Anda di halaman 1dari 99

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada

organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel

serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami

yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun

sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada

lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan

(impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidak-

mampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami

bersamaan dengan proses kemunduran (Azizah, 2011).

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa semakin

bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup.

Lansia didunia tumbuh dengan cepat bahkan tercepat dibanding kelompok

usia lainnya. Tahun 2025 terdapat 1,2 milyar Lansia dan tahun 2050 akan

menjadi 2 milyar (21% total penduduk dunia), dimana sekitar 80 % hidup di

negara berkembang. Asia dan Pasifik merupakan bagian dunia yang tercepat

pertumbuhannya dan salah satu negara yang cepat pertumbuhan lansianya

adalah Indonesia (BPS, 2017).

1
2

Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

berstruktur lansia (aging struktured population) karena jumlah penduduk yang

berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%. Provinsi yang mempunyai jumlah

penduduk Lansia nya sebanyak 7% adalah di pulau Jawa dan Bali.

Peningkatan jumlah penduduk Lansia ini antara lain disebabkan antara lain

karena 1) tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat, 2) kemajuan di

bidang pelayanan kesehatan, dan 3) tingkat pengetahuan masyarakat yang

meningkat (BPS, 2017).

Berdasarkan hasil Susenas tahun 2017, jumlah Lansia di Indonesia

mencapai 22,4 juta jiwa atau 8,69% dari jumlah penduduk. Sementara

menurut proyeksi BPS tahun 2015, pada tahun 2018 jumlah Lansia

diperkirakan mencapai 9,3% atau 24,7 juta jiwa. Menurut Badan Pusat

Statistik Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan hasil proyeksi penduduk tahun

2010-2035, jumlah penduduk lansia di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2017

sebanyak 4,16 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2015 jumlah penduduk lansia

sebanyak 3,77 juta jiwa. Pada tahun 2021 jumlah penduduk lansia di Jawa

Barat diperkirakan sebanyak 5,07 juta jiwa atau sebesar 10,04 persen dari

penduduk total Jawa Barat.

Dukungan keluarga sangat penting dalam menjaga keseimbangan fisik

dan fsikologis khusunya bagi lansia. Salah satu masalah yang sering diderita

lansia adalah hipertensi. Keberadaan dukungan keluarga dapat menurunkan

komplikasi hipertensi khususnya dalam masalah kesehatan. Hal tersebut


3

karena keluarga merupakan kelompok kecil yang mampu mengambil

keputusan dalam kesehatan, ikut merawat anggota keluarga yang sakit,

memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada.

Selain itu tindakan pencegahan komplikasi hipertensi yang dilakukan

keluarga diharapkan dapat mengontrol tekanan darah si penderita (Agustina,

2015).

Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO)

menyebutkan jumlah penderita hipertensi akan terus meningkat seiring

dengan jumlah penduduk yang bertambah pada 2025 mendatang diperkirakan

sekitar 29% warga dunia terkena hipertensi. WHO menyebutkan negara

ekonomi berkembang memiliki penderita hipertensi sebesar 40% sedangkan

negara maju hanya 35%, kawasan Afrika memegang posisi puncak penderita

hipertensi, yaitu sebesar 40%. Kawasan Amerika sebesar 35% dan Asia

Tenggara 36%. Kawasan Asia penyakit ini telah membunuh 1,5 juta orang

setiap tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga orang menderita

hipertensi. Sedangkan di Indonesia cukup tinggi, yakni mencapai 32% dari

total jumlah penduduk (Almina Rospitaria Tarigan dkk 2018).


Data dari Dinas Kesehatan Kota Banjar menunjukan jumlah lansia

yang berusia >60 tahun di Kota Banjar adalah 8.917 jiwa (341,25%) dan

jumlah lansia 45-59 tahun sebanyak 15.539 jiwa (594,68%). Populasi lansia

di wilayah kerja Puskesmas Langensari II mencapai 2.613 lansia yaitu terdiri

dari lansia usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun dan lansia (elderly)

≥60 tahun. Jumlah lansia yang berusia 45-59 tahun sebanyak 1.606 lansia
4

meliputi 3 desa yaitu (1) Kelurahan Muktisari sebanyak 444 lansia, (2)

Kelurahan Langensari sebanyak 544 lansia, dan (3) Kelurahan Waringinsari

sebanyak 618 lansia. Jumlah lansia yang berusia ≥60 tahun sebanyak 1.007

lansia meliputi 3 Kelurahan yaitu (1) Kelurahan Muktisari sebanyak 314

lansia, (2) Kelurahan Langensari sebanyak 341 lansia, dan (3) Kelurahan

Waringinsari sebanyak 352 lansia (Dinas Kesehatan Kota Banjar, 2018).

Hipertensi pada lansia disebabkan karena proses penuaan dimana

terjadi perubahan sistem kardiovaskuler, katup mitral, dan aorta mengalami

sklerosis dan penebalan, miokard menjadi kaku dan lambat dalam

berkontraktilitas. Kemampuan memompa jantung harus bekerja lebih keras

sehingga terjadi hipertensi. Lansia yang menderita hipertensi dengan

prevalensi 45,9% pada usia 55-64 tahun, 57,6% pada usia 65-74 tahun, dan

63,8% pada usia 75 tahun. Tertinggi berada di Bangka Belitung 30,9%, diikuti

oleh Kalimantan Selatan 30,8%, Kalimantan Timur 29,6%, dan Jawa Barat

29,4% (Riskesdas, 2013).

