Anda di halaman 1dari 28

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH KESEHATAN REPRODUKSI LANSIA


DEMENSIA DAN ALZHEIMER

Dosen Pengampu
Prof. Dr. dr. Sudijanto Kamso, S.KM.

Disusun oleh:

Eva Nur Octavia 1806254011


Nisaatul Maharanita F. 1906430586

PROGRAM PASCARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas Makalah Kesehatan Reproduksi
Lansia dengan judul “Demensia dan Alzheimer”. Makalah ini dibuat sebagai
sebagai salah satu kewajiban dalam perkuliahan Mata Kuliah Kesehatan
Reproduksi Lansia pada Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Penulis berharap dengan tugas ini
dapat menambah ilmu dan wasawan bagi penulis sebagai mahasiswa dan dapat
memberikan manfaat sebesar-besarnya terhadap masyarakat. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr.dr Sudjinto Kamso, S.KM selaku dosen pengampu Mata Kuliah
Kesehatan Reproduksi Lansia yang telah membimbing selama perkuliahan
dan penulisan makalah ini.
2. Teman-teman Mahasiswa Pascasarjana angkatan 2018 dan 2019 kelas
A202 yang telah bekerjasama dan berkontribusi dalam proses perkuliahan.
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi
perkembangan ilmu.

Depok, 3 Desember 2019


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Populasi dunia saat ini berada pada era penduduk menua (ageing
population) dengan jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas melebihi 7
persen populasi. Seiring dengan pertumbuhan tersebut, jumlah penduduk lanjut usia
(lansia) semakin lama juga semakin meningkat dan berkontribusi terhadap
pertumbuhan penduduk secara keseluruhan. Berdasarkan data proyeksi yang
dikeluarkan BPS, diperkirakan pada tahun 2045 lansia Indonesia akan meningkat
sebesar 2,5 kali lipat dibandingkan lansia tahun 2018. Pada tahun tersebut
berdasarkan prediksi ini dapat dikatakan bahwa hampir seperlima penduduk
Indonesia adalah lansia (BPS, 2018).
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk lansia maka disertai dengan
berbagai penyakit yang menyertai lansia. Proses penuaan (aging proses) adalah
suatu proses yang alami ditandai dengan adanya penurunan atau perubahan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial dalam beriterakasi dengan orang lain. Proses menua
dapat menurunkan kemampuan kognitif dan memori seseorang dan merupakan
salah satu masalah kesehatan kronis (Handayani, dkk 2013 dalam Putra dkk, 2019).
Pertambahan usia dan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular
merupakan faktor utama penyebab penyebab penurunan fungsi kognitif yang kelak
akan meningkatkan penyakit demensia dan Alzheimer pada kelompok usia lanjut
usia. Penurunan fungsi kognitif berdampak pada menurunnya aktivitas fisik sosial
sehari-hari pada lanjut usia yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dan
berdampak pada bertambahnya pembiayaan keluarga, masyarakat dan pemerintah
(Kemenkes, 2015).
Otak tidak sehat dan tidak produktif di masa tua tidak saja mengakibatkan
timbulnya masalah kesehatan dan masalah sosial tetapi juga menjadi beban
ekonomi bagi negara. Untuk itu perlunya pehamanan yang lebih mendalam terkait
penyakit yang menyertai lansia terutama penyakit demensia dan Alzheimer agar
mampu merencakaan upaya prevetif dan promotive pada masyarakat.
1.2 Tujuan Umum
Setelah mengikuti sesi pembelajaran ini, mahasiswa diharapkan dapat
memahami tentang penyakit demensia dan alzheimer pada lansia serta upaya
penanggulangannya.

1.3 Tujuan khusus


Setelah mengikuti sesi pembelajaran ini mahasiswa diharapkan :
1. Mampu memahami dan menjelaskan penyakit demensia pada lansia
2. Mampu memahami dan menjelaskan penyakit Alzheimer pada lansia
3. Mampu memahami dan menjelaskan upaya penanggulangan penyakit
demensia dan Alzheimer pada lansia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proyeksi Penduduk Lansia


WHO memperkirakan pada tahun 2050 populasi penduduk usia 60 tahun
atau lebih sejumlah 2 miliar meningkat dari 900 juta orang pada tahu 2015. Saat ini
terdapat 125 juta orang berusia 80 tahun atau lebih. Pada tahun 2050, akan ada
hampir 120 juta kelompok usia tersebut berasal dari China dan 434 juta berada di
seluruh dunia. Selain itu 80 persen lansia berasal dari negara berpenghasilan rendah
dan menengah (low-and middle-income countries) (WHO, 2018).
Badan Pusat Statistik memproyeksikan bahwa pada tahun 2045, Indonesia
akan memiliki sekita 63,31 juta penduduk lanjut usia (lansia) atau hamper mencapai
20 persen populasi. Bahkan, proyeksi PBB juga menyebutkan bahwa presentase
lansia Indonesia akan mencapai 25 persen pada tahun 2050 atau sekitar 74 juta
lansia. Pada tahun 2018 persentase lansia mencapai 9,27 persen atau sekitar 24,49
juta orang. Adapun persentase lansia di Indonesia didominasi oleh lansia muda
(kelompok umur 60-69 tahun) yang persentasenya mencapai 63, 39 persen, sisanya
adalah lanisa madya (kelompok umur 70-79 tahun) sebesar 27,92 persen, dan lansia
tua (kelompok umur 80+) sebesar 8,69 persen. Pada tahu 2018 setiap 100 orang
penduduk produktif harus menanggung 15 orang penduduk lansia (BPS,2018) .

