Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Artritis adalah istilah umum bagi peradangan (inflamasi) dan pembengkakan di
daerah persendian. Penyakit ini cukup banyak menyerang masyarakat Indonesia
pada usia 25-74 tahun dengan prevalensi dan keparahan yang meningkat dengan
usia. Beberapa tipe artritis yaitu osteoartritis, gout artritis, rematoid artritis,
ankylosing spondilitis, juvenile artritis, systemic lupus erythematosus,
schleroderma, dan fibromyalgia (Hasanah dan Widowati, 2015). Penyakit ini
merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan
sendi yang simetris, berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi
(poliartritis) (Pradana ,2012)
Penyakit sendi disebabkan oleh berbagai faktor ikutan, yaitu sakit sendi demam
rematik, sakit sendi osteoartritis, artritis rematoid (AR), dan lainnya. Gejala
berbagai penyakit tersebut berbeda-beda, demikian pula dengan pengobatannya,
sangat berbeda. Seringkali, AR menyerang banyak sendi (poli artritis) seperti
sendi tangan, kaki, siku, dan tumit. Biasanya, sendi yang terkena adalah simetris:
kiri dan kanan. Nyeri sendi lebih dirasakan sewaktu pagi ketika bangun tidur.
Setelah beberapa waktu terjadi deformitas sendi, bentuk sendi menjadi tidak
normal, sendi-sendi sukar diluruskan, jari tangan dan jari kaki pada posisi
tertekuk. AR adalah penyakit autoimun. Cukup banyak pasien AR yang
mengalami rasa lelah, kehilangan nafsu makan, badan menjadi kurus, dan
kadang disertai demam. Sebagian besar pasien AR ada pada kelompok usia 35
sampai 50 tahun, lebih sering ditemukan pada wanita (Hasanah dan Widowati,
2015).
Saat ini diperkirakan paling tidak 355 juta penduduk dunia menderita rematik,
yang artinya 1 dari 6 penduduk dunia mengalami penyakit rematik. Sementara
itu, hasil survei di benua Eropa pada tahun 2004 menunjukkan bahwa penyakit
rematik merupakan penyakit kronik yang paling sering dijumpai. Kurang lebih
50% penduduk Eropa yang berusia diatas 50 tahun mengalami keluhan nyeri
muskuloskeletal paling tidak selama 1 bulan pada waktu dilakukan survei (Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera, 2010). Berdasarkan American College Of
Rheumathology (2013) menyatakan bahwa sebanyak 52,5 juta atau sekitar 23
persen penduduk dewasa Amerika Serikat menderita rheumatoid arthritis.
Menurut Kalim, (2008) prevalensi rematik di kota Semarang sekitar 46% dan
Bali 56%. Prevalensi rheumathoid arthtritis di Sumatera Utara sebanyak 22,2 %
dari total penduduk wilayah daerah (Nainggolan, 2011). Dinas Kesehatan Kab.
Simalungun, Pamatang Raya dari 10 penyakit terbanyak Reumathoid Arthritis
merupakan angka kejadian kedua terbesar setelah ISPA yang di derita pada
lansia yakni sebanyak 829 kunjungan.
Dengan banyaknya penderita RA maka perlu pengobatan yang efesien bagi
penduduk Indonesia. Apabila pengobatan pada RA kurang efesien,
menghasilkan efek samping yang cukup besar, dan biaya cenderung mahal.
(Aggarwal, 2009). Sehingga, alternatif pengobatan yang dapat dijadikan salah
satu pilihan dalam tatalaksana RA yang dapat bersumber dari bahan alam,
maupun turunan dari senyawa bahan alam, salah satunya dengan pengobatan
kompres air jahe.
Jahe merupakan rempah yang mudah ditemukan di Indonesia dan jahe
merupakan salah satu pengobatan non farmakologi yang dapat dilakukan
perawat secara mandiri dalam menurunkan skala nyeri rheumathoid arhtritis
yaitu dengan kompres jahe (Santoso, 2013). Jahe (Zinger Officinale (L) Rosc)
mempunyai manfaat yang beragam, antara lain sebagai rempah, minyak atsiri,
pemberi aroma, ataupun sebagai obat. Secara tradisional, kegunaannya antara
lain untuk mengobati rematik, asma, stroke, sakit gigi, diabetes, sakit otot,
tenggorokan, kram, hipertensi, mual, demam dan infeksi ( Ali et al, 2008 dalam
Hernani & Winarti, 2010). Beberapa komponen kimia jahe, seperti gingerol,
shogaol dan zingerone memberi efek farmakologi dan fisiologi seperti
antioksidan, anti inflamasi, analgesik, antikarsinogenik (stoilova et al.2007
dalam Hernani & Winarti, 2010).
Kandungan air dan minyak tidak menguap pada jahe berfungsi sebagai enhancer
yang dapat meningkatkan permeabilitas oleoresin menembus kulit tanpa
menyebabkan iritasi atau kerusakan hingga ke sirkulasi perifer (Swarbrick dan
Boylan, 2002). Senyawa gingerol telah terbukti mempunyai aktivitas sebagai
antipiretik, antitusif, hipotensif anti inflamasi dan analgesik (Surch et al. 1999
dalam Hernani & Winarti, 2010).
Pada kasus yang didapatkan pada kedua lanisa, dapat dilihat pada kedau lansia
mengalami tanda dan gejala rematik dan memiliki karakteristik yang sama dan
serupa dengan rematik. Salah satu pernyataan yaitu bahwa mereka mengalami
nyeri pada persendian, nyeri bertambah saat cuaca dingin dan ata pada pagi hari.
Maka dari tanda gejala tersebut, penulis menerapkan intervensi kompres jahe
sebagai salah satu acuan untuk mengurangi nyeri yang dialami lansia.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui, memahami konsep Rheumatoid arthritis
dan mengintervensi Evidenbased Nursing dengan Jahe
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai teori
Rheumatoid arthritis
b. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai intervensi
jahe untuk penderita Rheumatoid arthritis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Rheumatoid arthritis
1. Defenisi Rheumatoid arthritis
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada
beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan
penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif.
Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan
“itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada
sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun
dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan,
sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan
kerusakan pada bagian dalam sendi (Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak
mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial
dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena
pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru
akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat
untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