Hipertensi disebabkan oleh kebiasaan hidup atau perilaku

kebiasaan mengkonsumsi natrium yang tinggi, kegemukan, stres,

merokok, dan minum alkohol (Padila, 2013). Dan adapun tingginya

prevalensi hipertensi menurut Ainun, Arsyad, dan Rismayanti (2012)

dikarenakan gaya hidup yang tidak sehat seperti kurangnya

olahraga/aktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan mengkonsumsi makanan

yang tinggi kadar lemaknya. Pernyataan tersebut didukung oleh


5

penelitian Arif, Rusnoto, & Hartinah (2013) menunjukan bahwa ada empat

faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada lansia meliputi

kebiasaan konsumsi garam, konsumsi makanan yang berlemak, merokok,

dan kurangnya olahraga/latihan fisik.

Prevelansi penduduk Indonesia yang memiliki perilaku gaya hidup

kurang baik seperti kurang konsumsi buah dan sayur sebanyak 52,7%,

konsumsi garam lebih dari 2 ribu mg/hari 52,7%, merokok sebanyak 93,5%,

dan kurang aktivitas fisik 26,1% (Riskesdas, 2013). Menurut Muhammadun

(2010) dalam Dalyoko, dkk, (2011) ada beberapa hal yang dapat dilakukan

dalam upaya pengendalian hipertensi yaitu dengan cara farmakologi dan

non-farmakologi. Terapi secara farmakologi yaitu dengan konsisten

mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh dokter. Sedangkan secara

non-farmakologi diantaranya dengan menjaga pola makan, olahraga

teratur, istirahat yang cukup, berhenti merokok dan berhenti minum-

minuman berakohol, serta hindari stress.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anggrina, Rini &

Haritama (2011) sebanyak 56,7% lansia penderita hipertensi tidak

konsisten terhadap Pengendalian hipertensi sehingga menyebabkan

kekambuhan hipertensi. Sementara itu menurut Suhardjono (2010) dalam

Hairunisa (2014), dampak dari ketidakkonsistenan lansia mengontrol atau

pengendalian hipertensi dapat menyebabkan komplikasi seperti kerusakan

organ meliputi otak, karena hipertensi yang tidak terkontrol dapat

meningkatkan risiko stroke kemudian kerusakan pada jantung, hipertensi


6

meningkatkan beban kerja jantung yang akan menyebabkan pembesaran

jantung sehingga meneningkatkan risiko gagal jantung, dan gagal ginjal.

Dukungan dari keluarga sangat diperlukan dalam penanganan

penderita hipertensi pada lansia. Dukungan dari keluarga merupakan faktor

terpenting dalam membantu lansia menyelesaikan masalah. Keluarga

mempunyai beberapa macam dukungan keluarga seperti dukungan

informasi, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan dukungan

emosional. Semakin tinggi dukungan keluarga akan memberikan dampak

baik bagi perkembangan kesehatan lansia (Handayani & Wahyuni, 2012).

Lansia harus konsisten dalam pengendalian hipertensi dengan

melakukan secara terus-menerus dengan tekun dan benar sehingga bisa

menjadi suatu kebiaasaan. Dengan tujuan agar kondisi tekanan darah tetap

terkontrol dan mengurangi peluang terjadinya kekambuhan dan komplikasi

hipertensi, hal tersebut harus akan mudah dilakukan oleh lansia apabila

lansia mendapat dukungan dari keluarga. Dukungan yang di maksud seperti

selalu mengingatkan penderita hipertensi untuk mengurangi konsumsi

garam, rajin berolahraga, mengonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran,

mengingatkan akan bahaya merokok, menjalankan hidup secara sehat, serta

mengingatkan lansia untuk selalu minum obat (Padila, 2012).

Hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan di Kelurahan Muktisari

wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar pada bulan april tahun
7

2019, peneliti melakukan wawancara kepada 15 orang lansia yang terkena

hipertensi dan di dapatkan hasil 7 lansia mengatakan jarang memperhatikan

pola makan nya, 5 lansia mengatakan mereka jarang melakukan ktivitas fisik

seperti olaharaga dan 3 lansia mendapatkan dukungann keluarga tentang

pentingnya mengatur pola makan yang sehat.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk

meneliti “Hubungan antara dukungan keluarga dengan konsistensi

pengendalian hipertensi pada lansia di Kelurahan Muktisari wilayah kerja

Puskesmas Langensari II Kota Banjar”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagian dari dukungan keluarga adalah cinta dan kasih sayang yang

harus dilihat secara terpisah sebagai bagian asuhan dan perhatian dalam

fungsi efektif keluarga, terutama lansia yang sedang mengalami sakit.

Dukungan keluarga pada lansia penderita hipertensi sangat penting

diberikan, karena dengan adanya dukungan keluarga pada lansia yang

mengalami hipertensi, diharapkan mampu mengontrol kesehatan lansia agar

tidak terjjadi komplikasi penyakit lain yang berhubungan dengan hipertensi.

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara dukungan keluarga


8

dengan konsistensi pengendalian hipertensi pada lansia di Kelurahan

Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan

konsistensi lansia pada pengendalian hipertensi di Kelurahan Muktisari

wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dukungan keluarga pada lansia yang mengalami

hipertensi di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari

II Kota Banjar

2. Untuk mengetahui konsistensi lansia pada pengendalian hipertensi di

Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota

Banjar.

3. Untuk menganalisis hubungan antara dukungan keluarga dengan

konsistensi pengendalian hipertensi pada lansia di Kelurahan Muktisari

wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis


9

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk memberikan

informasi pada masyarakat tentang pentingnya dukungan keluarga dalam

konsistensi pengendalian hipertensi pada keluarga lansia agar tingkat

hipertensi menurun dan tidak terjadi komplikasi. Sekaligus menambah

referensi untuk dijadikan sumber bacaan baik oleh dosen maupun

mahasiswa sehingga dapat menambah pengetahuan bagi yang

membacanya. Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi perawat,

sehingga dapat mendukung dalam menjalankan tugas pokok, fungsi,

wewenang, dan tanggung jawab dalam memberikan pelayanan khususnya

asuhan keperawatan.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Lansia
Meningkatkan pengetahuan lansia tentang hubungan antara dukungan

keluarga dengan konsistensi pengendalian hipertensi di Puskesmas

Langensari II Kota Banjar.


