Anda di halaman 1dari 31

10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lanjut Usia (Lansia)

2.1.1. Proses Menua

Menua adalah suatu proses menghilangnya kemampuan secara perlahan–lahan

untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi

normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan

yang diderita. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya

daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dalam maupun luar tubuh.

Walaupun demikian memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering

terjadi pada kaum lansia.

Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki

tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan

terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan (Nugroho,

2008).

Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari

suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua

merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan

yaitu anak, dewasa, dan tua. Memasuki usia tua berarti mengalami perubahan atau

kemunduran, seperti kemunduran fisiologis, fisik dan psikologis. Kemunduran fisik

yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong,

10
11

pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk dan gerakan lamban.

(Budianto, 2009).

Manusia yang mulai menjadi tua secara alamiah akan mengalami berbagai

perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya. Terdapat tiga

aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut usia

menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (2012) yaitu

aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut usia

adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni

ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap

serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya

perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau

secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada

sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak

lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa

kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga

dan masyarakat.

2.1.2. Pengertian dan Batasan Lanjut Usia

Menurut ilmu Gerontologi, lanjut usia bukanlah suatu penyakit, melainkan

suatu masa atau tahap hidup manusia yang merupakan kelanjutan dari usia dewasa

dan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu

yang mencapai usia lanjut tersebut (Nugroho, 2008). Beberapa pendapat tentang

batasan umur lanjut usia yaitu:


12

1. Menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia

pasal 1 ayat 2 adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Lansia

adalah seseorang yang telah mencapai umur 60 tahun ke atas yang karena

mengalami penuaan berakibat menimbulkan berbagai masalah kesejahteraan di

hari tua, kecuali bila sebelum umur tersebut proses menua itu terjadi lebih awal,

dilihat dari kondisi fisik, mental dan sosial.

2. Menurut Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, lansia adalah seseorang

yang usianya 60 tahun keatas dan mengalami perubahan biologis, fisik, dan sosial.

3. Menurut Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Fatmah (2010) batasan lansia

antara lain :

a. Virilitas (prasenium), yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan

kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)

b. Usia lanjut dini (senescen), yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia

lanjut dini (usia 60-64 tahun)

c. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif, yaitu

usia di atas 65 tahun.

4. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut usia meliputi:

a. Usia pertengahan (Middle Age) adalah orang yang berusia 45-59 tahun

b. Usia Lanjut (Elderly) adalah orang yang berusia 60-74 tahun

c. Usia Lanjut Tua (Old) adalah orang yang berusia 75-90 tahun

d. Usia Sangat Tua (Very Old) adalah orang yang berusia > 90 tahun
13

2.2. Pos Pelayanan Terpadu Lansia (Posyandu Lansia)

2.2.1. Pengertian Posyandu Lansia

Menurut Depkes RI, (2005) bahwa pos pelayanan kesehatan terpadu

(posyandu) lansia adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan terhadap

lansia di tingkat desa/kelurahan dalam wilayah kerja masing- masing puskesmas.

Keterpaduan dalam posyandu lansia berupa keterpaduan pada pelayanan yang dilatar

belakangi oleh kriteria lansia yang memiliki berbagai macam penyakit. Dasar

pembentukan posyandu adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

terutama lansia. Posyandu lansia merupakan wahana pelayanan bagi kaum lansia

yang dilakukan dari, oleh, dan untuk lansia yang menitikberatkan pada upaya

promotif dan preventif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif

(Notoatmodjo, 2007).

Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber daya

Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk

masyarakat guna memberdayakan masyarakat dengan menitikberatkan pelayanan

pada upaya promotif dan preventif. Pemberdayaan masyarakat dalam

menumbuhkembangkan posyandu lansia merupakan upaya fasilitas agar masyarakat

mengenal masalah yang dihadapi, merencanakan dan melakukan upaya

pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat sesuai situasi, kondisi

kebutuhan setempat (Depkes RI, 2004).