2. Klasifikasi Rheumatoid arthritis


Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:
a. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
b. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
c. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
d. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 3 bulan.

3. Etilogi Rheumatoid arthritis


Etiologi Rheumatoid Arthritis Penyebab Rheumatoid Arthritis belum
diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi
yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009)
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini
memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana,
2009).
b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi
dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting dalam
sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada
respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular
(TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan
progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan
penyakit ini (Suarjana, 2009).
c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk
semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga
muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).
d. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok dan aktifitas
yang berat sehari-harinya (Longo, 2012).

4. Manifestasi klinis Rheumatoid arthritis


Manifestasi Klinis Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa
minggu atau bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang
jelas. Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan
keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
a. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat
badan.
b. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan
tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena
seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki.
Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa
kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
c. Kelainan diluar sendi
1) Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
2) Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan,
namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard
3) Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
4) Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering
terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan
gejala foot or wrist drop
5) Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa
kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase
perforans
6) Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali,
limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni

5. Patofisiologi Rheumatoid arthritis


RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi
autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari
proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi
neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi
oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat
terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang
mengalami inflamasi. Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan
sendi dan tulang Respon imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin,
proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi
sendi dan komplikasi sistemik (Surjana, 2009).

6. Pemeriksaan penunjang Rheumatoid arthritis


a. Laboratorium
1) Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein
(CRP) meningkat
2) Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis
3) Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan
dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98%
dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap
beratnya penyakit tidak konsisten
b. Radiologis Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak,
penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis,
erosi tulang, atau subluksasi sendi.

7. Tatalaksana Rheumatoid arthritis


a. Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk menekan faktor risiko:
1) Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk
mengurangi risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses
Health Study AS yang menggunakan 1.314 wanita penderita RA
didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin berjemur di
bawah sinar UV-B.
2) Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun,
menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot
lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam
taichi.
3) Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja
lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan
diet makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang
pada sendi.
4) Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang
polong, jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain
itu vitamin A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu
mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5) Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas
pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan
mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan
sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan
bisa terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap
hari. (Candra, 2013).
6) Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa
merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu
upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak
menjadi perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).
b. Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga.
Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah
deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi
jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
1) NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug) Diberikan sejak
awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang
dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam,
dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi
kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
2) DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug) Digunakan
untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi
oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu:
hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas,
penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal
maupun kombinasi (Putra dkk,2013).
3) Kortikosteroid Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara
prednison 5-7,5mg/hari sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi
keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul
setelah 4-16 minggu.
4) Rehabilitasi Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang
terlibat melalui pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan
sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan
fisioterapi.
5) Pembedahan Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil
yang diharapkan, maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang
bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip
replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014).