2. Keluarga Dari Lansia
Penelitian ini dapat dijadikan sarana untuk menambah pengetahuan oleh

keluarga dalam konsistensi pengendalian hipertensi pada lansia.


3. Bagi Pelayanan Kesehatan di Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi unit pelayanan

keperawatan untuk meningkatkan upaya promosi kesehatan lansia

melalui pemberdayaan keluarga untuk mempertahankan kesehatannya.


4. Bagi Stikes Bina Putera Banjar
10

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan untuk

mengembangkan kurikulum, khususnya mata kuliah keperawatan

gerontik.

1.5 Keaslian Penelitian


Penelitian tentang lansia dengan hipertensi sudah banyak dilakukan,

akan tetapi penelitian dengan judul hubungan antara dukungan keluarga

dengan konsistensi pengendalian hipertensi pada lansia di Kelurahan

Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar, sepengetahuan

penulis belum pernah dilakukan, adapun penelitian yang mirip dengan

penelitian penulis adalah sebangai berikut:


1. Herlinah Lily, Wiwin W, Etty R (2013). Melakukan penelitian yang berjudul

“Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Lansia dalam

Pengendalian Hipertensi di Wilayah Kecamatan Koja Jakarta Utara”.

Metode penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif korelasional dengan

pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel dengan teknik multi stage

random sampling dengan jumlah sampel 99 responden. Instrmen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuisioner, dan

teknik asnalisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan Uji Chi

Square. Persamaan: variabel bebas yaitu hubungan dukungan keluarga,

rancangan penelitian cross sectional. Perbedaan: dalam pengambilan sampel

peneliti sebelumnya menggunakan teknik multi stage random sampling

sedangkan peneliti menggunakan teknik total sampling.


2. Fitri (2012), “Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Diet

Rendah Garam Dan Keteraturan Kontrol Tekanan Darah Pada Penderita


11

Hipertensi di Poliklinik RSUD Tugu Rejo Semarang”. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian deskriptif korelatif dan rancangan

penelitian cross sectional, jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak

45 responden dengan teknik pengambilan sampel yaitu total sampling.

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan kuisioner

dan lembar observasi. Persamaan dalam penelitian ini terletak pada variabel

bebas dan terikat yaitu sama-sama meneliti hubungan dukungan keluarga

dan kepatuhan. Selain itu, rancangan penelitian ini sama yaitu sama-sama

menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Persbedaan dalam

penelitian ini yaitu terletak pada waktu, tempat dan jumlah responden.
3. Dalyoko (2010) dengan judul penelitian faktor-faktor yang berhubungan

dengan upaya pengendalian hipertensi pada lansia di posyandu lansia

wilayah kerja puskesmas Mojosongo Boyolali. Penelitian ini merupakan

penelitian observasional dengan rancangan cross-sectional. Subjek

penelitian ini adalah lansia wilayah kerja Puskesmas Mojosongo Boyolali.

Sampel sebanyak 70 orang dengan teknik pengambilan sampel yang

digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan total random sampling,

uji statistik menggunakan uji korelasi berganda. Instrument yang digunakan

dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuisioner dan lembar

observasi. Persamaan penelitian terdapat pada teknik pengambilan sampel

dan rancangan penelitian, sedangkan perbedaannya terletak pada lokasi

penelitian, waktu penelitian, jenis penelitian, dan teknik analisis data.


12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keluarga
2.1.1 Pengertian

Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan,

kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan

budaya dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional serta

sosial dari tiap anggota keluarga (Friedman, 2013). Keluarga merupakan

unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa

orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam

keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 2014).

Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa orang yang masih

memiliki hubungan darah dan bersatu. Keluarga didefinisikan sebagai

sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai

hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran,

adopsi dan lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-

anak yang belum menikah disebut keluarga batih (Suprajitno, 2014).

2.1.2 Struktur Keluarga


Menurut (Johnson, 2010) struktur keluarga terdiri dari bermacam-

macam yaitu :
1. Patrineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari saudara sedarah dalam

beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah.

13
13

2. Matrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari saudara sedarah

dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur

garis ibu.
3. Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga

sedarah istri.
4. Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga

sedarah suami.
5. Keluarga kawinan adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi

pembimbing keluarga, dan beberapa saudara yang menjadi bagian

keluarga karena adanya hubungan dengan suami atau istri.


2.1.3 Fungsi Keluarga
Secara umum fungsi keluarga menurut Friedman, Bowen, Jones

(2010) adalah sebagai berikut:


1. Fungsi Afektif
Fungsi afektif berhubungan dengan fungsi internal keluarga, meliputi

perlindungan dan dukungan psikososial terhadao anggotanya, pada

fungsi afektif keluarga bertanggung jawab dalam upaya pemenuhan

kebutuhan sosioemosional anggotanya. Kepribadian dan perilaku,

kemampuan berhubungan yang baik dengan orang lain, serta

meningkatkan harga diri anggota keluarga.


2. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi dalam keluarga meupakan banyaknya pengalaman

belajar yang diberikan dalam keluarga kepada anak sebagai pelajaran

hidup di masyarakat. Sosialisasi mencakup semua proses dalam sebuah

komunitas atau kelompok dimana manusia tinggal dan berdasarkan sifat

kelenturannya, yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman selama

hidup.
3. Fungsi Reproduksi
14

Fungsi reproduksi adalah fungsi untuk mempertahankan keturunan yang

menjadi generasi penerus dan menjaga konsistensi sebuah keluarga.

Selain itu, fungsi reproduksi juga termasuk penggunaan alat kontrasepsi

dan teknologi reproduksi yang lebih luas di lingkup keluarga.


4. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan sumber daya

yang cukup berupa keuangan, tempat tinggal, dan barang-barang, serta

tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan

penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.