14

2.2.2. Tujuan Posyandu Lansia

Tujuan umum pembentukan posyandu lansia menurut Departemen Kesehatan

RI (2010) adalah meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk

mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan

masyarakat sesuai dengan keberadaannya. Tujuan khusus pembentukan posyandu

lansia yaitu:

a. Meningkatkan kesadaran lansia untuk membina sendiri kesehatannya.

b. Meningkatkan kemampuan dan peran serta keluarga dan masyarakat dalam

menghayati kesehatan lansia.

c. Meningkatkan jenis dan jangkauan pelayanan kesehatan lansia.

d. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan lansia.

Menurut Azizah (2011) tujuan pembentukan dan pelayanan posyandu lansia

adalah :

a. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga

terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia

b. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta

dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara

masyarakat lansia.

c. Meningkatkan kesadaran pada lansia untuk mengenali masalah kesehatan dirinya

sendiri dan bertindak untuk mengatasi masalah tersebut terbatas kemampuan yang

ada dan meminta pertolongan keluarga atau petugas jika diperlukan.

d. Meningkatkan mutu derajat kesehatan lansia


15

e. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku positif dari lansia

2.2.3. Sasaran Posyandu Lansia

Menurut Departemen Kesehatan RI (2010), sasaran pelaksanaan pembinaan

kelompok lansia terbagi menjadi dua yaitu:

a. Sasaran Langsung

1) Kelompok Pra lansia (45–59 tahun)

2) Kelompo Lansia (60–69 tahun)

3) Kelompok Lansia dengan resiko tinggi (70 tahun ke atas)

b. Sasaran Tidak Langsung

1) Keluarga lansia

2) Masyarakat dilingkungan lansia

3) Organisasi sosial yang perduli terhadap pembinaan kesehatan lansia

4) Petugas kesehatan yang melayani kesehatan lansia

5) Petugas lain yang menangani kelompok lansia

2.2.4. Kegiatan Posyandu Lansia

Kegiatan posyandu lansia meliputi kegiatan pelayanan kesehatan dan kegiatan

lain yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup lansia. Bentuk pelayanan pada

posyandu lansia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional, yang

dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal

penyakit yang diderita atau ancaman masalah kesehatan yang dialami lansia.

Beberapa kegiatan pada posyandu lansia menurut Departemen Kesehatan RI

(2010) adalah :
16

a. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam

kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat

tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.

b. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental emosional

dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua ) menit

c. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi

badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).

d. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta

penghitungan denyut nadi selama satu menit.

e. Pemeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau cuprisulfat

f. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit gula

(diabetes mellitus)

g. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi awal

adanya penyakit ginjal.

h. Pelaksanaan rujukan ke puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan

kelainan pada pemeriksaan butir-butir diatas.

i. Penyuluhan Kesehatan, biasa dilakukan didalam atau diluar kelompok dalam

rangka kunjungan rumah dan konseling kesehatan dan gizi sesuai dengan masalah

kesehatan yang dihadapi oleh individu dan kelompok usia lanjut.

j. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi kelompok usia lanjut yang tidak

datang, dalam rangka kegiatan perawatan kesehatan masyarakat.


17

h. Selain itu banyak juga posyandu lansia yang mengadakan kegiatan tambahan

seperti senam lansia, pengajian, membuat kerajinan ataupun kegiatan silaturahmi

antar lansia. Kegiatan seperti ini tergantung dari kreasi kader posyandu yang

bertujuan untuk membuat lansia beraktivitas kembali dan berdisiplin diri.

Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan kesehatan terutama

dalam menunjang status gizi lansia dan pencegahan penyakit, dilakukan melalui

pemantauan keadaan kesehatan para lansia secara berkala dengan menggunakan

Kartu Menuju Sehat (KMS) lansia,dengan harapan gangguan kesehatan lansia dapat

dideteksi lebih dini untuk mendapatkan pertolongan secara cepat, tepat dan memadai

sesuai dengan keinginan yang diperlukan (Depkes RI, 2003).

2.2.5. Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia

Menurut Departemen Kesehatan RI (2003), dalam memberikan pelayanan

kesehatan terhadap lansia di kelompok, mekanisme pelayanan yang sebaiknya

digunakan adalah sistem 5 tahapan (lima meja) sebagai berikut:

1. Meja 1 : Pendaftaran

Mendaftarkan lansia, kader mencatat lansia tersebut, kemudian peserta yang sudah

terdaftar dibuku register langsung menuju meja selanjutnya.

