Disusun Oleh :
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, kasih dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan tugas makalah ini dengan judul
”Pendidikan Kesehatan dan Promosi Kesehatan Pada Klien Lansia Dengan
Osteoarthritis”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Promosi
Kesehatan. Selain itu makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan mengenai Pendidikan Kesehatan dan Promosi Kesehatan Pada Klien
Lansia Dengan Osteoarthritis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Roselina Tambunan,
S.Kp.,M.Kep.,Sp.Kom selaku dosen mata kuliah Promosi Kesehatan. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan rekan-rekan sejawat dan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritikan dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan dari daur kehidupan
manusia. World Health Organization (WHO) menggolongkan lanjut usia
menjadi, usia pertengahan (middle age) umur 45-59 tahun, lanjut usia (elderly)
umur 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) umur 75-90 tahun, dan usia sangat tua
(very old) diatas 90 tahun (Padila, 2013). Populasi lansia didunia mengalami
peningkatan dari 8% paada tahun 1950 menjadi 18% pada tahun 2018.
Populasi lansia di kawasan Asia Tenggara sebesar 8% atau sekitar 142 juta
jiwa. Pada tahun 2010 jumlah lansia mencapai 24.000.000 (9,77%), dan tahun
2020 jumlah lansia kembali mengalami peningkatan menjadi 28.800.000
(11,34%) dari total populasi dan tahun 2050 diperkirakan jumlah lansia akan
mengalami peningkatan 3 kali lipat dari tahun ini (WHO, 2018).
Indonesia merupakan negara ke 4 terbesar di dunia yang memiliki
jumlah usia lanjut. Selama kurun waktu sekitar 50 tahun, persentase dari
jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mengalami peningkat dua kali
lipat. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, kondisi
lansia di Indonesia menunjukan bahwa populasi lansia perempuan sekitar
satu persen lebih banyak dibandingkan lansia laki-laki (52,29 persen banding
47,71 persen). Persentase lansia berada diangka 9,92 persen atau sekitar 26,
82 juta orang. Dari jumlah keseluruhan lansia yang berada di Indonesia,
lansia yang berumur 60-69 tahun mendominasi dengan mencapai
angka64,29%, selanjutnya diikuti oleh lansia yang berumur 70-79 tahun
sebanyak
27,23% dan lansia yang berumur 80 tahun keatas sebanyak 8,49%.
Proses penuaan menyebabkan banyak perubahan dan penurunan pada
komposisi tubuh serta fisiologis pada lansia. Hal ini terjadi karena proses
degenerasi yang terjadi lebih besar dari pada proses regenerasi. Perubahan
dan penurunan ini terjadi pada seluruh sistem yang ada dalam tubuh
individu salah satunya sistem muskuloskeletal, dimana akan menyebabkan
terjadinya degenerasi atau kerusakan pada jaringan penunjang sekitar sendi
dan tulang (Cooper, 2013). Hilangnya kelenturan tulang rawan serta
hypertrofi pada tulang hingga penebalan kapsul sendi dapat memicu
terjadinya berbagai penyakit persendian. Salah satu penyakit pada sistem
musculoskeletal yang sering ditemukan pada lansia adalah osteoarthritis
(Suhartono, 2015).
Osteoarthritis (OA) merupakan salah satu penyakit kronis yang paling
umum terjadi dan menjadi penyebab utama dari rasa nyeri dan cacat yang dapat
menurunkan status kesehatan (Allen, 2015). Tanda dan gejala yang biasa
dijumpai pada penderita osteoarthritis adalah seperti nyeri, kaku sendi,
krepitasi, sparme otot, keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS), hingga
penurunan kekuatan otot. Osteoarthritis juga dapat menimbulkan gangguan
fungsional seperti kesulitan saat berjalan dengan jarak yang jauh, sulit berdiri
dari posisi jongkok atau duduk, dan naik turun tangga (Rasyid, 2015). Gejala
umum yang dialami penderita osteoarthritis adalah berupa nyeri. Hidup dengan
nyeri seringkali dihubungkan dengan stress yang kronis akibat dari hambatan
mobilitas fisik. Nyeri kronik dapat menyebabkan komplikasi besar bagi
kesehatan, fungsi, serta kualitas hidup lansia. Penatalaksanaan nyeri sendi
dapat mencakup terapi farmakologi, non farmakologi serta pembedahan.
