Anda di halaman 1dari 18

TUGAS

DETERMINAN SOSIAL KESEHATAN TERHADAP KESEHATAN LANJUT USIA


MATA KULIAH
INDIKATOR DAN PENGUKURAN PROMOSI KESEHATAN/SOCIAL DETERMINAN
HEALTH
Dosen : Pamela Dewi Widuri, SKM, M.Kes

Disusun Oleh :
Kelompok V

Arsa Natalie Aurora 2020-01-13201-005


Dhea Monica 2020-01-13201-010
Diana Loren Hutauruk 2020-01-13201-011
Lidya 2020-01-13201-025
Maria Albesta Jereng 2020-01-13201-027
Triska Putri 2020-01-13201-040

YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesiaberdasarkan data proyeksi penduduk, pada tahun 2015 terdapat 21,68
juta jiwa atau sebesar 8,49% dari populasi penduduk adalah lansia. Hal ini menunjukkan
bahwa Indonesia termasuk negara yang akan memasuki era penduduk menua (aging
population) karena jumlah penduduknya yang berusia lebih dari 60 tahun melebihi angka
7% (Badan Pusat Statistik, 2015). Populasi lansia di Indonesia diprediksi meningkat lebih
tinggi dari pada populasi lansia di dunia setelah tahun 2100 (Infodatin, 2016). Provinsi
dengan presentase lansia tertinggi adalah Yogyakarta (13,4%) dan terendah adalah Papua
(2,8%), sedangkan Jawa Barat sebesar 8,1% (Kemenkes RI, 2016).
Dengan bertambahnya usia tidak dapat dihindari penurunan kondisi fisik, baik
berupa berkurangnya kekuatan fisik yang menyebabkan individu menjadi cepat lelah
maupun menurunnya kecepatan reaksi yang menyebabkan gerak-geriknya menjadi
lamban. Selain itu timbulnya penyakit yang biasanya juga tidak hanya satu macam tetapi
multipel, menyebabkan usia lanjut memerlukan bantuan yang bersifat holistik.
Martono (2000) menyatakan bahwa prinsip holistik merupakan prinsip utama
dalam memberikan pelayanan kesehatan pada lansia, dimana prinsip ini memiliki arti
secara: (1) vertikal, yaitu pelayanan kesehatan pada lansia harus diawali dari masyarakat
sampai pada tingkat rujukan yang paling tinggi seperti pelayanan yang sifatnya sub-
spesialis geriatri di rumah sakit; dan (2) horisontal, yaitu pelayanan kesehatan pada lansia
harus menjadi unsur dari keseluruhan pelayanan yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan lansia seperti dalam bentuk kerja sama lintas sektoral dengan lembaga yang
berhubungan dengan bidang kesejahteraan seperti dinas sosial, agama, serta pendidikan
dan kebudayaan. Selain itu, pelayanan holistik pada lansia juga harus meliputi aspek
peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), pengobatan (kuratif), dan pemulihan
(rehabilitatif).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apasaja definisi dan ruang lingkup Determinan Sosial Kesehatan?
2. Apa pengertian Lanjut Usia
3. Apasaja Determinan Sosial Kesehatan Terhadap Kesehatan Lansia

1
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi dan ruang lingkup Determinan Sosial
Kesehatan
2. Untuk mengetahui dan memahami definisi Lanjut Usia
3. Untuk mengetahui Determinan Sosial Kesehatan Terhadap Lansia