2. Meja 2 : Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah

Kader melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah lansia.

3. Meja 3 : Pencatatan (Pengisian Kartu Menuju Sehat)

Kader melakukan pencatatan di KMS lansia meliputi: Indeks Masa Tubuh,

tekanan darah, berat badan dan tinggi badan lansia.


18

4. Meja 4 : Penyuluhan

Penyuluhan kesehatan perorangan berdasarkan KMS dari pemberian makanan

tambahan.

5. Meja 5 : Pelayanan medis

Pelayanan oleh tenaga professional yaitu petugas puskesmas/kesehatan meliputi

kegiatan: pemeriksaan dan pengobatan ringan.

2.2.6. Strata Kegiatan Posyandu Lansia

Posyandu lansia dapat digolongkan menjadi 4 tingkatan, penentuan tingkat

perkembangan kelompok usia lanjut didasarkan indikator terendah yang terdiri dari

Pratama, Madya, Purnama, Mandiri (Depkes RI, 2003).

1. Posyandu Pratama adalah posyandu yang masih belum mantap. Kegiatan yang

terbatas dan tidak rutin setiap bulan dengan frekuensi < 8 kali. Jumlah kader aktif

terbatas serta masih memerlukan dukungan dana dari pemerintah.

2. Posyandu Madya adalah posyandu yang telah berkembang dan pada tingkat ini

dapat melaksanakan kegiatan hamper setiap bualn ( paling sedikit 8 kali setahun),

jumlah kader aktif lebih dari tiga akan tetapi cakupan program utamanya masih

rendah yaitu kurang dari 50% serta masih memerlukan dana dari pemerintah.

3. Posyandu Purnama adalah posyandu yang sudah mantap dan melaksanakan

kegiatan secara lengkap paling sedikit 10 kali setahun, dengan beberapa kegiatan

tambahan di luar kesehatan dan cakupan lebih tinggi (> 60%).

4. Posyandu Mandiri adalah posyandu Purnama dengan kegiatan tambahan yang

beragam dan telah mampu membiayai kegiatannya dengan dana sendiri.


19

2.3. Perilaku dan Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

2.3.1. Konsep Perilaku

Skiner (1938) seorang ahli psikologi, dalam Notoatmodjo (2012) merumuskan

bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar). Selanjutnya teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respon,

yaitu:

a. Responden Respons atau Refleksi yakni respon yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan tertentu yang disebut electing stimuli karena

menimbulkan respon yang relative tetap.

b. Operant respon atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh rangsangan yang lain.

2.3.2. Bentuk Perilaku

Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu :

a. Perilaku tertutup (covert behavior) yaitu respon seseorang terhadap stimulus dalam

bentuk terselubung, masih terbatas pada persepsi, kesadaran, perhatian yang

terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati

secara jelas oleh orang lain.

b. Perilaku terbuka (overt behavior) adalah bentuk tindakan atau praktek yang mudah

diamati dan dilihat oleh orang lain.

Empat unsur pokok perilaku kesehatan menurut Skiner dalam Notoatmodjo

(2007) meliputi :

a. Perilaku seseorang terhadap sakit atau penyakit


20

Perilaku bagaimana seseorang mengetahui, bersikap dan mempersepsikan

penyakit dan rasa sakit pada dirinya maupun tindakan aktif sehubungan dengan

penyakit dan sakit tersebut yaitu perilaku sehubungan dengan peningkatan dan

pemeliharaan kesehatan, perilaku pencegahan penyakit, perilaku sehubungan

dengan pencarian pengobatan, perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan.

b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan

Perilaku berupa respon terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, cara pelayanan,

petugas kesehatan, dan obat-obatannya yang terwujud dalam pengetahuan,

persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan.

c. Perilaku terhadap makanan

Perilaku respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi

kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita

terhadap makanan serta unsure-unsur yang ada di dalamnya.

d. Perilaku terhadap lingkungan

Respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.