5. Fungsi Perawatan atau Pemeliharaan Kesehatan
Perawatan atau pemeliharaan kesehatan tidak hanya berfungsi secara

pokok dan mendasar dalam keluarga, tetapi juga berfungsi mengemban

focus sentral kesehatan dengan baik dalam keluarga. Agar keluarga dapat

menjadi sumber kesehatan yang efektif dan utama, maka keluarga juga

harus lebih terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan keseluruhan

proses teraupeutik.

2.1.4 Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan


Menurut Johnson, (2010), tugas-tugas keluarga dalam bidang

kesehatan yaitu :
1. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya
2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.
3. Memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit dan yang tidak

dapat membantu dirinya sendiri karena cacat.


4. Mempertahankan suasana di rumah yang mengutungkan kesehatan dan

perkembangan kepribadian anggota keluarga.


15

5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga

kesehatan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas

yang ada.

2.2 Dukungan Keluarga


2.2.1 Pengertian
Dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan yang meliputi

sikap, tindakan, dan penerimaan terhadap anggota keluarga sehingga

anggota keluarga merasa ada yang memperhatikannya. Jadi dukungan

keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan yang di pandang oleh

anggota keluarga yang selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika

diperlukan (Erdiana, 2015).

2.2.2 Bentuk Dukungan Keluarga


Keluarga mempunyai peran bagi anggota keluarga lainnya terutama

peran dukungan terhadap anggota keluarga lainnya (Friedman, 2013), yaitu :


1. Dukungan informasional
Dukungan informasional adalah keluarga berfungsi sebagai pemberi

informasi, dimana keluarga menjelaskan tentang pemberian saran,

sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah.


2. Dukungan emosional
Dukungan emosional adalah keluarga sebagai tempat yang aman dan

damai untuk istirahat serta pemilihan dan membantu penguasaan

terhadap emosi. Dukungan emosional meliputi dukungan yang

diwujudkan dalam bentuk adanya kepercayaan dan perhatian


3. Dukungan instrumental
Dukungan instrumental adalah keluarga merupakan sumber pertolongan

praktis dan konkrit, diantaranya adalah dalam hal kebutuhan keuangan,

makan, minum dan istirahat.


16

4. Dukungan penilaian atau penghargaan


Dukungan penilaian adalah keluarga yang bertindak membimbing dan

menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas

anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, dan

perhatian.

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga


Menurut Purnawan, (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi

dukungan keluarga adalah:


1. Faktor internal
1) Tahap perkembangan adalah dukungan dapat ditentukan oleh faktor

usia dalam hal ini merupakan pertumbuhan dan perkembangan dengan

demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan

respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.


2) Pendidikan atau tingkat pengetahuan, keyakinan seseorang terhadap

adanya dukungan terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri dari

pengetahuan, latar belakang pendidikan dan pengalaman masa lalu.

Kemampuan kognitip akan membentuk cara berfikir seseorang

termasuk kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang

berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang

kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya.


3) Faktor emosi, faktor yang juga mempengaruhi keyakinan terhadap

adanya dukungan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang

mengalami respon stress dalam setiap perubahan hidupnya cenderung

berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan

cara mengkhawatirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam


17

kehidupannya. Seorang secara umum terlihat sangat tenang mungkin

mempunyai respon emosional yang kecil selama ia sakit. Seseorang

individu tidak mampu melakukan koping secara emosional terhadap

ancaman penyakit.
4) Spiritual, aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang

mengalami kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang

dilaksnakan. Hubungan dengan keluarga atau teman dan kemampuan

mencari harapan dan arti dalam hidup.


2. Faktor eksternal
1) Praktik di keluarga, cara bagaimana keluarga memberikan dukungan

biasanya mempengaruhi penderita dalam melaksanakan kesehatannya.


2) Faktor sosial ekonomi, dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit

dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisakan dan bereaksi

terhadap penyakitnya. Variabel psikososial mencakup stabilitas

perkawinan, gaya hidup, dan lingkungan kerja


3) Latar belakang budaya, mempengaruhi keyakinan, nilai, dan

kebiasaan individu dalam memberikan dukungan termasuk cara

pelaksanaan kesehatan pribadi.


2.2.4 Sumber Dukungan Keluarga
Sumber dukungan keluarga terdapat tiga macam sumber yaitu

individu, organisasi, keterampilan pengambilan keputusan, dan kemampuan

resolusi-konflik yang didapatkan melalui dukungan internal dan eksternal.

Dukungan keluarga internal seperti dukungan dari suami atau istri,

dukungan dari saudara kandung. Sedangkan dukungan keluarga eksternal

bagi keluarga inti adalah sistem pendukung sosial keluarga atau diluar

keluarga (Friedman, Bowen, Jones, 2010)


2.2.5 Manfaat Dukungan Keluarga
18

Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa

kehidupan, sifat, dan jenis kehidupan. Dukungan keluarga berpengaruh

dalam kesehatan anggota keluarga. Seseorang yang mendapatkan dukungan

keluarga yang baik akan menjadikan individu lebih sehat (Friedman,

Bowen, Jones, 2010).


2.2.6 Pengukuran Dukungan Keluarga

Pengkuran dukungan keluarga diukur dengan menggunakan kuisioner

yang merujuk pada sub variabel yang terdiri dari dukungan infromasi,

dukungan emosional, dukungan instrumental, dan dukungan penilaian yang

mengakibatkan responden memiliki keadaan nyaman dan diperhatikan,

bentuk penghargaan positif dan pemberian semangat, dan dukungan dari

sesama lansia dan masyarakat (Setiadi, 2013).