B. Konsep Jahe
1. Jahe
Jahe merupakan salah satu rempah-rempah yang telah dikenal luas oleh
masyarakat. Selain sebagai penghasil flavor dalam berbagai produk pangan,
jahe juga dikenal mempunyai khasiat menyembuhkan berbagai macam
penyakit seperti masuk angin, batuk dan diare. Beberapa komponen bioaktif
dalam ekastrak jahe antara lain (6)-gingerol, (6)-shogaol, diarilheptanoid dan
curcumin mempunyai aktivitas antioksidan yang melebihi tokoferol (Zakaria
et al., 2000).
Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu.
Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Oleh
karena itu kedua bangsa ini disebut-sebut sebagai bangsa yang pertama kali
memanfaatkan jahe terutama sebagai bahan minuman, bumbu masak dan
obat-obatan tradisional. Jahe termasuk dalam suku temu-temuan
(Zingiberaceae), se-famili dengan temutemuan lainnya seperti temu lawak
(Cucuma xanthorrizha), temu hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma
domestica), kencur(Kaempferia galanga), lengkuas (Languas galanga) dan
lain-lain. Nama daerah jahe antara lain halia (Aceh), beeuing (Gayo), bahing
(Batak Karo), sipodeh (Minangkabau), jahi (Lampung), jahe (Sunda), jae
(Jawa dan Bali), jhai (Madura), melito (Gorontalo), geraka (Ternate).
(Muhlisah F, 2005).
Tanaman jahe telah lama dikenal dan tumbuh baik di negara kita. Jahe
merupakan salah satu rempah-rempah penting. Rimpangnya sangat luas
dipakai, antara lain sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada
makanan seperti roti, kue, biskuit, kembang gula dan berbagai minuman.
Jahe juga digunakan dalam industri obat, minyak wangi dan jamu tradisional.
Jahe muda dimakan sebagai lalapan, diolah menjadi asinan dan acar.
Disamping itu, karena dapat memberi efek rasa panas dalam perut, maka jahe
juga digunakan sebagai bahan minuman seperti bandrek, sekoteng dan sirup.
Jahe yang nama ilmiahnya Zingiber officinale sudah tidak asing bagi kita,
baik sebagai bumbu dapur maupun obat-obatan. Begitu akrabnya kita,
sehingga tiap daerah di Indonesia mempunyai sebutan sendiri-sendiri bagi
jahe. Nama-nama daerah jahe tersebut antara lain halia (Aceh), bahing
(Batak karo), sipadeh atau sipodeh (Sumatera Barat), jahi (Lampung), jae
(Jawa), jahe (sunda), jhai (Madura), pese (Bugis) lali (Irian).
Jahe tergolong tanaman herba, tegak, dapat mencapai ketinggian 40–100 cm
dan dapat berumur tahunan. Batangnya berupa batang semu yang tersusun
dari helaian daun yang pipih memanjang dengan ujung lancip. Bunganya
terdiri dari tandan bunga yang berbentuk kerucut dengan kelopak berwarna
putih kekuningan. Akarnya sering disebut rimpang jahe berbau harum dan
berasa pedas. Rimpang bercabang tak teratur, berserat kasar, menjalar
mendatar. Bagian dalam berwarna kuning pucat (Windono,dkk.2002).
2. Kandungan dan manfaat
Tabel 1. Komposisi kimia jahe per 100 gram (edible portion)
Komponen Jumlah Komponen Jumlah

Air (g) 9,4

Energi (Kcal) 347

Prorein (g) 9,1

Lemak (g) 6

Karbohidrat (g) 70,8

Serat Kasar (g) 5,9

Total Abu (g 4,8

Kalsium (mg) 116

Besi (mg) 12

Magnesium (mg) 184

Phospor (mg) 148

Potasium (mg) 1342

Sodium (mg) 32

Seng (mg) 5

Niasin (mg) 5

Vitamin A (IU) 147

Sumber : Farrel, (1995)

Swarbick dan Boylan (2002), mengatakan kandungan jahe bermanfaat untuk


mengurangi nyeri reumatik atau osteoarthritis karena jahe memiliki sifat pedas,
pahit, dan aromatic dari oleoresin seperti zingeron, gingerol dan shogaol. Oleoresin
memiliki potensi antiinflamasi dan antioksidan yang kuat, kandungan air dan
minyak pada jahe berfungsi sebagai enhancer yang dapat meningkatkan
permeabilitas oleoresin menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan
hingga ke sirkulasi perifer (Masyhurrosyidi, 2013).