2.3.3. Faktor yang Memengaruhi Perilaku

Faktor-faktor yang memegang peranan di dalam pembentukan perilaku dapat

dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2012), yakni faktor intern berupa kecerdasan,

persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh

dari luar, dan faktor ekstern, meliputi objek, orang, kelompok, dan hasil-hasil

kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Kedua

faktor tersebut akan dapat terpadu menjadi perilaku yang selaras dengan
21

lingkungannya apabila perilaku yang terbentuk dapat diterima oleh lingkungannya,

dan dapat diterima oleh individu yang bersangkutan.

Teori lain yang telah mencoba mengungkap determinan perilaku yang

berhubungan dengan kesehatan adalah teori Lawrence Green (1980) dalam buku

Notoatmodjo (2012) dan Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku dibentuk dari tiga

faktor yaitu :

a. Faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor predisposisi merupakan faktok-faktor yang mempermudah terjadinya

perilaku seseorang yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-

nilai, persepsi

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors) yaitu factor-faktor yang

memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-

sarana kesehatan.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu factor-faktor yang mendorong

atau memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud dalam sikap dan perilaku

petugas kesehatan, perilaku masyarakat, keluarga dan tokoh masyarakat.

Menurut teori Bloom (1908), yang dijabarkan Notoatmodjo (2012), membagi

perilaku manusia ke dalam tiga kawasan (domain), yakni kognitif (cognitive), afektif

(affective), dan psikomotor (psychomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini

dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni :


22

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan (sebagian besar diperoleh dari indra mata dan telinga) terhadap objek

tertentu. Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan dominan yang paling

penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan pengetahuan

dapat diukur dengan melakukan wawancara. Perilaku yang didasari dengan

pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak

didasari ilmu pengetahuan dan kesadaran. Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan

yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)

sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang

telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang

paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa saja yang

dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan

sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek

yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang

yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
23

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek

yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan

sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis diartikan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek

terhadap komponen-komponennya tetapi masih dalam suatu struktur organisasi

dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari

penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di

dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu

kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)\

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada

satu criteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah

ada. Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang


24

menyatakan tentang isi materi yang diukur dari objek penelitian. Kedalaman

penegtahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat kita sesuaikan dengan

tingkatan tersebut di atas (Notoatmodjo, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain :

a. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain

agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi

pendidikan seseorang semakin mudah pula bagi mereka untuk menerima

informasi dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki.

b. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan

pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

c. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik

dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologis ini, taraf berpikir

seseorang semakin matang dan dewasa.

d. Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap

sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan

pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang dalam.


25

e. Pengalaman

Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam

berinteraksi dengan lingkungannya.

f. Kebudayaan lingkungan sekitar

Kebudayaan lingkungan sekitar diartikan sebagai kebudayaan dimana kita hidup

dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita.

g. Informasi

Informasi merupakan kemudahan untuk memperoleh suatu informasi sehingga

dapat membantu mempercepat seseoarang untuk memperoleh pengetahuan yang

baru.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap stimulus atau objek. Notoatmodjo (2012) dalam bukunya membagi sikap

menjadi empat tingkatan, yaitu :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang

diberikan (obyek).

b. Merespon (responding)

Merespon diartikan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap ini karena

dengan usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang


26

diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, adalah bahwa orang menerima

ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ini.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab diartikan berkaitan atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi dalam tingkatan

sikap.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden

terhadap suatu obyek.

Menurut Ahmadi dalam Notoatmodjo (2007), fungsi (tugas) sikap dibagi

empat golongan, yaitu :

a. Sebagai alat menyesuaikan diri

Sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable yang artinya sesuatu yang

mudah menjalar, sehingga mudah menjadi milik bersama. Sikap bisa menjadi

rantai penghubung antara orang atau kelompoknya atau dengan anggota

kelompok lain.

b. Sebagai alat pengatur tingkah laku


27

Pertimbangan antara pendorng dan reaksi pada orang dewasa. Pada umumnya

tidak diberi dorongan secara spontan, tetapi adanya proses secara sadar untuk

menilai dorongan tersebut.

c. Sebagai alat pengatur pengalaman

Manusia didalam menerima pengalaman-pengalaman dari luar sikapnya tidak

pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua yang berasal dari luar tidak

semuanya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana yang perlu

dilayani dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman diberin

nilai lalu dipilih.

d. Sebagai pernyataan kepribadian

Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang. Ini disebabkan karena sikap

tidak pernah terpisah pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu, dengan

melihat sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi

objek tersebut.