Lansia memiliki resiko untuk mengalami kerugian atau efek samping akibat
pengobatan
medis, sehingga diperlukan pendekatan alternative yaitu non farmakologi
(Arthritis Foundation, 2012).
Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan lansia adalah
melalui peran perawat sebagai edukator yang berkewajiban memberikan
informasi tentang status kesehatan kepada klien dan keluarga dalam mencapai
keperawatan diri yang sesuai dengan kemampuannya (Perry & Potter. 2013).
Edukasi tersebut mengenai manajemen diri, motivasi, nasehat tentang olahraga,
rekomendasi untuk mengurangkan beban pada sendi yang terlibat. Menurut
American geriatrics society, edukasi pasien menjadi komponen penting untuk
rehabilitasi yang efektif (Rachmah, 2011). Melalui kegiatan promosi kesehatan
tentang penatalaksanaan non-farmakologi tersebut diharapkan lansia dapat
melakukan penatalaksanaan non-farmakologi Osteoarthritis dengan baik, tetapi
pada kenyataannya menurut hasil survei dan observasi yang dilakukan masih
terdapat lansia yang kurang dapat melakukan penatalaksanaan Osteoarthritis
secara non-farmakologi dengan baik.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar penulis mendapatkan gambaran bagaimana melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien Lansia dengan Osteoartritis.
2. Tujuan Khusus
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah pada pasien, diharapkan penulis
mampu:
a. Mampu memahami konsep dasar teori tentang penyakit Osteoartritis
b. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien lansia dengan
Osteoartritis.
c. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien Osteoartritis.
d. Menyusun rencana keperawatan pada pasien lansia Osteoartritis.
e. Melaksanaan tindakan keperawatan pada pasien lansia dengan
osteoartritis.
f. Melakukan evaluasi asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada
pasien lansia dengan Osteoartritis.
C. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan metode studi kepustakaan yaitu dengan mencari
bahan dari buku/ referensi yang berkaitan dengan penyakit Osteoartritis, baik
secara teori maupun pendekatan asuhan keperawatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Osteoartritis
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi yang paling sering dan
merupakan salah satu penyebab nyeri, disabilitas, dan kerugian ekonomi dalam
populasi (Donald,et al., 2016). Kata “osteoartritis” sendiri berasal dari Yunani
dimana “osteo” yang berarti tulang, “arthro” yang berarti sendi, dan “itis” yang
berarti inflamasi, walaupun sebenarnya inflamasi pada osteoartritis tidak begitu
mencolok seperti yang ada pada remathoid dan autoimun arthritis (Arya,et al.,
2017).
Osteoarthritis adalah penyakit sendi yang terjadi pada cartilago (tulang
rawan) yang ditandai dengan timbulnya nyeri saat terjadi penekanan sendi yang
terkena. Kelainan pada kartilago akan berakibat tulang bergesekan satu sama
lain, sehingga timbul gejala kekakuan, nyeri pembatasan gerak pada sendi.
(Helmi,2018).
American College of Rheumatology (2019) menyatakan, “Osteoarthritis
lutut adalah berbagai macam manifestasi klinis karena perihal yang terjadi pada
persendian”. Tanda dari penyakit ini adalah adanya pengikisan rawan sendi dan
adanya osteogenesis yang irreguler pada lapisan luar persendian. Nyeri adalah
gejala khas Osteoarthritis lutut. Rasa nyeri semakin parah seiring pasien
beraktivitas dan setelah beraktivitas dengan sendi yang mengalami
Osteoarthritis lutut dan rasa nyeri semakin ringan bila beristirahat (Sumual,
2018).