Menurut penelitian Hernani dan Hayani (2001 dalam Hernani & Winarti, 2014),
jahe merah mempunyai kandungan pati (52,9%), minyak atsiri (3,9%), dan ekstrak
yang larut dalam alkohol (9,93%) lebih tinggi dibandingkan jahe emprit (41,48, 3,5
dan 7,29%) dan jahe gajah (44,25, 2,5, dan 5,81%). Stoilova (2007), mengatakan
beberapa komponen kimia jahe, seperti gingerol, shogaol dan zinggerone memberi
efek farmakologi dan fisiologi seperti antioksidan, anti-inflamasi, analgesik,
antikarsinogenik, nontoksik, dan non-mutagenik (Hernani & Winarti, 2014).
BAB III

PEMBAHASAN
A. Judul Jurnal
Penerapan teknik kompres hangat jahe terhadap pengendalian level nyeri
dengan kasus rheumatoid artritis
B. Kata kunci
Rheumatoid arthritis, nyeri, kompres hangat jahe
C. Penulis jurnal
Nurfatimah , Audina dan Kadar Ramadhan
D. Latar belakang masalah
Pada jurnal didapatkan latar belakang masalah sebagai berikut :
Rheumatoid arthritis merupakan salah satu penyakit autoimun yang berupa
inflamasi arthritis pada pasien dewasa, seseorang yang menderita penyakit
Rheumatoid Arthritis akan mengalami gejala berupa rasa nyeri pada bagian
sinovial sendi. Berdasarkan data dari Puskesmas Mapane penderita
rheumatoid arthritis tahun 2016 sebanyak 422 orang dan meningkat pada
tahun 2017 menjadi 613 pasien.
Dapat diartikan bahwa peningkatan dari kasus RA menjadi alasan penelitian
ini dilaksanakan dan peneliti menyempaikan bahwa :
Banyaknya kasus rheumatoid arthritis yang mengeluh rasa nyeri baik serta
efek samping dari penggunaan obat sintesis serta tingginya komponen kimia
jahe seperti gingerol yang mampu memberi efek farmakologi dan fisiologi
seperti antiinflamasi dan analgesik. Olehnya itu peneliti tertarik untuk
menerapkan kompres jahe sebagai salah satu intervensi non farmakologi yang
dapat dilakukan oleh pasien secara mandiri murah serta mudah dilakukan
untuk menurunkan nyeri.
Penyelesaian masalah yang diambil oleh peneliti ialah menggunakan media
tanaman herbal yaitu jahe sebagai intervensi untuk mengatasi nyeri dari RA.
Peningkatan kasus pada rematik memang terjadi di Indonesia dan negara lain,
Saat ini diperkirakan paling tidak 355 juta penduduk dunia menderita rematik,
yang artinya 1 dari 6 penduduk dunia mengalami penyakit rematik.
Sementara itu, hasil survei di benua Eropa pada tahun 2004 menunjukkan
bahwa penyakit rematik merupakan penyakit kronik yang paling sering
dijumpai. Kurang lebih 50% penduduk Eropa yang berusia diatas 50 tahun
mengalami keluhan nyeri muskuloskeletal paling tidak selama 1 bulan pada
waktu dilakukan survei (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera, 2010).
Berdasarkan American College Of Rheumathology (2013) menyatakan
bahwa sebanyak 52,5 juta atau sekitar 23 persen penduduk dewasa Amerika
Serikat menderita rheumatoid arthritis.
Intervensi yang diterapkan oleh penulis yaitu jahe sebagai kompres untuk
nyeri pada penderita RA sejalan dengan manfaat dari jahe, menurut penelitian
Hernani dan Hayani (2001 dalam Hernani & Winarti, 2014), jahe merah
mempunyai kandungan pati (52,9%), minyak atsiri (3,9%), dan ekstrak yang
larut dalam alkohol (9,93%) lebih tinggi dibandingkan jahe emprit (41,48, 3,5
dan 7,29%) dan jahe gajah (44,25, 2,5, dan 5,81%). Stoilova (2007),
mengatakan beberapa komponen kimia jahe, seperti gingerol, shogaol dan
zinggerone memberi efek farmakologi dan fisiologi seperti antioksidan, anti-
inflamasi, analgesik, antikarsinogenik, nontoksik, dan non-mutagenik
(Hernani & Winarti, 2014).

