Anda di halaman 1dari 65

TUGAS KELOMPOK ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

R
DENGAN MASALAH HIPERTENSI DI PANTI SOSIAL
TRESNA WERDHA BUDI MULYA 03
CIRACAS JAKARTA TIMUR

Nama Kelompok :
Awalia Roihana T
Pertiwi Purnawati
Dwi Puji Pangesti
Didik Amirul M
Dwi Januardianti
Dwi Merdika H
Sabila Ainingrum

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPEAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMAIYAH JAKARTA
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lansia adalah Kelompok lanjut usia yang berusia 60 tahun ke atas (Nugroho, 2009).
Lanjut usia (lansia) merupakan suatu anugerah menjadi tua, dengan segenap
keterbatasannya, pastinya akan dialami oleh seseorang bila ia panjang umur (Tamher
2009). Lanjut usia (Lansia) adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak
secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan menjadi
tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat terjadi pada
semua orang pada saat mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu.

Hal ini didukung oleh Hawari (2001) dalam Efendy dah Makhfudli (2009) mengatakan
lansia adalah keadaan yang ditandai dengan kegagalan seseorang mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan
penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual.

Jumlah populasi lanjut usia pada tahun 2010 mengalami kenaikan hingga lebih dari
23,992 juta atau 9,77% dari jumlah penduduk (Dewata TV 2010). Dari Jumlah lanjut usia
terlantar sebanyak 3.092.910 di tahun 2005, hanya 15.920 orang yang mendapat
pelayanan kesejahteraan sosial adalah sebanyak 15.920 orang, sedangkan pada tahun
2006 bantuan kesejahteraan sosial kepada lanjut usia hanya meningkat 10 orang menjadi
15.930 orang. Belum ada satu persen pun lanjut usia terlantar yang mempengaruhi
pengeluaran negara di luar tunjangan pensiun (Kompas 2010).

Berdasarkan data DEPSOS, dari populasi lanjut usia yang tercatat sebanyak 16.522.311
jiwa, sekitar 3.092.910 (20 %) diantaranya adalah lanjut usia terlantar (DEPSOS 2006).
Lanjut usia terlantar inilah yang melahirkan anggapan bahwa lanjut usia tidak produktif.
Dari jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat lagi pada tahun 2010 menjadi sekitar
23,9 juta jiwa. Dari hasil SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) tersebut

2
menunjukan pula bahwa Lanjut usia terlantar sekitar 2.426.191 jiwa atau 15 % dan sekitar
4,6 juta lanjut usia atau 29% rawan terlantar. Menurut Media Indonesia (2009) menyataan
beberapa wilayah di Indonesia akan mengalami ledakan penduduk lanjut usia (lanjut usia)
pada tahun 2010 hingga 2020. Jumlah lanjut usia diperkirakan bisa naik mencapai 11, 34
% dari jumlah penduduk di Indonesia.

Keberadaan lanjut usia ditandai dengan umur harapan hidup yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun, hal tersebut membutuhkan upaya pemeliharaan serta peningkatan
kesehatan dalam rangka mencapai masa tua yang sehat, bahagia, berdaya guna dan
produktif. Lanjut usia dapat dikatakan usia emas, karena tidak semua orang dapat
mencapai usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan
keperawatan, baik yang bersifat promotif maupun preventif, agar ia dapat menikmati
masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia (Maryam 2008).

Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-tahapan


menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh
terhadap berbagai serangan penyakit. Hal tersebut disebabkan seiring meningkatnya usia
terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ dengan
bertambahnya umur, fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat proses degeneratif
(penuaan). Sehingga Lansia rentan terkena infeksi penyakit menular akibat masalah
degeneratif menurunkan daya tahan tubuh seperti Tuberkulosis, Diare, Pneumonia dan
Hepatitis. Selain itu penyakit tidak menular banyak muncul pada usia lanjut diantaranya
Hipertensi, Stroke, Diabetes Melitus dan radang sendi atau Asam Urat. Perubahan
tersebut pada umumnya mengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial Lansia. Sehingga secara 3 umum
akan berpengaruh pada activity of daily living (Kementerian Kesehatan RI, 2013;
Sunaryo, 2016).

Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang jarang menimbulkan
gejala-gejala pada penderitanya. Hipertensi yang juga dikenal dengan tekanan darah

3
tinggi merupakan penyakit yang terjadi ketika tekanan darah sistolik menunjukkan angka
≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik menunjukkan angka ≥ 90 mmHg (Savitri &
Usu, 2021). Hipertensi merupakan salah satu jenis penyakit tidak menular dengan
prevalensi atau angka kejadiannya yang terus menerus meningkat setiap tahunnya
(Ekarini et al., 2020).

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2018, penyakit hipertensi di
dunia menunjukkan sekitar 1,13 Miliar orang, terdapat 1 dari 3 orang di dunia
kemungkinan terdiagnosis penyakit hipertensi. Penyandang hipertensi akan terus
mengalami peningkatan setiap tahunnya yang di perkirakan pada tahun 2025 akan
terdapat 1,5 Miliar orang yang akan terdiagnosis hipertensi (Kementerian Kesehatan RI
2019). Sedangkan di Asia Tenggara angka kejadian hipertensi mencapai 36 % (Tirtasari
2019). Menurut hasil data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, penyakit hipertensi di
Indonesia menunjukkan estimasi jumlah kasus sebesar 63.309.620 orang yaitu dengan
angka 8,36 % yang telah di diagnosis oleh dokter pada penduduk umur ≥ 18 tahun. Angka
kematian hipertensi di Indonesia mencapai 427.218 orang (Hidayat et al. 2021). Angka
kematian tersebut selain disebabkan karena hipertensi tetapi juga bisa disebabkan karena
komplikasinya. Menurut hasil data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, prevalensi
hipertensi terbanyak ditunjukkan pada wilayah perkotaan dengan menunjukkan angka
9,10 % berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 18 tahun. Menurut hasil data
Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, pada wilayah DKI Jakarta menunjukkan angka
10,17 % masyarakat terdiagnosis hipertensi pada penduduk umur ≥ 18 tahun yang
terdiagnosis oleh dokter, angka tersebut menempati urutan keempat di Indonesia yang
terdiagnosis hipertensi. Prevalensi angka kejadian hipertensi di Jakarta Timur mencapai
10,45 % penduduk umur ≥ 18 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Menurut data
yang telah diperoleh di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulya 03 Ciracas lansia yang
terkena hipertensi sebanyak 78 orang.

4
Berdasarkan pengkajian dan penemuan data tersebut serta mengingat akan pentingnya
pasien mengetahui dampak yang bisa disebabkan oleh hipertensi itu sendiri, maka
kelompok tertarik untuk memberikan asuhan keperawatan pada lansia lebih lanjut dan
dilaporkan dalam bentuk laporan kelompok kami dengan judul ”Asuhan Keperawatan
Pada Kelompok Lansia Dengan Masalah Hipertensi Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Mulya 03 Ciracas Jakarta Timur”

B. Tujuan
1. Tujuan Umum

Kelompok memperoleh gambaran serta pengalaman dalam memberikan asuhan


keperawatan pada lansia di PSTW Budi Mulya 03 Ciracas Jakarta Timur. dengan
masalah hipertensi secara komprehensif berdasarkan tahapan proses keperawatan.

2. Tujuan Khusus

a. Kelompok dapat mengidentifikasi masalah kesehatan lansia melalui pengkajian


keperawatan.
b. Kelompok dapat mengidentifikasi diagnosa keperawatan pada lansia dengan
hipertensi.

5
c. Kelompok dapat merencanakan tindakan keperawatan yang akan dilakukan guna
mengatasi diagnosa keperawatan yang ada.
d. Kelompok dapat melakukan implementasi sesuai rencana keperawatan yang telah
ditentukan untuk masing – masing diagnosa.
e. Kelompok dapat melakukan evaluasi dari masing – masing implementasi dari
masing – masing diagnosa yang muncul.
f. Kelompok dapat mendokumentasikan hasil dari implementasi yang telah dilakukan
di PSTW Budhi Mulya 03 Ciracas Jakarta Timur.

6
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Lansia
1. Definisi

Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses
kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi
dengan stress lingkungan (Pudjiastuti, 2003 dalam Efendi & Makhfudli, 2009).
Lansia adalah individu yang berusia di atas 60 tahun, pada umumnya memiliki tanda-
tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi
(BKKBN, 1995 dalam Mubarak, dkk 2012).

Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode
dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih
menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock, 2000
dalam Murwani & Priyantari, 2011). Menurut UU N0. 13 tahun 1998 dalam Maryam,
dkk tahun 2010 dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai
usia 60 tahun keatas.

2. Klasifikasi Lansia

Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia.

7
a. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia Resiko Tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan
(Depkes RI, 2003).
d. Lansia Potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).
e. Lansia Tidak Potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).

3. Tipe usia lanjut

Menurut Maryam, dkk tahun 2010, beberapa tipe pada usia lanjut bergantung pada
karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan ekonomi.
Tipe tersebut antara lain:

a. Tipe Arif Bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan


zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

8
b. Tipe Mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.

c. Tipe Tidak Puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak
sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.

d. Tipe Pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan


melakukan pekerjaan apa saja.

e. Tipe Bingung

9
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,
dan acuh tak acuh.