2.2 Demensia
2.2.1 Definisi
Dimensia merupakan sindrom gangguan kognitif yang mempengaruhi
ingatan, kemampuan kognitif dan perilaku serta secara signifikan mengganggu
kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari (WHO, 2018).
Dimensia merupakan sindrom yang ditandai dengan penurunan fungsi kognitif
yang progresif. Gejala neuropati yang umumnya muncul yaitu apathy, agitasi dan
depresi (Van Der Flier WM, Scheltens, P, 2007).
2.2.2 Epidemiologi
Saat ini diperkirakan 50 juta orang di dunia menderita dimensia dan
bertambah sekitar 7,7 juta setiap setiap tahunnya, yang artinya terdapat satu kasus
baru demenesia setiap 4,1 detik. Selain itu diperkirakan terdapat 3,6 juta (46%)
kasus baru per tahun di Asia, 2,3 juta (30%) di Eropa, 1,2 juta (16%) di Amerika,
dan 0,5 juta (7%) di Afrika. Diproyeksikan penderita dimensia akan bertambah
menjadi 82 juta pada tahun 2030 dan 152 juta pada tahun 2050 (WHO, 2018).

Gambar 1. Insiden demensia di dunia

Sumber : WHO 2018. The Dementia Epidemiolgy and Impact of Dementia: Current State and Future

Tabel 1. Estimasi jumlah kasus demensia per tahun berdasarkan kelompok umur
dan wiayah di dunia.

Sumber : WHO 2018. The Dementia Epidemiolgy and Impact of Dementia: Current State and Future
Data terkait prevalensi demensia di Indonesia sangat terbatas. Namun studi
terkait demensia yang dilakukan di D.I Yogyakarta tahun 2015 menemukan angka
prevalensi demensia lansia yaitu sebesar 20,1 persen. Hal ini berarti bahwa satu dari
lima orang berumur 60 tahun keatas menderita demensia. Angka ini termasuk tinggi
dibandingkan dengan angka prevalensi demensia global. Pada umur 60 tahun satu
dari sepuluh lanjut usia di D.I Yogyakarta mengalami demensia. Perempuan
memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, demikian juga
mereka yang tinggal di pedesaan memiliki prevalensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan (Suriastini dkk, 2016).

Gambar 2. Prevalensi Demensia di DI Yogyakarta dan Global

Sumber: Suriastini dkk 2016

2.2.3 Etiologi
Sindrom dimensia disebabkan oleh berbagai penyakit yang memiliki tanda
dan gejala khusus maupun kombinasi yang menandai adanya gangguan neurologis.
Berikut penyebab Sindrom Dimensia :
a. Penyakit Alzheimer (Alzheimer’s Disease) merupakan penyebab umum
dimensia yang merupakan gangguan neurodegenerative disebabkan oleh
adanya plak neuritik dan adanya neurofibrillary tangles (NFTs) yang
terakumulasi di otak.
b. Demensia vascular (VaD) yang disebbakan oleh berbagai penyakit
vaskular di otak seperti adanya penyakit “large vessel” (infark yang
terdapat pada sebagian otak) dan “small vessel” (lacuna dan white matter
hyperintensities).
c. Penyebab lain yaitu degenarasi lobus frontotemporal dan demensia
dengan Badan Lewy (Lewy bodies).

Gambar 3. Penyebab Demensia

Sumber : Van Der Flier WM, Scheltens, P (2007).

