Anda di halaman 1dari 44

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK KEPADA TN.

H LANSIA SEHAT
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Gerontik
Dosen Pengampu : Ns. Umi Setyoningrum, M.Kep.

Disusun Oleh :
SISKA NURAINI
NIM. 071202031

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
202I
A. Penuaan

Proses penuaan atau agingadalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan-perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normal (Constantinides, 1994 dalam

Darmojo & Martono 2013) sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejastermasuk

infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Healthy aging akan

dipengaruhi oleh beberapa faktor: (1) endogenic aging, yaitu yang dimulai dengan

cellular aging, lewat tissue dan anatomical aging ke arah proses menuanya organ

tubuh, proses ini seperti jarum jam yang terus berputar; (2) exogenic factor, yang

dapat dibagi dalam sebab lingkungan (environment) dimana seseorang hidup dan

faktor sosio budaya yang paling tepat disebut gaya hidup (life-style).

Gari-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993telah merumuskan bahwa

dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan makin panjangnya usia

harapan hidup sebagai akibat kemajuan yang telah dicapai dalam pembangunan

selama ini (Darmojo dan Martono, 2010) maka Lansia yang memiliki pengalaman

keahlian dan kearifan perlu diberi kesempatan untuk berperan dalam

pembangunan. Kesejahteraan penduduk usia lanjut yang karena kondisi fisik dan

atau mentalnya tidak memungkinkan lagi berperan dalam pembangunan perlu

mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat. Proses penuaan

dimulai dengan menurunnyabahkanterhentinyafungsiberbagaiorgan tubuh.

Berbagaiteorimenjelaskanmengapamanusiamengalami proses penuaan.

Beberapateori proses penuaansebagaiberikut.


1) Teori pakai dan rusak ( Wear and Tear Theory)

Menurut teori ini tubuh dan sel-selnya menjadi rusakdikarenakanorgan

tubuh terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Organ tubuh seperti hati,

lambung, ginjal, kulit, dan yang lainnya fungsinyamenurun (Pangkahila,

2007),karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan

lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena

stress fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ, namun

juga terjadi pada tingkat sel(Goldman dan Klatz, 2007),demikian juga dengan

penyalahgunaan organ tubuh membuat kerusakan lebih cepat, karena itu ketika

tubuh menjadi tua, sel merasakan pengaruhnya. Perlu adanya pemahaman yang

benar bahwa proses penuaan sebenarnya masih bisa diperlambat dengan mengatur

pola hidup dan aktivitas fisik, sebab 64% penyebab kematian disebabkan oleh

pola hidup yang tidak sehat. Penuaan juga berasal dari akumulasi kerusakan

seluler juga molekuler (Wolpert, 2012) yang tidak diperbaiki dan keterbatasan

fungsi pemeliharaan serta perbaikan sel khususnya di DNA dan protein.

2) Hipotesis radikal bebas

Bersamaan dengan bertambahnya usiaterjadinya akumulasi kerusakan sel

akibat radikal bebas semakin mengambil peranan (Goldman dan Klatz,

2007),sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang

akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Radikal bebas juga merusak

kolagen dan elastin (Pangkhila, 2011),suatu protein yang menjaga kulit tetap

lembab, halus, fleksibel dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat

paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan


lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal

bebas.

3) TeoriGenetic clock

Teori menua ini telah terprogram secara genetik untuk spesies-spesies

tertentu setiap spesies mempunyai nuclei (inti selnya) suatu jam genetik yang

telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jamini akan menghitung mitosis

dan menghentikan replikasi sel bila tidak berputar (Pangkahila, 2002), menurut

konsep ini bila jam kita berhenti kita akan meninggal dunia meskipun tanpa

disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang katastrofal.

Konsep genetic clock didukung oleh kenyataan bahwa ini merupakan cara

menerangkan mengapa pada beberapa spesies terlihat adanya perbedaan harapan

hidup yang nyata misalnya manusia dapat hidup 116 tahun, bulus mencapai 170

tahun, simpanse mencapai 50 tahun, sapi sampai usia 20 tahun. Secara teoritis

dapat dimungkinkan memutar jam ini lagi (Darmojo dan Martono, 2014),meski

hanya untuk beberapa waktu dengan pengaruh-pengaruh dari luar, berupa

peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit atau tindakan-tindakan tertentu.

B. Lanjut usia (Lansia)

Pengertian lanjut usiaadalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik,

(Darmojo dan Martono, 2014),yang dimulai dengan adanya beberapa perubahan

dalam hidup. Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan.Jika

berpatokan pada usia produktif manusia normal, maka komunitas lanjut usia

adalah orang-orang yang sudah berusia enam puluh tahun keatas. Ketika kondisi

hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi, dan selanjutnya

memasuki usia yang lanjut dan kemudian meninggal. Bagi Lansiayang normal,
tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba

menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2004 tentang

Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan LansiaPasal 1, bahwa yang

disebut Lansiaadalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. UU

No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan, dikatakan Lansiaadalah seseorang yang

karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan social. Data

BPS (2011) Populasi penduduk lanjut usia di Indonesia dalam waktu 10 tahun ini

menunjukkan adanya peningkatan dari 6,5% menjadi 7,8% di tahun 2010.

Peningkatan tersebut mengindikasikan bahwa periode lanjut usia semakin

meningkat serta mengindikasikan adanya peningkatan usia harapan hidup bagi

lansia. Peningkatan Periode lanjut usia dalam kategori usia ekstrim yaitu diatas 75

tahun juga meningkat dari 6,8% menjadi 10,2% di tahun 2010 (Badan Pusat

Statistik, 2005; 2011).

Kategori Lansiamenurut Second World Assembly on Ageing (SWAA)

seseorang disebut sebagai Lansiajika berumur 60 tahun ke atas untuk di negara

berkembang atau 65 tahun ke atas untuk di negara maju (RAN, 2009). Umur yang

dijadikan patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-

65 tahun. Para ahli membuat batasan lanjut sebagai berikut: (1) Definisi dari

World Health Organization (WHO) batasan Lansiadigolongkan menjadi empat

tahap yaitu: a). Usia pertengahan (midlle age) 45-59 tahun. b). Lanjut usia

(elderly) 60 – 74 tahun. c). Lanjut usia (old) 75 – 90 tahun. d). Usia sangat tua

(very old) di atas 90 tahun; (2) Menurut Burnside ada 4 tahap lanjut usia yaitu:

(a). Young old, usia 60-69 tahun. (b). Midle age old, usia 70-79 tahun. (c). Old-
old, usia 80-89 tahun. (d). Very old-old, usia 90 tahun keatas (Nugroho, 2012).

Bila di simpulkan batasan dari Lansia adalah individu yang berumur lebih dari 60

tahun, yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan

sosial, tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan

orang lain.

Lanjut usia dalam kehidupan sehari-hari umumnya bertumbuh dalam

keluarga,(Duval,1997 dalam Sudiharto, 2007)karena keluarga sebagai unit yang

bertangung jawab bagi kesehatan dan kesejahteraananggota keluarga. Tugas

perkembangan yang dilakukan lanjut usia secara khusus adalah menata kembali

kehidupan yang memuaskan, menyesuaikan kehidupan dengan penghasilan yang

berkurang, mempertahankan hubungan perkawinan, menerima kehilangan

pasangan, mempertahankan kontak dengan masyarakat, dan menemukan arti

hidup.

Secara nasional usia harapan hidup bangsa Indonesia terus mengalami

kenaikan dari tahun ke tahun. Saat ini demografi di dunia sedang mengalami

perubahan, seiring dengan meningkatnya pembangunan bidang kesehatan, yaitu

meningkatnya Usia Harapan Hidup (UHH) menyebabkan proporsi populasi

yang berusia lebih dari 60 tahun juga bertambah.Data U.S. Census Bureau

International Data Base (Haryono, 2013) bahwa penduduk lanjut usia

mengalami peningkatan yang signifikan di tahun 2007 sebesar 18,96 juta jiwa

dan meningkat menjadi 20.547.541 di tahun 2009. Di tahun 2015 jumlah

penduduk Indonesia mencapai angka sekitar 248 juta jiwa sehingga Indonesia

menduduki peringkat ke-4 dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat.
Tantangan yang pemerintah hadapi saat ini adalah ancaman triple

burden (Yusharmen, 2013),yaitu jumlah kelahiran bayi yang masih tinggi,

masih dominannya penduduk muda, dan jumlah Lansiayang terus meningkat,

keadaan ini membutuhkan upaya kesehatan Lansiayang komprehensif dan

berorientasi pada siklus kehidupan manusia. Permasalahan lanjut usia yang

dihadapi Pemerintah saat ini yaitu: (1) jumlah dan proporsi semakin meningkat;

(2) tingkat kesehatan rendah sehingga diperlukan pelayanan kesehatan yang

signifikan; (3) masih banyak Lansia terlantar belum tersentuh program dan tidak

punya jaminan pensiun; (4) aksesibilitas Lansia masih rendah, masih dianggap

sebagai beban bukan sebagai modal padahal seharusnya Lansia harus dihargai

peranannya dalam mendukung pembangunan nasional (Societa, 2012).