3. Praktik atau tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behavior). Agar terwujud sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor

pendukung berupa faslitas dan dukungan dari pihak lain.

Praktik/tindakan mempunyai beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2012),

yaitu :
28

a. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan

diambil.

b. Respon terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh

adalah indicator praktik tingkat kedua.

c. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau

sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencaapai praktik tingkat

ketiga.

d. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran

tindakannya tersebut.

2.3.4. Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia

Menurut Departemen Kesehatan RI, (2005), yang mempengaruhi rendahnya

pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:

1. Jarak yang jauh (faktor geografi)

2. Tidak tahu adanya suatu kemampuan fasilitas (faktor informasi)

3. Biaya yang tidak terjangkau (faktor ekonomi)

4. Tradisi yang menghambat pemanfaatan fasilitas (faktor budaya)


29

Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012) menganalisis perilaku

manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi

oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar

perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau

terbentuk dari 3 faktor yaitu :

1. Faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor predisposisi merupakan faktok-faktor yang mempermudah terjadinya

perilaku seseorang yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai,

persepsi yang berhubungan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk

bertindak. Secara umum faktor predisposisi adalah preferensi individu atau kelompok

dalam berperilaku. Faktor predisposisi yang lain adalah faktor demografi seperti status

sosial ekonomi, usia, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga.

a. Faktor demografi

Umur adalah masa hidup seseorang dalam tahun dengan pembulatan ke bawah

atau umur pada waktu ulang tahun yang terakhir. Dengan bertambahnya umur

seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis. Dari hasil

penelitian Fitriasih (2010) tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan di Posyandu

Lansia Puskesmas Semuli Raya Kabupaten Lampung Utara diperoleh bahwa yang

lebih banyak memanfaatkan posyandu lansia adalah lansia yang berumur 60-68

tahun.

Jenis kelamin adalah perbedaan seks yang didapat sejak lahir yang dibedakan

antara laki-laki dan perempuan. Menurut Lestari (2005) dengan p=0,001 dan
30

Fitriasih (2010) dengan p=0,021 dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan di

posyandu lansia diperoleh bahwa jumlah lansia perempuan lebih banyak

memanfaatkan posyandu laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan

antara jenis kelamin dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di posyandu lansia.

b. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan

peraba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan yang rendah tentang manfaat posyandu lansia dapat menjadi kendala

bagi lansia dalam mengikuti kegiatan posyandu lansia. Pengetahuan yang salah

tentang tujuan dan manfaat posyandu dapat menimbulkan salah persepsi yang

akhirnya kunjungan ke posyandu rendah (Purnama, 2010). Pengetahuan lansia

akan manfaat posyandu ini dapat diperoleh dari pengalaman pribadi dalam

kehidupan sehari-harinya. Dengan menghadiri kegiatan posyandu, lansia akan

mendapatkan penyuluhan tentang bagaimana cara hidup sehat dengan segala

keterbatasan atau masalah kesehatan yang melekat pada mereka. Dengan

pengalaman ini, pengetahuan lansia menjadi meningkat, yang menjadi dasar

pembentukan sikap dan dapat mendorong minat atau motivasi mereka untuk

selalu mengikuti kegiatan posyandu lansia.


31

Menurut Lestari (2005) dan Mulyadi (2008) dalam penelitiannya menyatakan

bahwa ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan pemanfaatan

posyandu lansia. Penelitian Ariyani (2011) juga menunjukkan secara statistik

adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pemanfaatan

posyandu lansia. Selain itu Andayani (2010) dalam penelitiannya juga

mengatakan bahwa responden yang memiliki pengetahuan yang baik tentang

posyandu lansia berpeluang 2,78 kali untuk memanfaatkan pelayanan posyandu

lansia secara optimal dibandingkan yang berpengetahuan rendah.

c. Pekerjaan

Pekerjaan adalah jenis kegiatan yang menggunakan waktu terbanyak atau yang

memberikan penghasilan terbesar. Sedangkan menurut Arikunto (2002) pekerjaan

adalah aktivitas yang dilakukan seseorang setiap hari dalam kehidupan untuk

memenuhi kebutuhan hidup. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang

memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak

lansung.

