ekstraselular. Sebagian
besar fosfor ekstraselular berada dalam bentuk ion fosfat
anorganik dan didalam jaringan lunak, hampir semuanya
dalam bentuk ester fosfat. Fosfat intraselular, memegang,
peran yang sangat penting dalam proses biokimia intrasel,
termasuk pada pembentukan dan transfer energi selular.
Did alam serum, fosfat anorganikjuga terbagi dalam 3
fraksi, yaitu ion fosfat, fosfat yang terikat protein dan fosfat
dalam bentuk kompleks dengan Na, Ca dan Mg. Fosfat
yang terikat protein hanya sekitar 10% sehingga tidak
bermakna dibandingkan keseluruhan fosfat anorganik
didalam serum. Dengan demikian, sekitar 90% fosfat
(ion dan kompleks) akan dengan mudah di filtrasi di
glomerulus.
Ginjal memegang peranan yang sangat penting pada
homeostasis fosfor didalam serum. Beberapa faktor, baik
intrinsik maupun ekstrinsik, yang mempengaruhi renal
tubular phosphorus threshold (TmP/GFR), akan dapat
mempengaruhi kadar fosfat didalam serum, misalnya pada
hiperparatiroidisme primer, TmP/GFR akan menurun,
sehingga terjadi ekskresi fosfat yang berlebihan, akibatnya
timbul hipofosfatemia. Sebaliknya, pada gangguan fungsi
ginjal dan hipoparatiroidisme, TrnP/GFR akan meningkat,
sehingga ekskresi fosfat menurun dan terjadilah
hiperfosfatemia.
Secara biologik, hasil kali Ca X P selalu konstan,
sehingga peningkatan kadar fosfat didalam serum akan

STRUIOURDAN

METABOUSME TULANG

diikuti dengan penurunan kadar Ca serum, dan yang


terakhir ini akan merangsang peningkatan produksi PTH
yang akan menurunkan TmP/GFR sehingga terjadi ekskresi
fosfat melalui urin dan kadar fosfat didalam serum kembali
menjadi normal, demikian pula kadar Ca didalam serum.
Pada gaga) ginjal kronik, terjadi hiperfosfatemia
yang
menahun, sehingga timbul hipertiroidisme sekunder akibat
kadar Ca serum yang rendah.

VITAMIN D
Vitamin D diproduksi oleh kulit melalui paparan sinar
matahari, kemudian mengalami 2 kali hidroksilasi oleh hepar
dan ginjal. menjadi vitamin D yang aktif, yaitu
1,25- dihidroksivitamin D [ 1,25 (OH)p].
Akibat paparan sinar matahari, provitamin DJ
(7-dehidrokolesterol, 7-DHC), akan menyerap radiasi
ultraviolet B (UVB) sinar matahari pada tingkat energi
290-315 run, dan berubah menjadi previtamin DJ. Sekali
terbentuk, previtamin D 3 akan mengalami isomerisasi oleh
panas dan berubah menjadi vitamin Dy Kemudian vitamin
D3, akan masuk kedalam sirkulasi clan berikatan dengan
protein pengikat vitamin D. Pada orang kulit berwarna dan
orang tua, produksi vitamin D oleh kulit akan berkurang,
karena melanin merupakan penahan sinar matahari yang
sangat baik, sehingga fotosintesis vitamin D akan
berkurang, sedangkan pada orang tua, konsentrasi 7-DHC
yang tidak teresterifikasi juga berkurang.
Sumber vitamin D dari makanan sangat jarang, hanya
didapatkan dari lemak ikan dan minyak ikan. Institute of
Medicine, pada 1997, merekomendasikan kebutuhan
vitamin D pada bayi, anak-anak dan orang dewasa <50
tahun adalah 200 IU (5 g)/hari. Pada orang tua 51- 70 tahun
dan > 70 tahun, kebutuhan vitamin D masing-masing
adalah 400 IU (10 g)/hari dan 600 IU (15 g)/hari. Pada
wanita hamil dan laktasi, pada semua umur, kebutuhan
vitamin D adalah 200 IU/hari. Pada keadaan tanpa sinar
matahari, kebutuhan vitamin D pada semua umur hams
ditambah 200 IU/hari. Batas atas asupan vitamin D yang
direkomendasikan pada bayi adalah 1000 IU/hari dan pada
usia di atas l tahun adalah 2000 IU/hari.
Vitamin D yang bersumber dari min yak ikan dan lemak
ikan adalah dalam bentuk vitamin DJ, sedangkan yang
berasal dari ragi dan tanaman adalah vitamin Dr Kedua
bentuk tersebut, didalam sirkulasi akan berikatan dengan
protein pengikat vitamin D dan dibawa ke hepar dan
dihidroksilasi oleh cytochromeP450-vitamin D-25-hydroxy-
lase menjadi 25-hidroksi vitamin D [25(0H)D]. 25(0H)D
akan masuk kedalam sirkulasi dan merupakan bentuk
vitamin D yang terbesar didalam sirkulasi. Hidroksilasi
vitamin D di hepar tidak diatur secara ketat, sehingga
produksi yang berlebihan di kulit atau asupan yang
berlebihan dari makanan akan meningkatkan kadar
25(0H)D didalam serum, sehinggakadar 25(0H)D di dalam

2393
serum dapat digunakan untuk mendeteksi
kecukupan,
defisiensi atau intoksikasi vitamin D. 25(0H)D merupakan
bentuk vitamin D yang inaktif, yang akan dibawa ke ginjal,
dimana hidroksilasi yang kedua oleh cytochrome P450monooxygenase, 25 (OH)D-lcx-hidroksilase, akan merubah
25(0H)D menjadi 1,25 dihidroksivitamin D[ l,25(0H)p].
Secara biokimiawi, vitamin D yang telah mengalami 2 kali
hidroksilasi akan lebih hidrofilik, walaupun masih sangat
larut didalam lemak. Ginjal merupakan produsen utama 25
(OH)D-Ici-hidroksilase; produsen lainnya adalah monosit
dan sel kulit. Selain itu, plasenta pada wanita hamil juga
dapatmemproduksi 1,25(0H)p. Walaupundemikian,pada
keadaan anefrik, ternyata produsen 25 (OH)D 1 uhidroksilase ekstrarenal tidak efektif mengatur homeostasis
kalsium. Pada keadaan hipokalsemia, kadar PTH akan
meningkat dan ini akan meningkatkan perubahan 25(0H)D
menjadi 1,25(0H)p. 1,25(0H) 2D juga dapat mengatur
produksinya sendiri baik secara langsung melalui umpan
balik negatif produksi 25(0H)D-l n-hidroksilase, maupun
secara tak langsung dengan menghambat ekspresi gen
PTH. Selain itu, beberapa hormon, seperti hormon
pertumbuhan dan prolaktin, secara tak langsung akan
meningkatkan produksi 1,25(0H)2D oleh ginjal. Pada orang
tua, seringkali terjadi kegagalan peningkatan produksi
1,25(0H)2D yang dirangsang oleh PTH, sehingga pada
orang tua sering terjadi gangguan absorpsi Ca di USUS.
l,25(0H)2D akan dimetabolisme di organ targetnya
(tulang dan usus) dan hati serta ginjal melalui beberapa
proses hidroksilasi menjadi asam kalsitroat yang secara
biologik tidak aktifBaik 25(0H)D maupun 1,25(0H)2D juga
akan mengalami 24-hidroksilasi menjadi 24,25(0H)2D dan
l,24,25(0H)3D yang secara biologikjuga tidak aktif.
Semua organ target vitamin D, memiliki reseptor vitamin D
pada inti selnya (VDR). VDR memiliki afinitas terhadap
1,25(0H)2D
1000 kali lebih
besar
daripada
terhadap25(0H)D dan metabolit vitamin D lainnya. Setelah
mencapai organ target, 1,25(0H)2D akan terlepas dari
protein pengikatnya, kemudian masuk kedalam sel dan
berinteraksi dengan VDR. Kemudian kompleks 1,25(0H)
20-VDR akan berinteraksi lagi dengan retinoic acid
X receptor (RXR) membentuk heterodimer yang kemudian
akan berinteraksi dengan vitamin D-responsive element
(VORE) didalam DNA. Interaksi ini akan menghasilkan
transkripsi dan sintesis MRNA baru untuk biosintesis
berbagai protein, baik dari osteoblas ( osteokalsin,
osteopontin, fosfatase alkali) maupun dari usus (protein
pengikatkalsium, calcium-binding protein, CABP). Bagian
VDR yang berikatan dengan 1,25(0H)2D adalah pada
daerah terminal-C, yang disebut hormone-bipiding
domain, sedangkan bagian yang berikatan dengan DNA
adalah pada daerah terrninal-N, yang disebut DNA binding domain yang memilikijari-jari Zn.
Gen VDR memiliki 9 ekson. Mutasi khusus pada ekson
tersebut akan menyebabkan resistensi terhadap l ,25(0H)2D
yang disebut vitamin D-dependent rickets type II.

2394
FUNGSI BIOLOGIK VITAMIN D

Fungsi utama vitamin D adalah menjaga homeostasis


kalsium dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium di
usus dan mobilisasi kalsium dan tulang pada keadaan
asupan kalsium yang inadekuat.
VDR di usus terdapat pada seluruh dinding usus halus,
dengan konsentrasi tertinggi didalam duodenum.
l ,25(0H)2D berperan secara langsung pada masuknya
kalsium kedalam sel usus melalui membran plasma,
meningkatkan gerakan kalsium melalui sitoplasma dan
keluamya kalsium dari dalam sel melalui membran
basilateral ke sirkulasi. Mekanisme yang pasti dari proses
ini belum diketahui secara pasti, walaupun telah diketahui
bahwa l,25(0H)2D akan meningkatkan produksi dan
aktivitas CABP, fosfatase alkali, ATPase, brush-border
actin, kalmodulin dan brush-border protein. CABP
merupakan protein utama yang berperan pada fluks Ca
melalui mukosa gastrointestinal.
Di tulang, l ,25(0H)2D akan menginduksi monocytic
stem cells di sumsum tulang untuk berdiferensiasi menjadi
osteoklas. Setelah berdifirensiasi menjadi- osteoklas, sel
ini akan kehilangan kemampuannya untuk bereaksi
terhadap l ,25(0H),D. Aktivitas osteoklas akan diatur oleh
l ,25(0H)2D secara tidak langsung, melalui osteoblas yang
menghasilkan berbagai sitokin dan hormon yang dapat
mempengaruhi aktivitas osteoklas. 1,25(0H)2D juga akan
meningkatkan ekspresi fosfatase alkali, osteopontin dan
osteokalsin oleh osteoblas. Pada proses mineralisasi
tulang, 1,25(0H)2D berperan menjaga konsentrasi Ca dan
P di dalam cairan ekstraselular, sehingga deposisi kalsium
hidroksiapatit pada matriks tulang akan berlangsung
dengan baik.
Di ginjal, l,25(0H)2D, melalui VDR-nya berperan
mengatur sendiri produksinya melalui umpan-balik negatif
produksinya dan menginduksi metabolisme hormon ini
menjadi asam kalsitroat yang inaktif dan larut didalam air.
Beberapa jaringan dan sel lain yang bersifat
nonkalsemik, juga diketahui memiliki VDR, misalnya sel
tumor. Paparan 1,25(0H)2D pada sel tumor yang memiliki
VDR, akan menurunkan aktivitas proliferasinya danjuga
diferensiasinya. Walaupun demikian, penggunaannya
sebagas obat kanker tidak menunjukkan basil yang
memuaskan.Sel epidermalkulitjuga memilikiVDR, sehingga
efek antiproliferatif l,25(0H)2D dapat digunakan pada
penyakit kulit hiperproliferatif nonmalignan, seperti
psoriasis.

HORMON PARATIROID (PTH)

Harmon paratiroid (PTH) dihasilkan oleh kelenjar


paratiroid. Pada tulang, PTH merangsang pelepasan
kalsium dan fosfat, sedangkan di ginjal, PTH merangsang
reabsorpsi kalsium dan menghambat reabsorpsi fosfat.

REUMATOLOGI

Selain itu, PTHjuga merangsang produksi 1 n-hidroksilase


oleh ginjal, yang berperan mengubah 25(0H)D menjadi
l,25(0H)2D, sehingga terjadi peningkatan absorpsi
kalsium di usus. Hasil dari semua aksi PTH ini adalah
peningkatan kadar kalsium didalam darah dan penurunan
kadar fosfat didalam darah.
Hormon paratiroid (PTH) berperan merangsang
resorpsi tulang, tetapi tidak bersifat langsung karena
osteoklas tidak memiliki reseptor PTH. PTH memiliki efek
yang kompleks terhadap formasi tulang karena dapat
merangsangdan menghambatformasitulang. Efek anabolik
PTH diperantarai oleh peningkatan sintesis Insulin-like
Growth Factor I (IGF I) yang diduga mempunyai peran
yang besar pada fungsi PTH yang dapat merangsang
resorpsi dan formasi tulang.
PTH pada mamalia merupakan rantai tunggal
polipeptidayang memiliki 84 asam amino. Daerah terminal
amino dari PTH merupakan daerah yang berperan pada
aktivitas biologik hormon itu.
Regulator terpenting dari sintesis dan sekresi PTH
adalah kadar kalsium plasma, dimana kalsium yang
meningkat akan menurunkan produksi dan sekresi PTH
dan sebaliknya penurunan kalsium plasma akan
meningkatkan produksi dan sekresi PTH. Selain itu,
1,25(0H)2D juga berperan menghambat sintesis PTH dan
proliferasi sel paratiroid, sedangkan kadar fosfat plasma
akan merangsang ekspresi gen PTH, dan secara tak
langsung melalui kalsium serum merangsang sekresi PTH
dan proliferasi sel Paratiroid. Hipomagnesemia dan
hipermagnesemia yang berat, ternyata juga dapat
menghambat sekresi PTH, sedangkan litium dapat
merangsang sekresi PTH, sehingga terapi dengan litium
sering menyebabkan hiperkalsemia akibat peningkatan
produksi PTH.
Pada keadaan hipokalsemia akut, PTH akan
disekresikan dalam waktu beberapa detik sampai menit
secara eksositosis. Pada hipokalsemia kronik, degradasi
PTH intraselular didalam sel paratiroid akan dikurangi,
sedangkan ekspresi gen PTH ditingkatkan, demikian juga
aktivitas proliferasi sel paratiroid. Proses ini semua
dikontrol oleh calcium sensing receptor (CaR) yang
terdapat baik pada permukaan sel paratiroid, sel tubular
ginjal, sel tulang dan sel epitel usus. Pada keadaan
hiperkalsemia, produksi PTH akan ditekan, walaupun
demikian, penekanan ini tidak berlebihan, walaupun kadar
kalsium serum sangaat tinggi.
Hiperparatiroidisme primer dan keganasan merupakan
penyebab hiperkalsemia yang terbanyak. Hiperparatiroidisme primer merupakan kelainan endokrin terbanyak
setelah diabetes melitus dan hipertiroidisme. Biasanya
penyebabnya adalah adenoma soliter kelenjar paratiroid.
Pada tulang, hiperparatiroidisme akan menyebabkan
osteitisfibrosa sistika. Kelainan ini ditandai oleh resorpsi
subperiosteal tulang-tulang falang distal, kista tulang dan
brown
tumor
pada
tulang-tulang
panjang.

STRUKnJRDAN M1'ABOUSME

2395

ruLANG

Diagnosis hiperparatiroidisme primer ditegakkan


berdasarkan pemeriksaan biokimia, yaltu adanya
hiperkalsemia dan tanpa penekanan produksi PTH,
sehingga kadar PTH dapat meningkat atau normal tinggi.
Hiperparatiroidismejuga dapat terjadi secara sekunder,
akibat hipokalsemia yang lama. Biasanya terjadi pada
penyakit ginjal terminal, defisiensi vitamin D atau keadaan
yang resisten terhadap vitamin D. Seringkali,hipokalsemia
yang lama dapat menyebabkan sekresi PTH yang otonom
sehingga timbul hiperkalsemia seperti gambaran
hiperparatiroidisme primer; keadaan ini disebut
hiperparatiroldisme tertier. Selain itu, dapat juga
hiperparatiroidisme sekunder yang berat, tidak
menunjukkan perbaikan yang bermakna, walaupun
kelainan metaboliknya telah dikoreksi; keadaan ini disebut
hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter.

PARATHYROID HORMONE RELATED PROTEIN


(PTHRP)

Parathyroid-hormone-related protein (PTHrP) pertama


kali diketahui sebagai penyebab hiperkalsemia pada
keganasan.Proteininimemiliki8 dari 13 asamaminopertama
yang sama dengan PTH, sehingga dapat mengaktifkan
reseptor PTH. Dibandingkan dengan PTH yang hanya
memiliki 84 asam amino,PTHrP yang terdiridari 3 isoform,
memilikijumlah asam amino yang lebih banyak, masingmasing 139, 141 dan 174 asam amino. Karena PTHrP juga
dapat berikatan dengan reseptor PTH, maka aksi
biologiknya juga sama dengan PTH, yaitu akan
menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia dan
peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun
demikian, ada reseptor PTH yang tidak dapat diikat oleh
PTHrP, yaitu reseptor PTH-2. Demikian juga, ada pula
reseptor PTHrP yang tidak dapat berikatan dengan PTH
yaitu reseptor PTHrP yang terdapat di otak dan kulit. Selain
itu, ada beberapa perbedaan aksi biologik PTHrP
dibandingkan dengan PTH, yaitu PTH akan meningkatkan
reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal, sedangkan PTHrP
tidak, sehinggaakan terjadihiperkalsiuria.Selainitu, PTHrP
juga tidak meningkatkanproduksi l ,25(0H)2D dan absorpsi
kalsium.di ginjal. Di tulang, PTH akan meningkatkan
aktivitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP
hanya meningkatkan aktivitas osteoklas, sehingga resorpsi
tulang tidak diimbangi oleh formasi yang adekuat.
Beberapa tumor yang secara spesifik menghasilkan
PTHrP adalah karsinoma sel skuamosa, ginjal dan
payudara. Pada hiperkalsemia akibat keganasan, akan
didapatkan peningkatan kadar PTHrP dan hiperkalsemia,
sedangkan kadar PTH akan ditekan. Pada hiperparatiroidisme, kadar PTH akan meningkat, sedangkan
PTHrP tetap normal. Oleh sebab itu, kadar PTHrP dapat
digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan
pembedahan keganasan yang bersangkutan.

Padakehamialn dan laktasi, produksi PTHrPjuga akan


meningkat. Pada kehamilan, peningkatan kadar PTHrP
disebabkan oleh produksi dari jaringan janin dan ibu,
seperti plasenta, amnion, desidua, tali pusat dan payudara.
Peningkatan produksi ini berperan untuk mempertahankan
kadar kalsium untuk mencukupi kebutuhan kalsium pada
proses mineralisasi tulang janin. Pada masa laktasi,
peningkatan kadar PTHrP terutama disebabkan oleh
produksinya di payudara. Kadar PTHrP didalam ASI
diketahui lebih tinggi 10.000 kali dibandingkan dengan
kadamya didalam darah orang normal maupun pasien
hiperkalsemia pada keganasan.
Dalam keadaan normal, PTHrP yang beredar didalam
tubuh sangat rendah, dan nampaknya tidak berperan pada
metabolisme kalsium. Walaupun demikian, PTHrP diduga
berperan pada proses fisiologik lokal dari sel-sel dan
jaringan penghasilnya, misalnya jaringan fetal, rawan
sendi, jantung, ginjal, folikel rambut, plasenta dan epitel
permukaan. Pada payudara normal, PTHrP berperan pada
morfogenesis payudara.

KALSITONIN (CT)

Kalsitonin (CT) adalah suatu peptida yang terdiri dari 32


asam amino, yang dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan
berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas.
Aksi biologik ini digunakandidalam klinik untuk mengatasi.
peningkatan resorpsi tulang, misalnya pada pasien
osteoporosis, penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat
keganasan.
Sekresi CT, secara akut diatur oleh kadar kalsium
didalam darah dan secara kronik dipengaruhi oleh umur
dan jenis kelamin. Kadar CT pada bayi, akan tinggi,
sedangkan pada orang tua, rendah kadamya. Pada wanita,
kadar CT temyatajuga lebih rendah daripada laki-laki.
Saat ini, telah diketahui struktur kalsitonin dari 10
spesies yang berbeda, yang secara umum terdiri dari glisin
pada rersidu 28, amida prolin pada termninal karboksi dan
kesamaan pada 5 dari 9 asam amino pada terminal amino.
Se! C kelenjar tiroid merupakan sumber primer
kalsitonin pada mamalia, sedangkan pada hewan
submamalia,dihasilkanoleh kelenjarultimobrankial.Selain
itu gen kalsitonin juga menghasilkan calcitonin gene
related product (CORP) yang merupakan peptida yang
terdiri dari 3 7 asam amino yang memiliki aktivitas biologik
berbeda dengan kalsitonin, yaitu sebagai vasodilator dan
neurotransmiter dan tidak bereaksi dengan reseptor
kalsitonin. Jaringan lain yangjuga menghasilkan kalsitonin
adalah sel-sel hipofisis dan sel-sel neuroendokrin yang
tersebar diberbagai jaringan, tetapi kalsitonin nontiroidal
ini tidak mempunyai peran yang penting pada kadar
kalsitonin di perifer. Kalsitonin merupakan petanda tumor
yang penting pada karsinoma tiroid meduler.
Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai

2396
penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah
pemberian, efek tersebut sudah mulai bekerja sehingga
aktivitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitonin juga
mempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang
osteoblas, tetapi efek ini masih kontroversial. Efek lain
yang penting adalah analgesik yang kuat. Banyak hipotesis
yang menerangkan rnekanisme efek analgesik kalsitonin,
misalnya peningkatan kadar b-endorfin, penghambatan
sintesis PGE2, perubahan fluks kalsium pada membran
neuronal, terutama di otak, mempengaruhi sistem
katekolaminergik, efek anti depresan maupun efek lokal
sendiri. Kalsitonin juga akan meningkatakan ekskresi
kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan menimbulkan
hipokalsem,ia dan hipofosfatemia. Efek lain adalah efek
anti inflamasi, merangsang penyembuhan Iuka dan fraktur,
dan mengganggu toleransi glukosa.
Konsentrasi kalsium plasma merupakan regulator
sekresi kalsitonin yang penting. Bila kadar kalsium plasma
meningkat, maka sekresi kalsitoninjuga akan meningkat,
sebaliknya bila kadar kalsium plasma menurun, sekresi
kalsitonin juga akan menurun. Walaupun demikian, bila
hiperkalsemia dan hipokalsemia berlangsung lama maka
efeknya terhadap sekresi kalsitonin nampaknya tidak
adekuat, mungkin terjadi kelelahan pada sel C tiroid untuk
mrerespons rangsangan tersebut.
Beberapa peptida gastrointestinal, terutama dari
kelompok gastrin-kolesistokinin merupakan sekretagogs
kalsitonin yang poten bila diberikan secara parenteral pada
dosis suprafisiologik.
Kalsitonin, merupakan obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan penyakit-penyakit
yang miningkatakan resorpsi tulang dan hiperka!semia
yang diakibatkannya, seperti Penyakit Paget,
Osteoporosis dan hiperkalsemia pada keganasan.
Pemberiannya secara intranasal, nampaknya akan
mempermudah penggunaan daripada preparat injeksi
yang pertama kali diproduksi.

HORMON STEROID GONADAL


Yang termasuk hormon steroid gonadal adalah estrogen,
androgen"dan progesteron. Hormon-hormon ini disintesis
setelah ada perintah dari otak yang akan mengirimkan
stimulus dari hipotalamus ke hipofisis untuk menghasilkan
follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH). Pada wanita, hormon-hormon ini akan.
merangsang sintesis estrogen dan progestereon oleh
ovarium, sedangkan pada laki-laki akan merangsang
sintesis testosteron oleh testes.
Progesteron, selain memiliki aktivitas biologik sendiri,
juga berperan sebagai prekursor hormon steroid lainnya,
yaitu estron, estradiol dan testosteron. Enzim aromatase
merupakan enzim yang sangat penting untuk sintesis
estron dan estradiol, baik dari androstenedion, maupun

REUMATOLOGI

testosteron. Enzim ini, merupakan enzim sitokrom P-450,


yang terdapat didalam ovarium, testes, adiposit dan sel
tulang. Baik estron maupun estradiol, berada dalam
keseimbangan yang reversibel, dan keseimbangan ini diatur
oleh enzim l 7b-hidroksisteroid dehidrogenase yang
dihasilkan oleh hati dan usus. Pada wanita pasca
menopause, estrogen yang banyak beredar didalam
tubuhnya adalah estron, yang kemudian akan mengikuti 2
jalur metabolisme menjadi l 6a-hidroksiestron dan
2-hidroksiestron. Keseimbangan kedua estron yang
terhidroksilasi ini memegang peranan yang penting pada
timbulnya kanker payudara, osteoporosis, SLE dan sirosis
hati. Pada laki-laki, testosteron merupakan steroid gonad
utama yang diproduksi testes, walaupun, estradiol juga
diproduksi dalamjumlah yang kecil. Di gonad, tulang dan
otak, testosteron akan diubah menjadi metabolit yang aktif,
yaitu dihidroksitestosteron oleh 5a-reduktase, dan
estrogen oleh aromatase.

KEHILANGAN MASSA TULANG PADAMENOPAUSE


Pada awalnya, proses remodeling ini berlangsung
seimbang, sehingga tidak ada kekurangan maupun
kelebihan massa tulang. Tetapi dengan bertambahnya
umur, proses fonnasi menjadi tidakadekuat sehingga mulai
terjadi defisit massa tulang. Proses ini diperkirakan mulai
pada dekade ketiga kehidupan atau beberapa tahun
sebelum menopause. Sampai saat ini, belum diketahui
secara pasti, apa penyebab penurunan formasi tulang pada
usia dewasa, mungkin berhubungan dengan penurunan
aktivitas individu yang bersangkutan, atau umur osteoblas
yang memendek, atau umur osteoklas yang memanjang
atau sinyal mekanik dari osteosit yang abnormal.
Defisiensi estrogen pada wanita menopause telah lama
diketahuimemegangperan yang penting pada pertumbuhan
tulang dan proses penuaan. Penurunan kadar estrogen akan
memacu aktivitas remodeling tulang yang makin tidak
seimbang karena osteoblas tidak dapat mengimbangi kerja
osteoklas, sehingga massa tulang akan menutrun dan tulang
menjadi osteoporotik. Aktivitas osteoklas yang meningkat
akan mennyebabkan terbentuknya lakuna Howship yang
dalam dan putusnya trabekula, sehingga kekuatan tulang
akan mwnjadi turun dan tulang mudah fraktur.
Selain itu, defisiensi estrogenjuga akan meningkatkan
osteoklastogenesis dengan mekanisme yang belum
sepenuhnyadimengeri.Lingkunganmikro didalamsumsum
tulang memegang peranan yang sangat penting pada
osteoklastogenesis, karena disini dihasilkan berbagai
sitokin seperti tumour necrosisfactors (TNF) dan berbagai
macam interleukin. Faktor-faktor sistemik yang turut
menunjang suasana ini adalah berbagai hormon seperti
hormon paratiroid (PTH), estrogen dan l ,25(0H)2 vitamin
D3 yang turut berperan merangsang osteoklastogenesis
melalui perangsangan reseptor pada permukaan sel

SlRUKTURDAN METABOUSME

2397

TULANG

turunan osteoblas. Osteoblas diketahui menghasilkan


berbagai faktor yang dapat menghambat maupun
merangsang osteoklastogenesis. Osteoprotegerin adalah
anggota superfamili TNF yang larut yang dihasilkan oleh
osteblas yang dapat menghambat osteoklastogenesin.
Sedangkan faktor yang merangsang osteoklastogenesis
yang dihasilkan osteoblas adalah reseptor nuklear factor
k-B (RANK) ligand (RANKL), yang akan melekat pda
reseptor RANK pada permukaan osteoklas. Selain itu,
osteoblas dan sel stromal sumsum tulang juga
menghasilkan macrophage colony stimulating factor
(M-CSF)yang akan meningkatkanproliferasi sel prekursor
osteoklas.
Ekspresi yang berlebih dari osteoprotegerin akan
menghasilkan tulang yang sangat keras yang disebut
osteopetrosis, sedangkan ablasi genetik osteoprotegerin
akan menghasilkan osteoporosis, karena tidak ada
penghambat osteoklastogenesis. Sebaliknya ablasi
genetik RANKL dan RANK juga akan akan menghasilkan
osteopetrosis, karena tidak ada osteoklastogenesis.
Defisiensi estrogen pada laki-laki juga berperan pada
kehilangan massa tulang. Penurunan kadar estradiol di
bawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan
osteoporosis. Falahati-Nini dkk menyatakan bahwa
estrogen pada laki-laki berfungsi mengatur resorpsi tulang,
sedangkan estrogen dan progesteron mengatur formasi
tulang. Kehilangan massa tulang trabekular pada laki-laki
berlangsung linier, sehingga terjadi penipisan trabekula,
tanpa disertai putusnya ,trabekula seperti pada wanita.
Penipisan trabekula pada laki-lakiterjadi karena penurunan
formasi tulang, sedangkan putusnya trabekula pada wanita
disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan
akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu
menopause.
Peningkatan remodeling tulang akan menyebabkan
kehilangan massa tulang yang telah termineralisasi secara
sempuma (mineralisasi primer dan sekunder) dan akan
digantikan tulang barn yang mineralisasinya belum
sempurna (hanya mineralisasi primer). Pemeriksan
densitometri tulang tidak dapat nmembedakan penurunan
densitas akibat penurunan massa tulang
yang
termineralisasi atau remodeling yang berlebih sehingga
tulang terdiri dari campuran tulang tua yang sudah
mengalami mineralisasi sekunder dan tulang muda yang
baru mengalami mineralisasiprimer.
Secara biomekanika, derajat mineralisasi memegang
peran yang sangat penting terhadap fragilitas dan kekuatan
tulang karena tulang yang terlalu keras akibat mineralisasi
yang lanjut akan menjadi getas, sebaliknya tulang yang
belum sempurnamineralisasinyaakanmenjadikurangkeras.

PERUBAHAN TULANG SELAMA KEHAMILAN

Kebutuhan kalsium selama kehamilan akan meningkat

karena janin dan plasenta akan memobilisasi kalsium dari


tubuh ibu untuk menieralisasi tulang pada tubnuh janin.
Lebih dari 33 gram kalsium terakumulasi pada tubuhjanin
selama perkembangan tulang, dan sekitar 80% terjadi pada
trimester ketiga dimana mineralisasi tulang terjadi dengan
sangat cepat. Kebutuhan kalsium ini akan menjadi lebih
besar lagi, karena terjadi peningkatan absorpsi kalsium di
usus sampai 2 kali lipat atas pengaruh 1,25(0H)2D dan
faktor-faktor lain. Kadar 1,25(0H)p meningkat selama
kehamilan sampai aterm. Peningkatan ini tidak
berhubungan dengan peningkatan PTH, karena PTH tetap
normal atau rendah selama kehamilan. Kadar PTHrP
meningkat selama kehamilan, karena dihasilkan oleh
beberapa jaringan janin dan ibu, termasuk plasenta,
amnion, desidua, tali pusat, paratiroid janin dan payudara.
Walaupun demikian, tidak dapat dipastikanjaringan mana
yang berperan pada peningkatan kadar PTHrP. Diduga
PTHrP yang berperan pada peningkatan kadar l ,25(0H)p
didalam tubuh ibu. Selain ituy PTHrP juga berperan pada
pengaturan tranport kalsium ke tubuhjanin lewat plasenta,
dan melindungi tulang ibu karena bagian terminal
karboksil PTHrP mempunyai efek menghambat kerja
osteoklas.
Penelitian biokimiawi menunjukkan bahwa bone
turnover menurun pada pertengahan pertama kehamilan,
tetapi meningkat pada akhir trimester ketiga yang sesuai
dengan peningkatan mineralisasi tuyJangpada tubuh j anin.
Walaupun demikian, penelitian epidemiologik tidak
mendapatkan pengaruh yang bermakna antara kehamilan
dengan densitas massa tulang dan risiko fraktur.
Peningkatan fragilitas dan risiko fraktur pada kehamilan,
biasanya berhubungan dengan penyebab lain, seperti
obat-obatan.

PERUBAHAN TU LANG SELAMA LAKTASI

Rata-rata kehilangan kalsium melalui air susu ibu (ASI)


sehari dapat mencapai 200-400 mg, walaupun ada beberapa
laporan yang menyatakan kehilangan kalsium ini dapat
mencapai 1000 mg/hari. Untuk mengatsi peningkatan
kebutuhan kalsium selama laktasi, maka terjadi
demineralisasi tulang selama laktasi. Proses demineralisasi
ini tidak disebabkan oleh PTH atau 1,25(0H)2-D, tetapi
oleh peningkatan PTHrP dan penurunan kadar estrogen
didalam darah. Selama laktasi kadar PTH dan 1,25(0H\D
akan turun, sedanmgkan PTHrP akan meningkat.
Produksi utama PTHrP selama kehamilan adalah payudara
dan didalamASI, kadar PTHrPmeningkat lebihdari 10.000
kali kadamya didalam darah orang normal maupun pasien
hiperkalsemia akibat keganasan. Peran peningkatan
PTHrP selama laktasi tidak diketahui secara pasti,
tetapi pada binatang percobaan diketahui hubungan
peningkatan PTHrP dengan morfogenesis dan aliran darah
ke payudara. Selain itu PTHrP juga akan mempertahankan

2398
kadar kalsium palsma dengan cara meningkatkan
resorpsi kalsium dari tulang, mengurangi ekskresi kalsium
di ginjal dan secara tak langsung menghambat sekresi
PTH.
Absorpsi kalsium di usus selama laktasi tidak
meningkat, walaupun kebutuhan kalsium meningkat; hal
ini mungkindisebabkantidak meningkatnyakadar l ,25(0H)p.
Secara biokimiawi, petanda resorpsi tulang dan formasi
tulang meningkat selama laktasi. Densitas massa
tulangpun menurun selama laktasi. Peningkatan bone turnover ini diduga lebih disebabkan oleh peningkatan PTHrP
dan bukan karena penurunan estrogen setelah persalinan.
Walaupun demikian, kehilangan densitas massa tulang
akanpulih kembali setelahmasa laktasiselesai.Sama halnya
denga selama kehamilan, osteoporosis pada laktasi bukan
merupakan problem yang serius, kecuali bila didapatkan
faktor risiko osteoporosis lainnya.

TULANG PADA USIA LANJUT

REUMATOLOGI

gangguan pengikatan vitamin D pada VDR. Kesemuanya


ini akan menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder dan
meningkatkan resorpsi tulang. Selain itu, defisiensi
vitamin K juga akan meningkatkan risiko fraktur, tetapi
patogenesisnya masih belum jelas.
Faktor Hormonal
Defisiensi estrogen tidak hanya menjadi masalah penyebab
osteoporosis pada wanita pasca menopausal, tetapi juga
pada wanita-wanita tua. Pada laki-laki tua juga diketahui
bahwa penurunan kadar testosteron berperan pada proses
peniurunan densitas massa tulang. Faktor hormonal lain
yang berperanan pada proses osteoporosis pada orang
tua adalah penurunan produksi IGF-1, dehidroepindrosterone (DHEA) dan dehidroepiandrosteron
sulphate (DHEA-S).
Faktor Keturunan dan Lingkungan
Faktor genetik diduga berperan pada proses osteoporosis pada usia lanjut. Demikian juga faktor lingkungan,
seperti merokok, alkohol, konsumsi obat-obatan tertentu,
seperti glukokortikoid dan anti konvulsan.

Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan


intrakortikal akan meningkat, sehingga kehilangan tulang
terutama terjadi pada tulang kortikal dan mingkatkan risiko
fraktortulang kortikal, misalnyapada femurproksimal.Total
permukaan tulang untuk remodeling tidak berubah dengan
bertambahnya umur, hanya berpindah dari tulang
trabekular ke tulang kortikal.
Risiko fraktur pada orang tua juga meningkat akibat
peningkatan risiko terjatuh, kebiasaan hidup yang tidak
menguntungkan bagi tulang dan tingginya remodeling
tulang; oleh sebab itu tindakan pencegahan sangat
penting untuk diperhatikan.
Densitas massa tulang pada orang tua akan menurun
dan setiap penurunan I-Score 1 SD pada leher femur akan
meningkatkan risiko fraktur 2,5 kali lipat. Selain itu faktor
umur juga sangat berperan. Wanita 80 tahun dengan BMD
0, 700 g/cm2 akan lebih besar risiko fraktumyadibandingkan
dengan wanita 50 tahun dengan BMD yang sama.
Selama kebidupannya, seorang wanita akan kehilangan
massa tulang pada daerah spinal mencapai 42% dan pada
daerah femoral mencapai 58%. Pada dekade ke-8 dan 9,
kehilangan massa tulang akan meningkat sama dengan
pada massa perimenopausal, karena proses resorpsi akan
lebih aktif dibandingkan dengan proses formasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan
kehilangan massa tulang pada usia lanjut antara lain :

Glukokortikoid, sering menimbulkan berbagai efek pada


metabolisme tulang, yaitu:

Faktor Nutrisi
Yang paling sering adalah defisien kalsium dan vitamion
D. Defisiensi vitamin D biasanya berhubungan dengan
asupan yang kurang, penurunan respons kulit terhadap
ultraviolet, gangguan konversi 25(0H)D menjadi
l ,25(0H)p di ginjal, penurunan VDR di usus dan

Histomorfometri
Secara
histomorfometri, glukokortikoid
akan
mengakibatkan penurunan tebal dinding tulang trabekular,
penurunan mineralisasi, peningkatan berbagai parameter
resorpsi tulang, supresi pengerahan osteoblas dan
penekanan
fungsi
osteoblas.

EFEK GLUKOKORTIKOID PADA TULANG

Hormon steroid lain yang juga mempunyai efek terhadap


tulang adalah glukokortikoid. Glukokortikoid sangat
banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit,
terutama penyakit otoimun. Pada penggunaan jangka
panjang, glukokortikoid sering menyebabkan kehilangan
massa tulang yang ireversibel. Efek glukokortikoid pada
tulang trabekular jauh lebih besar daripada efeknya pada
tulang kortikal, dan kehilangan massa tulang yang tercepat
sampai terjadi fraktur pada umumnya terjadi pada
vertebra, iga dan ujung tulang panjang. Kehilangan massa
tulang tercepat terjadi pada tahun pertama penggunaan
steroid yang dapat mencapai 20% dalam 1 tahun.
lnsidens fraktur akibat osteoporosis pada pengguna
steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu, penggunaan
steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga dapat
menyebabkan osteoporosis. Dari berbagai penelitian,
diketahui bahwa penggunaan prednison lebih dari 7 ,5 mg/
hari akan menyebabkan osteoporosis pada banyak pasien.

S1RUKTURDAN

METABOUSME

2399

TULANG

Efek pada Osteoblas dan Formasi Tulang


Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terus
menerus akan mengganggu sintesis osteoblas dan
kolagen. Replekasi sel akan mulai dihambat setelah 48
jam paparan dengan glukokortikoid. Selain itu juga
terjadi penghambatan sintesis osteokalsin oleh
osteoblas.
Efek pada Resorpsi Tulang
In vitro, glukokortikoidmenghambat diferensiasi osteoklas
dan resorpsi tulang pada kultur organ. Efek peningkatan
resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in vivo,
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder akibat
penghambatan absorpsi
kalsium
di usus oleh
glukokortikoid.
Efek pada Hormon Seks
Glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh
hipofisis, estrogen oleh ovarium dan testosteron oleh
testes. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang
pada pemberian ster~id.
AbsorpsiKalsium di Usus dan Ekskresi Kalsium
di Ginjal
Penggunaan glukokortikoid dosis farmakologik akan
mengganggu transport aktif transelular kalsium.
Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak
berhubungan dengan vitamin D. Gangguan absorpsi
kalsium di usus dan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal
menurun secara bermakna pada pengguna glukokortikoid.
Ekskresi kalsium urin dan kadar hormon paratiroid (PTH)
akan meningkat dalam 5 hari setelah seseorang
menggunakan glukokortikoid. Gangguan transport ini akan
makin memburuk pada asupan Natrium yang tinggi dan
akan menurun dengan pembatasan asupan Natrium dan
pemberian diuretik tiazid.
Efek pada Metabolisms Hormon Paratiroid dan
Vitamin D
Kadar PTH dan 1,25 dihidroksivitamin D (l,25(0H\D)
didalam serum meningkat pada pengguna glukokortikoid,
walaupu"n kadar kalsium serum tinggi. Hal ini diduga
berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang
mengubahtransportkalsium. Glukokortikoidmeningkatkan
sensitifitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan
penghambatan aktivitas fosfatase alkali oleh PTH dan
menghambat sintesis kolagen.
Efek l ,25(0H)2D juga dihambat oleh glukokortikoid,
walaupun kadar l ,25(0H)2D meningkat didalam darah. Hal
ini diduga akibat perubahan respons membran sel dan
perubahan reseptor. Ekspresi osteokalsin oleh osteoklas
yang dirangsang oleh l,25(0H)p, juga dihambat oleh
glukokortikoid.

Efek pada Sitokin


Interleukin-I (IL-I) dan IL-6 mempunyai efek peningkatan
resprsi tulang dan menghambat formasi tulang.
Glukokortikoid akan menghambat produksi IL- I dan IL-6
oleh limfosit-T.Pada pasien Artritis Reumatoid, pemberian
glukokortikoid akan menurunkan aktivitas peradangan
sehingga penurunan massa tulang juga dihambat.
Walaupun demikian, para ahli masih berbeda pendapat,
apakah hal ini merupakan efek glukokortikoid pada tulang
atau ada faktor-faktor lainnya.
Osteonekrosis
Osteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular),
merupakan efek lain glukokortikoid pada tulang. Bagian
tulang yang sering terserang adalah kaput femoris, kaput
humeri dan distal femur.Mekanismenya belumjelas, diduga .
akibat emboli lemak dan peningkatan tekanan intraoseus.

MIKROPATOANATOMI OSTEOPOROSIS
KEKUATANTULANG

DAN

Sifat mekanikal tulang sangat tergantung pada sifat


material tulang tersebut. Pada tulang kortikal, kekuatan
tulang sangat tergantung pada densitas tulang dan
porositasnya. Semakin bertambahnya umur, tulang
semakin keras karena meneralisasi sekunder semakin baik,
tetapi tulang semakin getas, tidak mudah menerima beban.
Pada tulang trabekular, kekuatan tulang juga
tergantung pada densitas tulang dan prositasnya.
Penurunan densitas tulang trabekular sekitar 25%, sesuai
dengan peningkatan umur 15-20 tahun dan penurunan
kekuatan tulang sekitar 44%.
Selain densitas tulang, sifat mekanikal tulang trabekular
juga ditentukan oleh mikroarsitektumya, yaitu susunan
trabekulasi pada tulang tersebut, termasuk jumlah,
ketebalan, jarak dan interkoneksi antara satu trabekula
dengan trabekula lainnya. Dengan bertambahnya umur,
jumlah dan ketebalan trabekula akan menurun,jarak antara
satu trabekula dengan trabekula lainnya bertambah jauh
dan interkoneksijuga makin buruk karena banyak trabekula
yang putus.
Trabekulasi tulang pada tulang trabekular terdiri dari
trabekula yang vertikal dan horizontal. Trabekula yang
vertikal sangat penting, terutama pada tulang-tulang
spinal untuk menahan gaya kompresif. Pada umyurnnya
trabekula yang vertikal lebih tebal dan lebih kuat
dibandingkan dengan trabekula yang horiontal. Trabekula
horizontal berfungsi untuk pengikat trabekula vertikal,
sehingga membentuk arsitektur yang kuat yang
menentukan kekuatan tulang. Kehilangan trabekula pada
osteoporosis dapat terjadi akibat penipisan trabekula atau
putusnya trabekula sehingga trabekula tersebut tidak
menyatu lagi dan kekukatan tulangpun akan menurun.

2400
Trabekula yang menipis masih dapat pulih kembali dengan
mengurangi resorpsi tulang, tetapi trabekula yang putus
biasanya tidak akan pulih kembali. Dengan bertambahnya
usia, makajumlah trabekula yang putus akan makin banyak
sementara formasi dan resorpsi terganggu sehingga
penyembuhan trabekula yang rusak akan terganggu. Selain
itu dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan pada
matriks tulang termasuk penurunan kualitas kolagen yang
ditandai oleh penipisan kulit dan fragilitas pembuluh darah.
Jumlah trabekula ternyata sangat penting dalam
menentukan kekuatan tulang dibandingkan dengan
ketebalan trabekula. Penelitian Silva dan Gibson
mendapatkan bahwa penurunan jumlah trabekula sampai
batas penurunan densitas massa tulang 10% akan
menurunkan kekuatan tulang sampai 70%, sedangkan
penurunan ketebalan trabekula sampai batas penurunan
densitas massa tulang I 0%, hanya akan menurunkan
kekuatan tulang 25%. Oleh sebab itu, mempertahankan
jumlah trabekula sangat penting pada pasien usia lanjut.
Termasuk
dalam hal ini adalah terapi terhadap
osteoporosis, ditujukan untuk mempertahankan atau
memperbaiki jumlah trabekula daripada mempertahankan
ketebalan trabekula.
Pada penelitian terhadap penggunaan risedronat pada
pasien osteoporosis, dilakukan biopsi pada krista iliaka
pasien yang mendapat risedronat dan kontrol yang tidak
mendapat terapi, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan high resolution 3-D micro-computed
tomography dan dianalisis mikrosarsitektur jaringan tulang
tersebut. Ternyata setelah I tahun, kelompok yang
mendapat risedronat menunjukkan tidak ada perubahan
dalam mikroarsitektumya diabndingkan dengan data dasar,
sebalinya dengan kelompok plasebo menunjjuikkan
perrburukan mikroarsitektur yang signifikan. Selain itu,
pada kelompok plasebo juga didapatkan putusnya
trabekula yang tidak didapatkanpada kelompok risedronat.
Putusnya trabekula bersifat ireversibel dan sangat sulit
dibentuk kembali, sehingga mengakibatkan kekuatan
tulang menurun. Penelitian yang dilakukan selama 3 tahun
juga menunjukkan basil yang serupa dengan penilitian
yang sdilakukan selama I tahun. Oleh sebab itu pada
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa risedronat dapat
mempertahankan kekuatan tulang dibandingkan dengan
plasebo.
Faktor lain yang juga turut berperan pada penurunan
kekuatan tulang adalah retakan mikro (mocrodamage,
microcracks) yang jumlahnya makin banyak dengan
bertambahnya usia. Diduga, retakan mikro ini berhubungan
dengan pembebanan yang repetitif yang dapat dimulai
pada tingkat kolagen termasuk putusnya agregat kolagenmineral maupun rusaknya serabut-serabut kolagen
tersebut. Bertumpuknya retakan mikro ini dapat dilihat
dengan mikroskop cahaya. Walaupun belum diketahui
secara pasti hubungan retakan mikro dengan sifat
biomekanik tulang secara invivo, banyak peneliti

REUMATOLOGI

mendapatkan bahawa bertumbuknya tulang yang rusak


dan tulang yang mati pada jaringan tulang akan
menurunkan kekuatan tulang tersebut. Sehingga retakan
mikro secara in vivo mungkin mempunyai peran yang tidak
sedikit dalam peningkatan fragilitas tulang pasien usia
lanjut.

REFERENSI
Bukka P, McKee MD, Karaplis AC. Molecular Regulation of Osteoblas
Differentiation. In: Bronner F, Farach-Carson MC (eds). Bone
Formation, 1st ed. Springer-Verlag. London 2004: 1-17.
Baron R. General Principles of Bone Biology. In: Favus MJ,
Christakos S (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and
Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society of
Bone and Mineral Research, Washington 2003: 1-8
Broadus AE. Mineral balance and homeostasis. In: : Favus MJ (ed).
Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th edition. Lippincott-Raven Pub!
1999:74-80.
Banse X, Devogelaer J, Delloye C et al. Irreversible Perforation in
Vertebral Trabeculae? J Bone Miner Res 2003;18(7):1247-53.
Banse X, Sims TJ, Bailey AJ. Mechanical Properties of Adult
Vertebral Cancellous Bone: Correlation With Collagen
Intermolecular Cross-Links, J Bone Miner Res 2002; 17(9): 1621-8.
Borah B, Dufresne TE, Chmielewski PA. Risedronate Preserves
Trabecular Architecture and Increase Bone Strength in Vertebra
of Ovariectomized Minipigs as Measured by Three-Dimensional
Microcomputed
Tomography.
J Bone Miner
Res
2002; 17(7): 1139-4 7.
Everts V, Delaisse JM, Korper W et al. The Bone Lining Cell: Its
Role in Cleaning Howship's Lacunae and Initiating Bone
Formation. J Bone Miner Res 2002;17(1):77-90.
Eastell R, Barton I, Hannon RA et al. Relationship of Early Changes
in Bone Resorption to the Reduction in Feacture Risk With
Risedronate. J Bone Miner Res 2003; 18(6): 1051-6.
Frost HM. On the Estrogen-Bone Relationship and Postmenopausal
Bone Loss: A New Model. J Bone Miner Res 1999;14(9):1473-7.
Hurley MM, Lorenzo JA. Systemic and Local Regulation of Bone
Remodeling. In: Bronner F, Farach-Carson MC (eds). Bone
Formation, 1st ed. Springer-Verlag. London 2004: 44-70.
Rollick MF. Vitamin D: Photobiology, Metabolism, Mechanism of
action, and clinical aplication. ln : Favus MJ (ed). Primer on the
Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism.
4th edition. Lippincott-Raven Pub! 1999:92-8.
Harlap S. The benefits and risks of hormone replacement therapy:
An Epidemiologic
overview.
Am J Obstet Gynecol
1988; l 66(6,pt2): 1986-92.
Lee CA, Einhorn TA. The Bone Organ System: Form and Function.
In: Marcus R, Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol I,
2nd ed, Academic Press, San Diego, California 2001 :3-20.
Lian JB, Stein GS. Osteoblast biology. In: Marcus R, Feldman D,
Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol I, 2nd ed, Academic Press, San
Diego, California 200 I :21- 72.
Lems WJ, Jacobs JWG, Bijlsma
JWJ. Corticosteroid-induced
osteoporosis. Rheumatology in Europe 1995;24(suppl 2):76-9.
Mundy GR, Chen D, Oyajobi BO. Bone Remodeling. In: Favus MJ,
Christakos S (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and
Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society of
Bone and Mineral
Research,
Washington 2003:46-57

STRUKTURDAN

METABOUSME TULANG

Marcus R, Majurnber S. The Nature of Osteoporosis. In: Marcus R,


Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol 2, 2nd ed,
Academic Press, San Diego, California 2001:3-18.
Orwoll ES. Towards on Expanded Understanding of the Role of The
Periosteum in Skeletal Health. J Bone Miner
Res
2003; 18(6):949-54
Paschalis EP, Boskey AL, Kassem M, Eriksen EF. Effect of
Hormone Replacement Therapy on Bone Quality in Early
Postmenopausel Women. J Bone Miner Res 2003:18(6):955-9.
Robey PG, Boskey AL. Extracellular matric and Biomineralization
of Bone. In: Favus MJ, Christakos S (eds). Primer on the
Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism.
5th ed. American Society of Bone and Mineral Research,
Washington 2003:38-45
Riggs B, Khosla S, Melton J. A Unitary model for involutional
osteoporosis: Estrogen deficiency causes both type I and type
II osteoporosis in postmenopausal women and contributes to
bone loss in aging men. J Bone Miner Res 1998; 13:763-73.
Recker RR, Barger-Lux MJ. Bone Remodeling Findings in Osteoporosis. In: Marcus R, Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol
!, 2nd ed, Academic Press, San Diego, California 2001:59-70.
Rubin C, Turner AS, Muller R et al. Quantity and Quality of

2401
Trabecular Bone in the Femur Are Enhanced by Strongly
Anabolic, Noninvasive Mechanical Intervention. J Bone Miner
Res 2002;17(2):349-57.
Seeman E. Bone Quality. Advances in Osteoporotic Fracture
Management 2002;2(1):2-8
Seeman E. Pathogenesis of bone fragility in women and men.
Lancet 2002;359:1841-50
Tate MLK, Tami AEG, Bauer TW, Knothe U. Micropathoanatomy
of Osteoporosis: Indications for a Cellular Basis of Bone
Disease. Advances in Osteoporotic Fracture Management
2002;2(1 ):9-14
The European Prospective Osteoporosis Study (EPOS) Group. The
Relationship
Between Bone Density and Incident Vertebral
Fracture in Men and Women. J Bone Miner Res
2002; 17(12):2214-21.
Van Der Linden JC, Homminga J, Verhaar JAN, Weinans H.
Mechanical Consequence of Bone Loss in Cancellous Bone. J
Bone Miner Res 2001;16(3):457-65.
Wolf AD, Dixon ASJ. Osteoporosis: A Clinical guide. lst ed. Martin
Dunitz, London 1998:1-56
Watts NB. Bone Quality: Getting Closer to a Definition. J Bone
Miner Res 2002; 17(7): 1148-50.

379
INFLAMASI
Soenarto

Istilah inflamasi yang berasal dari kata inflamation yang


artinya radang, peradangan, Sedang istilah inflamasi
sendiri asalnya dari bahasa latin yaitu: Jnflamation:
Injlammare yang artinya membakar. Inflamasi adalah
respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera
atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan,
mengurangi atau mengurung suatu agen pencedera
maupun jaringan yang cedera itu. Pada bentuk akut ditandai
oleh tanda klasik yaitu: nyeri ( dolor), panas (kalor),
kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi
(fungsiolesa).
Secara histologis, menyangkut rangkaian kejadian
yang rumit, yaitu mencakup dilatasi arteri, kapiler, dan
venula, dan disertai peningkatan permeabilitas dari aliran
darah, eksudasi cairan, termasuk protein plasma, dan
migrasi leukosit ke dalam fokus peradangan.
Jadi dengan kata lain, inflamasi atau radang merupakan
proses sentral dalam patogenesis dan juga merupakan
suatu fungsi pertahanan tubuh terhadap masuknya
organisme maupun gangguan lain. Peristiwa timbulnya
inflamasi kini lebih dapat difahami dengan penemuanpenemuan berbagai macam zat yang merupakan mediator
dalam peran sertanya mengatur, mengaktifkan sel-sel, baik
dari darah maupun jaringan dan kemudian dapat timbul
gejala dari jaringan yang menderita. Gejala akut yang klasik
seperti tertera di atas. Dikenal adanya inflamasi akut,
subakut dan kronis; dan bila dilihat dari proses timbulnya,
maka ada yang disebabkan karena infeksi dan yang non
infeksi.
Inflamasi, merupakan keadaan perubahan dinamik yang
konstan, yaitu suatu reaksi dari jaringan hidup guna
melawan berbagai macam rangsang. Peristiwa tersebut
bercirikan adanya pancaran ke bawah (kaskade) dari selsel dan fenomena humoral.
Hampir semua kejadian inflamasi, termasuk yang
dipengaruhi rangsang "non-antigenik", mempunyai

komponen imunologik, dan ini difokuskan pada kaskade


inflamasi pada target khusus, apakah
waktunya
diperpendek atau diperpanjang,
dan mengurangi atau
meniadakan intensitasnya.
Inflamasi secara normal adalah proses yang selflimiting, bila faktor-faktor yang mempengaruhi dapat
dilenyapkan, maka inflamasi dapat hilang. Keadaan
demikian merupakan rangkaian yang umum tampak pada
peristiwa inflamasi akut. Inflamasi yang umum tampak pada
peristiwa inflamasi akut. Inflamasi kronis tidak dapat
dipungkiri karena faktor yang mula-mula ada tidak dapat
dilenyapkan, karena mereka melengkapi lagi atau
mengekalkan diri, atau melalui kegagalan dari mekanisme
diri yang gaga! dalam proses inflamasi. Kemudian proses
inflamasi akan berubah bentuk dari mekanisme protektif,
dan pada kebanyakan kasus menjadi kerusakan yang
ireversibel dari jaringan normal.

RESPONS BAWAAN {ALAMI) DAN PENYESUAIAN


(DIDAPAT)
Terdapat dua bagian fungsi pertahan tubuh, yaitu sistem
imun bawaan (tidak spesifik), dan penyesuaian
(spesifik).Tabel 1.
Masing-masing terdiri dari bermacam-macam sel dan
faktor-faktor yang larut. Sel-sel dari respons bawaan adalah
neutrofil fagositosis, dan makrofag, bersama-sama dengan
basofil, sel-sel mast, eosinofil, trombosit, monosit dan selsel pembunuh alami [Natural Killer (NK) cells].
Sel-sel yang termasuk dalam fungsi penyesuaian adalah
antibodi, imunoglobulin IgG, IgM, IgA, IgE dan lgD, yang
dihasilkan oleh limfosit B dan sel plasma, dan limfokinlimfokin yang kebanyakan uiproduksi oleh limfosit T.
Sedangkan faktor yang bawaan yang larut adalah lisosim,
interferon, sitokin, komplemen protein fase akut.

2403

INFLAMASI

Respons bawaan merupakan garis pertahanan terhadap


invasi ke jaringan oleh mikroorganisme dan berguna dalam
pengenalan oleh antigen spesifik atau kemahiran dalam
mengingat. Sedangkan sistem imun penyesuaian
menggunakan ingatan untuk menjelaskan ke tingkat
limfosit T dan B.

kegagalan mekanisme guna melaksanakan tugas tersebut,


hingga inflamasi berlanjut. Keadaan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut;
Rangsang

Rang sang
Dihllangkan

Slstem /mun bawaan


(alaml) dlaktlfkan

INFLAMASI
AKUT

Tabel 1. Radang (lnflamasi) dan Respons Tubuh

Sel-sel

Faktor-faktor
yang larut

Alami (tak
spesifik)

Didapat
(Penyesuaian Speslfik)

Netrofil
Eosinofil
Basofil
Trombosit
Makrofag
Monosit
Sel Mast
Sel NK
Lisozim sitokin
INF
komplemen
Protein fase akut

Sel B dan T
APC
Sel - sel dendritik
Sel - sel Langerhans

ANTIBODI
ANTIBODI
lgG & subklas, lg M
lg A, lg E, lg D
Limfokin

Jika kaskade inflamasi teraktifkanmaka sistem bawaan dan


penyesuaian berinteraksi guna mengatur perkembangan
selanjutnya.
Bila faktor-faktor pemrakarsa telah menyingkirkan
kasus-kasus inflamasi akut, danjika respons bawaan gagal
menyingkirkan faktor-faktor tersebut, barn respons
penyesuaian diaktifkan. Hal ini akan menghasilkan
pengeluaran dari pencetus inflamasi, dan kaskade
dihilangkan.Inflamasi kronis terjadi bila faktor-faktoryang
memprakarsai kaskade tersebut masih ada, atau bila
kemampuan memadamkan tidak ada, maka akan terjadi

Keratinocytes

Gambar 1.

JARINGAN

PEMBULUH DARAH

I NFLAMASI KRONIK

Rangsang
Dfhllangkan

Mtmghasllkan
ssl-sel peng1n r;ial
spesifik

INFLAMASI AKUT DAN KRON IS

KULIT

KESEMBUH AN

Amplifikasll
Pengerasen

JARINGAN
RUSAK

Gambar 2.

INFLAMASI DAN FAGOSITOSIS

Fagositosis dari mikroorganisme merupakan pertahanan


alami tubuh yang utama guna membatasi pertumbuhan
dan penyebaran dari bahan-bahan patogen. Sel-sel
pemangsa dengan cepat menyerbu ke tempat infeksi yang
bersamaan dengan permulaan dari inflamasi. Dengan
memangsa mikroorganisme baik yang dilakukan oleh
makrofag jaringan dan fagosit-fagosit yang sering
berpindah memungkinkan guna membatasi kemampuan
mikrobauntuk menimbulkanpenyakit.Famili darimolekulmolekul yang berkaitan, dinamakan "collectins ", "Soluble
defense col/agens ", atau "pattern-recognition
molecules", dijumpai dalam darah ( "mannose-binding
lectins "), dalam paru ("surfaktan protein A dan D"), dan
demikian pula di lain-lain jaringan dan juga yang terikat
pada karbohidrat di permukaan mikroba guna
meningkatkan pembersihan oleh fagosit. Bakteri yang
patogen tampaknya dimangsa terutama oleh neutrofil
polimorfonuklear (PMN), sedangkan eosinofil sering
dijumpai di tempat infeksi oleh protozoa atau parasit
multiselular. Patogen yang mampu bertahan, akan dapat
menghindari pembersihan oleh fagosit yang profesional,
dan mampu membuat di permukaannya suatu molekul
dengan berat molekul yang besar sebagai antigen
polisakarid dipermukaannya. Kebanyakan bakteri yang
patogen dapat membuat kapsul antifagositik.
Selain aktivasi dari fagosit-fagosit lokal di jaringan
yang merupakankuncitahap awal dari inflamasidan migrasi
dari fagosit-fagosit menuju tempat infeksi, namun kini
banyak perhatian yang diarahkan pada faktor mikroba
yang mengawaliinflamasi.Dalam kaitaninitelahpula diteliti
tentang struktur, mekanisme molekuler dan patogenesis
mikroba. Dari studi yang telah dilakukan menyangkut
interaksi Lipopolisakarid (LPS) dari bakteri gram negatif

2404
dan glycosylphosphatidylinositol (GPI) yang menonjol
di membran protein CD 14 yang terdapat di permukaan
fagosit-fagosit profesional, termasuk makrofag yang
beredar dan yang terikat di jaringan dan PMN.
Bentuk cair CD 14 terdapat pula dalam plasma dan
permukaan. Suatu protein plasma, "LPS binding protein"
(LBP), mengirirnkan LPS ke ikatan membran CD 14 yang
cair.Bentuk cairan CD 14/ LPS/ LBP kompleks terikat pada
banyak tipe sel dan dapat berada di dalam sel untuk
mengawali respons selular terhadap mikroba yang
patogen. Telah diketahui bahwa peptidoglikan dan asam
Lipoteichoic dari bakteri gram positif dan produk sel
permukaan dari mikobacteria dan spiroseta dapat
berinteraksi dengan CD14. Tonjolan reseptor GPI tidak
mempunyai daerah sandi di dalam sel, dan "Toll-like
receptors" (TLRs)dari mamalia yang melangsungkansandi
guna mengaktifkan sel-sel akibat ikatan LPS. TLRs
mengawali aktivitas selular lewat rangkaian molekul
pembawa sandi, yang berperan pada translokasi inti dari
faktor transkripsi NF-kB, suatu tombol induk guna
menghasilkan sitokin-sitokininflamasiyang penting seperti
Tumor necrosisFactor a (TNFa) dan interleukin (IL)l.
Permulaan dari inflamasi dapat timbul tidak hanya
dengan LPS dan peptidoglikan tapi juga oleh partikel
virus dan lain-lain hasil mikroba seperti polisakarida,
enzim-enzim, dan toksin. Bakteri flagela mengaktifkan
irtflamasi dengan mengikatkan pada TLRs. Bakteri juga
menghasilkan proporsi yang tinggi dari molekul DNA
dengan residu GpG yang tak mengalami metilasi, yang
mengaktifkan inflamasi melalui TLR9. TLR3 pengenal
double stranded RNA, suatu bentuk pengenal molekul
yang dihasilkan oleh banyak virus selama siklus
pembelahan.TLRl dan TLR6 bersekutudengan TLR2 guna
meningkatkan pengenalan dari protein-protein mikroba
yang mengalami asetilasi dan peptida-peptida.
Molekul mieloid diferensiasifaktor 88 (MyD88) adalah
protein adaptor yang umum, yang terikat pada daerah
sitoplasma dari semua TLRs yang dikenal dan juga pada
reseptor-reseptor yang merupakan bagian dari IL-I
(IL- I Re) famili. Sejumlah studi menunjukkan bahwa
"MyD88-mediated transduction" dari sandi dari TLRs dan
IL- I Re adalah keadaan yang kritis untuk resistensi bawaan
terhadap-infeksi.

REUMATOLOGI

yang telah siap dibentuk sebelum ada rangsang atau pacu.


Kemudian dapat dikeluarkan dan berfungsi dalam
pertahanan tubuh guna mengatasi inflamasi, dengan zat
atau bahan yang berfungsi sebagai mediator.
Sel-sel pemangsa (fagosit) merupakan pertahanan
dalam lini pertama guna membinasakan zat-zat patogen,
dan yang berfungsi dalam hal ini termasuk makrofag dan
neutrofil.
Sel-sel yang ada dalam tubuh dilengkapi dengan
reseptor-reseptor yang ada di permukaan sel. Di samping
itu dari sel-sel dilengkapi pula zat yang dapat dikeluarkan
dengan fungsi untuk pengaktifan atau pemicu terhadap
sel lain agar menjadi aktif. Zat-zat tersebut merupakan
mediator.
Suatu contoh dari mediator sel mast manusia adalah;
Yang telah dibentu'k sebelumnya dan mudah dikeluarkan

yaitu: Histamin, faktor kemotaktik eosinofil, super oksida,


alkil sulfatase A, elastase,b-heksosamidase, b-glukosamidase, b-galaktosid, enzim sebangsa kalikrein.
Yang dibentuk sebelumnya dan berkaitan dengan butir-

butir yang ada yaitu: Heparin/Kondroitin sulfat E, Triptase


(I, ~/II,Ill, dan a), Cymase,Karboksipeptidase,Katepsin G,
Superoksidase dismutase, Katalase
Yang baruterbentukyaitu:Leukotriene(sLTC4 LTD4, LTE4),

Platelet Activating factor (PAF), Prostaglandin (PGDJ


Sitokin-sitokin yang diturunkan/dihasilkan oleh sel mast:
Interleukin (IL)- la, -3, -4, -5, -6, -8, -13, -16, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor),
TNF-a (Tumor Necroting Factor-a), INF-y (Interferon y)
termasuk "immunomodulating" bersama IL- I 0, IL-13
Kemokin-kemokin yang diturunkan/dihasilkan oleh sel
Mast: RANTES (Regulated upon Activation Normal Tcell
Expressed and T-cell Secreted), MCP-1 (MonocyteChemoattractantProtein), MIP-b(Macrophage Inhibitory
Protein), MIP-1a, IL-16
Faktor penumbuh yang diturunkanoleh sel mast: VEGF,

FGF, NGF,FGF-~,SCF

KEGIATAN PRODUK DARI SEL MAST


FUNGSI BERBAGAI SEL

Fungsi dankegiatanMakrofag, sel mast, neutrofil, limfosit


danAntigen-Precenting cells dalam proses inflamasi yaitu
menangkap, menghalau, memangsa, membersihkan dan
usaha menyingkirkan dari tempat di mana antigen tersebut
ada dalam jaringan tubuh. Usaha tersebut dapat
dilaksanakan karena sel-sel yang berfungsi melawan antigen atau patogen telah memiliki zat-zat yang ada dalam sel

Seperti yang telah diungkap dalam proses inflamasi


berbagai fungsi mediator pilihan yang memacu kegiatan
yaitu: Histamin, Heparin, Triptase, Kimase, Prostaglandin,
macam-macam Leukotrien (LTC4, LTD4, LTE4J. Platelet
Activating Factor (PAF), Enzim semacam kalikrein, dan
berbagai sitokin. Berbagai fungsi akan dibahas.
Histamin, kegiatannya menampilkan tiga respons dari
Lewis yaitu: Vasodilatasi, kontraksi sel-sel endotel, dan
meningkatkanpermeabilitas.

2405

INFLAMASI

Aksi yang lain meliputiRefleksakson (HJ, Pruritus(H2),


aktivasi kondrosit (Hz), Regulasi dari mikrosirkulasi
sinovial, induksi dari P-selektin pada sel-sel endotel,
dan pengeluaran Interleukin-11 (IL -11)
Heparin, Zat ini mempunyai efek: antikoagulasi;
antikornplemen (Clq: C4, C2, C3 aktivasi, C3b & b
convertase); memacu angiogenesis;meningkatkanaktivitas
elastase; memodulasi hormon paratiroid kalsitonin guna
mempengaruhi osteoporosis; memacu sintesis kolagenase;
menghambat kolagenase yang diaktifkan; potensiasi ikatan
fibronektin pada kolagen; proliferasi fibroblas, dan
potensiasi dari Fibroblast Growth Factor (FGF)
Triptase. Zat ini merupakan pecahan dari substrat tripsin,
dan berperan dalam inaktivasi fibrinogen dan kininogen
dengan berat molekul tinggi, aktivasi dari urinary-tipe
plasminogen activator, aktivasi dari "Latent Synovial
Collagenasse" lewat konversi dari prostromelisin,
degradasi dari Vasoactive Intestinal Peptide (VIP),
bronkokonstriksi, memacu kemotaksis dari fibroblas,
proliferasi sintesis kolagen, menginduksi proliferasi sel
epitel, memacu pengeluaran IL-8, peningkatan ICAM-1,
meningkatkan kemajuan migrasi dari sel endotel, dan
pembentukan saluran vaskular.
Kimase, Zat ini bekerja memecah substrat kemotripsin,
pengubahan dari angiotensin I ke II, memecah substansi
membranbasalis (Lasminin, kolagen tipe II, fibronektin,dan
elastin), pemecahan dari pertemuan dermal-epidermal,
mengadakandegradasidari neuropeptideVIP dan substansiP, memperbanyakpengaruh histamin dalam pengembangan jentera,
mengubah endotelin-1
yang besar menjadi
"
vasoactive endothelin-1 ", membebaskan aktivasi "Laten
TGF-P" dari progelatinase b, meningkatkan sekresi dari
kelenjar mukosa, memecah "membrane-associated SCF''
Prostaglandin Prostaglandin (PGD2). Zat zat ini berfungsi
sebagai: bronkonkonstriktor, kemoatraktan, penghambat
agregasi trombosit, vasodilatasi, pontensiator dari LTC4
pada vasa darah.
Berbagai Leukotrien (LTC4, LTD4, LTEJ Berbagaizat ini
berfungsi sebagai: "Slow-Reacting Substance of anaphy! axis", pemacu kontraksi otot polos, vasodilator,
pengaktifan sel endotel
PAF (Platelet Activating Factor), Zat ini berfungsi untuk
mengaktifkan: neutrofil, trombosit, kontraksi otot polos,
permiabilitas vaskular, kemotaksis untuk neutrofil dan
eosinofil, guna menginduksi immune complex-mediated
vasculitis.

Enzim sebangsa kalikrein, merupakan keturunan


bradikinin
Sitokin mempunyai efek imunologik dan efek pada
jaringan ikat.
Pada keadaan tertentu sekresi sitokin tergantung pada

pengeluaran histamin. "Nuclear factor of Activated


T'cells" (NFAT-1), dan keluarga protein tersebut dalam
mengatur peningkatan "transcriptional cytokine" dalam
menanggapi terhadap "IgE cross-Linking" atau SCF.
Stimulasi sel Mast pada organ explant atau in vivo,
mengakibatkan aktivasi sel endotelmikrovaskular, yang
mengalami refleksi dengan adanya peningkatan E-selektin
dan ICAM-1. Peningkatan aktivasi sel endotel dapat
ditekan dengan cara menambahkan sebelumnya antibodi
yang menetralisir terhadap TNF-a.
Seperti tertera di atas, sel mast juga mensintesis,
menyimpan dan mengeluarkan VEGF dan PFGF, hal
ini menambah pandangan bagaimana sel ini m
empunyai kontribusi dalam "Remodelling" jaringan ikat.
Di samping itu mempunyai implikasi pada penyakitpenyakit yang sering berhubungan dengan neovaskularisasi. Sel mast, mampu menampilkan MHC II
antigen pada permukaan selnya dan juga molekul
tambahan seperti ICAM-1. Molekul permukaan ini
memungkinkan interaksi yang produktif antara
Limfosit dengan sel mast.
Jadi dengan menghasilkanmacam-macam sitokin, akan
mempunyai fungsi bermacam-macam terhadap respons
biologis yang berkaitan dengan pertumbuhan, perbaikan
dan inflamasi, serta mempunyai dampak pada macammacam penyakit dari manusia.
Berbagai penggerak sel mast dapat dikelompokkan
dalam dua bagian yaitu: respons imun alami/bawaan, dan
respons imun didapat/penyesuaian.
Respons imun alami terdiri dari:
Jalur yang tergantung pada IgE yaitu: alergen-alergen
multivalen, IgE Complexes, IgE Rheumatoid Factor,
Anti FcE R1 antibodies, IgE-dependent HRF.
Jalur yang bebas dari IgE yaitu:
Macam-macam kemokin seperti Monocyte
Chemoatractant Protein (MCP), MCP-1, MCP-2,
MCP-3, Regulated upon T-cell Activation
Normal

T-cell

Expressed

and

Secreted

(RANTES), Macrophage Inhibitory Protein


(MIP-la,MIP-lP)
Endotelin-1
Complement-derived peptides" C3a, C4a, C5a
Macam-macam Protease: "tripsin", "kemotripsin"
Stem cell Factor (SCF)
Kinin
Paratormon
Produk-produk degradasi kolagen
Eosinophil-derived

major basic protein

Substansi P
Respons imun penyesuaian/didapat,terdiri dari zat-zatyang
dibentuk guna melawan:
Produk bakteri seperti lipopolisakarida, Fimbriae,
Hemolisinis,Toksin.
Parasit-parasit seperti Schistosoma mansoni

2406
Virus-virus seperti influenza-A
1NF-a.,IL-12
Lebih lanjut tentang keluarga sitokin dan keluarga
reseptor sitokin dapat disimak pada tabel.

SITOKIN-SITOKIN DAN RESEPTOR-RESEPTOR


SITOKIN
IL- I a;~' memiliki reseptor tipe I IL-IR dan tipe 2 IL-IR.
Sitokin IL-la,b dihasilkan oleh: monosit/makrofag, sel-sel
B, fibroblas, sebagian besar sel-sel epitel termasuk epitel
timus dan sel-sel endotil. Target sel yang dipengaruhi ialah
semua sel. Dan aktivitas biologiknya meningkatkan
pengaturan penampilan molekul adhesi.
IL-2, memiliki reseptor IL-2Ra,~, dan y yang umum.
Sitokin ini dihasilkan oleh sel-sel T. Target dari zat ini
adalah sel-sel T, sel-sel B, dan sel-sel NK, monosit/
makrofag. Dan aktivitas biologiknya ialah aktivasi sel T
dan proliferasi, pertumbuhan sel B, proliferasi sel NK dan
aktivasi, peningkatan aktivitas monosit/makrofag.
IL-3, memiliki reseptor IL-3R, dan ~ yang umum.
Dihasilkan oleh sel-sel T, sel-sel NK, dan sel-sel mast.
Sasaran targetnya ialah: monosit/makrofag, sel-sel mast,
eosinofil, sel-sel pendahulu sumsum tulang. Dan aktivitas
biologiknya yaitu
memacu sel-sel
pendahulu
hematopoietik.
IL-4, memiliki reseptor IL-4 R a, dan ~ yang umum.
Sitokinini dihasilkanoleh: sel-selT, sel-sel mast dan basofil.
Sasaran target selnya adalah: sel-sel T, sel-sel B, sel-sel
NK, monosit/makrofag, neutrofil, eosinofil, sel-sel endotel
dan fibroblas. Sitokin ini berfungsi memacu "TH2 helper
T-cell differentation " dan proliferasi, memacu sel B klas
lg yang berubah ke IgG 1 dan lgE; bekerja anti-inflamasi
terhadap sel-sel T dan monosit.
IL-5, memiliki reseptor IL-5Ra, dan ~ yang umum.
Dihasilkan oleh sel-sel T, sel-sel mast dan eosinofil. Target
selnya adalah eosinofil, basofil, dan murin sel-selB. Sitokin
ini mengatur migrasi eosinofil dan mengaktifkan.
IL-6, memiliki reseptor IL-6R, gp 130. Dihasilkan oleh:
monosit/makrofag, sel-sel B, fibroblas kebanyakan
epitelium termasuk epitel timus, dan sel-sel endotel. Target selnyeadalah: sel-sel T, sel-sel 8, sel-sel epitel, sel-sel
hati, monosit/makrofag. Aktivitasnya ialah menginduksi
untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel T dan sel 8
pertumbuhan sel myeloma, dan pertumbuhan serta aktivasi
osteoklas.
IL-7, memilikireseptorIL-7 a, dan yyang umum. Sitokin
ini dihasilkan dari sumsum tulang, sel-sel epitel timus.
Sasaran target selnya adalah.sel-sel T, sel-sel 8, sel-sel
sumsum tulang. Aktivitasnya untuk diferensiasi sel-sel
pendahulu8, T danNK sertamengaktifkansel-selT dan NK.
IL-8, reseptornyaialahCXCRl, CXCR2. Sebagaisumber
penghasil adalah monosit/makrofag, sel-sel T, neutrofil,
fibroblas, sel-sel endotel dan sel-sel epitel. Sebagai target

REUMATOLOGI

selnya adalah: neutrofil, sel-sel T, monosit/makrofag, selsel endotel dan basofil.


Aktivitas biologiknya yaitu menyebabkan migrasi
neutrofil, monosit, dan sel T, menyebabkan neutrofil
melekat pada sel-sel endotel dan mengeluarkan histamin
dari basofil; memacu angiogenesis; menekan proliferasi
dari sel-sel pendahulu hati.
IL-10, memiliki reseptor IL-lOR. Sebagai penghasil
adalah: monosit/makrofag, sel-sel T dan 8, keratinosit dan
sel-sel mast.Target sel sasarannya adalah: monosit/
makrofag, sel-sel T dan 8, sel-sel NK dan sel-sel mast.
Aktivitas biologiknya ialah: menghambat produksi sitokin
proinflamasidari makrofag; mengurangipemakaian sitokin
klas II antigen, dan mengurangi peningkatan 87-1 dan
87-2, menghambat diferensiasi "THI helper T-cells";
menghambat fungsi sel NK; memacu proliferasi dan fungsi
sel mast dan aktivasi sel 8 dan diferensiasi.
IL-11, dengan reseptor IL-I IR, gp 130. Berasal dari selsel stroma sumsum tulang. Target selnya adalah
megakariosit, sel-sel 8 dan sel-sel hati. Aktivitas
biologiknya ialah mempengaruhi pembentukan koloni,
megakariosit dan pendewasaan; meningkatkan respons
antibodi, memacu produksi protein fase akut.
IL-12, terdapat dua sub unit yaitu dengan berat 35-k
Da dan 40-k Da. Reseptornya ialah IL-12R. Dihasilkan dari
makrofag; sel-sel dendrit dan neutrofil yang diaktifkan.
Sebagai target selnya adalah sel-sel T dan NK. Sedang
aktivitas biologiknya mempengaruhi pembentukan THI
helper T-cell dan pembentukan "lyphokine-activated
killer cell"; meningkatkan aktivitas CD8 + CTL.
IL-13, reseptomya adalah IL-13/IL-4R.Dihasilkan oleh
sel-sel T (TH). Sasarantargetnya ialah: monosit/makrofag,
sel-sel 8, sel-sel endotel dan keratinosit. Aktivitas
biologiknya ialah: meningkatkan regulasi VCAM-1 dan
ekspresi kemokin C-C pada sel-sel endotel; meningkatkan
pengaturan aktivasi dan diferensiasi sel 8; menghambat
produksi sitokin proinflamasi dari makrofag.
IL-17, reseptornya ialah IL- l 7R. Dihasilkan oleh CD4 +
sel-sel T. Targetselnya adalah: fibroblas, endotel dan epitel.
Aktivitas biologiknya ialah meningkatkan sekresi sitokin
yang memperkembangkan respons THl yang predominan.
IL-18, dengan reseptor IL18 (IL-IR-Related Protein).
Dihasilkan oleh keratinosit dan makrofag. Sebagai target
selnya adalah sel-sel T, 8, dan NK. Aktivitas biologiknya
adalah meningkatkan pengaturan produksi IFN-g,
meningkatkan sitotoksisitas sel NK.
IFN-y, dengan reseptor tipe-I interferon. Dihasilkan
oleh semua sel. Sebagai sel targetnya adalah semua sel.
Dan aktivitas biologiknya yaitu: aktivitas antivirus;
memacu sel T, makrofag dan aktivitas pengaturan ekspresi
MHC klas I; digunakan untuk terapi terhadap virus dan
kondisi autoimun.
IFN-~, dengan reseptor tipe-I interferon. Dihasilkan
oleh semua sel. Sel targetnya adalah semua sel. Aktivitas
biologiknya
sama
dengan
IFN-a.

2407

INFLAMASI

IFN-y, dengan reseptor tipe II. Dihasilkan oleh sel-sel


T dan NK. Sel targetnya adalah semua sel. Aktivitas
biologiknya adalah: mengatur aktivasimarofag dan sel NK;
memacu sekresiimunoglobulinoleh sel-sel B; menginduksi
antigen "histocompatibility" klas II; mengatur diferensiasi
"THI cell".
TNF-a, dengan reseptomya TNF-Rl, TNF-RII. Sumber
penghasilnyaialah: monosit/makrofag,sel-sel mast, basofil,
eosinofil, sel-sel NK, sel-sel B, sel-sel T, Keratinosit,
fibroblas, sel-sel epitel timus. Sel targetnya ialah: semua
sel kecuali sel darah merah. Aktivitas biologiknya ialah:
Tabet 2.

Keluarga

Sitokin

Tabel 3. Keluarga Reseptor Sitokin


Keluarga
Reseptor

Anggota

Gambaran Umum

IL-1R

IL-IR1,
IRAcP,
18RP.
1Rrp2

Toll-Like R

TLR1-10

Daerah kaya
leucine extrasel

TNFR

TNFR1, TNFR II, Fas


CD 27, CD30, L T~R.
NGFR,
RANK,BAFFR,
BCMA, TAC 1, TRAIL
R1,2,3

Daerah kaya
sistein
ekstraselular

Hematopoietin R

IL-2R, IL-3R, IL-4R,


IL-SR, IL-6R, IL-7R,
IL-9R, IL-13R, IL-1SR,
G-CSFR, GM-CSFR.
EPOR, TPOR

C-terminal W-S-XW-S motifs

IL-IR 11,
IL-18Ra,
Tl/Sh

ILILIL-

Daerah seperti lg
ekstraselular

Anggota Keluarga

Anggota

TNF

TNF-a, LT-a, L
CD4oL, FasL,
BAFF, TRAIL,RANKL, NGF,
CD27-L, CD30L, OX-40L, 4-1 BBi,
APRIL

IFNR

"Clustered four
Cysteine"

IL-1

IL-1a, IL-1p, IL-IRa, IL-18, IL-IFS


sampai IL-1F10

IFR-a/~ R, IFN-y R.
IL-1 OR, IL-19R,IL-20R,
IL-22R, IL-24R

Chemokine R

CXCR1-4,
CR, C3XCR

IL-6

IL-6, LIF, OSM, IL-11, CNTF, CT1, CLC

'Seven
transmembrane
spanning
domains"

lkatan sitokin sitokin


adalah ikatan y yang
sering

IL-2, IL-4, IL-7, IL-9, IL-1S, IL-21

TGF-~ R

IL-10

IL-10, IL-19, IL-20,


IL-26, IL-28, IL-29

TGF-~ R1, TGF-~ R\I,


BMPR, Activin R
EGFR,PDGFR,
FGFR, M-CSFR (Cfms), SCFR (C-kit)

IL-12

IL-12, IL-23, IL-27

r-s,

Growth Factor R
IL-22,

IL-24,

IL-17

IL-17A, sampai IL-17F, IL-2S

Sitokin sitokin
Hematopoietik

SCF, IL-3, TPO, EPO, GM-CSF,


G-CSF, M-CSF

Interferon (IFN)

IFN-a SUBFAMILY,

CXC Kemokines

CXCL 1 sampai CXCL 16

IFN-p, IFN-y

CC Kemokines

CCL 1 sampai CCL 28

C Kemokines

XCL 1, XCL2

CX3C Kemokines

CXC3CLI

TGF-P Superfamily

TGF-p, BMP family, activin,


inhibin, MIS, noctal, leftys

Faktor-faktor

PDGF, EGF, PGF. IGF, VEGF

penumbuh

APRIL,A Proliferation-InducingLigand; BAFF,B-ce/1Activating


Factor; BMP,Bone MorphogeniticProtein; CLC, CardiotrophinLike Cytokine; CNTF, Ciliary Neutrophic Factor; CT,
Cardiotrophin; EGF, Epidermal Growth Factor; ENA, Epithelial NeutrophilActivating peptide; EPO, Erythropoietin; FGF,
Fibroblast Growth Factor; G-CSF, Granulocyte Colony Stimulating Factor; GM-CSF, Granulocyte-Macrophage ColonyStimulating Factor;IFN, Interferon; IGF, Insulin-Like Growth
factor; IL, Interleukin; IL- lRa, Interleukin-1 Receptor
Antagonist; L, Ligand; LIF, Leukemia Inhitory Factor; LT,
Lymphotoxin; M-CSF, Monocyte Colony Stimulating Factor;
'\1IS,MidlerianInhibitingSubstance;NGF, Nerve GrowthFactor;
OSM, Oncostatin-M; PDGF, Platelet Derive Growth Factor;
RANK, Receptor Activator of Nuclear Factor kB; SCF, Stem
Cell Factor; TGF, Transforming Growth Factor; TNF, Tumor
Xecrosis Factor; TPO, Trombopoietin; TRAIL, TNF-Related
Inducing Ligand; VEGF, Vascular Endothelial Growth Factor

CCR1-8

Serine-threonine
kinase
Tyrosine kinase

BAFF, Bcel!-Activatingfactor; BCMA, Beel/ Maturation Antigen; BMP, Bone Morphologic Protein; EGF, Epidermal Growth
Factor; FGF, Fibroblast Growth Factor; G-CSF, Granulocyte
Colony Stimulating Factor; GM-CSF, Granulocyte-Macrophage
Colony-StimulatingFactor; IL, Interleukin; IL-lRacP,InterleukinAccesso1y Protein; IL-1Rrp2, IL-lR Related Protein; M-CSF,
Monocyte ColonyStimulatingFactor; NGF, Nerve Growth Factor;
PDGF, Platelet Derive Growth Factor; RANK, Receptor Activator
of Nuclear Factor
KB; and
SCF,Calcium
Stem Cellmodulator
Factor; TACI,
Transmembrane
Activator
and
CyclophilinLigand Interactor; TGF, Transforming Growth Factor;
TLR, Toll-Like Receptor; TNF, Tumor Necrosis Factor; TPO,
Trombopoietin; TRAIL, TNF-Related Inducing Ligand

demam, anoreksia, syok, sindrom kebocoran kapiler,


meningkatkan sitotoksisitas leukosit, meningkatkan fungsi
sel NK, sintesis protein fase akut, induksi sitokin
proinflamasi.
G-CSF, dengan reseptomya G-CSFR, dan gp 130. Selsel penghasilnya adalah: monosit/makrofag, fibroblas, selsel endotel, sel-sel epitel timus, sel-sel stroma. Se!targetnya
adalah: sel-sel mieloid dan sel-sel endotel. Sedangkan
aktivitas biologiknya ialah mengatur mielopoiesis;
meningkatkan survival dan fungsi neutrofil; digunakan di
klinik guna mengatasi neutropeni setelah kemoterapi
dengan obat sitotoksik.
GM-CSF, dengan reseptomya GM-CSFR; dan ~ yang
umum. Dihasilkan oleh: sel-sel T, monosit/makrofag,

2408
fibroblas dan sel-sel endotel. Tentang aktivitas biologisnya
yaitu: mengatur mielopoiesis; meningkatkan aktivitas
bakterisidal dan tumorisidal dari makrofag; mediator dari
maturasi dan fungsi sel dendrit.
M-CSF, dengan
reseptor M-CSFR (C-fims
protoonkogen). Dihasilkan oleh: fibroblas, sel-sel endotel,
monosit/makrofag, sel-sel T, sel-sel B, sel-sel epitel
termasuk epitel timus. Se! targetnya adalah monosit/
makrofag. Aktivitas biologiknya mengatur produksi dan
fungsi monosit/makrofag.
Fraktalkin, dengan reseptomya CX3CRI. Dihasilkan
oleh sel-sel endotel yang diaktifkan. Sel targetnya adalah:
se!-sel NK, sel-sel T, monosit/makrofag. Aktivitas
biologiknya adalah: "Cell surface chemokine/mucin
hybrid molecule" yang berfungsi sebagai kemoatraktan,
aktivator leukosit, dan cell adhesion molecule.
Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa mediatormediator bioaktifpada sel mast hewan coba (tikus) yang
diaktifkan akan menghasilkan:
I. Mediator-mediator lipid yaitu : Leukotrien B4,
Leukotrien C4, Plateled-Activating Factor, dan
prostaglandin D2
2. Mediator-mediator yang dibentuk sebelumnya dari
sekresi granula yaitu: histamin, proteoglikans, Triptase
dan Kimase, Karbopeptidase A.
3. Sitokin sitokin yaitu: IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF,
IL-13,IL-l,INF-P, TNF-a

REUMATOLOGI

Makrofag jaringan
Atau sel mast

Gambar 3.

Tabel 4. lnteraksi Molekul Adhesi dari Leukosit I Sel


Endotelial
lnteraksi

Molekul
adhesi
Endotil

Molekul adhesi
Lekosit

Menggelinding

E-selectin
P-selectin
HA
Tak diketahui
VCAM-1
ICAM-1
ICAM-2
VCAM-1
HA
ICAM-1
ICAM-2
VCAM-1
PECAM-1
JAM

ESL-1
PSGL-1
CD44
L-selectin
VLA-4
LFA-1, MaC-1
LFA-1
VLA-4
CD44
LFA-1, Mac-1
LFA-1
VLA-4
PECAM-1, Lain-lain?
Pengikat (Ligand)
multipel

Melekat menyatu

Emigrasi

Dari ketiga kelompok mediator tersebut akan


menimbulkan respons pada Leukosit, fibroblas, substrat
dan mikrovaskular.
Dari respons leukosit, dapat mengadakan perlekatan,
kemotaksis, produksi lg E, proliferasi sel mast, aktivitas
Eosinofil.
Dari respons Fibroblas, dapat mengadakan proliferasi,
vakuolisasi, produksi Globopentaosylceramide, produksi
kolagen.
Dari respons substrat dapat mengadakan aktivasi
matriks metaloprotease, aktivasi dari kaskade koagulasi.
Sedang dari respons mikrovaskular, dapat timbul
permeabilitas venuler terganggu, perlekatan leukosit,
konstriksi dan dilatasi.
Berikut ini akan disajikan bagaimana rangsang
inflamasi memicu kegiatan leukosit, serta tabel interaksi
molekul adhesi dari leukosit/sel endotel. Dan berikutnya
adalah gambar neutrofil dan proses inflamasi.

IIIMll'Q1(alilan

-~tkE

5aiBCl.itl

ENDOTEL

KOMPONEN UTAMA DARI SISTEM IMUN BAWAAN


DALAM MEMICU IMUNITAS ADAPTIF

Em Qf85

1't1milfT1

~Sttcln
IL~1.TN~lL--6lNFij.i..1~

Merekrut
makrofag
limfosit
Skema kejadlan dalam hasil neutrofil,perekrutan den inflama.si
Tanda Kardlnal (rubor,Lumor,calor,dolor)
PMN(polimorfonuclear)
GCSF(Granulocyle CoJony Stimulating Factor)

Gambar 4.

Sel-sel sistem imun bawaan dengan peran utamanya dalam


memicu imunitas adaptiftergantung pada tipe sel-sel yang
berperan. Berikut ini akan dipaparkan macam-macam sel
yang terlibat.

Sel-sel makrofag, peran utamanya dalam imunitas bawaan


ialah: mengadakan fagositose dan membunuh bakteri, di
samping itu menghasilkanpeptide anti mikrobial; mengikat

INFLAMASI

lipopolisakarida (LPS); dan menghasilkan sitokin sitokin


inflamator.
Peran dalam imunitas adaptif yaitu menghasilkan
interleukin (IL)l tumor necrosis factor (TNF)a guna
meningkatkanmolekul-molekuladhesilimfositdan kemokin
untuk menarik "antigen-spesific" limfosit-limfosit;
menghasilkan IL-12 guna menarik TH I helper T-cell
Responses; meningkatkan pengaturan ikut memacu
bersamamolekul-molekulMHC guna memfasilitasilirnfosit
T dan B guna mengenali dan aktivasi ; sel-sel makrofag
dan dendrit, setelah adanya isyarat dari LPS, dan
meningkatkan pengaturan pacuan bersama molekulmolekul B7-l (CD80) dan B7-2 (CD86) yang diperlukan
guna menggiatkan dari sel-sel T antigen-specific
antipathogen, dan selanjutnya juga protein-protein
Toll-like pada sel-sel B dan sel-sel dendrit yang setelah
terikat LPS menyebabkan CD80 dan CD86 pada
sel-sel tersebut menyampaikan kepada sel T antigen
presenting.
Sel-sel dendritik plasmasitoid (DCs) dari garis keturunan
Limfoid, peran utamanya ialah: menghasilkan sejumlah
besar interferon (INF)a yang mempunyai aktivitas anti
tumor dan anti virus, dan didapatkan dalam zona sel T dari
organ-organLimfoid; Sel-sel tersebut beredar dalam darah.
IFN-a merupakan aktivator yang poten pada makrofag dan
DSs yang dewasa guna memangsa patogen-patogen yang
masuk dan menyampaikan antigen-antigenpatogen kepada
sel T dan sel B.
Terdapat dua tipe sel-sel dendritik mieloid, yaitu: yang
diturunkan dari sel intersisial dan Langerhans.
DCs intersisial adalah penghasil kuat IL-2 dan IL-10 dan
terletak di zone-zone sel T dari organ-organ Limfoid; dan
sel-sel tersebut ada dalam darah, dan ada dalam sela-sela
dari paru, jantung, dan ginjal; DCs Langerhans adalah
penghasil kuat dari IL-12; dan letaknya di zone-zone sel T
dari Limfonodi, epitel kulit, dan medula timus; dan beredar
dalarn darah. Peran utama dalam imunitas adaptif dari DCs
interstiel adalah APC yang poten untuk sel-sel T dan yang
pertama-tama mampu mengaktifkan sel B guna
menghasilkan antibodi; sedangkan DCs langerhans adalah
APC yang poten untuk "T cell priming".
Sel-selpembunuh
alamilnatural killer (NK)cells.
Tugasnya membunuh sel-sel asing dan penjamu (host) yang
memiliki kadar rendah dari "MHC + self petides".
Menampilkan reseptor-reseptor yang menghambat fungsi
NK dengan adanya penampilan yang banyak dari
"seif-MHC". Dalam peran utamanya sebagai imunitas
adaptif, sel ini menghasilkan TNF-a dan IFN-y yang
merekrut TH1 helper T cells responses.
Sel-sel NK-T, peran utamanya dalam imunitas bawaan
merupakanlimfosit-limfosibt aik dari keduasel T dan petanda
permukaan NK yang dapat mengenali antigen Lipid yang
ada dalamselbakteri,misalnyaM Tuberculosisoleh molekul-

2409
molekulCDI dan kemudianmembinasakansel-selhostyang
terinfeksidengan bakteria intraselulartersebut. Peran utama
dalamirnunitasadaptif,sel-selNK-TmenghasilkanIL-4guna
merekrut "TH2 helper T-cellresponses", dan memproduksi
IgG1 dan IgE.
Neutrofil, peran utamanya dalam imunitas bawaan ialah
memangsa dan membunuh bakteri, dan memproduksi
peptida-peptida antimikrobial. Sedang peran utama dalam
imunitas adaptif ialah menghasilkan "Nitric Oxide
Synthase" dan "Nitric Oxide" yang menghambat
apoptosis dan Limfosit-limfosit dan dapat memperpanjang
respons imunitas adaptif.
Eosinofil, peran utamanya dalam imunitas bawaan ialah
membunuh parasit-parasit yang masuk. Sedang peran
utamanya dalam imunitas adaptif ialah menghasilkan IL-5
yang merekrut "lg-specific antibody responses".
Sel-sel mast dan basofil, peran utamanya dalam imunitas
bawaan ialah mengeluarkan TNF-a, IL-6, IFN-y dalam
merespons pada macam-macam dari "bacterial PAMPs"
(Pathogen-Associated Moleculer Patterns).
Dalam kaitannya dengan peran utama sebagai imunitas
adaptif sel-sel tersebut menghasilkan IL-4 yang merekrut
"TH2 helper cell Responses" dan merekrut lgG 1 dan
"JgE-spesijic antibody Responses".
Sel-sel epitelial, peran utamanya dalam imunitas bawaan
ialah memproduksi peptida-peptida anti-mikrobial; dan
jaringan epitel spesifikmenghasilkanmediatordari imunitas
bawaan lokal, misalnya sel-sel epitel paru memproduksi
protein-protein surfaktan (protein-protein dalam keluarga
collectin) yang mengikat dan memperkembangkan/
meningkatkanpembersihandari mikrobayang masuk dalam
pam
Dalam aktivitas peran utama dalam imunitas adaptif,
menghasilkan TGF-~ yang memicu "lgA-spesific antibody
responses".

PRODUK YANG DISEKRESI DARI EOSINOFIL

Protein-protein dari granule terdiri atas "major basic


protein" eosinofil peroxidase, protein eosinofil
cationic, neurotoxin yang berasal dari eosinofil,
/3-Glucuronidase, asam fosfatase dan arilsulfatase B.
Sitokin-sitokin,yaitu IL-I, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8,
IL-10, IL-16, GM-CSF, RANTES, TNF-a, TGF-a, TGF-/3,
danMIP.
Mediator-mediatorLipid, yaitu leukotrienB4 (Jumlahnya
sedikit), leukotrienC4, leukotrienC5, 5 hidroksi6,8,15-di
HETE, 5-okso-15-hidroksi 6,8,11,13-ETE (eicosatetraenoic acid), Prostaglandin E1 dan prostaglandin E2,
6-keto-prostaglandin F1, Troboksane 2, PAF (plateletactivating factor).

2410

REUMATOLOGI

Enzim-enzim: elastase, protein kristal Charcot-Leyden,


kolagenase, g2-kd radikal.
Reactive oxygen intermediates : superoxide radical
anion, Hp2 dan Hydroxy Radicals.

Fosfollpld
membran sel
Foslolipase
Cyclooxygenase

Asam Arakldonat

lkatan Protain
(FLAP)

...----='"-'5'-"'-a,l =xi ygenase

EOSINOFILKEMOATRAKTAN

5-HPETE

Ini terdiri atas:


Kemokin-kemokinyaitu Eotaksin, Eotaksin 2, Eotaksin
3, MCP2, MCP3, MCP4, RANTES, MIPia, IL-8.
Sitokin-sitokinyaitu: IL-16, IL-12
Primersyaitu:IL-3,IL-5, GM-CSF
Mediator-mediatorhormonalyaitu:PAF, C5a, C3a, LIB 4,
LTD4, D1HETES danHistamin.
Molekul-molekul adhesi adalah protein permukaan sel
berfungsi ganda yang bertindak sebagai penengah interaksi
baik antara sel dengan sel dan sel dengan matriks.
Di samping itu peranannya dalam pemeliharaan dari
struktur jaringan dan keutuhan protein tersebut ikut serta
dalam proses kegiatan. selular seperti motilitas, memberi
isyarat dan pengaktifan.

LTA.1
hydrol.ise

LTB4

,D.

LTD4 dan LTf:4


Receptor

L1

LTE4

I
Transport

LTB4 Receptor

PG: Prostaglandln

PROSTAGLANDIN PADA INFLAMASI KELUARGA


PROSTAGLANDIN,LEUKOTRIENDAN KOMPONEN
YANG BERHUBUNGAN

Gambar 5.

- Smooth muscle
contraction
- lntn b rt agregaUon

Eikosanoid-20-carbon essentialfatty acid yang berisi 3,4


atau 5 double bound:
8, 11, 14-Eicosatrienoiceacid tdihomo-g-linolenic acid)
5,8,11, 14-Eicosatetraenoicacid(= asam arakidonat)
5,8, 11, 14, 17-Eicosapentaenoicacid

Asal asam arakidonat dari derivat makanan yang


mengandung linolic acid (9, 12-oktadecadienoic acid)
atau dari konstituen makanan yang mengandung
5,8, 11, 14, 17-Eicosapentaenoicacid yang terdapat banyak
dalam minyak ikan.
Arakidonat di esterifikasia fosfolipid dari membran sel
atau lain kompleks lipids. Kadar arakidonat dalam sel
sangat rendah, dari biosintesis dari eikosanoid terutama
tergantung adanya arakidonat terhadap enzim-enzim
eichosanoid-synthese, ini sebagai hasil dari pengeluaran
dari simpanan sel-sel dari lipid oleh acylhydiolases, yang
kebanyakan adalah fosfolipid A2 Peningkatan biosintesis
dari eikosanoid diatur dengan cermat dan tampaknya
merupakan respons terhadap pengaruh yang sangat luas