2.2.4 Faktor risiko


a. Genetik
Gen APOE (apolipoproteim E) berperan penting pada demensia dan
terjadi pada semua kelompok etnis baik pada pria dan wanita berusia
antara 40-90 tahun. Meningkatnya jumlah APOE meningkatkan resiko
demensia dari 20% hingga 90%. APOE juga merupakan faktor resiko yang
signifikan terjadinya demensia pada ras kaukasia (Chen, dkk 2007).
b. Usia
Usia merupakan salah satu faktor terkuat yang berkontribusi terjadinya
dimensia terutama pada lansia. Selain itu terdapat faktor resiko umum
yang mempengaruhi dimensia antara lain hipertensi, diabetes melitus,
penggunaan tembakau dan rendahnya pendidikan. Kurangnya aktivitas
fisik, obesitas, konsumsi alkhohol, depresi, isolasi sosial serta kurangnya
aktivitas kognitif merupakan faktor resiko lainnya (WHO,2018).
Usia dan efek penuaan berkaitan erat dengan demensia. Beberapa studi
kohort yang dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa menunjukan
terjadinya peningkatan demensia dengan bertambahnya usia (Chen, dkk
2007).
c. Jenis kelamin
Sebuah studi di Belanda menunjukan wanita memiliki resiko menderita
AD (Alzheimer’s disease) yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria
terutama setelah berusia 85 tahun. Namun tidak ada perbedaan jenis
kelamin untuk resiko VaD (Vascular disesase). Selain itu sebuah studi di
China menunjukan tinginya prevalen AD dibandingkan VaD pada wanita
dibandingkan pria pada usia > 60 tahun (Chen, dkk 2007).
d.Aktivitas fisik
Aktivitas fisik memiliki efek positif pada fungsi kognitif dan mampu
menurunkan 30-50% kejadian dementia. Aktivitas fisik juga mampu
menurunkan resiko penyakit kardiovaskular, obesitas dan menurunkan
peradangan (Chen, dkk 2007).
d. Merokok
Perokok menunjukan peningkatan semua penyebab dementia
dibandingkan dengan yang tidak pernah merokok. Rokok dapat
mengganggu keseimbangan antara pembentukan dan pengurangan
oksidan serta radikal bebas. Konsumsi oksidan yang berlebihan akan
memicu stress oksidatif (OS). Peningkatan stress oksidatif berkontribusi
dalam pembentukan plak pada otak dan neurofibrillary tangles yang
menandakan terjadinya demensia (Zhong dkk, 2015).
e. Obat-obatan
Obat antihipertensi (angiotensin inhibitor, angiotensin II receptor
blockers, diuretic, calsium channel blocker) mampu menurunkan resiko
demensia. Calcium channel blocker dan renin-angiotensin system blocker
mampu mengurangi resiko gangguan kognitif dan demensia dengan
menurunkan tekanan darah dan memilki efek melindungi saraf (Rouch L,
dkk, 2015).
f. Alkhohol
Penelitian yang dilakukan Koch, dkk (2019) menemukan bahwa lansia
usia 72 tahun yang mengkonsumsi alkhohol lebih dari 14 kali per minggu
berhubungan dengan dengan rendahnya skor kognitif. Hal ini disebabkan
adanya kerusakan otak terutama pada materi putih mikrostruktural karena
konsumsi alkhohol yang berlebihan.
g. Nutrisi
Vitamin B6, asam folat, dan B12 dapat mengurangi risiko ganggaun
kognitif dan demensia karena mengurangi peningkatan kadar homosistein
plasma, homosistein diketahui dapat menyebabkan perubahan patologi
melalui mekanisme vaskuler dan neurotosik langsung. Kekurangan
vitamin B6 dapat mempengaruhi fungsi memori dan dapat berkontribusi
pada gangguan fungsi kognitif. Vitamin E merupakan antioksidan yang
kuat untuk membantu mencegah penurunan kognitif, dengan menyediakan
perlindungan terhadap kerusakan jaringan saraf (Gustri, 2019).
h. Pendidikan
Anak-anak yang mencapai pendidikan hingga SMA (12 tahun)
memiliki resiko lebih tinggi menderita demensia setelah berusia 60 tahun.
Penelitian di Amerika Serikat pada ras kaukasia dengan pendidikan rendah
(<10 tahun) memiliki resiko dua kali lebih besar menderita demensia
dibangkan pada mereka yang berpendidikan tinggi (> 10 tahun). Adanya
kemungkinan individu yang berpendidikan rendah cenderung memiliki
kemampuan kognitif yang rendah dibandingkan dengan mereka yang
berpendidikan tinggi di usia yang sama (Chen, dkk 2007).
2.2.5 Gejala klinis
Gejala klinis demensia berdasarkan penyebabnya (Duong dkk, 2017)
a. Alzheimer’s Disease
• Awal yang berbahaya dan terjadi penurunan memori secara progresif
• Gangguan memori jangka pendek pada tahap awal dan berkurangnya
kemampuan utuk mengingat 3 atau 5 kata.
• Penurunan fungsi eksekutif otak pada tahap selanjutnya
b. Vascular dementia
• Terjadi secara tiba-tiba atau secara bertahap
• Biasanya berhubungan dengan penyakit serebrovaskular (stroke,
infark lacunar) dan komorbiditas aterosklerosis (diabetes, hipertensi,
penyakit jantung koroner)
• Gangguan memori ringan pada tahap awal
• Kesulitan berjalan dan mudah terjatuh terutama pada penderita
stroke
c. Lewy Body dementia
• Kondisi kognitif yang berfluktuasi yang berkaitan dengan penyakit
parkinson
• Fungsi eksekutif yang buruk dan pada tahap awal terjadi halusinasi
visual
• Berkurangnya kemampuan dalam tes yang didesain untuk
mengetahui persepsi visual (visual perception test)
d. Frontotemporal dementia
• Perubahan kepribadian yang menonjol
• Gangguan perilaku (apatis, agresi, agitasi, dan adanya kerusakan
memori pada tahap awal)
2.3 Alzheimer
2.3.1 Definisi
Kondisi kronis, progresif, dan neurodegeneratif pada otak yang ditandai
oleh penurunan ingatan (demensia) dan disfungsi kognitif yang dapat berakhir
dengan kematian pada 5 – 20 tahun dari onset gejala (Kee, 2015 dan Wolve, 2017).
Alzheimer adalah penyebab umum demensia yang kira-kira berkontribusi
60 – 70% dari kasus demensia. Sedangkan demensia vaskular dan demensia dengan
penyebab lain berkontribusi terhadap demensia frontotemporal (Duthey, Beatrice.,
2013).
2.3.2 Epidemiologi
Alzheimer’s Disease (AD) jarang ditemukan pada usia di bawah 65 tahun
dan sering meningkat seiring berjalannya waktu dengan risiko 40% - 50% pada
orang berusia sekitar 85 tahun. Walaupun sering ditemukan pada orang tua berusia
> 65 tahun, tetapi dapat juga menyerang orang yang berusia sekitar 40 tahun.
Prevalensi alzheimer berdasarkan prosentasi kelompok usia adalah 4% untuk usia
di bawah 65 tahun, 15% di pada usia antara 65 – 74 tahun, 44% pada usia 75 – 84
tahun, dan 37% pada usia lebih dari 85 tahun. Dimulai dari usia 65 tahun risiko
perkembangan penyakit alzheimer meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun. Penyakit
alzheimer merupakan penyebab 75% kasus demensia, dan 75% penyebab
penurunan fungsi kognitif ringan (Wolfe, 2017; Budson, 2016; Waldemar, 2017;
dan Kemenkes, 2019).
Ada sekitar 46 juta jiwa yang menderita penyakit Alzheimer di dunia, dan
sebanyak 22 juta jiwa di antaranya berada di Asia. Sebagai negara berkembang,
Indonesia diproyeksikan akan memiliki sekitar 63,31 juta penduduk lanjut usia
(lansia) atau hampir mencapai 20 persen populasi pada tahun 2045. Proyeksi PBB
juga menyebutkan bahwa persentase lansia Indonesia akan mencapai 25 persen
pada tahun 2050 atau sekitar 74 juta lansia (BPS, 2018 dan Kemenkes 2019).
Di Amerika, perkiraan penderita Alzheimer adalah sekitar 5,7 juta jiwa
dengan 81% di usia 75 tahun atau lebih pada tahun 2018. Sedangkan di Indonesia,
penderita alzheimer mencapai 1,2 juta pada tahun 2015. Estimasi jumlah penderita
penyakit Alzhemeir di Indonesia pada tahun 2013 mencapai satu juta orang. Jumlah
itu diperkirakan akan meningkat drastis menjadi dua kali lipat pada tahun 2030, dan
menjadi empat juta orang pada tahun 2050. Bukannya menurun, tren penderita
Alzheimer di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya (Blank, 2019;
Alzheimer’s Disease International, 2015; dan Kemenkes 2019).