C. Konsep ergonomilanjut usia

Perkembangan Ergonomi dimulai sejak akhir abad 19, sejak para ahli

tertarik mempelajari waktu dan pola gerak pekerjaan dalam melakukan aktivitas.

Ergonomi di beberapa negara (Manuaba,1998),berkembang menjadi ilmu

tersendiri yang memiliki arti yang sama, seperti di Amerika dikenal dengan istilah
Human Factor Enginering, di Belanda dengan nama Ergonomic, di Jerman

Anthropotechnik, di Jepang dengan nama Labor science, di Indonesia dan negara

Eropa Barat populer dengan istilah Ergonomi. Kata Ergonomi di tingkat nasional

mulai diperkenalkan sejak tahun 1969 oleh Manuaba melalui suatu pertemuan

ilmiah dengan tema ”Kesehatan dan Produktivitas” dalam makalah Approach

Ergonomi. Ergonomi adalah ilmu atau pendekatan multi & interdisipliner untuk

menserasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan

dan keterbatasan manusia demi tercapainya kesehatan, keselamatan, kenyamanan

dan efisiensi yang setinggi-tingginya.

Istilah ergonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu ergonyang berarti

kerja dannomosyang berarti aturan atau tatacara. Secara etimologis ergonomi

berarti „tatacara kerja‟. Dalam arti segala aktivitas yang dilakukan manusia terkait

dengan pekerjaan semestinya disesuaikan dengan kondisi fisik dan mental

manusia. Selain itu pekerjaan yang dilakukan perlu disesuaikan dengan

lingkungan kerjanya. Tujuan utama dari „tatacara‟ tersebut adalah terciptanya

kondisi kerja yang nyaman secara menyeluruh(Sutajaya, 2006a), artinya efisien,

nyaman, aman, efektif, produktif dan profit atau disingkat enasepp.Egonomi juga

didefinisikan sebagai ilmu, teknologi dan seni atau pendekatan multi dan

interdisipliner untuk menserasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap

kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia (Manuaba, 2006), demi

tercapainya kesehatan, keselamatan, kenyamanan dan efisiensi yang setinggi-

tingginya, melalui pemanfaatan fungsional tubuh manusia secara optimal dan

maksimal.Ergonomi juga merupakan suatu aktivitas multidisiplin (Chengalur, et

al., 2004) yang diarahkan untuk mengumpulkan informasi tentang kapasitas dan
kemampuan manusia, dan memanfaatkannya dalam merancang pekerjaan, produk,

tempat kerja dan peralatan kerja. International ergonomic assosiation

mengemukakan bahwa ergonomi berinteraksi dengan faktor insani merupakan

disiplin ilmu yang terutama bertujuan untuk memahami interaksi antar manusia

termasuk pada Lansiadan unsur lain dari sistem dan merupakan profesi yang

menerapkan teori, prinsip dan metode untuk merancang agar mengoptimalkan

kesejahteraan manusia dan kinerja sistem secara menyeluruh (IEA, 2010). Bila

disimpulkan ergonomi adalah ilmu yang mempelajari berbagai aspek dan

karakteristik manusia dengan memperhatikan kemampuan, kelebihan, kelebihan,

dengan memperhatikan fisiologis manusia Lansiaberadaptasi dengan

lingkungan berupa alat yang digunakan beraktivitas unuk menunjang

kehidupannyadengan mempertimbangkan anatomi, fisiologi, psikologi,

engineering, manajemen dan desain atau perancangan.

Ergonomi berupaya memberi perhatian khusus pada lanjut usia, untuk

menyerasikan alat, cara dan lingkungan aktivitas terhadapkemampuan, kebolehan

dan segala keterbatasan manusia, sehingga Lansiadapat beraktivitas secara optimal

tanpa pengaruh buruk. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan aktivitas

dengan kapasitas harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai

performansi beraktivitas yang tinggi. Tuntutan tugas Lansiatidak boleh terlalu

rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload) karena

keduanya baik underload dan overload akan menimbulkan stress. Konsep

keseimbangan antara kapasitas fisiologi dengan tuntutan tugas atau aktivitas seperti

pada Gambar 2.1


Karakteristik MaterialTunt Karakteristik Kapasitas Pribadi Kapasitas Fisiologi
utanAktivitas
Kapas itas
aktivitas
Karakteristik Organisasi Karakteristik Lingkungan Kapasitas PsikologiKapasitas Biomekanik

Kualitas Kelelahan Stres Kecelakaan

Tampi lannPenyakit
Ketidaknyaman
Ketidak amanan Cidera Produktivitas

Gambar 2.1
Konsep Dasar yang Mempengaruhi Keseimbangan Hidup
Sumber Manuaba, 2000

Intervensi ergonomi bertujuan (Adiputra, 2005): (1)Meningkatkan

kesejahteraan fisik dan mental, khususnya mengoptimalkan keselamatan dan

kesehatan Lansiadengan mencegah penyakit akibat beraktivitas,mengurangi beban

fisik dan mental;(2) Meningkatkan kesejahteraan sosial dengan jalan

meningkatkan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengoptimalkan

kenyamanan dan kemudahan dengan mengkoordinir secara tepat guna serta

meningkatkan jaminan sosialbaik selama usia produktif maupun setelah tidak

produktif;dan (3)Menciptakan keseimbangan rasional antara aspek-aspek teknis,

ekonomi, antropologi, dan budaya dari setiap aktivitas yang dilaksanakan

sehingga tercipta kualitas hidup yang tinggi.

Secara fisiologi dan anatomi dengan bertambahnya usia ssetiap individu

akan disertai dengan penurunan fisik secara progresif (Manuaba, 2014)bahwa

makin lanjut usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik

dan fungsional pada organ-organ tubuh makin besar. Pada orang tua banyak
ditemukan limitasi pada dirinya, oleh karenanya seorang ergonom harus

memperhitungkan rancangannya untuk kelompok lanjut usia. Secara umum

penurunan kemampuan tubuh dan kebolehan Lansia, secara lebih rinci dapat

dijelaskan sebagai berikut.

2.C.1 Penurunan Kemampuan fisik

Kemampuan fisik optimal seseorang dicapai pada saat usianya 25-30

tahun, dam menurut Manuaba (2003a) bahwa kapasitas fisiologi seseorang akan

menurun 1% per tahunnya setelah kondisi puncaknya terlampaui. Kapasitas fisik

seseorang berbanding langsung dengan umur sampai batas tertentu, dan mencapai

puncaknya pada usia 25 tahun.Secara fisiologis umur 25-60 tahun terdapat

penurunan kekuatan otot sebanyak 25% dan kemampuan sensoris motoris

menurun 60%.Akan tetapi bila kapasitas seseorang ada batasnya sesuai dengan

umur (Sutjana, 2008) bukan berarti bahwa nilainya tidak bisakarena ditingkatkan

akan tetapi yangpenting mengetahui kapan kesempatan terbaik untuk

melakukannya sehingga diperoleh hasil yang paling maksimal yang disebut

dengan faktor kebolehan. Pada upaya pemberian latihan dan pemberian gizi yang

lebih baik, tidak hanya akan meningkatkan kapasitas tetapi juga dapat

mempertahankan kapasitas puncak sampai 20 tahun seperti pada Gambar 2.2

(Sutjana, 2008; Reenan et al., 2009).


Normal
Latihan

Kapasitas
Latihan & gizi baik

Lahir 25 th 60 th
45 th
Umur (th)

Gambar 2.2.
Hubungan Kapasitas dengan Umur

2.C.2Penurunan Sistim Saraf

Secara progresif terjadi penurunan sistem syaraf pada orang tua (Cremer,et

al.,1994), perubahan sistem saraf pada Lansiaditandai dengan keadaan matinya sel

di dalam otak secara kontinyu mulai seseorang berumur 50 tahun, hal ini akan

mengakibatkan berkurangnya pasokan darah ke otak.Berkurangnya kecepatan

konduksi saraf, hal ini disebabkan oleh penurunan kemampuan saraf dalam

menyampaikan impuls dari dan ke otak (Rabbitt & Carmichael, 1994), penurunan

kapasitas processing ini akan berakibat kepada lambatnya reaksi tubuh dan

ketidak tepatan reaksi pada kondisi kritis. Akibat lain yang perlu mendapat

perhatian adalah penurunan kepekaan panca indera, seperti: (1) Berkurangnya

keseimbangan tubuh, diupayakan dengan mengurangi lintasan yang membutuhkan

keseimbangan yang tinggi seperti titian, blind step, juga tangga. (2) Penurunan

sensitivitas alat perasa pada kulit, upayakan untuk menggunakan peralatan kamar

mandi yang relatif aman bagi Lansia, seperti ; pemanas air dan termostat. Keadaan

ini berakibat pada pergerakan Lansia yang semakin lamban dan terbatas, sehingga

diperlukan alat bantu untuk memudahkan dalam bergerak seperti pegangan tangan
(Gandjean, 2007;Tilley,1993), dan (3) Secara umum perlu dihindarkan

penggunaan bahan yang membahayakan Lansia, serta kemungkinan terpeleset

karena bahan yang licin dan sudut yang tajam.