Hasil penelitian Lestari (2005) dan Murniati (2004) menyatakan bahwa ada

hubungan bermakna antara pekerjaan dengan keaktifan dalam memanfaatkan

posyandu lansia.

d. Keyakinan/kepercayaan

Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosio-psikologis. Kepercayaan

di sini tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang gaib, tetapi hanyalah

keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah. Kepercayaan sering dapat bersifat
32

rasional atau irasional. Kepercayaan yang rasional apabila kepercayaan orang

terhadap sesuatu tersebut masuk diakal. Kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan,

kebutuhan, dan kepentingan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang percaya kepada

sesuatu dapat disebabkan karena ia mempunyai pengetahuan tentang itu

(Notoatmodjo, 2010).

e. Value/Nilai

Nilai yang dianut seseorang berhubungan dengan pilihan perilakunya. Misalnya

alasan mengapa seseorang merokok atau tidak merokok. Konflik mengenai nilai

yang berkaitan dengan kesehatan menjadi tantangan bagi praktisi pendidikan

kesehatan.

f. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap

suatu stimulus atau objek, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang

bersangkutan (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Lestari (2005) di Puskesmas Kemiri Muka Depok ada hubungan

bermakna antara sikap dengan pemanfaatan posyandu lansia. mengatakan bahwa

adanya hubungan antara sikap terhadap posyandu lansia dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan di posyandu lansia dan menurut penelitian Zarniyeti (2010)

memperoleh bahwa adanya hubungan antara sikap dengan pemanfaatan posyandu

lansia di wilayah kota Pariaman. Selain itu penelitian Ariyani (2011) juga

menunjukkan secara statistik adanya hubungan yang bermakana antara sikap

dengan pemanfaatan posyandu lansia di Puskesmas Bambanglipuro Yogyakarta.


33

2. Faktor pendukung/pemungkin (enabling factor)

Faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi

perilaku atau tindakan kesehatan (Green, 1980). Sumber daya dapat berupa fasilitas

pelayanan kesehatan seperti posyandu, puskesmas, rumah sakit, keterjangkauan

sumberdaya, biaya, jarak, ketersediaan transportasi, jam buka pelayanan dan

sebagainya. Keterampilan disini merupakan kemampuan untuk melakukan tugas yang

merupakan perilaku yang diharapkan.

a. Sarana

Untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan di posyandu lansia, dibutuhkan sarana

dan prasarana penunjang, yaitu tempat kegiatan (gedung, ruangan atau tempat

terbuka), meja dan kursi, alat tulis, buku pencatatan kegiatan, timbangan dewasa,

meteran pengukuran tinggi badan, stetoskop, tensimeter, peralatan laboratorium

sederhana, thermometer, dan Kartu Menuju Sehat (KMS) lansia (Ismawati, 2010)

b. Jarak

Menurut Anderson dan Mc.Farlen dalam Susanti (2009) jarak merupakan

penghalang yang meningkatkan kecenderungan penundaan upaya seseorang atau

masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan.

Menurut Setyowati, Lubis dan Agustina (2003) dalam Syafriadi Kusnanto dan

Lazuardi (2008) faktor keterpencilan, sulit, dan mahalnya transportasi merupakan

hambatan untuk menjangkau Puskesmas sehingga kunjungan masyarakat yang

bertempat tinggal lebih dekat dari puskesmas lebih banyak jika dibanding dengan

masyarakat yang jaraknya jauh. Begitupun menurut Mills dan Gillson (1990)
34

dalam Kusnanto dan Saimi (2006) sulitnya pelayanan kesehatan dicapai secara

fisik banyak menuntut pengorbanan sehingga akan menurunkan permintaan. Jarak

posyandu yang dekat akan membuat lansia mudah menjangkau posyandu tanpa

harus mengalami kelelahan atau kecelakaan fisik karena penurunan daya tahan

atau kekuatan fisik tubuh. Penelitian yang dilakukan Sutanto (2006) dan

Henniwati (2008) membuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

jarak tempuh dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di posyandu lansia.