2.3.3 Patologi
Pada dasarnya, penyebab pasti AD belum dapat dimengerti, namun
perubahan fisiologis mengenai usia berkontribusi terhadap penyakit alzheimer.
Disamping itu, pada sebagian besar pasien, kombinasi antara genetik, lingkungan,
dan gaya hidup mempengaruhi perubahan pada otak.1,2 Berat otak mengalami
penurunan sekitar 100 – 200 gram pada penderita Alzheimer karena terdapat atrofi
(penurunan massa atau penyusutan) pada lobus temporal, parietal, frontal, dan
hippocampus. Secara mikroskopis, alzheimer disebabkan karena adanya degenerasi
atau penurunan neuron kolinergik dan defisiensi acetylcholine, adanya plak neuritik
yang terbentuk di luar neuron dan di cerebral cortex, dan adanya Alipoprotein E4
(Apo E4) yang membentuk plak neuritik dan mengikat beta amyloid pada plak.
Akumulasi protein beta amyloid yang pada level yang tinggi dapat menyebabkan
luka syaraf sehingga menyebabkan kekusutan pada neurofibrillary (Kee, 2015 dan
Budson, 2016).
Gambar 4. Perbandingan otak penderita alzheimer dengan otak yang sehat

Sumber: Budson (2016)


Gambar 5. Perbandingan otak penderita alzheimer dengan yang sehat secara
koronal

Sumber: Budson (2016)

Gambar 6. Perubahan histologik pada penderita alzheimer dan non-penderita

Sumber: Kee (2015)


2.3.4 Faktor Risiko
1. Usia
Faktor risiko utama AD adalah usia. AD bukan bagian dari penuaan
normal, hanya saja terjadi lebih sering pada usia tua.
2. Genetik
Secara genetik, riwayat keluarga menderita alzheimer meningkatkan
2-4 kali risiko alzheimer, namun tetap kembali pada usia. Diantara
usia 65 – 70 tahun, 1,5% risiko alzheimer dapat terjadi pada lansia
tanpa riwayat keluarga sedangkan 3% dapat terjadi pada lansia dengan
riwayat keluarga.
3. Gender
Pada perempuan lebih sering terjadi penyakit alzheimer. Perbedan
hormon antara laki – laki dan perempuan diperkirakan sebagai salah
satu penyebab alzheimer, serta perbedaan paparan lingkungan.
4. Pendidikan
Lama pendidikan mengurangi risiko alzheimer, yang berhubungan
dengan pembentukan “cognitive reserve” sehingga menunda onset
gejala klinis.
5. Trauma kepala
Trauma kepala berisiko lebih dari 2 kali terhadap kejadian Alzheimer.
6. Stroke
Stroke tidak secara langsung menyebabkan patologi alzheimer,
namun berkontribusi terhadap disfungsi kognitif pada orang yang
terkena alzheimer (Budson, 2016 dan Blank, 2019).
Tabel 2. Faktor risiko pasti dan mungkin pada alzheimer
Pasti Mungkin
• Usia • Merokok
• Jenis kelamin • Alkohol dan penyalah gunaan obat
• Riwayat keluarga • Paparan logam (aluminium, seng,

• down syndrome raksa)


• mutasi presenilin dan • Paparan cairan industri dan
abnormalitas protein otak pestisida
• Alipoprotein E4 • Gelombang elektromagnetik
• Trauma kepala • Usia persalinan (prematuritas)

• Pendidikan rendah • Turunan dari ibu

• Memiliki pekerjaan jangka • Riwayat keluarga down syndrome

pendek • Penyakit infeksi

• Ukuran dan berat kepala kecil • Penyakit jantung, otak, dan


kelenjar tiroid

Sumber: Blank, 2019

2.3.5 Gejala dan progresifitas penyakit


Kehilangan memori (ingatan) yang kemudian mengembang gejala lain
seperti kesulitan menemukan huruf baik untuk berbicara maupun menulis, kesulitan
dalam melakukan perencanaan dan menyelesaikan masalah familiar, gangguan
visuospasial (gambar, jarak, dan hubungan dengan orang lain), disfungsi frontal
yang berkaitan dengan kemampuan memberikan alasan dan pertimbangan untuk
pengambilan keputusan, adanya perubahan suasana hati dan kepribadian, hingga
menarik diri dari lingkungan sosial (Wolfe, 2017 dan Budson, 2016).

