Disusun Oleh:
2021
A. Program Kesehatan terkait penyakit Kronis (Osteoathritis)
Dalam rangka Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) tahun 2016, lebih dari 500 lanjut
usia (Lansia) bersama-sama melakukan senam sehat bugar (SSB) dan senam vitalitas otak
pada gelaran car free day di kawasan Bundaran Senayan, Jakarta, Minggu pagi (29/5). Usai
melakukan senam, para Lansia dapat melakukan pemeriksaan kesehatan, berupa
pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, dan berat badan) dan kesehatan jiwa, salah
satunya screening demensia termasuk di dalamnya. Kegiatan ini menjadi momentum bagi
para Lansia untuk menyerukan kepada generasi muda Indonesia bahwa menjaga kesehatan
sejak dini merupakan investasi yang berharga, sehingga pada saatnya nanti setiap individu
mampu menjadi Lansia yang sehat, yakni Lansia yang aktif, mandiri, dan produktif. Lansia
merupakan sebuah siklus hidup manusia yang hampir pasti dialami setiap orang.Kenyataan
saat ini, setiap kali menyebut kata Lansia yang terbersit di benak kita adalah seseorang yang
tidak berdaya, dan memiliki banyak keluhan kesehatan.Padahal, Lansia sebenarnya dapat
berdaya sebagai subyek dalam pembangunan kesehatan.
Pengalaman hidup, menempatkan Lansia bukan hanya sebagai orang yang dituakan
dan dihormati di lingkungannya, tetapi juga dapat berperan sebagai agen perubahan (agent
of change) di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya dalam mewujudkan keluarga
sehat, dengan memanfaatkan pengalaman yang sudah dimiliki dan diperkaya dengan
pemberian pengetahuan kesehatan yang sesuai. Bapak dan ibu yang saat ini masih bisa
melakukan senam dan gerak jalan bersama, menandakan bahwa Bapak dan Ibu termasuk
Lansia yang sehat, ini semua karena pada waktu muda pola hidupnya juga sehat. Hidup
sehat harus dimulai sejak muda, tutur Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI, dr.
Untung Suseno Sutarjo, M.Kes. Lansia yang sehat harus diberdayakan agar dapat tetap sehat
dan mandiri selama mungkin.Salah satu upaya untuk memberdayakan Lansia di masyarakat
adalah melalui pembentukan dan pembinaan Kelompok Lansia yang di beberapa daerah
disebut dengan Posyandu Lansia atau Posbindu Lansia. Melalui Kelompok ini, Lansia dapat
melakukan kegiatan yang dapat membuat mereka tetap aktif, antara lain: berperan sebagai
kader di Kelompok Lansia,melakukan senam Lansia, memasak bersama, termasuk membuat
kerajinan tangan yang selain berperan sebagai penyaluran hobi juga dapat meningkatkan
pendapatan keluarga. Makin bertambah usia, makin besar kemungkinan seseorang
mengalami permasalahan fisik, jiwa, spiritual, ekonomi dan sosial. Salah satu masalah yang
sangat mendasar adalah masalah kesehatan akibat proses degeneratif. Data Riset Kesehatan
(Riskesdas) tahun 2013, penyakit terbanyak pada Lansia terutama adalah penyakit tidak
menular (PTM) antara lain hipertensi, osteoarthritis, masalah gigi dan mulut, penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) dan diabetes mellitus (DM).
Penanganan kasus penyakit tersebut di atas tidaklah mudah karena penyakit pada
Lansia umumnya merupakan penyakit degeneratif, kronis, multi diagnosis, yang
penanganannya membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi, sehingga akan menjadi beban
yang sangat berat bagi masyarakat dan pemerintah termasuk bagi Program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Karena itu strategi pembangunan bidang kesehatan lebih
mengutamakan promotif dan preventif dengan dukungan pelayanan kuratif dan rehabilitatif
yang berkualitas, termasuk dalam hal kesehatan Lansia.Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
(Germas) serta Program Keluarga Sehat adalah beberapa strategi unggulan yang sedang
dijalankan Kemenkes. Para Lansia kita harapkan menjadi Lansia yang sehat, aktif dan
produktif.Jangan sampai menjadi beban untuk keluaraganya. Dan itu bisa dicapai dengan
cara mengatur pola hidup, menjaga kesehatan, mempersiapkan jauh sebelum kita menjadi
Lansia, tandas Sesjen. Tanggal 29 Mei dicanangkan sebagai Hari Lanjut Usia Nasional
(HLUN) sebagai momen untuk meningkatkan kesadaran/perhatian masyarakat terhadap
Lansia. Tema umum HLUN 2016 adalah Bersama Lansia, Dari Lansia, Untuk Lansia
sedangkan sub tema Bidang Kesehatan adalah Lansia Sehat Lansia Aktif dan Produktif.