Menurut Nugroho (2008), lanjut usia dapat pula dikelompokkan dalam beberapa tipe
yang tergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental
sosial, dan ekonominya. Tipe ini antara lain:

a. Tipe optimis

Lanjut usia santai dan periang, penyesuaian cukup baik, mereka memandang
masa lanjut usia dalam bentuk bebas dari tanggung jawab dan sebagai
kesempatan untuk menuruti kebutuhan pasifnya. Tipe ini sering disebut juga
lanjut usia tipe kursi goyang ( the rocking chairman).

b. Tipe konstruksi

10
Lanjut usia ini mempunyai integritas baik, dalam menikmati hidup, mempunyai
toleransi yang tinggi, humoristik, fleksibel, dan tahu diri. Biasanya, sifat ini
terlihat sejak muda. Mereka dengan tenang menghadapi proses menua dan
menghadapi akhir.

c. Tipe ketergantungan

Lanjut usia ini masih dapat diterima ditengah masyarakat, tetapi selalu pasif,
tidak berambisi, masih tahu diri, tidak mempunyai inisiatif dan bila bertindak
yang tidak praktis. Ia senang pensiun, tidak suka bekerja, dan senang berlibur,
banyak makan, dan banyak minum.

d. Tipe defensive

Lanjut usia biasanya sebelumnya mempunyai riwayat pekerjaan/jabatan yang


tidak stabil, bersifat selalu menolak bantuan, emosi tidak terkontrol, memegang
teguh kebiasaan, bersifat konpulsif aktif, anehnya mereka takut menghadapi
“menjadi tua” dan menyenangi masa pensiun.

e. Tipe militant dan serius

11
Lanjut usia yang tidak mudah menyerah, serius senang berjuang, bisa menjadi
panutan.

f. Tipe pemarah frustasi

Lanjut usia yang pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, selalu menyalahkan
orang lain, menunjukan penyesuian yang buruk. Lanjut usia sering
mengekspresikan kepahitan hidupnya.

g. Tipe bermusuhan

Lanjut usia yang selalu menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan,
selalu mengeluh, bersifat agresif, dan curiga. Biasanya, pekerjaan saat ia muda
tidak stabil, menganggap menjadi tua itu bukan hal yang baik, takut mati, iri
hati pada orang yang muda, senang mengadu untung pekerjaan, aktif
meghindari masa yang buruk.

h. Tipe putus asa, membenci, dan menyalahkan diri sendiri

12
Lanjut usia ini bersifat kritis dan menyalahkan diri sendiri, tidak mempunyai
ambisi, mengalami penurunan sosio-ekonomi, tidak dapat menyesuaikan diri.
Lanjut usia tidak hanya mengalami kemarahan, tetapi juga depresi, memandang
lanjut usia sebagai tidak berguna karena masa yang tidak menarik. Biasanya,
perkawinan tidak bahagia, merasa menjadi korban keadaan, membenci diri
sendiri, dan ingin cepat mati.

4. Teori Proses Menua

a. Teori Biologis

Menurut potter (2005) menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan


fungsi, struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian.

1) Teori Genetik (Genetic Theory/Genetic Lock)

13
Teori ini mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat
nutrisi dapat merusak sintensis DNA. Teori genetik terdiri dari teori
asam deoksribonukleat (DNA), teori ketepatan dan kesalahan, mutasi,
somatik, dan glikogen. Teori ini menyatakan bahwa proses replikasi
pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur karena adanya informasi
tidak sesuai yang diberikan dari inti sel. Molekul DNA menjadi
bersilangan (crosslink) dengan unsur yang lain sehingga mendorong
malfungsi molekular dan akhirnya malfungsi organ tubuh.

2) Teori Imunologis

Teori imunitas menggambarkan penurunan atau kemunduran dalam


keefektifan sistem imun yang berhubungan dengan penuaan.
Mekanisme seluler tidak teratur diperkirakan menyebabkan serangan
pada jaringan tubuh melalui penurunan imun. Dengan bertambahnya
usia, kemampuan pertahanan/imun untuk menghancurkan bakteri,
virus dan jamur melemah sehingga mereka lebih rentan untuk
menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring
berkurangnya imun terjadilah suatu peningkatan respon auto imun
pada tubuh lansia.

3) Teori Neuroendokrin

14
Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan secara universal
akibat penurunan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk dapat
menerima. Memproses dan bereaksi terhadap perintah. Hal ini dapat
dikenal sebagai perlambatan tingkah laku, respon ini terkadang
aktualisasikan sebagai tindakan untuk melawan, ketulian atau kurang
pengetahuan. Umumnya pada usia lanjut merasa seolah-olah mereka
tidak kooperatif/ tidak patuh.

4) Teori Lingkungan

Menurut teori ini, faktor dari dalam lingkungan seperti karsinogen


dari industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi dapat membawa
perubahan dalam proses penuaan. Dampak dari lingkungan lebih
merupakan dampak sekunder dan bukan faktor utama dalam penuaan.

5) Teori Crossllink

Teori cross link dan jaringan ikat mengatakan bahwa molekul kolagen
dan elastin, komponen jaringan ikat, membentuk senyawa yang lama
meningkatkan rigiditas sel, cross link diperkirakan berakibat
menimbulkan senyawa antara molekul yang normalnya terpisah. Saat
serat kolagen yang awalnya dideposit dalam jaringan otot polos,

15
menjadi renggang berikatan dan jaringan menjadi fleksibel. Contoh
cross link jaringan ikat terkait usia meliputi penurunan kekuatan daya
rentang dinding arteri seperti tanggalnya gigi, kulit yang menua,
tendon kering dan berserat.

6) Teori Radikal Bebas

Radikal bebas adalah produk metabolisme seluler yang merupakan


bagian molekul yang sangat reaktif. Molekul ini memiliki muatan
ektraseluler kuat yang dapat menciptakan reaksi dengan protein,
mengubah bentuk sifatnya, molekul ini juga dapat bereaksi dengan
lipid yang berada dalam membran sel dan mempengaruhi
permeabilitasnya atau dapat berikatan dengan organel sel. Teori ini
menyatakan bahwa penuaan disebabkan karena terjadinya akumulasi
kerusakan ireversibel akibat senyawa pengoksidasi dimana radikal
bebas dapat terbentuk dialam. Tidak stabilnya radikal bebas
mengakibatkan oksidasi bahan organik seperti karbohidrat dan
protein.

b. Teori Psikososial

16
Teori ini memusatkan pada perubahan sikap dan prilaku yang menyertai
peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan
anatomis, yang terdiri dari :

1) Teori Pemutusan Hubungan (Disengagement)

Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia maka


seseorang akan berangsur-angsur akan melepaskan dirinya dari
kehidupan sosialnya (menarik diri) dari lingkungan sekitarnya dan ini
menyebabkan kehilangan ganda seperti : kehilangan peran, hambatan
kontak sosial, berkurangnya komitmen atau dengan kata lain orang
yang menua menarik diri dari perannya dan digantikan oleh generasi
yang lebih muda. Peran yang terkait pada aktivitas yang lebih
introspektif dan berfokus pada diri sendiri. Disengagement adalah
intrinsik dan tidak dapat dielakkan baik secara biologis dan
psikologis, dianggap perlu untuk keberhasilan penuaan dan
bermanfaat baik bagi lansia dan masyarakat.

2) Teori Aktivitas

Teori ini tidak menyetujui teori disengagement dan lebih menegaskan


bahwa kelanjutan aktivitas dewasa tengah penting untuk keberhasilan

17
penuaan. Havighurst (1952) yang pertama menulis tentang pentingnya
tetap aktif secara sosial sebagai alat untuk penyesuian diri yang sehat
untuk lansia. Beberapa pendapat mengemukakan bahwa penuaan
terlalu kompleks untuk dikarateristikan kedalam cara sederhana
tersebut. Gagasan pemenuhan kebutuhan seseorang harus seimbang
dengan pentingnya perasaan dibutuhkan orang lain dalam
mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan
kesejahteraan fisik secara mental orang tersebut. Teori ini
menyatakan pada lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan
ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran optimum dilanjutkan pada
cara hidup dari lansia, mempertahan hubungan antara sistem sosial
dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan kelanjutan usia.
Selain itu dapat menunjukan pentingnya aktivitas mental dan fisik
yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan dan
pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia.

3) Teori Tugas Perkembangan (Kontuinitas)

Teori kontuinitas menyatakan bahwa kepribadian tetap masa dan


prilaku menjadi lebih mudah diprediksi seiring penuaan. Hasil
penelitian Ericson tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan
yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap spesifik dalam
kehidupannya untuk mencapai penuaan yang sukses. Beberapa
pendapat bahwa teori ini terlalu sederhana dan tidak
mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi respon
seseorang terhadap proses penuaan. Teori ini juga menyatakan bahwa

18
perubahan yang terjadi pada lanjut usia dipengaruhi oleh tipe
kepribadian yang dimiliki. Pada kondisi ini tidak adanya pencapaian
perasaan bahwa ia telah menikmati hidup yang baik, maka lansia
tersebut beresiko untuk disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus
asa.

4) Teori Kepribadian

Jun berteori bahwa keseimbangan antara dua hal tersebut adalah


penting bagi kesehatan. Menurunya tanggung jawab dan tuntutan dari
keluarga dan ikatan sosial sering terjadi dikalangan lansia. Konsep
interioritas dari Jun mengatakan bahwa separuh kehidupan manusia
berikutnya digambarkan dengan tujuan sendiri yaitu mengembangkan
kesadaran diri sendiri melalui aktivitas yang dapat merefleksikan
dirinya sendiri. Lansia sering beranggapan bahwa hidup telah
memberikan satu rangkaian pilihan yang sekali dipilih akan
membawa orang tersebut pada suatu arah yang tidak bisa diubah.

5. Perubahan Sistem Tubuh Lansia

Menurut Nugroho, 2000 beberapa perubahan sistem tubuh manusia

19
a. Perubahan Fisik

1) Sel

Pada lansia, jumlah jumlah selnya akan lebih sedikit dan ukurannya akan
lebih besar. Cairan tubuh dan cairan intraseluler akan berkurang, proporsi
protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati juga ikut berkurang. Jumlah
sel otak akan menurun, mekanisme perbaikan sel akan terganggu, dan
otak menjadi atrofi.

2) Sistem Persarafan

Rata-rata berkurangnya saraf neocortical sebesar 1 per detik (Pakkenberg


dkk, 2003), hubungan persarafan cepat menurun, lambat dalam merespon
baik dari gerakan maupun jarak waktu, khususnya dengan stress,
mengecilnya saraf pancaindra, serta menjadi kurang sensitive terhadap
sentuhan.