Tabel 3. Tahap Penuruan Kognitif Pada Penyakit Alzheimer

Sumber : Wolfe, 2017


2.4 Diagnosis klinis
Diagnosa klinis sindrom dimensia sebagai berikut:
a. Riwayat
Diagnosa dilakukan berdasarkan informasi riwayat penderita melalui orang
terdekat karena penderita kemungkinan tidak mampu untuk memberikan
informasi terkait dirinya, termasuk riwayat keluhan, riwayat medis dan
kejiwaan, adanya perubahan kepribadian dan perilaku serta perubahan
kemampuan untuk melakukan tugas sehari-hari. Penilaian ini biasanya
menggunakan AD8, delapan pertanyaan tetntang kondisi dari lanjut usia
terkait dengan penurunan memori, emosi, pengambila keputusan, tingkah
laku dan fungsi otak lainnya yang dilaporkan oleh pendamping/caregiver
dan Intrumental Activity Daily Living (IADL), enam pertanyaan terkait
dengan kemapuan aktivitas keseharian.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik termasuk periksaan neurologis dasar dapat mendeteksi
gangguan fisik yang menyebabkan gangguan kognitif serta temuan lainnya
yang penting dalam menentukan diagnosa akurat termasuk adanya
gangguan neorolgis dan motorik seperti Parkinson.
c. Pemeriksaan mental
Pemeriksaan mental bertujuan untuk mendeteksi adanya gangguan kejiwaan
yang berpengaruh terhadap diagnosa dalam menentukan kondisi dimensia
atau depresi serta menentukan gejala non-kognitif yang berkaitan dengan
dimensia termasuk delusi dan halusinasi. Hal tersebut mempengaruhi
terhadap diagnosis dan pengobatan selanjutnya.
d. Tes kognitif
Terdapat beberapa skrening kognitif yang berstandar untuk menetukan
diagnose demensia. Namun tes yang sering digunakan yaitu 30 item
pemeriksaan Mini Mental State Examination yang digunakan psikiatri,
pengukuran mini keadaan mental untuk mengetahui secara objektif keadaan
kognitif seseorang.
2.5 Pencegahan dan Perawatan Demensia dan Alzheimer
Berbagai pertimbangan dalam pencegahan penyakit demensia sebagai
berikut (National Collaborating Centre for Mental Health, 2007) :
a. Pengetahuan tentang faktor resiko dan sub-tipe demensia
b. Sejauh mana faktor resiko tersebut dapat dimodifikasi
c. Adanya bukti bahwa modifikasi faktor resiko tersebut mampu
mengurangi kejadian demensia
Penyakit alzheimer dan dementia merupakan penyebab umum penyakit
mental di masyarakat lanjut usia dan menyebabkan anggaran negara yang sangat
besar untuk perawatan maupun pelayanan kesehatan. Sedangkan penyakit ini tidak
dapat disembuhkan sehingga menjadi prioritas kesehatan masyarakat global. Di sisi
lain, penyakit alzheimer membutuhkan biaya yang sangat mahal dalam
perawatannya, baik yang berasal dari sumber privat maupun umum. Keluarga dan
perawat (caregivers) juga mengeluarkan biaya tak sedikit untuk merawat penderita
berkaitan dengan kualitas hidup mereka. Sebagian besar negara di Eropa
menghabiskan 1% pendapatan negara untuk penyakit ini, sedangkan di Asia
Tenggara membutuhkan perawatan hingga USD 4 milliar, mencakup obat-obatan
dan fasilitas sosial yang dibutuhkan untuk mendukung penderita (Waldemar, 2017;
Alzheimer Indonesia, 2019; Duthey, 2013).
Dengan demikian, program intervensi yang bertarget untuk mengendalikan
faktor risiko perlu dilaksanakan untuk mengurangi beban penyakit alzheimer
maupun dementia.
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer yang dapat dilakukan bertujuan untuk mengendalikan
faktor risiko yang dapat dimodifikasi maupun diubah, seperti faktor risiko yang
berkaitan dengan vaskular, psikososial, dan gaya hidup. Salah satu strategi
intervensi yang dapat dilakukan adalah mengontrol perilaku merokok, tekanan
darah tinggi, obesitas, dan menurunkan gula darah. Untuk menunda kondisi klinis
pada demensia dapat dilakukan dengan peningkatan kontrol pada hipertensi dan
kolesterol tinggi, gagal jantung, dan menghindari tekanan darah rendah pada lansia.
Selanjutnya, berpartisipasi terhadap kegiatan sosial, fisik, dan stimulasi intelektual
dapat mengurangi risiko onset AD. Mendorong masayarakat untuk melakukan
intervensi multi-domain diet, aktivitas fisik, pelatihan kognitif, dan faktor risiko
vaskular.
Menurut Savica dan Petersen (2011) terdapat berapa pencegahan yang dapat
dilakukan:
• Aktivitas fisik
Aktivitas fisik mampu mengurangi resiko dan gangguan kognitif dan
gangguan mental. Beberap penelitian menunjukan bahwa orang yang
aktif secara fisik memiliki resiko lebih rendah mengalami gangguan
kognitif dan AD di kemudian hari. Selain itu peningkatan aktivitas fisik