Adapun rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka mendukung acara puncak
peringatan Hari Lanjut Usia Nasional 2016 yang dilaksanakan di lingkungan Kementerian
Kesehatan adalah: • Kampanye Kesehatan Lansia di Car Free Day Jakarta pada 29 Mei
2016; • Peluncuran rencana aksi nasional (RAN) Kesehatan Lansia tahun 2016-2019 yang
sekaligus diikuti pencanangan Kabupaten Bogor sebagai pilot project pelaksanaan RAN
Kesehatan Lansia,1 Juni 2016; • Bakti Sosial Kesehatan Lansia pada acara puncak
Peringatan HLUN 2016 yang dikoordinasikan oleh Kementerian Sosial di Bekasi pada 2
Juni 2016; • Kampanye Kesehatan Lansia pada Kegiatan Bakti Sosial Operasi Katarak oleh
PERDAMI pada bulan Mei dan Juni;
B. Prevelensi Osteoartritis
Osteoartritis lebih sering mengenai wanita dengan usia lebih dari 65 tahun. Lebih
dari sepertiga orang dengan usia lebih dari 45 tahun mengeluhkan gejala persendian yang
bervariasi mulai dari sensasi kekakuan sendi tertentu dan rasa nyeri yang berhubungan
dengan aktivitas, sampai kelumpuhan 2 anggota gerak dan nyeri hebat yang menetap,
biasanya dirasakan akibat deformitas dan ketidakstabilan sendi. Degenerasi sendi yang
menyebabkan sindrom klinis osteoartritis muncul paling sering pada sendi lutut, panggul,
tangan, kaki dan spine.
Osteoartritis di Norwegia pada tahun 2008, 80% berusia lebih dari 55 tahun. Angka
keseluruhan prevalensi osteoartritis di Norwegia adalah 12,8% dan lebih tinggi pada
perempuan (14,7%) dibanding laki-laki (10,5%). Prevalensi osteoartritis panggul adalah
5,5%, osteoartritis lutut 7,1% dan osteoartritis tangan 4,3%.8 Di Indonesia, prevalensi
osteoartritis mencapai 5% pada usia 61 tahun. Menurut Riskesdas tahun 2013, prevalensi
penyakit sendi berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan di Indonesia 11,9% dan berdasarkan
gejala 24,7%. Prevalensi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Bali 19,3%
sedangkan berdasarkan gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur 33,1%, Jawa Barat 32,1%,
Bali 30%, DKI Jakarta 21,8%. Jika dilihat dari karakteristik umur, prevalensi tertinggi pada
umur ≥ 75 tahun (54, 8 %). Penderita wanita juga lebih banyak (27,5%) dibandingkan
dengan pria (21,8%).
C. Pengertian Osteoartritis
Osteoarthritis merupakan suatu kelainan degerasi sendi yang terjadi pada cartilage
(tulang rawan) yang ditandai dengan timbulnya nyeri saat terjadi penekanan pada sendi yang
terkena. Faktor yang dapat mempemgaruhi terjadinya osteoarthritis yaitu genetika, usia
lanjut, jenis kelamn permpuan, dan obesitas (Zhang et al, 2016).
D. Etiologi
Etiologi Etiologi osteoarthritis belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor
resiko yanG merupakan faktor terpenting dalam proses terjadinya osteoarthritis. Faktor
resiko pada osteoarthritis, meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Peningkatan usia
OA biasanya terjadi pada usia lanjut, jarang dijumpai penderita OA yang berusia
di bawah 40 tahun (Helmi, 2012). Di Indonesia, prevalensi OA mencapai 5% pada usia
< 40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia > 61 tahun (Soeroso et al.,
2009).
2. Obesitas
Membawa beban lebih berat akan membuat sendi sambungan tulang berkerja
lebih berat, diduga memberi andil terjadinya AO (Helmi, 2012). Serta obesitas
menimbulkan stres mekanis abnormal, sehingga meningkatkan frekuensi penyakit
(Robbins, 2007).