Teknik yang digunakan untuk mengukur dukungan keluarga, dilakukan

dengan menempatkan orang ke dalam suatu kategori dimana pilihannya

lebih dari dua pilihan. Biasanya pilihan ini merupakan tingkatan dari

kesukaan atau ketidaksukaan, setuju atau ketidaksetujuan, misalnya setuju,

sangat setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju dan ragu-ragu. Salah satu

teknik pengukuran skala sikap yang paling umum digunakan adalah skala

Likert (Sugiyono, 2011). Teknik ini menempatkan pilihan dengan rentang

nilai 1-5 yaitu selalu 5, sering 4, kadang-kadang 3, pernah 2, tidak pernah 1.

Untuk memberi interpretasi terhadap skor dukungan keluarga, adalah

dengan membandingkan skor tersebut dengan harga rata-rata atau mean


19

skor kelompok, dimana responden itu termasuk (Azwar, 2014), dengan

rumus:

 

 X  x
T  Nilaimaksimal  NilaiMinimal  
 s 
 

Keterangan :

X = Skor responden yang hendak diubah menjadi skor T

X = Mean skor kelompok

s = Deviasi standar skor kelompok

Penilaiannya adalah :

Dukungan Baik Jika nilai T > Mean (rata-rata).

Dukungan Buruk Jika nilai T < Mean (rata-rata).

2.3 Hipertensi
2.3.1 Pengertian
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami

peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan

angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Tekanan

darah 140/90 mmHg didasarkan pada dua fase dalam setiap denyut jantung

yaitu fase sistolik 140 menunjukan fase darah yang sedang dipompa oleh

jantung dan fase diastolik 90 menunjukan fase darah yang kembali ke

jantung (Triyanto,2014).
Hipertensi adalah gangguan pada sistem peredaran darah yang sering

terjadi pada lansia, dengan kenaikan tekanan darah sistolik lebih dari 150
20

mmHg dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmHg, tekanan

sistolik150/90 masih normal pada lansia (Sudarta, 2013).


2.3.2 Penyebab Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan

menurut Corwin (2009), Irianto (2014), Padila (2013), Syamsudin (2011),

Udjianti (2010) :
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer.
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi

esensial yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak

diketahui penyebabnya (Idiopatik). Beberapa faktor diduga berkaitan

dengan berkembangnya hipertensi esensial seperti berikut ini:


(1) Genetik, individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi,

beresiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini. Faktor genetik ini tidak

dapat dikendalikan, jika memiliki riwayat keluarga yang memliki

tekanan darah tinggi.


(2) Jenis kelamin dan usia, laki – laki berusia 35- 50 tahun dan wanita

menopause beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi. Jika usia

bertambah maka tekanan darah meningkat faktor ini tidak dapat

dikendalikan serta jenis kelamin laki–laki lebih tinggi dari pada

perempuan.
(3) Diet, konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung

berhubungan dengan berkembangnya hipertensi. Faktor ini bisa

dikendalikan oleh penderita dengan mengurangi konsumsinya karena

dengan mengkonsumsi banyak garam dapat meningkatkan tekanan

darah dengan cepat pada beberapa orang, khususnya dengan pendeita

hipertensi, diabetes, serta orang dengan usia yang tua karena jika garam
21

yang dikonsumsi berlebihan, ginjal yang bertugas untuk mengolah

garam akan menahan cairan lebih banyak dari pada yang seharusnya

didalam tubuh. Banyaknya cairan yang tertahan menyebabkan

peningkatan pada volume darah seseorang atau dengan kata lain

pembuluh darah membawa lebih banyak cairan. Beban ekstra yang

dibawa oleh pembuluh darah inilah yang menyebabkan pembuluh darah

bekerja ekstra yakni adanya peningkatan tekanan darah didalam dinding

pembuluh darah. Kelenjar adrenal memproduksi suatu hormon yang

dinamakan Ouobain. Kelenjar ini akan lebih banyak memproduksi

hormon tersebut ketika seseorang mengkonsumsi terlalu banyak garam.

Hormon ouobain ini berfungsi untuk menghadirkan protein yang

menyeimbangkan kadar garam dan kalsium dalam pembuluh darah,

namun ketika konsumsi garam meningkat produksi hormon ouobain

menganggu kesimbangan kalsium dan garam dalam pembuluh darah.


(4) Kalsium dikirim kepembuluh darah untuk menyeimbangkan kembali,

kalsium dan garam yang banyak inilah yang menyebabkan penyempitan

pembuluh darah dan tekanan darah tinggi. Konsumsi garam berlebih

membuat pembuluh darah pada ginjal menyempit dan menahan aliran

darah. Ginjal memproduksi hormone rennin dan angiostenin agar

pembuluh darah utama mengeluarkan tekanan darah yang besar

sehingga pembuluh darah pada ginjal bisa mengalirkan darah seperti

biasanya. Tekanan darah yang besar dan kuat ini menyebabkan

seseorang menderita hipertensi. Konsumsi garam per hari yang


22

dianjurkan adalah sebesar 1500 – 2000 mg atau setara dengan satu

sendok teh. Perlu diingat bahwa sebagian orang sensitif terhadap garam

sehingga mengkonsumsi garam sedikit saja dapat menaikan tekanan

darah. Membatasi konsumsi garam sejak dini akan membebaskan anda

dari komplikasi yang bisa terjadi.


(5) Berat badan, faktor ini dapat dikendalikan dimana bisa menjaga berat

badan dalam keadaan normal atau ideal. Obesitas (>25% diatas BB

ideal) dikaitkan dengan berkembangnya peningkatan tekanan darah atau

hipertensi.
(6) Gaya hidup, faktor ini dapat dikendalikan dengan pasien hidup dengan

pola hidup sehat dengan menghindari faktor pemicu hipertensi itu terjadi

yaitu merokok, dengan merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang

dihisap dalam waktu sehari dan dapat menghabiskan berapa putung

rokok dan lama merokok berpengaruh dengan tekanan darah pasien.