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Determinan Sosial Kesehatan
A. Konsep Determinan Sosial Kesehatan Menurut WHO
Social Determinant Of Health (SDH) Comission WHOmendefinisikan determinan
sosial kesehatan sebagai kondisi di mana orang dilahirkan, tumbuh, hidup, bekerja
dan menua, termasuk sistem kesehatan. SDH termasuk keterkaitan antara lain :
dimensi penentu identitas (jenis kelamin, agama, etnis, dan lain-lain), keadaan
materi yang membentuk kehidupan dan kesejahteraan (seperti perumahan,
sanitasi, penyediaan air), dan peluang sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan).
Semua hal tersebut dibentuk oleh rangkaian yang lebih besar dari kekuasaan dan
ideologi dalam fungsi dunia. Secara sederhana, SDH termasuk siapa kita, di mana
kita berada, apa yang kita lakukan, dan bagaimana pekerjaan berhubungan dengan
kesehatan (Marmot dan Wilkinson, 2006).
Menurut WHO (2003) terdapat 10 determinan sosial yang dapat
mempengaruhi kesehatan yaitu :
1) Social gradient
Keadaan sosial dan kondisi ekonomi masyarakat sangat mempengaruhi
kesehatan sepanjang hidup masyarakat. Adanya kesenjangan sosial membuat
adanya kesenjangan status kesehatan masyarakat pada level sosial yang
berbeda. Masyarakat dengan kelas ekonomi lemah biasanya sangat rentan dan
berisiko terhadap penyakit serta memiliki harapan hidup yang rendah.
2) Stress
Stres merupakan keadaan psikologis/jiwa yang labil. Kegagalan
menanggulangi stres baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan di
lingkungan kerja akan mempengaruhi kesehatan seseorang. Sehingga
diperlukan bagaimana cara untuk coping stress yang baik.
3) Early life
Kesehatan masa dewasa ditentukan oleh kondisi kesehatan di awal
kehidupan. Pertumbuhan fisik yang lambat, serta dukungan emosi yang
kurang baik pada awal kehidupan akan memberikan dampak pada kesehatan

3
fisik, mental, dan kemampuan intelektual masa dewasa. Contohnya, seorang
anak yang tumbuh di lingkungan kelurga miskin dan lingkungan yang penuh
kekerasan akan menjadikan anak tersebut tumbuh dan berperilaku kasar,
disamping dia renta terhadap gangguan penyakit fisik.
4) Social exclusion
Kehidupan di pengasingan atau perasaan terkucil akan menghasilkan
perasaan tidak nyaman, tidak berharga, kehilangan harga diri, dan
mempengaruhi kesehatan fisik maupaun mental.
5) Work
Stres di tempat kerja meningkatkan resiko terhadap penyakit dan
kematian. Syarat-syarat kesehatan di tempat kerja akan membantu
meningkatkan derajat kesehatan.
6) Unemployment
Pekerjaan merupakan penopang biaya kehidupan. Jaminan pekerjaan yang
mantap akan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan bagi diri dan
keluarganya.
7) Social support
Hubungan sosial termasuk diantaranya adalah persahabatan serta
kekerabatan yang baik dalam keluarga dan juga di tempat kerja akan sangan
memengaruhi kondisi kesehatan seseorang.
8) Addiction
Pemakaian napza merupakan faktor yang memperburuk kondisi kesehatan,
keselamat dan kesejahteraan. Napza atau pemakaian narkoba, alkohol, dan
merokok akan memberika dampak buruk terhadap kehidupan sosial ekonomi
masyarakat.
9) Food
Ketersediaan pangan, pendayagunaan penghasilan keluarga untuk pangan,
serta cara makan berpengaruh terhadap kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat. Kekurangan gizi maupun kelebihan gizi berdampak terhadap
kesehatan dan penyakit.

4
10) Transportation
Transportasi yang sehat, mengurangi waktu berkendara, meningkatkan
aktivitas fisik yang memadai akan baik bagi kebugaran dan kesehatan. Selain
itu, mengurangi waktu berkendara dan jumlah kendaraan akan mengurangi
polusi udara.
2.2 Lanjut Usia
A. Pengertian Lanjut Usia
Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang telah memasuki tahapan akhir
dari fase kehidupan. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan mengalami
suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaaan.(Wahyudi, 2008).
Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses
menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu
tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan
proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan yaitu
anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2006 dalam Kholifah, 2016).
Lansia merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Proses menjadi tua
akan dialami oleh setiap orang. Masa tua merupakan masa hidup manusia yang
terakhir, dimana pada masa ini seseorang akan mengalami kemunduran fisik,
mental dan social secara bertahap sehingga tidak dapat melakukan tugasnya
sehari-hari (tahap penurunan). Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada
makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan
kapasitas fungsional.
Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit,
tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya.
Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terkena
berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa
lain (Kholifah, 2016).Pada lansia akan mengalami proses hilangnya kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri secara perlahan sehingga tidak dapat
mempertahankan tubuh dari infeksi dan tidak mampu memperbaiki jaringan yang
rusak ( Constantinides, 1994 dalam Sunaryo, et.al, 2106).
Proses penuaan adalah proses dimana umur seseorang bertambah dan
mengalami perubahan. Semakin bertambahnya umur maka fungsi organ juga