Penelitian yang dilakukan oleh Ariyani (2011) menunjukkan ada hubungan yang

bermakna antara jarak tempuh posyandu lansia dengan pemanfaatan posyandu

lansia dimana para lansia lebih cenderung 2,47 kali memanfaatkan posyandu

lansia dibandingkan dengan lansia yang mempunyai jarak rumah yang jauh

(p=0,012 dan OR=2,47) dan begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh

Andayani (2010) dengan p=0,008 dengan OR 8,143 terlihat adanya hubungan

bermakna jarak tempuh dengan pemanfaatan posyandu lansia.

c. Transportasi

Menurut Sutanto (2006) bahwa ada hubungan bermakna antara jenis transportasi

yang digunakan terhadap pemanfaatan posyandu lansia.

3. Faktor pendorong (reinforcing factor)

Faktor pendorong adalah semua faktor yang mendorong atau memperkuat

terjadinya perilaku kesehatan (Green, 1980). Reinforcement dapat berasal dari

keluarga, teman sebaya, petugas kesehatan, atau dapat juga orang atau kelompok

yang berpengaruh yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.


35

a. Peran petugas kesehatan

Subarniati (1999) mendefinisikan masyarakat akan memanfaatkan pelayanan

tergantung pada penilaian tentang pelayanan tersebut. Jika pelayanan kurang baik

atau kurang berkualitas, maka kecenderungan untuk tidak memanfaatkannyapun

akan semakin besar. Persepsi tentang pelayanan selalu dikaitkan dengan kepuasan

dan harapan pengguna layanan. Konsumen mengatakan mutu pelayanan baik jika

harapan dan keinginan sesuai dengan pengalaman yang diterimanya.

Penilaian pribadi atau persepsi yang baik terhadap petugas merupakan dasar atas

kesiapan atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan

persepsi yang baik tersebut, lansia cenderung untuk selalu hadir atau mengikuti

kegiatan yang diadakan di posyandu lansia. Hal ini dapat dipahami karena

persepsi seseorang adalah suatu cermin kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu

obyek. Kesiapan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan

cara-cara tertentu apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki

adanya suatu respons.

Menurut Sutanto (2006) diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara persepsi terhadap petugas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan

kesehatan di posyandu lansia. Dari hasil penelitian Andayani (2010) menemukan

bahwa 100% responden mendapat dukungan dari petugas kesehatan untuk

datang ke posyandu lansia. Pelayanan kader dan petugas kesehatan yang baik

terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi keaktifan lansia ke posyandu lansia.

Sejalan dengan penelitian Ariyani (2011) menyatakan dukungan petugas


36

kesehatan mempunyai kecenderungan 29,33 kali untuk memanfaatkan posyandu

lansia dibandingkan dengan yang menyatakan tidak ada dukungan petugas

kesehatan, ada hubungan peran petugas dengan pemanfaatan posyandu lansia.

b. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau kesediaan

lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Keluarga bisa menjadi motivator kuat

bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau mengantar

lansia ke posyandu, mengingatkan lansia jika lupa jadwal posyandu, dan

berusaha membantu mengatasi segala permasalahan bersama lansia (Erfandi,

2008).

Efek dari dukungan keluarga yang adekuat terhadap kesehatan dan kesejahteraan

terbukti dapat menurunkan mortalitas, mempercepat penyembuhan dari sakit,

meningkatkan kesehatan kognitif, fisik dan emosi, disamping itu pengaruh

positif dari dukungan keluarga adalah pada penyesuaian terhadap kejadian dalam

kehidupan sehari-hari yang penuh dengan stress (Setiadi, 2008).

Friedman (2005) menyatakan pemberian dukungan keluarga diantaranya

dukungan instrumental. Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk

mempermudah lansia datang ke Posyandu termasuk didalamnya pemberian

peluang waktu.

Kurang adekuatnya dukungan keluarga terhadap lansia membuat keluarga tidak

memperhatikan lansia untuk berkunjung ke Posyandu, mengingatkan jadwal

Posyandu, maupun mengantar ke Posyandu yang disebabkan jarak rumah dengan


37

posyandu yang jauh, sehingga menyebabkan responden cenderung tidak aktif

mengikuti kegiatan Posyandu lansia.