2.C.3 Penurunan kekuatan otot

Pada usia 60 tahunmenurut Tilley (1993)kemampuankapasitas fisik

seseorangakan menurun 25% yang ditandai dengan penurunan kekuatan.

Penurunan kekuatan genggam tangan menurun sebesar 50%, dan kekuatan otot

lengan menurun 50%, jugaberkurangnya kekuatan dan keleluasaan bergerak pada

tubuh Lansia(Kemper, 1994)terjadi karena menurunya kemampuan fungsi organ-

organ penggerak, stumulus, sensory organ, motor neurones, tingkat kesegaran

jasmani (VO2max) dan kontraksi otot. Penurunan kemampuan otot untuk masing-

masing anggota tubuh pada Lansiatidaklah berbarengan, akan tetapikekuatan otot

paha bagian bawah lebih cepat melemah dibanding kekuatan otot pada tangan

sehingga otot lengan akan lebih intensif penggunaannya dibandingkan otot kaki.

2.C.4 Penurunan koordinasi anggota gerak tubuh

Kejadian jatuhsering terjadi pada lanjut usia (King, 2004) disebabkanoleh

banyak faktor yang berperan di dalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri Lansia

tersebut seperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah,

kekakuan sendi, sinkope, serta faktor ekstrinsik seperti lantai licin dan tidak rata,

tersandung benda-benda, penglihatan kurang karena kurangnya cahaya dan lain

sebagainya. Jatuh didefinisikan sebagai kejadian yang tidak disadari oleh

seseorang yang terduduk di lantai/ tanah atau tempat lebih rendah tanpa

disebabkan oleh hilangnya kesadaran, stroke, atau kekuatan yang berlebihan.

Makin melemahnya koordinasi tubuhLansia (Moris, 2002) terjadisebesar25%


Lansiapernah nyaris terjatuh (near miss) di kamar mandi. Padahal kondisi ini

merupakan tanda awal akan makin melemahnya sistem kontrol koordinasi pada

Lansiayang perlu diwaspadai.

Kelemahan padaotot Lansia menimbulkanpenurunan kestabilan,

menurutPulat (1997) bahwa terdapat penurunan kestabilan baik berdiri maupun

duduk setelah midlife. Perubahan pada tulang,otot, dan jaringan saraf juga terjadi

pada orang tua. Degenerasi proses pada tulang rawan (cartilage) dan otot

menyebabkan penurunan mobilitas dan meningkatnya resiko cidera. Jadi yang

terpenting pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua sebaiknya yang tidak

memerlukan kekuatan otot, ketahanan, kecepatan dan fleksibilitas. Terjadi 50%

kekuatan hilang pada umur 65 tahun, tetapi kekuatan tangan hanya turun 16%.

Waktu reaksi sekurang-kurangnya turun 20% pada umur 60 dibandingkan pada

umur 20 tahun. Kata kuncinya adalahLansiatersebut butuh tempat tinggal dan

beraktivitas yang lebih aman dan nyaman untuk bergerak, dan latihan untuk dapat

menyesuaikan diri terhadap hambatan koodinasi yang dimilikinya(Solichul,

2013).

2.C.5 Sistem Penglihatan


Pertambahan usia diatas 40 tahun mempengaruhi kepekaan terhadap

kontras cahaya dan kekuatan mata untuk berakomodasi (Irdiastadi & Yassierli.,

2014) karena lensa berkurang elastisitasnya. Jumlah cahaya yang mencapai retina

pada orang usia 60 tahun adalah 1/3 dari orang usia 20 tahun.Disamping itu juga

terjadi banyak perubahan respek pada sensasi orang tua. Visual Acuity (tajam

pengelihatan) terus menurun. Kehilangan akomodasi berhubungan linear dengan

bertambahnya umur. Meskipun orang tua memerlukan lebih banyak intensitas

penerangan, namun mereka juga rentan terhadap kesilauan. Setelah umur 55 tahun

terdapat pengurangan/penurunan lapangan penglihatan. Persepsi warna turun

setelah berumur 70 tahun atau lebih. Daya dengar pada orang tua juga menurun

terutama pada frekuensi 1000Hz dan lebih. Kornea lebih berbentuk bola (sferis).

Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih

lambat, susah melihat dalam gelap. Daya membedakan warna menurun, terutama

warna biru atau hijau pada skala (Nugroho, 2012). Kelelahan matamelihat objek

dari jarak dekat akan memberikan kelelahan mata yang jauh lebih besar daripada

melihat objek jarak jauh (Bridger, 2009),hal ini karena adanya kerja akomodasi

otot mata ketika otot berkontraksi untuk melihat benda lebih dekat.

2.C.6 Sistem Kardiovaskuler

Pada usia lanjut jantung sudah menunjukkan penurunan kekuatan

kontraksi, kecepatan kontraksi dan isi sekuncup. Pada katup jantung menebal dan

menjadi kaku.Elastisitas dinding aorta menurun, kemampuan jantung memompa

darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan

kontraksi dan volume menurun, dimanapada pria: frekuensi denyut jantung

maksimal=220-umur, dan pada wanita: frekuensi denyut jantung maksimal=200-


umur. Curah jantung menurun, kehilangan sensitivitas dan elastisitas pembuluh

darah, efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi berkurang, perubahan

posisi dari tidur ke duduk dan duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah

menurun menjadi 65 mmHg yang mengakibatkan pusing mendadak.Kinerja

jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan perdarahan. Tekanan darah

meninggi akibat meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer, sistol

normal ±170 mmHg, diastol normal ± 95 mmH.

2.C.7 Sistem Respirasi

Otot pernafasan mengalami kelemahan akibat atrofi, kehilangan kekuatan,

dan menjadi kaku. Aktivitas silia menurun, Paru kehilangan elastisitas, kapasitas

residu meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum

menurun dengan kedalaman bernafas menurun. Refleks dan kemampuan untuk

batuk berkurang.

2.C.8 Sistem Genitourinaria

Mengecilnya nefron akibat atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai

50% sehingga fungsi tubulus berkurang. Pada otot Vesika urinariamenjadi lemah,

kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi buang air kecil

meningkat. Pada pria lanjut usia, vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga

mengakibatkan retensi urine meningkat. Pembesaran prostat dialami oleh kurang

lebih 75% pria usia di atas 65 tahun.

2.C.9 Kerapuhan tulang


Kerapuhan tulang (osteoporosis) termasuk penyakit gangguan metabolisme

dimana tubuh tidak mampumenyerap dan menggunakan bahan-bahanuntuk proses

penulangan secaranormal. Pada keadaan ini terjadipengurangan masa tulang yang

berakibatpada tulang menjadi lebih ringan dan lebih rapuh. Pencegahanpada

Lansiadapat dilakukan denganpemeriksaan secara berkala masa tulang,penambah

kalsium dan vitamin D.Upaya ini diharapkan dapat mengurangikemungkinan

cedera patah tulang (Tarwaka, 2011).

D. Aksesibilitias Lansia
Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan sarana, dan

prasarana umum dimaksudkan untuk memberikan aksesibilitas terutama di

tempat-tempat umum yang dapat menghambat mobilitas lanjut usia. Pasal 5

Undang-undang Nomor 13 Tahun1998 tentang KesejahteraanLanjut Usia,

menyebutkan bahwa lanjut usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemudian sebagai penghormatan dan

penghargaan kepada lanjut usia diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan

sosial yang meliputi, antara lain kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana,

dan prasarana umum (Komnas Lansia, 2010a).

Aksesibilitas adalah hak kemudahan dalam mengakses sesuatu yang

dilakukan secara mandiri tanpa dibelas kasihani oleh orang lain sehingga Lansia

dapat menggunakan fasilitas dengan tanpa hambatan serta memperoleh dukungan

partisipasi penuh, kesetaraan dan quality of life bagi Lansia dalam segala aspek

kehidupan (CAE, 2013). Pernyataan Ariani (2011) aksesibilitas menjadi isu yang

semakin popular seiring dengan meningkatnya tuntutan dari kalangan lanjut usia

untuk memperoleh akses yang sama dalam kehidupan social, politik, ekonomi.

Bagi mereka, sebagaimana halnya orang-orang yang mampu secara fisik,

kemudahan akses terhadap informasi dan komunikasi sangatlah penting, sama

halnya dengan kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum seperti elevator,


memasuki gedung, perjalanan ataupun menggunakan peralatan dengan aman dan

mudah.