3. Jenis kelamin
4. Trauma
Riwayat deformitas sendi yang diakibatkan oleh trauma dapat menimbulkan stres
mekanis abnormal sehingga menigkatkan frekuensi penyakit (Helmi, 2012 ; Robbins,
2007).
5. Faktor genetik
Faktor genetik juga berperan dalam kerentanan terhadap OA, terutama pada
kasus yang mengenai tangan dan panggul. Gen atau gen-gen spesifik yang bertanggung
jawab untuk ini belum terindentifikasi meskipun pada sebagian kasus diperkirakan
terdapat keterkaitan dengan kromosom 2 dan 11 (Robbins, 2007). Beberapa kasus orang
lahir dengan kelainan sendi tulang akan lebih besar kemungkinan mengalami OA
(Helmi, 2012.)
E. Patogenesis
Berdasarkan penyebabnya, osteoarthritis dibedakan menjadi dua yaitu osteoarthritis
primer dan osteoarthritis sekunder. Osetoarthritis primer atau dapat disebut osteoarthritis
idiopatik, yang tidak memilik penyebab yang pasti (tidak diketahui) dan tidak disebabkan
oleh penyakit sistematik maupun proses perubahan lokal sendi. Osteoarthritis sekunder
terjadi disebebabkan oleh inflamasi, kelainan sistem endokrin, metabolit, pertumbuhan,
faktor keturunan (herediter), dan immobilisasi yang terlalu lama. Kasus osteoarthritis primer
lebih sering dijumpai pada praktek sehari-hari dibandingkan dengan osteoarthritis sekunder (
Soeroso dkk, 2006).
Selama ini osteoarthritis sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan
tidak dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa osteoarthritis merupakan gangguan
keseimbangan dari metabolise kartilago dengan kerusakan struktur yang penyebabnya masih
belum jelas diketahui (Soeroso dkk, 2006). Kerusakan tersebut dapat diawali oleh kegagalan
mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera (Felson, 2008).
Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi, yaitu kapsula dan
ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang dasarnya. Kapsula dan ligamen-
ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (range of motion) sendi (Felson,
2008).
Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antara kertilago pada permukaan sendi
sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang disebut
dengan lubrican merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai pelumas.
Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cidera dan peradangan pada sendi
(Felson, 2008).
Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu mekanoreseptor yang
tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang dikirimkan memungkinkan
otot dan tendon mampu memberikan tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu ketika
sendi sedang bergerak (Felson, 2008).
Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung sendi.
Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan akselerasi yang
cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan tugasnnya. Kontraksi otot tersebut turut
meringankan tekanan yang terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi sebelum
terjadi tumbukan (impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh
permukaan sendi sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago
memiliki fungsi untuk menyerap goncangan yang diterima (Felson, 2008).
Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan sendi
sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika bergerak.
Kekakuan kartilago yang dapat 10 dimampatkan berfungsi sebagai penyerap tumbukan yang
diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya osteoarthritis dapat terlihat pada
kartilago sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang kartilago (Felson, 2008).
Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu kolagen tipe dua dan
aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul-molekul aggrekan di
antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul proteoglikan yang berikatan
dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan pada kartilago (Felson, 2008).
Kondrosit merupakan sel yang tedapat dijaringan vaskular, mensintesis seluruh
elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim pemecah
matriks, yaitu sitokin [Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)], dan juga faktor
pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim tersebut akan merangsang kondrosit untuk
melakukan sintesis dan membentuk molekul-molekul matriks yang baru. Pembentukan dan
pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor
lingkungan (Felson, 2008).
Kondrosit mensintesis metalloproteinase matriks (MPM) untuk memecah kolagen
tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang dikelilingi oleh
kondrosit. Namun pada fase awal osteoarthritis, aktivitas serta efek dari MPM menyebar
hingga ke bagian permukaan dari kartilago (Felson, 2008).
Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi pergantian
matriks, namun stimulasi IL-1 yang berlebih malah memicu proses degradasi matriks. TNF
menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG), oksida nitrit (NO), dan
protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan degradasi matriks. TNF yang
berlebihan mempercepat proses pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan
menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan proses pemecahan protein pada jaringan.
Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya osteoarthritis (Felson, 2008).