B. Etiologi Osteoartritis
Penyebab dari osteoartritis hingga saat ini masih belum terungkap,
namun beberapa faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis antara lain adalah:
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan
adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya orteoartritis semakin
meningkat dengan bertambahnya umur. Osteoartritis hampir tak pernah pada
anak-anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas
60 tahun.
2. Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi dan lelaki lebih
sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara
keseluruhan dibawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama
pada laki dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi oeteoartritis lebih
banyak pada wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran
hormonal pada patogenesis osteoartritis.
3. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis missal, pada ibu
dari seorang wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi inter falang distal
terdapat dua kali lebih sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut dan
anak anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari
pada ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa osteoarthritis.
4. Suku
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis nampaknya terdapat
perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya osteoartritis paha
lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia.
Osteoartritis lebih sering dijumpai pada orang – orang Amerika asli dari
pada orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara
hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan
pertumbuhan.
5. Kegemukan
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko
untuk timbulnya osteoartritis baik pada wanita maupun pada pria.
Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan osteoartritis pada sendi
yang menanggung beban, tapi juga dengan osteoartritis sendi lain (tangan
atau sternoklavikula).
6. Prevalensi
Penelitian tentang prevalensi osteoarthritislutut dan panggul dan ketepatan
penggantian sendi terhadap 7.577 responden di Amerika, dikatakan bahwa
prevalensi osteoarthritispanggul 7,4%, kejadiannya pada wanita (8%) lebih
tinggi dibanding laki-laki (6,7%). Sedangkan prevalensi osteoarthritis lutut
12,2%, perempuan (14,9%) lebih tinggi dari pada laki-laki (8,7%) diikuti
peningkatan usia. Jadi dapat disimpulkan bahwa prevalensi OA lutut lebih
tinggi bila dibandingkan dengan OA panggul (Sharon et al., 2019).
C. Patofisiologi Osteoartritis
Rawan sendi dibentuk oleh sel tulang rawan sendi (kondrosit) dan
matriks rawan sendi itu sendiri. Kondrosit mensintesis dan menjaga keutuhan
matriks tulang rawan sehingga fungsi rawan sendi tetap berjalan optimal.
Komposisi matriks rawan sendi secara garis besar adalah air, proteoglikan dan
kolagen. Terdapat 3 fase dalam Osteoarthritis lutut, yakni sebagai berikut:
1. Fase 1
Pada awalnya Proteolisis pada matriks tulang rawan terjadi . Proteolisis ini
adalah suatu proses hancurnya protein baik di dalam matrix maupun sel
tulang rawan (kondrosit) yang diduga karena gabungan dari berbagai
macam faktor resiko dan beberapa proses fisiologis. Karena inilah kartilago
atau tulang rawan pada persendian menipis (Sudoyo et al, 2017).
2. Fase 2
Di fase atau tahap kedua ini, pengikisan pada permukaan tulang rawan
persendian mulai terjadi secara signifikan. Karena pengikisan ini, terjadilah
fibrosis pada permukaan tulang rawan persendian untuk menutupi tulang
rawan sendi yang terkikis. Genesis dari jaringan fibrosis ini juga disertai
dengan adanya pelepasan proteoglikan dan pecahan kolagen ke dalam cairan
sinovia (Sudoyo et al, 2017).
3. Fase 3
Proses penguraian dari produk kartilago yang menginduksi respons
inflamasi pada sinovial. Produksi makrofag sinovia seperti interleukin 1 (IL-
1), Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-α), dan prostaglandin menjadi
meningkat. Kondisi ini memberikan manifestasi awal pada persendian
seperti nyeri dan secara langsung memberikan dampak adanya destruksi
pada kartilago. Molekul-molekul pro inflamasi lainnya seperti Nitric Oxide
(NO) juga ikut terlibat. Kondisi ini memberikan manifestasi perubahan
arsitektur sendi dan memberikan dampak terhadap pertumbuhan tulang
akibat stabilitas sendi.