Prinsip Disain UniversalKonvensi PBB tentang Hak Disabilitas dan lanjut

usia (Convention on The Rights of People with Disability) menyatakan bahwa

Disain universal adalah disain untuk produk, lingkungan, dan bermanfaat bagi
banyak orang. Pembangunberdasarkan prinsip-prinsip disain universal akan lebih

efektifdalam layanan lanjut usia untuk belajar, berkembang, dan berpartisipasi,

bukan sebaliknya “membuat lanjut usia menjadi tidak mampu” dengan

menciptakan berbagai hambatan bagi perkembangan danpartisipasi mereka.

Depsos (2002c), tentang prinsip disain dari bangunan untuk Lansia sebagai

berikut:

a. Dapat digunakan oleh semua orang: sebuah disain harus dapat digunakan dan

bermanfaat bagi semua orang termasuk Lansia. Penyediaan aksesibilitas di

PSTW dalam sarana dan prasarana dapat diwujudkan melalui langkah yang

sederhana dan hemat biaya.

b. Fleksibel dalam penggunaannya: sebuah disain harus dapat mengakomodir

beragam pilihan kenyamanan dan kebutuhan dalam penggunaannya.

c. Mudah digunakan: sebuah disain harus mudah untuk dipahami bagi semua

pengguna sebagai individu yang memiliki latar belakang pengalaman,

pengetahuan, kemampuan bahasa, dan tingkat pemusatan konsentrasi yang

berbeda-beda.

d. Informasi penggunaan yang jelas: sebuah disain harus dapat memberikan

informasi yang diperlukan secarajelas bagi para penggunanya yang memiliki

perbedaan pada tingkat fungsi dankondisi alat indera.

e. Toleransi untuk kesalahan: sebuah disain harus meminimalisir tingkat bahaya

dan konsekuensi kerugian yangditimbulkan jika terjadi kekeliruan atau

kesalahan dalam penggunaannya.


f. Tidak memerlukan banyak tenaga fisik: dalam penggunaanya sebuah disain

harus dapat digunakan secara efisien, nyaman, dan tidakmenyebabkan

kelelahan pada penggunanya.

g. Ukuran dan ruang yang tepat: ukuran dan lebar yang sesuai dalam sebuah

disain ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi penggunanya dalam

menjangkau, mendekati, mengembangkan, dan menggunakan terkait dengan

ukuran, postur, dan kemampuan mobilitas pengguna yang berbeda-beda

(Depsos, 2002b).

Penyediaaan aksesibilitas yang berbentuk fisik dilaksanakan pada sarana

dan prasarana umum yang meliputi Aksesibilitas pada bangunan umum termasuk

juga pada panti jompo, asas fasilitas dan aksesibilitas adalah: 1) Keselamatan

yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan terbangun,

harus memperhatikan keselamatan bagi Lansia. 2) Kemudahan yaitu setiap orang

dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu

lingkungan. 3) Kegunaan yaitu setiap orang dapat menggunakan semua tempat

atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. 4) Kemandirian yaitu

setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan menggunakan semua tempat atau

bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa

membutuhkan bantuan orang lain (Soeweno, 2010).

E. KebutuhanDasar Manusia

Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh

manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis

yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Manusia


mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan melalui

homeostasis baik fisiologis maupun psikologis. Abraham Maslow seorang

psikolog dari Amerika mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar manusia

yang lebih dikenal dengan istilah Hierarki Kebutuhan dasar manusia Maslow yang

meliputi lima tingkatan kebutuhan dasar ( Mubarak et al., 2015), yakni sebagai

berikut.

1). Kebutuhan fisiologis ( Physiologic needs)

Pada tingkat yang paling bawah (basic needs) terdapat kebutuhan yang bersifat

fisiologik yang merupakan hal mutlak dipenuhi Lansia untuk bertahan hidup.

Terdapat delapan (8) macam kebutuhan fisiologis yaitu: (a) kebutuhan oksigen;

(b) kebutuhan cairan dan elektrolit; (c) kebutuhan makanan; (d) kebutuhan

personal hygiene (eliminasi uriene dan alvi); (e) kebutuhan istirahat dan tidur; (f)

kebutuhan aktivitas; (g) kebutuhan pemeliharaan suhu dan (h) kebutuhan seksual.

2). Kebutuhan keselamatan dan rasa aman (safety and security needs)

Kebutuhan keselamatan dan keamanan yang dimaksud adalah keadaan aman dari

berbagai aspek, baik fisiologis maupun psikologis. Kebutuhan ini meliputi sebagai

berikut: (a) kebutuhan perlindungan diri dari udara dingin, panas, kecelakaan dan

infeksi; (b) bebas dari rasa takut dan kecemasan; (c) bebas dari perasaan terancam

karena pengalaman yang baru atau asing.

(3). Kebutuhan rasa cinta, memiliki dan dimiliki (Love and belonging needs)

Setelah kebutuhan dasar dan aman relatif dipenuhi, maka timbul kebutuhan untuk

dimiliki dan dicintai. Kebutuhan ini meliputi sebagai berikut: (a) memberi dan

menerima kasih sayang; (b) perasaan dimiliki dan hubungan yang berarti dengn
orang lain; (c) kehangatan; (d) persahabatan; (e) diakui dalam keluarga dan

lingkungan sosial.

4). Kebutuhan harga diri (self-esteem needs)

Kebutuhan harga diri adalah keinginan seseorang untuk dihargai. Lansia

yangterpenuhi kebutuhan harga dirinya akan merasa percayaan diri dan mandiri.

Pengasuh dapat memenuhi kebutuhan harga diri Lansia dengan cara menerima

nilainilai dan keyakinan Lansia, memberikan support pada Lansia untuk mencapai

apa yang dinginkannnya dan memfasilitasi agar keluarga ataupun orang-orang

yang berarti bagi Lansia senantiasa mendukung Lansia.

5). Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization).

Tingkat kebutuhan yang menempati tingkat yang paling tinggi adalah kebutuhan

aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisai diri adalah kebutuhan Lansia untuk dapat

mengembangkan dirinya secara optimal sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Proses aktualisasi diri berjalan sepanjang kehidupan. Untuk dapat memenuhi

kebutuhan aktualisai diri Lansia. Berikut ini adalah ciri-ciri kebutuhan aktualisasi

diri terpenuhi: (a) memecahkan masalah sendiri; (b) membantu orang lain

memecahkan masalah ; (c) menerima saran orang lain; (d) memiliki kemampuan

berkomunikasi yang baik sebagai pendengar dan komunikator; (e) memiliki

kepercayaan dalam kemampuan dan mengambil keputusan; (f) mengantisipasi

masalah dan berhasil menyenangi diri sendiri.

F. Kualitas Hidup Pada Lanjut usia

Salah satu aspek kehidupan yang selalu menjadi perhatian dan pergumulan

komunitas lanjut usia adalah kualitas hidup (Quality of life) artinya (Surbakti,

2013) bagaimana mencapai dan mempertahankan hidup yang berkualitas.


Sebetulnya tidak hanya kelompok lanjut usia yang berkepentingan dengan kualitas

hidup. Setiap kelompok usia, bahkan setiap orang normal di dunia ini pasti

berkepentingan dengan kualitas hidup dan hidup berkualitas. Namun bagi Lansia,

kualitas hidup perlu mendapat perhatian khusus, karena mereka lebih rentan

terhadap perubahan yang menyebabkan kualitas hidup mereka terganggu.

Lansiajuga mudah terkena dampak “perubahan” apapun bentuknya ketimbang

orang-orang muda. Kualitas hidup tetap merupakan perdebatan atau misteri

karena melibatkan nilai-nilai budaya, sosial, adat-istiadat, atau kebiasaan yang

bersifat relatif dan subjektif.

Sering orang menghubungkan antara kualitas hidup dengan lanjut usia.

Secara rasional tanpa bermaksud mendahului kehendak Tuhan, berdasarkan

kalkulasi rasionil, dapat dipastikan bahwa semakin berkualitas hidup seseorang,

tentu saja semakin lanjut usianya. Sebaliknya semakin buruk kualitas hidup

seseorang, maka semakin buruk pula harapan hidupnya. Pada umumnya faktor-

faktor yang menjadi standar kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan

berbeda. Laki-laki mengaitkan kualitas hidup mereka dengan intelektual,

kapasitas, dan kapabilitas. Sebaliknya kaum perempuan pada umunya mengaitkan

kualitas hidup mereka dengan estetika. Pada umumnya laki-laki merasa hidup

mereka berkualitas apabila memilik hal-hal sebagai berikut: memiliki kecerdasan,

memiliki wibawa, memiliki kedaulatan, memiliki wewenang, memilik kekuasaan,

memiliki harga diri atau gengsi, memiliki integritas, dan memiliki tanggung

jawab. Sedangkan kaum perempuan pada umumnya mengaitkan kualitas hidup

mereka dengan estetika seperti kecantikan, pengabdian, pelayanan, penampilan,

keindahan ragawi dan juga ketrampilan. Banyak faktor yang menentukan kualitas
hidup para lanjut usia antara lain faktor ekonomi, faktor pendidikan faktor

kesehatan, pekerjaan, jabatan dan kesibukan serta lingkungan.