3) Sistem Pendengaran

20
Gangguan pada pendengaran (presbiakusis), membran timpani
mengalami atrofi, terjadi pengumpulan dan pengerasan serumen karena
peningkatan keratin, pendengaran menurun pada lanjut usia yang
mengalami ketengagan jiwa atau stress.

4) Sistem Penglihatan

Timbul skelerosis pada sfinter pupil dan hilangnya respon terhadap sinar,
kornea lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih suram (keruh)
dapat menyebakan katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar dan
daya adaptasi terhadap kegelapan menjadi lebih lambat dan sulit untuk
melihat dalam kedaan gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya
lapang pandang, dan menurunya daya untuk membedakan antara warna
biru dengan hijau pada skala pemeriksaan.

5) Sistem Kardiovaskular

Elastisitas dinding aorta menurun, katub jantung menebal dan menjadi


kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun
sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi
dan volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya
efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi, sering terjadi

21
postural hipotensi, tekanan darah meningkat diakibatkan oleh
meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer.

6) Sistem Pengaturan Suhu Tubuh

Suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ± 35 0 C, hal ini


diakibatkan oleh metabolisme yang menurun, keterbatasan reflek
menggigil, dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga
terjadi rendahnya aktivitas otot.

7) Sistem Pernafasan

Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,


menurunnya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga
kapasitas residu meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas
pernapasan maksimum menurun, dan kedalaman bernapas menurun.
Ukuran alveoli melebar dari normal dan jumlahnya berkurang, oksigen
pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, kemampuan untuk batuk
berkurang, dan penurunan kekuatan otot pernapasan.

22
8) Sistem Gastrointestinal

Kehilangan gigi, indra pengecapan mengalami penurunan, esophagus


melebar, sensitivitas akan rasa lapar menurun, produksi asam lambung
menurun, peristaltik lemah dan waktu pengosongan lambung menurun,
peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, fungsi absorbsi
menurun, hati (liver) semakin mengecil dan menurunnya tempat
penyimpanan, serta berkurangnya suplai aliran darah.

9) Sistem Genitourinaria

Ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah keginjal menurun
hingga 50%, fungsi tubulus berkurang (berakibat pada penurunan
kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan urin, berat jenis urin
menurun, proteinuria biasanya +1), blood urea nitrogen (BUN)
meningkat hingga 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa
meningkat. Otot-otot kandung kemih (vesica urinaria) melemah,
kapasitasnya menurun hingga 200 ml dan menyebabkan frekuensi buang
air kecil meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan sehingga
meningkatkan retensi urine. Pria dengan usia 65 tahun keatas sebagian
besar mangalami pembesaran prostat hingga ±75% dari besar normalnya.

23
10) Sistem Endokrin

Menurunnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktivitas tiroid, basal
metabolic rate (BMR), daya pertukaran gas, produksi aldosteron, serta
sekresi hormon kelamin seperti progesteron, estrogen, dan testosteron.

11) Sistem Integumen

Kulit menjadi keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit


kasar dan bersisik, menurunnya respon terhadap trauma, mekanisme
proteksi kulit menurun, kulit kepala dan rambut menipis serta berwarna
kelabu, rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya
elstisitas akibat menurunnya cairan vaskularitas, pertumbuhan kuku lebih
lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kuku kaki tumbuh secara
berlebihan dan seperti tanduk, kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan
fungsinya, kuku menjadi pudar dan kurang bercahaya.

● Perubahan pada Epidermis

24
Stratum korneum yang merupakan lapisan terluar dari
epidermis akan mengalami jumlah lipid seiring bertambahnya
usia sehingga rentan terhadap kerusakan. Pernurunan proliferasi
sel – sel epidermis (keratinosis) juga menyebabkan stratum
korneum lebih lama dalam mengatasi kerusakan tersebut. Sel –
sel melanosit yang memberikan warna pada kulit dan
melindungi kulit dari sinar ultraviolet akan mengalami
penururnan jumlah aktif sebanyak 10 – 20% perdekade. Selain
itu, sel – sel langerhans yang berperan sebagai makrofag juga
menururn, sehingga rentan terhadap terjadinya infeksi (Reichel,
2009).

● Perubahan Pada Dermis

Pada usi atua terjadi penururna kekebalan kulit dan penururnan


vaskularisasi serta komponen sel. Dermis tersusun atas 80%
kolagen yang memeberikan daya elastisitas dan fleksibilitas
pada kulit. Penururnan kolagen dan elastisitas dapat
menyebabkan kelemahan, ketahanan, dan kerutan halus tampak
pada kulit yang menua.

● Perubahan Jaringan Subkutan

25
Pertambahan usia menyebabkan penururnan jumlah dan
distribusi lemak pada subkutan. Beberapa jaringan subkutan
mengalami atropi. Hal ini mengakibatkan orang tua mengalami
kehilangan bantalan tubuh yang melindungi dari tekanan dan
nkehilangan suhu tubuh. Selain itu, pada saraf juga mengalami
penurunan shingga mempengaruhi sensasi tekan dan sentuhan.

12) Sistem Muskuloskeletal

Tulang kehilangan kepadatan (density) dan semakin rapuh, kifosis,


persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan
mengalami sklerosis, atrofi serabut otot sehingga gerak seseorang
menjadi lambat, otot-otot kram dan menjadi tremor.

b. Perubahan Mental

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan fisik,


kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), lingkungan,
tingkat kecerdasan (intelligence quotient-I.Q.), dan kenangan (memory).
Kenangan dibagi menjadi dua, yaitu kenangan jangka panjang (berjam-jam
sampai berhari-hari yang lalu) mencakup beberapa perubahan dan kenangan

26
jangka pendek atau seketika (0-10 menit) biasanya dapat berupa kenangan
buruk.

c. Perubahan Psikososial

Perubahan psikososial terjadi terutama setelah seseorang mengalami pensiun.


Berikut ini adalah hal-hal yang akan terjadi pada masa pensiun.

1) Kehilangan sumber finansial atau pemasukan (income) berkurang.


2) Kahilangan status karena dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup
tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya.
3) Kehilangan teman atau relasi.
4) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
5) Merasakan atau kesadaran akan kematian (sense of awareness of
mortality).

27
6. Tugas Perkembangan Lansia

Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut

a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun


b. Mempersiapkan diri untuk pensiun
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
d. Mempersiapkan kehidupan baru
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai
f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.

B. Konsep Hipertensi
1. Definisi

Hipertensi secara umum merupakan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah manusia secara alami
berfluktuasi sepanjang hari (Manuntung, 2018). Hipertensi atau penyakit darah tinggi
adalah suatu gangguan pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan
nutrisi terhambat ke jaringan tubuh (Hastuti, 2019).

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hipertensi merupakan suatu


keadaan tekanan darah meningkat yaitu pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Hal ini terjadi gangguan pada pembuluh darah
yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang di bawah oleh darah terhambat
sampai ke pada jaringan tubuh yang membutuhkan.

28
2. Klasifikasi

Adapun klasifikasi hipertensi atau tekanan darah tinggi terbagi menjadi dua yaitu:

a. Hipertensi Esensial (Primer)

Hipertensi esensial (primer) terjadi pada sebagian besar kasus tekanan darah
tinggi (95 %). Etiologi dari hipertensi primer tidak diketahui dengan jelas, tetapi
sering dikaitkan dengan kombinasi faktor pola hidup seperti kurang begerak dan
pola makan (Manuntung 2018). Selain itu etiologinya sering dikaitkan juga
dengan faktor genetik, asupan garam yang berlebihan dan peningkatan tonus
adrenergik (Manuntung 2018).

b. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder jarang terjadi, hanya sekitar 5 % dari seluruh kasus tekanan
darah tinggi. Hipertensi sekunder dapat disebabkan karena kondisi medis atau
reaksi terhadap obat-obatan tertentu (misalnya pil KB) (Manuntung, 2018).
Hipertensi sekunder merupakan keadaan meningkatnya tekanan arterial sistemik

29
sebagai akibat dari keadaan lain yang dapat diidentifikasi. Gambaran hipertensi
sekunder meliputi hipertensi yang dialami pada usia < 20 tahun atau > 50 tahun,
dengan tekanan darah > 180/110 mmHg, bunyi bruit abdomen, dan riwayat
keluarga penyakit renal atau hipertensi yang tidak terkontrol kendati yang sudah
diberikan tiga obat antihipertensi dengan dosis maksimal (Hartono, 2014).

Klasifikasi menurut Joint National Committee (JNC)

Kategori Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik


(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pra-Hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi tingkat 1 140-159 90-99
Hipertensi tingkat 2 >160 > 100
Sumber: (Manuntung 2018)