Konsumsi alkohol yang sering, atau berlebihan dan terus menerus dapat

meningkatkan tekanan darah pasien sebaiknya jika memiliki tekanan

darah tinggi pasien diminta untuk menghindari alkohol agar tekanan

darah pasien dalam batas stabil dan pelihara gaya hidup sehat penting

agar terhindar dari komplikasi yang bisa terjadi.


2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi

adalah hipertensi sekunder, yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan

darah karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit

ginjal atau gangguan tiroid, hipertensi endokrin, hipertensi renal, kelainan

saraf pusat yang dapat mengakibatkan hipertensi dari penyakit tersebut


23

karena hipertensi sekunder yang terkait dengan ginjal disebut hipertensi

ginjal (renal hypertension). Gangguan ginjal yang paling banyak

menyebabkan tekanan darah tinggi karena adanya penyempitan pada arteri

ginjal, yang merupakan pembuluh darah utama penyuplai darah ke kedua

organ ginjal. Bila pasokan darah menurun maka ginjal akan memproduksi

berbagai zat yang meningkatkan tekanan darah serta ganguuan yang terjadi

pada tiroid juga merangsang aktivitas jantung, meningkatkan produksi darah

yang mengakibtkan meningkatnya resistensi pembuluh darah sehingga

mengakibtkan hipertensi. Faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder

antara lain: penggunaan kontrasepsi oral, coarctation aorta, neurogenik

(tumor otak, ensefalitis, gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan

volume intravaskuler, luka bakar, dan stress karena stres bisa memicu sistem

saraf simapatis sehingga meningkatkan aktivitas jantung dan tekanan pada

pembuluh darah.
2.3.3 Klasifikasi
Menurut WHO (2013), batas normal tekanan darah adalah tekanan

darah sistolik kurang dari 120 mmHg dan tekanan darah diastolik kurang

dari 80 mmHg. Seseorang yang dikatakan hipertensi bila tekanan darah

sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg.

Berdasarkan The Joint National Commite VIII (2014) tekanan darah dapat

diklasifikasikan berdasarkan usia dan penyakit tertentu. Diantaranya adalah:


Tabel 2.1
Batasan Hipertensi Berdasarkan
The Joint National Commite VIII Tahun 2014

Tekanan Darah (mmHg) Kategori


≥150/90 mmHg Usia ≥60 tahun tanpa penyakit diabetes dan cronic
24

kidney disease
≥140/90 mmHg Usia 19-59 tahun tanpa penyakit penyerta
≥140/90 mmHg Usia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal
≥140/90 mmHg Usia ≥18 tahun dengan penyakit diabetes
Sumber: The Joint National Commite VIII (2014).
Tabel 2.2
Kategori Tekanan Darah Berdasarkan American Heart Association (2014)

Kategori tekanan darah Sistolik Diastolik


Normal <120 mmHg < 80 mmHg
Prehipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi stage 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Hipertensi stage 2 ≥ 160 mmHg ≥ 100 mmHg
Hipertensi stage 3 ≥ 180mmHg ≥ 110 mmHg
Sumber: American Heart Assosiation (2014)
2.3.4 Patofisiologi Hipertensi
Menurut (Triyanto, 2014) Meningkatnya tekanan darah didalam arteri

bisa rerjadi melalui beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat

sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya arteri besar

kehilangan kelenturanya dan menjadi kaku sehingga mereka tidak dapat

mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut.

Darah di setiap denyutan jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang

sempit dari pada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. inilah yang

terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku

karena arterioskalierosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga

meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika arter kecil (arteriola)

untuk sementara waktu untuk mengarut karena perangsangan saraf atau

hormon didalam darah. Bertambahnya darah dalam sirkulasi bisa

menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terhadap

kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah


25

garamdan air dari dalam tubuh meningkat sehingga tekanan darah juga

meningkat.
Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang arteri

mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan

darah akan menurun. Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut

dilaksanakan oleh perubahan didalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom

(bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara

otomatis). Perubahan fungsi ginjal, ginjal mengendalikan tekanan darah

melalui beberapa cara: jika tekanan darah meningkat, ginjal akan

mengeluarkan garam dan air yang akan menyebabkan berkurangnya volume

darah dan mengembalikan tekanan darah normal. Jika tekanan darah

menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga

volume darah bertambah dan tekanan darah kembali normal. Ginjal juga

bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut

renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensi, yang selanjutnya

akan memicu pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ peting

dalam mengembalikan tekanan darah; karena itu berbagai penyakit dan

kelainan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi.

Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis

arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cidera pada

salah satu atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya tekanan darah

(Triyanto, 2014).
Pertimbangan gerontology, perubahan structural, dan fungsional pada

system pembuluh perifer bertanggung pada perubahan tekanan darah yang


26

terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,

hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos

pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi

dan daya regang pembuluh darah. Aorta dan arteri besar berkurang

kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh

jantung (volume secukupnya), mengakibatkan penurunan curah jantunng

dan meningkatkan tahanan perifer (Prima, 2015).


2.3.5 Manifestasi Klinis
Menurut sebagian besar penderita tekanan darah tinggi umumnya

tidak menyadari kehadirannya. Bila ada gejala, penderita darah tinggi

mungkin merasakan keluhan-keluhan berupa: kelelahan, bingung, perut

mual, masalah pengelihatan, keringat berlebihan, kulit pucat atau merah,

mimisan, cemas atau gelisah, detak jantung keras atau tidak beraturan

(palpasi), suara berdenging di telinga, disfungsi ereksi, sakit kepala, pusing

(Ahmad, 2011).
gejala klinis yang dialami oleh para penderita hipertensi biasanya

berupa pengelihatan kabur karena kerusakan retina, nyeri pada kepala, mual

dan muntah akibatnya tekanan kranial, edema dependen dan adanya

pembengkakan karena meningkatnya tekanan kapiler (Pudiastuti, 2011).