-S
moottlmuscte
contraction
- Bronchocoostrictor
-Abortifactant
Vasodi!alalion

TX82
lnacnve

Hyperalgesia
Fever

Diuresis
lmmunomodutal,ons

Gambar 6.
COX lsoforms

(CONS TITUVE)

~~~~~;;'::;,of

Pgs

f-

cox-z lnhibltor

dari rangsangan fisik, kimiawi dan hormonal.

I
COX1/

COX-2 -

'Would healing

= MACAM-MACAM POSTAGLANDIN

PGA,
PGB,
PGB
adalah

keton yang tak jenuh yang dihasilkan dari


bentuk non enzimatik PGE selama prosedur

Pgs
D
i
s
e
a
s
e

Stomach Kidney Intestine Platelet

Gambar 7

T
a
r
g
e
t
s
:
A
r
t
r
i
t
i
s
P
a
i
n

=
Cancer

~I

2411

INFLAMASI

Konsep Baru

EICOSANQ/D
Arachldonlc aclc

COXl&2

6.LO

P.450

l.eukotrlenes

Transcelluler
Biosynthesis

Lipo xins ....----------,


EETS
15 - epl-Llpoxines
(Eicosatetraenoic acid)
Initiation

Resolution

lnflamation
P450:
Epoxygenases
(Epoxyeicosatetraenoic acid)

Gambar 8

Tabet 5. Kerja Molekut-motekul


Lipid pada lnflamasi
Gejala Utama
Nyeri dan
hiperatgesia
Kemerahan
(vasodilatasi)
Panas (lokan
dan sistemik)
Edema

yang Diturunkan dari

Mediator Lipid
PGE2, LTB4, PAF
PGE2, PGL2, LTB4,
LxA2, PAF
PGE2, PGl1, LTA 4, PAF
PGE2, LTB4, LTC 4, LTD4,
LTE4, PAF

ATL
LT
LX
PAF
PG

Inhibitor
Endogen

Lipoksin,
ATL

Aspirin - Triggered - Lipoxi


Leukotrien
Lipoksin
Platelet Activating Factor,
Prostaglandin

ekstraksi; tampaknya zat tersebut ada secara biologik. Seri


PGE dan D adalah hidroksiketones, sedangkan Fa
prostaglandin adalah 1,3-diols. Zat-zat ini adalah produk
dari prostaglandin G (PGG) dan H (PGH), cyclic endoperoxides. PGJ2 dan komponen sekeluarga adalah hasil dari
dehidrasi prostasiklin (PGl2_) memiliki struktur cincin
ganda; termasuk cinein siklopentan, cincin kedua dibentuk
olehjembatan oksigen antara karbon 6 dan 9. Tromboksan (
TXJ terdiri atas 6 anggota cincin oksan di samping cincin
siklopentan dari prostaglandin. Baik PGl2_ dan TX 3 adalah
hasil dari metabolismePGG dan PGH.

TROMBOSIT (PLATELET) DAN MEDIATORMEDIATORINFLAMASI


Trombosit diturunkan dari megakariosit dalam sumsum
rulang dan berfungsi untuk hemostatis, penyembuhan luka,

dan respons selular terhadap jejas/trauma. Trombosit juga


merupakan sel-sel efektor inflamasi. Baik PAF (Platelet
Activating Factor) dan fragmen-fragmen kolagen
menyebabkan kemotaksis trombosit ke daerah aktivasi
endotelium atau daerahjejas/trauma dan hasil-hasil yang
dikeluarkan setelah aktivasi, merekrut lain-lain sel dan
mempunyai andil untuk meningkatkan reaksi inflamasi.
Trombosit akan menghsilkan zat yang bersifat
kemoatraktan yaitu PAF dan kolagen. Di samping itu
zat-zat yang berfungsi mengaktifkan seperti PAF, MBP,
fibrinogen, trombin, CRP, Substansi P, IhgG, FceR II,
komponen-komponen komplemen.
Mediator-mediator dalam granula trombosit
menghasilkan ADP, serotonin, PF-4, V.WF, PLA2,
trombospodin dan tromboglobulin. Sitokin-sitokin yang
dihasilkan yaitu: PDGF, FGF, TGF-~ dan RANTES.
Lain-lain mediator yang ada ialah: PGE, LTC4, TxA2,
12.HETE, PAF, Faktor-faktor koagulasi, fibrinogen,
fibronektin dan adenosin (periksa Tabel dan Gambar)
Dalam keadaan normal perlekatan trombosit ke protein
matriks ekstraselular memerlukan faktor Von Willebrant
(v WF) yang terikatpada glikoprotein trombosit lb/lX dan
menyampaikan sebagai jembatan molekuler antara
trombosit dan kolagen subendotelial. Trombosit dapat
pula diaktifkanmelaluireseptor-reseptomyauntuk IgG; IgE,
PAF, C-reactive protein dan substansi P dan melalui
komponen-komponen yang diaktifkan. Dengan
diaktifkannya trombosit, akan mengeluarkan isi granuler
yang memperkembangkan pembekuan dan lebih lanjut
terjadi pengumpulan trombosit.
Tabel 6, Fungsi Gotongan Prostagtandtn
Meningkatkan
Proses
Meredam Proses
Radang
Radang
Pengaturan aliran
darah dan pefusi
organ

<-

-->

Vasodilatasi (PGE2,
pGl2, pgd2, PGII)
-->

Meningkatkan
permeabilitas vaskular
(interaksi dengan Ca5,
LTB4, dan Histamin)
Potensiasi nyeri
(interaksi Bradikinin)
Mengaktifkan limfosit
dan produksi dari
limfokin PGI
Agregasi trombosit.
Pengeluaran PAF
dan PGl2
Desuppressor T
suppressor cells dan
meningkatkan RF
Resopsi daritulang

(-

PGE1, PGE2
menghambat
produksi dari
macrophage
migration inibiting
factor(MIF) oleh selsel T
PGE2 menghambat
proliferasi limfosit T
Menekan proliferasi sel
sinovial
Menekan pembentukan
plasminogen
Menghambat produksi
dari radikal oksigen dan
pengeluaran enzim oleh
neutrofil.

2412
Berbagai macam dari protein dan mediator yang
diturunkan dari lipid mempunyai aktivitas kemotaktik,
proliferatif, trombogenik, dan proteolitik. Pacuan yang
mengaktifkan trombosit guna mengadakan perlekatan dan
degranulasi juga merupakan pemicu pengeluaran AA dari
membran melalui PLA, yang memprakarsai sintesis dari
TXA2, lewat COX-1 dan produk dari Lipoxygenase
12-HETEyang kemudian dimetaboliser menjadi lipoksin.
Produk-produk dan granula-granula trombosit juga
memprakarsaireaksi inflamasilokal. Granula-granulapadat
berisi ADP,suatu agonis yang mengaktifkan ikatan fibrinogen dari trombosit pada sisi dari b, integrin glikoprotein II
bl Illa, dan serotonin, suatu vasokonstriktor yang paten
yang mengaktifkan neutrofil dan sel-sel endotelial.
Alfa granul berisi PF4 dan b-troboglobulin, yang
mengaktifkan leukosit-leukosit mononuklir dan PMN dan
juga tempat dihasilkan PDGF dan TGF-~, yang keduanya
memacu proliferasi sel-sel otot polos dan fibroblas dan
sangat penting dalam perbaikan jaringan dan
angiogenesis. Di samping itu granul trombosit
menghasilkan trombospodin yang memprakarsai neutrofil,
faktor koagulasi F V, VII, vWF, fibrinogen dan fibronektin.

RESPONS PENYESUAIAN (ADAPTIF)


Limfosit bertanggung jawab untuk respons imun
penyesuaian (adaptif). Limfosit pendahulu beredar dalam
darah. Lirnfosit ini akan berkembang menjadi sel B dan sel
T. Sel B yang awal melanjutkan pertumbuhannya dalam
sumsumtulang. Sedangsel T yang awal berpindahke timus.
Pendahulu kedua tipe sel tersebut mengalami penyusunan
ulang dari gen untuk membentuk reseptor-reseptor antigen. Reseptor-reseptor sel B dan sel T, keduanya
heterodimer, yang terdiri dari dua ikatan yang berbeda,
yaitu rantai ikatan disulfid, di mana sifat ikatannya dapat
dikenal dari rangkaian protein sebagai basil dari kombinasi
yang tampak pada tingkat genetik. Bagian dari reseptor
antigen yang akan meningkat pada antigen diturunkan dari
dua atau tiga fragmen gen yaitu segmen yang berubahubah, yang aneka ragam dan pengikat.
Sel B dan T memiliki reseptor antigen yang spesifik.
Pengenalan molekul untuk antigen pada sel-sel B adalah
membrane associated-immunoglobulin, sedangkan
reseptor antigen pada sel-sel T adalah molekul yang
berbeda, yang bukan imunoglobulin. Bila diaktifkan oleh
adanya antigen, maka sel-sel B berkembang menjadi
antibodi yang menghasilkan sel-sel plasma, dan sel-sel
yang memelihara ingatan pada antigen.
Sel-sel T juga berkembang menjadi sel-sel effector dan
pengingat. Awai dari reaksi ini disebut respons primer.
Berikutnya terdapat periode laten kurang lebih tujuh hari
sebelum perkembangan lebih lanjut.
Sel T mempunyai beberapa sub-set. Ada beberapa
sub-set sel T yang penting yang berpengaruh pada sel-

REUMATOLOGI

sel T dan B terhadap antigen dan termasuk mengaktifkan


makrofag. lni adalah sel-sel T helper (penolong) yang
memproses antigen T4 pada permukaannya dan
membentuk T4H dan sel-sel T suppressor guna memiliki
antigen T8 dan membentuk T8s. terdapat pula klas sel-sel
T sitotoksik yangjuga T8 positif. Dan kebanyakan respons
antibodi pada antigen-antigen adalah sel T yang
dependen, dan fungsi utama sel-sel T helper untuk
menyediakan faktor yang diperlukan oleh sel B menjadi
dewasa dan mensintesis antibodi.
Sel-sel penolongjuga diperlukan guna mempengaruhi
sel-sel T sitotoksik guna mengikat dan membunuh sel-sel
yang terinfeksi dengan virus dan menyerang sel-sel
tumor. Di samping itu sel-sel penolong mengaktifkan selsel supresor T dan sebaliknya menekan atau mengurangi
regulasi oleh sel-sel tersebut. Sel-sel T yang merespons
terhadap adanya antigen, akan mensekresi zat-zat yang
menyampaikan pesan yang ada dalam sel dan ini disebut
Limfokin yang berbeda dengan antibodi-antibodi yang
dihasilkan oleh sel-sel B yang telah diaktifkan,
Limfokin-limfokin yang penting termasuk interleukin
2 (IL-2), Gamma Interferon (IFN y), dan Macrophage
Inhibitor Factor (MIF). MlF merangsang makrofag untuk
melaksanakan fagositosis aktif dan sekaligus menghambat
migrasi dari sel-sel tersebut dari daerah di mana sel-sel Th
tertumpuk.

SEL-SELTSUPPRESSORDANPENOLONG(HELPER)
IL-2 yang disekresi oleh sel-sel Th adalah faktorpenumbuh
yang memacu proliferasi dari sel-sel T sehingga mereka
memproduksi clone-clone sel-sel antigen spesifik yang
akan menjadi sel-sel sitoksik, penolong (helper), atau
suppressor. Sel-sel T suppressor mengurangi pengaturan
respons dari lain-lain sel-sel T dan B.
Ada pula anggapan bahwa prostaglandin-prostaglandin diturunkan sebagai bagian dari proses inflamasi dari
fosfolipid-fosfolipid membran sel yang dapat mengurangi
regulasi sel-sel T suppressor. Selanjutnya priksa tentang
keluarga prostaglandin dan bagan tentang asam
arakidonat. Sel-sel B, mempunyai petanda permukaan pada
awal stadium akan menjadi dewasa. Langkah awal adalah
pengaturan kembali gen-gen dari imunoglobulin rantai
berat. Proses ini meliputi pecahan "germline chromosome"
dan penggabungan dari V8, D8 dan J8, yang kemudian
menjadi bentuk VDJH. Terakhir,terminal deoksitransferase
(TdT) banyak terdapat dalam sel yang mengalami
pengaturan ulang, dan menambah bahan dasar ekstra pada
fragmen-fragmensebelum diadakan rekombinasi. Hasilnya
akan terbentuk banyak macam gen imunoglobulin dari
macam-macam sel pelopor dari B.
Kemudian sel-sel yang berhasil membentuk protein
ikatan-berat yang ditampilkan di permukaan sel, akanjuga
membentukkompleks rantai-ringan. Kompleks ikatanberat

2413

INFLAMASI

dan ikatanringanpada sel-selB dan molekulimunoglobulin


yang lengkap pada sel B yang belum dewasa bersamaan
dengan pasangan protein transmembran yang disebut Iga
dan Iga. Ini adalah molekul pembawa signal yang
diperlukan guna seleksi yang positif dari sel-sel B guna
dapat melewati titik-titik pemeriksaan.
Setelah diferensiasi sel B berlangsung, dan sel-sel
yang bertahan hidup dalam proses seleksi akan keluar
dari sumsum tulang sebagai sel yang terbentuk baru,
kemudian sel B yang dewasa melakukan perjalanan ke
limpa, dan masuk ke daerah PALS (Periarteriolar
lymphoid Sheath), di mana sel-sel B. Antigen yang ada
diangkut masuk dalam PALS, di mana telah ada kerja sama
antara sel T dan sel B.
Se! B yang ada di daerah perbatasan kemudian masuk
ke dalampulpa merah lalu mengadakandiferensiasimenjadi
plasmablas, yang dengan cepat mempunyai respons awal
terhadap zat yang patogen. Disini terjadi kerja sama yang
unik antara sel-sel T, B dan folikular dendritik. Se! B
menyajikan pada sel T lewat MHC klas II yang ada pada
sel B.Sel-sel B yang.diaktifkan dapat menampilkan CD80
atau CD86 (B7.1 atau B7.2). Se! B yang demikiankini dapat
menyampaikan dua isyarat kepada sel T yaitu satu ikatan
dari reseptor antigen sel T ke MHC klas Il-peptid kompleks
pada sel B, dan yang Iain dengan mengikat CD28 pada sel
T oleh CD80 dan CD86 pada sel B. Aktivasi dua isyarat
demikian itu bennanfaat untuk meningkatkan kadr dari
sekresi IL-2 dan proliferasi dari sel T.
Setelah cukup stimulasi, sel - sel B membelah dirijadi
sel-sel plasma dan menghasilkan imunoglobulin yaitu lgG
dengan subklas 1, 2, 3, 4; lgA dengan dua subklas; IgM,
IgD, serta IgE. Pengatur molekul dari fungsi limfosit,
dilakukan oleh reseptor-reseptor permukaan sel dan
adanya interaksi antar sel.

Dengan adanya rangsangan awal, sel T menerima


bantuan dalam menetapkan tipe sel efektor apa dari sel
tersebut yang timbul. Pada tiap kasus, sel T menadi aktif
dan menampilkan molekul pennukaan yang baru, CD 154
yang juga dikenal sebagai Pg39 atau CD40L. Ini adalah
lawan reseptor untuk CD40, suatu keluarga dari reseptor
TNFa superfamily, yang ada pada sel-sel B. Ikatan dari
CD40 memungkinkanisyarat sehinggasel B dilindungidari
programkematian.Molekulbarn CD80dihasilkandari ikatan
CD154pada CD40. CD80 merupakan lawan reseptor untuk
CD28 pada sel T.
Ikatan CD40 pada sel B mempengaruhi peningkatan
lain molekul pada sel B yaitu ikatan CD95 (CD154, Fas
Ligand). Secaranormal ikatan CD95 Ligandmempengaruhi
kematian sel. Namun sel-sel B yang telah menerima isyarat
Gambar
PLATELETfTRO MBOSIT

pt:itelet a.J11ace Ph0ipafip 45


i
/
1 mponanl TT)le l'I coegulelJgo
M

ThromboxaneA 2 (Cyclooxgenase
dependent)
12-L-hydroperoxyeicosatetraenoid
acid (Lypoxygenasedependent)
12-L-Hydroxyeicosatetraenoic
acid (lypoxygenasedependent)
Glycoproteinadhesif :
Thrombospodin,
Faktor-faktorpenumbuh : PDGF,
VEGF, TGF-~
(a-granules)
Platelet-spesificprotein : ~Thrombo-modulin,PF4 (agranules)
Cationic protein : chemotactic
factor, permeabilityfactor (agranules)
Acid hydrolases (lysosomes)
Serotonin (dense granule)

plasma

P lb : Platelet

Surface

glycoprotein lb
& agrega

Fun gsi adhesi

Lysosomes

I
Dense granules:
ADP,ATP,Ca,Mg,Serotonln

Al~gral'klle

thromboglobulin

PF4

-Albumin

F
-PDG
-TGF- beta
-Chemotactic

- Flbrinogen

- Thrombospodin,fibroneclin

-ADP
factor

- VEGF (vascular
Serotonin

endotelin gro'Nth F)

-V.WF

Gambar 9.

Tabel 7. Mediator-Mediator Utama yang Diturunkan dari Trombosit Terhadap Respons


lnflamasi Jaringan
Respons lnflamasi

Faktor yang Diturunkan dari


Trombosit

embrane

Vasokonstriksi,agregasi

trombosit

Vasokonstriksi,stimulasi dari leucocyte leukotriene 84


synthesis, inhibisi cyclooxygenase
Kemotaxis, stimulasi aktivasi monosit procoagulant
Adhesi sel
Kemotaxis,fibrinogenesis, chondrogenesis,
angiogenesis
Aggregasi trombosit, kemotaxis
Kemotaxis, permeabilitas vaskuler, release
histamin.
Memangsajaringan
Vasokonstriksi, permeabilitasvaskular, fibrinogenesis

: acid hydrolases

2414

REUMATOLOGI

dari reseptor seperti lewat CD40 akan dilindungi,bila tidak


ia akan mati. Pada stadium akhir dalam aktivasi, ikatan
dengan CD28 akan mengirim pesan ke sel T guna
menampilkan CD152 (CTLA-4). Pada permukaan sel B
dijumpai CD 19 dan CD21. Di samping itu terdapat pula
CD32 (Fe. Reseptor).

Sejumlah Ekosanoid suatu vasoaktif dan merupakan


hasil dari imunomodulator dari metabolisme asam
arakidonat yang termasuk pula turunan asal dari
siklooksigenase juga prostaglandin dan tromboksan A2,
yang merupakan vasokonstriktor yang poten dan
mempunyai andil pada hipertensi pulmonal dan nekrosis
tubuler akut pada syok.

RESPONS INFLAMASI PADA SYOK

Aktivasi darijaringan sistem mediator inflamasi yang


sangat luas berperan dengan nyata dalam perkembangan
syok dan mempunyai saham dalam menghasilkanjejas dan
gangguan dari organ-organ.
Mediator-mediator humoral yang multipel diaktifkan
selama syok dan kerusakanjaringan. Kaskade komplemen,
diaktifkan melalui kedua jalur klasik dan alternatif,
menghasilkan anafilaktoksin C3a dan C5a. Fiksasi
komplemen secara langsung pada jaringan yang rusak
dapat berkembang guna menyerang secara rumit C5-C9,
selanjutnya mengakibatkan kerusakan sel. Pengaktifan
kaskade koagulasi menyebabkan trombosis mikrovaskular,
dengan akibat selanjutnyaterjadi lisis utama pada peristiwa
yang berulang dari iskemik dan reperfusi.
Komponen-komponen dari sistem koagulasi, seperti
trombin, merupakan mediator proinflamasi yang poten.
Yang mengakibatkan peningkatan dari molekul-molekul
adhesi pada sel-sel endotel dan mengaktifkan neutrofil,
utamanya pada kerusakan pada mikrovaskular. Koagulasi
yang mengaktifkan kaskade kalikrein-kininogen, yang
mempunyai andil pada kejadian hipotensi.

Perlekatan

Degranulasl
1eukoslt

trombosit

(Platelet
Adhesiorl)
Fagisitosis
menlngkat

Pergantian
trombosil
dan sekresl

lexpresl

Pelekatan
leukosit

Inflantasi adalah respons protektif setempat yang


ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang
berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung
suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu.
Pada bentuk akut ditandai adanya tanda klasik yaitu:
dolor, kalor, rubor, tumor dan fungsiolesa.
Dikenal adanya inflamasi akut, subakut dan kronis.
lnflamsi merupakan keadaan dinamik yang konstan yaitu
suatu reaksi dari jaringan hidup guna melawan berbagai
rangsangan. Dalam melawan inflamasi,dari tubuh memiliki
respons alami dan penyesuaian.Yang alami (tidak spesifik)
terdiri dari sel-sel: neutrofil, eosinofil, basofil, trombosit,
makrofog, monosit, sel mast dan sel NK., serta faktor-faktor
yang larut yang terdiri dari lisozim, sitokin, interferon,
komplemen, dan protein fase akut.
Sedang yang penyesuaian yang bersifat spesifik terdiri
dari sel B, sel T, antigen presenting cell (APC), sel-sel
dendrit dan sel Langerhans, serta faktor-faktor yang larut
seperti antibodi,imunoglobulinG (IgG) dengan subklasnya
lg M, lg A, lg E, lg D dan limfokin.
Selain itu sel-sel yang ada memiliki pula reseptor di
permukaan sel. Dengan demikian memudahkan cara kerja
sel-sel tersebut.
Mediator inflamasi terdiri dari: komplemen, vasoaktif
amin, nitric oxide, histamin, serotonin, adenosin, sistem
pembekuan, bentuk 02yang diaktifkan, metabolisme asam
arakidonat, prostaglandin, tromboksan Aj, dan leukotrien.

REFERENSI
Yang berkaitan
dengan pernapasan
meningkat

Penampilan
P-Selecln

RINGKASAN

Kemotaxis
leukosll
meningl<at

Pengerahan
leukosit

POGF : Platelet Derive GrowthFactor


F4 : Platelet Factor 4
84 : Platelet Factor 4

Gambar 10. Partisipasi trombosit pada awal kejadian radang

Austen KF Allergic, anaphylaxis, and systemic mastocytosis In:


Harrison's principles of internal medicine.Mc Graw Hill. J 6lh
Ed. Vol. II 2005: 1947-56
Bullard CD.Cell adhesion molecules in the rheumatic diseases In
.p.477-8
Crow MK.Structure and function of macrophages and other antigen-presenting cells. In Arthritis and allud conditions Koopmen,
Moreland. A Textbook of rheumatology. Lippincott Williams
& Wilkins J5th Ed Vol. II, 2005: 305-26.
Carter RH Weaver CT.Structure and function of lymphocytes
in.p.327-50.
Gruber B.L Kaplan AP.Mast cells, eosinophilis,and rheumatic
diseases.in: ibid 375-409.
Gabay C.Cytokines and cytokine receptors In. ibid: 423.Weaver CT

381
PERAN PROTEASE, DERIVAT ASAM
ARAKIDONAT DAN OKSIDA NITRIT PADA
PATOGENESIS PENYAKIT REUMATIK
B.P. Putra Suryana

Inflamasi dan degradasi kartilago adalah peristiwa utama


dalam patogenesis sebagian besar penyakit reumatik.
Penelitian yang intens menunjukkan kompleksitas proses
tersebut pada berbagai penyakit reumatik, melibatkan
berbagai macam sitokin, enzim, dan berbagai senyawa
Iainnya, yang saling mempengaruhi. Metabolisme asam
arakidonatdan berbagai enzimnyamempunyaiperan utama
pada proses inflamasi. Ketidakseimbangan protease dan
inhibitomya dapat mengakibatkan degradasi matriks
kartilago secara berlebihan. Oksida nitrit (ON) juga
mempunyai pengaruh yang luas pada proses inflamasi dan
kerusakan jaringan. Tulisan ini membahas protease dan
inhibitomya, derivat asam arakidonat dan ON pada
penyakit reumatik.

PROTEASE
Degradasi molekul matriks merupakan bagian dari proses
remodelling dalam pertumbuhan, perkembangan dan
turnover ~atriks pada orang dewasa. Proses tersebut tidak
selalu menunjukkan keadaan patologis. Proses tersebut
diatur secara seksama oleh berbagai sitokin, faktor
pertumbuhan dan hormon yang mengatur sintesis
protease (proteinase) dan inhibitomya. Proteolisis yang
berlebihan dapat terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan
antara proteinase dan inhibitornya. Keadaan tersebut
dapat diregulasi secara fisiologis seperti pada growth
plate, atau dapat menjadi patologis seperti pada artritis
(Poole,2005).Proteasedikelompokkanmenjadi4 kelas yaitu
meta/lo proteinase, serine proteinase, cysteine
proteinase,dan aspartateproteinase (Poole,2005)(Tabel 1 ).

Protease dan Degradasi Kartilago


Protease berperan pada degradasi kartilago dan
pemecahan molekul matriks. Pada artritis degeneratif dan
inflamasi, degradasi proteoglikan dan kolagen pada
kartilago artikuler disebabkan oleh adanya neutral serine
protease dan metalloproteinase yang berlebih
(Poole, 1995). Serine protease mengaktifkan matrix
metalloproteinase, juga menghancurkan fibronektin dan
molekul matriks lainnya. Neutrofil, sel radang utama pada
inflamasi sendi dan efusi sendi, merupakan sumber utama
serine protease (Barret, 1978;McDonald, l 980).Cysteine
proteinase cathepsin K disintesis oleh osteoklast dan
berperan pada resorpsi tulang, ekspresinyajuga meningkat
oleh kondrosit pasien OA. Tapi tidak terdapat bukti bahwa
cathepsin K berperan pada patologi OA(387)
(Konttinen,2002). Hanya MMP yang terbukti berperan
langsung pada pemecahan molekul pada matriks
ekstraselularkartilago(388,389)(Lark,1997).
Pada artritis reumatoid (AR), kerusakan permukaan
artikuler adalah akibat dari kombinasi efek radikal bebas
dan proteinase yang dilepaskan oleh leukosit
polimorfonuklear. Radikal bebas yang dilepaskan oleh
sel-sel tersebut dapat mengaktifkan kolagenase laten (486)
(Burkhardt,1986). Kerusakan kolagen tipe II pada matriks
di zona yang dalam dekat tulang subkondral juga terjadi
seperti daerah dekat pannus. Proses tersebut terjadi
berkaitan dengan ekspresi sitokin proinflamasi (IL-1,
TNF-a) oleh sel-sel sekitamya (487) (Lethwaite, 1995).
Kerusakan kartilago yang terjadi di sekitar sel
(pericellular pattern) pada daerah dekat pannus maupun
dekat tulang menunjukkan degradasi oleh MMP yang
dihasilkan oleh kondrosit aktif dan sel-sel sinovial. Sitokin

PERAN PROTEASE,

DERIVAT ASAM ARAKIDONAT

DAN OKSIDA NITRIT PADA PATOGENESIS

Tabel 1. Protease. Substrat dan tnhibitornya

Kelas protelnase

(Dikutip

PENYAKIT REUMATIK

2423

dan Oisederhanakan dari Poole. 2005

Aktivator

Substrat kartilago

Stromelysin-1, plasmin, kallikrein,


cathepsin B
MMP-14, MMP-2, plasmin
Diduga sama dengan collagenase-1
Furin, urokinase, plasmin
Plasmin, elastase MMP-14

Kolagen tipe I, 11, Ill, X, IX, aggrecan

Metallo protelnase
Collagenase-1

(MMP-1)

Collagenase-3 (MMP-13)
Collagenase-2 (MMP-8)
Membrane type 1 MMP
GelatinaseA (MMP-2)
Gelatinase B (MMP-9)

Kolagen tipe II
Kolagen tipe II

Aggrecan
Denaturated type II, Aggrecan

Strome/ysin-1(MMP-3)

Urokinasetype plasminogen
activator, MMP-2, MMP-14,
stromelysin-1
Plasmin, cathepsin B

Stromelysin-2 (MMP-10)
Stromelysin-3 (MMP-11)

Diduga sama dengan stromelysin-1

Aggrecan, fibronectin, kolagen tipe IX dan


XI, prokolagen, link protein, decorin,
elastin
Diduga sama dengan stromelysin-1

Furin, plasmin

Proteolisis

Matrilysin (MMP-7)

Diduga sama dengan stromelysin-1

Aggrecan

Macrophage metalloelastase (MMP-12)


Aggrecanase-1

Tidak diketahui

Elastin

Tidak diketahui

Aggrecan

Tidak diketahui

Aggrecan

Plasminogen activator (UPA, TPA),


plasmin, cathepsin B, kallikrein
Cathepsin B, kallikrein

Prometalloproteinase

Proteolisis

(ADAMTS-4)

Aggrecanase-2
(ADAMTS-11)

Serine proteinase
Plasmin (dari
plasminogen)

Tissue plasminogen
activator (dari pro TPA)
Urokinase-type
plasminogen activator

Plasminogen

Cathepsin B

(dari pro UPA)

Elastase

Tidak ada

Kolagen tipe II, IX, X, XI, aggrecan,

Cathepsin G

Tidak ada

TIMP, aggrecan, e/astin,

Kallikrein

Faktor XII

fibronectin

kolagen tipe II

Procollagenase,prostromelysin (?),
progelatinase (?)
Cysteine proteinase
CathepsinB
Cathepsin L

Tidak ada
Tidak ada

Procollagen, kolagen tipe II (telopeptide)


Link protein, e/astin, kolagen tipe II
(telopeptide), aggrecan
Kolagen tipe II (intrahe/ical), aggrecan

Cathepsin K
Tidak ada
Aspartate proteinase
Cathepsin D
Tidak ada
Aggrecan,denaturatedtypeIIcollagen
ADAMTS, a disintegrin and metalloproteinase with thrombospondin motifs ; MMP, matrix metalloproteinase ; TIMP, tissue
inhibitor of metalloproteinases ; TPA, tissue plasminogen activator; UPA, urinary plasminogen activator.

mengaktitkan kondrosit untuk menghancurkan matriks


(390,39f,126). Sebagian besar kolagen tipe II pada seluruh
kartilago mengalami kerusakan pada AR, sepertijuga pada
OA. Perbedaan kerusakan kartilago pada kedua penyakit
tersebut adalah pada terbentuknya sitokin prodegradatif
yang masif pada AR oleh sel sinovial, makrofag dan tulang
subkondral, sehingga kartilago pada AR diserang dari
semua sisi (126) (Dodge,1989).
lnhibisi Protease
Inhibitor metalloproteinase yang disebut tissue
inhibitor of metalloproteinase (TIMP) ada 4 macam yaitu
TIMP-1, TIMP-2, TIMP-3 dan TIMP-4. Pada kartilago

pasien OA terjadi defisiensi TIMP dibandingkan dengan


collagenase sehingga terjadi proteolisis yang berlebihan
(424,425,426). Inhibitor serine proteinase adalahprotease
nexin-1, plasminogen activator inhibitor-I, dan
a1-proteinase inhibitor (425) (Yamada, 1987). Cystatin
adalah inhibitor cysteine proteinase juga ditemukan pada
jaringan kartilago (428) (Barrett,1987). TGF-~l dan
IL-6 merangsang sintesis TIMP-1 _pada kondrosit
(429,430,431) (Gunther 1994). TIMP-3 terdapat pada
matriks ekstraselular, lebih efektif meregulasi proteolisis
yang disebabkan oleh metalloproteinase. Sitokin,
faktor pertumbuhan, hormon, dan senyawa farmakologis
dapat mempengaruhi keseimbangan proteinase

2424
dan inhibitornya,
dapat menyebabkan
atau sintesis kartilago (Poole,2005).

degradasi

DERIVAT ASAM ARAKIDONAT


Asam arakidonat adalah asam lemak yang tersimpan pada
membran sel (lipid bilayers) dan berasal dari diit atau
disintesis oleh tubuh dari asam lemak esensial, asam linoneat
(linoleic acid) (Dennis,2000). Eikosanoid (eicosanoid)
adalah basil oksigenasi bioaktif dari asam arakidonat dan
paling banyak diteliti dari semua klas mediator lipid, yang
semuanya tergolong dalam derivat asam arakidonat.
Eikosanoid dan platelet-activating factor (PAF) adalah
mediator utama pada inflamasi akut yang menyebabkan
tanda kardinal dari inflamasi akut yaitu nyeri, kemerahan,
pembengkakan, panas dan gangguan fungsi pada daerah
yang terkena (Serhan,2002). Penelitian yang intens terhadap
eikosanoid telah memberikan penemuan baru mengenai (a)
isoenzim baru COX-I, COX-2 dan COX-3, (b) senyawa
bioaktifbaru, dan (c) identifikasi reseptor (Serhan,2005).

Sintesis Eikosanoid
Sebagian besar mediator lipid tidak tersimpan dalam sel,
tapi disintesis dari prekursor dalam sel yang dipicu oleh
berbagai stimulus. Biosintesis eikosanoid dipicu oleh
stimulus yang meningkatkan kadar kalsium (Ca2+)
intraselular dan terjadi melalui mekanisme transduksi
signal yang diperantarai oleh reseptor spesifik seperti
hormon dan autakoid (autacoid). Atau melalui disrupsi
keutuhan membran sel akibat dari trauma fisik, kimiawi
maupun imun, peristiwa yang dapat mengaktifkan
fosfolipase (Dennis,2000).
Eikosanoid terbentuk oleh aktivitas tiga klas enzim
intraselular: cyclooxygenase (COX), lipooxygenase (LO)
dan P450 epoxygenase (Gambar).
Peran enzim yang terakhir pada patogenesis inflamasi
masih dalam penelitian, tulisan berikut difokuskan pada
biosintesis dan efek eikosanoid yang terbentuk oleh COX
danLO.
Asam arakidonat mengalami esterifikasi oleh fosfolipid
yaitu fosfatidilkolin, fosfatidiletanolamin,
dan
fosfatidilirfositol. Pelepasan atau deasilasi asam arakidonat
yang mengalami esterifikasi oleh fosfolipase spesifik
berperan sebagai penghenti (limiting step) biosintesis
eikosanoid. Asam arakidonat unesterifiedyang dilepaskan
dari membran fosfolipid diubah menjadi produk aktif oleh
COX-1 atau COX-2 atau LO. Asam arakidonat diubah
menjadi PG oleh COX, sedangkan LT dan LX dibentuk
oleh aktivitas enzim LO (De Caterina, 1993).

Cyclooxygenase (COX)
COX adalah enzim yang mengandung gugus heme dan
merupakan enzim yang berikatan pada membran sel

(membrane-bound enzym). Aktivitas COX-1 terutama pada


retikulum endoplasma, sedangkan aktivitas COX-2 pada
nukleus (van der Donk,2002). Hal tersebut menunjukkan
adanya perbedaan ekspresi gen dan perbedaan sumber
asam arakidonat yang dipakai, berarti kedua enzim terse but
bekerja independen pada sistem biosintesis PG. Hipotesis
tersebut menjelaskan COX-1 membentuk PG secara
konstitutif
yang disekresikan
sebagai
mediator
ekstraselular, sedangkan COX-2 hanya aktifpada keadaan
tertentu untuk menghasilkan PG dalam nukleus yang
mempengaruhi pembelahan, pertumbuhan dan diferensiasi
sel (Serhan,1996).
Ekspresi COX-2 dihambat oleh kortikosteroid (obat
antiinflamasi klasik dengan berbagai efek samping),
sedangkan COX-1 tidak sensitif terhadap obat tersebut.
COX-2 diinduksi oleh lipopolisakarida pada makrofag.
COX-2 diekspresikan oleh sel endotel sebagai respons
terhadap aliran fisiologis dan gaya shear. Sebagian besar
produk COX dari sel endotel dihasilkan oleh COX-2 sel
endotel. Kemampuan COX-2 membentuk sejumlah besar
PGI2 menimbulkan efek trombogenik dengan pemakaian
inhibitor COX-2. COX-3 diduga berperan dalam resolusi
inflamasi (efek antiinflamasi) (Willoughby,2000)
(29,35,36).

Gambar 1. Biosintesis eikosanoid dan platelet-activating factor


(PAF) (dikutip dari Serhan,2005)

Eikosanoid dan lnflamasi


PG bekerja lokal (autakoid), mempunyai half-life pendek
dan dimetabolisme dengan cepat dalam sirkulasi atau
secara lokal menjadi bahan tidak aktif. PGE2 adalah
vasodilator yang paten, sebaliknya PGFu menyebabkan
vasokonstriksi. PGD2 menghambat agregasi platelet dan
menyebabkan
kontraksi
otot polos, sedangkan
prostasiklin dan tromboksan mempunyai efek sebaliknya.
PGE2 menyebabkan menyebabkan demam dan memperkuat
efek autakoid lainnya seperti histamin dan serotonin, tapi
tidak menyebabkan nyeri atau perubahan permeabilitas
vaskular dan pembengkakan. Prostasiklin, seperti PGE2
menyebabkan vasodilatasi dan hiperalgesia (Murata, 1997).
PGE2 menghambat fungsi limfosit T, limfosit B dan aktivitas
sel natural killer. Produk COX-2 juga berperan dalam

PERAN PROTEASE,

DERJVAT ASAM ARAKIDONAT DAN OKSIDA Nl'l1UT PADA PATOGENESISPENYAKIT REUMATIK

resolusi dan antiinflamasi endogen/penyembuhan Iuka


(Bandeira-Melo,2000).
Leukotrin (leukotriene) diisolasi dari lekosit dan
mengandung struktur conjugated triene. Leukotrin
dibentuk dari asam arakidonatoleh enzim 5-LO. Campuran
dari peptido-containing leukotrienes (LTC4, LTD4 dan
LTE4) dikenal sebagai slow-reacting substances of
anaphylaxis (SRS-A), yang dibentuk oleh sel mast setelah
terjadi paparan antigenik dan transduksi signal yang
diperantarai reseptor IgE. LTB4 adalah aktivator poten
netrofil, sedangkanLTC4, LTD4 danLTE4 menunjukkanefek
biologis yang berbeda seperti menimbulkan kontraksi otot
polos pada berbagai macam jaringan. Senyawa tersebut
juga merupakan konstriktor poten terhadap otot polos
bronkus. Onset kerjanya cepat dan berlangsung beberapa
jam. Efek sistemiknyadapat menimbulkan hipotensi akibat
penurunan kontraktilitas miokard, aliran darah koroner dan
kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular karena
peningkatan permeabilitas vaskular. Eosinofil dan basofil
adalah sumber utama mediator inflamasi tersebut
(Holgate,1997).
'
Leukotrin sebagai aktivator netrofil yang poten
mempengaruhi respons fungsional netrofil (seperti
pembentukan radikal bebas dan pelepasan enzim lisosom),
dan sebagai signal awal untuk terjadinya migrasi netrofil
ke tempat inflamasi (kemotaksis netrofil) (Pillinger,1995).
Lekotrin adalah regulator penting imunitas selular dan
humoral (Serhan,2005).
Lipoxin adalah eikosanoid terakhir yang dapat
diidentifikasi,yangjuga diduga menunjukkan efek penting
pada sel-sel inflamasi sebagai mediator khusus untuk
resolusiinflamasi.LXA4 menghambatkemotaksisdan adesi
netrofil. LXA4 melemahkan efek LTC4 dan LTD4 pada otot
polos bronkus dan mikrosirkulasi ginjal, menunjukkan
bahwa senyawa tersebut berperan sebagai antagonis
leukotrin endogen (Brink,2003).
Tabel
2. Mekanisme
Kerja
[dikutip dari Serhan. 2005)

Eikos anoid

Tanda kardinal
inflamasi

Mediator lipid

Nyeri dan hiperalgesia


Kemerl\tlan
(vasodilatasi)
Panas (lokal dan
demam sistelnik)
Edema
(pembengkakan)

PGE2,LT84, PAF
PGE2, PG'2,
LTB4, ~. PAF
PGE2, PG'2,
L~,PAF
PGE2, LTB4,
LTC4, LTD4,LTE 4,

pada

lnflamasi

Inhibitor
endogen

Lipoxin, ATL

PAF
ATL,aspirin-triggered /ipoxin : LT,/eukotriene LX,lipoxin
PAF,platelet activating factor; PG,prostaglandin.

OKSIDA NITRIT
Oksida nitrit (ON) adalah messenger interselular terlarut

2425

dengan masa kerja singkat yang berperan dalam


neurotransmisi, dilatasi vaskular dan aktivitas antitumor
maupun antimikroba (Clancy,1998).Pentingnya peran ON
ditandai dengan pemberian hadiah Nobel kepada peneliti
yang pertama kali menjelaskan efek biologis ON tersebut.
Peran ON pada berbagai penyakit tidak dapat
diklasifikasikan secara sederhana menjadi baik atau buruk
mengingat efeknya yang sangat Iuas pada berbagai
kondisi klinis. Pada sebagian besar kondisi inflamasi,
termasuk penyakit autoimun dan infeksi, terjadi
overproduksi ON, walaupun tidak spesifik untuk penyakit
tertentu. ON tampaknya menyebabkan kerusakanjaringan
pada beberapa penyakit, sebaliknya ON membatasi
respons inflamasi pada penyakit lain. Oleh karena itu peran
ON hams ditelaah sendiri-sendiri berdasar patogenesis
penyakit tersebut (Oates and Gilkeson,2005).
Tabel 3. Aktivitas Pro-inflamasi
dan Anti-inftamasi
Oksida Nitnl [dikutip dari Oates and Gilkeson.2005)

dari

Aktivitas pro-inflamasi
lnduksi apoptosis sel, pelepasan autoantigen dalam apoptotic
blebs
lnduksi nekrosis sel
lnduksi vasodilatasi dan kebocoran vaskular Membentuk
peroxynitrite mengubah fungsi protein (melalui proses
nitrasi)
lnduksi cyclooxygenase-2
lnduksi thromboxane synthase
lnhibisi prostacycline synthase
lnhibisi catalase
Berperan pada stres oksidatif
Aktlvitas anti-inflamasi
lnduksi apoptosis sel inflamasi dan sel yang menghasilkan
kolagen
lnhibisi apoptosis sel spesifik
lnhibisi agregasi platelet dan adesi lekosit
lnhibisi ekspresi molekul adesi

Produksi Oksida Nitrit Oksida nitrit (ON) terbentuk dari


basil oksidasi asam amino arginine oleh enzim nitric oxide
synthase (NOS). Terdapat
3 isoform dari enzim nitric oxide synthase (NOS) yaitu
neuronal (nNOS atau NOS1), inducible (iNOS atau NOS)
dan endothelial (eNOS atau NOSJ eNOS diekspresikan
pada keadaan normal (secara konstitutif) oleh endotel
vaskular, yang diatur oleh gaya shear stress, endotelin,
neuropeptida dan sitokin tertentu. ON yang dihasilkan oleh
eNOS berperan sangat penting dalam mengontrol tonus
vaskular dan pengaturan tekanan darah, serta berfungsi
sebagai agen anti-trombosis dan sitoprotektif. ON yang
dihasilkan oleh nNOS pada sistem sarafberperan sebagai
neurotransmitter, danjuga berperan pada transmisi nyeri
pada inflamasi dan hiperalgesia, serta menginduksi
timbulnya demam sebagai respons terhadap
lipopolisakarida (LPS). Pengaruh ON neuronal pada
inflamasimasih belum diketahui. iNOS diekspresikanpada
endotel, sel otot polos, fibroblast, makrofag dan banyak

2426

REUMA.TOLOGI

Oksida nitrit (ON)

Arginine+02 ~O
\Synthase

Kc:im,~

. , ,-, "J:,
No2(Nitrite)

N203

Nitrosation
(thiols)

~oxide(SO)

xl

Peningkatan produksi
marks

Peroxynitr1te

OxldaUon
Nitration(lipids,
(tyrosine)
lipoproteins)

Peroxynitrite
~
Nitrasl rosine

Pelepasan
nukleosom

t/

Produksi
autoantibodi

DNA
Apoptotic Transformasi sel
blebs

Disfungsi
protein

~
Perubahan slntesls
mediator inflamasi

Peningkatan
stres oksidatif I

'

Gambar 2. Biokimiawi produksi oksida nitrit (ON) (dikutip dari


Oates and Gilkeson,2005)

Gambar3. Mekanisme kerusakan jaringan oleh oksida nitrit pada


autoimunitas (dikutip dari Oates and Gilkeson,2005)

sel lainnya, yang dirangsang terutama oleh mediator


inflamasi dan sitokin (lgnarro LJ,1990, Clancy,1998).
Berbagai bahan yang merangsang produksi ON antara lain
LPS, interleukin-tis (IL-I~), interferon-y(IFN-y), IFN-a
dan tumor necrosis factor-a (TNF-a). iNOS yang telah
aktif akan memproduksi ON dalam waktu yang lama
(Clancy,1998).
Sejumlah mediator inflamasi yang banyak terbentuk
pada keadaan inflamasi mampu merangsang produksi ON.
IFN-y adalah stimulus produksi ON yang poten, terutama
bila bersama
dengan faktor inflamasi lainnya
(Mozaffarian,1995). Lupus nefritis pada hewan coba
menunjukkan overproduksi IFN-y pada glomerulusnya.
Aktivitas penyakitnya menurun setelah mendapat terapi
antibodimonoklonalanti-IFN-y(Ozmen,1995).TNF-ajuga
merupakan stimulus produksi ON yang poten. TNF-a yang
banyak terdapat secara lokal pada sinovium sendi pasien
artritis reumatoid menyebabkan overproduksi ON pada
sendi yang terkena (Feldmann, 1998). Pada manusia, baik
IFN-y, TNF-a, IL-I~ maupunIL-12,masing-masingmaupun
secara bersama-sama merangsang produksi ON oleh
makrofag normal.
Namun pada penyakit tertentu, masih belum diketahui
peran sitokin ataupun stimulus lainnya terhadap produksi
ON oleh makrofag (Morris, 1996). IFN-a diduga mediator
yang palihg potensial dalam produksi ON melalui iNOS
pada manusia (Oates and Gilkeson,2005).

phosphate, menyebabkan relaksasi otot pada endotel


vaskular (Messmer,1995). Dalam lingkungan cairan ON
bereaksi dengan oksigen membentuk nitrogen dioksida,
suatu oksidan yang poten yang dapat bereaksi dengan
anion phenol maupun thiol. S-nitrosothiols salah satu
produknya, mempunyai efek biologis yang penting dalam
memperpanjang half-life dari ON. Zat tersebut mampu
membawa ONjauh dari tempat terbentuknyamelaluiproses
difusi. Produk ON dan oksigen yang paling dominan dalam
sistem biologis adalah N02- dan S-nitrosothiols. ON dan
superoxide (SO) dalamjumlah yang sama akan membentuk
peroxynitrite (ONOO"), suatu oxidizer dan mediator
patogenik yang penting. Peroxynitrite dapat bereaksi
dengan sejumlah molekul biologis seperti protein, asam
nukleat dan lipid. Peroxynitrite mengalami metabolisme
lebih lanjut membentuk nitrat dan radikal hidroksil, yang
sangat reaktif dan toksik terhadap sel (Miranda,2000).
ON juga berperan pada apoptosis. ON dapat
meningkatkan apoptosis pada beberapa sel, juga
menghambat apoptosis pada sel lainnya, tergantung pada
jenis sel dan faktor lokal. ON dapat menginduksi apoptosis
melalui berbagai mekanisme meliputi aktivasi p53, dan
pelepasan sitokrom c dari mitokondria yang selanjutnya
mengaktifkan caspase (Ramachandaran,2002). Sel yang
sensitif terhadap apoptosis akibat ON adalah fibroblast,
makrofag, sel islet pankreas, sel otot polos, kondrosit dan
osteoblast (Messmer,1995). ON juga dapat menghambat
apoptosis melalui berbagai mekanisme seperti nitrosilasi
terhadap caspase tertentu, sehingga terjadi inhibisi tahap
akhir dari kaskade apoptosis Leist, 1997). ON juga
mempengaruhi apoptosis melalui Fas (Nitsch, 1997).

Efek Selular Oksida Nitrit


Metabolisme ON sangat bervariasi tergantung pada
lingkungan di mana ON tersebut dilepaskan. ON dapat
bersifat sebagai ligan terhadap hemoprotein. ON sendiri
mempunyai efek langsung terhadap fungsi sel melalui
berbagai mekanisme (Oates and Gilkeson,2005). ON dapat
berikatan dengan dengan heme pada cyclic guanylate
cyclase yang dapat mengaktifkan enzim tersebut sehingga
terjadi peningkatan kadar cyclic guanosine mono-

Oksida Nitrit pada Penyakit Reumatik


Peran ON pada berbagai penyakit reumatik telah banyak
diteliti, setelah ekspresi iNOS dan produksi ON dapat
dideteksi pada penyakit dengan inflamasi dan penyakit
autoimun pada manusia. Peningkatan ekspresi iNOS pada

PERAN PROTEASE, DERIVAT ASAM ARAKIDONAT DAN OKSIDA NITRlT PADA PATOGENESIS PENYAKIT REUMATIK.

sinovium dan kadar ON dalam cairan sendi terjadi pada


pasien artritis reumatoid (AR). Salah satu mekanisme efek
toksik ON pada AR adalah melalui apoptosis kondrosit
bersama dengan adanya spesies oksigen reaktif (Del
Carlo,2002). Ekspresi iNOS juga menginduksi apoptosis
osteoblast menyebabkan osteoporosis (Armour,200 l ).
Dapat disimpulkan bahwa terjadi overproduksi ON pada
AR, yang berkorelasi dengan aktivitas penyakitnya, dan
kadarnya menurun bila terapi berhasil (Oates and
Gilkeson,2005).
Produksi ONjuga meningkatpada penyakit lupus, yang
ditandai oleh peningkatan kadar ON yang dikeluarkan
melalui pemafasan. Sebagianbesar ON tersebut dihasilkan
secara lokal di paru-paru, sehingga kadar ON tersebut tidak
menunjukkan produksi ON sistemik. Terdapat korelasi
antara skor SLE Disease Activity Index (SLEDAI) dengan
aktivitas anti-DNA dan kadar ON serum (Rolla,1997).
Expresi iNOS dapat dibuktikan pada jaringan ginjal pasien
lupus. Ekspresi tersebut hanya terjadi pada pasien dengan
glomerulonefritis proliferatif fokal (klas Ill) dan
glomerulonefritisproliferatif difus (klas IV), tapi tidak pada
semua pasien. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh saat
biopsi, terapi, derajat aktivitas penyakit dan kronisitas
penyakit (Wang,1997). Peningkatan ekspresi iNOS pada
lupus eritematosus sistemik mungkin disebabkan oleh
peningkatan produksi lokal sitokin oleh sel T penolong
subset 1 (TH 1) dan mediator inflamasi lainnyapadajaringan
tempat terjadinya deposisi kompleks imun dan aktivasi
komplemen terjadi (Wong,2002).
Pasien skleroderma dengan penyakit paru interstitial
mempunyai kadar ON paling tinggi yang dikeluarkan
melalui pemafasan, menunjukkan bahwa penyakit paru
inflamasi dan aktivitas iNOS pada alveoli atau interstitium
adalah sumber ON. Tapi, pasien dengan hipertensi
pulmonal tanpa penyakit paru interstitial, mempunyaikadar
yang lebih rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
di_sfungsi endotel lokal menyebabkan penurunan
produksi ON dari vaskular pulmonal (Kharitonov,1997).
Overproduksi jaringan kolagen pada skleroderma juga
akibat peran ON sebagai mediator yang potensial. Pada
kulit yang terkena, ekspresi iNOS meningkat pada sel
mononuklear, sel endotel dan fibroblast (Yamamoto,1998).
Peran.ON pada osteoartritis (OA) ditunjukkan dengan
adanya bukti bahwa ON diproduksi oleh kondrosit.
Produksi ON oleh kondrosit tergantung stimulasi oleh
faktor imun, seperti LPS, IL-1~' TNF-a, IL-17 dan IL-18
(Olee,1999). Beban mekanikjuga menginduksi produksi
ON pada kultur kondrosit dan meniskus (Fink,2001).
ON hanya berperan pada kerusakan kondrosit hanya
bila terdapat
spesies oksigen reaktif. ON juga
menghambat produksi matriks akibat dari peningkatan
produksi metalloproteinase. ON secara langsung
meningkatkan degradasi matriks protein dan menginduksi
apoptosis kondrosit, yang menjadi gambaran utama OA
(DelCarlo,2002).

2427

Peran ON pada vaskulitis masih belum jelas, tapi


beberapa peneliti menunjukkan peningkatan produksi ON
pada penyakit arteritis temporal (Weyand,1996), penyakit
Kawasaki (Adewuya,2003), dan Wagener granulomatosis
(Heeringa,2001).

RINGKASAN

Metabolisme asam arakidonat, terbentuknya oksida nitrit


(ON) dan gangguan keseimbangan protease dan
inhibitomya menunjukkan mekanisme kerja dan efek yang
saling mempengaruhi dalam patogenesis inflamasi dan
kerusakan jaringan. Berbagai macam stimulus dapat
memicu metabolisme asam arakidonat menghasilkan
produk yang menyebabkan peristiwa inflamasi dan
mempengaruhi berbagai fungsi sel-sel inflamasi seperti
kemotaksis dan adesi. Pada keadaan inflamasi terbentuk
berbagai macam mediator yang dapat menjadi stimulus
untuk sintesisON. ON tersebut menjadi mediator patogenik
karena mempunyai efek biologis langsung danjuga dapat
mempengaruhi apoptosis. Pada osteoartritis, ON
meningkatkandegradasimatriks kartilagodan menginduksi
apoptosis kondrosit. Sitokin proinflamasi juga
menyebabkan ketidakseimbangan antara protease dan
inhibitomya, sehingga terjadi proteolisis matriks kartilago.
Matrix metalloproteinase adalah protease utama yang
menyebabkan degradasi kartilago pada artritis reumatoid
dan osteoartritis.

REFERENSI (OKSIDA NITRIT)


Armour KJ, Armour KE, van't Hof RJ, et al. Activation of the
inducible
nitric oxide synthase
pathway contribute to
inflammation-induced osteoporosis by supressing bone
formation and causing osteoblast apoptosis. Arthritis Rheum
2001 ;44:2790-2796.
Adewuya 0, Irie Y, Bian K, et al. Mechanism of vasculitis and
aneurysms in Kawasaki disease : role of nitric oxide. Nitric
Oxide 2003;8: 15-25.
Clancy RM, Amin AR, Abramson SB. The role of nitric oxide in
inflammation and immunity. Arthritis Rheum 1998;4 l: 11411151.
Del Carlo M Jr, Loeser RF. Nitric oxide-mediated chondrocyte cell
death requires the generation of additional reactive oxygen s
pecies. Arthritis Rheum 2002;46:393-403.
Feldmann M, Charles P, Taylor P, et al. Biological insights from
clinical trials with anti-TNF therapy. Springer Semin
Immunop athol l 998;20:211-228.
Fink C, Fermor B, Weinberg JB, et al. The effect of dynamic
mechanical compression on nitric oxide production in the
meniscus. Osteoarthritis Cartilage 2001;9:481-487.
Heeringa P, Bijl M, de Jager-Krikken A, et al. Renal expression of
endothelial and inducible nitric oxide synthase, and formation
of peroxynitrite-modified proteins and reactive oxygen species
in Wagener's
granulomatosis. J Pathol 2001;193:224-232.

2428
Ignarro LJ. Biosynthesis and metabolism of endothelium-derived
nitric oxide. Annu Rev Pharmaco/ Toxico/ 1990;30:535-560.
Kharitonov SA, Cailes JB, Black CM, et al. Decreased nitric oxide in
the exhaled air of patients with systemic sclerosis with
pulmonary hypertension. Thorax 1997;52:1051-1055.
Leist M, Volbracht C, Kuhnle S, et al. Caspase-mediated apoptosis in
neuronal excitotoxicity triggered by nitric oxide. Mo/ Med
1997;3:750-764.
Mozaffarian N, Berman JW, Casadevall A. Immune complexes
increase nitric
oxide production by interferon-gammastimulated murine macrophage-like 1774.16 cells. J Leukoc Biol
1995 ;57:657-662.
Morris LF, Lemak NA, Arnett FC Jr, et al. Systemic lupus erythematosus diagnosed during interferon alpha therapy. South Med J
1996;89:810-814.
Messmer UK, Lapetina EG, Brune B. Nitric oxide-induced apoptosis
in RAW 264.7 macrophages is antagonized by protein kinase
C- and protein kinase A-activating compound. Mo/ Pharmacol
1995 ;4 7:757- 765.
Miranda KM, Espey MG, Jourd'heuil D, et al. The chemical biology
of nitric oxide. In : Ignnaro LJ,ed. Nitric oxide biology and
pathobiology. New York : Academic,2000:41-55.
Nitsch DD, Ghilardi N, Muhl H, et al. Apoptosis and expression of
inducible nitric oxide synthase are mutually exclusive in renal
mesangial cells. Am J Pathol 1997;150:889-900.
Oates JC, Gilkeson GS. Nitric oxide and related compounds.
In : Koopman WJ, Moreland LW (eds). Arthritis and allied
conditions. A textbook of rheumatology, 15'h ed, vol. I.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005 : 541-555.
Ozmen L, Roman D, Fountoulakis M, et al. Experimental therapy
of systemic lupus erythematosus: the treatment of NZB/W mice
with mouse soluble interferon gamma receptor inhibits the
onset of glomerulonephritis. Eur J Immunol 1995;25:6-12.
Olee T, Hashimoto S, Quach J, et al. IL-18 is produced by articular
chondrocytes and induces proinflammatory and catabolic
responses. J lmmunol 1999;162:1096-1100.
Ramachandaran A, Levonen AL, Brookes PS, et al. Mitochondria,
nitric oxide, and cardiovascular dysfunction. Free Radie Biol
Med 2002;33:1465-1474.
Rolla G, Brussino L, Bertero MT, et al. Increased nitric oxide in
exhaled air in patients with systemic lupus erythematosus.
J Rheumatol 1997;24:1066-1071.
Wang JS, Tseng HH, Shih DF, et al. Expression of inducible nitric
oxide synthase and apoptosis in human lupus nephritis.
Nephron 1997;77:404-411.
Wong CK, Ho CY, Li EK, et al. Elevated production of interleukin18 in associated with renal disease in patients with systemic
lupus erythematosus. Clin Exp lmmunol 2002; 130:345-351.
Weyand C~, Wagner AD, Bjornsson J, et al. Correlation of the
topographical arrangement and the functional pattern of
tissue-infiltrating macrophage in giant cell arteritis. J Clin
Invest 1996;98:1642-1649.
Yamamoto T, Katayama I, Nishioka K. Nitric oxide production and
inducible nitric oxide synthase production in systemic sclerosis.
J Rheumatol 1998;25:314-317.
Bandeira-Melo C, Serra MF, Diaz BL, et al. Cyc\ooxygena
se-2-derived prostaglandin E2 and lipoxin A4 accelerate
resolution of allergic edema Angiostrongylus costaricensisinfected rat: relationship with concurrent eosinophilia.
J lmmunol 2000;164:1029-1036.
Brink C, Dahlen S-E, Drazen J, et al. International Union of
Pharmacology XXXVII. Nomenclature for leucotriene and
lypoxin receptors. Pharmacol Rev 2003;55:195-227.

REUMATOLOGI

Dennis EA. Phospholipase A2 in eicosanoid generation. Am J Respir


Crit Care Med 2000;161(suppl):32-35.
De Caterina R, Endres S, Kristensen SD, et al.,eds. n-3 Fatty acids
and vascular disease. London:Springer-Verlag, 1993.
Murata T, Ushikubi F, Matsuoka T, et al. Altered pain perception
and inflammatory response in mice lacking prostacyclin
receptor. Nature 1997;388:678-682.
Holgate S, Dahlen S-E,eds. SRS-A to leukotrienes: the dawning of a
new treatment. Oxford, UK:Blackwell Science, 1997.
Pillinger MH, Abramson SB. The neutrophil in rheumatoid
arthritis. Rheumatic Dis Clin North Am 1995;21:691-714. Serban
CN. Endogenous chemical mediators in anti-inflammation
and pro-resolution.Curr Med Chem 2002;1:177-192.
Serban CN. Eicosanoids and related compounds. In : Koopman WJ,
Moreland LW (eds). Arthritis and allied conditions. A textbook
of rheumatology, 15'b ed, vol. l. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins, 2005 :517-539.
van der Donk WA, Tsai A-L, Kulmacz RJ. The cyclooxygenase
reaction mechanism. Biochemistry 2002;41: 15451-1545 8.
Serban CN. Signalling the fat controller. Nature 1996;384:23-24.
Willoughby DA, Moore AR, Colville-Nash PR. COX-1, COX-2, and
COX-3 and the future treatment of chronic inflammatory
disease. Lancet 2000;355:646-648.

REFERENSI (PROTEASE)
Barrett A. The possible role of neutrophil proteinases in damage to
articular cartilage. Agents Actions 1978 ; 8:11-18.
Burkhardt H, Schwingel M, Menninger H, et al. Oxygen radicals as
effector of cartilage destruction: direct degradative effect on
matrix components and indirect action via activation of latent
collagense from polymorphonuclear leukocytes. Arthritis Rheum
l 986;29:379-387.
Barrett AJ. The cystatins: a new class of peptidase inhibitors. TIPS
1987;12:193-196.
Dodge GR, Poole AR. Immunohistochemical detection and
immunochemical analysis of type II collagen degradation in
human normal, rheumatoid and osteoarthritic articular
cartilage and in explants of bovine articular cartilage cultured
with interleukin I. JC/in Invest 1989;83:647-661.
Yamada H, Nakagawa T, Stephens RW, et al. Proteinases and their
inhibitors in normal and osteoarthritic articular cartilage. Biomed
Res 1987;8:289-300.
Konttinen YT, Mordelin I, Li T-F, et al. Acidic endoproteinase
cathepsin K in the degeneration of the superficial articular
hyaline cartilage in osteoarthritis.Arthritis Rheum 2002;46:953-960.
Lark MW, Bayne EK, Flanagan J, et al. Aggrecan degradation in
human cartilage: evidence for both matrix metalloproteinase
and aggrecanase activity in normal osteoarthritic and rheumatoid joints. J Clin Invest 1997;100:93-106.
Lethwaite J, Blake S, Hardingham T, et al. Role of TNF-a in the
induction of antigen induced arthritis in the rabbit and the
anti-arthritic effect of species specific TNF-a neutralizing
monoclonal antibodies. Ann Rheum Dis 1995;54:366-374.
McDonald JA, and Kelley DO. Degradation of fibronectin by human
leukocyte elastase. J. Biol. Chem 1980 ; 255: 8848-8858.
Gunther M, Haubeck H-D, Van de Leur E, et al. Transforming growth
factor al regulates tissue inhibitor of metalloproteinases-1
expression in differentiated human articular chondrocytes.
Arthritis Rheum 1994;37:395-405.
Poole AR. Cartilage in health and disease. In : Koopman WJ, Moreland

PERAN PROTEASE, DERIVAT ASAM ARAKIDONAT DAN OKSIDA NITRIT PADAPATOGENESIS PENYAKIT REUMATIK

LW (eds). Arthritis and allied conditions. A textbook of


rheumatology.l S" ed, vol.I. Philadelphia : Lippincott Williams
& Wilkins, 2005 :223-269.
Poole AR, Alini M, and Hollander AP. Cellular biology of cartilage
degradation. In : Henderson B, Pettifer R, and Edwards J, eds.
Mechanisms and Models in Rheumatoid Arthritis. Academic
Press Ltd., London, 1995 : 163-204.
Yamada H, Nakagawa T, Stephens RW, et al. Proteinases and their
inhibitors in normal and osteoarthritic articular cartilage. Biomed
Res 1987;8:289-300 .

2429

382
IMUNOGENETIKA PENYAKIT REUMATIK
Joewono Soeroso

PENDAHULUAN
Imunogenetika adalah' suatu konsep pendekatan genetik
untuk mengetahui hubungan antara gen respons imun
dengan suatu kondisi atau penyakit. Tujuan dari
imunogenetika adalah untuk membuka wawasan bagi
pencegahan primer, terapi, maupun pencegahan sekunder.
Dengan mengetahui gen yang berasosiasi dengan suatu
penyakit, bisa diperkirakan jenis antigen yang mencetus
penyakit, dan bisa dilakukan modulasi, modifikasi, atau
koreksi pada gen tersebut. Berbagai gen yang berperan
pada penyakit yang terkait respons imun antara lain; 1)
gen human leucocyte antigen (HLA) 2) gen cell receptor
(TCR T) 3) gen sitokin 4) gen reseptor sitokin dan 5) gen
imunoglobulin, dan 6) gen HSP (heat shock protein)
Komponen genetik yang banyak dihubungkan dengan
penyakit reumatik adalah gen respons imun yang terletak
pada major histocompatibilitycomplex (MHC). Pada MHC
terletak gen penyandi berbagai molekul respons imun yang
paling berperan pada penyakit yang terkait dengan gen
respons imun. Makalah ini difokuskan pada HLA, yang
mana mekanisme molekulemya sudah difahami.
Faktor risiko genetik dari penyakit reumatik otoimun
dapat berupa; 1) variasi/keragaman susunan nukleotida
pada gen yang disebut sebagai polimorfisme dan 2) defek
genetik akibat mutasi, defek pada proses translasi dan
modifikasi pasca translasi. Kedua keadaan tersebut bisa
menimbulkan gangguan pada sistem sinyal selular yang
akhimya bisa menimbulkan suatu penyakit.

MHC
Region MHC pada manusia merupakankelompok gen yang
berperan respons imun. Gen-gen pada MHC tersusun atas
DNA yang terletak pada kromosom 6p21.3 l (pada

kromosom no 6, lengan pendek, pita no 21 sampai 3. Lebih


dari 200 gen disandi pada MHC, 40 di antaranya adalah
gen human HLA. Pada MHC terdapat 3 regio penyandi
yaitu, MHC kelas II yang menyandi HLA kelas II (HLA-D
[P,N,M,O,Q,R]), gen transporter associated with antigen
processing (TAP), yang berperan pada pemrosesan
antigen oleh HLA kelas I, dan gen latent membrane
protein (LMP). Urutan berikut adalah MHC kelas III yang
menyandi berbagai protein yang berperan pada respons
imun dan inflamasi, seperti TNF a dan ~, heat shock
protein (HSP), komplemen (C2 dan C4), dan sebagainya.
Urutan terakhir adalah MHC kelas I yang menyandi HLA
kelas I (HLA-B,HLA-C, HLA-A).

DP ON DM
,....._,'
,....._,

DO

DR
',....._, ,.........
,
DQ

Gambar 1. Organisasi gen MHC manusia pada lengan pendek


kromosom 6

HLA
HLA merupakan molekul yang berperan pada presentasi
antigen. HLA kelas I berfungsi untuk mempresentasi antigen oleh sel T CD8+. HLA-kelas II pada presentasi antigen olehAPC kepada sel T CD4+, untuk selanjutnyaterjadi
aktivasi sistem kekebalan adaptif, kearah sistem imun
selular atau imun humoral. Pada HLA kelas I terdapat 2
ranah pengikatan peptida ( a 1 dan a 2), 2 ranah mirip
imunoglobulin (~2m dan a3), 1 ranah transmembran dan 1
ranah sitoplasmik HLA kelas II terdiri dari 2 rantai
polipeptida yaitu rantai a dengan berat molekul 33 kD
(kilo
Dalton)
dan
rantai
~
(28
kD).

IMUNOGENETIKAPENYAKIT

2431

REUMATIK

~
Ranah
pengik atan peptida

I
JH

Ranah
mirip imonuglobin
Ranah
transmembran
Ranah
sitoplasmik

Gambar 2 Gambaran skematik molekul HLA kelas I dan HLA


Kelas II. Pada HLA kelas I terdapat 2 ranah pengikatan peptida
(a 1 dan a 2), 2 ranah mirip imunoglobulin (~ 2m dan a3), 1 ranah
transmembran dan 1 ranahsitoplasmik.Pada HLA kelas II terdapat
2 ranah pengikatanpeptida(a1 dan ~1 ), 2 ranah mirip imunoglobulin
(a2 dan ~2), 2 ranah transmembran dan 2 ranah sitoplasmik.

LINKAGE DISQUILIBRIUM
~inkage disequilibrium (LD) adalah keberadaan bersama
suatu alel HLA dengan ale! HLA lain seperti, HLA-DR, DP
dan DQ atau dengan gen lain (mis; C4). Gen HLA
diturunkan kepada filialnya tanpa mengikuti hukum
Mendel, sehingga frekuensinya
pada filial sulit
diperhitungkan. LD antara suatu HLA dengan HLA yang
lain atau gen lain dapat menunjukkan peningkatan risiko
suatu penyakit

PENENTUANTIPE HLA
Tipe HLA dapat ditentukan melalui 2 cara:

POLIMORFISME HLA
Polimorfisme adalah variasi sekuens nukleotida dari
orang ke orang pada suatu lokus gen. HLA merupakan
molekul paling polimorfik di antara semua molekul di dalam
tubuh manusia. Keadaan ini disebabkan merupakan molekul
HLA paling sering terpapar dengan dunia luar, dalam hal ini
adalah antigen eksogen (alloantigen). Karena paparanpaparan dari antigen yang berbeda-beda, celah pengikatan
peptida, strukturnya mengalami adaptasi dan evolusi
sehingga susunan asam aminonya sangat bervariasi. Variasi
susunan asam amino pada HVR tersebut dapat
mempengaruhi respons imun dan berkaitan penyakit
otoimun .. Gen yang paling polimorfik adalah gen HLA-DR
yang terdiri lebih dari 330 subtipe. Bentuk polimorfisme
antara lain; polimorfisme biasa, polimorfisme nukelotida
tunggal atau single nucleotide polymorphism (SNP), dan
polimorfisme mikrosatelit yaitu pengulangan tandem tiga
atau empat atau lima nukleotida yang sama pada suatu gen.
Struktur nukleotida pada HVR sering mirip dengan antigen
eksogen, dan ini sering disebut sebagai shared epitope (SE).

Pada Gen Penyandi Molekul HLA:


Di sini ditentukan susunan nukleotida gen HLA tersebut.
Metode yang sering dilakukan adalah polymerase chain
reaction (PCR), baik dengan hibridisasi maupun deteksi
sekuens nukleotida (sekuensing). Cara penulisan HLA
adalah HLA-lokus gen-asterix (*)-digit, misalnya
HLA-DRBl *01. (Tabel 1)

Pada Molekul-Protein HLA


Molekul HLA adalah produk (ekspresi) dari gen HLA.
Penentuan tipe HLA ini biasanya dilakukan dengan metode
serologis (reaksi antigen-antibodi), oleh sebab itu disebut
juga dengan spesifisitas
serologis (serological
specificities). Cara penulisan hanya lokusnya (Tabel 1).
Tabel 1 Contoh Nomenklatur Gen HLA kelas II
Nama
HLA
HLA-DRB1
HLA-DRB1*13
HLA-DRB1*1301
HLA-DRB1 *1301N
HLA-DRB1*13012
HLA-DRB1*1301102
HLA-DRB1*1301102N

Menunjukkan
Regio HLA dan prefiks untuk gen
penyandi HLA
Lokus gen HLA tertentu, misal:
DRB1
Kelompok alel penyandi molekul
DR13
HLA-DRB1*13 yang spesifik
Alel nol HLA-DRB1*13 (tidak
menyandi molekul HLA)
Alel HLA-DRB1*13 yang
dibedakan karena mutasi
Alel d HLA-DRB1 *13 dengan
mutasi diluar region penyandian
Alel nol HLA-DRB1 *13dengan
mutasi di luar region penyandian

NOMENKLATURGEN HLA
Garnbar 3. Kristalografi sinar X dari HLA-DRB1 *(dari alas). Lokasi
asam amino residu 70- 74 yang polimorfik pada celah pengikatan
peptida pada HVR dari rantai ~ HLA-DRB1*yang sering
dihubungkan dengan AR

Di bawah ini adalah contoh cara pemberian nama gen HLA


kelas II berdasarkan nomenklatur HLA tahun 2000
(Bodmer). Nomenklatur terse but dibuat atas dasar susunan
nukleotida (ATGC) dari suatu gen. Untuk gen HLA kelas I,
juga
berlaku
cara
yang
sama.

2432

REUMATOLOGI

HUBUNGAN POLIMORFISME HLA DENGAN


BERBAGAI PENYAKIT REUMATIK
Hubungan Polimorfisme HLA. dengan berbagai penyakit
reumatik otoimun dilaporkan pertamakali oleh Stastny (
1978)yang menemukanasosiasiantaramolekulMHC kelas II,
yaituHLA-DR4 denganartritis reumatoid(AR). Setelah
temuan ini banyak para peneliti lain yang melaporkan
hubungan antara HLA-Kelas II tipe lain dengan dengan
penyakit reumatik yang lain seperti SLE, dermatomiositis,
Juvenile Idiopathic Arthritis (JfA), skleroderma, sindrom
Sjogren dan sebagainya. HLA-Kelas I seperti HLA-B27
juga dihubungkan dengan berbagai penyakit, seperti
ankylosingspondilitis,artritisreaktif, sindromReiter (Tabel
2 dan3).
Tabel 2. HubungarbHLA
Reumatlk Autoimun

Gen HLA (PCR)

Kelas I dengan B~J,bagai Penyakit


Molekul HLA
(tes
serologis) =
serological
specificities

8*2701, 8*2702,
8*2703, 8*2704,
8*2708, 8*2709,
8*2710

827

Penya kit

Ankylosing spondilitis
(RR=90*), reactive
arthritis, Sindrom Reiter,
chronic inflammatory
bowel disease or
psoriatic arthritis

'RR = risiko relatif

Tabel 3. Hubungan HLA


Reumatik Autoimun

Gen HLA (PCR)

DPB1*0201
DRB1*0301

DRB1*0312
DRB1*1501/*1503,
DRB1*08
DRB1*040f.
DRB1*0403
DRB1*0404
DRB1*0102

Kelas II dengan Berbagai Penyakit

Molekul HLA
(tes
serologis) =
serological
specities
DR3

DR3
DR15
DRS
DR4

DR1

Penyakit

JIA pausiartikular
SLE (*RR=3), Sindroma
Sjogren (RR=6),
Juvenile dermatomiositis
(RR=4), JIA
pausiartikular (RR=5)
SLE (RR=3)
SLE (RR=3)
SLE, (RR=3)
dematomiositis (RR=4)
RA (RR=?), JIA
poliarticular dengan
RF+(RR=5)
RA (RR=3)

HUBUNGAN HLA KELAS I DENGAN PENYAKIT


REUMATIK OTOIMUN
HLA-B27 berhubungan erat dengan ankylosing spondilitis
(AS),95%pasienASmembawaHLA-B-27(RRmencapai>
90), chronic inflammatory bowel disease (IBD), artritis

reaktif dan dan psoriatik artritis. Hubungan HLA-B*2705


dengan AS terdapat pada ras Kaukasian, HLA-B*2706
pada orang Asia Tenggara, dan HLA-B*2709 pada orang
Sardinia.

HUBUNGAN HLA KELAS II DENGAN PENYAKIT


REUMATIK OTOIMUN
HLA-DPB1*0201, HLA-DRB1*08 dan HLA-DRBI*05
mempunyai hubungan yang erat dengan JIA (dahulu
disebut Juvenile chronic Arthritis) tipe pausiartikuler.
Sedangkan DRB1*0401 dan HLA- DRB1*0404
behubungan denga JIA dengan rheumatoid factor (RF)
positif, poliarthritis dengan RR> 100.
Pada AR gen HLA-DRBl *04, HLA-DRBI *01
HLA-DRBl*IO, HLA-DRB1*14, HLA-DQB1*03,
HLA-DQBl *04, dan kombinasi haplotipe HLA-DRBI *
04-HLA-DQBI *03 dilaporkan di berbagai negara
mempunyai hubungan erat dengan AR. Di Indonesia HLA
kelas II yang berhubungan denga AR adalah
HLA-DRBI *04 [OR= 2,4l(Signifikan/S)], sedangkan
HLA-DRBI*01 HLA-DRBl*10,HLA-DRBl *14,ditemukan
tidak berhubungan dengan keberadaan AR Di Indonesia,
HLA-DQBl *04juga berhubungan dengan keberadaanAR
[OR=2,70(S]. HLA-DRBl *04juga berhubungandengan
peningkatan kecacatan dan peningkatan kadar RF
(rheumatoidfactor). LD antara ale] HLA-DRB-HLA-DQB
juga berhubungan dengan peningkatan kepekaan
keberadaan dari berbagai penyakit reumatik. LD biasanya
ditulis dengan istilah kombinasi haplotipe. Pada AR
kombinasi haplotipe HLA-DRBl *04-HLA-DQBl *03
[OR= 4,16(S)], dan kombinasi haplotipe HLA-DRBl *
04-HLA-DQB1*03[0R=4,0l]mempunyaihubungandengan
AR.
HLA-DRBl *0312, HLA-DRBl *1501, HLA-*1503,
HLA-DRBl *08jugamempunyai berhubunganeratdengan
keberadan SLE, mungkin keadaan ini juga berhubungan
dengan LD dari HLA-DR3 dan HLA-DR2 denga alel nol
gen C4AAlel nol gen C4A menimbulkan defek struktural
pada molekul C4 sehingga molekul C4 tidak berfungsi
secara normal. Gen lain yang berhubungan dengan SLE
antara lain gen FcyRIIa,FcyRIIIa, MBL, dan IL- I Ra.

MEKANISME MOLEKULAR HUBUNGAN HLA


DENGAN PENYAKIT REUMATIK OTOIMUN

HLA Kelas I
Hubungan antara HLA kelas I dengan penyakit reumatik
dapat jelaskan melalui konsep shared epitope!SE antara
bakteri intraselularatau produknya dengan HLA-B27, yang
mana HLA-B27 sebagai otoantigen dikenali oleh sistem

2433

IMUNOGENETIKAPENYAKITREUMATIK

/
kekebalan sebagai eksoantigen. Keadaan ini dapat
menimbulkan reaksi pengikatan oleh sistem kekebalan
selular.
a AS misalnya, dapat terjadi aktivasi sel T CD8+
oleh
A-827 padaAPC yang berperaasebagi otoantigen,
yan mana sel T CDS+ akan mengekspresi perforin dan
granzyme untuk menghancurkan berbagai sel yang
mengekspresi HLA-827. Konsep SE ini hampir
identik dengan yang terjadi pada HLA kelas II (lihat uraian
di bawah ini)
Tabel 4 Asos1as1Antara SE yang Berupa Sekuens Asam
Ammo 70 - 74 pada Ranta, 11 HLA-DRB1 denqan AR

HLA-DRB1*
0401
0403
0404
0102
1001
1419
0402
0439

ro

SekuensAsam Amino
TI
n
n

Q
Q
Q
Q

R
Q
D
Q

K
R
R
R
R
K
E

R
R
R
R
R
R
R

A
A
A
A
A
A
A

A
A
A
A
A
A
A

Asosiasi
Risiko
Risiko
Risiko
Risiko
Risiko
Risiko
Protektif
Tidak ada

Catalan: Q glutamin, K = lisin, R = arginin, A = alanin, D - asam


aspartat, E asam glutamat

HLA-DRBl *SE+ sendirijuga dapat rnernicu aktivasi dan


proliferasi sel T CD4+ otoreaktif terhadap SE untuk
mengawali penyakitAR +
HLAkelas II sepertiHLA-DR, HLA-DQ,HLA-DP,juga
mernpunyai asosiasi yang kuat dengan SLE, dernikianjuga
kornbinasi haplotipe HLA-DQAl *0103-DQBl *0201,
kornbinasi haplotipe DPB I *0301-DPBI* 1401, defisiensi
C2, dan polirnorfisrne T-cell receptor b-chain (37,38].
Keberadaan LD tidak berarti bahwa lokus HLA-DR secara
tersendiri yang meningkatkan kepekaan timbulnya SLE,
tetapi mungkin akibat LD dengan gen lain seperti
polimorfisme gen tumor necrosis factor (TNF)~, yang
terletak pada MHC kelas III atau rnungkin gen C 1, C4, C2,
FcyR.Ila,FcyR.Illa,MBL, dan IL- I Ra
S.leul 181 T.di klenJar Timus ,
- sel T dipapar paptida HLA DRB1-SE+
- Unkage disequllibriumdengan HLA-DQB1

Paparan beru lang


E. Coll n dnaJ

Sel T speslfikaal SE
otornaktif tingg i

apoptosl s

Af'C mempresentasl
anligen artrolrofik
mlrip SE etau peptid
HLA+SE

HLA Kelas II
Salah satu teori yang dapat diterima untuk menghubungan
polimorfisrneHLAkelas II denganAR adalahteori mimikri
molekuler. Kesamaan susunan nukleotida pada HVR
dengan antigen eksogen sering disebut dgn konsep SE.
Sekuens asam amino nomor 70-71-72-73-74 (QKRAA,
QRRAA, RRRAA) pada celah pengikatan peptida
HLA-DR temyata mempunyai struktur yang sama dengan
protein asing seperti E. Coli dnaJ, EB V-gp 110 dsb. Dimulai
sejak kehidupan janin, di mana terjadi seleksi sel T di
kelenjar timus. Sel epitel kelenjar timus mengajari sel T
yang dipapar dengan ribuan otoantigen termasuk peptida
HLA kelas II, agar kelak sel T dapat toleran terhadap
otoantigen tersebut. Kelompok sel T CD4+ yang otoreaktif
kuat terhadap SE akan mengalami apoptosis (seleksi
negatif), sedangkan kelompok sel T CD4+ yang otoreaktif
rendah terhadap SE tetap hidup dan bersirkulasi (seleksi
positifs.

Sebelum tirnbul penyakit secara klinis, sel T CD4+


otoreaktifrendah mengalami paparan berulang oleh antigen eksogen mirip SE misalnya E. Coli dnaJ yang
diekspresi kontinyu oleh E. Coli di dalam usus rnanusia
atau oleh SE yang dipresentasi HLA kelas II atau oleh
HLA-DRBl * yang membawa SE (HLA-DRBl *SE+).
Paparan berulang tersebut rnerubah sel T CD4+ rnenjadi
lebih otoreaktif terhadap SE. Sel T CD4+ otoreaktif
kernudianbermigrasi dari darah perifer ke jaringan sinovia
Di dalarn jaringan sinovia, antigen artrotrofik, seperti
EBV-gpJJ.O(Epstein Barr Virus-glycoprotein llO), antigen eksogen lain atau peptida diri yang rnembawa SE atau

Mlgran sel PMN

Gambar 4. Model peran HLA-DRB1* dan HLA-0081* pada


patogenesis AR, berdasarkan kosep mimikri molekular

REFERENSI
Anthony
Nolan
Bone Marrow
Trust.
2001
(h.t.Ul.JL
anthonynolan.com).
Andreas J, Bengtsson AA, Sturfelt G, Truedsson L. Analysis of HLA
DR, HLA DQ, C4A, FcaRIIa, FcaRIIIa, MBL, and IL-lRa
allelic variants in Caucasian systemic lupus erythematosus
patients suggests an effect of the combined FcaRIIa R/R and
IL-lRa 2/2 genotypes on disease susceptibility Arthritis Res
Ther. 2004; 6(6): R557-R562.
Albani S, Carson DA,. A multistep molecular mimicry hypothesis
for the pathogenesis of rheumatoid arthritis. Immunology
Today 1996; 17(10):466-4 70.
Auger I, Roudier J,. A Function for the QKRAA amino acid motif :
mediating binding of dnaJ to dnaK implications for the association of rheumatoid arthritis with HLA DR4. J Clin Invest 1997;
99(8): 1818-1822.
Bolstad Al, Roland R. Genetic aspects of Sjogren's syndrome Jonsson
Arthritis Res 2002; 4:353-359

2434

Creamer P, Loughlin J. Genetic Fact s in Rheumatic Diseases In: ,


Rheumatology. Editors; Klip
JH, Dieppe PA. St. Lou.isMosby
Company 1999 (CD-RO ).
Dinarello CA, Moldawer
L, 2000. Proinflammatory and anti
Inflammatory cytokines in rheumatoid artrhritis. Thousand
Oaks ; Amgen Inc, pp. 3-21.
Gregersen PK, 1997. Genetic analysis of rheumatic diseases. In
(Kelley WN, Ruddy S, Harris ED, Sledge CB eds.). Textbook of
Rheumatology 5th ed. Philadelphia. WB Saunders Coy, pp.
209-227.
Hall FC, Bowness, 1996. HLA and disesase: From molecular
function to disease association. In ; (Browning M, McMicbael A
eds.) . HLA and MHC; genes, molecule and functions. Oxford;
Bios Scientific Publications, pp. 353-376.
Howard MC, Spack EG, Choudury K, Greten TF, Schneck JP, 1999.
MHC-based diagnostics and theurapeutics-clinical application
for disesease-linked genes. Trends Immunology 20(4): 161-164.
IMGT(IMunoGeneTics)-HLA, 2003. Database sequence data. htt_p:/
lwww ebj ac.uk/imgt/hla.
Judajana FM. Kuliah immunologi molekuler. Kursus Persiapan
Disertasi. Graha Masyarakat Ilmiah. FK Universitas Airlanga,
Surabaya 2005
Klein J, Sato A. 2000. The HLA system : First of two parts. N Engl
J Med 343(10):702-709.
La Cava A, Lee Nelson J, Ollier WER, McGregor A, Keystone CE,
Carter JC, Scaffidi JS, Berry CC, Carson DA, Albani S, 1997.
Genetic bias in immune responses to a cassette shared by
different microorganisms in patients with rheumatoid arthritis.
J Clin Invest 100(3):658-663.

Marsh SGE, Bodmer JG, Albert ED, Bodmer WF, Bontrop RE, Dupont
B, Ehrlich HA, Hansen JA, Mach B, Mayr WR, Parham P,
Pertersdorf EW, Sasazuki T, Th Schreuder GM, Strominger JL,
Svejgaard A, Terasaki PI, 2001. Nomenclature for factors of
the HLA system, 2000. Tissue Antigen 57:236-283.
Reveille JD.Genetic studies in the rheumatic diseases: present status
and implications for the future. J Rheumatol Suppl. 2005
Jan;72:10-31.
Salamon H, Klitz W, Easteal S, Gao X,. Erlich HA, Femandez-Viiia.,
Trachtenberg EA, McWeeney SK, Nelson MP, Thomson G,
1999. Evolution of HLA Class Il Molecules : Allelic and Amino
Acid Site Variability Accross Populations. Genetics 152:393400.
Soeroso J. Hubungan HLA-DRB dan HLA-DQBI dengan reumatoid
artritis. (Disertasi). Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga
2004.
Sediva A, Hoza J, Nemcova D, Pospisilova D, Bartunkova J,
Vencovsky J .Immunological investigation in children with
juvenile chronic arthritis. Med Sci Monit. 2001 Jan-Feb;7(1):99l04.
Varnavidou-Nicolaidou A, Karpasitou K, Georgiou D, Stylianou G,
Kokkofitou A, Michalis C, Constantina C, Gregoriadou C,
Kyriakides G.HLA-B27 in the Greek Cypriot population:
distribution of subtypes in patients with ankylosing spondylitis
and other HLA-B27-related diseases. The possible protective
role of B*2707. Hum Immunol. 2004 Dec;65(12):1451-1454.

INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI
PADA PROSES INFLAMASI
Kusworini Handono, Handono Kalim, Meddy Setiawan

PENDAHULUAN
Banyak penelitian pada hewan coba dan manusia
memberikan bukti tentang adanya komunikasi antara
sistem imun dan susunan saraf pusat (SSP), dan
pentingnya peran komunikasi tersebut pada terjadinya
kerentanan terhadap penyakit keradangan maupun pada
gejala-gejala keradangan itu sendiri. Sistem imun dan SSP
merupakan bagian tubuh yang selalu menjadi benteng
menghadapi gangguan lingkungan yang mengancam
kelangsungan hidupnya. Kedua sistem tersebut dirancang
untuk mengenal adanya gangguan lingkungan dan
memberikan respons terhadap gangguan tersebut untuk
mengembalikan homeostasis. Masing-masing sistem
mengenal gangguan asing yang berbeda : kimiawi,
antigenik atau infeksi oleh sistem imun dan psikologis atau
fisik oleh SSP, tetapi mereka menggunakan banyak sistem
tranduksi yang sama untuk mencetuskan respons terhadap
gangguan yang ada.
Sistem tranduksi tersebut mungkin hormonal atau
mungkin juga neuronal. Dengan demikian sitokin-sitokin
sistem imun tak hanya mempengaruhi sel-sel imun yang
lain,tapi juga bekerja sebagai hormon untuk merangsang
SSP yang mengontrol respons stres. Sebaliknya, hormonhormon respons stres tak hanya mempengaruhi kelenjarkelenjar neuro endokrin,tapi juga menekan atau merubah
respons imun dan keradangan. Sistem imun juga dapat
memberikan sinyalpada SSP melaluijalurneuronal, seperti
saraf vagus, dan S SP dapat memberikan sinyal pada sistem
imun melalui jalur saraf perifer atau simpatik.
Berbagai tahap komunikasi antara sistem imun dan SSP
tersebut merupakan mekanisme fisiologik penting untuk
mengatur intensitas respons imun dan keradangan,
mengatur kerentanan dan ketahanan terhadap penyakit

keradangan. Pemutusan komunikasi tersebut pada tahap


yang mana saja dan melalui mekanisme apa saja akan dapat
meningkatkan kerentanan atau menambah beratnya
penyakit keradangan. Sebaliknya, pemulihan komunikasi
tersebut akan mengurangi keradangan. Dengan demikian,
beratnya keradangan sebagai respons terhadap
rangsangan asing tak hanya tergantung pada sifat-sifat
rangsangan itu sendiri tapijuga tergantung pada intensitas
respons neuronal dan neuro endokrin yang timbul.
Pengetahuan tentang hal ini dapat memberikan dasar
rasional mengenai mekanisme bagaimana "stress" dapat
mempengaruhi timbulnya maupun beratnya penyakit
keradangan dan autoimun, oleh karena hormon respons
stres yang dicetuskan oleh stres mempunyai efek yang
nyata pada respons imun atau keradangan.
Dalam makalah ini akan dibicarakan beberapa aspek
tentang interaksi neuroendokrin dengan sistem imun: I).
Respons fisiologis sistem endokrin dan sistem saraf dalam
menghadapi stres. 2). Respons/ aktivasi sistem endokrin
dan sistem saraf pada keradangan. 3). Pengaruh sistem
neuro-endokrin yang secara simultan memberi sumbangan
pada patogenesa dan gambaran klinis keradangan dan 4).
Pendekatan alternatif yang didasarkan pada aspek
neuro-endokrin untuk terapi keradangan.

Gangguan
Lingkungan

,_G_e_n_r_e_sp_o_n_s _im_u_n_
Respons neuro endokrir

D
D

Penyakit
k

adangan

Gambar 1. Beratnya penyakit keradangan merupakan hasil akhir


keseimbangan
antara aktivitas respons imun dan respons neuro
endokrin dalam menghadapi
gangguan dari lingkungan luar.

2436

REUMAlULOGI

RESPONS STRES NEURO ENDOKRIN

Hipotalamus yang merupakan organ sentral resppon stress


neuro endokrin,akan memberikan respons terhadap
berbagai rangsangan dengan mensintesa dan mensekresi
neuropeptida corticothropin-releasing hormon (CRH).
CRH akan merangsang hipofise anterior mensekresi
adrenocorticotropin (ACTH), yang selanjutnya akan
merangsang kelenjar adrenal untuk mensekresi
kortikosteroid. Sekresi CRH oleh hipotalamus dikontrol
ketat oleh beberapa sistem neurotransmiter yang akan
merangsang sekresi tersebut (sistem noradrenergik,
serotonergik,dan dopaminergik) dan beberapa sistem lain
yang akan menghambat (y-aminobutyric acid: GABA,
benzodiasepin maupun glukokortikoid).

.>

~Behavior~

neuroendokrin juiro merupakan unsur fisiologis yang


penting dari respo;~

RESPONSNEURQ.ENDOKRINPADAKERADANGAN

Selama terjadi proses keradangan lokal terdapat sejumlah


mediator yang dilepaskan oeleh sel-sel imun yang dapat
mempengaruhi sel-sel disekitamya (parakrin) maupun selsel ditempat yang jauh melalui aliran darah (endokrin),
seperti TNF,IL-1,IL-2, IL-6, IL-10, IL-12 dan interferon-.
Di samping imun mediator ini, sel-sel imun yang teraktivasi
juga beredar diseluruh tubuh. Pada tempat keradangan
lokal, serabut afferen saraf sensoris teraktivasi oleh faktor
kimiawi, mekanis, panas dan rangsangan imun, sehingga
akan terlepas sejumlah neurotransmiter disekitar sarafterminal. Ketiga mekanisme ini (mediator imun, sel-sel yang
teraktivasi, afferen saraf sensoris) semuanya akan
meneruskan rangsangannya ke SSP dan organ-organ lain
(hati, kelenjar adrenal, kelenjar gonad, dll).

PERUBAHAN DI TINGKAT SENTRAL


HIPOTALAMUS DAN HIPOFISE

Sympathetics

..__/)
... _ ........ -#"

Gambar 2. Skema komunikasi antara sistem imun dan neuro


endokrin

Di samping pengaruh neouroendokrinnya melalui


hipofise, CRH juga bekerja sentral dalam otak sebagai
suatu neuropeptida, untuk mencetuskan sejumlah
perubahan perilaku seperti peningkatan kewaspadaan,
perhatian dan penekanan fungsi-fungsi vegetativ seperti
pencemaan dan reproduksi. Bersama-sama respons seperti
itu dikenal sebagai respons "kabur atau melawan",
Komunikasi sistem CRH hipotalamus dengan denganjalur
noredrenergikjuga teraktivasi selamarespons stres, melalui
hubungan anatomis antara hipotalamus dan pusat
noredrenergik dibatang otak. Sebaliknya, sistem
noredrenergik batang otak mengirim sinyal ke perifer
melalui saraf simpatis. Melalui hubungan seperti itu, unsur
fisiologik respons stres, seperti peningkatan denyut
jantung, tonus otot dan keringat, bersamaan dengan
respons perilaku, membentuk respons stres seluruhnya.
Penelitian dalam waktu akir-akhir ini menunjukkan bahwa
modulasi respons imun baik oleh sistem simpatis maupun

PADA

Pada rangsangan mediator prokeradangan yang kuat, SSP


akan bereaksi dengan mengaktifkan aksis hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA) merangsang peningkatan kadar
hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan steroid adrenal
(Gambar 3). Peningkatan aktivitas saraf simpatik akan
menyebabkan peningkatan sekresi neurotransmiter
disekitar saraf terminal. Tetapi,sitokinprokeradanganyang
samamisalnyaIL-1, TNF atau endotoxin,akan menghambat
sekresi gonadotropin-releasing hormon dari hipotalamus,
luteinizing hormon dari kelenjar pituitari, dan berdampak
pada produksi testosteron pada pria dan estrogen pada
wanita. Secara fisiologis, selama proses keradangan
sistemik sistem reproduksi terhambat dan aksis HPA
teraktivasi.
Pada manusia dan tikus pada keadaan akut (hari ke 1
terapi IL-6), IL-6 akan merangsang hipotalamus dan diikuti
sekresi dari ACTH. Keadaan yang sama juga terjadi pada
pemberian sitokin yang lain seperti IL-1 pada tikus, IL-2
pada manusia serta TNF pada manusia dan tikus.
Pemberian sitokin jangka panjang seperi IL-6 akan
menghasilkan respons ACTH yang tumpul pada manusia.
Pada acute adjuvant-induced arthritis terjadi aktivasi yang
kuat pada ACTH, dimana pada artritis kronik akan diikuti
oleh CRH hipotalamik yang rendah tetapi dengan kadar
arginin vasopresin yang meningkat. Keadaan ini
menunjukkan adanya perubahan respons pada tingkat
hipotalamus dan kelenjar pituitari jika sitokin ditingkatkan
secara kronik (misal selama keradangan kronik). Pada
keadaan seperti itu sekresi CRH dan ACTH relatif rendah
meskipun kadar sitokin meningkat.

INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

2437

PADA PROSES INFLAMASI

Adaptasi (perubahan res pons) pada hipotalamus


tersebut merupakan prinsip yang fisiologis, namun belum
diketahui berapa konsentrasi sitokin dan waktu yang
diperlukan untuk menginduksi proses adaptasi ini pada
tingkat hipotalamus atau hipofise pada pasien dengan
keradangan menahun. Apabila pada pasien tidak terjadi
peningkatan kadar perangsangan sitokin yang konstan,
maka perubahan adaptasi pada tingkat ini mungkin tidak
terjadi.
Terdapat beberapa cara bagaimana sitokin dari sistem
imun di perifer dapat merangsang SSP.Sitokin mungkin
secara aktif dibawa dari darah ke otak melewati barier otakdarah,ataumungkin melewati secarapasif melalui beberapa
titik kebocoran tertentu di barier tersebut. Jalur tersebut
mungkin lebih banyak timbul pada keradangan atau
penyakit lain dimana barier otak-darah menjadi lebih
permiabel.Akan tetapi sitokin juga dapat menimbulkan
efeknya tanpa masuk ke otak.Sitokin dapat diekspresikan
pada endotel pembuluh darah otak dan dapat merangsang
dilepaskannya mediator kedua, seperti prostaglandin dan
nitric oxid, di jaringan otak sekitarnya dan merangsang
neuron pada daerah tersebut. Fakta bahwa efek demam
yang ditimbulkan oleh IL-I dapat dihambat oleh obat anti
inflamasi nonsteroid (OAINS) memberikan bukti tentang
adanya mekanisme seperti itu. Di samping pengaruhnya
langsung pada SSP, sitokinjuga dapat mempengaruhi otak
melaluijalur saraf, terutama sarafvagus.
Perubahan di Tingkat Perifer : Kelenjar Adrenal
dan Gonad
Beberapa penelitian pada pasienAR menunjukkan sekresi
kortisol yang rendah dan tidak seimbang dalam
hubungannya dengan kadar sitokin prokeradangan dan
keradangan sistemik.Pada penyakit keradangankronik lain
terdapat penurunan relatifkadar kortisol, misalnya pada:
Crohn's disease, Sjorgen's syndrome, SLE dan penyakitpenyakit yang lain. Data tersebut menunjukkan adanya
ketidak seimbangan antara sekresi kortisol yang rendah
dengan keradangan kronik yang berkelanjutan seperti pada
artritis reumatoid Reseptor glukokortikoid didapatkan normal atau meningkat pada monosit pasien AR, yang
sebelumnya tidak mendapat tempi glukokortikoid. Hal ini
mendukung konsep gangguan sekresi kortisol pada
beberapa penyakit keradangan menahun seperti artritis
reumatoid.
Pada pasien AR didapatkan juga penurunan kadar serum androgen adrenal yang bermakna . Keadaan yang
sama (dengan penurunan androgen adrenal), terutama
DHEASjuga terjadi pada penyakit keradangan kronik lain,
seperti Crohn's disease, Ulcerative colitis, SLE, Systemic
Sclerosis dan Polymyalgia rheumatica.
Sitokin prokeradangan (IL-I, TNF) merupakan
penghambat yang penting pada berbagai fase produksi
hormon seksual, seperti halnya aktivitas enzim P450 ssc

dan P450cl 7 pada sel Le dig. Kondisi ini menyebabkan


pengurangan hormon seks
dalam kelenjar gonad.
Sebaliknya sitokin prokeradangan yang sama (IL-I, TNF)
dan IL-6 mampu merangsang aktivitas enzim aromatase
kompleks pada jaringan nongonadal, dan menyebabkan
konversi androgen disepanjang jalur estrogen di perifer.
Jadi pada jaringan kaya makrofag, didapatkan hubungan
bermakna antara aktivitas aromatase dan produksi IL-6,
yang menghasilkan kadar androgen rendah dan kadar
estrogen tinggi. Hasil rasio yang tinggi antara estrogen :
androgen telah diamati pada cairan sinovial pada pasien
AR pria dan wanita. Selama proses keradangan, terdapat
pengurangan produksi hormon seksual pada tingkat
kelenjar gonad diikuti oleh kadar androgen yang rendah
pada serum dan cairan tubuh. Namun kadar estrogen relatif
tetap normal karena sitokin prokeradangan merangsang
produksi estrogen dari prekursor di sel-sel perifer (sel-sel
mama, osteoblast, sel-sel lemak, makrofag)
Secara keseluruhan respons SSP/neuro endokrin
ditujukan untuk menghambat proses keradangan di perifer.
S SP menghambat keradangan di perifer dengan
menggunakanduajalur secaraparalel: 1) Aksis HPAdengan
hormon anti keradangan utamanya yaitu kortisol, dan 2).
Sistem saraf simpatik dengan anti keradangan utama
neurotransmiter norepinefrin (melalui ~-adrenoseptor),
adenosin (melalui adenosin 2 [A2] reseptor) dan opioid
endogen. Kedua aksis ini mempunyai kemampuan sebagai
anti keradanganyang sangat kuatjika mereka bekerja secara
paralel. Namun pada AR, aksis-aksis ini mengalami
gangguan secara nyata, sehingga menyebabkan hilangnya
kemampuan anti keradangan yang di perantarai oleh SSP
pada keradangan artikular lokal.
Humoraf

EB

Neuronal

Hypothalamus

PJ tUi lBry

ffi
~
AqreMI

71

() gla d ~------

i ~

Ul

"Cl

0
0

:0
Q)

.s
>"'

TNF

IL-111

IL-E

Gambar 3. Jalur umpan balik anti-keradangan pada proses


keradangan sistemik (model :
artritis rematoid).

2438

REUMA10LOGI

Perubahan di Tingkat Perifer : Saraf Simpatis dan


Sensoris.

Beberapa penelitian membuktikan pengaruh sistem saraf


simpatis pada binatang model dengan artritis menahun,
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa a-2 adrenergik
dan reseptor Al terlibat pada sensitisasi serabut afferen
saraf sensoris, yang menyebabkan pelepasan
prokeradangan substansi P ke dalam lumen sendi.
Sebaliknyapada penelitian lain menunjukkanbahwa artritis
eksperimental dapat dikurangi dengan pemberian
b- adrenergik agonis. Sistem saraf simpatismemainkan dua
peran penting tergantung dari ikatan antara
neurotransmiter simpatik dengan a-2 atau ~- adrenoseptor
dan Al atau A2 adenosin reseptor secara berurutan
(Gambar 4). Perbedaan efek dari neurotransmiter simpatik
(norepineprin, epineprin, adenosin) konsisten dengan
konsep bahwa stimulasi b-adrenoseptor atau A2 reseptor
meningkatkan cAMP intraselular, dan menghambat
produksi sitokin prokeradangan seperti TNF, interferon y,
IL-2, dan IL-12. Efek yang berlawanan terjadi jika a-2
adrenoseptor atau Al.reseptor di rangsang (Tabel 1).

Tabel 1 Modulasi Respons lmun oleh Hormon-hormon


Adrenal/gonad dan Sirnpatik sorta Neurotransm1ter Sensons
Hormon atau
Neurotransmiter
Kortisol

DHEA
Testosteron
Estrogen

CAMP

Norepinephrin (a2)
Norepinephrin (~)

Adenosin (A 1)
Adenosin (.A2)

Substansi P

Modulasi fungsi imun alami dan adaptif


Menghambat
kerusakan
oksidatif,
phagositosis,
produksi
kollagenase,
presentasi antigen, COX-2, IL-1, IL-2, IL-6,
IL-12, INF y, TNF, NF-KB dsb.
Menghambat produksi radikal oksigen, IL1, IL-6, TNF
Menghambat IL-6, aktivitas NK sel
Menstimulasi produksi immunoglobulin
(konsentrasi fisiologis), menghambat IL-1,
IL-6, TNF (konsentrasi farmakologis)
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, ekspresi HLA klas I and II,
IL-2, IL-12, INF t. TNF (tetapi
meningkatkan jalur Th2)
Menghambat cAMP intraseluler
(meningkatkan of TNF)
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, aktivitas NK sel, ekspresi
HLA klas II, IL-2, INF t. IL-12, TNF (tetapi
meningkatkan jalur Th 2)
Menghambat cAMP intraseluler
Menghambat radikal oksigen,
phagositosis, aktivitas NK sel, IL-8, IL-12,
INF t. TNF (tetapi meningkatkan jalur Th2)
Menstimulasi radikal oksigen,
phagositosis, kemotaksis monosit,
aktivitas NK sel, IL-1, IL-2, IL-4, IL-8, IL-10,
IL-12, TNF, produksi immunoglobulin,
prostaglandin E2

Konsentrasi lokal neurotransmiter simpatik sangat penting


untuk imunomodulasi, sehingga kehilangan secara
lengkap dari serabut saraf simpatik pada eksperimen
simpatektomi akan mengurangi keradangan karena jalur
a-2 adrenergik di hilangkan.

Dari salah satu studi menunjukkan konsentrasi yang


rendah dari ~-adrenoseptor pada limfosit sinovial pasien
AR, dan menyebabkan penurunan kadar cAMP
intraselular (penurunan jumlah reseptor 1) sehingga
menimbulkan keadaan prokeradangan dari sel tersebut.
Pada studi yang lain tidak mengkonfinnasikanjumlah yang
rendah dari ~--adrenoseptor, tetapi mendapatkan
penurunan ekspresi dan aktivitas G protein receptor coupled kinase dalam monosit pasien AR. Pengurangan
aktivitas kinase akan menghasilkan stabilisasi jalur
signaling b-adrenoseptor (Gambar 4), jalur kemokin dan
substansi P. Hal ini ditunjukkan melalui peningkatan
produksi cAMP dan penghambatan sekresi TNF oleh
rangsangan ~-2 adrenergik pada monosit pasien AR.
Pengobatan yang menggunakan bahan penginduksi
cAMP pada pasien AR memberi efek yang
menguntungkan, pengobatan dilakukan dengan injeksi
~- adrenergik agonis atau sintesis analog cAMP kedalam
sendi. Dosis rendah methotrexate (MTX) memberikan efek
anti-keradangan, melalui induksi akumulasi adenosin
ekstraselular yang berikatan dengan reseptor A2 dan
peningkatan cAMP intraselular. Studi terakhir dengan
kelompok yang sama menunjukkan bahwa obat anti
reumatik yang lain seperti sulfasalazin atau salisilat
menimbulkan efek anti keradangan melalui peningkatan
konsentrasi adenosine ekstraselular.
Kemungkinan lain efek lokal sistem simpatis melalui
pelepasan opioid endogen yang terlokalisir pada ujung
terminal saraf simpatik. Beberapa studi saat ini
menunjukkan bahwa injeksi intra artikular terutama
menggunakan -opioid-agonis morfin spesifik dapat
mengurangi keradangan pada AR yang kronik.
Neurotransmiter simpatis norepineprin (melalui ~),
adenosin(melaluiA2) atau opioid endogen (melalui) akan
dapat menimbulkan efek anti-keradangan, hanya jika
serabut saraf simpatik ada pada jaringan sinovial. Studi
terakhir yang panjang pada pasien AR yang lama
(rata-rata sakit 10 tahun) menunjukkan pengurangan
serabut saraf simpatis yang sangat bermakna
dibandingkan pasien OA, keadaan ini tergantung dari
derajat keradanganpasienAR Hal ini dimungkinkankarena
pengurangan serabut saraf simpatis pada penyakit kronik
akan menyebabkan uncoupling keradangan lokal dari
input anti-keradangan oleh SSP
Substansi P sebagai neurotransmiter utama
prokeradangan, telah diakui sacara luas. (Tabel 1)
Pemberian lokal antagonis substansi P secara bennakna
mengurangi beratnya keradangan pada binatang model.
Lebih lanjut pada keadaan normal substansi P
mensensitisasi serabut saraf afferen artikuler dan pada
tikus yang mengalami keradangan pada sendi lututnya,
sehingga menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap
tekanan mekanik, nyeri dan peningkatan terns menerus
dari pelepasan substansi P ke dalam lumen sendi. Substansi
P memberikan rangsangan sensasi nyeri yang terus

INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

PADA PROSES INFLAMASI

menerus di perifer. Kapsaisin sebagai obat analgesik, yang


primer merusak terminal afferensaraf sensoris,saat ini telah
dipergunakan sebagai obat topikal analgesik pada artritis
reumatoid.
Ada tidaknya afferen serabut saraf sensoris pada
jaringan sinovial yang terkeradangan sampai saat ini masih
menjadi pertanyaan. Seperti pada penemuan serabut saraf
simpatik,kadar substansiP berkurangpadaj aringansinovial
AR. Pada suatu studi perbandingan menunjukkan bahwa
kadar substansi P yang agak tinggi di dapatkan pada pasien
AR dibandingkan dengan pasien OA. Perbandingan
langsung substansi P dan serabut simpatik menunjukkan
jumlah yang lebih besar dari - 10: I, untuk afferen sensoris
primerdibandingkandenganefferensimpatis,jumlahafferen
sensoris yang besar ini tergantung dari keradangan lokal.
Kesimpulannya adalah bahwa jumlah yang berlebihan ini
mungkin menyebabkan keadaan prokeradangan yang tidak
baik, kondisi ini mendukung proses penyakit AR.

ProInflammatory

AntiInflammatory

Gambar 4. Keterlibatan dari serabut saraf simpatik dan sensoris


pada keradangan jaringan sinovial artritis reumatoid

PERAN NEURO ENDOKRIN PADA MODULASI


RESPONS IMUN
Selama lebih dari 50 tahun telah dipelajari secara intensif
efek multipel anti keradangan kortisol. Hormon ini
mempunyai aktivitas yang multipel sebagai anti
keradangan, meliputi: penghambatan sitokin, fagositosis,
kerusakan oksidatif, dan menginduksi siklooksigenase 2
(Tabel 1 ). Selainitu, kortisol secara langsungmengaktifkan
respons imun Th-2 in vivo, rnelalui peningkatan sitokin
anti keradangan IL-10. Beberapa studi menunjukkan
efektivitas dari terapi glukokortikoid pada binatang
dengan artritis dan pada pasien AR. Disimpulkan bahwa
pada konsentrasi fisiologis yang tinggi, kortisol (106 105) akan berfungsi sebagai anti keradangan
Dua hormon adrenal yang disekresikan karena
pengaruh stimulasi ACTH adalah dehydroepiadrosterone
(DHEA)dan sulfated derivative DHEAS. DHEA merupakan
hormon aktif, yang dapat dikonversi dari reaksi androgen

2439

di sel-sel perifer seperti makrofag. Androgen seperti halnya


testosteron, mempunyai kemampuan anti keradangan.
DHEA dan DHEAS, merupakan kumpulan hormon yang
bertanggungjawab pada kondisi anti-keradangandi perifer,
pada saat kelenjar gonad mengalami involusi selamaproses
penuaan. DHEA mempunyai reseptor intraselular yang
berpengaruh langsung pada efek anti-keradangan pada
manusia dan hewan.
Secara umum, androgen pada konsentrasi fisiologis
cenderung untuk menekan respons imun. Pada konsentrasi
fisiologis (10---1! M) dan farmakologis (konsentrasi yang
lebih tinggi dari fisiologis) (10-6 M) testosteron mampu
menghambat sekresi IL-1 ~ oleh monosit pada pasien AR.
Pada konsentrasi fisiologis testosteron menghambat
sintesa IL-1 pada kultur primer makrofag sinovialmanusia.
Pada studi lain dihidrotestosteron mampu menekan
ekspresi dan aktivitas human IL-6 gen promotor pada
fibroblast manusia. Hal ini mendukung konsep anti
keradangan/efek imuhosupresif androgen.
Secara umum pada konsentrasi fisiologis, estrogen
meningkatkan respons imun dan terutama berperan
sebagaistimulatorimunitashumoral. (Gambar 5). Dari basil
penelitian dilaporkan bahwa 17 ~ - estradiol mampu
meningkatkan produksi lgG dan IgM oleh PBMC pada
pria dan wanita, tanpa merubah viabilitas atau proliferasi
sel.Studi lebih lanjut mengkonfirmasikan bahwa 17 ~estradiol mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
produksi poliklonal IgG yang meliputi anti double stranded
DNA IgG pada PBMC pasien SLE oleh peningkatan
aktivitas sel B melalui IL-10. Efek estrogen bimodal pada
produksi sitokin (IL-1, IL-6, TNF), pada konsentrasi
farmakologis yang tinggi (l0-6 M) terjadi penurunan
sintesa, dan peningkatan produksi sitokin terjadi pada
konsentrasi fisiologis (Sl 0-8M). Ditunjukkan juga bahwa
estrogen mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
sekresi matriks metaloproteinase oleh sinoviosit . Kadar
estrogen serum pasien dengan AR tidak mengalami
perubahan yang berbeda dengan kadar androgen.
Hormon steroid dapat dikonversi di sepanjang jalur
aktivasihormon di perifer.Dari basil penelitian ditunjukkan
bahwa konversi DHEA terjadi di dalam makrofag dan
tergantung dari status diferensiasi serta adanya endotoksin.
Pada wanita post menopause dan pria tua, ketersediaan
DHEA adrenal sangat penting untuk memelihara kadar
hormon seksual secara bermakna di perifer. Sampai saat ini
belum diketahui secarapasti makrofag atau sel imun perifer
lain yang mampu mensintesishormon steroid dalamjumlah
cukup dengan menggunakan kolesterol.

PENGARUH SISTEM SIMPATIS PADA RESPONS


IMUN
Hormon epineprin adrenal, neurotransmiter simpatis
norepineprin dan adenosin (setelah konversi dari ATP)

2440

REUMAlOLOGI

mempunyai peran ganda dalam imunomodulasi, karena


ikatan mereka pada G protein-coupled receptor subtypes
yang berbeda. Epinefrin lebih cenderung berikatan dengan
~-adrenoceptor (reseptor 1, pada konsentrasi fisiologis
tinggi a-adrenoseptor juga menunjukkan sebagai reseptor
2), dan norepineprin lebih senang berikatan dengan
a-adrenoceptor (reseptor 2, pada konsentrasi fisiologis
tinggi ~-adrenoceptorjuga menunjukkan sebagai reseptor
1). Adenosin lebih suka berikatan dengan reseptor Al
(reseptor 2). Pada konsentrasi fisiologis tinggi juga
berikatan dengan reseptor A2 (reseptor 1 ). Ikatan ~adrenoseptor atau reseptor A2 meningkatkan kadar cAMP
intraselular, dan ikatan a2-adrenoceptor atau reseptor Al
menurunkan kadar cAMP intraselular (Gambar 6).
Synovial fluid, Cartilage, Bone
TNF

IL-1~
IL-6

Macrophage

lgG

IL-4
11-2
IFNy

B lymphocyte
Synovial tissue

Gambar 5. Efek langsung dan tidak langsung dari androgen (A)


dan estrogen (E) pada produksi sitokin/imunoglobulinoleh sinovial/
sel-sel imun pada jaringan sinovial pasien Rheumatoid Arthritis.
Tanda (+) : perangsangan dan tanda (-) : penghambatan.

kadamya, hal ini berhubungan dengan aktivitas antikeradanganyang maksimum hanya terjadi pada konsentrasi
fisiologis 1 o-6 - 10-5 M.
Sampai saat ini substansi P (Neurotransmiter afferen
sensoris) dipandang merupakan neurotransmiter
prokeradangan (Tabel 1 ). Sebagai contoh, substansi P
mampu menstimulasi IL-1, IL-2, TNF dan Nuklear Factor
KB dari beberapa tipe sel. Hal ini menunjukkan bahwa
substansi P merupakan agen prokeradangan yang paten.
Peran agen prokeradangan ini pada artritis akut telah
dibuktikan.
Aktivasi aksis HPA dan aksis adrenergik secara
bersamaan telah dibuktikan mempun yai efek modulasi
respons imun yang lebih kuat dari pada efek masingmasing aksis tersebut secara terpisah.Misalnya, pada
pengobatan asma secara lokal atau sistemikBvadrenergik
agonis dan glukokortikoid mempunyai efek sinergistik
dalam mengeliminasi obstruksi bronkus. Aktivasi yang
simultan aksis HPAmelalui peningkatan kortisol dan aksis
adrenergik melalui peningkatan norepineprin, mempunyai
efek tambahan dalam meningkatkan cAMP intraselular
(Gambar 6), seperti yang ditunjukkan pada beberapa sel.
Kortisol akan membantu meningkatkan produksi
norepineprin dan epineprin dari saraf simpatis terminal dan
medulla adrenal, melalui sintesa enzim. Sehingga
peningkatan kadar kortisol dan norepineprin secara
bersamaan dengan konsentrasi lokal 1 o-6 - 10-5 M
mempunyai efek anti-keradangan yang lebih besar dari
pada substansi tersebut berada dalam keadaan tunggal.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedua sistem antikeradangan yaitu aksis HPA dan aksis adrenergik harus
diaktivasi secara simultan untuk mendapatkan efek antikeradangan yang maksimal. Komunikasi aksis HPA dan
aksis adrenergik terlihat terganggu pada penyakit
keradangan kronik.

PERJALANAN PENYAKITARTRITIS REUMATOID:


SEBUAH MODEL UNTUK INTERAKSI NEUROENDOKRIN- IMUN

Gambar 6. Jalur anti-keradangan yang sinergistik antara kortisol


dan neurotransmiter- neurotransmiter simpatik.

Secara umum peningkatan tonus simpatik akibat dari


aktivitas saraf simpatis akan menghasilkan peningkatan
kadar epineprin, norepineprin, dan adenosin (sesudah
konversi dari ATP) pada sirkulasi sistemik dan disekitar
saraf terminal. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
cAMP intraselular pada beberapa sel target. Peningkatan
cAMP oleh mekanisme ini mampu merangsang beberapa
efek anti-keradangan pada mekanisme imun. Konsentrasi
lokal molekul efektor simpatik penting untuk diperkirakan

Pada fase awal atau aktivasi dari penyakit, jalur imun


alamiah dan adaptif diaktifkan untuk mengeliminasi faktor
pencetus yang mungkin untuk AR, pada lingkungan mikro
sinovial. Pada fase ini, adanya respons imun
prokeradangan yang kuat untuk mengeliminasi faktor
pencetus lokal, akan menyebabkan aktivasi organ-organ
jauh seperti SSP, kelenjar pituitari, kelenjar adrenal dan
hati .Pada fase awal respons prokeradangan, terjadi umpan
balik anti-keradangan untuk mengontrol proses
keradangan di sendi-sendi yang jauh. Namun, setelah
beberapa minggu, proses keradangan tidak dapat dikontrol
lagi secara adekuat karena aksis HPA dan aksis HPG akan
menghasilkan hormon steroid anti-keradangan dalam
jumlah yang kurang dan sangat tidak sesuai untuk

INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

PADAPROSES

mengatasi keradangan tersebut. Pada kenyataanya serum


kortisol dan kadar androgen gonad/adrenal rendah pada
keradangan menahun, tetapi kadar serum estrogen tetap
normal. Secara simultan dalam periode 14 hari dari fase
akut penyakit, jumlah serabut saraf simpatis dan serabut
saraf sensoris menurun. Regenerasi serabut saraf terjadi
inkomplit dan terbatas hanya pada serabut saraf sensoris
saja setelah fase akut keradangan. Hasilnya substansi P
dari serabut saraf hampir mencapai kadar normal selama
perjalanan panjang dari penyakit, tetapi didapatkan kadar
yang sangat rendah dari serabut saraf simpatis.
Selanjutnya,kedua hormon steroid dan neurotransmiter
anti-keradangan dari sistem saraf simpatis (antikeradangan hanya terdapat pada konsentrasi tinggi) di
sekresi dalam jumlah rendah yang sangat tidak memadai
( Gambar 7). Kondisi ini menyebabkanketidak seimbangan
yang berkelanjutan pada lingkungan mikro sinovial dan
menyebabkan perburukan penyakit, walaupun pada situasi
tanpa adanya trigger awal yang persisten. Pada skenario
patogenesa AR ini, mekanisme patogenik yang telah
diketahuipada lingkunganmikro sinoviallokal (mekanisme
imun lokal) juga dipertimbangkan bersama-sama dengan
konsep yang mengalami beberapa perubahan dari duajalur
umpan balik utama sistem anti-keradanganyaitu aksis HPA
dan aksis HPG (Gambar 7)

Actln1!c'1"11f11rt1
_.,.iwttlrnm Mrr

,,,_

~l,...l,;rnfn1111n-

:!:!h~: ~H

, . . . p.

, ~--j----

:=:.:~.:l'
::::::==~'
~,
.NI\
~l~~n.....aa

.. ,- .. ,f--+

-f--l

:1
~-----
I" I---------------+

2441

INFLAMASI

..

Gambar 7. Ringkasan skenario patogenesis penyakit kronik pada


reumatoid artritis

PILIHAN
PENGOBATAN
BERDASARKAN
PERSPEKTIFINTERAKSINEUROENDOKRIN- IMUN
Pendekatan terapeutik yang baru harus dipertimbangkan
seiring dengan adanya perubahanjalur umpan balik antikeradangan padaAR (Tabel 2). Berkenaan dengan adanya
interaksi imun-endokrin, substitusi kortisol pada pasien
AR merupakan prinsip terpenting karena adanya sekresi
yang rendah dari hormon ini sehubungan dengan
keradangan. Saat ini penggantian kortisol dosis rendah
( 7 ,5 mg Prednison/hari) telah ditetapkan dalam
pengobatan AR. Lebih jauh lagi pemberian androgen
adrenal seperti DHEA sepertinya menghasilkan efek yang
menguntungkan pada penyakit keradangan kronik.

label 2. Pihhan Pengobatan Berdasarkan Persepektif


Mekanisme Patogenesis lmun- neuroendokrm
Target

Tera pi

Substitusi kelenjar
adrenal
Substitusi kelenjar gonad

Kortisol dan analognya :


dehidroepiandrosteron
Testosterone (pasien pria);
progesteron (estrogen)
Adenosin lokal (meningkat
dengan metotrexat, sulfasalazin,
salisilat); opioid lokal (opioidergic seperti morpin);
j3-agonisadrenergik lokal;
mekanisme peningkatan cAMP
lokal
Antagonis Neurokinin receptor;
kaspaisin lokal

Substitusi sistem saraf


simpatis lokal (jalur antikeradangan)

Blokade substansi P

Pada suatu studi besar double blind dengan kontrol


plasebo terhadap pasien dengan SLE aktif ringan,
menunjukkan bahwa DHEA menghasilakan efek hemat
glukokortikoid. Pada waktu yang lebih singkat (4 bulan)
studi terbuka terhadap pasien AR, tidak ditemukan efek
DHEA pada aktivitas penyakit, namun studi ini tidak
difokuskan pada densitas mineral tulang dan paramater
jangka panjang lainnya. Efek klinis yang positif, misalnya
terpeliharanya densitas mineral tulang dan perlindungan
dari atherosklerosis diharapkan timbul setelah 1 tahun dan
bukan dalam waktu 4 bulan.
DHEA di perifer di ubah oleh sel target (misalmakrofag)
menjadi sejumlah testosteron dan estrogen yang
mencukupi, sehingga DHEA dapat dipakai sebagai
tambahan terapi pengganti testosteron atau
estrogen pada pria atau wanita dewasa yang menderita
AR. Terapi penganti hormon dengan DHEA dapat
dipertimbangkan untuk dipakai sebagai terapi pada pasien
AR, j ika kadar hormon tersebut menurun secara signifikan.
Hal ini bermanfaat pada pasien yang secara simultan
menerima terapi kortikosteroid dan berisiko tinggi untuk
osteoporosis. Studi jangka panjang diperlukan untuk
mengevaluasi efek yang mungkin timbul dari terapi
pengganti hormon pada pasien tanpa osteoporosis.
Kadar serum estrogen yang normal pada pasien AR
dan fungsi estrogen sebagai pemacu respons imun seperti
diuraikan sebelumnya, menunjukkan kerterkaitan yang
lemah dalam pengujian terapi pengganti hormon estrogen
pada pasien AR. Ketertarikan akan pengaruh estrogen ini
terlihat pada penggunaan kontrasepsi oral yang memiliki
efek protektif terhadap perkembangan RA. Hasil dari
beberapa studi terkontrol dengan kontrasepsi oral temyata
memberikan basil yang saling bertentangan. Studi terbaru
menunjukkan hanya pada pemakaian awal dari kontrasepsi
oral, pada saat fase inisiasi dari AR yang memiliki efek
proteksi dari keradangan poliarthritis. Sampai saat ini,
belum ada kesepakatan yang dicapai sehubungan dengan
penggunaan kontrasepsi oral dan kaitannya dengan
prevensi dan perkembangan RA. N amunjika ada efek, hal

2442
itu merupakan efek yang kecil karena kontrasepsi oral
hanya merupakan modulator yang lemah pada AR.
Mungkin penggunaan modulator reseptor selektif
estrogen (SERM - Selective Estrogen Receptor
Modulators) dapat diperhitungkan. Kandidat SERM dapat
menginduksi pembentukan tulang tanpa menginduksi efek
prokeradangan sel imun.
Mempertimbangkan aktivitas imunosupresif yang
dihasilkan androgen, hormon pria dan derivatnya,
tampaknya memberikan pendekatan terapeutik yang
paling menjanjikan. Studi terbaru mendukung adanya efek
positif dari terapi pengganti androgen adjuvan pada pasien
AR pria. Obat anti reumatik Cyclosporin A dapat
menghasilkan efek anti-keradangan dengan memacu kadar
testosteron lokal dan metabolitnya di target sel sinovial.
Terapi penggantian sistem saraf simpatis lokal barns
ditujukan pada mekanisme yang merangsang kadar cAMP
intasel pada sel imun target (Tabe] 1). Peningkatan lokal
dari adenosin atau noerepineprin dapat menjadi tujuan
terapi. Adenosin ekstrasel yang meningkat akan
menghasilkan efek anti-keradangan melalui reseptor A2
sebagai akibat dari terapi dengan MTX dosis rendah dan
dengan sulfasalazin atau salisilat. MTX dosis rendah
merupakan salah satu prinsip lain dalam terapi AR, yang
dapat mendukung pendapat bahwa kehilangan serabut
saraf simpatis menyebabkan rendahnya kadar adenosin,
ini menunjukkan sebagai suatu faktor penting dalam
patogenik penyakit. Penggantian lokal dari agonis
m-opiodergikdan agonis b-adrenergikakan menjadi prinsip
yang sangat penting. Substansi-P merupakan
neurotransmiter prokeradangan yang penting, sehingga
inhibisinya dengan neurokrin 1 antagonis atau
kapsaisin lokal dapat dipertimbangkan dalam terapi lokal
AR.

Berdasarkan pilihan terapi ini, perlu dikaji beberapa


percobaan farmakologi klinis untuk dilakukan pada pasien
denganAR. Ini di mungkinkan untuk dijadikan percobaan
di masa mendatang, yang memerlukan penelitian
multisenter dengan cara kontrol-plasebo dan double blind,
sebagai berikut : 1) Terapi kombinasi sistemik setidaknya
1 tahun dengan MTX dosis rendah, kortikosteroid dosis
rendah plus DHEA dibandingkan dengan MTX dan
kortikosteroid saja (pengukuran basil akhir : skor sendi,
paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara
radiologis, densitas mineral tulang), 2) Terapi sistemik
kombinasi pada pasien pria setidaknya 1 tahun dengan
MTX dosis rendah, kortikosteroid dosis rendah plus
testosteron dibandingkan dengan MTX dan kortikosteroid
saja (pengukuran basil akhir : skor sendi, paramater
keradangan sistemik, kerusakan sendi secara radiologis,
densitas mineral tulang), 3) Terapi kombinasi sistemik
setidaknya 1 tahun dengan MTX dosis rendah,
korikosteroid dosis rendah plus obat anti depresan (misal
amitriptilin dosis rendah atau antagonis substansi-P yang
barn, MK-869) dibandingkan dengan MTX dan

REUMA10LOGI

kortikosteroid saja (pengukuran basil akhir : skor sendi,


paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara
radiologis, densitas mineral tulang), 4) Terapi lokal dengan
kombinasi kortikosteroid plus morfin dosis rendah
dibandingkan dengan kortikosteroid saja (pengukuran
basil akhir: pembengkakan sendi, skor nyeri, durasi efek).
Hal-hal yang diungkapkan di atas merupakan 4 contoh
kemungkinan percobaan klinik yang menunjukkan
pandangan yang sesuai dengan patogenitas penyakit. Hal
tersebut menunjukkan adanya pilihan pengobatan yang
menawarkan strategi tambahan terhadap pengobatan AR
berdasarkan pendekatan yang difokuskan pada faktor
imun-neuroendokrin.

KESIMPULAN

Dari uraian yang telah disajikan di atas, pemyataan berikut


ini menjadi jelas : 1 ). Sekresi yang rendah dan tidak
memadai dari kortisol sehubungan dengan keradangan
merupakan gambaran yang tipikal dari penyakit
keradanagan rnenahun 2). Sekresi androgen adrenal
berkurang secara signifikan, yang menjadi problem pada
wanita postmenopause dan pria usia lanjut karena
kekurangan hormon seks. 3). Kadar serum testosteron
berkurang secara nyata pada penyakit keradangan
menahun. 4). Serabut saraf simpatik berkurang secara nyata
di jaringan sinovial pada pasien dengan artritis menahun
sedangkan serabut saraf sensorik prokeradangan
(substansi-P) masih ada. 5). Substansi-P bekerja untuk
terns menerus merasakan rangsang nyeri di perifer, dan
input nosiseptif dari sendi yang meradang menunjukkan
amplifikasi yang besar pada medula spinalis. Hal ini
menyebabkan nyeri yang terns menerus dengan stabilisasi
input afferen sensori dan pelepasan yang kontinyu dari
substansi-P prokeradangan di lumen sendi.
Dari fakta inijelas bahwa perubahan sistemumpan balik
anti-keradangan memberikan sumbangan yang penting
pada patogenesis artritis menahun. Terapi yang di tujukan
pada perubahan ini, barns menghasilkan sebuah
mekanisme untuk menggantikan kelenjar adrenal
(glukokortikoid),kelenjar gonadal (androgen), dan serabut
saraf simpatik (peningkatan adenosin oleh MTX dosis
rendah, sulfasalazin dan salisilat) untuk mengintegrasikan
efek imunosupresinya di tempat lokal dari proses
keradangan sendi tersebut. Walaupun proses lokal dari
sistem imun adaptif penting pada patogenesis fase akut
artritis, mekanisme ini menjadi kurang penting pada fase
kronik dari penyakit ini dimana tidak ditemukan faktor
pencetus yang spesifik. Adanya defek dari sistem umpan
balik anti-keradangan merupakan faktor penting pada
perburukan artritis menahun, Pendekatan terapi kombinasi
dengan dasar imun-neuroendokrinmerupakan kepentingan
yang mendasar dalam terapi artritis menahun yang
berorientasi
secara
patogenik.

INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

PADA PROSES INFLAMASI

REFERENSI
Baerwald CG, Laufenberg M, Specht T. Von Wichert P, Burmester GR,
Krause. A Impaired sympathetic influence on the immune
response in patients with rheumatoid arthritis due tolymphocyte
subset- spesific modulation of beta 2-adrenergic receptor. BrJ
Rheumatol 1997;36: 1262-9.
Blab S, Engel J-M, Burmester G-R. The immunologic homunculus in
rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1999 ; 42 : 2499 - 506.
Carson DA. Rheumatoid arthritis: pathogenesis and future
therapies. Annual Scientific Meeting of the American College
of Rheumatology; 1999 Nov 13-l 7;Boston.
Castagnetta L, Cutolo M, Granata OM, Di Faico M, Bellavia V,
Carruba G. Endogrine end-points in rheumatoid arthritis. Ann N
Y Acad Sci 1999:876; 180-91; discussion 191-2.
Chikanza IC, Petrou P, Kingsley G, Chrousos G, Panayi GS.
Defective hypothalamic response to immune
and
inflammatory stimuli in patients with rheumatoid arthritis.
Arthritis Rheum 1992;35:1281 - 8.
Chrousos GP. The hypothalamic-pituitary-adrenal
axis and
imune-mediated inflammation. N Engi J Med 1995:332:1351 - 62.
Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Barone A, Sulli A, Balleari E, et al.
Androgen metabolism and inhibition of interleukin- I sythesis
in primary cultured 'human synovial macrophages. Mediators
Inflamm 1995;4: 138.
Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Clerico P, Indiveri F, Carruba G, et
al. Evidence for the presence of androgen receptors in the
synovial tissue of rheumatiod arthritis patients and healthy
controls. Arthritis Rheum 1992; 35 :1007-15.
Cutolo M, Sulli A, Seriolo B, Accardo S, Masi AT, Estrogens, the
immune response and autoimmunity. Clin exp Rheumatol 1995;
13:217-26.
Cutolo M, Wilder R. Different roles for androgens and estrogens in
the susceptibility to autoimmune rheumatic diseases. Rheum
Dis Clin North Am 2000 ; 26:825 - 39.
Ebringer A, Wilson C, Tiwana H. Is rheumatoid arthritis a form of
reactivearthritis ? J Rheumatol 2000 ; 27 : 559 - 63.
Ehrhart-Bornstein M, Hinson JP, Bornstein SR, Scherbaum WA,
Vinson GP. Intraadrenal interactions in the regulation of
adrenocortical steroidogenesis. EndocrRev 1998; 19: IO I -43.
Eijsbouts A, van den HF, Laan R, de Waal MM, Hermus A, Sweep C,
et al. Similar response of adrenocorticotrophic hormone,
cortisol and prolaction to surgery in rheumatoid arthritis and
osteoarthritis (letter). Br J Rheumatol 1998 ;3 7: 1138-9.
Firestein GS, Nguyen K, Aupperle KR, Yeo M, Boyle DL, Zvaifler
NJ. Apoptosis in rheumatoid arthritis: p53 overexpresion in
rheumatoid arthritis synovvium. Am J Pathol 1996:149:2143 - 51.
Hales DB, Interleukin-I inhibits leydig cell steroidogenesis
primarily by decreasing 17 alpha-hydroxylase I C 17-20 Iyase
cytochrome p450 expression. Endrocrinologi 1992;131:2165-72.
Harbuz MS, Jessop DS. Is there a defect in cortisol production in
rheumatoid arthritis ? Rheumatology (Oxford) 1999:38:298 - 302.
Hu SK, Mitcho YL, Rath NC. Effect ofestradiol on interleukin I
synthesis by macrophages. Int J Immunopharmacol 1988;
10:247 - 52.
Imai S, Takunaga Y, Konttinen YT, Maeda T, Hukuda S, Santavirta
S. Ultrastructure of the synovial sensory peptidergic fibers is
distinctively altered in different phases of adjuvant induced
arthritis in rats : ultramorphological study
Janossy G, Panayi G, Duke 0, Bofill M, Poulter LW, Goldstein G.
Rheumatoid arthritis : a disease of T-lymphocte/macrophage
immunoregulation. Lancet 1981 ; 2: 839-42.

2443

Kanda N, Tamaki K. Estrogen


enhances
immunoglobulin
production by human PBMCs. J Allergy Clin Immunol
1999;103:282 - 8.
Khalkali-Ellis Z, Seftor EA, Nieva DRC, Handa RJ, Price RH Jr,
Kirschmann DA, et al. Estrogen and progesterone regulation of
human fibroblast-like
synoviocyte
function in vitro:
implications in rheumatoid arthritis. J Rheumatol 2000;27:1622-31.
Konttinen YT, Kemppinen P, Segerberg M, Hukkanen M, Rees R,
Santavirta S, et al. Peripheral and spinal neural mechanism in
arthritis, with particular reference to treatment of inflammation and pain. Arthritis Rheum 1994 ; 37 : 965 - 82.
Laemont KD, Schaefer CJ, Juneau PL, Schrier DJ. Effects of the
phosphodiesterase inhibitor rolipram on streptococcal cell
wall-induced arthritis in rats. Int J Immunopharmacol
1999;21 :711-25.
Lechner 0, Wiegers GJ, Oliveira-Dos-Santos AJ, Dietrich H, Recheis
H, Waterman M, et al. Glucocorticoid production in the murine
thymus. Eur J Immunol 2000;30:337 - 46.
Levine JD, dark R, Devor M, Helms C, Moskowitz MA, Basbaum
Al. Intraneuronal substance P contributes to the severity of
experimental arthritis. Science l 984;226:54 7-9.
Li ZG, Danis VA, Brooks PM. Effect ofgonadal steroids on the
production of IL-I and IL-6 by blood mononuclear cells in
vitro. Clin Exp Rheumatol 1993;! 1:157-62.
MacDiarmid F, Wang D, Duncan LJ, Purohit A, Ghilchick MW,
Reed MJ. Stimulation of aromatase activity in breast fibroblasts
by tumor necrisis factor alpha. Mo! cell Endocrinol Metab 1994;
106:17-21.
Mapp PI, Kidd BL, Gibson SJ, Terry JM, Revell PA, Ibrahim NB, et
al. Substance P, calcitonin gene-related peptide- and C flanking
peptide of neuropeptide Y-immunoreactive fibres are present
in notmal synovium but depleted in patients with rheumatoid
arthritis. Neuroscience !990;37:143-53.
Masi AT, Bijisma JW, Chikanza IC, Pitzalis C, Cutolo M. Neuroendocrine, immunologic, and microvascular system interactions in
rheumatoid arthritis : physiopathogenetic and theraupeutic
perspectives. Semin Arthritis Rheum 1999 ; 29:65-81.
Matucci-Cerinic MM, Konttinen Y, Generini S, Cutolo M. Neuropeptides and steroid hormones in arthritis. Curr Opin Rheumatol
1998; 17: 64 - 102.
Miller LE, Justen H-P, Scholmerich J, Straub RH. The loss of
sympathetic nerve fibers in the synovial membrane of patient
with rheumatoid arthritis is accompanied by increased norepineprine release from synovial cells. FASEB J 2000,14:20972107.
Muller-Ladner U, Kriegsmann J, Franklin BN. Matsumoto S, Geiler
T, Gay RE, et al. Synovial fibroblasts of patients with rheumatiod
arthritis attach to and invade normal human cartilage when
engrafted into SClD mice. Am J Pathol 1996:149:1607-15.
33. Naitoh Y, Fukata J, Tominaga T, Nakai Y, Tamai S, Mori K, et
al. Interleukin-6 stimulates the secretion of adrenocorticotropie hormone in conscious, freely-moving rats. Biochem Biophys
Res Commun 1988; 155:1459 - 63.
Niijima A, Hori T, Aou S, Oomura Y. The effects of interleukin- I
beta on the activity of adrenal, splenic and renal sympathetic
nerves in the rat. J Auton Nerv Syst199 J ;36: 183-92.
Sanden S, Tripmacher R, Weltrich R, Rohde W, Hiepe F, Burmester
OR, et al. Glucocorticoid dase dependent downregulation of
glucocorticoid receptors in patient with reumatic diseases. J
Rheumatol 2000;27:1265-70.
Schmidt M, Kreutz M, Loffler G, Scholmerich J. Straub RH.
Conversion of dehydroepiandrosterone to downstream steroid

2444

hormones in macrophages. J Endocrinol 2000:164:161 - 9.


Seriolo B, Cutolo M, Gamero A, Accardo S. Relationships between
serum 17 beta-oestradiol and anticardiolipin antibody
concentrations in female patients with rheumatoid arthritis.
Rheumatology (Oxford) 1999;38:1159 - 61.
Spector TD, Perry LA, Tubb G, Silman AJ, Huskisson EC. Low free
testosterone levels in rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis
1988;47:65 - 8.
Strenberg EM, Komarow HD. Neuroendocrine immune interactions.
Principles and relevance to systemic lupus erythematosus. In
Wallace DJ., Hahn BH (eds). Dubois lupus erythematosus 6th ed.
Lipincott William, Wilkins. Philadelphia. 2002, 319-338.

Takeda T, Mizugaki Y, Matsubara L, Imai S, Koike T, Takada K.


Lytic Epstein-Barr virus infection in the synovial tissue of
patients with rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 2000;43 :
1218 - 25.
Trang LE, Lovgren 0, Roch-Norlund AE. Hom RS, Waalas 0, Cyclic
nucleotides in joint fluit in rheumatoid arthritis and in reiter's
syndrome. Scand J Rheumatol 1979;8:9!-6.
Van der Poll T, Barber AE, Coyle SM, Lowry SF. Hypercortisolemia
increases plasma interleukin-IO concentrations during human
endotoxemia - a clinical research center study. J. Clin Endocrinol
Metab
1996;81:3604
6.

384
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS
PENYAKIT MUSKULOSKELETAL
Harry Isbagio, Bambang Setiyohadi

TERMINOLOGI

RIWAYAT PENYAKJT

Sebelum melangkah lebih lanjut sebaiknya terlebih dahulu


dikenal berbagai terminologi yang sering digunakan dalam
bidang penyak.it reumatik. Hal ini diperlukan untuk
kesamaan pengertian agar kita tidak rancu dalam
menggunakannya.
Berbagai istilah yang perlu diketahui adalah :
Artralgia: merupakan keluhan subyektif berupa rasa
nyeri di sek.itar sendi, pada pemeriksaan fisis tidak
didapatkan kelainan.
Artritis: kelainan sendi obyektif, berupa inflamasi sendi
disertaitanda inflamasiyang komplit(tumor,rubor, kalor,
dolor, gangguan fungsi)
Monoartritis: artritisyang hanyamengenaisatu sendisaja.
Oligo artritis/pausi-artikular: artritis yang menyerang 2
sampai 4 sendi atau kelompok sendi kecil. Dalam hal ini
sendi interfalangdistal= DIP, sendiinterfalangproksimal
= PIP, sendi metakarpofalangeal = MCP, sendi karpalis,
sendi metatarsofalangeal = MTP dan sendi tarsalis
merupakan kelompok sendi yang kecil yang di hitung
sebagai satu sendi walaupun yang terserang beberapa
sendi. Contoh bila yang diserang sendi PIP II, PIP III,
PIP IV, dan PIP V baik secara serentak atau berurutan
maka di hitung hanya sebagai satu sendi yang terserang.
Poliartritis: artritis yang menyerang lebih dari 4 sendi
atau kelompok sendi kecil.
Sinovotis: inflamasi sinovia sendi yang klinis nyata
Tenosinovitis: inflamasi sarung tendon
Tendinitis: inflamasi tendon
Bursitis : inflamasibursa
Entesopati: inflamasi atau kelainan entesis (tempat
melekatnya ligamen, tendon, atau kapsul sendi ke
periosteum tulang).

Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal


diagnosis semua penyakit, termasuk pula penyakit
reumatik. Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat
penyak.ityang deskriptif dan kronologis; ditanyakan pula
faktor yang memperberat penyakit dan basil pengobatan
untuk mengurangi keluhan pasien.
Umur
Penyak.it reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi
frekuensi setiap penyak.it terdapat pada kelompok umur
tertentu. Misalnya osteoartritis lebih sering ditemukan
pada pasien usia lanjut dibandingkan dengan usia muda.
Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih sering di
temukan pada wanita usia muda dibandingkan dengan
kelompok usia lainnya.
Jenis Kelamin
Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin
berbeda pada beberapa kelompok penyakit. Pada tabel 2
dapat dilihat perbedaan tersebut.
Nyeri Sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien reumatik.
Pasien sebaiknya diminta menjelaskan lokasi nyeri serta
punctum maximumnya, karena mungkin sekali nyeri
tersebut menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan
karakteristik yang disebabkan oleh penekanan radiks saraf.
Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan
perubahan mekanis dengan nyeri yang disebabkan
inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang
setelahistirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan

2446

REUMATOLOGI

tanda nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri inflamasi akan


bertambahberat padapagi hari saat bangun tidur dan disertai
kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan
berkurang setelah melakukan aktivitas. Pada artritis
reumatoid, nyeri yang paling berat biasanya pada pagi hari,
membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam
hari. Sebaliknya pada osteoartritis nyeri paling berat pada
malam hari, pagi hari terasa lebih ringan dan membaik pada
siang hari. Pada artritis gout nyeri yang terjadi biasanya
berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari,
sedangkan pada malam hari sebelumnya pasien tidak
merasakan apa-apa, rasa nyeri ini biasanyase/flimitingdan
sangat responsif dengan pengobatan. Nyeri malam hari
terutama bila dirasakan seperti suatu regangan merupakan
nyeri akibat peninggian tekanan intra-artikularakibat suatu
nekrosis avaskular atau kolaps tulang akibat artritis yang
berat. Nyeri yang menetap sepanjanghari (siang dan malam)
pada tulang merupakan tanda proses keganasan.
Tabel 1 Penyakit Reumatik pada Berbagai Kelompok Umur
Usia
Muda
(2-25 th)
Penyakit Still
Spondilitis ankilosis
Penyakit Reiter
Demam reumatik
Artritis pada kolitis ulseratif
Artritis septik
Gonokok
Stafilokok dan infeksi lain
Artritis gout
Lupus eritematosus sistemik
Artritis reumatoid
Polimiositis
Skleroderma
SLE akibat obat
Penyakit page!
Osteoartritis
Polimialgia reumatika
Penyakit deposit kalsium
pirofosfat
Osteopenia
Mestastasis karsinoma atau
mieloma multipel
- : hampir tak pernah terjadi;
+ : jarang; ++ : sering terjadi;

Usia
pertengahan
(30-50 th)

+
++
++
++
+

+/+
+
+
++

++
+

+
++
++
++
++
++
++
+
+
+

+/+++
++
+
+
+

Usia
lanjut
(65+th)

+/+/+++
++
+
++
++
++
+++
++
+++
++
+++

+
+

+/+

+++
+++

+/- : sangat jarang;


+++ : sering terjadi

Tabel 2. Perbedaan Jenis Kelamin pada Penyak1t Reurnatik


Artritis reumatoid
Lupus eritematosus sistemik
Spondilitis ankilosis
Penyakit Reiter
Artritis psoriatik
Artropati intestinal
Artropati reaktif
Artritis gout
Osteoartritis koksae
Osteoartritis lutut dan tangan

Pria
Pria
Pria
Pria
Pria
Pria
Pria
Pria
Pria
Pria

< wanita (1 : 3)
< wanita
> wanita
> wanita
< wanita
wanita
wanita
> wanita
wanita
< wanita

=
=
=

Kaku Sendi
Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa
sukar untuk menggerakan sendi (worn o./f). Keadaan ini

biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar


jaringanyang mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia,
atau bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau
setelah istirahat. Setelah digerak-gerakkan, cairan akan
menyebar dari jaringan yang mengalarni inflamasi ~n
pa ien merasa terlepas dari ikatan (wears off). Lama n
beratnya kaku sendi pada pagi hari atau setelah istira at
biasanya sejajar dengan beratnya in:flamasi sendi (k
I
sendi pada artritis reumatoid lebih Jama dari osteoartritis;
kaku sendi pada artritisreumatoid berat lebih lama daripada
artritis reumatoid ringan).
Bengkak Sendi dan Deformitas
Pasien yang sering mengalami bengkak sendi, ada
perubahan wama, perubahan bentuk atau perubahan posisi
struktur ekstremitas. Biasanyayang dimaksud pasien dengan
deformitas ialah posisi yang salah, dislokasi atau sublukasi.
Disabilitas dan Handicap
Disabilitas terjadi apabila suatu jaringan, organ atau sistem
tidak dapat berfungsi secara adekuat. Handicap terjadi bila
disabilitas mengganggu aktivitas sehari-hari, aktivitas sosial
atau mengganggupekerjaan/jabatanpasien. Disabilitas yang
nyata belum tentu menyebabkan handicap (seorang yang
amputasi kakinyadi ataslutut mungkintidakakanmengalami
kesukaran bila pekerjaan yang bersangkutan dapat
dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya disabilitas ringan
justru dapat mengakibatkan handicap.
Gejala Sistemik
Penyakit sendi inflamatoir baik yang disertai maupun tidak
disertaiketerlibatanmultisistem lainnyaakan mengakibatkan
peningkatanreaktan fase akut seperti peninggian LED atau
CRP. Selain itu akan disertai gejala sistemik seperti panas,
penurunan barat badan, kelelahan, lesu dan mudah
terangsang. Kadang-kadangpasien mengeluh hal yang tidak
spesifik, seperti merasa tidak enak badan. Pada orang usia
lanjut sering disertai gejala kekacauan mental.
Gangguan Tidur dan Depresi
Faktor yang berperan dalam gangguan pola tidur antara
lain: nyeri kronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti
inflamasi nonsteroid (indometasin). Pada artropati berat
terutama pada koksae dan lutut akan berakibat gangguan
aktivitas seksual yang akhimya akan menimbulkanproblem
perkawinandan sosial. Perlu diperhatikanpula adanya gejala
depresi terselubung seperti retardasi psikomotor, konstipasi,
mudah
menangis
dsb.

PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaanjasmani khusus pada sistem muskuloskeletal
meliputi:

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN

2447

FISIS PENYAKIT MUSKUWSKELETAL

Inspeksi pada saat diam I istirahat


Inspeksi pada saat gerak
Palpasi
Gaya Berjalan
Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase, yaitu heel
strike phase, loading/stance phase, toe off phase dan
swing phase. Pada heel strike phase, lengan diayun diikuti
gerakan tungkai yang berlawanan yang terdiri dari fleksi
sendi koksae dan ekstensi sendi lutut. Pada loading/
stance phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur
melakukan rotasi ke depan bersamaan dengan akhir
gerakan tungkai pada heel strikephase. Pada toe offphase,
sendi koksae ekstensi dan tumit mulai terangkat dari lantai.
Pada swingphase sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi
talokruralis.
Gaya berjalan
Heel strike phase
Loading/stance phase
Toe offphase ,
Swing phase.
Gaya berjalan yang abnormal :
Gaya berjalan antalgik, yaitu gaya berjalan pada pasien
artritis di mana pasien akan segera mengangkat tungkai
yang nyeri atau deformitas sementara pada tungkai
yang sehat akan lebih lama diletakkandi lantai; biasanya
akan diikuti oleh gerakan lengan yang asimetri.
Gaya berjalan Trendelenburg, disebabkan oleh abduksi
koksae yang tidak efektif sehingga panggul
kontralateral akan jatuh pada swing phase.
Waddle gait, yaitu gaya berjalan Trendelenburg
bilateral sehingga pasien akan berjalan dengan pantat
bergoyang. Gaya berjalan histerikal/psikogenik,tidak
memilikipola tertentu.
Gaya berjalan paraparetik spastik, kedua tungkai
melakukan gerakan fleksi dan ekstensi secara kaku dan
jari-jari kaki mencengkeram kuat sebagai usaha agar
tidakjatuh.
Gaya berjalan paraparetik flaksid (high stepping
gait=steppage gait), yaitu gaya berjalan seprti ayam
jantan, tungkai diangkat vertikal terlalu tinggi karena
terdapat foot drop akibat kelemahan otot tibialis
anterior.
Gaya berjalan hemiparetik, tungkai yang parese akan
digerakkan ke samping dulu baru diayun ke depan
karena koksae dan lutut tidak dapat difleksikan. Gaya
berjalan ataktik/serebelar(broadbasegait), kedua
tungkai dilangkahkan secara bergoyang goyang ke
depan dan ditapakkan secara ceroboh di atas lantai
secara berjauhan satu sama lain. Gaya
berjalanparkinson (stopping.festinantgait), gerak
berjalan dilakukan perlahan, setengah diseret, tertatih-

tatih dengan jangkauan yang pendek-pendek. Tubuh


bagian atas fleksi ke depan dan selama gerak berjalan,
lengan tidak diayu"\
Scissor gait, yaitu ga~
dengan kedua tungkai
bersikap genu velgum sehingga lutut yang satu berada
di depan lutut yang lain secara bergantian.

Gaya Betjalan
1. Heel strike phaser, 2. Loading/stance phaser, 3 Toe-offphase; 4. Swing phas

Gambar 1. Gaya berjalan


1. heel strike phase; 2. loading/stance phase;3. toe off phase;4.
swing phase

Sikap/posturBadan
Perlu diperhatikan bagaimana cara pasien mengatur posisi
bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya
mempunyai tekanan intra-artikularyang tinggi, oleh karena
itu pasien akan berusaha menguranginya dengan mengatur
posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya dalam
posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal
dengan bantal. Pada sendi bahu (glenuhomeral) dengan
cara lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu
menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan.
Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka
pasien akan merasa sangat kesakitan karena terjadi
peningkatan tekanan intraartikular. Ditemukannya postur
badan yang membengkok ke depan disertai pergerakan
vertebra yang terbatas merupakan gambaran khas
spondilitis ankilosa.
Deformitas
Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan
diam, tetapi akan lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu
dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi
(misalnya disebabkan gangguanjaringan lunak) atau tidak
dapat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul sendi atau
kerusakan sendi). Berbagai deformitas di lutut dapat terjadi
antara lain genu varus, genu valgus, genu rekurvatum,
subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian
pula deformitas fleksi di siku. Padajaringan tangan antara
lain boutonniere finger, swan neck finger, ulnar
deviation, subluksasi sendi metakarpal dan pergelangan
tangan. Pada ibujari tangan ditemukan unstable-Z-shaped

2448

REUMATOLOGI

thumbs. Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan


melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibu jari
kaki ke atas. Pada pergelangan kaki terjadi valgue ankle.

meru~an tanda artropati atau penyakit kapsular. Nyeri


raba ;~~ar
agak jauh dari batas daerah sendi
merupakan tanda bursitis atau entesopati.

Perubahan Kulit
Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau
penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik.
Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis
dan eritemanodosum. Kemerahandisertai deskuamasipada
kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi
periartikular,yang seringpula merupakantanda artritisseptik
atau artritis kristal.

Pergerakan
Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada
keadaan pasif dan aktif dan dibandingkan kiri dan kanan
Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak
sendi pada semua arah. Tenosinovitisatau lesi periartikular
hanya menyebabkan berkurangnya gerak sendi pada satu
arah saja.Artropati akan memberikan gangguan yang sama
dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih luas
dibandingkandengan gerakan aktif maka kemungkinan ada
gangguan pula pada otot atau tendon. Nyeri gerak
merupakan tanda diagnostik yang bermakna, nyeri ringan
hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan
gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan
disebut sebagai stress pain. Bila didapatkan stress pain
pada semua arah gerak, maka maka keadaan tersebut
merupakan tanda khas untuk gangguan yang berasal dari
luar sendi (tenosinovitis). Nyeri yang dirasakan sama
kualitasnya pada semua arah gerak sendi, lebih
menunjukkan gangguan mekanik dari nyeri inflamasi.
Resisted active movement merupakan suatu cara
pemeriksaan untuk menemukan adanya gangguan
periartikular. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara
pasien melawan gerakan yang dilakukan oleh tangan
pemeriksa, akibatnya terjadi kontraksi otot tanpa disertai
gerakan sendi. Bila timbul rasa nyeri maka hal tersebut
barasal dari otot, tendon, atau insersi tendon, misalnya
pada:
Tahananpada aduksi sendi koksae yang mengakibatkan
timbulnya rasa nyeri pangkal paha merupakan tanda
tendinitis aduktor.
Tahanan pada
aduksi
glenohumeral yang
mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pada lengan atas
merupakan tanda gangguan otot suprasinatus dan lesi
pada tendon.
Tahanan pada ekstensi siku yang menyebabkan nyeri
pada epikondilus lateralis merupakan tanda tennis
elbow.
Sama halnya dengan di atas, pada passive stress test,
bila pasien mengikutigerakantangan pemeriksaakan timbul
rasa nyeri sebagai akibat regangan ligamen atau tendon,
misalnya uji Finkelstein pada tenosinovitis De Quervain
(passive stress otot abduktor polisis longus dan ekstensor
polisis brevis menimbulkan rasa nyeri).

Kenaikan Suhu Sekitar Sendi


Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan
akan dirasakan adanya kenaikan suhu disekitar sendi yang
mengalamiinflamsi.
Bengkak Sendi
Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan
lunak atau tulang. Cairan sendi yang terbentuk biasanya
akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang
resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk
yang khas pada tempat tersebut, misalnya :
Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan
medial dan kantung suprapatelar mengakibatkan
pembengkakandi atas dan sekitarpatela yang berbentuk
seperti ladam kuda.
Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pada sisi
posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamen
kolateral bagian lateral.
Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan
segitiga di antara klavikula dan otot deltoid di atas otot
pektoralis.
Pada efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi
pembengkakan pada sisi anterior.
Bulge sign ditemukan pada keadaan efusi sendi dengan
jumlah cairan yang sedikit dalam rongga yang terbatas.
Misalnya pada efusi sendi lutut bila dilakukan pijatan pada
cekungan medial maka cairan akan berpindah sendiri ke
sisi medial. Baloon sign ditemukan pada keadaan efusi
denganjumlah cairan yang banyak. Bila dilakukan tekanan
pada satu titik akan menyebabkan penggelembungan di
tempat lain. Keadaan ini sangat spesifik pada efusi sendi.
Pembengkakan kapsul sendi merupakan tanda spesifik
sinovitis. Pada pembengkakan tergambar batas kapsul
sendi, yang makin nyata pada pergerakan dan teraba pada
pergerakan pasif.
Nyeri Raba
Menentukan lokasi nyeri raba yang tepat merupakan hal
yang penting untuk menentukan penyebab keluhan pasien.
Nyeri raba kapsular/artikular terbatas pada daerah sendi

Krepitus
Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba
sepanjang gerakan struktur yang terserang. Krepitus halus
merupakan krepitus yang dapat di dengar dengan
menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang
di sekitamya. Keadaan ini ditemukan pada radang sarung

2449

ANAMNESIS DAN PEMERIKSMN FISIS PENYAKIT ~~KELETAL

tendon, bursa atau sinovia. Pada krepitus kasar, suaranya


dapat terdengar dari jauh tanpa bantuan stetoskop dan
dapat diraba sepanjang tulang. Keadaan ini disebabkan
kerusakan rawan sendi atau tulang.
Bunyi Lainnya
Ligamentous snaps merupakan suara tersendiri yang
keras tanpa rasa nyeri. Keadaan ini merupakan hat yang
biasa terdengar di sekitar femur bagian atas sebagai clicking hips. Cracking merupakan bunyi yang diakibatkan
tarikan pada sendi, biasanya pada sendi jari tangan,
keadaan ini disebabkan terbentuknya gelembung gas
intraartikular. Cracking tidak dapat diulang selama
beberapa menit sebelum gas tersebut habis diserap.
Cloncking merupakan suara yang ditimbulkan oleh
permukaan yang tidak teratur (iregular), suara ini
ditemukan misalnya pada gesekan antara skapula dengan
iga.
Atrofldan Penurunan Kekuatan Otot
Atrofi otot merupakan tanda yang sering ditemukan. Pada
sinovitis segera terjadi hambatan refleks spinal lokal
terhadap otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada
artropati berat dapat terjadi atrofi periartikular yang luas.
Sedangkan pada jepitan saraf, gangguan tendon atau otot
terjadi atrofi lokal. Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini
lebih penting dari besar otot.
Ketidakstabllan/Goyah
Sendi yang tidak stabil/goyah dapat terjadi karena proses
trauma atau radang pada ligamen atau kapsul sendi. Pada
artropati dapat terjadi sendi goyah sebagai akibat
kerusakan rawan sendi atau inflamasi kapsul atau ruptur
ligamen/ perlu dibandingkan sendi yang goyah dengan
sendi sisi lainnya.
Gangguan Fungsi
Fungsi sendi dinilai dengan observasi pada penggunaan
normal; seperti bangkit dari kursi dan berjalan dapat
digunakan untuk menilai sendi koksae, lutut dan kaki.
Kekuatan genggam dan ketepatan menjepit benda halus
untuk mahilai tangan. Sedangkan aktivitasnya hidup
sehari-hari (activities of daily living = ADL) seperti
menggosok gigi, buang air besar, memasak dan
sebagainya lebih tepat ditanyakan dengan kuesioner
daripada diperiksa langsung.
Nodul
Nodul sering ditemukan pada berbagai artropati, umurnnya
ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan,
siku, tumit belakang, sakrum). Nodul sering ditemukan
pada artritis gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul
reumatoid).

Perubahan Kuku
Perubahan kuku sering ditemukan pada penyakit reumatik,
antara lain:
Jari tabuh (clubbing finger) berhubungan dengan
osteoartropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis
fibrotik.
Thimble pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk
lubang) dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati
psoriatik dan penyakit Reiter kronik.
Serpihan berdarah (splinter haemorhages) pada
vaskulitis pembuluh darah kecil.
Lesi Membran Mukosa
Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau
artropati reaktif) atau dengan gejala (lupus eritematosus
sistemik, vaskulitis, sindrom Behcet). Perlu diperhatikan
adanya ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung,
telangiektasia.
Gangguan Mata
Gangguan mata meliputi :
Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid,
vaskulitis dan polikondritis.
Iritis pada spondilitis ankilosis dan penyakit Reiter
kronik.
Irdosklitispada artritisjuvenil kronikjenis pausiartikular.
Konjungtivitis pada penyakit Reuter akut dan sindrom
sika.

EVALUASISENDI SATU PERSATU


5,endi Temporomandibula(rtemporomandibu/ar
joint= TMJ)
TMJ terletak di anterior liang telinga, dibentuk oleh
kondilus mandibula dan fossa temporalis. Sendi ini dapat
di palpasi dengan meletakkan jari di anterior liang telinga
dan menyuruh pasien untuk membuka dan menutup mulut
dan menggerakan mandibula ke lateral kiri dan kanan
bergantian. Gerak vertikal TMJ dapat diukur dengan
mengukur jarak gigi seri atas dan bawah pada pada waktu
pasien membuka mulut secara maksimal, normal sekitar
3-6 cm. Berbagai artritis dapat mengenai TMJ, seperti
artritis kronik juvenilis yang dapat menyebabkan
pertumbuhan
tulangmandibula
terhenti
dan
mengakibatkan mikrognatia. Pada artritis yang berat, dapat
dipalpasi dan diauskultasi bunyi krepitus atau clicking.
Sendi Sternoklavikular, Manubriosternal dan
Sternokostal
Sendi sternoklavikular dibentuk oleh ujung medial
klavikula dan kedua sisi batas atas sternum. Di keduanya
terdapat sendi stemokostal I. Sendi manubriostemal

2450
terletak setinggi sendi stemokostal II. Sendi stemokostal
III sampai dengan VII terletak sepanjang kedua sisi sternum di distal sendi sternokostal IL dari ketiga sendi
tersebut, hanya sendi sternoklavikular yang bersifat
diartrosis, sedangkan sendi yang lain merupakan
amfiartrosis atau sinkondrosis. Sendi sternoklavikular,
berada tepat di bawah kulit, sehingga sinovitis pada sendi
ini akan mudah dilihat dan dipalpasi. Sendi ini juga sering
terserang spondilitis ankilosa, artritis reumatoid dan
osteoartritis. Pada sendi stemokostal, sering didapatkan
nyeri pada sendi tersebut atau rawan iga, keadaan ini
disebut osteokondritis.
Sendi Akromioklavikula(racromioc/avicu/a
jo
r int
=ACJ)
ACJ dibentuk oleh ujung lateral klavikula dan tepi medial
prosesus akromion skapula. Pada orang tua sering
didapatkan penebalan tulang pada sendi ini. Nyeri lokal
pada bahu bersamaan dengan aduksi lengan melewati
depan dinding dada, menunjukkan adanya kelainan pada
ACJ.
.
Sendi Bahu
Sendi bahu merupakan sendi peluru yang dibentuk oleh
kaput humeri dan fossa glenoid skapula. Nyeri pada bagian
lateral sendi ini mungkin berasal dari bursa subdeltoid,
sedangkan nyeri sepanjang kaput longus bisep biasanya
berasal dari tendinitis bisipitalis. Efusi, bila terlihat, akan
menggembung ke anterior. Palpasi sendi balm dan strkturstruktur di sekitamya hams di ikuti dengan pemeriksaan
lingkup gerak sendi. Pertama kali, pemeriksa harus
memeriksa kemungkinan cedera dan rotator cuff Tendon
yang membentuk rotator cuff terdiri dari ligamen
supraspinatus, infraspinatus. Teres minor dan
subskapularis. Untuk mencari adanya lesi pada tendontendon bahu, dilakukan resisted active movements sendi

REUMATOLOGI

melakukan rotasi ekstemal sendi bahu dan pemeriksa


menahannya. Tes positifbila pasien kesakitan, sedangkan
resisted active internal rotation pasien melakukan rotasi
internal sendi bahu dan pemeriksa menahannya. Tes positif
bila pasien kesakitan. Selain kelainan di atas, juga hams
dicarikemungkinanrobekanrotatorcuff yang dapatdiperiksa
dengan drop-arm sign, yaitu pasien tidak mampu menahan
abduksi pasif 90 sendi bahu.
Sendi Siku
Sendi siku dibentuk oleh 3 sendi, yaitu sendi humeroulnar
yang merupakan sendi engsel serta sendi radiohumeral
dan radioulnar proksimal yang memungkinkan rotasi
lengan bawah. Untuk memeriksa sendi siku, jempol
pemeriksa diletakkan di antara epikondilus lateral dan
lateral sulkusparaolekranon, sedangkan I atau 2 jari lainnya
pada medial olekranon. Siku hams dalam keadaan santai,
digerakkan fleksi, ekstensi dan rotasi secara pasif, dicari
keterbatasan gerak dan krepitus. Bursitis olekranon, akan
tampak dan teraba di atas olekranon, biasanya timbul
setelah trauma atau akibat artritis. Pada siku pasien gout
juga dapat timbul tofus. Nyeri pada epikondilus lateral
dan medial menandakan adanya epikondilitis lateral

rl

1Ji;s1J f

.,\~!~
11D

"

\~
I

,. to

r.. .

""' '

r,

Fleksi - ekstensi

"'

Hi lO lU

"

Dengan rotasl {
Skapula

"'1!:o
,

>I)

..

,,.

..

SAHU
abduks,- adduks:

tii

.,."'
..

~ s
..

,a

...

1o~~u.

I>

''110\lll

..'"=-

\-'t

..

r-' .
,~.-

r. ,

,.

ft

)lllll11;

bahu, yaitu tes Speed dan tes Yergasson untuk mencari

oo/\

100

:/~'f>l1
ll>:io

'

n u1 :;'"

lesi pada tendon bisep, resisted active abduction untuk


mencari lesi pada tendon supraspinatus, resisted active
external rotation untuk mencari lesi pada tendon
infraspinatus dan teres minor dan resisted active internal

("

,...._

SAHU

- r 1:---;~

Jr"-
l

':.,. " ( j ,~-..


.
~

Dengan rotasi
Skapula

1
(~h ~

~~~

BAHU
Rotasi internal - eksternal

"

--~
rotation untuk mencari lesi pada tendon suskapularis.
Tes Speed dilakukanpada posisi siku ekstensi, kemudian
pasien melakukan fleksi sendi bahu sementara pemeriksa
menahannya. Tes ini positifbila pasien merasa nyeri pada
bahunya. Pada tes Yergasson, siku pasien difleksikan 90,
kemudian pasien melakukan supinasi, sementarapemeriksa
berusaha menahan agar supinasi tidak terjadi. Tes positif
bila pasien kesakitan. Pada resisted active abductionpasien
melakukan abduksi sendi bahu dan pemeriksamenahannya.
Tes positif bila pasien kesakitan. Bila pasien nyeri pada
lateral sendi bahu tetapi resisted actived abduction pasien
tidak menimbulkan nyeri, maka nyeri berasal dari bursa
subakromnion.Pada resisted active external rotationpasien

t..

,4000
to 70

ee ....

SIKU
fleksi-ekstensi

1301'20,11?1~ :o,o
140

940

ftO Uy

"

ro'soso

'40

~o
L

20 10

s/o

30

60\'~-

TO

eo

90 ---'----

~
I
.J

-~-, I

RADIO-ULNAR
pronasl-supinasi

10 20
30
40so

60

70

+:i'l"'
eo
[JliJ .-am--O

Gambar 2. Gerak sendi siku

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS PENYAKIT MUSKULOSKELETAL

(tennis elbow) dan epikondilitis medial (golfer elbow).


Dalam keadaan normal, sendi siku dapat difleksikan
150 - 160 dan ekstensi 0. Gangguan ekstensi penuh
menunjukkan tanda awal sinovitis.Hiperekstensi lebih dari
5 menunjukkan hipermobilitas.
Pergelangan Tangan
Pergelangan tangan merupakan sendi yang kompleks.
Tulang-tulang karpal, terdiri dari 8 tulang pendek skafoid,
lunatum, trikuetrum, pisiform, trapezium, trapezoid,
kapitatum dan hamatum, Kedelapan tulang tersebut, di
proksimal bersendi dengan radius dan ulna, sedangkan di
distal bersendi dengan tulang-tulang metakarpal. Tendon
otot-otot fleksor longus tangan melewati bagian folar
pergelangan tangan di dalam sarung tendon di bawah
fleksor retinakulum (ligamen transversum karpal). Fleksor
retinakulum dan dasar tulang-tulang karpal membentuk
terowongan karpal. Nervus medianus melalui terowongan
ini superfisial terhadap tendon fleksor. Aponeurosis
palmar juga menyebar keluar ke daerah palma manus dari
fleksor retinakulum. Pada kontraktur Dupuytren,
aponeurosis palmar menebal dan kontarktur sehinggajarijari terfleksi pada sendi metakarpal. Yang sering terkena
adalah jari ketiga, disusul jari keempat dan kelima. Jari
pertama dan kedua jarang terkena. Pada sisi dorsal
pergelangan tangan, sering timbul pembesaran kistik yang
disebut ganglion. Sinovitis pada pergelangan tangan, lebih
mudah terlihat dari sisi dorsal, karena banyak tendon pada
sisi polar yang tumpang tindih. Dalam keadaan normal,
pergelangantangan dapat difleksikan 80-90,ekstensi 70,
deviasi ulnar 50 dan deviasi radial 30.
Jepitan nervus medianus pada terowongan karpal, akan
menyebabkan carpal tunnel syndrome, yang dapat
diketahui dengan melakukan perkusi nervus medianus
pada retinakulum fleksor yang akan menyebabkan
parestesia pada daerah yang dipersarafi nervus medianus,
yaitujempol, telunjuk danjari tengah (tanda tine!). Palmar
fleksi sendi pergelangan tangan selama 30-60 detik juga

., " J
2a 1Q

..
PER<lELANGAN m,JGAJ,I
de v leer ~lo-uri~

(:~

ti

fl,

10

20

akan mencetuskan parestesi (Phallen s wristflexion sign).


Pada tenosinovitis otot abduktor polisis longus dan
ekstensor polisis brevis (de quervain 's stenosing
tenosynovitis), deviasi ulnar secara pasif dengan posisi
jari-jari dalam keadaan fleksi akan menimbulkannyeri pada
daerah radial pergelangan tangan (tes Finkelstein).
Berbagai deformitas yang dapat terjadi antara lain
adalah squaring pada tangan, akibat osteofitosis pada
sendi karpometakarpal.
Sendi MCP, PIP dan DIP merupakan sendi engsel. Pada
waktujari-jari fleksi, dasar proksimal falang akan bergeser
ke depan kaput metakarpal. Kulit pada permukaan palmar
tangan cukup tebal yang menutupi lemak dan tulang
metakarpal di bawahnya sehingga palpasi pada permukaan
palmar tangan lebih sukar di bandingkan permukaan
dorsal tangan.
Artritis reumatoid merupakan kelainan yang sering
terjadi pada pergelangan tangan dan tangan yang di tandai
oleh pembengkakan pada sendi interfalang proksimal
menyebabkan jari berbentuk fusiformis; deviasi ulnar;
deformitas swan neck yang merupakan fleksi kontraktur
sendi MCP, hiperekstensi sendi PIP dan fleksi sendi DIP;
dan deformitas boutonniere yang merupakan kontraktur
fleksi sendi PIP dan hiperekstensi sendi. Selain itu dapat
juga di temukan deformitas Z jari I yang merupakan
kombinasi fleksi sendi metakarpofalangeal I dan
hiperekstensi interfalang I. Pada osteoartritis tangan sering
didapatkan adanya nodus Herberden pada sendi
interfalang distal dan nodus Bouchard pada sendi
interfalang proksimal.
Kelainan lain adalah jari teleskopik akibat resorpsi
falang pada artritispsoriatik sehingga menimbulkan lipatan
kulit yang konsentrik (opera-glass hand atau la main en
lorgnette).
Selain kelainan sendi, kelainan pada kulit dan kukujuga
hams diperhatikan, misalnya fenomen Reynaud,
sklerodaktili pada sklerosis sistemik, onikolisis dan
hiperkeratosis subungual yang khas untuk artritis psoriatik
dan jari tabuh (clubbing finger) yang khas untuk
osteoartritis hipertrofik.

ac ..

'p. "=~.

0.

2.0 10 0

2451

1D ~

,. .. ,o o"o~

"Q
Gambar 3. Gerak pergelangan tangan
Sendi metakarpopalangeal, interfalang proksimal dan distal
(Metacarpophalangeal, proximal and distal interphalangeal
joints= MCP, PIP, DIP)

Sendi Koksae
Sendi koksae dibentuk oleh kaput femoris dan asetabulum.
Lingkup geraknya cukup luas, tapi tidak seluas sendi bahu.
Stabilitas sendi dijaga oleh kapsul sendi yang kuat dan
dikelilingi oleh berbagai ligamen seperti lig iliofemoral
Bertini, Jig pubofemoraldan lig iskiokapsular.Sendikoksae
juga dikelilingi oleh otot-otot yang kuat. Otot fleksor yang
utama adalah otot iliopsoas yang dibantu oleh otot sartorius dan rektus femoris. Aduksi koksae, dilakukan oleh
otot-otot aduktor longus, brevis dan magnus dan dibantu
oleh otot grasilis dan pektineus. Otot gluteus maksimus
merupakan otot abduktor utama, sedangkan gluteus
maksimus dan harmstring muscle merupakan otot

2452

REUMATOLOGI

J\ J
90

KOKSAE

_.acI:

Flak(T
s,u ngHkiaple nIU,kIIsJtSen) s,

80

ro

60

50

40
30
20

10

10

:/JI

..

.o
te
20

70
60~~

eo ~ 100 110

KOKSAE
20

1:i.'OttD

10

o-10

,o

.,

10

KOKSAE

11G

"'

40

30 26

EXT.

10

~,M,
,40

KOKSAE

10

.e

oo "

IO 10

R.

.A.
40

10 20 30

4'0

30 20 10

INT.

'10
20

. .

a.Oulrasi adukasi

30

=v:cf~: . ~===L=-

fl\9
L

iO ID 10 8D

&;7

203040r.o

10'J

Fleksi-(lu tutditekuk)

INT.

10

20

30

EXT.

Gambar 4. Gerak sendi koksae

ekstensor koksae.
Pemeriksaan koksae dimulai dengan mengamati pasien
dalam keadaan berdiri di muka pemeriksa. Bila panggul
terlihat miring, maka mungkin terdapat skoliosis, anatomic
leglength discrepancy atau kelainan koksae. Kontraktur
koksae akan ditandai oleh deformitas abduksi dan aduksi.
Pada kontraktur aduksi, pelvis akan miring ke atas pada
sisi yang sehat, dan kedua tungkai ekstensi. Pasien dengan
kelainan sendi koksae, akan memiliki 2 gaya berjalan yang
abnormal yaitu gaya berjalan antalgik akibat nyeri pada
koksae dan/atau gaya berjalan Trendelenburg pada
kelemahan otot abduktor. Untuk menilai kelemahan otot
abduktor gluteus
medius, dapat dilakukan tes
Trendelenburg, yaitu dengan menyuruh pasien berdiri pada
sisi tungkai yang sakit; pada keadaan normal, otot abduktor
akan menjaga agar pelvis tetap mendatar, bila pelvis pada
sisi yang sehat jatuh, maka dikatakan tes positif dan
terdapat kelemahan otot gluteus medius.
Pada posisi terlentang, kontraktur fleksi koksae dapat
dilihat dari adanya lordosis lumbal dan pelvis yang miring
sehingga tungkai tetap lurus pada meja pemeriksaan.
Untuk menilai adanya kontraktur fleksi, dapat dilakukan
tes Thomas, yaitu dengan memfleksi.kantungkai yang sehat
sehingga lordosis lumbal hilang, akibatnya tungkai yang
sakit akan ikut fleksi. Pada posisi terlentang, juga dapat
diukur leg-length discrepancy, yaitu pada posisi kedua
tungkai ekstensi. True leg-length discrepancy diukur dari

SIAS ke maleolus medialis dengan perbedaan yang dapat


di toleransi adalah 1 cm atau kurang. Bila pelvis miring
atau terdapat kontraktur abduksi atau aduksi, maka
pengukuran dilakukan dari maleolus medial ke titik tubuh
yang tetap, misalnya xifistemum dan hasilnya disebut
apparent leg-length discrepancy. Lokasi nyeri pada sendi
koksae sangat penting untuk menilai sumber nyeri. Nyeri
pada daerah lateral, biasanya diakibatkan oleh bursitis
trokanterik. Nyeri pada daerah anterior atau inguinal
biasanya berasal dari bursitis iliopsoas, atau kelainan lain
seperti hernia, aneurisma femoral atau abses psoas.
Sedangkan nyeri di daerah posterior biasanya berasal dari
sendi sakroiliaka, vertebra lumbal atau bursa iskial. Nyeri
akibat kelainan sendi koksae biasanya terasa di daerah
anterior atau inguinal.
Untuk menilai secara cepat gerak sendi koksae, dapat
dilakukan tes Patrick, yaitu dengan meletakkan tumit pada
bagian medial lutut kontralateral, kemudian menekan lutut
ke lateral menuju permukaan meja. Bila kedua lutut dalam
keadaan fleksi90 dan dilakukanproseduryang sama, maka
disebut tes Fabere.
Sendi Lutut
Sendi lutut merupakan gabungan dari 3 sendi, yaitu
patelofemoral,tibiofemoralmedial dan tibiofemoral lateral.
Pada sendi tibiofemoral, terdapat meniskus lateral dan
medial. Sendi lutut diperkuat oleh kapsul sendi yang kuat,
ligamen kolateral lateral dan medial yang menjaga
kestabilan lutut agar tidak bergerak ke lateral dan medial;
dan ligamen krusiatum anterior dan posterior yang menjaga
agar tidak terjadi hiperfleksi dan hiperekstensi sendi lutut.
Fleksi lutut, akan diikuti rotasi internal tibia, sedangkan
ekstensi lutut akan diikuti rotasi eksternal femur. Patela
mempunyai fungsi untuk memperbesar momen gaya pada
waktu lutut ekstensi sehingga kerja otot quadriseps
femoris tidak terlalu berat. Pada inspeksi lutut, harus
diperhatikan kemungkinan adanya genu varus, genu
valgus dan genu rekurvatum. Pembengkakan di atas patela,
biasanya berasal dari bursitis prepatelar, sedangkan
sinovitis lutut biasanya lebih difus. Pembengkakan
posterior di fossa poplitea, biasanya berasal dari kista
baker. Nyeri pada sisi medial tibia di bawah sendi lutut,
biasanya berasal dari bursitis anserin. Nyeri pada bagian
bawah patela pada usia muda biasanya berasal dari sindrom
Sinding-Larsen-Johansson, sedangkan pada usia yang
lebih tua biasanya berasal dari tendinitis patelar (jumpers
knee). Nyeri pada tuberositas tibia pada anak muda,
biasanya disebabkan oleh epifisiolisis (Osgood-Schlatter s
disease)
Pada waktu palpasi lutut, dapat teraba krepitus pada
waktu lutut difleksikan atau diekstensikan. Hal ini
menunjukkan kerusakan rawan sendi, misalnya pada
osteoartritis. Selain itu, pada waktu palpasi juga dapat
diperi.ksaadanya efusi sendi. Stabilitas ligamen kolateral

ANAMNESIS

DAN PEMERIKSAAN

F1SIS PENYAKIT

dapat diperiksa dengan memfleksikan lutut 100;kondilus


femoral dipegang dengan tangan pemeriksa yang satu
sementara tangan yang lain menggerakan tungkai bawah
ke depan dan kebelakang. Untuk menilai stabilitas ligamen
krusiatum, lutut di fleksikan 90, kemudian tungkai
bergerak (drawer signpositif), berarti sudah ada kelemahan
ligamen krusiatum. Kerusakan meniskus dapat diperiksa
dengan melakukan tes Mc-Murray, yaitu tungkai
diekstensikan secara penuh, kemudian tangan pemeriksa
yang satu menggenggam lutut pasien dengan posisi
jempol pada 1 sisi dan jari-jari yang lain pada sisi yang
satu lagi, kemudian tangan pemeriksa yang satu lagi
memegang pergelangan kaki pasien. Pada posisi tungkai
bawah rotasi ekstema 15, bunyi snap yang teraba atau
terdengar pada waktu tungkai bawah pasien di gerakkan
dari posisi ekstensi ke fleksi 90 menunjukkan adanya
robekan meniskus medial. Bunyi yang sama yang terdengar
pada waktu tungkai bawah dirotasi internal 30 dan
digerakkan dari fleksi ke ekstensi, menunjukkan robekan
pada meniskus lateral.

Defonnitas lulut:
A. Genu Varus; B. Genu Valgus; C. Genu Rekurvatum; D..Sublullsasitibia posterior;E Flaks.i Menetap

6:1
511

LUTUT
Fleksi)

50

2453

MUSKULOSKEI.ETAL

50 70 BO i100110 120
'
/ 130

40

Gambar 5. Deformitas sendi lutut dan Gerak sendi lutut

Pergelangan Kaki
Pergelangan kaki terdiri dari 2 sendi, yaitu sendi tibiotalar
(true ankle,_, joint) yang merupakan sendi engsel dengan
pergerakan dorsofleksi dan plantar-fleksi, sedangkan sendi
subtalar memungkinkan gerak inversi dan eversi dari kaki.
Maleoli tibia dan fibula memanjang ke bawah, menutupi
talus dari medial dan lateral dan memberikan kestabilan
sendi pergelangan kaki. Kapsul sendi pergelangan kaki
sangat kuat pada bagian posterior dan memungkinkan
untuk pergerakan dorso dan plantar-fleksi.
Pada bagian belakang sendi ini terdapat tendon achiles
yang merupakan tendon otot gastroknemius dan soleus
yang memanjang ke bawah dan berinsersi pada permukaan
posterior os kalkaneus. Radang pada tendon ini,
menyebabkan rasa nyeri bila banyak berjalan atau bila

tendon itu di tekan atau penekanan pada insersinya di


kalkaneus. Gerak plantar-fleksi dilakukan oleh otot
gastroknemius dan soleus, dorso-fleksi oleh otot tibialis
anterior, sedangkan inversi oleh otot tibialis posterior dan
eversi oleh otot peroneus longus dan brevis.

,=h~.-~,~-.-~
'"

18

OI

n:i

10

PERGELANGAK
NAKI

30 ~~

,o

10

20

Gambar 6. Gerak pergelangan kaki

Kaki
Yang dimaksud dengan kaki adalah midfoot yang terdiri
dari 5 tulang-tulang tarsal selain talus dan kalkaneus dan
fore foot yang terdiri dari tulang-tulang metatarsal dan
jari-jari kaki. Kaki mempunyai struktur melengkung ke
dorsal yang memungkinkan penyebaran berat badan ke
kalkaneus di posterior dan ke-2 tulang sesamoid pada
tulang metatarsal I dan kaput metatarsal 11-V di anterior.
Fungsi lengkung kaki adalah untuk menjaga fleksibilitas
kaki pada waktu berjalan dan berlari. Lengkung ini dapat
betambah akibat kelainan neurologik dan disebutpes cavus
atau berkurang dan disebut pes planus. Deformitas lain
pada kaki adalah hallux valgus, hammertoe deformity,
mallet toe dan cock-up toe. Hallux valgus adalah deviasi
medial metatarsal sehingga kaki menjadi lebar dan kadangkadang timbul bunion. Hammertoe deformity adalah
hiperekstensi sendi metatarsofalangeal(MTP) diikuti fleksi
sendi PIP. Deformitas fleksi sendi DIP manghasilkan
mallet toe, sedangkan fleksi sendi PIP dan DIP yang diikuti
ekstensi dan subluksasi plantar sendi MTP disebut
cock-up toe deformity.
Nyeri pada tumit, sering disebabkan oleh plantar, spur,
sedangkan peradangan pada MTP I, sering disebabkan
oleh artritis gout.

..
lO JC 1CI

Gambar7. kaki

Vertebra
Vertebraharus diperiksa dalam posisi duduk atau berbaring
telungkup, tetapi untuk menilai kesegarisan vertebra,
pemeriksaan harus dilakukan dalam posisi berdiri.
Kemiringanpelvis dan bahu mancurigakanke arah kelainan
kurvatura vertebra atau leg-length discrepancy. Otot-otot

2454
paraspinal harus selalu di palpasi untuk mencari adanya
nyeri dan spasmus.
Gerakvertebra servikal,meliputiantefleksi45, ekstensi
50-60, laterofleksi 45 dan rotasi 60-80. Separuh dari
fleksi dan ekstensi total servikal terjadi pada ketinggian
oksiput Cl, sedangkan sisanya terbagi rata pada C2-C7.
Selain itu, separuh dari rotasi servikal terjadi pada sendi
atlantoaksial ( odontoid) sedangkan sisanya terbagi rata
pada C2-C6. Pada laterofleksi, semua vertebra servikal
mempunyai andil yang sama besar. Pemeriksaan khusus
yang harus dilakukan vertebra servikalis adalah
foraminal compression test, tes Valsava dan tes Adson.
Tiga tes yang pertama digunakan untuk menilai adanya
jepitan saraf. Pada foraminal compression test, Ieher
dirotasi dan dilaterofleksi ke sisi yang sakit, kemudian
kepala ditekan kebawah, bila ada jepitan saraf akan
menimbulkan nyeri yang menjalar ke lengan atau sekitar
skapula. Bila kepala distraksi ke atas (distraction test),
nyeri akan berkurang. Pada shoulder depression test, 1
tangan pemeriksa diletakkan pada bahu dan tangan
pemeriksa yang lain diletakkanpada kepala kemudian bahu
di tekan ke bawah sedangkan kepala dilaterofleksi ke arah
yang berlawanan, jepitan pada saraf servikal akan
menyebabkan nyeri radikular atau parestesia. Tes Valsava
digunakan untuk menilai adanya tumor intra tekal atau
hernia nukleus pulposus. Pasien disuruh ekspirasi dalam
keadaan glotis tertutup, adanya kelainan di atas akan
menyebabkan nyeri yang menjalar ke dermatom yang
sesuai. TesAdson, digunakan untuk menilai adanyajepitan
pada arteri subklavia. Pemeriksa melakukan palpasi pada
denyut arteri radialis, kemudian pasien melakukan inspirasi
maksimal sambil melakukan rotasi maksimal kepala ke sisi
yang diperiksa,jepitan arteri subklavia akan menyebabkan
denyut arteri radialis melemah atau menghilang.
Pada pemeriksaan vertebra Iumbal, pasien sebaiknya
disuruh melepaskan pakaiannya, sehingga dapat dinilai
berbagai deformitas seperti Iordosis lumbal, kifosis torak
dan skoliosis. Gaya berjalan dan gerakan pinggul juga
harus diperhatikan. Lingkup gerak tulang-tulang spinal,
dapat dinilai dengan melakukan tes Schober, yaitu dengan
menyuruh pasien melakukan antefleksi maksimal,
kemudian ditentukan4 titik mulai dari prominentiaspinosus
sakralis superior ke arah atas denganjarak antara satu titik
dengan titik lainnya masing-masing 10 cm. Kemudian
pasien disuruh berdiri tegak dan jarak titik-titik tersebut
diukur lagi, dalam keadaan normal akan terjadipemendekan

Gambar 8. Gerak servikal

REUMATOLOGI

jarak titik-titik tersebut berturut-turut dari bawah ke atas


adalah 50%, 40% dan 30%. Cara lain adalah dengan
mengukurjarakC7-Thl2 dan Tl2-Sl dalamkeadaan berdiri
tegak, kemudian pasien disuruh antefleksi maksimal, maka
jarak C7-Tl2 akan memanjang 2-3 cm, sedangkan jarak
Tl2- Sl akanmemanjang 7-8cm.
Untuk menilai iritasi radiks, dapat dilakukan tes
Lasegue danFemoral nerve stretch test. Tes Lasegue (SLR
= sraight leg raising) merupakan tes yang sering dilakukan.
Pasien disuruh berbaring telentang dalam keadaan santai,
kemudian tungkai bawah difleksikan perlahan-lahan
sampai 70 dengan lutut dalam keadaan ekstensi, catat
sudut yang dicapai pada waktu pasien merasakan nyeri.
Kemudian pasien disuruh memfleksikan lehemya sampai
dagunya menyentuh dinding dada, atau secara pasif
kakinya didorsofleksikan, nyeri yang timbul menandakan
regangan dura, misalnya pada HNP sentral; bila nyeri tidak
timbul, maka nyeri SLR diakibatkan oleh kelainan otot
harmstring, atau nyeri dari daerah lumbal atau sakroiliakal.
Bila pada waktu SLR dilakukan, timbul nyeri pada tungkai
kontra lateral (cross over sign atau well leg raises test),
menandakan adanya kompresi intratekal oleh lesi yang
besar. Bila kedua tungkai difleksikan bersama (SLR

Modified Schober Test

The lasegue leSI

Gambar 8. Schober test, Laseque test, Femoral Nerve Strech


Test

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS PENYAKIT MUSKULOSKELETAL

bilateral), nyeri yang timbul sebelum sudut mencapai 70


mungkin berasal dari sendi sakroiliaka, sedangkan bila
nyeri timbul pada sudut 70 mungkin berasal dari daerah
lwnbal.
Pada femoral nerve stretch test, pasien disuruh
berbaring pada sisi yang tidak sakit dengan koksae dan
lutut sedikit fleksi, pinggang dan punggung lurus dan
kepala difleksikan. Kemudian secara perlahan, fleksi lutut
ditambah dan koksae diekstensikan. Bila timbul nyeri pada
tungkai bagian anterior, menandakan adanya iritasi pada
L2,L3 danL4.
Sendi sakroiliakajuga harus diperiksa dengan seksama,
karena pada spondiloartropati seronegatif, sering disertai
sakroilitis. Pemeriksaan khusus untuk sendi ini adalah tes
distraksi dan tes lutut ke bahu. Pada tes distraksi, kedua
sisi pelvis ditekan ke bawah pada pasien dalam keadaan
berbaring terlentang atau pada satu sisi, tes positif bila
timbul nyeri. Pada tes lutut ke bahu, pasien dalam posisi
berbaring terlentang, koksae difleksikan dan di aduksi,
kemudian lutut difleksikan ke arah bahu kontralateral. Tes
ini hanya bermakna bila lumbal dan koksae dalam keadaan
normal.