Pada usia lanjut kualitas hidup perlu mendapat perhatian yang lebih serius

dari kelompok usia lainnya. Karena secara teoritis kemampuan

Lansiamenghadapi, mengantisipasi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan

lebih rendah. Beberapa contoh kualitas hidup Lansiayang dapat disaksikan dalam

kehidupan sehari-hari antara lain: (1) pemikiran yang cemerlang dengan menjadi

motor penggerak bagi masyaraat melalui ide atau gagasan; (2) kehidupan spiritual

yang berharga; (3) kesehatan jasmani yang tetap terjaga dengan baik; (4)

ekonomi; (5) memiiki tempat tinggal sendiri; (6)tata nilai, dengan mengajarkan

tata nilai dan kebijaksanaan berdasarkan tata nilai yang luhur.

Kualitas hidup dalam perspektif ergonomi merupakan suatu kegiatan yang

dilakukan sesuai dengan standar tertentu yang harus dicapai baik secara kualitatif

maupun kuantitatif (Triguno, 2003). Perspektif ergonomi dalam kualitas hidup

dapat dilihat dari beberapa kriteria, antara lain;keluhan muskuloskeletal, self care,

keamanan, dan waktu siklus aktivitas usia lanjut.

G. Keluhan Muskuloskeletal

Muskulosekeletal merupakan sistem otot rangka (striata) yang melekat

pada tulang dan terdiri atas otot-otot serat lintang yang sifat gerakannya dapat

diatur (volunter). Otot rangka memiliki fungsi sebagai berikut : (1)

Menyelenggarakan pergerakan di sebagian tubuh maupun pada gerakan seluruh

tubuh; (2) Mempertahankan sikap tubuh melalui kontraksi otot secara lokal

sehingga memungkinkan untuk sikap berdiri, duduk, jongkok, serta sikap-sikap


lainnya. (3) Menghasilkan panas sebagai hasil proses kimiawi dalam otot dalam

upaya mempertahankan sikap tubuh (Ganong, 2007; Sutajaya, 2006a).

Sistem Muskuloskeletal, pada tulang kehilangan densitas atau cairan dan

semakin rapuh. Gangguan tulang, yakni mudah mengalami demineralisasi.

Kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terutama vertebrata, pergelangan, dan

paha. Insiden osteoporosis dan fraktur meningkat pada area tulang

tersebut. Kartilago yang meliputi permukaan sendi tulang penyangga rusak dan

aus. Kifosis.Gerakan pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas.Gangguan

gaya berjalan. Kekakuan jaringan penghubung. Diskus intervertebralis menipis

dan menjadi pendek (tingginya berkurang). Persendian membesar dan menjadi

kaku. Tendon mengerut dan mengalami sklerosis. Atrofi serabut otot, serabut otot

mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan menjadi tremor

(perubahan pada otot cukup rumit dan sulit dipahami). Komposisi otot berubah

sepanjang waktu (myofibril digantikan oleh lemak, kolagen, dan jaringan parut).

Aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua.

Keluhan muskuloskeletal adalah suatu bentuk gangguan sistem

muskuloskeletal yang terdiri dari tulang, otot-otot, tendon, ligamen, jaringan

tulang rawan, saraf, dan pembuluh darah (Adiputra et al., 2005) gangguan itu

dapat terjadi pada semua jenis pekerjaan, apakah bebankerjanya ringan, sedang

ataupun berat. Sebelum rasa sakit pada otot-otot skeletal tersebut muncul,

biasanya seseorang akan mengubah sikap tubuhnya, mengubah aktivitasnya,

meregangkan otot yang dirasakan lelah atau beristirahat sehingga proses keluhan

otot itu akan hilang dan pulih kembali. Pada umumnya keluhan muskuloskeletal
biasanya disebut keluhan otot skeletal yang artinya rasa tidak nyaman sampai

terasa nyeri pada otot dan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu :

1) Keluhan sementara (reversible) yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot

menerima beban statis, dan keluhan tersebut akan segera hilang apabila

pemberian beban dihentikan.

2) Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap,

walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot

masih berlanjut (Grandjean, 2007).

Sikap kerja paksa atau tidak alamiah sewaktu Lansiaberaktivitas dan

berlangsung lama (Manuaba, 2005)menyebabkan adanya beban pada sistem

muskuloskeletal dan efek negatif pada kesehatan. Gangguan sistem

muskuloskeletal merupakan masalah besar yang disebabkan oleh tempat aktivitas

Lansiayang tidak memadai, gerakan repetitif, desain alat yang tidak sesuai dengan

pemakai dan sikap yang tidak alamiah. Sikap kerja dengan punggung

membungkuk dan pembebanan yang tidak simetris dapat menyebabkan cedera

dan kenyerian pada otot bagian belakang, sedangkan sikap kerja berdiri yang

alamiah, leher, punggung, lengan dan tangan mendapatkan beban yang paling

kecil, sehingga tidak menimbulkan stress. Rasa tidak aman dan nyaman menurut

Adiatmika (2007) bisa terjadi karena ada tekanan pada jaringan lembut yang

menyebabkan terhambatnya aliran darah ke jaringan, akibatnya akan

menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan menumpuknya karbon dioksida

berakibat terjadi penimbunan asam laktat.

Beban mekanis lokalsebagai beban mekanis statis, merupakan postural

stress (Yassierli dan Iftikar, 2000) dimana aliran darah ke otot terganggu yang
menyebabkan suplai oksigen ke otot berkurang, sehingga mengganggu

keseimbangan kimia di dalam otot,terjadi penumpukan asam laktat sisa-sisa

metabolisme. Hal ini berakibat timbulnya kelelahan otot dan bila berlangsung

lama (lebih dari beberapa menit) dapat menimbulkan postural strain, di mana pada

awalnya orang akan merasa kurang nyaman yang bisa berkembang menjadi

keluhan rasa sakit pada beberapa bagian tubuh. Adanya rasa sakit yang dirasakan

biasanya orang tersebut akan mengubah sikap tubuhnya dengan maksud

menghilangkan rasa sakit tersebut. Faktor yang mempengaruhi terjadinya keluhan

muskuloskeletal seperti aktivitas fisik yang kurang fisiologis seperti sikap statis

dalam waktu relatif lama, serta gerakan memutar dan menunduk yang berulang,

bisa menyebabkan gangguan pada sistem otot rangka.

Suma‟mur (1996), menyatakan bahwa dalam melaksanakan suatu aktivitas

hendaknya diperhatikan pedoman berikut: (1) semua sikap tubuh membungkuk

atau tidak alamiah harus dihindari; (2) hindari posisi ekstensi lengan yang terus-

menerus ke depan/ke samping; (3) selalu diusahakan agar bekerja dilakukan

sambil duduk; (4) kedua lengan harus bergerak bersama-sama atau dalam arah

berlawanan.

Untuk mengukur keluhan muskuloskeletal alat ukur ergonomi yang sering

digunakan antara lain adalah sebagai berikut:

a. Electromyography (EMG), digunakan untuk mengevaluasi dan mencatat

aktivasi otot. Analisis ergonomi sering menggunakan EMG untuk

membandingkan tegangan otot skeletal dengan berbagai variasi posisi, posture,

atau kegiatan untuk validasi prinsip ergonomi. EMG adalah alat yang sangat

penting dalam ergonomi, dan telah digunakan secara luas dalam penelitian

kelelahan otot (Kumashiro, 2005).


b. Metode subjektif untuk menilai keluhan otot skeletal ini adalah penilaian

dengan menggunakan NordicBody Map baik rating maupun rangking. Subjek

ditanya pada bagian-bagian anggota tubuh yang mengalami kenyerian maupun

sakit atau ketidaknyamanan pada 4 skala Likert.Untuk mengkaji keluhan

muskulosekeletal digunakan kuesionerNordic Body Map (NBM). NBM

terdapat 28 unsur pengukuran keluhan dengan nilai yang sudah dimodifikasi

terdiri atas : Sangat Tidak Sakit dengan skor 1; Tidak Sakit dengan skor 2;

Agak Sakit dengan skor 3; Sakit dengan skor 4; dan Sangat Sakit dengan skor 5

(Sutajaya, 2006b). Pengukuran Kelelahan otot sesuai dengan Nordic Body Map

dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: bagian otot trunkus, bagian otot

ekstremitas bagian atas (upper extrimities) dan bagian otot ekstremitas bagian

bawah (lower extrimities) sebagai berikut: (a). Bagian otot trunkus terdiri dari:

leher bagian atas, leher bagian bawah, punggung, pinggang, bokong, pantat;

(b). Bagian otot ekstremitas bagian atas terdiri dari: bahu kiri, bahu kanan,

lengan atas kiri, lengan atas kanan, siku kiri, siku kanan, lengan bawah kiri,

lengan bawah kanan, pergelangan tangan kiri, pergelangan tangan kanan,

tangan kiri, tangan kanan; (c). Bagian otot ekstremitas bagian bawah terdiri

dari: paha kiri, paha kanan, lutut kiri, lutut kanan, betis kiri, betis kanan,

pergelangan kaki kiri, pergelangan kaki kanan, kaki kiri, kaki kanan (Sutajaya,

2013).