5
mengalami penurunan. Banyak factor yang dapat mempengaruhi terjadinya
penuaan yang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu faktor genetik yang
melibatkan perbaikan DNA, respon terhadap stres dan pertahanan terhadap
antioksidan. Selanjutnya faktor lingkungan meliputi pemasukan kalori, berbagai
macam penyakit dan stres dari luar, misalnya radiasi atau bahan-bahan kimiawi.
Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi aktivitas metabolism sel yang
menyebabkan stres oksidasi sehingga terjadinya kerusakan sel dan terjadinya
proses penuaan (Sunaryo, et.al, 2016).
2.3 Determinan Sosial Kesehatan Lanjut Usia

A. Lapisan Pertama (Level Mikro)


1. Asupan Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh manusia sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Adapun kategori dari status gizi
dibedakan menjadi tiga yaitu gizi lebih, gizi baik, dan gizi kurang. Baik
buruknya status gizi manusia dipengaruhi oleh 2 hal pokok yaitu konsumsi
makanan dan keadaan kesehatan tubuh atau infeksi. Dalam ilmu gizi, status
gizi lebih dan status gizi kurang disebut sebagai malnutrisi, yakni keadaan
patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif ataupun absolut satu
atau lebih zat gizi (Mardalena, 2017).

6
Status gizi lansia adalah keadaan lansia yang ditentukan oleh derajat
kebutuhan fisik terhadap energi dan zat-zat gizi yang diperoleh dari pangan
dan makanan yang dampak fisiknya dapat diukur. Perbandingan perhitungan
rata-rata kebutuhan gizi dengan jumlah asupan zat gizi dapat memberikan
indikasi ada tidaknya masalah gizi. (Fatmah, 2013).
Terdapat empat bentuk malnutrisi, terdiri dari 1)under nutrition yaitu
kekurangan konsumsi pangan relative atau absolut untuk periode tertentu,
2)specific deficiency yaitu kekurangan zat gizi tertentu, 3)over nutrition yaitu
kelebihan konsumsi pangan dalam periode tertentu, dan 4)imbalance, yaitu
disporposi zat gizi misalnya masalah kolesterol terjadi karena
ketidakseimbangan fraksi lemak tubu. Jadi jelaslah bahwa ternyataa
malnurtrisi bukan hanya gizi kurang saja (Mardalena, 2017).
Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri atau ukuran tubuh,
yaitu tinggi badan (TB) dan berat badan (BB). Akan tetapi pengukuran tinggi
badan lansia sangat sulit dilakukan mengingat adanya beberapa lansia
mengalami masalah postur tubuh seperti adanya kifosis atau pembengkokan
tulang punggung, sehingga lansia tidak dapat berdiri tegak. Oleh karena itu
pengukuran tinggi lutut dapat dilakukan untuk memperkirakan tinggi badan
(Fatmah, 2010).
Masalah gizi Ianjut usia merupakan rangkaian proses masalah gizi sejak
usia muda yang manifestasinya terjadi pada lanjut usia. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa masalah gizi pada lanjut usia sebagian besar merupakan
masalah gizi lebih yang merupakan faktor risiko timbulnya penyakit
degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi,
gout rematik, ginjal, perlemakan hati, dan lain-lain. Namun demikian masalah
kurang gizi juga banyak terjadi pada lanjut usia seperti Kurang Energi Kronik
(KEK), anemia dan kekurangan zat gizi mikro lain (Kemenkes RI, 2012).
2. Jenis Kelamin
Secara klinis lansia perempuan lebih berisiko jatuh daripada lansia laki-
laki. Hal ini dikarenakan kekurangan estrogen pada perempuan lanjut usia
menyebabkan osteoclastogenesis menurun dan terjadi kehilangan massa