..

2455

REFERENSI
Doherty M, Doherty J. Clinical examination rheumatology.
London :Wolfe Publishing;l992.
Gattler RA, Scumacher HR. A practical handbook of joint fluid
analysis. 2"" ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1991.
Michet CJ, Hunder GC. Evaluation of the joint. In: Kelly WN, Haris
JED. Ruddy S et al eds. Textbook. of Rheumatology. 4'h ed.
Philadelphia :WB Saunders; l 993.p.351-67.
Shmerling RH, Liang MH. Laboratory evaluation of rheumatic
disease. In: Scurnacher HR, Klippel JH, Koopman WJ,eds. Primer
on the rheumatic diseases. I o- ed. Arthritis Foundation.
1993.p.64:6

385
ARTROSENTESIS DAN
ANALISIS CAIRAN SENDI
Sumariyono

PENDAHULUAN

SINOVIA

Artrosentesis (aspirasi cairan sendi) dan Analisis cairan


sendi merupakan pemeriksaan yang sangat penting di
bidang reumatologi, baik untuk diagnosis maupun
tatalaksana penyakit reumatik. Analisis cairan sendi bisa
di analogikan seperti pemeriksaan urinalisis untuk menilai
kelainan traktus urinarius. Pemeriksaan ini terdiri dari
pemeriksaan makros, mikroskopis, dan beberapa
pemeriksaan khusus, dimana dari pemeriksaan ini cairan
sendi abnormal dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori,
yaitu non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik.
Walaupun dari masing-masing kategori tersebut terdapat
beberapa penyakit yang menyebabkanya, tetapi paling
tidak pemeriksaan ini dapat mempersempit diagnosis
banding. Berdasarkan basil analisis sejumlah penelitian,
Shmerling menyimpulkanbahwa ada dua alasan terpenting
dari analisis cairan sendi adalah untuk identifikasi infeksi
sendi dan diagnosis artropati kristal. Pada umumnya cairan
sendi diperoleh dari lutut, walaupun dapat juga dari
sendi-sendi lainnya seperti bahu, siku, dan pergelangan
kaki.
~

Sinovia (cairan sendi) adalah lapisan cairan tipis yang


mengisi ruang sendi normal, cairan sendi ini memberikan
nutrisi esensial dan membersihkan sisa metabolisme dari
kondrosit di dalam rawan sendi. Selain itu sinovia juga
berfungsi sebagi pelumas dan sebagai perekat. Sebagai
pelumas sinoviamelumasipermukaan sendi yang mendapat
beban mekanik, sedang sebagai perekat, sinovia
meningkatkan stabilitas dan menjaga agar permukaan sendi
tetap pada posisi normalnya (pada relnya) pada saat sendi
digerakkan. Viskositas yang tinggi dari cairan sendi terjadi
karena adanya asam hyaluronat yang disekresi oleh
fibroblas-like B cells di dalam sinovium.

SI NOVI UM

Sinoviumadalahjaringan yang menutupi semua permukaan


sendi, kecuali weight bearing surface sendi diartrodial
manusia normal. Jaringan ini terdiri dari 1-3 lapis sel dan
menutupi suatu matriks, dimana matriks tersebut bisa
berupa jaringan lemak, jaringan fibrosa, areolar atau
periosteal, tergantung dari lokasinya di dalam sendi.
Sinovium normal memiliki vaskularisasi yang baik dan
menghasilkan sinovia atau cairan sendi.

2456

FISIOLOGI SINOVIA (CAIRAN SENDI)

Cairan sendi normal adalah ultra filtrat atau dialisat dari


plasma. Dengan demikian kadar ion-ion dan molekulmolekul kecil ekivalen dengan kadarnya didalam plasma,
sedang protein kadarnya lebih rendah. Molekul-molekul
yang berpindah dari plasma ke cairan sendi pertama
harus melewati endotel mikrovaskular, kemudian harus
melalui matriks di sekeliling sel sinovia. Barier yang
paling kritikal adalah endotel. Protein plasma yang
melewati barier ini bergerak melalui difusi dengan tingkat
kecepatan yang berbanding terbalik dengan ukuran
molekulnya.
Sebaliknya kembalinya cairan dari cairan sendi ke
plasma tidak size selective . Setelah molekul protein
melewati endotel dan masuk ke interstitiel,protein ini akan
dibersihkan kembali ke plasma melalui saluran limfe.
Konsentrasi protein-protein tertentu di dalam cairan

2457

ARTROSENTESIS DAN ANALISA CAIRAN SENDI

sinovia mencenninkan keseimbangan dari dua proses


tersebut. Hal inilah yang menjelaskan kenapa rasio
konsentrasi cairan sendi dengan plasma (CS/P) dari
protein besar lebih rendah dari protein yang lebih kecil
seperti albumin. Rasio albumin adalah 0.2-0.3 pada sendi
lutut normal, sedangrasio fibrinogenjauh lebih kecil karena
ukuranya jauh lebih besar. Relatiftidak adanya fibrinogen
pada cairan sendi ini menjelaskan kenapa cairan sendi
normal tidak membeku. Pada efusi patologis, penneabilitas
endotel meningkat dan kadar proteinya meningkat
mendekati kadarnya di plasma, sehingga kadar fibrinogen
juga meningkat yang menyebabkan aspirat cairan sendi
menjadi beku.

Bahan dan Alat


Spuit sesuai dengan keperluan
Jarum spuit : no 25 untuk sendi kecil, no 21 untuk sendi
lain, no 15 -8 untuk efusi purulen (pus)
Desinfektan iodine
Alkohol
Kasa steril
Anestesi lokal (bila diperlukan)
Sarung tangan
Pulpen
Plester
Tabung gelas
Tabung steril untuk kultur
Lain-lain sesuai kebutuhan : media kultur, kortikosteroid

ARTROSENTESIS
lndikasi
Diagnostik
Membantu diagnosis artritis
Memberikan konfirmasi diagnosis klinis
Selama pengobatan artritis septik, artrosentesis
dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah
leukosit, pengecatan gram dan kultur cairan sendi.
Terapeutik
Artrosentesis saja
Evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada
pseudogout akut dan crytal induced arthritis yang
lain.
Evakuasi serial pada artritis septik untuk
mengurangi destruksi sendi.
Pemberian kortikosteroid intraartikular
Mengontrol inflamasi steril pada sendi, bila obat
anti inflamasi non steroid telah gagal, kemungkinan
akan gagal atau merupakan kontraindikasi.
Mempersingkat periode nyeri pada artritis gout.
Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat
Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi.
Kontraindikasi
Diag" nostik
Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi
Bakteriemi
Secara anatomis tidak bisa dilakukan
Pasien tidak kooperatif
Terapeutik
Kontraindikasi diagnostik
Instabilitas sendi
Nekrosis avaskular
Artritis septik

ProsedurTindakan (umum)
Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi :
Lakukan pemeriksaan fisik sendi dan bila perlu
periksa foto sendi yang akan diaspirasi
Haros dikuasai anatomi regional sendi yang
akan diaspirasi untukmenghindari
kerusakan
struktur-struktur vital seperti pembuluh darah dan
saraf.
Hams dilakukan teknik yang steril untuk menghindari
terjadinya artritis septik. Untuk desinfekti dipakai
iodine dan alkohol. Dokter hams memakai sarong
tangan untuk menghindari kontak dengan darah dan
cairan sendi pasien.
Untuk mengurangi rasa nyeri dapat digunakan
semprotan etilklorida. Bila diperlukan dapat digunakan
prokain untuk anastesi lokal.
Selama dilakukan prosedur aspirasi harus diingatkan
kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak banyak
menggerakkan sendi.

PROSEDURTINDAKAN (KHUSUS)
Sendi Lutut
Pada efusi sendi lutut yang besar, tusukan dari lateral
secara langsung pada tengah-tengah tonjolan
suprapatela lebih mudah dan lebih enak untuk
pasien.Tonjolan suprapatela ini dapat diperjelas dengan
menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan
menggunakan ujung pulpen dilakukan pemberian tanda
pada daerah target yaitu lebih kurang pada tepi atas
patella (cephalad border of patella). Tada ini akan masih
terlihat dalam waktu yang cukup untuk melakukan
desinfeksi, anastesi dan artrosentesi. Pada efusi sendi
yang sedikit lebih baik dilakukan tusukan dari medial di
bawah titik tengah patella.

2458

REUMATOLOGI

Ujung sefalik patelik


I

purulen atau 5) hemoragik. Diagnosis spesifikjarang bisa


dibuat hanya berdasar pemeriksaan makroskopis saja.
Gambaran analisis cairan sendi normal dan patologis dapat
dilaihat pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Gambaran Analisis Cairan Sendi Normal

Gambar 1. Tusukan sendi lutut dari lateral pada


efusi sendi yang banyak.

Jenis pemeriksaan

Nilai normal

Rata rata

PH
Jumlah leukosit/mm 3
PMN
Limfosit
Monosit

7.3 - 7.43
13 - 180
0 -25
0 - 78
0 - 71

7.38
63
7
24
48

0 -12

Sel sinovia

Garis ten~ah patela

Protein total g/dl

1.2-3.0

1.8

Albumin(%)

56 -63

60

Globulin(%)

37 -44

Hyaluronat g/dl

40
0.3

Tabel 3. Gambaran Analisis Cairan Sendl Patologis

Volume (ml, lutut)


Warna

Noninflamasl
(grup I)
Biasanya > 4
Xantokrom

Kejernihan

Transparan

lnflamasi
(grup 11)
Biasanya > 4
Xantokrom
atau putih
Translusen

Krlteria

Gambar 2. Tusukan sendi lutut dari medial

ANALISIS CAIRAN SENDI

Viskositas

Tinggi

atau opak
Rendah

Jenis-jenis Pemeriksaan Cairan Sendi


Jenis-jenis pemeriksaan yang dilakukan pada analisis
cairan sendi dapat dilihat pada Tabel 1.

Bekuan musin
Bekuan spontan
Jumlah leukosit/mm3

Sedang
sampai baik
Sering
< 3000

Sedang
sampai buruk
Sering
3.000 -50.000

Polimorfonuklear (%)

<25 %

>70%

Purulen
(Grup Ill)
Biasanya > 4
Putih
Opak
Sangat
rendah
Buruk
Sering
50.000300.000
>90 %

Tabel 1 Analisis Cairan Sendi: Jenis-jenis Pemeriksaan


Rutin
Pemeriksaan makroskopis: warna, kejernihan, viskositas,
potensi terbentuknya bekuan, volume
Pemeriksaan mikroskopis: jumlah leukosit, hitung jenis
leukosit, pemeriksaan sediaan basah dengan mikroskop
polarisasi dan fase kontras
Khusus
Mikrobiologi: pengecatan khusus
(silver, PAS, Ziehl
Nielsen), kultur bakteri, jamur, virus atau M tuberkulosis,
analisis antigen atau asam nukleat mikroba (PCR)
Serologi: kadar komplemen hemolitik (CH 50),
kadar
Komponen komplemen (C 3 dan c.). autoantibodi (RF, ANA,
Anti CCP)
Kimiawi: glukosa, protein total, pH, p02, asam organik
(asam 1.fl<tat dan asam suksinat), LOH (lactate
dehydrogenase)
Keterangan :
ANA: antinuclear antibody; CCP : cyclic citrul/inated peptide;
PAS : periodic acid Schiff, RF : rheumatoid factor

PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS
Pemeriksaan makroskopis cairan sendi merupakan
pemeriksaan bedside. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
menentukan cairan sendi tersebut termasuk dalam
kelompok : 1) normal, 2) non inflamasi, 3) inflamasi, 4)

BEKUAN
Cairan sinovia sedikit sekali kandungan protein
pembekuan seperti fibrinogen, protrombin, faktor V, faktor
VII dan tromboplastin jaringan. Sehingga cairan sinovia
normal tidak akan membeku. Tetapipada kondisi inflamasi
"membran dialisat" sendi menjadi rusak sehingga protein
dengan berat molekul yang lebih besar seperti proteinprotein pembekuan akan menerobos masuk ke cairan
sinovia, sehingga cairan sinovia pada penyakit sendi
inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknya
bekuan berkorelasi dengan derajad inflamasi sinovia.

VOLUME
Sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan
sendi., bahkan pada sendi besar seperti lutut hanya
mengandung 3 -4 ml cairan sinov ia. Pada kondisi sinovitis,
yang mengakibatkan rusaknya "membran dialisat" sendi,
sejumlah besar cairan bisa berakumulasi pada ruang sendi.

2459

ARTROSENTESIS DAN ANALISA CAIRAN SENDI

Meskipun volume cairan sendi tidak dapat membedakan


kelainan sendi inflamasi dan noninflamasi, tetapi volume
aspirat pada aspirasi serial bermanfaat untuk menilai basil
pengobatan karena penurunan volume aspirat biasanya
sesuai dengan perbaikan klinis.

VISKOSITAS

Cairan sendi normal sangat kental, karena tingginya


konsentrasi polimer hyaluronat . Asam hyaluronat
merupakan komponen non protein utama cairan sinovia
dan berperan penting pada lubrikasijaringan sinovia. Pada
penyakit sendi inflamasi asam hyaluronat rusak atau
mengalami depolimerisasi, yang menurunkan viskositas
cairan sendi.Viskositasmerupakanpenilaiantidak langsung
dari konsentrasi asam hyaluronat pada cairan sinivia.
Penilaian viskositas cairan sendi dilakukan dengan
pemeriksaan "string test", yaitu melihat cairan sendi pada
saat dialirkan dari spuit ke tabung gelas. Pada cairan sendi
normal akan dapat membentuk juluran (string out)
7 cm - 10 cm atau lebih. Pemeriksaan lain adalah dengan
menggunakanviscometer. Pemeriksaanbekuan musinjuga
merupakan pemeriksan untuk menilai konsentrasi polimer
asam hyaluronat. Pemeriksaan bekuan musin dilakukan
dengan cara menambahkan 1 bagian cairan sendi ke dalam
4 bagian asam asetat 2%. Pada cairan sendi normal atau
kelompok I akan membentuk bekuan, sedang pada cairan
sendi kelompok II dan III (inflamasi dan purulen) akan
terbentuk bekuan yang buruk atau kurang baik.

selanjutnya akan mengalami kerusakan yang akan


memberikan wama kekuningan (xantochrome)pada cairan
sendi inflamasi.Leukosit akan membuat wama cairan sendi
menjadi putih, sehingga semakin tinggi jumlah leukosit
cairan sendi akan berwama putih atau krem seperti pada
artritis septik. Selain dipengaruhi olehjumlah eritrosit dan
leukosit, wama cairan sendi juga dipengaruhi oleh jenis
kuman dan kristal yang ada dalam cairan sendi. Staphylococcus aureus akan memberikan pigmen keemasan,
serratia marcescens akan memberikan wama kemerahan
dan kristal monosodiumurat akan memberikan wama putih
seperti susu.

Normal

Inflamasi

Purulen/septik

Hemoragik

Gambar 4. Warna beberapa kelompok cairan sendi

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS

Jumlah dan hitung Jenis Leukosit

Pemeriksaan jumlah dan hitung jenis leukosit sangat


membantu dalam mengelompokkan cairan sendi. Paling
tidak pemeriksaan ini dapat membedakan kelompok
inflamasi dan non inflamasi. Pada cairan sendi kelompok II
seperti artritis reumatoid jumlah leukosit umumnya
3000-50.000 sel I ml, sedang pada kelompok III jumlah
leukosit biasanya di atas 50.000/ml. Pada cairan sendi
normal umurnnya PMN kurang dari 25%, sedang pada
kelompok inflamasi PMN umumnya lebih dari 70%
(inflamasikelompok II PMN > 70%, kelompok III> 90%).
Kristal

Gambar3. Pemeriksaanviskositas (kekentalan)


cairan sendi dengan string test

WARNA DAN KEJERNIHAN

Cairan Sendi normal tidak berwama seperti air atau putih


telor. Pada sendi inflamasi jumlah leukosit dan eritrosit
pada cairan sinovia meningkat. Eritrosit pada sinovia

Pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan


basah segera setelah aspirasi cairan sendi. Kristal
monosodium urat dapat diperiksa dengan mikroskop
cahaya biasa, tetapi untuk pemeriksaan yang lebih baik
memerlukan mikroskop polarisasi. Pada mikroskop
polarisasi ini terdapat dua polarizing plate. Pertama
disebut polarizer yang diletakkan antara sumber cahaya
dan gelas objek (bahan), kedua disebut analyzer yang
diletakkan antara gelas objek (bahan) dan observer dan
diletakkan pada posisi 90 derajad dari polarizer. Dengan
posisi demikian tidak ada cahaya yang ke mata observer,

2460
REUMATOLOOI

yang dilihat observer hanya lapangan gelap. Setiap bahan


yang membiaskan cahaya (termasuk MSU atau CPPD) bila
diletakkan pada objek gelas di antara kedua polarizing
plate tersebut akan membiaskan cahaya dan tampak
sebagai wama putih pada lapangan gelap. Gambaran pada
lapangan gelap dapat diperkuat dengan menambahkan
kompensator merah yang diletakkan di antara kedua
polarizing plate. Aksis dari kompensator ini diletakkan 45
derajat terhadap analzer maupun polarizer. Kompensator
ini akan menghambat komponen merah dari cahaya sebesar
seperempat panjang gelombang, yang mengakibatkan
lapangan pandang menjadi berwama merah. Pada kondisi
demikian kristal MSU atau CPPD akan berwama kuning
atau biru tergantung posisi aksis dari kristal terhadap aksis
dari slow vibration dari cahaya pada kompensator. Dengan
cara memutar MSU atau CPPD 90 derajad akan merubah
kristal biru menjadi kuning dan kuning menjadi biru
Kristal MSU berbentuk batang dengan ukuran sekitar
40 um (4 kali leukosit). Kristal ini sangat berpendar
sehingga pada mikroskop polarisasi tampak sangat terang.
Pada mikroskop polarisasi yang ditambahkan kompensator
merah, MSU akan berwama kuning bila arah kristal paralel,
dan berwama biru bila arah kristal tegak lurus dengan aksis
dari slow vibration dari kompensator. Kristal CPPD
ukuranya hampir sama dengan MSU, tetapi lebih sering
berbentukrhomboid. CPPD berpendar lemah sehingga bagi
yang belum berpengalaman sulit untuk melihat kristal ini.
Kebalikan dari kristal MSU, pada mikroskop polarisasi
yang ditambahkan kompensator merah, kristal CPPD akan
berwama biru bila arah kristal paralel, dan akan berwama
kuning bila arah kristal tegak lurus dengan aksis dari slow
vibration dari kompensator.
EYEPIECE
irefringent

PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI

Artritis septik harus selalu dipikirkan terutama pada artritis


inflamasi yang : terjadi bersama dengan infeksi ditempat
lain ( endokarditis, selulits, pneumonia), sebelumnya
terdapat kerusakan sendi serta pada pasien-pasien
diabetes dan pasca transplantasi. Pada pengelompokkan
cairan sendi, artritis septik termasuk kelompok III, yang

Crystal

on rose background

SODIUM URATE
CRISTAL

---------"'...

Gambar 6. Kristal Monosodium urat


a.Kristal MSU pada mikroskop cahaya biasa.
b.Kristal
MSU pada lapangan pandang gelap dengan
menggunakan mikroskop polarisasi tanpa kompensator.
Gambar 5. Prinsip-prinsip mikroskop polarisasi

biasanya jumlah leukositnya lebih dari 50.000/ml. Tetapi


kadang-kadang cairan sendi septik dapat memberi
gambaran sebagai kelompok II, sebaliknya cairan sendi
kelompok III dapat juga terjadi pada artritiis inflamasi non

c.Kristal MSU pada mikroskop polarisasi dengan kompensator


merah; disini tampak kristal MSU berwarna kuning bila aksis kristal
paralel dengan aksis dari slow vibration dari kompensator, dan
berwarna biru bila aksis kristal MSU tegak lurus dengan aksis
slow vibration dari kompensaror.

Gambar ini dibuat oleh Divisi Reumatologi, Dept. Ilmu


PenyakitDalam FKUI/RSCM.

2461

ARTROSENTESIS DAN ANALISA CAIRAN SENDI

infeksi seperti gout dan pseudogout. Pada umumnya


pemeriksaan dengan pengecatan gram dan kultur bakteri
cukup untuk analisis cairan sendi, tetapi beberapa
pengecatan dan biakan pada media khusus sangat
membantu pada kondisi tertentu seperti misalnya untuk
mycobacterium tuberkulosis danjamur.

serta identifikasi kristal terutama monosodium urat dan


CPPD dengan menggunakan mikroskop biasa dan lebih
baik lagi bila dilakukan dengan menggunakan mikroskop
polarisasi. Manfaat lain dari pemeriksaan ini adalah
dapat mempersempit diagnosis banding artritis.

REFERENSI
KESIMPULAN
Artrosentesi dan analisis cairan sendi merupakan
pemeriksaan yang penting dibidang reumatologi baik
untuk tujuan diagnostik maupun terapeutik. Analisis
cairan sendi terdiri dari pemeriksaan makroskopis,
mikroskopis dan beberapa pemeriksaan khusus.
Berdasarkan pemeriksaan analisis cairan sendi, cairan
sendi abnormal dapat dikelompokkan menjadi cairan sendi
non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik.
Manfaat utama analisis cairan sendi adalah identifikasi
infeksi dengan pengecatan gram dan biakan cairan sendi,

Fye KH. Arthrocentesis, synovial fluid analysis, and synovial biopsy. In: Klippel JH. Primer on the rheumatic diseases. 12th
edit. 2001 : 138-144.
Gatter RA, Schumacher HR. A practical handbook of joint fluid
analysis. 2 edit. 1991.
Mikuls TR. Synovial fluid analysis. In : Koopman WJ and Moreland
LW. Arthritis and allied conditions. 15th edit. 2005 : 81-96.
Setiyohadi, sumaryono. Aspirasi cairan sendi I artrosentesis. In :
Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Prosedur tindakan di bidang
Ilmu Penyakit Dalam. 1999 : 227-233.m
Swan A, Amer H, Dieppe P. The value of synovial fluid assay in the
diagnosis of joint disease : a literature survey. Ann Rheum Dis
2002 ; 61: 493-498.

386
PEMERIKSAAN CRP, FAKTOR REUMATOID,
AUTOANTIBODI DAN KOMPLEMEN
Amadi, NG Suryadhana, Yoga I Kasjmir

Pada sebagian besar penyakit reumatik,proses inflamasi


merupakan gambaran patologikjaringan yang utama. Pada
proses inflamasi akan terjadi peningkatan protein fase akut
akibat kerusakanjaringan.Di samping itu faktor imunologis
juga mendasari sebagian besar penyakit reumatik. Oleh
karena
itu, dalam menegakkan diagnosis dan
penatalaksanaanpenyakit reumatikdiperlukanpemeriksaan
penunjang laboratorium.

relatif cepat dengan waktu paruh sekitar 18 jam.


Peningkatan konsentrasi CRP secara persisten
menggambarkan adanya proses inflamasi kronik seperti
arthritis rheumatoid, tuberkulosis dan keganasan.
Pengukuran konsentrasi CRP secara akurat
menggunakan immunoassay atau nefelometri laser. Kadar
CRP pada manusia dewasa sehat < 0,2 mg/di.
Tabcl 1 Kondisi
Kadar CRP

C-REACTIVE PROTEIN (CRP)

CRP merupakansalah satu protein fase akut. CRP terdapat


dalam konsentrasi rendah (trace) pada manusia. CRP
adalah suatu alfa globulin yang timbul dalam serum setelah
terjadinya proses inflamasi.Awalnya protein ini disangka
mempunyai respons spesifik terhadap C polisakarida dari
pneumokokus, tetapi ternyata protein ini adalah suatu
reaktan fase akut yang timbul akibat proses inflamasi. CRP
terdiri atas berbagai ligan biologik yaitu berupa
fosfokolin,fosfolipid lainnya serta protein histon dan
merupakan konstituen dari membran sel dan inti sel, yang
akan terpapar bila terjadi kerusakan jaringan. CRP
mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi jalur klasik
komplemen setelah berintegrasi dan berikatan dengan
berbagai ligan biologik, kemudian memacu perubahan sel
fagosit melaluijalur proinflamasi dan anti inflamasi.Pada
proses tersebut, CRP diduga mempunyai peranan dalam
proses inflamasi.
Adanya stimulus inflamasi akut, konsentrasi CRP akan
meningkat secara cepat dan mencapai puncaknya setelah
2-3 hari.Secara umum, konsentrasi CRP merefleksikan
luasnya kerusakan jaringan. Bila tidak ada stimulus
inflamasi maka konsentrasi CRP serum akan turun dengan

yang

Berhubungan

dengan

Peninqkatan

Normal atau
peningkatan tidak
slgnifikan ( < 1 mg/di )

Peningkatan
Sedang
( 1 -10 mg/di)

Penlngkatan
tlnggi
( > 10 mg/di)

Kerja berat
Common cold
Kehamilan
Gingivitis
Stroke
Kejang
Angina

lnfark miokard
Keganasan
Pankreatitis
lnfeksi mukosa
bronkitis, sistitis )
Penyakit reumatik

lnfeksi bakteri akut


Trauma berat
Vaskulitis sistemik

Tabel 2. Penyakit Penyakit dengan Peninqkatan Kadar CRP


Hampir selalu ada

Sering ada

Demam reumatik,
artritis reumatoid,
infeksi bakteri akut,
hepatitis akut

Tuberkulosis
Sklerosis multipel,
aktif,tumor ganas
sindroma Guillain
stadium lanjut,
Barre, cacar air,
leprosy, sirosis
pasca bedah,
aktif, Iuka bakar
penggunaan ala!
luas, peritonitis
kontrasepsi intrauterin

Kadang kadang ada

Pengukuran CRP berguna untuk menegakkan


diagnosis dan penatalaksanaan penyakit reumatik seperti
halnya pengukuran laju endap darah. Hanya pengukuran
CRP menawarkan suatu kelebihan sebagai pengukuran
yang dapat dilakukan secara langsung dalam menentukan
adanya protein fase akut yang mencerminkan besaran

PEMERIKSAAN CPR. FAICI'ORREUMATOID, Al1I'OAN11BODI DAN KOMPU:MEN

inflamasi dan perubahan-perubahan fase akut oleh


peralihan yang relatif cepat dari CRP.5 Terutama pada
penyakit-penyakit yang manifestasi kliniknya tidak begitu
mudah di evaluasi secara berkesinambungan misalnya
penyakit crohn, vaskulitis, infeksi bakteri yang sulit di
monitor. Melalui teknik biologi baku berupa seri
pemeriksaan CRP akan lebih mudah diikuti perkembangan
dari hasil suatu pengobatan. Determinasi CRP terutama di
anjurkan dalam situasi sebagai berikut:
1. Penapisan proses radang/nekrotik
2. Diagnosis/monitoring proses radang seperti neonatal,
septikemia, meningitis, pneumonia, pyelonefritis,
komplikasi pasca bedah, kondisi keganasan.
3. Penilaian gambaran klinik pada kondisi radang seperti
kelompok penyakit reumatik atau selama episode akut
ataupun infeksi intermiten
4. Diagnosis diferensial kondisi radang seperti SLE, AR
ataupun penyakit artritis lainnya, kolitis ulseratif dan
kistitis akut/pielomielitis

CARA PEMERIKSAAN CRP


Semula CRP dideteksi melalui reaksi endapan dengan
polisakarid C kuman pneumokokus. Setelah tahun 1947
berhasil dilakukan kristalisasi CRP dan dari sini dapat
dibuatkan antisera yang spesifik sehingga membuka
peluang pemeriksaan protein secara imunokimiawi.Teknik
endapan kapiler merupakan cara imunokimiawi yang
pertama dan digunakan secara luas sampai lebih dari 25
tahun. Cara pemeriksaan semi kuantitatif tidak dapat
mendeteksi konsentrasi yang kurang dari 10 mikrogram/
cc. Pengenalan teknik imunodifusi radial memungkinkan
penghitungan CRP yang lebih tepat sampai ambang
2 mikrogram/cc, sementara teknik radioimunoassay yang
amat sensitif telah pula dikembangkan tetapi cara ini
sebenamya tidak diperlukan untuk tujuan klinik karena
tidak praktis tetapi lebih di utamakan dalam pengembangan
penelitian laboratorium klinik. Bagaimanapunjuga, akhirakhir ini dikembangkan cara nephelometrik yang
mengandalkan penggunaan peralatan yang menjamin
ketepatan dan kecepatan pemeriksaan kuantitatif.
Sementara itu telah banyak dipasarkan pemeriksaan CRP
dengan menggunakan sistem aglutinasi lateks dalam
bentuk kit yang meskipun tidak kuantitatiftetapi mungkin
memiliki nilai terbatas dalam kecepatan sebagai awal
penapisan adanya CRP.

CARAAGLUTINASI LATEKS
Prinsip kerja pemeriksaan ini menggunakan partikel lateks
yang permukaannya dibungkus dengan anti
CRP sehingga dapat direaksikan dengan serum kontrol
positif ataupun negatif pada permukaan kaca benda atau

polystyrene

2463

slide plastik hitam. Pertama-tamaserumpasien di inaktifkan

pada suhu 56 Celcius.Lalu diencerkandan masing-masing


diteteskan di atas kaca benda. Kemudian masing-masing
satu tetes suspensi lateks anti-CRP ditempatkan di atasnya,
dicampur dengan menggunakan batang kayu yang telah
disediakan atau digerak-gerakkan menggunakan alat
penggoyang (shaker). Diperhatikan ada tidaknya endapan
yang biasanya akan tampak setelah 2 menit. Perlu kehatihatian atas kemungkinan terjadinya fenomena prozone
yaitu terhadap hasil positif yang sebenamya sangat kuat
tetapi tidak tampak pada serum yang tidak di encerkan
sehingga perlu dibuktikan dengan cara pengenceran.
Dengan teknik kit ini dapat dikembangkan lebih lanjut ke
arah semi kuantitatif. Di samping itu CRP juga dapat
ditentukan dengan teknik endapan kapiler, difusi
Ouchterloni, imuno difusi radial dan nephelometri.
Yang perlu diperhatikan dengan teknik ini ialah
kemungkinan positif semu oleh adanya faktor reumatoid.
TerutamakalaukadarFR nya >12001.U/cc. Karenaitu dalam
pemasaran kit selalu disertakan larutan absorbsi yang
terdiri dari larutan antibodi diperoleh dari biri-biri yang
digunakan untuk menyisihkan faktor reumatoid tersebut.
Bahan Pemeriksaan
Dapat diperoleh dari sekitar 2cc darah pasien yang
dibiarkan membeku dalam keadaan segar penyimpanan
maksimum 8 hari pada suhu 2 sampai 8 celcius atau
sementara dapat disimpan dalam lemari es suhu di bawah
minus 25 Celcius sampai 3 bulan. Serum bekuan ini
dihindari pencairan yang berulang-ulang. Bahan serum
hams dijaga kejemihannya dengan memusingkan sehingga
benar-benar tidak mengandung partikel-partikel ataupun
fibrin setelah sentrifugasi.

FAKTOR REUMATOID
Faktor Reumatoid (FR) merupakan antibodi sendiri
terhadap determinan antigenik pada fragmen Fe dari
imunoglobulin. Klas imunoglobulin yang muncul dari
antibodi ini ialah lgM, IgA lgG dan IgE. Tetapiyang selama
ini diukur ialah faktor reumatoid kelas IgM. Istilah
reumatoidnya diberikan karena faktor ini kebanyakan
diberikan pada penyakit artritis reumatoid. Berbagai teknik
telah dikembangkan, untuk mengukur adanya antibodi
tersebut. Dapat disebutkan seperti uji aglutinasi,
presipitasi, pengikatan komplemen, imunofluoresensi dan
radioimun.
Sejarah Faktor Reumatoid
Faktor Reumatoid pertamakali di introduksi oleh patolog
Norwegia, Eric Waaler,tahun 1937. Pada waktu itu beliau
melihat bahwa eritrosit biri-biri yang tersensitasi dengan
zat antinya yang diperoleh dari serum kelinci, dapat

2464

digumpalkan oleb serum pasien lues dan artriris reumatoid


(AR). Hasilnya suatu aglutinasi yang agak: aneh dibanding
hemolisis biasa kemudian ditelusuri berbagai literarur dan
ternyata peneliti lainnya juga menemukan fenomena yang
sama, pada pasien sirosis hati dan bronkitis kronis.
Terputus oleh perang dunia kedua, basil penemuan
Waaler ini, seakan-akan telah dilupakan. Akhirnya
fenomena yang sama ditemukan oleh Rose dkk ( 1948) yang
pada wak:tu itu bekerja untuk pasien Rickettsia. Lebih lanjut
mereka melakukan pemeriksaan yang sama terhadap pasien
AR, Spondilitis Ankilosa, demam reumatik dan penyakit
reumatik lainnya. Hasilnya amat menyolok, dibanding
pasien AR sendiri yang sekaligus menunjukkan korelasi
yang kuat dengan aktivita
penyakit. Meskipun
penerapan klinik yang diJak:ukan Waaler, masih belum jelas
dibandingkan dengan Rose tetapi WaaJer dengan jelas
menampilkan aspek-aspek imunologiknya sehingga uji
perneriksaan FR sampai sekaraog dikukuhkan sebagai
pemeriksaan Waaler-Rose /Rose Waaler.
Istilah Reumatoid Faktor, pertamakali digunakan oleh
Pike dkk, tahun 1949, karena faktor ini kebanyakan
ditemukan pada penyakit AR. Mulai sejak itu, berbagai
upaya modifikasi telah dilakukan di antaranya Heler dkk
( 1956) menyatakan kelemaban uji Rose-Waaler oleh adanya
faktor imunoglobulin
manusia sebagai penghambat
aglutinasi. Atas dasar itu, maka diajukan suatu cara yang
lebih sensitif yang sifatnya non-imunologik, dengan
mengabsorbsikan
imunoglobulin manusia pada tanned
eritrosit biri-biri.
Dasar sistem ini selanjutnya lebih berkembang lagi
dengan menggunakan partikel lateks, partikel bentonit,
partikel bakteri. Uji Rose-Waaler, memang amat spesifik
terhadap AR, terbukti dari sekitar 90% pasien dengan RW
pos, menunjukkan AR. Sebaliknya uji RW hanya positip
pada sekitar 60% pasien AR. Pengamatan lebih lanjut,
menunjukkan bahwa FR itu bukan suatu antibodi tetapi
merupakan suatu kelompok zat anti lgG dengan aviditas
dan afinitas yang berbeda.

Ciri-ciri Faktor Reumatoid


Faktor Reumatoid mencakup semua klas imunoglobulin,
tetapi yang mendapat perhatian kbusus hanyalah IgM-FR
dan lgG-FR. Sedangkan FR klas imunoglobulin lainnya,
sifat patologiknya belum banyak diketahui. Misalnya IgEFR, kadang-kadang dapat ditemukan pada pasien AR
dengan manifestasi ekstra artikular ataupun penyakit paru.
IgM-FR mudah ditemukan dalam darah dengan daya
aglutinasinya yang kuat. Tidak dapat bergabung mandiri
seperti
yang terjadi
pada IgG-FR. lgM-FR juga
menunjukkan kemampuan mengikat komplemen yang lebih
besar dibanding IgG-FR.
Faktor Reumatoid merupakan suatu reaksi normal
imunitas humeral tubuh terhadap rangsangan antigen
tertentu, yang tersebar secara luas dalam irama kehidupan.

Reak:si positif uji FR yang selama ini ditunjukkan baik


terhadap gamma globulin manusia ataupun kelinci,
terutama termasuk dalam kelas lgM antibodi.
Kemungkinan klas lainnya juga ditemukan yaitu IgG dan
IgA antibodi dalam bentuk intermediate complex dan
terdapat terutama di dalam cairan sendi.
Titer yang tinggi bukanlah indikasi beratnya penyakit.
Kebanyakan pasien denganAR basil pemeriksaan FR nya
bisa positif ataupun negatif dengan titer yang berfluktuasi
dalam hitungan bulan/tahun 4 Sedangkan pemberian
NSAID tidak selamanya dapat mempengaruhi titer FR.
Sebaliknya penicillamine dan preparat emas dapat
menurunkan secara perlahan sampai menjadi seronegatif.
FR yang negatif, dapat digunakan sebagai petunjuk
penyakit-penyakit reumatik lainnya seperti ankilo
spondilitis, sindrom reiter, enteropati berasosiasi artritis
psoriatik artropati, gout, kondrokalsinosis, piogenik artritis
dan penyak:it Still.

Terjadinya Faktor Reumatoid


Banyak teori yang mencoba mengungkapkan mekanisme
terjadinya FR. Faktor reumatoid itu sendiri sebenamya
tidak patogenik. Dasar imunopatogenik AR, dimulai
dengan aktivitas imunologik yang berlangsung terusmenerus. Aktivitas ini berperan sentral dalam patogenesis
penyakit AR dan terjadi sebagai respons terhadap self antigen (endogenous) ataupun non self-antigen
(exogenous). Pada keadaan pertama, tubuh seak:an-akan
sudah tidak mengenal lagi komponen tubuhnya sendiri,
yang kemudian menjadi konsep dasar penyakit oto-imun.
Kegagalan pengenalan diri ini dapat terjadi sebagai akibat
perubahan komponen tubuh sendiri (altered antigen),
ataupun perubahan respons imunologik tubuh terhadap
komponen tubuh yang normal. Masalahnya kemudian
adalah mengapa perubahan-perubahan itu terjadi. Maka
mulai dipikirkan adanya faktor luar (exogenous) yang
bertindak sebagai Special Stimulating Antigene yang
justru menjamin kelangsungan aktivitas imunologik
tersebut. Faktor-faktor luar yang akhir-akhir ini paling
banyak: di bicarakan, ialah virus yang berperanan sebagai

infective agent.
Dalam hubungan dengan terjadinya FR, dimulai dengan
terjadinya infeksi yang cenderung bersifat kronik dan
berkembang dalam persendian merangsang pembentukan
antibodi. Zat ini lalu bergabung dengan infective agent
tersebut dan menimbulkan perubahan antigenik molekul
IgG-nya. Adanya ikatan kompleks dan alteredlgG sebagai
antigen barn inilah yang membangkitkan produksi zat
antibodi barn yang dikenal sebagai zat anti antibodi. Zat
inilah yang pada hakekatnya dikenal sebagai Faktor
Reumatoid (FR).
Selanjutnya sarana yang paling adekuat
bagi
perkembangan lanjut reak:si ini ialah persendian. Karena
itu tidak:jarang terjadi pada tiap infeksi asalkan melibatkan

PEMERIKSAAN CPR, FAKTORREUMATOID,AUl'OAN'l1BODID~

unsur imunologik, selalu membawa dampak kesakitan pada


persendian yang maksudnya agar individu yang
bersangkutan menjalani istirahat sehingga proses
pemulihan dapat berlangsung secara alami. Temyata
persendian, memiliki kualifikasi yang cocok bagi
berkembang/menetapnya
respons imun. Tiadanya
anyaman pembuluh darah dalam tulang rawan
memungkinkan kompleks Ag-Ab menjadi tersembunyi
sehingga terhindar dari jangkauan aparat imun. Kombinasi
antara FR dan IgG membentuk kompleks imun yang
mengaktifkan sistem komplemen dengan manifestasi
timbulnya pemanggilan sel-sel neutrofil ke tempat
terjadinya radang (kemotaksis). Sel-sel ini kemudian akan
memfagosit kompleks imun tadi, dengan melepaskan enzim
lisozim. N amun enzim ini sebaliknya akan bertindak sebagai
mediator kimiawi atas terjadinya radang sinovitis. Juga
Cell-mediated immunity ikut berperanan dengan
melepaskan limfokin yangjuga dapat menimbulkan radang
tersebut yang ditujukan untuk melawan oto-antigen yang
persisten. Memang telah dibuktikan bahwa FR diproduksi
didalam sel-sel plasma pada jaringan subsinovial dan
persendian yang meradang. Dengan demikian maka FR
terdapat di dalam darah ataupun di dalam cairan sendi.
Beberapa kemungkinan mekanisme kejadian FR ditunjukan
dalam beberapa postulat sebagai berikut:
1. Agregat IgG/ kompleks imun melahirkan nilai antigen
baru pada bagian Fe dari lgG/ denaturasi.
2. Daya gabung yang meningkat dari agregat lgG terhadap
reseptor dengan afinitas rendah dari sel-sel yang
berpotensi membentuk FR.
3. Anomali struktur lgG nya sendiri
4. Kegagalan fungsi kendali dari sel- T penekan,
menimbulkan kecenderungan pembentukan autoantibodi terhadap lgG oleh sel B.
5. Interaksi antara ideotip-antiideotip
6. Reaksi silang antara nilai antigenik Fe. lgG dengan
antigen lain terutama antigen dari bahan inti sel.
7. Sensitisasi selama kehamilan
8. Latar belakang genetik yang dikaitkan dengan
HLA-DR4.

KOMPLEMEN

2465

bereaksi dengan IgG hewan daripada FR non reumatik.


Demikian juga aviditasnya terhadap agregat IgG lebih
tinggi dibanding FR monomerik oleh multivalensi
kompleks IgG Mengenai IgG-FR poliklonal, tidak banyak
yang diketahui. Petanda antigenik dari bagian Fc IgG bagi
FR klas imunoglobulin lainnya, juga belum jelas.
Kenyataan, FR itu merupakan bagian dari imunoglobulin
biasa dari orang sehat.
Seperti telah dikemukakan dalam banyak kepustakaan
(Suryadhana dkk, 1981), FR ini tidak spesifik terhadap AR.
Kenyataan, faktor ini secara umum ditemukan pada pasienpasien keradangan akut dan kronis, bahkan juga pada
individu normal.
Berbagai penyakit kronis lain dengan nama RF yang
menunjukkan adanya faktor ini dapat di klasifikasikan
sebagai berikut :
lnfeksi viral akut: mononukleosis, hepatitis, influenza
dan banyak yang lainnya, sebagai akibat vaksinasi.
Infeksi parasit: tripanosomiasis, kala azar, malaria,
schistosomiasis, filariasis, dsb.
Penyakit radang kronik: TBC, lepra, lues, brucellosis
endokarditis bakterial subakut, salmonellosis,
periodontitis. Hepatitis, paru, Cryobulinemia
Polutan: silikosis, asbestosis
Neoplasma: setelah iradiasi ataupun kemoterapi.

SpesifisitasI Sensitivitas

Adanya faktor ini cenderung ditandai oleh antigemia


persisten yang lebih lanjut dapat dibuktikan melalui
percobaan hiper imunisasi kelinci dengan antigen bakteri.
Banyak kelainan ini dikaitkan
dengan
keadaan
hipergammaglobulinemia
ataupun kompleks imun yang
beredar dalam darah, maka dapat pula di masukan, penyakit
hati kronik, paru kronik, cryobulinemia.
Dengan kenyataan ini, maka FR itu sendiri sering
merupakan indikator in vivo terhadap penyakit-penyakit
dengan
latar belakang kompleks imun dengan
kecenderungan menjadi kronik. Walaupun tak spesifik AR,
tetapi faktor ini dapat menjadi perintis timbulnya penyakit
AR. Sementara basil positifjuga ditemukan pada penyakit
reumatik lainnya seperti sjogren, SLE, sklerosis sistemik
dan penyakit jaringan ikat campuran (MCTD). Pada
individu normal sehat, prevalensi lateks positif cenderung
meningkat seiring meningkatnya usia.
Arti spesifitas bagi imunolog ialah adanya struktur
imunokimiawi tertentu pada IgG-nya sedangkan bagi
reumatolog, hanya mempersoalkan efisiensi diagno
sisnya. Dalam hubungan ini berbagai upaya modifikasi
telah dicoba seperti yang tiada henti-hentinya dilakukan
Kleindkk

IgM-FR poliklonal memiliki aneka sfesifisitas. Tidak dapat


disebutkan, suatu kekhasan antigenik tertentu, yang benarbenar memegang peranan penting dalam proses terjadinya
AR. Dengan demikian, spesifitas FR pada AR, cenderung
lebih heterogen daripada penyakit kronik lainnya yang
bukan AR. Karena itu FR pada AR cenderung lebih banyak

Pada pasien AR, seperti juga pada individu yang sehat


hanya sedikit imunoglobulin ataupun FR yang diproduksi
oleh sel-sel yang berada dalam sirkulasi.
Bagaimana juga, limfosit-limfosit yang terdapat dalam

Penemuan terakhir menunjukkan


bahwa artritis
reumatoid seropositif, berhubungan erat dengan antigen
keselarasan j aringan yaitu HLA-D yang diekspresikan oleh
limfosit B dan makrofag. Lebih dari 50% pasien seropositif
memiliki HLA-D ini. Sel B poliklonal, memang berpotensi
kuat dalam menginduksi produksi FR.

Tempat DiproduksinyaFaktor Reumatoid

2466
aliran darah, dapat dirangsangoleh mitogen sel-sel-Buntuk
memproduksi imunoglobulin secara in vitro. Tetapi
sejumlah besar sel-sel dari kompartemen lainnya, telah
dapat ditunjukkanmemproduksiFR. Telahdiketahuibahwa
cairan sinovial reumatoid kaya dengan IgG-FR, lgM-FR
dan IgA-FR. Jadi FR pada cairan sendi, kemungkinan besar
diproduksi secara lokal oleh limfosit-limfosit yang terletak
dalam membran sinovial ataupun cairannya sendiri. Agen
yang merintis produksi lokal, sampai saat ini masih belum
diketahui. Agaknya memang berbagai faktor itu datangnya
secara bertahap ataupun simultan yang tanpa disadari
terekam oleh tubuh sedikit demi sedikit dan akhirnya
tinggal memerlukan hadirnya suatu penyulut (trigger)
untuk timbulnya penyakit tersebut.
Mengenai tempat diproduksinya FR pada penyakit
kronik lainnya belum dapat diungkapkan, tetapi
kemungkinan seperti modus produksi imunoglobulin
umumnya.
lmunopatogenesis Faktor Reumatoid
Sebenarnya, FR bersifat non-patogenik. Terbukti pada
tranfusi dengan lgM-FR tidak dapat menginduksi artritis
bahkan lgM-FR dapat mengurangi serum sickness, lisis
oleh komplemen dan aktivitas sitotoksik selular, tetapi
hadirnya FR dapat menjadi pemacu dan pemantapan proses
yang ditunjang oleh hal-hal sebagai berikut:
Pasien seropositif,menunjukkanpenampilan klinik dan
komplikasi yang lebih berat dibanding seronegatif.
Pasien seronegatif, mempunyai prognosa yang lebih
baik.
Pengamatan in-vitro menunjukkan bahwa lgM-FR
diproduksi secara spontan oleh limfosit perifer pada
seropositif, sedang seronegatif, tidak.
. Pasien dengan titer FR yang tinggi, menunjukkan
prognosis yang buruk dan lebih sering tampil dalam
manifestasi ekstra artikular seperti nodul-nodul
subkutan, fibrosis paru, vaskulitis, perikarditis. Hal ini
dikaitkan dengan ditemukan CIC ( CirculatingImmune
Complex).
IgM-FR poliklonal mampu mangaktifkan kom-plemen,
sehingga tidak diragukan keterlibatannya, dalam
berbagai kerusakan jaringan.
Meningkatnya kadar lgG-FR, dikaitkan dengan
meningkatnya kekerapan timbulnya nodul subkutan,
LED, jumlah persendian yang terlibat dan menurunnya
kadar komplemen.
Kemungkinan efek patologiknya ialah kenyataan data
klinik yang menunjukkan hubungan FR dengan aktivitas
penyakit terutama manifestasi ekstra-artikulamya. Hal ini
juga berlaku bagi lgG-FR, yang lebih cenderung berkaitan
dengan penyakit sistemik dan vaskulitis dibanding
sinovitis.
Efek biologiknya, yang utama ialah kemampuannya
mengikat komplemen melalui kompleks imun. Dari sinilah

REUMATOLOGI

dimulai rangkaian reaksi imun berkepanjangan, yang


berakhir dengan kerusakanj aringan. Hampir semua klinisi
reumatologi, telah mengamati tidak jelasnya hubungan
titer lgM-FR yang tinggi dengan jumlah sendi yang
meradang. Tetapi pada negara yang sedang berkembang,
titer yang tinggi, denganjelas menampilkan gambaran khas
AR.
Pada anak-anak, adanya lgM-FR menunjukkan
poli-artikular tipe dewasa dari JRA. Beberapa studi, justru
IgG-FR yang menunjukkan korelasi lebih baik dibanding
lgM-FR dengan aktivitas penyakit dan manifestasi ekstra
artikular, termasuk nodul-nodul subkutan dari pasien AR
seropositif. Hal ini berarti, bahwa IgG-FR kemungkinan
lebih berperan di banding IgM-FR dalam patogenesis AR.
lnflamasi dan respons imun pada hakekatnya
merupakan suatu penampilan dari mekanisme pertahanan
tubuh yang saling kait mengkait. Berbagai kerusakan
persendian yang terjadi pada AR dimulai dengan suatu
inflamasi yang melepaskan zat-zat prostaglandin dari
tipe-tipe sel makrofag, sel dendrit, sel endothelial dan
beberapa sel limfosit. Hadirnya prostaglandin justru
mempunyai arti penting dalam ikut mempertahankan
keseimbangan imunologik. Hal ini dimungkinkan karena
prostaglandin langsung bekerja terhadap sel-T penekan
yang memiliki reseptor prostaglandin, lalu menghambat
aktivitas sel-T penekan sehingga meningkatkan fungsi
sel-T penolong. Akibatnya sel-T penolong, bekerja tanpa
kendali dengan tidak lagi mengindahkan norma-norma sel
recognition sehingga terbentuklah antibodi yang tidak
dikehendaki (Auto-antibodi). Kenyataan dengan
ditemukannya prostaglandin yang berlebihan pada daerah
sendi inflamasi, praktis menutup kerja sel- T penekan.
Rangkaian proses ini dimungkinkan karena sel-T penolong
melepaskan zat IL-2 dan IL-3. Interleukin-2, menjamin
aktivitas sel-T/B, sedangkan IL-3 sebagai mediator aktif
dalam proses radang. Dalam situasi seperti ini, maka FR
!ahyang pertama dibentuk dari tempat terjadinya inflamasi.
Dari sinilah kemudian dimulai rangkaian proses imunologi
yang berkelanjutan dengan berbagai efek kliniknya.
Artritis reumatoid, merupakan penyakit kompleks imun
ekstravaskular, yang terutama menyerang daerah
persendian. Karena cairan sendi pasien AR tidak seperti
serumnya, sering mangandung agregat IgG dengan kadar
komplemen yang rendah. Jadi faktor ini, justiu memegang
peranan utama dalam patogenesis penyakit kompleks imun
ekstravaskular yang nantinya menghasilkan sinovitis
reumatoid, tetapi dengan kenyataan ditemukan faktor ini
pada penyakit-penyakit lainnya yang bukan AR, telah
menurunkan arti dan peranan FR tersebut, tetapi dengan
berbagai alasan dan respek terhadap peranan faktor ini,
maka hadirnya FR ini, antara penyakit AR dan penyakit
non-reumatik, masih dapat dibedakan pada Tabel 4.
Jadi spesifitas jaringan dan kronisitas sinovitis
reumatoid, sebagian besar dapat diterangkan dengan
kemampuan unik dari faktor reumatoid. Masih ada contoh

PEMERIKSAAN

CPR, FAKTORREUMATOID,AUTOANTIBODI

label
3. Penyakit
Reurnatoid

yang

Penyakit Rematik

I nfeksi parasit
lnfeksi bakterialis kronik

Neoplasma
Hyperglobulinemic state

Faktor Reumatoid
- Titer
- Heterogenitas
- Reaksinyaterhadap
, gammaglobulin
manusia dan hewan
- Klas imunoglobulin
- Lokasi produksi

dengan

Faktor

Artritis Reumatoid, Lupus


Eritematosus Sistemik,
Skleroderma, Mixed Connective
Tissue Disease, Sindrom
Sjogren's
Acquired immunodeficiency
syndrome, mononukleosis,
hepatitis, influenza dan setelah
vaksinasi
Trypanosomiasis, kala azar,
malaria, schistomiasis, filariasis
Tuberkulosis, leprosi, sifilis,
brucelosis, infektif endokarditis,
salmonelosis
Pasca radiasi atau kemoterapi,
purpura
hipergammaglobulinemia,
kryoglobulinemia, penyakit hati
kronik,penyakitparukronik

lnfeksi Viral

label 4 Perbandingan
Penyakit Non-reurnatik

Berhubungan

DAN KOMPLEMEN

FR pada Artritis

Artritis
Reumatoid

Reurnatoid dan

Penyakit nonreumatik

Tinggi

Rendah

++

lengkap

tidak lengkap

lgM, lgG, lgA


Sinovium dan
ternpat
ekstravaskular
lainnya

terutama lgM
tidak jelas, tetapi
bukan pada
daerah sinovial.

lain dari autoantibodi dengan afinitas rendah dengan ciriciri unik yang membawakan sifat patogeniknya dalam
situasi khusus. Memang secara teoritis, hadimya faktor
ini, justru menunjukkan salah satu kegagalan sistem imun
tubuh dalam menangani infiltrasi benda asing secara
tuntas.
Antibodi yang mula pertama dilepaskan temyata tidak
mampu menetralkan benda asing yang masuk. Upaya
tubuh ~enyelesaikan masalah karena kegagalan
pengenalan diri, justru melahirkan antigen-antigen barn,
akibatnya timbul perkembangan barn, sebagai reaksi
terhadap kenyataan tersebut, dengan membentuk zat antiantibodi yang dikenal dengan sebutan FR.

KEMAKNAAN KLINIK
Faktor r eumatoid lgM. Klas ini sepertijuga antibodi IgM
lainnya, bersifat multivalen yang karenanya memiliki daya
aglutinator yang kuat terhadap partikel-partikel yang
terbungkus oleh antigen yang bersangkutan. Faktor ini

2467

kemungkinan meningkatkan efek biologik kompleks imun


yang berinteraksi lemah dan menekan efek kompleks imun
yang berinteraksi kuat.
Antibodi inijuga akan mengendapkan agregat IgG; baik
dalam bentuk larutan ataupun dalam bentuk gel. Lebih
sering terjadi, antibodi ini bergabung dengan IgG
monomerik membentuk kompleks yang larut, yang dapat
diperlihatkan dalam banyak serum AR melalui cara
ultrasentrifugal.
Perubahan titer FR selama perjalanan penyakit tidak
memberi m~kna apapun bagi penyakit yang bersangkutan.
Walaupun suatu obat berhasil menurunkan titer FR sampai
pada keadaan menjadi seronegatif tetapi dapat kembali
menjadi seropositifwalaupun secara klinik menunjukkan
adanya pemulihan.
Titer FR yang tinggi pada AR mengindikasikan
prognosis buruk dan kecenderungan manifestasi ekstra
artikuler.
Faktor reumatoid IgG Antibodi ini terdapat berlebihan
dalam serum, terutama cairan sendi dari banyak pasien
dengan AR berat. Konsentrasi IgG yang tinggi dalam
serum dan kecenderungan antibodi ini untuk bergabung
sendiri,daripadabergabungdengan agregat lgG; justru akan
menyulitkan pengenalannya.
Pada prinsipnya FR-lgG ini, dapat dikenal dengan profil
sedimentasinya yang tersendiri sebagai kompleks
intermediate dalam analisis ultrasentrifugal. Teknik
pengenalan antibodi ini telah dikembangkan secara
khusus oleh Feltkamp dkk dengan imunofluoresensi tidak
langsung. Sebelumnya memang banyak cara telah
diperkenalkan tetapi praktis tidak dapat dilakukan secara
rutin ataupun dengan cara radio-imun yang ternyata
laborious, demikianjuga teknik Elisa.
Teknik yang diungkapkan oleh Feltkam ini amat
sederhana yaitu kaca benda yang telah berisi hapusan
suspensi eritrosit 10% golongan darah 0, diinkubasi
dengan serum kelinci anti eritrosit, kemudian dengan l /10
serum pasien ataupun serum kelola. Akhimya dibubuhi
dengan konyugat serum kelinci anti IgG. Kalau yang
hendak diteksi FR dari klas lgA tentu saja digunakan
konyugat serum kelinci anti IgA. Adanya IgG-FR dalam
jumlah besar justru membawa implikasi yang lebih serius
dibanding IgM-FR. Para ahli menemukan IgG-FR dalam
60% serum pasien reumatoid vaskulitis dan hanya 9% pada
pasien AR. Ditemukan hubungan kuat antara menurunya
kadar lgG-FR dan respons pengobatan dari vaskulitis.
Evaluasi kompleks imun (IgG-FR) yang dideteksi
dengan Clq dan FR berkorelasi lemah dengan gambaran
klinik yang didapat, demikianjuga IgM dan lgA-FR Titer
IgG-FR yang tinggi, dikaitkan dengan kejadian vaskulitis
nekrotikan.dan justeru membawa implikasi yang lebih
serius dibanding IgM-FR.
Faktor reumatoid IgA. Mengenai antibodidari klas IgA, di
samping dengan cara tersebut di atas, juga dapat

2468

ditunjukkan dengan cara imuno-elektroforesis


dan
imunoabsorbsi kuantitatif. Di samping terdapat dalam
serum, juga dapat ditemukan dalam saliva.
Kepentingan pemeriksaan
antibodi ini masih
dipertanyakan, karena itu belum dapat dilakukan secara
rutin, namun faktor ini belum banyak dipelajari karena
dipertanyakan nilai kliniknya. Koopman dkkmenemukan
bahwa polimer lgA-FR dibuat oleh sel-sel plasma sinovial
secara in vitro dan produksinya relatif tidak sensitif
terhadap efek stimulasi dari zat-zat mitogenik. Kenyataan
ini menunjukkan perbedaan yang jelas antara sistesis
IgA-FR dan IgM-FR. Dalam hal ini dipertanyakan apakah
perbedaan itu mempunyai arti penting secara klinik pada
pasienAR.
Faktor reumatoid IgE. Faktor ini hanya ditemukan dalam
jumlah kecil (50-600 ng/cc). Zuraw dkk menemukan
peningkatan kadar faktor ini pada 18 dari 20 pasien AR
seropositif. Karena kompleks imun IgE dapat melepaskan
histamin dam mediator-mediator lainnya dari sel-sel mastosit
maka kemungkinan bahwa faktor ini mungkin berperanan
dalam memicu terjadinya vaskulitis reumatoid dengan
meningkatkan deposit kompleks lgG dalam dinding
pembuluh darah.

TEKNIK ANALISIS
Cara yang paling mudah dalam mengukur IgM-FR ialah
teknik aglutinasi yaitu cara non imunologik menggunakan
lateks dan cara imunologik menggunakan sel darah
biri-biri. Baik lateks ataupun sel darah biri-biri ini
dimaksudkan sebagai perantara/amboseptor
yang
memungkinkan pemunculan ikatan antigen antibodi.
Untuk mendapatkan konsistensi hasil pemeriksaan
maka perlu digunakan gabungan serum positif kuat dan
serum positif lemah yang telah diketahui titemya sebagai
kontrol kualitas internal. Idealnya ialah merujuk dua kontrol
sera dari WHO sehingga pengukurannya
dapat
diseragamkan dalam hitungan unit intemasional.

PEMERIKSAAN AUTOANTIBODI

...
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya
dengan berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik
atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat lebih nyata
pada penyakit-penyakit
otoimun termasuk di dalamnya
kelompok penyakit reumatik otoimun seperti Systemic
Lupus Erythematosus (SLE), Rheumatoid arthritis (RA),
sindrom Sjogren dan sebagainya.
Proses patologik yang terjadi berkatan erat dengan
adanya kompleks ( oto )antigen ( oto )antibodi yang
keberadaannya dapat menimbulkan berbagai masalah yang
seius. Perkembangan yang pesat terhadap deteksi antibodi
membawa pengaruh terhadap fungsi pemeriksaan antibodi.

Adanya antibodi termasuk otoantibodi sering dipakai


dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun
evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
Menjadi suatu pertanyaan sejauh mana peran pemeriksaan
otoantibodi atau antibodi secara umum dalam proses
patogenik penyakit reumatik.
Pembentukan otoantibodi cukup kompleks dan belum
ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara utuh
mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya
dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir,
dikatakan terdapat kekacauan dalam sistem toleransi imun
dengan sentralnya pada T-helper dan melahirkan banyak
hipotesis, antara lain modifikasi otoantigen, kemiripan atau
mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross
reactivepeptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass
idiotipik, aktivasi poliklonal dan sebaginya. Mekanisme
lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan
mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke
peripher. Kekacauan ini semakin besar kesempatan
terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya usia seseorang.
Otoantibodi relatif mudah ditemukan pada seseorang
tanpa disertai penyakit otoimun. Tentunya hal tersebut
harus ditunjang oleh sensitivitas pemeriksaan labaoratoriwn
yang tinggi. Apabila demikian maka otoantibodi dapat
ditemukan secara universal sebagai mekanisme normal di
dalam badan terhadap produk sel. Dengan kata lain
otoantibodi dapat merupakan hal fisiologik. Dari sudut
pemeriksaan laboratorium, adanya anggapan demikian
menimbulkan dua hal yang dapat menjadi hambatan dalam
terapan imunologik klinik. Dasarnya adalah, pertama,
otoantibodi dapat ditemukan dalam serum orang normal
tanpa manifestasi penyakit. Umumnya otoantibodi terse but
berada dalam titer rendah dan memiliki afinitas buruk
terhadap antigen yang berkesuaian, serta sebagian besar
tergolong imunoglobulin M. Kedua, deteksi otoantibodi
pada umumnya memerlukan data empirik dalam hal ambang
batas nilai positif. Dengan kata lain apabila nilai terukur
berada di atas ambang tersebut baru dikatakan memiliki
kemaknaan klinis.
Umumnya otoantibodi itu sendiri tidak segera
menyebabkan penyakit. Oleh karenanya, lebih baik
otoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses
patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang
dapat naik atau turun dapat berkaitan dengan aktivitas
penyakit atau sebagai basil intervensi terapi. Kompleks (
oto )antigen dan otoantibodilah yang akan memulai
rangkaian penyakit otoimun. Hingga saat ini hipotesis
yang dianut adalah otoantibodi baru dikatakan
memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit
reumatik otoimun apabila ia berperan dalam proses
patologiknya.
Otoantibodi yang terbentuk terhadap suatu antigen
dapat dimiliki oleh sejumlah penyakit yang berbeda dan
yang demikian itu dikenal sebagai antibodi yang tidak
spesifik. Salah satunya yang dapat dikelompokkan pada

PEMERIKSAAN CPR, FAKTOR REUMATOID,AUl'OANT1BODI DAN KOMPLEMEN

otoantibodi ini adalah anti nuclear antibody (ANA).


Ditemukannya satu jenis antibodi terhadap satu jenis
penyakit reumatik otoimun saja merupakan harapan dari
banyak ahli. Namun hal ini masih jauh dari kenyataan karena
adanya tumpang tindih berbagai penyakit yang
mendasarinya, serta besarnya kemaknaan klinis suatu
otoantibodi. Sayangnya disinilah letak kebanyakan
keterbatasan pemeriksaan otoantibodi.

AntibodiAntinuklear(ANA)
Antinuklear antibodi merupakan suatu kelompok
autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan
nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease
seperti SLE, sklerosis sistemik, mixed connective tissue
diasease (MCTD) dan sindrom sjogren's primer. ANA
pertama kali ditemukan oleh Hargraves pada tahun 1948
pada sumsum tulang pasien SLE. Dengan perkembangan
pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitasANA
yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein(nRNP), Ro/
SS-A dan La/SS-B.ANA dapat diperiksa dengan
menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan
sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue
disease.Dengan pemeriksaan yang baik, 99% pasien SLE
menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada pasien
sindrom Sjogrens dan 40% pada pasien skleroderma.ANA
juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.

Antiboditerhadap DNA (AntidsDNA)


Antibodi terhadap DNA dapat digolongkan dalam antibodi
yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded
DNA).Anti dsDNA positif dengan kadar yang tinggi
dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik
dan prognostik. Kadar anti dsDNA yang rendah
ditemukan pada sindrom Sjogrens, artritis reumatoid.
Peningkatan kadar anti dsDNA menunjukkan peningkatan
aktivitas penyakit. Pada SLE,anti dsDNA mempunyai
korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktivitas
penyakit SLE. Pemeriksaan anti dsDNA dilakukan dengan
metoderadioimmunoassay,
ELISA dan C.luciliae
immunofluoresens.

Antihiston(Nukleosom)
Antibodi antihiston merupakan suatu antibodi terhadap
komponen protein nukleosom yaitu kompleks DNAprotein (suatu substruktur dari inaktifkromatin transkripsi).
Potein histon terdiri dari Hl ,H2A,H2B,H3 dan H4.Antibodi
ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan ELISA, indirect
immunojluoresence atau imunoblot. Pada 50- 70% LES
terdapat antibodi antihiston terutama terhadap protein H 1,
H2B diikuti H2A, H3 serta H4, dan biasanya berhubungan
anti dsDNA. Antibodi inijuga ditemukan pada lupus induksi
obat dan berhubungan dengan anti ssDNA. Antibodi
antihiston juga ditemukan dengan kadar yang rendah pada
artritis reumatoid, artritis reumatoid juvenile, sirosis bilier

2469

primer, hepatitis autoimun, skleroderma, Epstein Barr virus,


penyakit Chagas,
schizofrenia, neuropati sensorik,
gammopati monoklonal dan kanker.

Anti-Ku
Anti-Ku adalah suatu antibodi terhadap antigen Ku yang
terdapat pada kromatin lOS. Anti-Ku terdapat pada
scleroderma-polymyositis overlap syndrome.Anti-Ku juga
ditemukan pada 20-40% serum pasien LES, > 20% pada
pasien hipertensi pulmonal primer dan > 50% serum pasien
penyakit Graves.

AntisnRNP
Anti snRNP adalah suatu auto antibodi terhadap partikel

small nuclear ribocleoprotein dari RNA. Anti-Sm dan anti


Ul snRNP termasuk golongan anti snRNP. Anti Ul snRNP
memiliki hubungan klinis sebagai petanda untuk MCTD
dan dijumpai 30-40% pasien SLE.Anti Sm mempunyai
spesifisitas yang tinggi terhadap SLE (spesifisitas
99% ),walaupun hanya ditemukan pada 20 -30% pasien SLE.

SS-A/anti Ro
Antibodi ini mempuyai spesifisitas yang berbeda terhadap
partikel ribonucleoprotein yaitu partikel ribonucleoprotein
60 kD dan 52 kD. Antibodi Ro ditemukan pada 40-95%
sindroma Sjogren dengan manifestasi ekstraglandular
(keterlibatan neurologis, vaskulitis, anemia, limfopenia,
trombositopenia) dan 40% pasien SLE.

SS-B/anti La
Targen antigen oleh antibodi ini adalah partikel ribonucleoprotein 4 7 kD yang mempunyai peranan dalam proses
terminasi transkripsi RNA polimerase III. Antibodi ini
dijumpai pada 80% pasien sindroma Sjogren, 10% pasien
SLE dan 5% pasien skleroderma

Sci 70 atau Anti Topoisomerase 1


Topoisomerase 1 merupakan antigen yang terdapat dalam
sitoplasma Anti topoisomerase 1 terdapat pada 22-40"/opasien
skleroderma dan 25-75% pasien sklerosis sistemik.Secara
umum anti tropoisomerase 1 merupakan faktorpediktoruntuk
keterlibatan kulit yang difus, lama penyakit atau hubungan
dengan kanker, :fibrosisparu, timbulnya parut (scar) pada jari
jari dan keterlibatanjantung.

Antisentromer
Antibodi antisentromer mempunyai target pada proses
mitosis. Antisentromer ditemukan pada 22-36% pasien
sklerosis sistemik. Antisentromer mempunyai korelasi yang
erat dengan fenomena Raynauds, CREST (Calcinosis,
Raynauds phenomenon,
esophageal dysmotility,
sclerodactily dan telengiectasia)

2470

REUMATOLOGI

PEMERIKSAAN KOMPLEMEN
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang
tidak spesifik.Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam
keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen,
kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai
mediator yang aktif untuk menghancurkanantigen tersebut.
Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang
terdiri dari 20 protein palasma dan bekerja secaraberantai
(self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah
dan fibrinolisis. Komplemen sudah ada dalam serum
neonatal, sebelum dibentuknya IgM. Dalam mobilitas
elektroforesis, termasuk kelompok alfa dan beta globulin.
Komplemen dihasilkan terutama oleh sel hati dan beredar
dalam darah sebagai bentuk yang tidak aktif (prekursor),
bersifat termolabil. Pengaktifan, berlangsung melalui dua
jalur, yaitujalur klasik (imunologik)danjalur altematif(nonimunologik). Kedua jalur berakhir dengan lisis membran
sel atau komplekAg-Ab. Jalur klasik diprakarsai oleh: Clq,
Cir, Cls, C4 dan C2. Sedangkan jalur alternatifnya
dicetuskan oleh properdin, faktor B, faktor D dan C3.
Terminal penghancurkedua jalur tersebut ialah C5-9.
Aktivasi ini, masih diimbangi oleh beberapa protein
pengatur yaitu inhibitor C 1, inaktivator C3b, protein
pengikat C4, dan faktor H. sebagai konsekuensi biologik
dari aktivitas membranolisis ini dilepaskan berbagai
subkomponen dari beberapa komponen yaitu:
Aktivitas kemotaktik oleh C3a, dan Anafilatoksin oleh
C3a dan C5a, yang melepaskan histamin dari basofil
ataupun mastosit dan seritinin dari platelet.
Aktivasi seperti kinin oleh C2 dan C4, yang bekerja
meningkatkan permebilitas vaskular dalam sistem
amplikasihumoral
Memacu fagositosis oleh C3b
Tabel 5. Penyak1t yang
Komplemen

Komplemen
C1q
C1r

C1s C1INH C4'

C2

C3

cs
C6
C7

ca

C9

Berhubungan

dengan Def,siensi

Penya kit
SLE, glomerulonefritis. poikiloderrns
kongenital
SLE, glomerulonefritis, lupus like
syndrome
SLE
SLE,lupus diskoid
SLE,rheumatoid
vasculitis,dermatomyositis,lgA
nephropathy, subacute sclerosing
panecephalitis,scleroderma,sjogrens
syndrome.grave disease
SLE, discoid lupus, polymyositis, HenochSchonlein purpura,Hodgkins
disease,vasculitis,glomerulonefritis,hypog
ammaglobulinemia
Vasculitis, lupus like syndrome,
glomerulonefritis
SLE, infeksi Neisseria
infeksi Neisseria
SLE, rheumatoid arthritis, Raynauds
phenomenon, sclerodactyly, vasculitis,
infeksi Neisseria
SLE ,infeksi Neisseria
infeksi Neisseria

Fagositosis dapat terjadi terhadap kompleks AgAb-C3b, karena pemilikan reseptor C3b pada sel
neutrofil, makrofag, trombosit dan sel B. hal ini
memeperbesar bangunan ikatan kompleks tersebut
sehingga Jebihmempermudah pengenalan benda asing
tersebut yang akhimya mempercepat aksi pembersihan.
Dengan demikian C3b mempunyai efek ganda yaitu di
samping sebagai trigger dalam menggiring proses
penghancuran melalui jalur altematif, juga sebagai
opsonin dalam memacu proses fagositosis.Konsentrasi
C3 dan C4, ditemukanmeningkatdalam cairan saku gusi
dari gingiva yang meradang. Jadi komplemen mampu
menyingkirkankumansetelahbergabungdenganantibodi.
Pada SLE, kadar Cl,C4,C2 dan C3 biasanya rendah,
tetapi pada lupus kutaneus normal.Penurunan kadar
kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE
terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada
pasien dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen
terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.

REFERENSI
Breedveld F. New Insight in the pathogenesis of RA. J. Rheumatol
25; 1998: 3-7.
Cohen A S. Laboratory diagnostic procedures in the rheumatic
diseases. Grune & Stratton, Inc. Sidney, Tokyo 1985.
Dunne J. V, Carson DA, Spiegelberg H, dkk. IgA Rheumatoid factor
in the sera and saliva of patient, with RA and Sjogren syndrom.
Ann. Rheum Dis. 38; 1979: 161.
Edmonds J. Immunological Mechanism and Investigations, in
Rheumatic Disorders Med Int. 1985:896-900
Feltkamp TEW. Immunopathogenese van Rheumatoide arthritis.
Het Medischyaar 1981. Utrech : Scheltme & Holkema, 1980:
452-464.
Klein F, Bronsveld W, Norde W, dkk. A modified Latex Fixation Test
of the detection of Rheumatoid factors. J Clin Path 1979; 32: 90.
H H Chng. Laboratory test, in rheumatic diseases Singapore med J.
1991; 32: 272-275.
Klippel JH, Crofford LJ, Stone JH, Weyand CM in Primer on
Rheumatic Disease 12'h ed,Atlanta,Arthritis Fondation 2001.
Kalim H, Handono K, Arsana PM ed in Basic Imrnuno Rheumatolo gy, Malang, Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, 200
Maddison, P J. the use of the laboratory in diagnostic rheumatology.
Proc 4'h Asean congress of rheumatology Singapore 1993:
117-122.
Monestier. M, Bellon B, Manheimer dkk, Rheumatoid factor Ann N
Y Acad. Sc 475; 1986: 107.
N.G. Suryadhana. dkk Membandingkan
basil lateks dan tes
hemaglutinasi dalam diagnosis penyakit reumatoid arthritis.
Kopapdi V, 1981: hat 1675-1691.
Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Budd RC, Sergent JS in Kelleys
Textbook Of Rheumatology 61h ed,Philadelphia,WB saunders
Company,200 I.
Raitt I. Essential Immunology. Oxford: Blackwell Science. 1997:
399-405
Rose NR. The use of autoantibodies. In. Peter JB, Shoenfeld Y, eds:
Autoantibodies. Elsevier Sciences B.V. 1996: xxvii-xxix

PEMERIKSAANCPR,

FAKTORREUMATOID,AUTOANTIBODI

DAN KOMPLEMEN

Suryadhana N G. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit sendi,


bull Rheumatol ind. 1994; I: 7-11.
Suryadbana N G dan Nasution A R. Mekanisme dan pemeriksaan
imunologi pada penyakit sendi. MKI 1993; 43: 24 - 29.
Suryadhana. dkk Hubungan titer FR dengan keaktifan penyakit.
Kopapdi VI, Jakarta 1984 page 2040-2044
Siegert CE, Daha MR, Tseng CM, Coremans IE, Es LA van, Breedveld
FC. Predictive value of IgG autoantibodies against Clq for
nephritis in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis 1993;
52: 851-6.
Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA in Current Medical
Diagnosis & Treatment 43~ ed, Lange Medical Books/McGrawHill,2004.

2471

Tighe H dan Carson DA. Rheumatoid factors. Dalam : Kelley's.


Textbook pf rheumatology. WB. Saunders Co. Tokyo. 1997 : p
241-249
Tan E M. Role of autoantibodies: Diagnostic markers, immune
system reporters and initiator of pathogenesis. Proceeding 9th
APLAR Congress. Beijing: Chinese Rheumatology Association.
2000: 10-19.
Yanossy. G, Duke 0. Poultier L.W dkk. RA : A Disease of T
Lymfhosyte I Macrophage immunoregulation Lancet 2;
1981:839.

389
NYE RI
Bambang Setiyohadi, Sumariyono, Yoga I. Kasjmir, Harry Isbagio, Handono Kalim

Menurut The International Association for the study of


pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai pengalaman
sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial
akan menyebabkan kerusakan jaringan. Persepsi yang
disebabkan oleh rangsangan yang potensial dapat
menimbulkan kerusakan jaringan disebut nosisepsion.
Nosisepsion merupakan langklah awal proses nyeri.
Reseptor neurologik yang dapat membedakan antara
rangsang nyeri dengan rangsang lain disebut nosiseptor.
Nyeri dapat mengakibatkan impairment dan disabilitas.
Impairment adalah abnormalitas atau hilangnya struktur
atau fungsi anatomik, fisiologik maupun psikologik.
Sedangkan disabilitas adalah hasil dari impairment, yaitu
keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk melakukan
aktivitas yang normal.
Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang
potensial dapat menyebabkan kerusakanjaringan disebut
nosisepsi, yang merupakan tahap awal proses timbulnya
nyeri. Reseptor yang dapat membedakan rangsang noksius
dan non-noksius disebut nosiseptor. Pada manusia,
nosiseptor merupakan terminal yang tidak tediferensiasi
serabut a-delta dan serabut c. Serabut a-delta merupakan
serabut saraf yang dilapisi oleh mielin yang tipis dan
berperarr menerima rangsang mekanik dengan intensitas
menyakitkan, dan disebut juga high-threshold
mechanoreceptors. Sedangkan serabut c merupakan
serabut yang tidak dilapisi mielin.
lntensitas rangsang terendah yang menimbulkan
persepsi nyeri, disebut ambang nyeri. Ambang nyeri
biasanya bersifat tetap, misalnya rangsang panas lebih
dari 50C akan menyebabkan nyeri. Berbeda dengan
ambang nyeri, toleransi nyeri adalah tingkat nyeri tertinggi
yang dapat diterima oleh seseorang. Toleransi nyeri
berbeda-beda antara satu individu dengan individu lain
dan dapat dipengaruhi oleh pengobatan. Dalam praktek

sehari-hari, toleransi nyeri lebih penting dibandingkan


dengan ambang nyeri.

TERMINOLOGI NYERI

Alodinia adalah nyeri yang dirasakan oleh pasien akibat


rangsang non-noksius yang pada orang normal,
tidakenimbulkan nyeri. Nyeri ini biasanya didapatkan pada
pasien dengan berbagai nyeri neuropatik, misalnya
neuralgia pasca herpetik, sindrom nyeri regional kronik
dan neuropati perifer lainnya.
Hiperpatia adalah nyeri yang berlebihan,yang ditimbulkan
oleh rangsang berulang. Kulit pada area hiperpatiabiasanya
tidak sensitif terhadap rangsang yang ringan, tetapi
memberikan respons yang berlebihan pada rangsang
multipel. Kadang-kadang, hiperpatia disebutjuga disestesi
sumasi.
Disestesi adalah adalah parestesi yang nyeri. Keadaan ini
dapat ditemukan pada neuropati perifer alkoholik, atau
neuropati diabetik di tungkai. Disestesi akibat kompresi
nervus femoralis lateralis akan dirasakan pada sisi lateral
tungkai dan disebut meralgia parestetika.
Parestesi adalah rasa seperti tertusukjarum atau titik-titik
yang dapat timbul spontan atau dicetuskan,misalnya ketika
saraftungkai tertekan. Parestesi tidak selalu disertai nyeri;
bila disertai nyeri maka disebut disestesi.
Hipoestesia adalah turunnya sensitifitas terhadap
rangsang nyeri. Area hipoestesia dapat ditimbulkan dengan
infiltrasi anestesi lokal.
Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri pada rangsangan
nyeri yang normal. Secara konsep, analgesia merupakan
kebalikan
dari
alodinia.

2484
Anestesia dolorosa, yaitu nyeri yang timbul di daerah yang
hipoestesi atau daerah yang didesensitisasi.
Neuralgia yaitu nyeri yang timbul di sepanjang distribusi
suatu persarafan. Neuralgia yang timbul di saraf skiatika
atau radiks Sl, disebut Skiatika. Neuralgia yang tersering
adalah neuralgia trigeminal.

sudah tidak ada. Biasanya pasien merasakan rasa seperti


terbakar, seperti tersengat listrik atau alodinia dan
disestesia.
Nyeri psikogenik, yaitu nyeri yang tidak memenuhi kriteria
nyeri somatik dan nyeri neuropatik, dan memenuhi kriteria
untuk depresi atau kelainan psikosomatik.

Nyeri tabetik, yaitu salah satu bentuk nyeri neuropatik


yang timbul sebagai komplikasi dari sifilis
Nyeri sentral, yaitu nyeri yang diduga berasal dari otak
atau medula spinalis, misalnya pada pasien stroke atau
pasca trauma spinal. Nyeri terasa seperti terbakar dan
lokasinya sulit dideskripsikan.
Nyeri pindah (referredpain) adalah nyeri yangdirasakan
ditempat lain, bukan ditempat kerusakan jaringan yang
menyebabkan nyeri. Misalnya nyeri pada infark miokard
yang dirasakan di bahu kiri atau nyeri akibat kolesistitis
yang dirasakan di bahu kanan.

Nyeri somatik
Nyeri nosiseptifi

{
Nyeri viseral

Nyeri
Nyeri neuropatik
Nyeri non-nosiseptif
{
Nyeri psikogenik

Nyeri fantom yaitu nyeri yang dirasakan paada bagian


tubuh yang baru diamputasi; pasien merasakan seolaholah bagian yang diamputasi itu masih ada.
Substansi algogenik adalah substansi yang dilepaskan
oleh jaringan yang rusak atau dapat juga diinjeksi
subkutaneus dari luar, yang dapat mengaktitkan nosiseptor,
misalnya histamin, serotonin, bradikinin, substansi-P, K+,
Prostaglandin. Serotonin, histamin, K+, H+, dan prostaglandin terdapat di jaringan; kinin berada di plasma;
substansi-Pberada di terminal saraf aferen primer; histarnin
berada didalamgranul-granulsel mast, basofildan trombosit
Nyeri akut, yaitu nyeri yang timbul segera setelah
rangsangan dan hilang setelah penyembuhan.
Nyeri kronik, yaitu nyeri yang menetap selama lebih dari
3 bulan walaupun proses penyembuhan sudah selesai.

KLASIFIKASI NYERI
Nyeri nosiseptif, adalah nyeri yang timbul sebagai akibat
perangsangan pada nosiseptor (serabut a-delta dan
serabut-c) oleh rangsang mekanik, termal atau kemikal.
Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non
viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metastatik, nyeri
tulang, nyeri artritik.
Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ viseral,
biasanya akibat distensi organ yang berongga, misalnya
usus, kandung empedu, pankreas, jantung. Nyeri viseral
seringkali diikuti referred pain dan sensasi otonom, seperti
mual dan muntah.
Nyeri neuropatik, timbul akibat iritasi atau trauma pada
saraf. Nyeri seringkali persisten, walaupun penyebabnya

MEKANISME NYERI
Proses nyeri mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus
noxiuos sampai terjadinya pengalaman subyektif nyeri
adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bisa
dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu: transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi.
Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi
nociceptor oleh stimulus noxiuos pada jaringan, yang
kemudian akan mengakibatkan stimulasinosiseptor dimana
disini stimulus noxious tersebut akan dirubah menjadi
postensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi
reseptor. Selanjutnya potensial aksi tersebut akan
ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang
berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi
adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke komu
dorsalis medula spinalis, pada komu dorsalis ini neuron
aferen primer bersinap dengan neuron susunan sarap
pusat. Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik keatas
di medula spinalis menuju batang otak dan talamus.
Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara talamus
dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi
respons persepsi dan afektif yang berhubungan dengan
nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptifptif tidak selalu
menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri
bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptifptif. Terdapat proses
modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri
tersebut, tempat modulasi sinyal yang paling diketahui
adalah pada komu dorsalis medula spinalis. Proses terakhir
adalah persepsi, dimana pesan nyeri di relai menuju ke
otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak
menyenangkan.

2485

NYERI

neuron susunan saraf pusat di komu dorsalis medula


spinalis.

Cortex Th.atamus

- -

:
Anterolateral
fasciculus
spinothalamic
1
spinoreticular
sp llc
non;e5sncepha

Pa
l nenta

Medula Spinalis
Komu dorsalis medula spinalis merupakan relay point
pertama yang membawa informasi sensoris ke otak dari
perifer. Gray matter mengandung badan sel saraf dari
neuron-neuron spinalis dan white matter mengandung
axon yang naik atau turun dari otak. Rexed membagi gray
mattermenjadi 10 lamina.Lamina I - VI terdapatpada komu
dorsalis dan mengandung interneuron yang merelay
informasi sensoris menuju ke otak .
Pada kornu dorsalis serabut aferen nosisepsi
membentuk hubungan dengan neuron-neuron proyeksi
atau intemeuron inhibisi atau eksitasi lokal untuk mengatur
aliran informasi nosisepsi ke pusat yang lebih tinggi.
Terdapat 3 kategori neuron pada kornu dorsalis yaitu
neuron proyeksi, interneuron eksitasi dan interneuron
inhibisi. Neuron proyeksi bertanggung jawab untuk
membawa signal aferen ke pusat yang lebih tinggi, yang
terdiri dari 3 tipe neuron yaitu nocicptive-spesific cells
(NS), low treshold (LT) neuron dan wide dynamic range
(WDR) neuron.

parttoneum

orplwra

NEUROTRANSMITERPADAKORNU DORSALIS
Dorsal root ganglion - - - -

Gambar 1. Mekanisme proses nyeri

Tabel 1. Klasifikasi Neuron


Type

Conduction
velocity
(mis)

Neuron
diameter
(m)

Aa
A~
Ay
Ao
B

60-120
50-70
35-70
5-30
3-30
<3

12-22
4-12
4-12
1-5
1 5-4
< 1.5

Characteristics
Skeletal motor (M)
Touch, vibration, light pressure (M)
lntrafusal proprioception (M)
Primary nociceptive afferent (M)
Autonomic preganglionic (M)
Primary nociceptive afferent (unM)
Autonomic eostganglionic (unM)

,,
Aspek Perifer Nosisepsi
Terdapat 2 tipe serabut sarafaferen primer nosiseptifyaitu
serabut A' dan serabut C. Dua fungsi utama serabut saraf
aferen primer adalah transduksi stimulus dan transmisi
stimulus menuju susunan saraf pusat. Badan sel dari
neuron-neuron ini terdapat pada ganglion radix dorsalis.
Axon dari neuron ini memiliki dua cabang yaitu yang
menuju perifer, yang bagian terminalnya sensitifterhadap
stimulus noxious; dan cabang lainya yang menuju susunan
saraf pusat, dimana kemudian akan bersinap dengan

Terdapat banyak neurotransmiter yang berperanan pada


proses
nosiseptif di kornu dorsalis. Meskipun
neuropeptida dan asam amino tertentu berperan penting,
tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan adanya
neurotransmiter tunggal untuk nyeri. Distribusi dari
neuropeptida ini bisa berbeda di antara beberapajaringan.
Misalnya neuron radix dorsalis yang menginervasi viseral
umunmnya umumnya kaya akan substansi P dan CGRP
dibanding dengan yang menginervasi kulit. Stimulus
noxious akan mencetuskan pelepasan glutamat dan dan
beberapa asam amino lain yang terdapat bersama-sama
peptida pada terminal aferen primer.
Glutamat dan aspartat adalah neurotransmiter utama
dalam exitatory transmission pada tingkat spinal. Bahan
ini disimpan pada terminal aferen primer nosiseptor dan
dilepaskan sebagai respons terhadap aktivitas nosiseptif.
Terdapat banyak neurotransmiter inhibitor yang
memodulasi nosisepsi di segmen kornu dorsalis, seperti
somatostatin, GABA, adenosin, alfa 2 adrenergik, taurin
dan endocanabinoid.
Dari Medula SpinalisMenuju ke Otak
Sinyal nosiseptif yang menuju ke kornu dorsalis di relay
menuju pusat yang lebih tinggi di otak melalui beberapa
jalur yaitu traktus spinotalamikus, yang merupakan jalur
nyeri utama; traktus spinoretikularis dan traktus
spinomesencephalic

2486
Di TingkatOtak
Terdapat beberapa nukleus pada talamus lateral yaitu
nukleus ventral posterior lateral, nukleus ventral
posterior medial, nukleus ventral posterior inferior dan
bagian posterior dari nucleus ventromedial; serta di daerah
medial talamus yaitu talamus centrolateral, bagian
ventrocaudal dari nukleus dorsomedial dan nukleus para
fasikular yang berperanan pada proses nyeri. Didaerah
kortex cerebri yang memiliki fungsi nosisepsi adalah
korteks somatosensor primer, somatosensor sekunder serta
daerah disekitamya di parietal operculum, insula, anterior
cingulate cortex dan korteks prefrontal.

MODULASI NOSISEPTIF
Terdapat beberapa tempat modulasi nyeri, tetapi yang
paling banyak diketahui adalah pada komu dorsalis medula
spinalis. Eksitabilitas neuron-neuron di medula spinalis
tergantung dari keseimbangan dari input yang berasal dari
nosiseptor aferen primer, neuron intrinsik medula spinalis
dan descending system yang berasal dari supra spinal.

KONTROL SEGMENTAL(SPINAL)
Modulasi pada tingkat spinal aktivitas nosiseptif
melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental,
keseimbangan aktivitas antara input nosiseptif dan input
aferen lainya serta descending control mechanism.
Reseptor opioid merupakan tempat kunci dalam
analgesia. Mekanisme analgesi utama dari opioid adalah
melalui inhibisi presinap dari injury-evoked neurotransmitter release dari neuron nosiseptif aferen primer (lebih
dari 70% dari total OP3 (Y.) receptor site terdapat pada
terminal aferen primer). Opioid endogen tampaknya juga
menyebabkan inhibisi postsinap neuron nociresponsive
komu dorsalis. Transmisi input nosiseptif pada medula
spinalis bisa dihambat oleh aktivitas segmental dan
aktivitas neuron descenden dari pusat supraspinal. GABA
dan glisin berperan penting pada inhibisi segmental nyeri
di medula spinalis. GABA memodulasi transmisi aferen
informasi nosiseptif melalui mekanisme presinap dan
postsinap. Konsentrasi terbesar GABA adalah pada kornu
dorsalis, dimana disini merupakan neurotransmiter inhibisi
utama. Mekanisme modulasi informasi nosiseptif glisin di
kornu dorsalis adalah melalui inhibisi postsinap.

REUMATOLOGI

serabut A dan serabut C. TENS untuk menghilangkan


nyeri didasarkan pada teori ini.
KontrolSupraspinal/OescendinCgontrol
Kontrol nyeri supraspinal melalui dua jalur yang berasal
dari midbrain (periaqueductal gray matter dan locus
ceruleus) dan medula oblongata(nucleus raphe magnus
dan nukleus reticularis giganto cellularis). Sistem modulasi
nyeri ini menuju medula spinalis melalui funikulus dorsolateral. Neuron-neuron di rostroventral medula oblongata
membuat koneksi inhibisi pada komu dorsalis lamina I, II
dan V. Sehingga stimulasi neuron di rostroventral medula
oblongata akan menghambat neuron-neuron komu dorsalis neuron-neuron traktus spinotalamikus yang
memberikan respons stimulasi noxious. Serabut desenden
lain yang berasal dari medula oblongata dan pons juga
berakhir pada komu dorsalis superfisial dan menekan
aktivitas
nosiseptif
neuron
kornu
dorsalis.
Neurotransmiter utama yang berperanan pada descendingpain control ini adalah serotonin ( 5-hydroxytryptamine,
5 HT) dan norepineprin (noradrenalin). Neuron-neuron
serotoninergik dan noradrenergik hmm melalui funikulus
dorsolateral dari batang otak menuju medula spinalis dan
berakhir pada komu dorsalis, sangat berperanan pada
modulasi nyeri. Aktivasi Reseptor 2 adrenergik akan
mengakibatkan antinosisepsi. Sejumlah subtipe reseptor
serotoninergik telah diketahui di medula spinalis dan
berberanan dalam transmisi nyeri. Stimulasi elektrik pada
daerah periaqueductal dan nukleus raphe magnus akan
mengakibatkan analgesia melalui pelepasan serotonin dan
norepineprin endogen.
C-fiber

Inhibitory
interneuron

Aa/A~fiber

Gate ControlTheory
Aktivitas neuron di medula spinalis yang menerima input
dari serabut nosiseptif dapat dimodifikasi oleh input dari
neuron aferen non-nosiseptif. Konsep ini diperkenalkan
oleh Melzac dan Wall pada 1965 sebagai gate control
theory. Menurut teori ini aktivitas pada serabut aferen A~
menghambat respons neuron komu dorsalis dari input

Gambar 2. Teori gate control

NYERI INFLAMASI
Pada proses inflamasi, misalnya pada artritis, proses nyeri
terjadi karena stimulus nosiseptor akibat pembebasan

2487

NYERI

berbagai mediator bikomiawi selama proses inflamasi


terjadi. Inflamasiterjadi akibatrangkaian reaksi imunologik
yang dimulai oleh adanya antigen yang kemudian diproses
oleh antigen presenting cells (APC) yang kemudian akan
diekskresikan ke permukaan sel dengan determinan HLA
yang sesuai. Antigen yang diekspresikan tersebut akan
diikat oleh sel T melalui reseptor sel T pada permukaan sel
T membentuk kompleks trimolekuler. Kompleks
trimolekuler tersebut akan mencetuskan rangkaian reaksi
imunologik dengan pelepasan berbagai sitokin (IL-I, IL-2)
sehingga terjadi aktifasi, mitosis dan proliferasi sel T
tersebut. Sel T yang teraktifasi juga akan menghasilkan
berbagai limfokin dan mediator inflamasi yang bekerja
merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas
fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi
sel B untuk memproduksi antibodi.
Setelah berikatan dengan antigen, antibodi yang
dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan
menendap pada organ target dan mengaktifkan sel radang
untuk melakukan fagositosis yang diikuti oleh pembebasan
metabolit asam arakidonat, radikal oksigen bebas, enzim
protease yang pada akhimya akan menyebabkan kerusakan
pada organ target tersebut.
Kompleks imun juga dapat mengaktifasi sistem
komplemen dan membebaskan komponen aktif seperti C3a
dan C5a yang merangsang sel mast dan trombosit untuk
membebaskan amina vasoaktif sehingga timbul
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.
Selain itu komponen komplemen C5ajuga mempunyai efek
kemotaktik sehingga sel-sel polimorfonuklear dan
mononuklear akan berdatangan ke daerah inflamasi.
Sejak tahun 1971,telah diuketahuibahwa produukjalur
siklooksigenase (COX) metabolisme asam arakidonat
mempunyai peranan yang besar pada proses inflamasi.
Terdapat 2 isoformjalur COX yang disebut COX-l dan
COX-2. Jalur COX-l mempunyai fungsi fisiologis yang
aktifasinya akan membebaskan eikosanoid yang terlibat
dalam proses fisiologis sepeerti prostasiklin, tromboksanA 2 danprostaglandin-E 2(PGE2). Sebaliknya,jalur COX-2
akan menghasilkanprostaglandin proinflamatif yang akan
bekerj asama dengan berbagai enzim protease dan
mediator inflamasi lainnya dalam proses inflamasi.
Dalam proses inflamasi, berbagai jenis prostaglandin
seperti PGEI' PGE2, PGI2, PGD2 dan PGA2, dapat
menimbulkan vasodilatasi dan demam. Di antara berbagai
jenis prostaglandin tersebut, PGI2, merupakan vasodilator
terkuat.
Peranan prostaglandin dalam menimbulkan nyeri pada
proses inflamasi temyata lebih kompleks. Pemberian PGE
pada binatang percobaan tidak terbukti dapat
memprovokasi nyeri secara langsung, tetapi harus ada
kerjasama sinergistik dengan mediator inflamasi yang lain
seperti histamin dan bradikinin.
Selain itu, tidak terdapat bukti yang kuat bahwa prostaglandin dapat menimbulkan kerusakan jaringan secara

langsung. Sebagian kerusakan jaringan pada proses


inflamasi disebabkan oleh radikal hidroksil bebas yang
terbentuk selama konversi enzimatik dari PGG2 menjadi
PGH2 atau pada proses fagositosis.
Pada proses inflamasi, terjadi interaksi 4 sistem yaitu
sistem pembekuan darah, sistem kinin, sistem fibrinolisis
dan sistem komplemen, yang akan membebaskan berbagai
protein inflamatif baik amin vasoaktif maupun zat
kemotaktik yang akan menarik lebih banyak sel radang ke
daerah inflamasi.
Pada proses fagositosis oleh sel polimorfonuklear,
terjadi peningkatan konsumsi 02 dan produksi radikal
oksigen bebas seperti anion superoksida (02-) dan
hidrogen peroksida (Hp2). Kedua radikal oksigen bebas
ini akan membentuk radikal hidroksil reaktif yang dapat
menyebabkan depolimerisasi hialuronat sehingga dapat
merusakrawansendidan menurunkanviskositascairansendi.-

NYERI PSIKOGENIK

Nyeri dapat merupakan keluhan utama berbagai kelainan


psikiatrik, psikosomatik dan depresi terselubung. Pasien
nyeri kronik akibat trauma yang berat, misalnya kecelakaan,
peperangan dan sebagainya, seringkali mennjukkan
gambaran posttraumatic stress disorder, dimana pasien
selalu merasa dirinya sakit walaupun secara medik kelainan
fisiknya sudah sembuh. Dalam hal ini, pasien hams
diyakinkanbahwa keadaan psikologik ini sering terjadi dan
dia harus berusaha untuk mengatasinya dengan baik
karena keadaan fisiknya sebenamya sudah sembuh.
Nyeri pada merupakan salah satu bentuk kelainan
psikosomatik, dimana pasien mengekspresikan konflik
yang tidak disadarinya sebagai keluhan fisik. Keluhan ini
dapat sedemikian beratnya sehingga mempengaruhi
aktivitas sehari-harinya, termasuk pekerjaannya, aktivitas
sosialnya dan hubungan interpersonalnya. Biasanya
pasien akan merasa selalu sakit dan membutuhkan
perhatian medik mengenai penyakitnya. Pasien dengan
nyeri psikosomatik akan mengeluh nyeri pada satu bagian
tubuhnya atau lebih sedemikian beratnya sehingga
membutuhkan perhatian dokter. Keluhan nyeri ini sangat
menonjol dan tampak bahwa faktor-faktor psikologik akan
sangat mempengaruhi timbulnya nyeri, perjalanan
penyakit dan eksaserbasi nyerinya, tetapi hal ini tidak
disadari oleh pasien dan selalu akan disangkal sehingga
sangat menyulitkan pengobatan. Pasien akhimya akan
tergantung pada berbagai obat analgesik, apalagi bila
psikoterapi tidak berhasil atau diabaikan.

DEPRESI PADA NYERI KRONIK

Secara tradisional perbedaan nyeri akut dan kronik


didasarkan pada interval waktu sejak mulainya nyeri, ada

2488
yang menyebutkan 3 bulan dan ada yang menyebutkan 6
bulan sejak mulainya nyeri digunakan sebagai batas nyeri
akut dan kronik. Batasan lain nyeri kronik adalah nyeri
yang terus berlangsung melebihi periode penyembuhan
cedera jaringan. Batasan ini relatiftidak tergantung pada
batasan waktu, tetapi sayangnya berapa lama proses
penyembuhan itu berlangsung masih belum begitu pasti.
Penulis lain mengartikan nyeri kronik sebagai nyeri yang
menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri yang membutuhkan
waktu perbaikan yang lebih lama dari yang seharusnya
atau yang norma.
Nyeri akut biasanya dicetuskan oleh cedera jaringan
tubuh dan aktivasi nociceptor pada tempat kerusakan
jaringan. Secara umum nyeri akut akan berakhir selama
waktu yang singkat dan sembuh bila kelainan yang
mendasari sudah sembuh.
Nyeri kronik biasanya dicetuskan oleh cedera tetapi
mungkin diperberat oleh faktor-faktor yang baik secara
patogenesis maupun fisikjauh dari penyebab aslinya. Pada
nyeri kronik, karena nyeri terus berlangsung tampaknya
faktor lingkungan dan afektif akhimya berinteraksi dengan
kerusakan jaringan, yang berpengaruh pada terjadinya
persistensi nyeri dan perilaku nyeri.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian
depresi pada pasien nyeri kronik dan kejadian nyeri kronik
pada pasien depresi lebih tinggi dibanding populasi umum.
Pada penelitian epidemiologi di Kanada, yang meneliti
prevalensi dan korelasi depresi mayor pada pasien nyeri
pinggang kronik didapatkan bahwa depresi mayor 5,9%
pada populasi yang tidak nyeri dan 19,8% pada populasi
nyeri pinggang kronik6 Pada penelitian inijuga didapatkan
orang-orang dengan nyeri pinggang kronik 6.2 kali
kemungkinan untuk depresi dari pada orang yang tidak
nyeri. Demikianjuga sebaliknya angka kejadian nyeri pada
pasien depresi lebih tinggi (30-60%) dari pada orang yang
tidak depresi. Tetapi penelitian penelitian tersebut tidak
menjelaskan apakah depresi menyebabkan nyeri kronik
atau sebaliknya nyeri kronik yang menyebabkan depresi5
Terdapat beberapa teori yang berusaha menjelaskan
hubungan antara depresi dan nyeri kronik yaitu teori
biologi, psikologi dan sosiologi. Pada makalah ini akan
dibahas mekanisme kaitan nyeri kronik dan depresi dari
sudut pandang teori biologi.

REUMATOLOGI

sensitivitas yang lebih tinggi terhadap stimulus noxious,


dengan kata lain pasien depresi memiliki ambang nyeri
yang lebih rendah. Pada penelitian terdahulu beberapa
penelitianmendukung teori ini, tetapi pada penelitian akhirakhir ini tidak terbukti. Nilai ambang nyeri baik terhadap
stimulus thermal maupun electric didapatkan meningkat
pada pasien depresi. Pada penelitian Lautenbacher dkk
didapatkan bahwa nilai ambang nyeri pasien depresijustru
lebih tinggi dari pada pasien dengan panic disorder
maupun orang sehat.
BiogenicAmine : Serotonin dan Norephineprine
Tingginya variasi hubungan antara tingkat beratnya cedera
dan beratnya nyeri telah diketahui sejak penelitian Henry
Behcer terhadap tentara di Anzio Beach pada perang dunia
ke dua. Sejak th 1970 banyak kemajuan yaitu identifikasi
adanya central nervous system mechanism of
endogenous pain modulaition.
Stimulasi pada rostral ventomedial medulla atau
dorsolateral pontine tegmentum akan mengakibatkan
analgesia pada binatang percobaan dan inhibisi dari
spinal pain transmission. Rostral ventromedial
medulla adalah tempat utama neuron serotoninergik yang
menuju ke komu dorsalis medula spinalis. Dorsolateral
pontine tegmentum merupakan tempat utama neuron
noradrenergik yang menuju kornu dorsalis. Kedua
neurotransmitter ini menghambat nociceptive neuronneuron komu dorsalis.
Terdapat hipotesis bahwa mekanisme analgesia dan
antidepresi obat antidepresan yang memberikan efek
analgesia melalui peningkatan neurotransmisi
serotoninergik dan noradrenergik. Saling ketergantungan
antara sistem opioid dan nonopioid sudah dipikirkan pada
penelitian-penlitian yang menunjukkan peningkatan
analgesi opioid bila diberikan antidepresan, dan penurunan
analgesia opioid setelah penurunan serotonin dan
norephineprin. Berdasarkan hat ini tampaknya biogenic
amine berperan sangat penting pada modulasi nyeri
endogen. Oleh karena terdapat deplesi atau gangguan
fungsi biogenic amine seperti serotonin dan norefineprin
pada depresi, maka bisa dipahami bahwa hal ini bisa
berperanan pada pengalaman dan penyampaian rasa nyeri
pada pasien depresi mayor.

Sensitivitas Nyeri

Banyak dibuktikan bahwa pasien-pasien depresi memiliki


lebih banyak keluhan nyeri dari pada yang tanpa depresi.
Beberapapenelitian menujukkanangka kejadiannyeri lebih
tinggi pada pasien depresi dibanding populasi umum. Data
prevalensi depresi di antara pasien klinik nyeri bervariasi,
tergantung metode penilaian dan populasi yang dinilai
yaitu antara I 0%-100%. Sebaliknya keluhan nyeri
didapatkan pada 30-60% pada pasien depresi. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa pasien depresi memiliki

KAJIAN AWAL TERHADAP RASA NYERI

Terdapat beberapa hal penting yang menjadi dasar kajian


awal terhadap rasa nyeri yang dikeluhkan seorang pasien,
yaitu:
Lokasi Nyeri

Mintalah pada pasien untuk menjelaskan daerah mana


yang merupakan bagian paling nyeri atau sumber nyeri.

2489

NYERI

Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa lokasi


anatomik ini belum tentu sebagai sumber rasa nyeri yang
dikeluhkan pasien. Misalnya pada keluhan nyeri sciatic
yang dirasakan pasien sepanjang tubngkai bagian
belakang, bukanlah lokasi sumber nyeri yang sebenarnya.

Gejala Lain yang Menyertai


Apakah pasien menderita keluhan lainnya di samping rasa
nyeri seperti mual dan muntah, konstipasi,
gatal,
mengantuk atau terlihat bingung, retensio urinae serta
kelemahan?

lntensitas Nyeri

Kesan dan Perencanaan Pengobatan

Pada umunya dipakai rating scale dengan analogi visual


atau dikenal sebagai Visual Analogue Scale (VAS).
Mintalah pasien membuat rating terhadap rasa nyerinya
(0-10) baik yang dirasakan saat ini, kapan nyeri yang
paling buruk dirasakan atau yang paling ringan dan pada
tingkatan mana rasa nyeri masih dapat diterima.

Buatlah kesimpulan akan nyeri yang diderita pasien serta


lakukan pemeriksaan fisik termasuk terhadap tanda-tanda
vital. Evaluasi terhadap pengobatan sebelumnya dan
apakah masih memberikan manfaat dalam mengatasi rasa
nyeri yang diderita pasien atau tidak. Pada bagian ini perlu
dievaluasi pula seberapa jauh pasien memahami akan
masalah nyeri yang dialaminya. Selanjutnya pengobatan
nyeri itu sendiri sebaiknya dikomunikasikan lehih dalam
dengan pasien agar terdapat kesenjangan yang dapat
ditekan sekecil mungkin antara harapan seorang pasien
terhadap pengobatan yang diberikan oleh dokter dan basil
pengobatan sebagai suatu kenyataan. Pada pengobatan
nyeri perlu diingat bahwa pendekatan awal adalah
menggunakan tekhnik yang non invasif, sebagai contoh
menggunakan alat fisioterapi seperti ultra sonic lebih
diutamakan dibandingkan blok saraf dan sebagainya.
Mengenai pemeriksaan fisik nyeri reumatik, maka
diperlukan tekhnik tersendiri guna mendapatkan gambaran
rasa nyeri yang diderita pasien. Terdapat beberapa metoda
untuk mengkaji nyeri tekan, yaitu menggunakan 4-point

Kualitas Nyeri
Gunakan terminologi yang dikemukakan oleh pasien itu
sendiri seperti nyeri tajam, seperti terbakar, seperti tertarik,
nyeri tersayat dan sebagainya.

Awitan Nyeri, Variasi Durasi dan Ritme


Perlu ditanyakan kapan mulai nyeri terjadi, variasi lamanya
kejadian nyeri itu sendiri serta adakah irama atau ritme
terjadinya maupun intensitas nyeri. Apakah nyeri tetap
berada pada lokasi yang diceritakan pasien? Apakah nyeri
menetap atau hilang timbul (breakhtrough pain)?

Cara Pasien Mengungkapan Rasa Nyeri


Perhatikan kata yang diungkapkan untuk menggambarkan
rasa nyeri yang berbeda dari satu pasien ke pasien lainnya
dan tergantung dari pengalaman sebelumnya. Beberapa
kata di bawah ini yang biasanya diungkapkan pasien
berkaitan dengan rasa nyeri, yaitu: aching, stabbing,

tender, tiring, numb, dull, crampy, throbbing, gnawing,


burning, penetrating, miserable, radiating, deep,
shooting, sharp, exhausting, nagging, unbearable,
squeezing dan pressure.
Faktor Pemberat dan yang Meringankan Nyeri
Apa saja yang dapat memperberat rasa nyeri yang diderita
pasien dan faktor apa yang meringankan nyeri hendaklah
ditanyakan kepada pasien tersebut.

Pengaruh nyeri
Dampak nyeri yang perlu ditanyakan adalah seputar
kualitas hidup atau terhadap hal-hal yang lebih spesifik
seperti pengaruhnya terhadap pola tidur, selera makan,
enerji, aktivitas keseharian (activities of the daily living),
hubungan dengan sesama manusia (lebih mudah
tersinggung dan sebagainya) atau bahkan terhadap mood
(sering menangis, marah atau bahkan berupaya bunuh diri),
kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan atau pembicaraan
dan sebagainya.

compression technique, two-point technique, two-thumb


technique, single tuhum pressure technique, dan two
finger technique. Terhadap nyeri gerak umumnya
dilakukan gerakan pasif fleksi ekstensi sesuai dengan batas
lingkup gerak sendi (LGS) dari setiap sendi yang akan
diperiksa.

PENGUKURANNYERI
Kesulitan dalam mengukur rasa nyeri ini disebabkan oleh
tingkat subyektivitas yang tinggi dan tentunya memberikan
perbedaan secara individual. Di samping itu sebagaimana
dikemukakan pada kajian awal terhadap nyeri di atas, belum
terdapat metoda yang baku baik klinis maupun
menggunakan alat atau pemeriksaan yang dapat diterapkan
pada semua jenis nyeri. Sebagai salah satu contoh sulitnya
mengukur nyeri adalah ketidaktepatan
apa yang
dikemukakan oleh pasien, misalnya kesulitan pasien
mendapatkan kata yang tepat dalam mendeskripsikan rasa
nyeri, kebingungan, kesulitan mengingat pengalaman, dan
penyangkalan terhadap intensitas nyeri.
Pengukuran nyeri seyogyanya dilakukan seobyektif
mungkin dan dapat menggunakan beberapa metoda
pengukuran dan terbanyak adalah dengan kwesioner serta
observasi pola perilaku terkait dengan rasa nyeri. Kategori
pengukuran nyeri beragam sekali namun yang termudah

2490

REUMATOLOGI

yaitu: pengukuran nyeri dengan skala kategorikal,


numerikal dan pendekatan multidimensional. Masingmasingpendekatanpengukurannyeri ini memilikikelebihan
dan kekurangan masing-masing serta tingkat obyektifitassubyektifitas berbeda-beda dan area yang menjadi tujuan
pengukuran apakah sensorik saja, apakah mencakup afektif
serta adakah sifat evaluatif dari instrumen dimaksud.
Pengukuran nyeri dapat merupakan pengukuran satu
dimensional saja ( one-dimensional) atau pengukuran
berdimensi ganda (multi-dimensional). Pada pengukuran
satu dimensional umumnya hanya mengukur pada satu
aspek nyeri saja, misalnya seberapa berat rasa nyeri
menggunakan pain rating scale yang dapat berupa
pengukuran kategorikal atau numerikal misalnya visual
analogue scale (VAS). Sedangkan pengukuran multidimensional dimaksudkan tidak hanya terbatas pada aspek
sensorik belaka, namun juga termasuk pengukuran dari
segi afektif atau bahkan prosesd evaluasi nyeri
dimungkinkan oleh metoda ini.
Pengukuran Nyeri secara Kategorikal

Pengukuran nyeri tipe ini disebut sebagai pengukuran satu


dimensi (one dimensional) dan baik pasien maupun dokter
dapat menggunakannya dengan mudah. Umumnya
pengukuran kategorikal ini menempatkan pasien pada
bebeapa kategori yang umum dipakaiyaitu: tidak ada nyeri,
nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri hebat. Satu contoh
kelompok ini yang banyak dipakai adalah verbal rating
scale.
Tidak terdapat nyeri tentunya diartikan pasien sebagai
tidak merasakan rasa nyeri. Sedangkan nyeri ringan
umumnya diartikan sebagai nyeri yang umumnya bersifat
siklik dan tidak mengganggu aktivitas keseharian.
Analgetikum biasanya efektif mengatasi nyeri ringan ini.
Dikatakan nyeri sedang bila nyeri bersifat episodik,
terdapat masa eksaserbasi. Umumnya nyeri masih dapat
ditolerir walaupun pasien membutuhkan analgetikum.
Pengobatan dengan analgetikum ini umumnya tidaklah
menghilangkan nyeri secara total. Rasa nyeri yang terjadi
akan meningkat apabila terjadi peningkatan aktivitas
eseharian atau aktivitas yang tidak biasa dilakukan pasien.
Apabila pasien dalam melakukan aktivitas kesehariannya
merasa nyeri dan rasa nyeri tersebut mengganggu
aktivitasnya maka dikatakan pasien menderita nyeri hebat.
Nyeri hebat tidak dapat diatasi dengan analgetikum
sederhana atau hanya memberikan respons yang minimal.

No
pain
I

Mild
I

Moderate

Severe

Likert pain scale

Worst
possible
pain
I

Kelemahan dari pengukuran nyeri secara kategorikal


ini adalah kecenderungan pasien untuk lebih condong
pada kategori ke arah tengah yaitu nyeri sedang
dibandingkanke arah ringan atau hebat. Juga tidak terdapat
panduan deskripsi rasa nyeri yang memadai.
Pengukuran Nyeri Secara Numerikal Numerical
rating scale (NSR) merupakanpengukurannyeri
dimanakepada pasien dimintakanuntuk memberikan angka
1 sampai 10. Nol diartikan sebagai tidak ada nyeri
sedangkan angka 10 diartikan sebagai rasa nyeri yang
hebat dan tidak tertahankan oleh pasien. Pengukuran ini
lebih mudah dipahami pasien baik bila kepada pasien
tersebut dimintakansecara lisan atau mengisi form kesioner.
Salah satu bentuk yang dianggap oleh sebagian peneliti
tidak identik adalah penggunaan visual analogue scale
atauVAS.
0

10

I
Worst
possible
pain

No
pain

Bentuk di atas dapat diubah menjadi bentuk lain yang


dikenal dengan 11-points box scale dimana angka-angka
diletakkan dalam kotak berjajar serial. Pasien diminta untuk
memberikan tanda silang pada intensitas nyeri yang
dirasakan.

11

I I
1

110 11

Angka O menunjukkan tidak terdapat rasa nyeri


sedangkan 10 menandakan nyeri yang sangat hebat dan
tidak tertahankan.
Visual AnalogueScale
VAS adalah instrumen pengukuran nyeri yang paling
banyak dipakai dalam berbagai studi klinis dan diterapkan
terhadap berbagai jenis nyeri. Metoda pengukuran ini
sebagaimana yang dikembangkan oleh Stevenson KK dan
kawan-kawan dari Pusat Penanganan Nyeri Kanker di
Wisconsin. Terdiri dari satu garis lurus sepanjang 10 cm.
Garis paling kiri menunjukkan tidak ada rasa nyeri sama
sekali, sedangkan garis paling kanan menandakan rasa
nyeri yang paling buruk. Kepada pasien dimintakan untuk
memberikan garis tegak lurus yang menandakan derajat
beratnya nyeri yang dirasakannya. Sebagai contoh bila
pasien tidak merasakan nyeri apapun, maka ia hams
menggariskannya pada ujung sisi kiri dari garis VAS
tersebut. Instrumen VAS ini ndak menggambarkan jenis
rasa nyeri yang dialamai pasien, mislanya shooting pain
dan sebagainya. Jadi sebagaimana pengukuran

2491

NYERI

kategorikal, maka VAS juga mengukur nyeri secara satu


dimensi saja.
Pengukuran dengan VAS pada nilai di bawah 4
dikatakan sebagai nyeri ringan; nilai antara 4-7 dinyatakan
sebagai nyeri sedang dan di atas 7 dianggap sebagai nyeri
hebat.
Visual analogue scale ini memiliki beberapa tipe.
Namun tetap mencerminkan satu dimensipengukurannyeri
saja.
Dua bentuk lagi hampir sama dengan tipe a namun
dalam posisi vertikal serta satu lainnya dibagi menjadi 20
skala interval.
Masih dalam kategori ini terdapat skala pengukran
nyeri yang lebih banyak dipakai pada anak-anak dan
dikenal sebagaifaces scale. Intensitas nyeri digambarkan
oleh karikatur wajah dengan berbagai bentuk mulut.
No
pain

Extreme
pain

No
pain1--M-i-ld
No
pain

M_o_d-er_a_t

S_e_v_e-re---1

I Extreme
pain

1----------------il
Extr~n,e
M i I d M o d e tr a Se v e re
pain

No change

Extremal
No
pain 1-S-e_v_e-re----------Sp-lalgin_h_l--1

@@@
Pada skala ini digambarkan garadasi emosional mulai
dari keadaan gembira sampai kesedihan yang dialami
pasien.
Pada dasarnya kedua jenis pengukuran di atas
merupakan pengukuran terhadap skala nyeri (pain scale).
Hingga saat ini terdapat 40 instrurnen yang potensial
dipakai dalam pain scale tersebut. Adapun berbagai
pengukuran nyeri yang sering dijumpai adalah: verbal
rating scale, VAS, numerical rating scale, wisconsin brief
pain questionaire (Dout 1983) yang digunakan untuk
mengukur nyeri pada saat nyeri hebat, berapa lama
bertahan, rerata rasa nyeri dan nyeri saat ini, serta dampak
nyeri pada fungsi dan hasil pengobatan; memorial pain
questionaire (Fishman 1987) berupa kartu dua sisi dimana
salah satu sisi menggambarkan intensitas nyeri dan mood
pasien dan sisi lain merupakan modifikasi Tursky.
Pengukuran Nyeri Secara Multi-dimensional
Pengukuran nyeri dengan cara ini memberikan skala pada

berbagai dimensi yang berbeda-beda. Mislanya skala 3


dimensi yaitu: sensorik, afektif dan evaluatif sebagaimana
terlihat pada salah satu pengukuran yang paling banyak
dipakai untuk pendekatan multi-dimensional ini yaitu the
McGill Pain Questionaire (MPG, Melzack 1975) dalam
bentuk format lengkap atau Short Form (SF-MPQ).McGill
Pain Questionaire di atas membutuhkan waktu sekitar
5-10 menit untuk mengisinya, sedangkan Shortform nya
cukup 2-5 menit saja. Apabila dikaitkan dengan artritis,
maka arthritis impact measurement scales atau AIMS
(Meenan 1980) lah yang umumnya dipakai. AIMS ini
mengukur sembilan skala dimensi berbeda yaitu mulai dari
nyeri, mobilitas, aktivitasfisik, peran sosial, aktivitassosial,
aktivitas hidup keseharian, depresi, ansietas dan
dexterity.
Bentuk-bentuk lain pengukuran nyeri multidimensional adalah: Patient outcome questionare didesain
untuk mengukur beratnya nyeri, intervensi, kepuasan
terhadap kontrol nyeri dan beberapa aspek lain dalam
pengobatan dan pemberian obat; Descriptor differential
scale (Gracey 1988)yang megukur komponen sensorikdan
afektifnyeri meggunakan skala rasio;Integratedpain score
(Ventafridda 1983)yang mengukur baik intensitas maupun
durasi nyeri; Pain perception profile (Tursky 1976) yang
digunakan untuk pengukuran dimensi sensorik, afektif dan
intensitas nyeri; West Haven-Yale multidimensional pain
inventory (Kerns 1985) berupa 52 itens pengukuran nyeri
kronik; Brief pain inventory (cleeland 1994) bagi
pengukuran nyeri kanker, demikian pula halnya dengan
Unmet analgesic needs questionaire dan masih banyak
lagi yang dibuat untuk tujuan pengukuran ini baik pada
pasien dewasa maupun pada pasien anak-anak.
Pengukuran Nyeri Menggunakan Alat Elektromekanikal atau Alat Mekanis
Dolorimeter merupakan alat mekanis yang dipakai untuk
kwantifikasiambangnyeri baik pada sendi maupunj aringan
lunak. Alat yang paling banyak dipakai adalah Chatillon
dolorimeter yang merupakan bentuk penyempumaan dari
dolorimeter kuno Steinbrocker palpometer dan Hollander
palpameter. Duajenis Chatillon dolorimeter yaitu dengan
tekanan 10 pound dan 20 pound. Angka sepuluh pound
dikemukakan oleh McCarty sebagai tekanan maksimum
ibujari pada pemeriksaan sendi.Analogi ibujari digantikan
dengan rubber stopper setebal 1.5 cm pada alat tersebut.
Selanjutnya alat ini memiliki pula pegas lingkar dan
reading pointer yang akan memberikan pembacaan pada
skala tertentu. Kepada pasien dimintakan untuk
memberitahukan manakala ambang rasa nyeri tercapai
dengan dilakukannya tekanan sebesar 5 pounds per detik
atau 2 kg per detik. Alat serupa dengan tekanan 20 pound
dipakai apabila dengan alat 10 pound terlihat skor yang
rendah. Jenis lain dolorimeter adalah pneumatic pressure
dolorimeter dari Langley.

2492
PENATALAKSANAAN NYERI DENGAN OBATOBATAN
Terapi obat yang efektifuntuk nyeri seharusnya memiliki
risiko relatif rendah, tidak mahal, clan onsetnya cepat. WHO
menganjurkan tiga langkah bertahap dalam penggunaan
analgesik. Langkah l digunakan untuk nyeri ringan dan
sedang, adalah obat golongan non opioid seperti aspirin,
asetaminofen, atau AINS, ini diberikan tanpa obat
tambahan lain. Jika nyeri masih menetap atau meningkat,
langkah 2 ditambah dengan opioid, untuk non opioid
diberikan dengan atau tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri
terus-menerus atau intensif, langkah 3 meningkatkan dosis
potensi opioid atau dosisnya sementara dilanjutkan non
opioid dan obat tambahan lain.
Dosis pengobatan harus dijadwal secara teratur untuk
memelihara kadar obat dan mencegah kambuhnya nyeri.
Dosis tambahan yang onsetnya cepat dan durasinya
pendek, digunakan untuk nyeri yang menyerang tiba-tiba.
Obat-Obatan Untuk Nyeri RinganSampai Sedang
Banyak orang dapat mengelola sakit dan nyeri dengan
analgesik OTC, termasuk aspirin, asetaminofen, dan
ibuprofen atau naproksen pada dosis 200 mg dosis
formulasi. Untuk nyeri yang sedang, salisilat, AINS, atau
asetaminofen dosis yang lebih tinggi sering sudah
memadai, jika tidak dokter dapat meresepkan obat-obatan
seperti kodein atau oksikodon.
Aspirin. Aktivitas aspirin terutama disebabkan oleh
kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin.
Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara
irreversibel (prostaglandin sintetase), senyawa yang
mengkatalisisperubahan asam arakidonatmenjadi senyawa
endoperoksida, pada dosis tepat, obat ini akan menurunkan
pembentukan prostaglandin maupun tromboksanA2 tetapi
tidak leukotrien. Sebagian besar dari dosis anti-inflamasi
aspirin akan cepat dideasetilasi membentuk metabolit aktif
salisilat yang menghambat sintesis prostaglandin secara
reversibelAspirinumumnya digunakansebagai obat pilihan
pertama untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang,
aspirin ini merupakan antipiretik efektif dan agen anti
inflamasi. Efek analgesik dapat dicapai pada dosis yang
lebih rendah dibanding efek anti inflamasinya. Aspirin
tersedia dalam berbagai bentuk sediaan oral, yaitu 81; 325;
dan 500 mg. Biasanya penggunaan 1 atau 2 tablet (325-650
mg) setiap4jam saatdiperlukan,diminumdenganairminum.
Iritasi gastrointestinal dapat dikurangi dengan makanan
dan antasida. Aspirin dalam bentuk enteric coated yang
mana lebih mahal (Ecotrin dan lain-lain) sangat penting
untuk mencegah iritasi lambung tetapi absorbsinya lambat.
Efek samping utama aspirin terutama pada dosis tinggi atau
pemberianjangka panjang adalah iritasi lambung dan pada
pemeriksaan mikroskopik, perdarahan terjadi pada usus.
Kadang-kadang ini menjadi perdarahan gastrointestinal

REUMATOLOGI

masif, biasanya pada peminum berat atau pasien dengan


riwayat ulkus peptik. Alergi aspirin jarang terjadi dan
mungkin bermanifestasi sebagai rinorrhea, polip
nasal, asma, dan sangat jarang terjadi anafilaksis.
Aspirin pada dosis tinggi dapat menghasilkan zat yang
mempengaruhivitamin K, sehinggamemperpanjangwaktu
penggumpalan.
Asetaminofen. Asetaminofenpada dosisyang sama dengan

aspirin(650 mg oral setiap4jam) mempunyaiefek analgetik


dan antipiretik yang sebandingtetapi efek antiinflamasinya
lebih rendah dibanding aspirin. Ini sangat berguna untuk
orang yang tidak dapat mentoleransi aspirin atau pada
gangguan perdarahan dan pada pasien yang mempunyai
risiko Reyes syndrome. Pada setiap dosis tinggi (misal >4
mg/hari pada pemberian jangka panjang, >7 mg/hari
sekaligus) asetaminofen dapat menyebabkan hepatotoksik,
manifestasinya nekrosis hepatis yang ditandai dengan
meningkatnya kadar aminotransferase serum. Toksisitas
dapat terjadipada dosis lebih rendah pada pengguna alkohol
kronik.
Anti Inflamasi Non Steroid. Semua obatAINS merupakan
analgesik, antipiretik dan antiinflamasi yang kerjanya
tergantung dosis. Prinsipnya, obat-obat tersebut digunakan
untuk mengontrol nyeri tingkat sedang pada beberapa
gangguan muskuloskeletal, nyeri menstruasi dan lainnya
terutama keadaan yang bisa sembuh sendiri termasuk
ketidaknyamanan pasca operasi.Aktivitas AINS
menghambat biosintesis prostaglandin. Prostaglandin
adalah famili hormone-like chemicals, beberapa di
antaranya dibentuk karena respons kerusakan jaringan.
Mekanisme yang lazim untuk semua AINS adalah
menginhibisi enzim siklooksigenase (COX). COX ini
diperlukan dalam pembentukan prostaglandin.
Enziminidikenaldalamdua bentuk, COX-1yang melindungi
sel-sel lambungclan intestinalclan COX-2yang terlibatpada
proses inflamasi jaringan, tidak identik dengan
siklooksigenase yang ada pada kebanyakan sel lain di
dalam tubuh (COX-1). Banyak dari obat ini pada
beberapa tingkat, menginhibisi agregasi platelet dan bisa
menyebabkan perdarahan lambung (risiko ini berhubungan
dengan perdarahan traktus gastrointestinal atas 1,5 kali
normal clan insidensilebihtinggi pada pasien berusia lanjut),
kerusakan ginjal (termasuk gagal ginjal akut, penurunan
filtrasi glomerulair, sindroma nefrotik, nekrosis papilaris,
nefritis interstitial, dan asidosis renal tubuler tipe IV),
supresi sumsum tulang, rash, anoreksia, dan nausea.
Kerusakan ginjal lebih sering terjadi pada laki-laki tua,
pengguna diuretik, clan pasien dengan penyakit jantung.
AINS secara umum tidak diberikan pada pasien
yang menerima terapi antikoagulan oral. Keuntungan lain
AINS dibanding aspirin adalah durasi kerjanya yang
lebih lama sehingga frekuensi pemberian lebih
rendah dan kepatuhan pasien lebih baik dan frekuensi
efek samping pada gastrointestinal lebih rendah.

NYERI

Obat-obatan untuk Nyeri Sedang sampai Berat


Opioid analgesik diindikasikan untuk nyeri sedang sampai
berat yang tidak berkurang dengan obat lain. Contohnya
tennasuk nyeri akut pada trauma berat, luka bakar, infark
miokard, batu ureter, pembedahan dan nyeri kronik pada
penyakit progresif seperti AIDS. Opioid efektif, mudah
dititrasi dan mempunyai rasio manfaat-risiko yang baik.
Dosis besar opioid dibutuhkan untuk mengontrol nyeri
jika nyeri berat dan penanganan lebih luas diperlukanjika
nyerinya kronik. Opioid analgesik berguna juga untuk
menangani pasien yang dengan jalan yang lain tidak
berhasil. Terapi opioid yang berkelanjutan seharusnya
didasarkan pada evaluasi dokter terhadap kesimpulan
penanganan (tingkat pengurangan nyeri, perubahan fungsi
fisik dan psikologis, jumlah peresepan, nomor telepon,
kunjungan klinik atau unit kegawatan, rawat inap di rumah
sakit, dan lain-lain).
Pemberian opioid dalam dosis terapi secara berulang
terus-menerus dapat mengakibatkan toleransi
(peningkatan dosis opioid yang dibutuhkan untuk
mendapatkan efek. analgesik yang sama) dan
ketergantungan fisik (gejala putus obat terjadi bila
tiba-tiba opioid dihentikan/ withdrawal syndrome atau
abstinence syndrome, terjadi variasi tingkat dan periode
penggunaan). Toleransi dan ketergantungan fisik
merupakan reaksi fisiologik normal dari terapi opioid dan
jangan dibingungkan dengan adiksi. Adiksi adalah
ketergantungan psikologik karena penyalahgunaan obat
(bervariasi dari manipulasi mencari obat sampai
penggunaan obat terus-menerus dengan tujuan non medis
dengan efek yang merugikan). Pasien dan anggota
keluarga dapat diedukasi tentang perbedaan toleransi,
ketergantungan fisik, serta adiksi dan risiko kecil adiksi
pada penggunaan opioid jangka panjang atau dosis tinggi
untuk mengurangi nyeri.
Contoh obat agonis opioid yang sering digunakan antara
lain:
Morfin Sulfat. Merupakan opioid yang sering diresepkan
dan tersedia dalam beberapa bentuk. Morfin 8-15 mg
subkutan atau intramuskularefektif untuk mengontrolnyeri
berat pada pasien dewasa. Pada infark miokard akut atau
edema pulmo akut terjadi kegagalan vaskular kiri, 2-6 mg
disuntikkan pelan-pelan intravena pada 5 ml cairan satin.
Metadon. Metadon 5-10 mg secara oral tiap 6-8jam sering
digunakan untuk menangani adiksi karena durasi kerjanya
lama.
Kodein (sufat atau fosfat). Kodein sering digunakan
bersama dengan aspirin atau asetaminofen untuk
memperkuat efek analgesiknya. Kodein adalah penekan
batuk yang kuat pada dosis 15-30 mg oral tiap 4 jam.
Oksikodon dan hidrokodon. Obat-obatinidiberikansecara
oral dan diresepkanbersama analgesik Iain.Dosisnya 5-7,5

2493
mg setiap 4-6 jam pada tablet yang mengandung aspirin
325 mg atau 500 mg.
Meperidin. Meperidin 50-150 mg secara oral atau
intramuskulersetiap3-4jam memberikanefekanalgesikyang
sama seperti morfin pada nyeri akut tetapi sebaiknya
dihindari pada nyeri kronik yang berat karena durasi
kerjanya pendek dan pada insufisiensi renal karena
akumulasi toksik metabolit obat ini mencetuskan kejang.
Tramadol. Tramadol adalah analgesik atipikal dengan
gambaranopioiddan non opioid,mempunyaikerja rangkap.
Tramadol dan metabolitnya mengikat reseptor opioid:
tramadol bekerja seperti trisiklik dan antidepresan untuk
memblok pengambilan kembali norepinefrindan serotonin.
Dosisyang dianjurkanadalah50-100mg tiap 4-6jam sampai
dosis total 400 mg/hari (maksimwn 300 mg/haripada pasien
umur 75 tahun atau lebih).
Obatan-obatan Adjuvant untuk Mengontrol Nyeri
Kortikosteroid sangat membantu manajemen nyeri kanker.
Deksametason 16-96 mg/hari secara oral atau intravena
atau prednison 40-100 mg/hari secara oral mempunyai
aktivitas antiinflamasi dan mengurangi edema serebral dan
medula spinalis. Karena obat-obatan ini mempunyai efek
anti emetik dan menstimulasi nafsu makan, ini
menguntungkanuntuk penanganan kakeksia dan anoreksia.
Antikonvulsi (misalnya Fenitoin 300-500 mh/hari per
oral, Carbamazepin 200-1600 mg/hari per oral, Gabapentin
900-1800 mg/hari per oral), antidepresan (misalnya
Amitriptilin atau Desipramin 25-150 mg/hari per oral), dan
anestesi lokal (misalnya Bupivacaine) sangat berguna
pada manajemen nyeri neuropati. Antikonvulsan generasi
baru, Gabapentin (neurontin) meningkatkan kadar
gamaaminobutirat otak, efektif untuk nyeri neuropati secra
Iuas.Neuroleptik(misalnyaMetotrimeprazin40-80 mg/hari
intramuskuler) membantu pada sindroma nyeri kronik
karena mempunyai efek antiemetik dan anti cemas.

PENATALAKSANAAN NYERI DENGAN METODE


YANG LAIN
Macam terapi non obat untuk manajemen nyeri adalah,
Blok Saraf. Blok saraf sederhana dengan anestetik lokal
jangka panjang ditambah suntikan steroid dapat
meringankan nyeri bahu, nyeri dada dan nyeri paha. Blok
pada saraf simpatik dapat membantu untuk mengurangi
nyeriabdomenkronik,nyeripelviskronik dan anginakronik.
Injeksi pada sendi. Injeksi pada sendi menggunakan
steroid dan anestesi Iokal dapat .mengurangi nyeri dan
radangpada sendi spinal.Prosedur inikalau perlu dilakukan
dengan bimbingan sinar X. Prosedur ini juga dapat
meredakannyeri kronik pada sendi panggul dan sendibahu.

2494
TerapiStimulasi
ENS (Trans Cutaneous Electrical Stimulation)
menggunakan bantal khusus yang dihubungkan
dengan mesin kecil yang menghantarkan aliran listrik
lemah ke permukaan kulit dari area nyeri
Akupuntur
ProgramManajemenNyeri dan Bantuan Psikologi
Merupakan program rehabilitasi berdasarkan psikologi
untuk pasien dengan nyeri kronik yang tidak pulih dengan
metode terapi. Program ini bertujuan untuk mengurangi
disabilitas dan distress yang disebabkan oleh nyeri kronik
melaluipengajaran fisik,psikologis dan teknispraktis untuk
memperbaikikualitasnyeri. Programini meliputipemulihan
fisik, penerapan teknik relaksasi, informasi dan edukasi
tentang nyeri dan manajemennya, penatalaksanaan
psikologis dan intervensi (terapi kognitif), bersamaan
dengan pemulihan aktivitas harian secara bertahap.
Pembedaban.Padabeberapakasus,terapibedah diperlukan
untuk mengurangi nyeri kronik. Terapi ini merupakan lini
terakhiryang dilakukanbila semuausaha untuk mengurangi
nyeri gagal.

REUMATOLOGI

REFERENSI
Basbaum A. Anatomy and Physiology of Nociception. In: Kanner R
(ed). Pain Managemen secrets. 9'h ed. Hanley & Belfus Inc.
Philadelphia, 1997:8-12
Bellamy N. Musculoskeletal clinical metrology. London: Kluwer
Academic Publisher. 1993: 65-76 dan 117-134.
Beaulieu P, Rice ASC. Applied physiology of nociception. In :
Rowbotham DJ, Macintyre PE : Clinical pain management,
Acute pain. 2003 : 1-16.
Currie SR, Wang JL. Chronic back pain and major depression in
general Canadian population. Pain 2004 ; 107 :54-60.
Handono K, Kusworini H. Penatalaksanaan nyeri yang rasional.
Kursus penatalaksanaan nyeri. Jakarta 2004 : 3-8.
IASP Task Force on Taxonomy. Merskey H, Bogduk N. Eds.
Classification of chronic pain. Seattle: IASP Press. 1994:
209-214.
Meliala KRT. L. Terapi rasional nyeri, Tinjauan khusus nyeri
neuropatik. 2004.
Sullivan MD, Turk DC. Psychiatric illness, depression, and
psychogenic pain. In : Bonicas, Management of pain. 3rd
edition . 2001 : 483-500.
Turk DC, Okifuji A. Pain terms and taxonomi of pain. In : Bonicas,
Management of pain. 3rd edition. 2001 :17-25

390
ARTRITIS REUMATOID
I Nyoman Suarjana

PENDAHULUAN

Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang


ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif,
dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik
klasik AR adala\ poliartritis simetrik yang terutama
mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain
lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organorgan diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru
dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya
komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal,
keganasan dan adanya komorbiditas. Menegakkan
diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat
menurunkan progresifitas penyakit. Metode terapi yang
dianut saat ini adalah pendekatan piramid terbalik (reverse
pyramid), yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk
menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat
terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi,
deformitas dan disabilitas. Morbiditas dan mortilitas AR
berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi.
Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan
DMARD biologik, memberi harapan baru dalam
penatalaksanaan penderita AR.
~
EPIDEMIOLOGI

Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif


konstan yaitu berkisar antara 0,5 -1 %. Prevalensi yang
tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian
masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%.5 Prevalensi AR di
India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar
0.75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina
prevalensinya kurang dari 0,4%, baik didaerah urban
maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah

mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.2% di daerah rural


dan 0.3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang
dilakukan di Malang pada pendduduk berusia diatas 40
tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten. Di Poliklinik
ReumatologiRSUPN Cipto MangunkusomoJakarta, kasus
baru AR merupakan 4, 1 % dari seluruh kasus baru tahun
2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan
sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan
sebanyak 1.346orang( 15, 1 %) . 8 PrevalensiAR lebihbanyak
ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki
dengan rasio 3 : 1 dan dapat terjadi pada semua kelompok
umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada
dekade keempat dan kelima.

ETIOLOGI

Faktor genetik
Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat
interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap
kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi
penyakit sebesar 60 %. Hubungan gen HLA-DRB 1 dengan
kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun
beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR
sepertidaerah 18q21 dari gen TNFRSRl lAyang mengkode
aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-KB). Gen
ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor
genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena
aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme
methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor
genetik. 9 10 Pada kembar monosigot mempunyai angka
kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30% dan

2496

REUMATOLOGI

pada orang kulit putih dengan AR yang mengekspresikan


HLA-DRI atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian
sebesar 80%.
Hormon sex
Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperanan
dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi
didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR selaina
kehamilan. Perbaikan ini diduga karena : 1. Adanya
aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang
HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop
HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit.
2. Adanyaperubahanprofil hormon. Placental corticotropinreleasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi
dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel
adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap
respon imun selular dan humoral. DHEA merupakan
substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral
(Th2) dan menghambat respon imun selular (Thl). Oleh
karena padaAR respon Thl lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan
terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral
dilaporkanmencegah perkembanganAR atau berhubungan
dengan penurunan insiden AR yang lebih berat.
Faktorinfeksi. Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai
agen penyebab penyakit seperti tampak pada Tabel 1.
Organisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host)
dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga
mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum
ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai
penyebab penyakit.
label 1. Agen lnfeksi yang Diduga sebagai Penyebab
Artritis Reumatoid
Agen infeksi
Mycoplasma
Parvovirus 819
Retrovirus
Enteric bacteria
Mycobacteria
Epstein-Barr Virus
Bacterial cell walls

mempunyai 65% untaian yang homolog. Hipotesisnya


adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen
infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang
limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan
molekul (molecular mimicry)

FAKTOR RISIKO

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan


terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, ada
riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua,
paparan salisilat dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari
tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated mungkin
juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh
dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan
penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR
mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama
kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah
melahirkan.

PATOGENESIS

Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag


dan fibroblas sinovial setelah adanya faktor pencetus,
berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi
daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel,
yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah
pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuanbekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan
yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami
inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus
menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang.
(Gambar1) Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.
(Gambar2dan3).

Mekanisme patogenik
lnfeksi sinovial langsung,
superantigen
lnfeksi sinovial langsung
lnfeksi sinovial langsung
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Kemiripan molekul
Aktifasi makrofag

Protein heat shock(HSP)


HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada
semua spesies sebagai respon terhadap stres. Protein ini
mengandunguntaian (sequence) asam aminohomolog.HSP
tertentu manusia dan HSP mikobakterium tuberkulosis

Gambar 1. Destruksi sendi oleh jaringan pannus

2497

ARTRmS REUMATOID

MHCcta&&
ti
( oenet:IO$l..UIC-ept:ll)ltf1V)

co..._

,c:;iii- ......

01'

Tc.en

B....cU
octJvo:llDn

onnnifa1'1
rhunu:!llpfc;l

~.or

ln-.m1.st
OOTnpllJC
l

ro.nn atton

.and

duioaltlcN

AIO.Cl1N:.t

or

c:vtukln

=t=~t
+

Fll)rObll'l:lli1:9,

Chrondroovt.svnov1.nl 011:1Us

---o--

Prc;tlH.er.n:,IO n

C:'~~-~=Cl:c:;.:.r:~~::--*:::::O

E.Kpr

..

s.lOn

of ad.h~n
rnol. cuJo

Aocv.1nt.(O
I .l10f'I

Of

lnftAJT11natot-y

"""''

p~a,'.;g

.....~,tl-ruu.P.on-n<u-s --r-or-m-a-uo-.,-,.-d----------~---~
esb"ucUon
01 bone. earfllaQe;
flbra-9h!t.; anlcYIOSls
Gambar 2. Patogenesis artritis reumatoid.

fl"toct~'O" OI irnU1Uop,~
~
ottt4tr. aO.aor
mol-.::ut

._.,

MIOfa't.tt>f"I

of

,.._.1vrnots>h.Of'lua~

no

o.JI

Gambar 3. Peran sitokin dalam patogenesis artritis reumatoid

Pera'n sel T
Induksi respon sel T pada artritis reumatoid di awali oleh
interaksi antara reseptor sel T dengan share epitope dari
major histocompatibilitycomplex class II (MHCII-SE) dan
peptida pada antigen-presenting cell (APC) sinovium atau
sistemik. Molekul tambahan (accessory) yang
diekspresikan oleh APC antara lain ICAM-1 (intracellular adhesion molucle-1) (CD54), OX40L (CD252),
inducible costimulator (ICOS) ligand (CD275), B7-l
(CD80) dan B7-2 (CD86), berpartisipasi dalam aktivasi sel
T melalui ikatan dengan lymphocyte function-associated
antigen (LFA)-1 (CD1la/CD18),0X40 (CD134),

ICOS (CD278),and CD28.Fibroblast-likesynoviocytes


(FLS) yang aktif mungkin juga berpartisipasi dalam
presentasi antigen dan mempunyai molekul tambahan
seperti LFA-3 (CD58) dan ALCAM (activated leukocyte
cell adhesion molecule) (CD166) yang berinteraksi dengan
sel T yang mengekspresikan CD2 dan CD6. Interleukin
(IL)-6 dan transforming growth factor-beta (TGF-~)
kebanyakan berasal dari APC aktif, signal pada sel Thl 7
menginduksi pengeluaran 11-17.
IL-1 7 mempunyai efek independen dan sinergistik
dengan sitokin proinflamasi lainnya (TNF-a dan IL-1 ~)
pada sinovium, yang menginduksi pelepasan sitokin,

2498

REUMA10LOGI

produksi metaloproteinase, ekspresi ligan RANK/RANK


(CD265/CD254),dan osteoklastogenesis.InteraksiCD40L
(CD154) denganCD40juga mengakibatkanaktivasimonosit/
makrofag (Mo/Mac) sinovial, FLS, dan sel B. Walaupun
pada kebanyakan penderita AR didapatkan adanya sel T
regulator CD4+-CD25hipada sinovium, tetapi tidak efektif
dalam mengontrol inflamasi dan mungkin di non-aktifkan
olehTNF-a sinovial. IL- IO banyak didapatkanpada cairan
sinovial tetapi efeknyapada regulasi Thi 7 belum diketahui.
Ekspresimolekultambahanpada sel Thi 7 yang tarnpakpada
Gambar 4 adalah perkiraan berdasarkan ekspresi yang
ditemukanpada populasi sel T hewan coba. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk menetukan struktur tersebut
pada subset sel Thl 7 pada sinovium manusia.

morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF juga


bisa mencetuskan stimulus diri sendiri untuk sel B yang
mengakibatkan aktivasi dan presentasi antigen kepada
sel Th, yang pada akhirnya proses ini juga akan
memproduksi RF. Selain itu kompleks imun RF juga
memperantarai aktivasi komplemen, kemudian secara
bersama-sama bergabung dengan reseptor Fcg,
sehingga mencetuskan kaskade inflamasi.
4. Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam
patogenesis AR. Bukti terbaru menunjukkan bahwa
aktivasi ini sangat tergantung kepada adanya sel B.
Berdasarkanmekanismediatas, mengindikasikanbahwa
sel B berperanan penting dalam penyakit AR sehingga
layak dijadikan target dalam terapiAR.