3. Etiologi
Menurut Ardiansyah (2012) penyebab hipertensi terbagi menjadi dua golongan yaitu
sebagai berikut:
a. Hipertensi Primer
Adapun penyebab dari hipertensi primer atau esensial yaitu diantaranya:
1) Genetik
Seseorang yang miliki keluarga hipertensi akan berpotensi lebih tinggi
mendapatkan penyakit hipertensi. Hipertensi dapat disebabkan akibat
dari mutasi gen tunggal yang di turunkan berdasarkan hukum mendel.
Genetik juga merupakan faktor risiko hipertensi yang tidak dapat di
modifikasi (Ardiansyah 2012).
2) Jenis kelamin dan usia
Laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita yang telah menopause
berisiko tinggi terjadinya penyakit hipertensi. Tekanan darah sistolik
meningkat secara progresif sesuai usia dan orang usia lanjut dengan
30
hipertensi yang berisiko untuk penyakit kardiovaskular. Tekanan darah
wanita khususnya tekanan darah sistolik meningkat sesuai dengan usia.
Setelah 55 tahun, wanita memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita
hipertensi (Aristoteles 2018). Hal ini disebabkan akibat adanya
perbedaan hormon kedua jenis kelamin. Pada wanita yang telah
menopause, hormon esterogen akan menurun sehingga tekanan darah
meningkat. Hormon esterogen menurun pada perempuan menopause
akan mengakibatkan peningkatan IMT (Risky 2017).
3) Konsumsi tinggi garam dan kandungan lemak
Konsumsi garam dengan tinggi dan mengkonsumsi makanan dengan
kandungan lemak yang tinggi secara langsung akan berkaitan dengan
berkembangnya penyakit hipertensi. Konsumsi tinggi garam (natrium)
dapat menimbulkan terjadinya retensi cairan atau dapat tertahannya air
di dalam tubuh. Hal ini menyebabkan volume air dalam pembuluh
darah akan meningkat sehingga tekanan di pembuluh darah pun akan
naik. Konsumsi lemak yang banyak berpengaruh pada tingginya
simpanan kolesterol di dalam darah. Simpanan ini nantinya akan
menumpuk pada pembuluh darah yang disebut dengan plaque yang
akan menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah. Penyumbatan
ini akan menjadikan elastisitas pembuluh darah berkurang sehingga
volume dan tekanan darah akan meningkat (Kartika et al. 2017).
4) Berat badan obesitas
Berat badan tinggi atau obesitas akan mudah terkena hipertensi. Pada
seseorang dengan obesitas tahanan perifer akan berkurang sedangkan
saraf simpatis meningkatkan dengan aktifitas renin plasma yang rendah.
Semakin besar massa tubuh, maka akan semakin banyak darah yang
dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh.
Kondisi obesitas sangat berhubungan dengan peningkatan volume
intravaskuler dan curah jantung. Daya pompa jantung dan sirkulasi
volume darah penderita hipertensi dengan obesitas akan lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan normal
(Rohkuswara & Syarif, 2017).
5) Gaya hidup merokok dan konsumsi alkohol
31
Gaya hidup merokok dan mengkonsumsi alkohol sering dikaitkan
dengan berkembangnya hipertensi karena reaksi bahan atau zat yang
terkandung di dalam keduanya. Merokok dapat menyebabkan hipertensi
berkaitan dengan mekanisme pelepasan norepinefrin dari ujung-ujung
saraf adrenergik yang disebabkan adanya zat nikotin. Alkohol
mempunyai efek yang sama dengan karbomonoksida yang dapat
menyebabkan keasaman darah meningkat dan tekanan darah meningkat
(Sukma et al,. 2019).
b. Hipertensi Sekunder
Menurut Amin Huda Nurarif (2016) penyebab dari hipertensi sekunder yaitu
sebagai berikut:
1) Penggunaan esterogen
Penggunaan esterogen yaitu terkait dengan penggunaan pil KB yang
mengandung kombinasi esterogen. Periode atau lama penggunaan pil
KB dapat mempengaruhi tekanan darah yaitu selama penggunaan pil
kontrasepsi akan terjadi peningkatan ringan pada tekanan darah
sistolik dan diastolik terutama dalam kurun waktu 2 tahun pertama
penggunaanya. Jenis pil KB yang digunakan dapat mempengaruhi
perubahan pada tekanan darah akseptor. Pil KB dengan kombinasi
yang mengandung esterogen tinggi dapat mempengaruhi metabolisme
elektrolit yang dapat mempercepat adanya aterosklerosis dan memicu
terjadinya hipertensi (Nafisah et al., 2014).
2) Penyakit ginjal
Ginjal merupakan salah satu organ yang berada dalam tubuh manusia
yang berperan penting dalam homestasis yaitu dengan mengeluarkan
sisa-sisa metabolisme tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit, serta memproduksi hormon yang dapat mempengaruhi
organ-organ lainnya. Salah satu contohnya yaitu dalam mengontrol
tekanan darah dalam menyeimbangkan tekanan darah. Organ ginjal
bekerja didukung oleh aliran darah ke ginjal, jaringan ginjal, dan
saluran pembuangan pada ginjal. Apabila salah satu faktor pendukung
terganggu maka akan menyebabkan fungsi ginjal akan terganggu.
Akibat dari penyakit ginjal ini akan menyebabkan dua kejadian
32
penting yaitu peningkatan resistensi peredaran darah ke ginjal dan
penurunan fungsi kapiler glomerulus. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya ischemia pada ginjal yang merangsang peningkatan
pengeluaran renin pada glomerular sel. Renin ini akan menyebabkan
meningkatnya angiotensin I dan angiotensin II yang memiliki efek
vasokontriksi dan pengeluaran aldosterone yang mempunyai efek
intrarenal hemodinamik dan retensi sodium. Dari iskemia ginjal ini
yang akan menjadi faktor utama penyebab terjadinya hipertensi
(Kadir, 2018).
3) Sindrom cushing
Sindrom cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan karena
tigginya kadar hormon kortisol di dalam tubuh. Hormon ini di hasilkan
oleh kelenjar adrenal yang berperan dalam menjaga fungsi jantung dan
pembuluh darah serta dalam mengontrol tekanan darah. Apabila
hormon kortisol (hipertkortisolisme) akan menyebabkan terjadinya
penyakit seperti hipertensi (Nurarif, 2016).
4) Hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.
Hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan atau yang sering di
sebut dengan hipertensi gestasional. Hipertensi ini terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu dan bisa hilang setelah melahirkan (Nurarif,
2016).

33
4. Patofisiologi

34
5. Menifestasi klinis
Pada sebagian besar orang dengan hipertensi tidak menimbulkan gejala, namun
adapun gejala yang terjadi pada seseorang dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang
dimaksud yaitu sakit kepala, kelemahan atau kelelahan, dan pusing. Gejala tersebut
gejala terlazim pasien hipertensi yang mencari pertolongan medis (Nurarif, 2016).
Adapun beberapa gejala lainnya yaitu sebagai berikut (Nurarif, 2016): mengeluh
sakit kepala dan pusing, lemas dan kelelahan, sesak nafas, gelisah, mual, muntah,
epitaksis, dan kesadaran menurun.

6. Penatalaksanaan
Menurut Aspiani (2015) penatalaksanaan hipertensi terbagi menjadi dua yaitu non
farmakologi dan farmakologi yaitu sebagai berikut:
a. Pengaturan diet
1) Diet rendah garam
2) Diet rendah garam dapat menurunkan tekanan darah pada pasien
dengan hipertensi. Pengurangan konsumsi garam dapat mengurangi
stimulasi sistem renin-angiotensin sehingga akan berpotensi sebagai
anti hipertensi. Jumlah asupan natrium yang dianjurkan yaitu 50-100
mmol atau setara dengan 3-6 gram garam per harinya (Aspiani 2015).
3) Diet tinggi kalium
4) Diet tinggi kalium dapat menurunakan tekanan darah tetapi
mekanismenya belum jelas. Pemberian kalium secara intravena dapat
menyebabkan vasodilatasi, yang dipercaya dimediasi oleh oksidan
nitrat pada dinding vaskular (Aspiani 2015).
b. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan (1 kg/minggu) sangat dianjurkan. Penurunan berat
badan dengan menggunakan obat-obatan perlu perhatian khusus karena pada
umumnya obat tersebut terjual bebas mengandung simpatomimetik, sehingga
akan meningkatkan tekanan darah (Aspiani 2015).
c. Olahraga
Olahraga yang dapat dilakukan yaitu berjalan, berenang, bersepeda, dan lain-
lain yang dimana bermanfaat dalam menurunkan tekanan darah dan
memperbaiki keadaan jantung. Olahraga isotonik dapat juga meningkatkan
35
fungsi endotel, vasodilatasi perifer, dan dapat mengurangi ketekolamin
plasma. Olahraga teratur sangat di anjurkan yaitu 30 menit sebanyak 3-4 kali
dalam satu minggu. Olahraga meningkatkan kadar HDl yang dapat
mengurangi terbentuknya arteroklerosis akibat hipertensi (Aspiani 2015).
d. Memperbaiki gaya hidup yang kurang sehat
Berhenti merokok dan tidak mengonsumsi alkohol penting dalam mengurangi
efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan
aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan kerja jantung (Aspiani
2015).
e. Farmakologi (Terapi medis)
1) Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dalam mengeluarkan cairan tubuh
(melalui urine) sehingga volume cairan tubuh berkurang, tekanan
darah turun, dan beban jantung lebih ringan (Manuntung 2018).
Contoh obat diuretik yaitu furosemide, spironolactone,
hydrochlorothazine, dan bumetanide (Digiulio 2014).
2) Penyekat beta (ß-bloker)
Mekanisme kerja obat antihipertensi ini yaitu melalui penurunan laju
nadi dan daya pompa jantung dan obat golongan ß-blokers yang dapat
menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien hipertensi lanjut usia.
Beta-adrenergic blocker untuk menghambat denyut jantung dan
keluaran jantung. Contoh obatnya yaitu propranolol, metrooprolol, dan
atenolol (Aspiani 2015).
3) Golongan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) dan
angiotensin receptor blocker (ARB)
Penghambat angiotensin converting enzyme (ACE inhibitor atau
ACEI) menghambat kerja ACE sehingga akan ada perubahan
angiotensin I menjadi angotensin II (vasokontriktor) terganggu.
Sedangkan angiotensin receptor blocker (ARB) dapat menghalangi zat
angiotensin II pada reseptor. ACE ini untuk menghambat sistem renin
angiotensin aldosterone. Contoh obatnya yaitu Captopril, fasinopril,
dan ramipril (Manuntung 2018).
4) Golongan calsium channel blockers (CCB)
36
Calsium channel blockers (CCB) dapat menghambat masuknya
kalsium ke dalam sel pembuluh darah arteri, sehingga menyebabkan
dilatasi arteri koroner dan juga arteri perifer (Manuntung 2018).

C. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
Menurut (Handa Gustiawan 2019) yang perlu dikaji ialah :
a. Identitas
Ada beberapa yang merupakan identitas yaitu : Nama, umur,
agama, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, status perkawinan,
pendidikan terakhir, tanggal masuk panti, kamar dan identitas
keluarga pasien (Handa Gustiawan 2019)
b. Riwayat Masuk Panti
Menjelaskan mengapa memilih tinggal di panti dan bagaimana
proses sehingga dapat bertempat tinggal di panti(Handa Gustiawan
2019)
c. Riwayat Keluarga
Menggambarkan sebuah hubungan keluarga ( kakek, nenek, orang
tua, saudara kandung, pasangan, dan anak-anak )
d. Riwayat Pekerjaan
Menjelaskan dimana pekerjaan sekarang, pekerjaan sebelumnya,
dan mendapatan uang dan kecukupan terhadap kebutuhan yang
tinggi.
e. Riwayat Lingkup Hidup
Memiliki gambaran tempat tinggal, berapa kamar yang diinginkan,
berapa orang yang tinggal di rumah, derajat privasi, alamat, dan
nomor telpon.
f. Riwayat Rekreasi
Meliputi : hoby/peminatan, keanggotaan organisasi, dan liburan.
g. Sumber/Sistem Pendukung
Sumber pendukung adalah anggota atau staf pelayanan kesehatan
seperti dokter, perawat atau klinik
h. Deskripsi Harian Khusus Kebiasaan Ritual Tidur
37
Menjelaskan kegiatan yang dilakukan sebelum tidur. Pada pasien
lansia dengan hipertensi mengalami susah tidur sehingga dilakukan
ritual ataupun aktivitas sebelum tidur.
i. Status Kesehatan Sekarang
Ada beberapa status kesehatan umum ketika setahun yang lalu, status
kesehatan umum ketika 5 tahun yang lalu, keluhan yang utama, serta
pendidikan tentang penatalaksanaan masalah kesehatan.
j. Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan fisik ialah suatu proses pemeriksaan tubuh pasien
pada ujung kepala sampai ujung kaki (head to toe) untuk
menentukan adanya gejala dari sebuah penyakit dengan teknik
inpeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi. Pada pemeriksaan kepala
dan leher yaitu melihat bentuk kepala, warna rambut, bentuk wajah,
kesimetrisan mata, kelopak mata, kornea mata,konjungtiva serta
sclera, pupil serta iris, ketajaman penglihatan, tekanan bola mata,
cuping hidung, lubang hidung, tulang hidung, dan menilai ukuran
telinga, ketegangan telinga, kebersihan lubang telinga, ketajaman
pendengaran, kondisi gigi, gusi serta bibir, kondisi lidah, palatum
serta osofaring, keberadaan trakea, tiroid, kelenjar limfe, vena
jugularis serta denyut nadi karotis.

Selanjutnya pemeriksaan payudara yakni inspeksi terdapat atau


tidak kelainan berupa (warna kemerahan pada mammae, oedema,
papilla mammae menonjol atau tidak, hiperpigmentasi aerola
mammae, apakah ada pengeluaran cairan pada putting susu),
palpasi (menilai apakah ada benjolan, adanya pembengkakan
kelenjar getah bening, lalu disertai dengan pengkajian nyeri tekan).
Pemeriksaan thoraks yakni inspeksi terdapat atau tidak kelainan
berupa (simetris dada, menggunakan otot bantu pernafasan, pola
nafas), palpasi (nilai vocal premitus), perkusi (menilai bunyi
perkusi apakah terdapat kelainan), dan auskultasi (menilai bunyi
nafas dan adanya bunyi nafas tambahan).

38
Pemeriksaan jantung yaitu inpeksi serta palpasi (mengamati ada
tidaknya pulsasi serta ictus kordis), perkusi (tentukan batasan
jantung untuk ukuran jantung), auskultasi (mendengar suara
jantung, suara jantung adanya penambahan atau tidak
bising/murmur). Pada pemeriksaan abdomen meliputi inspeksi
terdapat atau tidak kelainan berupa (bentuk abdomen,
benjolan/massa, bayangan pembuluh darah, warna kulit abdomen,
lesi pada abdomen), auskultasi (bising usus atau peristalik usus
dengan nilai normal 5-35 kali/menit), palpasi (ada atau tak nyeri
tekan, benjolan/massa, besarnya hepar dan lien) dan perkusi
(penilaian suara abdomen serta pemeriksaan asites).

Pemeriksaan kelamin dan sekitarnya meliputi area pubis, meatus


uretra,anus serta perineum terdapat kelainan atau tidak. Pada
pemeriksaan muskuloskletal meliputi pemeriksaan kekuatan dan
kelemahan ekstermitas, kesimetrisan cara berjalan. Pada
pemeriksaan integument meliputi membersihkan, menghangatkan,
warna, turgor kulit, bentuk kulit, kelembaban serta kelainan
terhadap kulit serta terdapat lesi atau tidak (Handa Gustiawan
2019)
a) Pengkajian status fungsional dan pengkajian status kognitif
1. Pengkajian status fungsional
a. Indeks katz
Pemeriksaan indeks katz memfokuskan aktivitas
kehidupan sehari-hari yaitu kegiatan mandi, memakai
pakaian, pindah tempat, toileting, dan makan. Mandiri
merupakan tidak ada yang mengawasi, mengarahkan,
ataupun bantuan orang lain. Pengkajian ini
mendasarkan pada status aktual serta bukan terhadap
kemampuan. Pengkajian ini dapat mengukur
kemampuan fungsional lanjut usia dilingkungan sekitar
rumah. (Susanto 2018)
b. Barthel indeks
39
Pemeriksaan barthel indeks adalah alat mengukur
kemandirian lanjut usia yang sering digunakan, dengan
ukur mandiri fungsional pada perihal keperawatan diri
serta mobilitas. Barthel indeks tidak mengukur ADL,
instrumental, komunikasi, dan psikososial. Pengukuran
pada barthel indeks bertujuan buat ditunjukkan
peningkatan pelayanan yang dibutuhkan pasien. Barthel
indeks dapat mengambil pada catat medik penderita,
pengamatan langsung ataupun catatan sendiri pada
pasien. (Susanto 2018)
2. Pengkajian status kognitif
a. SPMSQ (Short portable mental status questionaire)
adalah beberapa penguji sederhana yang sudah
digunakan secara
luas buat kaji status mental. Menguji semacam 10
pertanyaan berkaitan dengan orientasi, riwayat pribadi,
ingatan janka pendek, ingatan jangka panjang dan
perhitungan. (Rosita 2012)
b. MMSE/Mini mental state exam ialah bentuk mengkaji
kognitif yang digunakan. Lima fungsi kognitif dalam
MMSE yaitu konsentrasi, bahasa, orientasi, ingatan
serta atensi. MMSE terdiri dari dua bagian, bagian
pertama hanya membutuhkan respon verbal dan
mengkaji orientasi, memori dan atensi. Bagian kedua
kaji kemampuan tulis kalimat, nama objek, ikuti
perintah verbal serta tulis, salin suatu desain poligon
kompleks. (Rhosma S, 2014)

2. Diagnosa Keperawatan
Pada hasil pengkajian dan penelitian yang didapatkan dari Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia dengan masalah hiperurisemia (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI 2017) adalah sebagai berikut:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
40
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan
c. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 : Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
Tujuan dan kriteria hasil : Setelah memberikan tindakan keperawatan 3x 24
jam, harapan nyeri berkurang dengan kriteria hasil : keluhan nyeri berkurang,
skala nyeri rendah, kesulitan tidur berkurang.
Rencana tindakan :
a. Manajemen nyeri:
1) Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, kualitas, intensitas nyeri
Rasional : Buat mengetahui lokasi nyeri
b) Identifikasi skala nyeri.
Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri
c) Identifikasi respons nyeri non verbal
Rasional : buat diketahui respons nyeri non verbal
d) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Rasional : Buat diketahui aspek apa yan berat dan ringan nyeri
e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
Rasional : memberikan pengetahuan mengenai penyebab nyeri kepada
pasien
2) Terapetik
a) Beri tehnik non farmakologis buat kurangi rasa nyeri (meliputi. terapi
relaksasi, kompres panas/hangat)
Rasional: memperingan ataupun kurangi nyeri sampai tingkat yang
dapat diterima pasien.

41
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KELOMPOK PADA LANSIA
PSTW BUDI MULYA 03 CIRACAS

A. PENGKAJIAN
1. Data demografi
Nama Klien : Ny. R
Umur : 60 tahun Pendidikan : SMA
Jenis kelamin : Perempuan Pekerjaan lalu : SPG
Suku : Bugis Pekerjaan saat ini: Tidak ada
Agama : Islam
Status marital : Cerai Mati
Alamat rumah : Tidak ada
Telpon : Tidak ada
Hobby/minat : Bernyanyi

2. Riwayat Kesehatan:
Alasan masuk panti:
 Klien mengatakan semenjak suaminya meninggal tahun 2010,ia tinggal bersama ibu
mertuanya dengan kondisi ekonomi yang buruk sehingga ia masih menjadi tulang
punggung. Pada tahun 2011 pasien mengatakan mengalami serangan stroke sehingga
hanya bisa berbaring dan melakukan kegiatan di atas kasur. Kebutuhan sehari-hari
hanyaa didapat dari bantuan RT dan RW, karena ibu mertuanyan tidak mampu
merawat klien yang stroke ketua RT berinisiatif untuk membawa Ny.R ke panti.
Tanggal masuk panti:
 Klien mengatakan lupa tanggal tepat masuk panti, tapi klien ingat bulan dan tahun ia
masuk panti yaitu bulan Juni tahun 2012.
Penyakit yang pernah diderita:
 Klien mengatakan pertama kali didiagnosa hipertensi pada tahun 2010 dan jarang
meminum obat hipertensi, obat diminum hanya saat terasa pusing saja. Klien juga
mengatakan hipertensi didapatkan dari orangtuanya dan diperburuk dengan pola
hidup yang tidak baik.