Kartilago memiliki metabolisme yang lambat, dengan pergantian matriks yang
lambat dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi. Namun ada fase
awal perkembangan osteoarthritis, kartilago sendi memiliki metabolisme yang sangat aktif
(Felson, 2008).
Pada proses timbulnya osteoarthritis, kondrosit yang terstimulasi akan melepaskan
aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan sendi. Aggrekan
pada kartilago akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen akan mudah mengendur.
Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh komponen pertahanan sendi akan meningkatkan
kejadian osteoarthritis pada daerah sendi (Felson, 2008).
F. Faktor Risiko
Resiko terkena osteoarthritis juga dapat berubah dari waktu ke waktu tergantung
pada usia dan gaya hidup seseorang. Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat dilihat pada
pasien osteoarthritis secara umum seperti berikut : (Anonim, 2006) :
1. Usia
Prevalensi dan keparahan osteoarthritis meningkat sering dengan bertambahnya usia
seseorang. Semakin meningkat usia seseorang, semakin bertambah rasa nyeri dan
keluhan pada sendi.
2. Berat badan
Semakin tinggi berat badan seseorang, semakin besar kemungkinan seseorang untuk
menderita osteoarthritis. Hal ini adalah disebabkan karena seiring dengan bertambahnya
berat badan seseorang, beban yang akan diterima oleh sendi pada tubuh makin besar.
Beban yang diterima oleh sendi akan memberikan tekanan pada bagian sendi yang
berpengaruh, contohnya pada bagian lutut dan pinggul.
3. Trauma
Trauma pada sendi atau penggunaan sendi secara berlebihan. Atlet dan orang-orang
yang memiliki pekerjaan yang memerlukan gerakan berulang memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk terkena osteoarthritis karena mengalami cidera dan peningkatan tekanan
pada sendi tertentu. Selain itu, terjadi juga pada sendi dimana tulang telah retak dan telah
dilakukan pembedahan.
4. Genetika
Genetika memainkan peranan dalam perkembangan osteoarthritis. Kelainan warisan
tulang mempengaruhi bentuk dan stabilitas sendi dapat menyebabkan osteoarthritis.
Nodus Herberden adalah 10 kali lebih banyak terjadi pada wanita dibanding laki-laki,
dengan risiko dua kali lipat jika ibu kepada wanita itu mengalami osteoarthritis (Hansen
& Elliot, 2005). Nodus Herberden dan Nodus Bouchard terjadi pada bagian sendi pada
tangan.
5. Kelemahan pada otot
Kelemahan pada otot-otot sekeliling sendi dapat menyebabkan terjadinya
osteoarthritis. Kelemahan otot dapat berkurang disebabkan oleh faktor usia, inaktivasi
akibat nyeri atau karena adanya peradangan pada sendi.
6. Nutrisi
Metabolisme normal dari tulang tergantung pada adanya vitamin D. Kadar vitamin D
yang rendah di jaringan dapat mengganggu kemampuan tulang untuk merespons secara
optimal proses terjadinya osteoarthritis dan akan mempengaruhi perkembangannya.
Kemungkinan vitamin D mempunyai efek langsung terhadap kondrosit di kartilago yang
mengalami osteoarthritis, yang terbukti membentuk kembali reseptor vitamin D.
H. Komplikasi Osteoarthritis
Osteoarthritis yang tidak mendapatkan penanganan dapat menyebabkan nyeri dan rasa
tidak nyaman. Kondisi ini dapat menyebabkan pendeitanya mengalami beberapa
komplikasi, seperti:
1. Gangguan tidur.
2. Gangguan kecemasan.
3. Depresi.
4. Osteonecrosis atau avascular necrosis (kematian jaringan tulang).
5. Infeksi pada sendi.
6. Saraf terjepit di tulang belakang.
Menurut Keliat (1999) dalam Maryam (2008) lansia memiliki karakteristik sebagai
berikut: berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang
Kesehatan), kebutuhan dan masalah yang bervariasi dan rentang sehat sampai sakit, dari
kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi
maladaptif, lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
K. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Diagnosis OA selain dari gambaran klinis, juga dapat ditegakkan dengan gambaran
radiologis.
Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada daerah
yang menanggung beban)
Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
Kista tulang
2. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA, biasanya tidak banyak berguna.