E. Metodologi Pelaksanaan
Metode dalam penelitian ini yaitu studi kasus pada penderita rheumatoid
arthritis dengan tindakan asuhan keperawatan kompres hangat jahe untuk
mengendalikan level nyeri. Penelitian ini dilaksanakan di rumah Ny. H pada
tanggal 20 – 29 Juni 2018. Subyek dalam studi kasus ini adalah penderita
rheumatoid arthritis. Tindakan asuhan keperawatan yang diberikan adalah
kompres hangat jahe untuk mengendalikan level nyeri.
Cara pembuatan kompres hangat rebusan jahe ini dengan cara mencuci 5
rimpang jahe (±100 gram) dan iris tipis- tipis) setelah itu masukkan irisan jahe
ke dalam 1 liter air, rebus irisan jahe sampai air mendidih (1000 cc), tuang
rebusan jahe ke dalam baskom, tunggu hingga suhu rebusan jahe menjadi
hangat tanpa campuran air dingin (400 cc).
Cara pemberian kompres hangat rebusan jahe yaitu dengan cara memasukkan
washlap atau handuk kecil ke dalam baskom rebusan jahe hangat. Peras
washlap atau handuk kecil sampai lembab dan kemudian tempelkan pada area
yang sakit hingga kehangatan washlap atau handuk kecil terasa berkurang.
Ulangi langkah tersebut ±15 menit.
Teknik pengumpulan data dalam studi kasus ini meliputi wawancara,
pemeriksaan fisik, observasi dan studi dokumentasi. Data yang telah
terkumpul dilakukan analisis untuk menetapkan masalah keperawatan yang
dialami klien, melakukan penerapan kompres hangat jahe serta mengevaluasi
keefektifan tindakan yang telah dilakukan dalam menurunkan nyeri.
Penyajian data dilakukan dalam bentuk narasi.
Terlihat bahwa peneliti memberikan tata cara penggunaan intervensi
yang menjadikan jurnal ini sebagai jurnal terapan. Beberapa jurnal
yang serupa juga memiliki metode pelaksanaan didalamnya sehingga
dapat dicontoh dalam tindakannya. Untuk syarat utama responden
yaitu penderita rheumatoid arthritis dan Teknik pengumpulan
bermacam-macam tetapi dengan tujuan yang sama dimana
mengenathui tingkat keberhasilan dari kompres jahe yang telah
diintervensikan.
F. Hasil dan Pembahasan
1. HASIL
Pengkajian yang dilakukan ditemukan masalah keperawatan yang terjadi
yaitu nyeri akut. Nyeri akut, data yang berhubungan adalah agen cedera
biologis (kesemutan dan rasa ngilu pada persendian) yang ditandai
dengan mengeluh sering nyeri dan kesemutan pada bagian lutut sebelah
kanan, nyeri bertambah jika beraktivitas, TD: 170/80 mmHg, N:
68x/menit, R: 16x/menit, S 36,2 0 , skala nyeri 6, terdapat nyeri tekan
pada bagian lutut.
Pada pengkajian tersebut didapatkan data yang sesuai dengan
manifestasi dari RA, menurut Putra dkk (2013), RA akan menyerang
mukuloskeletal terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu
sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi
lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula,
panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada
leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan
dan nyeri sendi.
Pada pasien yang dikelolah serta resume, didapatkan bahwa keluhan
utama pasien pada musculoskeletal yaitu rasa nyeri pada persendian
tulang, nyeri pada bagian kaki dan rasa yeri bertambah saat cuaca
dingin/ saat baru bangun tidur dipagi hari.
2. PEMBAHASAN
Keluhan utama yang dirasakan oleh Ny. H yaitu nyeri pada bagian lutut,
nyeri bertambah saat beraktivitas, nyeri dirasakan hilang timbul seperti
tertusuk, nyeri dirasakan pada bagian lutut, skala nyeri 6, nyeri dirasakan
selama 20 menit. Riwayat penyakit dahulu yag diderita oleh klien adalah