Perubahan arsitektur sendi dan stress inflamasi memberikan pengaruh pada
permukaan artikular menjadi kondisi gangguan yang progresif. Selain itu
juga jaringan sendi yang terkikis menyebabkan syaraf pada sendi terbuka
sehingga syaraf pada sendi bergesekan dengan jaringan sendi yang bertemu
yang juga mengakibatkan nyeri (Sudoyo et al, 2017).
D. Klasifikasi Osteoartritis
Umumnya diagnosis Osteoarthritis lutut didasarkan pada kombinasi
dari manifestasi klinis dan kelainan pada temuan radiografi. Manifestasi klinis
perlu diperhatikan, karena tidak semua pasien dengan temuan Osteoarthritis
lutut secara radiografis mengeluarkan keluhan (Nur, 2018). Terdapat empat
diversifikasi utama Osteoarthritis lutut secara radiologis, yaitu:
1. Penyempitan rongga sendi
2. Pengerasan rawan sendi
3. Pembentukan kista di rawan sendi
4. Pembentukan osteofit.
Bila ditinjau bagaimana Osteoarthritis lutut terbentuk, Osteoarthritis lutut dapat
dibagi menjadi dua, Osteoarthritis lutut primer dan sekunder, sebagai berikut:
1. Osteoarthritis lutut primer adalah Osteoarthritis lutut yang penyebabnya
tidak diketahui jelas, oleh karena itu Osteoarthritis lutut primer dapat juga
disebut Osteoarthritis lutut idiopatik.
2. Osteoarthritis lutut sekunder adalah Osteoarthritis lutut yang dapat
dikarenakan kelainan hormonal, imunologis, metabolik, pertumbuhan dan
mobilisasi secara kronis. Osteoarthritis lutut idiopatik memiliki prevalensi
lebih tinggi daripada sekunder (Arissa, 2017).
Menurut Kellgren dan Lawrence osteoarthritis dalam pemeriksaan radiologis
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Grade 0: Pada tahap ini sendi masih dikategorikan normal, tidak tampak
adanya tanda-tanda Osteoarthritis pada radiologis, fungsi sendi masih
normal tanpa gangguan nyeri.
2. Grade 1: Curiga terdapat osteofit dan penyempitan sendi. Merupakan tahap
awal mulai terjadi pembentukan osteophyte (pertumbuhan tulang yang
terjadi pada sendi, disebut juga dengan “spurs”)
3. Grade 2: Ringan, osteofit yang jelas, terdapat sedikit penyempitan pada
anteroposterior genu yang sedang terbentuk subkondral sklerosis yang
moderate.
4. Grade 3: Sedang, osteofit sedang, deformitas ruang antar sendi yang cukup
besar. Pada tahap ini >50% terjadi penyempitan sendi, kondilus femoralis
bulat, subkondral skeloris yang luas, pembentukan osteophyte yang luas.
E. Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat deformitas ruang antar sendi
yang berat dengan sklerosis pada tulang subkondral. Pasien mengakami
osteoatritis pada derjata 4 ini akan merasakan nyeri dan ketidaknyamanan saat
berjalan. Pada tahap ono terjadi kerusakan sendi dan hilangnya ruang sendi
(Kohn, et al,. 2016).Pathway Osteoartritis
F. Manifestasi Klinis Osteoartritis
Menurut Purwanto (2016), tanda dan gejala dari osteoatritis meliputi
rasa nyeri pada sendi yang merupakan gambaran primer pada osteoatritis, nyeri
akan bertambah apabila sedang melakukan sesuatu kegaitan fisik dan setelah
melakukan aktivitas yang lama serta akan berkurang pada waktu istirahat.
Terdapat hubungan dengan keadaan penyakit yang telah lanjut dimana rawan
sendi telah rusak berat, adanya krepitasi.
Peradangan yang terjadi pada osteoatritis menyebabkan sinovitas
sekunder, penurunan pH jaringan, pengumpulan cairan dalam ruang sendi yang
akan menimbulkan pembengkakan (perbaan tidak hangat) dan peregangan
sampai sendi yang semua ini akan menimbulkan ras anyeri. Nyeri biasanya
berlokasi pada sendi yang terkena tetapi dapat menjalar, misalnya pada lutut
hingga tungkai atas.