Peran sel B
Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui
secara pasti, meskipun sejumlah peneliti menduga ada
beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B.
Keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui
mekanisme sebagai berikut:
I. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal
kostimulator yang penting untuk clonal expansion dan
fungsi efektor dari sel T CD4+.
2. Sel B dalam membran sinovialARjuga memproduksi
sitokin proinflamasi seperti TNF-a dan kemokin.
3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang
memproduksi faktor reumatoid (RF). AR dengan RF
positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit
artikular yang lebih agresif, mempunyai prevalensi
manifestasi ekstraartikular yang lebih tinggi dan angka

Gambar 5 memperlihatkanperananpotensialsel B dalam


regulasi respon imun pada AR. Se! B mature yang terpapar
oleh antigen dan stimulasi TLR (Toll-like receptor ligand)
akan berdiferensiasi menjadi short-lived plasma cells atau
masuk kedalam reaksi GC (germinal centre) sebingga
berubah menjadi sel B memori dan long-livedplasma cells
yang dapat memproduksi autoantibodi. Autoantibodi
membentuk kompleks imun yang selanjutnya akan
mengaktivasi sistem imun melalui reseptor Fe dan reseptor
komplemen yang terdapat pada sel target. Antigen yang
diproses oleh sel B mature selanjutnya disajikan kepada
sel T sehingga menginduksi diferensiasi sel T efektor untuk
memproduksi sitokin proinflamasi, dimana sitokin ini
diketahui secara langsung maupun tidak langsung terlibat
dalam destruksi tulang dan tulang rawan. Sel B maturejuga
dapat berdiferensiasi menjadi sel B yang memproduksi
IL- IO yang dapat menginduksi respon autoreaktif sel T.

Inductive
(Systemic

Phase

Effector

or Local)

II

Gambar 4. lnteraksi sel Th17 patogenik dalam synovial microenvironment pada artritis reumatoid

Phase

2499

ARTRITIS REUMATOID

T'ole rnnt.
T cells

)
munoco~
TNF"C'L ,.ILIL6. l_f"N-y
II - 17

/ I

Fe

r9cep~r

tnrg-el

COi.t8

Gambar 5. Partisipasi sel B pada artritis reumatoid

MANIFESTASI KUNIS
Awitan (onset)
Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara
perlahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang
lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang
lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa
minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan
fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga diagnosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada 8-15%
penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian
tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh
kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama
satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai
gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan,
anoreksia dan demam ringan.
Manifestasi artikular
PenderitaAR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri
dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga
penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa
sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi
(nyeri,bengkak, kemerahan dan teraba hangat) mungkin
ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan
!_flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin
tidak dijumpai padaAR yang kronik.
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu
adanya inflamasi pada membran sinovial yang
mernbungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena
adalah persendian tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi
persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena.

Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada


presentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan
menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi
deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang
(destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang
yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi
khususnya pada pergelangan tangan dan kaki. Sendi
pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga
sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi
interfalang distal dan sakroiliaka tidak pemah terlibat.
Distribusi sendi yang terlibat pada AR tampak pada
Tabel2.
, Tabel 2. Sendi yang Terlibat pada Artritis Reumatoid
Sendi yang terllbat
Metacarpophalangeal (MCP)
Pergelangan tangan
Proximal interphalangeal (PIP)
Lutut
Metatarsophalangeal (MTP)
Pergelangan kaki (tibiotalar + subtalar)
Bahu
Midfoot (tarsus)
Panggul (Hip)
Siku
Acromioclavicular
Vertebra servikal
Temporomandibular
Sternoclavicular

Frekuensi
keterlibatan (%)

85
80
75
75
75
75
60
60
50
50
50
40
30
30

Manifestasi Ekstraartikular
Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama,

2500
tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga banyak
penderita juga mempunyai manifestasi ekastraartikular.
Manifestasi ekastraartikular pada umumnya didapatkan
pada penderita yang mempunyai titer faktorreumatoid (RF)
serumtinggi. Nodul reumatoidmerupakan manifestasikulit
yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak
memerlukan intervensikhusus.Nodul reumatoid umumnya
ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon
achilles atau bursa olekranon. Nodul reumatoid hanya
ditemukan pada penderita AR dengan faktor reumatoid
positif (sering titemya tinggi) dan mungkin dikelirukan
dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau
nodul yang berhubungan dengan demam reumatik, lepra,
MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis.
Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa
perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi.
Beberapa manifestasi ekstraartikuler seperti vaskulitis dan
Felty syndrome jarang dijumpai, tetapi sering memerlukan
terapi spesifik. Manifestasi ekstraartikular AR dirangkum
dalam Tabel 3.

REUMATOLOGI

Tabel 4. Bentuk-bentuk
Reumatold

Deformitas

Kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon dan


ligamentum) menyebabkan terjadinya deformitas. Bentukbentuk deformitas yang bisa ditemukan pada penderita
AR dirangkum dalarn Tabel 4.

pada

Artritis

Bentuk deforrnitas*

Keterangan

Deformitas leher angsa (swanneck)


Deformitas bouionniere

Hiperekstensi PIP dan


fleksi DIP.
Fleksi PIP dan
hiperekstensi DIP.
Deviasi MCP dan jari-jari
tangan kearah ulna.
Dengan penekanan
manual akan terjadi
pergerakan naik dan turun
dari ulnar styloid, yang
disebabkan oleh rusaknya
sendi radioulnar.
Fleksi dan subluksasi
sendi MCP I dan
hiperekstensi dari sendi
interfalang.
Sendi MCP, PIP, tulang
carpal dan kapsul sendi
mengalami kerusakan
sehingga terjadi instabilitas
sendi dan tangan tampak
mengecil (operetta glass
hancf).
MTP I terdesak kearah
medial dan jempol kaki
mengalami deviasi kearah
luar yang terjadi secara
bilateral.

Deviasi ulna
Deformitas kunci piano (pianokey)

Deformitas Z-thumb

Arthritis mutilans

Hallux valgus
Tabel 3. Manifestasl Ekastraart1kulardari Artritis Reumatoid
Sistem organ
Manifestasi
Demam, anoreksia, kelelahan (fatigue),
Konsntuslonal
kelemahan, limfadenopati
Kulil
Nodul rematoid, accelerated
rheumatoid nodulosis, rheumatoid
vasculitis, pyoderma gangrenosum,
interstitial granulomatosus dermatitis
with arthritis, palisaded neutrophilic dan
granulornatosis dermatitis, rheumatoid
neutrophilic dermatitis, dan adult-onset
Still disease.
Mata
Sjogren syndrome (keratoconjunctivits
sicca), scleritis, episcleritis,
sclerornalacia.
Kardiovaskular
Pericarditis, efusi perikardial,
edokarditis, valvulitis.
Paru-paru
Pleuritis, efusi pleura, interstitial
fibrosis, nodul reumatoid pada paru,
Caplan's syndrome (infiltrat nodular
pada paru dengan pneumoconiosis).
Hematologi
Anemia penyakit kronik, trornbositosis,
eosinofilia, Felty syndrome ( AR
dengan neutropenia dan splenomegali).
Sjogren syndrome (xerostomia),
Gastrointestinal
amyloidosis, vaskulitis.
Entrapment neuropathy,
Neurologi
myelopathy/myositis.
Amyloidosis, renal tubular acidosis,
Ginjal
interstitial nephritis.
Osteoporosis.
Metabolik

Deforrnitas

*Lihat foto artritis reumatoid

KOMPLIKASI

Dokter harus melakukan pemantauan terhadap adanya


komplikasi yang terjadi pada penderita AR. Komplikasi
yang bisa terjadi pada penderita AR dirangkum dalam
Tabel 5 dan Tabel 6.

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK

Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitif untuk


konfirmasi diagnosis AR. TheAmerican College ofRheumato logy Subcommittee on Rheumatoid Arthritis (
ACRSRA)merekomendasikanpemeriksaan laboratorium
dasar untuk evaluasi antara lain : darah perifer lengkap
(complete blood cell count), faktor reumatoid (RF), laju
endap darah atau C-reactive protein (CRP). Pemeriksaan
fungsi hati dan ginjaljuga direkomendasikan karena akan
membantu dalam pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan
RF dan anti-CCP negatif bisa dilanjutkan dengan
pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderitaAR
yang mempunyai risiko tinggi mengalami prognosis buruk.
Pemeriksaanpencitraan (imaging) yang bisa digunakan
untuk menilai penderita AR antara lain foto polos (plain
radiograph) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging).
Pada awal perjalanan penyakit mungkin hanya ditemukan
pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada

2501

ARTRITIS REUMATOID

Tabel 5. Komplikasi yang Bisa Terjadi pada Penderita Artritis Reumatoid


Komplikasi

Keterangan

Anemia

Berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit; 75% penderita AR mengalami anemia karena
penyakit kronik dan 25% penderita tersebut memberikan respon terhadap terapi besi.
Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan; kejadian limfoma dan leukemia
2 -3 kali lebih sering terjadi pada penderita AR; peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid;
penurunan risiko terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan karena penggunaan OAINS.
1/3 penderita AR mungkin mengalami efusi perikardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan;
miokarditis bisa terjadi, baik dengan atau tanpa gejala; blok atrioventrikular jarang ditemukan.
Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas, hati-hati
bila melakukan intubasi endotrakeal; mungkin ditemukan hilangnya lordosis servikal dan
berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6, penyempitan celah sendi pada
foto sevikal lateral. Myelopati bisa terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada ekstremitas
atas dan parestesia.
Episkleritis jarang terjadi.
Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena, terhubungnya bursa dengan kulit.
Umumnya merupakan efek dari terapi AR
Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal; deformitas boutonniere (fleksi PIP dan
hiperekstensi DIP); deformitas swan neck (kebalikan dari deformitas boutonniere); hiperekstensi
dari ibu jari; peningkatan risiko ruptur tendon
Beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain : frozen shoulder, kista popliteal, sindrom
terowongan karpal dan tarsal
Nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan pembentukan lesi kavitas; Bisa ditemukan
inflamasi pada sendi cricoarytenoid dengan gejala suara serak dan nyeri pada laring; pleuritis
ditemukan pada 20% penderita; fibrosis interstitial bisa ditandai dengan adanya ronki pada
pemeriksaan fisik (selengkapnya lihat Tabel 6)
Ditemukan pada 20 -35% penderita AR, biasanya ditemukan pada permukaan ekstensor
ekstremitas atau daerah penekanan lainnya, tetapi bisa juga ditemukan pada daerah sklera, pita
suara, sakrum atau vertebra.
Bentuk kelainannya antara lain : arteritis distal, perikarditis, neuropati perifer, lesi kutaneus,
arteritis organ viscera dan arteritis koroner; terjadi peningkatan risiko pada : penderita perempuan,
titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam DMARD;
berhubungan
dengan
peningkatan
risiko
terjadinya
infark
miokard.

Kanker

Komplikasi kardiak

Penyakit tulang belakang


leher (cervical spine
disease)
Gangguan mata
Pembentukan fistula
Peningkatan infeksi
Deformitas sendi tangan

Deformitas sendi lainnya


Komplikasi pernafasan

Nodul reumatoid

Vaskulitis

PIP= proximal interphalangeal; DIP= distal interphalangeal; RF= rheumatoid factor

Tabel 6. Komplikasi pleuroparenkimal primer dan sekunder dari artritis reumatoid.


Pleural disease

Pleural effusions, Pleural fibrosi


Interstitial lung disease

Usual interstitial pneumonia, Nonspecific interstitial pneumonia, Organizing pneumonia, Lymphocytic interstitial
pneumonia, Diffuse alveolar damage, Acute eosinophilic pneumonia, Apical fibrobullous disease, Amyloid, Rheumatoid
nodules
Pulmonary vascular disease
Pulmonary hypertension, Vasculitis, Diffuse alveolar hemorrhage with capillaritis
Secondary pulmonary complications
Opportunistic infections

Pulmonary tuberculosis, Atypical mycobacterial infections, Nocardiosis, Aspergillosis, Pneumocystis jeroveci


pneumonia, Cytomegalovirus pneumonitis
Drug toxicity
Methotrexate, Gold, D-penicillamin, Sulfasalazin

pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya


penyakit mungkin akan lebih banyak ditemukan kelainan.
Osteopenia juxtaarticular adalah karakteristik untuk AR
dan chronic inflammatory arthritides lainnya. Hilangnya
tulang rawan artikular dan erosi tulang mungkin timbul
setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang
lebih 70% penderitaAR akan mengalamierosi tulang dalam
2 tahun pertama penyakit, dimana ha! ini menandakan
penyakit berjalan secara progresif. Erosi tulang bisa tampak
pada semua sendi, tetapi paling sering ditemukan pada
sendi metacarpophalangeal, metatarsophalangeal dan

pergelangan tangan. Foto polos bermanfaat dalam


membantu menentukan prognosis, menilai kerusakan
sendi secara longitudinal, dan bila diperlukan tempi
pembedahan.PemeriksaanMRI mampumendeteksiadanya
erosi lebih awal bila dibandingkan dengan pemeriksaan
radiografi konvensional dan mampu menampilkan struktur
sendi secara rinci, tetapi membutuhkan biaya yang lebih
tinggi. Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk AR
dirangkum pada Tabel 7 dan perbandingan sensitivitas
dan spesifisitas pemeriksaan autoantibodi pada AR
tampak
pada
Tabel
8.

2502

REUMATOLOGI

Tabel 7. Pemerlksaan Penunjang Diagnostik untuk ArtritisReumatoid


Pemeriksaan penunjang
C-reactive protein (CRP)*
Laju endap darah (LED)*
Hemoglobin/hematokrit*
Jumlah lekosit*
Jumlah trombosit*
Fungsi hati*
Faktor reumatoid (RF)*

Foto polos sendi*

MRI
Anticyc/ic citrullinated peptide
antibody (anti-CCP)
Anti-RA33
Antinuclear antibody (ANA)
Konsentrasi komplemen
lmunoglobulin (lg)
Pemeriksaan cairan sendi
Fungsi ginjal
Urinalisis

Penemuan yang berhubungan


Umumnya meningkat sampai > 0, 7 picogram/ml, bisa digunakan untuk monitor
perjalanan penyakit.
Sering meningkat > 30 mm/jam, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit.
Sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10 g/dl, anemia normokromik, mungkin juga
normositik atau mikrositik
Mungkin meningkat.
Biasanya meningkat.
Normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat.
Hasilnya negatif pada 30% penderita AR stadium dini. Jika pemeriksaan awal negatif
dapat diulang setelah 6 - 12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif
pada beberapa penyakit seperti SLE, skleroderma, sindrom Sjogren's, penyakit
keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus, parasit atau bakteri). Tidak akurat untuk
penilaian perburukan penyakit.
Mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada
stadium dini penyakit. Foto pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk
data dasar, sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya.
Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos,
tampilan struktur sendi lebih rinci.
Berkorelasi dengan perburukan penyakit, sensitivitasnya meningkat bila dikombinasi
dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibandingkan dengan RF. Tidak semua
laboratorium mempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP.
Merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP negatif.
Tidak terlalu bermakna untuk penilaian AR.
Normal atau meningkat.
lg a-1 dan a-2 mungkin meningkat.
Diperlukan bila diagnosis meragukan. Pada AR tidak ditemukan kristal, kultur negatif
dan kadar glukosa rendah
Tidak ada hubungan langsung dengan AR, diperlukan untuk memonitor efek samping
terapi.
Hematuria mikroskopik atau proteinuria bisa ditemukan pada kebanyakan penyakit
jaringan ikat.

* Direkomendasikan untuk evaluasi awal AR

Tabel 8. Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan


Autoantibodp
i ada ArtritisReumatoid
Autoantibodi
RF titer> 20 U/ml
RF titer tinggi (2!
50 U/ml)
Anti-CCP
Anti-RA33
*PPV

Sensitivitas
(%)
55
45

Spesifisitas
(%)
89
96

PPV"
(%)
84
92

41
28

98
90

96
74

= positive predictive value

KRITERIA DIAGNOSTIK
Pada penelitian klinis, AR didiagnosis secara resmi dengan
menggunakan tujuh kriteria dariAmerican CollegeofRheumatology seperti tampak pada Tab el 9. Pada penderita AR
stadium awal ( early) mungkin sulit menegakkan diagnosis
definitif dengan menggunakan kriteria ini. Pada kunjungan
awal, penderita harus ditanyakan tentang derajat nyeri,
durasi dari kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan
fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk
mengamati adanya ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas.
Liao dkk" melakukan modifikasi terhadap kriteria ACR
dengan memasukkan pemeriksaan anti-CCP dan membuang

kriteria nodul reumatoid dan perubahan radiologis,


sehingga jumlah kriteria menjadi enam. Diagnosis AR
ditegakkan bila terpenuhi 3 dari 6 kriteria. Kriteria
diagnosis ini temyata memperbaiki sensitivitas dari kriteria
ACR (74%: 51 %), tetapi spesifisitasnya lebih rendah dari
kriteriaACR(81 % : 91 %).

DIAGNOSIS BANDING
AR harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya
seperti artropati reaktifyang berhubungan dengan infeksi,
spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat
lainnya seperti lupus eritematosus sistemik (LES), yang
mungkin mempunyai gejala menyerupai AR. Adanya
kelainan endokrin juga harus disingkirkan. Artritis gout
jarang bersama-sama dengan AR, bila dicurigai ada artritis
gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan.

PROGNOSIS
Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara
lain : skor fungsional yang rendah, status sosialekonomi

2503

ARTRITIS REUMATOID

Tabel 9. Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid Menurut ACR


Gejala dan tanda

Kaku pagi hari (morning


stiffness)
Artritis pada 3 persendian
atau lebih

Artritis pada persendian


tangan
Artritis yang simetrik
Nodul reumatoid

Faktor reumatoid serum


positif
Perubahan gambaran
radiologis

Definlsi

Persentase penderita AR jika


gejala atau tanda* :

Kekakuan pada sendi dan sekitarnya yang berlangsung


paling sedikit selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal
Paling sedikit 3 sendi secara bersamaan menunjukkan
pembengkakan jaringan lunak atau efusi (bukan hanya
pertumbuhan tulang saja) yang diobservasi oleh seorang
dokter. Ada 14 daerah persendian yang mungkin terlibat
yaitu : PIP, MCP, pergelangan tangan, siku, lutut,
pergelangan kaki dan MTP kanan atau kiri.
Paling sedikit ada satu pembengkakan (seperti yang
disebutkan diatas) pada sendi : pergelangan tangan, MCP
atau PIP.
Keterlibatan sendi yang sama pada kedua sisi tubuh secara
bersamaan (keterlibatan bilateral sendi PIP, MCP atau MTP
dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris).
Adanya nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang,
permukaan ekstensor atau daerah juxtaartikular yang
diobservasi oleh seorang dokter.
Adanya titer abnormal faktor reumatoid serum yang
diperiksa dengan metode apapun, yang memberikan hasil
positif < 5% pada kontrol subyek normal.
Terdapat gambaran radiologis yang khas untuk artritis
reumatoid pada foto posterioanterior tangan dan
pergelangan tangan, berupa erosi atau dekalsifikasi tulang
yang terdapat pada sendi atau daerah yang berdekatan
dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak
memenuhi persyaratan).

Ada

Tidak ada

39

14

32

13

33

12

29

17

50

25

74

13

79

21

Diasumsikan bahwa probabilitas keseluruhan (overall probability) untuk AR adalah 30%


Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 4 atau lebih dari kriteria di atas, kriteria 1 - 4 sudah berlangsung minimal selama 6 minggu

rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga


dekat menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP
atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau antiCCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit,
ada nodul reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya.
Sebanyak 30% penderitaAR dengan manifestasi penyakit
berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun
sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan
penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan
respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan
oleh Lindqvist dkk pada penderita AR yang mulai tahun
1980-an,memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka
mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah
diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada
penderitaAR dibandingkan dengan populasi umum adalah
1,6. Tetapi hasil ini mungkin akan menurun setelah
penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.

Tabel 10. Penllaian Aktlvitas Penyakit pada Arbitis Reumatoid

Setiap kunjungan, evaluasi bukti subyektif and obyektif untuk


penyakit aktif :
- Derajat nyeri sendi (diukur dengan visual analog scale
(VAS)
- Durasi kaku pagi hari
- Durasi kelelahan
- Adanya inflamasi sendi aktif pada pemeriksaan fisik
(jurnlah nyeri tekan dan bengkak pada sendi)
Keterbatasan fungsi
Evaluasi secara rutin terhadap aktivitas atau progresivitas
penyakit
- Bukti progresivitas penyakit pada pemeriksaan fisik
(keterbatasangerak, instabilitas,ma/alignment,dan/atau
deformitas)
Peningkatan LED atau CRP
- Perburukan kerusakan radiologis pada sendi yang
terlibat
Parameter lain untuk menilai respon terapi
Physician's global assessment of disease activity
Patient's global assessment of disease activity
Penilaian status fungsional atau kualitas hidup
dengan menggunakan kuesioner standar

PENILAIAN AKTIVITAS PENYAKIT

Setiap kunjungan penderita AR, dokter harus menilai


apakah penyakitnya aktif atau tidak aktif(Tabel 10). Gejala
penyakit inflamasi sendi seperti kaku pagi hari, lamanya
kelelahan (fatigue) dan adanya sinovitis aktif pada
pemeriksaan sendi, mengindikasikan bahwa penyakit

dalam kondisi aktif sehingga perubahan program terapi


perlu dipertimbangkan. Kadang-kadang penemuan pada
pemeriksaan sendi saja mungkin tidak adekuat dalam
penilaian aktivitas penyakit dan kerusakan struktur,
sehingga pemeriksaan LED atau CRP, demikian juga

2504
radiologis hams dilakukan secara rutin. Status fungsional
bisa dinilai dengan kuesioner, seperti Arthritis Impact
Measurement Scale atau Health Assessment Questionnaire. Perlu ditentukan apakah penurunan status
fungsional akibat inflamasi, kerusakan mekanik atau
keduanya, karena strategi terapinya berbeda.
Ada beberapa instumen yang digunakan untuk
mengukur aktivitas penyakit AR antara Jain : Disease
Activity Index including an 28-joint count (DAS28),
Simplified Disease Activity Index (SDAI), European

League Against Rheumatism Response Criteria


(EULARC), Modified Health Assessment Questionnaire
(M-HAQ) dan Clinical Disease Activity Index (CDAI).
Parameter-parameter yang diukur dalam instrumen tersebut
an tara lain :
1. TenderJoint Count (TJC) : penilaian adanya nyeri tekan
pada 28 sendi.
2. Swollen Joint Count (SJC) : penilaian pembengkakan
pada 28 sendi.
3. Penilaian derajat nyeri oleh pasien : diukur dengan
VisualAnalogue Scale (VAS, skala O -10 cm).
4. Patient global assessment of disease activity (PGA) :
penilaian umum oleh pasien terhadap aktivitas penyakit,
diukur dengan VisualAnalogue Scale (VAS, skala 0lOcm).

5. Physician global assessment of disease activity


(MDGA): penilaianumumolehdoktert er had a p
aktifitas penyakit, diukur dengan Visual Analogue
Scale (VAS, skala O - 10 cm).
6. Penilaian fungsi fisik oleh pasien : instrumen yang
sering digunakan adalah HAQ (HealthAssessment
Questionnairea)tau M-HAQ (ModijiedHealthAssessment

REUMATOLOGI

DAS28 dibandingkan dengan nilai sebelum pengobatan


dimulai. Terdapat korelasi yang jelas antara nilai rata-rata
DAS28 dengan jumlah kerusakan radiologis yang terjadi
selama periode waktu tertentu. DAS28 dan penilaian
aktivitas penyakit (tinggi atau rendah) telah divalidasi.
Dalam praktek sehari-hari pengukuran
DAS28 dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus :
DAS28 = 0.56V(tender28)
0. 70 x ln{ESR) + 0.014 x GH

+ 0.28 x V (swollen28) +

Keterangan :

Tender 28 = nyeri tekan pada 28 sendi,


Swollen 28 = pembengkakan pada 28 sendi,
ESR = laju endap darah dalam 1 jam pertama,

GH = Patient's assessment of general health diukur


dengan VAS

KRITERIA PERBAIKAN
American College Of Rheumatology (ACR) membuat
kriteria perbaikan untukAR, tetapi kriteia ini lebih banyak
dipakai untuk menilai outcome dalam uji klinik dan tidak
dipakai dalam praktek klinik sehari-hari. Kriteria perbaikan
ACR 20% (ACR20) didefinisikan sebagai perbaikan 20%
jumlah nyeri tekan dan bengkak sendi disertai perbaikan
20% terhadap 3 dari 5 parameter yaitu : patients global
assessment,physician s global assessment, penilaian nyeri
oleh pasien, penilaian disabilitas oleh pasien dan nilai
reaktan fase akut. Kriteria ini juga diperluas menjadi kriteria
perbaikan 50% dan 70% (ACR50 danACR70)

Questionnaire).
7. Nilai acute-phase reactants : yaitu kadar C-reactive
protein (CRP) atau nilai laju endap darah (LED)
DAS28 cukup praktis digunakan dalam praktek seharihari. Perhitungan DAS 28 (DAS2 8-LED) menghasilkan skala
0-9,84 yang menunjukkan aktivitas penyakit seorang
penderita AR pada saat tertentu. Nilai ambang batas
aktivitas penyakit berdasarkan skor DAS28-LED dan
DAS28-CRP tampak pada Tabel 11.
Kelebihan DAS28 adalah selain dapat digunakan dalam
praktek 'sehari-hari, juga bermanfaat untuk melakukan
titrasi pengobatan. Keputusan pengobatan dapat diambil
berdasarkan nilai DAS28 saat itu atau perubahan nilai
Tabel 11. Nilai Ambang Batas Aktivltas Penyaklt Artrltis
Reumatoid Berdasarkan Nilai DAS28-LED dan DAS28CRP
Aktivitas
Nilai DAS28-LED
Nilai DAS28-CRP
penyakit
Remisi
~2,6
_::2,3
Rendah
_::3,2
.:: 2,7
Sedang
> 3,2 s/c s 5,1
> 2,7 s/d s 4,1
Tinggi
> 5,1
> 4,1

Kriteria remisi
Menurut kriteriaACR, AR dikatakan mengalami remisi bila
memenuhi 5 atau lebih dari kriteria dibawah ini dan
berlangsung paling sedikit selama 2 bulan berturut-turut :
1. Kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari 15 menit
2. Tidak ada kelelahan
3. Tidak ada nyeri sendi (melalui anamnesis)
4. Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi
5. Tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau sarung
tendon
6. LED< 30 mm/jam untuk perempuan atau < 20 mm/jam
untuk laki-laki (dengan metode Westergren)

TERAPI
Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu
sejak timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan
menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu
sangat penting untuk melakukan diagnosis dan memulai
tempi sedini mungkin. ACRSRA mekomendasikan bahwa

2505

ARTRmS REUMATOID

penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3


bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis
dan inisiasi
terapi
DMARDs (Disease-modifying
antirheumatic drugs). Modalitas terapi untukAR meliputi
terapi non farmakologik dan farmakologik.
Tujuan terapi pada penderita AR adalah :
1. Mengurangi nyeri
2. Mempertahankan status fungsional
3. Mengurangi inflamasi
4. Mengendalikan keterlibatan sistemik
5. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
6. Mengendalikan progresivitas penyakit
7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

TERAPI NON FARMAKOLOGIK


Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada
penderita AR. Terapi puasa, suplementasi asam lemak
esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang
baik. Pemberian suplemen minyak ikan ( cod liver oil) bisa
digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada penderita
AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin
dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka
pendek. Penggunaan terapi herbal, acupuncture dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan.
Pembedahan harus dipertimbangkan bila : 1. Terdapat
nyeri berat yang berhubungarr dengan kerusakan sendi
yang ekstensif, 2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau
keterbatasan fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.

TERAPI FARMAKOLOGIK
Farmakoterapi untuk penderitaAR pada umumnya meliputi
obat anti-inflamasi
non steroid (OAINS) untuk
mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau
intraartikular dan DMARD. Analgetik lainjuga mungkin
digunakan seperti acetaminophen, opiat, diproqualone dan
lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik
untuk AR menggunakan pendekatan piramid yaitu :
pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai saat
diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau
penambahan terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan
gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse
pyramid) lebih disukai, yaitu pemberian DMARD sedini
mungkin untuk menghambat perburukan penyakit.
Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat
dari beberapa penelitian yaitu : 1. kerusakan sendi sudah
terjadi sejak awal penyakit; 2. DMARD memberikan
manfaat yang bermakna bila diberikan sedini mungkin; 3.
Manfaat DMARD bertambah bila diberikan secara
kombinasi; 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia
dan terbukti memberikan efek menguntungkan.

Penderita
dengan
penyakit ringan
dan hasil
pemeriksaan radiologis normal, bisa dimulai dengan terapi
hidroksiklorokuin/klorokuin
fosfat, sulfasalazin atau
minosiklin, meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi
pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau
ada perubahan radiologis harus dimulai dengan terapi
MTX. Jika gejala tidak bisa dikendalikan secara adekuat,
maka pemberian leflunomide, azathioprine atau terapi
kombinasi (MTX ditambah satu DMARD yang terbaru)
bisa dipertimbangkan. Katagori obat secara individual akan
dibahas dibawah ini.
OAINS
OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi
nyeri dan pembengkakan. Oleh karena obat-obat ini
tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh
digunakan secara tunggal. PenderitaAR mempunyai risiko
dua kali lebih sering mengalami komplikasi serius akibat
penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita
osteoartritis, oleh karena itu perlu pemantauan secara ketat
terhadap gejala efek samping gastrointestinal.

Glukokortikoid
Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang
dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala
dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid
harus diberikan dalam dosis minimal karena risiko tinggi
mengalarni efek samping seperti osteoporosis, kata:rak,gejala
Cushingoid, dan gangguan kadar gula darah. ACR
merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi
glukokortikoid harus disertai dengan pemberian kalsium
1500 mg dan vitamin D 400 - 800 IU per hari. Bila artritis
hanya mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas
yang bermakna, maka injeksi steroid cukup aman dan efektif,
walaupun efeknya bersifat sementara. Adanya artritis infeksi
harus disingkirkan sebelum melakukan injeksi. Gejala
mungkin akan kambuh kembali bila steroid dihentikan,
terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga
kebanyakan Rheumatologist menghentikan steroid secara
perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk menghindari
rebound effect. Steroid sistemik sering digunakan sebagai
bridging therapy selama periode inisiasi DMARD sampai
timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi DMARD
terbaru saat ini mempunyai mula kerja relatif cepat.

DMARD
Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua
penderita AR. Pemilihan jenis DMARD harus
mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit,
pengalaman dokter dan adanya penyakit penyerta.
DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX,
hidroksiklorokuin
atau klorokuin fosfat, sulfasalazin,
leflunomide, infliximab dan etanercept. Sulfasalazin atau
hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan

2506
sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat,
MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai
terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukkan bahwa
kombinasi DMARD lebih efektif dibandingkan dengan
terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur
(childbearing) harus menggunakan alat kontrasepsi yang
adekuat bila sedang dalam terapi DMARD, oleh kerena
DMARD membahayakan fetus.
Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor
terhadap enzim intraselular yang diperlukan untuk sintesis
pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide
memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur
secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang
baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun. Antagonis
TNF menurunkan konsentrasi
TNF-a,
yang
konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi
penderita AR. Etanercept adalah suatu soluble
TNF-receptor fusion protein, dimana efek jangka
panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat
dalam memperbaiki gejala, sering dalam 2 minggu
terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab,

yang merupakan chimeric lgGI anti-TNF-a antibody.


Penderita AR dengan respons buruk terhadap MTX,
mempunyai respon yang lebih baik dengan pemberian
infliximab dibandingkan plasebo. Adalimumabuga
merupakan rekombinan human lgG 1 antibody,
yang mempunyai efek aditif bila dikombinasi dengan
MTX. 58 Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya infeksi, khususnya
reaktivasi tuberkulosis.
Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor
interleukin- I. Beberapa uji klinis tersamar ganda
mendapatkan bahwa anakinra lebih efektif dibandingkan
dengan plasebo, baik diberikan secara tunggal
maupun dikombinasi dengan MTX. Efek sampingnya
antara lain iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan
risiko infeksi dan leukopenia. Rituximab merupakan
antibodi terhadap reseptor permukaan sel B (anti-CD20)
menunjukkan efek cukup baik.Antibodi terhadap reseptor
interleukin-6 juga sedang dalam evaluasi. Jenis-jenis
DMARD yang digunakan dalam terapi AR dirangkum
dalam
Tabel
12.

Tabel 12. Jenis-jenis DMARD yang Oigunakan Oalam Terapi Artritis Reumatoid
DMARD

Mekanisme kerja

Oosis

Waktu
Timbulnya
Res ons

Efek Samping

NON BIOLOGIK
(Konvensional)

Hidroksiklorokuin
(Plaquenil),
Klorokuin fosfat

Menghambat: sekresi
sitokin, enzim lisosomal
dan fungsi makrofag

200 -400 mg p.o.


per hari
250 mg p.o. per hari

2-6 bulan

Mual, sakit kepala, sakit


perut, myopati, toksisitas
pada retina

Methotrexate
(MTX)

7,5 - 25 mg p.o, IM
atau SC per minggu

1-2 bulan

Sulfasalazin

Inhibitor dihidrofolat
reduktase,
menghambat
kemotaksis, efek antiinflamasi melalui
induksi pelepasan
adenosin
Menghambat : respon
sel B, angiogenesis

2 -3 gr p.o. per hari

1 - 3 bulan

Azathioprine
(lmuran)

Menghambat sintesis
DNA

50- 150 mg p.o.per


hari

2 - 3 bulan

Mual, diare, kelemahan,


ulkus mulut, ruam, alopesia,
gangguan fungsi hati,
penurunan leukosit dan
trombosit, pneumonitis,
sepsis, penyakit hati, limfoma
yang berhubungan dengan
EBV, nodulosis
Mual, diare, sakit kepala,
ulkus mulut, ruam, alopesia,
mewarnai lensa kontak,
oligospermia reversibel,
gangguan fungsi hati,
leukopenia
Mual, leukopenia, sepsis,
limfoma

Leflunomide
(Arava)

Menghambat sintesis
pirimidin

100 mg p.o. per hari


selama 3 hari
kemudian 1 0 - 20
mg p.o. per hari

4 -12 minggu

Cyclosporine

Menghambat sintesis
IL-2 dan sitokin sel T
lainnya

2,5 - 5 mg/kgBB p.o.


per hari

2 - 4 bulan

Mual, diare. ruam, alopesia,


sangat teratogenik meskipun
obat telah dihentikan,
leukopenia, hepatitis,
trombositopenia
Mual, parestesia, tremor,
sakit kepala, hipertrofi gusi,
hipertrikosis, hipertensi,
gangguan ginjal, sepsis

2507

AIURmS REUMATOID

Tabel 12. Jenis-jenis DMARDyang Digunakan Dalam Terapi Artrit1s Reumato1d(Lanjutan)


DMARD

.
.

Mekanisme kerja

Dosis

Waktu
timbulnya
respons

Efek samping

0-Penicillamine
(Cuprimine)

Menghambat fungsi
sel T helper dan
angiogenesis

250 -750 mg p.o.


per hari

3-6

bulan

Mual, hilangnya rasa kecap,


penurunan trombosit yang
reversibel

Garam emas
thiomalate
(Myochrysine)

Menghambat :
makrofag,
angiogenesis dan
protein kinase C
Menghambat
makrofag dan fungsi
PMN

25-50 mg IM
setiap 2 - 4 minggu

6-8

minggu

3 mg p.o. 2 kali per


hari atau 6 mg p.o.
per hari

4-6

bulan

Ulkus mulut, ruam, gejala


vasomotor setelah injeksi,
leukopenia, trombositopenia,
proteinuria, kolitis
Diare, leukopenia

Antibodi TNF
(human)

40 mg SC setiap 2
minggu

Beberapa hari
-4 bulan

Antagonis reseptor
IL-1

100-150 mg SC
per hari

12-24
minggu

Auranofin
(Ridaura)

BIOLOGIK
Adalimumab
(Humira)

Anakinra
(Kineret)
Etanercept
(Enbrel)

Reseptor TNF
terlarut (soluble)

lnfliximab
(Remicade)

Antibodi TNF
(chimeric)

Rituximab
(Rituxan, Mabthera)

Antibodi anti-sel B
(CD20)

Abatacept
(Orencia)
Belimumab

Menghambat
aktivitas sel T
(costimulation
blockers)
humanized
monoclonal antibody
terhadap 8lymphocyte
stimulator (BlyS)

Tocilizumab
(Actemra TM)

Anti-/L-6 receptor
MAb

Ocrelizumab

humanized antiCD20 antibody

lmatinib
(Gleevec)
Denosumab

Inhibitor protein
tirosin kinase
human monoclonal
lgG2 antibody
terhadap RANKL
human
anti-TNF-a antibody

<,

Reaksi infus, peningkatan


risiko infeksi termasuk
reaktifasi TB, gangguan
demyelinisasi
lnfeksi dan penurunan
jumlah netrofil, sakit kepala,

Certolizumab Pegol
(CDP870)
Ofatumumab (HuMaxCD20)

human monoclonal
anti-CD20 lgG1
antibody

25 mg SC
2 kali per minggu
atau 50 mg SC per
minggu
3 mg/kgBB IV (infus
pelan) pada minggu
ke- 0, 2 dan 6
kemudian setiap 8
minggu
1000 mg setiap 2
minggu x 2 dosis

Beberapa hari
-12 minggu

pusing, mual,
hipersensitivitas
Reaksi ringan pada tempat
suntikan, kontraindikasi
pada infeksi, demyelinisasi

Beberapa hari
-4 bulan

Reaksi infus, peningkatan


risiko infeksi termasuk
reaktivasi TB, gangguan
demyelinisasi

3 bulan*

Reaksi infus, aritmia


jantung, hipertensi, infeksi,
reaktivitas hepatitis B,
sitopenia, reaksi
hipersensitivitas
Reaksi infus, infeksi, reaksi
hipersensitivitas, eksasebasi
COPD

10 mg/kgBB (500,
750 atau 1000 mg)
setiap 4 minggu

6 bulan*

1 mg, 4 mg atau 10
mg/kgBB IV pada
hari 0, 14, 28
kemudian setiap 28
hari selama 24
minggu

24 minggu*

Uji klinis fase II

4 mg atau 8
mg/kgBB infus
setiap 4 minggu
10 mg, 50 mg, 200
mg, 500 mg, dan
1000 mg infus pada
hari 1 dan 15
400 mg per hari

24 minggu

Uji klinis fase Ill (OPTION


trial)

4minggu*

Uji klinis fase II

3 bulan"

Uji klinis fase II

60 mg atau 180mg
SC setiap 6 bulan
selama 1 tahun
1 mg; 5 mg atau 20
mg/kgBB infus
tunggal
300 mg, 700 mg
atau 1000 mg infus
pada hari O dan 14

6 bulan*

Uji Klinis fase II

4minggu

Uji klinis fase II

24minggu*

Uji Klinis fase II

2508

Tabel 12. Jenis-jenis DMARD yang Digunakan Dalam Terapi Artritis Reumatoid (Lanjutan)
DMARD

Atacicept

Golimumab

Fontolizumab

Mekanisme kerja

Dosis

Waktu
Timbulnya
respons

Efek samping

Recombinant fusion protein


yang mengikat dan
menetralkan B lymphocyte
stimulator (BlyS dan a
proliferation-inducing ligand
(APRIL)
Fully human protein
(antibody) yang mengikat
TNF-a

70 mg, 210 mg, atau


630 mg SC dosis
tunggal atau 70 mg,
210 mg atau 420 mg
SC dosis berulang
setiap 2 minggu
50 mg atau 100 mg
SC setiap 2 atau 4
minggu

3 bulan*

Uji klinis fase lb

16 minggu*

Uji klinis fase II (Uji


klinis fase Ill mulai
Februari 2006-Juli
2012)

humanised anti-interferon
gamma antibody

Uji klinisfaseII

Keterangan :
.
.
Waktu terpendek yang ditetapkan oleh peneliti untuk menqevaluasi respon terapi
IM = intramuscular; IV = intravenous; p.o. = per oral; SC = subcutan; EBV
metalloproteinases;TB = tuberkulosis; PMN = polymorphonuclear; MAb =

.
.
.
_
.
Epstein-Barr Virus, MMPs - matnx

Terapi Kombinasi

PEMANTAUANKEAMANAN TERAPI DMARD

Ban yak penelitian. memperlihatkan bahwa efikasi


terapi
kombinasi
lebih superior
dibandingkan
dengan tempi tunggal, tanpa memperbesar toksisitas.
Regimen terapi kombinasi yang efektif dan aman digunakan
untuk penderita AR aktif yang tidak terkontrol adalah salah
satu dari kombinasi berikut : MTX + hidroksiklorokuin,
MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine, MTX +
sulfasalazine + prednisolone, MTX + leflunomide, MTX +
infliximab, MTX + etanercept, MTX + adalimumab, MTX
+ anakinra, atau MTX + rituximab.
Penderita AR yang memberikan respons suboptimal
dengan terapi MTX saja, akan memberikan respons yang
lebih baik bila .diberikan regimen tempi kombinasi.
Terapi kombinasi juga efektif dalam menghambat
progresivitas penyakit dan kerusakan radiografi, terutama
untuk regimen terapi kombinasi MTX + inhibitor TNF, tetapi
harganya jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan
regimen kombinasi MTX + hidroksiklorokuin atau
suJfasalazine.

Sebelum pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar


terhadap keamanan pemberian DMARD tersebut. ACR
merekomendasikan evaluasi dasar yang harus dilakukan
sebelum memberikan terapi DMARD antara lain: darah perifer
lengkap (complete blood counts), kreatinin serum dan
transaminase hati. Untuk pemberian hidroksiklorokuin atau
klorokuin fosfat perlu dilakukan pemeriksaan oftalmologik
berupa pemeriksaan retina dan lapangan pandang.
Sedangkan penderita yang mendapat methotrexate dan
leflunomide perlu pemeriksaan tambahan yaitu screening
terhadap hepatitis B dan C. (Tabel 13) Setelah DMARD
diberikan perlu dilakukan pemantauan secara berkala
untuk mengidentifikasi sedini mungkin adanya toksisitas.

REKOMENDASI KLINIK
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh dokter dalam
penanganan penderita AR dalam praktek klinik sehari-hari
tampak
dalam
Tabel
14.

' Tabel 13. Evaluasi Dasar yang Harus Dilakukan Sebelum Pemberian Terapi DMARD
Jenis DMARD

Non biologik
Hidroksiklorokuin/
Klorokuinfosfat
Leflunomide
Methotrexate
Minocycline
Sulfasalazine
Biologik
Semua agen biologik
*CBC = complete blood counts

Pemeriksaan
Kreatinin
Hepatitis
serum
Bdan C

CBC*

Transaminase
hati

x
x
x
x
x
x

x
x
x
x
x

x
x
x
x
x

Oftalmologik

x
x
x

2509

ARTRITIS REUMATOID

Tabel 14. Rekornendasi untuk Praktek klinik


Tingkat bukti
( evidence rating)

Rekomendasi klinik
Penderita AR harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala dan
menghambat perburukan penyakit.

Penderita dengan inflamasi sendi persisten ( lebih dari 6 - 8 minggu) yang sudah
mendapat terapi analgetik atau OAINS harus dirujuk ke insitusi rujukan reumatologi, lebih
baik sebelum 12 minggu.

Melakukan edukasi satu per satu untuk penderita AR setelah diagnosis ditegakkan.

OAINS untuk meredakan gejala harus diberikan dengan dosis rendah dan harus
diturunkan setelah DMARD mencapai respons yang baik.

Gastroproteksi harus diberikan pada penderita usia > 65 tahun atau ada riwayat ulkus
peptikum.

lnjeksi kortikosteroid intra-artikular bermanfaat, tetapi tidak diberikan lebih dari 3 kali dalam
setahun.

Kortikosteroid dosis rendah efektif mengurangi gejala tetapi mempunyai risiko tinggi
terjadinya toksisitas, oleh kerena itu berikan dosis paling rendah dengan periode
pemberian yang pendek.

Kombinasi terapi lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal.

Efikasi terapi harus dimonitor, perubahan hemoglobin, LED dan CRP merupakan indikator
respon terapi dan penggunaan instrumen kriteria respon dari European League Against
Rheumatism bermanfaat untuk menilai perburukan penyakit.

Pendekatan secara multidisiplin bermanfaat, paling tidak dalam jangka pendek, oleh
karena itu penderita harus bisa mendapatkan perawatan profesional secara luas, yang
meliputi dokter pelayanan primer, ahli reumatologi, perawat khusus, ahli terapi fisik, ahli
occupational, ahli gizi, ahli perawatan kaki (podiatrists), ahli farmasi dan pekerja sosial.

Latihan bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas aerobik dan kekuatan otot tanpa
memperburuk aktivitas penyakit atau derajat nyeri.

FOTO ARTRITIS REUMATOID

Foto 1. Pembengkakan PIP

Foto 4. Deformitas boutonniere dengan


nodul reumatoid multipel

Foto 2. Erosi sendi

Foto 5. Deviasi ulna

Foto 3. Deformitas leher angsa (swan


neck)

Foto 6. Deformitas Z-thumb

2510

Foto 7. Artritis mutilans

Foto 10. Hallux valgus

Foto 13. Scleritis pada AR

Foto 8. Nodul reumatoid

Foto 11.Vaskulitis reumatoid

Foto 9. Accelerated rheumatoid


nodu/osis

Foto 12. Episcleritis pada AR

Foto 14. Scleromalacia perforans


pada AR

REFERENSI
Buch M, Emery P. The aetiology and pathogenesis of rhaumatoid
arthritis. Hospital Farm 2002;9:5-10.
Cush JJ, Kavanaugh A, Stein CM. Rheumatology Diagnosis &
Therappeutics. 2th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2005. p.323-333.
Smith HR. Rheumatoid arthritis. (dikutip tanggal 21 Oktober 2008).
Dapat diperoleh di URL : http://www.emedicine.com/med/
TOIC2024.HTM.
Rindfleisch JA, Muller D. Diagnosis and Management of
Rheumatoid arthritis. Am Fam Physician 2005;72:1037-47.
Silman AJ, Pearson JE. Epidemiology and genetics of rheumatoid
arhtritis. Arthritis Res 2002; 4 (suppl 3):S265-S272.
Mijiyawa M. Epidemiology and semiology of rheumatoid arthritis
in Third World countries. Rev Rhum Engl Ed 1995;62(2):121-6.

Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD. The epidemiology of rheumatoid arthritis in Indonesia. Br J Rheumatol
l 993;32(7):537-40.
Albar Z. Perkembangan Pengobatan Penyakit Rematik. Kajian khusus
terhadap farmakoterapi artritis reumatoid masa kini dan
perkembangannya di masa depan. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007. 54 ha!. Pidato Pengukuhan Guru
Besar.
Bowes J, Barton A. Recent advances in the genetics of RA susceptibility. Rheumalology 2008 47(4):399-402.
Turesson C, Matteson EL. Genetics of rheumatoid arthritis. Mayo
Clin Proc 2006;81(1):94-!01.
Nelson JL, Hughes KA, Smith AG, Nisperos BB, Branchaud AM,
Hansen JA. Maternal-Fetal Disparity in HLA Class II Alloantigens and the Pregnancy-Induced Amelioration of Rheumatoid
Arthritis.
N Engl
J
Med
\ 993;329:466-71.

ARTRmS REUMATOID

Firestein GS. Etiology and pathogenesis of rheumatoid arthritis. In:


Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Kelley WN, eds. Kelley's Textbook of rheumatology. 7th ed. Philadelphia: W.B. Saunders,
2005:996-1042.
Harris ED. Clinical features of rheumatoid arthritis. In: Ruddy S,
Harris ED, Sledge CB, Kelley WN, eds. Kelley's Textbook of
rheumatology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders, 2005:1043-78.
Mikuls TR, Cerhan JR, Criswell LA, Merlino L, Mudano AS, Burma
M, et al. Coffee, tea, and caffeine consumption and risk of
rheumatoid arthritis: results from the Iowa Women's Health
Study. Arthritis Rheum 2002;46:83-91.
Merlino LA, Curtis J, Mikuls TR, Cerhan JR, Criswell LA, Saag KG
Vitamin D intake is inversely associated with rheumatoid
arthritis: results from the Iowa Women's Health Study. Arthritis
Rheum 2004;50:72-7.
Feldmann M, Brennan FM, Maini RN. Role of cytokines in rheumatoid arthritis. Annu Rev Immunol. 1996;14:397-440.
Goldman JA. Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis and Its Implications for Therapy - The Need for Early/Aggressive Therapy.
(dikutip Tanggal 6 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL :
hltp://www.princetoncme.com/pdflprograms!report629.pdf
Choy EHS, Panayi GS. Cytokine pathways dan joint inflammation
in rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2001;344:907-16.
Lundy SK, Sarkar S, Tesmer LA, Fox DA. Cells of the synovium in
rheumatoid arthritis. T lymphocytes. Arthritis Research &
Therapy 2007;9(1):1-l 1.
Shaw T, Quan J, Totoritis MC. B cell therapy for rheumatoid arthritis: the rituximab (anti-CD20) experience. Ann Rheum Dis
2003;62:55-59.
Mauri C, Ehrenstein MR. Cells of the synovium in rheumatoid
arthritis. B cells. Arthritis Research & Therapy 2007;9(2): 1-6.
Wikipedia. Rheumatoid Arthritis. (dikutip tanggal 6 Oktober 2008).
Dapat diperoleh di URL : http://en.wikipedia.org/wikil
Rheumatoid arthritis.
Syah A, English JC. Rheumatoid arthritis: A review of the
cutaneous manifestations. J Am Acad Dermatol 2005;53:191-209.
Brown KK. Rheumatoid lung disease. Proc Am Thorac Soc
2007;4:443-448.
American College of Rheumatology Subcommittee on
Rheumatoid Arthritis Guidelines. Guidelines for the management of rheumatoid arthritis: 2002 update. Arthritis Rheum
2002;46:328-46.
Nell VPK, Machold KP, Stamm TA, Eberl G, Heinz H, Uffinann M,
et al. Autoantibody profiling as early diagnostic and
prognostic tool for rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis
2005;64; 1731-36.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of early
rheumatoid arthritis. SIGN No. 48. (dikutip tanggal 6 Oktober
2008). Dapat diperoleh di URL : http://www.sign.ac.uk/
guidelines/fulltext/48/index.html.
Avouac J, Gossec L, Dougados M. Diagnostic and predictive value of
anti-CCP ( cyclic citrullinated protein) antibodies in rheumatoid arthritis: a systematic literature review. Ann Rheum Dis
2006; doi: IO. l l 36/ard.2006.051391.
Nishimura K, Sugiyama D, Kogata Y, Tsuji G, Nakazawa T, Kawano
S, et al. Meta-analysis: Diagnostic Accuracy of Anti-Cyclic
Citrullinated Peptide Antibody and Rheumatoid Factor for
Rheumatoid Arthritis. Ann Intern Med. 2007;146:797-808.
Liao KP, Batra KL, Chibnik L, Schur PH, Costenbader KH.
Anti-CCP revised criteria for the classification of rheumatoid
arthritis. Ann Rheum Dis 2008; doi:10.1136/ard. 2007.082339.
Arnett FC, Edworthy SM, Bloch DA, McShane DJ, Fries JF, Cooper
NS, et al. The American Rheumatism Association 1987 revised

2511
criteria for the classification of rheumatoid arthritis. Arthritis
Rheum 1988;3 l :315-24.
Berglin E. Predictors of disease onset and progression in early rheumatoid arthritis. A clinical, laboratory and radiological study
(dikutip tanggal 12 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL :
http://www.diva-portal.org!diva/
getDocument?urn nbn se umu diva-669-2 (ulltext.pdf.
Boers M. Rheumatoid arthritis. Treatment of early disease. Rheum
Dis Clin North Am 2001;27:405-14.
Lindqvist E, Eberhardt K. Mortality in rheumatoid arthritis patients with disease onset in the 1980s. Ann Rheum Dis
1999;58:11-4.
Chehata JC, Hassell AB, Clarke SA, Mattey DL, Jones MA, Jones
PW, et al. Mortality in rheumatoid arthritis: relationship to
single and composite measures of disease activity. Rheumatology 2001 ;40:447-52.
Leeb BF, Andel I, Leder S, Leeb BA, Rintelen B. The patient's
perspective and rheumatoid arthritis disease activity indexes.
Rheumatology 2005;44:360-365.
Smolen JS, Breedveld FC, Schiff MH, Kalden JR, Emery P, Eberl G,
et al. A simplified disease activity index for rheumatoid
arthritis for use in clinical practice. Rheumatology
2003;42:244-257.
Aletaha D, Landewe R, Karonitsch T, Bathon J, Boers M,
Bombardier C, et al. Reporting disease activity in clinical trials
of patients with rheumatoid arthritis: EULAR/ACR collaborative recommendations. Ann Rheum Dis 2008;67;1360-64.
Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis
Rheum 2008;59: 762-784.
Inoue F, Yamanaka H, Hara M, Tomatsu T, Kamatani N.
Comparison of DAS28-ESR and DAS28-CRP threshhold values. Ann Rheum Dis 2006;doi:10.l 136/ ard. 2006. 054205.
EULAR. Disease activity score in rheumatoid arthritis (dikutip
tanggal 12 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://
www.das-score.nl.
van Gestel AM, Haagsma CJ, van Riel PLCM. Validation of rheumatoid arthritis improvement criteria that include simplified joint
counts. Arthritis Rheum 1998;41: 1845-50.
Leeb BF, Andel I, Sautner J, Fass) C, Nothnagi T, Rintelen B. The
Disease Activity Score in 28 Joints in Rheumatoid Arthritis and
Psoriatic Arthritis Patients. Arthritis Rheum 2007;57: 256-60.
Felson DT, Anderson JJ, Boers M, Bombardier C, Furst D, Goldsmith C, et al. ACR Preliminary Definition of Improvement In
Rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1995;38:727-35.
Makinen H, Hannonen P, Sokka T. Definitions of remission for
rheumatoid arthritis and review of selected clinical cohorts and
randomised clinical trials for the rate of remission. Clin Exp
Rheumatol 2006; 24 (Suppl.43):S22-S28.
Emery P, Breedveld FC, Dougados M, Kalden JR, Schiff MH, Smolen
JS. Early referral recommendation for newly diagnosed rheumatoid arthritis: evidence based development of a clinical guide.
Ann Rheum Dis 2002;61:290-7.
Belch JJ, Ansell D, Madhok R, O'Dowd A, Sturrock RD. Effects of
altering dietary essential fatty acids on requirements for nonsteroidal anti-inflammatory drugs in patients with rheumatoid
arthritis: a double blind placebo controlled study. Ann Rheum
Dis 1988;47;96-104.
Kavuncu V, Evcik D. Physiotherapy in Rheumatoid Arthritis.
Medscape General Med 2004;6:3.
Verhagen AP, Bierma-Zeinstra SM, Cardoso JR, de Bie RA, Boers M,

2512
de Vet HC. Balneotherapy for rheumatoid arthritis. Cochrane
Database Syst Rev 2008;(4): CD000518.
Van Den Ende CH, Vliet Vlieland TP, Munneke M, Hazes JM. Dynamic exercise therapy for rheumatoid arthritis. Cochrane
Database Syst Rev 2008;(1):CD000322.
Galarraga B, Ho M, Youssef HM, Hill A, McMahon H, Hall C, et al.
Cod liver oil (n-3 fatty acids) as an non-steroidal anti-inflammatory drug sparing agent in rheumatoid arthritis. Rheumatology 2008;47:665-9.
Egan M, Brosseau L, Farmer M, Ouimet MA, Rees S, Wells G, et al.
Sp) ints/orthoses in the treatment of rheumatoid arthritis.
Cochrane Database Syst Rev 2001;(4): CD004018.
Olsen NJ, Stein CM. New drugs for rheumatoid arthritis. N Engl J
Med 2004;350: 2167-79.
Bijlsma JWJ, Boers M, Saag KG, Furst DE. Glucocorticoids in the
treatment of early and late RA. Ann Rheum Dis 2003;62;1033-37.
van Everdingen AA, Jacobs JW, Siewertsz Van Reesema DR, Bijlsma
JW. Low-dose prednisone therapy for patients with early active
rheumatoid arthritis: clinical efficacy, disease-modifying properties, and side effects. Ann Intern Med 2002;136:1-12.
Cohen S, Cannon GW, Schiff M, Weaver A, Fox R, Olsen N, et al.
Two-year, blinded, randomized, controlled trial of treatment of
active rheumatoid arthritis with leflunomide compared with
methotrexate. Arthritis Rheum 2001 ;44: 1984-92.
Bathon JM, Martin RW, Fleischmann RM, Tesser JR, Schiff MH,
Keystone EC, et al. A comparison of etanercept and methotrexate in patients with early rheumatoid arthritis. N Engl J Med
2000;343: 1586-93.
Lipsky PE, van der Heijde DM, St Clair EW, Furst DE, Breedveld
FC, Kalden JR, et al. Infliximab and methotrexate in the treatment of rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2000;343:1594-602.
Weinblatt ME, Keystone EC, Furst DE, Moreland LW, Weisman
MH, Birbara CA, et al. Adalimumab, a fully human anti-tumor
necrosis factor alpha monoclonal antibody, for the treatment
of rheumatoid arthritis in patients taking concomitant
methotrexate: the ARMADA trial. Arthritis Rheum 2003;48:35-45.
Nuki G, Breshnihan B, Bear MB, McCabe D. Long-term safety and
maintenance of clinical improvement following treatment with
anakinra
(recombinant human interleukin-! receptor
antagonist) in patients with rheumatoid arthritis: extension phase
of a randomized, double-blind, placebo-controlled trial.
Arthritis Rheum 2002; 46: 2838-46.
Finger E, Scheinberg MA. Rituximab (Mabthera), a new
approach for the treatment of rheumatoid arthritis. A systematic review. Einstein 2007;5(4):378-86.
Siddiqui MAA. The Efficacy And Tolerability Of Newer Biologics In
Rheumatoid Arthritis: Best Current Evidence.
Curr Opin
Rheumatol 2007;19(3):308-13.
McGonagle,J), Tan AL, Madden J, Taylor L, Emery P. Rituximab
use in everyday clinical practice as a first-line biologic therapy
for the treatment of DMARD-resistant rheumatoid arthritis.
Rheumatology 2008;47(6):865-67.
Jois RN, Masding A, Somerville M, Gaffney MK, Scott DGI.
Rituximab therapy in patients with resistant rheumatoid arthritis: real-life experience. Rheumatology 2007;46:980-82.
Lee ATY, Pile K. Disease modifying drugs in adult rheumatoid arthritis. Aust Prescr 2003;26:36-40.
Genovese MC, Becker JC, Schiff M, Luggen M, Sherrer Y, Kremer J,
et al. Abatacept for Rheumatoid Arthritis Refractory to Tumor
Necrosis Factor a Inhibition. N Engl J Med 2005;353:1114-23.
67. Shankar S, Handa R. Biological agents in rheumatoid arthritis. J
Postgrad Med 2004;50:293-9.

REUMATOLOGI

Cohen SB, Dore RK, Lane NE, Ory PA, Peterfy CG, Sharp JT, et al.
Denosumab treatment effects on structural damage, bone mineral density, and bone turnover in rheumatoid arthritis: a twelvemonth, multicenter, randomized, double-blind, placebo-controlled, phase II clinical trial. Arthritis Rheum 2008;58(5): 1299309.
Yazici Y. B-Cell-Targeted Therapies: Reports From the ACR 2007
Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : http://www. medscape. com /viewarticle/
567522.
Fox RI. Update on Novel and Emerging Therapies for RA: Report
From the ACR 2007 Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Olctober
2008). Dapat diperoleh di URL ; http://www.medscape.com/
viewarticle/567 521.
Smolen J. The investigational compound tocilizumab (ActemraTM)
significantly reduces disease activity in patients with moderate
to severe rheumatoid arthritis (RA) who have an inadequate
response to methotrexate, researchers announced at the European League Against Rheumatism (EULAR) 2007 (dikutip
tanggal 17 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://
www.medicalnewstoday.com/ healthnews. php?newsid= 743 70.
Kelly J. Progress in RA with rituximab, belimumab, and 2 novel
approaches (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh
di URL : http://www.medscape.com/ viewarhcle/538181.
EULAR 2007. Preliminary Results Show Potential Of Ofatumumab
In Rheumatoid Arthritis ( dikutip tanggal 18 Oktober 2008).
Dapat diperoleh di URL : http://www.medicalnewstoday.com/
articles/7443 7.php.
Novartis Pharma AG. A Study of Tmatinib 400 Mg Once Daily in
Combination With Methotrexate in the Treatment of Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : http:llclinicaltrials.govlct2/show/
NCTOOl 54336? term=imatinib & rank=30.
Tak PP, Thurlings RM, Rossier C, Nestorov I, Dimic A, Mircetic V,
et al. Atacicept in patients with rheumatoid arthritis: Results of
a multicenter, phase lb, double-blind, placebo-controlled, doseescalating, single- and repeated-dose study. Arthritis Rheum
2008;58(1):61-72.
Centocor, Inc. A Study of the Safety and Efficacy of Golimumab
(CNTO 148) in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis
Previously Treated With Biologic Anti-TNFa Agent(s) (dikutip
tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://
clinicaltrials.govlct/show!NCT00299546.
Kay J, Matteson EL, Dasgupta B, Nash P, Durez P, Hall S, et al.
Golimumab in patients with active rheumatoid arthritis despite
treatment with methotrexate: A randomized, double-blind, placebo-controlled, dose-ranging study. Arthritis Rheum
2008;58:964- 75.
BioPharma, Inc. A Phase 2 Study to Evaluate the Safety, Tolerability, and Activity of Fontolizumab in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis ( dikutip tang gal 18 Oktober 2008). Dapat
diperoleh di URL : http://clinicaltrials.gov/ct2/show/record/
NCT00281294.
Kremer JM, Westhovens R, Leon M, Giorgio ED, Alten R, Steinfeld
S, et al. Treatment of Rheumatoid Arthritis by Selective Inhibition of T-Ce\l Activation with Fusion Protein CTLA4Ig. N
Engl J Med 2003;349:1907-15.
Weinblatt ME, Kremer JM, Bankhurst AD, Bulpitt KJ, Fleischmann
RM, Fox RI, et al. A Trial of etanercept, a recombinant tumor
necrosis factor receptor : Fe fusion protein, in patients with
rheumatoid arthritis receiving methotrexate. N Engl J Med
l
999;340:253-9.

ARTRITIS REUMATOID

Edwards JCW, Szczepanski L, Szechifiski J, Filipowicz-Sosnowska


A, Emery P, Close DR, et al. Efficacy of B-Cell-Targeted
Therapy with Rituximab in Patients with Rheumatoid Arthritis.
N Engl J Med 2004;350:2572-81.
O'Dell JR. Therapeutic Strategies for Rheumatoid Arthritis. N Engl
J Med 2004;350:2591-602.
Breedveld FC, Emery P, Keystone E, Patel K, Furst DE, Kalden JR,
et al. Infliximab in active early rheumatoid arthritis. Ann Rheum
Dis 2004;63; 149-55.
Furst DE, Breedveld FC, Kalden JR, Smolen JS, Burmester GR, Sieper
J, et al. Updated consensus statement on biological agents for
the treatment of rheumatic diseases, 2007. Ann Rheum Dis
2007;66;iii2-iii22.
Goekoop-Ruiterman YPM, de Vries-Bouwstra JK, Allaart CF, van
Zeben D, Kerstens PJSM, Hazes JMW, et al. Comparison of
Treatment Strategies in Early Rheumatoid Arthritis.
A Randomized Trial. Ann Intern Med. 2007;146:406-415.
Sebba A. Tocilizumab: The First Interleukin-6-Receptor Inhibitor.
Am J Health-Sys! Pharm 2008;65(15):1413-18.
Scott DL, Smolen JS, Kalden JR, van de Pulte LBA, Larsen A, Kvien
TK, et al. Treatment of active rheumatoid arthritis with
leflunomide: two year follow up of a double blind, placebo controlled trial versus sulfasalazine. Ann Rheum Dis 2001;60;91323.
Hochberg MC, Tracy JK, Hawkins-Holt M, Flores RH, et al. Comparison of the efficacy of the tumour necrosis factor a blocking
agents adalimumab, etanercept, and infliximab when added to
methotrexate
m patients
with
active
rheumatoid
arthritis. Ann Rheum Dis 2003;62(Suppl II):iil3-iil6.
Fan PT, Leong KH. The Use of Biological Agents in the
Treatment of Rheumatoid Arthritis. Ann Acad Med Singapore
2007 ;36: 128-34.
Gossec L, Dougados M. Combination therapy in early rheumatoid
arthritis. Clin Exp Rheumatol 2003; 21 (Suppl. 31):Sl 74-S 178.
Capell A, Madhok R, Porter DR, Munro RAL, Mcinnes IB, Hunter
IA, et al. Combination therapy with sulfasalazine and methotrexate is more effective than either drug alone in
patients with rheumatoid arthritis with a suboptimal response
to sulfasalazine: results from the double-blind placebo-controlled
MASCOT study. Ann Rheum Dis 2007;66;235-41.

2513
Strand V, Cohen S, Schiff M, Weaver A, Fleischmann R, Cannon G,
et al. Treatment of Active
Rheumatoid Arthritis With
Leflunomide Compared With Placebo and Methotrexate. Arch
Intern Med 1999;159:2542-50.
van der Heijde D, Klareskog L, Singh A, Tomero J, Melo-Gomes J,
Codreanu C, et al. Patient reported outcomes in a trial of combination therapy with etanercept and methotrexate for rheumatoid arthritis: the TEMPO trial. Ann Rheum Dis
2006;65;328-34.
Burmester GR, Mariette X, Montecucco C, Monteagudo-Saez 1,
Malaise M, Tzioufas AG, et al. Adalimumab alone and in
combination with disease-modifying antirheumatic drugs for
the treatment of rheumatoid arthritis in clinical practice: the
Research in Active Rheumatoid Arthritis (ReAct) trial. Ann
Rheum Dis 2007;66;732-39.
van Riel PLCM, Taggart AJ, Sany J, Gaubitz M, Nab HW, Pedersen
R, et al. Efficacy and safety of combination etanercept and
methotrexate versus etanercept alone in patients with
rheumatoid arthritis with an inadequate response to methotrex-
ate: the ADORE study. Ann Rheum Dis 2006;65;1478-83.
O'Dell JR, Haire CE, Erikson N, Drymalski W, Palmer W, Eckhoff
J, et al. Treatment of rheumatoid arthritis
with
methotrexate alone, sulfasalazine and hydroxychloroquine, or
a combination of all three medications. N Engl J Med
1996;334: 1287-91.
Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis
Rheum 2008;59:762-84.
Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et
al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic DiseaseModifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rheum 2008;59:762-84.

2518
Diagnosis Banding

amiloidosis
diabetes melitus
sarkoidosis
infeksi virus
trauma
psikogenik
Sindrom mata kering bisa disebabkan oleh amyloidosis, inflamasi kronik blefaritis, konjungtivitis, pemfigoid,
sindrom Steven Johnson, hipovitaminosis A. Sedangkan
pembesaran kelenjar parotis ditemukan juga pada
akromegali, gonadal hipofungsi, penyakit metabolik,
pankreatitis kronik, diabetes melitus, sirosishepatis, infeksi
virus

PENGELOLAAN
Prinsipnya hanyalah simtomatik menggantikan fungsi
kelenjar eksokrin dengan memberikan lubrikasi. Lubrikasi
pada mata kering dengan tetes mata buatan membantu
mengurangigejalaakibat sindrommata kering, efek samping
pemberian air mata buatan adalah pandangan kabur. Untuk
mengurangi efek samping sumbatan drainage air mata
pengganti air mata bisa diberi lensa kontak, tetapi
sayangnya risiko infeksi sangat besar. Tetes mata yang
mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena
merangsang infeksi
Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan
sekretagogum yaitu stimulat muskarinik reseptor. Ada 2
jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu
golongan pilokaepin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg
4 kali sehari selam 12 minggu sedangkan cevimelin 30-15
mg diberikan 3 kali sehari
Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini
belum ada obat yang dapat untuk mengatasinya. Pada
umumnya terapi hanya ditujukan pada perawatan gigi,
kebersihanmulut,merangsangkelenjarliur, memberisintetik
air liur. Sintetik yang ada di pasaran yaitu oral balancel ;
karena tidak bertahan lama sangat baik kalau diberikan
malam hari. Cara lain untuk mengurangi xerostamia adalah
merangsang sekresi kelenjar liur dengan memberikan gula.
Nasihat lainnya adalah hindari makanan kering, merokok,
obat-obat kolinergik.

OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskletal,


hidroksi klorokuin digunakan untuk atralgia, mialgia,
hipergammaglobulin.Kortikosteroidsistemik 0,5-1/kg/hari
dan imunosupresan antara lain siklofosfamid digunakan
untuk mengontrol gejala ekstraglandular misalnya difus
intersisial lung diseases, glomerulonefritis, vaskulitis.

REFERENSI
Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 14 ed
edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia
2005.p . I 736- 73.
Brun JG, Madland lM, Gjesdal CB, Bertelsen LT. Sjogren syndrome
in an out-patient clinic:classification of patients according to
the preliminary European criteria and the proposed modified
Europian criteria.Rheumatol. 2002:41 ;301-4.
Bossini N, savoldi S, Franceschini F, Mombelloni S, Baronio M,
Cavazzana I, et al. Clinical and morphological features of
kidney involvement in primary Sjogren syndrome.
N ephrol.Dial. Transplant.200 I; 16:2328-36.
Christoper LC, Elizabeth B, Roman GC. Treatment of myelopathy
in Sjogren syndrome with a combination of prednisone and
cyclophosphamide, Arch. Neurol. 2001;58:815-9.
Casals MR, Tzioufas AG,Font J. Primary Sjogren syndrome: new
clinical and therapeutic concepts. Ann. Rheum. Dis 2005:64:34754.
Kassan SS, Moutsopulos HM. Clinical manifestation and early diagnosis of Sjogren syndrome. Arch. Int. Med. 2004;164:1275-84
Kovacs L, Paprika D, Takaes R, Kardos A,Tamas T, Lengyel C, et
al. Cardiovascular autonomic dysfunction in primary Sjorgren
Syndrome.
Moutsopulos HM, Tzioufas AG. Sjogren
syndrome. In :
Rheumatology.Klippel JH, Dieppe K PA,eds. l" Edition
.Hongkong: Mosby -Year Book Europe Limited; Hongkong.
1994.p. 6.27.7.1-12
Moore PM, Richardson B. Neurology of the vasculitides and
connective tissue diseases. J Neurol.Neorosurg. Psychiatry.1998:65; 10-22
Papiris SA, Maniati M, Constantopoulos SH, Roussos C, Moutsopulos
HM, Skopouli FN. Lung involment in primary Sjogren Syndrome is mainly related to the small airway disease.
Ann.Rheum.Dis. 1999 :58;61-4.
Price EJ, Venables PJW. Dry eyes and mouth syndrome- a subgroup
of patients presenting with sicca symptoms. Rheumatol.
2002;41: 416-25.

'

398

couri

ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS


Edward Stefanus Tehupeiory

PENDAHULUAN

Artritis pirai (gout) adalah penyakit yang sering ditemukan


dan tersebar di seluruh dunia. Artritis pirai merupakan
kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi
kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraselular.
Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut,
akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi),
batu asam urat dan yang jarang adalah kegagalan ginjal
(gout nefropati). Gangguan metabolisme yang
mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan
sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7 ,0 ml/dl dan 6,0
mg/dl.

EPIDEMIOLOGI

Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa.


Sebagaimana yang disampaikan oleh Hippocrates bahwa
gout jarang pada pria sebelum masa remaja (adolescens)
sedangkan pada perempuan jarang sebelum menopause.
Pada tahun 1986 dilaporkan prevalensi gout di Amerika
Serikat adalah 13.6/1000 pria dan 6.4/1000 perempuan.
Prevale~'si gout bertambah dengan meningkatnya
taraf hidup. Prevalensi di antara pria African American
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pria
caucasian.
Di Indonesia belum banyak publikasi epidemiologi
tentang artritis pirai (AP). Pada tahun 1935 seorang dokter
kebangsaan Belanda bernama Van der Horst telah
melaporkan 15 pasien artritis pirai dengan kecacatan
(lumpuhkan anggota gerak) dari suatu daerah di Jawa
Tengah. Penelitian lain7 mendapatkan bahwa pasien gout
yang berobat, rata-rata sudah mengidap penyakit selama
lebih dari 5 tahun. Hal ini mungkin disebabkan banyak

pasien gout yang mengobati sendiri (self medication).


Satu study yang lama di Massachusetts (Framingham
Study) mendapatkan lebih dari 1 % dari populasi dengan
kadar asam urat kurang dari 7 mg/100 ml pemah mendapat
serangan artritis gout akut. Hasil penelitian terlihat pada
Tabell.

label 1. Prevalensi Artritis


Asam Ural pada Pria

Kadar Sodium
Urat Serum

Gout Se suai dengan Nila, Kadar

Total Pasien
diperlksa

<6

6-6,9
7 - 7,9
8-8,9
>9
Total

1281
970
162
40
10
2463

Artritis Gout
Yang Timbul
No

Persen

11
27
28
11
9
86

0,9
2,8
17,3
27,5
90,0
3,5

Dikutip dari Framingham Study (11)

PATOLOGI GOUT

Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma


dikelilingiolehbutirkristalmonosodiumurat (MSU).Reaksi
inflamasi disekeliling kristal terutama terdiri dari sel
mononuklear dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks
tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul fibrosa biasanya
prominen di sekeliling tofi. Kristal dalam tofi berbentuk
jarum (needleshape) dan seringmembentukkelompokkecil
secara radier.
Komponen lain yang penting dalam tofi adalah
lipid glikosaminoglikan dan plasma protein. 5 Pada artritis
gout akut cairan sendi juga mengandung krital
monosodium urat monohidrat pada 95% kasus.

2557

ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT)

Pada cairan aspirasi dari sendi yang diambil segera pada


saat inflamasi akut akan ditemukan banyak kristal di
dalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses
fagositosis.

PATOGENESIS ARTRITIS GOUT


Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan
perubahan kadar asam urat serum, meninggi ataupun
menurun. Pada kadar urat serum yang stabil, jarang
mendapat serangan. Pengobatan dini dengan alopurinol
yang menurunkan kadar urat serum dapat mempresipitasi
serangan gout akut. Pemakaian alkohol berat oleh pasien
gout dapat menimbulkan fluktuasi konsentrasi urat serum.
Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan
kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi
(crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang
dengan hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan
pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya
tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian
gout, seperti juga pseudo gout, dapat timbul pada keadaan
asimptomatik. Pada penelitian penulis didapat 21 % pasien
gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperatur, PH dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout akut.
Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih
rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat
menjelaskan mengapa kristal MSU diendapkan pada kedua
tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristal
MSU pada metatarsofalangeal-I
(MTP-1) berhubungan
juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada
daerah tersebut.
Penelitian Simkin didapatkan kecepatan difusi molekul
urat dari ruang sinovia kedalam plasma hanya setengah
kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam
cairan sendi seperti MTP-1 menjadi seimbang dengan urat
dalam plasma pada siang hari selanjutnya bila cairan sendi
diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan kadar
urat lokal. Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya
awitan (onset) gout akut pada malam hari pada sendi yang
bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi urat
in vitro melalui pembentukan dari protonated solidphases.
Walaupun kelarutan sodium urat bertentangan terhadap
asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi, pada
penurunan pH dari 7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran pH
serta kapasi tas buffer pada sendi dengan gout, gagal untuk
menentukan adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan pH secara akut tidak signifikan mempengaruhi
pembentukan kristal MSU sendi.
Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting
pada artritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan
reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari
kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari
proses inflamasi adalah:
Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab;

Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang


lebih luas.
Peradangan pada artritis gout akut adalah akibat
penumpukan agen penyebab yaitu kristal monosodiurn urat
pada sendi. Mekanisme peradangan ini belum diketahui
secara pasti. Hal ini diduga oleh peranan mediator kimia
dan selular. Pengeluaran berbagai mediator peradangan
akibat aktivasi melalui berbagai jalur, antara lain aktivitas
komplemen (C) dan selular.

AKTIVASI KOMPLEMEN
Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui
j alur klasik dan j alur alternatif. Melalui j alur klasik, terjadi
aktivasi komplemen C 1 tanpa peran imunoglobulin. Pada
kadar MSU meninggi, aktivasi sistem komplemen melalui
jalur alternatif terjadi apabila jalur klasik terhambat. Aktivasi
Clq melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi kolikrein
dan berlanjut dengan mengaktifk:an Hageman faktor
(Faktor XII) yang penting dalam reaksi kaskade koagulasi.
lkatan partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses
opsonisasi. Proses opsonisasi partikel mempunyai
peranan penting agar partikel tersebut mudah dikenal, yang
kemudian difagositosis dan dihancurkan oleh netrofil,
monosit atau makrofog. Aktivasi komplemen C5 (C5a)
menyebabkan peningkatan aktivitas proses kemotaksis sel
neutrofil, vasodilatasi serta pengeluaran sitokin IL-1 dan
TNF. Aktivitas C3a dan C5a menyebabkan pembentukan
membrane attack complex (MAC). Membrane attack
complex merupakan komponen akhir proses aktivasi
komplemen yang berperan dalam ion channel yang
bersifat sitotoksik pada sel patogen maupun sel host. Hal
ini membuktikan bahwa melalui jalur aktivasi "komplemen
cascade ". kristal urat menyebabkan proses peradangan
melalui mediator IL-1 dan TNF serta sel radang neutrofil
dan makrofag.

ASPEK SELULAR ARTRITIS GOUT


Pada artritis gout, berbagai sel dapat berperan dalam proses
peradangan, antara lain sel makrofag, neutrofil sel sinovial
dan sel radang lainnya. Makrofag pada sinovium
merupakan sel utama dalam proses peradangan yang dapat
menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL-1,
TNF, IL-6 dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophage
Colony-Stimulating Factor). Mediator ini menyebabkan
kerusakan j aringan dan mengaktivasi berbagai sel radang.
Kristal urat mengaktivasi sel radang dengan berbagai cara
sehinggga menimbulkan respons fungsional sel dan gene
expression. Respons fungsional sel radang tersebut antara
lain berupa degranulasi, aktivasi NADPH oksidase gene
expression sel radang melalui jalur signal transduction

2558

REUMATOLOGI

pathway dan berakhir dengan aktivasi transcription


factor yang menyebabkan gen berekspresi dengan
mengeluarkan berbagai sitokin dan mediator kimiawi lain.
Signal transduction pathway melalui 2 cara yaitu, dengan
mengadakan ikatan dengan reseptor (cross-link) atau
dengan langsung menyebabkan gangguan non spesifik
pada membran sel.
Ikatan dengan reseptor (cross-link) pada sel membran
akan bertambah kuat apabila kristal urat berikatan
sebelumnya dengan opsonin, misalnya ikatan dengan
imunoglobulin (Fe dan lgG) atau dengan komplemen (Clq
C3b). Kristal urat mengadakan ikatan cross-link dengan
berbagai reseptor, seperti reseptor adhesion molecule
(Integrin), non tyrosin kinase, reseptor FC, komplemen
dan sitokin. Aktivasi reseptor melalui tirosin kinase dan
second messenge akan mengaktitkan transcriptionfactor.
Transkripsi gen sel radang ini akan mengeluarkan berbagai
mediatorkimiawi antaralain IL- I. Telahdibuktikanneutrofil
yang diinduksi oleh kristal urat menyebabkan peningkatan
mikrokristal fosfolipase D yang penting dalam jalur
transduksi signal. Pengeluaran berbagai mediator akan

menimbulkan reaksi radang lokal maupun sistemik dan


menimbulkan kerusakanjaringan.

MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik gout terdiri dari artritis gout akut,


interkritikal gout dan gout menahun dengan tofi. Ketiga
stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat
deposisi yang progresif kristal urat.

STADIUM ARTRITIS GOUT AKUT

Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul
sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada
gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang
hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat
monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri,
bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik
berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang

Eru!Qtef
Pembuluh darah

Selection
HE~

~
Gllj11laslsblrnatlk
F'ebtjs

Low
~ /~ (
Mediafor
(PGG,,I\IOR ,NO)

Kemotaktik:
leukoslt

?eracfanganlokal

Gambar 1. Mediator Kimiawi pada Peradangan Akut

Keterangan :
Stimulasi dapat berupa produk bakteri (polisakarida bakteri, eksotoksin), mediator kimiawi yang
iritan antara lain kristal urat, radiasi dan molekul endogen seperti kompleks imun dan fragmen
komplemen. HEV = high endothelial vessel, MSU = mono sodium urate, NO = nitrit oksid, PGE
= prostaglandin E, POR = produk oksigen reaktif, TNF = tumor necrosisfactor, IL-1 = interleukin
-1, IL-6 = interleukin - 6, IL-8 = interleukin - 8. (19,20)

2559

ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT)

paling sering pada MTP-1 yang biasanya disebut


podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat terkena
sendi lain yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut dan siku.
Serangan akut ini dilukiskan oleh Sydenham sebagai:
sembuh beberapa hari sampai beberapa minggu, bila tidak
diobati, rekuren yang multipel, interval antar serangan
singkat dan dapat mengenai beberapa sendi. 16 Pada
serangan akut yang tidak berat, keluhan-keluhan dapat
hilang dalam beberapa jam atau hari. Pada serangan akut
berat dapat sembuh dalam beberapa hari sampai beberapa
minggu.
Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa
trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres,
tindakan operasi, pemakaian obat diuretik atau penurunan
dan peningkatan asam urat. Penurunan asam urat darah
secara mendadak dengan alopurinol atau obat urikosurik
dapat menimbulkan kekambuhan.

STADIUM INTERKRITIKAL

Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana


terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara
klinik tidak didapatkan tanda-tanda radang akut, namun
pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini
menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut,
walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu
atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10 tahun
tanpa serangan akut. Apabila tanpa penanganan yang baik
dan pengaturan asam urai yang tidak benar, maka dapat
timbul serangan akut lebih sering yang dapat mengenai
beberapa sendi dan biasanya lebih berat. Manajemen yang
tidak baik, maka keadaan interkritik akan berlanjut menjadi
stadium menahun dengan pembentukan tofi.

STADIUM ARTRITIS GOUT MENAHUN

Stadium ini umumnya pada pasien yang mengobati sendiri


(selfmedication) sehingga dalam waktu lama tidak berobat
secara teratur pada dokter.Artritis gout menahun biasanya
disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi
ini sering pecah dan sulit sembuh dengan obat,
kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Pada tofus
yang besar dapat dilakukan ekstirpasi, namun hasilnya
kurang memuaskan. Lokasi tofi yang paling sering pada
cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achilles dan
jari tangan. Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu
saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.

DIAGNOSIS

Dengan menemukan kristal urat dalam tofi merupakan

diagnosis spesifik untuk gout. Akan tetapi tidak semua


pasien mempunyai tofi, sehingga tes diagnostik ini kurang
sensitif. Oleh karena itu kombinasi dari penemuanpenemuan di bawah ini dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis:
Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus
pada sendi MTP-1;
Diikuti oleh stadium interkritikdi mana bebas sirnptom;
Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan
kolkisin;
Hiperurisemia.
Kadar asam urat normal tidak dapat menghindari
diagnosis gout. Logan dkk mendapatkan 40% pasien gout
mempunyaikadar asamurat normal.Hasilpenelitianpenulis
didapatkan sebanyak 21% artritis gout dengan asam urat
normal. Walaupun hiperurisemia dan gout mempunyai
hubungan kausal, keduanya mempunyai fenomena yang
berbeda. Kriteria untuk penyembuhan akibat pengobatan
dengan kolkisin adalah hilangnya gejala objektifinflamasi
pada setiap sendi dalam waktu 7 hari. Bila hanya ditemukan
artritis pada pasien dengan hiperurisemia tidak bisa
didiagnosis gout. Pemeriksaan radiografi pada serangan
pertama artritis gout akut adalah non spesifik. Kelainan
utama radiografipada kronik gout adalahinflamasiasirnetri,
artritis erosif yang kadang-kadang disertai nodul jaringan
lunak.

PENATALAKSANAAN ARTRITIS GOUT

Secara umum penanganan artritis gout adalah memberikan


edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan.
Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi
kerusakan sendi ataupun komplikasi lain, misalnya pada
ginjal. Pengobatan artritis gout akut bertujuan
menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan
dengan obat-obat, antara lain kolkisin, obat anti inflamasi
non steroid (OAINS), kortikosteroid, atau hormonACTH.
Obat penurun asam urat seperti alopurinol atau obat
urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut. Namun
pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam
urat, sebaiknya tetap diberikan. Pemberian kolkisin dosis
standar untuk artritis gout akut secara oral 3-4 kali, 0,5-0,6
mg per hari dengandosismaksirnal6 mg. PemberianOAINS
dapat pula diberikan. Dosis tergantung dari jenis OAINS
yang dipakai. Di samping efek anti inflamasi obat inijuga
mempunyai efek analgetik. Jenis OAINS yang banyak
dipakai pada artritis gout akut adalah indometasin. Dosis
obat ini adalah 150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan
dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya atau
sampai nyeri atau peradangan berkurang. Kortikosteroid
dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak
efektif atau merupakan kontra indikasi. Pemakaian
kortikosteroid pada gout dapat diberikan oral atau

2560

parenteral. Indikasi pemberian adalah pada artritis gout


akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular).
Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan
adalah untuk menurunkan kadar asam urat, sampai kadar
normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar
asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin
dan pemakaian obat allopurinol bersama obat urikosurik
yang lain.

RE FE REN SI
Becker MA. Clinical gout and the pathogenesis of hyperuricemia.
In Koopman WJ editor. Arthritis and allied condition. 14'h
edition. Williams & Ailkins; 2001.p.2281-306.
Becker MA, Jolly M. Clinical gout and the pathogenesis of
hyperuricemia.ln: Arthritis and allied condition. A textbook of
Rheumatology. Koopman WJ,editor. 15'" edition. Baltimore:
Lippincott Williams and Wilkins;2005.p.2303-33.
Darmawan J, Rasker JJ, Nuralim H. The effect of control and self
medication of chronic gout in a developing country : Outcome
after 10 years. J Rheumatol 2003 ; 30 ; 2437-43.
Emmerson BT. Hyperuricemia and gout in clinical practice. Sydney:
Adis Health Sciences; 1983.p.3-60.
Eichenfield LF, Jhonston RB. The complement system. Sigal LH,
Ron Y,editors. Immunology and Inflammation. Basic and
clinical consequences. New York: Mc Graw Hill; 1994.p.359-86
Felson DT. Epidemiology of the rheumatic diseases. gout and
hyperuricemia. Koopman WI, Moreland LW,editors,16 1
edition.Philadelphia:Lippencott WL Wilkins; 205.p.29-30.
Hochberg MC, Thomas J, Thomas DJ, et al. Racial differences in
the incidence of gout the role of hypertension. Arthritis Rheum.
1995; 38:628-32.
Healey LA. Epidemiology
of Hyperuricemia. Gout and purine
metabolism. Proceeding of a conferrence The Arthritis
Foundation 1974 : 709-12.
Hall AP. Barry PE. Dawber TR, et al.Epidemiology 'of gout and
hyperuricemia. Am J Med. 1965;39 : 242-51.

Mc. Carty DJ. Gout without hyperuricemia. JAMA.1994 ; 21 : 2175-6.


Naccache PH, Bourgoin S, Plante E et al. Crystal induced neutrofil
activation II. Evidence for the activation of a phosphatidyl
choline specific phospholip~se D. Arthritis and Rheumatism.
1993 ; 30 : 117-25.
Klippel JH Gout. Epidemiology, pathology and pathogenesis.
In: Primer
on the rheumatic
diseases.12'" edition.
Atlanta:Arthritis Foundation 2001.p.307-24.
Kelley WN, Wortman RL. Gout and hyperuricemia. Kelley, Ruddy
S, editors. Textbook of rheumatology 5th ed Philadelphia: WB
Saunders; 1997.p.1314-50.
Logan JA. Morrison E. Mc Gill P. Serum uric acid in acute gout. Ann
Rheum Dis 1997 ; 56: 696-7.
Peterson F, Symes Y, Springer P. Perspective on pathophysiology.
Coopstead editors. Philadelphia:W.B Saunders; 1999.p.173.
Rodnan GP Gout : A Clinical round table conference. When and how
to treat New York:Park Row Publ;l980.p.6-23.
Tehupeiory ES. Gouty arthritis and uric acid distribution in several
ethnic group in Ujung Pandang disertasi 1992.
Terkeltaub RA. Pathogenesis and treatment of crystal induced
inflammation. ln:Arthritis and allied condition. a textbook of
rheumatology. Koopman WJ. Ed 15lh edition. Baltimore:
Lippencott Williams and Wilkins; 2005.p.2357-69.
Tjokorda RP. Hubungan interleukin-I (IL-I) dan IL-I reseptor
antagonis dengan keradangan pada artritis pirai akut disertasi,
Surabaya 2004.
Telketaub RA. Gout . N Engl J Med.2003: 349 : 17.
van der Horst. Het VoorkonienVan Jicht. Ned Ind Tv.G 1935; 12:1483-5.
Walker BAM, Pantone JC. The inflammatory response.
Immunology and inflammation basic and clinical consequences.
Sigal LH, Ron Y,editors. New York: Mc Graw-Hill; 1994.p.359-84.
Walport MJ, Duff GW. Cells and mediators. Maddison PJ Isenberg
DA,editors. Oxford textbook of rheumatology . 2n edition
Oxford University Press; 1988.p.503-24.
Wallace SL, Bernstein D, Diamond H. Diagnosis value of colchicine
therapeutic trial .JAMA ; 1967 ; 199 : 525-8.

399
KRISTAL ARTROPATI SELAIN GOUT
Farid in

PENDAHULUAN
Sampai dengan tahun 1960,penyebab radang sendi akibat
kristal monosodium urat (MSU crystal) dikenal dengan
artritis gout. Namun berkat kemajuan pemeriksaan analisis
cairan sendi, diketahui bahwa selain kristal MSU juga
ditemukan suatu kristal yang tidak sama dengan kristal
MSU menyebabkan suatu penyakit yang mempunyai
gejala-gejala keradangan sendi yang mirip dengan gout
(pseudogout), dikenal sebagai calcium pyrophosphate
dehidrogenase crystal (CPPD) dengan rumus kimia
Ca2P207 2Hp. Istilah pseudogout dipakai untuk
menggambarkan serangan radang akut yang mirip gout
dan sering tampak pada pasien-pasien dengan
penimbunan kristal CPPD.
Penimbunan kristal CPPD hanya ditemukan di sekitar
sendi dan ditandai dengan kalsifikasi rawan sendi,
meniskus, sinovium, danjaringan sekitar sendi. Identifikasi
kristal CPPD dalam cairan sinovial atau jaringan sekitar
sendi penting untuk membedakan antara penyakit akibat
deposisi kristal CPPD dengan keradangan sendi akibat
penimbunan kristal dan penyakit degeneratif sendi lainnya.
Istilah chondrocalcinosis didasarkan atas ditemukannya
kristal kalsium pada pemeriksaan radiologis sebagai
radioluseh di sekitar sendi. Penimbunan kristal CPPD tidak
terbatas hanya pada rawan sendi, namun kristal CPPD
dapat tertimbun pada synovial lining, ligamentum-ligamentum, tendon-tendon otot, dan jarang pada jaringan
lunak periartikular seperti tofus pada artritis gout kronik.2
Beberapa kristal yang telah dikenal selain kristal MSU
dan CPPD adalah kelompok apatite like crystal yang
menyebabkan peradangan sendi yaitu basic calciumphosphate (BCP), meliputi carbonate subtituted apatite,
octacalcium phosphate,
tricalcium phosphate
(whitlockite), dan dicalcium phosphate dihidrate (brushue) (Lihat tabel 1 ). Kristal ini merupakan bentuk kristal

periartikular patologik yang menyebabkan keradangan


sendi mirip dengan keradangan sendi gout dan
pseudogout. Selanjutnya kelompok ini dikenal sebagai
kelompok apatit atau BCP.
Tabel 1 Bebcrapa Kristal dan Partikel Lam yang Telah
Diidentifikasi pada Janngan Sendi dan Ca,ran Sinovial

Monosodium urat monohidrat


Calcium pyrophosphate dihydrate
Basic Calcium Phosphate (BCP)
Apatite
Tricalciumphosphate
Octacalcium phosphate Dicalcium
phosphate dihydrate (brushite) Calcium
magnesium phosphate (whitlokite) Calcium
carbonates (calcite and aroganite) Calcium
oxalate (monohydrate and dihydrate) Lipid
Kristal kolesterol
Krisral - kristal lipid
Kristal - kristal protein
Kryoglobulin
Hematoidin
Charcot-Leyden
Kristal- kristalsteroid(karenasuntikansteroidintraartikuler)

EPIDEMIOLOGI
Laporan mengenai data epidemiologi penyakit radang
sendi akibat penimbunan kristal (artropati kristal) sangat
jarang. Pseudogout sering ditemukan pada umur
pertengahan dan umur yang lebih tua, data yang pemah
dilaporkan menyatakan bahwa 10-15% mengenai mereka
yang berusia 65-70 tahun dan akan meningkat 30-60%pada
usia di atas 80 tahun, perempuan lebih sering dibanding
laki-laki dengan perbandingan 2-3: 1. Penelitian-penelitian
prevalensi dari CPPD hanya berdasarkan gambaran
radiologis dan patologi dari kondrokalsinosis. Pada suatu

2562

penelitian radiologis, prevalensi kondrokalsinosis pada


populasi umum sekitar 0,9 per 1000 penduduk.
Kondrokalsinosis akan meningkat sesuai dengan
peningkatan umur dan umumnya asimptomatik.Hubungan
antara CPPD dengan osteoartritis masih kontroversi. Suatu
penelitian kohort pasien 70 tahun, pada awal penelitian
insiden kondrokalsinosis 7,8%, padafo/low up 7-10 tahun
kemudian dengan perneriksaan radiologis, tidak
memperlihatkan peningkatan risiko kejadian osteoartritis.
Prevalensi penyakit timbunan kristal kalsium
hidroksiapatit (HA) masih belum diketahui, demikian pula
dari kelompok BCP lain. Kejadian radang sendi akibat
penimbunan kristal HA pemah dilaporkan pada pasien
umur 30 tahun, di mana biasanyajarang terjadi osteoartritis.
Berdasarkan data-data epidemiologi di atas maka
pembahasan tentang kristal artropati selain gout dibatasi
pada penjelasan mengenai radang sendi akibat penimbunan
kristal CPPD dan kelompok BCP.

PSEUDOGOUT

Pseudogoutmerupakan sinovitismikrokristalinyang dipicu


oleh penimbunan kristal CPPD, dan dihubungkan dengan
kalsifikasi hialin serta fibrokartilago. Ditandai dengan
gambaran radiologisberupa kalsifikasirawan sendi di mana
sendi lutut dan sendi-sendi besar lainnya merupakan
predileksi untuk terkena radang.

pembentukan PPi oleh karena adanya ATP dan ekstrak


tulang rawan pasien deposisi CPPD.
Komposisi ion matriks juga mempengaruhi
pembentukan kristal CPPD, di mana ionferro menghambat
pirofosfatase, ion Jerri menurunkan pembentukan kristal
CPPD in vitro dan memperlambat degradasi intraselular
kristal CPPD. Sedangkan hipomagnesemia dihubungkan
dengan kondrokalsinosis dimana magnesium adalah
kofaktor untuk pirofosfatase dan meningkatkan kelarutan
kristal CPPD, sehingga bila terjadi defisiensi akan
menurunkan hidrolisis PPi dan dapat memperlambat
kelarutan kristal.
Kerusakan sendi akibat penimbunan kristal CPPD
disebabkan oleh faktor fisis dan perubahan kimia pada
rawan sendi yang mempermudah pembentukan kristal.
Bepasnya kristal CPPD pada ruang sendi diikuti oleh
fagositosis neutrofil dari kristal dan lepasnya substansi
inflamasi, di samping itu neutrofil akan membebaskan
glikopeptidayang bersifat suatu kemotaktik untuk neutrofil
yang memperhebat proses keradangan. CPPD juga dapat
mengaktivasi faktor Hagemen yaitu kinin dan bradikinin
yang mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin,
selanjutnya akan mengkativasi siklus komplemen yang
merupakan mediator untuk inflamasi akut.
Manifestasi Klinis

Gambaranklinis pasien denganpenimbunankristal CPP


dapat asimtomatik atau dengan gejala-gejala keradangan
sendi yang nyata. (Lihat Tabel 2).

Patogenesis

Penyebab dari pseudogout adalah timbunan kristal CPPD


di dalam struktur sendi. Penyebab penimbunan dari kristal
ini belum diketahui secara pasti. Kristal yang terbentuk
akan memicu proses fagositosis, selanjutnya akan
melepaskanenzim-enzimlisosomyang akan mengakibatkan
keradangan. Pembentukan kristal CPPD pada kartilago
disebabkan peningkatan kadar kalsium atau pirofosfat
inorganik (PPi) dari perubahan di dalam matriks yang
mencetuskan pembentukan kristal atau dari kombinasi
keduanya.
Episode akut serangan artritis pseudogout timbul
karena terjadinya pelepasan kristal CPPD.dari deposit-depo it yang terdapat dalamfibrokartilago dan kartilago hialin
yang mekanismenya meliputi: kelarutan parsial dari kristal
atau perubahan matriks kartilago sekitamya, keduanya
dapat mempercepat pelepasan kristal ke dalam ruang sendi.
Pada pasien dengan kristal CPPD, biasanya tidak terjadi
peningkatan kadar plasma PPi dan peningkatan ekskresi
melalui urin. Konsentrasi PPi cairan sinovial meningkat
pada beberapa sendi pasien dengan kristal CPPD.2
Sumber utama PPi secara biologis adalah berasal dari
pemecahan nukleotida trifosfat atau berhubungan dengan
senyawa seperti uridin difosfoglukose pada kartilago.
Tenembaun dalam penelitiannya mengatakan bahwa

Tabel 2. Manifestas,
Kristal CPPD

Kllnis

Penyakit

Akibat Penimbunan

Mono atau oligoartritis akut dengan serangan pseudogout


Osteo-artritis tipe peculai
Artropati pirofosfat
Pseudo spondilitis ankilosing
Artropati destruktif
Bentuk tofaseous atau pseudotumoral
Osteokromatosis sinovial
Deposit pada mata
Bursitis, tendinitis Carpal
tunnel syndrome Cubital
tunnel syndrome Ruptur
tendon
Nyeri punggung akut
Stenosis spinal
Mielopati servikal
Pseudomeningitis

Pseudogout memberikan serangan akut atau subakut,


episodik dan dapat menyerupai penyakit gout, di mana
inflamasi sinovium merupakan gejala yang khas. Menurut
Mc Carty; artritis CPPD akut disebut pseudogout, karena
sangat menyerupai gout.
Pada saat serangan akut didapatkan adanya
pembengkakan yang sangat nyeri, kekakuan dan panas
lokal sekitarsendiyang sakitdan disertaieritema.Gambaran

KRISTALARTROPATI

2563

SELAIN GOUT

tersebut sangat menyerupai gout. Serangan akut dapat


pula diprovokasi oleh tindakan operasi, dan dapat bersifat
self-limiting.
Sekitar 5% dari pasien dengan penimbunan kristal
CPPD memberikan gambaran klinis seperti artritis
pseudoreumatoid.Gejala-gejalanyamirip dengan gambaran
artritis reumatoid, seperti melibatkan beberapa sendi
bersifat simetris, kekakuan pagi hari, penebalan sinovium,
dan peningkatan laju endap darah, dan sekitar 10% pasien
dengan penimbunan kristal CPPD mempunyai titer faktor
reumatoid serum yang rendah. Hal ini biasa akan
mengacaukan diagnosis dengan artritis reumatoid.
Penimbunan CPPD pada tulang belakang khususnya
pada segmen servikal akan bermanifestasi klinis berupa
nyeri tengkuk, kekakuan, dan kadang-kadang disertai
demam, sehingga menyerupai meningitis.
Resnik, dkk, sekitar 91 % pasien CPPD servikal, akan
mengalami kelainan vertebra servikal seperti hilangnya
diskus intervertebral, subluksasi vertebra servikal,
destruksi vertebra, dan pseudo-angkilosing spondilitis.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tidak ada yang spesifik, laju endap
darah meninggi selama fase akut, leukosit PMN sedikit
meninggi. Sekitar 20% pasien dengan timbunan kristal
CPPD ditemukanhiperurisemiadan 5% disertaikristalMSU.
Pemeriksaan cairan sinovium dengan menggunakan
mikroskop cahaya biasa dapat terlihat bentuk kristal seperti
kubus (Rhomboid), a tau batang pendek bersifat
birefringece positif lemah. Pada keadaan lain dapat
berbentukjarum seperti kristal MSU. Kedua bentuk kristal
ini bersifat birefringence pada pemeriksaan kristal dengan
menggunakan mikroskop polarisasi cahaya.
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis timbunan kristal CPPD dapat
memperlihatkangambaran kondrokalsinosisberupa bintikbintik atau garis-garis radioopak yang sering ditemukan
di meniskus fibrokartilago sendi lutut. Dapat pula berupa
kalsifikasi pada sendi radio-ulner distal, simfisis
pubis, glenoid serta anulus fibrous diskus intervertebralis.
Pemeriksaan skrining dapat dilakukan dengan pemeriksaan
foto pada sendi lutut (dalam keadaan tanpa beban) dengan
posisi antero-posterior (AP), foto pelvis posisi AP untuk
melihat sekitar simfisis pubis dan panggul, dan posisi
postero-anterior dari pergelangan tangan.
Diagnosis
Pseudogout dicurigai bila didapatkan adanya serangan
radang sendi yang bersifat rekuren, episodik, ditandai
dengan sinovitis mikrostalin dan didukung dengan
penemuan pemeriksaan radiologis yang memperlihatkan
adanya kondrokalsinosis.

Mc Carty, mengajukan kriteria diagnosis untuk


timbunan kristal CPPD yang didasarkan atas gambaran
kristal dan radiologis (Tabel 3).
Tabel 3. Kriteria Diagnostik
Timbunan Kristal CPPD

untuk

Penyakit

Akibat

Kategori
Definit
: Harus memenuhi kriteria I atau Ila
Probable : Harus memenuhi kriteria Ila atau llb
Possible : Kriteria Illa atau lllb seharusnya mengingatkan
klinisi kemungkinan penyakit dasar timbunan
CPPD
Kriteria
I.
Ditemukan kristal CPPD secara definitif dari aspirat
cairan sendi, biopsi atau nekroskopi
II. a. ldentifikasi kristal monoklinik atau triklinik yang
memperlihatkan positif lemah, atau kurang jelas
refraksi ganda
(membias) dengan mikroskop biasa berpolarisator.
b. Adanya kalsifikasi fibrokartilago dan kartilago hialin
yang khas pada gambaran radiologis.
Ill. a. Artritis akut, terutama pada lutut atau sendi besar
lainnya, dengan atau tanpa bersamaan hiperurisemia.
b. Artritis kronik terutama pada lutut, pangkal paha,
pergelangan tangan, tangan, siku, sendi bahu dan
sendi metakarpofalangeal,
terutama
bila
disertai eksaserbasi akut; artritis kronik yang
menunjukkan gambaran tersebut membantu untuk
membedakan dengan OA.
- Letak OA yang tidak lazim, seperti sendi
pergelangan tangan, sendi metakarpofalangeal,
atau sendi bahu.
Gambaran radiologis misalnya penyempitan celah
sendi radiokarpal, atau patelofemoral, terutama
bila terisolasi (patela yang membungkus femur).
- Pembentukan kista subkondral
- Degenerasi progeresif berat: kolaps tulang
subkondral
(mikrofraktur),
dan
fragmentasi
dengan pembentukan badan-badan radiodens
intra artikular.

Pengobatan
Pada serangan akut sendi besar dapat dilakukan
aspirasi sekaligus dilanjutkan dengan pemberian steroid
intraartikular. Tindakan ini di samping bertujuan untuk
mengurangi tekanan intra artikular juga sebagai tindakan
diagnostik untuk pemeriksaan kristal.
Pemberian OAINS berupa fenilbutazon dosis 400-600
mg/hari untuk beberapa hari dapat bermanfaat, indometasin
dosis 75-150 mg/hari ataudengan OAINS lainnya, dengan
tetap memperhatikan efek samping OAINS pada saluran
cema dan pemberian pada usia lanjut.
Kolkisin efektif menghambat pelepasan faktor-faktor
kemotaktik seperti sel-sel neutrofil dan mononuklir dan
juga menghambat ikatan sel neutrofil dengan endotel.
Pemberian kolkisin intravena efektif untuk pengobatan
pseudogout, sedangkan kolkisin oral tidak sebaik pada
pengobatan gout dibanding pseudogout (primer), tapi
untuk pencegahan serangan dapat digunakan kolkisin oral.

2564
Mengistirahatkan sendi penting selama serangan akut
dan latihan fisik dilakukan setelah serangan akut bertujuan
memperbaiki ketegangan otot dan lingkup gerak sendi
untuk menghindari kontraktur.
Radang sendi akibat timbunan kristal Basic Calcium
Phosphate
Penimbunan kelompok basic calciumphosphate (BCP)
ditemukanpadajaringan sendi, kulit, pembuluh darah arteri
danjaringan lainnya. Pada sistem muskuloskletal, kristal
dapat ditemukan pada tendon otot, diskus intervertebral,
kapsul sendi, sinovium,dan kartilago.Umumnya kalsifikasi
berbentuk tunggal, dapat pula multipel. Dari kelompok ini
yang terbanyak ditemukan adalah kristal hidroksiapatit
(HA). Timbunan HA merupakan faktor penting pada
kejadian artropati kronik destruktif yang sangat berat,
terjadi pada usia lanjut dan sering terjadi pada sendi lutut
dan bahu. Meskipun penyakit ini jarang, namun
manifestasi klinis yang kadang-kadang mirip dengan OA,
maka perlu difikirkan kemungkinan kristal HA dan
golongannya.
Peranan kristal BCP dalam patogenesis penyakit sendi
belum diketahui. Hipotesis yang dikemukakan,kristal BCP
dapat mengakibatkan peradangan sendi, dan memicu
terjadinya radang sendi.
Menggunakan mikroskop elektron, kristal HA
mempunyai ukuran 5-120 m, berbentuk bundar atau
gumpalan tidak beraturan, tidak bersifat birefringence.
Sindrom bahu Milwaukee (Milwaukee shoulder
syndrome)
Sindrom bahu Milwaukee, merupakan kelainan pada
bahu yang umumnya ditemukan pada perempuan usia
lanjut. Gambaran klinis mirip dengan kelainan-kelainan
pada sendi bahu, seperti tendinitis rotator cuff, robekan
tendon otot-otot rotator cuff, bursitis. Pada sindrom ini
biasa ditemukan efusi, robekan tendon otot-otot rotator
cuffyang luas, gambaran radiologis ditemukan kalsifikasi
periartikular, subluksasi kaput humeral. Analisis cairan
sendi ditemukan kristal BCP,jumlah leukosit sinovial yang
rendah. Gambaran klinis berupa nyeri bahu ringan sampai
berat, keterbatasan lingkup gerak sendi bahu, pada
beberapa kasus terdapat subluksasi sendi bahu. Belum

REUMATOLOGI

diketahui cara pengobatan ataupun pencegahan


penimbunan kristal BCP. Pengobatan hanya ditujuan pada
gejala-gejala yang ditemukan.
Beberapa radang sendi akibat penimbunan kristal
kelompok BCP yaitu periartritis kalsifikasi, dan kalsinosis,
namun sangatjarang ditemukan.Secaraumum patofisiologi
dan gambaran klinis sama dengan HA, sehingga pada
makalah ini tidak dijelaskan semuanya.

REFERENSI
Finckh A, Linthoudt VD, Duvoisin B, Bovay P,Gerster JC.The
cervical spine in calcium pyrophosphate dihydrate deposition
disease. A prevalent case control study. J Rheumatol. 2004;3l:
545-9
Gatter RA, Schumacher HR . Special studies for crystalline material.
In Joint fluid analysis.Z'" edition, Philadelphia:Lea &
Fabiger; 1991.p.78-84
Halverson PB., Ryan LM.: Arthritis asociated with calcium
containing crystal. In: Klippel JR.Primer on the rheumatic disease, J21h edition, Atlanta:Arthritis foundation; 2001.p.298-306
Halverson PB. Basic calcium phosphate (apatite, octacalcium
phosphate, tricalcium phosphate) crystal deposition and calcinosis. In: Arthritis and allied conditions, 15th ed vol. 2, Koopman
WJ, Moreland LW. PhiladelphiaL:LippincotWilliam & Wilkins;
2005.p.2397-416
Pons-Estel BA, Gimeniz C, Sacnon M, et al .Familial osteoarthritis
and Milwaukee shoulder associated with calcium pyrophosphate
and apatite crystal deposition. J Rheumatol. 2000;27 : 471-80
Rosenthal AK, Ryan LM : Calcium pyrophosphate crystal deposition disease, pseudogout, and articular chondrcalcinosis. In
Arthritis and allied conditions, 15th edition, Koopman WJ,
Moreland LW. Philadelphia:Lippincot William & Wilkins;
2005 .p.23 73-96
Reginato AJ, Reginato AM.Diseases association with deposition of
calcium pyrophosphate or hydroxyapatite. In Kelley textbook
of rheumatology. 6'h edition, Ruddy S, Harris ED, Sledge CB.
Philadelphia:W.B. Saunders; 2001.p.1377-90
Soenarto.Kristal artropati selain gout. Dalam: Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi ketiga jilid I, Editor: Noer S, Waspaji
S,Rachman AM, dkk. Jakarta:Balai Pustaka FKUI;l996.p.89-96
Tehupeiory ET, Faridin HP .Pseudogout. Dalam: Naskah lengkap
temu ilmiah reumatologi 2000, Bambang Setyohadi, Yoga I
Kasjmir, Siti Mahfudzohv editors, Jakarta, 6-8 Oktober 2000 :
49-52

... \

..

~ J

'"
I'

406

. INFEKSI TULANG DAN

SENDI

~mbangSetiyohadi, A. SanusiTambunan
J1

ARTRITIS BAKTERIALIS
Artritis septik akut yang disebabkan infeksi nonmicobakterial merupakan masalah serius, yang dihadapi
baik di negara berkembang maupun dinegara maju.
Beberapa rute bakteri untuk mencapai sendi antara lain
secara hematogen, penyebaran langsung dari osteomielitis,
penyebaran dari jaringan sekitar sendi yang mengalami
infeksi akibat tindakan presedur diagnostik maupun
terapeutik seperti artrosintesis atanpun astroskopi dan Iuka
tembus.
Pasien dengan artritis septik akut ditandai nyeri sendi
hebat, bengkak sendi, kaku dan ,:gangguan fungsi, di
samping itu ditemukan berbagai gejala sistemik yang lain
seperti demam dan kelemahan umum.
Sendi lutut sering dikenai dan biasanya bersifat
indolent monoartritis. Beberapa faktor risiko antara, Iain.
I) Protesis pada sendi lutut dan sendi panggul disertai
infeksi kulit. 2)Infeksi kulit tanpa protesis. 3)Protesis
pa11g&UJ. ga~ l~uJJ'}.O.PJl .in{*s,! l~t,Yt tan~it.jnfe.k!\USY,Lit ~)
umur "lebih dart' 80 tahuri, :5)' D t\Qt'!:.!i meli~s. 6)Artntis
Reumatoid yang mendapat 'p~ngbbatart' immrido~~pr~sif.

7(T~dakan ~edah-perse\ldian. Di Filfpina<W3por~ b~~~


p~s1en .pas ten Lupus Eritematosus Sistemik (LE~)
merupakan faktor risiko urutan kelima untuk terjadinya
iirl,itis s~ptik.
' ' ' ,.
1'

"Balct~ri'y~gm~uk langsung k~daiam r9~~gi(sen,d(


akan ber!cembang1di dalam cairan sendi, dan sebagian akan
mati akibat d'ifagositosis oleh synovial fi_ning, cells dan
sebagian membentuk i,._~ses, di d~fa.m ~e~bqi;t, s ini~a'i'.
Bil11
bakteri mencapai
sinovium
melalui
aliran
darab,
rnaka
,
. . I
r
,
'
,
f rr
-t'1' ( +c'
,twman aktn ~-~rke.mb.rqg b.iak:.9F~m~rnpen~k ~h.sp}
subsinovial YatJ.g
dan bakteri W,tst*. /W
1pec;:all
.

+'

~y'

!/

,dalAfII ro,n~~a sendi. _ : , , .


r
,
,
,
,
StaP,hf/<;JCOCU$. qur~s ~emp.ajqi ;J?~,pri,Y,~Il& S\;!P~
menyebabkan artritis bakterialis dan osteomielitis pada

manusia. Diduga, kemarnpuan' Staphylococus 'dureus


untuk menginfeksi 'sendi berhubuagan dengan Interaksi
antara bakteri tersebut dengan 'kornponen matr'iks
ekstraselular,
.

Produk-prcduk

bakteri
1

gtarn'

e'nddto'ksin

seperti

(lipop'olisalczjda) 'bakteri
negatif, 'fr;ag'meh ~j_nd)l'\'g
seJ bakteri gram positif clan komplek.'s ' imiln'.'. ~ah
merangsang se)~ el sinovial untuk melepaskan TNF - alfa
da.1L-1 betayang akan ~encetttslQlp m'filtr~sfciatl'aktffi&i

seI-seI PMN: BaR'ten 'iikim filfa'.gositdsi~"ot~h' ~1a6';,/ofa'IN1


synovial lining ells

dan1~~1-s"ef PMN'.-rsJr1s~i"rii'g'JgH:i1<

tersebut, memiliki sistem bakterisidal, kemampuannya


mematikan bakteri tergantung pada viruwm~hiaiU.tib;~
Jh,enginfeb!ii, 1Kromponem .bla~ter,i,iyang,:ll,mbmbentuk
kompleksantigea-antibodi.akan mengaktifkan komplemen
melalui jalur klasik, seda:rigkanrol<'siif-'Hali:te illakan
metigat.-tifk:a:n komp-i1emen1 lhe1it!Ui'']>ahi'r''ah
hlhtif.
Fagositcsis'bakteri yatig mafr oleb1 sel<-sel 'PMN jugkc!'apat
'menyebablrari: 'iitit8hsis'ise1, PMN akafi' mefopa!i~abr ~hzim
lisozomal 'ke dalam sendi yang meriy~l,abka.rt 1ketusakan
sinovial.Iigamen dan rawari sed.i.'Selairi il:u, s~I PMNdapat
merangsang rnetabolisme asam'kra~doriat difu mclepaskan
kclagenase, enzim-enzim pteteolitik dah :Ji,_;P1s'ehingga
reaksi infia:masibertamoiili'beoat'i
!, l'.i1ri
Ji'l,', !l;r11
'
, r 11 ,t 1,
1,
Gambflrap ~ll,nis.d,pplagi:tps.i.s,
, , r,,1, , ,
Artritis bakterial
ditaadai
oleh nyeri~ d@_
p~mb~,gki;lkan
1
.
1,,_
I ..Jll
l
{
sendi ya~g a~t, l,)jas;:i~~a.pipn,.~.arti.kuf~!,11 ~e.ru.t~m_a
.

},

1.

1,

r r-

me,nge;Qa1,.sepd.\ ,utu~ .~ao,~amP,ir


se~a~9 ,aqa penyak1t
i;nen<;la~~rpi~~- .P~da_ .UfD~y,a: fM~P., a}<;~ Pt~n~Nami
dem~ feta~q!W1'1~;W,~e~~i (!l.ef}l~gizf L. ., , . ,

~n.ali~is ~ltt\f cair.~p ~~~~i,. ~.~rup~k~11. p_r?_s edur


diagn?stij(. yang .. P,e~t~g .unt.\, rf:11ep.~i~g.n.<:>.s i.s ITT.tritis
bakterial . .J\gN-~
c;ti1;a.sel)di ~patme~b.~ri,k.ui pasil
xapg ,a,de~11t, C~jp_l~~:.tfp.\. ~.<~S _s ~gCJ:f dj.f~tipi ke
laboratorium
mikrobiologi.
Bila diduga ada infeksi

2640

REUMATOLOGI

Neisseria atau Haemophillus, spesimen harus ditanam


pada agar cokiat dan inkubasi di dalam lingkungan C02
5-10%. Pewamaan Gram cairan sendi dapat diiakukan
setelah
cairan sendi disentrifugasi
atau dilakukan
sitosentrifugasi. Pada bakteri Gram-negatif, kadang-kadang
perlu dilakukan pewamaan acridine-orange. Walaupun
tidak bersifat diagnostik, kecurigaan infeksi sendi dapat
juga dilihat dari hitung ieukosit cairan sendi, yaitu bilit
didapatkan leukosit lebih dari 50.000/ml dengan jumla'!i
PMN lebih dari 80%. Berbagai pemeriksaan kimia cairaii
sendi, seperti glukosa, !,,DH, tidak J:,anyaj<. ipe!!(jukug~
diagnosis infeksi sendl .
; . :
;.,
Pada keadaan yang berat, harus dilakukan kultur darah.
Selain itu juga harus dilakukan kultur dari fokal infeksi,
seperti kulit, urin dan lain sebagainya.
Perubahan radiologis biasanya terjadi beberapa
minggu setelah infeksi. Pemeriksaan radiologis pada
stadium awal dapat dilakukan sebagai data dasar untuk
menilai berbagai perubahan radiologis pada stadium
berikutnya. Pada minggu-minggu pertama, dapat terlihat
ostoeoporosis periartikular, penyempitan celah sendi dan
erosi.
Scintigrafi, dapat mendeteksi adanya inflamasi pada
jam-jam pertama, tetapi tidak dapat membedakan apakah
inflamasi tersebut berasal dari infeksi atau bukan.
Magnetic Resonance Imaging merupakan prosedur
penentuan yang dapat digunakan untuk diagnostik dini,
yang akan menampakkan gambaran pembengkakan dan
pendesakan jaringan lunak sendi.

Li\! ,

: '

antistafilokokal dan aminoglikosida atau sefalosporin


generasi ketiga. Pada pasien usia lanjut juga harus
diberikan antibiotik yang berspektrum
iuas dengan
memperhatikan fungsi berbagai alat tubuhnya, misalnya
fungsi ginjal.
Goiongan quinolon, cukup efektif
terhadap bakteri gram-negatif, tetapi sering cepat terjadi
resistensi. Umumnya konsentrasi antibiotik di dalam
cairan sendi yang terinfeksi cukup tinggi.
Setelah ada hasil kultur cairan sendi, maka antibiotik
diganti dengan yang telah sesuai dengan dosis yang
adekuat.

~W)i~ d ;ti,(~ dengan baik, baik


dengan aspirasijarum, artroskopi atau artrotomi.
Tindakan bedah harus dipertimbangkan pada keadaan

, , 4l111 8rai~

sehagei berikut:
Infeksi koksae pada anak-anak
Sendi-sendi yang sulit dilakukan joint drainage
secara adekuat baik secara aspirasi jarum maupun
karena letak anatomiknya.
Bersamaan dengan ostepitri~ti&
.
lnfeksi berkembang ke jaringan lunak sekitamya.

Penatalaksanaan
Pada dugaan terhadap .kemungkinaa artritia bakterial,
aspirasi cairan.s endi harus :sege1a-~i lak\l.kan. ;\i.ntuk
.analisis, pewarnaan.Gram dao kujtf cairan.sendi
Bila cairan.sendi bersifat.purulen.dan ~u:.d.it~~ukan
bakteri pada pewarnaan Gra.111, segera diberikan
antibiotik .b erspektrum luas. Karena pada umumnya

.disebabkaa.oleh

S.

.~. "

Ga~b"'ifi?rPe ~I nal:i'rl"ihfe sf'tulangbercfas'i:irkan'alirl:irr dJra'h


dan:kematangantutang ; ~f! l.
,,.,-r.' .,., , - .

-.<::j1.

"

{!-ure;;, maka .pilihan utama


-~!ibjoJi.19J itda!a'~J?-rlli~iJi~G, kloksasilin; klindamisin
ata,u netiltw.~iY: y~g fliberipln_.s,~carwa;ent~i:~.t_Pilihan

antibiotik-yang lin adalah ~C\_mbj.nas,_L~mpi_s ~


dan
sulbaktam. Bila alergi.t.,er~,.penisi~ gap~tdiberikan
vankoinisin atau klindamisin,
Bila pada pewarnaan
didapatkan kokus Oram positif, pilihanaptibiotik adalah
vankomisin. B'ili. 'd
~~ ~ tUf111(1r~1 e a'ti'f,
tefu'ta a i,adlf'pasien1 de-~g.ifl Hiiy'1 diifArt''iuSu1f1 a
men'urui{harus diberil2an' golong~ atmn gfilcostclli atau
. perusi.firi 'anti'ps'eudomonas' atau s~t'al~sporih geHeras1
. ketiga~ Bila tlidapittkarr oak 'ririora'trt~egati.f'pltlfr \;mg
muda sehat, ma.ka'j>i.i.ihan antil:ifdti.lc'aohlan~sl
ta~
seftrraks'ott. Pada':'"'neonatus dan anak cti b'awah~i:filiun,
"ai:ii:ibiotik'-barus tli_prlih yaiig" '(fapafWt~matilcttn 1f.
. in,f/uenzii"e,
-~p 'if
AntibJotik yang 'dapatd1berika 'adafafi :pe.ni-silla

s'.a~lreu"i dan "sireptokcfkus


'

....

"'!,

.......

r""4 ~

rl

- r-

... -

. . . --

t1,

...

ti:_

Dctr'in~ru'_p;kan i~fclcsi S~ll~

..

'

~~be"rap;

ie;balW~}ia~
ll!'b~. Um ump.ya pasien artritis
oen.,i~a: mud'a,
sehal o~n kehidupan seksualiiya aktif gecata lllinis 'dapat
timbul dalam beqtuk monoartritis, poJHittm ~dlfi
ten6si8t>vWi~. sJfa.~riit& jb\i dapa'f c1rs' 'ttaPteiollg1,1i
icetai~ttii knlft~e~~Hi 1,1: Rie',' 'i,h in pti ruf( 6uf

J?~l

dae~

lieinotagik'at~u1esfnekt'roi1ft:

. . ,,. . "'\:c.t'. !, l,,.


I~, ~~lfut-dar~ :dan cafiiu1 entli'lfta 'a.riy!1tleftati,'katen'~
gf;lf8.k', ' ti 11 ' en ih'f'-t rh~o!p'~k~nrt"g.in. Hanya
r :

;,. ;.

1icfriiig'dliri10%l:l te 'Bid 'kuftm,., airgp-t,sitlf. Spesim\!t'i


lifu-ti . "d1awb11i re'dHile iirf sehhul onfi~ darr'I~si" pgcla
kulit selain dari cairan sendi dan dara:ii?H.itigshlfg ditaitlftti

pacl" tlielila I ctiRfa


. . J.,M

,--:

.....

:o..- . .

l :.''1b%clra'11iil
s..-J ..~,: . .

""'tti,_

er1- '~rill)\"- Masa


r-~

- ....

',-t-:,J .... r-:'"7!

2641
inkubasi dari kontak seksual sampai timbul DGI berkisar
antara ,1 hari sampai 2 bulan. Hanya 25%-pasien DGI
mempunyai keluhan genitourinaria dan 25% mempunyai
riwayatpemalr menderita gonore. DGI jarang berulang,
bila hal irri 'timbnl, maka harus dipikirkan kemurrgkinaa
defisieasi kemplemen. terutama C5-C9 Wanita yang
terinfeksi' sekitar masa menstruasi ataupada waktu hamil
memiliki risiko untuk berkembang menjadi DGL

Tabcl 1 Perbedaan Artntis Bakterial


dengan Artritis Gonoroika (DIG)
Artritls Gonoroika (DIG)
Selain

menyerang usia

rnnda dafl sehat yang


k&Nidlll<!an: . seksU!llnya
a~tif:atau, pasien dengan
daya
tahan
tubuh
itierilln:ln
' Tidak dicl'afiuluiOleh
~enyakit sendl atau
inteksi intraartikular
Secara klinis akan
ditandai oleh poliartritis,

l)olllaifiiilgiii':11a, etmatitts
din ~osiJIOvltls

Kaltur calr,a'ti sendl pbsitif


pS"da
25% kasus
Kultur darah jarang
positif
Terapi antibiotik
memberikan
peoyembuhan yang
cepat
Prognosis balk > 95%

<

Nongonokokal

Artritis Bakterial
nongonokokal
Blasanya terjadi pada anak,
orang tua atau pasien
denga'daya tahan tubuh
menurun
Didahutui penyakit sendi
tertentu, inteksi intra
artikular atau protesis sendi
Biasanya monoartritis

' Kulfur calran sendl positif


pada > 95% kasus
Kultur darah 40-50% positif
Memerlukan terapi
antiblotik jangka panjang
dan Joint drainage
Pognosls buruk pads 3050% kasus

Kultur mikroorganisme, bila positif sangat menunjang


diagnosis, tetapi karena hanya 10-25'% yang positif, maka
diagnosis biasanya ditegakkan secara klinis dan terapi
diberikan -tanpa menunggu basil kultur.

Penatalaksanaan
Terapi antibiotik sangat efektif untuk DGI biasanya dipilih
penisilinatau sefalosporin. Dalam waktu 24-48 jam, demam
akan turun secara drastis dan kelainan sendi dan kulit akan
hilang dalam beberapa hari. Walaupun demikian, pas~n
dengan efusi purulen yang banyak terjadi pada kasus yang
resisten terhadap penisilin. Dalam keadaan ini, harus dipilih
sefalosporin generasi ketiga, misalnya seftriakson,
pengobatan secara parenteral selama 7-10 hari dan
dilanjutkan _dengan terapi oral f/ucloxacilin atau
cephalospurin selama 6 minggu.

OSTEOMIELITIS
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang yang biasanya
menyerang metafisis tulang panjang dan banyak terdapar
pada anak-anak. Bakteri mencapai tulang dapat secara
langsung
(perkontinuitatum)
atau dari aliran darah
(hematogen).
Streptococos dan stapilococus aureus
terutama menyerang anak dan dewasa. t. Pada saat ini, yang
menjadi problem adalah infeksi yang berasal dari prostesis
sendi. Secara klinis dapat dibagi atas osteomielitis akut,
serta osteomielitis subakut dan kronik. Osteomielitis akut
biasanya menyerang anak-anak sampai usia pubertas.

OSTEOMIELITIS
Gejala Klinis_dc\ln Diagoosis
Poliartralgia yang berpindah-pindah selain artritis pada
sendi yang terinfeksi merupakan tanda awal sebagian besar
pasien DGI dan seringkali timbul
5 hari sebelum
diagnosis klinis ditegakkan. Gejala klinis lainnya adalah
demam, menggigil, tenosinovitis dan kelainan kulit.
Tenosinovitis umumnya didapatkan pada dorsum manus,
pergelangan tangan, pergelangan kaki atau lutut, Kelainan
kulit se.P,erti yang disebutkan diatas biasanya terjadi pada
ekstremitas atau batang tubuh, tetapi membutuhkan
pemeriksaan yang teliti untuk mendapatkannya, karena
sering asimtomatik. Kadang-kadang lesi kulit baru timbul
setelah terapi antibiotik, te~~4t~\l~)i~~S5~fll ~,eng~ilall~
beberapa hari setelah pengobatan. 'Pada biopsi kulit, jarang
ditemukan N gonorrhoeae.;
. Efusi purulen pada sendi banya didapatkan pada
25-:50% kasu . Hitung leukosit cairan sendi berkisar antara
35.000- 70.000/ml cairan sendi. Kasus dengan tenosinovitis
dan dermatitis, biasanya rnemiliki hitung leukosit cairan
sendi yang rendab.

3-

PELVIK

Osteomielitis pelvik, merupakan bentuk osteomielitis akut


yang menyerang simfisis pubis, sendi sakroiliak, os ilium
dan asetabulum ; biasanya disebabkan S. aureus. Pada
wanita dengan infeksi obstetrik atau ginekologik, infeksi
dapat berasal dari penyebaran infeksi tersebut dan sering
disebabkan oleh bakteri Gram-negatif atau bakteri anaerob.
Biasanya bersifat subakut dan sulit dideteksi, sehingga
diagnosis sering terlambat ditegakkan. Walaupun
demikian, prognosisnya baik dan jarang menimbulkan
sekuele.

SPONDILITIS
lnfeksi pada korpus vertebra disebut spondilitis. Korpus
vertebra merupakan tempat yang sering terkena
osteomielitis hematogenik pada orang dewasa. lnfeksi ini
dapat menyebar melalui ligamen yang berdekatan sehingga
sering mengenai 2 korpus vertebra yag berdekatan. Diskus
intervebral tidak memiliki vaskularisasi tapi dapat terinfeksi

2642

. REUMATOLOG1

secara .langsimg -dari abses vetebra. Infeksi dapat


menyebar ke sentral ke dalam kanalis spinalis. Selain itu
dapat juga menyebar ke jaringan lunak paraspinal. Pada
daerah servikal, osteomielitis dapat menyebabkan abses
retrofaringeal atau mediastinitis; pada daerah torakal dapat
menyebabkan mediastinitis empiema ~~p~ri~ar~itis, dan
pada daerah lumbal dapat menyebabkan peritonitis dan
abses. subfrenik atau .s epanjang' fascia otot iliopsoas.
.

OSTEOITIS
Osteoitis adalah iafeksi pada tulang pipib dart tulang
pendek, biasanyaterjadi pada kaki tetapi kadang-kadang
juga -dapaf timbel pada tangan. Infeksi ini bia:sanya
didahului oleh infeksi pada lculit atau jaringan lunak dan
biasanya pasien memiliki 'perryakit dasar seperti diabetes
melitus atau arterosklerosis. Gejala klinisnya lebih ringan,
demam pun tidak ada dan nyeri serta pembengkakan tidak
seberat osteomielitis. Kadang-kadang tiri:tbnl :frstcl; dan
abrasi sehingga infeksi dapat menyebar ke jaringan sekitamya,

Penatalaksanaan
Begitu diagnosis ditegakkan, antibiotik berspektrum luas
dengan dosis yang adekuat hams segara diberikan. Pada
osteomielitis akut, pemberian antibiotik selama 7-10 hari
biasanya sudah menam~akka.hasi) yang baik, tetapi pada
ostelfrruel.iti'~'~oruk'k1aaaa'' -K~aa{;1 '6.int/ ri~, 'ni:\1~tit
'I ti

'',;ff

rg;, r

,i

J;~p

11i1

?;i~~.
1

ri'

rNF"l:KSIPADA 51:ND.1 PROSTETll<

Iirfekki

merupakao' kornplikasi Y,arig p~ling menyebabkan


kematian pada operasi prostesis sendi, karena hal ini dapat
menyebabk;a kelonggaran prostesis da~_sepsis. Risiko
infeksi jiada sendi proste~ik adal~h pasien artritis

tipggi.

1~fn~j 'Y~p _P~r~a~

di~per,a~_!

atau ,revisi

artroplasti atau sendi dengan nwayat infeksi sebe1umnya.


Risiko lain adalah penggunaan kortikosteroid, operasi
yang memakan waktu lama dan adanya infeksi di tempat .
lain. Penggantian sendi hams ditunda sampa.i.iuft;ksi~pflt
diatasi.

.
.,
.D1,1a pertigainfeksisendi pi;ostetik.terjadi pada tahun
pertama dan hampirselalu disebabkan oleh inokulasi
b~ktefl, intra opera~if atau bakteriemia pasca bedah.
Ba,kterie))lia, ,l)a.~ca bedah yang awa], biasanya
berhubungan
depgan. infeksi
kulit, ,;pneumonia.jnfeksi.gigi
'-
-,
-- ... ,_.- .. _.I_,,;
. ..
. '"
.
--

atau.... saluran.kemi''h;, kelamin. .


_ ;,.

,.,

Tabel 2. Antibiotik
Prostestik

Profilaktik

dengan

Sendi

Amoksilin: 3 gram per oral, 1 jam


sebelum tindakan selanjutnya
1 1,5 gram, 6 jam setelah
:
pemberian yang pertama"

"
B. Prosedufpada
cer,na,

pada Pasien

Pilihan Antibiotik dan Do.sisnya

Prosedur
A. Prosedur pada gigi,
mulut

'saluran

f'"

r~~~mM*:il~:

Problem diagnostik yang utama adalah membedakan


anatara artritis, septik den~n,k;elopggara.11 proste.si? ,Yang
aseptikPada kedua keadaan tersebup.,dcq,at tirjadi ~41J1p;i,
demain maupun leukositosis; tetapi pada .infeksi hampir
selalu terdapat peningkatan LED. Kuman yadg 'sering
diisolasi
dari darl infeksi sendi prostetik
adalah
stafifilokokus, streptokokus Ecoli clan bakteri anaerob.
Penatalaksanaan yang penting
adalah pemberian
antibiotik yang adekuat dan debridement. Bila prostesis
longgar, maka hams dilakukan revisi, Jika infeksi tidak
dapat diatasi dan sisa tulang setelahdebridement sangat
sedikit, prostesis hams dilepas dan terhadap sendi
dilakukan artrodesis.

ti

~~~u~.:~ferif~~l} 's;1R.ai ~lJlaP,,1,apa1~~i,


krifll,an
penyebabnya adalaH stafilokokus,
Prognosis sangat
terganttiri1 dari i<~t~pafa1 dan dos'.ts ant ib~t;ik. yaiig
diberikan. Selain pemberian antibiotik, drainage dan
debridement juga hams dilakukan, apalagi bila sud~ll
timbul abses.
, ' , '

Secara klinis tampak keadaan pasien sangat berat


disertai artritis septik dan ren:jatan, terutama bila
penyebabnya adalah Siareus. Pada umumnya didapatkan
leukositosis dan peningkatan LEDAnfeksi dini dapat
dioegah dengan pemberian antiobiotik perioperatif yang
adekuat. Selain itu, padamasa pasea bedah, semua infeksi
terutaraa dari gigi, saluran nap as dan saluran kemih kelamin
hams diatasi secara adekuat,

,-

r.

Ampisilin: 2 g'ta'rri +gentaiiflsin


80 mg (1,6 mg/kgBB) dibeitik1'1n
. secara parenteral 30 menlt
sebelum prosedur dilakukan
prosedur, selanjutnya amoksilin
1,5 gram per oral 6 jam setelah
pemberian yang pertama

irJfus

Untuk mencegah inf~ksij~d{~eiidi 'p'ro'Jtbfik:


dilakukan'b erbagai hal hal'berikllt:
f
'
Cari dart eiadikasi fokus infeksi pada gigi; salurati keiriili
kelainin; dan kulit sebelum 'operasi.:
Hentikart pemberian obaFobat kortikosteroid 'dart
imunosupresan:
Pemberia.n arttibiotik pre~opetatif'
Atasi setiap ihfeksi setelah dilakukan prostesis'sendf.'

~ ; i,qunakan antib:i.Olik1)adasetiilP Hrtdakah;y8rgi Pbte~lal


ffiencefuSkan bakteriemia. ,

,,

.. 'I

Tuberkulosis merupakan periyakit yang ~u'dah i~ma


1 samp'ai'
dikfnal
tetapi
faat iiii' m1asih "helui;n '.ctJ_p.at
diberantas. Frekue'risi t:i.1berkulos"is hilang akn ~ehdi s~lai:n~
3 d'ehae terakhir'menurunbersrunkan' deng'an
fr'eKueilsl tuberk'.~lbirts 'p'atu. 'XrfrU'is

in~nuriiriny&
-H1b6'tku'Wi&

_;1.l:Lri:.n

1.r

llJif:..::"'.

2643

INl"EKSI TULA.NG DAN SENDI

merupakan penyakit yang jarang ditemukan, yaitu kira-c; : . menyebabkan penyempitan rongga sendi, Jadi.perubahan
kira hanya' 1-2%. dar] selunih kasus tuberkulosjsc"":/;
'ff<>llggasendiy~gnyata,barutimbulsetelahprosesinfeksi
ekstrapulmoner hampir separoh pasien rnengidap
berlangsung lama.
tuberkulosis
pulmoner alctif maupun nonaktif Umumnya
Osteomielitis pada .tulang panjang dapat merupakan tulang dan
sendi yang terkena adalah sendi penopang
komplikasi sinovitis tuberkulosa dan selanjutnya berat badan,
terutama korpus vertebra, disusul sendi
ostecimielitis tuberkulosa, inijarang menyebabkan artritis septik. pinggul
(koksae), sendi lutut kadang-kadang terjadi
Pada anak-anak tulang pendek seperti tulang-tulang serangan
pada tangan (dalctilitistuberkulosis == spina ventosa).
jari tangan dan kaki juga bisa terkena dan disebut daktilitis
tuberkulosa, ini jarang terjadi pada orang dewasa.
Tenosinovitis tuberkulosis biasanya menyerang bursa
Gejala Klinis
ulnar dan radial dan membentuk ganglion palmar.
Perjalanan klinis artritis tuberkulosis berlangsung lambat,
; _ Terkenanya tendon-tendon ekstensor tangan, tendon
kronik dan biasanya hanya mengenai I sen.di. Keluhan
fleksor jari tangan atau kaki merupakan kejadian yang
biasanya ringan dan rriakin laina makin berat. disertai
jarang terjadi. Kedua lokasi yang terakhir biasanya
perasaan lelah pada sore dan malam hari, subfebris,
merupakan tuberkulosis sekunder dari tempat lain. Bila
penurunan berat badan. Keluhan yang lebih berat seperti
tendon fleksor tangan terkena, akan timbul sindrorn
panas tinggi, malaise, kerihgat malam1- anoreksia biasanya
terowongan karpal.
bersamaan dengan tuberkulosis milier:
Reaksi terjadinya granuloma pada diafisis akan
Pada sendi, mula-mula jarang timbul gambarart yang
menyebabkan destruksi medula, pencairan lesi dan lamelasi
khas seperti pada artritis yang lainnya. Tanda awal berupa
periosteal. Lesi tunggal yang mencair pada tulang panjang
bengkak, nyeri dan keterbatasan lingkup gerak seP'ti, ~ulit
pedu_ dibedakan dari tumor primer osteoblastoma, Adanya
di atii.~ .daerah yang terkena teraba panl;ls, kadang,)cadang
granuloma pada sinovium tidak selalu ada hubungannya
malah dingin, berwarnarnerah k.ebiruan, Bisa terj,1di sendi
dengan nekrosis kaseosa tuberkulosis. Jadi bi la ditemukan
\)erada .dalam kedudukan fleksi berkelanjutan. clan mungkin
granuloma, perlu dipikirkan kemungkinan tuberku,lo~is dan
disertai, tenosinovitis ...
perlu dilakukan biopsi untuk membedaknnya . dengan
.Pada arn1.k-anak dapat ditemukan spasme otot pada
granuloma karenajamur, Kadang-kadang pada biopsi dan
mala~ hii (n{gh{ s,((lrt) .. Ji,1nglqn., cljs,ert~ d~wan;i., tapi
Jcu,H,yr. ,1~J?f1l1 <;l;~\yI!HJ,kan, pii ~q l;>fl,!qei:hi.m, ff~R atp}lf,
~\a~any,a;:(ig~., !}Ma jq,~l.J~ WW& bea,.t,,! l<~JM'!ah!'(n ;P,tqt
w. a.laupun gambaran inflamasinya tidak si;w~if%1
P!S41 terjq.\f~. ~~AAO}~a.C!'<P.ill~a iJ;l:l~IltY<entPlli.tL111:m\:l .. ., . J
~ep.~anfi9.~ iid~~y.a gr~lO,Wj\-belIJ~. ~~r~~ ~HD . ;
,, )ilila ,pj~ggl!,l;Y.F\D~;lt:rkei!~i ma.k.i1: ,!erj~ih:~IY,m.ah:wi
~be~lQSJS ~tauJa,m~,Slf~-~ppt.q1.Sfllw.o/~r,
1 ,J'.i:1 _
tung!@._ lie.i;iganrralla;;ti~ en*, Dil~Jc<;aqaan.,y~ illUjut
i
~
9ldt
>;ting_
,te9,{;~na bjasaJ?.Xt, p;i.emb1==sw11' &all'!.93,f )1
~8.Q ;~rat, pasie 1 su~r ,1 n,eoggj;jrc).\<l<:illf qa,n; lllef\g@gkat
pr.<;>Mfr,;asi
1 efusi,s 4i_~viWJ), pii:,ngajdp~~
Jctrf ~9ilffi~n
turigl~{1.i._pa4a.-~end,i_ping.gu.l yang t~,a, q.~1yrt;air,a!l,a [ia,k.it
li~glcu~ ie~~k.. sendiyang ,progr~_i.f,, ot,o~ di, sep.~ra
yang sa9g~t. niei;i_ggan,gg!.l dj ~e,kitar. pllha <;la d<\erllti
ffi\!~ja_di_.sJws.1* ~ ser;wg tezj~d~ ~~lelll,a~P; ptpt,~~g
pinggl,tef.Seb_k ,,
, 1.1;, ,
1'11!
'.I !'.,J
11!
cepj!Ji Y\lPS mc::nyen,1.P,ai, kel,u._mp,u.J1a.I1,,(p~,ogres:1jve
, , ; , TuberkulQsisy~rteqr~(penyi1.l}it .Pott) q~a,8M}ya tfJja,d,i
~~ting).
.
~r;i_ toraj(olu{Il9aL P~oyakjt Pott 111~.i;upaican 5Q(o. da~
Selain terjadi p~l,lS.~inov,.iat mungkinjuga terbentuk
~etW;WI I<.ii~us tul>ei::~lqs1s;tl;m,g .<;lan,~m;li,,l?ada ,~\llanya
4Qiip, ~~t;a~asJc'!l~~- din beada. arn,orf';s~~~rti beras
proses terjadi dil;>,agia .ci~paq ,dii\,ku~.i11ter:vert~pr,a,
("rice bodies") yang terdi3plltdi tepi granuloma sinovial,
menyebabkan penyempitan ruang diskus, memberi keluhari
~f.c1. bodies _ ll_l~ .Prrtfil:~ali 'dilaporkan oleh Reise I?ada
nyeri punggung yang menahun kemyd,\<J.r,cl,i,~.~nai
t~hi~ I S'9?, Pf1df1 kasus artritis ,tl}berkul,osa yang juga
mupculnya kifos.is runcing akJbat hancu~~yr~orpil;s
~pat.dite01;ukan papa artritis reumatoid dan artritis kronik

~~!

p~

4i

fan~ .

v~~ebt

te~~~llf I xan1g '.4i;8e~~f' ~~h-~u.s: Ga11~~uan


neurolog1s terJadi karena terkenanya spinal cord atati
acfunya men~g1ti .
. . 1 '. I , , .
'
'I
. I
,i, - I I
. 1
'1
l
- l 1, J'
,l

1,1.,

,..i

1:1

1t

I'

,,., ,;., c:, :,,,,,:


: _;;: :'C
Tuberkulosis,:yang menyer;mg $istem.. muskoloskoletal~
temtarna ;bersarang di ;sendi. :wala'U!pu1;1., tu,langi si,noV,ium;
b.ursa.atau-tendon1mmgltjn;juga. ttirken~.,P"'osesnya .d,~waH
dengan infeksi fokal berupa osteopenia atau erosi artikular
yang berlangsung berbulan-bulan.
;,:i:::o 1
i:i'
... P.ada,s ~ndipenooapg
berat b"4~ !eru~~ma 'Itlru aan

Patolpg;i ,,;,.c:;

r,nJ&iut:,~i,osf ~bi(ci~di~l f~o~&)p~ii.aalipl_~; ki(JJ~~~


rawan s ~nai.Setelali itu; 'terjadi

seWe~ti-asi 'ti.ilaiig

yang

l8f1Y':

1,

!,

:,q

.1

, _T~;~~r~lq~i$1 ~a~ ".e~ebra~. Virt;i~~ ~.aJi .dilaporkan


oleh Pott pada
J 77fJ, ,l:>enipa kerusakan rulang di
bagian ~ep_'W- ~et~fJ,s;~. ; Abses ~er. ijlla~ bi,~a ,ipeluas
sampai ke kanalis spinalis, me~ak.tb~~
ipt;asi ~r\enins.~a~
s:UJ~~uu~ ~-~g; belakang _atap penek1an, s:ra~1;1t_,saraf dt
1~~ 7r .m.~11~~'111:1 bagian b.elak.ap~ a;~ ~~~es iliopsoas.
~~l~i~ }ti+ 1u~a ~ap11;~ mengenai satuatau kedua sendi
~~~a.k~1 .~fe,~i befll1uJ~ pada J~o'l;l~;~ vertebra de.?.~ an
Yrt:rt~~r~ .1e.n~aq.t~rber~Y~ r:1,1,l!-ngan yang berisi bahan
P.e.r!qjl.Jan, 9ce1ilin9i j'arinjan. fibrosis dan tulang yang
pro.s e~1
1n~ny~~i,g'1ebih dari satu korj:ius
v6iie'5n{ '.''Kedmd'ia~ pr~;es be~laMut me'moe~tuk w 'es

t.ap,o

~tr~fi.:

mi"bfaa

Tabel 3. Obat-obat Anti Tuberkulosis


Nama Obat

Dos is
Anak/Hari

Dos is
Dewasa/Hari

Rifampisin

10-20 mg/kg p.o

10 mg/kg BB p.o

lseniazid (INH)

10-20 mg/kg p.o

5 mg/kg BB p.o

Pirazinarnid

15-30 mg/kg p.o

15-30 mg/kg p.o

Streptomisin

20-40 mg/kg IM

Etambutol

15-25 mg/kg p.o

15 mg/kg BB JM
(> 60 th:10 mg/kg)
15-25 mg/kg p.o

dingin di daerah anterior ligamentum komunis dan dapat


meluas, ke korpus vertebra yang lain. Lesi pada tulang
lainnya cenderung berlangsung tanpa gejala sampai
akhirnya terjdi kerusakan tulang di sekitar lesi dengan
terbentuknya abses dipermukaan
sendi yang letaknya
dekat dengan lesi tersebut. Destruksi iga juga dapat terjadi
akibat adanya abses di bagian depan paravertebra.
Refratton tulang terjadi akibat perkapuran serta
pembentukan
tulang baru yang kemudian mengalami
campuran proses litik-sklerotik, Gambaran semacam ini
sangat sulit dibedakan dengan keganasan atau jamur
secara radiologi, karena itu perlu dibuktikan seara
histopatologi:k.
Pada pemerfksaan radiologis tahap awal terlihat
gambaran se]jerti osteoporosis dan suramnya gambaran
tufartg. Selanjutoya terjadi erosi yang memperlihatkan
gatitbarah berupa permukaan seodi yang cornpang-

cin'i~ihg. Sering" pula tetlihat lesi kistik pada metafisis,


le'&pentepifisi's cl~n' diafis'i: P11da trokanter mayor yang
terkena akan tampak gambaran khas berupa luasnya bagian

yang erosi dan bayangan iregular lembar di bagian luas


k~(~ifika~~
p~d!,~~a, ~~~'ghrt~~CKada~~~
kaoalig lesi 'tulang tidak khas dau su:Icar cl1bedakan dengan
kefUS3.l.<!lll akit>af s'ebab yii4g 1aili. : ' I I I
'
Pada pemeriksaan radiologis tulahgpunggtltterlihat

aJcib'at

pe!ldJu~~

~hllf~r:I

~ambaran berupa }estruksi tulaog 'di~~~i J?~~.bf


tulang baru dibagian yang telah sembuh. Ada perbedaan
yang jelas '.111tara kelainan ini deo&an g_am?arari, s'.,J'M
metasti : 'ifilbki' <.i.i' Icttf interVertebraljitng aesWkttt' Jerta
1: ,1
il.r. ,lid' I. ,...LI_' , 1 1,r,'1 In~ 1 i,
menyeoar "'ke' ~x,,,o,rripusA v, e 'rt-''
enra
a exam a.
Hiunpfr ~e anih
tliberktffosameili u 'yai1
'airibara'if raaf818giii'
norlnaf.
,' ., ' . "I
~ , ,.., , , l'J n: ,;_ r .fiJ II. r
111 ~I ,, !. [, ,-1 o,rr1r I' 1 , 1 , ra,
Pem nksaan aoofatonum cairan suiovra oerv nasi,
1 ,,.r_ II' "!,rJ; !.lli~ 11[1 , 1. I tl'. _e1rtl r,11rqLb: t' '."I ,Jli
S ecara maxro xopuc, eairan smovia ao,paK e awan U40
kiilliWing~
'i<'. a:a:r.)M1wccn;a caitaa' sioo\.iai
teha'e' n,{rrirluftil:W.sti%1 sampai
liih7c1.1
dengan' kbnseritrasi di 'darab. \iliihtri silidJ{;ial
. . ! , ,, I
~ ' 'II I .: 11,
r 'I '' ,, ' .
h
, ) I 'k' , jl I I.ah
i:he~~ap~i , ..
_faju' e?~apn ~a - ~enmg at:,_ uqi ',.
oo:.qo91m1 ctengF ra~-!a_ta
leukosit berkisar antara 1.000-1

kasus arl.itis
'ahi Yfin

t1e'twainJ

erliectaan
o.

mw~

Dosis Maksimum/Hari

Efek Samping

600 mg

300-400

Hepatitis, febris,
diskotorisasi jihgga pada
urin
Hepatitis, neuropati
perifer
Hepatotoksisitas,
hiperurisemia, artralgia,
skin rash.
Ototoksisitas nefrotoksik

mg

2 gr

1 gr
(>60 th: 750 mg IM)
2,5 gr

Neuritis optik, skin rash

10.000-20.000/ml, terutama terdiri dari sel PMN walaupun


proporsinyajarang melebihi 85% seperti yang biasa t!;lrjadi
pada artristi piogenik.

