Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas,berdasarkan Undang-
Undang No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. Sedangkan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 (empat) yaitu usia pertengahan (middle
age = 45-59 tahun), lanjut usia (elderly = usia 60-74 tahun), lanjut usia tua (old = 75-90
tahun), dan usia sangat tua (very old = diatas 90 tahun). Secara global populasi lansia di
prediksi mengalami peningkatan. Menurut laporan World population prospect pada tahun
2017 menyebutkan bahwa populasi lanjut usia(lebih dari 60 tahun) diperkirakan mengalami
peningkatan dari 962 juta diseluruh dunia pada tahun 2017 menjadi 2,1 Miliar pada tahun
2050 dan 3,1 Miliar pada tahun 2100( United Nations, 2017)
Dilihat dari segi aspek kesehatan, lansia menjadi kelompok yang rentan mengalami
penurunan derajat kesehatan yaitu fungsi fisiogis mengalami penurunan akibat proses
degeneratif (penuaan). Penuaan tidak hanya berkaitan dengan perubahan biologis,fase ini juga
berhubungan dengan perubahan dalam kehifupan seseorang seperti masa pensiun,perpindahan
menuju perumahan/ pemukiman yang lebih layak dan kematian teman atau pasangan. Upaya
kesehatan masyarakat yang dilakukan untuk menjamin produktivitas dan kesejahteraan lansia
sebaiknya tidak hanya berfokus pada penurunan fungsi biologis tubuh,namun juga harus
mempertimbangkan faktor psikososial yang berhubungan dengan perubahan lansia dalam
perannya sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat. Proses menua pada manusia
merupakan suatu proses alamiah, menghilangnya kemampuan jaringan pada tubuh untuk
memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi tubuh sehingga terjadi penurunan derajat
kesehatan dan masalah kesehatan pada lansia secara progresif. Selain rentan mengalami
penyakit menular Tuberkulosis,Phenemonia,Diare dan Hepatitis lansia juga rentan mengalami
penyakit tidak menular seperti Diabetes melitus,Hipertensi,Stroke,Radang sendi/Reumatik
dan Asam urat (Mubarok etal., 2015)
Jumlah lansia di dunia diproyeksikan menjadi 1,4 miliar pada tahun 2030 dan 2,1 miliar
pada tahun 2050 dan bisa naik menjadi 3,2 miliar pada 2100. Menurut WHO, di kawasan
Asia Tenggara populasi Lansia sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Badan Pusat Statistik
merilis data jumlah lansia berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus Tahun 2016
diperkirakan jumlah lansia (usia 60 tahun ke atas) di Indonesia sebanyak 22.630.882 jiwa.
Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 31.320.066 jiwa pada tahun 2022.
Jepang kini didaulat sebagai negara dengan penduduk lanjut usia (lansia) terbanyak di dunia.
Menurut data Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), proporsi penduduk lansia di Negeri Sakura
mencapai 29,8% pada 2021. Saat ini kita mulai memasuki periode aging population, dimana
terjadi peningkatan umur harapan hidup yang diikuti dengan peningkatan jumlah lansia.
Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk lansia dari 18 juta jiwa (7,56%) pada
tahun 2010, menjadi 25,9 juta jiwa (9,7%) pada tahun 2019, dan diperkirakan akan terus
meningkat dimana tahun 2035 menjadi 48,2 juta jiwa (15,77%). Jawa timur menjadi provinsi
dengan penduduk lansia terbanyak Nasional ,yakni mencapai 5,98 juta jiwa. Jumlah ini setara
dengan 14,56 dari total penduduk Jawa timur yang berjumlah 41,06 juta jiwa pada akhir tahun
lalu (Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil /Dukcapil, pada 2021)
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk tahun 2010-2032, jumlah penduduk lansia di
Jawa barat pada tahun 2017 sebanyak 4,16 juta jiwa atau sekitar 8,67 persen dari total
penduduk Jawa Barat, yang terdiri dari sebanyak 2,02 juta jiwa (8,31 persen) lansia laki-laki
dan sebanyak 2,14 juta jiwa (9,03 persen) lansia perempuan. Pada tahun 2021 penduduk
lansia di Jawa barat diperkirakan sebanyak 5, 07 juta jiwa atau sebesar 10, 04% dari
penduduk total Jawa barat. Kondisi ini menunjukan bahwa Jawa barat sudah memasuki Aging
Population (Badan pusat statistik, 2017)
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk tahun 2015, jumlah penduduk lansia di kota
garut pada tahun 2015 sebanyak 227.642 juta jiwa dengan jumlah prediksi umur 60-64 tahun
sebanyak 80,367 juta jiwa,umur 65-69 sebanyak 57,719 jiwa, umur 7-75 sebanyak 41,988
jiwa ,dan imur > 75 tahun sebanyak 47,568 jiwa ( Badan pusat statistik 2015)
Selain itu pada lansia juga terdapat mengalami beberapa penyakit karena beresiko
contohnya seperti Diabetes Mellitus. Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit dimana
kadar glukosa didalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan
insulin secara adekuat (Nuh Huda, 2017). Masalah keperawatan yang biasanya muncul pada
klien Diabetes Mellitus ialah nutrisi yang terdiri dari ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh, ketidakstabilan gula darah, kekurangan volume cairan, aktivitas/istirahat
yang 1 terdiri dari hambata mobilitas fisik, kelelahan dan ketidakefektifan perfusi jaringan
perifer, keamanan/perlindungan yang terdiri dari resiko infeksi, kerusakan integritas kulit
dan ketidakefektifan bersihan jalan napas dan kenyamanan yang terdiri dari nyeri akut
(Hanidya Femer, 2020). Diabetes Melitus sebagai permasalahan global terus meningkat
prevalensinya dari tahun ke tahun baik di dunia maupun di Indonesia. Berdasarkan data
International Diabetes Federation (IDF) prevalensi Diabetes Melitus global pada tahun 2019
diperkirakan 9,3% (463 juta orang), naik menjadi 10,2% (578 juta) pada tahun 2030 dan
10,9% (700 juta) pada tahun 2045 (IDF, 2019). Dari sepuluh besar negara dengan penyakit
Diabetes Melitus, Indonesia menduduki peringkat keempat, dengan prevalensi 8,6% dari
total populasi terhadap kasus Diabetes Melitus tipe 2. Tahun 2000 hingga 2030 diperkirakan
akan terjadi peningkatan 8,4 menjadi 21,3 juta jiwa. Komplikasi ulkus kaki diabetik berada di
angka 24% dibanding komplikasi lain yang berupa komplikasi mikrovaskular dan komplikasi
neuropati. Di Indonesia jumlah pengidap komplikasi ulkus ini terjadi kenaikan sebesar 11%
(Riskesdas, 2018).