7
tulang. Kehilangan massa tulang dapat menyebabkan perubahan postur tubuh
yang mempengaruhi risiko jatuh (Susilo, Limyati, dan Gunawan, 2017).
Perempuan lebih berisiko jatuh daripada laki-laki sesuai dengan penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Prasetya, Wibawa, dan Adiputra (2014)
dengan hasil 81,3% lansia laki-laki dan 86,7% lansia perempuan mengalami
kifosis, sehingga perubahan postur ini menyebabkan lansia perempuan lebih
berisiko mengalami jatuh dari pada lansia laki-laki. Sama dengan temuan
dalam penelitian ini, lansia perempuan yang dengan risiko jatuh rendah hanya
5,6% dan ini lebih kecil dari lansia laki-laki 27,7% pada kategori yang sama.
3. Pola Makan
Pola konsumsi makan adalah kebiasaan makan yang meliputi jumlah,
frekuensi dan jenis atau macam makanan. Penentuan pola konsumsi makan
harus memperhatikan nilai gizi makanan dan kecukupan zat gizi yang
dianjurkan (Aisyah, 2016). Sedangkan menurut Kemenkes RI (2018), Pola
Konsumsi adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan
makanan rata-rata per orang per hari, yang umum dikonsumsi masyarakat
dalam jangka waktu tertentu. Pola makan yang baik mengandung makanan
pokok, lauk-pauk, buah-buahan dan sayur-sayuran serta dimakan dalam
jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan.
Pola makan yang baik dan jenis makanan yang beraneka ragam dapat
menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat
pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang, sehingga status gizi seseorang akan
lebih baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan dari penyakit.
Faktor yang mempengaruhi pola konsumsi diantaranya ketersediaan waktu,
pengaruh teman, jumlah uang yang tersedia dan faktor kesukaan serta
pengetahuan dan pendidikan gizi (Aisyah, 2016). Pada Lanjut Usia (Lansia)
memiliki kebutuhan gizi yang sama dengan anak maupun dewasa, akan tetapi
pola konsumsi berbeda dengan usia lainnya.

8
B. Lapisan Kedua (Level Meso)
1. Pelayanan Lansia
Dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 disebutkan pada
dasarnya upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang
meliputi warga lansia dilakukan atas dasar prinsip tidak membeda-
bedakan, keikutsertaan, dan berkesinambungan. Prinsip tidak membeda-
bedakan memiliki arti bahwasanya seluruh warga termasuk lansia wajib
memperoleh pelayanan kesehatan. Terkait hal itu, maka dalam Undang-
Undang Kesehatan dinyatakan bahwa usaha pemeliharaan kesehatan para
lansia dimaksudkan untuk menjaga agar para lansia secara sosial maupun
ekonomi senantiasa sehat dan produktif. Oleh karenanya, pemerintah
berkewajiban menyediakan sarana pelayanan kesehatan serta memfasilitasi
para lansia agar dapat berkembang dengan baik, sehingga tercipta lansia
yang mandiri dan produktif (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010).
Martono (2000) menyatakan bahwa prinsip holistik merupakan prinsip
utama dalam memberikan pelayanan kesehatan pada lansia, dimana prinsip
ini memiliki arti secara: (1) vertikal, yaitu pelayanan kesehatan pada lansia
harus diawali dari masyarakat sampai pada tingkat rujukan yang paling
tinggi seperti pelayanan yang sifatnya sub-spesialis geriatri di rumah sakit;
dan (2) horisontal, yaitu pelayanan kesehatan pada lansia harus menjadi
unsur dari keseluruhan pelayanan yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan lansia seperti dalam bentuk kerja sama lintas sektoral dengan
lembaga yang berhubungan dengan bidang kesejahteraan seperti dinas
sosial, agama, serta pendidikan dan kebudayaan. Selain itu, pelayanan
holistik pada lansia juga harus meliputi aspek peningkatan (promotif),
pencegahan (preventif), pengobatan (kuratif), dan pemulihan
(rehabilitatif).
Pelayanan kesehatan pada warga lansia bermula dari berbagai
kelompok lansia yang ada di masyarakat dan puskesmas santun lansia
sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar, serta pelayanan untuk rujukan
di rumah sakit. Puskesmas santun lansia lebih memprioritaskan pelayanan