Radiologi
Pada tahap awal terlihat gambaran seperti osteoporosis
dan suramnya gambaran tulang. Selanjutnya terjadi erosi
yang memperlihatkan gambaran berupa pemmkaan sertdi
yang compang camping. Sering pula terlihat lesi kistik pada
metafisis, lempeng epifisis dan diafisis. Pada trokanter
mayor yang terkena akan tampak gambaran khas berupa
luasnya bagian yang erosi dan bayangan iregular lebar di
bagian luas akibat kalsifikasi perkijuan pada bursa
subgluteal. Kadallg kadang lesi tulang tidak khas dan sukar
dibedakan dengan kerusakan akibat sebab yang lain.
Pada pemeriksaan radiologis tulang punggung, terlihat
gambaran berupa destruksi tulang disertai pembentukari
tulang barn dibagian yang telah sembuh. Ada perbedaan
yang jelas aritara kelainan ini dengan dehgan gambarari
suafa ineta'Stasis; infeksi diskus itervertebral yang
destniktif serta meny'ebar ke korpus vertebra didekatnya.
Ham.pit separuh-kasus a:rtrifis tuberkulosa mempunyai
gambaran radiologi.'sparu yang normal.
,> 'j;?

... .

,-

','f

Labor~tori

um

.f>J~eriksaari.
1 cairan 's1oovial
r....
r
1

cukup
, '&ervariasi.
f
T

m1~kt,?skopik, caj!fD. ,sinc~vi,,LI, ~~~P.~k ~1raw~

Sec.ara
7

.~,~~berwama kekuningan. Kadar gh.1kosa cau~.n smovrnl


cenderung menurun, 50% sampai mencapai niJai 50 mg/dl
dengan perbedaan konsentrasi di darah dan cairan sinovial
mencapai 40 mg/dl. Jumlah leukosit berkisat 1lfifatl1
1.000 :. 100.000/ml dengan rata0rata mo00;..20.000/ml;
terutamaterdiri dari sel PMN walaupun proporsinyajatang
melebihi 85%sepert:i.yrurgbiasa terjadipada: artritis:piogerrik::

n1enca~a, 'tu1m isd

Oia~nosis

.,

o'1~gr\'o~is a/tritWtube'~l.o.siStid~k mu~gkin ditegakkan


berclaslrkan
gambaran
klfnis
saja. Mikobakfeffum
I .
..
.r
.
.

nonspesifik danj amar juga dapat memberi gambaran klinis


yang
sama. Kadang-kadang artritis reumatoid
monoartikular atau oligeartikular atau artritis bakterial juga
dapat memberikan gambaran artritis granulomatosis,
Diagnosis 11,rtriti~ tuberkulosis ditegakkan bila
ditemukanbesil tahan asarn{BTA) pada eairan atau biopsi

sinovial dan kulturnya, Kultur cairan sinovial positif pada


&0% kasus, Adapya graauloma dim atau B.TA pada cairan
sinovial dapat ditemukan pada lebih dari 90% kasus, Kultur
mikobakterium daa biopsi sinovialjuga memberikan angka
yang sama.
Uji manteux dengan intermediate strength purified
protein derivative (PPD), tidak mempunyai arti banyak
dalam menentukan diagnosis, tetapi hasil uji negatif dapat
menyingkirkan diagnosis.

penata~~ adal~

Ketl!lot~lffltu&Jt!~bera.u_tasinfeksi
Memberikan istirahat pada sendi yang terkena sejak
permulaan dengan rnemberikan bidai atau lainnya,
Operasi, bila ada abses dan infeksi menetap, misalnya
sinovektomi,
Fiksasi seadi (artrodesrS)tau artroplasti bila kerusakan
sendi sud~

parah,

Pada era sebelum


tuberkulosis tulang dan

kemeterapi, penanggulangan
temtama dengan melakukan

s~

inrobilisaaeteerta istirahat.di ternpat tidur selama kira-kira


13 bulan. Bila penyakit memburuk, dilakukan tindakan aktif

be~~~~ @-f~!Pl.l e, '~


i,,p~nyedotan cairan sendi atau
an1p11.tas1ti2 Stj:akiakehe!rhastla~ pemakaian obat-obat
a~~!!lfp,e,r~J~stst!ap-~ 1af;~~~dj, tindak~n operati~_hanra
d1kerJakan secara selekti .,p,ntuk ,4i:,atl)it~e" ~91,e,iu:lan
memberiphmn perkijuan,.mtuhAg punggung.
Pelnakaia'h kornbi '81 :treptomisin, isoniazid
dan
pa1:f!._trJine
~~ir(~~'f~u.kup m~mberi hasil yang
baik. Selain rtu kombwas1tTifamp1sm dan isonoazid temyata
j uga e'fektlf'.l(emotenipi seba\'kltya diberik:an selama 12-18
bulan .. Bila,.,4iagn'os~q.~p_~t. &itegakkan sedini m~~in,
maka kemoterapi.tanpa ,istirabat baring memberikan.hasil
yang'ctikup o:ilk: ,. ~ i: , , ,, co'.$.

~q?icyli

Ii!lda\an 012eratif ~'fa@~ng diperlukan sebaiknya


didibului .den~:pemb.erian:1kemoterapi
sehingga tidak
terjadi bakteremia atau pembentukan fokfiscinfeksi baru
'X

1}1:,li

r-,

.,.,

X ~ ''1i2 ;2~0(1

pasca bedah:' -~--:.f:.:._~:,,'.,

, .,,:

, ~ ,,.,'~:.,.

st-i:::.: . nsosa VI ."'8Y':1pe5-1

Penyakit lyme1gi1.empamm;,t'eliyakit multisistem yang


komple~:'yatik~diselialikan:&tell sejenis spfto'.kaefli'yiifru
barre/a bugdorferi. Kuman ini merupakan tick-borne

grup

Spirokaeta penyebab penyakit Lyme, disebarkan oleh


sejeais kutu/ caplak yang merupakan bagian dari kompleks
Ixodesricinus; yaitul.dammini diAmerika Timur Laut dan
Amerika Barat Tengah, Lpaeificus di Amerika Barat,
l.ricinus di Eropa, dan I.persulcatus di Asia.
. . .
Klinis

Penatalaksanaan artritis tuberkulosa dapat dilakukan


secara konservatif
atau operatif. Tujuan dasar

kultur spirokaeta sangat sulit diperoleh dari spesimen.lain,


Saat ini Biburgdorferi dibagi dalam 3 spesies, yaitu grup 1,
(B. ourgcfofe'rij;gHfp
B.ga>-'inii)' dad
3 ('VS46 i').'sbt
ini yang diisolasi dari orang Amerika adalah grup l,
sedangkan dari orang Eropa didapatkan ketiga grup
terse but.

Manifestasi

PenMalaksanaan

spiroohaeta, -microoerophilic bacterium yang .tumbuh


baik pada suhu 319C ipada,mediurn berbeur-steennes-kelly;
Selain dari lesi di di kulit yang berupa eritema migraas,

,;/

:11).

i\

;,;:~,;,,

!,,)

1)

l1H~:.1:,(;:

.. ,

Infeksi awal: stadium: 1 (Ei:item1l n\igr.a.i.s1ter:IQ~li~sj),i


Setelah masa inkubasi selama 3,,J21hjl!f.,-;tim.~l
migrans p~ .tempat.gigitan caplak Yapjl,,iml.!lai,.-~qa~i
makula ataupapula merah, yang berkt;:Illoang ~pjfilij,besar
berupa lesi anular (dapat mencapai ~ameterJ~, r;.:I;n), batas
4:pinya merah terang, bagian tengali bersih .dap. q~tjn,dw;~i,

:tiri~ma

Walaupun tidak diobati, lesi.

i.ni !}kan menghil;mg s.ediri

selama3-4 ming~.
11'1.feRsi' awal! stadiilni 2 (disse#iinated ihfection}. Dafatii.
waktu 'beberapa hflti' sanipaM~~'tY~r<apa mitiggu, sp1tarcieta

menyebat' yang akan ditandai dleh kelainari. pada; ktiBti


sisterti sarafdart in'l'1$kuloskeletal.Lesi kulit a.titilar s~er
dapat muncul pada setengaHpasieh'hampir sama' dehgan
lesi awal tetapi lebih ke~i1 dan, tidak'beqjmdiib'. Selat.rl'itu
Jjilisien iikan metasa1ca:tt' hyeri kepala yan~' htel>iit !Jafi
lcekakuan leher yang akan berakhir hanya dalam waktu
beberapa jam. Nyeri muskuloskeletal bersifat'b.mum clan
berpindah-pindah dari send.i, bursa, tendon, otot dan tuJang
yang akanberakhir dala.m waktu beberapa jam atau beberapa
hari. Pasien juga merasakan kelemahan umun. Setelah
beberapa minggu ekitar 20% pasien mei:Jgalarrii kelafuati
neurologik. Walaupun kelainanheurologi:s dapat beivarlasf'
tetapi yang spesifik berupa triad menirlgitis, kela:inan saraf
kranial dan neuropati perifer. Cairan serebrospinal
menunjukkan gambaran pleositosis limfositik kira-kira I 00
sel/ml yang selalu diikuti peninglAfiiMaQmipt~efu',iti~f
kadar glukosa normal. Kelumpuhan n.fasialis baik
unilafer~li maupuri brlatera11 merupgkan: neur(')i)ati krimi~l
yang sering terjadi. Neuropati perifer, biasanya 6erupa
ra:dikuloneuropati sensorik; Ihotorik ittau; camputan' y!l'tig
gg iill.eth'yati.g1:inl3iigenai- tul!>tih danian'gg<'>tal ttibtih, 'K\ek\irtari
neurologis; irti1 bemkhir ilitlanr beberapa bulan tettip,'i' dilpiit
berulang dan menjadi kronik. Dalam beberapa minggu
etelah muJai timbul, akan timbul kelainan,Mt~rY~
b)asap~;:i. b~r-YPapl'*~pvep.ttj.lqlJar,, miqp~r.ikilfdi~!l,l<ul,
d,~~~gst }1~~trifel kiri y;~ ;ii;igan dan. kaqag aka.dang
l<,ar~pmegl!,li, d.ap perikarditis. ya.~ fatal. Kelajnan kardiak

2646
ini berlangsung singkat (3 hari sampai 6 minggu); blok
jaritung komplit jarang menetap lebih dari l minggu dan
pemasangan pacu j an tung permanen tidak pernah
diperlukan,
I

Infeksi lanjut:
stadium
3 (Infeksi ., perslsten),
Rata-rataji
'
.
I '
.
' . ,
bulan setelah muJai timbul, 60% pasien rnengalami
oligoartritis yang asimetrik, terutama pada sendi- endi
besar, misalnya sendi lutut. Kadang-kadang juga diikuti
serangan pada struktur periartikuler termasuk entesopati,
Walaupun polanya bervariasi, episode artritis akan
memanjang pada tahun kedua dan ketiga penyakit, Pada
10% kasus; artritis menjadi kronik, yaitu serangan inflamasi
yangterus menerus selama 1 tahun atau lebih. Artritis kronik
ini biasanya hanya mengenai 1 atau kedua lutut dapat
menimbulkan erosi pada rawan sendi dan tulang. Walaupun
didapatkan nyeri sendi, pembengkakan sendi jar.a~g
didapatkan dalamjangka waktu yang lama. Pada beberapa
kasufllapat ditemukan dsteomielitis,- panikulitis, atau

miositis. Beberapa 'bulan atau tahun kemudian, timbul

imun akan ditekan, Dalam beberapa minggu tampak


hipereaktivitas sel B dengan peningkatan jumlah total dan
kadar IgM serum, kriopresipitat, circulating immune
complex, dan kadang dapat ditemukan faktor reumatoid
kadar rendah
antibodi
antinuklear (ANA) dan
antibodi antikardiolipin: Beberapa bulan kenrudian,
respons imun selular dan humeral yang spesifik rnulai
berkembang 'untuk menghadapi antigen spirokaeta.
Bersamaan dengan itu, beberapa sendi menjadi meradang
dan sel mononuklear reaktif meningkat jumlahnya di dalam
cairan sendi.
Artritis Lyme kronik, berhubungan dengan peningkatan
frekuensi alel HLA-DR4 dan alel HLA~D~. Pada sendi akan
nampak gambaran hipertrofi vilous, hiperplasi sel sinovial,
mikro vaskularisasi yang prominen, deposisi fibrin, infiltrasi
limfo-plasmaselular
dan kadang-kadang
folikel
pseudolimfoid.
Pada beberapa pasien,
dengan
menggunakan teknik imunohistologik, spirnkaeta dapat
terlihat di sekitar pembuluh darah. Cairan sendi

F~IHTOIJ1 i~g!P.p i mtr~9t;ij ,~~q, lj(~la~aPfl-9; ~riW~P ,S<JF.af


P.r<?iq;w.i~J: di idi~tal ti1-ng f'f~m~1,1~if i !,e,l,lf-qe11.~~f,aJitA~,
!IJ;rP-i.in p;i~njf estw,j p<;urnl~Sl~ YI\qg. l1~r;t1 dan ja~:mg
Xfll\K.f~~nga~tRil*ap._p,~W,WP.-'?~ . ~pl\l;sttt.qisfung~i
kanff\ll}g ~i:n,;i,ih. 9P~.!PP.liT irti.9!;0,,: .neuron, dan, \e~i
p~tjv~p.~~~lfltm~~,a. plJ,t\4i ~fan~fn~ta~i kuli; y;pig J~9jltt
berupa aJqpdennatitis. l9;qnik, a:qfikai;i biasanya til:n,bul
pada,d~rfib:akrat 9erpa eritema, edema q.ap icli;asi;
sec!iP! ];Jf:rtahap.ef;itewa,atcan I)1e11gllila1rg4a;nd~_g~~n
o.l1r,h~Jit y~pg .atroflk,.(}~b,aran ajdajr kelainan k:il.lit akan
tin;ib,~l bebe,i:apa ;\>lim a tau J.h,9P ya11g pe11:11w kli:t ya11g
p,er~erut .me.rxel"l,lpa,i ke~s rekok., Di ql;lw~b le~i, kulit
I)lpgk.il). cJ~cj~pat~ijl.~. subluksasi .!ili;wcli,l(~ci,1 Jangan,
pe,r~o~tjt*. at~u ..eros] ra\Van ,sencli. dan Julang,.
. . . .

Tabel 4. Regimen Pengobatan Penyaktt Lyme

Re.girnen

Si stem
lnfeksi awal
(lokal atau diseminata)
* Dewasa

11

li.~

:.

,:

'"Anak

r,

,,.1

Doksisfklin 2x100 mglhari, per'oral,


selama 1 O - 30 harl
Tetrasiklin 4 x ,250 ,r:rig/ha,i, pe~ (ltral
selama 10,- 30 har,i, ,
, ... ,
Amoksisillin'4'~'~6d 'Hig'ti,ari, per'

.. ; (8tahun.atau

J'i:,

iWi!!l~pun ~m;i~ian,lm~~i~J:>uktt ~eJ~jlJ,tJ.}.y~t,idak~maji


f!ilje:W~: aq<1.lW!cl:

.fofek,si :trc1nsplase,11;taj.
:,i

terse but, .

Jlf

! ,rl

,,

Id

ii

~ra(,~,' _!

;i

.IJi:!:f,i., :

I,.

,,;;;

_,-;

,r

Artritis
(intermiten

.!rl I'.,

1' ,,,

Bila alergi penisllin,

tJ:,.:
30

dapat
1

foglkgthari .
diberikaii ~tiirbmisfn
dalam 3 dosis;,pelrora]; selama 10

ii

bt~;:iiin

atau

2 1'00 rrig/ha;iselama
'

AmCDksris~lin 4 x 500mg1hari +
pr9';>efi1e~i\i
, 4 . >! ~OP fITIQ/hari,
peroral, selama 30 hari
'Seftriakson 2
I.V, sekan sehari,
s:elama 14 hari , ,
P~ni. s)llin . ,2 P j1.Jta. tJihari . di~agi
dalam 6 dosis, selama 14 hari
''
Seflriatl:.son 2 gr 'LV Sekall set\ari,
selama 14 - 30 hali
Sefotaksim 3 x 2 gr/h;ari IV, sela(ll,a
11-30harj

...

30 hari

kronik)

gr

i..-

'

'' :
1

Bila alergj penisiJiry


Awai
Awai atau lanjut
Kelumpuhan fasial

.1

i'
,i;
.ir.l
setetah' ihastdfk:ediliam 1t1:1\.it; B. m-kgdd,:ie}-,.aka1fmefiyeoo-r
men'ib~brnl<.~rRJma mi"gr-ai:is clan n'iei'l'yel\a'r-'secat'a
helliatogeti ke otgJMigatt laillllyi: Pada aJ.a1ftya r-esp6n~
PatogetiesiS"'lil .'

lj

.
selama 10 ~ 30 h13ri
. . ,
,11 ''Artiokiilsti1iri'2-0'mgM~/tiijr('dalari('
kurang) ., 3,-dosis;.peror:al,tselama
10: 301

' "; _.!,

. Kelairian Neuro1ogis
{awal atau 1anjut)

.
[rn11~);11i~i, traw,pla~~ntal, clap: ..8,.~urgdorferi.dilaporkan
wa 2 bayi yang iPUJ1Ya t:n~n<;J,ei:tta penyakit.Lyme dan
~lillf1,1a~y;;i. meningga] pada.minggu perta~1cehi,clupa@ya,

kelainan neurologis; yang tersering adalah ensefalopati


yang terutama mciigenai ingatan, mood dan gangguan tidur;
Pada pemeriksaan -cairan' serebrospinal dapat ditemukan
peningkatan kadar protein dan antibodi -terhadap
spirokaeta,' Sebagian besar pasien juga mengalami
polineuropati aksonal yang mengakibatkan parestesia
distill . atau nyeri . spinal. ate;). nyeri radikular, Gambaran

Kelainan jantung

' Pe'nisilin G 20 juta U1hari/dibagi


dalam 6 dosis;selama14 s30MrJ

D~,k~i~ikiin
x 200 mg/h~r(pe(
oral, selama 30 hari '

Vankomisin 2 x 1 gr/hari selama


14 - 30 hari
Regimen oral , ...... ,....
, 0 .., ,_ :,
Regiman oral se'perti pada ilif~R'si' :
Regimen IV seperti pada
,~el?i1;1natn,ero/ogi:15
.
Hegirrwn oral s.e,lamii 1 bu Ian,
t. Ji

2647

INPEK5J,nJLANG DAN SENDI

menunjukkan jumlah leukosit 500-110.000/ml, sebagian


besar merupakan sel PMN.

Gambarari Labotatorlum
Pemeriksaan serologis hanya bersifat membantu diagnosis.
Pada awal minggu-minggu pertama,
beberapa pasien
menunjukkan tes yang positif 'terhadap antibodi
Biburgdorferi. Sebagaimana tes serologis yang lain, kadangkadang didapatkan basil positif palsu atau negatif palsu.
Untuk memastikan' hasil serologis positif palsu, dapat

dilakukan pemeriksaan western blot.


Penatalaksanaan
.
Biburgdorferi menunjukkan sensitivitas yang tinggi
terhadap tetrasiklin, ampisilin dan sefalosporin generasi
ketiga. Di bawah ini berbagai antibiotik yang dapat
d. iberikan pada penyakit Lyme.
,

KELAINAN REUMATIK PADA SINC>ROM IMUN07


DEFISIENSIAKUSISITA
Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) merupakan
kelainan defisiensi imun yang didapat yang sangat pen ting.
Pada stadium awal, infeksi HIV memberikan gejala yang
minimal; bahkan kadang-kadang tanpa gejala. Dengan
berkembangnya penyakit, berbagai gejala konstitusional
akan berkembang seperti demam, penutunan berat badan,

lebih berat lagi necrotizing vasculitis- Artralgia dapat


merupakan-manifestasi awal infeksi HIV dan dapat timbul
pada berbagai stadium infeksi HIV Biasanya merupakan
nyeri yang sedang, .intermiten dan oligoartikular; terutama
mengenai sendi-seadi besar seperti lutut, bahu-dan siku,
Pada 10% kasus, nyeri sendi dapat berkembang sangat

hebat dan tidak dapat diatasi .dengan pengobatan


konvensional dan disebut painful articular syndrome.
Kadang-kadang karena nyeri yang sangat hebat, pasien
harus dirawatuntuk pemberian narkotik intravena, .
Sindrom reiter, merupakan salah satu kelainan reumatik
yang berhubungan dengan infeksi HIV; timbul dalam
waktulebih dari 2 tahun dan sebagienbesar merupakan
sindrom reiter inkomplit, Gejala arnkular yang sering adalah
oligoartritis pada sendi besar (tersering adalah lutut),
entesopati dan manifestasi ekstraartikular Iainnya. seperti
balanitis sisrsinata, keratoderma blenoragika, stomatitis,
uveitis atau uretritis. Gejala klinis dan radiol<?gis_k~lai,nal'.1
sendi sakroiliaka dapat ditemukan dan huoungai:l aengan
HLA-B27 tampak pada 2/3 kasus.
Psoriasis dan artritis psoriatik ban yak didapatkan ~ada
pasien yang terinfeksi HIV. Berbagai bentuk psoriasi dapat
ditemukan pada pasien yang terinfeksi'HfV seperti ps~ri asi s vulgaris, gutata, sebosporiasis, pustular dan
eritroderma
eksfoliatif. Perubahan kuku juga sering
didapatkan dan sering kulit dibedakan dengan infeksi jamur
atau paronikia piogenik. Psoriasis atau artritis psoriatik
dapat mendahului gejala klinis AIDS.

Hubungan antara infeksi HIV dengan spondiloartropati


tidak t_erklasifikasi juga sering didapatkan. Pada pasien
ini tidak didapatkan gambaran klinls y11g lengkaj, yang
menaarah kepada sindrom reiter, 11rlritis psoriatik Ata
spondili,is ankiloH. .
.
. . . . _

ancreksia, 'limfadenopati, berkembangnya berbagai infeksi


oportunistik (terutama pneumocystic pneumonia dart
candida) dan sarkoma kaposi. Pada stadium lanjut akan
timbul gan111uan funasi imun selular yang ditandai eleb
limfopenia, terbatasnyajumtllh sel T, penekanen prolifemsi

yang

limfosit dan inversi rasio sel 'I'-penolong menjadi sel


T-supressor/ sitotoksik, 'Keadaan ini disebut acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS).
HIV merupakan retrovirus RNA yang termasuk famili
retroviridae. Peran HIV pada timbulnya kelainan reumatik
tidak sepenuhnya diketahui, dan jarang ditemukan di dalam
cairan sendi atau membran sinovial, Adanya peningkatan
produksi sitokin pro-iriflamasi seperti IL-1, TNF dan
IFN~ybaik pada model binatang percobaan dan infeksi
retrovirus pada manusia mendukung kemungkinan efek
tidak tangsung 'infeksi retrovirus dengan manifestasi
reumatik. Selain itu faktor pertumbuhan yang dirangsang
HIV ternyata berperan pada patogenesis sarkoma kaposi
dan berbagai komplikasi reumatikAIDS. Berbagai infeksi
oportunistik pada infeksi HIV, temyata berperan sebagai
pencetus artritis reaktif.

HIV-associated arthritis yang biasanya bersifat mono ~tau

Manifestasi Reumatlk
Berbagai spektrum kelainan reumatik dapat terjadi pada
infeksi HIV, mulai dari artralgia sampai artritis rektif dan

Pada aetengan plisien tampak perkembangan ke ilrah


poliartritis asimetrik yang mengenai s.endi besar penop<!Jlg
berat badan, seperti lutut dan pergelangan kaki. Pada
sebagian pasien tampak gambaran seperti artritis
reumatoid, tetapi tanpa erosi ,dan fak.t,or,reurnatoi~ neg~f,
Pasien HIV-associated arthritis biasanya tioak
menunjukkan manifestasi ekstraartikular s~perti pada
sindrom reiter, arfyitis psoriatik ciao spondiloartropati. Tes
HLA-B'.27 biasanya negatif. ,dan tes terhadap HLA-DR
bersifat tidak spesifik.
1
. Berbagai keJainan otot seperfi mialgia atro:fi otot,
dermatorrtiositis dim poli,miositis ~apat timbul P!1da pasien
yang terinfek!ii - ijlV. Gambaran ldin1s,riya tid~ berbeda
dengan yang idiopatil<, diserta~ peningkatan, enzim otot
dan kelainan elektromiografikdan ~i.stoiogik yang sesuai.
Berbagai kelaiMn otot lain yang sering timbul adalah
miopati akibat zidovudin, piomiositis dan miositis osifikan.
Miopati akibat zidovudin (AZT) ditandai oleh kelemahan
otot proksimal yang
menglirfang setelah pemberian
zivudii1 dih:eritikan.

segem

2648
Kelaianan reumatik lain yang sering timbsl pada infeksi
HIV adah\h sfogren;'s like syndrome, dengan

gambaran

Nereftahrtia, xerostomia' dim pembesaran kelenjar parotis,


tetapi!berbedadengan bentuk yang-idiopatik, kelainan ini
b-anyitki teitl'apatr pada ila'.h-faki dan ditandai oleh
p6ttibes:tian:ke1enjatan]barotis yang prominen, 'pernbesaran
massa'di l~er; tanpa disertai artritis danjarangiclidapatkan
artti'llb(SS~A}clan-anri,La(SS..B)dan:predottiilianlimfositOD8+.
. -StllMn ifuJib_etbagaj; bentnk :vaskuli:1:is'j'uga dapat
ditemukan phliia pasi~tf ya<Jig,fufinfeksi I mv; termesuk
polflitfh'r'i'#~ r!Q'do8'Q'- lf'ftei.Sjndrorff (?~
: ,. 'A'.rtritf~ 1st1pti'ltrelatif'jarang didapatkan pada pasien
yang it~infek,si 'lil!V; keooalii-pada pasien' henofllia den
penyallihgtmaan '.dbat IIQ.ada,ngo.k:adang -dapat ditemukan
os~eendel~'iis, 'barks bersamaan ,dengan artritis septik
I

itiatipmHet!il!'a ~seiii!tiri'i, ' ,


";;;1:r,~

:!,-:

I l,f ,fl!'JI,

.L;/!

~:

;~.

ir!

';i,

II

lr1

!I

IJ,!1; ,f,

_.,

MIRt~J~ft;~!ir.,i~ 1~t:'.1~;>'A1:sm.9-s)s_ .

lain yang sering menyertainya ~wah:-413tllam. p~li~\gi;.t.


sinovitis pada pergelangan kaki dan ,ij:r;nfad.epppap hilus,
Triad yang terdiri dari EN, poliartralgia-artritis da,J,1
Iimfadenopati hilus disebut sindrom Lofgren, Separuh dari
pasien berhubungaa dengan sarkoidosis dan separuh lagi
berhubungan dengan infeksi, Ai:tra~gia: dapat it;(JJS

menetap walaupun erupsi kulit sudah x;J;11j:ngp.il~Secara histologik akaa tampak gam.~rapin,flaUlilsi ,clii
penebalan septa di dalamjaringan lemak. Laju endap darah
hampir selalu meningkat,
Untuk menegakkan diagnosis, harus dil~tr
biops!
kulit (fell thickness skin bibpsy). Pemeriksaan lain
tergantung pada kasus perkasus; seperti ifmnrg 'le'ukosit,
hi~ng jenis, titer AS!O, fot? da~1 kui~ fJrihg d~
kulit untulc tuberkulosis, koks'idloidothikdsts, 1Slasttn4rikosis
dan histoplasmosis,

rs

r;,;.;,

. :

ekstensor tungkai bawah dan menghilang dalam waktu


6-8 minggu. Kelainan ini dapat berlangsung akut, kronik
atau berpindah-pindah, dan bersifat self limited. Kelainan

Secara klinik, EN tanipak seliaga,1p.q~). ~4t1me,1,1s


berdiameter 1-10 cm, timbul terutama pada bagian

Etiofog1 dan 'pafogenesis. ._ ,l, , . , '. .. :.:, '. :'.':'.; /


Berbagai keadaaan yang berhubungan derig{n timbuinya
EN adalah infeksi, obat-obatan, sarkoidosis, kt1ga1'a;s~
dan spondiloartropati. lnfekst Y~.$ berhubungan deniai;i.
EN antara lain adalah infeksi, ~bo/kulosis,Jepi:a, ~i~tis?
streptokokus, gonore limfogranuloma veneceum, sivilis,
jamur, berbagai jenis virus dan la).r,i sebagainya.Obatobatan yang dilaporkan berhubungan dengan EN adalah
sulfonamid, penisilin, kontrasepsi oral, garam emas,
prazosin, aspirin dan sebagainya. Padapasiensarkoidosis,
EN merupakan ma.t?,ife~tasi kulit, dan se~~gian besar a.k_an
menunjukkan gambaranlimfadenopati h.us y_an~ ta:\p~
pada radiografi torak, Keganasan yang ~~rin~ berhu~~ap
dengan EN adalah limfoma Hodgkin dl\fl non Hodgkin, EN
jarang timbul sebagai fenomen paraneoplastik,
.
EN merupakan Jq:>piplikasi spondiloartropati Y.a!~g
jariq1g te~pi seripg d,idapat,kan pa~a peberaB~ JseJ!tinan
jflf,aing~ iki;t seI?erti pe~yakit B,eh9et 4~i;i. in:fl1;1w,si usus
).q,onilc.. P~Jogepei,is EN ti!1,k diketal;mi secar11,.past~, di~uga
b~rh~bungan dengan circulatins immune c9,mplex. ~N
merupakan bentuk cell mediated hypersensitivity dan
merupakau basil i,nteraksi y.ang berlebihan "nt,;Mtt~eo
qan mekaqisme imun selu\~. J3~i ad~riam~~s~ei cell
medi<;itecl h1persensitivity ll.!ia.lah <!,Qanya ha.s~l. t~s ~~.it
ang po~itjfterhad,ap P1*ter;i yag merupa.kap ~ti~r.t14Aii
EN, i;ni~a\JJ.ya tes mantoux ya11g posit~f kuat pa,q11
tubfilkulosis dan te.s Frei pada, limfograriuloia ven,erei.un.
Penatalaksanaan
EN merupakan acute self limiting diseases. Pengobatan
yang terpenting adalah mengatasi p~~l d~~d'.f!,,l;~IW
baring, obat anti infla,masi nonateroip, kali1.1m iodid~d~Jil
kadana,_kadang glukokort*oict. oral, d<1pat m ~mb~t.u
mengatasi EN dan nyeri yang ditimbulkannya.

2649

INFEKSI TULANG DAN SENDI

Lesi kulit akan menghilang dalam 6-8 minggu, tetapi


artralgia akan bertahan lebih lama dan dapat mencapai Jebih
dari 6 bulan. Dalam hal ini, obat anti inflamasi nonsteroid
sangat bermanfaat mengatasi nyeri sendinya.

REFERENSI

Ho G, Naides SJ, Sigal LH,Ytterberg SR, Giboffsky A, Zabriskie JB.


Infection Arthritis. In : Klippel JH(ed). Primer on the
Rheumatic Diseases. 12 tb Ed. Arthritis Foundation, Atlanta,
Georgia 2001 :259-84
Mahowald ML. Gonococcal Arthritis. In : Hochbers M, Silman AJ,
Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe Limited
2003:1067-76
Sandra T. Osteoarticuler Tuberculosis. Abstract 9, APPLAR 2000
.
Bejing. China.

Louis JS, Bocanegra T. Mycobacterial, Brucella, Fungal ai;


:'; ': ~ralba TP. Teresa SG and Navara S et al. Infection arthritis.
Parasitic Arthritis. In: Hochbers M, Silman AJ, Smolen J (eds)
ln:.Howe H.S (ed) Text book of clinical Rheumatology. ILAR
Rheumatology. Mosby Year Book Europe Limited 2003:
Singapore, Tan Tok Seng hospital Dept. of Rheumatology &
1077-90 .
. .

) 15 \'
i mll,l.lolo&r, ; i997 : 2.1 o . 222
Lidgren L. Septic Arthritis and Osteomyelitis. In: Hochbers M, Silman 't,;_ ~ass'l opou'los. D, Calabrese L. Rheumatic Aspects of HIV infection
AJ, Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe
and other lmmunodeficiens stases. In : Hochbers M, Silman AJ,
Limited 2003:1055-66.
Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe Limttetli 2003:1115-29.

: .1 '~, . i r _.,:-ri
'J~ .:

I .;(1-'

.i:,_:ilJ{;
,.

,
.,I

11' 1(
)

:[1

''

-L j

' r. ; .: [,

J;,..-1;

11.;L

,r

407

i ,

~~

'

OSTEOPOROSIS
Bambang Setiyohadi

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang


ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan
perburukan mikroarsitekturtulang sehingga tulang menjadi
rapuh dan mudah patah. Pada tahun 200 l, National
Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru
osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang
ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang
mudah patah.
Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka
berbagai penyakit degeneratif dan metabolik, termasuk
osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal
yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negaranegara berkembang, termasuk Indonesia. Pada
survey kependudukan tahun 1990, ternyata jumlah
penduduk yang berusia 55 tahun stau lebih meneepsi 9,2%,
meningkat 50% dibandingkan survey tahun 1971.
Dengan demikian, kasus osteoporosis dengan berbagai
akibatnya, terutama fraktur diperkirakan juga akan
meningkat.
Penelitian Roeshadidi Jawa Timur, mendapatkanbahwa
puncak massa tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dan
rata-rata kehilangan massa tulang pasca menopause
adalah 1,4%/tahun. Penelitian yang dilakukan di
klinik Reumatologi RSCM mendapatkan faktor risiko
osteoporosis yang meliputi umur, lamanya menopause
dan kadar estrogen yang rendah, sedangkan faktor
proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi,
riwayat berat badan lebih/obesitas dan latihan yang
teratur.
Berbagai problem yang cukup prinsipil masih harus
dihadapi oleh Indonesia dalam penatalaksanaan
osteoporosis yang optimal, seperti tidak meratanya alat
pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA), mahalnya
pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya
pengobatan standard untuk osteoporosis di Indonesia.

FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS

Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi


multifaktorial. Umur dan densitas tulang merupakan faktor
risiko osteoporosis yang berhubungan erat dengan risiko
terjadinya fraktur osteoporotik.
Fraktur osteoporotik akan meningkat dengan
meningkatnya umur. Jnsidens fraktur pergelangan tangan
meningkat secara bermakna setelah umur 50-an, fraktur
vertebra setelah umur 60-an dan fraktur panggul setelah
umur 70-an. Pada perempuan, risiko fraktur 2 kali
dibandingkan laki-laki pada umur yang sama dan lokasi
fraktur tertentu. Karena harap1mhidup perempuan lebih
tinggi dibandingkan laki-laki, maka prevalensi fraktur
osteoporotik pada perempuan akan menjadi jauh lebih
tinggi daripada laki-laki,
Densitas massa tulang juga berhubungan dengan rsiko
fraktur. Setiap penurunan densitas massa tulang 1 SD
berhubungan dengan peningkatn risiko fraktur 1,5-3,0.
Walaupun demiakian, pengukuran densitas tulang tanpa
memperhatikan umur pasien juga tidak ada manfaatnya.
Seorang wanita yang berumur 80 tahun dengan T-score-1
akan memiliki risiko fraktur lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita berumur 50 tahun dengan T-score yang
sama. Tetapi terapi yang diberikan pada wanita yang
berumur 50 tahun akan lebih bermanfaat dibandingkan
terapi pada wanita yang berusia 80 tahun, karena harapan
hidup wanita yang berumur 50 tahun lebih besar
dibandingkan wanita yang berumur 80 tahun. Selain itu
kegiatan pasien juga harus diperhatikan. Wanita umur 80
tahun yang masih aktif dalam berbagai kegiatan akan lebih
diprioritaskan untuk diterapi dari pada wanita yang
berumur sama, tetapi aktifitas fisiknya sudah minimal.
Perbedaan ras dan geografik juga berghubungan
dengan risiko osteoporosis. Fraktur panggul lebih tuinggi

2651

OSTEOPOROSIS

insidensnya pada orang kulit putih dan lebih rendah pada


orang kulit hitarn di Amerika Serikat dan di Afrika Selatan;
demikian juga pada orang Jepang baik yang tinggal di
Jepang maupun yang tinggal di Amerika Serikat.
Tabel 1. Faktor Risiko Osteoporosis
Umur
Setiap peningkatan umur 1 dekade berhubungan dengan
peningkatan risiko 1,4-1,8
Genetik
Etnis (Kaukasus/Oriental > orang hitam/Polinesia
Gender (Perempuan > Laki-laki
Riwayat keluarga
Lingkungan
Makanan, defisiensi kalsium
Aktifitas fisik dan pembebanan mekanik
Obat-obatan, misalnya kortikosteroid, anti konvulsan,
heparin,
Merokok
Alkohol
Jatuh (trauma)
Hormon endogen dan penyakit kronik
Defisiensi estrogen
Defisiensi androgen
Gastrektomi, sirosis, tirotoksikosis, hiperkortisolisme
Sifat fisik tulang
Densitas massa tulang
Ukuran dan geometri tulang
Mikroarsitektur tulang
Komposisitulang

Faktorrisikoklinis
Sampai saat ini, telah diketahuiberbagai faktorrisiko fraktur
osteoporotik selain umur dan densitas massa tulang.
Beberapa faktor risiko bervariasi tergantung pada umur.
Misalnya risiko terjatuh pada gangguan penglihatan,
imobilisasi dabn penggunaan sedatif akan menjadi risiko
fraktur yang tinggi pada orang tua dibandingkan pada
orang muda. Asupan kalsium yang rendah merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya fraktur panggul,
walaupun demikian, banyak dokter dan pasien tidak

menyadarinya. Penelitian meta-analisis yang berbasios


populasi secara kohort mendapatkan berbagai faktor risiko
fraktur osteoporotik yang tidak tergantung pada BMD,
yaitu indeks massa tubuh yang rendah, riwayat fraktur,
riwayat fraktur panggul dalam keluarga, perokok, perninum
alkohol yang berat dan artritis reumatoid.
Glukokortikoid merupakan penyebab osteoporosis sekunder dan fraktur
osteoporotik yang
terbanyak.Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan
absorbsi kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium
lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia,
hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja
osteoklas. Selain itu glukokortikoid uga akan menekan
produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen
menurun dan akhimya osteoklas juga akan meningkat
kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan
menghambat kerjanya, sehingga fonnasi tulang menurun.
Dengan adanya penin gkatan resorpsi tulang oleh
osteoklas dan penurunan fonnasi tulang oleh osteoblas,
maka akan terjadi osteoporosisyang progresif. Berdasarkan
meta-analisisdidapatkanbahwa risiko frakturpanggul pada
pengguna steroid meningkat 2,1-4,4 kali. Oleh sebab itu
terapi osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai
bila I-score mencapai -1 dan BMD serial harus dilakukan
tiap 6 bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperti pada osteoporosis primer.
Riwayat fraktur merupakan faktor risiko timbulnya
fraktur osteoporotik dikemudian hari dengan risiko 2 kali.
Risiko ini terutarnatampak pada fraktur vertebra. Penderita
dengan 2 fraktur vertebra atau lebih akan memiliki risiko
untuk fraktur vertebra berikutnya sampai 12 kali lipat pada
tingkat BMD manapun.
Indeks massa tubuh yang rendah juga merupakan
faktor risiko untuk terjadinya osteoporotik fraktur. Risiko
ini tampak nyata pada orang dengan indeks massa tubuh
< 20 kg/m2 Risiko fraktur pada orang kurus tidak
tergantung pada BMD.
Fraktur osteoporotik merupakan risiko yang penting
terhadap kejadian fraktur pada masa yang akan datang,
yaitu 2 kali dibandingkan orang yang tidak pernah
mengalami fraktur. Risiko ini tampak nyata pada fraktur
vertebra dan tidak tergan tung pada nilai BMD. Demikian

Tabet 2. Rasio risiko fraktur panggul pada berbaga, laktor risiko osteoporosis
setelah disesuaikan dengan umur dan BMO (Kanis, et al)
lndikator risiko

Tanpa

BMD

Dengan

BMD

lndeks massa tubuh (20 vs 25 kg/m2)


(30 VS 25 kg/m 2)
Riwayatfraktur setelah 50 tahun
Riwayat parental dg fraktur panggul
Merokok
Penggunakortikosteroid
Penggunaalkohol > 2 uniUhari
Artritis reumatoid

RR
1,95
0,83
1,85
2,27
1,84
2,31
1,68
1,95

95%CI
1,71-2,22
0,69-0,99
1,58-2, 17
1,47-3,49
1,52-2,22
1,67-3,20
1,19-2,36
1, 11-3,42

RR
1,42
1,00
1,62
2,28
1,60
2,25
1,70
1,73

95%CI
1,23-1,65
0,82-1,21
1,30-2,01
1,48-3,51
1,27-2,02
1,60-3,15
1,20-2,42
0,94-3,20

2652

juga riwayat fraktur osteoporotik dalam keluarga,


merupakan faktor risiko fraktur yang juga independen
terhadap nilai BMD, terutama riwayat fraktur panggul
dalam keluarga.
Peminum alkohol lebih dari 2 unit/harijuga merupakan
faktor risiko terjadinya fraktur osteoporotik dan bersifat
dose-dependent. Demikianjuga merokok yang merupakan
faktor risiko fraktur osteoporotik yang independen
terhadap nilai BMD.
Beberapa penyakit kronik berhubungan dengan
densitas tulang yang rendah, apalagi bila harus diterapi
dengan glukokortikoid jangka panjang. Pada artritis
reumatoid, risiko fraktur osteoporotiktidak tergantungpada
penggunaan glukokortikoid maupun nilai BMD.

OSTEOPOROSIS TIPE I DAN II


Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosisprimer
(involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis
primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui
penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder adalah
osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Pada tahun
1940-an, Albright mengemukanan pentingnya estrogen
pada patogenesis osteoporosis. Kemudian pada tahun
1983, Riggs dan Melton, membagi osteoporosisprimer atas
osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I, disebut
juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh
defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe
II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh
gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang
mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Belakangan
konsep itu berubah, karena temyata peran estrogen juga
menonjol pada osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian
kalsium dan vitamin D pada osteoporosis tipe Iljuga tidak
memberikanhasil yang adekuat.Akhimya pada tahun 1990an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan
mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang
sangat berperan pada timbulnya osteoporosis primer, baik
pasca menopause maupun senilis.
Peran estrogen pada tulang
Struktur estrogen vetebrata terdiri dari 18 karbon dengan
4 cincin. Estrogen manusia dapat dibagi 3 kelompok, yaitu
estron (E 1 ), 17~estradiol (E2), estrio! (E3). Selain itujuga
terdapat jenis-jenis estrogen lain, seperti estrogen dari
tumbuh-tumbuhan (fitoestrogen ), estrogen sintetik
(misalnya etinilestradiol, dietilstilbestrol, klomifen
sitrati, xenobiotik (DDT, bifenol dll). Saat ini terdapat
struktur lain yang dikenal sebagai anti-estrogen, tetapi
pada organ non-reproduktif bersifat estrogenik; struktur
ini disebut selective estrogen receptor modulators
(SERMs).

Estrogen yang terutama dihasilkan oleh ovarium adalah


estradiol. Estron juga diohasilkan oleh tubuh manusia,
tetapi terutama berasal dari luar ovarium, yaitu dari
konversi androstenedion pada jaringan perifer. Estriol
merupakan estrogen yang terutama didaopatkan didalam
urin, berasal dari hidroksilasi-16 estron dan estradiol.
Estrogen berperan pada pertumbuhan tanda seks sekunder
wanita dan menyebabkan pertumbuhan uterus, penebalan
mukosa vagina, penipisan mukus serviks dan pertumbuhan
saluran-saluran pada payudara. Selain itu estrogen juga
mempengaruhi profil lipid dan endotel pembuluh darah,
hati, tulang, susunan saraf pusat, sistem imun, sistem
kardiovaskular dan sistem gastrointestinal.
Saat ini terlah ditemukan 2 macam reseptor estrogen
(ER), yaitu reseptor estrogen-a (ERa) dan reseptor
estrogen-/3 (ER/3). ERa dikode oleh gen yang terletak di
kromosom 6 dan terdiri dari 595 asam amino, sedangkan
ERb, dikode oleh gen yang terletak di kromosom 14 dan
terdiri dari 530 asam amino. Sampai saat ini, fungsi ER/3
belum diketahui secara pasti. Selain itu, distribusi kedua
reseptor ini bervariasi pada berbagaijaringan, misalnya di
otak, ovariurn, uterus dan prostat. Reseptor estrogen juga
diekspresikan oleh berbagai sel tulang, termasuk osteoblas,
osteosit, osteoklas dan kondrosit (lihat Tabel 2). Ekspresi
ERa dan ER/3 meningkat bersamaan dengan diferensiasi
dan maturasi osteoblas. Laki-laki dengan osteoporosis
idiopatik mengekspresikan mRNA ERa yang rendah pada
osteoblas maupun osteosit. Delesi ERapada tikus jantan
dan betina menyebabkan penurunan densitas tulang,
sedangkan perusakan gen ER/3 pada wanita ternyata
meningkatan bone mineral content (BMC) tulang kortikal
walaupun pada tikus tidak memberikan perubahan pada
tulang kortikal maupun trabekular. Delesai gen ERa dan
ER/3 juga menurunkan kadar IGF-1 serum.
Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan
homeostasis tulang yang penting. Estrogen memiliki efek
langsung dan tak langsung pada tulang. Efek tak langsung
meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan
homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi
kalsium di usus, modulasi 1,25(0H)p, ekskresiCadi ginjal
dan sekresi hormon paratiroid (PTH).
Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa
efek, seperti tertera pada Tabet 3. Efek-efek ini akan
meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorpsi
tulang oleh osteoklas.
Tabel 3. Faktor R1s1ko Fraktur Panggul
Terjatuh
Penurunanrespons protektif
Kelainan neuromuskular
Gangguan penglihatan
Gangguan keseimbangan
Gangguan'penyedlaan energi
Malabsorpsi
Peningkatanfragilitas tulang
Densitas massa tulang rendah
Hiperparatiroidisme

2653

OSTEOPOROSIS

Patogenesis OsteoporosisTipe I Setelah


menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat,
terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga
insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius
distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada
tulang trabekular,karena memilikipermukaanyang luas dan
hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda
resorpsi tulang dan formasi tulang, keduanya meningkat
menunjukkan adanya peningkatan bone turnover.
Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai
sitokin oleh bone marrow stromal cells! dan sel-sel
mononuklear,seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a yang berperan
meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian
penurunan kadar estrogen akibat menopause akan
meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga
aktifitas osteoklas meningkat.
Selain peningkatan aktifitas osteoklas, menopausejuga
menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan
ekskresi kalsium di ginjal. Selain itu, menopause juga
menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa
1,25(0H)2D, sehingga pemberian estrogen akan

meningkatkan konsentrasi 1,25(0H)p didalam plasma.


Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan
meningkatkan sintesis protein tersebut, karena estrogen
transdermal tidak diangkut melewati hati. Walaupun
demikian, estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan
absorpsi kalsium di usus secara langsung tanpa
dipengaruhi vitamin D.
Untuk mengatasi keseimbangan negatifkalsium akibat
menopause, maka kadar PIH akan meningkat pada wanita
menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat.
Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan
kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh
menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar
albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar
kalsiumyang terikat albumin danjuga kadar kalsium dalam
bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada
menopause terjadi akibat penurunan rangsang respirasi,
sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik. Walaupun
terjadi peningkatan kadar kalsium yang terikat albumin
dan kalsiumdalamgaramkompleks,kadar ion kalsiumtetap
sama
dengan
keadaan
premenopausal.

Tabet 4. Karakteristik Osteoporosis Tipe I dan II

Umur (tahun)
Perempuan : laki-laki
Tipe kerusakan tulang
Bone turnover
Lokasi fraktur terbanyak
Fungsi paraliroid
Efek estrogen
Etiologi utama

Tipe I

Tipe II

50-75

>70
2:1

6:1
Terutama
Tinggi
Vertebra,
Menu run
Terutama
Defisiensi

radius distal
skeletal
estrogen

Tabet 5. Distribusi Reseptor

Estrogen

pada Sel-sel Tulang

Sel tulang

Reseptor

estrogen

Osteoblas
Osteosit
Bone marrow stromal cells
Osteoklas
Kondrosit

Tabel 6. Efek Estrogen Terhadap


Osteoblas
i proliferasi osteoblas,
t sintesis DNA,
t alkali fosfatase,
,!. kolagen tipe I,
t mineralisasi tulang,
t sintesis IGF-1.
t sintesis TGF-P.
sintesis BMP-6,
,!. sintesis TNF-a,
t sintesis OPG
,!. aksi PTH,
iekspresi ERa,
,!. apoptosis osteoblas

Trabekular dan kortikal


Rendah
Vertebra, kolum femoris
Meningkat
Terutama ekstraskeletal
Penuaan, defisien
estro en

trabekular

Berbagai

ERa dan ERP


ERadan ERP
ERadan ERP
ERa dan ERP (?)
ERadan ER~

Sel Tulang
Osteoklas

Osteosit

,!. apoptosis osteosit,

,!. TRAP, cathepsin B, D

ekspresi ERa,

c-ios, c-jun, TGF-p,


apoptosis osteoklas,
osteoklas

-l. formasi

Kondrosit

pertumbuhan endo kondral selama


pubertas,
mempercepat penutupan
lempeng epifisis

2654

REUMATOLOGl

Patogenesis OsteoporosisTipe II
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang
spinalnya sebesar 42% dan kehilangan tulang femumya
sebesar 58%. Pada dekade ke delapan dan sembilan
kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling
tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan
formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan
menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan
mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur.
Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko fraktur yang
independen terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin

seringkali didapatkan pada orang tua, tetapi hal ini lebih


menunjukkan peningkatan turnover tulang dan bukan
peningkatan formasi tulang.
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti pebnyebab
penurunan fungsi osteoblas pada orang tua, diduga
karena penurunan kadar estrogen dan IGF-1.
Defisiensikalsium dan vitamin Djuga seringdidapatkan
pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium
dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi dan
paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi
kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang

Osteoporosis
Gambar 1. Patogenesis

osteoporosis

pasca menopause

Usia lanjut
J.absorpsi Ca
diusus

Definisi vitamin D,
J.aktifitas 1-cl:lidroksilase,
resistensi thd vit D
....._

.. J.reabsorpsi Ca 1---di ginjal

Gangguan fungs l oest eoblas


trisiko terjatuh
( -kekuatan otot , J.aktifitas
otot medikasi gangguan
,
keseimbangan gangguan ,
penglihatan
,
Fraktur
Gambar

2. Patogenesis

Osteo
i.--------l

porosis

tipe II dan fraktur

dan lain -lain

2655

OSTEOPOROSIS

persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi


tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada
orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.
Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein
yangFaktor lain yang juga ikut berperan terhadap
kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor
genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan,
imobilisasi lama).
Defisiensi estrogen, temyata juga merupakan masalah
yang penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis
pada orang tua, baik pada laki-laki maupun perempuan.
Demikianjuga kadar terstosteron pada laki-laki. Defisiensi
estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilangan
massa tulang. Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMoV
L pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis. Karena
laki-laki tidak pernah mengalami menopause (penurunan
kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa
tulang yang besar seperti pada wanita tidak pemah terjadi.
Falahati-Nini dkk menyatakan bahwa estrogen pada lakilaki berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan
estrogen dan progesteron mengatur formasi tulang:
Kehilangan massa tulang trabekular pada laki-laki
berlangsung linier, sebingga terjadi penipisan trabekula,
tanpa disertai putusnya trabekula seperti pada wanita.
Penipisan trabekula pada laki-laki terjadi karena penurunan
formasi tulang, sedangkan putusnya trabekula pada wanita
disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan
akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu
menopause.
Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal
dan intrakortikal akan meningkat, sehingga kehilangan
tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan
meningkatkan risiko fraktor tulang kortikal, misalnya pada
femur proksimal. Total permukaan tulang untuk remodeling tidak berubah dengan bertambahnya umur, hanya
berpindah dari tulang trabekular ke tulang kortikal. Pada
laki-laki tua, peningkatan resorpsi endokortikal tulang
panjang akan diikuti peningkatan formasi periosteal,
sehingga diameter tulang panjang akan meningkat dan
menurunkan risiko fraktur pada laki-laki tua.
Risiko fraktur yangjuga harus diperhatikan adalah risiko
terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan
orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan
penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan
stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin
atau tidak rata dan lain sebagainya. Pada umumnya, risiko
terjatuh pada orang tua tidak disebabkan oleh penyebab
tunggal.

PENDEKATAN KUNIS OSTEOPOROSIS


Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan
pendekatan yang sistematis, terutama untukmenyingkirkan osteoporosis sekunder. Sebagaimana penyakit lain,

diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium,


pemeriksaan radiologi dan kalau perlu biopsi tulang.

Anamnesis
Anamnesis memegang peranan yang penting pada
evaluasi penderita osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan
utama dapat langsung mengarah kepada diagnosis,
misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis,
bowing leg pada riket, atau kesemutan dan rasa kebal di
sek:itar mulut dan ujungjari pada hipokalsemia. Pada anakanak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek, nyeri
tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi
ekstraskeletal, kesemuanya mengarah kepada penyakit
tulang metabolik.
Faktor lain yang harus ditanyakanjuga adalah fraktur
pada trauma minimal, imobolisasi lama, penurunan tinggi
badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari,
asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, latihan yang teratur
yang bersifat weight-bearing.
Obat-obatan yang diminum dalamjangka panjangjuga
harus diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon tiroid,
anti konvulsan, heparin, antasid
yang mengandung
alumunium, sodium-fluorida dan bifosfonat etidronat.
Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko
osteoporosis.
Penyakit-penyakit
lain yang harus
ditanyakan yang juga berhubungan dengan osteoporosis
adalah penyakit ginjal, saluran cema, hati, endokrin dan
insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan
menopause, penggunaan obat-obat kontraseptif juga
harus diperhatikan. Riwayat keluarga dengan osteoporosis juga harus diperhatikan, karena ada beberapa penyakit
tulang metabolik yang bersifat herediter.

Pemeriksaan Fisik
Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap
penderita
osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan
penderita, deformitas tulang, leg-length inequality, nyeri
spinal dan jaringan parut pada leher (bekas operasi tiroid ?).
Sklera yang biru biasanya terdapat pada penderita
osteogenesis imperfekta. Penderita ini biasanya juga akan
mengalami
ketulian, hiperlaksitas
ligamen dan
hipermobilitas sendi dan kelainan gigi. Cafe-au-lait spots
biasanya didapatkan pada sindrom McCune-Albright.
Pada anak-anak dengan vitamin D-dependent rickets tipe
II, sering didapatkan alopesia, baik total atau hanya
berambut jarang.
Pada rikets, beberapa penemuan fisik sering dapat
mengarahkan ke diagnosis, seperti perawakan pendek,
nyeri tulang, kraniotabes, parietal pipih, penonjolan sendi
kostokondral (rashitic rosary), bowing deformity tulangtulang panjang dan kelainan gigi.
Hipokalsemia ditandai oleh iritasi muskuloskeletal,
yang berupa tetani. Biasanya akan didapatkan aduksi
jempol tangan, fleksi sendi MCP dan ekstensi sendi-sendi

2656
IP. Pada keadaan yang laten, akan didapatkan tanda
Chovstek dan Trosseau.
Pada penderita hipoparatiroidismeidiopatik,pemeriksa
harus mencari tanda-tanda sindrom kegagalan
poliglandular, seperti kandidiasis mukokutaneus kronik,
penyakit Adison, alopesia, kegagalan ovarium prematur,
diabetes melitus, tiroiditis otoimun dan anemia pemisiosa.
Pada penderitahiperparatiroidismeprimer, dapat ditemukan
band keratoplasty akibat deposisi kalsium fosfat pada tepi
limbikkomea.
Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan
kifosis dorsal atau gibbus (Dowager's hump) dan
penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan
protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral dan
kulit yang tipis (tanda McConkey).

PEMERIKSAAN BIOKIMIA TULANG

Pemeriksaanbiokimiatulang terdiri dari kalsiumtotal dalam


serum, ion kalsium, kadar fosfor didalam serum, kalsium
urin, fosfat urin, osteokalsin serum, piridinolin urin dan
bila perlu hormon paratiroid dan vitamin D.
Kalsium serumterdiri dari 3 fraksi, yaitu kalsium yang
terikat pada albumin (40%), kalsium ion (48%) dan kalsium
kompleks ( 12%).Kalsium yang terikat pada albumin tidak
dapat difiltrasi di glomerulus. Keadaan-keadaan yang
mempengaruhikadar albumin serum, seperti sirosishepatik
dan sindrom nefrotik akan mempengaruhi kadar kalsium
total serum. Ikatan kalsiumpada albumin sangatbaik terjadi
pada pH 7-8. Peningkatan dan penurunan pH 0,1 secara
akut akan menaikkan atau menurunkan ikatan kalsium pada
albumin sekitar 0,12 mg/di. Pada penderita hipokalsemia
dengan asidosis metabolik yang berat, misalnya pada
penderita gagal ginjal, koreksi asidemia yang cepat dengan
natrium bikarbonat akan dapat menyebabkan tetani karena
kadar ion kalsium akan turun secara drastis.
Ion kalsium merupakan fraksi kalsium plasma yang
penting pada proses-proses fisiologik, seperti kontraksi
otot,pembekuandarah, konduksisaraf, sekresihormon PTH
dan mineralisasitulang. Pengukurankadar ion kalsiumjauh
lebih bermakna daripada pengukuran kadar kalsium total.
Ekskresi kalsium urin 24 jam juga harus diperhatikan
walaupun tidak secara langsung menunjukkan kelainan
metabolisme tulang. Pada orang dewasa dengan asupan
kalsium 600-800 mg/hari, akan mengekskresikan kalsium
100-250mg/24 jam. Bila ekskresi kalsium kurang dari 100
mg/24 jam, harus dipikirkan kemungkinan adanya
malabsorbsi atau hiperparatiroidisme akibat retensi
kalsium oleh ginjal.Peningkatanekskresikalsiumurin yang
disertai asidosis hiperkloremik menunjukkan adanya
asidosis tubular renal (RTA).
Untuk menentukan turnover tulang, dapat diperiksa
petanda biokimkia tulang. Petanda biokimia tulang terdiri
dari petanda formasi dan resorpsi tulang. Petanda formasi

REUMATOLOGI

tulang terdiri dari Bone-specific alkaline phosphatase


(BSAP), osteokalsin OC), Carboxy-terminal propeptide
of type I collagen (PICP) dan amino-terminal propeptide
of type I collagen (PINP). Sedangkan petanda resorpsi
terdiri dari hidroksiprolin urin,free and totalpyridinolines
(Pyd) urin,.free and total deoxypyridinolines (Dpd) urin,
N-telopeptide of collagen cross-links (NTx) urin,
C-te/opeptide
of collagen cross-links (CTx) urin,
cross-linked C-telopeptide of type I collagen (ICTP)
serum dan tartrate-resistant acid phosphatase (TRAP)
serum.
Protein yang diproduksi oleh osteoblas, terutama
adalah kolagen ripe I, walaupun demikian, osteoblas juga
menghasilkan protein nonkolagen, seperti BSAP dan OC.
BSAP berperan pada proses mineralisasi tulang, pada
keadaan hipofosfatasia (defisiensi fosfatase alkali), maka
akan terjadi gangguan mineralisasi tulang dan gigi. Peran
BSAP secarapasti sebenamya belumjelas, diduga berperan
pada peningkatan kadar fosfat anorganik lokal, merusak
inhibitor pertumbuhan kristal mineral, transport fosfat,
atau berperan sebagai protein pengikat Ca atau Ca" -adenosine triphosphatase (ATPase).
Fosfatase alkali (AP) yang beredar didalam darah,
terutama berasal dari tulang dan hati, dan sebagian kecil
berasal dari banyakjaringan, termasuk usus, limpa, ginjal,
plasenta dan beberapa jenis tumor.
Osteokalsin juga merupakan petanda aktifitas
osteoblas dan fosmasi tulang. Walaupun demikian, karena
OC banyak teruikat di matriks tulang dan akan turut
dilepaskan pada proses resorpsi tulang, maka kadarnya
didalam serum tidak hanya menunjukkan aktifitas formasi,
tetapi juga resorpsi tulang. Fungsi OC juga belum jelas,
tetapi kadarnya didalam matriks akan meningkat
bersamaan dengan peningkatan hidroksiapatit selama
pertumbuhan tulang.
PICP dan PINP merupakan petanda yang ideal dari
formasi tulang, karena sebagaian besar protein yang
dihasilkan oleh osteoblas adalah kolagen tipe I, walaupun
demikian kolagen ini juga dihasilkan oleh kulit, sehingga
penggunaannya di klinik tidak sebaik BSAP dan OC,
karena pemeriksaan yang ada saat ini tidak dapat
membedakan PICP dan PINP yang berasal dari tulang atau
jaringan lunak.
Berbeda dengan formasi tulang, produk degradasi
kolagen sangat baik digunakan untuk petanda resorpsi
tulang. Pada tulang yang diresorpsi, produk degradasi
kolagen akan dilepaskan kedalam darah dan diekskresi
lewat ginjal. Kolagen pada matriks tulang merupakan
kumpulan fibril yang disatukan oleh covalent ceross-link.
Cross-link ini terdiri dari hidroksilisil-piridinolin
(piridinolin, Pyd) dan lisil-piridinolin (deoksipiridinolin,
Dpd). Pyd lebih banyak ditemukan didalam tulang
dibandingkan Dpd, tetapi Pyd juga ditemukan didalam
kolagen tipe II rawan sendi dan jaringan ikat lainnya,
sehingga Dpd lebih spesifik untuk tulang daripada Pyd.

2657

OSTEOPOROSIS

Cross-linkPyd dan Dpd terjadi pada 2 lokasi intermolekuler


pada molek:ul kolagen, yaitu dekat residu 930, dimana 2
aminotelopeptida berikatan membentuk struktur tripe!
heliks (N-telopeptide of collagen cross-link, NTx) dan
pada residu 87, dimana 2 karboksitelopeptida berikatan
membentuk struktur tripe! heliks (C-telopeptide of
collagen cross-link, CTx).
Setelah resorpsi tulang oleh osteoklas, berbagai
produk degradasi kolagen termasuk Pyd dan Dpd akan
dilepaskan kedalam sirk:ulasi, dimetabolisme di hati dan
diekskresi lewat ginjal. Urin mengandung 40% Pyd dan
Dpd bebas dan 60% Pyd dan Dpd yang terikat protein.
Penguk:uran kedua bentuk Pyd dan Dpd (bebas dan terikat
protein) merupakan baku emas, tetapi memerlukan waktu
yang lama dan sangat mahal, sehingga saat ini banyak
digunakan penguk:uran Pyd dan Dpd bebas saja. Selain
itu, didalam urinjuga dapat diperiksa NTx dan CTx.
Petanda resorpsi tulang yang dapat diperiksa dari
serum adalah Cross-linked C-telopeptide of type I
collagen (ICTP) dan tartrate-resistant acid phosphatase
(TRAP). ICTP tidak banyak digunakan karena hasilnya
sebagai petanda resorpsi tulang tidak menggembirakan.
TRAP juga tidak banyak digunakan karena tidak
spesifik:untuk osteoklas dan relatif tidak stabil didalam
serum yang beku.
Beberapa hal yang hams dipertimbangkan pada
pemeriksaan petanda biokimia tulang adalah :
1. Karena petanda biokimia tulang hanya dapat diuk:ur
dari urin, maka harus diperhatikan kadar kreatinin di
dalam darah dan urin karena akan mempengaruhi basil
pemeriksaan.
2. Pada umumnya petanda formasi dan resorpsi tulang
memiliki ritme sirkadian, sehingga sebaiknya diambil
sampel urin 24 jam atau bila tidak mungkin dapat
digunakan urin pagi yang kedua, karena kadar teertinggi
petanda biokimia tulang didalam urin adalah antara jam
4.00-8.00 pagi. Kadar OC dan PICP juga mencapai kadar
tertinggi didalam serum antarajam 04.00-08.00.
3. Petanda biokimia tulang sangat dipengaruhi oleh umur,
karena pada usia muda juga terjadi peningkatan bone
turnover.
4. Terdapat perbedaan basil pada penyakit-penyakit
tertentu, misalnya pada penyakit Paget, BSAP
lebihtinggi peningkatannya dibandingkan OC, terapi
bisfosfonat akan menurunkan kadar Pyd dan Dpd yang
terikat protein tanpa perubahan ekskresi Pyd dan Dpd
bebas, sedangkan terapi estrogen akan menurunkan
ekskresi Pyd dan Dpd urin, baik yang bebas maupun
yang terikat protein.
Manfaat pemeriksaan petanda biokimia tulang :
1. Prediksi kehilangan massa tulang,
2. Prediksi risiko fraktur,
3. Seleksi pasien yang membutuhkan anti resorptif
4. Evaluasi efektifitas terapi

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
Pemeriksaan radiologik untuk menilai densitas massa
tulang sangat tidak sensitif. Seringkali penurunan densitas
massa tulang spinal lebih dari 50% belum memberikan
gambaran radiologik yang spesifik. Selain itu, tehnik dan
tingginya kilovoltage juga mempengaruhi
basil
pemeriksaan radiologik tulang.
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis
adalah penipisan korteks dan daerah trabek:uler yang lebih
lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra
yang memberikan gambaran picture-frame vertebra.
Pada tulang-tulang vertebra, pemeriksaan radiologik
sangat baik untuk mencari adanya fraktur kompresi, fraktur
baji atau fraktur bikonkaf. Pada anak-anak, fraktur kompresi
dapat timbul spontan dan berhubungan dengan osteoporosis yang berat, misalnya pada osteogenesis
imperfekta, rikets, artritis reumatoid juvenil, penyakit Crohn
atau penggunaan steroid jangka panjang. Bowing deformity pada tulang-tulang panjang, sering didapatkan pada
anak-anak dengan osteogenesis imperfekta, rikets dan
displasia fibrosa.
Resorpsi subperiosteal
merupakan gambaran
patognomonik hiperparatiroidsme, terlihat pada 10%
kasus, terutama pada daerah radial falang medial j ari II dan
III. Kelainan ini akan tampak dengan baik bila
menggunakan film mamografi. Selain itu dapat juga terlihat
lesi fokal atau multipel yang juga spesifik untuk
hiperparatiroidisme
yang disebut
brown tumor
(osteoklastoma) yang berisi sel-sel raksasa yang sangat
responsif terhadap PTH. Kelainan ini akan hilang dengan
pembuangan adenoma paratiroid.

Vertebra
Gambaran osteoporosis pada foto polos akan menjadi lebih
radiolusen tetapi barn terdeteksi setelah terjadi penurunan
massa tulang sekitar 30%. Variabilitas faktor teknis dalam
pengambilan foto polos, dan variasi jenis serta ketebalan
jaringan lunak yang tumpang tindih dengan vertebra akan
mempengaruhi gambaran radiologisnya dalam menilai
densitas tulang. Selain itu adanya kompresi vertebra, akan
meningkatkan densitas tulang karena terjadi perpadatan
trabek:ula dan pembentukan kalus. Tetapi ada pendapat
lain yang menyatakan bahwa angka 30% itu karena
berdasarkan misinterpretasi pada penelitian in vitro yang
telah dilakukan 40 tahun yang lalu. Lachman dan Whelan
menunjukkan bahwa hal tersebut benar untuk daerah
kortikal sedangkan pada tulang-tulang yang mempunyai
kadar trabek:ula tinggi osteoporosis dapat dilihat secara
radiogram bila terjadi defisit mineral tulang sebesar 8-14%.
Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan
osteoporosis vertebra :
1. Kriteria yang paling subyektif adalah peningkatan daya
tembus sinar pada korpus vertebra atau penurunan

2658

REUMATOLOGI

densitas tulang.
2 Hilangnya trabekula borisontal disertai semakin
jelasnya trabekula vertikal. Resorpsi, penipisan dan
menghilang terutama pada trabekula horisontal
dibandingkan trabekula yang vertikal sehingga
menghasilkan gambaran densitas striata vertikal.
Adanya diskrepansi resorpsi trabekula dapat berkaitan
dengan efek dari kompresi, yang selanjutnya terjadi
tulang subkondral yang tipis dan tegas.
KriteriaBone Atrophy Class (SilverScienceGroup, 1990)
merupakan salab satu metode yang dapat digunakan
dalam menilai osteoporosis berdasarkan perubahan
trabekulasi. Kriteria Bone Atrophy Class membagi
tingkatan perubaban trabekulasi menjadi 4 tingkatan,
yaitu:

osteopeni dengan pengukuran densitas mineral tulang


DXA pada vertebra dan femur.
- Grade O
- Grade 1

- Grade 2
- Grade 3

kehilangan densitas tulang lebih berat


dari grade 2, end plates menjadi
kurang terlihat.
korpus vertebra ghost like, densitas
tidak lebih besar dari jaringan lunak
dan tak ada bentuk trabekula yang
terlihat.

- Grade 4

Klas O Normal
Klas I Trabekula longitudinal lebihjelas Klas II
Trabekula longitudinal menjadi kasar Klas III
Trabekula longitudinal menjadi tidakjelas
3. Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus
vertebra. Pemeriksaan ini sangat sulit karena tebal
korteks yang sangat kecil sehingga menimbulkan
kesalahan dalam pengukuran selain sulit menentukan
tepi korteks.
4. Perubaban end plates, baik secara absolut maupun
relatif dengan membandingkan antara korpus vertebra
dengan end plates. Penurunan kandungan kalsium
dalam vertebra menghasilkariend plates akan semakin
jelas terlibat. Indikator perubaban end plates ini
merupakan indikator yang paling sensitif dalam
menentukan osteoporosis.
5. Abnormalitas bentuk korpus vertebrae dapat berupa
bentuk baji (diametervertebra anteriorkurang atau lebih
rendah daribagian posterior),bikonkaf,frakturkompresi
(bila tinggi kedua tepi vertebra berkurang).
Menurut penelitian Oda dick bahwa bentuk baji dari
vertebra merupakan deformitas tulang yang paling
seringterj adi, kemudiandiikutibikonkaf,flat/frakturvertebra. Terdapat beberapa cara dalam menilai
bikonkavitas vertebra, salah satu diantaranya Spine
score yang digunakan Barnet dan Nordin dengan
membandingkan persentase antara tinggi vertikal
korpus vertebra lumbal 3 bagian tengah (melalui pusat
vertebra) dengan tinggi vertikal bagian anterior pada
foto lateral vertebra lumbal. Apabila spine score < 80
menunjukkan osteoporosis. Salah satu usaba untuk
menentukan tingkat atau derajat skala osteopenia pada
tulang vertebra yaitu menggunakan metode Saville
dengan penilaian terhadap densitas, end plates dan
trabekula vertikal. Skor osteopenia semikuantitatif
Saville sederbana dan mudah diaplikasikan tetapi
membutuhkan interpretasi yang masih subyektif.
Terdapat korelasi yang kasar/luas antara nilai skor

densitas tulang normal.


kehilangan densitas minimal, end
plates mulai memperlihatkan efek
stensil.
garis striata vertikal lebih jelas; end
plates lebih tipis

Beat dkk mencoba membuat kriteria penilaian spesifik


perubahan yang terjadi pada vertebra yang dapat dilihat
pada foto lateral yaitu :
1. Derajat ketegasan (prominen) endplates dibanding
korpus vertebra lumbal-1
2. Densitas korpus vertebra dibanding jaringan lunak
yang berdekatan.
3. Derajat bikonkaf
4. Jumlah trabekula
5. Ketegasan trabekula
6. Perkiraan keadaan osteopenia vertebra lumbal-1
7. Perkiraan keadaan osteopeni seluruh vertebra
lumbal.

TfnT

VDS
O Hp, Hm, Ha= 100%

iLt_Ji

DOD
u

. ----

D
U
----.
--~---

~.

;~

---------

1. A.Hm<85%
b. Ha<85% a
b
2. A. Hm<70%
b. Ha<70%

----5---

----------:

_:

3. Hp,Hm,Ha <85%
<70%

Gambar 3. Radiomorfometri vertebra

Setelah dibandingkan dengan pengukuran densitas


mineraltulang melaluimetode Q-CT pada vertebrapada
batas ambang fraktur yaitu 110 mg/cm3 (kehilangan
massa tulang sekitar 40% dibandingkan nilai maksimal
pada usia 35 sebesar 175 mg/cm3) ternyata diperoleh
data bahwa kriteria radiologis yaitu keadaan osteopenia

OSTEOPOROSIS

pada vertebra lumbal-1 mempunyai korelasi yang paling tinggi, diikuti dengan densitas korpus vertebra
dibandingkan denganjaringan lunak yang berdekatan.
Kemudianjumlah trabekula. Ketiga kriteria radiologis
tersebut temyata bermaknapada densitasmineral tulang
diatas 110 Mg/CM3 Sehingga disimpulkan kriteria
radiologis pada foto polos vertebra lumbal lateral dapat
memperkirakan densitas tulang pada penderita non osteoporosis (di atas ambang fraktur) serta dapat
memperkirakan kuantitas tulang vertebra (kehilangan
mineral tulang di bawah 40%).

2659

6. Metode terakhir dalam diagnosis osteoporosis dengan


menemukan fraktur spontan atau setelah trauma ringan
pada foto vertebra.

kearah atas dan berakhir pada permukaan superior


trokhanter mayor.
4. Principal tensile group, kelompok trabekula yang
berjalan kurvalinier dari korteks lateral tepat dibawah
trokhanter mayor menyilang leher femur kearah bagian
inferiorkaput femoris,merupakantrabekulatensileyang
paling tebal.
5. Secondary tensile group, kelompok trabekula yang
berjalan mulai dari korteks lateral dibawah kelompok
principal tensile kearah superior dan medial menyilang
leher femur. Pada daerah leher femur terdapat area
segitiga disebut Segitiga Ward yang sangat sedikit
mengandung trabekula dan dikelilingi oleh kelompok
principal compressive, secondary compressive dan
tensile.

Kondisi foto dan posisi kemiringan vertebra lumbar


sangat mempengaruhipenilaian densitas tulang. Perbedaan
kontras antara korpus vertebra dengan jaringan lunak
sekitamya akan memberikan perbedaan dalam penilainan
trabekula. Hal ini juga dipengaruhi oleh banyak faktor,
termasuk diantaranya ukuran kolimasi sumber sinar,
kilovoltage sinar-X, energi total sinar-X, jumlah sinar
hambur, efisiensi Potter-Bucky grid, tipe film yang
digunakan dan proses fotografik. Keadaan inspirasi dapat
memberikan keadaan lebih porotik pada vertebra torakal.
Yuan X Takahashi dkk meneliti korelasi foto polos
vertebra lumbal lateral dari L2 sampai L4, ternyata
visualisasi radiografik L3 lebih baik dibandingkan L2
maupun L4 sehingga sangat membantu dalam mendeteksi
atrofi tulang secara radiografik.

Singh dkk telah mencoba menghubungkan bentuk dari .


kelompok-kelompok trabekula tersebut dengan berat
ringannya osteoporosis dibandingkan dengan biopsi
tulang dan didapatkanbasil yang sangat bermakna. Dengan
resorpsi trabekula dini diperhatikan atenuasi dari sruktur
trabekula prinsipal compressive dan principal tensile.
Trabekula di proksimal femur dapat dilihat dengan baik
bila dibuat rontgenogram pada daerah hip (leher femur)
dengan menggunakan exposure yang adekuat agar dapat
melihat detil makroskopis arsitektur susunan trabekulanya.
Pada perjalanan osteoporosis terjadi penipisan trabekula
dan beberapa diresorpsi sempurna, sehingga trabekula
yang tebal akan lebih nyata pada foto polos. Bila proses
osteoporosis terns berlanjut, maka trabekula yang tebal
akan teresorpsi juga.

Femur Proksimal
Telah lama diketahui bahwa bagian ujung proksimal tulang
femur terdiri dari trabekula tulang yang tersusun dalam 2
lengkung yang sating menyilang. Dan telah dibuktikan
melalui analisa matematika bahwa susunan trabekula ini
berkaitan dengan weight bearing dimana tekanan yang
diterima kaput femoris diteruskan ke shaft tulang femur
melalui susunan trabekula ini.
Pada tahun 1970 Singh dan kawan-kawan telah berhasil
menetapkan bentuk trabekula pada ujung atas femur
sebagai sebuah indeks osteoporosis. Terdapat 5 kelompok
anatomitrabekula sebagai berikut :
1. Principal compressive group, berupa deretan trabekula
yang berjalan dari medial kortek leher femur ke arah
bagian atas kaput femoris, merupakan trabekula yang
paling tebal dan dense.
2. Secondary compressive group, trabekula yang berjalan
sedikitmelengkungdari medial leher femurdibawahdari
kelompok principal compressive ke arah trokhanter
mayor. Trabekulanya tipis dan agak renggang.
3. Greater trochanter group, merupakan trabekula tipis
dan berbatas kurang tegas dari kelompok tensile yang
berjalan dari lateral dibawah trokhanter mayor menuju

lndeks Singh terbagi dalam 6 grade yaitu :


1. Grade 6, semua struktur kelompok trabekula terlihat,
segitiga Ward kurang jelas dan didalamnya tampak
struktur trabekula tipis yang tidak lengkap yang
menandakan tulang normal.
2 Grade 5, tampak atenuasi struktur kelompok principal
compressive dan principal tensile karena resorpsi
trabekula yang tipis. Secondary compressive kurang
jelas. SegitigaWardtampak kosong dan lebih prominen.
Stadium ini menunjukkan stadium dini osteoporosis.
3. Grade4, trabekulatensiletampaklebihberkurang,terjadi
resorpsi dimulai bagian medial, sehinggaprincipal tensile bagian lateral masih dapat diikuti garisnya,
sementara secondary tensile telah menghilang.
Sehingga segitiga Ward batas lateralnya terbuka.
Stadium ini menunjukkan transisi antara tulang normal
dengan osteoporosis.
4. Grade 3, tampakprincipal tensile terputus di area yang
berseberangan dengan trokhanter mayor sehingga
trabekula tensile hanya terlihat di bagian atas leher
femur. Stadium ini menunjukkan keadaan definite
osteoporosis.
5. Grade 2, hanya tampak principal compressive yang
prominen sedangkan kelompok trabekula lain tidak I

2660

REUMATOLOGI

kurang jelas karena sebagian besar telah teresorpsi.


Keadaan ini menunjukkan moderatly advanced
osteoporosis.
6. Grade 1, principal compressive tidak menonjol dan
berkurang jumlahnya, keadaan ini menunjukkan
keadaan osteoporosis berat.
Pengukuran indeks Singh dapat dilakukan pada salah
satu sisi tubuh, karena telah dibuktikan tidak ada perbedaan
bermakna pada kedua sisi tersebut. Pada penelitian indeks
Singh, pengukuran dilakukan oleh 3 orang observer dan
dibandingkan hasilnya serta diulang pembacaan fotonya
masing-masing dalam 3 bulan. Temyata didapatkan hasil
tidak berbeda bermakna.
Ketebalan kortek leher femur diukur melalui trokhanter
minor bagian atas dan peneliti lain menyatakan sebagai
ketebalan dari ca/car femorale. lndeks kortek leher
femur adalah rasio antara ketebalan kortek leher femur
dibagi diameter terpendek leher femur. Pada penelitian
Gutteridge (unpublished) menunjukkan bahwa indeks
kortek femur berkorelasi dengan pengukuran DXA femur
pada wanita pasca menopause yang mempunyai fraktur
vertebra.

Gambar 4. lndeks Singh

Combined CorticalThickness(GCT\ T-M


Cortical Index
(TM)ff
0.785 (T"-M')
Cortical Area

Gambar 5. Radiomorfometri metakarpal

Metakarpal
Resorpsi pada korteks tulang dapat tampak di 3 tempat
spesifik yaitu permukaan endosteal, intrakortikal dan
periosteal.
Pada pemeriksaan foto tangan yang perlu diperhatikan
adalah metakarpal ke 2 pada tangan kanan. Dilakukan
pengukuran tebal kortek yaitu selisih antara diameter
tulang dengan tebal medulla, serta rasio tebal korteks
dengan diameter tulang. Didapatkan hasil hubungan vang
bermakna antara rasio tebal kortek dan diameter tulang
terhadap hasil biopsi. Atau dilakukan perhitungan dengan
rumus:
CA/TA= TW2 - MW2
TW2
CA/TA ==> perbandingan daerah korteks (CA) dengan
daerah keseluruhan (TA)
TW ==> tebal keseluruhan
MW ==> tebalmedula

Nilai rata-rata dewasa muda 0, 72-0,85. Angka ini akan


menurun sesuai bertambahnya umur, dan bila nilai
perbandingan kurang dari 0, 72 menunjukkan adanya
osteoporosis korteks.
Skintigrafi Tulang
Skintigrafi tulang dengan menggunakan Technetium-99m
yang dilabel pada metilen difosfonat atau hidroksimetilen
difosfonat, sangat baik untuk menilai metastasis pada
tulang, tumor primer pada tulang, osteomielitis dan
nekrosis aseptik. Diagnosis skintigrafi tulang ditegakkan
dengan mencari uptake yang meningkat, baik secara umum
maupun secara lokal.
Pada penyakit Paget, skintigrafi tulang sangat sensitif
untuk mencari daerah pagetik.
PEMERIKSAAN DENSITAS MASSA TULANG
(DENSITOMETRI)
Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan
tulang dan risiko fraktur.Berbagai penelitian menunjukkan
peningkatan risiko fraktur pada densitas massa tulang
yang menurun secara progresif dan terns menerus .
Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang
akurat dan presis untuk menilai densitas massa tulang,
sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur dan bahkan diagnosis osteoporosis.
Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menilai
densitas massa tulang
adalah single-photon
absorptiometry (SPA) dan single-energy X-ray
absorptiometry (SPX) lengan bawah dan tumit; dualphoton absorptiometri (DPA) dan dual-energy X-ray
absorptiometry (DPX) lumbal dan proksimal femur; dan
quantitative computed tomography (QCT).

2661

OSTEOPOROSIS

Single- Photon Absorptiometry (SPA)

Pada SPAdigunakan unsur radioisotop I yang mempunyai


energi photon rendah sekitar 28 keV guna menghasilkan
berkas radiasi kolimasi tinggi. Intensitas berkas radiasi
yang diabsorpsi ditangkap oleh scintillation counter.
Dengan menggunakan skening rektilinier densitas tulang
itu diukur. Dosis absorpsi yang diperoleh sekitar 5 rnrad
(50 Gy). lntensitas berkas radiasi dibandingkan dengan
intensitas berkas radiasi pada phantom yang telah
diketahui densitasnya sehingga densitas mineral tulang
dapat ditentukan.
Karena SPAmenggunakanberkas radiasi energi tunggal
dari photon energi rendah, dimana berkas kolimasi yang
dipancarkan akan menembus komponen jaringan funak
dan tulang maka biasanya metoda ini digunakan hanya
pada bagian tulang yanq mempunyaijaringan lunak yang
tidak tebal seperti distal radius dan kalkaneus.
Kelemahan lainnya yaitu berupa sumber radioisotop
yang harus diganti tiap 6 bulan dan dapat juga terjadi
repositioning error.
Nilai koefisien akurasi sebesar 4-6% sedangkan nilai
koefisien presisi sebesar 1-2%.
Dual-Photon Absorptiometry (DPA)

Metode ini mempunyai cara yang sama dengan SPA.


Perbedaannya berupa sumber energi yang mempunyai
photon dengan 2 tingkat energi yang berbeda guna
mengatasi tulang dan jaringan lunak yang cukup tebal
sehingga dapat dipakai untuk evaluasi bagian-bagian
tubuh dan tulang yan mempunyai struktur geometri
komplek seperti pada daerah leher femur dan vertebra
Sumber energi yang paling sering digunakan adalah
Gdl53 yang mempunyai 2 tingkat energi 44 keV dan 100
keV, dosisyang diabsorpsisekitar 15 mrad (150 Gy),waktu
paruhnya 240 hari dan dapat digunakan untuk selama
13 - 15 bulan. 13 ,3" Tingkatakurasi metodeini sekitar 94 - 98%
atau koefisien akurasi5 -10% clan koefisienpresisi 2 -4%.
Quantitative ComputerTomography(QCT)

Merupakan densitometri yang paling ideal karena


mengukur densitas tulang secara volumetrik (g/CM3).
Terdapat beberapa kelebihan QCT dibandingkan
pemeriksaan BMD lain yaitu kemampuannya yang dapat
menilai hanya daerah trabekula saja, clan tidak terpengaruh
oleh adanya artefak kalsifikasi ekstra dan intraosseous
seperti kalsifikasi aorta dan osteofit serta ukuran-ukuran
tinggi, berat badan pasien. Sedangkan kekurangannya
berupa dosis radiasi yang dihasilkan lebih tinggi
dibandingkan DXA sekitar 60 Sv atau sekitar > 200 kaii
dibandingkan DXA. Pada tulang vertebrae Ll-4 dengan
potongan bidang midline akan tampak perbedaan atenuasi
antara kortek dan trabekula, sehingga dipilih daerah
trabekula dibawah kortek. Densitas volumetriknya (g/CM3
) dihitung dengan cara membadingkannya dengan densitas

phantom berisi CaP04.Nilai koefisien akurasi sebesar


5-15% dan nilai koefisien presisi sebesar 2-4%.
Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA)

DXA merupakan metoda yang paling sering digunakan


dalam diagnosis osteoporosis karena mempunyai tingkat
akurasi dan presisi yang tinggi. Prinsip kerjanya sangat
mirip dengan DPA, tetapi sumber energinya berbeda yaitu
sinar-X yang dihasilkan dari tabung sinar-X. Alat tersebut
dapat menghasilkan 2 tingkat energi antara 70 kVp dan
140 kVp dalam 2 sistem yaitu yang dapat berganti dengan
cepat satu sama lain atau dengan menggunakan filter
(K-edge filter) pada energi x ray yang konstan. Energi
efektifyang dihasilkan 45 dan 100keV.
Hasil pengukuran dengan DXA berupa:
1. Densitas mineral tulang pada area yang dinilai satuan
bentuk gram per CM2
2. Kandungan mineral tulang dalam satuan gram.
3. Perbandinganhasil densitas mineral tulang dengan nilai
normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan
dewasa muda yang dinyatakan dalam persentase.
4. Perbandinganhasil densitas mineral tulang dengan nilai
normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan
dewasa muda yang dinyatakan dalam skore standar
deviasi (Z-score atau T-score).
Densitas mineral tulang yang rendah merupakan faktor
risiko utama yang dapat dicegah dan prediktor utama
terjadinya fraktur. Secara umum setiap terjadi penurunan
densitas tulang sebesar 1 standar deviasi di bawah ratarata densitas mineral tulang orang dewasa muda akan
meningkatkan terjadinya fraktur sebanyak 2-3 kali.
Pemeriksaan densitometri untuk mengetahui densitas
tulang pada osteoporotik dipakai standar WHO sebagai
berikut:
Kategori

Diagnostik

Normal
Osteopenia
Osteoporosis
Osteo orosis berat

T-Score
> -1
< -1
< -2,5 (tanpa fraktur)
< -2,5 den an fraktur

Pada vertebra nilai densitas mineral tulang biasanya


yang dilihat adalah nilai rata-rata densitas tulang L2-L4
dan pada sendi panggul yang dihitung adalah kolumna
femoris, segitiga Ward dan trokhanter mayor. DXA juga
dapat dilakukan pada tulang kalkaneus dan dikatakan dapat
dipergunakan untuk memprediksi resiko fraktur tulang
vertebra pada wanita dengan osteoporosis bila QCT tidak
bisa dilakukan, karena terbukti penurunan T -score nya
lebih besar dibandingkan DXA di tempat lain.
Fukunaga dkk menyatakan bahwa densitas pada
tulang metakarpal-2, radius dan lumbal tetap konstan pada
umur 25-44 tahun sedangkan leher femur konstan pada

2662
umur 25-44 tahun, kemudian densitas semua tulang akan
menurun setelah menopause antara umur 45-55 tahun.
Setelah umur 70 tahun densitas tulang pada lumbar
menurun lebih lambat dibandingkan radius karena adanya
proses degeneratif. Radius merupakan tempat yang
paling baik digunakan untuk menilai densitas tulang pada
usia lanjut karena proses terjadinya degeneratif yang
sedikitdibandingtempatlainsertabasilpresisinyayangtinggi.
Nilai koefisien akurasi DXA sebesar 4-10% dan
koefisien presisi 1-3%. Nilai koefesien presisi untuk
vertebra 0,26-2,6% sedangkan untuk femur 0,7 - 2,1%.
Faktor yang dapat mempengaruhi kesalahan dalam
perhitungan yaitu faktor tulang ( osteofit, kompresi
vertebra, kalsifikasi aorta dll) dan non tulang (barium
intraluminal, prothese, obat-obatan yang mengandung
kalsium, pergerakan pasien dll).
Indikasi densitometri tulang :
1. Wanita premenopause dengan risiko tinggi, misalnya
hipomenore atau amenore, menopause akibat
pembedahan atau anoreksia nervosa. Dengan tujuan
untuk evaluasi pengobatan.
2. Laki-laki dengan satu atau lebih faktor resiko, misalnya
hipogonadisme (testosteron rendah), pengguna
alkohol,osteoporosispada radiografiatau fraktur karena
trauma ringan.
3. lmobilisasilama (lebih dari 1 bulan).
4. Masukan kalsium yang rendah 'lebih dari 10 tahun.
Misalnya hiperkalsiuria dengan atau tanpa batu ginjal
(4mg/kg/hr), malabsorpsi atau hemigastrektomi (10
tahun setelah operasi).
5. Artritis reumatoid atau ankylosing spondylitis selama
lebih dari 5 tahun terus-menerus.
6. Awai pengobatan kortikosteroid atau methotrexat dan
setiap 1-2 tahun pengobatan.
7. Menggunakan terapi antikonvulsan dengan dilantin
atau fenobarbital selama lebih dari 5 tahun.
8. Kreatinin klirens <50 milmenit atau penyakit tubular
ginjal.
9. Osteomalasia dengan kalsium serum yang rendah,
fosfor serumrendah dan atau alkali fosfatasemeningkat.
10. Hiperparatiroidismedengankalsium serumtinggi,fosfor serum
rendah dan atau hormon paratiroid meningkat
(terutama untuk kasus ringan atau non-bedah untuk
melihat efektifitasterapi).
11. Penggunaan terapi pengganti tiroid lebih dari 1 0 tahun.
12. Evaluasi terapi osteoporosis, yaitu estrogen atau
estrogen/progesteron, pengganti
testosteron,
kalsitonin, vitamin D dan kalsium, difosfonat, fluorida
serta anabolik steroid.
13. Wanita postmenopause dengan 2 atau lebih faktor
resiko. Misalnya dengan riwayat keluarga osteoporosis, masukankalsium rendah, fraktur pada orang dewasa
dengan trauma minimal, osteopeni pada radiografi
konvensional, kontraindikasi atau intoleran terhadap
terapi estrogen, umur lebih dari 65 tahun, pengguna

REUMATOLOGI

alkohol.
14. Insulin dependent diabetes melitus.
Tabel 7 Region of Interest (ROI)
Bagian-bagiantulang yang diukur (Region of Interest, ROI):
Tulang belakang (L1-L4)
Panggul
- Femoral neck
- Total femoral neck
- Trokanter
Lengan,bawah(33% radius), bila:
- Tulang belakang dan/atau panggul tak dapat diukur
- Hiperparatiroidisme
- Sangat obes
Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah
yang digunakan untuk diagnosis osteoporosis

Tabel 8. T-score dan Z-score


BMD pasien - BMD rata-rata orang dewasa muda
T-score

= -----------------

Z-score

= -----------------

1 SD BMD rata-rata orangdewasa muda

BMD pasien - BMD rata-rata orang seusia pasien


1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien

Nilai Z-score tidak digunakan untuk diagnosis.Z-score yang


rendah (< -2,0) mencurigakan kearah kemungkinan
osteoporosis sekunder, walaupun tidak ada data pendukung.
Selain itu setiap penderita harus dianggap menderita
osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada penyebab
osteoporosis sekunder

SONODENSITOMETRI

Salah satu metode yang lebih murah dalam menilai densitas


tulang perifer dengan menggunakan gelombang suara dan
tanpa adanya resiko radiasi. Dilakukan pengukuran
densitas tulang berdasarkan dari kecepatan gelombang
suara, atenuasi ultrasound broadband dan kekakuan
(stiffness).Parameter-parameterdiatas diketahui berkurang
pada penderita osteoporosis dan yang lebih penting
parameter sonografi dapat merupakan prediktor resiko
fraktur vertebra. Daya elastis tulang telah terbukti
berkaitan dengan kecepatan gelombang suara dan
kekuatan tulang berkaitan dengan atenuasi ultrasound
broadband.
Merupakan salah satu metode yang cukup menjanjikan
dan sedang banyak diteliti. Keuntungan metode ini tidak
adanya radiasi, mobile, ukuran kecil, pengukurannya cepat
dan relatif murah. Jenis tokasi tulang yang diperiksa
merupakan daerah yang mengandung sedikit jaringan
lunak seperti kalkaneus dan patela. Belum adanya
kesepakatan penilaian status densitas tulang, korelasi
yang rendah antara alat yang satu dengan yang lain,
dan masih terbatasnya penelitian yang telah

2663

OSTEOPOROSIS

dilaporkan sehingga membuat metode ini belum luas


digunakan.
Goldstein dan Nachtigall telah membandingkan hasil
densitometri dari Quantitative Ultrasound (QUS) pada
kalkaneus dengan DXA pada leher femiir ternyata
ultrasonografi Sahara
dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pasien yang mempunyai faktor risiko
osteoporosis.

MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)

MRI mepunyaikemampuanyang cukup menjanjikandalam


menganalisa struktur trabekula dan sekitamya. Metode
ini mempunyai kelebihan berupa tidak adanya radiasi.
Metode ini sedang banyak diteliti.
Elemen mineral tulang dapat dinilai melalui gambaran
karakteristik T2 decay berupa inhomogenitas yang
disebabkan oleh pengaruh perbedaan sumsum tulangnya.
Aplikasi MRI dalam menilai tulang trabekula melalui
2 langkahyaitu pertama T2 sumsumtulang dapat digunakan
untuk menilai densitas serta kualitas jaringan tulang
trabekuladan yang kedua untuk menilai arsitekturtrabekula.
Pengaruh perbedaan medan magnet antara trabekula tulang
dan sumsum tulang akan menghasilkan inhomogenitas
spatial dalam medan magnet.

BIOPSI TULANG DAN HISTOMORFOMETRI


Biopsi tulang dan histomorfometrimerupakanpemeriksaan
yang sangat penting untuk menilai kelainan metabolisme
tulang. Biopsi biasanya dilakukan didaerah transiliakal,
yaitu 2 cm posterior SIAS dan sedikit inferior krista iliakal.
Alat yang digunakan adalahjarum Bordier-Meunier.
Indikasi biopsi tulang meliputi berbagai kelainan
metabolik tulang seperti osteoporosis pasca menopause,
osteodistrofirenal, osteomalasia,rikets, hiperparatiroidsme
primer, penyakit tulang akibat kelainan gastrointestinal
kronik atau pasca operasi gastrointestinal.

OSTEQPOROSIS PADA LAKI-LAKI


Osteoporosispada laki-laki, seringkali kurang diperhatikan
dibandingkan dengan osteoporosis pada wanita. Pada
dewasa muda, insidens fraktur temyata lebih tinggi pada
laki-laki daripada wanita; hal ini dihubungkan dengan
insidens trauma yang lebih tinggi pada laki-laki daripada
wanita. Dengan bertambahnya umur, insidens fraktur pada
panggul makin meningkat, tetapi peningkatan insidens
fraktur pada laki-lakilebih lambat 5-10 tahun dibandingkan
wanita.
Padalaki-laki, denganbertambahnyaumur, maka tulang
kortikal akan makin menipis, tetapi penipisan ini tidak

secepat pada wanita, karena laki-laki tidak pernah


mengalamimenopause.Selainitu, pada laki-lakikehilangan
massa tulang lebih bersifat penipisan, sedangkan pada
wanita lebih diakibatkan oleh kehilangan elemen trabekula
dari tulang yang bersangkutan. Selama pertumbuhan,
massa tulangpada laki-lakijuga lebihbesar daripadawanita.
Laki-laki juga memiliki tulang trabekular yang lebih tebal
korteksnya daripada wanita. Pada laki-laki, ukuran kolum
femoris akan makin besar dengan bertambahnya umur,
sedangkan pada wanita tidak. Hal ini akan menyebabkan
osteoporosis pada laki-laki lebih relatif lebih ringan dan
risiko fraktur relatiflebih kecil daripada wanita.
Fraktur vertebra pada laki-lakijuga lebihjarang, kirakira hanya 50% pada wanita. Pada umumnya fraktur
vettebra terjadi pada torakal bawah dan terutama
merupakan fraktur baji.
EtiologiOsteoporosispada Laki-laki
1. Genetik
Laki-laki yang orang tuanya menderita osteoporosis,
temyata memiliki densitas massa tulang yang lebih rendah
dibandingkan laki-laki pada umumnya. Selain itu laki-laki
yang ibunya menderita fraktur panggul, temyata memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk menderita fraktur vertebra.
Sampai saat ini, tidak didapatkan gen spesifik yang
mengatur massa tulang dan risiko fraktur pada laki-laki.
2. Hipogonadisme
Hipogonadisme merupakan salah satu penyebab
osteoporosis dan gagalnya pencapaian puncak massa
tulang pada laki-laki. Dalam hal ini, terapi pengganti
testosteron memiliki efek yang baik untuk meningkatkan
massa tulang pada laki-laki dengan hipogonadisme.
Berbagai penyebab hipogonadisme pada laki-laki
harus dicari pada laki-laki dengan osteoporosis,
misalnya sindrom Klinefelter, hipogonadisme akibat
hipogonadotropin, hiperprolak-tinemia, orkitis akibat parotitis,kastrasi dsb. Seringkalipemeriksaan hipogonadisme
pada laki-laki tidak mudah dideteksi, karena ukuran testes
yang tetap normal, libido yang tetap normal, kadar
testosteron yang tetap normal walaupun kadar
luteinizxing hormon meningkat.
3. lnvolusi
Dengan bertambahnya umur, terjadi penurunan massa dan
densitas tulang pada laki-laki, kira-kira 3-4% per-dekade
setelah umur 40 tahun. Setelah umur 50 tahun, kehilangan
massa tulang lebih besar lagi, walaupun demikian tetap
lebih rendah dibandingkan wanita. Resorpsi endosteal
pada laki-laki, tampaknya dapat dikompensasi dengan
formasi periosteal, sehingga risiko fraktur dan penurunan
densitas tulang tidak sehebat pada wanita. Pada tulang
trabekular, penurunan densitas massa tulang pada kedfua
jenis kelamin tampaknya sama, tetapi korteks tulang

2664
trabekular pada laki-laki lebih tebal dibandingkan
wanita, sehingga risiko fraktur juga lebih rendah.

REUMATOLOGI

pada

4. Penyakit dan obat-obatan


Berbagai penyakit,obat-obatan dan gaya hidup dapat
menyebabkan osteoporosis sekunder pada laki-laki,
misalnya glukokortikoid,
merokok, alkohol, insufisien
ginjal, kelainan gastrointestinal
dan hati, hiperparatiroidisme, hiperkalsiuria, antikonvulsan tirotoksikosis,
imobilisasi lama, artritis reumatoid dsb.

5. ldiopatik
Sekitar 30% osteoporosis pada laki-laki ternyata tidak
diketahui secara jelas penyebabnya. Diagnosis osteoporosis idiopatik ditegakkan setelah semua penyebab yang lain
dapat disingkirkan. Saat ini diduga terdapat hubungan
antara osteoporosis idiopatik dengan rendahnya kadar
IGF-1 atau IGF-1 bindingprotein 3 (IGFBP-3).

dapat menyebabkan osteoporosis. Dari berbagai


penelitian, diketahui bahwa penggunaan prednison lebih
dari 7 ,5 mg/hari akan menyebabkan osteoporosis pada
banyak penderita.

Efek GlukokortikoicfpadT
aulang
1. Histomorfometri
Secara histomorfometri, glukokortikoid akan mengakibatkan penurunan tebal dinding tulang trabekular, penurunan
mineralisasi, peningkatan berbagai parameter resorpsi
tulang, supresi pengerahan osteoblas dan penekanan
fungsi osteoblas.

2. Efek pada Osteoblas dan Formasi Tulang


Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terns menerus
akan mengganggu sintesis osteoblas dan kolagen.
Replekasi sel akan mulai dihambat setelah 48 jam paparan
dengan
glukokortikoid. Selain itu juga terjadi
penghambatan sintesis osteokalsin oleh osteoblas.

OSTEOPOROSISAKIBAT GLUKOKORTIKOID
3. Efek pada Resorpsi Tulang
Glukokortikoid
sangat banyak digunakan untuk
mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit
otoimun.
Glukokortikoid
merupakan
penyebab
osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik yang
terbanyak.Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan
absorbsi kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium
lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia,
hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja
osteoklas. Selain itu glukokortikoid uga akan menekan
produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen
menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat
kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan
menghambat kerjanya, sehingga formasi tulang menurun.
Dengan adanya penin gkatan resorpsi tulang oleh
osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas,
maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan
meta-analisis didapatkan bahwa risiko fraktur panggul pada
pengguna steroid meningkat 2,1-4,4 kali. Oleh sebab itu
terapi osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai
bila T-score mencapail dan BMD serial harus dilakukan
tiap 6 bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperti pada
osteoporosis primer.
Efek glukokortikoid pada tulang trabekular jauh lebih
besar daripada efeknya pada tulang kortikal, dan
kehilangan massa tulang yang tercepat sampai terjadi
frakturpada umumnya terjadi pada vertebra, iga dan ujung
tulang panjang. Kehilangan massa tulang tercepat terjadi
pada tahun pertama penggunaan steroid yang dapat
mencapai 20% dalam l tahun.
Insidens yang pasti fraktur akibat osteoporosis pada
pengguna steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu,
penggunaan steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga

In vitro, glukokortikoid menghambat diferensiasi osteoklas


dan resorpsi tulang pada kultur organ. Efek peningkatan
resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in vivo,
berhubungan dengan hiperparatiroidisme
sekunder
akibat penghambatan absorpsi kalsium di usus oleh
glukokortikoid.

4. Efek pada Hormon Seks


Glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh
hipofisis, estrogen oleh ovarium dan testosteron oleh
testes. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang
pada pemberian steroid.

5. AbsorpsiKalsiumdi Ususdan EkskresiKalsium


di Ginjal
Penggunaan glukokortikoid dosis farmakologik akan
mengganggu transport aktif transelular kalsium.
Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak
berhubungan dengan vitamin D. Gangguan absorpsi
kalsium di usus dan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal
menurun secara bermakna pada pengguna glukokortikoid.
Ekskresi kalsium urin dan kadar hormon paratiroid (PTH)
akan meningkat dalam 5 hari setelah seseorang
menggunakan glukokortikoid. Gangguan transport ini akan
makin memburuk pada asupan N atrium yang tinggi dan
akan menurun dengan pembatasan asupan Natrium dan
pemberian diuretik tiazid.

6. Efek pada Metabolisme Hormon Paratiroiddan


Vitamin D
Kadar PTH dan 1,25 dihidroksivitamin

D (l,25(0H\D)

OSIU)POROSIS

didalam serum meningkat pada pengguna glukokortikoid,


walaupun kadar kalsium serum tinggi. Hal ini diduga
berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang
mengubahtransportkalsium. Glukokortikoid meningkatkan
sensitifitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan
penghambatan aktifitas fosfatase alkali oleh PTH dan
menghambat sintesis kolagen.
Efek l ,25(0H)p juga dihambat oleh glukokortikoid,
walaupun kadar l ,25(0H)zD meningkat didalam darah. Hal
ini diduga akibat perubahan respons membran sel dan
perubahan reseptor. Ekspresi osteokalsin oleh osteoklas
yang dirangsang oleh l ,25(0H\D, juga dihambat oleh
glukokortikoid.
7. Efek pada Sitokin
Interleukin-1 (IL-1) dan IL-6 mempunyai efek peningkatan
resprsi tulang dan menghambat formasi tulang.
Glukokortikoid akan menghambat produksi IL-1 dan IL-6
oleh limfosit-T. Pada penderita Artritis Reumatoid,
pemberian glukokortikoid akan menurunkan aktifitas
peradangan sehingga penurunan massa tulang juga
dihambat. Walaupun demikian, para ahli masih berbeda
pendapat, apakah hal ini merupakan efek glukokortikoid
pada tulang atau ada faktor-faktor lainnya.
8. Osteonekrosis
Osteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular),
merupakan efek lain glukokortikoid pada tulang. Bagian
tulang yang sering terserang adalah kaput femoris, kaput
humeri dan distal femur.Mekanismenyabelumjelas, diduga
akibat emboli lemak dan peningkatan tekanan intraoseus.

PENATALAKSANAAN
Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara
menghambat kerja osteoklas (anti resorptit) dan/atau
meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang).
Walaupun demikian, saat ini obat yang beredar pada
umumnya bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan
obat anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen,
bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk
stimulator tulang adalah Na-fluorida, PTH dan lain
sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek
anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan
untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses
formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan
menyebabkan
peningkatan
produksi
PTH
(hiperparatiroidisme sekunder) yang dapat menyebabkan
pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif.
Edukasi dan Pencegahan
1. Anjurkanpenderitauntuk melakukanaktivitasfisikyang

2665
teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan
koordinasi sistem neuromuskular serta kebugaran,
sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai
latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60
menit/hari, bersepeda maupun berenang.
2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui
makanan sehari-hari maupun suplementasi,
3. Hindari merokok dan minum alkohol,
4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi
testosteron pada laki-laki dan menopause awal pada
wanita.
5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat
menimbulkan osteoporosis,
6. Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada
penderita yang sudah pasti osteoporosis
7. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan
penderita terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-obat
sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat
menyebabkan hipotensi ortistatik,
8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orangorang yang kurang terpajan sinar matahari atau pada
penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE. Bila
diduga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(0H)D
serum harus diperiksa. Bila 25(0H)D serum menurun,
maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/
hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita
dengan gagal ginjal, suplementasi l,25(0H)p harus
dipertimbangkan.
9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal
dengan membatasi asupan Natrium sampai 3 gram/hari
untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus
ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari,berikan
diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari).
10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis
tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian
glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan
sesingkat mungkin,
11. Pada penderitaArtritis Reumatoid dan artritis inflamasi
lainnya, sangat penting mengatasi aktifitas
penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan
penurunan densitas massa tulang akibat artrituis
inflamatifyang aktif.
Latihan dan Program Rehabilitasi
Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi
penderita osteoporosis karena dengan latihan yang
teratur, penderita akan menjadi lebih lincah, tangkas dan
kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain
itu latihan juga akan mencegah perburukan osteoporosis
karena terdapat rangsangan biofisikoelektrokemikal yang
akan meningkatkan remodeling tulang.
Pada penderita yang belum mengalarni osteoporosis,
maka sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang,
sedangkan pada penderiota yang sudah osteoporosis,

2666
maka latihan dimulai dengan latihantanpa beban, kemudian
ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan
beban yang adekuat.
Selain latihan, bila dibutuhkan maka dapat diberikan
alat bantu (ortosis), misalnya korset lumbal untuk penderita
yang mengalami fraktur korpus vertebra, tongkat atau alat
bantu berjalan lainnya, terutama pada orang tua yang
terganggu keseimbangannya.
Hal lain yangjuga barus diperharikan adalah mencegah
risiko terjatuh, misalnya menghindari lantai atau alas kaki
yang licin; pemakaian tongkat atau rel pegangan taogan,
terutamadi kamar mandi atau kakus, perbaikan
penglihatan, misalnya memperbaiki penerangan,
menggunakan kaca mata dan lain sebagainya. Pada
umumnya fraktur pada penderita osteoporosis
disebabkan oleh terjatuh dan risiko
terjatuh yang paling sering justru terjadi didalam rumah,
oleh sebab itu tindakan pencegahan harus diperhatikan
dengan baik, dabn keluarga juga harus dilibatkan dengan
tindakan-tindakan pencegahan ini.
Tabel 9. Daftar Kandungan Kalsium Per 100 gr Bahan
Makanan
Kelompok Bahan
Bahan
Mg Ca/100
Makanan
Makanan
grbahan
Susu dan produknya

lkan

Sayuran

Kacang-kacangan dan
hasil olahannya

Serealia

Susu sapi
Susu kambing
Susu manusia
Keju
Yoghurt
Teri kering
Rebon
Teri segar
Sarden
kalengan (dg
tulang)
Daun pepaya
Bayam
Sawi
Brokoli
Kacang
panjang
Susu kedelai
(250 ml)
Tempe
Tahu
Jali
Havermut

116
129
33
90-1180
150
1200
769
500
354
353
267
220
110
347
250
129
124
213
53

Sumber : Wolf AD, Dixon AJ. Osteoporosis: A Clinical


Guide, 2nd ed, Martin Dunitz, London 1998; Daftar
Komposisi Bahan Makanan, Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI, Penerbit Bhratara, Jakarta 1996.

Estrogen
Proses resorpsi oleh osteojklas dan formasi oleh osteoblas
dipengaruhi olerh banyak faktor, seperti faktor humeral
(sitokin,prostaglandin, faktorpertumbuhan dll), dan faktor
sistemik (kalsitonin, estrogen, kortikosteroid, tiroksin dll).
Sitokin yang meningkatkan kerja osgteoklas adalah
granulocyte-macrophage colony-stimulating factors
(GM-CSF), macrophage colony-stimulating factors (M-

CSF), tumour necrosisfactor a (TNFa), interleukin-I (ILl) dan interleukin-6 (IL-6). Sedangkan faktor lokal yang
meninghkatkan kerja osteoblas adalah IL-4, dan
transforming growth factor/3 (TGF/J).
Secarapasti, tidak diketahuibagaimanamekanisme anti
resorptif estrogen terhadap tulang; walaupun demikian
diduga ada 2 mekanisme yaitu mekanisme langsung dan
tidak langsung.
Reseptor estrogen ditemukan baik pada osteoblas
normal maupun pada populasi osteoblast-like osteosarcoma cell. Reseptor pada sel-sel tersebut relatif dalam
konsentrasi yang rendah bila dibandingkan dengan
resptor pada sel target estrogen yang lain. Pada penelitian
in vitro, temyata I 7,B-estradiol akan meningkatkan mRNA
pada sel osteoblas yang bertanggung jawab pada sintesis
rantai a I prokolagen tipe I. Selain itu I 7,B-estradioljuga
akan meningkatkan mRNA insulin-like growth factor- 1
(IGF-I) dan PTH yang dirangsang oleh aktifitas adenilat
siklase.
IL-1 dan TNF merupakan sitokin yang akan
meningkatkan stimulasi osteoblas untuk pertumbuhan dan
pematangan osteoklas dari prekursornya di sumsum
tulang. Selain itu, kedua sitokin tersebut juga akan
meningkatkan pelepasan mediator-mediator lain yangjuga
berperan untuk pematangan osteoklas, seperti IL-6,
M-CSF dan GM-CSF. Pada penelitian, dapat dibuktikan
bahwa estradiol dapat menghambat pelepasan TNF oleh
monosit dan wanita yang telah mengalami ooforektomi
menunjukkan peningkatan konsentrasi IL-I sampai IL-6.
Selain itu estrogen juga akan menghambat produksi IL-6
baik oleh osteoklas maupun sumsum tulang. Pada
penelitian biopsi tulang, didapatkan bahwa kadar mRNA
yang mengkodingIL-I a, IL-I {3, TNFa dan IL-6 padawanita
yang menggunakan HRT ternyata lebih rendah
dibandingkan pada spesimen tanpa HRT. Penelitian lain
menunjukkan bahwa konsentrasi estrogen yang normal
akan menekan pelepasan IL-I oleh monosit darah perifer.
Faktor lokal lain adalah prostaglandin, terutama PGE2
yang pada kadar rendah akan merangsang formasi tulang
sedangkan pada kadar tinggi akan merangsang resorpsi
tulang melalui osteoblas. Efek estrogen terhadap
prostaglandin tidak diketahui secara jelas, tetapi pada
kultur jaringan tulang yang diambil dari tikus yang
diooforektomi, ternyata estrogen dapat menghambat
pelepasan prostaglandin.
Efek HRT terhadap produksi kalsitonin in vivo masih
kontroversial, sementara pada penelitian in vitro
didapatkan bahwa l 7b-estradiol ternyata dapat
merangsang sel C-tiroid untuk meningkatkan produksi
kalsitonin.
Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa
(misalnya vagina) dan saluran cema. Pemberian estradiol
transdermal akan mencapai kadar yang adekuat didalam
darah pada dosis 1/20 dosis oral. Estrogen oral akan
mengalami metabolisme terutama di hati. Estrogen yang

2667

OSnx>POROSIS

beredar didalam tubuh sebagian besar akan terikat dengan


sex hormone-binding globulin (SHBG) dan albumin,
hanya sebagian kecil yang tidak terikat, tapi justru fraksi
inilah yang aktif. Estrogen akan diekskresi lewat saluran
empedu, kemudian direabsorpsi kembali di usus halus
(sirkulasi enterohepatik). Pada fase ini, estrogen akan
dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif dan
diekskresikan lewat ginjal. Merokok ternyata dapat
menurunkan aktifitas estrogen secara bermakna. Efek
samping estrogen meliputi nyeri payudara (mastalgia),
retensi cairan, peningkatan berat badan, tromboembolisme
dan pada pemakaianjangka panjang dapat meningkatkan
risiko kanker payudara.
Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan
dosis untuk anti resorptifnya adalah estrogen
terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17/3-estradioloral 1-2 mg/hari,
17 /3-estradiol transdermal 50 mg/hari, 17 /3-estradiol
perkutan 1,5 mg/hari dan 17/3-estradiolsubkutan 25-50 mg
swetiap 6 bulan.
Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah
kanker payudaran kanker endometrium, hiperplasi
endometrium, kehamilan, perdaran uterus disfungsional,
hipertensi yang sulit dikontrol, penyakit tromboembolik,
karsinoma ovarium dan penyakit hati yang berat.
Sedangkan kontraindikasi relatiftermasuk infark miokard,
stroke, hiperlipidemia familial, riwayat kanker payudara
dalam keluarga, obesitas, perokok, endometriosis,
melanoma malignum, migrain berat, diabetes melitus yang
tidak terkontrol dan penyakit ginjal.
Kombinasi estrogen dan progesteron akan
menurunkanrisikokanker endometriumdan hams diberikan
pada setiap wanita yang mendapatkan HRT, kecuali yang
telah menjalanihisterektomi. Kombinasi ini dapat diberikan
secara kontinyus maupun siklik. Pemberian konyinyus
akan menghindari perdarahan bulanan.
Tibolon merupakan steroid sintetik yang dapat
mengkontrol gejala sindrom defisiensi estrogen, termasuk
osteoporosis, tetapi tidak menyebabkan perdarahan uterus.

diferensiasi osteoklas dan kehilangan massa tulang. Pada


penelitian terhadap 251 wanita pasca menopause, temyata
raloksifen dapat menurunkan kadar kolesterol 5-10% tanpa
merangsang endometrium dan menurunkan petanda
resorpsi dan formasi tulang sama dengan estrogen. Gejala
klasik anti estrogen, seperti hot flushes, didapatkan pada
12-20% wanita yang mendapatkan raloksifen, sementara
mastalgia lebih banyak didapatkan pada wanita yang
mendapat estrogen.
Aksi raloksifen diperantarai oleh ikatan raloksifen pada
reseptor estrogen, tetapi mengakibatkan ekspresi gen yang
diatur estrogen yang berbeda pada jaringan yang berbeda.
Dosis yang direkomendasikan untuk mencegah osteoporosis adalah 60 mg/hari.
Pemberian raloksifen peroral akan diabsorpsi dengan
baik dan mengalami metabolisme di hati. Raloksifen akan .
menyebabkan kecacatan janin, sehingga tidak boleh
diberikan apada wanita yang hamil atau berencana untuk
hamil.
Bisfosfonat

Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk


pengobatan osteoporosis, baik sebagai pengobatan
alternatif setelah terapi pengganti hormonal pada
osteoporosis pada wanita, maupun untuk pengobatan
osteoporosis pada laki-laki dan osteoporosis akibat
steroid.
Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri
dari 2 asam fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom
karbon.

OH R1 OH

I
I

I
I

I
I

0= P-C-P=O
OH R2 ~OH
Gambar 6.Struktur umur bisfosfonat, R 1 dan R 2 dapat dimodifikasi
untuk mengubah potensi dan profil efek samping

Raloksifen

Raloksifen merupakan anti estrogen yang mempunyai efek


seperti estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak
menyebabkan perangsangan endometrium dan payudara.
Golongan preparat ini disebut juga selective estrogen
receptor modulators (SERM). Obat ini dibuat untuk
pengobatan osteoporosis dan FDA juga telah menyetujui
penggunaannya untuk pencegahan osteoporosis.
Dibandingkandengan 17/3-estradiol, raloksifenmemiliki
efek konservasi tulang yang sama pada tikus yang
diovariektomi yang diperiksa dengan alat DXA.
Mekanisme kerja raloksifen terhadap tulang, sama
dengan estrogen, tidak sepenuhnya diketahui dengan
pasti, tetapi diduga melibatkan TGF/33 yang dihasilkan oleh
osteoblas dan osteoklas dan berfungsi menghambat

Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh


osteoklas dengan cara berikatan pada permukaan tulang
dan menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi
produksi proton dan enzim lisosomal dibawah osteoklas.
Selain itu, beberapa bisfosfonat juga dapat mempengaruhi
aktifasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor
osteoklas menjadi osteoklas yang matang, kemotaksis,
perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan apoptosis
osteoklas.
Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap
osteoklas dengan cara merangsang osteoblas
menghasilkan substansi yang dapat menghambat
osteoklas dan menurunkan kadar stimulator osteoklas.

2668

REUMATOLOGI

Beberapa penelitianjuga mendapatkan bahwa bisfosfonat


dapat meningkatkan jumlah dan diferensiasi osteoblas.
Dengan mengurangi aktifitas osteoklas, maka pemberian
bisfosfonat akan memberikan keseimbangan yang positif
pada unit remodeling tulang.
Pemberian bisfosfonat oral akan diabsorpsi di usus
halus dan absorpsinya sangat buruk, kurang dari 5% dari
dosis yang diminum. Jumlah yang diabsorpsi juga
tergantung pada dosis yang diminum. Absorpsi juga akan
terhambat bila bisfosfonat diberikan bersama-sama
dengan kalsium, kation divalen lainnya dan berbagai
minuman lain kecuali air. Bisfosfonat harus diminum
dengan air, idealnya pada pagi hari pada waktu bangun
tidur dalam keadaan perut kosong. Setelah itu penderita
tidak diperkenankan makan apapun, minimal selama 30
menit dan selama itu penderita harus dalam posisi tegak,
tidak boleh berbaring. Khusus untuk etidronat, dapat
diberikan 2 jam sebelum atau 2 jam setelah makan, karena
absorpsinya tidak terlalu dipengaruhi oleh makanan.
Sekitar 20-50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan
melekat pada permukaan tulang setelah 12-24jam. Setelah
berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas,
bisfosfonat akan tetap berada didalam tulang selama
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif
lagi.
Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan
mengalami metabolisme didalam tubuh dan akan
diekskresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga
pemberiannya pada penderita gagal ginjal harus berhatihati.
Efek Samping
Etidronat yang diberikan terus menerus oada dosis untuk
penyakit Paget, terenyata dapat mengganggu mineralisasi
tulang, dengan akibat akumulasi osteoid yang tidak
mengalami mineralisasi yang akan memberikan gambaran
klinik dan histologik seperti osteomalasia, iatu nyeri tulang
yang difus fan risiko fraktur. Pemberian etidronatintermiten
akan menghilangkan efek terhadap gangguan mineralisasi
tulang.
Nausea dan vomitus juga sering didapat pada penderita
yang mendapat etidronat dosis untuk penyakit Paget,
tetapi jarang didapatkan pada dosis untuk osteoporosis.

Gangguan gastrointestinal atas juga sering didapatkan


pada pemberian aminobisfosfonat,yaitu alendronat,karena
dapat mengiritasi esofagus dan menyebabkan esofagitis
erosif. Oleh sebab itu alendronat harus diminum dengan
air yang cukup banyak dan tidak boleh diberikan pada
penderita dengan gangguan esofagus, misalnya striktura
esofagus, akalasia, dismotilitas esofagus, dan juga pada
penderita-penderita yang tidak dapat tegak.
Reaksi fase akut, berupa demam dan limfopenia, sering
terjadi pada pemberian pamidronat parenteral, tetapi efek
.ini akan berkurang pada pemberian berulang. Reaksi
idiosinkrasi berupa gagal ginjal akut, bronkokonstriksi,
ketulian pada penderita otosklerosis, komplikasipada mata,
peritonitis aseptik dan ruam pada kulit, dapat terjadi pada
pemberian bisfosfonat. Sejauh ini, risedronat, ibandronat
dan zoledronat diketahui tidak bersifat toksik.
Beberapa Preparat Bisfosfonat
1. Etidronat
Untuk terapi osteoporosis, etidronat dapat diberikan
dengan dosis 400 mg/hari selama 2 minggu, dilanjutkan
dengan suplementasi kalsium 500 mg/hari selama 76 hari.
Siklus ini diulang tiap 3 bulan. Pemberian secara siklik
bertujuan untuk mengatasi gangguan mineralisasi akibat
pemberian etidronat jangka panjang terus menerus.
2. Klodronat
Untuk osteoporosis, klodronat dapat diberikan dengan
dosis 400 mg/hari selama 1 bulan dilanjutkan dengan
suplementasi kalsium selama 2 bulan. Siklus ini dapat
diulang setiap 3 bulan. Sama halnya dengan etidronat,
pemberian klodronat jangka panjang terus menerus juga
akan mengganggu mineralisasi tulang. Untuk mengatasi
penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat keganasan,
klodronat dapat diberikan dengan dosis 1500 mg secara
drip intravenaselama4jam atau 300mg/hari perdrip selama
5 hari berturut-turut.
3. Pamidronat
Pamidronat biasanya diberikan melalui infus intravena.
Untuk penyakit Paget, diberikan dengan dosis 60-90 mg/
kali selama 4-6 jam drip intravena, sedangkan untuk

Tabel 10. Generasi Bisfosfonat


Modifikasi kimia
Generasi I
Alkil pendek atau samping haiida
Generasi II
Grup amino-terminal
Generasi Ill
Rantai samping siklik

Contoh
Etidronat
Klodronat
Tiludronat
Pamidronat
Alendronat
Risedronat
lbandronat
Zoledronat

R,

R2

OH
Cl
H
OH
OH
OH
OH
OH

CH3
Cl
CHi-S-fenil-CI
CH2-CH2NH2
(CH2)JNH2
CH2-S-piridin
CH2CH2N(CH3)(pentil)
CH2-imidazol

Potensi anti-resorptif relatif


1
10
10
100
100-1000
1000-10.000
1000-10.000
> 10.000

OSTEOPOROSIS

hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan sampai


90 mg/kali selama 6 jam drip intravena.
4. Alendronat
Alendronat merupakan aminobisfosfonat yang sangat
poten. Untuk terapi osteoporosis, dapat diberikan dengan
dosis 10 mg/hari setiap hari secara kontinyu, karena tidak
mengganggu mineralisasi tulang. Untuk penyakit Paget,
diberikan dosis 40 mg/hari selama 6 bulan. Saat ini telah
dikembangkan pemberian alendronat 70 mg seminggu
sekali. Dosis ini dikembangkan untuk meningkatkan
kepatuhan pasien. Efek samping gastrointestinal pada
dosis ini temyata tidak berbeda bermakna dengan efek
samping pemberian setiap hari.
5. Risedronat
Risedronat juga merupakan bisfosfonat generasi ketiga
yang poten. Untuk mengatasi penyakit Paget, diperlukan
dosis 30 mg/hari selama 2 bulan, sedangkan untuk terapi
osteoporosis diperlukan dosis 5 mg/hari secara
kontinyu. Berbagai penelitian membuktikan bahwa
risedronat merupakan obat yang efektif
untuk
mengatasi osteoporosis dan mengurangi risiko fraktur
pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause dan
wanita dengan menopause artifisial akibat pengobatan karsinoma payudara. Sama halnya dengan
alendronat, untuk pengobatan osteoporosis, saat ini
tengah diteliti pemberian risedronat 35 mg seminggu
sekali.
6. Asam Zoledronat
Asam zoledronat merupakan bisfosfonat terkuat yang saat
ini ada. Sediaan yang ada adalah sediaan intravena yang
harus diberikan perdrip selama 15 menit untuk dosis 5 mg.
Untuk pengobatan osteoporosis, cukup diberikan dosis
5 mg setahun sekali, sedangkan untuk pengobatan
hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan
4 mg per-drip setiap 3-4 minggu sekali tergantung
responsnya.

Pengghnaan Bisfosfonat untuk Pencegahan


Osteoporosis Akibat Steroid
Bisfosfonat yang banyak diteliti untuk pencegahan dan
pengobatan osteoporosis akibat steroid adalah etidronat,
pamidronat, alendronat dan risedronat.
Etidronat adalah bisfosfonat generasi pertama yang
pertama kali digunakan untuk pengobatan osteoporosis.
Obat ini mempunyai kelemahan dapat mengganggu
mineralisasi tulang sehingga tidak dapat diberikan secara
kontinyus. Biasanya diberikan dengan dosis 400 mg/hari
selama 2 minggu, diselingi dengan waktu tanpa obat selama
10 minggu. Pada waktu tanpa obat tersebut, dapat diberikan

2669
preparat kalsium 1000-1500 mg/hari. Pada penelitian
pemberian etidronat pada penderita yang mendapatkan
glukokortikoid jangka panjang yang diberikan dalam 100
hari setelah pemberian glukokortikoid, temyata kelompok
yang mendapat etidronat selama 1 tahun, tidak
menunjukkan perubahan BMD baik pada lumbal maupun
trokanter, dibandingkan dengan plasebo.
Pamidronat merupakan bisfosfonat generasi kedua
yang pemberiannya adalah intravena. Bisfosfonat ini
biasanya digunakan didalam klinik untuk mengobati
Penyakit Paget atau Hiperkalsemia akibat keganasan
dengan dosis 60 mg/kali per-drip sebulan sekali. Pada
pasien-pasien penyakit reumatik inflamatif yang
mendapatkan prednison dosis tinggi,
pemberian
pamidronat 30 mg/kali setiap 3 bulan selama 1 tahun
temyata memberikanperbedaan BMD pada daerah lumbalo.
8,9% dan daerah trokanter 7,5% lebih b aik dibandingkan
yang mendapatkan suplementasi kalsium saja.
Alendronat 5 mg/hari dan risedronat 5 mg/hari, juga
temyata dapat melindungi tulang penderita-penderita yang
mendapatkan steroid dosis tinggi dan jangka panjang.
Dalam waktu 1 tahun, alendronatakan meningkatkan BMD
0,8%, sedangkan kelompok yang tidak mendapat
alendronat, turun BMD-nya sampai 4,1% dalam waktu 1
tahun. Pemberian risedronat 5 mg/hari sejak awal
pemberian steroid,juga memberikanperbedaan BMD yang
bermakna sampai 3,8% lebih baik dibandingkan kelompok
yang tidak mendapat risedronat.
Bisfosfonat untuk Pengobatan Osteoporosis
Akibat Steroid
Pada penelitian selama 2 tahun terhadap 49 pasien yang
mendapat glukokortikoid jangka panjang, ternyata
pemberian etidronat siklikal meningkatkan BMD lumbal
secara bermakna dibandingkan kontrol. Walaupun
demikian, BMD pada pinggul dan petanda biokimia tulang
temyata tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.
Alendronat 10 mg/hari temyata juga memberikan basil
yang baik untuk pengobatan osteoporosis akibat steroid.
Dalam waktu 48 minggu, temyata BMD pada lumbal dan
leher femur meningkat pada kelompok alendronat dan
berbeda bermakana dibandingkan yang tidak mendapat
alendronat.
Risedronat2,5 mg/hari dan 5 mg/hari dalam pengobatan
osteoporosis akibat steroid, juga secara bermakna
meningkatkan BMD lumbal, leher femur dan trokanter
dibandingkan kelompok yang tidak mendapat risedronat.
Selain itu, risedronat 5 mg/hari juga lebih efektif
dibandingkan dengan risedronat 2,5 mg/hari dalam
pengobatan selama 12 bulan.
Dari berbagai penelitian dan meta-analisis terhadap
penelitian dengan bisfosfonat, ternyata bisfosfonat
mempunyai efek yang baik untuk pengobatan osteoporosis akibat steroid, terutama untuk meningkatkan BMD

------'

2670
pada daerah lumbal. Selain itu penggunaan bisfosfonat
untuk terapi juga memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan untuk pencegahan.

turnover, meningkatkan densitas massa tulang,


meningkatkan ketebalan korteks tulang, menurunkan
korteks yang porotik dan menururikan kejadian fraktur.

Bisfosfonatpada Penyakit Tulang lainnya


Selain untuk osteoporosis, bisfosfonat juga dapat
digunakanuntuk Penyakit Tulang lainnya, seperti Penyakit
Paget, Osteolisis akibat keganasan, Hiperkalsemia nonskeletal, Kalsifikasi ektopik dan Osteogenesis Imperfekta.
Penyakit Paget merupakan gangguan remodeling
tulang fokal yang ditandai oleh resorpsi tulang yang eksesif
dilanjutkan dengan formasi tulang yang eksesif. Aktivitas
penyakit ini ditandai oleh peningkatan kadar fosfatase
alkali didalam darah. Bisfosfonat yang dapat digunakan
pada kelainan ini adalah etidronat 400 mg/hari peroral
selama 6 bulan, klodronat 1600 mg/hari peroral, selama 6
bulan atau diberikan perdrip 300 mg/hari, 5 hari berturutturut atau 1500 mg dosis tunggal, pamidronat 30 mg/hari
perdrip, 3 hari berturut-turut atau 60-90 mg perdrip dosis
tunggal, alendronat 40 mg/hari peroral selama 6 bulan dan
risedronat 30 mg/hari peroral selama 2 bulan. Keberhasilan
terapi ditandai dengan penurunan kadar fosfatase alkali
didalam serum.
Pada keganasan, sering terjadi hiperkalsemia.
Hiperkalsemia akibat keganasan tidak selalu disertai metastasis, karena hiperkalsemia dapat disebabkan oleh
peningkatan kadar PTHrP yang dihasilkan oleh tumor yang
bersangkutan. Terapi definitif keadaan ini adalah dengan
pengangkatan tumor yang menjadi sumber PTHrP. Selain
itu hiperkalsemia harus diatasi dengan hidrasi yang
adekuatdan pemberian diuretikfurosemid. Bila hal initidak
memberikan hasil yang adekuat, dapat diberikan
bisfosfonat, yaitu etidronat, klodronat atau pamidronat
dengan dosis sama dengan dosis untuk Penyakit Paget.
Kalsifikasi ektopik juga dapat diterapi dengan
bisfosfonat. Kalsifikasi ini biasanya terjadi pada jaringan
lunak dan dapat terjadi pada sklerodema, polimiositis dan
lain sebagainya. Mekanisme kalsifikasi ini tidak jelas,
diduga karena produksi berlebih protein morfogenetik
tulang. Bisfosfonat yang dapat digunakan untuk kelainan
ini hanya etidronat dengan dosis 20 mg/kgBB peroral,
maksimal selama 4 bulan. Etidronat dapat menghambat
mineralisasinormal maupun ektopik dengan cara mengikat
permukaan mineral.Urolitiasisjuga dapat dihambatdengan
etidronat, tetapi dibutuhkan dosis yang tinggi yang akan
menghambat mineralisasitulang, sehingga tidak dianjurkan
penggunaan etidronat pada urolitiasis.
Osteogenesis imperfekta adalah kelainanjaringan ikat
herediter yang disebabkan oleh gangguan kualitatif dan
kuantitatif kolagen tipe I sehingga tulang menjadi
osteopenia dan mudah fraktur. Bisfosfonat yang
nampaknya dapat digunakan untuk kelainan ini adalah
pamidronat dengan dosis 6,8 mg/kgBB diberikan per-drip,
2 kali setahun. Pamidronat akan menurunkan bone

Kalsitonin
Kalsitonin (CT) adalah suatu peptida yang terdiri dari 32
asam amino, yang dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan
berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas.
Aksi biologikini digunakandidalamklinik untuk mengatasi
peningkatan resorpsi tulang, misalnya pada penderita
osteoporosis, penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat
keganasan.
Sekresi CT, secara akut diatur oleh kadar kalsium
didalam darah dan secara kronik dipengaruhi oleh umur
dan jenis kelamin. Kadar CT pada bayi, akan tinggi,
sedangkan pada orang tua, rendah kadamya. Pada wanita,
kadar CT ternyatajuga lebih rendah daripada laki-laki.
Saat ini, telah diketahui struktur kalsitonin dari IO
spesies yang berbeda, yang secara umum terdiri dari glisin
pada rersidu 28, amida prolin pada termninal karboksi dan
kesamaan pada 5 dari 9 asam amino pada terminal amino.
Se! C kelenjar timid merupakan sumber primer
kalsitonin pada mamalia, sedangkan pada hewan
submamalia,dihasilkan oleh kelenjarultimobrarikial.Selain
itu gen kalsitonin juga menghasilkan calcitonin gene
related product (CGRP) yang merupakan peptida yang
terdiri dari 37 asam amino yang memiliki aktifitas biologik
berbeda dengan kalsitonin, yaitu sebagai vasodilator dan
neurotransmiter dan tidak bereaksi dengan reseptor
kalsitonin. Jaringan lain yangjuga menghasilkan kalsitonin
adalah sel-sel hipofisis dan sel-sel neuroendokrin yang
tersebar diberbagai jaringan, tetapi kalsitonin nontiroidal
ini tidak mempunyai peran yang penting pada kadar
kalsitonin di perifer. Kalsitonin merupakan petanda tumor
yang penting pada karsinoma tiroid meduler.
Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai
penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah
pemberian, efek tersebut sudah mulai bekerja sehingga
aktifitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitoninjuga
mempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang
osteoblas, tetapi efek ini masih kontroversial. Efek lain
yang penting adalah analgesik yang kuat. Banyak
hipotesis yang menerangkan mekanisme efek analgesik
kalsitonin, misalnya peningkatan kadar P-endorfin,
penghambatansintesisPGE2, perubahan fluks kalsiumpada
membran neuronal, terutama di otak, mempengaruhisistem
katekolaminergik, efek anti depresan maupun efek lokal .
sendiri. Kalsitonin juga akan meningkatakan ekskresi
kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan menimbulkan
hipokalsem,ia dan hipofosfatemia. Efek lain adalah efek
anti inflamasi, merangsang penyembuhan Iuka dan fraktur,
dan mengganggu toleransi glukosa.
Konsentrasi kalsium plasma merupakan regulator
sekresi kalsitonin yang penting. Bila kadar kalsium plasma

2671
meningkat, maka sekresi kalsitonin juga akan meningkat,
sebaliknya bila kadar kalsium plasma menurun, sekresi
kalsitonin juga akan menurun. Walaupun demikian, bila
hiperkalsemia dan hipokalsemia berlangsung lama maka
efeknya terhadap sekresi kalsitonin nampaknya tidak
adekuat, mungkin terjadi kelelahan pada sel C tiroid untuk
mrerespons rangsangan tersebut.
Beberapa peptida gastrointestinal, terutama dari
kelompok gastrin-kolesistokinin merupakan sekretagogs
kalsitonin yang poten bila diberikan secara parenteral pada
dosis suprafisiologik.
Kalsitonin,
merupakan obat
yang
telah
direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan penyakitpenyakit yang miningkatakan resorpsi tulang dan
hiperkalsemiayang diakibatkannya,seperti Penyakit Paget,
Osteoporosis dan hiperkalsemia pada keganasan.
Pemberiannya secara intranasal, nampaknya akan
mempermudah penggunaan daripada preparat injeksi yang
pertama kali diproduksi.Dosis yang dianjurkan untuk
pemberian intra nasal adalah 200 U perhari. Kadar puncak
didalam plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit,
dan akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal. Pada
sekitar separuh pasien yang mendapatkan kalsitonin lebih
dari 6 bulan, ternyata terbentuk antibodi yang akan
mengurangi efektifitas kalsitonin.
StrontiumRanelat
Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis yang
memiliki efek ganda, yaitu meningkatkan kerja osteoblas
dan menghambat kerja osteoklas. Akibatnya tulang
endosteal terbentuk dan volume trabelar meningkat.
Mekanisme kerja strontium ranelat belum jelas benar,
diduga efeknya berhubungan dengan perangsangan
Calsium sensing receptor (CaSR) pada permukaan selsel tulang. Dosis strontium ranelat adalah 2 gram/hari
yang dilarutkan didalam air dan diberikan pada malam
hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum makanan dan 2 jam
setelah makan. Sama dengan obat osteoporosis yang lain,
pemberian strontium ranelat hams dikombinasi dengan
Ca dan vitamin D, tetapi pemberiannya tidak boleh
bersamaan dengan pemberian strontium ranelat. Efek
samping strontium ranelat adalah dispepsia. Pada
bebverapa kasus juga dilaporkan tromboemboli vena dan
reaksi obat yang disertai eosinofilia dan gejala sistemik
lainnya.
Hormon Paratiroid Hormon Paratiroid berfungsi untuk
mempertahankankadar kalsium didalam cairan
ekstraseluler dengan cara merangsang sintesis
l,25(0H)p di ginjal, sehingga absorpsi kalsium di
usus meningkat. Selain itu juga merangsang formasi
tulang. Fragmen aminoterminal 1-34 (hPTH[1-34])dari 84
asam aminopolipeptidaini merupakan komponen yang
aktif yang telah dapat disintesis dan

terbukti efektif untuk pengobatan osteoporosis pada


berbagai penelitian multisenter. Fragmen yang tidak
mengandung asam amino 1-32, ternyata kehilangan
efektifitasnyaterhadap tulang. Penelitian pada 16 penderita
osteoporosis yang diberikan 50-100 mg sehari subkutan
ternyata menunjukkan peningkatan densitas tulang
trabekular, tetapi tidak ada perbaikan pada keseimbangan
kalsiurn dan densitas tulang kortikal.KombinasiPTH dosis
rendah (25-40 mg) dengan antiresorptif lain (HRT,
bisfosfonat atau kalsitonin) temyata memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkanpemberian antiresorptif saja.
Selain itu kombinasi inijuga akan menghindari kehilangan
massa tulang kortikal yang berlebihan akibat terapi PTH.
Reseptor PTH, ternyata tidak didapatkan pada
permukaan osteoklas, tetapi ditemukan dalamjurnlah yang
sangat banyak pada sel preosteoblastik, sehingga diduga,
peningkatan rersorpsi osteoklas bersifat sejkunder melalui
berbagai faktor lokal. Penelitian in vitro mendapatkan
bahwa pemberian PTH terus menerus akan menghambat
sintesis kolagen oleh osteoblas, tetapi pemberian
intermiten akan meningkatkan efek osteoanabolik melalui
faktorlokal insulin-like growthfactor 1 (IGF-1). IGF juga
mampu menghambat apoptosis osteoblas, sehingga PTH
dapat meningkatkan jumlah osteoblas yang aktif melalui
peningkatan produksinya dan menghambat kematiannya.
Potensi anabolik PTH dapat terlihat pada pdenderita
gagal ginjal dengan hiperparatiroidisme sekunder, dimana
terlihat peningkatan massa tulang pada daerah end plate
korpus vertebra yang merupakan tanda khas radiologik
osteodistrofi renal (sandwich vertebra).
Walaupun efek anabolik PTH hanya terdapat pada
tulang trabekular, sedangkan pada tulang kortikal justru
menurunkan massa tulang, tetapi pada penelitian dengan
tikus, tidak pernah ditemukan tanda-tanda kehilangan
massa tulang kortikal selama pengobatan. Pada penderita
dengan hiperparatiroisme primer, PTH endogen yang
kontinyus ternyata akan menyebabkan osteoporosis
tulang kortikal yang berat.
Penelitian terhadap penggunaan PTH untuk terapi
osteoporosis, berkembang sangat lambat sejak 20, tahun
yang lalu; hal ini disebabkan oleh :
l. Kesulitan memproduksi frakmen aktif
PTH yang murni dalamjumlah yang cukup,
2. Efek yang tidak baik terhadap tulang kortikal,
3. Pemberian harus secara parenteral setiap hari,
4. Tingginya ikatan hP'fH dengan protein didalam tubuh
manusia, sehingga akan mengurangi efek terapetiknya,
5. Harga yang mahal dibandingkan obat yang lain.
Pada binatang percobaan (tikus), PTH meningkatkan
risiko timbulnya osteosarkoma, oleh sebab itu PTH tidak
boleh diberikan pada pasien-pasien yang berisiko tinggi
terhadaop osteosarkoma, misalnya menderita penyakit
Paget, osteomalasia, metastasis tulang dan pasien-pasien
yang
pemah
menjalani
radioterapi
skeletal.