hipertensi dan rheumatoid arthritis, dan klien belum pernah dirawat di
rumah sakit.
Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada Ny.H yaitu keadaan umum baik,
kesadaran composmentis, tekanan darah 170/80 mmHg, nadi 68x/menit,
respirasi 16x/menit, suhu badan 36,2 C, skala nyeri 6, terdapat nyeri tekan
pada bagian lutut. Pada bagian ekstremitas atas dan bawah kedua kaki dan
tangan Ny. H tampak sama besar dan sejajar, kekuatan otot baik,
kemampuan mengubah posisi baik, pergerakan kedua tangan dan kaki
baik, namun lutut kiri terasa nyeri dan kesemutan.
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien yang menderita
rheumatoid arthritis adalah nyeri akut, hambatan mobilitas fisik, ansietas,
gangguan citra tubuh, resiko jatuh, defisit perawatan diri (mandi), dan
defisit perawatan diri eliminasi (Wilkinson, 2014). Berdasarkan hasil
pengkajian yang dilakukan penulis, didapatkan masalah keperawatan
prioritas yaitu nyeri akut ditandai dengan data subjektif Ny. H mengeluh
sering nyeri dan kesemutan pada bagian lutut sebelah kanan, nyeri
bertambah jika beraktivitas, data objektif yang diperoleh yaitu tekanan
darah 170/80 mmHg, nadi 68x/menit, respirasi 16x/menit, suhu badan
36,2 C, skala nyeri 6, dan terdapat nyeri tekan pada bagian lutut.
Berdasarkan diagnosa yang didapatkan pada Ny.H sejalan dengan teori
yang ada namun penulis hanya berfokus pada satu diagnosa prioritas yang
diterapkan pada pasien yaitu nyeri akut.
Pembahasan pada keluhan pasien sekali lagi meguatkan teori yang
disampaikan oleh Putra dkk (2013), bahwa RA dapat mengenai sendi
kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki
(sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi
siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan
tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku
sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
Nyeri sendi pasien rheumatoid arthritis sebelum diberikan kompres
hangat jahe dapat membantu dalam partisipasi perawatan diri. Hasil
penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa semakin bertambah usia
seseorang akan mengalami beberapa perubahan dalam dalam diri mereka
secara fisiologis dan psikologis, diantara perubahan fisiologis tersebut
adalah perubahan pada mekanisme kardiovaskuler sehingga dapat
menyebabkan terjadinya penyakit degeneratif seperti tekanan darah tinggi
(Karepowan, Wowor, & Katuuk, 2018). Intensitas nyeri sendi rheumatoid
lansia sebelum diberikan kompres hangat jahe bervariasi karena sifat
nyeri adalah subyektif.
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada Ny.H sebelum dilakukan
tindakan kompres hangat jahe, klien mengatakan bahwa ia merasakan
nyeri pada bagian lutut sebelah kiri, durasi dari nyeri tersebut berlangsung
selama 20 menit dan biasanya nyeri bertambah saat klien beraktivitas.
Untuk itu peneliti menerapkan teknik nonfarmakologis yaitu kompres
hangat jahe. Kompres jahe ini merupakan pengobatan tradisional atau
terapi komplementer untuk mengurangi nyeri rheumatoid arthritis.
Kandungan enzim siklo-oksigenasi pada air kompres jahe hangat
berkhasiat mengurangi peradangan pada penderita rheumatoid arthritis
(Rahmawati, 2016), selain itu jahe juga memiliki efek farmakologis yaitu
rasa panas dan pedas, dimana rasa panas ini dapat meredakan rasa nyeri,
kaku, dan spasme otot atau terjadinya vasodilatasi pembuluh darah,
manfaat yang maksimal akan dicapai dalam waktu 20 menit sesudah
aplikasi panas. Efek panas pada jahe inilah yang dapat meredakan nyeri,