42
Status kesehatan setahun lalu:
 Klien mengatakan selama satu tahun kebelakang tidak ada sakit selain stroke yang
diderita pada tahun 2011 lalu yang meninggalkan gejala sisa hingga saat ini. Hanya
sesekali seperti batuk dan flu biasa saja.
Status kesehatan 5 tahun lalu:
 Klien mengatakan pada tahun 2017 lalu pernah di diagnosa mioma dan dilakukan
pengangkatan di RSUD Budi Asih, proses operasi berjalan dengan baik dan proses
penyembuhan juga cepat.

3. Status kesehatan
Keluhan/masalah kesehatan saat ini :
 Klien mengatakan nyeri pada lutut kiri setiap bangun tidur malam, nyeri terasa seperti
ditusuk-tusuk dan tidak menyebar, dengan skala 4 dari 10. Nyeri terasa terus menerus
tanpa jeda dan membaik saat diistirahatkan, kaku pada ekstremitas bagian kiri atas
dan bawah sehingga agak lambat saat melakukan aktivitas, lidah kaku saat bicara
tetapi kata-kata yang keluar masih bisa dimengerti oleh lawan bicara. Klien rutin
minum obat amlodipine 1x10 mg pagi hari dan candesartan 1x16 mg pada malam
hari.
Pengetahuan tentang penyakit yang diderita dan cara perawatannya:
 Klien mampu menjawab dengan benar tentang pengertian hipertensi dan stroke yang
dideritanya, tanda dan gejala yang muncul, penyakit yang berisiko, diit yang harus
dilakukan dan hal yang harus dilakukan untuk mengontrol hipertensi.

4. Kebiasaan sehari-hari:
Istirahat/tidur:
 Klien mengatakan tidur malam sejak jam 20.00 hingga jam 02.00 pagi dan tidur siang
hanya sesekali saja. Klien mengatakan tidurnya berkualitas tanpa ada jeda terbangun
dan setelah bangun tidur malam badannya lebih segar. Klien juga memiliki ritual
sebelum tidur yaitu melakukan BAK, wudhu dan sholat sunah. Saat dilakukan
pengkajian wajah pasien tampak segar dan tidak lesu.
Nutrisi (makan dan minum):

43
 Klien mengatakan makan 3x/ hari habis 1 porsi, makanan didapat dari panti dengan
3x dengan menu seperti ayam, telur, tahu, tempe, sayur dan buah potong. Selingan
snak buah pada malam hari seperti buah segar, ubi rebus atau pisang rebus.
Kebersihan diri:
 Klien mengatakan mandi pagi dan sore menggunakan sabun, sikat gigi pagi dan sore
serta keramas setiap 2 hari sekali menggunakan sampo. Kulit dan rambut klien
tampak bersih, berpakaian rapi sesuai dengan ketentuan panti.
Spiritual:
 Klien mengatakan sholat 5 waktu dan melakukan sholat sunat seperti dhuha, tahajud,
fajr dan sholat istikhoroh, dzikir setiap setelah sholat, membaca yasin bersama di
mushola setiap kamis malam.

5. Aktivitas sehari-hari:
Klien mengatakan aktivitas sehari-hari sebagai ketua kamar sehingga selalu mengkoordinir
teman-teman lainnya untuk mandi dan berpakaian dengan benar. Klien mengatakan aktivitas
sehari-hari dilakukan secara mandiri tanpa bantuan orang lain, hanya saja saat melakukan
aktivitasnya klien melakukan secara perlahan. Saat naik atau turun tangga menuju mushola
klien dibantu oleh temannya dengan cara dituntun. Indeks katz

6. Psikososial:
Klien mengatakan bersosialisai dengan semua orang tanpa hambatan serta menerima semua
ketentuan yang diberikan oleh tuhan karena ia merasa bahwa tuhan sudah sangat baik
dengannya yang sudah memberikan orang-orang baik disekitarnya misalnya petugas panti
dan mahasiswa praktik yang sangat perduli. Pada saaat dilakukan pengamatan, klien tampak
bersosialisasi tanpa hambatan dengan sesama warga binaan. Hasil pemeriksaan MMSE
dodapatkan hasil MMSE 30.

7. Pemeriksaan fisik:
Kepala:
 Mata lengkap, tidak ada edema, tidak ada nyeri, sklera anikterik, konjungtiva
ananemis, penglihatan jelas, klien menggunakan kacamata hanya saat membaca saja.
 Telinga lengkap, tidak ada nyeri, tidak ada penumpukan serumen, tidak ada massa,
tidak ada bengkak, fungsi pendengaran baik, tidak menggunakan alat bantu dengar
44
 Mulut dan gigi bersih, gigi lengkap, mukosa bibir lembab, warna agak gelap karena
riwayat merokok, tidak ada caries, tidak ada stomatitis.
 Hidung cuping hidung lengkap, tidak ada nyeri, tidak ada bengkak, fungsi penciuman
baik
Dada: payudara, paru, jantung
 Payudara
 Paru
 Jantung
Tenggorokan dan leher tidak ada nyeri, tidak ada edema, tidak ada massa, refleks menelan
baik
Abdomen:
 Abdomen tampak membesar dan keras (LP: 105 cm), tidak ada nyeri tekan, massa
tidak teraba, turgor kulit baik
 Klien mengatakan BAB setiap 2 hari sekali dengan konsistensi padat, BAB 5-7x/hari
dengan warna jernih tanpa nyeri dan BAB selalu tuntas.
 Klien mengatakan sudah tidak menstruasi sejak 7 tahun yang lalu.
Muskuloskeletal:
 Pada ekstemitas tidak ditemukan bengkak, tidak ditemukan athropi, rentang gerak
pada ektremitas sinistra terbatas tetapi klien tidak menggunakan alat bantu berjalan,
saat klien berpindah tampak klien berhati-hati dan tidak mampu bergerak secara
cepat, kekuataan otot:

5 4
5 4

Tanda vital:
 Pada tanggal 05/10/2022:
Suhu: 36,4 oC Hr: 102x/menit Rr: 20x/menit Td: 160/80mmHg
 Pada tanggal 06/10/2022:
S: 36,2 N: 108x/menit Td: 161/89mmHg Rr: 20x/menit
 Pada tanggal 07/10/2022:
S: 36,4 N: 89x/menit Td: 150/80 mmHg Rr: 18x/menit

45
Berat dan tinggi badan:
 BB: 68 Kg
 TB: 159 Cm
WEB OF CAUTION (WOC)

46
ANALISA DATA
DATA PROBLEM
DS: Nyeri Akut
Klien mengatakan nyeri pada lutut kiri
P: Kedinginan
Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk
R: Nyeri pada lutut kiri dan tidak menyebar ke area lain
S: skala nyeri 4/10
T: nyeri dirasakan 5-20 menit setelah bangun tidur dan akan hilang jika
diistirahatkan

DO:
Pasien tampak meringis
Pasien tampak sering mengusap lututnya
Suhu: 36,4 oC
Hr: 102x/menit
Rr: 20x/menit
Td: 160/80mmHg
DS: Gangguan Mobilitas
Klien mengatakan tangan dan kaki sebelah kiri kaku Fisik
Klien mengatakan aktivitas dilakukan secara mandiri tetapi secara
perlahan dan tidak bisa secepat yang lain
Klien mengatakan dibantu tuntun oleh temannya saat naik atau turun
tangga

DO:
Klien tampak berhati-hati saat bergerak
Klien tampak tidak mampu bergerak secara cepat
Hemiparese sinistra
Rentang gerak terbatas
Tidak ada athropi
Kekuatan otot
5 4
5 4

DIAGNOSA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
DX
1 Nyeri akut (D.0077)
2 Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054)

47
PERENCANAAN
NO TUJUAN DAN KRITERIA HASIL RENCANA
DX INTERVENSI
1 Tujuan : Manajemen nyeri
Setelah dilakukan intervemsi keperawatan selama 3x24 jam, maka (I.08238)
tingkat nyeri (L.08066) menurun dengan kriteria hasil: Observasi
meningkat Cukup sedang Cukup menurun 1. Identifikasi faktor
meningkat menurun pencetus dan pereda
nyeri
Keluhan 1 2 3 4 5
2. Monitor kualitas nyeri
nyeri
3. Monitor lokasi dan
Meringis 1 2 3 4 5
penyebaran nyeri
Frekuensi 1 2 3 4 5 4. Monitor intensitas nyeri
nadi dengan skala
5. Monitor durasi dan
frekuensi nyeri
6. Identifikasi respon nyeri
non verbal
Terapeutik
7. Berikan tehnik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
8. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
9. Fasilitasi istirahat tidur
Edukasi
10. Jelaskan penyebab
nyeri
11. Ajarkan relaksasi nafas
dalam
Kolaborasi
12. Berkolaborasi
pemberian analgetik
jioka perlu
2 Tujuan: Dukungan Mobilitas
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 5x24 jam diharapkan (I.05173)
masalah keperawatan mobilitas fisik (L.05042) meningkat dengan Observasi
kriteria hasil: 1. Identifikasi
Menurun Cukup sedang Cukup meningkat toleransi fisik melakukan
menurun meningkat ambulasi
Pergerakan 1 2 3 4 5 2. Monitor frekuensi
ekstremitas jantung dan tekanan

48
Kekuatan 1 2 3 4 5 darah sebelum memulai
otot ambulasi
Rentang 1 2 3 4 5 3. Monitor kondisi
gerak umum selama melakukan
(ROM) ambulasi
Gerakan 1 2 3 4 5 Terapeutik:
terbatas 1. Libatkan teman
untuk membantu pasien
dalam menigkatkan
ambulasi
2. Lakukan ROM aktif
Edukasi
4. Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
5. Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan

49
IMPLEMENTASI
NO IMPLEMENTASI RESPON KLIEN
DX
1 1. Mengidentifikasi faktor pencetus dan pereda 1. Faktor pencetus nyeri udaara dingin dan
nyeri bagian kaki diistirahatkan saat nyeri
06- 2. Memonitor kualitas nyeri dirasakan
10- 3. Memonitor lokasi dan penyebaran nyeri 2. Nyeri seperti ditusuk-tusuk
2022 4. Memonitor intensitas nyeri dengan skala 3. Lokasi nyeri pada lutut kiri dan tidak
5. Memonitor durasi dan frekuensi nyeri menyebar
6. Mengidentifikasi respon nyeri non verbal 4. Skala nyeri awal 4/10 menjadi 2/10
7. Memberikan tehnik non farmakologis untuk 5. Durasi nyeri 5-20 menit dengan frekuensi
mengurangi rasa nyeri (relaksasi nafas dalam) terus-menerus
8. Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa 6. Saat nyeri klien meringis, saat ini tidak
nyeri meringis
9. Memfasilitasi istirahat tidur TTV: S: 36,2 N: 96x/menit Td:
10. Menjelaskan penyebab nyeri 161/89mmHg Rr: 20x/menit
7. Klien diajarkan melakukan relaksasi nafas
dalam, saat ini skala nyeri 2/10
8. Klien selalu beristirahat saat terasa nyeri
9. Klien mengetahui penyebab nyeri karena
udara dingin

1 1. Memonitor intensitas nyeri dengan skala 1. Skala nyeri 2/10


07- 2. Motivasi klien melakukan relaksasi nafas dalam S: 36,4 N: 89x/menit Td: 150/80 mmHg Rr:
10-22 18x/menit
2. Klien selalu melakukan relaksasi nafas
dalam saat nyeri
1 1. Memonitor intensitas nyeri dengan skala 1. Skala nyeri 0/10
08- 2. Motivasi klien melakukan relaksasi nafas dalam S: 36,2 N: 89x/menit Td: 146/83 mmHg Rr:
10- 18x/menit
2022 2. Klien selalu melakukan relaksasi nafas
dalam saat nyeri

NO IMPLEMENTASI RESPON KLIEN


DX
2 1. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan 1. Klien mampu melakukan aktivitas secara
10- ambulasi mandiri secara perlahan
10- 2. Memonitor frekuensi jantung dan tekanan darah 2. S: 36,3 N: 77x/mnt RR; 19x/mnt TD:
2022 sebelum memulai ambulasi 149/80mmHg
3. Memonitor kondisi umum selama melakukan 3. Keadaan umum klien baik kekuatan otot
ambulasi 5 4
4. Melibatkan teman untuk membantu pasien 5 4
50
dalam menigkatkan ambulasi 4.
5. Melakukan ROM aktif 5. Teman klien setuju untuk membantu
6. Menjelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
6. Klien mampu melakukan ROM aktif
7. Mengajarkan ambulasi sederhana yang harus
7. Klien memahami dan dapat menjelaskan
dilakukan ulang tujuan dan prosedur ambulansi
8. Klien memahami tujuan dan prosedur
ambulansi
9. Klien memahami ambulansi sederhana
yang harus dilakukan
2 1. Memonitor frekuensi jantung dan tekanan 1. S: 36,3 N: 77x/mnt RR; 19x/mnt TD:
11- darah sebelum memulai ambulasi 149/80mmHg
10-22 2. Memonitor kondisi umum selama melakukan 2. Keadaan umum baik, kekuatan otot
ambulasi 5 4
3. Melakukan ROM aktif 5 4

3. Klien mampu melakukan ROM aktif


dengan baik
2 1. Memonitor frekuensi jantung dan tekanan 1. S: 36,4 N: 94x/mnt RR; 19x/mnt TD:
12- darah sebelum memulai ambulasi 140/76mmHg
10-22 2. Memonitor kondisi umum selama melakukan 2. Keadaan umum baik, kekuatan otot
ambulasi 5 4
3. Melakukan ROM aktif 5 4
3. Klien mampu melakukan ROM aktif
secara mandiri

2 1.Memonitor frekuensi jantung dan tekanan darah 1. S: 36,4 N: 70x/mnt RR; 19x/mnt TD:
13- sebelum memulai ambulasi 128/74mmHg
10-22 2. Memonitor kondisi umum selama melakukan 2. Keadaan umum baik, kekuatan otot
ambulasi 5 4
3. Melakukan ROM aktif 5 4
3. Klien mampu melakukan ROM aktif
secara mandiri

51
EVALUASI
NO DX SOAP
1 S: Klien mengatakan nyeri lutut kiri berkurang, skala nyeri 2/10
O: klien sangat kooperatif, tidak ada meringis
06-10- Klien mampu mengidentifikasi PQRST pada nyeri yang dialami
22 Klien mampu melakukan relaksasi nafas dalam
S: 36,2 N: 108x/menit Td: 161/89mmHg Rr: 20x/menit
A: Masalah nyeri akut belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi
1. Motivasi untuk melakukan relaksasi nafas salam secara mandiri
2. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
1 S: Klien mengatakan skala nyeri masih 2/10
07-10- O: klien melakukan relaksasi nafas dalam saat nyeri
22 S: 36,4 N: 89x/menit Td: 150/80 mmHg Rr: 18x/menit
A: Masalah nyeri akut belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi
1. Motivasi untuk melakukan relaksasi nafas salam secara mandiri
2. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
1 S: Klien mengatakan skala nyeri 0/10
08-10- O: S: 36,2 N: 89x/menit Td: 146/83 mmHg Rr: 18x/menit
2022 A: Masalah nyeri teratasi
P: Hentikan Intervensi

2 S: Klien mengatakan mampu melakukan aktivitas secara mandiri


10-10- O: Keadaan umum baik, kekuatan otot
22 5 4
5 4
S: 36,3 N: 77x/mnt RR; 19x/mnt TD: 149/80mmHg
Teman klien tampak membantu saat klien melakukan ROM aktif
Klien mampu mempraktikan ROM
Klien mampu mengulangi tujuan dan prosedur ambulansi
Klien memahami ambulansi yang harus dilakukan
A: Masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi
P: Lanjutkan Intervensi
1. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi
2. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
3. Lakukan ROM aktif
2 S: Klien mangatakan mampu melakukan sendiri
11-10- O: Keadaan umum baik, kekuatan otot
22 5 4
5 4
S: 36,3 N: 77x/mnt RR; 19x/mnt TD: 140/76mmHg

52
A: Masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi
P: Lanjutkan Intervensi
1. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi
2. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
3. Lakukan ROM aktif

2 S: Klien mangatakan mampu melakukan sendiri


12-10- O: Keadaan umum baik, kekuatan otot
22 5 4
5 4
S: 36,4 N: 94x/mnt RR; 19x/mnt TD: 137/84mmHg
A: Masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi
P: Lanjutkan Intervensi
1. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi
2. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
3. Lakukan ROM aktif
2 S: Klien mangatakan mampu melakukan sendiri
13-10- O: Keadaan umum baik, kekuatan otot
22 5 4
5 4
S: 36,4 N: 70x/mnt RR; 19x/mnt TD: 128/74mmHg
A: Masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi
P: Lanjutkan Intervensi
1. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi
2. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
3. Lakukan ROM aktif

53
PENILAIAN MINI-MENTAL STATE EXAM (MMSE)
(modifikasi FOLSTEIN)
Item Test Nilai Nilai
Maksimal
ORIENTASI
1 Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari apa? 5 5
2 Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit),
5 5
(lantai/kamar)
REGISTRASI
3 Sebutkan 3 buah nama benda ( pintu, meja, kursi), tiap benda 1
detik, pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1
3 3
untuk tiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat
menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan
ATENSI DAN KALKULASI
4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar.
Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata
5 5
“ WAHYU” (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum
kesalahan; misalnya uyahw=2 nilai)
MENGINGAT KEMBALI (RECALL)
5 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3 3
BAHASA
6 Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan
2 2
(pensil, arloji)
7 Pasien diminta mengulang rangkaian kata :” tanpa kalau dan
1 1
atau tetapi ”
8 Pasien diminta melakukan perintah: “Ambil kertas ini dengan
3 3
tangan kanan, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”.
9 Pasien diminta membacaa dan melakukan perintah “Angkatlah
1 1
tangan kiri anda”
10 Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan) 1 1
11 Pasien diminta meniru gambar dibawah ini

1 1

Skor Total 30 30
Pedoman Skor kognitif global (secara umum):
Nilai: 24 -30: normal
Nilai: 17-23 : probable gangguan kognitif

54
Nilai: 0-16 : definite gangguan kognitif

PENGKAJIAN STATUS FUNGSIONAL


( Indeks Kemandirian Katz )
No Aktivitas Mandiri Tergantung
1 Mandi
Mandiri :
Bantuan hanya pada satu bagian mandi (seperti punggung atau
ekstremitas yang tidak mampu) atau mandi sendiri sepenuhnya √
Tergantung :
Bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh, bantuan masuk
dan keluar dari bak mandi, serta tidak mandi sendiri
2 Berpakaian
Mandiri :
Mengambil baju dari lemari, memakai pakaian, melepaskan

pakaian, mengancingi/mengikat pakaian.
Tergantung :
Tidak dapat memakai baju sendiri atau hanya Sebagian
3 Ke Kamar Kecil
Mandiri :
Masuk dan keluar dari kamar kecil kemudian membersihkan
genetalia sendiri √
Tergantung :
Menerima bantuan untuk masuk ke kamar kecil dan
menggunakan pispot
4 Berpindah
Mandiri :
Berpindah ke dan dari tempat tidur untuk duduk, bangkit dari
kursi sendiri √
Bergantung :
Bantuan dalam naik atau turun dari tempat tidur atau kursi,
tidak melakukan satu, atau lebih perpindahan
5 Kontinen
Mandiri :
BAK dan BAB seluruhnya dikontrol sendiri

Tergantung :
Inkontinensia parsial atau total; penggunaan kateter, pispot,
enema dan pembalut (pampers)
6 Makan
Mandiri :
Mengambil makanan dari piring dan menyuapinya sendiri √

55
Bergantung :
Bantuan dalam hal mengambil makanan dari piring dan
menyuapinya, tidak makan sama sekali, dan makan parenteral
(NGT)
Keterangan :
Beri tanda (√ ) pada point yang sesuai kondisi klien
Analisis Hasil :
Nilai A :Kemandirian dalam hal makan, kontinen ( BAK/BAB ),
berpindah, kekamar kecil, mandi dan berpakaian.
Nilai B :Kemandirian dalam semua hal kecuali satu dari fungsi tersebut
Nilai C : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan satu fungsi
tambahan
Nilai D : Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakaian, dan
satu fungsi tambahan
Nilai E : Kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, ke
kamar kecil, dan satu fungsi tambahan.
Nilai F : Kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, ke
kamar kecil, berpindah dan satu fungsi tambahan
Nilai G : Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut.