2.3.6 Komplikasi hipertensi
Menurut (Triyanto, 2014) komplikasi hipertensi dapat menyebabkan

sebaga berikut:
1. Stroke timbul akibat perdarahan tekananan tinggi diotak, atau akibat

embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan

tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri

yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga


27

aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-

arteri otak mengalami arterosklerosis dapat menjadi lemah, sehingga

meningkatkan kemungkinan terbentukya aneurisma. Gejala tekena struke

adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti orang binggung atau

bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa

lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa

kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara

mendadak.
2. Infrak miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis

dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat

menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus

yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut.

Hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen

miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia

jantung yang menyebabkan infrak. Demikian juga hipertropi ventrikel

dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik

melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung, dan

peningkatan resiko pembentukan bekuan.


3. Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan

tinggi pada kapiler-kapiler ginjal. Glomerolus. Dengan rusaknya

glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron

akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian.

Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin


28

sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema

yang sering di jumpai pada hipertensi kronik.


4. Ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya

kejantung dengan cepat dengan mengakibatkan caitan terkumpul diparu,

kaki dan jaringan lain sering disebut edema. Cairan didalam paru-paru

menyebabkan sesak napas, timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki

bengkak atau sering dikatakan edema. Ensefolopati dapat terjadi terutama

pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi

pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan

mendorong cairan kedalam ruangan intertisium diseluruh susunan saraf

pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolap dan terjadi koma.

Sedangkan menurut Menurut (Ahmad,2011) Hipertensi dapat

diketahui dengan mengukur tekanan darah secara teratur. Penderita

hipeertensi, apabila tidak ditangani dengan baik, akan mempunyai resiko

besar untuk meninggal karena komplikasi kardovaskular seperti stoke,

serangan jantung, gagal jantung, dan gagal ginjal, target kerusakan akibat

hipertensi antara lain :

1) Otak, menyebabkan stroke

2) Mata, menyebabkan retinopati hipertensi dan dapat menimbulkan

kebutaan

3) Jantung, menyebabkan penyakit jantung koroner (termasuk infark

jantung)

4) Ginjal, menyebabkan penyakit ginjal kronik, gagal ginjal terminal.


29

2.3.7 Faktor-Faktor Resiko Hipertensi

Faktor-faktor resiko hipertensi ada yang dapat di kontrol dan tidak

dapat dikontrol menurut (Sutanto, 2010) antara lain:

1. Faktor yang dapat dikontrol

Faktor penyebab hipertensi yang dapat dikontrol pada umumnya

berkaitan dengan gaya hidup dan pola makan. Faktor-faktor tersebut antara

lain:

1) Kegemukan (obesitas), diungkapkan bahwa orang yang kegemukan

mudah terkena hipertensi. Wanita yang sangat gemuk pada usia 30 tahun

mempunyai resiko terserang hipertensi 7 kali lipat dibandingkan dengan

wanita langsing pada usia yang sama. Curah jantung dan sirkulasi

volume darah penderita hipertensi yang obesitas. Meskipun belum

diketahui secara pasti hubungan antara hipertensi dan obesitas, namun

terbukti bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah

penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibanding penderita

hipertensi dengan berat badan normal.

2) Kurang olahraga , orang yang kurang aktif melakkukan olahraga pada

umumnya cenderung mengalami kegemukan dan akan menaikan

tekanan darah. Dengan olahraga kita dapat meningkatkan kerja jantung.

Sehingga darah bisa dipompadengan baik keseluruh tubuh.

3) Konsumsi garam berlebihan, sebagian masyarakat kita sering

menghubungkan antara konsumsi garam berlebihan dengan

kemungkinan mengidap hipertensi. Garam merupakan hal yang penting


30

dalam mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam

terhadap hipertensi adalah melalui peningkatan volume plasma atau

cairan tubuh dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh

peningkatan ekresi (pengeluaran) kelebihan garam sehingga kembali

pada kondisi keadaan sistem hemodinamik (pendarahan) yang normal.

Pada hipertensi primer (esensial) mekanisme tersebut terganggu,

disamping kemungkinan ada faktor lain yang berpengaruh.

4) Merokok dan mengonsumsi alkohol, nikotin yang terdapat dalam rokok

sangat membahayakan kesehatan selain dapat meningkatkan

penggumpalan darah dalam pembuluh darah, nikotin dapat

menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Mengonsumsi

alkohol juga dapat membahayakan kesehatan karena dapat

meningkatkan sistem katekholamin, adanya katekholamin memicu naik

tekanan darah.

5) Stres, dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara. Jika

ketakutan, tegang atau dikejar masalah maka tekanan darah kita dapat

meningkat. Tetapi pada umumnya, begitu kita sudah kembali rileks

maka tekanan darah akan turun kembali. Dalam keadaan stres maka

terjadi respon sel-sel saraf yang mengakibatkan kelainan pengeluaran

atau pengangkutan natrium. Hubungan antara stres dengan hipertensi

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf

simpatis (saraf yang bekerja ketika beraktivitas) yang dapat

meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Stres berkepanjanngan


31

dapat mengakibatkan tekanan darah menjadi tinggi. Hal tersebut belum

terbukti secara pasti, namun pada binatang percobaan yang diberikan

stres memicu binatang tersebut menjadi hipertensi.

2. Faktor yang tidak dapat dikontrol :

1) Keturunan (Genetika), memang memiliki peran yang sangat besar

terhadap munculnya hipertensi. Hal tersebut terbukti dengan

ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak terjadi pada

kembar monozigot (berasal dari satu sel telur) dibandigkan

heterozigot (berasal dari sel telur yang berbeda). Jika seseorang

termasuk orang yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer

(esensial) dan tidak melakukan penanganan atau pengobata maka ada

kemungkinan lingkungannya akan menyebabkan hipertensi

berkembang dan dalam waktu sekitar tiga puluhan tahun akan mulai

muncul tanda-tanda dan gejala hipertensi dengan berbagai

komplikasinya.