Pemeriksaan laboratorium akan membantu dalam mengidentifikasi penyebab pokok
pada OA sekunder. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam batas
normal kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan arthritis peradangan.
Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor rhematoid dan komplemen) juga normal. Pada
OA yang disertai peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis
ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan
protein. (Soeroso, 2009).
3. Pemeriksaan Marker
Destruksi rawan sendi pada OA melibatkan proses degradasi matriks molekul yang
akan dilepaskan kedalam cairan tubuh, seperti dalam cairan sendi, darah, dan urin.
Beberapa marker molekuler dari rawan sendi dapat digunakan dalam diagnosis,
prognostik dan monitor penyakit sendi seperti RA dan OA dan dapat digunakan pula
mengidentifikasi mekanisme penyakit pada tingkat molekuler.
Marker yang dapat digunakan sebagai uji diagnostik pada OA antara lain: Keratan
sulfat, Konsentrasi fragmen agrekan, fragmen COMP (cartilage alogometric matrix
protein), metaloproteinase matriks dan inhibitornya dalam cairan sendi. Keratan sulfat
dalam serum dapat digunakan untuk uji diagnostik pada OA generalisata. Marker sering
pula digunakan untuk menentukan beratnya penyakit, yaitu dalam menentukan derajat
penyakit.
Selain sebagai uji diagnostik marker dapat digunakan pula sebagai marker prognostik
untuk membuat prediksi kemungkinan memburuknya penyakit. Pada OA maka
hialuronan serum dapat digunakan untuk membuat prediksi pada pasien OA lutut akan
terjadinya progresivitas OA dalam 5 tahun. Peningkatan COMP serum dapat membuat
prediksi terhadap progresivitas penggunaan untuk petanda lainnya maka marker untuk
prognostik ini masih diteliti lagi secara prospektif dan longitudinal dengan jumlah pasien
yang lebih besar.
Marker dapat digunakan pula untuk membuat prediksi terhadap respons pengobatan.
Pada OA maka analisa dari fragmen matriks rawan sendi yang dilepaskan dan yang
masih tertinggal dalam rawan sendi mungkin dapat memberikan informasi penting dari
perangai proses metabolik atau peranan dari protease. Sebagai contoh maka fragmen
agrekan yang dilepaskan dalam cairan tubuh dan yang masih tertinggal dalam matriks,
sangatlah konsisten dengan aktivitas 2 enzim proteolitik yang berbeda fungsinya
terhadap matriks rawan sendi pada OA. Enzim tersebut ialah strolielisin dan agrekanase.
Penelitian penggunaan marker ini sedang dikembangkan.
L. Penatalaksanaan
1. Meredakan nyeri
b) Terapi Farmakologis:
1) Obat Sistemik
a) Analgesik oral
Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar. Kalau tidak dapat
timbul berbagai penyulit seperti artritis septik, nekrosis jaringan dan
abses steril. Perlu diperhatikan faktor alergi terhadap unsur/bahan
dasar hyaluronan misalnya harus dicari riwayat alergi terhadap telur.
(ada 3 sediaan di Indonesia diantaranya adalah Hyalgan, dan Osflex.
c) Stem cells
a) Realignment osteotomi
1. Pengkajian
a. Data Inti (core )
1) Sejarah
Wilayah desa Lombok banyak mengalami perubahan, yakni banyak bangunan
baru serta kebun sayuran dan buah-buahan.
2) Demografik
Jumlah populasi terlantar di desa Lombok sebanyak 25 Kepala Keluarga
dengan jumlah 125 jiwa. Di wilayah desa Lombok adalah penduduk tetap.
Dalam hal ini terdata bahwa penderita tertinggi OA adalah wanita dengan
persentase 18%.
3) Etnisitas
Warga di desa Lombok dari suku jawa. Mayoritas warganya mengkonsumsi
kangkung sebagai sayuran pelengkap nasi di rumah.
4) Nilai dan Keyakinan
Mayoritas warga di desa Lombok beragama islam, mempunyai 4 mushola
yang terbagi di setiap RT. Nilai dan norma yang ada di masyarakat sangat
baik dilihat adanya gotong royong dan kerja bakti setiap bulannya.