FORM INDEKS BARTHEL


No Aktivitas Item yang dinilai Skor
1 Makan 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan memotong,
2
mengoles mentega,dll
2 = Mandiri
2 Mandi 0 = Tergantung bantuan orang lain
1
1 = Mandiri
3 Perawatan diri 0 = Membutuhkan bantuan orang
lain 1
1 = Mandiri dalam perawatan diri
4 Berpakaian 0 = Tergantung bantuan orang lain
1 = Sebagin dibantu 2
2 = Mandiri
5 Buang Air Besar 0 = Inkontinensia 2
1 = Kadang inkontinensia
56
2 = Mandiri/kontinensia
6 Buang Air Kecil 0 = Inkontinensia atau pakai kateter
1 = Kadang inkontinensia 2
2 = Mandiri/kontinensia
7 Penggunaan kamar mandi/Toilet 0 = Tergantung bantuan orang lain
1 = Membutuhkan bantuan, tetapi
dapat melakukan 2
beberapa hal sendiri
2 = Mandiri
8 Transfer (berpindah tempat dari tempat 0 = Tidak mampu
tidur ke tempat duduk atau sebaliknya) 1 = Butuh bantuan untuk bisa
duduk (2 orang) 3
2 = Butuh bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri
9 Mobilitas (berjalan pada permukaan yang 0 = Imobile (tidak mampu)
rata) 1 = Menggunakan kursi roda
2 = Berjalan dengan bantuan 1
orang 3
3 = Mandiri (meskipun
menggunakan alat bantu seperti
tongkat)
10 Naik turun tangga 0 = Tidak mampu
1 = Membutuhkan bantuan (alat
19
bantu)
2 = Mandiri
Total 20
Interpretasi Hasil :
0-4 = Ketergantungan penuh 20 = Mandiri
5-8 = Ketergantungan berat
9-11 = Ketergantungan sedang 12-19 = Ketergantungan ringan

PEMANTAUAN RESIKO JATUH PASIEN LANSIA (GERIATRI)


BERDASARKAN PENILAIAN Skala Risiko Jatuh Ontario Modified Sratify – Sydney Scoring
Parameter Skrining Jawaban Keterangan Nilai Skor
Apakah pasien datang ke rumah sakit
Ya / Tidak
Riwayat karena jatuh? Salah satu
Jatuh Jika tidak, apakah pasien mengalami jawaban ya = 6
Ya / Tidak
jatuh dalam 2 bulan terakhir ini?

57
Apakah pasien delirium? (tidak dapat
membuat keputusan, pola pikir tidak Ya / Tidak
terorganisir, gangguan daya ingat)
Status Apakah pasien disorientasi? (salah Salah satu
Mental menyebutkan waktu, tempat atau Ya / Tidak jawaban ya = 14
orang)
Apakah pasien mengalami agitasi?
Ya / Tidak
(ketakutan, gelisah dan cemas)
Apakah pasien memakai kacamata? Ya / Tidak
Apakah pasien mengeluh ada
Ya / Tidak
penglihatan buram? Salah satu
Penglihatan
Apakah pasien mempunyai jawaban ya = 1
glaukoma, katarak atau degenerasi Ya / Tidak
makula?
Apakah terdapat perubahan perilaku
Kebiasaan
berkemih? (frekuensi, urgensi, Ya / Tidak Ya = 2
berkemih
inkontinensia, nokturia)
Mandiri (boleh menggunakan alat
Transfer 0
bantu jalan)
(dari tempat
Memerlukan sedikit bantuan (1
tidur ke 1
orang) atau dalam pengawasan
kursi dan Jumlahkan nilai
Memerlukan bantuan yang nyata (2
kembali ke 2 transfer dan
orang)
tempat mobilitas. Jika
tidur) Tidak dapat duduk dengan seimbang,
3 nilai total 0 – 3,
perlu bantuan total
maka skor = 0.
Mandiri (boleh menggunakan alat
0 Jika nilai total 4 –
bantu jalan)
6, maka skor = 7.
Berjalan dengan bantuan 1 orang
Mobilitas 1
(verbal / fisik)
Menggunakan kursi roda 2
Immobilisasi 3
Total Skor 0
Keterangan :
Skor Risiko
0–5 Rendah
6 – 16 Sedang
17 – 30 Tinggi

58
59
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Karakteristik Berdasarkan Data Demografi

1. Umur

a. Dari hasil pengkajian pada lansia di ruang anggrek, kemuning, garuda, melati,
mawar, cendra, merak PSTW Budi Mulya 03 Ciracas Jakarta Timur didapatkan
usia terbanyak yaitu pada usia 60-74 tahun sebanyak 234 lansia. Hal ini sesuai dengan
penelitian (Novitaningtyas, 2014).Rata-rata umur lansia pada penelitian ini yaitu
67,60 ± 5,41, sedangkan umur minimal subyek penelitian adalah 60 tahun dan umur
maksimal 83 tahun.

2. Jenis Kelamin

a. Dari hasil pengkajian di ruang anggrek, kemuning, garuda, melati, mawar,


cendra, merak PSTW Budi Mulya 03 Ciracas Jakarta Timur didapatkan semua
lansia berjenis kelamin laki-laki dengan 105 lansia, dan berjenis perepuan dengan 129
lansia

B. Karakteristik berdasarkan masalah yang dialami lansia

60
Hipertensi
Dari hasil pengkajian didapatkan yang mengalami Hipertensi sebanyak 78 orang, hal
tersebut sesuai dengan Penelitian Hasurungan dalam Rahajeng dan Tuminah (2009)
menemukan bahwa pada lansia dibanding umur 55-59 tahun dengan umur 60-64
tahunterjadi peningkatan risiko hipertesi sebesar 2,18 kali, umur 65-69 tahun 2,45 kali
dan umur >70 tahun 2,97 kali. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut arteri besar
kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku karena itu darah pada setiap denyut jantung
dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit dari pada biasanya dan menyebabkan
naiknya tekanan darah (Sigarlaki, 2006).

C. Diagnosa yang muncul pada lansia

1. Nyeri Akut (D.007))


2. Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054)

D. Hambatan pada saat pelaksanaan TAK:

61
1. Sebanyak 14 peserta yang mengikuti senam hipertensi
2. Kurangnya pengetahuan lansia terhadap informasi yang akan di sampaikan pada saat
TAK , hanya beberapa lansia yang memahami informasi yang didapatkan pada saat TAK
3. Gerakan lansia kurang leluasa karena jarak anatar lansia terlalu dekat

62
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Asuhan keperawatan gerontik merupakan suatu pendekatan pelayanan kesehatan
terhadap lansia yang dilakukan secara menyeluruh meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, rencana tindakan keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi.
Asuhan keperawatan ini tidak hanya diberikan pada individu tetapi juga pada kelompok
lansia yang berada pada wisma yang sama.
2. Pengkajian kelompok ini dilakukan baik melalui wawancara dan hasil observasi.
Berdasarkan hasil pengkajian tersebut maka kelompok mendapatkan masalah tentang
reumatik. Dari masalah ini maka kelompok menyusun beberapa rencana tindakan untuk
menyelesaikan masalah kesehatan tersebut.
3. Selama 12 hari efektif praktek profesi gerontik, mahasiswa bersama lansia dibantu
petugas panti telah melakukan berbagai kegiatan terkait dengan masalah kesehatan yang
ditemukan di PSTW Budi Mulya 03 Ciracas Jakarta Timur yang bertujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan lansia. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya
yaitu: edukasi personal, motivasi daily activity, TAK..

B. Saran
1. Perlunya pembinaan yang berkelanjutan dari ahli-ahli yang berkompetensi dalam
bidangnya terhadap kegiatan dan hasil yang telah dicapai sehingga derajat kesehatan
lansia di panti meningkat.
2. Kerja sama antar sektor sangat diperlukan untuk menindak lanjuti masalah kesehatan
yang telah ditemukan, selain itu juga melakukan kegiatan bersama untuk mengatasi
masalah tersebut.

63
3. Perlu adanya peningkatan pengawasan terhadap masalah kesehatan yang ada, agar
mempercepat proses keperawatan dan penyelesaian masalah.
4. Pelu adanya pemilihan makanan yang tepat terutama takaran garam yang sesuai dengan
penyakit atau keluhan pada lansia.
5. Perlu dilakukan penyegaran atau olahraga rutin pada lansia untuk pelatihan bagi para
pramu untuk meningkatkan kemampuan dalam pemberian perawatan pada lansia.

64
DAFTAR PUSTAKA

Azizah,Lilik Ma’rifatul.  Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Garaha Ilmu. Yogyakarta. 2011

Doenges E Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta

Djuan s, Sularsito. SA. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 3. FKUI. Jakarta. 2005

Kushariyadi. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Salemba Medika. Jakarta. 2010

Mubaraq, Chayatin, Santoso. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep Dan Aplikasi. Salemba Medika.
Jakarta. 2011

Stanley, Mickey. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Alih Bahasa; Nety Juniarti, Sari Kurnianingsih.
Editor; Eny Meiliya, Monica Ester. Edisi 2. EGC. Jakarta. 2006

Tamher, S. Noorkasiani. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Salemba


Medika. Jakarta. 2011

NANDA. 2006. Pedoman Diagnosa Keperawatan NANDA 2015. Primamedika.Jakarta 2015.

Stanly, Mikey.Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Ed. 2. Jakarta : EGC. 2006.

Potter, P.A. & Perry,A.G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Ed. 4. Jakarta : EGC. 2005.

65

Anda mungkin juga menyukai