Tanda dan gejala lain dari osteoatritis adalah deformitas sendi yang
disebabkan oleh distruksi lokal rawan sendi. Terjadi gangguan fungsi sendi
yang timbul akibat ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi. Selain itu
gejala lain yang penting dirasakan penderita osteoatritis adalah kekakuan dan
keterbatasan gerak, biasanya akan berlangsung 15-30 menit dan timbul setelah
istirahat atau saat mulai kegiatan fisik (Purwanto, 2016).
G. Komplikasi Osteoartritis
Komplikasi dapat terjadi apabila Osteoarthritis lutut tidak ditangani dengan
serius. Terdapat dua macam komplikasi yaitu:
1. Komplikasi Kronis
Komplikasi kronis berupa malfungsi tulang yang signifikan, yang terparah
ialah terjadinya kelumpuhan.
2. Komplikasi Akut
a. Osteonecrosis
b. Ruptur Baker cyst
c. Bursitis
d. Symptomatic Meniscal Tear (Guermazi et al, 2017).
H. Penatalaksanaan Osteoartritis
Tujuan pengobatan pada pasien Osteoarthritis lutut adalah untuk
mengurangi gejala dan mencegah terjadinya kontraktur atau atrofi otot.
Penanganan pertama yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan terapi
non-farmakologis berupa edukasi mengenai penyakitnya secara lengkap, yang
selanjutnya adalah memberikan terapi farmakologis untuk mengurangi
nyerinya yaitu dengan memberikan analgetik lalu dilanjutkan dengan
fisioterapi (Purwanto, 2016). Penatalaksanaannya sebagai berikut:
1. Penatalaksanaan Medis
Menurut purwanto (2016) penatalaksanaan medis pada osteoatritis meliputi
terapi farmakologi yaitu obat analgesik Antri Inflamasi Non Steroid (AINS)
bila nyeri muncul. Irigasi tidal (pembasuhan debris dari rongga sendir) dan
debridemen artroskopik. Terpai pembedahan yang diebrikan apabila terapi
farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi ras asakit dan juga untuk
melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang menganggu
aktivitas sehari-hari. Terapi bedah terdiri dari beberapa tindakan yaitu :
a. Malaligment, deformitas lutut Valgus-Varus
b. Arthroscopic debridement dan joint lavage
c. Osteotomi
d. Antroplasti sendi total
2. Penatalaksanaan Non-Medis
Penatalaksanaan non medis pada penderita osteoatritis meliputi tindaan
preventif berupa pencegahan cedera dan pendekatan egonomik untuk
memodifikasi stres akibat kerja. Terapi non-farmakologis yang dapat
dilakukan diantaranya edukasi atau penjelasan kepada penderita agar dapat
mengetahui serta memahami tentang penyakit yang dideritanya, bagaimana
agar penyakitnya tidak bertumbuh semakin parah dan agar persendiannya
tetap terpakai.
Terapi lain yang juga sangat penting adalah teapi fisik atau rehabilitasi,
penderita osteoatritis dapat mengalami kesulitan berjalan akibat rasa sakit.
Terapi ini dilakukan untuk melatih penderita agar persendiannya tetap dapat
dipakai dan melatih penderita untuk melindungi sendi yang sakit. Salah satu
terpai yang dimaksud adalah Range Of Motion (ROM) yang dapat
dilakukan perawat kepada penderita osteoatritis (Purwanto, 2016).
Terapi konsertiv meliputi kompres hangat, mengistirahatkan sendi,
pemakaian alat-alat ortotik untuk menyangga sendi yang mengalami
inflamasi. Penurunan berat badan juga termasuk dalam penatalaksanaan
penderita osteoatritis. Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang
memperberat osteoatritis, oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga
agar tidak berlebih dan upayakan untuk melakukan penurunan berat badan
apabila berat badan berlebih (Purwanto, 2016).