berhubunngan dengan tinggi skor kognitif. Penelitian lainnya
menyatakan aktivitas fisik. Melakukan aktivitas fisik 60 menit/per hari
dilakukan tiga kali dalam seminggu yang mampu meningkatkan
kemampuan kognitif pada lansia dan mencegah demensia.
• Aktivitas intelektual
Beberapa penelitian menunjukan adanya hubungan yang signifikan
antara aktivitas intelektual dan pengurangan resiko penurunan kognitif.
Aktivitas intelektual yang tinggi dan lingkungan merangsang
kemampuan kognitif sehinga mencegah dimensia dikemudian hari.
• Latihan kognitif
Latihan mental merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan
kemampuan otak dikemudian hari. Suatu studi aktivitas kognitif yang
dilakukan selama sepuluh sesi latihan setiap minggu menggunakan
empat tugas: mengingat/memori, penalaran, pemrosesan, dan kontrol
melihat-menunggu setelah lima tahun menunjukan manfaat tidak hanya
pada kemampuan kognitif juga pada aktivitas dari kehidupan sehari-hari.
• Aktivitas sosial
Aktivitas sosial dapat didefinisikan sebagai partisipasi kegiatan sosial
dan menjaga hubungan sosial. Status pernikahan, kesepian, partsispasi
dalam acara sosial dan politik di komunitas, komunikasi dengan keluarga
dan teman digunakan dalam penelitian utnuk mengukur tingkat
keterlibatan sosial dan hubungannya dengan AD atau penurunan
kognitif. Kesepian, penurunan jejaring sosial dan kegiatan meningkatkan
resiko yang lebih tinggi terjadinya demensia
b. Pencegahan sekunder
Secara teori, deteksi dini mild cognitive impairment (MCI) atau penurunan
kognitif ringan dapat memberikan kesempatan untuk mengimplementasikan
intervensi awal untuk menunda progresifitas penyakit karena belum ditemukan
pengobatan untuk menghentikan kondisi MCI yang dapat berkembang menjadi
demensia akibat AD tersebut. Namun, penurunan kognitif seperti depresi dan
defisiensi vitamin B12 tersebut dapat diatasi dan dapat kembali normal melalui
pengobatan (Waldemar, 2017).
Penyakit Alzheimer, sebagai tantangan kesehatan masyarakat telah
memberikan dampak yang sangat besar baik ke individu maupun ke komunitas para
lansia. Penyakit alzheimer tidak dapat diobati, namun dapat dicegah dengan
meluaskan jaringan sosial dan pendekatan aktif pada fisik, mental, dan sosial.
Beberapa aktivitas mungkin akan menunda terjadinya penyakit ini, dan dan
percobaan intervensi komunitas diharapkan dapat meluaskan strategi intervensi ke
ranah yang lebih luas secara optimal berkaitan dengan faktor risiko vaskular dengan
menjaga gaya hidup aktif sebagai hal yang efektif untuk menunda penyakit tersebut
(Waldemar, 2017).
Akan tetapi, apabila lansia sudah terdiagnosis penyakit tersebut, ada
beberapa hal yang perlu diterapkan dalam memberikan perawatan pada lansia yang
sudah terdiagnosis alzheimer. Hal tersebut adalah:
1. Dukungan keluarga dengan cara membuat rencana perawatan dengan
anggota keluarga yang lain sesuai dengan kesepakatan dan selalu
berupaya untuk menghindari perbedaan pendapat.
2. Memberikan keyakinan kepada penderita dengan membuat atmosfer
yang lembut agar pasien merasa aman, serta meyakinkan penderita
bahwa ketakutan serta kelupaan yang terjadi adalah bagian dari
penyakit. Di samping itu, memperlakukan penderita layaknya manusia
dewasa, bukan aak kecil.
3. Memaklumi dan memahami kondisi penderita dan tidak berkonfrontasi
dengan penderita untuk menghindari masalah yang lebih besar, karena
penderita alzheimer cenderung untuk menjadi pemarah.
4. Tetap tenang secara fisik dan emosi, dan tidak perlu ikut emosi ketika
penderita sedang meluapkan emosinya.
5. Selalu berkomunikasi dengan penderita, walaupun sulit. Komunikasi
merupakan suatu yang krusial, yang perlu dilakukan oleh perawat baik
dalam jarak jauh maupun saat dekat. Saat dekat, pastikan penderita
selalu pada jarak yang aman. Sedangkan pada saat jauh bisa
memberikan surat dan foto kenangan serta selalu meyakinkan bahwa
keluarga selalu ada untuk penderita.
6. Kegiatan rutin yang perlu dilakukan dalam rangka perawatan alzheimer
adalah berupa membantunya melatih otak dengan permainan (interaksi
sosial dan pengembangan hobi), memantau kondisi kesehatannya secara
berkala, dan memberikan kegiatan yang bersifat rekreatif, humor, dan
menyenangkan.
7. Memberi dukungan ke perawat untuk menghindari tekanan pada
perawat sehingga dapat memberikan bantuan perawatan pada penderita.
(Weinstein, 2015 dan Duthey, 2013).