9
promotif maupun preventif yang dapat dilaksanakan di luar gedung
puskesmas dengan mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat tanpa
menghilangkan pelayanan kuratif dan rehabilitatif. Selain itu, posyandu
lansia yang timbul dari aspirasi masyarakat atau yang berasal dari
puskesmas juga merupakan salah satu sarana penting di masyarakat
(Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010).
Asfriyati (2003) menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan pada lansia
yang bersifat holistik meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Upaya promotif, merupakan upaya dalam meningkatkan
semangat hidup warga lansia agar mereka merasa tetap dihargai serta
bermanfaat bagi diri mereka sendiri, keluarga, dan masyarakat. Upaya ini
dapat dilakukan dalam bentuk: penyuluhan mengenai pentingnya menjaga
kesehatan dan memelihara kebersihan diri; cara menjaga kesehatan dan
kebugaran diri melalui kegiatan kesegaran jasmani yang disesuaikan
dengan kemampuan lansia dan dilakukan secara teratur; pentingnya menu
makanan dengan gizi seimbang; cara membina mental lansia untuk
meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan YME; cara membina
keterampilan pada lansia sesuai dengan kemampuannya untuk
mengembangkan apa yang mereka sukai; cara meningkatkan aktivitas
sosial para lansia di masyarakat; pentingnya menghindarkan diri dari
kebiasaan buruk seperti kopi, alkohol, merokok, maupun aktivitas yang
dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental pada lansia; dan cara
menanggulangi masalah kesehatan yang timbul pada diri lansia sendiri
secara tepat.
Upaya preventif merupakan upaya dalam mencegah kemungkinan
timbulnya penyakit dan komplikasi yang diakibatkan oleh proses menua.
Upaya ini dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan seperti: melakukan
deteksi dini terhadap penyakit lansia dengan secara berkala dan teratur
melakukan pemeriksaan kesehatan; menjaga kesehatan dan kebugaran
lansia dengan secara teratur melakukan kesegaran jasmani sesuai dengan
kemampuannya; mengupayakan agar lansia dapat terus berkarya serta

10
berdaya guna dengan melakukan penyuluhan tentang cara menggunakan
alat bantu seperti kacamata, alat bantu dengar, dan sebagainya; mencegah
kemungkinan timbulnya kasus kecelakaan dengan melakukan penyuluhan
pada lansia; dan meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan YME dengan
melakukan pembinaan mental. Upaya kuratif merupakan upaya dalam
mengobati lansia yang sakit. Upaya ini dapat dilakukan dalam bentuk
kegiatan seperti: pemberian layanan kesehatan tingkat dasar; dan
pemberian layanan kesehatan spesifikasi lewat mekanisme rujukan. Upaya
rehabilitatif, merupakan upaya dalam memulihkan penurunan fungsi organ
pada lansia.
Upaya ini dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan seperti: pemberian
informasi, peningkatan pengetahuan, serta pelayanan dalam menggunakan
bermacam alat bantu seperti alat bantu dengar, kacamata, dan sebagainya,
sehingga lansia dapat terus berkarya serta merasa dirinya tetap berguna
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan; memperkuat mental lansia dan
pengembalian rasa percaya diri; pembinaan lansia agar mampu memenuhi
kebutuhan pribadinya, serta melakukan kegiatan di dalam dan di luar
rumah; pemberian nasihat mengenai cara hidup yang disesuaikan dengan
penyakit lansia; dan perawatan dengan fisioterapi.
Salah satu upaya pelayanan kesehatan pada lansia di masyarakat adalah
melalui puskesmas santun lansia. Aistyawati (2016) mengemukakan
bahwa puskesmas santun lansia merupakan puskesmas dengan ciri-ciri
berikut ini. Pertama, adanya pelayanan yang baik, sopan, dan berkualitas
dalam arti adanya kesabaran dalam menghadapi lansia; adanya kemauan
dan kemampuan dalam memberikan informasi secara jelas; memberikan
pelayanan kesehatan sesuai dengan prosedur yang ada; menghargai lansia
dengan melayani secara santun dan sopan.
C. Lapisan Ketiga (Level Ekso)
1. Sosial Ekonomi
Secara umum karena faktor usia, lansia akan mengalami berbagai
penurunan kondisi dan kemampuan baik secara fisik maupun psikologis.