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. A
Tempat/ Tanggal lahir : Sungai Duri, 22 Mei 1960
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
Status Perkawinan : Kawin
Suku / Bangsa : Dayak / Indonesia
Alamat : Dusun Lao Serukam, Desa Pasti Jaya, Kec.
Samalantan. Kabupaten Bengkayang
Diagnosa Medis : Osteoartritis Genu Dextra
Nomor RM : 103634
Tanggal masuk RS : 10 November 2022
7. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1 Data Subjek: Kurang informasi Defisit
Pasien mengatakan tidak ¯ Pengetahuan
tahu apa yang Kurang pengetahuan (D.0111)
menyebabkan kakinya tentang penyakit
sakit dan lebih sering
merasa kuatir dengan
kondisi fisik yang dialami
saat ini.
Data Objek:
Tampak bingung ketika
ditanya terkait sakit yang
dialami
2 Data Subjek: Kurang Ketidakpatuhan
Pasien sulit menurun informasi/kurangnya (D.0114)
berat badan, tidak bisa motivasi terkait
membatasi porsi makan, peningkatan
dan tidak rutin minum kesehatan
obat. ¯
Data Objek: Ketidakpatuhan
BB: 66 kg, tampak gemuk
dan tampak tidak
bersemangat saat
dijelaskan tentang
kepatuhan diet dan
pengobatan
B. Diagnosis Keperawatan
1. Defisit Pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
(D.0111)
2. Ketidakpatuhan berhubungan dengan Ketidakadekuatan pemahaman
(D.0114)
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Defisit Pengetahuan Tujuan: Observasi
berhubungan dengan Setelah diberikan edukasi 2 x 24 jam, maka Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
kurang terpapar tingkat pengetahuan membaik. informasi
informasi (D.0111) Dengan kriteria hasil: Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan
Perilaku sesuai anjuran meningkat. dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan
Kemampuan menjelaskan tentang penyakit sehat
meningkat. Terapeutik
Perilaku sesuai dengan pengetahuan Sediakan materi dan media Pendidikan Kesehatan
meningkat. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi Berikan kesempatan untuk bertanya
menurun. Edukasi
Persepsi yang keliru terhadap masalah Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi
menurun. kesehatan
Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
menurun. Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
(L.12111) meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
(I.12383)
2. Ketidakpatuhan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x Observasi
berhubungan dengan 24 diharapkan tingkat kepatuhan meningkat. Identifikasi kepatuhan menjalani program
Ketidakadekuatan Dengan kriteria hasil: pengobatan
pemahaman (D.0114) Kemauan mematuhi program pengobatan Terapeutik
dan perawatan meningkat. Buat komitmen menjalani program pengobatan
Mengikuti anjuran membaik. dengan baik.
Perilaku menjalankan anjuran meningkat. Buat jadwal pendampingan keluarga untuk
Perilaku mengikuti program bergantian menemani pasien selama menjalani
pengobatan/perawatan membaik. program pengobatan, jika perlu.
(L.12110) Dokumentasikan aktivitas selama menjalani program
pengobatan
Diskusikan hal-hal yang dapat mendukung atau
menghambat berjalannya program pengobatan
Libatkan keluarga untuk mendukung program
pengobatan yang dijalani
Edukasi
Informasikan program pengobatan yang harus
dijalani
Informasikan manfaat yang akan diperoleh jika
teratur menjalani program pengobatan
Anjurkan keluarga untuk mendampingi dan merawat
pasien selama menjalani program pengobatan
Anjurkan pasien dan keluarga melakukan konsultasi
ke pelayanan Kesehatan terdekat, jika perlu.
(I.12361)
BAB IV
KESIMPULAN
Aru. W Sudoyo, Siti, S. and Alwi, I. ( 2016). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing
Price, S.A. dan Lorraine M.Wilson., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Vol.2, diterjemahkan dari: Pathophysiologi:
Clinical Concepts of Disease Processes (6th Edition), oleh H. Hartanto,
Jakarta: EGC