H. “Self care”

Self care merupakan kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh individu

Lansiadalam memenuhi kebutuhan dasar dengan tujuan mempertahankan


kehidupan, kesehatan, kesejahteraan sesuai dengan keadaan sehat dan sakit yang

ditekankan pada kebutuhan Lansiatentang perawatan diri sendiri.

Self care atau mandiri merawat diri adalah suatu pelaksanaan kegiatan

yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh individu atau Lansiaitu sendiri untuk

memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan kesehatan dan

kesejahteraan sesuai dengan keadaan sehat maupun sakit (Orem‟s, 1980 dalam

Dermawan 2012).

Hidayat (2008) kategori perawatan Diri Sendiri (Self Care) meliputi : (1)

Self Care merupakan aktivitas dan inisiatif dari individu serta dilaksanakan oleh

individu itu sendiri dalam memenuhi serta mempertahankan kehidupan,

kesehatan, serta kesejahteraan; (2) self care agency merupakan suatu kemampuan

individu dalam melakukan perawatan diri sendiri, yang dapat dipengaruhi oleh

usia, perkembangan, sosiokultural, kesehatan dan lain-lain; (3) adanya tuntutan

atau permintaan dalam perawatan diri sendiri yang merupakan tindakan mandiri

yang dilakukan dalam waktu tertentu untuk perawatan diri sendiri dengan

menggunakan metode dan alat dalam tindakan yang tepat; (4) kebutuhan self care

merupakan suatu tindakan yang ditujukan pada penyediaan dan perawatan diri

sendiri yang bersifat universal dan berhubungan dengan proses kehidupan

manusia serta dalam upaya mempertahankan fungsi tubuh. Self care yang bersifat

universal itu adalah aktivitas sehari-hari (ADL) dengan mengelompokkan ke

dalam kebutuhan dasar manusianya.

Activity of Daily Living (ADL) adalah suatu bentuk pengukuran

kemampuan seseorang untuk melakukan ADL secara mandiri, yang meliputi

mandi, makan, toileting, kontinen, berpakaian, dan berpindah. Seiring dengan


bertambahnya usia akan di ikuti dengan penurunan fungsi dan kemunduran fisik

yang dapat menyebabkan Lansiamenjadi tergantung pada orang lain, termasuk

dalam memenuhi kebutuhan ADL. Timbulnya ketergantungan dalam melakukan

ADL pada Lansiadapat disebabkan oleh beberapa penyebab seperti umur,

kesehatan fisiologis, fungsi kognitif, fungsi psikososial,status mental, ritme

biologi, tingkat stress, dan fasilitas yang tidak memadai.Lansiadalam memenuhi

kebutuhan dasar dengan tujuan mempertahankan kehidupan, kesehatan,

kesejahteraan sesuai dengan keadaan sehat dan sakit, yang ditekankanpada

kebutuhan Lansiatentang perawatan diri sendiri seperti dalam melakukan

pemenuhan kebutuhan dasar kebersihan diridan kebutuhan eliminasi (Nursalam,

2003; Dermawan, 2012).

Upaya lanjut usia memacu kepada upaya kemampuan mengasuh diri

sendiri (Kusnanto, 2004) seperti pada Model Orem‟s secara umum adalah

menurunkan tuntutan self care kepada tingkat dimana Lansiadapat memenuhinya

sendiri, ini berarti menghilangkan self care deficit. Bantuan diberikan kepada

Lansiajika kemampuan kurang dibandingkan dengan kebutuhan dan atau

kemampuan sebanding dengan kebutuhan tetapi diprediksi untuk masa yang akan

datang kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan

kebutuhan.Kategori bantuan dapat digolongkan dalam tiga kategori bantuan

yaitu: (1) wholly Compensatory, yaitu bantuan diberikan secara keseluruhan untuk

Lansiayang tidak mampu mengontrol dan memantau lingkungan dan tidak

berespon terhadap rangsangan; (2) partially Compensatory, yaitu bantuan

sebagian dibutuhkan bagi Lansiayang mengalami keterbatasan gerak karena sakit

atau kecelakaan;(3) supportie Education, yaitu dukungan pendidikan dibutuhkan


oleh Lansiayang memerlukan perawatan mandiri (Dermawan, 2012; Hidayat

2008).

Penilaian kemampuan melakukan aktivitas dasar sehari-hari pada

Lansia(Darmojo, 2014) sering digunakan indeks Katz dan Indeks Aktivity

Barthel. Indeks Katz digunakan untuk mengukur kemampuan mandiri

Lansiauntuk mandi, berpakaian, ketoilet, berpindah tempat, mempertahankan

kontinensia, dan makan. Indeks ini membentuk suatu kerangka kerja untuk

mengkaji kemampuan hidup mandiri Lansiaatau, bila ditemukan terjadi penurunan

fungsi, maka akan disusun titik-titikfokus perbaikannya, Sedangkan pada indeks

Barthel sering digunakan untuk mengkaji kemampuan Lansiamerawat diri mereka

sendiri. Bantuan aktivitas ditekankan untuk jumlah bantuan fisik yang akan

diperlukan bila Lansiatak mampu melakukan fungsi yang dijalankan (Nugroho,

2012).

Kemandirian beraktivitas menurut Moris (2002) adalah tentang sikap yang

dialami Lansia, karena pernah hampir mengalami kecelakaan (near miss), ternyata

berakibat pada timbulnya rasa takut, depresif, atau lebih jauh mogok untuk

beraktivitas dikamar mandi secara mandiri; parameter untuk melakukan uji ini

adalah check list sikap tubuh, seperti: jari kaki mencengkram, langkah mengecil,

tangan meraba mencari pegangan, mata terpejam. Kemandirian Lansiadipengaruhi

pula oleh kebiasaan hidup secara mandiri atau menggantungkan pada bantuan

orang lain dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan adalah fasilitas dan sarana

yang memudahkan Lansiaberaktivitas secara mandiri (Rabbit & Carmichael 1994;

Solichul, 2001).

I. Kebutuhan pemenuhan kebersihan diri Lansia ( personall hygiene)


Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya

perorangan dan hygiene berarti sehat. Personal hygiene adalah perawatan

kebersihan diri yang dilakukan oleh individu Lansiauntuk mempertahankan

kesehatannya. Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan untuk memelihara

kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Wolf et

al.,2004).

Kebersihan perseorangan pada lanjut usia (Depkes RI, 2002; Maryam et al.,

2011) meliputi:

1) Kebersihan fisik

a. Kebersihan mulut dan gigi

Kebersihan mulut dan gigi harus tetap dijaga dengan menyikat gigi dan

berkumur secara teratur meskipun sudah ompongbagi yang masih aktif dan

mempunyai gigi cukup lengkap, ia dapat menyikat gigi sekurang-kurang dua

kali dalam sehari, pagi saat bangun tidur dan malam sebelum tidur.

b. Kebersihan kulit dan badan

Kulit merupakan pintu masuk kedalam tubuh dan menerima berbagai

rangsangan (stimulus) dari luar. Kebersihan kulit dan kerapihan dalam

berpakaian pada Lansiatetap diperhatikan agar penampilannya tetap segar.

Upaya membersihkan kulit dapat dilakukan dengan cara mandi dua kali

sehari bermanfat menghilangkan bau, menghilangkan kotoran, merangsang

peredaran darah, dan memberi kesegaran pada tubuh.

c. Kebersihan kepala dan rambut

Tujuan membersihkan kepala dan rambut adalah untuk menghilangkan

debu-debu serta kotoran yang melekat pada rambut dan kulit kepala.
Membersihkan kepala dengan cara mencuci rambut yang dilakukan setiap

seminggu sekali dengan menggunakan shampo dan dikeringkan dengan

handuk atau hair dryer.

d. Kebersihan kuku

Kuku yang panjang merupakan sumber bersarangnya penyakit. Oleh karena

itu perlu diperhatikan agar Lansiadapat secara teratur memotong kukunya

minimal seminggu sekali.

e. Kebersihan mata

Dibersihkan bila ada kotoran pada mata dengan menggunkan kapas lembab

yang bersih. Lensa mata pada Lansiaberkurang akibatnya tulisan-tulisan

kecil jadi kabur pada jarak membaca normal, tetapi jadi terang bila bila jarak

dijauhkan.

f. Kebersihan telinga

Apabila bagian dalam telinga kotor ada baiknya dibersihkan dengan

cottonbud atau lidi kapas.

g. Kebersihan hidung

Cara yang terbaik adalah menghebuskan udara ke luar hidung pelan-pelan.