11
Meskipun demikian, di sisi lain lansia juga dituntut untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, seperti kebutuhan makanan bergizi seimbang,
pemeriksaan kesehatan secara rutin, perawatan akibat penyakit penuaan
dan kebutuhan rekreasi. Oleh karena itu lansia juga perlu didayagunakan
untuk meningkatkan kemandirian agar dapat membantu diri dan
keluarganya sehingga tidak lagi menjadi beban bagi orang lain.
Berdasarkan data Sakernas 2015, dari total lansia di Indonesia, 46,53
persen diantaranya berstatus bekerja.
Tingginya persentase lansia yang bekerja pada dasarnya tidak hanya
mencerminkan kemampuan lansia untuk tetap bekerja, tetapi di sisi lain
juga bisa dimaknai rendahnya tingkat kesejahteraan lansia, sehingga
mereka terpaksa masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (N.N 2016b). Hal ini disebabkan peningkatan yang pesat dalam
jumlah dan proporsi penduduk lanjut usia di Indonesia, ternyata tidak
diikuti oleh peningkatan yang sama terhadap upaya-upaya jaminan sosial,
sehingga banyak lansia dengan segala keterbatasan kondisi fisiknya tetap
bekerja. Affandi (2009) mengemukakan tidak sedikit lansia yang masih
menghidupi keluarga anaknya yang tinggal bersamanya, karena hidup
dalam keluarga yang tidak mampu. Dengan kata lain tanggung jawab
sebagai kepala rumah tangga yang sangat besar dari sisi psikologis
maupun ekonomis, masih diemban oleh penduduk lansia yang seharusnya
menikmati hari tua tanpa beban berat keluarga. Wirakartakusumah dan
Anwar (1994) menyatakan ada tiga alasan yang mempengaruhi lansia
bekerja. Pertama, masih banyak lansia yang tetap kuat secara fisik dan
mental. Kedua, terjunnya lansia ke pasar kerja karena desakan ekonomi.
Ketiga, alasan yang lebih didasarkan pada motif aktualisasi diri atau
emosi. Pernyataan ini juga didukung oleh beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa keterlibatan lansia dipengaruhi oleh berbagai faktor
sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi tersebut mencakup pendidikan,
pendapatan keluarga, status dalam keluarga jumlah tanggungan, kesehatan

12
(Affandi 2009, Susilawati et al. 2014, Fitri & Basri 2012, Kartika &
Sudibia 2014).
2. Sanitasi Lingkungan
Kualitas Fisik dan Lingkungan suatu wilayah permukiman perlu
diketahui karena memiliki peranan penting pada suatu permukiman, karena
suatu wilayah yang memiliki kualitas fisik dan lingkungan yang baik akan
berpengaruh terhadap berbagai macam aspek yang lain dalam wilayah
tersebut, demikian pula sebaliknya, kualitas fisik seperti keadaan
infrastruktur dan perangkat utilitas yang buruk dalam suatu wilayah dapat
pula berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat khususnya para
lansia. Pola sosial dari penduduk lansia juga perlu diketahui dalam rangka
untuk mengantisipasi perencanaan perumahan masa mendatang yang
berorientasi kepada pembangunan yang dalam hal ini adalah pembangunan
yang mempertimbangkan aspek keluarga dan sosial masyarakat. Dengan
demikian sebuah perumahan yang dibangun sudah mengantisipasi
kebutuhan dalam proses kehidupan manusia dari muda hingga lanjut usia.
Dipandang dari sudut sosial, lansia dengan personal hygiene yang baik
lebih dapat diterima di masyarakat dibandingkan dengan lansia yang
memiliki personal hygiene yang kurang baik. Lansia dengan personal
hygiene yang baikpun menurunkan resiko untuk terjadi penyakit infeksi.
Kebutuhan akan personal hygiene harus menjadi prioritas utama bagi
lansia, karena dengan personal hygiene yang baik maka lansia memiliki
resiko yang rendah untuk mengalami penyakit infeksi (Gateaway, 2013).
Sanitasi lingkungan merupakan upaya yang dilakukan seseorang atau
masyarakat untuk mengendalikan faktor eksternal lingkungan yang dapat
membahayakan kesehatan dan mengancam kehidupan manusia. Usaha
yang bisa dilakukan antara lain penyediaan air bersih, mencegah terjadinya
pencemaran udara, air dan tanah serta memutus rantai penularan suatu
3. Akses Pelayanan Kesehatan
Lansia adalah salah satu kelompok rentan yang memiliki angka
ketergantungan sangat tinggi. Kondisi ini berpotensi menimbulkan