2.6 Strategi Nasional Penanggualangan Penyakit Alzheimer dan Demensia


2.6.1 Landasan Hukum dan Peraturan yang mendukung
1. Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang No. 13 Tahun 1988 tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia;
3. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
4. Undang-undnag No. 36 Tahun kesehatan;
5. Undang-undang No. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 60 tahun 2008 tentang
Pedoman Pembentukan Komisi Daerah lanjut Usia dan
Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanganan Lanjut Usia di
Daerah
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2008
tentang Pedoman teknis Pembagian Urusan Bidang Kesehatan
Pemerintah Antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerinatah
Daerah Kabupaten atau Kota
10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 263/Menkes/SKII/2010
tentang Pedoman rehabilitasi Kognitif
11. Keputusan Menteri Kesehatan Penanggulangan Masalah
Intelegensia Akibat Gangguan Degeneratif

2.6.2 Tujuh Langkah Aksi Menanggulangi Penyakit Alzheimer dan


Demensia lainnya (Kemenkes, 2015)
1. Kampanye Kesadaran Publik dan Promosi Gaya Hidup Sehat
Peningkatan kesadaran masyarakat bahwa demensia (“pikun”)
bukan merupakan bagian dari penuaan normal sehingga diperlukan
berbagai upaya dan kegiatan gaya hidup otak sehat (brain healthy
life style) sepanjang hayat yang meliputi aktivitas fisik, mental,
sosial dan konsumsi gizi seimbang. Upaya ini harus dilakukan secara
konsisten dan berkesinambungan.
2. Advokasi Hak Asasi Manusia Bagi Orang dengan Demensia
(“Pikun”) dan Pedampingan
Peningkatan kesadaran pemangku kebijakan dan masyarakat bahwa
demensia merupakan masalah yang beerdampak luas dalam
kehidupan agar kualitas hidup ODD dan pendampingnya lebih baik.
3. Memastikan Adanya Akses Informasi Menuju Layanan yang
Berkualitas
Peningkatan akses dan informasi layanan multidisiplin dan
komprehensif berkualitas yang dapat dijangkau oleh ODD dan
pendampingnya.
4. Deteksi Dini, Diagnosis dan Tatalaksana Holistik Masalah Kognitif
dan Demensia
Peningkatan kualitas pelayanan yang meliputi deteksi dini, diagnosis
sampai tata laksanan holistik di fasilitas pelayanan primer dan
sekunder. Dalam kasus yang memerlukan perawatan jangka Panjang
diprioritaskan pada homecare dan community based care.
5. Sistem Penguatan Sumber Daya Manusia yang Dilakukan Secara
Professional dan Berkelanjutan
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan khusus pada semua
tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan melalui progtam
Pendidikan dan pelatihan di semua tigkat perawatan (dengan
penekanan pada perawatan primer).
6. Sistem Penguatan Program Kesehatan Kognitif Sebagai faktor
Utama Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dengan Pendekatan Siklus
Kehidupan.
Terwujudnya otak sehat dan produktif sebagai bagian rencana
strategis terintegrasi dengan memperhatikan kondisi dan faktor
resiko pada setipa tahap kehidupan.
7. Terlaksana dan Termanfaatkannya Penelitian tentang Kognitif dan
Demensia
Peningkatan kulaitas penanggulangan masalah kognitif dan
demensia melalui terlaksananya berbagai penelitian di tingkat
nasioanl (dasar, klinis, epidemiologis dan sosial).

2.6.3 Program Pro Lansia untuk orang dengan Alzheimer


Salah satu contoh program pro lansia yang dilaksanakan adalah day care
services, yaitu suatu model pelayanan sosial yang disediakan bagi lansia bersifat
sementara, dilaksanakan pada siang hari, di dalam atau di luar panti dalam waktu
tertentu (maksimum 8 jam) dan tidak menginap yang dikelola oleh pemerintah atau
masyarakat secara profesional. Terdapat tiga jenis day care, yaitu sosial yang fokus
pada interaksi, rekreasi, dan pemberian makanan; kesehatan yang fokus pada
pelayanan medis dan pengobatan bagi lansia yang memiliki masalah kesehatan
yang parah; dan kondisi tertentu seperti Alzheimer. Pelayanan yang diberikan
diantaranya adalah pengisian waktu luang misal dengan mendengar musik,
kesenian, olahraga, konseling, terapi fisik, bimbingan mental, terapi bicara, dan
pengobatan (BPS, 2018).
Pelaksanaan gerakan 6 pilar bebas alzheimer untuk mensukseskan program
pemerintah berbasis pengabdian kepada masyarakat. Program tersebut terdiri dari
penyuluhan, skrining kesehatan (pemeriksaan tekanan darah), olah raga untuk
menstimulasi kognitif ringan, seperti senam lansia, edukasi teknik manajemen
stress pada lansia, dan edukasi mengenai cara meningkatkan kualitas tidur, serta
informasi mengenai kebutuhan gizi lansia (Wiayanti, 2017). Adapun program-
program lain yang diadakan oleh organisasi non pemerintahan, seperti Alzheimer
Indonesia terdiri dari pertemuan caregiver setiap hari Sabtu di minggu pertama
setiap bulan, pelatihan dan edukasi keterampilan perawatan, dan peringatan hari
alzheimer dengan melaksanakan kampanye tentang alzheimer setiap bulan
September. Adapun kampanye tersebut terdiri dari advokasi dan penyebaran
informasi mengenai alzheimer, penampilan media, dan penggalangan dana sebagai
upaua melawan alzheimer yang dilaksanakan oleh Alzheimer’s Indonesia
(Alzheimer Indonesia, 2019).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
• Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk lansia terutama di
Indonesia diikuti dengan berbagai permasalahan yang akan muncul
salah satunya demensia dan Alzheimer.
• Penyakit dimensia dan Alzheimer dipengaruhi oleh beberapa faktor
resiko baik yang berasal dari faktor fisik terutama dengan
bertambahnya usia dan menurunnya fungsi tubuh.
• Perlunya strategi untuk merencanakan upaya preventif dan promotif
untuk menanggulangi penyakit demensia dan Alzheimer di
masyarakat.
3.2 Saran
Diharapkan dengan memahami situasi lansia saat ini petugas kesehatan
masyarakat mampu merencanakan program intervensi yang menargetkan untuk
mengendalikan faktor resiko sehingga mampu untuk mengurangi beban penyakit
Alzheimer maupun dementia. Selain itu perlunya meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk dapat memahami dan mengantisipasi terkain kondisi lansia saat
ini.
DAFTAR PUSTAKA