2672

REUMATOLOGI

Natrium fluorida
Natrium fluoridamerupakan stimulatortulang yang sampai
sekarang belum disetujui oleh FDA, tetapi tetap digunakan
di beberapa negara. Saat ini tersedia 2 preparat, yaitu
natrium fluorida (NaF) dalam bentuk tablet salut yang
bersifat lepas lambat, dan tablet monofluorofosfat (MFP).
Dua ratus mg disodium MFP setara dengan 36 mg NaF
atau 16,4 mg ion fluorida. Walaupun dosis optimal masigh
diperdebatkan, penelitian pada umumnya menunjukkan
hasil yang baik pada dosis ion fluorida 20-30 mg perhari.
Sebagai perbandingan, dosis fluorida yang dibutuhkan
untuk mencegah karies dentis adalah 2-4 mg perhari.
Fluorida merupakan mitogenik terhadap osteoblasyang
aksinya membutuhkan ketersediaan faktor pertumbuhan.
Berbeda dengan efek anti resorptif yang sangat lambat,
pemberian fluorida akan meningkatkan massa tulang
spinal secara dramatik dan linier rata-rata 9%/tahun selama
4 tahun. Walaupun demikian, temyata pemberian fluorida
akan menyebabkan penurunan densitas pada tulang
kortikalsehinggameningkatkanrisiko fraktur tulangperifer.
Risiko ini dapat dikurangi dengan pemberian fluorida
secara siklik (ada massa bebas fluorida) atau dengan
mengkombinasikannya dengan kalsium dan vitamin D.
Fluorida akan cepat diabsorpsi pada pemberian
peroral dan akan mencapai kadar puncak dalam waktu 30
menit. Absorpsi akan lebih baik bila diberikan dalam
keadaan perut kosong; adanya makanan didalam lambung
akan menurunkan absorpsi sampai 30-50%. Ginjal akan
mengekskresikan fluorida sekitar 50% dan sisanya akan
disimpan di tulang. Ekskresi fluorida akan menurun bila
CCT menurun sampai40-50 ml/menit.
Berdasarkan data yang terbatas, efek terapertik fluorida
akan tercapai bila kadar fluorida didalam serum mencapai
0,1-0,25mg/1 (5-lOmmol/l).
Dosis NaF dibawah 30-40 mg/hari ternyata tidak
memberikan efek terapetik yang nyata, tetapi dosis diatas
75-80 mg/hari akan menyebabkankelainan tulang. Fluorida
akan mengganggu mineralisasi tulang dengan mengganti
gugus hidroksil pada hidroksiapatit menjadi fluoroapatit
yang lebih tidak stabil tetapi resisten terhadap resorpsi.
Walaupun demikian tulang yang mengandung fluoroapatit
akan menunjukkan gambaran histologik yang abnormal,
mineralisasi yang rendah dan kurang kuat dibandingkan
tulang yang normal.
Efek samping lain selain peningkatan risiko fraktur
perifer adalah iritasi lambung dan artralgia yang mungkin
berhubungan dengan mikrofraktur atau remodeling tulang
yang terlalu cepat. Untuk mengatasi iritasi lambung, dapat
digunakan tablet salut NaF atau preparat MFP.

Kalsium
Asupan kalsium pada pendyuduk Asia pada umumnya
lebih rendah dari kebutuhan kalsium yang
direkomendasikan oleh Institute of Medicine, National
Academyof Science(1997),yaitu sebesar 1200mg. Kalsium
sebagai monoterapi, ternyata tidak mencukup untuk
mencegah fraktur pada penderita osteoporosis. Preparat
kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat, karena
mengandungkalsium elemen400 g/gram,disusulKalsium
fosfat yang mengabndung kalsium elemen 230 g/gram,
kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemen 211 g/
gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemen
130 g/gram dan kalsium glukonat yang mengandung
kalsium elemen 90 g/gram.

Denosumab
Denosumab merupakan antibodi monoklonal (IgGJ
manusia yang akan berikatan dengan receptor activator
of nuclear factor kappa B ligand (RANKL) yang

Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktifitas
estrogenik. Ada banyak senyawa fitoestrogen, tetapi yang
telah diteliti adalah isoflavon dan lignans. Isoflavon yang

diproduksi oleh osteoblas dan berperan pada proses


pematangan osteoklas. Dengan terikatnya RANKL, maka
receptor activator of nuclear factor kappa B (RANK)
pada permukaan prekursor osteoklas tidak akan
terangsang, sehingga maturasi dan diferensiasi osteoklas
tidak akan terjadi dan resorpsi tulang juga tidak akan
terjadi.
Vitamin D
Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium
di usus. Lebih dari 90% vitamin D disintesis didalam tubuh
dari prekursomya dibawah kulit oleh paparan sinar ultraviolet. Pada orang tua, kemampuan untuk aktifasi vitamin
D dibawah kulit berkurang, sehingga pada orang tua sering
terjadi defisiensivitamin D. Kadar vitaminD di dalam darah
diukur dengan cara mengukur kadar 25-0H vitamin D.
Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU
kalsiferol dan 500 mg kalsium peroral selama 18 bulan
temyata mempu menurunkan fraktur non-spinal sampai
50% (Dawson-Hughjes, 1997). Vitamin D diindikasikan
pada orang-orang tua yang tinggal di Panti Werda yang
kurang terpapar sinar matahari, tetapi tidak diindikasikan
pada populasi Asia yang banyak terpapar sinar matahari.
Kalsitriol Saat ini kalsitrioltidak
diindikasikansebagaipilihanpertama pengobatan
osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol diindikasikan
bila terdapat hipokalsemia yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pemberian kalsium per- oral.
Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah
hiperparatiroidisme sekunder, baik akibat hipokalsemia
maupun akibat gagal ginjal terminal. Dosis kalsitriol untuk
pengobatan osteoporosis adalah 0,25g, 1-2 kali per-hari.

2673

OSTEOPOROSIS

berefek estrogenik antara lain genistein, daidzein dan


gliklosidanya yang banyak ditemukan pada golongan
kacang-kacangan (Leguminosae) seperti soy bean dan red
clover. Sampai saat ini belum ada bukti dari cilincal trial
bahwa fitoestrogen dapat mencegah maupun mengobati
osteoporosis (Alekel, 2000; Potter 1998).
Pembedahan
Pembedahan pada penderita osteoporosis dilakukan bila
terjadi fraktur, terutama fraktur panggul. Beberapa prinsip
yang harus diperhatikan pada terapi bedah penderita
osteoporosis adalah :
l. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila

diperlukantindakan bedah, sebaiknyasegera dilakukan,


sehingga dapat dihindari imobilisasi lama dan
komplikasi fraktur yang lebih lanjut
2. Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi
yang stabil, sehingga mobilisasi penderita dapat
dilakukan sedini mungkin
3. Asupan kalsium tetap harus diperhatikanpada penderita
yang menjalani tindakan bedah, sehingga mineralisasi
kalus menjadi sempuma
4. Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan
medikamentosa osteoporosis dengan bisfosfonat, atau
raloksifen, atau terapi pengganti hormonal, maupun
kalsitonin,
tetap
harus
diberikan.

Tabel 11. Daftar Obat Osteoporosis yang Aada di Indonesia


Kelompok
Bisfosfonat

Selectiveestro-gen
receptor
modulators
(SERMs)
Kalsitonin
Honnon seks

Nama generik

Kemasan

Risedronat
Alendronat
lbandronat
Zoledronat

Tablet, 35 mg, 5 mg
Tablet 70 mg, 10 mg
Tablet, 150 mg
Vial, 4 mg,
5 mg

Osteoporosis : 35 mg, seminggu sekali atau 5 mg/hari


Osteoporosis : 70 mg, seminggu sekali atau 10 mg/hari
Osteoporosis : 150 mg sebulan sekali
Osteoporosis: 5 mg per-drip selama 15 menit, diberikan
setahun sekali
Hiperkalsemia akibat keganasan : 4 mg per-drip dalam
15 menit, dapat diulang dalam waktu 7 hari.
Metastasis tulang : 4 mg per-drip dalam 15 menit, tiap 34 minggu sekali

Pamidronat
Klodronat

Vial 15 mg/10 ml, 30 mg/


10 ml, 60 mg/5ml
Vial 300 mg/5 ml

Hiperkalsemia akibat keganasan, osteolisis akibat


keganasan: 60-90 mg, per-drip selama 4 jam.
Hiperkalsemia akibat keganasan, osteolisis akibat
keganasan: 300 mg/hari per-drip selama 2 jam, 5 hari
berturut-turut

Raloksifen

Tab, 60 mg

Osteoporosis : 60 mg/hari, setiap hari

Kalsitonin

Amp 50 mg/ml, 100 mg/ml


Nasal spray 200 IU/dosis
Tab, 0,3 mg, 0,625 mg,
1,25 mg

Osteoporosis : 200 IU/hari Nasal spray

Estrogen terko-nyugasi
alamiah

Tab, 2,5 mg, 10 mg

2,5 - 5 mg/hari sebagai kombinasi dengan estrogen

Tablet40 mg

Kombinasi testosteron
propionat, tes-tosteron
fenilpro-pionat,
testosteron dekanoat

Vial, 250 mg/ml

Hipogonadisme,
osteoporosis
akibat
defisiensi
androgen: 120-160 mg/hari selama 2-3 minggu,
dilanjutkan dosis pemeliharaan 40-1.20mg/hari
Hipogonadisme, osteoporosis akibat defi- siensi
androgen : 1 ml IM, 3-4 minggu sekali

Strontium
ranelat

Kalsium

Sindrom defisiensi estrogen : 0,3 - 1,25 mg/hari


Osteoporosis : 0,625 - 1,25 mg/hari dikombinasi dengan
MPA 2,5 - 5 mg/hari.

Medroksiprogesteron
asetat (MPA)
Testosteron
undecanoate
,

Vitamin D

Dosis

Bubuk,
2 gram/bungkus

Osteoporosis : 2 gram/hari, dilarutkan dalam air,


diminum pada malam hari, atau 2 jam sebelum makan
atau 2 jam setelah makan

Kalsitriol

Softcap, 0,25 g

Alfakalsidol

Kapsul, 0,25 g, 1,0 g


Bubuk
Tablet, 500 mg

Osteoporosis, osteodistrofi renal, hiperparatitoidisme,


refractory rickets : 0,25 g, 1 - 2 kali perhari
Hipokalsemia, osteodistrofi renal : 1,0 g/hari
Suplementasi kalsium : 500 mg, 2-3 kali per-hari
Suplementasi kalsium, 1 tablet. 2-3 kali/hari

Kalsium karbonat
Kalsium hidrogen-fosfat

2674

REUMATOLOGI

Pada fraktur korpus vertebra, dapat dilakukan


vertebroplasti atau kifoplasti. Vertebroplasti adalah
tindakan penyuntikan semen tulang ke dalam korpus
vertebra yang mengalami fraktur, sedangkan kifoplasti
adalah penyuntikan semen tulang kedalam balon yang
sebelumnya sudah dikembangkan di dalam korpus
verterbra yang kolaps akibat fraktur.
Evaluasi Hasil Pengobatan
Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
mengulang pemeriksaan densitometri setelah 1-2 tahun

pengobatandan dinilaipeningkatandensitasnya.Bila dalam


waktu 1 tahun tidak terjadi peningkatan maupun penurunan densitas massa
tulang, maka pengobatan sudah dianggap berhasil,
karena resorpsi tulang sudah dapat ditekan.
Selain mengulang pemeriksaan densitas massa tulang,
maka pemeriksaan petanda biokimia tulang juga dapat
digunakan untuk evaluasi pengobatan. Penggunaan
petanda biokimia tulang, dapat menilai hasil terapi lebih
cepat yaitu dalam waktu 3-4 bulan setelah pengobatan.
Yang dinilai adalah penurunan kadar berbagai petanda
resorpsi dan formasi tulang.

Tabel 12. Algoritme Penatalaksanaan Osteoporosis


Presentasi
klinik

Pendekatan dioagnostik

Penatalaksanaan

Fraktur karena trauma minimal

Diagnosis osteoporosis legak

Dugaan
fraktur
vertrbra
(nyeri punggung/ping-gang,
hiperkifosis, tinggi badan
turun,)

Radiografi spinal untuk memastikan


adanya fraktur vertebra

Edukasi dan pencegahan


Lalihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologik
Pembedahan alas indikasi
Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologik
Pembedahan atas indikasi
Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologik .
Pembedahan atas indikasi
Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Edukasi dan pencegahan
Lalihan dan rehabililasi
Edukasi dan pencegahan
Lalihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologik
Pembedahan alas indikasi

Pasien usia .:". 60 tahun

Densitometri tulang

T-score <-2,5

T-score >-1, <-2,5


T-score >-1
Faktor risiko osteoporo-sis
atau fraktur lainnya :
Wanita pascamenopause
Bera! badan kurang
Asupan kalsium rendah
Aktifitas fisik kurang
atau fraktur osteoporolik
Riwayat
osteoporosis
dalam keluarga
Risiko terjatuh

Pengguna glukokorti-koid
jangka -panjang

Densitometri tulang

T-score <-2,5

T-score >-1, <-2,5

Edukasi dan pencegahan


Latihan dan rehabilitasi

Densitometri

T-score >-1

Edukasi dan pencegahan


Latihan dan rehabilitasi

T-score <-1

Edukasi dan pencegahan


Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologik
Pembedahan atas indikasi
Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi

T-score >-1

OSTIIDPOROSIS

Tabel 13. Pencegahan dan Pengobatan Osteoporosis pada


l.aki-laki

Asupan kalsium yang adekuat


Pada laki-laki muda dan anak laki-laki pre-adolesen : 1000
mg/hari
'
Pada laki-laki > 60 tahun dan anak laki-laki adolesen : 1500
mg/hari
Asupan vitamin D yang adekuat, terutama pada penderita
yang tinggal di negara 4 musim
Latihan fisik yang teratur, terutama yang bersifat pembebanan
dan isometrik
Hindari merokok dan minum alkohol
Kenali defisiensi testosteron sedini mungkin dan berikan terapi
yang adekuat
Kenali faktor risiko osteoporosis dan lakukan tindakan
pencegahan
Kenali faktor risiko terjatuh dan lakukan tindakan pencegahan
Berikan terapi yang adekuat
Risedronat dan Alendronat merupakan terapi pilihan
Bila ada
hipogonadisme,
dapat
dipertimbangkan
pemberian testosteron

Tabel 14 Pengobatan Osteoporosis Ak1bat Steroid


Pengobatan osteoporosis akibat steroid dimulai bila didapatkan :
Fraktur vertebral/non-vertebral non-traumatik dan/atau
Pada pemeriksaan BMD didapatkan T-score<-1
Penatalaksanaan umum
Gunakan steroid dengan dosis efektif serendah mungkin dan
sesingkat mungkin
Latihan yang bersifat pembebanan dan isometrik
Memelihara status gizi sebaik mungkin
Menghindari hiperparatiroidisme sekunder
Restriksi Na sampai 3 gr/hari untuk mencegah hiperkalsiuria
dan meningkatkan
absorpsi kalsium: bila perlu tambahkan tiazid
Menjaga asupan kalsium 1200-1500 mg/hari
Menjaga asupan vitamin D, terutama di negara 4 musim
Evaluasi densitas massa tulang dengan alat DEXA 6 bulan
sekali
Mulai pengobatan bila T-score < -1
Pengobatan osteoporosis
Bisfosfonat, yaitu risedronat atau alendronat merupakan
obat pilihan

REFERENSI
Isbagio H. Beberapa Aspek Perkembangan Terbaru di bidang
Reumatologi. Dalam: Sudoyo AW, Markum HMS et al (eds).
Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit
Dalasa 1998. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
1998:137-54.
Favus J Murray et al (eds). Primer on The Metabolic- Bone Disease
and Disorders of Mineral Metabolism. 6th ed. American Societry
for Bone and Mineral Research, Washington DC, 2008
Seeman E. Bone Quality. Advances in Osteoporotic Fracture
Management 2002;2(1):2-8
Watts NB. Bone Quality: Getting Closer to a Definition. J Bone
Miner Res 2002; 17(7): 1148-50.
Seeman E. Pathogenesis of bone fragility in women and men.
Lancet 2002;359: 1841-50
Kanis JA. Assessment of Fracture Risk. Who Should be Screened ?
In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases
and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society

2675
for Bone and Mineral Research, Washington DC, 2003:316-23.
Kanis JA, Borgstrom F, De Laet C et al. Assessment of fracture risk.
Osteoporosis Int 2005(16):581-9.
Marcus R. Feldman D, Nelson DA (eds). Osteoporosis. 3rd ed. Vol 2.
Elsevier Academic Press, London, 2008
Riggs B, Khosla S, Melton J. A Unitary model for involutional
osteoporosis: Estrogen deficiency causes both type I and type
II osteoporosis in postmenopausal women and contributes to
bone loss in aging men. J Bone Miner Res 1998;13:763-73.
Frost HM. On the Estrogen-Bone Relationshp and Postmenopausal
Bone Loss: A New Model. J Bone Miner Res 1999;14(9):1473-7.
Bonnick SL. Bone Densitometry in Clinical Practice: Application
and Interpretation, 1st ed. Humana Press, Totowa, New Jersey,
1998.
Meunier PJ. Osteoporosis: Diagnosis and Management. 1st ed. Mosby,
London, 1998.
Wolf AD, Dixon AJ. Osteoporosis: A Clinical Guide. 2nd ed. Martin
Dunitz, London 1998.
Daftar Komposisi Bahan Makanan, Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI, Penerbit Bhratara, Jakarta 1996.
Hauselmann HJ. Osteoporosis in men. Rheumatology in Europe
1995;24(suppl 2):73-6.
Sambrook PN. Glucocorticoid Induced-Osteoporosis. Dalam : Favus
MJ (ed). Primer on the metabolic bone diseases and disorders of
mineral metabolism. 6th ed. American Society of Bone and
Mineral Research, Washington DC 2008:296-301
American College of Rheumatology Ad Hoc Committe on
Glucocorticoid-Induced Osteoporosis. Recommendatiom for the
Prevention and Treatment of Glucocorticoid-Induced Osteoporosis: 2001 Update. Arthritis Rheum 2001;44(7):1496-1503.
Lem WJ, Jacob JWG, Bijlsma JWJ. Corticosteroid indiced osteoporosis. Rheumatology in Europe l995;24(suppl):76-9.
Spencer CP, Stevenson JC. Oestrogen and anti oestrogen for the
prevention and treatment of osteoporosis. In :Meunier PJ (ed).
Osteoporosis: Diagnosis and Management. Mosby. St Louis.
1998: 111-22.
Wolf AD, Dixon ASJ. The menopause and hormonal replacement
therapy. In: Wolf AD, Dixon ASJ (eds). Osteoporosis: A Clinical
guide. 2nd ed. Martin Dunitz, London 1998: 195-214.
Watts NB. Pharmacology of agents to treat osteoporosis. In: Favus
MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders
of Mineral Metabolism. 4th ed. Lippincott William & Wilkins.
Philadelphia 1999:278-83.
Russel RGG, Rogers MJ, Frith JC et al. The Pharmacology of
Bisphosphonates and New Insights into Their Mechanisms of
Action. J Bone Miner Res 1999;14(suppl 2):53-65.
Grauer A, Bone H, McCloskey EV et al. Discussion:Newer
Bisphosphonates in the treatment of Paget's disease of Bone:
Where We are and Where we want to go. J Bone Miner Res
1999; 14(suppl 2):74-8.
Harris ST, Watts NB, Genant HK. Effects of Risedronate treatment
on Vertebral and Nonvertebral fractures in women with
postmenopausal osteoporosis: A Randomized controlled trial.
Vertebral efficacy with risedronate therapy (VERT) Study group.
JAMA 1999;282(14):1344-52.
Mortensen L, Charles P, Bekker PJ et al. Risedronate increases bone
mass in an early postmenopausal population: Two years of
treatment plus one yer of follow up. J Clin Endocrinol Metab
1998;83(2):396-402.
Delmas PD, Salena R, Confravreux E et al. Bisphosphonate
Risedronate prevents bone loss in women with artificial
menopause due to chemotherapy of breast cancer: A double

2676

blind, placebo- controlled study. 1 Clin Oncol 1997;15(3):955-62.


Reid IR, Brown JP, Burckhardt P et al. Intravenous zoledronic acid
in Postmenopausal women with low bone mineral density. N
Eng J Med 2002;346(9):653-61.
Fleisch, Herbert. Bisphosphonates in Bone Disease: From the
Laboratory to the Patient. Academic Press, SanDiego.
Ringe JD. Stimulators of bone formation for the treatment of
osteoporosis. In: Meunier PJ (ed). Osteoporosis: Diagnosis and
Management. Mosby. St Louis. 1998:1 31-48.
Harris ST, Wasnich R, Weiss ES. The effect of Risedronate Plus
Estrogen Compared with Estrogen Alone in Postmenopausal
Women. 1 Bone Miner Res 1999:8410.

REUMA'OOLOGI

408
OSTEOMALASIA
Nyoman Kertia

PENDAHULUAN

Pertumbuhan tulang normal dan proses mineralisasi


membutuhkan vitamin D, kalsium dan fosfor yang
adekuat. Defisiensi yang lama dari berbagai hal di atas
mengakibatkan akumulasi matriks tulang yang tidak
dimineralisasikan. Penurunan mineralisasi pada pasien
muda menyebabkan riketsia karena kerusakan dari
pertumbuhan lempeng epifise. Kekuatan tulang menurun,
yang menyebabkan deformitas struktural pada tulang
penyangga berat badan. Pada orang tua dimana epifise
telah menutup dan hanya tulang yang terkena, gangguan
mineralisasi ini disebut osteomalasia. Osteoid secara
normal termineralisasi dalam 5-10 hari, namun pada pasien
dengan osteomalasia interval bisa terjadi selama 3 bulan.
Penyebab riketsia/osteomalasia meliputi kurangnya
suplemen vitamin D atau fosfor, penggunaan susu
formula yang mengandung kurang dari 20 mg kalsium/dL,
nutrisi total parenteral dengan larutan tanpa kalsium dan
vitamin D yang adekuat, dan diet tinggi phytate yang
mengikat kalsium dalam usus. Hipovitaminosis D
disebabkan oleh defisiensi diet kronik; penurunan sintesis
disebabkan oleh paparan sinar matahari yang kurang;
menurunnya absorpsi vitamin D karena penyakit bilier,
pankreatitis, penyakit mukosa usus kecil proksimal,
gastrektomi atau resin pengikat asam empedu;
meningkatnya ekskresi vitamin D pada pasien dengan
sindrom nefrotik dan meningkatnya katabolisme vitamin D
akibat penggunaan obat seperti fenitoin, barbiturat dan
rifampisin.

GAMBARAN KUNIS DAN DIAGNOSIS

Pasien dengan riketsia mengalami hipotonia, kelemahan


otot dan pada kasus berat bisa terjadi tetani. Sambungan

kostokondral menonjol, suatu deformitas yang disebut


dengan rachitic rosary. Tulang-tulang panjang menjadi
bengkok terutama di kaki serta kifosis di punggung dapat
menyebabkan gaya berjalan yang bergoyang-goyang/
waddling gait, bahkan bisa terjadi fraktur . Tengkorak
menunjukkan kepala frontal dan mendatarnya tulang
parietal. Radiografi pasien dengan riketsia menunjukkan
demineralisasiumum dengan penipisanpermukaan kortikal
dari tulang-tulang panjang; pelebaran, penegangan dan
melengkungnya ujung distal tulang dan hilangnya zona
kalsifikasi kartilago sementara
Manifestasi klinis dari osteomalasia menyerupai
gangguan reumatik, meliputi nyeri tulang, mudah lelah,
kelemahanproksimaldan pelunakanperiartikuler.Simptom
ini membaik dengan terapi untuk mengoreksi gangguan
mineralisasi. Beberapa pasien dengan osteomalasia
menunjukkan garis radiolusen kortikal tipis (stress
fracture) yang tegak lurus dengan tulang dan seringkali
simetris . Pasien lain memiliki fraktur lama pada kosta yang
multipel dengan pembentukan kalus yang buruk.
Gambaran laboratorium dari osteomalasia akibat
defisiensi vitamin D adalah kadar kalsium serum rendah
atau normal, hipofosfatemia, meningkatnya kadar alkalin
fosfatase, kadar osteokalsin serum normal, meningkatnya
kadar hormon paratiroid serum (jika hipokalsemia ada) dan
rendahnya kadar 1,25 dihidroksi vitamin D (1,25-(0H)2 D)
di dalam serum.Pada osteomalasiaakibat defisiensikalsium
ekskresi kalsium urin menurun, kadar hormon paratiroid
meningkat, kadar 1,25 (OH)2 D normal dan kadar fosfor
serum bisa rendah atau normal. Osteomalasia akibat
hipofosfatemia biasanya terjadi akibat hiperfosfaturia,
dimana didapatkan kadar osteokalsin, hormon paratiroid
dan 25 hidroksi vitamin D (25-0H vitamin D) adalah
normal; kadar alkalin fosfatase biasanya meningkat, kadar
fosfor serum dan 1,25 (OH)2 vitamin D adalah rendah dan
ekskresi fosfor urin sangat tinggi. Pasien dengan asidosis

2678
tubular renal tipe II memiliki ganguanreabsorpsibikarbonat
dan bermanifestasi asidosis
hipokalemia hiperkloremia dengan hipofosfatemia yang disebabkan oleh
bertambahnya fosfaturia.
Rendahnya kadar 1,25 (OH\ vitamin D pada beberapa
pasien menjadi konsekuensi dari abnormalitasmetabolisme
tubular proksimal. Pasien dengan asidosis tubular renal
dan sindrom Fanconi juga mengekskresikan banyak
kalsium, magnesium, kalium, asam urat, glukosa, asam
amino dan sitrat. Osteomalasia akibat penggunaan
aluminium pada pasien dengan gagal ginjal kronik saat ini
sudah jarang terjadi karena pembatasan penggunaan
pengikat fosfat yang mengandung aluminium untuk
mengendalikan hiperfosfatemia dan perbaikan metode
untuk mempersiapkan larutan dialisat.

PENCEGAHAN DAN TERAPI

Bayimembutuhkan400 IU vitaminD per oral per hari untuk


mencegah riketsia. Satu liter susu formula bayi standar
mengandung 400 IU vitamin D.8 Air susu ibu (ASI)
merupakan sumber vitamin D dan kalsium yang baik,
namun bisa tidak adekuat untuk mencegah osteoporosis
dan hiperparatiroid sekunder terutama jika produksi ASI
tidak cukup atau bayi menetek dengan jumlah yang tidak
cukup.9 Dinyatakan bahwa kadar 25-0H vitamin D untuk
kesehatan tulang adalah minimal 80 nmol/L. Diet dengan
kandungan vitamin D 5 ug per hari (200 IU) tidak adekuat
untuk mencegah osteoporosis dan hiperparatiroid
sekunder.
VitaminD dapatjuga disintesisdi kulit, namun sejumlah
faktor membatasi produksi vitamin D kutaneus seperti
peningkatan pigmentasi di kulit dan tabir surya. Akibat
proses menua maka terjadi penurunan kapasitas produksi
vitamin D di kulit. Pada lansia paparan sinar matahari ke
tangan, lengan bawah dan wajah selama 5-30 menit satu
hingga tiga kali seminggu direkomendasikan untuk
memenuhi kebutuhan vitamin D tubuh.
Pasien dengan riketsia nutrisional yang disebabkan
oleh defisiensi vitamin D bisa diterapi dengan 600.000 IU
vitamin D2 intramuskuler dan kalsium atau 2000-5000 IU
ergokalsiferol per hari selama 6-12 minggu, diikuti dengan
pemeliharaan dosis vitamin D. Perbaikan dalam kalsium,
fosfor, alkalin fosfatase dan 25 OH vitamin D serum dalam
4-7 hari membedakan riketsia nutrisional dari penyakit
tulang metabolik genetik. Orang dewasa dengan kadar
vitamin D suboptimal dapat diterapi dengan 50.000 IU
ergokalsiferol sekali seminggu, dengan kadar dimonitor
dalam interval 2-3 bulan.
Ergokalsiferol (vitamin D2) kurang aktif dibandingkan
vitamin D3 (kolekalsiferol) dalam meningkatkan
kadar 25-0H vitamin D. Orang dengan penyakit hepar
semestinya terapi dengan 25 OH vitamin D, sedangkan

REUMATOLOGI

pasien dengan gaga]ginjal membutuhkan terapi 1,25 (OH)2


vitamin D. Pada pasien dengan malabsorbsi lemak, dosis
yang diperlukan lebih tinggi dan dosis ini hams
disesuaikan dengan respons terapi yang dinilai dari basil
pemeriksaan kimiawi serum. Diperlukan terapi selama
beberapa bulan dalam penanganan pasien dengan
defisiensivitamin D. Suplementasikalsiumharus diberikan.
Pasien harus di monitor hati-hati untuk toksisitas terapi
akibat pemberin 1,25 (OH)2 vitamin D, yang secara umum
bermanifestasi sebagai hiperkalsemia atau hiperkalsiuria.
Pada pasien dengan asidosis tubular renal, perbaikan
kadar bikarbonat serum menjadi normal dengan
menggunakan suplemen natrium bikarbonat dapat
mencegah resorpsi tulang dan hiperkalsiuria.Pasien dengan
osteomalasia yang disebabkan oleh hiperfosfaturia pada
sindrom Fanconi membutuhkan suplemen fosfat oral,
secara umum 1-4 g per hari diberikan dalam 4-6 dosis. Pada
kondisi ini terapi dengan 1,25(OH\ vitamin D dengan dosis
0,5-1,5 ug per hari juga tampak bermanfaat. Suplementasi
kalsium dibutuhkan untuk menghindari hipokalsemia
simptomatik namun tidak diberikan bersamaan dengan
suplemen fosfor. Jika penyakit tulang membaik, vitamin D
dapat dihentikan.

REFERENSI
Basha B, Rao D, Han Z, Parfitt A.M., 2000 Osteomalacia due to
vitamin D depletion: a neglected consequence of intestinal
malabsorption. Am J Med ;108:296-300.
Chesney R.W., 1999 Fanconi syndrome and renal tubular acidosis. In:
Favus M, ed. Primer on the metabolic hone diseases and
disorders of mineral metabolism, 4'" ed. Chicago: Lippincott
Williams & Wilkins. p. 340-3.
Elder G., 2002 Patophysiology and recent advanced in the
management of renal osteodystrophy. J Bone Miner Res ;
17:2094-105.
Heaney R.P, Davies K.M, Chen T.C, 2003 Human serum
25-hydroxycholecalciferol response to extended oral dosing
with cholecalciferol. Am J Clin Nutr; 77:204-10.
Holick M.F., 1999 Vitamin D in Shils M, Olson J. Shike M, Ross A,
eds. Modern nutrition in health and disease, 9th ed. Baltimore:
Williams & Wilkins, p.329-45.
Liberman U.A, Marx S., 1999 Vitamin D-dependent rickets. In:
Favus M, ed. Primer on the metabolic bone diseases and
disorders of mineral metabolism, 4'h ed. Chicago: Lippincott
Williams & Wilkins. p: 323-8.
Karaaslan Y, Haznedaroglu S, Ozturk M., 2000 Osteomalacia
associated with carbamazepine I valproate. Ann Pharmacother
; 34:264-5.
Klein G.L., 1999 Metabolic bone disease of total parenteral
nutrition. In:Favus MJ, ed. Primer on the metabolic bone
disease and disorders of mineral metabolism, 4 th ed. Chicago:
Lippincott Williams & Wilkins. p. 319-2:l.
Mina! S.K, Dash S.C, Tiwari S.C, 1999 Bone histology in patients
with nephritic syndrome and 11orrnal renal function. Kidney Int ;
55:1912-19.
Ozuah P., 2000 Planning the treatment of a patient who has

2679

rickets. Pediatr Rev ;21(8):286.


Reginato A, Falasca G, Pappu R, 1999 Musculoskeletal manifestations of osteomalacia: report of 26 cases and literature review.
Arthritis Rheum; 28(5):287-304
Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary
Reference Intakes., 1997 Dietary reference intake: calcium, p
hosphorus, magnesium, vitamin D and fluoride. Washington,
DC: National Academy Press.
Shah B.R, Finberg L., 1994 Single day therapy for nutritional
vitamin D-deficiency rickets: a preferred method. J Pediatr
; 125:487-92.
Trang H, Cole D, Rubin L, 1998 Evidence that vitamin D3
increases serum 25-hydroxyvitamin D more efficiently than
does vitamin D2. Am J C/in Nutr; 68:854-8.
Vieth R., 1999 Vitamin D supplementation, 25-hydroxyvitamin D
concentrations and safety. Am J Clin Nutr ; 69:842-56.

409
PENYAKIT PAGET
Nyoman Kertia

PENDAHULUAN

Penyakit Paget merupakan gangguan di mana terdapat


peningkatan yang berlebihan dari turnover tulang pada
bagian yang terlokalisir dari skeleton. Kondisi ini
menyebabkan struktur tulang menjadi abnormal yang
semakin lama semakin meluas sehingga mengakibatkan
deformitas,peningkatanrisiko fraktur dan nyeri. Perubahan
pada bentuk tulang mengakibatkan perubahan mekanik
dan juga menyebabkan peningkatan tekanan yang bisa
menimbulkannyeri pada sendi dan sindromkompresi saraf.
Kompresi saraf yang terpenting adalah keterlibatan basis
kranii yang menyebabkan ketulian. Tulang dengan
penyakit Paget menunjukkan peningkatan aktivitas
metabolik dan aliran darah yang berperan terhadap
terjadinya rasa nyeri dan dapat juga meningkatkan
kemungkinan komplikasi neurologis sebagai bagian dari
vascular steal syndrome.

Serikat menunjukkan bahwa prevalensi penyakit


Paget menurun dalam 20 tahun. Estimasi untuk prevalensi
penyakit Paget pada pasien lebih dari 55 tahun
menurun hingga 2%, namun insidensi meningkat sesuai
umur menetap. Berdasarkan studi ini, peneliti
mengestimasikan bahwa 118.000 wanita dan 144.000pria
di Enggris dan Wales mengalami penyakit Paget.

GAMBARAN KLINIS

Meskipun secara umum dapat diterima bahwa kebanyakan


pasien dengan penyakit Paget adalah asimtomatis, tidak
ada bukti nyata dari prevalensi simptom pada pasien
dengan penyakit Paget yang dideteksi secara radiologis.
Secara umum dapat diterima bahwa sekitar 5% pasien
mengalami simptom, namun estimasinya bervariasi. Sulit
untuk menilai gejala klinis dari penyakit Paget pada
populasi umum.

EPIDEMIOLOGI
DIAGNOSIS

Penyakit Paget sering terjadi pada populasi keturunan


Eropa bagian utara. Studi radiologis di United Kingdom
yang dilakukan di tahun 1970 menyatakan bahwa
prevalensi pada waktu itu sebesar 5,4% populasi setelah
berumur 55 tahun. Ada peningkatan tergantung umur
dimana prevalensi pada pasien lebih dari 85 tahun adalah
hampir lima kali di atas mereka yang berumur kurang dari
60 tahun. Survei yang sama dilakukan pada waktu
yang sama di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
prevalensinya lebih rendah yaitu 2,3% dari populasi
antara umur 65 dan 74 tahun. Survei ini juga
menunjukkan ketergantungan umur yang nyata. Studi
lebih baru yang dilakukan dengan menggunakan
metodologi yang sama dan di kota yang sama di Amerika

Klinis

Penyakit Paget bisa muncul dengan tanda dan simptom


yang jelas atau merupakan temuan insidental selama
pemeriksaan kondisi lain. Gambaran klinis tipikal terlihat
dalam Tabel I.
label 1. Garnbaran Khnis Penyakit Paget
Nyeri: nyeri tulang, nyeri sendi
Deformitas: Tulang panjang rnembengkok, deforrnitas
tengkorak/ kranium
Fraktur: kornplit, fraktur fisura
Neurologis:
Ketulian, palsy serabut saraf kranial
lainnya, kompresi korda spinalis
Transformasi neoplastik

2681

PENYAKIT PAGET

Radiologis
Diagnosis penyakit Paget terutama adalah secara
radiologis. Sejumlah gambaran radiologis berbeda
digambarkan oleh banyak peneliti. Meskipun sejumlah
besar diagnosis diferensial harus dipertimbangkan,
diagnosis radiologis biasanya bukan masalah. Jika dalam
foto polos tampak samar-samar, maka Computered
Tomography (CT) scan bisa membantu, terutama jika teknik
resolusi tinggi digunakan untuk menunjukkan struktur
skeletal internal.
Foto polos kurang sensitif dibandingkan skintigrafi
pada diagnosis penyakit Paget. Tidak ada manfaat yang
didapatkan dari survei skeletal dari foto polos untuk menilai
luasnya keterlibatan skeletal sedangkan isotop scanning
bisa jadi lebih sensitif dan menggunakan sedikit
radiasi. Foto polos berharga dalam mendiagnosis
komplikasi sekunder penyakit Paget seperti artritis atau
fraktur. Ada beberapa hal yang bisa direkomendasikan
mengenai foto polos:
Diagnosis penyakit Paget dapat ditegakkan dengan foto
polos dari minimal satu area tulang pada semua pasien
dengan kondisi ini.
Survei tulang menyeluruh tidak tepat untuk menegakkan
luasnya keterlibatan skeletal.
Area yang nyeri pada penyakit Paget harus diperiksa
dengan foto polos untuk menentukan apakah ada
penyebab yang mendasarinya.

Isotope bone scanning dengan menggunakan 99mTclabeled bisphosphonate tracer lebih sensitif dibandingkan
foto polos dalam mengidentifikasi lesi pagetik. Satu studi
menunjukkan bahwa isotope scanning seperti ini akan
mendeteksi hingga 50% lebih lesi dibandingkan yang terlihat
pada foto polos. Teknik ini juga menguntungkan untuk
bisa memvisualisasikan seluruh tulang dan menilai luasnya
penyakit. Seperti diketahui bahwa distribusi penyakit
berguna dalam merencanakan terapi (khususnya untuk
menentukan apakah basis kranii terlibat) maka
isotope scintigraphy harus dipertimbangkan pada semua
pasien untuk menilai luas dan aktivitas penyakit.
Direkomendasikan bahwa meskipun isotope scintigraphy
bukan merupakan metode pilihan untuk mendiagnosis
penyakit Paget, semua pasien dengan penyakit Paget harus
menjalani scintigraphy untuk menilai luasnya keterlibatan
skeletal.

Biokimiawi
Penyakit Paget berkaitan dengan peningkatan turnover
tulang. Marker turnover tulang pada umumnya meningkat
pada penyakit aktif. Aktivitas alkaline fosfatase plasma
meningkat pada 85% pasien dengan penyakit Paget yang
tidak diterapi. Pada banyak pasien dengan aktivitas
alkaline fosfatase 'normal' penyakit ini monostotik atau
terbatas pada sedikit tulang. Ada hubungan kuat antara
luasnya aktivitas penyakit yang diukur dengan skintigrafi

dan derajat elevasi alkaline fosfatase pada penyakit Paget


yang tidak diterapi. Meskipun penyakit Paget terutama
merupakan akibat gangguan resorpsi tulang osteoklastik,
marker dari resorpsi tulang yang diperiksa kurang kuat
dengan sensitivitas yang agak rendah. Beberapa pedoman
yang bisa dipergunakan adalah :
Alkaline fosfatase spesifik tulang kadamya
rendah
dibandingkan alkaline fosfatase total dan tidak
menunjukkan benefit utama dibandingkan alkali
fosfatase total yang ada. Direkomendasikan
bahwa
aktivitas alkaline fosfatase total plasma bisa digunakan
sebagai marker standar dari turnover tulang pada pasien
dengan penyakit Paget.
Pada pasien dengan penyakit Paget, namun tanpa
peningkatan aktivitas alkaline fosfatase total dalam
plasma, maka direkomendasikan penggunaan alkaline .
fosfatase spesifik tulang sebagai marker dari turnover
tulang.
Pada pasien dengan penyakit hepar, direkomendasikan
penggunaan alkaline fosfatase spesifik tulang untuk
memonitor aktivitas penyakit Paget.

Histologis
Biopsi tulang jarang
dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis penyakit Paget. Kadang,
pemeriksaan ini
bermanfaat dalam membedakan metastase osteoblastik
atau osteosarkoma.

PENANGANAN
Simptomatik
Simptom utama penyakit Paget adalah nyeri. Dalam
beberapa kasus nyeri ini tampaknya meningkat
berhubungan dengan peningkatan turnover tulang, namun
juga disebabkan oleh kompresi saraf sebagai akibat dari
deformitas tulang atau artritis yang sudah ada. Pada semua
pasien perlu dilakukan penilaian klinis yang hati-hati untuk
menentukan berbagai kemungkinan penyebab nyeri,
sehingga terapi yang tepat bisa diberikan. Nyeri tulang
Paget adalah akibat dari peningkatan turnover tulang yang
merespons baik terhadap pemberian inhibitor osteoklas,
dimana nyeri ini meningkat untuk kompresi saraf namun
tidak demikian pada osteoartritis. Penyebab-penyebab
nyeri ini harus diterapi dengan obat standar, seperti
analgesik sederhana, NSAID atau opioid analgesik secara
sendiri-sendiri atau dalam kombinasi. Banyak pasien
mendapatkan
manfaat dari penambahan
terapi
antidepresan trisiklik dosis rendah sebagai regimen
analgesik. Metode fisik pengendalian nyeri bisa juga
membantu. Ini meliputi akupunktur, stimulasi saraflistrik
transkutaneus, fisioterapi dan hidroterapi. Banyak pasien
juga mendapat manfaat dari cara lain seperti pemakaian
alat bantu tongkat berjalan dan juga sepatu khusus.

2682
Penggantian sendi harus dipertimbangkan pada pasien
dengan osteoartritis lanjut yang simptomnya menetap
walau sudah diterapi. Pembedahanjuga diperlukan untuk
sindrom kompresi saraf yang tidak respons dengan terapi
medis.
Spesifik
Terapi spesifik untuk penyakit Paget bertujuan untuk
menurunkanturnoverabnormaltulang.Karena defekprimer
tampakya pada osteoklas, kebanyakan terapi bertujuan
menurunkan resorpsi tulang osteoklas. Terapiberbeda telah
digunakan selama bertahun-tahun. Dengan ditemukannya
bisfosfonat maka peluang pengobatan penyakit Paget
secara labih baik mulai terbuka. Penggunaan obat-obatan
ini mungkin dibatasi hanya di pusat spesialis saja.
Perbandingan efektivitas terapi antar satu regimen dengan
regimen lainnya sulit diketahui sebab kurangnya penelitian
mengenai respons terapi. Yang banyak adalah laporanlaporan awal yang menggambarkan respons mengenai
turunnya persentase aktivitas alkaline fosfatase. Selain
bisfosfonat maka ada beberapa jenis terapi lain yang bisa
diberikan yang akan dibahas di bawah ini.

REUMATOLOGI

fosfatase antara 40% dan 70% dan reduksi yang sama pada
ekskresi hydroxyproline urin. Meskipun kendali biokimia
lebih baik dengan dosis etidronat yang lebih tinggi, dosisdosis ini berkaitan dengan efek samping yang lebih banyak
termasuk peningkatan efek samping gastrointestinal.
Penggunaan dosis rendah etidronat berhubungan dengan
rendahnya angka efek samping gastrointestinal mendekati
kondisi yang sama dengan populasi umum. Meskipun regimen dosis rendah memberi manfaat klinis, namun dosis ini
berhubungan dengan angka kegagalan terapi biokimia yang
lebih tinggi dibandingkan regimen dosis tinggi. Terapi
dengan etidronat dosis rendah juga brhubungan dengan
reistensi jangka panjang terhadap terapi.
Untuk menghindari defek mineralisasi, kini
direkomendasikan bahwa etidronat dapat diberikan dalam
dosis 400 mg/ hari selama tidak lebih dari 6 bulan. Setelah
periode 6 bulan bebas terapi maka terapi ulang bisa
diberikankembali.
Pamidronat. Pamidronat secara original diberikan per oral
dalam manajemen penyakit Paget. Namun tingginya
insidensi efek samping saluran cerna mengakibatkan
penggunaannya lebih banyak sebagai infos intravena.
Berbagai regimen terapi berbeda telah diteliti, namun kini
protokol yang direkomendasikanuntuk diberikan tiga infus
60 mg dengan interval 2 minggu atau 6 infus dari 30 mg
dengan interval waktu yang sama. Terapiini menyebabkan
reduksi antara 50% dan 80% dalam aktivitas alkaline
fosfataseplasma, perbaikan rasa nyeri dan perbaikan dalam
radiologis dan tampilan skintigrafi. Meskipun pamidronat
secara umum dapat ditoleransi dengan baik, obat ini
berhubungan dengan kejadian reaksi febris setelah terapi
intravena. Tampaknya paling sering terjadi setelah infus
pertama. Beberapa pasien mengalami peningkatan nyeri
tulang setelah infus pamidronat.

a. Bisfosfonat Bisfosfonat awalnya


dikembangkanpenggunaannya dalam industri deterjen
dimana agen ini bisa mencegah pembentukan skala
air jeruk dalam pipa. Namun dalam sistem biologis
struktur kimianya menyebabkan ikatan dengan
permukaan hydroxyapatite kristal dalam tulang,
khususnya di daerah yang mengalami resorpsi osteoklastik
aktif. Bisfosfonat bekerja dengan dua mekanisme dasar
utama yang berbeda yaitu: bisfosfonat yang mengandung
nitrogen seperti pamidronat, alendronat dan risedronat
menghambat enzim darijalur mevalonat. Inhibisijalur ini
oleh bisfosfonat menghambat fungsi resorptif dan memicu
apoptosis. Bisfosfonat yang tidak mengandung nitrogen
seperti etidronat, klodronat dan tiludronat mengganggu
jalur metabolik selular dan juga memicu kematian sel
dengan apoptosis.
Semua bisfosfonat hanya sedikit diabsorpsi di traktus
gastrointestinal. Agen ini akan berkombinasi dengan
kalsium yang ada dalam lambung sehingga absorpsinya
terhambat. Jika bisfosfonat diberikan per oral maka perlu
diperhatikan agar agen ini tidak diberikan bersamaan
dengan makan atau minum yang mengandung kalsium.
Setiap bisfosfonat yang tersedia di pasaran memiliki
instruksi berbeda dalam penggunaan yang membutuhkan
kepatuhan.

Tiludronat. Tiludronat adalah bisfosfonat yang


mengandung sulfur yang tersedia untuk manajemen
penyakit Paget selama bertahun-tahun. Secara normal agen
ini diberikan selama 3 bulan 400 mg sebagai dosis oral
tunggal per hari. Studi-studi awal dengan tiludronate
menunjukkan 60% reduksi dalam turnover tulang.
Selanjutnya studi double-blind controlled menunjukkan
bahwa marker turnover tulang lebih baik disupresi dengan
tiludronat dibandingkanplasebo atau etidronat. Studi-studi
ini menyatakan bahwa terapi tiludronat berhubungan
dengan penurunan sebesar 40- 72% aktivitas alkaline
fosfatase. Juga ada perbaikan dalam simptom nyeri pagetik
tulang pasien. Tiludronat biasanya dapat ditoleransi
dengan baik namun kadang menyebabkan diare.

Etidronat.Etidronaatdalah bisfosfonat pertama yang


digunakan dalam manajemen penyakit Paget. Ketika
diberikan per oral dalam dosis antara 5 dan 20 mg/kg per
hari, ada perbaikan dalam marker biokimia penyakit Paget,
seperti ditunjukkan oleh penurunan aktivitas alkaline

Risedronat. Risedronat adalah bisfosfonat yang


mengandung nitrogen dimana atom nitrogen merupakan
bagian dari cincin piridinil. Studi binatang menunjukkan
bahwa risedronat memiliki 1000 kali kemampuan
dibandingkan dengan etidronat untuk menghambat

2683

PENYAKIT PAGET

resorpsi tulang. Dalarn manajemen penyakit Paget, agen ini


diberikan sebagai dosis tunggal 30 mg per hari selama 2
bulan. Studi uncontrolled awal dari 162 pasien dengan
penyakit Paget menunjukkan bahwa dosis risedronate
berhubungan dengan penurunan aktivitas alkaline
fosfatase
sebesar
60- 70% dan memperbaiki nyeri tulang dalam banyak pasien.
Hasil ini tergantung pada dosis risedronate yang diberikan.
Perbandingan doubleblind randomized, dari risedronat
dengan etidronat menunjukkan bahwa kadar alkaline
fosfatase menjadi normal pada hampir 75% pasien yang
mendapatkan risedronat, sedangkan hanya sekitar satu dari
7 pasien yang mendapatkan etidronate mencapai aktivitas
alkaline fosfatase normal.

Klodronat. Klodronat adalah generasi pertama bisfosfonat


yang diijinkan di United Kingdom untuk penggunaan
hiperkalsemia maligna. Sekitar 10 kali potensinya
dibandingkan dengan etidronat dalam menghambat
resorpsi tulang namun obat ini mampu menghindari risiko
inhibisi mineralisasi. Pada penyakit Paget, jika diberikan
per oral atau intra vena, agen ini mampu menurunkan
turnover tulang dan memperbaiki simptom pagetik
Alendronat. Alendronat adalah generasi ketiga dari
bisfosfonat. Untuk penyakit Paget dosis biasa adalah 40
mg/hari selama 6 bulan. Pada penyakit Paget,jika diberikan
dengan infus atau per oral, alendronate berkaitan dengan
penurunan turnover tulang secara bermakna, yang diikuti
dengan perbaikan nyeri tulang. Alendronat lebih poten
dalam mensupresi aktivitas penyakit Paget dibandingkan
dengan etidronat. Pemeriksaan radiografi menunjukkan
bahwa terapi alendronat mengakibatkan penghentian
progresi radiologis dari penyakit Paget;
Ibandronat.lbandronat adalah bisfosfonat baru yang poten.
Studi awal menunjukkan bahwa injeksi tunggal 2 mg
ibandronate mampu mensupresi aktivitas penyakit Paget.
Pada pasien dimana dosis ini tidak cukup menekan aktivitas
penyakit, aplikasi dosis yang lebih tinggi bisa jadi lebih
efektif.
Olpadronat.Olpadronat

secara kimiawi sama dengan


pamidronat
dengan atom nitrogen yang dikonversikan
menjadi ~mino tersier dengan penambahan kelompok dua
. metil. Studi awal di Eropa dan Amerika Selatan menyatakan
bahwa senyawa ini menguntungkan pada manajemen
penyakit Paget, namun studi skala besar masih menunggu
has ii.

Zoledrooat. Zoledronat adalah bisfosfonat baru yang poten


yang sedang dikembangkan. Studi awal menyatakan bahwa
agen ini adalah agen poten untuk terapi penyakit Paget.
Beberapa studi mendapatkan bahwa etidronat kurang
efektif dibandingkan dengan bisfosfonat lainnya dalam
mensupresi marker biokimia dari aktivitas penyakit Paget.
Tidak ada studi yang mampu menunjukkan perbedaan

bermakna antara berbagai jenis bisfosfonat dalam res pons


terhadap nyeri tulang.
Yang bisa direkomendasikan dalam penggunaan
bisfosfonat untuk terapi penyakit Paget adalah.
Terapi primer untuk penyakit Paget adalah inhibisi
turnover tulang dengan menggunakan bisfosfonat.
Karena bisfosfonat oral lain merniliki aktivitas lebih besar
dan lebih sedikit efek samping, maka etidronat tidak
direkomendasikan dalam manajemen penyakit Paget.

b. Kalsitonin
Kalsitonin adalah peptida 32-asam amino yang disekresikan
oleh sel C tiroid. Aksi fisiologis utama tampaknya
mensupresi konsentrasi kalsium plasma dengan kombinasi
menurunkan resorpsi tulang dan meningkatkan hilangnya
kalsium urin. Kemaknaan fisiologis pada mamalia yang
hidup di darat tidak jelas, meskipun efek ini jelas pada
ikan. Kalsitonin menghambat resorpsi tulang dengan aksi
langsung terhadap osteoklas, yang dimediasi oleh reseptor
kalsitonin yang ditemukan dalam sel-sel tersebut. Sebelum
adanya bisfosfonat, kalsitonin adalah terapi pilihan untuk
manajemen penyakit Paget. Studi-studi menunjukkan
bahwa agen ini mampu menghambat aktivitas tulang
pagetik.
Sebagai polipeptida, kalsitonin dengan cepat dirusak
dalam saluran gastrointestinal dan perlu diberikan secara
parenteral (intravena). Awalnya dilakukan pemberian
dengan menggunakan injeksi subkutan dan intramuskuler
namun kedua rute pemberian ini berhubungan dengan efek
samping bermakna meliputi flushing, nausea dan vomitus. Aktivitasnya lebih lemah, durasi aksi yang lebih pendek
dan efek samping yang lebih banyak dibandingkan
dengan bisfosfonat menyebabkan kalsitonin tidak
direkomendasikan sebagai lini pertama manajemen
penyakit Paget. Agen ini memegang peran pada pasien
jika bisfosfonat tidak dapat ditoleransi atau terbukti tidak
efektif

c. Plikamisin
Plikamisin ( dahulunya mitramisin) adalah antibiotika
sitotoksika yang mampu menghambat aktivitas osteoklas.
Meskiptin bahan ini mampu menurunkan turnover tulang
dan nyeri tulang pada pasien dengan penyakit Paget, efek
ini dibatasi oleh toksisitas sistemik yang berat, terutama
toksisitas terhadap sumsum tulang dan hepar. Obat ini
tidak direkomendasikan
penggunaannya
di luar pusat
spesialis dan diberikan hanya dengan indikasi yang tepat
dan tanpa adanya kontraindikasi.

d. Agen Lain
Berbagai agen lain kadang digunakan untuk manajemen
penyakit Paget. Agen ini meliputi galium nitrat, glukagon,
kortikosteroid dan berbagai agen sitotoksik. Di antara

2684
semua obat ini tidak ada yang bisa direkomendasikandalam
manajemen rutin penyakit Paget.
Pembedahan
Dalam manajemen penyakit Paget, pembedahan secara
umum dibatasi untuk manajemen fraktur, deformitas atau
artritis. Meskipun dinyatakan bahwa karena tulang pagetik
lebih vaskular maka ada peningkatan risiko perdarahan
selama pembedahan, namun ini tidak dilaporkan oleh
banyak peneliti. Tampaknya beralasan untuk memberikan
terapi antipagetik sebelum pembedahan, hal ini untuk
meyakinkan bahwa terapi penyakit dasar tidak bisa
menggantikanperlunya pembedahan.Pembedahankadang
dilakukan untuk memperbaiki kondisi fraktur, deformitas
dan artritis.

REFERENSI
Altman, R.,D., Bloch, C.A., Hochberg, M.C., and Murphy, W.A.
Prevalence of pelvic Paget's disease of bone in the United States.
J Bone Miner Res 15:461-465:2000.
Alvarez, L., Guanabens, N., Peris, P., Monegal, A., Bedini, J.L.,
Deulofeu, R., et al . Discriminative value of biochemical markers of bone turnover in assessing the activity of Paget's disease.
J Bone Miner Res 10:458-465:1995.
Altman, R.D. Long-term follow up of therapy with intermittent
etidronate disodium in Paget's disease of bone. Am J Med 79:583590: 1985.
Aitken, J. M. and Lindsay, R. Mithramycin in Paget's disease.
Lancet i: 1177-1178: 1973
Brown, J.P., Hosking, D.J., Ste-Marie,L., Johnston, C.C.Jr.
Ryan,W.G., et al. Risedronate, a highly effective, short-term
oral treatment for Paget's disease: A dose-response study. Calcif
Tissue Int 64:93-99:1999.
Buckler, H., Fraser, w., Hosking, D., /Ryan, W.. , Maricic, M.J.,
Singer, F. et al. Single infusion of zoledronate in Paget's disease
of bone: A placebo-controlled, dose -ranging study. Bone 24
(Suppl 5): 81S-85S: 1999.
Canfield, R., Rosner, W., Skinner, J., McWhorter, J., Resnick, L.,
Feldman, F., et al. Diphosphonate therapy of Paget;s disease of
bone. J. Clin Endocrinol Metab 44:96-106: 1977.
Cantril,J.A., Buckler, H.M., and Anderson, D.C. Low dose
intravenous 3-amino-1-hydroxypropylidene-l, 1-bisphoshonate
(APD) for the treatment fo Paget's disease of bone. Ann Rheum
Dis 45d012-1018: 1986
Barker, D. J., Clough, P. W., Guyer, P.B., and Gardner, M.J. Paget's
disease of bone in 14 British town. Br. Med J. 1:1181-1183: 1977.
Bell, N. H., Avery, S., and Johnston, c. C. Jr. Effects of calcitonin if
Paget's disease and polyostotic fibrous dysplasia. J Clin
Endocrinol Metab 31 :283-290: 1970.
Bidner, S. and Finnegan, M. Femoral fractures in Paget's disease.
J Orthop Trauma 3:317-322: 1989.
Cooper, C., Schafheutle, K., Dennison, E., Kellingray,S., Guyer, P.,
and Barker, D. The epidemiology of Paget's disease in Britain: Is
the prevalence decreasing? J Bone Miner Res 14:192-197: 1999.
Delmas, P.D. and Meunier, P.J.Drug therapy: The management of
Paget's disease disease of bone. N Engl J Med 336:558-566:
1997.

REUMATOLOGI

Douglas, D.L., Duckworth, T., Kanis, J.A., Preston, C., Beard, D.J.,
Smith. T.W., et al. Biochemical and clinical responses to
dichloromethylene diphosphonate (C12MDP) In Pager's
disease of bone. Arthritis Rheum 23: 1185-1192: 1980.
Eastell, R.Biochemical markers of bone turnover in Paget's disease
of bone. Bone 24(suppl.5): 49S-50S: 1999.
Grauer, a., Heichel, S., Knaus, J., dosch,E., and Ziegler, R. Ibandronate
treatment in Paget's disease of bone. Bone 24(suppl.5): 87-89:
1999.
Gonzales, D.C., and Mautalen, C.A .. Short-term therapy with oral
olpadronate in active Paget's disease of bone. J Bone Miner Res
14:2042-2047: 1999.
Gennari, C., Passeri, M., Chierichetti, S.M., and Piolini, M.
Side-effects of synthetic salmon and human calcitonin (letter).
Lancet I :594-595: 1983.
Hamdy, R. Paget s disease of bone assessment and Management.
London:Praeger: 1981.
Kanis, J.A. Pathophysiology and Treatment of Pagels disease of
bone. 2 Ed.London: Martin Dunitz: 10:1998.
Khairi, M.R., Robb, J.A., Wellman, H.N., and Johnston, C.C. Jr.
Radiographs and scans in diagnosing symptomatic lesion of
Paget's disease of bone '(osteitis deformans). Geriatrics 29:4954: 1974.
Kanis, J.A. Pathophysiology and Treatment of paget s disease of
bone. 2 ed.London: Martin Dunitz:110-138:1998
Kanis, J.A. Pathophysiology and Treatment of Pagels disease of
bone. 2 ed.London: Martin Dunitz:139-158:1998.
Kanis, J.A. Pathophysiology and Treatment of paget s disease of
bone. 2 ed.London: Martin Dunitz:99: 1998.
Ludkowski, P., and Wilson-Macdonald, J. Total arthroplasty in Paget's
disease of the hip. Clin Orthop Rel Res 255:160-167: 1990.
Louette, L., Lammens, J., and Fabry, G. The Illizarov external fixator
for treatment of deformities in Paget's disease. C/in Orthop Rel
Res 323:298-303: 1996.
Miller, P.D., Brown, J.P., Siris, E.S., Hoseyni, M.S., Axelrod, D.W.,
and Bekker, P.J.A. A randomized, double-blinde comparison of
risedronate and etidronate in the treatment of Paget's disease
of bone. Paget's Risedronate/Etidronate Study Group. Am J
Med 106:513-520: 1999.
Miller, P.D., Brown, J.P., Siris, E.S., Hoseyni, M.S., Axelrod, D.W.,
and Bekker, P.J.A. A randomized, double-blinde comparison of
risedronate and etidronate in the treatment of Paget's disease
of bone. Paget's Risedronate/Etidronate Study Group. Am J
Med 106:513-520: i999.
O'Doherty, D.P., Bickerstaff, DR., McC!oskey, E.V., Hamdy, N.A.,
Beneton, M.N., Harris., et al. Treatment of Paget's disease of
bone with aminohydroxybutylidene bisphosphonate. J Bone
Miner Res 5:483-491: 1990.
Reginster, J.Y., Colson, F., Morlock, G., Combe, B., Ethgen, D., and
Geusens, P. Evaluation of the efficacy and safety of oral
tiludronate in Paget's disease of bone. A double-blind, multipledosage, placebo-controlled study. Arthritis Rheum 35:967-974:
1992.
Selby, P.L., David, W.J., Ralston., Stone, M.D., Guidelines on the
Management of Paget's Diseases of Bone. Bone: 31: I 0-19:
2002.
Sochart, D.H., and Porter, M.L. Chamley low-friction arthroplasty
for Paget's disease of the hip. J Arthroplasty 15:210-219: 2000.
Wellman, H.N., Schauwecker, D., Robb, J.A., Khairi, M.R., and
Johnston, C.C. Skeletal scintimaging and radiography in the
diagnosis and management of Paget's disease. C/in Orthop Rel
Res 127:55-62: 1977.

410
HIPERKALSEMIA DAN HIPOKALSEMIA
Bambang Setiyohadi

Konsentrasikalsium serum, dalam keadaan normal berkisar


antara 8,5-10,5 mg/dl (2,1-2,5 mMol). Sekitar 50% kalsium
serum berada dalam keadaan terikat dengan protein,
terutama albumin, dan sebagian kecil berada dalam bentuk
garam kompleks. Sisanya, merupakan ion kalsium yang
bebas yang merupakan bentuk kalsium yang aktif untuk
metabolisme.
Kadar kalsium total serum, sangat dipengaruhi oleh
kadar albumin serum. Pada keadaan hipoalbuminemia,
kadar kalsium serum total juga akan turun, sehingga
diperlukan perhitungan koreksi
pada keadaan
hipoalbuminemia untuk memperkirakan kadar kalsium
total yang sesungguhnya. Cara yang sedarhana adalah
dengan menambahkan 0,8 mg/dl kadar kalsium untuk
setiap I g/dl albumin bila konsentrasi albumin serum
< 4 mg/dl. Misalnya didapatkan kadar kalsium total 10,5
mg/dl pada albumin serum 2 g/dl, maka kadar kalsium
serum setelah koreksi adalah 10,5 + (2x0,8) = 12, 1 mg/di.
Perubahan pH darah juga akan mempengaruhi kadar
kalsium, tetapi bukan kalsium total, melainkan kadar ion
kalsium. Dalam keadaan asidosis kadar ion kalsium akan
meningkat, karena banyak kalsium yang dilepas oleh
albumin pengikatnya, sebaliknya pada keadaan alkalosis
kadar ion kalsium akan menurun.
Kadar kalsium didalam serum dipengaruhi oleh
keseimbangan antara pergeseran kalsium ke cairan
ekstraselular dari saluran cema, tulang dan ginjal; serta
pergeseran kalsium keluar dari cairan ekstraselularkedalam
tulang dan keluar melalui urin.

HIPERKALSEMIA
Hiperkalsemia terjadi bila pemasukan kalsium kedalam
darah lebih besar daripada pengeluarannya. Penyebab
hiperkalsemia yang tersering adalah resorpsi tulang
osteoklastik dan penyerapan kalsium di saluran cema yang

berlebihan. Resorpsi tulang oleh osteoklas dipengaruhi


oleh berbagai faktor, misalnya Horman Paratiroid (PTH),
PTH-related protein (PTHrP) dan 1,25-dihidroksi vitamin
D [ l ,25(0Hp]. Beberapa sitokinjuga dapat meningkatkan
resorpsi tulang oleh osteoklas, seperti IL- I a., IL- I~.TNF,
limfotoksin dam TGF-a.. Peningkatan absorpsi kalsium di
saluran cema sebagai penyebab hiperkalsemia biasanya
lebih jarang; penyebabnya adalah peningkatan kadar
vitamin D serum, baik akibat intoksikasi maupun pada
lirnfoma.
Pada umumnya, hiperkalsemia akan selalu diikuti
dengan hiperkalsiuria. Walaupun demikian, beberapa
keadaan yang menyebabkan gangguan ekskresi kalsium
lewat urin juga dapat menyebabkan hiperkalsemia, atau
memperberat hiperkalsemia yang sudah ada. Beberapa
faktor yang mengganggu reabsorpsi kalsium di tubulus
distal ginjal antara lain adalah PTH, PTHrP, ADH dan
dehidrasi.
Gambaran Klinik
Gambaran klinik hiperkalsemia biasanya tergantung pada
penyakit primemya. Biasanya gambaran klinik yang nyata
timbul bila kadar kalsium serum mencapai 14 mg/dl.
Gangguan gastrointestinal, seperti mual dan
muntah merupakan gejala yang sering didapatkan. Pada
hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme primer, kadangkadang didapatkan ulkus peptikum dan pankreatitis.
Kadang-kadangjuga didapatkan poliuria akibat gangguan
mengkonsentrasikan urin di tubulus distal. Sehingga
rehidrasi yang adekuat sangat perlu untuk mencegah
dehidrasi yang berat.
Hiperkalsemia akan meningkatkan repolarisasijantung
sehingga akan memperpendek interval QT. Pada pasien
yang mendapat terapi digitalis, keadaan hiperkalsemia
harus dicegah karena akan meningkatkan sensitifitas
terhadap
obat
tersebut.

2686
Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan hiperkalsemia tergantung pada kadar
kalsium darah dan ada tidaknya gejala klinik akibat
hiperkalsemia. Pada kadar kalsium < 12 mg/di, biasanya
tidak diperlukan tindakan terapetik, kecuali bila ada gejala
klinikhiperkalsemia. Pada kadarkalsium 12-14mg/di,terapi
agresif harus diberikan bila terdapat gejala klinik
hiperkalsemia. Pada kadar > 14 mg/dl,terapi hams diberikan
walaupuntidak ada gejala klinik. Selain itu upaya mengatasi
penyakit primernya juga harus diperhatikan
Hidrasi dengan NaCl 0,9% per-infus 3-4 liter dalam 24
jam merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan
pada keadaan hiperkalsemia. Tindakan ini kadang-kadang
dapat menurunkan kadar kalsium serum sampai 1-3 mg/dl.
Hidrasi dengan NaCl 0,9% akan meningkatkan ekskresi
kalsium denganjalan meningkatkan filtrasi glomerulus dan
menurunkan reabsorbsi kalsium di tubulu proksimal dan
distal.
Setelah hidrasi tercapai, tetapi kadar kalsium serum
masih tinggi, dapat diberikan dosis kecil loop diuretics,
misalnya furosemid 20-40 mg atau asam etakrinat. Diuretik
tidak boleh diberikan sebelum keadaan hidrasi tercapai,
karena akan memperberat dehidrasi dan hiperkalsemia.
Loop diuretics akan bekerja dengan cara menghambat
reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle. Diuretik
tiazid merupakan kontra-indikasi dalam penatalaksanaan
hiperkalsemia karena akan menurunkan ekskresi kalsium
lewat ginjal.
Pada keadaan hiperkalsemiayang berat, kadang-kadang
diperlukan tindakan dialisis dengan menggunakan cairan
dialisat yanbg rendak kalsium atau bebas kalsium.
Setelah keadaan klinik memungkinkan, pasien harus
dimotivasi untuk mobilisasi segera untuk mencegah
keseimbangan kalsium yang negatif.
Beberapa obat juga dapat diberikan pada penatalaksanaan hiperkalsemia, tetapi hidrasi hams diberikan
terlebih dahulu sebelum memikirkan penggunaan obatobatan.
Pamidronat merupakan salah satu bisfosfonat yang
dapat diberikanuntuk mengatasihiperkalsemiakarena obat
ini akan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Obat
ini dapat diberikan secara per-infus dengan dosis 60-90
mg dalam waktu 4-6 jam. Efek samping obat ini adalah
demam, mialgia dan kadang-kadang hipertensi. Selain itu
obat inijuga dapat mengakibatkan hipokalsemia, sehingga
selama pemberian harus diawasi dengan ketat.
Plikamisin (dahulu disebut mitramisin), merupakan
sitotoksik yang dapat menghambat sintesis RNA didalam
osteoklas sehingga akan menghambat resorpsi tulang.
Dosis obat ini adalah 15-25 mg/kgBB, diberikan per-infus
dalam waktu 4-6jam. Efek hipokalsemiaakan mulai terlihat
setelah 12 jam pemberian dan mencapai puncaknya dalam
waktu 48-72 jam. Pada umumnya dosis tunggal plikamisin
sudah mencukupiuntuk mencapaikeadaan normokalsemia,
tetapi bila diperlukan, pemberian dapat diulang setelah

REUMATOLOGI

48-72 jam kemudian. Plikamisin sangat toksik terhadap


sumsum tulang, hepar dan ginjal sehingga saat ini
penggunanyatelahdigantikanoleh bisfosfonaytanglebihaman
Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang
dihasilkan oleh sel parafolikular C kelenjar tiroid dan
mempunyai efek menghambat kerja osteoklas dan
meningkatkanekskresikalsium oleh ginjal. Obat ini bekerja
sangat cepat dan dapat menurunkan kadar kalsium dalam
waktu 2-6jam setelah pemberian. Dosisnya adalah 4-8 IU/
kgBB yang diberikan secara intra-muskular atau subkutan
setiap6-8jam. Sayangnyaefek hipokalsemiknyatidak dapat
dijaga terus walaupun pemberiannya dilanjutkan.Biasanya
kadar kalsium akan turun 2 mg/dl dan akan naik lagi setelah
24 jam walaupun pemberian kalsitonin dilanjutkan.
Kombinasikalsitonin dengan bisfosfonatakan memberikan
efek yang lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan
pemakaiannya secara tunggal.
Pada hiperkalsemia akibat intoksikasi vitamin D atau
akibat penyakit-penyakit granulomatosa dan keganasan
hematologik (limfoma dan mieloma multipel), glukokortikoid dapat dipertimbangkan pemberiannya. Biasanya
diberikan hidrokortison intravena 200-300 mg/hari selama
3-5 hari.

HIPERPARATIROIDISME

PRIMER

Hiperparatiroidisme primer merupakan salah satu dari 2


penyebab tersering hiperkalsemia; penyebab yang lain
adalah keganasan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua
usia tetapi yang tersering adalah pada dekade ke-6 dan
wanitalebih sering3 kali dibandingkanlaki-laki.Insidensnya
mencapai 1 :500-1000. Bila timbul pada anak-anak hams
dipikirkan kemungkinan endokrinopati genetik seperti
neoplasia endokrin multipel tipe I dan II.
Hiperparatiroidisme primer, terjadi akibat peningkatan
sekresi hormon paratiroid (PTH) yang tersering disebabkan
oleh adenoma kelenjar paratiroid yang biasanya bersifat
jinak dan soliter, oleh sebab itu, dari 4 kelenjar paratiroid,
biasanya hanya 1 kelenjar yang terserang. Penyebab lain
yang jarang adalah hiperplasi pada keempat kelenjar
paratiroid dan yang sangat jarang adalah karsinoma pada
kelenjar paratiroid.
Gambaran Klinikdan Laboratorik
Pada umumnya, hipereparatiroidisme primer bersifat
asimtomatik. Gambaran klinik yang tersering akan tampak
pada tulang dan ginjal. Peningkatan produksi PTH akan
menimbulkan keadaan di tulang yang disebut osteitis
fibrosa cystica yang ditandai oleh resorpsi subperiosteal
pada falang distal, a salt and pepper appearance pada
tulang kepala, kista tulang dan tumor coklat pada tulangtulang panjang. Kelainan-kelainan pada tulang ini dapat
dilihat dengan rnembuat foto radiografi konvensional.

HIPERKALSEMIADAN

HIPOKALSEMIA

Pada ginjal, hiperparatiroidisme primer akan ditandai


oleh nefrolitiasis, nefrokalsinosis,
hiperkalsiuria dan
penurunan klirens kreatinin.
Kelainan
lain yang dapat timbul pada hiperparatiroidisme primer adalah miopati, ulkus peptikum dan
pankreatitis keratopati pita, gout dan pseudogout
dan
kalsifikasi koroner dan ventrikel serta katup jantung.
Secara laboratorik akan didapat gambaran hiperkalsemia dengan kadar PTH yang tidak tertekan, dapat
normal tinggi atau meningkat. Ekskresi kalsium urin akan
menurun sedangkan ekskresi fosfat urin akan meningkat.
Kadar 25(0H)D biasanya rendah sedangkan kadar
l,25(0H\D biasanya meningkat, tetapi peningkatan ini
tidak mempunyai nilai diagnostik yang penting.

Penatalaksanaan
Hiperparatiroidisme
primer akan sembuh bila kelenjar
paratiroid yang abnormal dibuang. Walaupun demikian,
keputusan tindakan bedah tidak mudah karena sebagian
besar bersifat asimtomatik.
lndikasi pembedahan pada hiperparatiroidisme
primer
adalah:
Kadar kalsium serum > 1 mg/di di atas batas normal
tertinggi,
Didapatkan komplikasi hiperparatiroidisme primer,
seperti nefrolitiasis, osteotis fibrosa cystica,
Episode akut hiperparatiroidisme primer dengan
hiperkalsemia yang mengancam jiwa,
Hiperkalsiuria yang nyata (> 400 mg/hari)
Densitometri tulang pada radius distal yang menurun
dengan nilai skor T < -2,
Umur di bawah 50 tahun.
Bila pasien tidak dapat dilakukan tindakan pembedahan,
maka beberapa tindakan medik dapat dilakukan, seperti
hidrasi yang adekuat, asupan kalsium yang cukup,
pemberian preparat fosfat, terapi estrogen pada wanita
pasca menopause, bisfosfonat dan mungkin dimasa yang
akan datang dapat diberikan obat-obat kalsimimetik.
Pemberian kalsium pada pasien hiperparatiroidisme
primer harus mencukupi, tidak boleh terlalu tinggi
maupoun terlalu rendah. Asupan kalsium yang terlalu
rendah akan merangsang sekresi PTH lebih lanjut.

Sindrom HiperparatiroidFamilial
Seki tar I 0% kasus hiperparatiroid primer, disebabkan oleh
kelainan genetik, seperi Neoplasia Endokrin Multipel (MEN)
tipe I (sindrom Wenner), MEN tipe IIA (Sindrom Sipple)
dan Sindrom Rahang-Hiperparatiroidisme.
MEN I pertama kali ditemukan oleh Wenner pada tahun
1954, diturunkan secara otosomal dominan dan ditandai
oleh tumor paratiroid, hipofisis anterior dan pankreas.
Tumor hipofisis yang tersering adalah prolaktinoma dan
kadang-kadang menyebabkan akromegali dan Sindrom

2687
Cushing akibat sekresi hormon pertumbuhan dan ACTH
yang berlebihan. Tumnor pankreas pada MEN I umumnya
dalam bentuk islet cell tumours yang sering meningkatkan
sekresi gastrin sehingga menimbulkan sindrom ZollingerEllison dan kadang-kadangjuga menyebabkan hipersekresi
insulin sehingga menimbulkan hipoglikemia puasa.
MEN TIA, pertama kali ditemukan oleh Sipple pada tahun
196 l, bersifat otosomal dominan dan ditandai oleh karsinoma
tiroid meduler (MTC), faeokromositoma bilateral dan
hiperplasia paratiroid. MTC merupakan kelainan yang
dominan pada MEN IIA dan sering mengakibatkan kematian
akibat metastasisnya. Sedangkan hiperparatiroidisme
merupakan kelainan yangjarang terdapat pada MEN IIA.
Sindrom tumor rahang-hiperparatiroidisme merupakan
kelainan yang pertama kali ditemukan oleh Jackson pada
tahun 1958, diturunkan secara otosomal dominan dan saat
ini sudah diketahui bahwa kelainannya
terletak pada
kromosom 1 q2 l-q3. Penyakit ini ditandai dengan
hiperkalsemia yang berat sejak anak-anak dengan adenoma
so liter paratiroid yang besar. Kelainan tulang pada sindrom
ini sangat eksklusif hanya menyerang maksila
dan
mandibula.

FamilialHypocalciuric
Hypercalcemia (FHH)
FHH merupakan kelainan otosomal dominan yang ditandai
oleh hiperkalsemia dan hipokalsiuria relatif. Kelainan ini
bersifat asimtomatik. Secara biokimia, kelainan ini ditandai
oleh peningkatan kadar kalsium serum, ekskresi kalsium
urin yang normal dan kadar PTH dan l,25(0H)p
yang
juga normal.
Paratiroidektomi, biasanya hanya memberikan efek
norrnokalsernik yang sementara, walaupun demikian, tetap
diindikasikan pada keadaan:
Hiperparatiroidisme primer pada neonatus akibat dosis
ganda gen FHH,
Orang dewasa dengan pankreatitis berulang
Anak-anak atau orang dewasa dengan hiperkalsemia
menetap > 14 mg/dl.

HIPERPARATIROIDISME SEKUNDER DAN TERSIER


Secara fisiologik, hormon PTH berfungsi memobilisasi
kalsium dan fosfat dari tulang, meningkatkan reabsorpsi
kalsium di tubulus distal ginjal, menurunkan reabsorpsi
fosfat dan meningkatkan produksi l ,25(0H)p di tubulus
proksimal ginjal. Sebaliknya kadar kalsium, fosfat dan
l ,25(0H)p
akan mengatur sekresi PTH baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kalsium mengatur
sekresi PTH melalui aktifasi reseptor kalsium (CaR) pada
permukaan paratiroid yang menghasilkan peningkatan
sekresi PTH pada keadaan hipokalsemia dan penurunan
produksi dan sekresi PTH pada peningkatan kalsium
intraselular. Perubahan kadar kalsium serum juga dapat

-~

2688

REUMATOLOGI

mengatur sintesis PTH pada tingkat selular yaitu pada


transkripsi pre-pro-PTH dan secara langsung mengatur
proliferasi sel kelenjar paratiroid.
Berbedadengankalsium, walaupun l,25(0H)2D dapat
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat di usus, tetapi
tidak dapat secara langsung mengatur produksi PTH.
Secara tidak langsung, 1,25(0H\D
dapat menekan
transkripsi gen PTH dan pertumbuhan sel melalui reseptor
vitaminD (VDR).
Hiperparatiroidisme sekunder, merupakan kelainan
yang didapat yang timbul akibat hipokalsemia yang lama
yang dapat terjadi pada gagal ginjal terminal, defisiensi
vitamin D maupun keadaan resisten terhadap
vitamin D. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan kadar
PTH yang tinggi sekali dengan kadar kalsium serum yang
normal atau rendah.
Keadaan hipokalsemia yang lama akan menyebabkan
perubahan pada kelenjar paratiroid menjadi otonom dan
berkembang menjadi keadaan sepertri hiperparatiroidisme
primer; keadaan ini disebut hiperparatiroidisme tersier.
Hiperparatiroidisme tersier harus dibedakan dengan
hiperparatiroidfisme sekunder yang refrakter. Pada
hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, sekresi PTH
tetap tak dapat ditekan walaupun kelainan metaboliknya
sudah diperbaiki. Baik pada hiperparatiroidisme tersier
maupun hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter,
kelenjar paratiroid berada dalam keadaan hiperfungsi yang
tidak memberikan respons yang baik oleh regulator
fisiologik. Perubahan-perubahan pada .tinbgkat jaringan,
selular dan molekuler diduga berperan pada keadaan ini,
seperti peningkatan jumlah sel paratiroid, perubahan
mekanisme pada reseptor kalsium di kelenjar paratiroid dan
perubahan fungsi VDR. Selain itu, hiperfosfatemi dan
resistensi organ target terhadap PTH juga dapat
menyebabkan hiperparatiroidisme persisten walaupun
telah diberikan terapi kalsium dan vitamin D.

HIPERKALSEMIA PADA KEGANASAN


Hiperkalsemia

Humoral

pada

Keganasan
(HumoralHypercalcemia
of Malignancy, Hhm)

Istilah HHM digunakan untuk mendeskripsikan sindrom


klinik yang ditandai oleh hiperkalsemia yangdisebabkan
oleh sekresi faktor kalsemik oleh sel kanker. Saat ini istilah
HHM dibatasi untuk hiperkalsemia akibat peningkatan
produksi Parathyroid Hormon related Protein (PTHrP).
Parathyroid-hormone-related protein (PTHrP)
pertama kali diketahui sebagai penyebab hiperkalsemia
pada keganasan. Protein ini memiliki 8 dari 13 asam amino
pertama yang sama dengan PTH, sehingga dapat
mengaktifkan reseptor PTH. Dibandingkan dengan PTH
yang hanya memiliki 84 asam amino, PTHrP yang terdiri
dari 3 isoform, memiliki jumlah asam amino yang lebih
banyak, masing-masing 139, 141 dan 174 asam amino.

Karena PTHrP juga dapat berikatan dengan reseptor PTH,


maka aksi biologiknya juga sama dengan PTH, yaitu akan
menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia dan
peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun
demikian, ada reseptor PTH yang tidak dapat diikat oleh
PTHrP, yaitu reseptor PTH-2. Demikian juga, ada pula
reseptor PTHrP yang tidak dapat berikatan dengan PTH
yaitu reseptor PTHrP yang terdapat di otak dan kulit. Selain
itu, ada beberapa perbedaan aksi biologik PTHrP
'dibandingkan dengan PTH, yaitu PTH akan meningkatkan
reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal, sedangkan PTHrP
tidak, sehinggaakan terjadihiperkalsiuria.Selainitu, PTHrP
juga tidak meningkatkanproduksi l ,25(0H)2D dan absorpsi
kalsium di ginjal. Di tulang, PTH akan meningkatkan
aktivitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP
hanya meningkatkan aktivitas osteoklas, sehingga resorpsi
tulang tidak diimbangi oleh formasi yang adekuat.
Beberapa tumor yang secara spesifik menghasilkan
PTHrP adalah karsinoma sel skuamosa, ginjal dan
payudara. Pada hiperkalsemia akibat keganasan, akan
didapatkan peningkatan kadar PTHrP dan hiperkalsemia,
sedangkan kadar PTH akan ditekan. Pada hiperparatiroidisme, kadar PTH akan meningkat, sedangkan PTHrP
tetap normal. Oleh sebab itu, kadar PTHrP dapat digunakan
sebagai parameter keberhasilan terapi dan pembedahan
keganasan yang bersangkutan.
Dalam keadaan normal, PTHrP yang beredar didalam
tubuh sangat rendah, dan nampaknya tidak berperan pada
metabolisme kalsium. Walaupun dernikian, PTHrP diduga
berperan pada proses fisiologik lokal dari sel-sel dan
jaringan penghasilnya, misalnya jaringan fetal, rawan
sendi, jantung, ginjal, folikel rambut, plasenta dan epitel
permukaan. Pada payudara normal, PTHrP berperan pada
morfogenesis payudara.
Penatalaksanaan terhadap HHM secara umum meliputi :
Mengurangi massa tumor,
Mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas
Meningkatkan klirens kalsium di ginjal
Hiperkalsemia dan Destruksi Tulang pada Keganasan

Pada HHM, hiperkalsemia tidak diikuti dengan destruksi


tulang. Bila selain hiperkalsemiajuga didapatkan destruksi
tulang, maka harus dipikirkan 3 kemungkinan, yaitu :
Produksi berbagai sitokin yang meningkatkan kerja
osteoklas, misalnya pada mieloma multipel,
Peningkatan produksi 1,25(0H)p, misalnya pada
beberapa tipe limfoma,
Metastasis sel tumor ke tulang, biasanya pada tumortumor padat.
Tulang merupakantempat ketiga tersering dari metastasis keganasan setelah hepar dan paru. Tulang yang paling
sering dihinggapi metastasis adalah vertebra, femur
proksimal, pelvis, iga, sternum dan humerus proksimal.
Keganasan yang sering metastasis ke tulang adalah

HIPERKALSEMIA DAN HIPOKALSEMIA

keganasan pada paru, payudara dan prostat. Ada 2 tipe


metastasis pada tulang, yaitu tipe osteoklastik
(menghasilkan osteolisis) dan tipe osteoblastik.
Metastasis tulang osteolitik merupakan metastasis
tulang yang paling sering ditemukan. Kelainan ini akan
mengakibatkan nyeri tulang, fraktur patologis, kompresi
saraf bila menimbulkan obstruksi pada lubang tempat
keluarnya saraf, destruksi tulang, hiperkalsemia dan
hiperkalsiuria. Bila suatu keganasan sudah bermetastasis
ke tulang, maka terapi kuratif hampir tak ada gunanya,
kecuali terapi paliatif. Sel tumor bermetastasis ke tulang
setelah terlepas dari tumor primernya. Pelepasan ini
dipengaruhi oleh produksi enzimproteolitik oleh sel kanker
yang bersangkutan sehingga sel-sel tersebut terlepas satu
sama lain. Sel kanker yang terlepas akan masuk ke sirkulasi
dan menyebar ke organ vaskular termasuk sumsum tulang.
Di dalam sumsum tulang, sel kanker akan bermigrasi ke
permukaan endosteal. Migrasi sel kanker dari sistem
sirkulasi ke endosteal melalui beberapa tahap, yaitu (1)
perlekatan sel kanker pada membran basalis; (2) produksi
enzim proteolitik oleh sel kanker yang akan merobek
membran basalis sehingga sel kanker dapat masuk ke stroma
tulang; (3) produksi mediator yang akan mengaktifkan
osteoklas pada permukaan tulang. Kanker payudara yang
bermetastasis ke tulang akan menghasilkan PTHrP yang
akan merangsang produksi RANKL dan menghambat
produksi OPG oleh osteoblas sehingga terjadi maturasi
osteoklas dan mengaktifkan resorpsi tulang. Tulang yang
diresorpsi akan menghasilkan TGF-b yang kemudian
akan merangsang sel kanker untuk menghasilkan PTHrP
kembali, sehingga terjadi lingkaran setan yang terns
menerus.
Metastasis tulang osteoblastik akan menghasilkan
pertumbuhan tulang baru di tempat metastasis sehingga
area tersebut tampak lebih padat dibandingkan dengan
sekitarnya. Secara laboratorium, metastasis tipe
osteoblastik akan menimbulkan peningkatan kadar alkali
fosfatase (hiperfosfatasia) dan kadng-kadang diikuti
hipokalsemia.
Karsinoma prostat akan bermetastasis ke tulang
dengan tipe osteoblastik, dan akan menimbulkan
peningkatan kadar alkali fosfatase (hiperfosfatasia)
sedangkl!p karsinoma payudara akan menghasilkan
metastasis tulang tipe osteolitik dan osteoblastik. Tumor
karsinoid ganas yang berasal dari jaringan embrionik
foregut dan hindgut akan menghasilkan metastasis tulang
tipe osteoblastik, demikian pula penyakit Hodgkin,
sedangkan sebagian besar limfoma malignum akan
menghasilkan metastasis osteolitik.
Destruksi Tulang pada Mieloma Multipel. Terjadi akibat
peningkatan aktivitas osteoklas. Sel mieloma didalam
sumsum tulang akan menghasilkan berbagai sitokin, seperti
limfotoksin, IL-1, PTHrP, Hepatocyte GrowthFactor (HGF)
dan MacrophageInflammatoryProtein-I a (MIP-1 a), yang

2689
akan mengaktifkan osteoklas pada permukaan endosteal
yang berdekatan. Selain itu lingkungan mikro di tulangjuga
akan meningkatkan pertumbuhan sel mieloma, sehingga
terjadi lingkaran setan yang terus menerus. IL-6 yang
dihasilkan oleh osteoklas dan osteoblas bersifat mitogenik
dan menurunkan apoptosis sel mieloma. Selain itu, IGF-1
yang dihasilkan oleh sel stromal sumsum tulangjuga akan
mencegah kematian sel mieloma. Walaupun terjadi destruksi
tulang, lebih dari separuh pasien mieloma multipel tidak
mengalami hiperkalsemia. Pada umunya hiperkalsemia pada
multipel mieloma disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal
sehingga ekskresi kalsium lewat urin menurun. Selain itu,
kadar alkali fosfatase pada mieloma multipel juga seringkali
tidak meningkat, karena aktivitas osteoblas juga tidak
meningkat. Oleh sebab itu, pada keadaan ini, seringkali bone
scanning juga memberikan basil negatif.

HIPERKALSEMIA DAN HIPERKALSIURIA PADA


IMOBILISASI
Hiperkalsiuria adalah adanya peningkatan ekskresi kalsium
urin 24 jam> 300 mg pada laki-laki dan > 250 mg pada
wanita.
Hiperkalsemia pada imobilisasi (Hypercalcemia of
Immobilization =HCI) pertama kali diperkenalkan oleh
Albright pada tahun 1941. sindrom ini meliputi peningkatan
kadar kalsium serum, hiperkalsiuria, peningkatan
ekskresi hidroksi prolin urin, osteopeni, nefrolitiasis dan
gagal ginjal. Paling sering terjadi pada trauma tulang
punggung, polimielitis, strok atau pada pasien
yang mengalami imobilisasi karena dipasang traksi dan
lain-lain.
Dari suatu studi yang dilakukan Sato, diketahui bahwa
terdapat hubungan yang erat antara insidensi fraktur
pangkal paha (hipfractur) dengan pasca strok. Terutama
pada wanita usia Janjut yang mengalami jatuh. Insidensi
fraktur pangkal paha ini sekitar 4-15% dan 79% terjadi pada
sisi yang mengalami kelumpuhan (hemiplegia). Penurunan
massa tulang rata-rata terjadi 11,3 minggu pasca strok.
Pada 484 minggu pasca strok, sisi hemiplegi akan
kehilangan massa tulang 21 % sedangkan sisi normal 4,5%.
Hasil pemeriksaan
densitometri
massa tulang
memperlihatkan bahwa densitas massa tulang sisi yang
tidak mengalami kelumpuhan pada pasien pasca strok
menanglami penurunan dibanding orang normal. Pada leher
femur terdapat perbedaan densitas massa tulang sisi
hemiplegi dengan nonhemiplegi yaitu 6,3% pada wanita
pasca strok mempunyai korelasi dengan luasnya lesi pada
otak (hemisfer korteks serebri). Kadar 25(0H)D pada pasien
pasca strokjuga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan
masukan yang kurang dan pasien tidak terpapar dengan
sinar ultraviolet (pada perawatan di rumah, 75% pasien
tidak terpapar dengan matahari sedangkan yang dirawat
di rumah sakit 100%).

2690
Kadar 25(0H)D merupakan pemeriksaan yang sensitif
untuk menentukan indeks kandungan vitamin D aktif.
Kadar normal 25(0H)D didalam serum> 20ng. Defisiensi
25(0H)D bila kadarnya < lOng dan insufisiensi bila
10-20ng.Pada pasien pasca stroke dengan hemiplegi dalam
studi ini ditemukan :
Enam puluh empat persen pasien rawat jalan dan 82%
pasien rawat inap mengalami defisiensi vitamin D
Tiga puluh satu persen pasien rawat jalan dan 16%
rawat inap mengalami insufisiensivitamin D
Di Amerika, lnggris dan Jepang, pasien usia lanjut
dengan penyakit kronik yang jarang keluar rumah ternyata
mengalamidefisiensivitaminD.
Pada beberapa kasus ditemukan peningkatan kadar
hormon paratiroid karena kompensasi terjadinya defisiensi
25(0H)D.
Sorva dan kawan-kawan melakukan penelitian pada
pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi. Studi
tersebut mendapatkan bahwa peningkatan resorpsi tulang
tidak disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder tetapi
terjadi peningkatan resorpsi primer. Pemberian vitamin D
tidak memperlihatkan efek yang diharapkan. Mobilisasi
segera ternyata dapat mengurangi efek dari imobilisasi ini.
Patogenesis Hiperkalsiuria pada lmobilisasi
Mekanisme pasti hiperkalsemia dan hiperkalsiuria pada
imobilisasi masih belumjelas. Tetapi peningkatan proses
resorpsi massa tulang melalui aktivasi osteoklas atau
penurunan proses formasi massa tulang. Secara histologi
pada biopsi tulang panggul ditemukan peningkatanjumlah
osteoklas dan mencapai puncaknya 16 minggu setelah
imobilisasi. Hal ini juga bersamaan dengan peningkatan
sekresi hidroksiprolin urin. Formasi tulang menurun
dengan bukti pengurangan osteosit dan mineralisasi tulang.
Imobilisasi menginduksi hiperkalsemia seperti high
bone turn over pada anak dan orang tua. Hal ini dapat
diketahui dengan mengukur ion kalsium dan kalsium
nonionik. Peningkatan kalsium serum ini mempunyai
korelasi yang erat dengan indeks Barthel. Secara
meyakinkan ditemukanpeningkatankonsentrasipyrinoline
cross/inked carboxyterminal telopeptide (ICTP). ICTP
adalah suatu kolagen tipe I dan merupakan petanda
aktivasi resorpsi tulang oleh osteoklas. Adanya
hiperkalsemia ini akan menghambat sekresi hormon
paratiroid. Jadi akan ditemukan kadar hormon paratiroid
rendah atau normal. terjadijuga defisiensi atau insuf isiensi
vitamin D karena intake yang buruk, kurang mendapat
sinar matahari atau karena keduanya.
Aktivitas dan imobilisasi mempunyai pengaruh pada
tulang. Menurut hukum Wolfe's formasi dan resorpsi
tulang dipengaruhi secara langsung oleh stres lokal pada
tulang. Stres (tekanan) terutama pada tulang penyangga
tubuh dan regangan kontraksi otot. Terdapat 4 model yang
sering dipakai untuk melihat pengaruh imobilisasi pada

REUMATOLOGI

tulang yaitu istirahat total, lingkungan bebas gaya


gravitasi (ruang angkasa), paralisis, imobilisasi
sebagian seperti pada traksi. Semua keadaan ini terbukti
meningkatkan kehilangan massa tulang. Pada percobaan
binatang, kehilangan massa tulang mulai terjadi sekitar 30
jam setelah imobilisasi. Penurunan massa tulang ini
bervariasi yaitu mulai hari ketiga sampai hari ke 10 setelah
imobilisasi. Tulang penyangga tubuh paling sering
mengalami kehilangan massa tulang. Dalam beberapa
minggu akan terjadi kehilangan kalsium total tubuh 4%.
Pada minggu 30- 36 imobilisasi, vertebra akan kehilangan
massa tulang sekitar 1 % dan kalkaneus sekitar 25 - 45%.
Kecepatan kehilangan massa tulang paling tinggi terjadi
pada minggu ke 16 imobilisasi. Massa tulang akan kembali
normal melalui mobilisasi secara cepat dan adekuat tetapi
struktur tulang yang ada tidak sebaik sebelum masa
imobilisasi.
Respons tulang terhadap adanya tekanan I stres secara in
vivo dibedakan atas tipe mekanik, yaitu :
Tekanankompresi akan meningkatkanmassa tulang dan
regangan akan meningkatkan resorpsi tulang. Jadi
osteosit dan osteoblas mempunyai kemampuan untuk
memberikan sinyal dalam formasi dan resorbsi tulang.
Di samping itu terdapat perubahan growth factor
(IGF,TGF~, BMPs, FGF,PDGF) yang tersimpan dalam
tulang.
Potensial elektrik endogen akan menurun karena beban
mekanik yang berkurang selama imobilisasi. Hal ini akan
mengurangi growth factor. Kekurangan growth factor ini
akan mempengaruhi aktivitas osteoblas. Osteoblas akan
melepaskan IL-1 dan TNFa sehingga memacu aktivasi
osteoklas. Damien dan kawan-kawan melakukan studi
terhadap tikus yang dilakukan imobilisasi pada kedua
tungkai depan. Dari basil pemeriksaan histomorfometri
didapatkan korelasi peningkatan IL-1 dan TNFa oleh
osteoblas dengan reseptor estrogen. Diduga imobilisasi
memberikan efek yang sama dengan defisiensi estrogen.
Didugasinyalelektrikendogeninimemilikicarakerja seperti
estrogen dan memacu aktivitas-aktivitas formasi tulang.
Kehilangan beban mekanik ini menyebabkan elektrik
endogen akan menurun. Osteoblas melepaskan mediator
inflamasi memberikan sinyal ke osteoklas untuk memacu
resorpsi tulang.
Peningkatan resorpsi menyebabkan hiperkalsemia.
Hiperkalsemia akan menimbulkan efek umpan balik
terhadap hormon paratiroid sehingga kadar hormon
paratiroidberkurang. Kadar hormon paratiroid yang rendah
mengakibatkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal
menurun sehingga terjadi hiperkalsiuria. Di samping itu
hormon kalsitonin akan meningkat untuk menghambat
resorpsi tulang yang berlebihan oleh osteoklas. Kalsitonin
sendiri diperkirakan mempunyai efek menghambat
timbulnya reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal. Hal ini
semuanya akan menimbulkan suatu keseimbangan negatif

2691

HIPERKALSEMIA DAN HIPOKALSEMIA

dari nitrogen dengan manifestasi peningkatan ekskresi


kalsium urin dan feses.
Osteoporosis dapat terjadi setelah imobilisasi yang
lama seperti strok atau koma. Pada strok lebih banyak
mengenai bagian tubuh yang lumpuh. Pada eksperimen
binatang, tungkai yang di imobilisasi dengan cara
menggunakan gips akan menimbulkan osteoporosis lokal.
Sebaliknya, aktivitas lokal akan menambah massa
tulang seperti hipertrofi metatarsal pada penari balet atau
peningkatan massa tulang tangan yang dominan pada
petenis. Dengan latihan yang teratur
ternyata
meningkatkan massa tulang.
Dari kedua ha! ini terlihat bahwa stres (tekanan) yang
diterima oleh tulang-tulang penyangga tubuh mempunyai
peranan dalam resorpsi maupun formasi tulang. Lebih
lanjut, hilangnya massa tulang karena imobilisasi dapat
dikembalikan melalui remobilisasi dengan latihan yang
progresif.
Hiperkalsemia jarang terjadi dan biasanya normal
kecuali pada imobilisasi berat seperti paraplegi. Hal akan
menurunkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal sehingga
menimbulkanhiperkalsiuria.Hiperkalisuriapada imobilisasi
merupakan faktor predisposisi pembentukan batu
ginjal.
GallacherSJ dkk yang mendapatkanhiperkalsemiapada
pasien yang mengalami imobilisasi dengan sepsis
mengajukan postulat bahwa sitokin seperti IL-1 dan TNFa
memberikankontribusipada hiperkalsemiapada imobilisasi
ini. Interleukin 1 dan TNFa merupakan sitokin yang
menstimulasi resorpsi tulang.
David dan kawan-kawanmendapatkan 92% pasien usia
lanjut dengan ventilator di ruang perawatan intensif
mengalami peningkatan kadar N telopeptida urin.
Sebanyak 42% kasus tersebut disertai oleh peningkatan
hormon paratiroid dengan defisiensi vitamin D, 9%
mengalami penurunan kadar hormon paratiroid yang
berhubungan dengan imobilisasi serta 49% didapatkan
hormon paratiroid normal dan berhubungan defisiensi
vitamin D dan imobilisasi.
Kecepatan resorpsi akan menurun secara bertahap
sampai tercapainya suatu keseimbangan setelah 1-2 tahun.
Pada saat ini biasanya terdapat kehilangan trabekular
tulang > 40%. Kehilangan massa tulang sangat cepat pada
tulang penyangga tubuh serta trabekular tulang. Secara
radiologi akan terlihat pada bulan ke 2 atau 3. lebih cepat
pada usia muda atau imobilisasi yang menyeluruh.
Bila dilakukan mobilisasi akan memperbaiki massa
tulang walaupun proses ini berjalan lambat dan
inkomplit.
Pertumbuhan dan remodeling tulang bergantung pada
faktor pertumbuhan lokal dan sistemik, tersedianya
material serta beban mekanis pada tulang. Densitas
dan kekuatan pada tulang berhubungan dengan
tekanan/stres lokal yang dikontrol melalui faktor
pertumbuhan lokal.

HIPOKALSEMIA
Hipokalsemia adalah penurunan kadar kalsium serum
yang dapat terjadi pada beberapa keadaan, seperti
hipoparatiroidisme, defisiensi vitamin D, gangguan
metabolisme vitamin D, hipomagnesemia dan gaga) ginjal
akut atau kronik. Dengan melihat kadar hormon PTH,
hipokalsemiadapat dikelompokkankedalam 2 bagian, yaitu
hipokalsemia dengan kadar PTH yang rendah
(hipoparatiroidisme) dan hipokalsemia dengan kadar PTH
yang meningkat (hiperparatiroidisme sekunder).
Secara klinik, gejala utama hipokalsemia adalah
peningkatan iritabilitas neuromuskuler yang dapat
kesemutan pada ujung-ujungjari dan sekitar mulut. Dalam
keadaan lanjut akan didapatkan tanda Chvostek dan
Trousseau. Tanda Chvostek adalah twitching pada daerah
sekitar mulut bila dilakukan ketokan pada nervus fasialis
di anterior telinga. Tanda Trousseau adalah spasme karpal
yang terjadi bila dilakukan bendungan lengan dengan
menggunakan manset tensimeter pada tekanan 20 mmHg
di atas tekanan sistolik selama 3 menit. Spasmekarpal yang
klasik akan berupa fleksi pergelangan tangan, ekstensi
interfalang dan aduksijari-jari.
Gejala hipokalsemia yang lain adalah kejang otot yang
mengenai pinggang, tungkai dan kaki. Pada keadaan yang
berat dapat timbul spasme karpopedal spontan (tetani),
laringospasme atau bronkospasme, sampai kejang-kejang
umum.
Hipokalsemia berat dapat memperpanjang interval
QT pada EKG yang reversibel setelah hipokalsemia
dikoreksi.

Bone
formation

Mechanical
strain

Gambar 1. Efek mechanical strain terhadap formasi dan resorpsi


tulang

Penatalaksanaan Hipokalsemia Akut


Penatalaksaan hipokalsemia akut ditentukan oleh derajat
dan kecepatan timbulnya hipokalsemia. Hipokalsemia
ringan (Ca serum 7 ,5-8,5 mg/di) yang asimtomatik, cukup
diterapidengankalsiumoral 500-1000mg tiap 6 jam disertai
pengawasan yang ketat. Bila terdapat tetani atau kadar
kalsium serum< 7,5 mg/di, diperlukan pemberian kalsium

2692
intravena. Pemberian kalsium glukonat (90 mg kalsium
elemental/I Oml ampul) lebih disukai daripadakalsium sitrat (272
mg kalsiumelemental/10 ml ampul)karenatidak iritatif.
Mula-mula, dapat diberikan 1-2 ampul kalsium glukonat
dalam 50-100 ml dekstrosa 5% dan diberikan per-infus
5-10 menit. Dosis ini dapat diulang bila masih didapatkan
gejala hipokalsemia.Hipokalsemiayang berat dan persisten
dapat diberikan kalsium per-drip dalam jangka waktu yang
lebih lama, misalnya 15 mg/kgBBkalsium elementaldiinfus
selama 4-6 jam. Secara praktis dapat dilakukan dengan
melarutkan 10 ampul kalsium glukonat dalam 1 liter
dekstrosa 5% dan diinfus dengan kecepatan 50 ml/jam
(45 mg kalsium elemental/jam). Larutan yang lebih pekat
dari 200 mg kalsium elemental/I 00 ml dekstrosa 5% harus
dihindari karena akan bersifat iritatif terhadap vena maupun
jaringan disekitarnya bila terjadi ekstravasasi.
Pada hiperkalsemia berat dan persisten, juga harus
dipikirkan kemungkinan pemberian kombinasi kalsium
oral 1-2 gram/hari dan l,25(0H)2D 0,5-1,0 mgr/hari.
Pada keadaan hipomagnesemia, maka terapi terhadap
hipomagnesemia juga harus dilakukan selain terapi
terhadap hipokalsemianya.

HIPOPARATIROIDISME

Hipoparatiroidisme adalah produksi hormon PTH yang


tidak mencukupi untuk mempertahankan kadar kalsium
ekstraselular dalam batas normal. Secara umum, penyebab
hipoparatiroidisme dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu:
Kelenjar paratiroid yang tidak berkembang,
Destruksi kelenjar paratiroid,
Penurunan fungsi kelenjar paratiroid,
Aksi PTH yang terganggu.
Secara klinis, hipoparatiroidisme akan menunjukkan
gejala-gejala hipokalsemia pada berbagai tingkatan
tergantung pada derajat hipoparatiroidismenya dan
hipokalsemianya.
Secara biokimia, akan tampak gambaran hipokalsemia,
hiperfosfatemia, PTH yang rendah atau tidak terdeteksi,
dan kadar 1,25(0H)p yang rendah. Untuk membedakan
dengan PTH yang resisten, dapat dilakukan tes EllsworthHoward, 'yaitu dengan pemberian PTH bioaktif dan akan
tampak peningkatan ekskresi cAMP urin dan fosfat urin.
Pada gambaran radiologik dan CT-scan kepala, akan
tampak kalsifikasi basal ganglia.
Penatalaksanaan hipoparatiroidisme bertujuan untuk
memperbaiki kadar kalsium dan fosfat serum senormal
mungkin. Dalam hal ini dapat diberikan preparat kalsium
dan vitamin D. Pada umumnya kebutuhan kalsium elemental adalah 1 g/hari. Dengan membaiknya kadar kalsium
plasma, maka hiperkalsiuria akan bertambah karena efek
PTH di ginjal tidak ada. Bila hiperkalsiuria tetap terjadi dan
kadar kalsium plasma tidak dapat mencapai kadar 8 mg/di,

REUMATOLOGI

maka dapat ditambahkan diuretik tiazid. Bila kadar kalsium


serum sudah normal, sedangkan kadar fosfat serum tetap
di atas 6 mg/di, maka perlu diberikan antasid yang tidak
diabsorpsi untuk mengurangi hiperfosfatemia dan
mencegah kalsifikasi metastatik.

PSEUDOHIPOPARATIROIDISME

Pseudohipoparatiroidisme (PHP) adalah keadaan klinik


yang secara biokimia ditandai oleh gambaran hipoparatiroidisme, yaitu hipokalsemia dan hiperfosfatemia, tetapi
sekresi PTH meningkat danjaringan target tidak berespons
terhadap aktivitas biologis PTH. Seringkali PHP disertai
dengan kelainan perkembangan yang disebut Albright s
hereditary osteodystrophy (AHO) yang terdiri dari tubuh
pendek, muka bundar, obesitas, brakidaktili dan osifikasi
subkutan. Untuk membedakan dengan hipoparatiroidisme,
dapat dilakukan tes Ellsworth-Howard (lihatdi atas).

HIPOMAGNESEMIA

Hipomagnesemia temyata ditemukan lebih banyak dari


dugaan sebelumnya. Umurnnya hipomagnesemia terjadi
akibat pembuangan yang berlebihan baik lewat saluran
cema maupun ginjal. Pembuangan Mg lewat saluran cema,
biasanya disebabkan oleh vomitus, diare, sindrom
malabsorpsi dan reseksi usus. Sedangkan ekskresi Mg
lewat urin tergantung dari reabsorpsi di tubulus yang
bersifat proporsional dengan Natrium dan Kalsium.
Pembuangan Mg yang berlebihan Jewat urin akan
dipengaruhi oleh terapi cairan terutama NaCl 0,9%,
kelebihan cairan dalam tubuh dan hiperaldosteronisme
primer. Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria juga akan
menghambat reabsorpsi Mg di ginjal sehingga akan
meningkatkanekskresiMg dan hipomagnesemia.Penyebab
lain ekskresi Mg yang berlebihan adalah diuresisosmotik,
misalnya akibat steroid dan juga diabetes melitus.
Secara klinis, hipomagnesemia ditandai oleh
hipereksitabilitas neuromuskuler, termasuk tetani dan
dapat ditandai oleh tanda Chvostek dan Trousseau. Pada
EKG akan didapatkan perpanjangan interval PR dan QT
danAritrnia.
Secara laboratoris, akan didapatkan hipokalemia
karena hipomagnesemia akan menyebabkan kehilangan
Kintrasel dan gangguan konservasi K oleh ginjal.
Hipokalseniia juga merupakan gejala utama hipomagnesemia. Dalam keadaan normal perubahan
kadar Mg yang akut akan mempengaruhi sekresi PTH
sama dengan perubahan kadar kalsium. Penurunan
kadar Mg yang akut akan merangsang sekresi PTH,
sebaliknya hipermagnesemia akan menghambat sekresi
PTH. Walaupun demikian, hipomagnesemia kronik akan

2693

HIPERKAlSEMIADANHIPOKAUEMIA

mengganggu sekresi PTH dan hal inilah nampaknya yang


menjadi penyebab hipokalsemia pada hipomagnesemia.
Selain itu, hipokalsemia akibat hipomagnesemia juga
menunjukkan resistensi pada ginjal dan tulang terhadap
pemberian PTH eksogen, kalsium dan vitamin D. Resistensi
terhadap vitamin D, kemungkinan disebabkan oleh
gangguan metabolisme vitamin D karena kadar l ,25(0H)2D
rendah. Resistensi ini akan menghilang setelah diberikan
terapi Mg beberapa hari.
Pengobatan hipomagnesemia yang simtomatik dapat
diberikan injeksi 2 g MgS04.7Hp
(16,7 mEq) 50%
intra-muskuler tiap 8 jam atau drip intravena 48 mEq/24
jam, karena injeksi intramuskuler sangat nyeri. Terapi hams
dilanjutkan sampai gejala klinik, hipokalemia dan
hipokalsernia teratasi. Kadar Mg serum yang normal tidak
menunjukkan defisit Mg total dalam tubuh sudah teratasi,
karena Mg ekstraselular hanya I% dari total Mg tuhuh,
dan sebagian besar berada intraselular. Pada pasien
hipomagnesemia yang disertai kejang, harus diberikan
injeksi 8-16 mEq Mg intravena dalam 5-10 menit,
dilanjutkan drip Mg 48 mEq/24 jam. Pemberian Mg hams
berhati-hati pada pasien gangguan fungsi ginjal, bila perlu
dosisnya diturunk:an. Pada pasien dengan kehilangan Mg
yang kronik, dapat diberikan Mg elemental 300-600 mg
dalam dosis terbagi untuk mencegah efek katartik Mg.

RIKETS DAN OSTEOMALASIA


Osteomalasia adalah kelainan pada mineralisasi dan
pertumbuhan tulang akibat aktivitas vitamin D yang
inadekuat, baik akibat defisiensi, maupun resistensi. Bila
timbul pada anak-anak sebelum epiphyseal plate menutup
disebut rikets.
Gejala klinik yang paling sering terlihat adalah nyeri
tulang yang difus terutama di daerah panggul sehingga
menyebabkan pasien pincang (antalgic gait). Selain itu
juga akan timbul kelemahan otot proksimal. Kedua keadaan
ini (nyeri tulang dan kelemahan otot), pada keadaan yang
berat akan menimbulkan disabilitas, sehingga pasien hanya
dapat berbaring atau duduk di kursi roda. Terapi yang
adekuat, seperti pemberian vitamin D atau fosfat atau
koreksi asidosis akan memperbaiki kedua keadaan itu.
Tulang rang terserang osteomalasia, akan mudah fraktur
akibat
yang minimal.
Pada anak-anak yang menderita rikets, akan didapatkan
kelemahan otot, tetani, kaki yang bengkok ( bowing legs),
sendi kostokondral yang prominen yang disebut rachitic
rosary. Pada kepala akan didapatkan kalvarium yang
melunak yang disebut kraniotabes, dan keterlambatan
pertumbuhan gigi yang permanen.
Gambaran radiologik osteomalasia seringkali tidak
spesifik dan sulit dibedakan dengan gambaran radiologik
osteoporosis. Gambaran yang agak spesifik adalah
ditemukannya pseudofraktur atau Looser zones, yaitu
gambaran garis radiolusen dari beberapa mm sampai

trauma

beberapa cm pada tempat masuknya arteri nutrisia ke dalam


tulang yang merupakan stress fracture akibat pulsasi arteri.
Gambaran laboratorium bervariasi tergantung pada
penyebabnya. Pada umumnya didapatkan kadar kalsium
yang rendah atau normal rendah, kadar fosfat inorganik
yang rendah dan 25(0H)D yangjuga rendah.
Defisiensi vitamin D. Merupakan penyebab osteomalasia
yang tersering. Ada 3 penyebab tersering defisiensi
vitamin D, yaitu paparan sinar matahari yang rendah, asupan
vitamin D yang rendah (nutrisional) dan malabsorpsi.
Malabsorpsi dapat terjadi akibat sindrom malabsorpsi di
usus atau kelainan yang mengakibatkan steatorea, seperti
obstruksi bilier dan insufisiensi pankreas.
Vitamin D-DependentRickets (VDDR) type I.Disebut juga
pseudo-vitamin D deficiency, merupakan penyakit herediter
yang bersifat resesif autosomal, yang ditandai oleh kadar
l,25(0H)2D yang rendah akibat gangguan aktivitas
25(0H)D-1 n-hidroksilase di ginjal, sehingga kadar 25(0H)D
didalam serum dapat normal atau tinggi sedangkan kadar
l,25(0H)p
didalam serum sangat rendah. Penyakit ini
sangat jarang, biasanya menyerang anak di bawah 2 tahun,
terutama pada 6 bulan pertama kehidupan dan dapat diatasi
dengan memberikan vitamin D dosis tinggi atau kalsitriol
dosis fisiologik.
Vitamin D-Dependent Rickets (VDDR) type II. Disebut
juga hereditary l,25(0H)p
resistent rickets, merupakan
kelainan yangjarang yangjuga menyerang anak-anak yang
diakibatkan oleh abnormalitas jumlah, afinitas dan fungsi
reseptor 1,25(0H)p intraseluJar, sebingga kadar 1,25(0H)p
didalam serum tinggi, tetapi tidak berfungsi.
Defisiensi kalsium. Dapat terjadi akibat asupan yang
kurang atau ekskresi yang berlebihan lewat urin atau feses.
Ekskresi lewat urin yang berlebih dapat diakibatkan oleh
kebocoran di ginjal atau akibat penggunaan glukokortikoid
atau hiperkalsiuria idiopatik. Terapi pilihan adalah
dengan pemberian kalsium karbonat, karena selain
harganya murah, juga kandungan kalsium elementalnya
cukup tinggi.
Defisiensi fosfat. Dapat disehabkan oleh asupan fosfat
yang rendah, gangguan absorpsi fosfat di usus atau
peningkatan klirens fosfat di ginjal. Hipofosfatemia akan
mengakibatkan peningkatan aktivitas 25(0H)D- l Clhidroksilase di ginjal, sehingga kadar l,25(0H)p
meningkat. Akibatnya akan terjadi hiperkalsemia,
hiperkalsiuria dan peningkatan resorpsi tulang oleh
osteoklas.
X-linked Hypoplwsphatemia (vitamin D-resistent rickets,
VDRR). Disebabkan oleh defek pada transport fosfat
di tubulus ginjal sehingga terjadi pembuangan fosfat yang
berlebihan dan hipofosfatemia. Kelainan ini juga akan
mengakibatkan gangguan metabolisme vitamin D,
sehingga produksi 1,25(0H)p menurun. Kelainan ini

2694
umumnya ditemukan pada anak-anak, tetapi kadangkadang ditemukan secara sporadik pada orang dewasa.
Hipofosfatasia. Merupakankelainanyang diturunkansecara
resesif autosomal dan ditandai oleh rendahnya kadar alkali
fosfatase di serum danjaringan. Mekanisme osteomalasia
pada kelainan ini tidak jelas; diduga akibat kegagalan
hidrolisa pirofosfat yang merupakan inhibitor mineralisasi,
sehingga terjadi defek mineralisasi tulang.
De Toni-Debre-Fanconi Syndrome. Ditandai oleh
fosfaturia, aminoasciduria, glikosuria, bikarbonaturia dan
kadang-kadangasidosis dan hiperkalsiuria.Kelainan tulang
biasanya berhubungan dengan asidosis, hipofosfatemia
dan metabolisme vitamin D yang abnormal.
Sindrom Nefrotik. Diakibatkan oleh pembuangan vitamin
D yang berlebihan lewat urin. Didalam darah, vitamin D
terikat pada a-globulin yang disebut vitamin D-btnding
protein (DBP). Pada sindrom nefrotik, DBP ikut terbuang
lewat urin sehingga vitamin D yang terikat DBP ikut
terbuang. Walaupun demikian, kadar vitamin D bebas
didalam serum tetap dalam batas normal, sehingga
pengukuran kadar vitamin D total dapat menyesatkan.
Penyakit hati kronik. Hati berperan pada hidroksilasi
vitamin D pada posisi 25, walaupun demikian, penurunan
kadar 25(0H)D terutama disebabkan oleh penurunan
sintesis DBP oleh hati, nutrisi yang buruk dan malabsorpsi.
Hipoparatiroidisme. PTH berperan sebagai stimulator
produksi l,25(0H\D, sehingga hipoparatiroidisme akan
mengakibatkan penurunan produksi l ,25(0H\D.
Anti konvulsan. Penggunaan fenitoin atau fenobarbital
jangka panjang akan merangsang enzim sitokrom P450 di
hepar sehingga mengganggu metabolisme vitamin D.
Akibatnyakadar 25(0H)D didalamserumturun, tetapikadar
l,25(0H)p tetap dalam batas normal. Selain itu, fenitoin
juga dapat menurunkan absorpsi kalsium di usus dan
meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun
demikian, penggunaan anti konvulsanjarang menimbulkan
gejala klinik osteomalasia, kecuali bila disertai faktor
predisposisi lain, seperti nutrisi yang buruk atau paparan
sinar matahari yang kurang.
Intoksikasi alumunium. Terjadi akibat asupan kalsium
yang berlebih, misalnya penggunaan pengikat fosfat yang
mengandung Alumunium, atau
anatasida yang
mengandung alumunium atau penggunaan cairan dialisat
yang mengandungalumuniumpada pasien gagal ginjalyang
menjalani hemodialisis. Alumunium akan menghambat
aktivitas PTH dan l u-bidroksilase, menghambat aktivitas
osteoblas dan mengganggu mineralisasi tulang.
Tumor-induced hypophosphatemic osteomalacia.
Diakibatkan oleh produksi faktor humoral oleh tumor
(biasanya mesenkimal) yang akan menekan produksi

REUMATOLOGI

l ,25(0H\D dan reabsorpsi fosfat di ginjal sehingga timbul


fosfaturia dan hipofosfatemia.
Etidronat. Merupakan bisfosfonat generasi I yang dapat
menghambatkristalisasikalsium fosfat,terutamapada dosis
5-10 mg/kgBB. Efek ini tidak didapatkan pada bisfosfonat
lain.
Flourida. Garam ini dapatmerangsangformasitulang,tetapi
dapat mengganggu mineralisasi tulang dengan mekanisme
yang tidak diketahui.

REFERENSI
Abdulmutalib. Osteolisis pada keganasan .. Dalam: Markum HMS,
Hardjodisastro D (eds). Perkembangan Mutakhir Ilmu Penyaskit
Dalam. Bagian Ilmu Penyakit Dalam 1996:109-20.
Bikle DD. Osteomalacia and Rickets. In: Andreoli TE, Mandell GL,
Muray JF et al (eds). Cecil Textbook of Medicine. Vol 2. 19th
ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 1988.p.1406-12
Bilezikian JP. Primary Hyperparathyroidism .
In: Favus MJ et al
(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 1999.p .187-92.
Indridason OS, Quarles LD. Tertiary Hyperparathyroidism
and
Refractory Secondary Hyperparathyroidism .. In: Favus MJ et
al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders
of Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins;l999:1 98-202.
Goltzman D, Cole DEC. Hypoparathyroidism .. In: Favus MJ et al
(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th ed.Philadelphia.: Lippincott Williams
& Wilkins: 1999.p.226-30.
Klein GL. Nutritional Rickets and Osteomalasia. In: Favus MJ et al
(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 1999.p.315-9.
Krane SM. Hyperostosis, Neoplasms and other disorders of bone
and cartilage. In: Isselbacher KJ, Adams RD, Braunwald E, et al
(eds). Harrison's Principles of Internal Medicine. 9th ed. New
York: Mc Graw-Hill Book Co; 1980:1863-9.
Pettifor JM. Nutritional and Drug-induced Rickets and Osteomalacia. In : Favus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases
and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. Washington:
ASBMR; 2003.p. 399-406
Roberts MM, Stewart AF. Humoral Hypercalcemia of Malignancy ..
In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases
and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 1999.p.2083-7.
Shane E. Hypercalcemia: Pathogenesis, Clinical Manifestation,
Differensial Diagnosis and Management. In: Favus MJ et al
(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of
Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins;l999.p.183-7.
Shane E. Hypocalcemia: Pathogenesis, Differensial Diagnosis and
Management. . In: Favus MJ et al (eds). Primer on the
Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism.
4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
1999.p.223-6.

411
NYERITULANG
Bambang Setiyohadi

Ada 5 keadaan yang dapat menyebabkan nyeri tulang,


yaitu:
I. Osteoporosis,
2. Osteomalasia dan rikets,
3. Osteodistrofi renal
4. Osteonekrosis
5. Metastasis keganasan pada tulang.
Pada bab ini hanya akan dibicarakan osteodistrofi
renal dan osteonekrosis karena masalah yang lain telah
dibicarakan pada bab terdahulu.

OSTEODISTROFI RENAL
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi gangguan
fungsi ginjal. Pada gagal ginjal tahap akhir, umumnya sudah
terdapat kelainan histologik tulang. Hampir semua pasien
yang menjalani dialisis, mengidap osteodistrofi renal yang
secara klinis terlihat sebagai gangguan metabolisme
kalsium, fosfor, PTH, dan vitamin D.
Akibat penurunan fungsi ginjal, akan terjadi retensi
fosfat sehingga kadar fosfat serum meningkat dan kadar
kalsium serum menurun. Peningkatan kadar fosfat serum
akan menurunkan kadar 1,25 dihidroksivitamin D, sehingga
kadar kai;ium akan makin menurun karena absorbsi kalsium
menurun. Kadar kalsium dan l ,25 dihidroksivitamin D yang
menurun akan merangsang produksi PTH dan proliferasi
sel-sel kelenjar paratiroid, sebingga terjadi mobilisasi
kalsium dari tulang ke dalam darah. Pada pasien gagal
ginjal, terjadi resistensi tulang terhadap PTH, akibatnya
hiperparatiroidisme akan semakin berat.
Osteodistrofi renal, merupakan kelainan tulang dan
sendi dengan spektrum yang luas yang terjadi pada pasien
gagal ginjal. Kelainan ini ditandai oleb nyeri tulang,
kelemahan otot, deformitas skeletal, retardasi pertumbuban
dan kalsifikasi ekstraskeletal. Ada 4 tipe osteodistrofi

high-bone turnover, low boneturnover,tipe campuran dan amiloidosis.

renal, yaitu

tipe

Osteodistrofi renal tipe high bone-turnover. Kelainan ini


berhubungan dengan retensi fosfat, hipokalsemia,
gangguan produksi l ,25(0H)2D di ginjal, resistensi
skeletal terhadap efek kalsemik PTH dan penurunan
ekspresi VDR dan CaSR di kelenjar paratiroid, sehingga
terjadi hiperparatiroidisme sekunder dan hiperplasi kelenjar
paratiroid yang progresif. Peningkatan produksi PTH pada
tipe ini dapat sangat tinggi, yaitu 20-30 kali nilai normal,
sehingga lebib tinggi daripada keadaan hiperparatiroidisme
primer. Secara bistologik akan tampak gambaran kbas
osteitis fibrosa, yaitu jaringan fibrosa yang berdekatan
dengan trabekula tulang. Akti.vitas osteoklas dan osteoblas
meningkat yang ditandai oleh banyaknya osteoklas dan
osteroblas, lakuna Howship, dan tulang kanselous yang
ditutupi oleb osteoid yang baru terbentuk. Secara
radiologik, akan tampak erosi subperiosteal pada
tulang-tulang panjang, terutama pada tepi falang digital,
ujung klavikula, antara isk:ium dan pubis, sendi sakroiliakal
dan sambungan metafisis dan diafisis pada tulang panjang.
Pada ruas tulang vertebra, akan tampak gambaran
osteosklerosis, sedangkan pada tulang kepala akan tampak
gambaran salt and pepper.
Osteodistrofirenal tipe low bone-turnover. Ada 2 subtipe,
yaitu tipe tulang adinamik dan tipe osteomalasia. Tulang
adinamik ditandai oleh formasi dan turnover tulang yang
di bawah normal. Keadaan ini dapat ditemukan pada 40%
pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis rutin atau
50% pasien yang menjalani dialisis peritoneal. Kadar PTH
hanya meningkat sedikit atau bahkan dalam batas normal.
Pada tipe osteomalasia, akan tampak defek pada mineralisasi
tulang. Intoksikasi alumunium, merupakan penyebab
tersering adinamik tulang dan osteomalasia pada pasien
gagal ginjal. Tetapi kelainan ini sekarang sudah jarang

2696

REUMATOLOGI

didapatkan, karena Alumunium sudah tidak digunakan lagi


sebagai pengikat fosfat. Penyebab lain tipe osteodistrofi
ini adalah diabetes melitus, glukokortikoid, osteoporosis
senilis, suplementasi kalsium dan vitamin D yang
berlebihan. Baik kalsium maupun vitamin D
akan menekankadar PTH didalamserum. Selainitu,kalsitriol
juga akan menekan aktivitas osteoblas bila digunakan
pada pasien yang menjalani hemodialisis secara teratur.
Osteodistroft renal tipe campuran: Gambaran campuran
osteitis fibrosa dan osteomalasiajuga dapat ditemukanpada
sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Kelainan ini
ditandai oleh hiperparatiroidisme sekunder dengan defek
pada mineralisasi tulang. Secara biokimia akan didapatkan
hipokalsemia dan/atau hipofosfatemia dan defisiensi
vitamin
Keadaan ini dapat ditemukan pada pasien
osteitis fibrosa dengan intoksikasi alumunium yang awal,
atau pada pasien intoksikasi alumunium yang mulai
menunjukkanrespons terhadap terapi deferoksamindengan
peningkatan formasi tulang.

Amiloidosis pada gaga/ ginjal. Dapat ditemukan pada


pasien gagal ginjalkronik yang telah menjalanihemodialisis
lebih dari 7-10 tahun. Keadaan ini disebabkan oleh deposisi
serat amiloid yang terdiri dari 1}2-mikroglobulin (jl2M).
Pada pasien akan didapatkan k:ista tulang multipel, fraktur
patologik, artritis sckapulohumeral yang erosif, sindrom
terowongankarpal dan spondiloartropati.Secarahistologik,
serat amiloid jl2M mirip dengan amiloid AA, tetapi serat
amiloid 1}2M banyak didapatkan di daerah osteoartikular,
sehingga menimbulkan gejala muskuloskeletal. Secara
radiologis,kista multipel akan ditemukanpada ujung-ujung
tulang panjang, terutama pada kaput humeral dan kaput
femoris.
Penatalaksanaan. Tujuan pengobatan Osteodistrofi renal
adalah ( 1) mempertahankankadar kalsium dan fosfat dalam batas
normal; (2) mencegah kalsifikasi ekstraskeletal; (3)
mencegah bahan-bahan toksik seperti alumunium dan
kelebihan besi; (4) menipertimbangkan penggunaan
steroid vitamin D dan pengikat fosfat; (5) secara selektif
menggunakan chelating agent seperti deferoksamin untuk
mengatasi intoksikasialumunium. Sumber utama penyebab
osteodistrofi renal adalah retensi fosfat, oleh sebab itu diet
rendah fosfat dan penggunaan bahan pengikat fosfat
sangat penting sekali pada penatalaksanaan gagal ginjal
kronik. Pengikat fosfat yang baik adalah kalsium karbonat
dan kalsium asetat yang hams dimakan bersamaan dengan
waktu makan agar efek pengikatan fosfatnya maksimal.
Kalsium sitrat juga dapat digunakan, tetapi sitrat
akan meningkatkan absorpsi alumunium, sehingga
penggunaannya tidak dianjurkan. Penggunaan sterol
vitamin D, seperti kalsitriol, kalsifediol, In-Ol'l-D dan
dihidrotakisterol sangat efektif untuk mengatasi
hiperparatiroidismesekunder,bila hipokalsemiatidak dapat
diatasi walaupun kadar fosfat sudah dalam batas normal.

Pemberiankalsitrioldapat dimulai dengan dosis harianyang


rendah dan dinaikkan secara bertahap sesuai dengan
respons kliniknya, biasanya digunakan dosis 0,25-1,5 mg/
hari. Pada pasien hemodialisis, kalsitriol dapat diberikan
intravenabersamaan dengan waktu dialisisnya.Pada pasien
dengan dialisis peritoneal, kalsitriol juga dapat diberikan
intermiten 2-3 kali per-minggu dengan dosis per-kali yang
lebih besar daripada dosis harian, misalnya 0,5-4,0 mg/kali,
3 kali per-minggu atau 2,0-5,0 mg/kali, 2 kali per-minggu.
Bila timbul hiperkalsemia setelah beberapa bulan
penggunaan kalsitriol dengan kadar PTH dan fosfatase
alkali kembali normal dari kadar yang tinggi sebelumnya,
maka hal ini menunjukkan bahwa osteitis fibrosa sudah
teratasi. Tetapi bila hiperkalsemia terjadi pada mingguminggu awalpemberiankalsitriol,maka hal ini menunjukkan
adanya osteodistrofi renal dengan low bone turnover
(misalnya karena intoksikasi alumunium) atau adanya
hiperparatiroidismesekunderyang berat. Dalam hal ini, bila
intoksikasi alumunium dapat disingkirkan, maka
diindikasikan untuk melakukan paratiroidektomi. Indikasi
spesifik paeratiroidektomi adalah ( 1) hiperkalsemia
persisten, dengan kadar kalsium di atas 11-12 mg/dl; (2)
pruritus yang tidak dapat diatasi dengan dialisis yang
intensif atau pengobatan medik lainnya; (3) kalsifikasi
ekstrasekeletal yang progresif atau hiperfosfatemia yang
persisten walaupun telah diberikan diet rendah fosfat yang
ketat dan bahan pengikat fosfat; (4) nyeri tulang yang berat
atau fraktur patologis; (5) timbulnya kalsifilaksis. Dalam
ha! ini, penyebabhiperkalsemiayang lain, sepertiintoksikasi
vitamin D atau sarkoidosis hams disingkirkan.

OSTEONEKROSIS

Disebut juga ischemic bone necrosis, avascu/ar necrosis


atau aseptic necrosis. Kelainan ini dapat terjadi akibat
beberapa keadaan klinis, misalnya akibat penyakit tertentu
(seperti penyakit Gaucher), akibat pengobatan (misalnya
glukokortikoid),keadaan fisiologik atau patologik tertentu
(kehamilan, tromboemboli)atau tidak diketahui (idiopatik).
Pada umumnya osteonekrosis menyerang ujung-ujung
tulang panjang, misalnya kaput femoris atau kaput burner;
tetapi dapat juga menyerang tulang lainnya.
Kematian tulang terjadi akibat putusnya vaskularisasi
arterike tulang,baik karena oklusi, vaskulitis,embolilemak,
perdarahan, kelainan jaringan tulang, maupun akibat
penekanan sinusoid, misalnya pada proses infiltratif
(seperti pada penyakit Gaucher) atau peningkatan adiposit
di dalam sumsum tulang karena efek toksik terhadap
liposit (misalnya akibat glukokortikoid atau alkohol).
Akibat osteonekrosis akan terjadi peningkatan tekanan
intraoseus (IOP) yang akhimya akan menjadi lingkaran
setan, karena iskemia dan kerusakan sel akan bertambah
berat.

2697

NYERI TUI.ANG

Gejala utama osteonekrosis adalah nyeri tulang pada


area yang terserang. Keadaan ini harus dicurigai pada
pasien yang menggunakan steroid dosis tinggi atau jangka
panjang yang mengeluh nyeri tulang. Pada stadium awal,
osteonekrosis tidak menunjukkan gambaran radiologik
yang bermakna dan diperlukan pemeriksaan MRI untuk
mendeteksinya.Pada stadium Ianjut akan tampak gambaran
osteosklerosis, rusaknya kaput femoris sampai kolaps
kaput femoris.
Menurut Arlet dan Ficat, osteonekrosis dapat dibagi dalam
5 stadium, yaitu :
Stadium O : manifestasiklinik dan radiologik tidak ada, tetapi
gambaran MRijelas
Stadium I
: manifestasiklinik ada, radiologik tidak ada,
MRljelas
Stadium II : gambaran osteopenia dan osteosklerosis
pada radiologik.
StadiumID : kolaps tulang awal yang ditandai oleh
crescent sign, yaitu tulang Subkortikal
yang translusen dikelilingi oleh area tulang
yangmati
Stadium IV : kolaps tulang lanjut, yaitujlattening kaput
femoris
Pada stadium 0, I, II, penatalaksanaan dapat dilakukan
secara konservatif atau dilakukan dekompresi untuk
mengurangi tekanan intra-osseus. Penatalaksanaan
konservatif meliputi penggunaan analgesik, terapi fisik
untuk menguatkan otot dan mencegah kontraktur dan
penggunaan alat bantu untuk mobilisasi. Bila nyeri tetap
berlanjut atau pada stadium III dan IV, perlu dilakukan
tindakan artroplasti. Pada osteonekrosis yang menyerang
sendi yang bukan penopang berat badan, tidak diperlukan
intervensi bedah, karena nyerinya ringan dan gangguan
fungsionalnya tidak berat.
Legg-Calve-Perthes Disease (LCPD). Merupakan
osteonekrosis idiopatik pada epifisis kaput femoris anakanak umur 2-12 tahun, yang tidak diketahui penyebabnya,
tetapi didapatkan terputusnya aliran darah ke epifisis kaput

femoris. Akibatnya osteoblas, osteosit dan sel sumsum


tulang mati; kalsifikasi endokondral terhenti, tetapi
pertumbuhan rawan sendi tetap baik karena mendapat
nutrisi dari cairan sinovial. Proses revaskularisasi ke area
yang nekrosis kemudian akan terjadi, dimulai dari daerah
perifer ke sentral, dan tulang baru akan tumbuh pada
permukaan korteks subkondral atau daerah trabekular di
sentral area yang nekrosis diikuti dengan pembersihan
tulang yang nekrosis. Proses resorpsi tulang akan lebih
aktif dibandingkan dengan proses formasi tulang, sehingga
tulang subkondral menjadi lemah. Bila tulang trabekular
mengalarnikolaps, maka episoda nekrosis yang kedua akan
timbulkembali.Nyeritulangbiasanyatimbulbila ada fraktur.
Biasanya anak-anak dengan LCPD akan pincang bila
berjalan disertai nyeri pada daerah lutut atau bagian
anterior tungkai atas dengan keterbatasan gerak pada koksa,
yang disertai abduksi dan endorotasi. Prognosis LCPD
tergantung pada beratnya penyakit, deformitas kaput
femoris dan proses penyembuhannya. Dalam jangka
panjang, seringkaliLCPD berkembangmenjadi osteoartritis
sekunder. Pada anak perempuan, prognosis LCPD akan
lebih buruk dibandingkan anak laki-laki, karena anak
perempuan lebih cepat matang secara seksual
dibandingkan laki-laki sehingga lempeng pertumbuhan
lebih cepat menutup dan tidak memberikan kesempatan
bagi kaput femoris untuk melakukan modeling.

REFERENSI
Alarcon GS. Osteonecrosis. In: Klippel JH, editor. Primer on the
rheumatic diseases. 12'b edition. Atlanta:Arthritis Foundation;
2001.p.503-6.
Goodman WG, Coburn JW, Slatopolsky E, et al. Renal osteodystrophy in adults and children. In : Favus Ml.editor.Primer on the
metabolic bone diseases and disorders of mineral metabolism.
5th edition. Washington:ASBMR;2003.p.430-48.
Krane SM, Holick MF. Metabolic bone disease. In: Isselbacher KJ,
Adams RD, Braunwald E, et al,edition. Harrison's principles of
internal medicine. 9th edition. New York :Mc Graw-Hill Book;
l 980.p.1849-60.

412
REUMATIK EKSTRA ARTIKULAR
Blondina Marpaung

PENDAHULUAN

Reumatik ekstra artikular (REA) adalah sekelompok


penyakit dengan manifestasi klinik umumnya berupa nyeri
dan kekakuan pada jaringan lunak, otot, atau tulang, tanpa
hubungan yang jelas dengan sendi bersangkutan ataupun
penyakit sistemik, serta tidak semuanya dapat dibuktikan
apa penyebabnya.
Walaupun penyebab penyakit ini belum semuanya
diketahui dengan pasti, namun terdapat dugaan kuat
adanya faktor pencetus yang dapat menimbulkan
penyakit ini, seperti beban kerja yang berlebihan, trauma,
kelainan postural, usia yang lanjut, degenerasi jaringan
ikat, dan juga beban stres psikologis seperti ketegangan
jiwa, depresi berat ataupun frustrasi.
Reumatik ekstra artikular dapat diklasifikasikan dalam 5
kategori yaitu:
Tendonitis dan bursitis seperti epikondilitis lateral
(tennis elbow) dan bursitis trokanter
Gangguan struktural seperti sindrom nyeri akibat kaki
datar dan sindrom hipermobiliti.
Neurovascular entrapment seperti sindrom carpal
tunnel dan sindrom thoracic outlet.
Sindrom miofasial regional dengan trigger point yang
hampir sama dengan fibromialgia tetapi distribusi nyeri
bersifat lokal, seperti pada sindrom sendi temporomandibular.
Sindrom nyeri generalisata seperti fibromialgia
dan sindrom multipel bursitis-tendonitis, kejadiannya
lebih sering, bersifat kronik dan sulit untuk diterapi.

EPIDEMIOLOGI

Penyakit REA ini dapat dijumpai pada setiap golongan


umur dalam derajat yang berbeda-beda, namun hanya

,L_

sebagian kecil saja yang memberikan keluhan yang berat


sehingga memerlukan pengobatan khusus.
Beberapa peneliti membuktikan bahwa penyakit ini
lebih banyak dijumpai pada perempuan daripada
pria dengan perbandingan 2: 1. Penelitian di Indonesia
menunjukkan bahwa penyakit ini juga cukup banyak
dijumpai. ARN asution dkk di Jakarta (1983) mendapatkan
25% dari 4902 kasus penyakit reumatik yang berobat di
RS Cipto Mangunkusumo. Di Medan, RS Dr. Pirngadi
(1983) OK Moehad Sjah mendapatkan 10% dari kasus
penyakit reumatik yang berobat adalah REA. Indrawan
Mardik dkk di Semarang ( 1983) mendapatkan 41 % dari 67
pasien reumatik yang diselidiki termasuk reumatik ekstra
artikular, sedangkan Soenarto dkk di Semarang (1981)
mendapatkan 1 kasus REA dari 65 kasus penyakit reumatik
menahun yang diselidikinya.

FAKTOR PENYEBAB

Ada 3 penyebab utama nyeri dan inflamasipada REA yaitu:


Mekanikal
Nyeri dapat terjadi oleh karena trauma, baik akut maupun
kronik. Inflamasi yang selanjutnya terjadi akan
menyebabkan pergerakan abnormal sekunder dan
penambahan peregangan. Mekanisme ini yang terjadi pada
beberapa entesopati dan bentuk-bentuk tenosinovitis atau
bursitis tertentu. Di mana strukturnya menjadi teriritasi
secara mekanis
lnflamasi
Inflamasi dapat terjadi akibat salah satu penyakit reumatik
klasik. Nyeri osteoartritis sering berasal dari struktur
periartikular.

2699

REUMATIK EKSTRAAIUIKULAR

Deposisi Kristal
Deposisi kristal kalsium sering dijumpai pada jaringan
periartikular dan berperan penting dalam menginduksi
reaksi inflamasi intermiten.

DESKRIPSI REUMATIKEKSTRAARTIKULAR
Beberapa REA yang penting dan sering dijumpai pada
umumnya diklasifikasikan dalam 4 bentuk di bawah ini.

PeriartritisKalsifik
Karakteristik periartritis kalsifik adalah dijumpainya
deposisi agregat kristal yang mengandung kalsium di
sekitar sendi. Biasanya mengandung hidroksiapatit,
meskipun kadang dijumpai kristal kalsium pirofosfat
dihidrat. Tempat yang biasanya dijumpai adalah pada
tendon supraspinatus dekat sendi bahu; sendi interfalang
distal dan sendi panggul apakah pada tendon rektus
femoris ataupun trokanter mayor femoris

Entesopati
Karakteristik entesopati adalah tenderness dan inflamasi
terlokalisasi pada insersi ligamen atau tendon. Dapat terjadi
oleh karena peregangan traumatik atau akibat inflamasi
reumatik yang mendasarinya. Contoh yang paling sering
adalah 'ten is elbow' atau epikondilitis lateral dan
tendinitis achilles. Beberapa contoh
lain adalah
epikondilitis medial (epitrokleitis atau seringjuga disebut
golfers elbow), periartritis panggul, tendinitis pes
anserinus.

Tenosinovitis
Tenosinovitis berbeda dengan entesopati. Pada entesopati
insersi tendon dan ligamen teriritasi, sementara pada
tenosinovitis
sarung tendon sinovial mengalami
inflamasi.Oleh karena itu tenosinovitis merupakan bagian
dari sinovitis umum dan sering dijumpai pada penyakit
reumatik.contoh tenosikonitis de quervein

Bursitis
Bursa sinovial dapat mengalami inflamasi dan nyeri pada
suatu penyakit inflamasi sinovial sistemik seperti pada
artritis reumatoid. Dapat menjadi rusak oleh karena trauma
pada penonjolan tulang seperti pada lutut atau olekranon
siku.
Di bawah ini dideskripsikan beberapa penyakit reumatik
ekstra artikular berdasarkan lokasi bagian tubuh yang
dikenai.

Bahu
Berbagai kelainan reumatisme ekstra artikuler di bahu antara
lain:

Rotator cuff tendinitis (impingement syndrome). Rotator


cuff tendinitis adalah penyebab nyeri bahu yang paling
sering dijumpai yang menyebabkan peradangan tendon
pada subskapularis, supraspinatus, infraspinatus dan teres
mayor yang disebabkan oleh deposit mikrokristal,
penggunaan berlebihan, penekanan tendon atau penyakit
degeneratif pada usia tua. Dicurigai adanya penyakit ini
bila terdapat nyeri waktu abduksi aktifterutama pada sudut
60 -120 o, nyeri hebat pada otot deltoid lateral dan nyeri
biasanya dijumpai pada malam hari. Pada kasus yang lebih
berat, nyeri dimulai pada awal abduksi dan dilanjutkan
sepanjang range ofmotion (ROM). Spesifik dari pergerakan
bahu ini adalah nyeri hebat terutama bila gerakan abduksi
dikombinasi dengan rotasi. Progresivitas penyakit ini bisa
ditemukan dalam keadaan akut maupun kronis. Pengobatan
dengan: istirahat, obat oral anti inflamasi nonsteroid
(NSAID), fisioterapi (pemanasan, ultrasound) maupuri
injeksi Jokal kortikosteroid.

Frouzen shoulder syndrome. Pada penyakit ini terdapat


keterbatasan gerak artikulus glenohumeral dan pada
akhimya sendi tersebut sukar digerakkan karena nyeri.
Nyeri dirasakan pada bagian atas humerus dan menjalar ke
lengan atas bagian ventral, skapula, lengan bawah, serta
dirasakan terutama jika lengan atas digerakkan dan biasanya
kambuh pada malam hari. Pasien datang dengan keluhan
nyeri dan ngilu pada bahu serta gerakan sendi yang terbatas
terutama dengan gerak abduksi dan elevasi. Terjadi
obliterasi kapsul sendi serta fibrosis jaringan peri-kapsular
atau periartritis sendi bahu. Biasanya menyerang individu
di usia di atas 40 tahun, perempuan lebih sering terkena
dibanding laki-laki dan sering sebagai problem sekunder
atau bersamaan dengan penyakit bahu tipe lain, DM,
osteoartritis. Penyebabnya bennacam-macam, tetapi yang
sering adalah fraktur lengan dan bahu serta kontusio
jaringan. Diagnosis ditegakkan dengan gejala klinis, tes
rotasi dan pemeriksaan artrografi akan terlihat kapsulitis.
Pengobatan tergantung pada berat ringannya penyakit,
antara lain dengan: OAINS, injeksi lokal kortikosteroid dan
silokain, fisioterapi dengan (pemanasan, ultrasound, dan
short wave diatermi), manipulasi sendi dengan anestesi
umum dan blok pada ganglion stellate.