13
masalah lain bagi yang merawat atau keluarganya. Lansia juga berpotensi
menderita penyakit katastropik yang menimbulkan konsekuensi biaya
yang mahal. Penelitian ini merupakan analisis lanjut data Riskesdas 2013,
yang disajikan secara deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lansia yang tinggal di perkotaan maupun perdesaan mempunyai
kecenderungan hambatan akses sedang untuk ke Puskesmas. Masih ada
15% lansia sangat miskin yang memiliki hambatan besar ke Puskesmas.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa meski akses lansia ke Puskesmas
sudah cukup baik, tetapi akses lansia yang sangat miskin masih perlu
mendapat perhatian lebih. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas
pelayanan kesehatan dasar di wilayah perdesaan yang lebih banyak.
Pemerintah juga perlu mewujudkan sebuah Jaminan Kesehatan Nasional
dengan pendanaan berbasis pajak, untuk memastikan cakupan secara
universal dengan tanpa menghiraukan kemampuan membayar masyarakat.
4. Pemanfaatan Posyandu Lansia
Peran merupakan suatu konsep atau fungsi yang berkaitan dengan
kedudukan seseorang maupun organisasi yang mempunyai tugas sebagai
suatu kewajiban guna mencapai tujuan tertentu. Tentunya tiap peran
mempunyai tugas, kewajiban dan tujuan akhir masing-masing. Konsep
Peran (Soekanto, 2009:212-213) adalah proses dinamis kedudukan
(status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peran. Perbedaan antara
kedudukan dengan peran adalah kepentingan suatu ilmu pengetahuan.
Keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling berhubungan satu sama
lain. Peran posyandu lansia yaitu, sebagai mitra pemerintah, sebagai
Sebagai fasilitas khusus bagi lansia, sebagai penyokong pemenuhuan
kebutuhan lansia, sebagai sarana rekreasi/hiburan. Sebagai mitra
pemerintah posyandu lansia merupakan perwujudan pelaksanaan program
pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan kesehatan
bagi lansia, sebagai suatu forum komunikasi dalam bentuk peran serta
masyarakat usia lanjut, keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial

14
dalam penyelenggaraannya, dalam upaya peningkatan tingkat kesehatan
secara optimal.
Sebagai fasilitas khusus lansia. Tidak sedikit masalah yang
berkaitan dengan lansia seperti lansia terlantar, tidak adanya jaminan
untuk hari tua, dll adalah contoh dari kondisi kesejahteraan sosial lansia
yang masih rendah. Banyak orang yang memandang lansia hanya dari
ketidakmampuannya sehingga membuat lansia kehilangan semangat untuk
mencapai kesejahteraannya sendiri sehingga membutuhkan bantuan dari
pihak lain. Bantuan tersebut khusus diberikan untuk kaum lansia seperti
halnya posyandu lansia. semua pelayanan dan kegiatan merupakan
fasilitas yang diberikan untuk mencapai indikator kesejahteraan. Fasilitas
yang diperuntukkan untuk lansia tidak hanya berhubungan untuk
kesehatan fisik saja, namun di Posyandu Lansia Sejatera mendapatkan
fasilitas untuk berekreasi tanpa harus pergi jauh, serta dapat melakukan
aktualisasi diri, bersosialisasi tanpa khawatir terpinggirkan karena semua
peserta yang ikut kegiatan adalah teman sebaya. Sebagai penyokong
pemenuhan kebutuhan lansia. Diperlukan pelayanan yang dapat membantu
dan menyokong lansia dalam upaya pemenuhan kebutuhannya seperti
posyandu lansia.
Posyandu lansia merupakan wahana pelayanan bagi kaum usia
lanjut, yang dilakukan dari, oleh, dan untuk kaum usia lanjut yang
menitikberatkan pada pelayanan promotif dan preventif, tanpa
mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. (Notoatmodjo, 2007:290).
penyakit yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Chandra, 2012).
D. Lapisan Keempat (Level Makro)
1. Sosial Budaya
Sosial budaya melahirkan sistemsistem medis, tingkahlaku, bentuk-
bentuk kepercayaan yang berdasarkan budaya, yang timbul sebagai respon
terhadap ancaman-ancaman yang disebabkan oleh penyakit. Sistem medis
ini umumnya hanya berkembang pada daerah tertentu atau secara local.
Umumnya pengobatan ini dilakukan oleh seorang dukun, dengan

15
menggunakan diagnose terhadap pasien guna menentukan pengobatan
yang tepat, diagnose dilakukan dengan kombinasi metode petungan
(numerology), meditasi serta analisa.
Obat yang diberikan juga tidak berbeda-beda pada setiap daerah, namun
pada umumnya adalah berupa ramuan dari tumbuh-tumbuhan atau
biasanya jika orang Jawa menyebutnya dengan sebutan Jamu, serta
adapula pengobatan mekanis dengan memijat, menggosok-gosok kulit,
memulihkan letak tulang, dengan disertai mantra. Pada masyarakat
Trobrian menurut Malinowski, mantra merupakan bagian yang paling
essensial, sementara pada masyarakat Jawa menurut Geerts justru aspek
keadaan pemberi obat dianggap sebagai elemen yang essensial
(Joyomartono, 2010). Salah satu faktor yang menentukan kondisi
kesehatan masyarakat adalah perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri.
Dimana proses terbentuknya perilaku ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila faktor tersebut telah
tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masayarakat
ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut
sulit untuk dilakukan. Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu
masalah kesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai
budaya dasar dan budaya suatu daerah (Shadine, 2010).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
Halimsetiono, Elita. 2021. “Pelayanan Kesehatan Pada Warga Lanjut Usia.” KELUWIH: Jurnal
Kesehatan Dan Kedokteran 3(1):64–70. doi: 10.24123/kesdok.v3i1.4067.
Handayani, Eka Yuli. 2014. “Yuli, Eka Handayani.” Jurnal Maternity and Neonatal 1(5):200–
206.

16
Junaidi, Junaidi, Erfit Erfit, and Purwaka Hari Prihanto. 2017. “Faktor-Faktor Sosial Ekonomi
Yang Mempengaruhi Keterlibatan Penduduk Lanjut Usia Dalam Pasar Kerja Di Provinsi
Jambi.” Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik 30(2):197. doi:
10.20473/mkp.v30i22017.197-205.
Nugroho, Muhammad Bagus. 2013. “Pola Konsumsi Pada Lansia Pola.” Journal of Chemical
Information and Modeling 53(9):1689–99.
Sihombing, Ferdinan, and Tasya Kurniasari Athuhema. 2017. “Hubungan Antara Usia Dan Jenis
Kelamin Lansia Dengan Risiko Jatuhdi Pstw Unit Abiyoso Yogyakarta.” STIKes Santo
Borromeus 82–86.
Syahbana, Arief Fikri. 2020. “Hubungan Sosial Budaya Keluarga Dengan Perilaku Perawatan
Hipertensi Pada Lansia Di Posyandu Pelita Husada Minggir Sleman Yogyakarta.”

17

Anda mungkin juga menyukai