Alzheimer’s Indonesia. 2019. Diakses melalui https://alzi.or.id/ pada 11 Oktober


2019.
Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Lanjut Usia. BPS. Jakarta. Diakses melalui
https://www.bps.go.id/publication/2018/12/21/eadbab6507c06294b74adf71/
statistik-penduduk-lanjut-usia-2018.html pada 26 November 2019.
Blank, Robert H. 2019. Social and Public Policy of Alzheimer’s Disease in the
United States. Palgrave Macmillan.
Budson, Andrew E., Solomon, Paul R. 2016. Memory Loss, Alzheimer’s Disease,
and Dementia: A Practical Guide for Clinicians. Elsevier.
Chen, Jen-Hau. Lin, Kun-Pei., Chen, Yen-Ching. 2009. Risk Factors for Dementia.
Diakses melalui
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0929664609604022 pada
2 Desember 2019.
Duong, Silvia.,Patel, Tejal., Chang, Feng. 2017. Dementia: What pharmacist weed
to know. Diakses melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28405256.
Duthey, Beatrice. 2013. Priority Medicines for European and the World: A Public
Health Approach to Innovation. WHO. Diakses melalui
https://www.who.int/medicines/areas/priority_medicines/BP6_11Alzheimer.
pdf pada 11 Oktober 2019.
Flier van der WM, Scheltens P. 2007. Epidemiology and Risk Factors of Dementia.
Diakses melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1765715/
pada 5 Oktober 2019.
Gustri, L. 2019. Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Kejadian Demensia. Diakses
melalui https://ejournal.undip.ac.id/index.php/actanutrica/article/view/23207
pada 2 Desember 2019.
Kee, Joyce LeFever, Hayes, McCuistion. 2015. Pharmacology: A Patient-Centered
Nursing Process Approach. Elsevier Saunders.
Kemenkes. 2015. Strategi Nasional Penanggulangan Penyaikit Alzheimer dan
Demensia Lainnya: Menuju Lanjut Usia Sehat dan Produktif. Diakses
melalui
http://www.neurona.web.id/paper/Rencana%20Aksi%20Nasional%20Deme
nsia%202015.pdf
Kemenkes. 2018. Selamatkan Otak, peduli gangguan demensia/alzheimer (pikun).
Diakses melalui
http://www.padk.kemkes.go.id/article/read/2018/09/23/1/selamatkan-otak-
peduli-gangguan-demensiaalzheimer-pikun.html pada 11 Oktober 2019.
Kemenkes. 2019. Lansia yang sehat lansia yang jauh dari dari demensia. Diakses
melalui http://www.depkes.go.id/article/print/16031000003/menkes-lansia-
yang-sehat-lansia-yang-jauh-dari-demensia.html pada 7 Oktober 2019.
Koch, M dkk. 2019. Alcohol Consumption and Risk of Dementia and Cognitif
Decline Among Older Adults With or Without Mild Cognitif Impairment.
Diakses melalui
https://jamanetwork.com/journals/jamanetworkopen/fullarticle/2752097
pada 2 Desember 2019.
National Collaborating Centre for Mental Health. 2007. Dementia: A Nice-Scice
Guideline on supporting people with dementia and their carers in health and
social care. Diakses melalui
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21834193.
R.A Putra GPH., Indarwati, R., Has, EMM. 2019. Reminiscence Therapy dengan
Metode Terapi Aktibitas Kelompok Meningkatkan Fungsi Kognitif pada
Lansia. Diakses melalui https://e-
journal.unair.ac.id/IJCHN/article/view/12218 pada 26 November 2019.
Rouch, L dkk., 2015. Antihypertensive Drugs, Prevention of Cognitif Decline and
Dementia: A Systematic Review of Observational Studies, Randomized
Controlled Trials and Meta-Analyses, with Discussion of Potential
Mechanism. Diakses melalui
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25700645 pada 2 desember 2019.
Savica, R., Petersen, RC. 2011. Prevention of Dementia. Diakses melalui
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21333844 pada 2 Desember 2019.
Suriastini, NW dkk. 2016. Research Brief. Dua dari Sepuluh Lanjut Usia
Mengalami Dimensia Ketika Memasuki Umur 70 Tahun: Studi Demensia di
D.I Yogyakarta. Diakses melalui https://surveymeter.org/read/312/dua-dari-
sepuluh-lanjut-usia-mengalami-demensia-ketika-memasuki-umur-70-tahun.
Waldemar, Gunhild., Burns, Alistair. 2017. Alzheimer’s Disease Second Edition.
Oxford University Press.
Weinstein, Lyle. 2015. The Alzheimer’s Family Manual: Advice for The Caregiving
Journey. BISAC.
Wiayanti, Endah Tri., dkk. 2017. Gerakan 6 Pilar Menuju Masyarakat Bebas
Alzheimer di Posyandu Lansia Sasana Ratna Kusuma Kelurahan Mojoroto
Kota Kediri. Jurnal ABDINUS Vol. I No. 1 (2017).
WHO. 2018. Fact-sheets. Ageing and Health. Diakses melalui
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/ageing-and-health pada 2
Desember 20119.
WHO. 2018. The Dementia Epidemiolgy and Impact of Dementia: Current State
and Future Trennd. Diakses melalui
https://www.who.int/mental_health/neurology/dementia/dementia_thematic
brief_epidemiology.pdf
WHO. 2018. Towards a dementia plan: a WHO guide. Diakses melalui
https://www.who.int/mental_health/neurology/dementia/policy_guidance/en
/ pada 9 Oktober 2019.
Wolfe, Michael S. 2017. Alzheimer’s Disease II. Springer. Diakses melalui
https://www.springer.com/gp/book/9783319594590 pada 13 Oktober 209.
Zhong, G dkk. 2015. Smoking Is Associated with an Increased Risk of Dementia: A
meta-Analys of Prospective Cohort Studies with Investigation of Potential
effect Modifiers. Diakses melalui
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4357455/ pada 2 Desember
2019.

Anda mungkin juga menyukai