2. Sub Sistem
a. Lingkungan fisik
Sebagian besar rumah tinggal telah memenuhi persyaratan rumah sehat dengan lantai
berupa ubin atau semen yang kedap air dan mudah dibersihkan. Pasokan air bersih
di dapatkan dari PAM.
b. Pelayanan kesehatan dan social
Layanan kesehatan dapat di akses 15 menit, biaya dalam pelayanan kesehatan dapat
menggunakan BPJS. Fasilitas pelayanan kesehatannya cukup lengkap adanya
posyandu dan posbindu.
c. Ekonomi
Sebagian masyarakat di desa Lombok bekerja sebagai pedagang sayuran ada juga
yang membuka warung makan. Angka pengangguran di desa Lombok sangat kecil.
a. Persepsi masyarakat
Persepsi masyarakat terhadap masyarakat yang mengidap OA menerima dan
mendukung kesembuhan mereka.
4. Asuhan Keperawatan
a. Data Fokus
b. Analisa Data
DO:
Sebanyak 50% penderita memberikan
gambaran radiologis sesuai Osteoarttritis,
meskipun hanya 10% pria dan 18% wanita
diantaranya yang memperlihatkan gejala
Klinis OA seperti kaku sendi, adanya
benjolan pada sendi, serta bengkak di area
sendi, dan sekitar 10% mengalami disabilitas
akibat penyakit Osteoarthritis
2. DS: Ketidakefektifan
Lansia di Desa Lombok mengatakan tidak pemeliharaan kesehatan
memahami efek samping mengonsumsi pada lansia di Desa Lombok
kangkung secara berlebih karena kurangnya dengan masalah kurangnya
informasi dari petugas kesehatan. pemahaman tentang
DO:
Mayoritas warga di Desa Lombok
mengonsumsi kangkung sebagai sayuran
pelengkap nasi dirumah
Kebiasaan mengonsumsi kangkung membuat
banyak warga usia di atas 65 tahun menderita
osteoarthritis
3. DS: Ketidakefektifan manajemen
Lansia di Desa Lombok yang menderita kesehatan pada lansia di
osteoarthritis mengaku kurang mendapatkan Desa Lombok dengan
pengobatan karena jarak tempuh menuju masalah ekonomi dan akses
PUSKESMAS di Desa Lombok sekitar 1 km untuk menuju tempat
pengobatan
DO:
s Lombok mengalami kesulitan ekonomi
karena hanya bekerja sebagai petani
kebun kangkung sehingga
mengandalkan
c. Prioritas Masalah
JM
5. PEMBOBOTAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN L
A B C D E F G H I J K
1. Nyeri kronis pada lansia di Desa 4 4 4 3 3 3 4 3 3 3 4 38
Lombok dengan masalah kurangnya
pemahaman terhadap penanganan
osteoarthritis
2. Ketidakefektifan pemeliharaan 3 3 4 3 3 3 4 3 3 3 3 35
kesehatan pada lansia di Desa Lombok
dengan masalah kurangnya
pemahaman tentang penyakit
osteoarthritis
3. Ketidakefektifan manajemen 2 3 3 3 2 3 4 3 3 3 3 32
kesehatan pada lansia di Desa Lombok
dengan masalah ekonomi dan akses
untuk menuju tempat pengobatan
Keterangan Pembobotan
1 : Sangat rendah
2 : Rendah
3 : Cukup
4 : Tinggi
5 : Sangat Tinggi
A : Risiko Terjadi
B : Risiko Parah
C : Potensial Penkes
D : Minat Masyarakat
E : Kemungkinan Diatasi
F : Sesuai Program Pemerintah
G : Tempat
H : Waktu
I : Dana
J : Fasilitas Kesehatan
K : Sumber Daya
a. Diagnose keperawatan
Sundaru, H. Sukamto. (2006), Osteoartritis, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata,
M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Keempat, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
Felson D T. Osteoarthritis. In: Fauci AS, et al., editors. HARRISON’S Principles of Internal
Medicine.17thed. New York:McGraw-Hill Companies Inc.;2008.p.2158-2165.
McFaden, ER. (2005), Osteoartritis, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo, DL. Draunwald, E. Hauser,
SL. Jameson, JL. (eds), Harrison’s Principal of Medicine, 16th ed, Vol 2, McGraw-Hill,
Philladelphia, pp:1508-1515.
Soeroso S, Isbagio H, Kalim H, Broto R, PramudiyoR. Osteoartritis. In: Sudoyo A W, Setiyohadi
B, Alwi I,Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
IV. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.p. 1195-120.