kaku dan spasme otot pada rheumatoid arthritis. Jahe juga banyak
mempunyai kandungan seperti minyak atsiri, oleoresin dan pati sehingga
dapat untuk menyembuhkan tubuh (Pairul, Susianti, & Nasution, 2017),
selain itu jahe banyak mempunyai khasiat seperti antihelmintik
(Ramadhani, 2016).
Hasil penelitian yang dilakukan di Dusun Patirobajo di kelurahan
Kasiguncu pada Ny. H setelah dilakukan pemberian terapi kompres
hangat jahe selama 1 minggu dengan 3 kali pemberian terapi kompres
hangat jahe menunjukkan perubahan yang signifikan, Ny. H mengatakan
sebelum diberikan kompres hangat jahe klien merasakan nyeri dengan
skala nyeri 6, tetapi setelah pemberian 3 kali terapi kompres hangat klien
merasakan nyerinya sudah tidak ada dan dapat berjalan secara normal.
Sebelumnya Ny. H jarang atau bahkan belum pernah melakukan terapi
pengobatan nyeri sendi rhematoid dengan menggunakan kompres hangat
jahe, Ny. H hanya mengandalkan obat-obatan medis seperti natrium
diklofenak, sehingga ada kalanya Ny. H tidak mengkonsumsi obatobatan
medis tersebut karena merasa bosan dan malas untuk terus mengkonsumsi
obat tersebut. Setelah Ny. H diberikan kompres hangat jahe intensitas
nyeri Ny. H menjadi menurun karena efek kompres hangat jahe dapat
merelaksasikan otot, menghambat terjadinya inflamasi, memberi
perasaan nyaman, merangsang pengeluaran endhorpins dan antirematik
(Margono, 2016).
Hal ini didukung oleh penelitian Mantiri (2013), melihat perbandingan
efek analgesik perasan rimpang jahe dengan aspirin dosis terapi, adapun
hasilnya tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok
perlakuan perasan rimpang jahe dosis I, namun terdapat perbedaan yang
signifikan antara pemberian aspirin dengan perasan jahe dosis II dan III,
dan tidak terdapat perbedaan antara pemberian perasan rimpang jahe
dosis II dan III, jadi dosis maksimal perasan rimpang jahe adalah 8 mg
(Mantiri, Awaloei, & Posangi, 2013). Adapun efek analgesik kompres
hangat jahe berhubungan dengan unsurunsur yang terkandung dalam jahe.
Senyawa-senyawa gingerol, shogaol, zingerole (heptanoids dan derivat)
terutama paradol diketahui dapat menghambat siklooksigenasi sehingga
terjadi penurunan pembentukan atau biosintesis dari prostaglandin yang
menyebabkan berkurangnya rasa nyeri (Hernani & Winarti, 2010).
Penelitian lain Susanti (2014), tentang pengaruh kompres jahe terhadap
intensitas nyeri penderita reumathoid arthritis sebanyak 20 orang lansia
yang menderita rheumathoid arthritis dengan rata-rata nyeri sebelum
kompres jahe (pre-test) yaitu 3,80 dengan standar deviasi 1,005 dan rata-
rata nyeri setelah kompres jahe (post-test) yaitu 2,80 dengan standar
deviasi 1,005 berdasarkan uji Wilcoxon didapatkan nilai p<0,001 (<0,05),
berarti ada pengaruh yang signifikan terhadap penurunan intensitas nyeri
rheumatoid arthritis pada lansia (Susanti, 2014).
Berdasarkan data penelitian yang telah diperoleh, kompres jahe terlihat
memiliki pengaruh dalam mengurangi intensitas nyeri rheumathoid
arthritis dimana Ny. H mengalami penurunan intensitas nyeri setelah
perlakuan kompres jahe selama 20 menit.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian terapi kompres hangat
jahe dengan 3 kali pemberian pada pagi hari selama 1 minggu dalam
waktu 20 menit dapat menurunkan nyeri lutut yang dirasakan Ny. H
karena jahe memiliki kandungan enzim siklo-oksigenasi dan efek panas
yang berfungsi sebagai antiinflamasi dan dapat menurunkan sensasi
nyeri.