Jangan memasukkan air dan benda-benda kecil ke dalam lubang hidung.

h. Kebersihan alat kelamin

Pembasuhan alat kelamin dengan cara Siram daerah sekitar kemaluan dan

alat kelamin dengan larutan air sabun kemudian bilas dengan air biasa.

Untuk wanita membersihkan dari daerah perineum ke arah belakang,

sedangkan untuk laki-laki dimulai dari ujung kemaluan lalu kearah bawah.
2) Eliminasi

Pemenuhan kebutuhan eliminasi berhubungan dengan defikasi dan alvi.

Dalam memenuhi kebutuhan eliminasi sangat diperlukan akses yang aman,

nyaman dan keselamatan Lansia (Hidayat, 2004). Fasilitas kamar mandi bagi

Lansia, lebih menitik beratkan pada penyesuaian peralatan yang lebih

ergonomis.Sedangkan Tilley (1993) menyatakan seperti menghindari penggunaan

bahan lantai yang licin, penambahan hand rails dan grabsbars untuk

memudahkan Lansiamengangkat tubuhnya dari kloset, bathtub, dan keluar masuk

kamar mandi (Tilley, 1993; Manuaba 2014).

J. Kebutuhan Keamanan

Kebutuhan keamanan yang dimaksud adalah keadaan aman saat

melakukan pemenuhan kebutuhan kebersihan diri.Biologic safety(keamanan

fisik)merupakan keadaan fisik yang aman terbebas dari ancaman kecelakaan dan

cedera (injury) yang mengancam kesehatan fisik Lansia dengan penyediaan

lingkungan yang memastikan setiap Lnsia tidak mengalami bahaya akibat

aktivitaskebutuhan kebersihan diri. Lansia memiliki permasalahan fisik dan panca

indera seperti gangguan penglihatan, kesulitan mengatur keseimbangan, kekuatan

kaki berkurang, dan radang persendian yang dapat mengakibatkan lansia lebih

mudah jatuh atau cedera. Permasalahan fisik ini menyebabkan tingginya kejadian

kecelakaan pada lansia.

Sebuah institusi atau rumah tinggal yang dihuni oleh lanjut usia perlu

penyesuaian dan rancangan kamar mandi disesuaikan dengan keterbatasan dan


kemampuan Lansia. Upaya ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa

kemampuan gerak motorik Lansiatelah banyak menurun disebabkan oleh karena

penurunan kapasitas sensor motoriknya. Dalam aktivitasnya Lansia sering

mengunjungi kekamar mandi lebih dari 3 kali dalam sehari. Oleh karenanya

kamar mandi dapat menjadikan lingkungan yang paling berbahaya baginya, maka

tempat tersebut perlu mendapat perhatian khusus melalui intervensi ergonomis.

Keamanan bagi Lansia melalui penyediaan khusus akses personal

hygienebagi Lansia meliputi fasilitaskloset, bak penampung air, pegangan tangan

atau railing, handle pintu, lantai kamar mandi.

1) Kloset untuk Lansia

Penyediaan peralatan toilet harus disesuaikan dengan kebutuhanLansia.

Tempat buang air besar (kloset), tentukan dengan tepat model duduk atau

jongkok, sesuaikan pula dengan kebiasaan pemakai (Manuaba, 2013). Untuk

Lansiayang mengalami kesulitan berjongkok dan berdiri setelah jongkok dalam

waktu tertentu ,perlu dipertimbangkan penggunaan kloset duduk. Pengaturan

ketinggian kloset duduk, disesuaikan dengan rerata tinggi poplitealLansiayaitu

39.43 + 5,52 cm.Di era moderen telah banyak dikembangkan peralatan untuk

memudahkan pembilasan (flusher, jet washer) setelah buang hajat dikloset dan

meningkatkan keamanan pengguna kamar mandi(Machiko, 2011). Tetapi pada

kenyataannya dari survei di PSTW diperoleh hasil bahwa mereka membilas

setelah buang hajat dengan mempergunakan air dengan gayung, hal ini karena

kebiasaan dan budaya kehidupan para Lansiasebelumnya dan terbatasnya fasilitas.


2) Bak Penampungan air

Dari kebiasaan penghuni untuk membilas dengan air dan gayung,

dibutuhkan tempat penampung air yang mudah dijangkau. Kemudahan ini

hendaknya mempertimbangkan letak, volume dan ukuran penampung air.

Menurut Manuaba, (2013), apabila disediakan ember dan gayung, letakkan pada

posisi dan tata letak yang tepat. Tinggi dinding bak penampung dan ke

dalamannya berdasar ukuran persentil 50 panjang lengan dan jarak jangkau

Lansiapenghuni. Ukuran gayung juga disesuaikan dengan kemampuan angkat satu

tangan oleh para Lansia. Gayung yang terlampau besar, ukurannya lebih dari 1

liter akan menyulitkan Lansia.

3) Pegangan Tangan(railing)

Pada kamar mandi dengan kondisi lantai yang licin, Lansiaberpotensi

untuk tergelincir dan jatuh karena hilangnya keseimbangan tubuh. Sangat penting

menambahkan pegangan tangan (railling) di dinding (Delia, 2013). Agar

diperoleh tingkat keamanan yang memadai, pegangan tangan di pasang pada

ketinggian (10-20) cm di bawah tinggi siku (Grandjean, 2007).Penggunaan

railling diluar dan dalam kamar mandi diperlukan untuk meningkatkan

kemandirian dan keamanan beraktivitas. Penentuan diameter railiing disesuaikan

dengan ukuran diameter rerata genggaman Lansia dan dipilih dari bahan yang

tidak licin seperti Gambar 2.5.


Koordinasi tubuh Lansia mengalami instabilitas, kemampuan

menggenggam menurun, demikian juga mencengkram dengan jari saat melakukan

gerakan yang berulang dirasakan melemah. Kecelakaan sering terjadipada Lansia,

karena mereka melakukan kegiatan yang pada saat tersebut berada di luar

kemampuannya, padahal jenis aktivitas itu merupakan kegiatan rutin di waktu

mudanya. Sikap tubuh dan sikap tangan juga perlu mendapat perhatian ketika

Lansiaberaktivitas (Tirtayasa etal., 2003). Berdasarkan hasil survei di lapangan,

saat ini terdapat berbagai jenis handel pintu yang diproduksi di pasaran. Hampir

seluruh bahan handel yang beredar terbuat dari logam tuang-cetak, dengan

berbagai cara finishing. Dalam bentuk penggambaran pada skala 1x1 cm2 setiap

kotaknya (Solichul, 2001). Penambahan hand rail dan grab bars, untuk

memudahkan mengangkat tubuhnya dari kloset, bathub, dan keluar masuk kamar

mandi. Lansia menghadapi kondisi alat baru melalui proses adaptasi, sesuai

kapasitas yang dimilikinya. Jika proses adaptasi melebihi kapasitas, terjadi

kelelahan dan keluhan serta gangguan bahkan cedera (Adiatmika, 2007).


4) Handel Pintu Kamar Mandi

Penggunaanhandel pintu kamar mandi bagiLansiaharus dapat memberikan

tingkat kemudahandan kenyamanan bagi penggunanya, agar aktivitasdidalam

kamar mandi tidak terganggu. Untuk handelkamar mandi yang dikhususkan bagi

Lansiaharussesuai dan tepat, untuk mengurangi terjadinya kecelakaan pada kamar

mandi, seperti kecelakaanterkuncinya Lansiadi dalam kamar mandi,

karenasulitnya mengoperasikan handel pintu kamar mandi (Tarwaka, 2004).

Berdasarkan hasil survey di lapangan dan wawancara pada sebagian penghuni

PSTW adanya tingkat kesulitan penggunaan handel pintu yang tidakbergagang

atau bulatbagi Lansia, mereka sulit untuk mengoperasikannya.

5) Lantai Kamar Mandi

Lantai untuk kamar mandi yang dikhususkanbagi Lansiaharus sangat

diperhatikan, karena padadaerah ini merupakan daerah yang rawan

terjadinyakecelakaan bagi Lansia, seperti seringnya tergelincirdan kurang

mampunya mempertahankankeseimbangan tubuh, dikarenakan lantai licin pada

kamar mandi sehingga mengakibatkan terjatuhnyaLansiapada saat berada di

dalam kamar mandi.Ada beberapa persyaratan cara penggunaan bahan lantai

untuk kamar mandi, di antaranya adalah : (a). Pilih bahan yang memiliki tekstur

permukaanya kasar; (b). Permukaan bahan tidak menyerap air atau kedap air

sehingga menghindari adanya genangan di permukaan; (c). Apabila terkena air

tidak menyebabkan permukaan menjadi licin dan d). Lantai dipasang dengan

tingkat kemiringan yang memadai (+4o), agar air tidak terlampau lama

menggenang dan pengguna kamar mandi tidak terganggu dengan kemiringan

lantai(Kroemer,2003; Bathing, 1998) dalam Tarwaka (2004).