Sutanto (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan yang

bermakna antara dukungan yang diperoleh dari keluarga dengan pemanfaatan

pelayanan di posyandu lansia dan Ariyani (2011) menyatakan secara statistic ada

hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan

posyandu lansia di Puskesmas Bambanglipuro Yogyakarta dan penelitian Lestari

(2005) menunjukkan adanya hubungan dukungan keluarga dengan pemanfaatan

posyandu lansia. Sedangkan menurut penelitian Andayani (2010) dikatakan

bahwa tidak terdapat adanya hubungan antara dukungan keluarga dan

pemanfaatan pelayanan posyandu lansia.

c. Dukungan teman sebaya

Hasil penelitian Andayani (2010) memperoleh bahwa responden yang mendapat

dukungan dari teman sebaya lebih banyak memanfaatkan posyandu lansia

dibandingkan dengan lansia yang tidak mendapatkan dukungan dari teman

sebaya.

2.4. Landasan Teori

Memasuki usia tua berarti mengalami perubahan atau kemunduran, seperti

kemunduran fisiologis, fisik dan psikologis. Fase ini dapat dilalui dengan baik bila

lansia selalu berada dalam kondisi yang sehat. Berkaitan dengan status kesehatan

pada lansia, saat ini dengan meningkatnya pelayanan kesehatan oleh pemerintah
38

memungkinkan pula peningkatan derajat kesehatan para lansia. Salah satu tempat

pelayanan kesehatan yang digalakkan pemerintah bagi lansia adalah pos pelayanan

terpadu lansia (posyandu lansia).

Posyandu lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui

pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program

puskesmas dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat

dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya (Erfandi, 2008). Tujuan pembinaan

kesehatan bagi kaum lanjut usia adalah meningkatkan derajat kesehatan dan mutu

kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berguna dalam kehidupan

keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya dalam masyarakat

(Kementerian Kesehatan R.I., 2012).

Menurut teori Lawrence Green (1980) menjelaskan bahwa perilaku untuk

memanfaatkan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, faktor

predisposisi (pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai), faktor

pendukung/pemungkin (biaya, jarak, waktu dan keterampilan petugas), dan faktor

penguat (dukungan teman, petugas kesehatan, keluarga).


39

Tahap 5 Tahap 4 Tahap 3 Tahap 2 Tahap 1

Administrasi Penilaian Penilaian Penilaian Penilaian


Dan Kebijakan Pendidikan dan perilaku Epidemiologi Sosiologi
Diagnosa Ekologis

Presdiposing Non
Perilaku
Promosi
Kesehatan

Pendidikan Enabling Perilaku


Kesehatan Kualitas
dan Gaya Kesehatan Hidup
Hidup
Kebijakan,
Peraturan,
Organisasi
Reinforcing

Tahap 6 Tahap 7 Tahap 8 Tahap 9

Pelaksanaan Proses Evaluasi Hasil Evaluasi Dampak Evaluasi

Gambar 2.1 Teori Determinan Perilaku

Sumber : Green LW, Kreuteur MW (1999) dalam Theory a Glance A


Guide For Health Promotion Practice (2005)
40

2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori yang diambil dari teori Lawrence Green (1980)

mengenai perilaku untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga

faktor yaitu, faktor predisposisi, faktor, dan faktor penguat. Faktor predisposisi dalam

penelitian ini yaitu umur, jenis kelamin, pengetahuan dan sikap, faktor pendukung

yaitu jarak dan faktor penguat yaitu dukungan keluarga dan peran petugas

kesehatan/kader.

Faktor Predisposisi
(presdiposi)
-Umur
-Jenis Kelamin
-Pengetahuan
Pemanfaatan
-Sikap
Faktor Pendukung (Enabling) Posyandu Lansia
-Jarak
Faktor Penguat (Reinforcing)
-Dukungan Keluarga
- Peran Petugas
Kesehatan/kader

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Analisis Faktor yang Memengaruhi


Pemanfaatan Posyandu Lansia

Anda mungkin juga menyukai