Pada intervensi kasus kelolaan dan resume yang dilakukan penulis,


didapatkan hasil bahwa kompres jahe pada sendi yang mengalami
nyeri karena RA dengan hasil nyeri berkurang akan tetapi tidak
bersifat permanen, nyeri kembali datang dihari berikutnya, akan
tetapi intensitas nyeri terlihat memiliki penurunan.
Menurut hasil penelitian Syapitri (2018), bahwa ada pengaruh
kompres jahe terhadap intensitas nyeri pada penderita rheumathoid
arthritis usia diatas 40 tahun dengan nilai p-value 0,000. Hasil
tersebut sejalan dengan Sunarti dan Alhuda (2018), kompres jahe
memiliki pengaruh, kompres hangat jahe merah terhadap
penurunan skala nyeri artritis reumatoid pada lansia di UPT.
Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan
Medan Tahun 2015 dengan nilai p value = 0,000.
Dapat disimpulkan bahwa kompres jahe hangat memiliki efek yang
cukup efektif dalam mengurangi intensitas nyeri pada penderita RA.
G. Kelemahan penelitian jurnal
Penelitian tidak menggunakan karakteristik usia dan disini tidak diketahui
usia klien yang telah dilakukan intervensi. Usia sebenarnya berfungsi sebagai
tolak ukur atau variable yang berguna dalam menilai efektifitas dari intervensi
kompres jahe tersebut. Dengan adanya usia maka bisa dibuat perbandingan
kefektifan dari kompres jahe tersebut.
H. Kelebihan penelitian
Pennelitian ini memiliki kelebihan dalam penjelasan metode yang digunakan.
Peneliti pada jurnal ini memasukkan cara penggunaan dari jahe, sehingga
jurnal dapat menjadi salah satu referensi dari suatu intervensi.
I. Manfaat penelitian
penelitian pada juran ini bermanfaat bagi ners dan pada tenaga kesehatan lain
serta bagi pembaca dalam melakukan tindakan untuk mengurangi intensitas
nyeri yang diakibatkan oleh rheumatoid arthritis
J. Penelitian selanjutnya yang bisa dikembangkan
Penelitian yang dapat dikembangkan ialah penambahan karakterisitik lainnya
seperti usia dan jenis kelamin untuk melihat perbandingan pada efektifitas
pemberian kompres jahe pada penderita rheumatoid arthritis.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Jahe merupakan salah satu rempah-rempah yang telah dikenal luas oleh masyarakat.
Selain sebagai penghasil flavor dalam berbagai produk pangan, jahe juga dikenal
mempunyai khasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti masuk angin,
batuk dan diare. Jahe memiliki beberapa komponen kimia jahe, seperti gingerol,
shogaol dan zinggerone memberi efek farmakologi dan fisiologi seperti
antioksidan, anti-inflamasi, analgesik, antikarsinogenik, nontoksik, dan non-
mutagenik. Manfaat pada komponen jahe tersebut dapat meringankan nyeri yang
dialami oleh penderita rheumatoid arthritis.
DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal, H. (2009). Potential therapeutic effects of curcumin, the anti-


inflammatory agent, against neurodegenerative, cardiovascular, pulmonary,
metabolic, autoimmune and neoplastic diseases. Int J Biochem Cell Biol. 2009;
41(1): 40–59
Buffer. (2010). Rheumatoid Arthritis. Tersedia
http://www.rheumatoid_arthritis.net/dowload.doc Diakses pada tanggal 26 Juli
2020
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan
Pasien Non Koperatif. Academia Edu
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis
Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Hasanah, S., N, dan Widowati, L. (2015). Model analisis terapi jamu sebagai
komplementer terhadap perbaikan keluhan pada pasien artritis. Model Analisis
Terapi Jamu. Media Litbangkes, Vol. 25 No. 3, September 2015, 177 – 184.
Hernani, W. (2010). Kandungan Bahan Aktif Jahe dan Pemanfaatannya Dalam
Bidang Kesehatan, Status Teknologi Hasil Penelitian Jahe. Bogor.
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
Masyhurrosyidi, H., Kumboyono, dan Utami, Y.,W. (2013). Pengaruh Kompres
Hangat Rebusan Jahe terhadap tingkat nyeri subkutan dan kronis pada lanjut usia
dengan osteoarthritis lutut di Puskesmas Arjuna Kecamatan Klojen Malang Jawa
Timur. Program keperawatan: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya,
Malang.
Muhlisah, F. (2005). Tanaman Obat Keluarga. Penebar Swadaya : Jakarta
Nainggolan, O. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia.
Maj kedokt, volum: 59. Nomor: 12, Desember 2009.
Pradana SY. (2012). Sensitifitas dan spesitifitas kriteria ACR 1987 dan
ACR/EULAR 2010 pada penderita artirits reumatoid di RSUP Dr. Kariadi
Semarang [Skripsi]. Universitas Diponegoro : Semarang
Putra,T.R., Suega,K., dan Artana, I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan
Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
Santoso, H., B. (2013). Tumpas Penyakit dengan 40 Daun & 10 Akar Rimpang,
Cahaya Jiwa, Yogyakarta.
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
V, FKUI, Jakarta, pp.2495-508
Zakaria, R., Hari, S., dan Arif, H. (2000). Pengaruh Konsumsi Jahe (Zingiber
officinale Roscoe) terhadap kadar Malondialdehida Dan Vitamin E Plasma Pada
Mahasiswa Pesantren Ulil Albab kedung Badak, Bogor. Buletin Teknologi dan
Industri Pangan, XI(1): 36-40.

Anda mungkin juga menyukai