Diabetes terjadi karena peningkatan kadar gula daarah atau hiperglikemia yang
disebabkan oleh kekurangan insulin. Diabetes mellitus pada lansia merupakan penyakit
metabolik akibat produksi insulin, kerja insulin atau keduanya (Tasidjawa, J 2018 ).
Hiperglikemia kronis pada diabet berhubungan dengan kehancuran jangka panjang,
disfungsi/ketidakberhasilan banyak organ, paling utama mata, ginjal, saraf, jantung, serta
pembuluh darah.
Menurut WHO (2019) neuropati diabetes merupakan komplikasi diabetes yang paling
umum, studi menunjukan bahwa 50% penderita diabetes dipengaruhi oleh lamanya
peningkatan glukosa darah sehingga terjadinya neuropati menyebabkan kehilangan sensorik
dan kerusakan pada anggota gerak (Pambudi, 2019 ). Dari tingginya angka prevalensi
diabetes mellitus diatas merupakan tantangan tersendiri bagi perawat. Perawat komunitas
hendaknya berperan aktif untuk dapat mendapingi lansia. Perawat menggunakan proses
keperawatan secara komperhensif melalui asuhan keperawatan. Pernyataan tersebut didukung
UU RI No. 38 tahun 2014 menyatakan bahwa keperawatan gerontik adalah suatu bentuk
pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu dan kiat atau teknik keperawatan yang
bersifat komperhensif terdiri dari bio-psiko-sosio-spiritual dan kultural yang holistik,
ditunjukkan pada klien lanjut usia, baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat (Kholifah, 2016 ). Dalam melaksanakan asuhan keperawatan
khususnya pada tahap intervensi, perawat akan melakukan berbagai upaya untuk mengelola
diabetes mellitus ini. Salah satu masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi lansia adalah
penyakit diabetes melitus yang biasanya dikenal dengan sebutan kencing manis karena
dapat menurunkan produktivitas penderita penyakit tersebut. Diabetes melitus ialah
penyakit gangguan metabolik yang terjadi secara kronis atau berlangsung selama bertahun-
tahun karena tubuh tidak memiliki hormon insulin yang cukup oleh karena gangguan
terhadap sekresi insulin dan hormon insulin yang tidak bekerja sebagaimana mestinya atau
bisa terjadi karena keduanya (World Health Organization dalam Alhogbi, 2017). Diabetes
melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang
berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurun- 2 an sensitivitas insulin atau
keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular makrovaskuler, dan neuropati
(Sudoyo dalam Nurarif & Kusuma, 2016). Selain itu diabetes melitus juga menjadi salah satu
dari berbagai penyakit yang mengancam hidup banyak orang. Laporan statistik dari
International Diabetes Federation (IDF) mengatakan, ada sekitar 230 juta penderita diabetes
di dunia. Angka tersebut terus meningkat sekitar 3% pertahunnya atau setara dengan 7 juta
jiwa. Diperkirakan jumlah penderita diabetes akan menginjak angka 350 juta jiwa pada
tahun 2025. Setengah dari angka tersebut berada di Asia terutama India, China, Pakistan dan
Indonesia (Izati, 2017). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018, hasil
prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk semua umur di
Indonesia sebesar 1,5%. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di
provinsi DKI Jakarta (2,6%), DI Yogyakarta (2,4%), Sulawesi Utara (2,3), Kalimantan Timur
(2,3%). Sedangkan prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk
yang berumur ≥ 15 tahun menurut provinsi di dapatkan hasil tertinggi terdapat di provinsi
Kalimantan Timur dan DI Yogyakarta dengan presentase masing-masing 3,1%. Prevalensi
diabetes melitus pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki dan meningkat
sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 75 tahun cenderung menurun.
Prevalensi diabetes melitus di perkotaan cenderung lebih tinggi daripada pedesaan (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2018)

Anda mungkin juga menyukai