K. Waktu siklus akivitas usia lanjut

Manfaat studi gerak dan waktu (time & motion study) untuk teknik analis

gerakan pada rancangan (Wignjosoebroto, 2003) yang diharapkan akan diperoleh

efisiensi yang lebih tinggi. Hambatan pergerakan dalam suatu aktivitas akan

mempengaruhi hasil dan kinerja suatu proses. Dengan peralatan cc-TV dan alat

perekam gambar lengkap dengan pencatat waktunya, dapat dilakukan analisis

gerakan Lansiamobilitas menuju kamar mandi dan selama di dalam kamar mandi.

Dari analisis beda waktu pada kegiatan yang sama dan keleluasaan gerak, akan

dapat diketahui rancangan apa yang lebih, memberikan rasa aman.

L. Pertimbangan antropometri Lanjut Usia

Antropometri merupakan ukuran dan proporsi tubuh Lansia(Grandjean,

2007) yang mempunyai manfaat praktis untuk menentukan ukuran tempat duduk,

genggaman, dan batas-batas gerakan sendi.Ukuran tubuh Lansiabaik pria maupun

wanita, terjadi penyusutan ukuran tinggi badan kurang 5% dibanding sewaktu

umur 20 tahun . Hal ini disebabkan oleh banyak faktor di antaranya: (a). Bongkok

dan pembekokan tulang belakang karena proses penuaan; (b). Perubahan tulang

rawan dan persendian menjadi tulang dewasa; (c). Perubahan susunan tulang

kerangka pembentuk tubuh karena proses penuaan, dan akibat penyakit lain yang

diderita (Tilley,1993; dalam Tarwaka, 2004). Sebagai ilustrasi pengukuran

antropometri statis, dapat dilihat seperti Gambar 2.5.


Gambar 2.5 Bagian Antropometri Statis pada Lansia

Keterangan Gambar 2.5 (Sumber Sutjana dan Sutajaya 2007) :

A Tinggi badan : Tinggi dari lantai sampai vertex, posisi subjek berdiri
B Tingg Bahu : Tinggi dari lantai sampai tepi bahu atas, posisi subjek
berdiri

C Tinggi Siku : Tinggi dari lantai sampai tepi bawah siku, posisi subjek
berdiri

D Tinggi Knuckle : Tinggi dari lantai sampai pertengahan kayu yang


digenggam telapak tangan, posisi subyek berdiri dan
tangan tergantung lemas disamping badan

E Tinggi Politeal : Tinggi dari lantai sampai sudut bagian belakang lutut,
posisi subjek duduk diatas bangku dengan tungkai bawah
tegak lurus lantai.

F Jarak : Panjang lengan dari tepi belakang bahu sampai


RaihTangan pertengahan kayu yang digenggam telapak tangan.

G Diameter lingkar : Garis tengah lingkaran karena bertemunya ibu jari dengan
genggaman ujung telunjuk dan dirasakan paling nyaman oleh subjek.
Pengukuran dilakukan dengan mempergunakan kerucut
kayu pengukur genggaman.

Perubahan lainnya adalah makin terbatasnya area pergerakan flextion –

abduc-tion, dari tubuh Lansia, keadaan ini akan mengurangi kebolehan dan

keandalan gerak tubuh. Tinjauan antropometri pada Lansiatidak hanya terbatas


pada pengukuran statis, dan pengamatan perubahan anatomi karena proses

penuaan. Tetapi pengukuran antropometri secara dinamis menjadi penting, karena

berkurangnya kemampuan pergerakan Lansia, akan sangat berpengaruh kepada

rancangan sarana yang akan digunakan oleh Lansia.

Salah satu faktor keterbatasan Lansiayang harus diperhatikan adalah

keterbatasan dalam ukuran dimensi tubuh oleh karna itu dibutuhkan data-data

mengenai diri seseorang. Aplikasi distribusi normal dalam penetapan data

Antropometri jelas diperlukan agar rancangan suatu kamar mandi bisa sesuai

dengan orang yang akan menggunakannya seperti pada populasi Lansia. Ukuran

tubuh yang yang diperlukan pada hakekatnya tidak sulit diperoleh dari

pengukuran secara individual, seperti halnya yang dijumpai untuk alat yang

dibuat berdasarkan pesanan (job order). Situasi mulai menjadi berubah manakala

lebih banyak lagi alat kerja sepertiakses kamar mandi standar yang harus dibuat

untuk digunakan oleh banyak orang Lansia. Permasalahan disini yang timbul

adalah ukuran siapakah yang akan dipilih sebagai acuan untuk mewakili populasi

yang ada, mengingat ukuran individu akan bervariasi satu dengan populasi yang

menjadi target sasaran produk tersebut (Adiputra, 2011; Sucipta, 2009).

N(X,σX
95

2,5%
2,5%
1,96 σX 1,96σX

Persentil 5 X Persentil 95

Gambar 2.6 Distribusi Normal dengan Data Antropometri Percentil 95


Untuk menetapkan data anthropometri ini, pemakaian distribusi normal akan

umum diterapkan. Dalam statistik, distribusi normal dapat diformulasikan

berdasarkan harga rerata ˏX dan simpang baku σ Xdari data yang ada. Data

antropometri untuk penggunaan dalam desain paling baik dipresentasikan dalam

bentuk persentil (Pulat,1992 dalam Sucipta, 2009). Penerapan data antropometri

ini akan dapat dilakukan jika tersedia nilai rerata (mean) dan simpang baku

(standard deviation) dari distribusi normal. Besarnya nilai percentil dapat

ditentukan dari probabilitas distribusi normal seperti pada Table 2.2

Tabel 2.2
Perhitungan Nilai Persentil
Persentil Perhitungan
1st ᵡ -2,325 SD
2,5th ᵡ -1,960 SD
5th ᵡ -1.645 SD
10th ᵡ -1,280 SD
25th ᵡ -0,674 SD
50th ᵡ
75th ᵡ + 0,674 SD
90th ᵡ +1,280 SD
95th ᵡ +1,645 SD
97,5th ᵡ +1,960 SD
99th ᵡ + 2,325 SD

Sumber: Pulat,1997 dalam Sucipta 2009

M. Implementasi Ergonomi LansiaPada Penelitian Berbasis Ergonomi

Total

Menurut Conference Appliade Ergonomi (CAE 2013) bahwa merancang

implementasi atau intervensi dalam modifikasi alat dan desain sebagai perlakuan

dalam upaya pemecahan masalah melalui pendekatan ergonomi total sangat

memungkinkan untuk menggunakan metode campuran. Hal ini mengingat


pendekatan ergonomi total merupakan pendekatan konseptual yang muncul dalam

upaya memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan aktivitas yang

dilakukanLansiadalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam penerapan pendekatan ergomomi total, permasalahan ergonomi

yang ditemukan tersebut dianalisis dengan pendekatan SHIP yaitu secara:

Pendekatansistemik (systemic approach) maksudnya, permasalahan yang

dijumpai di lapangan harus diselesaikan melalui pendekatan sistem, di mana

semua aspek atau unsur yang terkait disusun dan dikerjakan secara sistem,

sehingga dengan pendekatan ini diharapkan tidak ada masalah yang tertinggal.

Pendekatan holistik (holistic approach) maksudnya, semua faktor dan sistem-

sistem yang berhubungan dengan permasalahan yang terjadi, dipecahkan secara

proaktif serta menyeluruh dari hulu sampai hilir. Pendekatan interdisipliner

(interdisciplinary approach) adalah suatu upaya mendayagunakan seluruh disiplin

ilmu yang terkait karena kompleksitas persoalan yang akan dipecahkan termasuk

masalah sosial-budaya. Dengan keterlibatan berbagai disiplin ilmu, maka

simpulan yang diperoleh lebih luas dan kritis. Pendekatan partisipatori

(participatory approach). Menurut Manuaba (2001) bahwa pendekatan ergonomi

partisipatori adalah keterlibatan mental dan emosi dari pimpinan PSTW dan

Lansiauntuk berkontribusi dan bertanggung jawab dalam mencapai tujuan

bersama. Pendekatan ini semestinya dilaksanakan dari awal proses menyediakan

fasilitas dengan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh elemen yang terkait,

seperti pimpinan dan pemakai, sehingga dapat lebih efektif dan efisien serta sesuai

dengan permintaan dan kemungkinan kesalahan dapat diminimalis. Kemudian

dalam upaya pemecahannya didasari dengan pendekatan teknologi tepat guna


(TTG) melalui enam kriteria: (a). Ekonomis; (b). Teknis, (c). Ergonomis, (d).

Sosial-budaya, (e). Hemat energi dan (f). Melindungi lingkungan (Manuaba,

2012).

Anda mungkin juga menyukai