TendinitisBisipital; Manifestasi klinis yang dijumpai yaitu


nyeri yang sifatnya lebih difus terdapat di daerah anterior
bahu. Nyeri biasanya kronis dan berkaitan dengan
penekanan tendon bisep oleh akromion. Palpasi di daerah
bisipital akan didapatkan lokasi tenderness dan ditemukan
tingkatan derajat tenderness pada palpasi banding di sisi
kontralateral. Nyeri direproduksi tendon bisipital pada
posisi supinasi lengan bawah yang melawan tahanan
(Yergason 's sign), fleksi baliu melawan tahanan (speed's
test) atau dengan ekstensi bahu. Tendinitis bisipital dan
rotator cuff tendonitis bisa terjadi pada waktu yang
bersamaan. Pengobatan antara lain dengan; istirahat,
fisioterapi dengan (pemanasan, ultrasound), latihan pasif

2700
diik:uti dengan jarak gerakan aktif, OAINS, injeksi lokal
kortikosteroid dosis kecil disekitar sarung tendon.
Thoracic Outlet syndrome. Thoracic outlet syndrome
adalah sekumpulan gejala yang diakibatkan adanya
kompresi di jaringan neurovask:ularpada pleksus brakial
dan arteri/vena subklavikula. Jaringan neurovaskular
tersebut berada di pinggir bawah tulang iga pertama, di
depan otot anterior sklaneus dan di belakang otot medius
sklaneus. Gambaran klinis tergantung pada bagian mana
yang tertekan, apakah pembuluh saraf, pembuluh darah
atau kedua-duanya. Gejala neurologis adalah yang paling
tersering ditemukan berupa nyeri, parestesia, dan hilang
rasa di mana disebarkan dari leher dan bahu ke daerah
lengan dan tangan terutamajari ke 4 dan 5. Tandaawal atau
sudah terjadinya perburukan gejala didapati sewaktu
aktivitas terutama dengan abduksi bahu. Kelemahan dan
atropi dari otot intrinsik sering terlambat ditemukan. Gejala
vaskular yang muncul adalah gangguan membedakan
wama, demam, nyeri aktivitas,danRaynauds phenomenon.
Insidens laki-laki lebih seringterkenadibandingperempuan.
Diagnosis sulit ditegakkan, maka itu diperlukan beberapa
pemeriksaan antara lain denganAdson test didapati denyut
nadi melemah sewaktu menarik napas dalam dan dengan
manuver hiperabduksi di mana lengan diletakkan di atas
kepala, ditemukan penurunan denyut nadi yang
diindikasikan adanya kompresi arteri. pemeriksaan seperti
ini bisa dijumpaipositip pada individunormal. Managemen
terapi adalah secara konservatif ; difokuskan dengan
menjaga postur tubuh dengan baik, relaksasi otot sklaneus
dan pektoralis, mobilisasi skapula dan pasang korset di
daerah otot bahu, injeksi anestesi lokal bila dijumpai
trigger point pada otot sklaneus antikus.
Robekan Rotator Cuff. Robekan spontan rotator cuffpada
orang muda jarang dijumpai bila tidak didapati penyakit
yang mendasarinya, dan biasanya dihubungkan dengan
trauma (terjatuh). Mengetahui adanya robekan yang kecil
atau parsial (menyingkirkan inflamasi) sulit. Pengobatan
sama dengan rotator cuff tendinitis.
Siku
Epikondilitis Lateral (Tennis Elbow) dan Epikondilitis
Medial (Golfer's Elbow). Keadaan ini ditandai dengan ciri
khas nyeri lokal subakut atau kronik pada bagian medial
atau lateral sendi sik:u (regio epikondilus). Timbul akibat
gerakan fleksi dan ekstensi pergelangan tangan berulang
serta rotasi dan supinasi lengan bawah. Karena gerakan
tadi terjadi secara simultan dan berulang, maka timbul
inflamasi dan degenerasi didaerah otot ekstensor dan
fleksor khususnya tendon ekstensor dan fleksor carpi
radialis brevis. tendinitis lateral umurnnya timbul pada
mereka yang menggunakan lengannya secara berlebihan,
rnisalnyamengangkatbeban berat, gemar berkebun,pemain
tenis atau golf, tukang cat, tukang las,tukang kayu, dokter
gigi, terlalu sering berjabatan tangan (para pejabat atau

REUMATOLOGI

politisi). Terjadi pada usia antara 20-50 tahun dan lebih


dominan dijumpai pada laki-laki, serta menyerang lengan
yang dominan tetapi kadang-kadang dapat bilateral. Gejala
klinis ditandai dengan nyeri lokal di sekitar epikondilus
lateral humeri atau epikondilus medialis, tidak dijumpai
hambatan pada pergerakan sendi. Kekuatan menggenggam
berkurang dan terjadi parestesia karena mekanisme
persarafan di nervus radialis terganggu. Nyeri bertambah
berat sewaktu dilak:ukangerakanmenggenggam dan lengan
bawah diekstensikan dengan posisi pergelangan tangan
dalam keadaan pronasi. Nyeri akan berkurang bila
difleksikan lengan dan telapak tangan. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala klinis, tes ekstensi dan
menggenggam. Pengobatan dengan menghindari faktor
pencetus atau penggunaan berlebihan pada otot lengan
bawah, kompres dengan air dingin, imobilisasidengan bidai
mulai pergelangantangan sampai siku, pemberian analgesik
topikalmaupunsistemik,OAINS,injeksilokalkortikosteroid
di daerah epikondilus lateralis dengan anastesi lokal,
fisioterapi dengan diatermi gelombang pendek, program
rehabilitasi dengan latihan khusus meregang dan
menguatkan otot ekstensor lengan atas, tindakan tenotomi.
Bursitis olekranon . Pada bursitis olekranon, bursa yang
menyelubungi prosesus olekranon membesar dan tender.
Inflamasi dapat terjadi akibat pukulan langsung atau iritasi
berulang yang disebabkan seringnya bersandar pada siku.
Juga dapat terjadi sekunderakibatkondisi lain sepertiartritis
pirai atau artritisreumatoid, atau akibat infeksi bila adaport
d' entree bakteri.
Harus dilak:ukan aspirasi bursa dan setelah infeksi
disingkirkan harus dilakukan injeksi kortikosteroid ke
dalam sakus. Bursitis septik perlu dilakukan aspirasi
berulang dan pemberian antibiotik.
Jari dan Tangan
Stenosing Tenosinovitis/Trigger finger (jari pelatuk).
Stenosing tenosynovitis ataujari pelatuk adalah merupakan
inflamasi sarung pembungkus tendon fleksor jari tangan.
Akibatnya beberapa jari-jari tangan tidak dapat
diekstensikan karena sudah terkunci oleh proses metaplasia kartilago membentuk nodul yang terperangkap pada
daerah fibrotik sarung tendon sendi metakarpofalangeal.
Gambaran klinis sangat bervariasi tergantung kepada tendon mana yang terlibat. Dijumpai adanya nyeri lokal pada
jari yang terkena, gerakan makin lama makin kaku sampai
suatu saat jari tak dapat diluruskan kembali yang terasa
terutama pada malam hari serta kadang-kadang dapat
muncul bengkak. Tenosynovitis bisa salah interpretasi
sebagai artritis di daerah pergelangan tangan. Penyakit ini
dapat timbul akibat penggunaan tangan berlebihan atau
berulang, episode trauma pada telapak tangan, terkait
dengan osteoartritis atau rematoid atritis di tangan dan
mungkin disebabkanpenyakit-penyakitidiopatik. Jari yang
sering terkena adalahj ari manis dan ibuj ari dan bila terjadi

REUMATIK EKSTRAARTIKULAR

pada ibujari disebut trigger thumb (ibujari pelatuk). Bila


terkena pada :2: 3 jari tangan, mungkin dapat
dipertimbangkan kaitannya dengan diabetes dan
hipotiroid. Pengobatan adalah dengan mencegah
penggunaan tangan yang berlebihan, imobilisasijari tangan
dengan pembidaian dalam posisi ekstensi selama 10 hari,
fisioterapi dengan ultrasound, OAINS, injeksi infiltrasi
kortikosteroid di sarung tendon, operasi dengan insisi
transversal bila sangat perlu.
Tenosinovitis De Quervain. Adalah peradangan pada
sarung tendon pergelangan tangan yang melibatkan
abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis yang
menimbulkan nyeri lokal pada bagian radial pergelangan
tangan. Keadaan ini sering kali diakibatkan oleh aktivitas
berulang atau penggunaan berlebihan dari ibu jari dan
pergelangan tangan atau muncul setelah kehamilan. Sering
terjadi pada ibu-ibu yang mengangkat bayinya dan pada
orang yang menggunakan tangan dengan aktivitas yang
berulang seperti menyulam, menjahit, berkebun dan
pekerjaan tangan lainnya yang menggunakan jarum atau
rajutan, mengupas buah-buahan. Gejala klinis yang muncul
adalah nyeri pada punggung pergelangan tangan, menjalar
ke ibu jari dan lengan atas sisi radial. Pada pemeriksaan
dapat dijumpai pembengkakan tendon di daerah prosesus
stiloideus radii, panas dan merah. Sedangkankeluhan yang
sering dikemukakan pasien adalah benda yang dipegang
terlepas sendiri dari genggaman tangannya. Diagnosis
disangkakan dengan menggunakan tes Finkeilstein yaitu
nyeri bertambah dengan aduksi ibu jari deviasi ulnar.
Pengobatan dengan imobilisasi dengan pembidaian, injeksi
lokal kortikosteroid pada sarung tendon, OAINS, insisi
sarungtendonbila terapikonservatifselama4 minggu gagal.
Sindrom carpal tunnel Sindrom carpal tunnel adalah
penyebab parestesia dan mati rasa yang paling sering
mengenaijari tanganpertama (ibujari),jari kedua,jari ketiga
dan jari keempat yang disebabkan oleh kompresi nervus
medianus melalui terowongan (tunnel) karpal oseosa
fibrosa. Pada pergelangan tangan, nervus medianus dan
tendon fleksor berjalan melewati suatu terowongan yang
berdinding kaku di mana di bagian dorsal dan sekitamya
dibatasi oleh tulang karpal dan di bagian volar dibatasi
oleh lig~men karpalia transversal. Pada keadaan dimana
terjadipenebalanligamenkarpaliatransversal, adanya nodul
seperti pada rematoid artritis adanya retensi cairan pada
perempuan hamil dapat menyebabkan kompresi nervus
medianus. Penyakit ini sering dihubungkan dengan
kehamilan, edema, trauma, osteoartritis, inflamasi artritis,
gangguan infiltratif (amiloidosis), hipotiroid, DM,
akromegali, penggunaan kortikosteroid dan estrogen.
Gejala klinis yang ditimbulkan diawali dengan gangguan
sensasi rasa seperti parestesia, mati rasa, sensasi rasa geli
pada ibu jari, telunjuk dan jari tengah (persarafan
n.medianus). Timbul nyeri pada jari-jari tersebut, dapat
terjadi pada tangan dan telapak tangan. Mati rasa dan

2701
sensasi geli makin menjadi pada saat mengetuk, memeras,
menggerakkan pergelangan tangan. Nyeri bertambah hebat
pada malam hari sehingga terbangun dari tidur (nocturnal
pain). Kadang kala pergelangan tangan terasa diikat ketat
dan kaku gerak. Selanjutnya kekuatan tangan menurun,
kaku dan terjadi atropi tenar. Pekerjaan yang berisiko
menyebabkan sindromcarpal tunnelyaitu penjahit, pekerja
garmen, juru tulis, juru ketik, penyortir surat, tukang cuci
pakaian, operator komputer. Beberapa pemeriksaan yang
dapat membantu menegakkan diagnosispenyakit ini adalah
tes provokasi (phalen test positip) yaitu nyeri bertambah
dengan ekstensimaksimalatau fleksimaksimalpergelangan
tangan selama 60 detik. Tznnels sign yaitu perkusi ringan
pada n.medianuspergelangantangan timbul rasa nyeri yang
menjalarke lengan danjari I, II, III. Testomiket positifyaitu
pemasangan tensimeter pada lengan atas dan
dipertahankan selama 60 detik di atas tekanan sistolik
kemudian dilepaskan, mengakibatkan rasa seperti ditusuktusuk jarum pada pergelangan tangan. Pemeriksaan
elektromiografi juga dapat menunjukkan gangguan
n.medianus.Diagnosisditegakkanberdasarkangejalaklinis,
tinnel s sign,phalen s test, tes tomiket dan elektromiografi.
Pengobatan dengan pemasangan bidai pada pergelangan
tangan dalam posisi netral, injeksi lokal kortikosteroidpada
area carpal tunnel, bila terapi konservatif gagal maka
dilakukan pembedahan.
Panggul
Bursitis Trokanterik. Bursitis adalah peradangan bursa
yang terjadi pada tempat perlekatan tendon atau otot
dengan tulang oleh sebab yang belum diketahui dengan
jelas. Gejala utama bursitis yaitu nyeri, pembengkakan
lokal, panas dan merah. Meskipun sering, bursitis
trokanterik kerap kali tidak terdiagnosis. Penyakit tersebut
dominan muncul pada usia pertengahan hingga usia tua
dan sedikit lebih sering didapati pada perempuan dibanding
laki-laki. Gejala utamanya adalah nyeri di daerah trokanter
mayor, nyeri tekan di atas daerah panggul lateral dan dapat
menjalar kebawah, ke kaki atau lutut. Rasa nyeri terutama
dirasakan pada malam hari dan bertambah nyeri kalau
dibengkokkan, rotasi internal atau kalau mendapat
penekanan.Nyeri secaraintensifdirasakansewaktuberjalan,
gerakan yang bervariasi dan berbaring pada sisi yang
terkena. Serangan bisa akut tetapi lebih sering secara
bertahap, dengan gejala-gejala yang timbul didapati
berbulan-bulan. Pada kasus kronis, pasien bisa
mengemukakan perasaan nyeri pada lokasi tersebut dan
klinisi sering kali gagal mengetahui penyakit tersebut
sehinggaterlambat untuk dikoreksi.Adakalanya,nyeri bisa
menyerupai radikulopati,menyebar di daerah bagian lateral
paha. Cara terbaik mendiagnosisbursitis trokanterik adalah
dengan mempalpasi area trokanterik dan dijumpainya
tenderness point. Nyeri spesifik didapat dengan tekanan
yang dalam di area trokanterik. Perburukan nyeri bisa

2702
dijumpai dengan gerakan rotasi ekstema dan abduksi
melawan tahanan.Patogenesisyang berperanadalah trauma
lokal dan degenerasi, pada beberapa kasus bisa dijumpai
dengankalsifikasi.Keadaan yang dapat memberi kontribusi
terhadap kejadianbursitis trokanterikyaitu adanyapenyakit
penyerta pada lokasi tersebut seperti OA panggul atau
lumbar spin dan skoliosis. Pengobatan dengan injeksi lokal
kortikosteroid, NSAID, menurunkan berat badan,
memperkuatdan meregangotot gluteusmediusdan iliotibial.
Bursitis illiopsoas (llliopectinial). Bursa illiopsoas
berbatasan; di belakang dengan otot illiopsoas, di anterior
dengan sendi panggul, di lateral dengan pembuluh femoral.
Prevalensinyadijumpai 15% dari seluruhgangguanregional
panggul. Nyeri dijumpai pada sendi paha dan anterior paha
apabila bursa sudah terlibat dan dapat menjalar sepanjang
tungkai dan lutut. Nyeri bertambah berat dalam keadaan
hiperekstensi pasif dari panggul dan kadang-kadang pada
keadaan fleksi terutama dengan adanya tahanan. Guna
menguranginyerinya,pasien memilihposisi fleksidan rotasi
ekstemal panggul. Diagnosis dikonfirmasi dengan adanya
riwayattraumaatau inflamasi artritis,gejalaklinis, fotopolos
dan injeksi zat kontras ke daerah bursa atau dengan MRI.
Secara umum bursitis illiopsoas respons terhadap terapi
konservatif termasuk dengan injeksi kortikosteroid, eksisi
dari bursa dapat dilakukanbila terjadi rekurensi penyakit.
Bursitis ischial (lschioglutea[). adalah peradangan bursa
yang disebabkan oleh trauma atau duduk yang berlamalama pada kursi yang keras (weavers bottom). Gejala klinis
yang utama yaitu adanya nyeri pada bokong (pantat) dan
nyeri sering bertambah berat dalam keadaan duduk atau
tidur telentang dan dapat menjalar ke belakang paha.
Tendernesspoint dapat dijumpaidi daerah tuberositas iskial.
Terapi dengan memakai bantal sebagai alas untuk duduk
dan injeksi kortikosteroid biasanya dapat membantu.
Lutut

REUMATOLOGI

Kista poplitealkerapkali timbul sekunder dari penyakit RA,


OA dan gangguan internal lutut. Klinis yang muncul berupa
pembengkakan yang difus dari betis, nyeri, kadang-kadang
timbul eritema dan edema dikaki. Konfirmasi dengan arthrogram lutut bisa mengetahui adanya kista dan
kemungkinan diseksi atau ruptur. Ultrasound dipakai
membantu menegakkan diagnosa dan memonitor
perkembangan penyakit. Jika diperlukan, venogram bisa
menyingkirkankemungkinanadanya tromboflebitis.Terapi
dengan injeksi lokal kortikosteroid di daerah sendi lutut
biasanya cepat mendapat perbaikan dan jika kista timbul
akibat OA atau gangguan internal lutut dapat dilakukan
pembedahan dengan memperbaiki Iesi sendi guna
mencegah rekurensi kista.
Bursitis anserina. Bursitis anserina sering disalahtafsirkan
sebagai OA lutut pada orang dewasa. Tampak dominan
patia perempuan bertubuh gemuk, dijumpai pada usia
pertengahan hingga usia tua dan sering didapati bersamaan
dengan OA lutut. Klinis yang muncul yaitu rasa nyeri,
tenderness, kadang-kadang membengkak dan terasa panas
di bagian medial inferior dan distal garis sendi lutut. Nyeri
bertambah berat bila naik tangga. Cedera (trauma),
penggunaan berlebihandan inflamasimerupakan penyebab
dari kasus ini. Cedera bursa anserina terjadi karena tekanan
3-5 cm ke arah distal pada medial artikularline dan semakin
parah bila lutut difleksikan. Terapi dengan istirahat,
peregangan otot adduktor dan kuadrisep, injeksi
kortikosteroid di daerah bursa.
Bursitis prepatelar (Housemaid's knee). Manifestasiklinis
berupa bengkak superfisial pada tempurung lutut
diakibatkan oleh trauma yang berulang-ulang. Keluhan
yang khas pada lutut yaitu rasa nyeri sewaktu berlutut,
terasa kaku, bengkak dan memerah pada bagian anterior
lutut (patella). Penyebab yang paling sering karena lutut
seringbertumpupada lantai.Terapidenganmelindungilutut
dari trauma.

Beberapa struktur jaringan lunak di sekitar sendi lutut


berpotensi menimbulkan nyeri. Tendonitis dan bursitis
seringkali berkaitan dengan OA lutut atau penyakit artritis
lainnya seperti RA. Contoh-contoh kasus misalnya kista
popliteal atau Baker, bursitis anserina dan bursitis
prepatellar atau "housemaid's knee." -Kadang-kadang,
penting untuk menyingkirkan adanya infeksi terutama bila
tanda-tanda inflamasi jelas terlihat (misalnya rasa hangat
dan kemerahan).

Tendinitispatellar. Tendinitis patellar atau Jumpers knee


dijumpaipredominanpada atlityang harus berlari,melompat
dan menendang berulang. Nyeri dan tenderness dijumpai
di daerah tendon patella. Pengobatan mencakup istirahat,
OAINS, es, knee bracing dan stretching dan penguatan
kuadriseps dan otot harmstring. Injeksi kortikosteroid
biasanya dikontraindikasikan oleh karena risiko ruptur.
Diperlukan tindakan bedah pada beberapa kasus.

Kistapopliteal (KistaBaker). Penyakit ini harus diwaspadai


kemungkinan suatu diseksi atau ruptur. Terlihat adanya
pembengkakanlutut yang ringan mungkin merupakantanda
awal penyakit, berlanjut dengan distensi kista dan rasa tidak
nyaman di lutut terutama dalam keadaan fleksi dan ekstensi
penuh. Kista terlihat jelas sewaktu pasien berdiri dan
diperiksa dari belakang. Dijumpai adanya penimbunan
cairan atau efusi sinovial di antara sendi lutut dan bursa.

Kaki dan Pergelangan


Tendonitis achilles. Biasanya akibat trauma, aktivitas
berlebihanpada atlit, penekanan sepatu yang terlalu sempit,
dorsofleksi tiba-tiba dan inflamasi (ankylosing spondylitis, Reiter 's syndrome, gout, RA). Pada pemeriksaan
tendon achilles, tampak pembengkakan, nyeri tekan dan
nyeri pada gerakan dorsofleksi serta teraba krepitasi tepat
di atas kalkaneus. Nyeri terasa pada pergerakan aktif dan

2703

REUMATIK EKSTRAAKI1KULAR

pasif. Terapi dengan istirahat, OAINS, koreksi keadaan


dan ukuran sepatu,meninggikantungkai bawah waktu tidur,
fisioterapi, injeksi kortikosteroid dapat memperburuk
keadaan berupa ruptur tendon.
Fasiitis Plantaris. Merupakan salah bentuk entesopati, di
mana terjadi inflamasi tempat insersi fasia plantaris pada
kalkaneus. Sering terjadi pada usia 40 sampai 60 tahun
dengan karakteristiknyeri pada area plantar tumit. Serangan
biasanya bertahap atau diikuti beberapa trauma atau
penggunaan berlebihan pada aktivitas atletik, berjalan
terlalu lama dan memakai sepatu yang tidak sesuai. Nyeri
karakteristik terjadi pada pagi hari dan bertambah berat
waktu berjalan beberapa langkah. Setelah pemulihan awal,
nyeri bisa memburuk di lain hari kemudian, khususnya
setelah berdiri atau berjalan lama. Palpasi yang tipikal
dirasakan di anteromedial pada tuberkel kalkaneus medial
dari fascia plantaris. Secara umum pemeriksaan radiologis
tidak menunjukkan kelainan. Terapi dengan mengurangi
stres aktivitas, OAINS, memakai pembalut tumit, injeksi
lokal kortikosteroid dan tindakan operasi.

Fibrositis
Fibrositis adalah peradangan pada jaringan ikat terutama
pada batang tubuh dan anggota gerak, sehingga
memberikan gejala kekakuan dan perasaan nyeri pada otot
dan insersi tendon, tetapi tanpa ditemukan tanda objektif
lokal yang lain. Rasa kekakuan terutama terjadi pada pagi
hari, yang berlangsung selama kira-kira 30 menit yang
diikuti kelemahan umum, bangun pagi yang kurang terasa
segar dan badan terasa capek. Patogenesis fibrositis
dihubungkan dengan timbulnya edema pada serat otot
dan spasme otot akibat proses hipertonik otot. Penyakit
ini lebih banyak dijumpaipada usia tua, di mana perempuan
dua kali lebih sering dari pada pria. Fibrositis di negara
Barat dijumpai pada 23% pasien kelainan muskuloskletal,
sedangkan di Asia 21-31 %. Terdapat tempat-tempat
predileksi terjadinya gejala klinik fibrositis, di antaranya
jaringan ikat subkutan, tempat insersi otot, aponeurosis
otot fascia, ligamen dan tendon terutama pada daerah
trapezius bagian tengah, iga kedua pada pertemuan antara
bagian rawan dengan tulang, epicondylus lateralis 1-2 cm
distal, origo m. supraspinatus dekat pertengahan skapula,
daerah vertebra servikalis bawah, daerah vertebra lumbalis
(L4-Sl), bagian atas lateral m. gluteus medius.
Untuk menegakkan diagnosis fibrositis, selain tempat
predileksi tersebut di atas juga dipakai kriteria: nyeri dan
kekakuan lebih dari 3 bulan, nyeri tekan lokal, tenderpoint,
titik nyeri pada tempat yang berbeda, pemeriksaan
laboratorium dan radiologis normal, kepribadian
perfeksionis.
Pengobatan dapat berupa pemberian OAINS, diazepam,
pemanasan, massage, rangsanganlistrik, latihan fisik, sikap
tubuh yang benar sewaktu duduk dan berdiri, psikoterapi
dan darmawisata/berlibur.

Gangguan Dinding Dada Anterior


Nyeri dinding dada akibat gangguan muskuloskeletal
sering sekali dijumpai. Nyeri juga dapat berupa nyeri
menjalar ke dada sebagai akibat penyakit pada tulang
servikal atau torakal. Ada 2 keadaan yang termasuk ke
dalamnya yaitu Tietze s Syndrome dan kostokondritis.
Karakteristik keduanya adalah tenderness dari tulang
rawan kosta. Keduanya dibedakan dengan adanya
pembengkakan lokal pada sindrom Tietze tetapi tidak pada
kostokondritis. Biasanya penyakit dapat menyembuh
sendiri. Pengobatan terdiri dari menenangkan hati, terapi
panas, peregangan otot dinding dada atau injeksi lokal
lidokain atau kortikosteroid ataupun keduanya.

PENATALAKSANAAN UMUM
Terapi Obat
Obat oral yang diberikan antara lain OAINS dan analgetik.
OAlNS mengurangi inflamasidan nyeri. Sebagaitambahan
untuk mengatasi nyeri dapat ditambahkan analgesik seperti
asetaminofen. Penatalaksanaan komprehensif harus
dilakukan tidak hanya dengan pemberian obat oral tetapi
juga harus dievaluasi aspek penyebabnya dan dilakukan
modifikasi aktivitas.
lnjeksi Intra Lesi
Injeksi kortikosteroid, lidokain lokal biasanya bermanfaat
untuk REA. Prinsip dasar injeksi intralesi mencakup teknik
aseptik, penggunaan jarum ukuran kecil (25 gauge).
Penggunaan kortikosteroid yang lebih larut dalam air akan
mengurangi kemungkinan kelemahan tendon yang
diinduksi oleh kortikosteroidatau kemerahan pasca injeksi.
Terapi Fisik
Tujuan terapi ini adalah meningkatkan fleksibilitas dengan
peregangan, meningkatkan kekuatan otot dengan latihan
resistif. Modalitas panas dan dingin akan menghilangkan
nyeri dan merelaksasi otot. Tetapi manfaat jangka panjang
masih dipertanyakan.

REFERENSI
Adnan M. Reumatik non artikuler. Simposium RNA. Semarang.
Oktober 1987; 8-14
Badsha H. Soft tissue rheumatism and joint injection techniques for
family physicians. The Singapore Family Physician. 2002; 28(2):
19-27.
Biundo JJ. Regional rheumatic pain syndromes. In: Klippel JH. Edi- tor.
Primer on the rheumatic diseases. 11 'h Ed. Atlanta: Arthritis
Foundation; 1997. p.136-48.
Celiker R. Nonarticular rheumatism physiopathology and rehabilitation. Hacettepe University, Faculty of Medicine, Department
of
Physical
Medicine
and
Rehabilitation

2704
Clauw DJ. Fibromyalgia. In: Ruddy S, Harris ED, Sledge CB. Editors.
Kelley's textbook of rheumatology. 6Lh Ed. Philadelphia: WB
Saunders Company; 2001. p. 417-27.
Effendi Z, lsbagio H, Setiyohadi B. Sindrom fibromialgia. Dalam:
Noer S, Waspadji S, Rahman AM, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I, Edisi ke 3. Jakarta: Balai penerbit FK UI; 1996.
h. 97-107.
Freundlich B, Leventhal L. Diffuse pain syndromes. In: Klippel JH.
Editor. Primer on the rheumatic diseases. l J th Ed. Atlanta:
Arthritis Foundation; 1997. p.123-6.
Jhon J, Peter E. Disorders of the joints. In: Fauci AS, Braunwald E,
lsselbacher KJ, et al, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 14th Ed. New York: Mc Graw Hill; 1998. p.1928-35
Katz JN, Simmons BP. Carpal tunnel syndrome. N Engl J Med.
2002; 23: 1807-12.
Muller D. Non articular rheumatism /regional pain syndrome.
In: Wolf RE, Talaver F, Diamond H, Mechaber AJ, Weinstein A

REUMA'IOLOGI

eds. eMedicine. Last updated November 17,2004. Available from


htto//www emedicine corn/med/topic2934.htm cited on April
2005
Nasution AR, Harry lsbagio. Penyakit reumatik di Indonesia. Buku
Naskah Lengkap Kongres Nasional I Ikatan Reumatologi
Indonesia. Ikatan Reumatologi Indonesia. Semarang, 1983
Price GE. Rheumatology 6 Localized rheumatism. In: Esdaile JM (ed).
Clinical Basics. Canadian Medical Association Joumal.2000; 163
(2): 176-83
Padang C, Nasution AR. Inflamasi ekstra-artikuler, Maj. Kedok.
Indon. 1992; 4 OK Moehad Sjah. Reumatik ekstra artikuler.
Dalarn: Setiyohado B, Kasjmir YI, Mahfudzoh S, editor. Naskah
lengkap Temu Ilmiah Reumatologi 2000. 62-9 (42): 199-203
Vischer TL. Non articular rheumatism. In: Dieppe PA, Bacon PA,
Bamji AN, Watt I eds. Atlas of clinical rheumatology. New
York: Gower Medical Publishing; 1986. p 20.02-14

413
GANGGUAN MUSKULOSKELETAL
AKIBAT KERJA
Zuljasri Albar

PENDAHULUAN

Dalam melaksanakan pekerjaannya, seseorang dapat saja


terkena gangguan atau cedera. Kebanyakan cedera akibat
kerja biasanya mengenai sistem muskuloskeletal.
Gangguan muskuloskeletal (Musculoskeletal disorders =
MSD) dianggap berkaitan dengan kerja (work-related)
jika lingkungan dan pelaksanaan kerja berperan secara
bermakna dalam timbulnya gangguan tersebut.
Dengan demikian, jelas bahwa gangguan muskuloskeletal
yang berkaitan dengan kerja dapat dibedakan dari penyakit
akibat kerja (Occupational
disease),
dimana
penyakit akibat kerja mempunyai hubungan sebab-akibat
langsung antara suatu bahan/bahaya dengan suatu
penyakit yang spesifik (misalnya asbestos dengan
asbestosis, silika dengan silikosis), sedangkan gangguan
muskuloskeletal yang berkaitan dengan kerja tidak.
Sebelum mengatakan bahwa kelainan yang ditemukan
benar-benar disebabkan oleh pekerjaan, sangat
penting untuk menentukan apakah pada saat yang sama
pasien juga mempunyai kegiatan lain yang mungkin
merupakan predisposisi terhadap keluhan yang diderita
sekarang, Di samping itu, penilaian bentuk pekerjaan yang
dilengkapi dengan kunjungan ketempat kerja
memungkinkan pemeriksa menentukan hubungan kausal
antara pekerjaan dengan cedera muskuloskeletal dengan
lebih tepat.

EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, trauma kumulatif (Cumulative trauma


disorders) merupakan penyebab Jebih dari 50% penyakit
akibat kerja dengan insidens 21 kasus per l 00.000 pekerja

per tahun. Insidens ini sangat meningkat dibandingkan


dengan insiden pada dekade yang lalu. Beberapa hal
yang mungkin menyebabkannya ialah perkembangan
teknologi ditempat kerja, perbaikan ketepatan diagnosis
dan pelaporan kasus, bertambahnya kesadaran pekerja
akan hak-haknya dan tuntutan terhadap pekerja untuk
melakukan lebih banyak tugas dengan lebih cepat dalam
waktu yang lebih singkat.
Faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya MSD dapat
dibagi dalam 2 golongan besar :
Faktor fisik/biomekanika
-. Faktorkimia/biokimiawi
Dari ke dua faktor ini, yang lebih sering berperan ialah
faktor fisik. Untuk selanjutnya pembicaraan dititikberatkan pada gangguan muskuloskeletal akibat faktor
fisik.
SebelummembicarakanMSD lebih lanjut, ada beberapa
istilah yang perlu kita pahami lebih dahulu, yaitu faktor
risiko/Odds ratio (OR), ergonomi dan cumulative trauma
disorders (CTD).
Faktor Risiko dan Odds Ratio
Epidemiologi adalah pengetahuan tentang distribusi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan pada
populasi tertentu serta penerapan pengetahuan tersebut
untuk mengontrol masalah. Dari epidemiologi kita
mengenal antara lain istilah Odds ratio (OR), yaitu rasio
antara kasus dengan bukan-kasus yang terpajan terhadap
suatu faktor risiko. Sebagai contoh, suatu OR sebesar 3.0
pada suatu penyakit terhadap faktor pajanan tertentu
mempunyai arti bahwa faktor tersebut menyebabkan
peningkatan risiko terkena penyakit tersebut sebesar
tiga kali.

2706
Faktor risiko yang berperan pada MSD :
Jenis Industri
Angka MSD paling tinggi ditemukan pada industri
pengepakan daging, selanjutnya perusahaan perajutan
pakaian dalam, kendaraan bermotor dan pengolah
makanan teroak.
Jenis Pekerjaan
Tukang batu, tukang kayu, tukang sulam dsb.
Faktorrisikoyang lebih spesifik, dilihatdari segiperorangan,
fisik dan psikososial.
Perorangan

Kelainan pada ekstremitas atas :


Umur.
Jenis kelamin : banyak penelitianyang menunjukkan bahwa
prevalensi MSD pada wanita lebih tinggi
daripada pria.
Berat badan : berat badan, tinggi badan, indeks
massa tubuh dan obesitas telah dilaporkan
meru-pakan faktor risiko potensial terhadap
timbulnya sindrom terowongan karpal.
Nyeri pinggang :
Umur : Nyeri pinggang bukan merupakan masalah
kesehatan yang terbatas pada pekerja usia lanjut
saja. Statistikmenunjukkanangka tertinggipada pria
ialah pada usia 20-24 tahun, pada wanita usia 30-34
tahun. Dilain pihak, osteoporosis yang merupakan
penyebab spesifik nyeri pinggang jelas berkaitan
dengan bertambahnya usia.
Jenis kelarnin : Temyataprevalensi nyeri pinggang
pada pria sama dengan wanita.
Tingkatsosial-ekonomi: Nyeri pingganglebihsering
pada pasien dengan tingkat sosial-ekonomi yang
rendah,mungkinkarenapekerjaanyang memerlukan
kegiatan fisik yang berat lebih sering dilakukan oleh
pekerja yang tingkat sosial ekonominya lebih
rendah.
Tinggi dan berat badan : Berat badan, indeks massa
tubuh dan obesitas merupakan faktor risiko
terhadap timbulnya nyeri pinggang.
Riwayat kesehatan : riwayat sakit pinggang atau
ischialgiamerupakan salahsatu faktorprediktifyang
dapat diandalkan untuk terjadinya nyeri pinggang
yang berkaitan dengan kerja.
Merokok : postulasi yang diajukan ialah bahwa
nikotin mengurangi aliran darah kejaringan yang
vulnerable. Di samping itu batuk akibat merokok
mengakibatkan strain mekanik.
Kebugaran tubuh dan latihan : masih terdapat pro
dan kontra dalam hal ini.
Kekuatan : Sebagian peneliti berpendapat bahwa
berkurangnya kekuatan otot fleksor dan ekstensor
tubuh merupakan akibat nyeri pinggang, bukan
merupakan penyebab.

REUMATOLOGI

Fisik

Beberapa keadaan seperti repetisi, beban dinamis/statis,


sikap/posisi tubuh, kurang istirahat dan sebagainya
berperan sebagai faktor risiko timbulnya MSD pada
leher,bahu, siku, pergelangan tangan, sindrom terowongan
karpal, sindroma fibrasi lengan-tangan, nyeri pinggang
sebagaimana telah diteliti dalam banyak penelitian.
Psikososial

Bagi kebanyakan dokter, istilah faktor psikososial


sebenarnya tidak mempunyai batasan yang jelas.
Akibatnya banyak kebingungan dan kesalah-pahaman
kalau membicarakan faktor ini. Ada 3 mekanisme yang
diduga berperan dalam hubungan antara faktor psikososial
dengan MSD. Salah satu di antaranya ialah bahwa tuntutan
psikososial mungkin melebihi mekanisme penyesuaian diri
pasien, sehingga menimbulkan respons stres. Respons
stres ini akan meningkatkan tegangan otot atau beban otot
dalam keadaan statis.
Ergonomi

Ergonomi ialah studi tentang tingkah laku dan aktivitas


manusia yang bekerja dengan menggunakan mesin atau
peralatan mekanik dan listrik. Dengan perkataan lain,
ergonomi ialah studi mengenai hubungan antara manusia
dengan mesin, berdasarkan data yang diperoleh dari bidang
engineering, biomekanika, fisiologi, antropologi dan
psikologi. Tugas ahli ergonomi ialah merencanakan atau
memperbaikitempat kerja,perlengkapandan prosedurkerja
para pekerja guna menjamin keamanan, kesehatan dan
keberhasilan perorangan maupun organisasi secara
efisien.
Cumulative Trauma Disorders (CTD) :

Gangguan muskuloskeletal akibat kerja lebih sering


mengenai ekstremitas atas, punggung dan leher. Biasanya
timbul akibat aktivitas yang berulang-ulang dalam jangka
waktu lama. Istilah repetitive stress injury dan cumulative
trauma disorders digunakan untuk melukiskan suatu
spektrum kelainan yang luas, banyak di antaranya mirip
dengan chronic overuse syndrome pada atlet. Otot yang
aktif melakukankegiatan berulang-ulang dan otot lain yang
harus tetap berkontraksi dalam jangka waktu lama untuk
mempertahankan ekstremitas yang tidak ditopang oleh
peralatan kerja sangat rentan terhadap kelelahan otot dan
robekan mikroskopis, yang selanjutnya diikuti oleh
inflamasi, edema dan gangguan fungsi.

KELUHAN DAN GEJALA

Contoh bentuk kegiatan atau situasi tempat kerja yang


dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal dapat
dilihat
di
bawah
ini
:

GANGGUAN MUSKULOSKELETALAKIBAT

KERJA

Stres Fisik Akibat Tempat Kerja atau Peralatan


yang Buruk
Untuk mengatasinya diperlukan data antropometri.
Tindakan yang dapat dilakukan misalnya :
Perbaikandisain dan tempat kerja untuk menghindarkan
gerakan pinggang yang berlebihan, menghindarkan
posisi yang statis baik posisi tubuh maupun posisi
ekstremitas dalam memegang. Kontraksi otot yang
berlangsung lama serta pemakaian yang berulang-ulang
sering mencetuskan kelelahan otot yang berkaitan
dengan menurunnya kekuatan, kordinasi dan
kemampuanmempertahankanaktivitas.Ini telah terbukti
pada situasi kerja dimana lengan dipertahankan pada
posisi yang jauh dari tubuh tanpa penopang. Keadaan
ini misalnya ditemukan pada pekerja pabrik perakitan
mobil,montirdan tukanglistrikyang seringmengerjakan
sesuatu lebih tinggi daripada kepala mereka sambil
memegang peralatan yang berat. Contoh lain,pekerja
yang selalu dalam sikap tubuh yang statis dan harus
mempertahankan lengan dalam posisi abduksi atau
ekstensi dalam jangka waktu lama atau harus
mempertahankanposisi leher yang diulurkedepan akan
menderita sindrom neck torsion. Sindrom ini
ditandai oleh nyeri sepanjang segmen paravertebra
tulang serfikal yang memanjang ke otot trapezius. Pada
pemeriksaan didapatkan spasme otot trapezius
bilateral, nyeri raba daerah yang terkena, berkurangnya
gerakan leher dan nyeri pada gerakan maksimum.

2707
ada tidaknya beban. Dapat terjadi penekanan saraf
ditempat-tempat tertentu. Pada ekstremitas atas misalnya
penekanan n.medianus pada pergelangan tangan (sindrom
terowongan karpal) dan n.ulnaris pada siku (sindrom
terowongan siku). Cedera langsungterhadap sarafini dapat
juga terjadi akibat tekanan dari luar yang berulang-ulang.

Aktivitas statis atau posisi terpaksa yang lama,misalnya


mengelas.

Beberapa contoh CTD : Sindrom


TerowonganKarpal
Salah satu cedera muskuloskeletal akibat kerja yang
sering ditemukan ialah sindroma terowongan karpal.
Pasien mengeluh adanya rasa tingling pada jari 1, 2 dan
3 yang dapatmembangunkanmerekamalamhari.Mereka
juga merasakan gangguan memegang dan spasme pada
ke tiga jari tersebut. Pada pemeriksaan didapatkan uji
Tinel dan uji Phalen positip, atrofi otot thenar, parestesi
sepanjang daerah yang dipersarafi n.medianus. Jika
pemasangan bidai malam hari, pemberikan obat
antiinflamasi nonsteroid dan suntikan steroid lokal
tidak dapat menghilangkan nyeri dan terdapat pula
kelainanelektromiografi,perlu dipertimbangkanrelease
terowongan karpal dengan operasi atau melalui
endoskopi. Harus diingat bahwa 25% pasien sindrom
terowongan karpal juga mempunyai keluhan cedera
jaringan lunak lain seperti tendinitis pada berbagai
tempat atau malah penekanan saraf perifer lain.
Epikondilitis.
Ganglioma.
. Neuritisjari-jari.
Tenosinovitis ekstensor/fleksor jari tangan (Trigger
finger).
Tenosinovitis De Quervain.
Yang khas, tendinitis berkaitan dengan rasa tidak enak
setempat yang bertambah bila dilakukan peregangan
pasif unit tendo-otot yang bersangkutan. Sering
terdapat kelemahan yang pain-induced, krepitasi
sepanjang tendo dan pembengkakan didaerah
subkutan.
Di samping itu terdapat kelainan yang batasannya
kurang jelas seperti keluhan punggung atau paraspinal
yang difus, rasa tebal dan letih atau lemah. Sebagian
besar pasien mempunyai beberapa faktor risiko. Sikap
abnormal tubuh yang berlangsung lama mengakibatkan
ketidak seimbangan otot dan meningginya tekanan
pada saraf perifer yang dapat mencetuskan kompresi
saraf multilevel dengan keluhannya.

Insiden keluhan dan cedera muskuloskeletalmeningkat


secara bermakna jika terdapat 2 atau lebih faktor risiko.
Cumulative trauma disorders mencakup spektrum
kelainan yang luas. Terdapat perbedaan faktor
predisposisi, gejala klinis serta pengobatan dan basil
pengobatan pada masing-masing gangguan. Cedera saraf
perifer akibat sikap tubuh yang abnormal pada berbagai
situasi dan lingkungan kerja sering ditemukan. Mungkin
terjadi hipertrofi atau hipotrofi otot bergantung kepada

Diperlukanpemeriksaanyang lebih luas terhadappasien


dan tempat kerjanya karena sangat mungkin banyak faktor
yang berperan. Evaluasi sikap dan posisi tubuh pasien
dalambekerja seringmemperlihatkankekurangandalam hal
tempat duduk dan penempatan peralatan kerja. Di samping
itu, denganmengamatipasien ditempatkerja dapat diketahui
otot mana yang memegang peranan utama dalam
melaksanakan pekerjaan dan otot mana yang merupakan
penunjang
kegiatan.

Perbaikan disain perlengkapan, misalnya mesin.


Kelelahan dan Nyeri AkibatTempat Duduk yang
Kurang Baik.
Dapat timbul keluhan berupa nyeri gluteus, nyeri pinggang
dan nyeri punggung.
Trauma Kumulatif (Cumulative trauma disorders):
Merupakan penyebab terpenting. Pada cumulative trauma
disorders (CTD) terdapat faktor risiko berupa :
Aktivitas yang berulang-ulang, misalnya mengetik.
Beban yang berat.
Posisi sendi yang tidak wajar.
Tekanan langsung.
Getaran,

2708
Cumulative trauma disorders menimbulkan kerugian
besar akibat hilangnya produktifitas dan biaya kompensasi
yang harus dibayarkan perusahaan. Meskipun demikian,
CTD umumnya dapat dicegahmelalui penilaianlingkungan
kerja yang tepat oleh ahli ergonomi.
Akibat Kegiatan Fisik yang Dasarnya adalah
Mengangkat, Mendorong dan Menarik
Beberapa petunjuk untuk mencegah cedera akibat
mengangkat :
Beban yang diangkat tidak melebihi 50% bataskekuatan
perorangan (Personal strength limit).
Menghindarkan gerakan berputar sambil membawa
beban; jika memang perlu berputar, putarlah panggul.
Dekatkan beban kearah tubuh jika mengangkat dsb.
Beberapa petunjuk untuk mencegah cedera akibat
mendorong atau menarik:
Pastikan daerah dihadapan beban rata dan tidak ada
yang menghalangi.
Behan sebaiknya didorong, bukan ditarik. Keuntungan
lain ialah pandangan kearah gerakan dengan sendirinya
lebih baik.
Gunakan sepatu yang kuat mencekam.
Gangguan Akibat Proses atau Bahan Kimia atau
Lain-lain
Bahan kimia dapat mempengaruhi metabolisme tulang
secara langsung, misalnya Cadmium menyebabkan
osteoporosis, pseudofraktur. Fluor mengakibatkan
timbulnya daerah hipo- dan hipermineralisasi, eksostosis
pada tulang. Vinil klorida dapat menyebabkan
akroosteolisis. Pembentukan gelembung nitrogen dalam
jaringan pada penyakit Caisson dapat menyebabkan
gangguan aliran darah sehingga terjadi kelainan tulang
dan sendi. Di samping itu dapat juga mengganggu
koagulasi darah sehinggaterjadi infark hipoksikpada sendi.

REUMATOLOGI

PENATALAKSANAAN
Secara umum, pengobatan CTD dilakukan dengan
mengistirahatkan bagian yang terkena dengan alat bantu
seperti pemasangan bidai-malam, neck braces dan korset
lumbal. Penanganan fase akut dapat berupa kompres es,
obat antiinflamasi nonsteroid, suntikan steroid lokal dan
perujukan ke ahli fisioterapi yang dapat memberi petunjuk
latihan peregangan dan penguatan yang tepat serta
membimbing pasien melaksanakan program aerobik
progresif untuk meningkatkan kebugaran tubuh secara
menyeluruh.
Tindakan pembedahan hanya dipertimbangkan jika
semua tindakan konservatif gagal setelah dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya selama paling sedikit 3 bulan.
Pengobatan CTD tidak terbatas pada tindakan medik
terhadap keluhan saja, melainkan juga mencakup saran
perbaikan/perubahan pada tempat kerja untuk
menghindarkan atau mengtirangi cedera lebih lanjut, baik
terhadap pasien maupun teman sekerjanya. Ergonomi,
suatu cabang ilmu yang merencanakan kenyamanan serta
produktifitas maksimal dengan cedera minimal ditempat
kerja telah berkembang menjadi bagian sangat penting
dalam penanganan cedera ditempat kerja.
Untuk mencegah berulangnya cedera, penilaian faktor
risiko ditempat kerja memungkinkan diajukannya saran
perubahan seperti menggunakan alat yang berbeda,
mengurangi waktu bekerja ditempat dengan risiko tinggi
dengan melakukan rotasi kerja atau menggunakan alat
pelindung seperti bantalan dan bidai.

REFERENSI
Rock MD : Sports and occupational injuries. Dalam Klippel JH
(Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. Arthritis Foundation,
, Atlanta, GA, l l " ed., 1997, p 149-54.
Hales TR, Bernard BP : Epidemiology of work-related musculoskeletal disorders. Dalam Orthopedic Clinics of North America.
27:4; 679-703, Oct 1996.
Gassett RS, Hearne PT, Keelan B : Ergonomics and body mechanics
in the work place. Dalam Orthopedic Clinics of North America.
27:4;861-877,
Oct 1996.
Ratti N, Pilling K : Occupational Medicine & Rheumatic diseases Back pain in the workplace. Brit J Rheumatol 36:260-264;
1997.

414
FIBROMIALGIA DAN NYERI MIOFASIAL
O.K. Moehad Sjah

PENDAHULUAN

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Sindrom fibromialgia adalah suatu bentuk reumatisme


nonartikularyang karakteristikdengan nyeri muskuloskletal
kronik yang menyebar luas disertai rasa kelelahan dan
ditandai dengan tender point pada penekanan pada otot,
ligamen dan insersi tendon. Sir Wiliam Gowers 1904,
pertama kali menggunakan istilah fibromiositis, kini istilah
tersebut ternyata kurang tepat. Berbagai nama lain
kemudian berkembang dan dikenal sebagai sinonim dari
fibromialgia : soft tissue rheumatism, tendomiopati,
miogelosis, neuroasthenia, muscular rheumatism,
myalgic encephalomyelitis, dll.
Tahun 1977, oleh Smythe dan Moldofsky
memperkenalkan untuk pertama kali istilah fibromialgia
sebagai suatu sindrom klinis dari gejala penyebaran nyeri
dan beberapa tanda tender point, disertai dengan
gambaran karakteristik yang lain yaitu gangguan tidur,
kekakuan dan stres emosional.
Insiden fibromialgia di seluruh dunia antara 0,5%-12%
dari seluruh populasi, mengenai seluruh usia dengan
puncak insiden antara umur 20 tahun-60 tahun, terutama
pada perempuan (lebih dari 75% dibandingkanpria). Angka
prevalensi pada perempuan 3,4% dan pria 0,5%.
Di Amerika dilaporkan insiden sek.itar 3-5%, Denmark
0,66%,Finlandia0,75%, Swedia 1,0%,Jerman 1,9%,Afrika
Selatan 3,2%, Kanada 3,3%, Norwegia 10,5% dan New
Zealand 1, 1 %.
Dari seluruh penyakit muskuloskletal, Tai melaporkan
bahwa insiden di Asia 21-39%, sedang di negara barat 23%.
Fibromialgia bukan merupakan suatu bentuk artritis
karena tidak menyebabkan kelainan sendi, tetapi dapat
muncul bersamaan dengan jenis artritis seperti artritis
reumatoid, LES ataupun penyakit jaringan ikat lain. Pada
pasien penyakit autoimun didapatkan sebanyak 20-25%
disertai dengan fibromialgia.

Sampai saat ini etiologi clan patogenesisfibromialgiabelum


diketahui secara pasti. Kelainan laboratorium dan
gambaran histologis belum diketahui.811 Penelitian selama
l O tahunterakhirini difokuskanpada faktorpsikologi,faktor
yang menyebabkan gangguan tidur, nocciception, dan
faktor neuroendokrin.
Benneth
(2002) menyatakan bahwa sindrom
fibromialgiasemata-mataadalahkelainanpsikosomatikclan
didapatkan sering bersamaan dengan kondisi ko-morbid
yang lain seperti irritable bowel syndrome, hipotensi
postural, sak.it kepala, migren, dysmenorrhoe dan gangguan
tidur. 13
Gangguan neuroendokrin yang berhubungan dengan
hipotalamus, kelenjar hipopisis anterior, dan kelenjar
adrenal dikatakan mempunyai peran sebagai etiologi
fibrornialgia.
Faktor eksogen yang diduga sebagai penyebab antara
lain: trauma, infeksi virus, bakteri atau parasit.
Faktor genetikjuga diduga mempunyai peran, di mana
pasien fibromialgia sering bersamaan dengan penyakit
autoimmun seperti: AR, SLE dan Sindrom Sjogren.
Namun sampai saat ini etiologi dan patogenesis
fibromialgia belum diketahui secara pasti. Kebanyakan
sasaran penelitian dipusatkan pada tiga keadaan
yaitu:
Gangguan tidur
Perubahan otot dan
Parameterpsikologi.
Gangguan Tidur
Pasien fibromialgia sembilan puluh persen mengalami
gangguan tidur. Diduga growth hormon dan prolaktin
memegang peranan. Defisiensi growth hormon pada
orang dewasa dapat dihubungkan dengan fibromialgia

2710
ini. Sekitar 80% produksi growth hormon dikeluarkanpada
saat tidurpadastage IV (non random eye movement sleep
atau restorative sleep). Stage IV didapatkan pada saat
tidur yang paling dalam dan hal ini berhubungan dengan
intensitas dan tidur yang cukup. Growth hormon juga
menyebabkan hati membentuk suatu protein yang
disebut somatomedin atau insulin like growth factor
yang paling banyak dikeluarkan pada saat tidur yang
dalam (stage IV). Benneth dkk, ( 1992)mendapatkan kadar
somatomedin yang rendah pada pasien fibromialgia
dibandingkan group kontrol.
Prolaktin juga dikeluarkan pada saat tidur panjang
dalam dan diduga dapat meningkatkan efisiensi tidur.
Kadar prolaktin dijumpai rendah pada pasien fibromialgia.
Serotonin dan triptopan juga pegang peranan.
Triptopan adalah prekursor dari serotonin, suatu
neurotransmiter yang juga berperan dalam regulasi tidur,
dan jika kadar serotonin rendah dapat menimbulkan
msomrna.
Perubahan Otot
Growth hormon juga suatu peptida anabolik yang
menstimulasi peningkatan sintesis DNA, RNA dan
protein yang berperan pada pertumbuhan semua jaringan
tubuh dan pada orang dewasa memegang peran penting
pada homeostasis otot dalam ha! memelihara otot yang
normal dan perbaikannya akibat dari pemakaian sehari-hari
dan kerusakan otot.
Pada fibriomialgia didapatkan kontraksi isokinetik
dan isometrik otot berkurang serta penurunan kapasitas
aerobik otot dan aliran darah otot juga berkurang.
Juga dijumpai penurunan kadar ATP dan ADP dan
peningkatan AMP.

REUMATOLOGI

KLASIFIKASI
Fibromialgia Primer
Gambaran karakterstik fibromialgia tanpa diketahui
penyebabnya atau penyakit yang melatarbelakangi.
FibromialgiaSekunder
Gambaran karakteristik fibromialgia yang diketahui
penyebabnya atau penyakit yang melatarbelakanginya dan
dapat merupakan manifestasi penyakit lain yang erat
hubungannya dengan fibromialgia, dan ditandai dengan
hilangnya keluhan fibromialgiasetelah penyakit primemya
teratasi.
Fibromialgia Regional atau Terlokalisasi
Nyeri miofasial terlokalisir yang disertai dengan trigger
point, biasanya sekunder terhadap strain otot (pekerjaan
berulang) sangat mirip dengan sindrom miofasial lokal,
regional atau spesifik dan tidak memenuhi syarat kriteria
untuk fibromialgia primer/sekunder.
Fibromialgia Usia Lanjut
.
Sama dengan fibromialgia primer atau sekunder, perlu
perhatian khusus terhadap kemungkinan adanya
polimialgiareumatika,penyakitdegeneratifatau neurologik,
osteoporosis, penyakit Parkinson, sindrom otak organik
atau sindrom kelelahan pasca penyakit virus.
Fibromialgia Juvenile
Sama dengan fibromialgia primer pada pasien usia muda.

GAMBARAN KLINIS

Faktor Psikologi
Faktor psikologi juga memegang peranan penting
yang dapat menimbulkan spasme otot sehingga
muncul simptom fisik seperti nyeri otot, kaku dan
pembengkakanjaringan lunak yang tak dapat diterangkan.
Riwayat depresi pada keluarga lebih sering dijumpai
pada pasien fibromialgia dibandingkan dengan artritis
reumatoid.
Selain hal-hal tersebut di atas maka diketahui pula
bahwa kadar serotonin yang rendah pada pasien
fibromialgia berkorelasi dengan jumlah tender point dan
kadar triptopan yang rendah menyebabkan serotoninjuga
menurun dan mengakibatkan rasa nyeri persisten yang
difus pada pasien fibromialgia.
Substansi P yaitu suatu neurotransmitter yang
berperan pada nyeri kronik juga meningkat pada
fibromialgia3 kali dari nilai normal dan ha] ini berhubungan
dengan nyeri di otot dan nyeri tekan. Peningkatan ini juga
mengakibatkan peningkatan transmisi rasa nyeri dan
direspons sebagai hiperalgesia.

=! '

Sindromfibromialgiamenampilkan4 jenis gambaran klinis


yang saling berkaitan, yaitu:
Gambaranutama, berupa keluhannyeri muskulosek:letal
generalisata kronis yang meluas dan nyeri tekan yang
terlokalisir pada otot dan insersi otot dengan tendon.
Keluhan ini ditemukan pada 97% pasien.
Garnbarankarakteristikb,erupa keluhankelelahantfatique),
kaku pada pagi hari (morning stiffizess}, dan tidur tidak
nyenyak atau terganggu (non refresshed or disturbed
sleep), yang ditemukanpada lebih dari 75% kasus.
Gambaran umum, bukan merupakan keluhan penting,
ditemukan pada 25% pasien. Keluhan tersebut antara
lain: irritable bowel syndrome, fenomena Raynaud,
nyeri kepala, rasa bengkak, parastesia, psikologik
abnormal dan disabilitas fungsi. Koeksistensidengan
beberapa gangguan reumatik yang gejalanya saling
tumpang tindih dengan sindrom
fibromialgiasepertiartritis,nyeri pinggangbawah, nyeri
tengkuk dan tendonitis.

2711

FIBROMIALGIADAN NYERI MIOFASIAL

Ada tiga gejala utama yang dikenal dengan triad fibromialgia, yaitu;
Nyeri Muskuloskletal

Lokasi nyeri yang sering dijumpai adalah pada aksial, yaitu


di sekeliling bahu, leher dan belakang bawah (low back).
Paling menonjol pada servikal dan lumbal. Sebagianpasien
mengeluh nyeri otot dan rasa lemah, walaupun secara
objektiftidak ditemukan kelemahan otot.
Kekakuan (stiffness)
Merupakan gejala umum paling sering dijumpai, seperti
pada pasien reumatik lainnya. Rasa kaku terutama pada
pagi hari dan membaik setelah bergerak, walaupun pada
beberapa pasien dapat berlangsung sampai 3 hari.
Kelelahan (fatique)
Keluhan ini erat kaitannya dengan gangguan tidur.
Gangguan tidur berupa sering terbangun malam akan
menyebabkan pasien merasa tidak segar pada waktu
bangun tidur sehingga pasien merasa sangat lelah.
Keluhan gangguan tidur ini dialami oleh lebih dari dua per
tiga pasien. Gangguan tidur juga temyata berpengaruh
secara signifikan terhadap intensitas nyeri, kelelahan
sepanjang hari dan kaku pagi hari.
Dalam riwayat penyakit dapat ditemukan keluhan yang
bertambah berat bila kena air dingin, suara keras, kerja
berat, stres mental dan kecemasan. Sebaliknya keluhan
berkurang dengan udara hangat, mandi air panas, liburan,
aktivitas ringan, peregangan dan pemijatan.
Riwayat pengobatan menunjukkan pasien mengalami
kegagalan dengan aspirin dan obat anti inflamasi
nonsteroid. Biasanya pasien akan memberikan daftar
panjang obat yang pemah diminurnnya.
Riwayat penyakit yang lebih lengkap biasanya
menunjukkan adanya berbagai kondisi yang erat
hubungannya dengan faktor stres, misalnya irritable
bowel syndrome, irritable bladder, tension headache,
migren dan dismenorrhoe.
Suatu keadaan yang khas pada pemeriksaan fisik
pasien sindrom fibromialgia adalah tidak ditemukannya
kelainan atau gejala objektif yang setara dengan
keluhannya. Satu-satunya penemuan abnormal adalah
adanya beberapa titik nyeri (tenderpoint). Pasien biasanya
sadar akan adanya titik nyeri ini dan merasa gembira bila
dokter dapat menemukannya. Bila pemeriksa tidak
mengenal lokasi titik-titik ini, biasanya hasil
pemeriksaannya normal dan pasien merasa kecewa.
Tender point dapat dirasakan dengan penekanan
menggunakan ibu jari tangan yang setara dengan beban
4kg.
Penelitian dengan menggunakan dolorimeter
menunjukkan bahwa pada lokasi tender point pasien
fibromialgia didapatkan ambang nyeri yang lebih rendah

dibandingkan dengan orang normal.


Tender point tidak hanya dijumpai pada pasien
sindrom fibromialgia, akan tetapi juga dapat ditemukan
pada regional pain syndrome, yang mirip dengan
fibromialgia tetapi tanpa disertai dengan kekakuan umum
dan kelelahan. Sindrom tersebut dikenal dengan sindrom
miofasial (myofacial pain syndrome). Untuk
membedakan kedua titik tersebut, maka titik pada sindrom
miofasial disebut dengan trigger point. Istilah ini
digunakan oleh karena penekanan pada titik tersebut
akan menimbulkan nyeri yang disebarkan ke daerah
sekitamya, sedangkan tender point hanya menimbulkan
nyeri lokal saja.
Pemeriksaan laboratorium biasanya memberikan hasil
yang normal.Pemeriksaanpsikologikmenunjukkankeluhan
ini memburuk bila ada stress. Ada yang beranggapan
fibromialgia sebenamya merupakan depresi terselubung'
atau gangguan ansietas yang somatisasi menonjol dan
hipokondria. Pasien fibromialgia yangjelas menunjukkan
depresi, ansietas dan hipokondria umurnnya sukar untuk
disembuhkan. Hipotesis menyatakan adanya lingkaran
setan antara kejang otot, gangguan tidur, psikologik
abnormal.

DIAGNOSIS

Diagnosis sindrom fibromialgia ditegakkan berdasarkan


Kriteria klasifikasi American College of Rheumatology
(ACR)tahun 1990.

Tabel 1. The American College of Rheumatology 1990


Criteria for Classification of of Fibromialgia
Riwayat nyeri yang menyebar luas. Dikatakan nyeri
menyebar luas apabila ditemui semua yang tertera berikut ini:
Nyeri pada sisi kiri tubuh,
Nyeri pada sisi kanan tubuh
Nyeri di atas pinggang .
Nyeri di bawah pinggang.
Nyeri aksial skeletal
(vertebra servikalis atau torak depan atau vertebra
torakalis atau low back)
Nyeri dengan palpasi jari pada sedikitnya 11 dari 18 tender
point:
Oksiput:bilateral pada insersi otot suboccipital.
Servikalis bawah: bilateral, aspek anterior dari celah
intertransverse pada C5-C7
- Trapezius:bilateral,bagian tengah batas atas
- Supraspinatus:bilateral diatas tulang skapula didekat
garis medial.
lga ke 11:bilateral, sedikit ke lateral dari persendian
kos-tokondral ke 11
Epikondilus lateralis:bilateral,2cm distal epicondilus
Gluteus: bilateral,kwadran atas lateral pada lipatan
otot anterior.
Trokanter mayor:bilateral ,pada posterior tonjolan
trokanter mayor.
- Lutut: bilateral,pada bantalan lemak medial proksimal
garis sendi lutut.

2712

REUMATOLOGI

Palpasi harus dilakukan dengan tekanan yang


sedang.Tender point dikatakan positif apabila ada nyeri
pada palpasi. Nyeri tender point tidak sama dengan sakit.
Untuk tujuan klasifikasi, pasien disebut fibromialgia
apabila memenuhi kedua kriteria tersebut. Penyebaran
nyeri yang luas ( difus) harus ada paling tidak selama
3 bulan.
Adanya kelainan klinis kedua tidak menyingkirkan
diagnosis fibromialgia. Direkomendasikan untuk
menggunakan kriteria ini dalam menegakkan diagnosis
secara klinis oleh karena bisa dilakukan di mana saja,
sederhana dan ekonomis. Kriteria ini mempunyai
sensitifitas 88% dan spesifisitas 81 %. Di samping
itu,beberapa penulis menegaskan pentingnya control
points dalam menegakan diagnosis. Controlpoints ini tidak
nyeri apabila dilakukan palpasi pada lokasi tersebut.
Ini penting untuk membedakannya dengan reaksi konversi
dari reumatism psikogenik yang merasa nyeri pada semua
tempat.

Untuk membantu menegakkan diagnosis perlu


diketahui faktor-faktor yang bisa memperberat atau
memperingan keluhan. Faktor-faktor yang memperberat
adalah: cuaca dingin atau lembab, tidur yang tidak nyaman,
kelelahan fisik atau mental, aktivitas fisik yang berlebihan,
inaktivitas fisik dan stres/ansietas. Sedangkan faktor-faktor
yang memperingan adalah: cuaca hangat dan kering, mandi
air panas, tidur nyenyak dan aktivitas sedang yaitu latihan
peregangan dan pijat.
Pemeriksaan laboratorium dan radiologis biasanya
memberikan hasil yang normal. Pemeriksaan ini dilakukan
untuk menyingkirkan gangguan atau kelainan lain.

DIAGNOSIS BANDING
Fibromialgia dapat sebagai penyakit yang berdiri sendiri
atau muncul bersama penyakit lain seperti LES, RA,
sklerosis multipel atau kelainan autoimun lain.
Diagnosis banding fibromialgia antara lain:

?a!iang-ar, tend"erpofnm.

1. Oksipltal bllateral,pada lnser.l o!Ot lehiJkull


(sutJokslpttals)

2. Sarvfkal bawatrbireterataspek antirtordBTI


celah lnt~-tran-!iversarts padt11 C5-C7.
3. Trapez)wr, bor~loral,beglan tsngah batao ""'"
4. Suprasplnanrs. blr8t@rial,dlatas tt.dang skaputa
5.

dldl<i>l gorls mod!al,


rga tl:blrateral1sedlk:1t keiereral dari
l<ostoknndral I< II

persedlean

Q. Epl~ol'dl<IS l aleralls: blnueral ,2cm distsl


epikood]ILJS
7 Glulat..LSJ blri<ite.ral,kw,adran
lipalan mot 1mterior.

atas 4'iter.al p.ada

a. T1okan1a, ma)'<lf" b1r.. 1ereJ.ped;I poSlerior


tooJolan lrt>lrnnler mayo,

9. Luhlt blrabrral,pada t,antalan lamail!


prokslmal g:arie !;.Sndl lutut.

me<llal

Sindromnyeri miofasial
Artritis reumatoid
Polimialgia reumatika/giant cell arteritis
Polimiositis/dermatomiositis. Miopati karena kelainan
endokrinhipotiroid,hipertioid, hipoparatiroid,
hiperparatiroid,insufisiensi adrenal) Miopati
metabolik (glycogen storage disease.lipid
rnyopathies)
Neurosis (depresi, ansietas)
Karsinoma metastase.
Sindromfatique kronis.
Parkinsonisme (fase diskinetik)

Gambar 1. Lokasi tender points pada sindrom fibromialgia

Ada 4 kontrol points pada sindrom fibromialgia, yaitu:


Titik tengah dari dahi.
Aspek volar dari pertengahan lengan atas
Kukuibujari.
Otot-otot dari tungkai atas sisi anterior

Tabel 2. Perbedaan Gambaran antara Sindrom


dan Sindrom nyeri Miofasial
Gambaran

Sindrom

Nyeri
Kelelahan

Menyeluruh I difus
Sangat nyata I sering

Kekakuan
pagi hari
Palpasi

Generalisata I sering

Terapi

Empat Control points:


1. Titik tengah dahi

Prognosis

Fibromialgia

Tender points:
Tersebar luas I Difus
Latihan umum
Obat gangguan tidur
Penyakit cenderung
kronik dengan beberapa
disabilitas fungsional

Fibromialgia
O

Sindrom Miofasial
Regional / lokal
Biasanya tidak ada I
jarang
Regional I Jarang
Trigger point:
Regional I Lokal
Menghindari faktor
pemberat
Latihan peregangan
Diharapkan resolusi
sempurna, walaupun
sering kambuh

2. Sisi volar pertengahan lengan atas


3.Kuku ibu jari
4.0tot-otot dari tungkai atas sisi anterior

Gambar

2. Lokasi control points pada sindrom fibromialgia

PENGELOLAAN
Pendekatan awal penatalaksanaan memprioritaskan
pendidikan dan keyakinan pasien. Pasien harus diberitahu
bahwa fibromialgiabukanlah gangguan psikiatri dan gejala
yang dijumpai pada penyakit ini adalah seringjuga ditemui
pada masyarakat umum dan penting menjelaskan bahwa

FlBROMIALGIA

2713

DAN NYERI MIOFASIAL

penyakit ini tidak mengancam kehidupan, bukan penyakit


degeneratif atau bentuk penyakit yang buruk.

TUJUAN PENGELOLAAN

Adalah untuk mengurangi rasa nyeri, memperbaikikualitas


tidur, dan meningkatkan aktivitas fisik untuk mendapatkan
kesehatan dan fungsi otot yang baik.

PENATALAKSANAAN
ATAS:

SECARA UMUM TERBAGI

Pengobatan secara farmakologi dan nonfarmakologi.


Untuk mendapatkan hasil yang baik pengobatan
farmakologiharus dikombinasikandengannonfarmakologi.
Pengobatan Secara Farmakologi
Pioro Boiset, Esdaile dan Fitzcharles ( 1996) mendapatkan
91 % pasien Fibromialgia melakukan terapi komplementari
(rehabilitasi) atau medis altematifselama 1 tahun.
Pengobatan nonfarmakologi antara lain: Latihan
olahraga: peregangan, penguatan, aerobik. Latihan
olahraga merupakan pengobatan nonfarmakologi yang paling penting. Latihan olahraga
yang teratur dimulai dengan peregangan dan diikuti
aerobik dapat meningkatkan nilai ambang rasa nyeri,
meningkatkan oksigen ke otot, memperbaiki kondisi
secara umum.
Pemanasan: dapat meningkatkan sirkulasi dan
mengurangi nyeri.
Terapi perubahan tingkah laku (kognitif); berfikir dan
tingkah laku yang positif.
Pendidikan: penyuluhan mengenai penyakit dan
pengobatannya, perbaikan tidur termasuk tidur teratur,
lingkungan bersih dan tidak ribut, menjauhi alkohol,
rokok dan kopi menjelang tidur. Transcutaneous
electrical nerve stimulation (TENS): dapat
meningkatkan opioid endogen.
Diet: rendah lemak dan tinggi serat
Suplementdiet: Koenzirn 10, Magnesium,Vit B 12.
Relaksasi, meditasi
Akupuntur, akupressure, pernijatan
Distraction,misalnyanontonfilm yang lucu(fannymovie)
Relaksasi, misalnya mendengarkan musik yang lembut.

PENGOBATANSECARAFARMAKOLOGI

Tidak ada obat khusus untuk pengobatan fibromialgia,


pengobatan simtomatis dengan obat-obatan akan
menghasilkan perbaikan sebanyak 30-50%.

Obat-obatan yang dapat diberikan:

Trisiklik antidepressant:
Amitriptilin5-50 mg/hari, Nortriptilin(PamelorI)0-50 mg/
hari, Sinequan (Doksepin) 2,5- 75 mglhari. Selektif
serotonin re uptake inhibitors (SSRI): Trazodon
(Desirel) 25-50 mglhari, Fluoksetin (Prozak:)
1-20 mglhari, Paroksetin(Paksil)5-20 mglhari.
Musclerelaksan:Siklobenzaprin(FlekserilI)0-30 mglhari.
Benzodiazepin:
Klonazepam(Klonopin)0,50-1 mglhari,
Alprazolam(Xanax)0,25-1,25 /hari.
Analgesik sederhana
OAINS (Ibuprofen, selekoksib), Asetaminofen (tidak boleh
lebih 4 gram/hari)
Analgesik sentral golongan Opioid: Kodein, metadon,
Tramadol
Topikal krim:
Capsaicin 0,25%

PROGNOSIS

Pasien usia muda dengan gejala ringan cenderung


prognosisnya lebih baik, walaupun pasien memberikan
respons terhadap pengobatan kadang-kadang masih juga
ada keluhan yang ringan tetapi nyeri tersebut dapat
ditoleransi Penyembuhan akan sulit pada pasien yang
mempunyai stres emosional berupa ansietas dan
depresi, oleh karena itu perlu penatalaksanaan secara
multidisipliner.

REFERENSI
Affleck G, Urrows S, Tennen H, Higgins P, Abeles M. Sequential
daily relations of sleep, pain intensity, and attention to pain
among women with fibromyalgia. Pain .1996; 68: 363-8.
Bennett RM. Fibrositis. In: Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge
CB eds. Text book of rheumatology. Philadelphia:WB
Saunders; 1989.p.541-53.
Bennet,
R. Scientific basis for understanding pain in
fibromyalgia. April 12, 2003. from http:/www.myalgia.com
Scientific%20basis.htm
Benneth RM, Clark SR, Campbell SM, Burckhard! CS . Low levels of
somatomedin
C in patients
with the fibromyalgia
syndrome.Arthritis and Rheumatism, 1992;35: 1113-6.
Clarke AK. Fibromyalgia. In: Clarke AK. Rehabilitation in
rheumatology. Singapore:Toppan Printing; 1987 .p.81-6.
Chichasova N, Igolkina E, Nasonov E, Folomeev MY, Repas Ch. A
long-term
treatment of fibromyalgia
with tramadol
(preeliminary report). IX Symposium Eular, Madrid 1996: 126
(Abstract).
Drewes AM. Pain and sleep disturbances with special reference to
Fibromyalgia and rheumatoid arthritis. Rheumatology 1999;
38: 1035-44.
Freundlich
B,Leventhal
L.The
fibromyalgiasyndrome.
Jn:Schumacher HR,Klippel JH, Koopmaan W J,eds. Primer on
the rheumatic disease. Atlanta:Arthritis Foundation;l993:247-9.
For EA, Sexton H. Weather and the pain in fibromyalgia:are they

2714
related ? J Ann Rheum. Dis. 2002;6 l: 242-50.
Fibromyalgia. http://www.fmsni.freeserve.co.uk
Fibromyalgia. http://www.muhealth.org/-vocrehab/fibro/index.htm
Griep EN. Fibromyalgia: neuroendocrine perspective and
pathophisiology. Proceeding of XIX ILAR Congress of
Rheumatology. Singapore: l 997.p.136-8.
Griffiths ID. Fibromyalgia. Lectures in rheumatology. Penang
International teaching course in Rheumatology.
Penang,
Practical Printers, 1990: 105-8.
Gerber LH. Pathogenesis of fibromyalgia. In: Toorralba T.T, Amarte
CM, Navarra ST (Eds). Proceeding of the 5 th Asean Congress
of Rheumatology. 3rd Aplar Symposium on the Theraphy of
Rheumatic Disease. Manila.1998: 44-45.
Geel SE. The Fibromyalgia syndrome: Musculoskletal pathofisiology.
Seminars in Arthritis and Rheumatism 1994; 23: 347-53.
Goldenberg DL. Treatment of fibromialgia . In: Benneth RM,
Goldengberg DL, Rheum Dis Clin North Am. Philadelphia: WB.
Saunders; 1989.p.61- 72.
Gilliland BG. Miscellaneus arthritis and extraarticular rheumatism.
In: Fauci AS, Braunwald E, lsselbacher KJ, Wilson JD, Kasper
DL, et al eds. Harrisons principles of internal medicine. 15 th
ed. New York:Mc Graw Hill;2001.p.2520-52
Hench PK. Evaluation and differential diagnosis of fibromyalgia.In
: Benneth RM, Goldenbrg DL. Rheum Dis Clin of North Am.
15. Philadelphia: B Saunders 1989.p.19-30.
Hannonen P, Malminiemi K, Yli-Kerttula U, Isomeri R, Roponen
P. A Randomized, double-blind, placebo-controlled study of
moclobemide and amitriptyline in the treatment of fibromyalgia

REUMATOLOGI

in females without psychiatric disorder. Br J Rheumatol. 1998;


37: 1279-86
Klemp P, Williams S.M, Stansfield S.A. Fibromyalgia in Maori and
European New Zealanders. APLAR Rheumato\.2002; (No.I):
1-5.
Lash .A A, Jones LE, Mc Coy D. Fibromyalgia: evolving concepts
and management in primary care setting. In: Journal Medsurg
Nursing Pro Quest Medical Library. 2003; vol 12: 145-90.
Mc Cain GA. Nonmedicinal treatments in primary fibromyalgia. In;
Benneth RM, Goldenberg DL.Rheum dis clin North Am.
Philadelphia: WB Saunders;l989.p.73-90.
Non-Articular Rheumatism, In: Adreoli T.E, Bennet J.C, Carpenter
C, Plum F,eds. Cecil essentials of medicine. 4 th ed.
Philadelphia: W.B. Sounders; l 997.p.634-6.
O.K. Moehad Sjah. Fibromialgia and sindrom miofasial. ASEAN
Meeting on Gout and Hyperuricemia, Ikatan Reumatologi
Indonesia, Jakarta, 2003.
Schochat T, Croft P, Raspe H. The epidemiology of Fibromyalgia.
Workshop of the standing committee on epidemiology
European league against rheumatism (EULAR), Bad Sackingen,
19-21 November 1992. Br J Rheumatol 1994; 33: 783-6. Wolfe
F.Fibromyalgia:the clinical syndrome. In : Benneth RM,
Goldenberg DL. Rheum Dis Clin North Am.Philadelphia: WB
Saunders; 1989 .p.1-18.
Zainal E, Harry I, Bambang S. Sindrom fibromialgia. In: Syaifullah
Noer et al,eds. Jakarta:Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai
Penerbit
FKUl;l996.p.108-12

415
NYERI SPINAL
Yoga I. Kasjmir

Nyeri merupakan salah satu gejala yang membawa pasien


dengan kelainan muskuloskeletal mencari pertolongan.
Nyeri ini lebih bersifat subyektif, sehingga menyulitkan
untuk membuat suatu batasan. Namun demikian
karakteristik nyeri seringkali membantu dalam hal mencari
penyebab nyeri.
Nyeri spinal timbul akibat berbagai keadaan yang
mengenai tulang belakang serta berbagai jaringan di
sekitamya yang berkaitan Jangsungatau bahkan nyeri pada
daerah spinal yang merupakan nyeri alih dari tempat lain
atau organ Jain yang jauh dari vertebra.
Di bawah ini dibahas nyeri servikal dan nyeri pinggang
bawah yang merupakan bagian dari nyeri spinal yang
banyak ditemukan di masyarakat.

NYERI SERVIKAL
Walaupun insidensi nyeri servikal tidak sebanyak keluhan
nyeri pinggang bawah, namun penelusuran terhadap nyeri
tersebut seringkalimenyulitkanpara klinisi.Pada umurnnya
sebelum timbul nyeri servikal pasien mengeluh kaku
servikal. Keluhan ini mulai menyerang pasien berusia
25-29 tabun dengan presentasi sebesar 25-30%. Pada
mereka yang berusia di atas 45 tahun, prevalensinya
meningkat sampai 50%.
Penyebab terbanyak nyeri servikal adalah artritis dan
trauma, walaupun lebih tepat dikatakan adalah berbagai
faktor mekanik yang mengganggu pergerakan. Gangguan
pergerakan ini baik pada diskus, ligamen atau sendi dapat
memberikan sensasi nyeri, rasa tidak enak di servikal
bahkan disabilitas.
Terdapat beberapa istilah yang digunakan pada nyeri
servikal ini dan berkaitan dengan proses penyebab yang
mendasarinya. Di antaranya sindrom servikal (cervical
syndrome) dimana nyeri servikal disebabkan oleh iritasi

radiks saraf dalam foramen intervertebral atau spondilosis


yang dikaitkan dengan proses degeneratif yang berasal
dari penyakit pada diskus.

Anatomi
Banyak jaringan yang merupakan sumber nyeri pada
daerah servikal. Umurnnya rasa nyeri berasal darijaringan
lunak atau ligamen, radiks saraf, faset artikular, kapsul,
otot serta dura. Nyeri dapat diakibatkan oleh iritasi, trauma,
inflamasi, atau infeksi. Pada gambar 1, dapat dilihat
berbagaijaringan di daerah servikal yang dapat merupakan
sumber nyeri.
Di samping itu perlu diperhatikan adanya nyeri alih dari
berbagaijaringanatau organ lain yang merupakangambaran
distribusi dermatomal yang dipersarafi oleh sarafservikal.
Pemahaman anatomi berbagai jaringan di servikal ini
sangatmembantudalammenetapkanpenyebabnyeriservikal.

Lig longitudinale
----.......

anterior

Llg longlt~dln ale

poslorio r

Korpus
v ertebra- ---,,--

Llg.lnt erspl nosum

Radikssaraf

Gambar 1. Anatomi vertebra servikal dan lokasi jaringan sumber


nyeri

Evaluasi KlinisNyeri Servikal


Pada umumnya tipe nyeri servikal, lokasi, frekuensi dan
lamanya nyeri servikal berkaitan erat dengan pergerakan
atau posisi. Seringkali tempat yang ditunjukkan pasien
adalah merupakan sumber nyeri atau cerminan nyeri alih.
Anamnesis yang cermat untuk mengetahui mekanisme

2716

REUMATOLOGI

timbulnya nyeri servikal dapat diperoleh dengan


menanyakan pergerakan mana yang menimbulkan atau
menambah rasa nyeri serta yang menghilangkan atau
mengurangi rasa nyeri pada servikal.
Banyak keadaan atau posisi servikal yang berkaitan
dengan pekerjaan atau kebiasaan seseorang akan
menimbulkan nyeri servikal tanpa disadari oleh yang
bersangkutan. Jenis pekerjaan sebaiknya ditanyakan
karena banyak posisi servikal tertentu pada jenis pekerjaan
tertentu yang dapat memicu nyeri servikal ini.
Di samping itu faktor emosi dapat mendasari adanya
perubahan postur tubuh maupun vertebra servikal serta
mengakibatkan pula nyeri servikal. Tekanan yang
berlebihanatau berkepanjanganakan menimbulkaniskemia
dan menyebabkan tension myositis, kontraktur miostatik
sebagai akibat proses adaptasi, yang menimbulkan rasa
nyeri bila dilakukan tarikan, iritasi regangan miofasial pada
periosteum tempat insersi otot, serta kompresi diskusi yang
menetap.
Pada sindrom servikal, perlu dibedakan beberapa
penyakit atau keadaan yang dapat menyebabkan nyeri
pada servikal, yaitu gangguan lokal pada servikal, lesi yang
menyebabkan nyeri servikal dan bahu, nyeri servikal yang
disertai penjalaran akibat lesi tertentu dan sebagainya.
Pada Tabel 1, diperlihatkan berbagai penyebab yang dapat
menimbulkan nyeri servikal.

Tabel 1. Penyebab Sindrorn Servikal

Gangguanlokalpadaleher
Osteoartritis
Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid Juvenilis
Tendinitis
Sternokleidomastoideus
Strain Servikal Posterior Akut
lnfeksi Farings Limfadenitis
Servikal Osteomielitis
Meningitis
Spondilitis Ankilosa
Penyakit Paget
Tortikolis
Keganasan (primer/
metastasis)
Neuralgia Oksipital
DISH (Diffuse ldiophatic
Skeletal Hyperostosis)
Demam Reumatik
Gout

Lesi yang mengakibatkan


nyeri leherl bahu
Gangguan postural
Artritis Reumatoid
Sindrom Fibrositis
Trauma
Muskuloligamentum
Osteoartritis Spondilosis
Servikalis Osteoartritis
lntervertebral Thoracic
outlet syndrome Trauma
pada saraf
Lesi yang mengakibatkan
nyeri leher disertai
penjalaran nyeri
Spondilosis servikalis
Artritis Reumatoid
Osteoartritis
Tumor medula spinalis
Sindrom neurovaskular
servikal

Nyeri pada servikal perlu dispesifikasi secara cermat


seperti mula timbul (onset) nyeri, distribusi, kekerapan,
apakah nyeri menetap atau hilang timbul, lama nyeri,
kualitas nyeri, kaitan dengan gejala neurologis, lokasi nyeri
dan sebagainya.Pada Gambar 2. di bawah ini diperlihatkan
algoritma mekanisme penyebab disabilitas dan nyeri
servikal.

Keterangan
Fisis
Emosional
Kalalnan bawaan
lnfeksl

~1

lritasljalingan

J-ca--

Trauma ftsis
lmobHtas

Keteganganotot

lskemia jaringan

Fibrous reaction

Hal11biltanpema~'otot.restrikSi geralcan_sendl,
katertiatasanf.ungsiieodo n, pemem,tekaofascia

J.

j r- 1

'

Disabilitas fungsional klinis

L.~--~Gambar 2. Mekanismetimbulnyanyeri lehersertadisabilitasservikal

Parestesia baik pada daerah muka, servikal atau sampai


ujung jari menunjukkan adanya gangguan pada radiks
saraf servikal. Keluhan ini dapat timbul unilateral maupun
bilateral, seringkali berkaitan dengan pergerakn servikal.
Tekanan pada radiks saraf atau arterei vertebral,
disfungsi autonom, spasme otot oksipital serta osteoartritis
akan memberikan keluhan sakit kepala. Nyeri bersifat
tumpul dan diperberat pula oleh gerakan servikal, batuk
atau tarikan otot.
Beberapa gejala lain yang perlu diperhatikan adalaha
keluhan pseudoangina pektoris, kekaburan pandangan,
tinitus, disfagia, sesak napas, palpitasi serta nausea. Hal
ini tergantung dari jenis kelaianan pada tulang servikal
terse but.
Untuk memudahkan penelususan penyebab nyeri servikal
ini dapat diperhatikan pembagian seperti berikut:
Nyeri servikal spesifik. Sifat nyeri biasanya terus menerus
dan berlangsung lama yang disebabkan oleh penyakit
tertentu seperti berbagai jenis artritis (osteoartritis, gout,
artritis reumatoid, spondiloartropati seronegatif), infeksi
keganasan, diabetes dan sebagainya.
Nyeri servikal non-spesifik. Durasi nyeri biasanya lebih
pendek dan intermiten.Nyeri lebih banyak diakibatkanoleh
proses gangguan biomekanik (spondilosis). Kelainan
ini berkaitan dengan ruda paksa, postur salah dan
penggunaan berlebih. Nyeri servikal golongan ini dibagi
lagi menjadi tiga, yaitu: nyeri diskogenik,nyeri mielogenik
dan
nyeri
neurogenik.

2717

NYERI SPIRAL

Nyeri diskogenik biasanya terasa tumpul atau linu dan


dalam. Nyeri alih dirasakan didaerah skapula medial, bahu
atas/ belakang, dan bagian posterior lengan bawah sampai
siku. Nyeri bertambah dengan fleksi servikal ke depan.
Nyeri mielogenik memberikan sensasi seperti
bergelombang dan merujuk ke bawah spinal sampai ke
ekstremitas.
Nyeri Neurogenik terasa lebih tajam, seperti tersengat
atau terbakar. Penjalaran nyeri ke arah lengan dalam daerah
dermatom radiks saraf.
Pemeriksaan Fisis
Memperhatikan postur tubuh pasien saat dilakukan
anamnesis merupakan pemeriksaan fisis awal yang dapat
membantu diagnosis. Biasanya postur tubuh tersebut
mencerminkan keadaan sebenamya keluhan nyeri servikal
pasien, mengingat adanya faktor emosi yang tinggi dapat
mengubah postur pasien saat pemeriksaan fisis
sesungguhnya dilakukan.
Pemeriksaan lingkup sendi (range of motion) dilakukan
baik secara aktif maupun pasif pada arah fleksi anterior
atau ekstensi. Pada tindakan pemeriksaan pasif, perhatikan
keterbatasan yang merupakan cerminan gangguanjaringan
lunak, ligamen, kapsul atau otot yang berada di sekitar
diskus serta sendi posterior. Fleksi lateral dan rotasi terjadi
secara bersamaan. Bila terjadi keterbatasan gerak ke arah
lateral ini biasanya akan dikompensasi oleh gerak bahu
yang mengikuti arah fleksi lateral tersebut.
Adanya keterlibatan neurologis perlu ditetapkan
seperti sensasi kesemutan pada tangan yang menunjukkan
adanya iritasi radis servikal C6, C7, C8 dan refleks serta
kekuatan otot. Biasanya gangguan neurologis yang terjadi
bersifat lower motor neuron. Gambar 3 menunjukkan
distribusi dermatom yang dipersarafi oleh saraf servikal.
Penetapan diagnostik nyeri servikal dapat lebih
dipermudah apabila dilakukan serangkaian pemeriksaan
khusus terhadap vertebra servikalis, yaitu: 1. tes kompresi
kepala; 2. tes distraksi kepala; 3. tindakan valsava; 4. tes
disfagia; 5. tes oftalmologik; 6. tes adson; 7. tes kelemahan
dan atrofi otot; 8. tes penekanan bahu; 9. pemeriksaan
refleks,serta 10. pemeriksaanterhadapdaerahsekitarservikal.
Tes distraksi kepala akan menghilangkan nyeri yang
diakibatkan oleh kompresi terhadap radiks saraf. Hal ini
akan dapat diperlihatkan apabila kecurigaan iritasi radiks
saraflebih memberikan gejala dengan tes kompresi kepala,
walaupun penyebab lain belum dapat disingkirkan.

Gambar 3. Distribusi dermatom persarafan servikal

sangat menentukan penanganan yang akurat. Pemeriksaan


dari sisi lateral dapat melihat dislokasi dengan mudah. Hasil
ini diperkuat oleh posisi oblik untuk melihat foramen
interverterbral yang menyempit. Untuk melihat adanya
kemungkinan kecurigaan dislokasi perlu dibuat posisi yang
tepat dan sesedikit mungkin melakukan manipulasi pada
servikal. Apabila dislokasi terjadi ke arah anterior lebih
dari setengah tebal korpus, maka perlu diketahui apakah
telah terjadi kerusakan pada ligamen longitudinal,
interspinosus dan faset. Subluksasi dapat dilihat dengan
menggunakan posisi fleksi dan ekstensi penuh.
Mengingat keterbatasan gambaran diagnostik hanya
dengan satu posisi foto polos vertebra servikalis ini, maka
dianjurkan pemeriksaan dari sudut antero-posterior, foto
antlanto-aksial dengan mulut terbuka, posisi lateral dan
oblik. Akibat keadaan ini seringkali didapatkan
ketidakcocokan hubungan antara gambaran foto polos
servikal dengan manifestasi klinisnya.
Mielografi. Tindakanini tidak memberikanbasilyang begitu
baik, karena sempitnya kanalis spinalis. Dengan mielografi
ini dapat dilihat kanal dura, ekstensi ke arah posterior dari
diskus, penonjolan tulang ke dalam kanalis spinalis.
Sedangkan diskografi yaitu dengan menyuntikan
zat kontras ke dalam diskus hanya memberikan
gambaran tentang diskus itu sendiri sebagai lokasi sumber
nyeri.

Pemeriksaan Radiologis

Pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance


imaging). Teknik ini banyak digunakan untuk melihat
adanya kelainan kongenital, siringomielia, neoplasma
medula spinalis, sklerosis multipel dan degenerasi diskus
awal. Di samping itu bermanfaat pula dalam pemeriksaan
terhadap kelainan ekstramedular dan trauma.

Foto polos. Evaluasi klinis lebih menentukan diagnosis


penyebab nyeri servikal, sedangkan gambaran radiologis
dapat memberikan bantuan data serta hams berhati-hati
dalam mengambil kesimpulan. Fraktur atau dislokasi
vertebra servikalis harus diketahui secara pasti, karena

Elektrodiagnostik. Beberapa pemeriksaan ini membantu


gambaran klinis. Di antaranyapemeriksaan elektromiografi
(EMG), kecepatan hantar saraf (nerve conduction
velocity/NCV) dan somatosensory evoked response (SER).
Dengan teknik ini dapat diperlihatkan adanya polineu-

2718

REUMATOLOGI

ropati difus, neuropati karena jepitan saraf fokal,


radikulopati, miopati atau gangguan pada sambungan
neuromuskular.

berupaatrofi otot sertakontraktur. Jangkawaktu 1-2 minggu


ini biasanya cukup untuk mengatasi nyeri pada nyeri
servikal non spesifik. Apabila disertai dengan iritasi radiks
saraf, adakalanya diperlukan waktu sampai 2-3 bulan.

Penatalaksanaan
Dalam menghadapi pasien dengan nyeri servikal, perlu
diperhatikan selain penyebabnya adalah berat ringannya
gejala, ada tidaknya keterlibatan neurologis, serta beratnya
gambaran radiologis.

Operasi. Tindakan ini lebih banyak ditujukanpada keadaan


yang disebabkan oleh kompresi terhadap radiks saraf atau
pada penyakit medula spinalis yang berkembang
lambat serta melibatkan tungkai sertai lengan. Pada
penanggulangan kompresi tentunya harus dibuktikan
dengan adanya keterlibatan neurologis serta tidak
memberikan respons dengan terapi medikamentosa
biasa.

Pengobatan pada Fase Akut Nyeri


Obat penghilang nyeri atau relaksan otot dapat diberikan
pada fase akut. Obat-obatan ini biasanya diberikan selama
7-10 hari. Jenis obat-obatan yang banyak digunakan
biasanya golongan salisilat atau anti inflamasi nonsteroid.
Bila keadaan nyeri dirasakan begitu berat, kadang-kadang
diperlukan analgetik golongan narkotik seperti kodein,
meperidin, bahkan morfin. Ansiolitik dapat diberikan pada
mereka yang mengalami ketegangan mental. Pada kondisi
tertentu seperti nyeri yang diakibatkan oleh tarikan otot,
tindakan latihan ringan yang diberikan lebih awal dapat
mempercepat proses perbaikan. Kepala sebaiknya
diletakkanpada bantal servikalsedemikianrupa yaitu sedikit
dalam posisi fleksi sehingga terasa nyaman oleh pasien dan
tidak mengakibatkan gerakan ke arah lateral. Istirahat
memang diperlukan pada fase akut nyeri, terutama pada
spondilisisservikalis/kelompoknyeri servikalnon spesifik.
Tindakan Pengobatan Lanjutan
Traksi. Tindakan ini dilakukan apabila istirahat tidak dapat

menghilangkan nyeri atau pada pasien dengan gejala yang


beratdanmencerminkanadanyakompresiradikssaraf Traksi
dapat dilakukan secara terus menerus atau intermiten.
Latihan. Berbagai modalitas dapat diberikan pada
penanganannyeri pada servikalini. Latihan ini dimulaipada
akhir minggu pertama. Latihan mobilisasi servikal ke arah
anterior, latihan mengangkat bahu atau penguatan otot
banyak membantu proses penyembuhan nyeri. Hindari
gerakan ekstensi maupun fleksi. Pengurangan nyeri yang
diakibatkan oleh spasme otot dapat ditanggulangi dengan
melakukanpijatan.
Cervical Collar. Pemakaian cervical collar lebih ditujukan
untuk proses imobilisai serta mengurangi kompresi pada
radiks saraf, walaupun belum terdapat satu jenis collar
yang benar-benardapat mencegahmobilisasiservikal.Salah
satujenis collaryang banyak digunakanadalahSOM! brace
(sternal occipital mandibular immobillizer], Collar
digunakan selama satu minggu secara terus menerus siang
maupun malam dan penggunaannya diubah pada minggu
kedua secara intermiten atau bila mengendarai kendaraan.
Harus diingat bahwa tujuan imobilisasi ini bersifat
sementara dan harus dihindari akibatnya yaitu di antaranya

Pencegahan nyeri servikal. Seluruh pasien nyeri servikal

sebaiknya diberitahukan mengenai masalah yang


dihadapinya serta memberikan gambaran pengobatan
maupun instruksi yang harus dilakukan seperti posisi saat
duduk, mengendarai kendaraan dan posisi servikal yang
berkaitan dengan berbagai pekerjaan atau aktivitas seharihari.
Anjuranpertama yang diberikan apabila timbul kembali
nyeri servikal adalah menghindari semua kegiatan yang
dapat menimbulkan rasa nyeri. Di samping itu penguatan
otot-otot servikal hams dilakukan selama minimal 3 bulan
secara intensiftiap hari dan dilanjutkan secara intermiten
untuk seumur hidup.
Latihan penguatan otot-otot servikal adalah sebagai
berikut;
1. Dengan kedua tapak tangan di belakang kepala, lakukan
dorongan ke depan dan otot-otot servikal berusaha
mempertahankan kedudukan kepala agar tidak terjadi
fleksi, selama 1 menit.

2. Dengan kedua tapak tangan di dahi, lakukan ha! yang


sama dengan cara 1, yaitu tangan mendorong kepala ke
belakang sementara itu otot-otot servikal bernsaha
mempertahankankepala agar tidak mengalamiekstensi.
Lakukan tindakan ini selama 1 menit.

arah tek anan


otot

2719

NYERI SPIRAL

3.

Pada posisi tangan kanan di pelipis kanan, lakukan


dorongan ke arah kiri dan otot-otot servikal melawan
gaya dorongan tersebut selama 1 menit, agar tidak
terjadi fleksi lateral. Hal yang sama dikerjakanpada sisi

Radikulopati

Kelainan ini banyak dijumpai akibat adanya proses


degeneratif seperti osteoartritis atau berbagai keadaan
yang mengakibatkan terjadinya kompresi radiks saraf.

kiri.
Sindrom Skapulokostal

Iritasi radiks saraf diskogenik servikal dapat memberikan


sensasi nyeri pada daerah interskapula. Biasanya nyeri
ditimbulkan akibat postur tertentu yang berkaitan dengan
pekerjaan atau tekanan emosional. Tidak dijumpai adanya
manifestasi neurologis. Pengobatan dapat dilakukan
dengan pemberian obat anti radang nonsteroid atau
steroid, injeksi anestetik lokal dan latihan postur.
4. Pada posisi satu tangan kanan di dahi dan tangan kiri
di belakang kepala, dilakukan putaran kepala
ke arah kanan, sedangkan otot-otot servikal
mempertahankan posisi kepala tetap menghadap
ke depan. Lakukan hal yang sama untuk gerakan ke
arah kiri.

Fibromiositis

Penyakit ini ditandai oleh nyeri otot, spasme, kekakuan


dan nodul. Banyak istilah yang dipakai untuk penyakit ini
seperti fibrositis, myofasciitis, interstitial myofasciitis,
tension miositis, dan psychogenic rheumatism. Kelainan
ini berkaitan dengan adanya ruda paksa atau sekunder
akibat denervasi terhadap otot yang berkaitan.
Kelainan Metabolik

Beberapa kelainan metabolik seperti


gangguan
metabolisme kalsium pada osteoporosis, deposisi kristal
asam urat pada gout, deposit kalsium yang dijumpai pada
kalsifikasi ligamen flavum, sindrom arteri vertebral yang
diakibatkan oleh aterosklerosis di samping akibat lain
seperti osteoartritis, trauma atau artritis reumatoid,
merupakan beberapa keadaan yang perlu diperhatikan
sebagai penyebab nyeri servikal pada sindrom servikal.
DIAGNOSIS BANDING

Banyak penyakit atau kondisi patologis yang terdapat di


luar vertebra servikalis memberikan manifestasi nyeri pada
servikal. Di bawah ini dijelaskan berbagai penyakit serta
proses patologik yang menimbulkan rasa nyeri.
Neck Sprain/Stain
Kelainan ini pada umumnya didasari oleh adanya ruda
paksa padajaringan sekitar servikal. Kadangkala terdapat
juga faktor psikofisiologis
AnteriorScalene Syndrome
Biasanya nyeri tumpul dan dalam dirasakan oleh pasien
terutama pada daerah tangan ataujari-jari, disertai perasaan
mati rasa. Pemeriksaan yang paling baik dilakukan untuk
menentukan adanya kelainan ini adalah dengan tes Adson.
Pada kelainan ini yang disebabkanoleh adanya iritasiradiks
saraf, maka perbaikan fleksibilitas serta postur sangat
diperlukan. Tindakan ini ditujukan untuk mengurangi
lordosis servikal yang berlebihan dan membuka foramen
posterior.

Keganasan

Fibrous displasia yang didasari kelainan genetik,


metastasis atau tumor primer pada vertebra servikal
merupakan penyebab lain, walaupun jarang, yang perlu
dipertimbangkan sebagai penyebab nyeri servikal di
samping adanya gejala lain proses patologik tersebut.
lnfeksi atau lnflamasi

Proses infeksi seperti osteomielitis pada vertebra servikal,


dislokasi C 1-C2 atau C 1-0ksipitoe akibat proses inflamasi
maupun infeksi merupakan kondisi lain penyebab servikal.
Lain-lain

Thoracic outlet syndrome yang akan diakibatkan oleh


kelainan vaskular atau neurogen, double crush syndrome
pada radikulopatiservikalmaupun penjepitanradiks perifer,
sindrom esofagus yang berkaitan dengan osteoartritis,
ruda paksa maupun artritis reumatoid serta gangguan
mental dapat memberikan manifestasi nyeri servikal, yang
menyulitkan penetapan diagnosis penyebab nyeri servikal
terse
but.

2720
NYERI PINGGANG
Nyeri pinggang bawah atau low back pain merupakan
salah satu keluhan yang paling banyak dijumpai pada
pasien reumatik . Keluhan ini yang berkisar antara 65-80
persen dari populasi merupakan sepertiga keluhan
reumatik. Di Poliklinik Divisi Reumatologi, Departemen
IlmuPenyakitDalam,FKUJJRSUPNCiptoMangunkusumo,
dalam kurun waktu 1991-1994,nyeri pinggang merupakan
keluhan yang menempati urutan ketiga di bawah
osteoartritis dan reumatism ekstraartikuler. Untuk daerah
rural sekalipun keluhan pada pinggang menempati urutan
kedua setelah nyeri pada sendi perifer. Masalah ini
mengakibatkan disabilitaspada mereka yang berusia muda,
serta berdampak lain yang merugikan seperti banyaknya
cuti sakit, hilangnya jam kerja serta besarnya biaya
pemeliharaan kesehatan yang harus dikeluarkan.
Penyebab keluhan nyeri pinggang ini sangat beragam
dan memerlukan suatu pendekatan yang sistematik dalam
upaya mencari penyebab utamanya. Faktor risiko potensial
untuk terjadinya nyeri pinggang bawah adalah merokok,
multiparitas, mengendarai kendaraan bermotor dan
mengangkat beban berulang-ulang. Dernikian pula dalam
penatalaksanaan keluhan nyeri pinggang tersebut
memerlukan seni tersendiri.
Anatomi
Tidak semua bagian segmen vertebra lumbalis dapat
merupakanjaringan penyebab sumber nyeri pinggang. Di
samping itu kinetika pergerakan segmen vertebra lumbalis
tersebut perlu diperhatikan dengan seksama agar dapat
dicegahgerakanyang menimbulkan atau menguranginyeri.
Sumbernyeri dapat berasal dari persoalan kulit, otot, tulang
belakang, organ visera, ataupun kebiasaan (habit)
seseorang dalam posisi tertentu serta aktiviatas rutin dalam
pekerjaan. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat lokasi
jaringan sebagai sumber nyeri pinggang bawah.
Evaluasi Klinispada Pasien Nyeri Pinggang
Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang berkaitan
erat dengan usia. Biasanya nyeri ini mulai dirasakan pada
mereka pada usia dekade ke dua dan insiden tinggi
dijumpai pada dekade ke lima. Keluhan nyeri ini juga
berkaitan erat dengan aktivitas mengangkat beban berat,
sehingga riwayat pekerjaan sangat diperlukan dalam
penelusuran penyebab serta penanggulangan keluhan ini.
Keluhan nyeri dapat beragam dan diklasifikasikan
sebagai nyeri yang bersifat lokal, radikular, menjalar
(refferedpan) atau spasrnodik. Nyeri lokal berasal dari
proses patologik yang rnerangsang ujung saraf sensorik,
umumnya rnenetap, narnun dapat pula intermiten, nyeri
dapat dipengaruhi perubahan posisi, bersifat nyeri tajarn
atau turnpul.Biasanyadapat dijumpai spasrneparavertebral.
Nyeri alih atau menjalar dari pelvis atau visera

REUMATOLOGI

umumnya mengenai dermatom tertentu, bersifat tumpul


dan terasa lebih dalam. Nyeri alih yang berasal dari spinal
lebih dirasakan di daerah sakroiliak, gluteus atau tungkai
atas sebelah belakang dan daerah nyeri alih tersebut
berasal dari jaringan mesodermal yang sama dalarn
perkernbangan embrioniknya.
Nyeri radikular berkaitan dengan erat dengan distribusi
radiks saraf spinal (spinal nerve root), dan keluhan ini
lebih berat dirasakan pada posisi yang rnengakibatkan
tarikan seperti membungkuk; serta berkurang dengan
istirahat. Salah satu penyebab yang perlu diperhatikan
adalah tumor pada korda spinalis yang ditandai oleh tidak
berkurangnya nyeri dengan istirahat atau lebih memburuk
terutarna pada malam hari. Karakteristik lain yang dapat
ditemukan adalah perubahan neurologis seperti parestesia
dan baal serta dapat disertai oleh kelemahan motorik.
Diperlukan suatu analis hubungan antara faktor
rnekanik dengan nyeri pinggang bawah. Faktor rnekanik
ini mencerminkan patofisiologi sumber nyeri. Nyeri
pinggang bawah akibat herniasi diskus cenderung
memburuk pada posisi postural yang lama. Pola nyeri lain
yang diakibatkan oleh stenosis spinal degeneratif adalah
nyeri yang bersifat klaudikasio neurogenik yang dirasakan
pada pinggang atau tungkai saat berjalan atau posisi
tegak.
Pernahaman terhadap ragarn jaringan yang dapat
merupakan surnber nyeri pinggang bawah akan
mempermudah pendekatan penanggulangan nyeri. Antara
lain perlu diketahui bahwa ligarnen longitudinal posterior
atau anterior, anulus fibrosus, ligamen interspinosum,
ligamen flavum, foramen intervertebral dalam dirnana
berjalan radiks saraf, dapat merupakan sumber nyeri yang
memerlukan pendekatan diagnosis maupun penanganan
yang seksama.
Pada Tabel 2 diperlihatkan karakteristik dari nyeri
pinggang bawah dikaitkan dengan berbagai sumber nyeri.
Beberapa penyakit lain perlu diperhatikan dalam
menegakkan diagnosis penyebab nyeri pinggang bawah
ini, yaitu: stenosis spinal danjepitan radiks saraflumbal,
penyakit inflamasi sistemik pada pinggang bawah, infeksi,
spondilosis, spondilolistesis, serta sumber nyeri pinggang
lain yang bukan berasal dari vertebra lumbalis.

LPl(gJ.l$01te1(gkll,ur<llnale

---1~c:!f'-i~r--

Anulus fibrosus

Llg,inl"1'1!l fflasum ----.


PenMa r\saddl

--~r----:::.r-.~r

Gambar 8. Anatomi vertebra lumbalis dan lokasi jaringan sumber


nyeri

2721

NYERI SPIRAL

Tabel 2. Karakleristik Nyeri Pmggang Bawah Berdasarkan

Berbaqai Sumber Nyeri

Sumber Nyeri

Sifat Nyeri

Faktor yang Memperberat

Perubahan Neurologis

Tajam
Tumpul
Dalam, aching

Pergerakan

Tidak ada

Nyeri Diskus

Sklerotomal
Lokal
Sklerotomal

Nyeri Radiks Saraf

Radikular

Multiple lumbar spinal


stenosis
Nyeri alih visera

Radikular
Sklerotomal
Dermatomal

Parestesia
Baal
Pola klaudikasio
spinal
Dalam, aching

Nyeri Spinal

Dlstribusl

Peningkatan tekanan intra diskus seperti


membungkukduduk, manuver valsava
Regangan akar saraf

Tidak ada

Ekstensi lumbal
Berjalan
Berkaitan dengan organ yang terkena

Ada

Pada stenosis spinalis perlu diperhatikan apakah


kelainan tersebut memang idiopatik/ kongenital
atau sekunder akibat proses degeneratif, spondilosis
atau spondilolistesis, iatrogenik pasca laminektomi/
kemonukleolisis, atau akibat ruda paksa, penyakit paget
dan fluorosis.
Pada Tabet 3 diperlihatkan berbagai penyebab nyeri
pinggang bawah ditinjau dari segi reumatologi.
Mengingat banyaknya tumpang tindih dengan
manifestasi dari berbagai disiplin ilmu lainnya seperti
neurologi, bedah ortopedi dan sebaginya, maka diperlukan
suatu pendekatan yang seyogyanya dilakukan secara
holistik.
Pemeriksaan Fisis pada Nyeri Pinggang Bawah
Pasien diperiksa dalam keadaan tidak berpakaian.
Dilakukan pemeriksaan terhadap tulang belakang saat
pasien berdiri untuk melihat lordosislumbal,kiposis torakal,
kiposis dan tilt dari skoliosis skiatik, fleksi ekstremitas
bawah untuk mengurangi nyeri akibat tekanan pada radiks
saraf, spasme muskular dan skin nevi pada daerah tulang
belakang. Cara berjalan dan pergerakkan diperiksa
termasuk toe and heel gait, untuk menentukan adakah
kelemahan muskular.

Tabel 4 t.okast Nyen Ak1bat lritasi Radik s Sarai Spinal pada


Herniasi D1skus
Radiks
saraf

Nyeri dan
dlsestesla

Kelemahan otot
dan atrofi

Penurunan
relaks

L4

Tungkai atas
(posterolateral)
Tungkai bawah
(anteromedial)
Tungkai atas
(posterior)
Tungkai bawah
(anterolateral)
Kaki slsl medial dan
ibujari

Quadriceps

Knee jerk

Tibialis anterior

Tidak ada
Ankle jerk

LS
Seqi Reurnatoloqi

Daerah punggung atas


- fibrositis
- polimialgia reumatika
metastasis
- mieloma multiple
- skoliosis
- fraktur vertebra
Daerah sakrolllaka
- ketegangan
sakroiliaka
- osteitis kondensa
ileum
- spondilitis ankilosa
- artritis psoriatika
- sindrom reiter
lipomata sakral
nyeri alih
- epifistis vertebra

Tidak ada

Kemampuan membungkuk dapat diukur secara kasar


dengan perkiraan fleksi atau jarak ujung jari ke lantai.
Lateral banding yang asimetrik menunjukkan
kemungkinan adanya jepitan pada radiks saraf.
Hiperekstensi untuk menyingkirkan nyeri akibat inflamasi
facet joints. Tulang belakang dipalpasi untuk menentukan
adanya nyeri tekan, step off dari spondilolistesis,
detek spina bifida. Perkusi dilakukan untuk menimbulkan
nyeri lokal atau nyeri skiatik dan pada daerah
kostovertebrauntuk menyingkirkan nyeri yang berasal dari
ginjal.
Pemeriksaan terhadap kelainan neurologis diperlukan
bila didapatkan adanya keluhan yang mencerminkan iritasi
radiks saraf lumbal. Pada hemiasi diskus biasanya yang
banyak terlibat adalah L5.-Sl dan L4-L5. Pada Tabet 4 di
bawah ini tercantum pemeriksaan lokasi nyeri berdasarkan
adanya keterlibatan radiks saraf pada hemiasi diskus.

Tabel 3. Penyebab Nyeri Pinggang Bawah ditinjau dari


Daerah pinggang bawah
osteoartritis
osteoporosis
spondilitis ankilosa
keteg~ngan (starain)
lumbosakral
spondilolistesis
hernia nukleus pulposus
fibrositis
skoliosis
_
sikap tubuh (postur) yang
jelek
bursitis
tumor (primer/ metastasis)
infeksi vertebra
nyeri alih (referred pain)

Ada

51

S2-S4

Tungkai atas
(posterior)
Tungkai bawah
(posterior)
Kaki (posterolateral)
Jari sisi lateral
Gluteus dan
perineum
Tungkai alas
(posterior)
Tungkai bawah
(posterior)
Kaki (plantar)

Extensor hallucis
longus
Atrofi
kompartemen
anterior tungkai
bawah
Gastrosoleus

Gluteus maksimus
Hamstring
Gastrosoleus
Foot intrinsic dan
fleksor longus,
stinkier anal dan
kandung kemih

Ankle jerk

Ankle jerk
Absent
plantar
responses

2722
Dalam posisi terlentang dilakukanpemeriksaanpanjang
tungkai, melihat adanya atrofi otot. Ketidaksamaan
panjang tungkai dapat merupakan salah satu sebab
timbulnya nyeri pinggang dan keadaan ini dapat diatasi
dengan meninggikan alas sepatu. Laseque atau straight
leg raising (SLR) dilakukan dalam keadaan lutut ekstensi
sampai pasien merasa nyeri dan otot hamstring meregang.
Apabila nyeri terjadi pada daerah pinggang dan bersifat
radikular, hal ini menunjukkan adanya herniasi diskus.
Tes ini bemilai diagnostik apabila radiks yang terkena
lebih distal yaitu setinggi L5 dan Sl. Untuk mengenali
kelainan radiks yang lebih tinggi dari L5 dilakukan tes
Ely. Pasien dalam posisi telungkup, lutut difleksikan
dan dilakukan hiperekstensi panggul. Iritasi setinggi L3
dan L4 akan membatasi gerak hiperekstensi tersebut.
Sendi sakroiliaka diperiksa dengan tes fabere atau
Patrick. Dilakukan fleksi, abduksi, rotasi ekstemal dan
ekstensi panggul.
Evaluasi psikologis diperlukan bilamana dijumpai
kelainanpada faktorkepribadiandan menyangkutkesulitan
dalam upaya pengobatan. Salah satu cara penialaian
emosional pasien dilakukan dengan MMPI(The Minnesota
Multiphasic Personality Inventory). Dengan metoda ini
mudah diketahuibesamyaskalahisteria maupunhipokondria
pada pasien. Memang sangat sulit menentukan apakah
gangguan psikologis atau emosional terjadi akibat proses
nyeri itu sendiri atau sebaliknya.
Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dijumpai satu pemeriksaan laboratorium yang dapat
digunakan sebagai penyaring penyebab keluhan nyeri
pinggang bawah. Tes laboratorium hanya dipakai sebagai
data tambahan terhadap berbagai penyakit kausal
yangmemangmemilikikarakteristiknilailaboratoriktertentu.
Pemeriksaan Radiologis
Foto polos. Standard pemeriksaan untuk nyeri pinggang
bawah adalah foto posisi anteroposterior, lateral dan coned
down lateral view. Data tambahan dapat diperoleh melalui
posisi foto oblik. Dengan diskus awal tampak apabila
terdapat pengurangan tinggi celah diskus di sisi anterior
dan pergesaran intervertebra anteroposterior pada posisi
lateralfleksi dan ekstensi. Keadaan lebih lanjut akan tampak
berupa kolaps celah diskus, sklerosis serta pembentukan
osteofit. Akan tetapi kelainan lain seperti adanya osteofit
yang dijumpaipada osteoartritislumbal dapat pula dijumpai
pada beberapa penyakit tulang belakang seperti sindrom
reiter, spondilitisankilosa atau artritispsoriatik serta adanya
kelainan pada diskus tidak mencerminkan sebagai sumber
nyeri pinggang bawah. Kelainan seperti skoliosis, lordosis
lumbal yang meningkat mempengaruhi keluhan nyeri
tersebut di samping diskrepansipanjang tungkai yang lebih
dari4,5cm.

REUMATOLOGI

Mielografi. Tindakan ini ditujukan apabila terdapat


kemungkinantindak Ianjut operatif saja karena banyak efek
samping akibat pemberian kontras seperti sakit kepala,
demam, mual, meningismus, nyeri punggung, gangguan
miksi, parestesia, ileus dan araknoiditis akut maupun
kronik. Akibat teknik tindakan dapat timbul hematom
epidural, retensi kontras, emboli paru, pembentukan
kista epidermoid. Keuntungan teknik ini adalah mudah
mengetahui lokasi sumbatan serta jepitan pada radiks.
Sidik tulang (bone scan). Pemeriksaan dengan cara ini
dapat dipakai untuk mendeteksi adanya proses infeksi,
keganasan, dan ankilosing spondilitis awal. Di samping itu
defek pada bagian intrartikular yang tidak tampak
dengan foto polos dapat diperlihatkan oleh teknik
pemeriksaan ini.
Computed tomography. Teknik ini banyak digunakan
sebagai altematiftindakan mielografi, namun tidak sebagai
tindakan penapisan (screening). Hmiasi diskus dapat
dideteksi lebih dari 95%. Mengingat mahalnya tindakan
tersebut, maka teknik ini dipakai apabila dicurigai adanya
kelainan anatomik.
Pencitraan resonansi magnetik (magnetik resonance
imaging). Dengan teknik ini dapat diperlihatkan kelainan
pada jaringan lunak. Korpus verteba, diskus serta kanalis
spinalis dengan mudah dapat dilihat tanpa menggunakan
kontras. Sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi
ditunjukkan dalam mendeteksi osteomielitis.
Penatalaksanaan
Penanggulangan nyeri pinggang bawah bertujuan untuk
mengatasi rasa nyeri, mengembalikan fungsi pergerakan
dan mobilitas, mengurangi residual impairment,
pencegahan kekambuhan serta pencegahan timbulnya
nyeri kronik. Perlu diperhatikan walaupun yang
terbaik adalah memberikan pengobatan sesuai dengan
penyebab nyeri, tetapi sangat sulit menentukannya
pada fase akut nyeri atau bahkan pada nyeri kronik
sekalipun.
Penanggulangan nyeri akut. Nyeri dapat diatasi dengan
pemberian obat-obatan, istirahat dan modalitas. Penjelasan
singkat penatalaksanaan perlu diberikan dan hindari
penggunaan istilah yang tidak banyak dimengerti oleh
awam atau dapat menimbulkan rasa takut seperti kata
nyeri skiatik, artritis, spasme, penyakit diskogenik dan
sebagainya.
Pemberian obat anti radang nonsteroid (OAINS)
diperlukan untuk jangka waktu pendek disertai dengan
penjelasan kemungkinan efek samping dan interaksi obat.
Tidak dianjurkan penggunaan muscle relaxant karena
memiliki efek depresan. Pada tahap awal, apabila didapati
pasien dengan depresi premorbid atau timbul depresi
akibat rasa nyeri, pemberian anti depresan dianjurkan.

2723

NYERI SPIRAL

Istirahat secara umum atau lokal banyak memberikan


manfaat. Tirah baring pada alas yang keras dimaksudkan
untuk mencegah melengkungnya tulang punggung. Pada
episode akut ini diperlukan 3-5 hari tirah baring, kecuali
pada keadaan skoliosis disertai nyeri radikular hebat atau
hemiasi diskus akut yang memerlukan istirahat lebih lama
lagi sampai 5 minggu. Posisi tidur disesuaikan terhadap
rasa nyaman yang dirasakan pasien. Beberapa pasien
merasa lebih enak pada posisi terlentang dengan ekstensi
penuh, beberapa dengan posisi semi Fowler atau bahkan
dalam curled up fetal position. Istirahat pada nyeri
pinggang bawah ini tidak hanya diartikan tidur, tetapi
perlu dijelaskan lebih rinci pada pasien antara lain posisi
istirahat tidak dengan duduk tegak lurus, mengubah
posisi tidur miring ke arah berlawanan dikerjakan dengan
panggul dan lutut dalam fleksi, pinggang harus
dalam posisi sedikit fleksi pada keseluruhan pergerakan
tersebut, tidak membuat lordosis berlebihan selama
berdiri dan menjaga berat tubuh berada di tengah kedua
kaki.
Latihan mulai diberikan pada hari ketiga, keempat,
dengan memberikan fleksi ringan . Dilanjutkan dengan
pemberian modalitas lainnya. Modalitas yang
diberikan sangat beragam. Bila disertai suatu protective
spasm pemberian kompres es atau semprotan etil
klorida, fluorimetan dapat membantu mengatasi
nyeri. Latihan dengan memberikan tarikan (stretching)
dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain
dengan latihan posisi knee chest dan fleksi lateral.
Traksi dianjurkan bila terdapat herniasi diskus
lumbal. Tarikan ini lebih ditujukan untuk mengurangi
lordosis dan menjauhkan facet joint serta membuka
foramen.

Nyeri tidak selalu dapat diatasi dengan cara-cara di


atas. Terkadang diperlukan tindakan injeksi anestetik atau
anti inflamasi steroid pada tempat-tempat tertentu seperti
injeksi pada faset, sekitar radiks saraf, epidural, intradural.
Keterampilan sangat menentukan dalam tindakan
penyuntikan tersebut, karena sangat bergantung dari
lokasi jaringan sebagai sumber nyeri.
PencegahanKekambuhan
Setelah fase akut teratasi diperlukan tindak lanjut berupa
perbaikan fleksibilitas dan kekuatan otot, perbaikan postur
tubuh, kebiasaan kerja dan aktivitas sehari-hari (activities
of daily living I ADL), perubahan serta modifikasi aspek
psikososial.
Pelatihan peregangan (low back stretching exercise).
Tarikan dimulai dengan latihan dalam curled up fetal
position, kemudian dilanjutkan dengan latihan fleksi
lateral, gravitonic stretch exercise, latihan yoga,
pelvic tilting exercise, erect flat back exercise,
hamstring stretching exercise, heel cord stretching dan
exercisefor stretching hip flexor.
Korset/ bracing. Penggunaan korset diberikan pada

mereka yang baru sembuh dari fase akut nyeri atau


bilamana kekerapan kambuh yang tinggi. Tujuan
penggunaan korset adalah mengurangi spasme yang
dilakukan sebagai tindakan bidai pada tulang belakang,
memperbaiki postur dan mengurangi gerakan vertebra
lumbal.

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit inflamasi sistemik pada tulang belakang.


Penyakit inflamasi sistemik seperti artritis reumatoid
seringkali menyebabkan kelainan pada vertebra lumbalis.
Selain itu proses inflamasi lain akibat spondiloartropati
seperti spondilitis ankilosa, dan spondilosis hiperostotik
memberikan keluhan nyeri pinggang bawah pula.
Infeksi. Osteomielitis piogenik dengan penyebaran
hematogen kuman golongan stafilokok atau basil
gram negatif, seringkali memiliki predileksi pada
kolumna vertebralis. Di samping itu nyeri dapat
berasal dari infeksi pada celah diskus. Keadaan ini lebih
sering setelah tindakan eksisi pada diskus dan lebih
merupakan infeksi iatrogenik. Infeksi lain yang
memberikan gambaran nyeri pinggang bawah di
antaranya adalah blastomikosis, kriptokokosis,
aktinomikosis, koksidioidomikosis, tuberkulosis,
spondilitis sifilitik dan kista hidatid.
Spondilolisis/spondilolistesis. Spondilolistesis dapat
disebabkan oleh proses degeneratif pada diskus dan
biasanya disertai dengan stenosis spinalis lokal atau
akibat ruda paksa. Kebanyakan akibat ruda paksa ini
menyebabkan frakturpada bagian posterior vertebra seperti
pedikel atau faset. Suatu proses patologik lain yang
mengakibatkan spondilolistesisi dapat ditemukan
pada dengan penyakit tulang atau mengenai tulang
belakang seperti osteopetrosi, artrogriposis, penyakit
paget, sifilis, artropati neurogenik, spondilitis
tuberkulosa, giant cell tumor atau metastasis tumor.
Spondilolistesis yang diakibatkan proses-proses patologik
tersebut biasanya mengenai segmen proksimal dari
tulang vertebra lumbalis.
Sebab lain nyeri pinggang bawah. Sebagaimana telah
disebutkan dalam pendahuluan maupun pemeriksaan fisis,
berbagai penyakit lain yang tidak bersangkutan dengan
tulang belakang dapat memberikan sensasi nyeri pada
daerah tersebut. Memang sangat jarang keluhan penyakit
non tulang belakang ini yang hanya memberikan
gambaran rasa nyeri pada pinggang bawah semata,
tetapi biasanya disertai gej ala lain sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya. Organ visera intra-abdominal, retroperitoneal maupun pelvis memberikan
sensai nyeri alih dermatomal, tidak memburuk dengan
aktivitas dan nyeri tidak berkurang dengan istirahat.

2n,
Beberapa penyakit di antaranya adalah ulkus peptik, g
astritis, tumor pada duodenum, gaster atau pankreas, dan
pendarahan retroperitoneal. Pada wanita, tumor pada
uterus aatau vesika urinaria memberikan rasa nyeri
pinggang namun lebih ke arah sakral. Demikian pula
nyeri akibat haid dan malposisi uterus.

REFERENSI
Adnan M. Low Back Pain Dipandang dari Segi Reumatologis. Dalam.
Lurribantobing SM, Tjokronegoro A. Judana A, eds. Nyeri
Pinggang Bawal:i (Low Back Pain). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 1983 :51-65.
Cailliet R. Low Back Pain. Philadelphia: EA Davis Company. 1987.
Cailliet R. Neck and Arm Pain. Philadelphia: EA Davis Company.
1978.
Frymoyer JW, Booth RE, Rothmman RH. Osteoarthritis syndromes
of the lumbar spine. In: Moskowitz RW, Howell DS, Mankin HJ.
Eds. Osteoarthritis, Diagnosis and Medical/
Surgical
Management. Philadelphia: WB Saunders Co. 1992: 683-736.
Hardin JG, Halla JT. Cervical spine syndrome. In: McCarty DJ.
Koopman WJ. Eds. Arthritis and Allied Condition. 12ed.
Philadelphia: Lea & Febiger, 1993: 1563-71.
Hoppenfeld S. Physical Examination of The Spine and Extremities.
Norwalk Connecticut: Appleton Century Croft. 1976; 105-131,
237-63.

Hart FD, Clarke AK. Clinical Problems in Rheumatology. Singapore:


Kin Keong Printing Co. 1993: 1-5,51-60.
Hicks JE, Gerber LH. Rehabilitation in the management of patients
with osteoarthritis. In: Moskowitz RW, Howell DS, Mankin HJ.
Eds. Osteoarthritis, Diagnosis
and Medical/ Surgical
Management. Philadelphia: WB Saunders Co. 1992: 440-41.
Levine DB, Leipzig JM. The painful back. In: McCarty DJ, Koopman
WJ. Eds. Arthritis and Allied Condition. 12ed Philadhelphia: Lea
& Febiger, 1993: 1583-1600.
Misbach J. Aspek Neurologi pada Nyeri Pinggang Bawah. Dalam:
Kumpulan Makalah Simposium Terobosan Baru di Bidang
Rheumatology, Jakarta: Indonesian Rheumatic Centre, Ikatan
Reumatologi Indonesia, WHO-COPCORD. 1995.
Nasution AR. Peranan dan Perkembangan Reumatologi Dalam
Penanggulangan Penyakit Muskuloskeletal di Indonesia. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1995:4-5.
Nakano KK. Neck pain: In Kelley, Harris, Ruddy, Sledge, eds.
Textbook of Rhe~matology, 4th ed. Philadelphia: WB Saunders
Co. 1993:26-748.
Phull PS. Management of chervical spine . In Delisa JA.ed.
Rehabilitation of Medicine, Principles
and Practice.
Philadelphia: JB Lippincott. 1998: 749-64.
Padang C. Low back pain. Dalam.
Kumpulan naskah
WHO-COPCORD-IRA, Post Graduate Course, Jakarta 1994:13-20.
Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ. Primer on the
Rheumatic Diseases, 9ed. Atlanta GA.: Arthritis Foundation .
1993 :269- 72.

416
PENYAKIT JARINGAN IKAT HEREDITER
Faridin

PENDAHULUAN
Penyakit jaringan ikat herediter merupakan suatu
konsekuensi akibat gangguan struktur atau kuantitas
matriks ekstraselular, termasukjaringan kolagen spesifik,
fibrilin-fibrilin, dan matriks ekstraselular nonkolagen serta
proteoglikan. Komposisi molekul dan organisasijaringan
ikat disebut sebagai matriks ekstraselular yang luar biasa
kompleks . Masih banyak hal yang belum diketahui tentang
jumlah, struktur, lokasi gen yang mengontrol sintesis dan
metabolisme jaringan ikat ini. Gen yang terususun lebih
dari 195 protein, termasuk gen yang mengatur metabolisme
dan perkembangan skeletal telah diketahui. Mutasi dari
gen ini merupakan penyebab berbagai variasi kelainan dari
penyakit jaringan ikat. Kelainan jaringan ikat herediter akan
mengikuti hukum Mendel , namun memperlihatkan variasi
heterogenitas dalam anggota keluarga.
Penyakit j aringan ikat herediter pertama kali ditemukan
oleh McKusick pada tahun 1955, mencakup pada
Osteodistrofi Imperfecta (OJ), sindrom Marfan (SMF) ,
sindrom Ehlers-Danlos (SED), pseudosantoma elastikum.
Karakteristik fenotip dari kelainan jaringan ikat herediter
kadang tidakjelas, masih memerlukan pemahaman genetik
dan biokimia. Lebih dari 200 kelainan termasuk kelainan
jaringan ilcat herediter.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa penyakit-penyakit
jaringan ikat herediter yang sering ditemukan.

SINDROM MARFAN
Sindrom Marfan (SMF) ditemukan kelainan pada beberapa
organ dan jaringan, khususnya kelainan skeletal, mata,
kardiovaskular, paru-paru dan susunan saraf pusat .
Diagnosis didasarkan atas gejala klinis, bentuk herediter
autosom dominan. Pada beberapa kasus SMF yang telah

diteliti, kelainan dasar terdapat pada fibrillin-1. Protein


merupakan unsur utama mikrofibrill ekstraselular, terletak
pada lokus 15q2 l. Mikrofibril ditemukan di seluruh tubuh,
mempunyai ukuran 10-14 nm, membentuk ikatan dengan
tropoelastin berupa ikatan serat elastis. Fibrilin merupakan
molekul yang memiliki fungsi penting pada beberapa
organ yang mengandung serat elastis, seperti pada
pembuluh darah arteri, ligamen-ligamen, dan pada parenkim
paru.
Sindrom Marfan merupakan kelainan jaringan ikat
herediter yang diturunkan secara autosomal dominan,
dilaporkan mempunyai insidens 1/10.000 sampai 20. 000
kasus .
Manifestasi skeletal dari SMF berupa postur tubuh
sangat jangkung, proporsi segmen atas tubuh (lengan)
lebih pendek dibanding segmen bawah dari tubuh
(tungkai) disebut sebagai dolikostenomelia, ditemukan
juga pemanjanganjari-jari tangan (araknodaktili). Kelainan
dinding dada depan berupa pektus ekskavatum, karinatum
atau dinding dada depan yang asimetris . Kelainan kolumna
vertebralis dalam hal ini hilangnya kifosis torakal yang
mengakibatkan bentuk dada lebih melurus, dan skoliosis.
Kontraktur sendi appendikuler, protrusio asetabulum,
hiperekstensi dari sendi lutut (genu rekurvatum), dan pes
planum.
Semua pasien SMF ditemukan gangguan penglihatan
karena miopia, diperkirakan setengahnya disertai dengan
subluksasio lentis (ektopia lentis). Dilatasi aorta asenden
secara gradual , berhubungan dengan pecahnya serat
elastis, regurgitasi aorta yang merupakan penyebab utama
kematian.
Penatalaksanaan Sindrom Marfan adalah dengan
paliatif dan preventif. Kelainan kolumna vertebralis dapat
dikoreksi dengan bracing, khususnya pada anak-anak dan
dewasa muda . Bila kelengkungan vertebra sudah melebihi
40-45 derajat, perlu stabilisasi dengan tindakan bedah.

2726

Ukuran aorta ascenden diperiksa dengan ekokardiografi, bila diameter aorta lebih dari dua kali ukuran normal
(sekitar 55 mm pada orang dewasa) harus dilakukan
tindakan bedah. Untuk mengurangi ketegangan dinding
aorta dapat diberikan beta adrenergik. Perempuan yang
menderita SMF mempunyai risiko terjadinya ruptur aorta
pada masa kehamilan.Perempuan dengan diameterpangkal
aorta lebih dari 40 mm, merupakan kontra indikasi untuk
hamil.
Kelainan dinding dada berupa pektus ekskavatus dan
karinatus, atas indikasi kosmetik dapat dilakukan koreksi
dengan tindakan bedah. Kadang-kadang tindakan
dini diperlukan jika ada gangguan respirasi yang
membahayakan.

HOMOSISTINURIA
Homosistinuria dihubungkan dengan kelainan
metabolisme metionin sejak lahir, hal ini diakibatkan
oleh defisiensi ensim sistationin beta-sintase,
Gejala klinis mirip dengan SMF, seperti ektopia lentis,
postur tubuh yang tinggi, araknodaktili, dan kelainan
skeletal dan dinding dada, yang berbeda dengan
homosistinuria adalah ditemukan osteoporosis
generalisata, retardasi mental, trombosis arteri dan vena.
Dikenal tiga tanda kardinal dari gambaran klinis
homosistinuria adalah retardasi mental, kelainanjaringan
ikat dan trombosis. Patogenesis dari manifestasi klinis di
atas tidak diketahui.
Pasien dengan homosistinuria, sekitar 50% akan
berespons dengan pemberian vitamin B6 (piridoksin) dosis
besar (dosis lebih dari 50 mg perhari), untuk menurunkan
plasma metionin plasma dan homosistinuria. Vitamin B6
merupakan ko-faktor untuk sintesis beta sistationin.
Adanya retardasi mental dan ektopia lentis yang terjadi
Iebih dahulu, tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
vitamin B6, sangat diperlukan diagnosis dini sehingga
terapi dapat diberikan lebib dini pula. Diagnosis dini dapat
dilakukan dengan memeriksa kadar metionin darah saat
lahir. Pada pasien yang tidak berespons baik dengan
vitamin B6 (piridoksin-nonresponsders), terapi bisa
dilakukan dengan diet rendah metionin dan terapi oral
betain, terapi ini biasanya berhasil.

SINDROM STICLER
Sindrom Sticler merupakan kelainan autosom dominan
berat, yang ditandai dengan miopia progresif, degenerasi
vitreal, perlengketan retina, kehilangan pendengaran yang
bersifat sensori-neural, hipoplasia mandibula, hiper dan
hipomotilitas sendi, displasia epifiseal tulang panjang,
dislokasi dan degenerasi sendi. Keadaan ini disebut juga
artro-oftalmopati. Sindrom Sticler disebabkan oleh mutasi

gen prokolagen-I atau a-2.


Diagnosis sindrom Sticlerdipikirkanbila bayi baru lahir
dengan banyak kelainan kongenital, seperti pembesaran
pergelangan tangan, atau pergelangan kaki dan lutut.
Sedangkan pada dewasa muda bila terdapat penyakit
panggul degeneratif.

SINDROMEHLERS-DANLOS
Sindrom Ehlers-Danlos (SEO) merupakan suatu kelompok
kelainan dengan variasi fenorip yang luas karena luasnya
variasi genetik yang terjadi. Tanda-tanda kardinal SEO
berhubungan dengan kelainan sendi dan kulit, berupa
hiperekstensibilitaskulit, peningkatanmobilitas sendi, kulit
mudah memar, dan fragilitasjaringan abnormal. Terdapat6
tipe SEO, yang didasarkan pada gambaran fenotip dan
karakteristikherediter,dengan gejala-gejala klinis masingmasing tipe akan dijelaskan di bawah ini:
Sindrom ehlers-danlos tipe klasik. Tipe ini sebelumnya
dikenal pula sebagai SEO tipe I dan II. Ditandai dengan
hiperekstensibilitassendi dan kulit, kulit mudah memar dan
sangat rapuh, Iuka yang sukar menyembuh sekalipunhanya
karena trauma ringan, penutupan sutura yang terlambat.
Dislokasi sendi panggul saat baru lahir,pada usia tua sering
terjadi dislokasi sendi, efusi sendi, dan spondilolistesis,
skoliosis kadang-kadang berat.
SindromEhlers-Danlostipe klasik ini diturunkansecara
autosomal dominan dengan variasi yang luas. Penanganan
difokuskan pada pencegahan trauma dan perawatan Iuka.
Sindrom ehlers-danlos tipe hipermobilitas. Dahuludikenal
dengan SEO tipe IV. SED tipe ini, keterlibatan kulit jarang
ditemukanjika dibandingkandengan tipe klasik. Umumnya
ditemukan kelainan sendi, berupa hiperekstensi bentuk
sedang hingga bentuk ekstrim. Bila seseorang didapatkan
keluhan kelemahan sendi tanpa disertai ketidakstabilan
sendi, dapat dikategorikanke dalam ripe ini.
Sindrom ehlers-danlos tipe vaskular. Tipe ini sangat
berbahaya, oleh karena mudah terjadi ruptur arteri dan usus
yang dapat menyebabkan kematian. Pasien SEO tipe
vaskularditemukandefisiensikolagen tipe III, akibat mutasi
yang terjadi pada gen COL3Al. SED tipe vaskular
sebelumnyadikenal sebagaitipe SED-IY.Kulit sangatripis,
translusen, hiperekstensibilitas dan ditemukan kelemahan
sendi terbatas pada sendi-sendi jari tangan. Diturunkan
secara autosomal dominan, dapat terjadi secara sporadik
dalam keluarga.
Siodrom ehlers-danlos tipe kifoskoliosis. Sebelumnya
dikenalsebagai SEO ripeV, disebut tipe kifoskoliosiskarena
melibatkan sendi-sendi vertebra, berupa kifosis dan
skoliosis yang berlebihan. Kelainan lain yang dapat
ditemukan adalah bola mata yang rapuh, kulit dan
ketidakstabilan sendi. Diturunkan secara autosomal resesif.

PENYAKIT JARINGAN

2727

IKAT HEREDITER

Sindrom ehlers-danlos tipe artrokalasia. Disebut


artrokalasiakarena proses pembentukan sendi semasajanin
tidak terjadi secara sempuma. Sehingga pada SED tipe ini
biasanya ditandai tidak adanya persendian, dislokasi sendi
kongenital, postur tubuh yang pendek, keterlibatan kulit
juga dapat ditemukan. Sebelunya dikenal sebagai SED tipe
VII Adan VII B
Sindrom ehlers-danlos tipe dermatosparaksis.SED tipe
ini ditemukan kelainan pada kulit, fasia otot serta kelainan
sendi. Sebelumnyadikenal sebagaiSEDtipe VIIC. SED tipe
dermatosparaksis diturunkan secara autosomal resesif,
karena defisiensi N-propeptidase yang memecah
prokolagen tipe I.

SINDROM OSTEOGENESIS

IMPERFEKTA

Gambaran klinis yang sering ditemukan pada osteogenesis imperfekta (OI) adalah pada tulang, mata, gigi,
gangguan pendengaran dan sistem kardiovaskular.
Gambaran klinis pada tulang berupa tulang yang sangat
rapuh, dapat terjadi fraktur intra-uterina didasarkan
diagnostik radiologi antenatal, fraktur tulang iga multipel.
Gambaranklinis pada mata adalah skleraberwarna biru,
atau kebiru-biruan (sering ditemukan pada OI tipe I, II dan
III), dan komea mata tipis.
Gangguan pendengaran dapat terdeteksi pada dekade
dua atau ketiga dari kehidupan. Gangguan pendengaran
pada OI akibat dari otosklerosis yang terjadi sebelum usia
dewasa. Penyebab lain adalah akibat menipisnya membran
timpani, dan tulang-tulang pendengaran tidak saling
berhubungan (disconnected).
Manifestasi klinis pada gigi dari pasien OI adalah gigi
tampak berwama biru atau kecoklatan baik pada gigi susu
maupun pada gigi permanen. Hal ini sangat mudah
diketahui hanya dengan observasi langsung dalam rongga
mulut. Kelainan akibat pada proses pertumbuhan gigi
semasa janin.
Prolapsus katup mitral ditemukan sekitar 15% pada
pasien 01, dilatasi aorta kadang ditemukan, namunjarang
bila dibandingkan dengan MVP (mitral value prolaps).
Diagnosis banding 01 seperti: osteoporosis juvenile
idiopatik; osteoporosis juvenile yang disertai dengan
gangguan pada mata dan retardasi mental, sindrom
Hadju-Cheney, piknodisostosis (sindrom dwarfisme,
tulang rapuh, ramus mandibula tidak terbentuk, fontanela
yang menetap, akroosteolisis), dan hipofosfatasia.

PENATALAKSANAAN

Pemeriksaanbiomolekulersangatpenting untuk identifikasi


adanya mutasi gen. Biopsi kulit untuk melihat perubahan
kolagen tipe-1, pemeriksaan DNA untuk melihat mutasi

COLlAl dan COL1A2, merupakan pemeriksaan yang


sangat sensitif. Pemeriksaan ini penting dilakukan jika
gambaran klinis dan radiologis tidak dapat menyingkirkan
kausa lainnya.
Penatalaksanaan difokuskan pada kelainan tulang yang
terjadi, seperti osteoporosis. Bifosfonat pada beberapa
penelitian sebagai pengobatan osteoporosis cukup aman
dan efektif, bekerja menghambat osteoklas yang
meresorbsi tulang. Pamidronat diberikan secara intravenous akan meningkatkan densitas massa tulang dan dapat
mengurangi kejadian fraktur pada anak dengan 01.
Penelitian yang dilakukan oleh Astrom E,dkk. pada 30 anak
(urnur 3-16 tahun) menderita OI berat diberikanpamidronat
intravena selama 4-6 bulan. Setelah 5 tahun dilakukan
pemeriksaan dengan dual-energy x-ray absorptiometry
(DEXA). Densitas massa tulang vertebra lurnbalmeningkat,
dan kejadian fraktur menurun, namun tidak bennakna
secara statistik. Beberapa anak dilaporkan terjadi
penurunan nyeri. Pemeriksaan regular setelah usia dewasa
untuk mengevaluasi pendengaran pasien 01 sangat
dianjurkan.

PSEUDOSANTOMA

ELASTIKUM

Keterlibatan organ skeletal dan sendi pada pseudosantoma


elastikum (PXE) tidak jelas, tetapi serat elastis seluruh
tubuh akan mengalami kalsifikasi. PXE diturunkan secara
resesif autosomal dan dominan autosoma.
Diagnosis didasarkan atas pemeriksaan secara histologi
ditemukannya serabut-serabut elastik yang mengalami
kalsifikasi.Kelainan-kelainan dapat ditemukan pada mata,
pembuluh darah dan kulit. Sklerosis arteriolar secara
histologipatologis mirip dengan arterioloklerosis
Mockenberg, hilangnya pulsasi arteri-arteri perifer secara
perlahan-lahan, infark miokard, dan perdarahan
gastrointestinal, komplikasi ini umumnya akan
menyebabkan kematian. Pada mata, kejadian yang sama
akan ditemukan, seperti pecahnya membran Bruch 's,
perdarahan retina akan menyebabkan kebutaan yang
progresif.

FIBRODISPLASIA

OSSIFICAN PROGRESIF

Fibrodisplasia ossifican progresif (FOP) merupakan


osifikasi progresif pada ligamentum, tendon, dan
aponeurosis otot, terjadi sejak awal kehidupan dan akan
berlanjut sepanjang hidup. Penyebab FOP tidak diketahui
dengan pasti, beberapa kasus diturunkan secara dominan
autosomal. Gambaran klinis mirip dengan tanda-tanda
inflamasi, dapat ditemukan nodul di dinding dada bagian
belakang, leher, atau kepala. Panas yang bersifat lokal,
leukositosis dan peningkatan laju endap darah, sehingga
kadang didiagnosis dengan demam reumatik. Petunjuk

2728
yang dapat mengarahkan diagnosis FOP adalah bentuk
kaki pendek dan besar kadang disertai jempol kaki yang
pendek. FOP merupakan penyebab hallux valgus
kongenital. Harapan hidup pasien FOP akan menurun
akibat gangguan pernapasan yang disebabkan oleh
pengembangan paru-paru mengalami restriksi progresif.

REFERENSI
Astrom E, Soderhall S. Beneficial effect of long term intra-venous
bisphosphonate treatment of osteogenesis imperfecta. Arch Dis
Child. 2002;86 : 356-364
Dolan AL, Arden NK, Grahame R, et al : Assessment of bone in

REUMATOLOGI

Ehlers- Danlos syndrome by ultrasound and densitometry. Ann


Rheum Dis. 1998;57: 1167-1175
Gott VL, Greene PS, Alejo DE, et al : Replacement of the aortic
root in patients with Marfan's syndrome. N Engl J Med 1999;340
: 1307-1313
Marini JC : Do bisphosphonates make children's bones brittle or
better? N Engl J Med. 2003;349 : 423-426
Pyeritz RE.Heritable disorders of connective tissue. In: Primer on
The Rheumatic Disease, 12 ed, Edit by Klippel JH.
Atlanta:Arthritis foundation; 2001.p.483-92
Shapiro JR.Heritable disorders of structural proteins. In: Kelley
Textbook of Rheumatology, 6th Ed, Edit by Ruddy S, Harris ED,
Sledge CB. Philadelphia:W.B.Saunders; 2001.p.1433-61
Stewart DR, Pyeritz RE.Heritable and developmental disorders of
connective tissue and bone. In: Arthritis and allied conditions.
15th ed edit by William J. Koopman, Larry W.Moreland.
Philadelphia:Lippincot William & Wilkins; 2005.p.1991-2035

419
OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID
Najirman

PENDAHULUAN

Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) merupakan


sekelompok obat yang heterogen, akan tetapi mempunyai
banyak persamaan, baik efek terapeutik maupun efek
samping. Kelompok obat ini pertama kali dilaporkan oleh
Edmund Stonepada pertengahan abad ke 18 yang berkasiat
untuk mengobatan demam. Pada tahun 1829 Zat aktif
tersebut berhasil diisolasi oleh Leroux dan kemudian
dikenal dengan nama salisin. Hidrolisis salisin akan
menghasilkan glukosa dan salisilat alkohol yang
selanjutnya dikonversi menjadi asam salisilat. Sodium
salisilat pertama kali digunakan untuk pengobatan demam
reumatik dan gout tahun 1875. Setelah terbukti mempunyai
khasiat sebagai anti inflamasi, maka tahun l 899 obat
tersebut pertama kali diperkenalkan pada dunia kesehatan
dan dikenal dengan nama aspirin, berasal dari kata Spraea,
nama tumbuhan asal asam salisilat diekstraksi.
Obat anti inflamasi nonsteroid merupakan kelompok
obat yang paling sering diresepkan di seluruh dunia dan
merupakan salah satu kelompok obat yang paling sering
digunakan di bidang reumatologi. Di Amerika serikat saja
diperkirakan sekitar 60- 70 juta OAINS diresepkan
setiap tahun dan lebih dari 30 miliar tablet terjual setiap
tahunnya.

MEKANISME KERJA

Sebagian besar penyakit di bidang reumatologi ditandai


dengan adanya inflamasi sebagai respons tubuh terhadap
adanya kerusakan jaringan dan inflamasi tersebut akan
menimbulkan rasa nyeri. Nyeri juga merupakan keluhan
yang paling sering dijumpai dan yang mendorong
seorang pasien untuk berobat pada dokter. Pada proses
inflamasi dilepaskan sejumlah mediator inflamasi seperti

prostaglandin, bradikinin, leukotrien, interleukin,histamin,


serotonin, tumor nekrosis faktor alfa dan lain-lain. Obat
anti inflamasi non steroid bekerja terutama dengan cara
menghambat pembentukan prostaglandin dan leukotrien,
sehingga dapat mencegah/ mengurangi terjadinya
inflamasi. Di samping itu ada juga OAINS yang bekerja
menghambat bradikinin.
Prostaglandin mempunyai fungsi utama mengatur
proses fisiologis serta sebagai mediatornyeri dan inflamasi.
Prostaglandin G2 (PGG2) merupakan yang pertama
dibentuk dari asam arakidonat dan sangat tidak stabil.
Selanjutnya PGG2 ini akan direduksi oleh enzim
siklooksigenase(COX) menjadi prostaglandin H2 (PGH2),
dan pada akhimya akan dikonversi lagi menjadi prostaglandin 02 (PGD2), prostaglandin 12 (PGI2), prostaglandin
E2 (PGE2), prostaglandin F2 (PGF2) dan tromboksan A2
(TxA2) oleh enzim isomerase. Jenis prostaglandin yang
akan terbentuk tergantung pada jenis jaringan, karena
setiapjaringan mempunyai enzim isomerase yang berbeda.
Misalnya pada platelet akan membentuk tromboksan A2,
sedangkan PGI2 dibentuk oleh sel endotel pembuluh
darah.
Efek terapeutik dan efek samping yang timbul akibat
penggunaan OAINS berkaitan dengan aktivitas obat
tersebut yang menghambat aktivitas enzim (COX), dalam
sintesis prostaglandin. Seperti tampak pada Gambar 1.
Enzim siklooksigenase bekerja merubah asam arakidonat
menjadi prostaglandin (PG), di samping itujuga ada enzim
lipoksigenaseyangjuga merubah asam arakidonat menjadi
leukotrien (LT). Asam arakidonat sendiri berasal dari
membran fosfolipid yang dihidrolisis oleh enzim
fosfolipase A2.
Penelitian berikutnya menemukan bahwa temyata
siklooksigenase mempunyai 2 bentuk isoenzim yang
dikenal dengan istilah COX-1 dan COX-2 dengan struktur
dan fungsi yang berbeda. Penemuan ini sangat penting

2738

REUMA10LOGI

COX-1
(Constitutive)

ll

COX-2
(Inducible)
(-)

Fospo pas~ A,
5 Uvoksi

Glukokortlkold

l
genasc

S1k ooksige~ase

Gambar 1.Jalur pembentukan prostaglandin dan tromboksan oleh


enzim siklooksigenase dan pembentukan leukotrien oleh enzim
5-lipoksigenase.

untuk menjelaskan cara kerja OAINS serta pengembangan


obat baru dengan toksisitas lebih rendah. Enzim COX-1
merupakan bentuk konstitutif dan terutama banyak
diekspresikan pada sebagian besar jaringan, platelet,
ginjal dan mukosa lambung, bertanggung jawab untuk
proteksi mukosa lambung, regulasi aliran darah di ginjal
serta agregasi trombosit. Sementara enzim COX-2
terutama diekspresikan pada jaringan yang mengalami
inflamasi dan berperan terhadap rangsangan yang terjadi
akibat proses inflamasi seperti oleh sitokin proinflamasi,
faktor pertumbuhan dan lipopolisakarida bakteri.
Di samping itu COX-2 juga diekspresikan pada sel
endotel dan otot polos pembuluh darah, sel podosit
intraglomerular, pada ovarium dan uterus serta pada
tulang, yang mengatur peran fisiologis organ tersebut.
Enzim COX-I dan COX-2 juga dijumpai pada jaringan
sinovium pasien reumatoid artritis dan osteoartritis.
Dengan demikian COX-I dan COX-2 mempunyai fungsi
yang saling tumpang tindih dan berperan penting dalam
menjaga homeostasis tubuh 67Enzim COX-I dikode oleh
gen yang terletak pada kromosom 9, sebaliknya gen yang
mengkode enzim COX-2 teletak pada kromosom I.
Enzim COX-1 aktivitasnya relatifkonstan dalam menjaga
fungsi homeostasis tubuh, sebaliknya enzim COX-2
aktivitasnya dapat meningkat menjadi 10-80 kali lipat
selama proses inflamasi dan proses patologis lainnya.
Perbedaan lainnya adalah, enzim COX-1 banyak terdapat
pada retikulum endoplasma, sedangkan enzim COX-2
sebanyak 80-90% terdapat pada membran nukleus,
Dengan ditemukannya isozim COX dan perannya
dalam mengkatalisis pembentukan berbagai prostaglandin, maka dikembangkanlah penelitian untuk menemukan
obat yang selektif bekerja menghambat COX-2, dan
hanya sedikit mempengaruhi kerja enzim COX-I.
Diharapkan obat barn tersebut mempunyai efek
samping yang lebih ringan, tanpa mempengaruhi fungsi
konstitutifnya. Dengan demikian ada obat yang
bekerja menghambat kedua enzim tersebut (nonselektif)
terhadap COX dan ada yang hanya selektif terhadap
COX-2.
Untuk menentukan apakah suatu OAINS bersifat non
selektif ataukah selektifterhadap COX-2,parameter yang

lntegritas gastrointestina
' Agregasi trombosit
Fungsl ginjal

"Ternpat inflamasi
- Marofag
- Sinoviosit
- Sel endotel
Fungsi ginjal
' Ovarium dan uterus
Pembentukan tulang

Gambar 2. lsoenzim siklooksigenase dan perannya

dinilai adalah kemampuan obat tersebut menghambat kerja


kedua isoenzim siklooksigenase tersebut. Dari penelitian
didapatkanbahwa selektivitas suatu OAINS terhadap COX
didefinisikan sebagai konsentrasi obat tersebut yang
diperlukan untuk menghambat 50% aktivitas COX (IC50).
RasioIC50 COX-2/IC50COX-I bila lebihkecildari 1, maka
dikatakan obat tersebut bersifat selektifterhadap COX-2.
Bilarasio COX-2/COX-1 nilainya lebih besar dari I, maka
obat tersebut lebih banyak kerjanya menghambat COX-1,
dan bila rasionya sama dengan I, maka obat tersebut
bersifat non selektif. Sebagai contoh, bila rasio COX02/
COX-I adalah 0,0 I artinya konsentrasi obat tersebut untuk
menghambat aktivitas COX-1 adalah 100 kali dibanding
dengan konsentrasinya untuk menghambat aktivitas COX2. Atau dengan kata lain obat tersebut sangat selektif
terhadap COX-2. Idealnya suatu OAINS pada dosis
terapeutik mampu menghambat aktivitas COX-2 secara
komplit tanpa mempengaruhi aktivitas COX-1. Dengan
demikian OAINS tersebut mempunyai efek samping
yangminimal, sedangkan efek anti inflamasi, analgetik dan
antipiretiknya dapat diperoleh secara optimal.
Tabel 1. Klasifikasl DAINS Menurut Selektivitasnya
Menghambat COX-1 dan COX-2
Nama Obat
Asetosal
Diklofenak
Flurbiprofen
Ibuprofen
lndometasin
Ketoprofen
Meklofenamat
Mefenamic acid
Naproksen
Niflumic acid
Piroksikam
Sulindak
Tenoksikam
Tolfenamic acid
Nabumeton
Etodolak
Meloksikam
Nimesulid
Celecoxib
Rofecoxib

RasiolC50 COX-2/IC50 COX-1


5,25/163
0,06/7,59
1,24/12,7
0,8/53
5,2/60
4,6
6,5/6,6
20
0,59/59
60
7,7/300
36,6/100
1,34
16,6
0,28/1,46
0,8
0,01/0,8
0,01/0,9
0,0027
0,001

2739

OBAT AN11 INFLAMASI NONSTEROID

Di samping bekerja menghambat proses pembentukan


prostaglandin, OAINS juga mempunyai mekanisme kerja
lain sebagai obat anti inflamasi yakni:
Menghambat pelepasan lisosom
Menghambat aktivasi komplemen
Sebagai antagonis pembentukan/aktivasi kinin
Menghambat kerja enzim lipooksogenase
Menghambat pembentukan radikal bebas
Memicu agregasi dan adesi neutrofil
Meningkatkan fungsi limfosit
Berperan pada aktivitas membran sel
Menghambat pembentukan nitrik oksida dengan cara
menghambat NF-kB, sehingga nitric oxide synthetase
tidak terbentuk.

KLASIFIKASI

Obat anti inflamasi nonsteroid dapat diklasifikasikan


berdasarkan berbagai cara, seperti berdasarkan rumus
kimia, waktu paruh dalam plasma dan aktivitasnya
dalam menghambat kerja enzim COX. Berdasarkan
waktu paruhnya, OAINS dapat dibedakan atas OAINS
dengan masa kerja pendek dan OAINS masa kerja panjang
Di samping itu berdasarkan kemampuannya
menghambat enzim COX, Kelompok studi intemasional
tentang COX-2 mengklasifikasikan OAINS kedalam 4
kategori yakni: Spesifik terhadap COX-1, nonspesifik,
preferensial terhadap COX-2 dan spesifik terhadap
COX-2. Berdasarkan rumus kimianya klasifikasi OAINS
dapat dilihat pada Gambar3.

FARMAKOKINETIK

Semua OAINS akan diserap secara komplit setelah


pemberian secara oral. Kecepatan absorpsi berbeda antara
satu orang dengan yang lain, tergantung pada ada/tidaknya
kelainan pada saluran cema serta pengaruh makanan.
Bentuk sediaanjuga turut mempengaruhi absorpsi, seperti
bentuk "enteric coated'' akan memperlambat absorpsi,
akan tetapi juga mempengaruhi obat tersebut secara
langsung terhadap mukosa lambung
Sebagian besar OAINS adalah bersifat asam lemah dan
lebih dari 95% akan terikat dengan protein serum terutama
albumin. Pada keadaan di mana terdapat hipoalbuminemia,
seperti pada pasien penyakit kronis, penyakit hati kronis
dan usia lanjut, maka perlu ada penyesuaian dosis untuk
mencegah efek samping yang terjadi. Sebab pada.
hipoalbuminemia akan meningkatkan kadar obat bebas
dalam plasma, sehingga toksisitasnya juga akan
meningkat.
Hati merupakan tempat utama OAINS mengalami
metabolisme dan diekskresikan melalui urin. Di samping
itu ada beberapa OAINS yang mengalami siklus enterohepatik, seperti indometasin, piroksikam dan sulindak,
mengakibatkan waktu paruh yang lebih panjang.
Diklofenak, flurbiprofen, selekoksib dan rofekoksib
dimetabolisme di hati, sehingga harus berhati-hati
penggunaannya pada pasien penyakit hati. Sebagian besar
OAINS dan selekoksib mengalami metabolisme dengan
melibatkan isoenzim P450 CYP2C9, tetapi tidak dengan
rofekosib.

label 2. Klasifikasi OAINS BerdasarkanWaktu Paruhnya dan Dosis yang LazirnDiqunakan


Masa kerja obat

Nama OAINS

Masa kerja pendek

Diklofenac
Etodolac
Fenoprofen
Flurbiprofen
Ibuprofen
lndomethacin
Ketoprofen
Ketorolac
Meclofenamate
Tolmetin
Celecoxib
Valdecoxib
Salisilat
Diflunisal
Nabumetone
Naproxen
Oxaprozin
Phenylbutazone
Piroxicam
Sulindac
Tenidap
Meloxicam
Rofecoxib

Masa kerja panjang

Waktu paruh = T '!. (jam)


1,2-2
7,3
2,3
3-4
2-2,5
2-13
1-4
4-6
2-3
1-1,5
11
8-11
2-3
7-15
24
12-15
49-60
29-140
30-86
16-18
12-48
15-30
17

Dosls
50-100 mg, 2x/hari
200-300 mg, 2 x/hari
300-600 mg, 3-4 x/hari
50-100 mg, 2-3 x /hari
300-800 mg, 3-4 x/hari
25-50 mg, 3-4 x/hari
50-75 mg, 3-4 x/hari
10 mg, 3-4 x/hari
50-100 mg, 3 x/hari
400-600 mg, 3 x/hari
100-200 mg, 2 x/hari
10-20 mg, 1-2 x/hari
2,4-6 g/hari, dosis terbagi 4-5x
0,5-1,5 g/hari, dosis terbagi 2 x
500-1000 mg, 2 x/hari
250-500 mg, 2 x/hari
600-1200 mg, 1 x /hari
100-400 mg, 1 x/hari
10-20 mg, 1 x/hari
150-200 mg, 2 x/hari
120 mg, 1 x/hari
7,5-15 mg, 1x/hari
12,5-25 mg, 1 x/hari

2740

REUMATOLOGI

Aspirin
Diflunisal
Benorylate
Trisalicylate
salsalate
Sodium
Salicylate

Diclofenac
Alclofenac
Fenclofenac
Fentiazac

Etodolac
lndomenthcine
Sulindac
Tolmetin
Tenidap
Zomepirac
Clopirac
Keterolac
Tromenthamine

Carprofen
Fenibufen
Flurpirofen
Ketoprofen
Oxaprozin
S uprofen
Ti
Ibuprofen
naproxen
Fenoprofen
lndoprofen
Benoxaprofen
Pirprofen

Piroxicam
Sudoxicam
lsoxicam
Tenoxicam
Meloxicam

Flufenamic
mefenamic
Meclofenam ic
Niflumec

Nabumetone
Proquazone
Tiaramide
befexamac
Flunizone
Epirazone
Tinoridine

Oxyphenbutazone
Phenilbutazone
Azapropazone
Feprazone

Coxib - celecoxib
- Rofecoxib
Valdecoxib
Etoricoxib
- parecoxib
-Lumiracoxib
Nimesulide

Gambar 3. Klasifikasi OAINS menurut rumus kimianya

FARMAKODINAMIK
Efek Antiinflamasi
Efek antiinflamasi OAINS terkait dengan kemampuan obat
ini dalam menghambat sintesa prostaglandin, karena
prostaglandin baik langsung ataupun tidak langsung
bertindak sebagai mediator inflamasi. Dengan demikian
OAINS sering digunakan sebagai obat lini pertama untuk
mengatasi proses inflamasi.
Efek Analagesik
Obat anti inflamasi nonsteroid menghambat nyeri baik di
perifer ataupun di sentral. Obat ini efektif mencegah ketiga
jenis nyeri yakni nyeri fisiologis, nyeri inflamasi dan nyeri
neuropatik.
Efek Antipiretik
Prostaglandin E2 merupakan mediator terjadinya
peningkatan
suhu tubuh. Selama demam terjadi
peningkatan kadar PGE2 di hipotalamus dim ventrikel ke
III. Peningkatan PGE2 dihipotalamus mengakibatkan

dilepaskannya siklik adenosin monofosfat yang bertindak


sebagai neurotransmiter pada pusat pengaturan suhu
tubuh tersebut, sehingga suhu tubuh meningkat dan
pasien mengalami demam
Efek Antiplatelet
Obat anti inflamasi nonsteroid akan menunmkan agregasi
trombosit yang diinduksi oleh adenosin difosfat, kolagen
atau epinefrin. Selain dari aspirin, semua OAINS
menghambat agregasi trombosit secara reversible dan
tergantung pada konsentrasi obat tersebut pada trombosit.
Aspirin menghambat agregasi trombosit bersifat irreversible dan dengan dosis 80 mg, lama hambatan ini dapat
mencapai 4-6 hari sampai sumsum tulang membentuk
trombosit yang baru. Golongan OAINS yang baru,
terutama yang COX-2 spesifik inhibitor hanya sedikit
menghambat agregasi trombosit.
Efek Lain
Pada akhir-akhir ini juga diteliti manfaat OAINS pada
penyakit Alzhaimer dan pada tumor kolorektal, terutama

2741

OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID

OAINS yang menghambat COX-2 secara spesifik,


karena ternyata pada kedua penyakit tersebut terjadi
peningkatan ekspresi COX-2. Sehingga dengan demikian
diharapkan OAINS tersebut data memperbaikan
kedua penyakit tersebut. Penelitian lainjuga membuktikan
peran prostaglandin waktu terjadinya ovulasi dan
kontraksi uterus pada saat melahirkan, sehinggapemberian
OAINS pada perempuan yang akan melahirkan mungkin
akan mengganggu proses persalinannya.

mukosa, mengatur aliran darah, sekresi mukus, bikarbonat,


proliferasi epitel, serta resistensi mukosa terhadap
kerusakan
Untuk mengurangi efek samping OAINS pada saluran
cema dapat dilakukan beberapa ha! seperti meminum
OAINS bersamaan dengan proton pump inhibitor (PPI),
misoprostol (analaog prostaglandin), histamin-2 reseptor
antagonis (H2 reseptor antagonis), dan memilih OAINS
spesifik inhibitor COX-2.

Efek samping.
Efek samping OAINS selalu dikaitkan dengan kerja obat
tersebut menghambat COX-1. Efek samping yang
sering terjadi melibatkan saluran cerna, ginjal, hati,
paru, sistem reproduksi, susunan saraf pusat dan
hematologi.

Ginjal
Sebanyak 5% pasien yang mendapat OAINS akan
mengalami komplikasi pada ginjal. Manifestasi klinis yang
sering adalah edema perifer, penurunan fungsi ginjal secara
akut hiperkalemia, nefritis interstisialis dan nekrosis
papila renalis. Sebagianbesar dari efek samping pada ginj al
tersebut bersifat reversibel. Edema perifer terjadi
dise-babkan oleh peningkatan reabsorpsi natrium dan air
pada tubulus koligen akibat penurunan PGE2 yang
berfungsi mengatur aliran darah pada bagian medula dan
tubulus koligen
Pada individu yang sehat OAINS tidak akan
mempengaruhifungsi ginjal. Gangguanfungsi ginjal terjadi
bila pada pasien dehidrasi, sudah ada gangguan fungsi
sebelumnya, pasien diabetes dan sirosis hepatis atau
pasien usia lanjut. Gagal ginjal akut biasanya terjadi bila
OAINS diberikan dengan dosis besar.
Pemberian OAINS juga dapat menyebabkan terjadi
hiperkalemia. Hal ini terjadi karena terhambatnya prostaglandin yang berfungsi merangsang pelepasan renin dari
ginjal. Konsentrasi renin yang rendah mengakibatkan
produksi aldosteron juga berkurang dan pada gilirannya
terjadilahpengurangan ekskresi kalium. Hiperkalemiapada
pemberian OAINS ini dapat juga terjadi bila pada waktu
yang bersamaanjuga diberikan obat anti hipertensi hemat
kalium danACE inhibitor.
Komplikasi lain yang dapat terjadi tetapi jarang
ditemukan adalah nefritis interstitial, sindrom nefrotik dan
nekrosis papila renalis. Nefritis interstitial dan sindrom
nefrotik dapat terjadi setelah 8-18 bulan penggunaan
OAINS dan belumjelas patofisiologi yang mendasarinya.
Nekrosis papila renalis terjadi akibat defisiensi PG yang
bersifat vasodilator, sehingga mengakibatkan timbulnya
iskemik dan nekrosis pada papila ginjal.

SALURAN CERNA

Sekitar 10-20% pasien yang mendapat OAINS akan


mengalami dispepsia. Dalam 6 bulan pertama pengobatan,
sebanyak 5-15% pasien artritis reumatoid akan
menghentikan pengobatan akibat timbulnya dispesia.
Faktor risiko terjadinya kelainan saluran cerna pada
penggunaan OAINS adalah usia lanjut, riwayat ulkus
sebelumnya, dosis OAINS yang tinggi, penggunaan
steroid atau anti koagulan yang bersamaan dengan OAINS,
adanya Helikobakter pilori, penyakit sistemik yang berat,
merokok dan alkoholisme.
Terjadinyaefek samping OAINS terhadap saluran cema
dapat disebabkan oleh efek toksik langsung OAINS
terhadap mukosa lambung sehingga mukosa
menjadi rusak. Sedangkan efek sistemik disebabkan
kemampuan OAINS menghambat kerja COX-1 yang
mengkatalis pembentukan prostaglandin. Prostaglandin
pada mukosa saluran cema berfungsi menjaga integritas

NSAID

Decrease in gastric
mucosal prostaglandins

Gambar 4. Mekanisme terjadinya kelainan mukosa saluran cerna


akibat OAINS

Hati
Kelainan hati akibat pemberian OAINS mulai dari yang
ringan sampai berat seperti hepatitis fulminant, walaupun
ini jarang terjadi. adanya gangguan fungsi hati dapat
diketahui dengan peningkatan enzim transaminase.
Insiden gangguan fungsi hati yang berat akibat OAINS
ditemukan sebanyak 2,2 dari 100.000pasien yang dirawat.
Sulindak merupakan OAINS yang paling sering
mengakibat gangguan fungsi hati.

2742

REUMA.TOLOGI

Paru

Pasien asma dapat mengalami serangan bila mengkonsumsi


OAINS, sebab OAINS menghambat jalur siklooksigenase
dari asam arakidonat. Akibat terhambat pembentukan PG,
maka jalur lipooksigenase lebih aktif, sehingga akan
terbentuk leukotrien yang juga lebih banyak. Salah satu
leukotrien, yakniLTC4dan LTD4bersifat bronkokonstriktor
sehingga dapat mencetuskan serangan asma.

Ku lit
Walaupunjarang ditemukan, OAINS dapat menimbulkan
kelainan pada kulit seperti eritema multi forme, sindrom
Stevens Johnson dan toksik epidermal nekrolisis. Obat
yang sering menimbulkan efek samping ini adalah
piroksikam,zomepirak,sulindak, sodiummeklofenamatdan
benoksaprofen
Efek Samping Lain

Jantung

Obat anti inflamasi nonsteroid dapat mengakibatkan


timbulnya hipertensi infark rniokard dan gagaljantung. Hal
ini disebabkan berkurangnya pembentuk prostasiklin oleh
sel endotel, peningkatan trombositosis dan risiko untuk
kejadian gaga! jantung, terutama pada usia lanjut.

Tabel 3. Metabolisme

Obat [kutip

9)

Metabolisme

Nama obat

Metabolisme

Hali
Hali
Hali, siklus enterohepalik
Hali
Hali
Hali, siklus enlerohepalik
Hali
Hali
Hati
Hali
Hali
Hali
Hali dan ginjal

Diflunisal
Nabumelone
Naproxen
Oxaprozin
Phenylbulazone
Piroxicam
Sulindac
Tenidap
Meloxicam
Rofecoxib

Hali
Hali
Hali dan ginjal
Hali
Hali
Hali, siklus enlerohepalik
Hali
Hali
Hali
Hati

Nama obat
Diklofenac
Elodolac
Fenoprofen
Flurbiprofen
Ibuprofen
lndomelhacin
Ketoprofen
Ketorolac
Meclofenamate
Tolmetin
Celecoxib
Valdecoxib
Salisilat

Penggunaan OAINS pada kehamilan trimester III dapat


mengakibatkan penutupan duktus arteriosus secara
prematur dan menimbulkanhipertensi pulmoner pada bayi,
sedangkan pada ibu dapat terjadi kesulitan waktu
persalinan dan perdarahan, karena hipotonia uteri.
Pada sistem hematopoeitik OAINS dikaitkan dengan

label 4. lnteraks, OAINS dengan Obat Lam

Efek
Warfarin
Sulfonylurea
Beta blocker

Phenylbutazone
COX-1 spesifik
Phenylbutazone
Salisilat dosis tinggi
Non selektif OAINS

Hydralazine
Prazosin
ACEinhibitor
Diuretics
Phenytoin

Non selektif OAINS


Phenytbutazone
OAINS lainnya

Lithium
Digoxin
Aminoglycosides
Methotrexate
Sodium

Sebagian
Sebagian
Sebagian
Sebagian
Aspirin

Non selektif OAINS

besar
besar
besar
besar

OAINS
OAINS
OAINS
OAINS

lnhibisi metabolisme warfarin, peningkatan efek antikoagulan


Peningkatan risiko perdarahan karena inhibisi fungsi platelet, kerusakan mukosa lambung
lnhibisi metabilisme sulfonil urea, meningkatkan risiko hipoglikemia
Berpotensi menimbulkan hipoglikemia
Mengakibatkan hipotensi, tetapi tidak bersifat kronotropikl
inotropik negatif
Kehilangan efek hipotensi

Kehilangan sifat natriuretik, diuretik, efek hipotensi dari furosemide


lnhibisi metabolisms, meningkatkan toksisitas
Menggeser phenytoin dari protein plasma, rrrenurunkan konsentrasi bentuk aktif
Meningkatkan konsentrasi lithium dalam plasma
Dapat meningkatkan konsentrasi digoxin dalam plasma
Dapat meningkatkan konsentrasi aminoglycosides dalam plasma
Dapat meningkatkan konsentrasi methotrexate dalam plasma
lnhibisi metabolisme valproate, meningkatkan konsentrasi valproate dalam plasma

valproate

Antacids

lndomethacin
Sallicylates
OAINS lainnya
Piroxicam

Aluminium dalam antacid mengurangi absorpsi indomethacin

Sebagian besar OAINS


Naproxen
Aspirin
Aspirin dan lainnya

Mengurangi metabolisme dan klikrens OAINS diginjal


Mengurangi absorpsi naproxen
Meningkatkan absorpsi aspirin
Meningkatkan absorpsi aspirin pada penderita migrrains

Sodium bikarbonat meningkatkan absorpsi indomethacin


Meningkatkan waktu paruh dan konsentrasi piroxicam dalam plasma

Cimetidine
Probenecid
Chlestyramine
Caffein
Metoclo ramide

OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID

kejadian anemia aplastik, agranulositosis dan


trombositopenia. Sedangkan pada sistem saraf pusat dapat
timbul keadaan seperti dizzines, depresi, bingung,
halusinasi dan meningitis aseptik akut, walaupun jarang
dilaporkan.
lnteraksi Obat
Obat antiinflamasi nonsteroid dimetabolisme dihati dan
ginjal serta mengalami siklus entero-hepatik. Interaksi
OAINS dengan obat lain akan mempengaruhi
farmakokinetik dan farmakodinamik obat tersebut.

REFERENSI
Collier DH. Nonsteridal Antiinflammatory Drugs. In : West S
(editors). Rheumatology Secrets 2'h edition. Hanley & Belfus
Inc, Philadelphia 2002561-57
De Broe ME, Elseviers MM. Analgesic Nephropathy. NEJM
1998 ;33 8 :452
Furst DE, Hillson j. Aspirin and Other Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs. In : Koopman WJ (Ed). Arthritis and Allied
Conditions 141 edition. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia 2001: 665- 703
Leto A. Pertimbangan baru dalam pemilihan
selektivitas
penghambatan COX-2 sebagai anti nyeri dan anti inflamasi.
Dalam : Setiyohadi B, Kasjmir YI (Editor).Temu
Ilmiah
Reumatologi 2002:7 8-81.

2743
Osiri M, Moreland LW. Specific Cyclooxygenase 2 Inhibitors:
A New Choice of Non Steroidal Anti-Inflammatory Drug
Therapy. Arthritis Care and Research 1999; 12(5):351-9
Pelletier MJ, Lajeunesse D, Reboul P, Pelletier JP. Therapeutic role
of dual inhibitors of 5-LOX and COX, selective and
non-selective non-steroidal
anti-inflammatory drugs. Ann
Rheum Dis 2003;62:501-9
Robert JL II, Morrow JD. Analgesic-antipyretic and anti-inflammatory agents and drugs employed in the treatment of gout.
In : Wonsiewicz MJ, Morriss JM (Eds). Goodman and Gilman's
The Pharmacological basis of therapeutics, l O". Mc Graw-Hill
Medical Publishing Division, New York, 2001: 687-727.
Sabagun ES, Weisman MH. Nonsteroidal Anti-inflammatoey Drugs.
In: Ruddy S, Harris ED, Sledge (Eds).Kelley's Textbook of
Rheumatology 61h edition. WB Sounders Company, Philadelphia 2001 :799-822
Sundy JS. Non Steroidal Antiinflammatory Drugs. In :Koopman,
Moreland LW (Eds). Arthritis and Allied Conditions 15'"
edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia 2005:
679-98
Simon LS. NSAIDs: Overview of adverse effects. http://www. UpTo
Date 2005
Wolfe MM, Lichtenstein DR, Sing G. Gastrointestinal toxicity of
nonsteroidal antiinflammatory drugs. NEMJ 1999; 17:
1888-99.
Wilder RL. Nonsteroidal antiinflammatory drugs. In : Klippel JH
(Eds). Primer on The Rheumatic Diseases,
12th edition.
Arthritis
Foundation,
Atlanta
2001:
583-91

420
OPIOID, ANTI DEPRESAN DAN
ANTI KONVULSAN PADA TERAPI NYERI
Riardi Pramudiyo

OPIOID

Sudah puluhan tahun opioid dipakai dalam penanganan


nyeri baik sebagai obat tunggal maupun sebagai bagian
dari terapi multimodal dan memberikan hasil yang cukup
baik. Boni ca (2001) pada buku teksnya Boni ca '. s
management ofPain edisi sebelurnnya menyatakan bahwa
opioid telah banyak dipakai dalam penanganan nyeri akan
tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan, hal ini
disebabkan oleh karena para dokter kurang terlatih dan
kurang memahami pemakaian obat tersebut sehingga
akibatnya banyak dokter kurang memahami baik tentang
dosis maupun lama kerja obat tersebut serta rasa takut
akan terjadinya adiksi, ketergantungan dan depresi
pemapasan.

pada tingkatan korda spinalis. Pada sistem limbik, opioid


akan merubah respons emosional terhadap nyeri sehingga
hal ini akan membuat lebih tahan terhadap nyeri.
Berdasarkan atas hal-hal tersebut di atas opioid dipakai
untuk mengatasi nyeri (Miyoshi & Leckband,2001).

Mekanismekerjadan pengaruhopiat.Opioidmempunyai
efek farmakologi pada hampir setiap organ dalam tubuh.
Beberapa efeknyamenguntungkandan yang lain merugikan
tubuh. Obat ini dapat mempengaruhi berbagai macam organ tubuh penting antara lain: susunan saraf pusat, saluran
cema, sistem kardiovaskular, paru-paru, genitourinaria.

Pengaruh lain opioid (Miyoshi & Leckband,2001 ).


Supresi batuk. Opioid juga akan mengakibatkan depresi
refleks batuk dengan cara langsung menekan pusat batuk
pada medulla. Tidak ada hubungan antara aktivitas supresi
batuk dengan efek depresi pemapasan. Jadi supresi batuk
oleh opioid tidak mengganggu ventilasi. Opioid darijenis
ini yang banyak dipakai adalah kodein. Pada beberapa
pasien supresi refleks batuk akan memperburuk keadaan,
hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya proses
pembersihan dan sekresi sputum. Semua jenis opioid
sebaiknya tidak dipakai pada kasus yang sedang
mengalami serangan asma, oleh karena penglepasan
histamin, depresi pemapasan dan sekresi sputum yang
pekat dapat menyebabkan katastrofik (Miyoshi &
Leckband,2001).

Tempat dan mekanisme kerja. Bekerjanya opioid


tergantung dari besamya dosis (dose dependent) dan pada
umumnya dapat mengendalikan setiap intensitas nyeri
dengan cara meningkatkan dosis sampai pada dosis induksi
anestesi. Kekurangan opioid terletak pada efek samping
obat yang ikut bertambah dengan bertambahnya
dosis. Opioid sistemik akan menyebabkan analgesik
pada beberapa tingkatan (level) dari susunan saraf
pusat (SSP). Pada tingkat korda spinalis, opioid akan
menghambat transmisi input nosisepsi dari perifer ke SSP.
Pada ganglia basalis, opioid akan mengaktifkan sistem
inhibisi desendingyang memodulasi input nosisepsi perifer

Mual dan muntah. Mual dan muntah merupakan efek


samping yang sangat tidak disukai pada pengobatan
dengan opioid. Opioid akan merangsang langsung
zona kemoreseptor yang menyebabkan muntah-muntah.
Efek ini akan bertambah berat dengan adanya rangsangan
vestibuler, oleh karena itu pada pasien-pasien yang
berobatj alan akan mendapatkanefek sampingini lebih berat
dari pada pasien-pasien yang tiduran. Sebagai antagonis
mual dan muntah dapat dipakai obat-obatan yang
mempunyai efek memblok dopamin secara kuat,
misalnya klorpromasin dan domperidon (Miyoshi &
Leckband,2001).

OPIOID,

ANTI DEPRESAN

DAN ANTI KONVULSAN

PADA TERAPI NYERI

Sedasi. Sedasi yang berlebihan, rasa kantuk, rasa bingung,


pusing dan sempoyongan dapat terjadi selama beberapa
hari dan pada umumnya akan berakhir dalam waktu 3-5
hari. Bila sedasi dan rasa kantuk menetap, dapat diatasi
dengan cara menurunkan dosis opioid, tetapi frekuensi
pemberiannya ditingkatkan untuk tetap mendapatkan efek
analgesik,atau dengan cara menambahkanamfetaminuntuk
waktu yang singkat. Pemberian obat-obatan psikotropik
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan kognitif dan
psikomotor. Pasien yang memakai opioid dengan dosis
tetap dalamj angkawaktu lama, misalnya pada nyeri kanker
atau terapi pada heroin-abuse tidak menunjukkan
gangguan tersebut; hal ini menunjukkan telah terjadinya
toleransi atau menjadi kebiasaan(habituation).
Kekakuan atau rigiditas. Opioid dosis tinggi yang
diberikan secara intravena dengan cepat dapat
mengakibatkan terjadinya rigiditas otot termasuk otot-otot
pemapasan sehingga tidak dapat bemapas. Opioid yang
dapat memberikan efek tersebut adalah opioid yang sangat
mudah larutdalamlemak(misalnya:alfentamil,remifentamil)
di mana terjadi keseimbangan dengan cepat kadar dalam
darah dan otak sesudah pemberian bolus intravena dengan
cepat.
Konvulsi. Beberapa opioid dapat menyebabkan konvulsi.
Untungnya dosis opioid yang dapat mengakibatkan
konvulsi jauh lebih tinggi dari pada dosis untuk analgetik.
Pruritus. Pruritus akibat pemberian opioid paling sering
terjadi pada pemberian intraspinal dan terjadi hanya pada
muka dan badan.
Pengaruh Opioid pada Organ Tubuh (Miyoshi &
Leckband,2001)
Opioid yang berbeda-beda dapat mempengaruhi berbagai
sistem organ tubuh dengan cara yang sama akan tetapi
intensitasnya berbeda. Berbagai opioid yang poten dan
diberikan dengan dosis ekuianalgesik (dosis yang dapat
memberikan efek analgesik yang sama) akan menghasilkan
efek yang sama, walaupun demikian ada sebagian pasien
menunjukkan kepekaan terhadap opioid yang berbeda.
Jadi setiap pasien yang mendapat terapi dengan opioid
harus dirponitor secara ketat akan efek samping yang
mungkin terjadi dan bila terjadi efek samping yang berat,
dapat dicoba dengan mengganti opioid jenis lain dengan
dosis ekuianalgesik.
Sistem kardiovaskular. Opioiddosis terapi pada umumnya
tidak akan berpengaruh terhadap miokard pasien sehat.
Pada pasien penyakit jantung koroner, pemberian morfin
dosis terapi akan mengakibatkan terjadinya penurunan:
kunsumsi oksigen, kerja jantung, tekanan ventrikel kiri dan
tekanan diastolik.
Hipotensi yang timbul oleh karena penglepasan
histamin dapat menjadi masalah pada pemberian morfin

2745

dosis tinggi. Pemberian histarnin-blocking agent hanya


mampu mempengaruhi secara parsial, sedang pemberian
nalokson dapat mengatasi hipotensi ini secara sempuma.
Di samping itu histamin juga dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah perifer (kulit) yang mengakibatkan
timbulnya gejalajlushing dan berkeringat terutama pada
muka dan tubuh. Morfin mempunyai efek vasodilatasibaik
pada arteriol maupun vena perifer, jadi pemberian morfin
pada pasien dengan hipovolemi dapat mengakibatkan
terjadinya syok hipovolemi. Pemberian morfin pada pasien
korpulmonal kronis harus sangat hati-hati, karena pemah
dilaporkan terjadinya kematian mendadak sesudah
pemberian morfin. Hipotensi oleh karena opioid dapat
diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila
diperlukan dapat diberikan ,8-adrenergikagonis.
Sistem pernapasan. Pemakaianmorfinatau meperidindosis
tinggi akan mengakibatkan terjadinya konstriksi bronkus,
walaupun demikian pada dosis analgetik hal ini jarang
terjadi. Pemberian opioid pada saat serangan asma tidak
dibenarkan sebab opioid akan menyebabkan hal-hal
sebagai berikut: depresi pada pusat pernapasan,
pengeluaran histamin, sekresi sputum lebih kental dan
penurunan refleks batuk. Hal-hal tersebut akan
memperburukkeadaan klinik pasien. Edema pulmonalpada
umumnya terjadi pada pemberian opioid dosis tinggi pada
penambahan dosis dengan cepat dan ha! ini sering terjadi
pada penanganan nyeri kanker.
Traktus gastrointestinal. Opioid mempunyai efek depresi
pada motilitas gastrointestinal. Peristaltik longitudinal
dihambat dan tonus sphincter meningkat, akibatnya adalah
kontipasi.Hal inimerupakanefek sampingyang menyulitkan
di samping rasa mual.
Lambung. Opioid sedikit menurunkan sekresi asam
lambung,meningkatkantonus antral dan menurunkangerak
lambung sehingga waktu pengosongan lambung lebih lama
(sampai 12jam) dengan konsekuensi absorpsi obat-obatan
peroral akan menurun.
Usus Halos. Peristaltik dan pencemaan makanan di usus
halus menurun juga sekresi empedu dan pankreas tetapi
tonus otot polos meningkat. Absorpsi air dalam usus halus
meningkat sehingga viskositas makanan yang telah
berbentuk cair akan meningkat sehingga makanan tersebut
akan tinggal lebih lama dalam usus halus.
Usus Besar. Peristaltik pada kolon sangat menurun dan
makanan akan tinggal lebih lama pada kolon, feses menjadi
keras dan terjadi konstipasi. Kebanyakan pasien yang
mendapatkanopioid kronis akan mengalamikonstipasioleh
karena itu dianjurkansejak diberikannyaterapi opioidsudah
disertai dengan perawatan usus, misalnya dianjurkan cukup
minum dan diberi pelunak feses.
Traktus Biliaris. Terjadi kontraksi atau spasme sfinkter
Oddi yang akan berakhirantara2-12jam sesudahpemberian

2746
opioid dosis terapi sehingga tekanan pada traktus biliaris
meningkat dan mengakibatkan epigastrik-distres yang
dapat diatasi dengan pemberian nalokson dosis rendah,
nitrogliserin atau amilnitrat (relaksan otot polos).

Saluran kemih. Terjadi kenaikan tonus pada otot detrusitor


dari vesika urinaria yang mengakibatkan terjadinya keluhan
urgency. Peningkatan tonus pada sfinkter visicae akan
mengakibatkan sulit buang air kecil bahkan kadang-kadang
perlu tindakan kateterisasi dan hal ini sering terjadi pada
pria.
Uterus. Opioid dosis terapi akan menurunkan kontraksi
uterus dan dapat memperlambat persalinan. Dosis tinggi
sebaiknya tidak diberikan pada ibu hamil atau pada
persalinan oleh karena di samping berpengaruh pada ibunya
opioid dapat menembus plasenta dan masuk dalam SSP
janin dimana janin sensitif terhadap efek depresi
pemapasan.
Sistem lmun. Pemberian opioid dapat mengakibatkan
depresi imunitas. Morfin dapat merubah maturitas sejumlah
sel imunokompeten yang terlibat dalam respons imun selular
dan humoral. Telah terbukti bahwa adiksi opioid
meningkatkan kejadian limadenopati, komplikasi infeksi dan
kanker.
Toleransi dan Dependensi (Ketergantungan)
Toleransi. Toleransi adalah respons farmakologi normal
terhadap terapi opioid jangka lama. Definisinya adalah
penurunan respons terhadap obat sesudah pemberian
berulang kali, atau kebutuhan dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek tetap sama. Toleransi dapat terjadi
oleh karena faktor farmakokinetik, seperti: perubahan dalam
distribusi obat atau perubahan dalam kecepatan
metabolisme obat; atau oleh karena faktor farmakodinamik,
seperti: berubahnya densitas reseptor opioid atau
berubahnya jumlah relatif reseptor opioid atau terjadinya
desensitasi reseptor opioid. Dari hasil-hasil penelitian
diduga bahwa reseptor delta dan kappa mempunyai peran
spesifik dalam terjadinya toleransi dan reseptor NMDA
dan reseptor NO diperlukan untuk induksi dan
pemeliharaan toleransi. Tanda-tanda adanya toleransi dini
adalah: pasien mengeluh menurunnya efek analgesik dan
efeknya cepat hilang. Bila hal ini terjadi dapat diatasi
dengan cara menambah dosis atau frekuensi pemberiannya
atau keduanya, atau mengganti dengan opioid jenis
lain.
Dependensi atau ketergantungan. Dependensi adalah
kemampuan untuk terjadinya sindrom abstinence sesudah
penghentian obat yang mendadak, pengurangan dosis atau
pemberian obat antagonisnya. Tanda-tanda sindrom abstinence
adalah menguap, lakrimasi, sering bersin, agitasi, tremor, insomnia, panas badan dan takikardia. Hal ini dapat dicegah dengan
cara: bila menurunkan dosis hams secara pelan-pelan 15-20%
setiap hari atau 25-40%.
Adiksi atau ketagihan. Adiksi adalah pola perilaku
pemakai obat yang ditandai dengan dorongan yang sangat

REUMATOLOGI

besar untuk memakai obat, dan pemakaian obat untuk


tujuan lain dan bukan untuk menghilangkan rasa nyeri
walaupun akibatnya merugikan atau keasyikan yang
diperoleh dari pemakaian obat. Pasien yang mengalami
adiksi mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh
kembali sesudah pemberian obat dihentikan. Ketakutan
untuk terjadinya adiksi, merupakan faktor utama dalam
mengatasi nyeri oleh karena pemberian dosis yang terlalu
rendah, meskipun demikian adiksi opioid jarang terjadi
pada pasien-pasien yang mendapatkan opioid untuk
keperluan medis (Miyoshi & Leckband,2001 ).

ANTI DEPRESAN
Anti depresan pasa saat ini dipakai juga untuk mengobatan
nyeri. Anti depresan yang paling banyak dipakai adalah
kelompok anti depresan trisiklik (TCA) dan dari banyak
obat yang termasuk dalam kelompok ini hanya amitriptilin
sajalah yang banyak dipakai dan mempunyai hasil, bahkan
sampai saat ini masih merupakan terapi lini pertama (first
line therapy) untuk pengobatan nyeri khususnya nyeri
pada neuropati diabetik. (Dallocchio dkk,2000; Baron
R,2004) Mekanisme kerja utama anti depresan trisiklik
terutama pada kemampuannya untuk menghambat ambilan
kembali serotonin (serotonin reuptake) dan norepinefrin ke
pre sinaps. Telah dibuktikan pula bahwa antidepresan
trisiklik mempunyai efek blokade pada u-adrenergik, kanal
natrium, dan antagonis NMDA. (Meliala dan Pinzon,2004)
Menurut Baron R (2004), mekanisme kerja kelompok
antidepresan trisiklik adalah menghambat ambilan kembali
transmiter monoaminergik. Hal ini akan mempunyai
pengaruh potensiasi dengan aminergik pada jalur painmodulating susunan saraf pusat dan memblok kanal sodium voltage-dependent ( efek anestesi lokal) dan respons
adrenergik. Dari golongan TCA, amitriptilin-lah yang pada
saat ini banyak dipakai secara luas untuk pengobatan nyeri
kronik. Dosis rata-rata yang dipakai untuk mengurangi rasa
nyeri antara 75-150 mg/hari dan dosis ini biasanya lebih
rendah dari pada dosis yang diperlukan untuk mencapai
efek antidepresan. Amitriptilin dan golongan TCA lainnya
mempunyai efek samping yang signifikan. Efek samping
sebagai akibat dari blokade reseptor o-adrenergik adalah :
hipotensi ortostatik; dan sebagai akibat bloking reseptor
histamin adalah sedasi. Efek samping lain yang dapat
timbul adalah : retensi urin, hilangnya daya ingat dan
abnormalitas konduksi jantung ( oleh karena efek
antikolinergik). Khususnya bagi pasien lansia, pemakaian
obat ini sebaiknya dimulai dengan dos is rendah (10 mg)
dan secara pelan-pelan dosis dinaikkan. (Baron R,2004)
Desipramin dan nortriptilin, keduanya bekerja dengan
cara memblok ambilan kembali norepinefrin dan efektif
untuk pengobatan nyeri pasca herpes dan neuropati
diabetik. Obat ini mempunyai efek antikolinergik dan sedasi
yang
lebih
ringan.(Baron
R,2004)

OPIOID, ANTI DEPRESAN DAN ANTI KONVULSAN PADA TERAPI NYER1

SSRI (selective serotonin receptor inhibitor)


mempunyai efek samping yang lebih ringan dari pada
kelompok TCA dan pada umumnya dapat ditoleransi lebih
baik. Pada pasien dengan neuropati diabetik perifer,
paroksetin dan citalopram memberikan efek sebagai
penghilang rasa nyeri lebih baik dari pada plasebo, sedang
fluoksetin memberikan efek sama dengan plasebo.
Penelitian tentang bupropion lepas lambat pada pasien
sindrom neuropati perifer dan sentral menunjukkan
pengurangan rasa nyeri yang bennakna dibandingkan
dengan plasebo, sedang penelitian dengan venlafaksin
(memblok ambilan serotonin dan juga norepinefrin) dan
imipramin hidroklorid pada pasien neuropati disertai nyeri,
kedua obat tersebut menunjukkan pengurangan rasa nyeri
yang bennakna dibanding dengan plasebo.(Baron R,2004)

ANTI KONVULSAN

Anti konvulsan adalah satu kelompok obat yang


mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan
abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf pusat yang
menjadi dasar bangkitan epilepsi. Epilepsi dan nyeri
neuropatik sama-sama timbul karena adanya aktivitas
abnormal sistem saraf. Epilepsi dipicu oleh
hipereksitabilitas sistem saraf pusat yang mengakibatkan
bangkitan spontan yang paroksismal, dan hal ini sama
dengan kejadian nyeri spontan pada yang paroksismal
pada nyeri neuropatik.(Chong dan Smith,2000)Mekanisme
kerja anti konvulsan dalam nyeri neuropati meliputi:
menghambatkanalnatrium,menghambatkanal kalsium dan
bekerja pada sistem GABA. (Meliala dan Pinzon,2004)
Karbamasepin dan Okskarbasepin
Karbamasepin merupakan pilihan pertama untuk nyeri
neuralgia trigeminal. Mekanisme kerja utamanya adalah
dengan cara memblok voltage-sensitive sodium chanel
(VSCC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan
frekuensi tinggi pada neuron. Efek lain dari karbamasepin
adalah memblok kanal kalsium (tipe L), memblok reseptor
NMDA, meningkatkan serotonin dan memblok reseptor
asetilkolin. (Chong dan Smith,2000) Dosis karbamasepin
dimulai dehgan 200 mg dan dosis efektifnyaberkisar antara
200-1000mg per hari. Walaupunkarbamasepinmemberikan
basil yang cukup baik, penggunaannya dibatasi oleh efek
sampingnya yang kadang-kadang mengharuskan
penghentian pemberian obat tersebut.
Okskarbasepin merupakan obat antiepilepsi baru
dengan mekanisme kerja: 1) memblok kanal natrium yang
mengakibatkan stabilisasi, menghambat cetusan listrik
berulang, dan menghambat penjalaran impuls;
2) memodulasi kanal kalsium (tipe L); dan 3) menghambat
aksi glutamat pasca sinaps (Beydoun Adan Kutluay, 2002)
Obat ini temyata efektifuntuk terapi neuralgia trigeminal

2747

dan juga untuk berbagai nyeri neuropatik lain. Dosis


dimulai dengan 300 mg pada saat mau tidur malam hari,
dapat dinaikkan 300-600 mg per hari sampai mencapai
dosis antara 1200-2400 mg per hari. Metabolisme obat ini
melalui proses reduksi dan terjadi secara cepat, tidak
mempengaruhisistem sitokrom P450 dan tidak mempunyai
metabolit epoksid, sehingga efek samping obat lebih
sedikit.
PenelitianTomicdkk (2004) dapat membuktikanbahwa
karbamasepin dan okskarbasepin mempunyai potensi
untuk pengobatan nyeri inflamasi, berdasarkan atas
kemampuan kedua obat tersebut sebagai agonis reseptor
adenosin A1 Adenosin ini diproduksi pada saat terjadi
inflamasi dan akan mengaktivasi ujung saraf aferen.
Rangsangan pada reseptor adenosin A1 akan menimbulkan
efek anti nosiseptif, sedang rangsangan pada reseptor
adenosin A2A, A28 dan A3 akan mengaktifkan sistem
nosiseptif. Efek antinosiseptif baik dari karbamasepin
maupun okskarbasepin akan berkurang apabila
pemberiannya bersamaan dengan kopi, karena kopi
merupakan antagonis reseptor A1 (Tomic dkk,2004)
Penelitian lain menunjukkan bahwa okskarbasepin
mempunyai efek menghambat penglepasan substasi-P,
meningkatkan ambang nosisepsi, dan mencegah
hiperalgesia. (Kiguchi dkk, 2004)
Gabapentin
Gabapentin [1-(aminometil)sikloheksan asam asetat]
adalah obat antikonvulsan barn. Obat ini pertama kali
dikembangkan sebagai senyawa yang menyerupai asam
gama aminobutirat (GABA) dan diindikasikan untuk
serangan parsial. Dalam tubuh obat ini tidak mengalami
metabolisme dan dikeluarkan melalui urin secara utuh,
sehingga pada kerusakan ginjal akan mempengaruhi
ekskresinya. Gabapentin dapat terdialisis, oleh karenanya
pasien gagal ginjal yang mengalami hemodialisis dan
memerlukan gabapentin hendaknya mendapatkan dosis
pemeliharaan setiap kali selesai hemodialisis. Mekanisme
gabapentin pada nyeri neuropatik belum sepenuhnya
difahami, penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
gabapentin hanya mempunyai efek anti alodini sentral,
akan tetapi baru-baru ini telah dibuktikan bahwa
gabapentin dapat menghambat penglepasan ektopik dari
saraf perifer yang mengalami kerusakan. Gabapentin
mempunyaiefek alodinimelaluimekanismesebagaiberikut:
a) Pengaruh pada SSP (pada tingkat medula spinalis dan
otak) karena peningkatan hambatan pada jalur-jalur yang
diperantarai GABA, sehingga mengurangi input
eksitatoris; b) bersifat antagonis terhadap reseptorreseptor N-metil-D-aspartat (NMDA); c) antagonis
terhadap kanal kalsium di SSP dan inhibisi saraf perifer.
Sifat antagonis terhadap reseptor NMDA dan blokade
kanal kalsium adalah teori yang paling dianut. (Fong dkk,
2003) Menurut penelitian dari Dallacchio C dkk (2000)

2748
dengan subyek 25 orang, membandingkan gabapentin
dengan TCA (amitriptilin) pada pasien nyeri neuropati
diabetik dan temyata gabapentin memberikan basil yang
baik dan mungkin dikemudian hari dapat dipertimbangkan
sebagai terapi lini pertama, dan hal ini didukung oleh
kenyataan dimana obat ini dapat ditoleransi dengan baik,
profil yang aman dan tidak ada interaksi dengan obat lain.
Di samping itu gabapentin mempunyai kemampuan untuk
masuk kedalam sel dan berinteraksi dengan reseptor a}>
yang merupakan subunit dari kanal kalsium. Gabapentin
dapat merubah aktivitas glutamik acid dekarboksilase,
sehingga mampu meningkatkan GABA (inhibisi).
Berdasarkan mekanisme kerja seperti di atas, gabapentin
dapat digunakan pada nyeri neuropatik maupun inflamasi.
Oleh karena mampu mengantagonis induksi nyeri di
pusat.(Dallocchio dkk,2000) Gabapentin telah diuji coba
untuk mengatasi berbagai macam nyeri, antara lain : nyeri
pasca herpes, nyeri neuropati perifer pada diabetes,
sindromnyeri neuropati campuran,nyeri phantom, sindrom
Quillian-Barre, nyeri akut dan kronik pada gangguan
sumsum tulang belakang menunjukkan pengurangan nyeri
yang signifikan dibandingkan dengan plasebo. Beberapa
pasien menunjukkan perbaikan dalam tidur, mood dan
kualitas hidupnya. Efek samping gabapentin: somnolen,
pusing, edema perifer ringan. Pada manula dapat
mengakibatkan kehilangan keseimbangan sehingga
jalannya sempoyongan dan gangguan daya ingat.
Penyesuaian dosis perlu dilakukan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal. Efek samping terjadi terutama pada
waktu peningkatan dosis untuk mencapai dosis
terapeutik.(BaronR,2004) Interaksi obat. Gabapentin tidak
menghambat enzim mikrosomal hati dan ikatannya dengan

REUMATOLOGI

protein rendah, sehingga dapat dikatakan tidak mempunyai


interaksi dengan obat lain. Pemberian gabapentin dengan
simetidin akan menurunkan laju filtrasi glomeruler dari
gabapentin dan mampu mengurangi clearence gabapentin
sebesar 12%. Bila pemberian gabapentin bersamaan
dengan antasida akan mengurangi bioaviabilitasnya
sebesar 20%.(Fong dkk, 2003)

REFERENSI
Baron R. Neuropathic Pain - From Mecamisms to Symptoms to
Treatment : An Update. Int J Pain Med Pall Care 2004;3(3):78-90.
Beydoun A, Kutluay E. Oxcarbacepine. Expert Opinion in Pharmacology, 2002,3(1 ):59- 71.
Chong MS dan Smith TE. Anticonvulsants for the Management of
Pain. Pain Review 2000;7: 129-49.
Dallocchio C, Buffa C, Mazzarello P, Chiroli S. Gabapentin vs.
Amitriptyline in Painful Diabetic Neuropathy : An Open-Label
Pilot Study. J Pain Syndrome Manage 2000;20:280-5.
Fong GCY, Cheung BMY, Rukmana CR. Gabapentin. Medical
Progress, 2003, p:41-48,2003.
Kiguchi S, Imamura T, Ichikawa K, Kojima M. Oxcarbazepin
Antinociception in Animals with lnflamatory Pain or Pianful
Diabetic Neuropathy. Clin Exp Pharmacol
Physiol,
2004,31(2):57-64.
Meliala L dan Pinzon R. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri
Pasca Herpes. Dalam : Meliala L, Rusdi I, Gofir A, Pinzon R.
Eds. Kumpulan Makalah Welcoming Symposium : Towards
Mecanism-Based Pain Treatment. Jogjakarta, 2004:83-9.
Miyoshi HR, Lecband SG. Systemic Opioid Analgesics. In : Loeser
JD, Butler SH, Chapman CR, Turk DC. Eds. Bonica's
Management of Pain. 3th Ed. Part III. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia USA, 200 I: 1682- 709.

421
PERAN KORTIKOSTEROID DI BIDANG
REUMATOLOGI
A.M.C. Karema-Kaparang,

PENDAHULUAN

Sampai saat ini kortikosteroid masih merupakan salah satu


obat yang penting dan sering digunakan dalam
pengelolaan penyakit di bidang reumatologi; namun cara
kerja, dosis, lama dan cara pemberiannya masih
kontroversi. Di samping itu, efek samping lokal maupun
sistemik yang timbul cukup membahayakan kehidupan dan
kualitas hidup pasien, terutama pada penggunaan jangka
panjang, baik dengan dosis rendah apalagi tinggi. Adanya
kenyataan tersebut telah mengubah cara pandang para
ahli mengenai pemakaian kortikosteroid di bidang
reumatologi.
Pemakaian kortikosteroid pada penyakit-penyakit
inflamasi dan autoimun meningkat setelah ditemukannya
efek anti inflamasi sekitar tahun 1950-an. Namun,
bersamaan dengan peningkatan pemakaian steroid
dijumpai pula peningkatan kejadian efek samping yang
membahayakan pasien-pasien. Atas dasar itu, pada tahun
1960-andianjurkan pembatasan pemakaian kortikosteroid;
dan apabila memang diperlukan sebaiknya digunakan
dosis seminimal mungkin, kecuali dalam keadaan yang
mengancam jiwa di mana dosis besar dibutuhkan untuk
menyelamatkannya. Pada pertengahan tahun 1990-an
muncul pandangan baru, yaitu pemberian steroid dengan
dosis tinggi sesingkat mungkin dan kemudian segera
dilakukan tapering off sampai tercapai dosis pemeliharaan
terkecil yang masih berefek, karena cara ini memberikan
basil terapi yang lebih baik dengan efek samping lebih
sedikit serta tidak membahayakan.
Dalam bidang reumatologi, pemakaian kortikosteroid
dibagi menjadi dua, yaitu secaralokal(topikal, intra artikular/
intralesi) dan sistemik ( oral, parenteral). Penggunaan
kortikosteroid secara sistemik sampai sekarang masih

Candra Wibowo

menjadi permasalahandan kontroversi, sebab efek samping


yang timbul dapat mendatangkan akibat fatal; sebaliknya
pemakaian secara lokal lebih dipilih dan dianjurkan
walaupun memerlukan persyaratan tertentu. Meskipun
demikian, sebaiknya dilakukan evaluasi rutin terhadap
semua pasien yang menerima pengobatan kortikosteroid
lokal, karena efek samping yang timbul baik lokal maupun
sistemikmasih mungkin terjadi.

REGULASI FISIOLOGIS KORTIKOSTEROID


PROSES INFLAMASI

PADA

Hormon kortikosteroid mempunyai peran yang sangat


penting dalam pemeliharaan homeostasis tubuh baik dalam
keadaan basal maupun stres. Hormon ini disekresi oleh
korteks adrenal akibat rangsangan dari aksis hipotalamusp i tui tari (AHP). Pada keadaan normal, sekresi
kortikosteroid mengikuti irama sirkadian; namun pada
keadaan stres terjadi peningkatan rangsangan AHP,
sehingga produksi dan sekresi hormon kortikosteroid
meningkat secara nyata.
Pada proses inflamasi, sel mast, eosinofil, basofil,
bahkan sel-sel struktural (epitel, endotel, fibroblas, miosit),
dan terutama sel mononuklear, makrofag dan monosit
mampu mengaktivasi dan mensekresikan sitokin-sitokin
pro/inflamasiseperti1NF a, lL-1 p dan lL-6. Sitokin-sitokin
ini merupakan sitokin awal yang mampu mengaktifkan
kaskade respons inflamasi lokal maupun sistemik secara
resiprokal. Pada keadaan fisiologis, sitokin-sitokin ini
merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi
kortikotrofin releasing hormone (CRH) serta arginin
vasopresin; dan merangsang kelenjar pituitari untuk
mensekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH),

2750
prolaktin serta migration inhibitory factor (MIF); selain
itu merangsang kelenjar adrenal meningkatkan sekresi
kortisol. Kortisol menekan proses inflamasi melalui down
regulation pelepasan TNF a, IL-1~ dan IL-6; sebaliknya
prolaktin dan MIF memiliki efek berlawanan dengan
kortisol menjaga keseimbangan respons imun dan
inflamasi.Di siniAHP memproduksihormon kortikosteroid
dengan mekanisme reaksi umpan balik; sehingga setelah
kadar kortikosteroidyang diinginkan tercapai, maka terjadi
supresi produksi sitokin-sitokin pro/inflamasi.
Pada tingkat molekuler, TNF a, IL-1 ~ dan IL-6
mengawali sejumlah kejadian signalling intraselular yang
meliputi aktivasi transkripsi activatorprotein- I (AP-1) dan
nuclear factor-kB (NF-KB) melalui disosiasi yang
tergantung pada proses fosforilasi dan atau degradasi
inhibitor-kB (I-KB)oleh enzimkinase spesifik(I-KBkinase
1 dan 2). Peristiwa ini akan meningkatkan produksi sitokin
pro/inflamasi. Faktor-faktor transkripsi inilah yang
merupakan sasaran dari kerja kortisol dan obat-obat
kortikosteroid lainnya. Nuclearfactor-ldJ berperan dalam
patogenesis inflamasi penyakit sendi; di samping itu TNF
a, IL-1~ dan IL-6juga mampu mengaktivasij alur mitogenac ti vat ed protein kinase (MAPK) p38 yang dapat
memperpanjang masa dan proses inflamasi.
Sitokin sebagai Regulator Fisiologis Kortikosteroid
Selainsitokin-sitokinTNF a, IL-1~ dan IL-6 yang diketahui
berperan dalam regulasi fisiologis kortikosteroid melalui
AHP secara reaksi umpan batik; MIF yang disekresi oleh
kelenjar pituitari bersamaan dengan sekresi ACTH secara
sirkadian, dan juga disekresi oleh makrofag secara lokal
sebagai respons terhadap inflamasi atau saat kadar
kortikosteroid rendah, juga ikut mengatur fisiologis
kortikosteroid dalam tubuh. Efek MIF sendiri sebenamya
berupa down regulation imunosupresi kortikosteroid,
meskipun mekanismenya secara tepat belum diketahui.
MIF mampu meningkatkan fosfolipase A2 dan proliferasi
sel, mengatur sekresi IL-2 serta proliferasi sel T.

BIOAVAILIBILITAS DAN BIOAKTIVITAS KORTIKOSTEROID


Cara pemberian kortikosteroid penting dalam menentukan
bioavailabilitas maupun bioaktivitas. Contohnya,
pemberian oral pada pasien dengan malabsorbsi atau
gangguan saluran cerna akan memberikan kegagalan
respons terapi; meskipun kortikosteroid dapat melalui
membran sel secara baik namun kadar terapetik serum tidak
terpenuhi akibat gangguan absorbsi. Bioaktivitas
kortikosteroid diatur di dalam jaringan target dan sel oleh
enzim l l-b-hydroxysteroid dehydrogenase (11-BHD).
Pada manusia 11-BHD terdiri dari 2 iso-enzim tipe 1 dan
tipe 2. Tipe 1 mengubah kortison menjadi kortisol serta

REUMATOLOGI

memperkuat aktivitas biologis kortikosteroid; sedangkan


tipe 2 menginaktivasi kortisol dengan mengubahnyadalam
bentuk kortison yang tidak aktif secara biologis.

AKTIVITAS BIOLOGIS KORTIKOSTEROID SECARA


BIOMOLEKULER
Efek mekanisme kerja kortikosteroid dapat dibagi menjadi
2; yaitu pengaruh pada lingkungan di luar gen dan
lingkungan gen. Pengaruh kortikosteroid pada lingkungan
di luar gen terjadi dengan cepat, baik secara spesifik
maupun nonspesifik. Namun, mekanismenya belum
diketahui secara pasti pada saat ini. Kemungkinan
berhubungan dengan perubahan fungsi membran sel yang
terdiri dari lapisan lipid dan atau diperantarai oleh ikatan
steroid pada reseptor membran. Efek kortikosteroid pada
lingkungan di luar gen berupa analgesia dan hambatan
ekspresi molekul adhesi.
Efek kortikosteroid pada lingkungan gen diperantarai
melalui kortikosteroid reseptor (CR) yang mempunyai
fungsi penting dalam transaktivasi ikatan DNA. Gen CR
terletak dalam kromosom 5 (5q31), serta terdiri dari CR a
dan CR ~- Kortikosteroid berpengaruh dalam up regulation produksi I-KB yang akan berikatan dengan NF-KB dan
menutupi sekuens lokalisasi inti sel; kemudian masuk ke
dalam sitoplasma dan menghambat translokasi inti sel. Di
dalam sitoplasma, NF-KB menetap sebagai heterodimer
subunit p50 dan p65 yang terikat I-kB. Aktivasi sel
menyebabkanfosforilasidan degradasi I-KB. AkhirnyaNFkB dilepas dalam bentuk aktif yang dapat melakukan
translokasi ke inti sel untuk memulai transkripsi sejumlah
gen target yang mensintesis sitokin-sitokin pro/inflamasi.
Kompleks kortikosteroiddengan reseptomya (CS/CR)juga
mempengaruhi ikatan NF-KB pada DNA site yang pada
akhimya menghambat translokasi NF-KB dari sitoplasma
ke inti sel, sehingga rangsangan produksi dan sekresi
sitokin-sitokin pro/inflamasi tidak terjadi.
Kortikosteroid pada tingkat molekular menghambat
interaksi AP-1 dengan NF-KB melalui proses deasetilasi
dari inti histon. Asetilasi histon menyebabkan struktur
kromatin DNA kuat dan tak tergoyahkan, serta
meningkatkan kemampuan polimerase RNA dalam
melakukan transkripsi gen. Atas pengaruh kortikosteroid,
CR a bertindak sebagai penghambat langsung aktivitas
NF-KByang dibangkitkan oleh histon asetilasi (HATs); di
samping itujuga mengerahkan histon deasetilasi (HDACs)
dalam jumlah banyak ke kompleks NF-KB/HAT,sehingga
transkripsi gen untuk memproduksi sitokin pro/inflamasi
tidak terjadi.
Kortikosteroid juga mernicu proses apoptosis limfosit
dan timosit, tetapi efek penghambatan terhadap ekspresi
dan sekresi sitokin hanya sekunder dan tidak kuat. Selain
itu, kortikosteroid mampu memicu produksi mitogen-

PERAN KORTIKOSTEROID DI BIDANG REUMATOLOGI

activated kinase phosphatase -1 (MKP-1) yang


menginaktivasi secara kuat fosforilase mitogen-activated
kinase p38 (MAPK), sehingga menyebabkan destabilisasi
mRNA pro/inflamasi. Efek kortikosteroid terakhir adalah
memicu produksi lipokortin, sebuah protein anti inflamasi
yang diproduksi oleh sel-sel mononuklear darah tepi akibat
pengaruh steroid.

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID LOKAL


Penggunaan kortikosteroid secara lokal ditujukan untuk
menghilangkan gejala inflamasi dan rasa nyeri pada tempat
tersebut; dengan tanpa atau sedikit efek samping
sistemiknya.Pemberian dapat dilakukansecara topikal oles,
intra artikular maupun ke dalamjaringan lunak (intra lesi)
tergantung indikasi dan jenis penyakitnya.
Pada berbagai penelitian yang dilakukan mendukung
bahwa pemberian kortikosteroid intra artikular/intra lesi
memberikan angka kesembuhan yang tinggi dengan efek
samping sistemikminimal dibandingkandengan pemberian
kortikosteroid sistemik. Bahkan hilangnya tanda-tanda
inflamasi sendi diikuti dengan perbaikan gejala sistemik
dan kualitas hidup yang nyata. Meskipun demikian,
pemberian kortikosteroid lokal tidak dianjurkan sebagai
satu-satunya bentuk pengobatan, sekalipun untuk
pengobatan lokal; apalagi banyak penyakit sistemik
(terutama penyakit inflamasi kronik dan otoimun) yang
memberikan salah satu manifestasi klinisnya artritis.
Bahkanpemberiankortikosteroidlokal tidak dianjurkanjika
patogenesis penyakit yang mendasarinya belum dicari.
Demikian pula pada suntikan intra artikular/intra lesi yang
gaga) memberikan perbaikan klinis, sebaiknya tidak
dilakukantindakanulangankecuali akibat kegagalanteknis.
lndikasi dan Kontra lndikasi Penggunaan
Kortikosteroid Lokal
Indikasi pemberian kortikosteroid intra artikuler/intra lesi
adalah hanya satu/beberapa sendi perifer saja yang
mengalami inflamasi atau mengalami inflamasi yang lebih
berat dibandingkan sendi lain yang terserang; kontra
indikasj pemberian kortikosteroid sistemik; sebagai
tambahan terapi sistemik untuk penyakit sendi yang
resisten;membantumobilisasi,mencegah deformitassendi;
untuk gangguan non artikular (entesopati, bursitis,
sinovitis, tenosinovitis, tendinitis, nerve entrapment
syndrome); dan terutama untuk mendapatkan efek analgesia secara cepat.
Suntikan kortikosteroid intra artikular sering dilakukan
untuk menghilangkan rasa sakit secara cepat. Hampir
semua kasus penyakit sendi di bidang reumatologi
memberikan basil terapi kortikosteroid intra artikular/intra
lesi yang menggembirakan; seperti artritis reumatoid,
artropati psoriatik, sinovitis enteropatik, spondilitis

2751
ankilosing disertai artritis perifer, beberapa penyakit
otoimun yang melibatkan sendi, osteoartritis, artritis gout,
bahkan inflamasi sendi akibat trauma.
Beberapa keadaan yang merupakan kontra indikasi
pemberiankortikosteroidlokal meliputi:terdapatnyainfeksi
lokal ( artritis septik, abses, gangren, osteomielitis ),
hipersensitivitas terhadap bahan yang disuntikan, diatesis
hemoragi, sendi yang tidak stabil, fraktur intra artikular,
sendi yang sulit dicapai pada penyuntikan, osteoporosis
juksta artikular yang berat, suntikan terdahulu tidak
memberikan basil yang baik, tidak ada indikasi yang tepat,
lesi ireversibel yang tidak memberikan respons
pengobatan, faktor psikologis pasien yang merasakan baik
jika disuntik lokal, pasien yang takut disuntik lokal.
Suntikan intra artikuler pada kasus artritis gout dan
osteoartritis masih terdapat kontroversi beberapa ahli;
tetapi pada dasamya pemberian intra artikuler dianjurkan
jika terdapat sinovitis yang refrakter pada artritis gout atau
keluhan rasa sangat nyeri pada sendi yang mengganggu
aktivitas harian maupun kualitas hidup pasien
osteoartritis. Pemberian kortikosteroid intra artikuler pada
artritis gout sangat efektif, tetapi harus dipastikan tidak
terdapat infeksi persendian karena gejala artritis gout mirip
dengan artritis septik. Penelitian Gray dkk dan Alloway
dkk mendapatkan manfaat pemberian kortikosteroid intra
artikular pada pasien-pasien gout dengan dosis
disesuaikan besar kecilnya sendi.
Tentang osteoartritis, Neustadt dkk pada tahun 1992
menemukan kejadian Charcot-like arthropathy pada
pasien-pasien osteoartritis yang diberi suntikan intra
artikular kortikosteroid berulang kali. Namun, pada akhir
penelitian Saxne dkk menyimpulkan bahwa kortikosteroid
intra artikuler dapat mengurangi produksi mediator dan
sitokin pro/inflamasi serta enzim protease lainnya yang
berpengaruh pada degradasi kartilago; di samping itu efek
anti inflamasi steroid mampu menurunkan permeabilitas
vaskular sinovial dan mencegah berulangnya edema
maupun efusi ruang sendi. Penelitian klinis teracak yang
dilakukan Dieppe dkk menyimpulkan steroid intra artikuler
lebih efektif dibandingkan plasebo dalam menghilangkan
nyeri osteoartritis lutut dengan atau tanpa efusi ruang
sendi. Demikian pula Ravaud dkk dalam penelitian klinis
teracak menemukan hilangnya nyeri sendi dan perbaikan
fungsi sendi secara bennakna pada kelompok yang dikelola
dengan kortikosteroid intra artikuler selama 1-4 minggu
dibandingkan plasebo; namun setelah minggu ke-12
sampai 24 tidak didapatkan perbedaan bermakna.
Tampaknya manfaat kortikosteroid intra artikular pada
osteoartritis bersifat jangka pendek terutama yang
berhubungan dengan proses inflamasi.
Komplikasi Suntikan Lokal Kortikosteroid
Suntikan kortikosteroid lokal sebaiknya dilakukan dengan
hati-hati dan oleh tenaga medis yang terlatih/

2752
berpengalaman, karena berisiko terjadi komplikasi lokal
yang mengakibatkan kecacatan sendi dan menurunkan
kualitas hidup pasien. Tindakan aseptik dan antiseptik
hams diutamakandalam melakukan suntikanlokal.Aspirasi
cairan sendi sebaiknya dilakukan untuk memastikanjarum
masuk ke dalam ruang sendi sebelum dilakukan
penyuntikan. Setelah dilakukan suntikan, sendi diatur
dalamposisi netral dan relaksasi sekitar 15-30menit, sambil
digerakkan dalam lingkup gerak sendi yang fisiologis;
sedangkan bagi sendi yang memikul berat badan
sebaiknya dihindari weigh-bearing selama 24-48jam. Pada
pasien diabetes, pemakai antikoagulan atau pasien ulkus
peptikum sebaiknya ditunda sampai keadaan stabil/
terkontrol. Namun jika harus dilakukan, sebaiknya
dilindungi dengan tindakan serta obat-obatan yang mampu
mengendalikan kadar gula, perdarahan maupun ulkus
peptikum.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada tindakan
suntikan kortikosteroid lokal adalah: infeksi lokal (angka
kejadian 1 dibanding 1.000-16.000), perdarahan, kerusakan
rawan sendi (jika interval suntikan kurang dari 6 minggu
atau lebih dari 8 kali per tahun), nekrosis aseptik berupa
infarktulang subkondralakibat artropatisteroid,atrofi kulit/
jaringan subkutan dan saraf, sinovitis kristal (akibat larutan
mikrokristal steroid yang kemudian hilang dalam waktu
4-24jam dengan istirahat,kompres dingin atau analgetika),
ruptur tendon/ligamen, supresi korteks adrenal (jarang dan
bersifat sementara).

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID SISTEMIK


Pada kasus-kasus yang melibatkan sistem imun dalam
proses inflamasinya (penyakit inflamasi kronik, penyakit
otoimun), maka perlu dipikirkanpenggunaan kortikosteroid
secara sistemik dengan pemakaian jangka panjang yang
aman dan nyaman bagi pasien. Pemberian kortikosteroid
eksogen secara sistemik untuk tujuan menekan proses
inflamasi,temyata memberi efek supresipadaAHP. Supresi
AHP sudah dapat diamati setelah 5-7 hari pemberian
kortikosteroid; dan pengaruh supresi AHP dapat menetap
selama 6-12 bulan setelah kortikosteroid dihentikan. Efek
ini lebih nyata tampak pada pemberian dosis besar dan
jangka waktu yang lama. Salah satu upaya untuk
mengurangi pengaruh kortikosteroid terhadap supresi
AHP adalah pemberian dosis tunggal pagi hari sesuai
dengan irama sirkadiannya. Hasil penelitianArvidson dkk
mengusulkan pemberian glukokortikoid dosis kecil
menjelang pagi, karena mereka menemukan efektivitas
penekananIL-6denganglukokortikoidpadapukul2 dini hari.
Pada penyakit artritis reumatoid, lupus eritematosus
sistemik, beberapa penyakit yang masuk dalam
spondiloartropati seronegatif, sindrom antibodi
antifosfolipid, poliartritis nodosa, vaskulitis, sklerosis
sistemik, polimiositis/dermatomiositis serta penyakit

REUMATOLOGI

otoimun lainnya membutuhkan pengobatan kortikosteroid


secara sistemik dan cukup lama; baik sebagai terapi utama
maupun sebagai bridging therapy.
Cara dan Dosis Pemberian Kortikosteroid Sistemik
Cara dan dosis pemberian kortikosteroid sistemik
bermacam-macam tergantung pada penyakitnya. Namun
yang dianjurkan saat ini adalah pemberian sesingkat dan
seminirnalmungkinjika harus diberikandalamjangka lama.
Demikian pula pemberian alternating day therapy dan
pulse steroid therapy sebenamya ditujukan selain untuk
mencapai keberhasilan terapi juga meminimalkan efek
samping kortikosteroid.
Kortikosteroid dosis rendah (<0,5 mg/kg BB/hari atau
5-15 mg/hari prednison/prednisolon) diberikan untuk
mengatasi gejala klinis demam (sepsis), dermatitis,
arteritis,
efusi pleura dan sebagai dosis terapi
pemeliharaan. Sebaiknya dosis inisial dipertahankan
minimalselama4-6 minggusebelumdilakukantapperingoff.
Dosistinggi steroid (1-2 mg/kg BB/hari)pada umurnnya
ditujukan untuk mengatasi kegawatdaruratan yang
mengancam kehidupan pasien; seperti lupus serebral,
lupus nefritis, serositis berat, anemia hemolitik akut,
trombositopenia berat, atau penyakit-penyakit otoimun
stadium berat. Jika tidak didapatkan perbaikan klinis dalam
waktu 48 jam, maka dosis steroid sebaiknya dinaikkan
25-100% dari dosis awal tergantung keadaan klinis sampai
semua gejala akut teratasi. Dosis inisial ini sebaiknya
diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari, serta
dipertahankan minimal 6-8 minggu sebelum dilakukan
tapering off
Pulse steroid therapy biasanya diberikan pada
kegawatdaruratan yang mengancam kehidupan, krisis
lupus, kasus berat dengan manifestasi akut atau tidak
responsif terhadap pengobatan steroid dosis tinggi. Pulse
steroid therapy merupakan pemberian kortikosteroid
intravena dengan dosis sangat tinggi (10-30 mg/kg BB/
kali atau 1 gram metilprednisolon) dalam 0,5-4 jam sekali
sehari selama 1-3 hari atau 3-5 hari berturut-turut.
Tapering off merupakan salah satu cara menurunkan
dosis kortikosteroid secara bertahap sampai pada dosis
minimal yang masih efektif. Tujuannya adalah mencegah
withdrawal phenomenone dan krisis adrenal akibat
penghentian steroid secara mendadak. Setelah dosis inisial
dipertahankan selama 6-8 minggu, dosis prednison/
prednisolon diturunkan 5-10% setiap minggu jika tidak
timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis mencapai 30 mg/
hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg setiap
minggu; dan setelah dosisnya mencapai 10-15 mg/hari,
maka penurunan dosis dilakukan 1 mg setiap minggu.
Apabila dijumpai eksaserbasi akut, hams kembali pada
dosis efektif sebelumnya selama beberapa minggu (2-4
minggu) dan kemudian dicoba diturunkan kembali. Jika
dengan dosis inisial selama 4-6 minggu tidak diperoleh

PERAN KORTIICOSTEROID DI BIDANG REUMATOLOGI

perbaikan klinis yang nyata, sebaiknya dipertimbangkan


untuk pemberian imunosupresan lainnya. Apabila berhasil
mencapai dosis minimal yang efektif sebaiknya diberikan
sekali sehari pada pagi hari.
Alternating
day therapy adalah pemberian
kortikosteroid selang sehari setelah dosis minimal yang
efektif tercapai; namun sering menimbulkan eksaserbasi
akut.
Bridging therapy merupakan cara pemberian
kortikosteroid yang bersifat sementara dan bertujuan untuk
memperantarai pengobatan kausal yang Jebih rasional.
Pada umumnya diberikan pada keadaan akut, seperti pada
artritis reumatoid. Dosis yang digunakan pada bridging
therapy biasanya dosis rendah (5-7,5 mg prednison/
prednisolon) dan diberikan sekali sehari pada pagi hari.
Terapi ini sebaiknya dihentikan secara bertahap segera
setelah obat-obatan golongan disease modifying
anti rheumatoid drugs (DMARD) menunjukkan
khasiatnya.
KomplikasP
i enggunaan Kortikosteroid
Sistemik
Penggunaan kortikosteroid sistemik Jebih sering
memberikan komplikasi,apalagijika diberikan dalam dosis
besar dan waktu yang Jama. Komplikasi yang sering
dijumpai adalah: sindrom Cushing, edema, hirsutisme,
moon face, striae, penambahan berat badan, osteoporosis, gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak,
psikosis, ginekomastia, atrofi testis, alopesia, supresi AHP,
rentan terhadap infeksi, hipertensi, toleransi glukosa
terganggu, dan gangguan keseimbangan elektrolit.

PENUTUP
Penggunaan kortikosteroid di bidang reumatologi masih
diperlukan sampai saat ini, dan tampaknya akan terus
digunakan mengingat perannya sebagai anti inflamasi
yang poten dalam sistem imun tubuh kita. Hal yang perlu
diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid adalah
indikasi, kontra indikasi, cara dan dosis serta risiko
komplikasi yang sering dijumpai baik pada pemakaian
secara lokal maupun sistemik. Bagai pedang bermata dua,
bila digunakan secara tepat akan bermanfaat; sebaliknya
jika digunakan secara membabi buta akan mendatangkan
bahaya yang fatal.

REFERENSI
Alloway JA, Moriarty MJ, Hoogland YT, Nashe! DJ. Comparison of
triamcinolone acetonide with indomethacin in the treatment
of acute gout arthritis. J Rheumatol 1998; 20: 111-3.
Auphan N, Didonato JA, Rosette C, Helmberg A, Karin M.
Immunosuppression by glucocorticosteroids: inhibition of NFkB activity through induction of I-kB synthesis. Science 1995;

2753
270:286-90.
Beato M. Gene regulation by steroid hormones. Cell 1999; 56:335-9.
Cush JJ, Kavanaugh AF, Olsen NJ, Stein CM, Kazi S, Saag KG.
Rheumatology diagnosis and therapeutics. Pennsylvania
Lippincott Williams & Wilkins. 1999.
Chikanza IC, Grossman AS. Reciprocal interactions between the
neuroendocrine and immune systems. Rheum Dis Clin North
Am 2000; 26: 693-712.
Chikanza IC, Kozaci DL. Corticosteroid resistance in rheumatoid
arthritis: molecular and cellular perspective. Rheum 2004; 43:
1337-45.
Calandra T, Bucala R. Macrophage inhibitory factor: a glucocorticoid counter-regulator
within the immune system. Crit Rev
Immunol 1997; 17: 77-88.
Dixon ASJ, Graber J. Local injection therapy in rheumatic diseases.
Switzerland EULAR Publishers Basie. 1983.
Dieppe PA, Sathapatayavongs B, Jones HE, Bacon PA, Ring EF.
Intra-articular steroids in osteoarthritis. Rheumatol Rehabil
1990; 19: 212-7.
Eskandari F, Stember EM. Neural-immune interactions in health
and disease. Ann Rheum Sci 2002; 966: 20-7.
Emmerson BT. The Management of gout. N Engl J Med 1996; 334:
445-51.
Gold R, Buttgereit
F, Toyka KV. Mechanism of action of
glucocorticosteroid hormones: possible implications for therapy
of neuroimmunological disorders. J Neuroimmunol 200 I; 2:
1171-8.
Gray RG, Tenenbaum J, Gottlieb NL. Local corticosteroid injection
treatment in rheumatic disorders. Semin Arthritis Rheum 1988;
10: 231-54.
Hart FD. Systemic corticosteroids and corticotrophin. In: Drug
Treatment of the Rheumatic Disease. 41h ed. Singapore PG
Publishing. 1998.p.92-l 03.
Kassel 0, Sancono A, Kratzschmar J, Kreft B, Stassen M, Cato AC.
Glucocorticoids inhibit MAP kinase via increased expression and
decreased degradation of MKP-1. Endocrinol Metab J 2001; 20:
7208-16.
Lassa M, Ma:htani KR, Finch A, Brewer G, Saklatvala J, Clark AR.
Regulation of cyclo-oxygenase 2 mRNA stability by mitogen
activated protein kinase p38. Mo! Cell Biol 2000; 20: 4265-74.
Ono K, Han J. The p38 signal transduction pathway: activation
and function. Cell Signal 2000; 12: 1-13.
Lasa M, Abraham SM, Boucheron C, Saklatvala J, Clark AR.
Dexamethasone
causes sustained expression
of mitogenactivated protein kinase (MAPK) phosphatase I and
phosphatase-mediated inhibition of MAPK p38. Mo! Cell Biol
2002; 22: 7802-11.
Moll JMH. Rheumatology in clinical practice. OxfordBlackwell
Scientific Publications. 1997
Neustadt DH. Intraarticular steroid therapy. In: Moskowitz RW,
Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ (Eds). Osteoarthritis.
Diagnosis and Medical/Surgical Management. 2"d ed. Philadelphia WB Saunders Company. 1997.p .439-92.
Ravaud P, Moulinier L, Giraudeau B, Ayral X, Guerin C, Noel E, et al.
Effects of joint lavage and steroid injection in patients with
osteoarthritis of the knee. Results of a multicenter, randomised,
controlled trial. Arthritis Rheum 1999; 42: 475-82.
Stein CM, Pincus T. Glucocorticoids. In: Kelly WN, Harris ED,
Ruddy S, Sledge CB (Eds). Textbook of rheumatology. 5 .. ed.
Philadelphia WB Saunders Company. I 997.p.787-804.
Scheinman RI, Cogswell PC, Lofquist AK, Baldwin AS. Role of
transcriptional activation of I-kB in the mediation of immunosuppression by glucocorticoids. Science 1996; 270: 283-6.

2754

Sandeep TC, Walker BR. Pathophysiology of modulation of local


glucocorticoid levels by 11 beta-hydroxysteroid dehydrogenases. Endocrinol Metab 2001; 12: 446-53.
Saxne T, Heinegard D, Wolheim FA. Therapeutic effects on
cartilage metabolism in arthritis as measured by release of
proteoglycan structures into the synovial fluid. Ann Rheum
Dis. 1996; 45: 491-7.
Wilder RL. Corticosteroid. In: Klippel JH Ed. Primer on rheumatic
diseases. 11 lh ed. Atlanta Arhritis Foundation. 1997.
Waldman SD. Pain management injection techniques. Phyiladelphia
WB Saunders Company. 2000.
28. Zarro VJ. Steroid pulse therapy. Ann Rheum Dis .1986; 33:
217-9.

422
DISEASE MODIFYING ANTI RHEUMATIC
DRUGS (DMARD)
Hermansyah

PENDAHULUAN
Obat-obat yang mempengaruhi proses perjalanan artritis
reumatoid (AR) disebut sebagai "Slow Acting Anti
Rheumatic Drugs" (SAARD) atau yang dikenal juga
Disease ModifyingAnti RheumaticDrugs (DMARD) yang
menghambat progresivitas penyakit. Obat golongan ini
akan memperlihatkan efeknya setelah 4-6 bulan
pengobatan, dan tidak mempunyai efek langsung
menghilangkan sakit dan inflamasi, oleh karena itu
sambil menunggu kerja obat ini biasanya diberikan
obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS).
Dahulu pengobatan AR menggunakan sistem piramid,
di mana pengobatan dimulai dengan analgesik dan
OAINS disertai penyuluhan dan fisioterapi. Bila hasil
yang diperoleh tidak memuaskan, barn ditambahkan
DMARD satu-persatu sesuai dengan kebutuhan.
Bila timbul deformitas yang berat, dapat dipertimbangkan
tindakan operatif. Ternyata cara lama itu tidak
memberikan hasil yang memuaskan, bahkan sering
didapatkan destruksi sendi yang berat, sementara pasien
terus tersiksa oleh rasa nyeri dan inflamasi yang
berkepanjangan,
Penggunaan DMARD yang menggunakan pola
piramid telah banyak ditinggalkan. Saat ini lebih banyak
digunakan metode step down bridge dengan menggunakan
kombinasi beberapajenis DMARD yang dimulai pada saat
yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada
saat aktivitas AR telah dapat terkontrol. Hal ini didasarkan
pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektifhanya
dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa
dini penyakit.
Umurnnya pada pasien yang diagnosisnya telah dapat
ditegakkan dengan pasti, DMARD dapat dimulai diberikan

untuk dapat mengontrol progresivitas penyakitnya.


PertimbanganDMARD mana yang akan dipilih diserahkan
pada dokter yang menangani pasien, sebab mekanisme
kerja obat itu dipengaruhi oleh individual itu sendiri, yang
penting evaluasi tentang efektivitas obat dan
toksisitasnya.

CARA PENGGUNAAN DMARD PADA PASIEN AR


Pada dasarnya tedapat dua cara pendekatan pemberian
DMARD pada pengobatan pasien AR. Cara pertama adalah
pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang
sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran
bahwa detruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini
penyakit. Cara pendekatan lain adalah dengan
menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau
secara siklik seperti penggunaan obat-obatan
imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan.
Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD
dalam pengobatanAR timbul karena terapi DMARD secara
sekwensial padajangka panjang tidak berhasil mencegah
terjadinya kerusakan sendi yang progresif.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
penggunaan DMARD pada AR, yaitu:
DMARD harus dimulai sedini mungkin sebelum terjadi
destruksi sendi.
Gunakan DMARD secara tunggal atau kombinasi
secara terus-menerus selama penyakit masih aktif.
Monitor disabilitas dan berbagai parameter
hasil pengobatan secara berkala dan teratur untuk
mengetahui progresifitas penyakit secara baik.
Tentukan respons pengobatan yang akan dicapai,
sehingga bila diperlukan perubahan terapi dapat

2756

REUMATOLOGI

direncanakan dengan baik.


Gunakan analgesik dan OAINS sebagai terapi
tambahan untuk mengatasi nyeri dan inflamasi.
Pilihan obat dan dosis untuk pengobatan AR
hendaknya didasarkan pada faktor-faktor prognostik
yang dinilai pada kunjungan awal. Pasien dengan
prognostik yang baik biasanya dapat diobati
dengan satu DMARD saja, seperti metotreksat,
sulfasalazin, atau leflunamid. Pada pasien dengan
prognosis yang kurang baik atau kalau hasil satu
macam DMARD belum menghasilkan perubahan
yang memuaskan setelah digunakan dalam dosis
yang adekuat selama 3 sampai 6 bulan, DMARD
tersebut harus segera diganti atau tetap digunakan
dalam bentuk kornbinasi dengan DMARD yang
lain.
. Pada umumnya angka kejadian efek samping
monoterapi maupun terapi kornbinasi hampir sama,
karena itu kontrol darah tepi lengkap yang teratur perlu
Tabet 1. Monitoring DMARD
Agen
antimalaria
SulfasaJazin
D-Penicillamin
Senyawa emas
lnjeksi
Oral
Metotreksat
Siklofosfamid
Azatioprin
Klorambucil
Cyclosporin

Pemeriksaan penglihatan secara teratur


(pemeriksaan
funduskopi,
evaluasi
lapangan penglihatan, atau penggunaan
AMSLER)
CBC dan LFT setiap 2 minggu untuk 3
bulan pertama, kemudian setiap 1 bulan
CBC dan urinalisa setiap 2 minggu pada
dosis awal atau perubahan dosis,
selanjutnya 1-3 bulan
CBC dan urinalisis sebelum setiap
suntikan awal,kemudian sebelum setiap
injeksi kedua atau ketiga. Urinalisis
dipantau oleh pasien
CBC dan urinalisis setiap 2-4 minggu
CNC dan LFTs setiap 2 minggu,
kemudian 1-3 minggu
CBC dan urinalisis setiap bulan setelah uji
minggu awal
CBC setiap 1- 2 minggu, lalu - 3 bulan:
LFTs setiap 1-3 bulan
CBC setiap bulan awalnya, kemudian
setiap 3 minggu
CBC, kreatinin serum, tekanan darah
setiap bulan, kemudian setiap 2-4 minggu
pada dosis maintenance.

CBC = complete blood count ; LFT = liver function test

Tabel 2.

f oksisitas

Hidroksiklorokuin
Sulfasalazine
D-penicillamin
Emas oral
Emas parenteral
Azatioprin
Metotreksat
Siklofosfamid
Klorambucil
Siklosporin

DMARD yang0Perlu Di monitor


Mukokutaneus

Hematologi

+
++
+++
+
+++
+

+
++
++
+
++
++
+
+++
+++
+

dilakukan untuk semua DMARD. Kontrol tambahan


untuk fungsi hati, kreatinin serum dan protein urin
diperlukan untuk beberapa DMARD. Lihat Tabel 1
dan2.

DMARD YANG LAZIM DIGUNAKAN UNTUK


PENGOBATANAR
DMARD yang relatif baru seperti metotreksat (MTX),
hidroksikloroquin (HCE) dan sulfasalazin (SAS)
mempunyai rasio e:fik:asi/toksisitaysang lebih baik daripada
DMARD yang terdahulu seperti garam ernas (MUC),
D-penisilamin (DP), dan azatioprin (AZA). Dalam
sepuluh tahun terakhir, telah dikembangkan DMARD
baru yang lebih efektiftermasuk siklosporinA, leflunomid,
etanersep dan infliksimab. Obat tersebut telah
diteliti sebagai obat tunggal maupun sebagai kombinasi
dengan metotreksat,
Saat ini, DMARD yang banyak digunakan di
Indonesia adalah, klorokuin/sulfasalazin dan metotreksat,
baik sebagai DMARD tunggal, maupun dalam kombinasi,
Dahulu banyak digunakan D-penisilamin, tetapi saat ini
jarang digunakan karena efek terapeutiknya baru timbul
setelah pemakaian beberapa bulan. Walaupun demikian,
pemakaian D-penisilamin sebagai salah satu kombinasi
DMARD masih digunakan pada beberapa kasus. Garam
emas hampir tidak pernah digunakan, karena obat ini tidak
tersedia di Indonesia.

KLOROKUIN
Hidroksiklorokuin dan klorokuin telah dipergunakan
untuk pengobatan AR sejak tahun 1950. obat ini terikat
kuat pada DNA, menghambatfungsi limfosit,menstabilkan
membran lisosom, menurunkan kemotaksis, fagositosis,
dan produksi superoksid oleh leukosit polimorfonuklir,
menekan produksi dan pelepasan interleukin I (IL 1 ),
klorokuin mempunyai waktu paruh yang panjang, steady
state dalam darah tercapai dalam waktu 3 sampai 4 bulan,
inilah yang menyebabkan efeknya lambat, Pada penelitian

"
Gastrointestinal
+ +
++
++
+++
+
++
+++
++
+
+++

Hepatik
++
+
+
+
++
++

Ginjal

++
+
++

++

2757

DISEASE MODIFYING ANTI RHEUMATIC DRUGS (DMARD)

konsentrasiklorokuindalamplasma harus dicapai 700-2100


ug/ml agar obat ini mempunyai efek, sebagian besar
pasien AR dengan pengobatan hidroksiklorokuin tidak
mencapai konsentrasi ini. Atas dasar pemikiran inilah
kita beranggapan bahwa obat klorokuin relatif kurang
efektif. Di pihak lain peningkatan dosis akan meningkatan
efek samping.
Sebagian pasien akan menghentikan penggunaan
klorokuin pada suatu saat karena merasa bahwa obat ini
kurang berrnanfaat bagi penyakitnya. Toksisitas klorokuin
sebenamya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin
dapat digunakan dengan aman j ika dilakukan pemantauan
yang baik selama penggunaannya dalam jangka waktu
yang panjang. Efek samping pada mata, sebenamya hanya
terjadi pada sebagiankecil pasien saja. Toksisitasklorokuin
pada retina hanya bergantung pada dosis harian saja dan
bukan dosis kumulatifnya. Dosis anti malaria yang
dianjurkan untuk pengobatan AR adalah klorokuin fosfat
250 mg/hari atau hidroksiklorokuin400 mg/ hari. Pada dosis
ini jarang sekali terjadi komplikasi penurunan ketajaman
penglihatan. Efek samping lain yang mungkin dijumpai
pada penggunaan anti malaria adalah dermatitis
makulopapular, nausea, diare dan anemia hemolitik.
Walaupun sangat j arang dapat pula terjadi diskrasia darah
atau neuromiopati pada beberapa pasien.

SULFASALAZIN
Sulfasalazin(SAS)pertama kali ditemukantahun 1930, yang
diindikasikansebagai antibiotikterhadap bakteri, kemudian
dipergunakan untuk penyakit radang saluran cema (IBD
= JnflamatoryBowel Disease). Dalam dekade terakhir obat
ini diketahui dapat dipergunakan untuk anti inflamasi baik
seropositif maupun sero negatif. Sulfasalazin sedikit
diabsorbsi dalam usus, dirobah oleh bakteri usus menjadi
5 aminofetil salisilik acid (5-ASA) dan sulfapiridin. 5-ASA
diekskresikan dalam feses, sedangkan sulfapiridin diserap
dan dimetabolisme dalam hati, komponen aktif dari
Sulfasalazin pada AR adalah sulfapiridin. Sulfasalazin
menghambat angiogenesis sinovium, menekan limfosit
dan fungsi polimorfonuklir. Dari penelitian klinik
sulfasalazin dapat menekan erosi sendi dibandingkan
dengan plasebo. Sulfasalazin mempunyai efektifitas
hampir sama dengan preparat emas dan d-penisilamin.
Untuk pengobatan AR sulfasalazin dalam bentuk
enterik coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500
mg/hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap
minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg atau 2 x 1000
mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g/hari, dosis
diturunkan kembali sehingga mencapai l g/hari untuk
digunakan dalamjangka panjang sampai remisi sempurna
terjadi. Jika sulfasalazin tidak menunjukkan khasiat yang
dikehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan
digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan

dalam bentuk kombinasi dengan DMARD lainnya.


Kurang lebih 20% pasien AR menghentikan
pengobatan obat ini karena mengalami nausea, muntah
atau dispepsia. Gangguan susunan saraf pusat seperti
pusing atau iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia,
agranulositosis dan pansitomia yang reversibel telah
pemah dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapatkan
SAS. Ruam kulit terjadi kurang lebih pada 1 % sampai 5%
dari pasien yang menggunakan SAS. Penurunan .
jumlah sel spermatozoa yang reversibel juga pemah
dilaporkan, test fungsi hati hams dilakukan setiap minggu
pada tiga bulan pertama, kemudian setiap bulan setelah
itu.

D-PENISILAMIN
D-penisilamin (DP) mulai meluas penggunaannya sejak
tahun tujuh puluhan. Walaupun demikian, karena obat ini
bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai lagi untuk
digunakan dalam pengobatan AR. Umurnnya diperlukan
pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat mencapai
keadaan remisi yang adekuat, dan rentang waktu ini
dianggap terlalu lama bagi sebagian besar pasien AR.
Dalam pengobatan AR, DP (Kuprimin 250 mg atau
Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai
300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua
sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300 mg/hari. Efek
samping DP antar lain adalah ruam kulit urtikaria atau
morbiliformisakibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus.
DP juga dapat menyebabkan trombositopenia,leukopenia
dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan
timbulnya proteinuria ringan yang reversible sampai pada
suatu sindrom nefrotik. Efek samping lain yang juga dapat
timbul adalah "lupus like syndrome", polimiositis,
neuritis, miastenia gravis, gangguan mengecap, nausea,
muntah, kolestasis intra hepatik dan alopesia.

GARAMEMAS
Auro sodium Tiomalat (AST) intramuskulartelah dianggap
sebagai suatu "gold standard' bagi DMARD sejak 20
tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak diragukan lagi,
walaupunpenggunaan obat ini seringkalimenyertakan efek
samping dari yang ringan sampai yang cukup berat. AST
(Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intra
muskular yang dimulai dengan dosis percobaan pertama
sebesar 10 mg, disusul dengan dosis percobaan kedua
sebesar 20 mg, kemudian, setelah 1 minggu, dosis penuh
diberikan sebesar 50 mg setiap 20 minggu. Jika respons
pasien belum memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan
dapat diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu
sampai keadaan remisi yang memuaskan dapat tercapai.

2758
Efek sampingAST antara lain adalah pruritus, stomatis,
proteinuria, trombositopenia dan aplasia sumsum tulang.
Efek samping AST agaknya terjadi lebih sering pada
pengemban HLA-DR3A. Jika timbul efek samping yang
ringan, dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan
sementara. Jika gejala efek samping tersebut menghilang,
AST kemudian dapat diberikan lagi dalam dosis yang lebih
rendah. Auranofin tablet 3 mg adalah preparat garam emas
oral telah dikenal sejak awal decade yang lalu dan dianggap
sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST.
Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan
AR, lebih mudah digunakan serta tidak memerlukan
pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli yang
berpendapat bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik
dibandingkan dengan AST.
Auranofin sangat berguna bagi pasien AR yang
menunjukkan efek samping terhadap AST. Auranofin
diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping
proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai
dibandingkan dari penggunaan AST. Pada awal
penggunaan auranofin, banyak pendeirta yang mengalami
diare, yang dapat diatasi dengan menurunkan dosis
pemeliharaan yang digunakan.

AZATIOPRIN

Azatioprin merupakan analog purin, yang mempengaruhi


sintesis DNA, obat ini dikonversikan dalam bentuk
metabolik aktif dalam sel eritrosit dan hati. Waktu paruh
plasma adalah 60 menit setelah pemberian peroral dan
diekskresikan melalui ginjal. Azatioprin menghambat
proliferasi limfosit dengan cara non spesifik, juga
berpengaruhi terhadap sel T dan sel B, sel monosit,
makrofag, dan aktivitas set natural killer (NK). Dosis
harian azotioprin 1-2,5 mg/kgBB. Dosis awal 25 mg
dinaikkan sampai 50 mg 2 x sehari dosis maksimum 2,5
mg/ kgBB. Efek samping mual, neutropenia,
trombositopeni. Pemeriksaan rutin darah dan tes fungsi
hati sekali sebulan.

METOTREKSAT

Metotreksat (MTX) adalah suatu sitostatika golongan


antagonis asam folat yang banyak digunakan sejak 15
tahun yang lalu. Obat ini sangat mudah digunakan dan
rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja
relatiflebih pendek (3-4 bulan) jika dibandingkan dengan
DMARD yang lain. Dalam pengobatan penyakit
keganasan, MTX bekerja dengan menghambat sintesis
timidin sehingga menyebabkan hambatan pada sintesis
DNA dan poliferasi selular. Apakah mekanisme ini juga
bekerja dalam penggunaannya sebagai DMARD belum
diketahui dengan pasti.

REUMATOLOGI

Penggunaan pada AR dengan dosis 5-25 mg/minggu,


waktu absorbsi rata-rata hampir 1,2 jam. Komponen utama
hasil metabolismenya dalam sirkulasi darah terikat dengan
albumin, dan terakumulasidalam hati sebagai poliglutamat.
Metotreksat dieliminasidari tubuh melalui ginjal dan sistem
bilier. Kerjanya menekan proliferasi limfosit dan produksi
faktor rematoid (RF), meningkatkan kemotaksis PMN, dan
mempengaruhiproduksi sitokin. PemberianMTX umurnnya
dimulai dalam dosis 7,5 mg (5 mg untuk orang tua) setiap
minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi,
sebagian besar pasien sudah akan merasakan manfaatnya
dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak
terjadi kemajuan dalam 3-4 bulan maka dosis MTX harus
segera ditingkatkan.
Efek samping MTX dalam dosis rendah seperti yang
digunakan dalam pengobatan AR umumnya jarang
dijumpai akan tetapi juga dapat timbul berupa kerentanan
terhadap infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis,
intoleransi gastrointestinal, gangguan fungsi hati,
alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek samping ini
biasanya dapat diatasi dengan mengurangi dosis atau
menghentikan pemberian MTX. Kelainan hati dapat
dicegah dengan tidak menggunakan MTX pada pasien
AR yang obese, diabetik, peminum alkohol atau pasien
yang sebelumnya telah memiliki kelainan hati.
Pada pasien AR yang menunjukkan respons yang baik
terhadap MTX, pemberian asam folinat dapat mengurangi
beratnya efek samping yang terjadi. Peningkatan enzim
hati dapat terjadi secara transien, tetapi tidak berhubungan
dengan timbulnya fibrosis hati, reaksi hipersensitivitas,
berupa ruam kulit telah dilaporkan, insiden pneumonitis
tidak diketahui, tetapi tidak lebih dari 5% kasus, yang paling sering mungkin terjadi dengan pemberian MTX adalah
fibrosis dan sirosis hepatis.

SIKLOSPORIN-A

Siklosporin-A (CS-A), adalah suatu undekapeptida siklik yang di


isolasidarijamur tolipokladiuminflatumGarnspada
tahun 1972. dalam dosis rendah, CS-A telah terbukti
khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati pasien AR.
Pengobatan dengan CS-A terbukti dapat menghambat
progresivitas erosi dan kerusakan sendi. Kendala utama
penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik yang sangat
bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan fungsi
ginjal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar
kreatinin serum atau hipertensi. Efek samping lain CS-A
adalah gangguan fungsi hati, hipertrofi gingival,
hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstermitas dan perasaan
lelah.
Dosis awal CS-A umumnya diberikan dalam dosis
2,5-3,5 mg/KgBB/hariyang dibagi dalam 2 dosis. Setelah4
sampai 8 hari dosis dapat ditingkatkan 0,5-1,0 mg/KgBB/
hari setiap 1 sampai2 bulan sehingga mencapai5 mg/KgBB/

2759

DISEASE MODIFYING ANTI RHEUMATIC DRUGS (DMARD)

hari. Jika dosis maksimal yang dapat ditolerir tercapai dan


pasien telah berada dalam keadaan stabil sekurangkurangnya 3 bulan, dosis CS-A harus dikurangi setiap 1
atau 2 bulan sebesar 0,5 mg/KgBB/hari. Jika tidak dijumpai
respons klinis setelah penggunaan CS-A dalam dosis
maksimal yang dapat ditolerir selama 3 bulan, CS-A harus
dihentikan. Penggunaan CS-A merupakan kontra indikasi
pada keadaan:
Terdapatnya atau adanya riwayat penyakit keganasan
Hipertensi yang tidak terkontrol
Penggunaan CS-A harus dilakukan secara berhati-hati
pada:
U sia di atas 65 tahun
Hipertensi terkontrol
Infeksi aktif
Kondisi premalignan: leukoplakia, mielodisplasia
Kehamilan dan menyusui
Penggunaan obat-obatan lain seperti: anti epilepsi,
ketokonazol,
flukonazol, trimetoprim, eritromisin,
verapamil, diltiazem, OAINS, dan agen alkilasi seperti
siklofosfamid.
Dalam usaha untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan
penggunaan
CS-A sebaiknya dilakukan
dengan
pemantauan
yang ketat. Sebelum pengobatan
dimulai
sebaiknya dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan sebagai berikut:
Pemeriksaan tekanan darah sekurang-kurangnya 3 kali.
Pemeriksaan bilirubin dan enzim hati
Pemeriksaan kadar kalium, magnesium dan asam urat
darah
Pemeriksaan protein urin
Gangguan fungsi ginjal akibat CS-A dapat dihindari dengan
melakukan:
Eksklusi pasien dengan faktor risiko potensial
Membatasi dosis maksimal sampai 5 mg/KgBB/hari
Pemantauan fungsi ginjal yang sering dan teliti

LEFLUNOMID
Leflunomid, suatu derivat isoksazol, merupakan salah satu
obat paling barn yang dipergunakan untuk AR. Leflunomid
(LFM) t~lah disetujui untuk digunakan sebagai DMARD
oleh FDA sejak bulan Oktober 1998. uji klinis yang dilakukan
membuktikan bahwa LFM memiliki khasiat yang setara
dengan MTX dan merupakan suatu altematif yang baik
bagi pasien AR yang gaga] diobati dengan MTX atau
intoleran terhadap MTX. Sebagaimana dengan DMARD
lainnya, mekanisme kerja LFM belum sepenuhnya diketahui.
Diduga efek terapeutik LFM pada AR berhubungan dengan
kemampuan LFM menghambat aktivitas enzim dehidrorotat
dehidrogenase. Progresivitas erosi sendi nyata lebih lam bat
pada pasien yang menerima 20 mglhari leflunomid daripada
metotreksat atau sulfazalazin.

Leflunomid efektif dan aman untuk mengurangi


kerusakan/erosi sendi dan tanda klinis AR. Efeknya
sebanding dengan metotreksat dan sulfasalazin dalam 4
parameter klinis, akan tetapi berlangsung lebih cepat. Di
samping itu dalam jangka yang lebih pendek, leflunomid
menghambat progresivitas
penyakit berdasarkan
pemeriksaan radiografi dan lebih baik memperbaiki
kemampuan fungsional. Leflunomid juga relatif ditoleransi
dengan baik. Gangguan faal hati yang berlangsung
sebentar, Berbeda dengan DMARD yang lain, tak ada
toksisitas hematologik, pulmonal dan ginjal.
KombinasiDMARD
Sejak tahun 1990 telah dianjurkan perubahan terapi AR
dengan menggunakan terapi kombinasi, di mana
penggunaan kombinasi DMARD dianjurkan diberikan sejak
awal penyakit dan tidak menunggu respons terhadap
OAINS. Akan tetapi karena mekanisme kerja DMARD yang
jelas belum banyak diketahui pada waktu itu, kombinasi
yang dianjurkan hanya berdasarkan pengalaman saja.
Tujuan utamanya ialah meningkatkan efikasi, diharapkan
obat bekerja secara sinergis tanpa meningkatkan toksisitas.
Hal ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan
menggabungkan obat-obat yang mekanisme kerja dan efek
sampingnya berbeda.
Dengan ditemukannya manfaat metotreksat dan lebih
dipahaminya mekanisme kerja DMARD yang lain, terapi
kombinasi semakin menarik dan memberikan tingkat
keberhasilan terapi yang lebih baik. Terapi kombinasi sering
dipergunakan apabila penggunaan DMARD secara tunggal
gagal. Gabungan MTX, SAS dan klorokuin memperlihatkan
basil yang baik. Akhir-akhir ini gabungan siklosporin dan
MTX atau MTX dan SAS, lebih baik hasilnya
dibandingkan daripada MTX tunggal.

REFERENSI
American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Clinical
Guidelines. Guidelines for the Management of Rheumatoid
Arthritis. Arthritis Rheum. 1996 : 9 : 713-22.
Avina, Zubieta JA, et al. long term effectiveness of anti malarial
drugs. In rheumatic disease. Ann Rheum Dis. 1998; 57 : 582-87.
Borigini MJ, Pualus HE. Rheumatoid arthritis. In: Weisman MH,
Weinblatt ME, Louise JS eds. Treatment of rheumatic diseases.
2"' ed. Philadelphia:W. B. Saunders; 2001.p.217-35.
Brooks P. Management of rheumatoid arthritis. Medicine International. 2002.p.50-3.
Brooks P. disease modifying anti Rheumatic drugs. In: Klippel JH
ed. Primer on the rheumatic diseases. 111 ed. Atlanta:Arthritis
Foundation; 1997 .p.432-6.
Chatham WW. Gold and d-Penicillamine. In Koopman JW (ed).
Arthritis and allied conditionts. 141 ed. Lippincott WW.
Philadelphia, 2001; 717-33.
Cush JJ., Tugwell P., WeinblattM, et al. US consensus guidelines for use
of cyclosporine A in rheumatoid arthritis. J. Rheumatol, 1999; 26:
1176-86.
Daud R. Combination of sulfasalazine and chloroquine in the

2760
treatment of patients with rheumatoid arthritis. A Randomized
controlled trial. M. Sc. Thesis, Mc Master University, Hamilton,
Ontario, Canada, 1992.
Felson DT, Anderson JJ, Meenan RF. The comparative efficacy and
toxicity of second-line drugs in rheumatoid arthritis. Results of
two metaanalyses. Arthritis Rheum. 1990; 33: 1449-61.
Fox RI., kang HI. Mechanism of action of hydroxychloroquine as
an anti rlteumatic drugs. Semin. Arthritis Rheum, 1993; 23 : 82-91.
Fermocioli GF., Baibak LW., Ferraris M. Effects of cyclospirine on
joint damage in rheumatoid arthritis. Clin Exp Rheumatol. 1997;
15 : 583-9.
Jones SK. Ocular toxicity and hydroxychloroquine guidelines for
screening. Br J. Derma toI, 1999; 140 : 3-7.
Jackson CG, Elegg DO. Sulfasalazine and minocycline. In Koopman
JW (ed).
Arthritis
and allied
conditionts.
14'h.
ed.Philadelphia:Lippnicott WW; 2001; 1 : 769-82.
Gomisiewicz M, Moreland L. Rheumatoid arthritis. In: Robin L
ed.Clinical care in rheumatic diseases. 2 ed.Atlanta: American
College of Rheumatology; 2001.p.89-96.
Kremer JM. Methotraxate and leflunomide. Biochemical basis for
combination therapy in the rheumatoid arthritis. Semin Arthritis Rheum. 1993, 29 : 14-25.
L.S. Simon and D. Yocum. New and drug therapies for rheumatoid
arthritis. B J Rheumatol. 2000 ; 39 (supp) : 36-42.
Leipold G, et al. Azathioprine induced severe pancytopenia due to a
homozygous
two-point
mutation of thiopurine
methyltransperase gene in patient with juvenile. HLA B27.
Associated spondylarthritis. Arthritis Rheum, 1997; 40 : 1896-98.
Mc Casly DJ. Personal Experience in the treatment of seropositive
rheumatoid arthtritis with drugs use in combination. Semin
Arthritis Rheum. 1993, 23 : 42-9.
Motonen T, et al. comparison of combination therapy with single
drug therapy in early rheumatoid arthtiris a ramdomized trial.
Lancet. 1999, 353 ; 568-1573.

REUMATOLOGI

O'Dell J., Left R., et al. Methotrexate (M) Hydroxychloroquine


(H), Sulfasalazine (S) versus M-H or M-S for rheumatoid
arthritis; results a double blind study. Arthritis Rheum. 1999; 42:
S 117.
O'Dell J. Combination DMARD therapy for rheumatoid arthritis,
apparent universal acceptance. Arthritis Rheum. 1997; 40-S50.
O'Dell JR., Haire CE., et al. Treatment of rheumatoid arthritis with
metotreksate alone, sulfasalazine and hydroxychloroquine or
combination at all three medications. N. Engl J Med. 1996; 334
: 1287-91.
Pincus T, O'Dell J.R., Kremer J.M. Combination therapy with
multiple disease modifying anti rheumatic drugs in rheumatoid
arthritis. Ann Intern Med. 1999; 131; 768-74.
Paseo G., Priolo F., Marubini F. Slow progression joint damage in
early rheumatoid arthritis treatment with cyclosporine A.
Arthritis Rheum. 1996; 39 : 1006-105.
Rau R, et al. Longterm treatment of destructive rheumatoid
arthritis with methotrexate. J Rheumatol, 1997; 24 : 1881-9.
Rich E., Moreland LW., Alarcon GS. Paucity of radiographic
progression in rheumatoid arthritis treated with methotrexate
as the first disease-modifying anti rheumatic drug. J Rheumatol.
1999; 26 : 256-61.
Smolen JS and Emery P. Efficacy and safety of Ieflunomide in
active rheumatoid arthritis. B j Rheumatol. 2000; 39, 48-56.
Weinblatt ME. Treatment of rheumatoid arthritis. In: Koopman
JW ed. Arthritis and allied conditions. 14'h ed. Philadelphia:
Lippincott WW;200 I.p.1245-60.
Wolfe F, Sharp JT. Radiographic outcome at recent-onset Rheumatoid arthritis. A 19-year study of radiographic progression. Arthritis Rheum, 1998; 41 : 1571-82.
Weinblatt ME., Kremer JM., Coblin JS, et al. Pharmacokineties
safety and efficacy of combination treatment with methotrexate and leflunomide in patients with active rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum, 1999; 42 : 1322-8.

423
AGEN BIOLOGIK DALAM TERAPI
PENYAKIT REUMATIK
B.P. Putra Suryana

Penemuan agen biologik telah memberikan kemajuan yang


luar biasa dalam terapi penyakit reumatik, seperti pada
artritisreumatoid (AR) dan spondilitisankilosa(SA). Terapi
inhibitor TNF-a dan interleukin-I (IL-I) menjadi terapi
pertama pada AR yang berdasarkan penemuan konseptual
sampai pada aplikasi klinis. Terapi tersebut tidak hanya
telah terbukti memperbaiki gejala klinis penyakit, tapi juga
memperlambat kerusakan sendi pada AR. Pengetahuan
tersebut juga telah membuka peluang terapi pada penyakit
reumatik lainnya yaitu lupus eritematosus sistemik (LES)
dan vaskulitis.
Agen biologik dibuat dengan tujuan untuk memblok
komponen autoimun yang berperan dalam patogenesis
suatu penyakit. Agen biologik diberi nama berdasarkan
komponen autoimun atau proses inflamasi yang menjadi
targetnya. Sitokin merupakan target agen biologik yang
paling banyak diteliti dan telah diaplikasikan secara klinis,
seperti anti-TNF dan anti-IL. Teknologi canggih seperti
teknik rekombinan DNA dan penciptaan molekul kecil
nonimunogenik seperti antibodi monoklonal (monoclonal
antibodies : MoAbs), reseptor terlarut (soluble receptor),
dan pengikat sitokin,memungkinkanpara penelitimembuat
'alat' untuk memblok target tertentu (Shanahan,2005).

TARGET TERAPI AGEN BIOLOGIK

Target terapi agen biologik tidak hanya sitokin, tetapi juga


berbagai komponen lainnya yang berperan dalam
patogenesis penyakit reumatik. Saat ini anti sitokin masih
menjadi agen biologik yang paling banyak diteliti dan
dikembangkan,serta telah diaplikasikansecara klinis.Agen
biologik lainnya masih dalam penelitian, seperti agen
biologik yang bekerja pada sel-sel imun (limfosit T dan B),

interaksi sel-sel atau sel-matriksekstraselular,menghambat


ON dan oksigen reaktif, atau komplemen (Tabel 1 ). Agen
biologik yang juga sedang dikembangkan mempunyai
target terhadap matrix metalloproteinase (MMP) atau
molekul signal intraselular.

ANTAGONIS TUMOR NEKROSIS FAKTOR

TNF-a pada awalnya disintesis dan diekspresikan sebagai


molekul transmembran, kemudian bagian ekstraselularnya
mengalami pemecahan oleh TNF-a converting enzyme
(TACE)melepaskanmolekulterlarutsebagaiTNF-a terlarut
(soluble TNF-a) dalam sirkulasi. TNF-a terlarut yang
berikatan dengan reseptor yang dikenalnya akan memicu
perubahan konformasional dan dimerisasi pada reseptor
tersebut. Reseptor TNF ada 2 yaitu reseptor TNF tipe I
(TNF-RI) dan tipe II (TNF-RII). Aktivitas biologis TNF-a
terlarut terutama melalui TNF-RI, sedangkan TNF-a pada
sel melalui TNF-RII. Soluble TNF receptors (sTNFRs)
hanya sebagian kecil dari total reseptor TNF, dan mungkin
berperan sebagai antagonis endogen terhadap TNF-a
dalam sirkulasi. Ligan alami untuk reseptor TNF adalah
TNF-a dan lymphotoxin-ti (Bazzoni,1996)
Upaya untuk memblok TNF paling banyak dilakukan
melalui berbagai penelitian yang meliputi penemuan obat
biologik berbasis protein yaitu antibodi monoklonal yang
menyerang TNF maupun reseptor terlarut TNF (sTNFR)
rekombinan. Molekul tersebut akan berikatan dengan
TNF-a terlarut sehingga mencegah sitokin berikatan
dengan reseptor TNF pada sel, yang dapat mengaktifkan
jalur inflamasi. sTNFR rekombinan dibuat dari gabungan
protein ligan-binding portion dari reseptor TNF manusia
dengan immunoglobulin-like molecule manusia. Semua

2762

REUMATOLOGI

Tabet 1. Mekanisme
Kerja dan Target Terapl
(diringkas dari Shanahan dan More!and,2005)
Mekanisme

kerja

Anti-sitokin

Target terapi
TNF-a (etanercept,

infliximab,
adalimumab)
IL-1 (anakinra) dan
IL-18
IL-6

IL-17
IL-12, IL-15 dan IL-7
MMIF
VIP
PIF

Signaling intraseluler
Anti limfosit T

CD4, CD5bdan CD?


Reseptor I L-2
CD28, 87-1, 87-2 dan
CTLA4
CD40 dan ligan CD40
CD11a/CD18

Anti limfosit B

CD20 (rituximab)

Anti kemokin yang


berperan pada
interaksi sel dengan
sel atau sel dengan
matriks ekstraseluler

IL-8
CCR1
RANTES
lntegrin
CD44

Mengaktifkan
apoptosis
Menghambat
kerusakan jaringan
akibat inflamasi

Reseptor Fas
Reseptor TRAIL

Menghambat
komplemen

Meta/loproteinase
Oksida nitrit
Spesies oksigen
reaktif
C5
C3 converlase

Menghambat
reseptor Fe
Menghambat
osteoklas

FcyRIII
FcyRI
RAN KL

Agen

Biologik

Extracellular
domain of
human P 75
TNF RII receptor

Uji klinis
AR, spondilitis
ankilosa, artritis
psoriatik, vaskulitis
AR (binatang coba)
AR (binatang coba)
Lupus (binatang
coba)
AR (ex vivo model)
AR (binatang coba)
AR (binatang coba)
Sinovitis (binatang
coba)
Sinovitis (binatang
coba)
Artritis (binatang
coba)
AR
AR (binatang coba)
AR, LES (binatang
coba ), Psoriasis
LES
AR, LES (binatang
coba ), Psoriasis
AR, LES, ITP,
vaskultis, limfoma
AR, artritis psoriatik
Sel-sel sinovium
Sinovitis (binatang
coba)
AR (binatang coba)
AR
AR (binatang coba)
LES (binatang coba)
AR dan OA (binatang
coba)
Artritis (binatang
coba)
AR (binatang coba)

Fe region of
human lgG

Gambar 1. Struktur molekular etanercept. (Dikutip dari Shanahan


and St.Clair,2002)

(nama dagang: Remicade), merupakan anti-TNF MoAbs


gabungan (chimeric) manusia/tikus. Infliksimab tersusun
oleh region konstan dari IgGle dengan region Fv murine
anti-human TNF-a antibody (Gambar 2). Antibodi
tersebut mempunyai afinitas tinggi terhadap TNF-a
manusia alami maupun rekombinan, dan dapat menetralisir
sitotoksisitas TNF in vitro. Waktu paruhnya 8,0-9,5 hari,
diberikan secara intravena dengan interval 8 minggu
setelahpemberian3 dosisawal (loadingdose) (Elliott,1993).

Lupus like disease


(binatang coba)
Artritis dan sindroma
antifosfolipid
(binatang coba)
LES (binatang coba)
AR (binatang coba)
AR (binatang coba)

MMIF,macrophage migration inhibitory factor, VIP,vasoactive intestinal peptide ;


RANTES,regulated upon activation normal T cell expressed and secreted ;
TRAIL, TNF-related apoptosis-inducing ligand ; RANKL,receptor activator of
nuclear factor K/3 ligand; AR,artritis reumatoid ; LES.lupus eritematosus sistemik;
ITP,idiopathic trombhocytopenic purpura

TNF

J
~Mouse
Human

komponennya berasal dari protein manusia, tapi hubungan


antara kedua region tersebut menunjukkan urutan
asam-amino yang tidak alami sehingga berpotensi memicu
respons antibodi (Haque and Bathon,2005). Etanercept
(nama dagang : Enbrel) adalah sTNFR rekombinan yang
telah mendapat ijin Food and Drug Administration (FDA)
untuk dipakai dalam klinis. Etanercept adalah konstruksi
dimer dari dua sTNF-Rll berikatan dengan bagian Fe IgG 1
manusia ( Gambar 1 ), mempunyai afinitas yang lebih kuat
terhadap TNF-a (50-1000 kali) dan masa paruh lebih lama.
Pada AR, waktu paruh dalam serum sekitar 102 jam,
diberikan secara subkutan (Mohler,1993).
Antibodi monoklonal terhadap TNF (Anti-TNF
MoAbs) yang telah dipakai secara klinis adalah infliksimab

Binding site

Fe region
human lgG

Gambar 2. Struktur molekular infliximab. (Dikutip dari Shanahan


and St.Clair,2002)

Adalimumab (nama dagang: Humira) juga merupakan


antibodi terhadap TNF-a, berbeda dengan infliksimab
karena seluruh komponennya berasal dari manusia.
Adalimumabjuga mempunyai afinitasyang tinggi terhadap
TNF-a dengan masa paruh yang sama dengan IgG 1
manusia yaitu sekitar 2 minggu, diberikan dengan injeksi
subkutan (van de Putte,1998).
Inhibisi TACE dapat menghambat pembentukan
TNF-a terlarut dan reseptor TNF-a terlarut, juga menjadi

2763

AGEN BIOLOGIKDALAM TERAPI PENYAK1T REUMATOLOGI

strategi untuk melawan TNF yang masih dalam penelitian


(Haque and Bathon,2005).
Efek samping yang paling sering dilaporkanpada terapi
antagonis TNF adalah reaksi pada tempat injeksi dan
tempat infus seperti eritema dan indurasi, yang biasanya
bersifat ringan. Efek samping yang paling mendapat
perhatian adalah peningkatan risiko infeksi dan
keganasan. Infeksi oportunistik seperti tuberkulosis,
histoplasmosis, aspergilosis, koksidioidomikosis,
listerosis, pneumonia Pneumocystis carinii, infeksi
kriptokokk:us, kandidiasis, infeksi cytomegalovirus dan
atipikalmikobakteriatelah dilaporkan. Pengaruhanti sitokin
terhadap timbulnya keganasan masih belum diketahui
dengan jelas. Efeknya pada perburukan fungsi jantung
pada pasien penyakit jantung kongestif dan timbulnya
penyakit demielinisasi otoimun pada sistem saraf pusat
juga menjadi perhatian para ahli. Masalah lainnya adalah,
terbentuknya antibodi terhadap ketiga jenis antagonis TNF
telah dilaporkan, yang mungkin dapat mempengaruhi
efektifitasnya (Haque and Bathon,2005).
Tabet 2. Indikasi dan Dosis Antagonis TNF dan Antagonis
IL-1 (dinngkas dari Haque and Bathon,2005)

Agen blologik

lndlkasl

Etanercept
(monoterapi atau
kombinasi dengan
MTX)

AR aktif sedangberat (dewasa


dan anak-anak),
artritis psoriatik,
spondilitis
ankilosa

lnfliximab
(kombinasi
dengan MTX)

AR aktif sedangberat (dewasa),


spondilitis
ankilosa

Adalimumab
(monoterapi atau
kombinasi dengan
MTX)
Anakinra
(monoterapi atau
kombinasi dengan
MTX)

AR aktif sedangberat (dewasa)

AR aktif sedangberat (dewasa)

Dosis dan cara


pemberian
Dewasa : 25 mg
injeksi subkutan, dua
kali seminggu.
Anak-anak: 0.4
mg/kg (maksimal 25
mg) injeksi subkutan,
dua kali seminggu
3 mg/kg intravena
pada minggu 0, 2 dan
6 selanjutnya tiap 8
minggu (dosis dapat
dinaikkan sampai 10
mg/kg)
40 mg injeksi
subkutan, tiap 2
minggu
100 mg/hari injeksi
subkutan

hanya memerlukan l %-2% okupansi IL- lRI (Arend, 1993),


sedangkan IL-1RII tidak dapat menimbulkan signal dan
tampaknya berperan sebagai decoy receptor untuk
IL-1 (Collota,1993). Bentukreseptorterlarutdari IL-1RI dan
IL-1RII juga diproduksi secara alami, mungkin berperan
sebagai antagonis endogen terhadap IL-1p (Symons,1991).
Upaya memblok IL-1 dilakukan dengan cara rekayasa
genetika untuk menciptakan bentuk rekombinan dari
IL-1Ra dan reseptor IL-1 terlarut. Anakinra (nama dagang:
Kineret) adalah rekombinan IL-Ra manusia (rIL-1Ra) yang
telah dipakai pada terapi pasien AR dewasa. Anakinra
berikatan dengan IL-lRI dengan afinitas yang ekuivalen
dengan IL-1p, sehingga mampu mencegah IL-1 p berikatan
dengan IL-IRI pada sel. Waktu paruhnya singkat sekitar
4-6 jam, sehingga harus diberikan tiap hari melalui injeksi
subkutan. Data in vitro menunjukkan bahwa IL-1 Ra
diperlukan 10 sampai 100 kali lebih banyak terhadap IL-1
untuk dapat menghambat 50% akitivitas biologis IL-1
(Arend, 1990). Sehingga diperlukan sangat banyak IL-lRa
terhadap IL- I untuk dapat memblok inflamasi akibat IL-1,
karena aktivasi sel hanya memerlukan 1 %-2% okupasi dari
IL-lRI. Hal tersebut mungkin menjelaskan efektifitas
anakinra yang relatif lebih lemah (Haque and
Bathon,2005). StrategilainuntukmemblokIL-I masihdalam
tahap penelitian, seperti menciptakan rekombinan sIL-1RI
(Drevlow, 1996) dan antibodi monoklonal terhadap IL-1a.
dan IL-IP (van den Berg,1994). IL-1 trapjugamasihdalam
penelitian klinis, terbentuk oleh 2 molekul identikberikatan
kovalen melalui ikatan disulfida. Tiap molekul mempunyai
2 sekuen 'reseptor ekstraselular dengan afinitas kuat
terhadap IL-1 digabungkan dengan porsi Fc IgG 1 manusia. In
vitro, afinitas IL-1 trap lebih kuat dibandingkan dengan
sIL-1RII dan sIL-1RI, dan mempunyai masa paruh sampai
67jam (Econornides,2003).
Antogonis IL- I tidak meningkatkan risiko infeksi
maupun keganasan. Belum pernah dilaporkan adanya
infeksi tuberkulosis maupun infeksi oportunistik lainnya
pada berbagai uji klinis antagonis IL- I (Haque and
Bathon,2005).

AR,artritis reumatoid ; MTX, metotreksat

ANTI-CD20

ANTAGONIS INTERLEUKIN-1

Superfamili IL- I meliputi 10 produk gen yang berkaitan


erat, terutama IL- I c, IL- Ip, IL- I Ra dan IL-18. IL- I a. dan
IL- IP adalah agonis terhadap reseptor IL- I (IL-IR), yang
disintesis sebagai molekul prekursor (pro-IL- I a. dan
pro-IL-1 P). IL- I b matur yang disekresikan menimbulkan
efek proinflamasi dari IL- I. IL- I Ra adalah antag onis
reseptor IL- I yang mempunyai afinitas sama dengan
IL-1 p. Reseptor IL-1 ada 2 yaitu reseptor IL-1 tipe I
(IL-IRI) dan tipe II (IL-lRII). Respons biologis oleh IL-1

CD20 adalah petanda permukaan sel (cell surface marker)


yang terdapat pada sel limfosit B muda sampai yang matur.
Petanda tersebut tidak ditemukan pada sel stem, sel pre-B
muda, sel dendritik dan sel plasma. Peran sel limfosit B
pada patofisiologi AR belum diketahui dengan pasti,
beberapa mekanisme yang diperkirakan adalah berperan
dalam pembentukan autoantibodi faktor reumatoid,
presentasi antigen melalui interaksi langsung sel-sel, dan
produksi sitokin (TNFa., IL-6 dan IL-10) (Panayi,2005).
Rituksimab adalah monoklonal antibodi IgG 1 e antiCD20 yang berasal dari manusia. Agen biologik ini
menyerang limfosit B meliputi limfosit B imatur,matur dan

2764
sel B memori yang mengekspresikan antigen permukaan
CD20, sehingga jumlah limfosit B berkurang. Rituksimab
tidak menyerang sel plasma sehingga kadar imunoglobulin
pada pasien yang mendapat terapi rituksimab tidak
berubah. Ablasi limfosit B terjadi melalui kombinasi
sitotoksisitas yang diperantarai antibodi dan sitotoksisitas
yang diperantarai komplemen, juga melalui aktivasi
apoptosis akibat terjadinya cross-linking FcR (Reff et
al,1994)(Shan et al,2000).

REUMA10LOGI

menunjukkan peningkatan jumlah sel limfosit B kembali


disertai peningkatan titer faktor reumatoid (242 Shanahan).
Tempi rituksimab pada pasien AR aktif yang telah
mendapat MIX tapi memberikan respons tidak adekuat
menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna dan
berlangsung lama. Kombinasi dengan MIX memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan siklofosfamid
(Panayi,2005).
Spondilitis Ankilosa

TERAPIAGEN BIOLOGIK PADAPENYAKIT REUMATIK


Artritis Reumatoid

Efektivitas antagonis INF pada AR yang refrakter telah


banyak dilaporkan melalui uji klinis, baik sebagai
monoterapiataupunkombinasi dengan metotreksat(MIX).
Etanercept adalah satu-satunya antagonis INF yang
dipakai sebagai monoterapi pada AR dini, sedangkan
penelitiantentang infliksimabdan adalimumabdikombinasi
dengan MIX padaAR dini sedang berlangsung. Uji klinis
mengenai perbandingan efektifitas dan keamanan
antagonis INF terhadap disease-modifying antirheumatic
drug (DMARD) non-biologik telah dilakukan pada
etanercept (90). Antagonis INF sebagai monoterapi pada
AR dibandingkan plasebo menunjukkan respons klinis
(kriteria respons American CollegeofRheumatology,ACR)
lebih baik dalam waktu yang singkat (beberapa hari sampai
minggu). Penghentian tempi menyebabkan penyakit
menjadi aktifkembali, menunjukkan inhibisi INF sangat
efektif menekan proses inflamasi tapi tidak bersifat kuratif.
Antagonis INF dikombinasi dengan metotreksat (MIX)
juga menunjukkan respons klinis yang lebih baik
dibandingkan dengan MIX saja. Selain menekan
inflamasi, antagonis INF juga terbukti menghambat
kerusakan sendi setara dengan MIX. Pasien AR yang
telah mendapat MIX tapi tetap mengalami kerusakan
sendi, penambahan antagonis INF mampu menekan
progresifisitas kerusakan sendi tersebut secara bermakna.
Ketiga jenis antagonis INF telah dibuktikan kemampuan
dalam menekan inflamasidan menghambatkerusakansendi
padaAR (Haque and Bathon, 2005).
Antagonis IL-1 (anakinra) pada AR menunjukkan
respons yang lebih lemah dibandingkan dengan antagonis
INF dalam hal menekan gejala klinis maupun
progresifisitas kerusakan sendi. Hal tersebut mungkin
dipengaruhi oleh waktu paruhnya yang singkat (Haque
and Bathon,2005). Etanercept pada AR juvenil aktif yang
tidak memberikan respons terhadap MIX dan obat anti
inflamasi menunjukkan perbaikan klinis dibandingkan
dengan plasebo (Criscione et al,2002).
Rituksimab dengan berbagai kombinasi dengan
siklofosfamid dan glukokortikoid menunjukkan induksi
perbaikan aktivitas penyakit dan bertahan lama pada
pasien AR yang refrakter. Beberapa pasien yang rekuren

Antagonis INF juga digunakan untuk terapi spondilitis


ankilosa (SA), berdasarkan fakta bahwa INF-a banyak
diekspresikanpada sendisakro-iliakapasien SA. Infliksimab
dan etanerceptdilaporkanmemberikanperbaikan klinis dan
gambaranradiologisyang bermakna pada pasien SA. Pasien
SA yang mendapat etanerceptselama3 bulan menunjukkan
respons klinis dan perbaikan mobilitas spinal yang lebih
baik dibandingkandenganplasebo.Terapiinfliksimabselama
12 minggu pada pasien SA juga menunjukkan perbaikan
klinis yang bermakna dibandingkan dengan plasebo
(Gorman,2002), di samping juga memperbaiki status
fungsionaldan kualitashidupnya(Braun,2003).Pemeriksaan
magnetic resonance imaging (MRl) pada tulang belakang
juga menunjukkanperbaikanpada pasien SAyang mendapat
terapiinfliksimab(Braun,2002).
Lupus Eritematosus Sistemik

Anti CD20 (rituksimab) digunakan untuk tempi lupus


eritematosus sistemik (LES), tapi belum ada laporan resmi
tentang hasil dan efeknya pada pasien denganjumlah yang
cukup banyak. Pada beberapa kasus LES aktif dan refrakter,
tempi rituksimab 500 mg dua kali dalam 2 minggu
dikombinasi dengan siklofosfamid dan steroid dosis tinggi
menunjukkan perbaikan pada kadar C3, laju endap darah,
hemoglobin dan skor British Isles Assessment Group
(BILAG). Kondisi tersebut bertahan beberapa bulan
(Leandro,2002). Monoterapi rituksimab dicoba pada 16
orang pasien LES aktif non-organ-threatening, tapi tidak
memberikan efek pada dosis rendah dan dosis sedang.
Hanya 10 orang pasien mencapai pengurangan jumlah sel
B yang diharapkan menunjukkan perbaikan nilai skor
SystemicLoupes Activity Measure (SLAM), hanya 1 pasien
menunjukkanpenurunan kadar anti-dsDNA(Anolik,2002).
Penyakit Reumatik Lainnya

Agen biologik juga dicoba pada beberapa penyakit


reumatik lainnya seperti artritis psoriatik dan vaskulitis.
Sebuahpenelitian pada 60 pasien artritispsoriatik diberikan
terapi etanercept25 mg subkutan dua kali seminggu selama
3 bulan atau mendapat plasebo, menunjukkan respons
klinis dan kesembuhan lesi psoriasis yang lebih baik pada
kelompok yang mendapat etanercept (Mease,2000).
Etanercept menunjukkan disease-modifying effect yang
dapat menghambatkerusakan sendi (Ory,2002).Etanercept

AGEN BIOLOGIKDALAM TERAPI PENYAKIT REUMATOLOGI

juga dilaporkan memberikan respons klinis yang baik pada


beberapa kasus granulomatosis Wagener (Stone,2001) dan
penyakit Behcet (Sfikakis,2002).

RINGKASAN
Agen biologik adalah molekul yang dibuat dengan
teknologi rekombinan DNA, yang dapat berupa antibodi
monoklonal, reseptor terlarut atau pengikat sitokin. Agen
biologik mempunyai target kerja pada komponen tertentu
dalam patogenesis inflamasi dan penyakit. Target kerja
agen biologik dapat pada sitokin, sel limfosit T dan B,
komplemen, serta proses inflamasi atau apoptosis. Agen
biologik yang telah banyak diteliti dan dikembangkan
adalah anti-TNFa (etanercept, infliksimab dan
adalimumab), anti-IL-1 (anakinra) dan anti-CD20
(rituksimab). Indikasi terapi agen biologik pada penyakit
reumatik adalah apabila terapi anti-inflamasi dan disease
modifying anti-rheumatic drug konvensional tidak
memberikan respons klinis yang memuaskaan.Anti-TNFa
dan anti-IL-I telah digunakan untuk terapi AR aktifyang
refrakter terhadap disease modifying anti-rheumatic drug
konvensional. Agen biologik sebagai monoterapi maupun
kombinasi pada terapi AR menunjukkan respons klinis
yang baik dan mampu menghambat kerusakan sendi.
Etanercept juga diindikasikan untuk terapi AR juvenil,
spondilitis ankilosa dan artritis psoriatik, sedangkan
rituksimab masih dalam tahap penelitian untuk pasien LES.
Efek sampingterapi agenbiologikadalahpeningkatanrisiko
infeksi oportunistik termasuk tuberkulosis,

REFERENSI
Anolik J, Campbell D, Felgar R, et al. B lymphocyte depletion in
the treatment of systemic lupus erythematosus: a phase I/II
trial of rituximab in SLE. Arthritis Rheum 2002;46(suppl 9):289.
Arend WP. Interleukins and arthritis-IL- I antagonism in
inflammatory arthritis. Lancet 1993;341:155-6.
Arend WP, Welgus HG, Thompson RC, et al. Biological properties
of recombinant human monocyte-derived interleukin
I
receptor antagonist. J Clin Invest 1990;85:1694-7.
Braun J, Brandt J, Listing J, et al. Treatment of active ankylosing
spondylitis with infliximab: a randomised controlled multicentre
trial. Lancet 2002;359: 1187-93.
Braun J, Baraliakos X, Golder W, et al. Magnetic resonance imaging
examination of the spine in patients with ankylosing spondylitis,
before and after successful therapy with infliximabevaluation of a new scoring system. Arhritis Rheum
2003;48: 1126-36.
Bazzoni F, Beutler B. The tumor necrosis factor ligand and receptor
families. N Engl J Med 1996;334:1717-25.
Criscione LG, St.Clair EW. Twnor necrosis factor-a antagonist for the
treatment of rheumatic diseases. Curr Opin Rheumatol
2002;14:204-11.
Colotta F, Re F, Muzio M, et al. Interleukin-I type II receptor: a

2765
decoy target for IL-I that is regulated by IL-4. Science
1993;261 :472-5.
Drevlow BE, Lovis R, Haag MA, et al. Recombinant
human
interleukin- I receptor type I in the treatment of patients with
active rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1996;39:257-65.
Elliott MJ, Maini RN, Feldmann M, et al. Treatment of rheumatoid
arthritis with chimeric monoclonal antibodies to tumor
necrosis factor alpha. Arthritis Rheum 1993;36: 1681-90.
Economides AN, Carpenter LR, Rudge JS, et al. Cytokine traps:
multi-component, high-affinity blocker of cytokine action. Nat
Med 2003;9:47-52.
Gorman JD, Sack KE, Davis JC. Treatment of ankylosing spondylitis
by inhibition of tumor necrosis factor alpha. N Engl J Med
2002;346: 1349-56.
Haque U and Bathon JM. Cytokine inhibitors: tumor necrosis factor
and interleukin-I. In : Koopman WJ, Moreland LW (eds).
Arthritis and allied conditions. A textbook of rheumatology, l 5'h
ed, vol.I. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005
: 839-53.
Leandro MJ, Edwards JC, Cambridge G, et al. An open study of B
lymphocyte depletion in systemic lupus erythematosus.
Arthritis Rheum 2002;46:2673- 77.
Mease PJ, Goffe BS, Metz J, et al. Etanercept in the treatment of
psoriatic arthritis and psoriasis: a randomised trial. Lancet
2000;356:385-90.
.
Mohler KM, Torrance DS, Smith CA, et al. Soluble tumor necrosis
factor (TNF) receptors are effective therapeutic agents in
lethal endotoxinemia and function simultaneously as both TNF
carriers and TNF antagonists. J Jmmunol I 993; 151: 1548-61.
Ory P, Sharp JT, Salonen D, et al. Etanercept (Enbrel) inhibits
radiographic progression in patients with psoriatic arthritis.
Arthritis Rheum 2002;46(suppl 9): 196.
Reff ME, Carner K, Chambers KS, et al. Depletion of B cells in vivo
by a chimeric mouse human monoclonal antibody to CD20.
Blood 1994;83:435-45.
Shanahan J, Moreland LW. Investigational biologic therapies for
the treatment of rheumatic diseases. In : Koopman WJ,
Moreland LW (eds). Arthritis and allied conditions. A textbook
of rheumatology, 15" ed, vol.l. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins, 2005 :859-76.
Shanahan JC and St.Clafr EW. Short analytical review. Tumor
necrosis factor-a blockade: a novel therapy for rheumatic
disease. Clinical Immunology 2002;103:231-42.
Shan D, Ledbetter JA, Press OW. Signaling events involved in
anti-CD20-induced
apoptosis of malignant B cells. Cancer
Immunol lmmunother 2000;48:673-83.
Sfikakis PP. Behcet disease: a new target for anti-tumor necrosis
factor treatment. Ann Rheum Dis 2002;6l(suppl 2):52-3.
Stone JH, Uhlfelder ML, Hellmann DB, et al. Etanercept combined
with conventional treatment in Wegener's granulomatosis: a
six-month open-label trial to evaluate safety. Arthritis Rheum
200 I ;44: 1149-54.
Symons JA, Eastgate JA, Duff GW. Purification and characterization of a novel soluble receptor for interleukin 1. J Exp Med
1991;174:1251-4.
Panayi GS. B cell-directed therapy in rheumatoid arthritis-clinical
experience. J Rheum 2005;32 (suppl 73):19-24.
van de Putte LBA, van Riel PLCM, den Broeder A, et al. A single
dose placebo controlled phase I study of the fully human
anti-TNF antibody D2E7 in patients with rheumatoid arthritis.
Arthritis Rheum 1998;4l(suppl):57.
vandenBerg WB, Joosten LAB, Helsen M, et al. Amelioration of
established murine collagen-induced arthritis with anti-IL-I treatment. C/in Exp lmmunol 1994;95:237-43.

Anda mungkin juga menyukai