2) Jenis kelamin, pada umumnya pria lebih terserang hipertensi

dibandingkan dengan wanita. Hal ini disebabkan pria banyak

mempunyai faktor yang mendorong terjadinya hipertensi seperti

kelelahan, perasaan kurang nyaman, terhadap pekerjaan,

pengangguran dan makan tidak terkontrol. Biasanya wanita akan

mengalami peningkatan resiko hipertensi setelah masa menopause.

3) Umur, dengan semakin bertambahannya usia, kemungkinan

seseorang menderita hipertensi juga semakin besar. Penyakit


32

hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi

dari berbagai faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Hanya

elastisitas jaringan yang erterosklerosis serta pelebaran pembulu

darah adalah faktor penyebab hipertensi pada usia tua. Pada

umumnya hipertensi pada pria terjadi di atas usia 31 tahun sedangkan

pada wanita terjadi setelah berumur 45 tahun.

2.4 Konsistensi Pengendalian Hipertensi

2.4.1 Pengertian Konsistensi

Konsistensi adalah melakukan suatu kegiatan secara terus menerus

dengan tekun dan benar tanpa keluar dari jalur / batasan-batasan yang telah

di tentukan maupun sesuai dengan ucapan yang telah dilontarkan. Pada

jaman sekarang ini banyak orang yang hanya bisa mengutarakan namun

untuk pengaplikasiannya terkesan tidak ada. Konsisten salah satu sikap dari

manusia yang sifatnya adalah untuk memegang teguh suatu prinsip atau

pendirian dari segala hal yang telah di tentukan (Gusti, 2013).

2.4.2 Upaya Pengendalian Hipertensi

1. Terapi Non Farmakologi

Menurut Gusti, (2013) pengendalian hipertensi terdiri dari beberapa hal,

antaralain sebagai berikut:

1) Pola makan

Makanan merupakan faktor penting yang menentukan tekanan

darah. Mengkonsumsi buah dan sayuran segar dan menerapkan pola


33

makan yang rendah lemak jenuh, kolestrol, lemak total, serta kaya akan

bua, sayur, serta produk susu rendah lemak telah terbukti secara klinis

dapat menurunkan tekanan darah. Untuk menanggulangi keadaan

tekanan darah yang tinggi, secara garis besar ada 4 macam diet, yaitu

diet rendah garam, diet rendah kolestrol dan lemak terbatas, diet tinggi

serat, diet rendah kalori bagi yang kegemukan.

2) Pola istirahat

Hal yang perlu diperhatikan untuk menurunkan tekanan darah yaitu

istirahat yang cukup. Istirahat merupakan suatu kesempatan untuk

memperoleh energy sel dalam tubuh, istirahat dapat di lakukan dengan

meluangkan waktu diantara ketegangan jam sibuk bekerja sehari-hari.

Istirahat yang cukup dan teratur dapat mengembalikan stamina tubuh dan

mengembalikan keseimbangan hormone dan energi dalam tubuh.

3) Pola Aktivitas

Dilakukan dengan berolahraga yang mampu mengurangi hormon

noradrenalin dan hormon-hormon lainnya yang menjadi penyebab

penyempitnya pembuluh darahyang dapat mengakibatkan naiknya

tekanan darah. Olahraga sebaiknya dilakukan teratur dan bersifat aerobic

sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan sebaiknya dlakukan 30

menit sehari dan usahakan setiap hari. Latihan aerobik misalnya berlari-

lari, bersepeda, dan berjalan cepat. Selain olahraga, aktivitas fisik juga

dapat berbentuk aktivitas sehari-hari berupa kegiatan fisik juga dapat


34

berbentuk aktivitas sehari-hari berupa kegiatan yang akan meningkatkan

pengeluaran tenaga dan energy (pembakaran kalori) seperti melakukan

pekerjaan rumah tangga dan berkebun.

4) Manajemen stress

Hal lain yang perlu dilakukan untuk menurunkan tekanan darah adalah

memanajemen stress. Orang yang stress, pembuluh darahnya akan

mengecil dan menyempit sehingga mengakibatkan naiknya tekanan

darah. Karena itu, penderita hipertensi disarankan untuk menghindari

stress misalnya dengan berekreasi, menciptakan suasana yang damai dan

menghindarkan suasana yang dapat menimbukan stres.

5) Berhenti Merokok, alkohol dan kopi

Modifikasi gaya hidup yang juga penting dalam pengendalian hipertensia

dalah menghindari rokok, alkohol dan kopi. Karena mengkonsumsi

secara berlebihan akan merangsang otak menghasilkan hormon yang

membuat pembuluh darah menyempit sehingga membuat jantung

bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi dan juga

menyebabkan penumpukan lebih banyak natrium dan air. Hal ini

menyebabkan kenaikkan tekanan darah. Merokok 2 batang saja dapat

menyebabkan kenaikan darah baik tekanan sistolik maupun distolik

sebanyak 10 mmHg. Pada penderita hipertensi, mengkonsumsi alcohol

dapat mempengaruhi efektivitas beberapa otot dan memperburuk efek

sampingnya. Mengurangi alcohol dapat menurunkan tekanan sistolik 5

mmHg dan distolik 3 mmHg. Kopi juga dapat meningkatkan tekanan


35

sistolik 3-14 mmHg dan distolik 4-13 mmHg pada orang yang tidak

mempunyai hipertensi.

2. Terapi farmakologi (terapi dengan obat)

Selain cara terapi non-farmakologi, terapi dalam obat menjadi hal

yang utama. Obat-obatan anti hipertensi yang sering digunakan dalam

pegobatan, antara lain obat-obatan golongan diuretik, beta bloker,

antagonis kalsium, dan penghambat konfersi enzim angiotensi.

1) Diuretik merupakan anti hipertensi yang merangsang pengeluaran

garam dan air. Dengan mengonsumsi diuretik akan terjadi

pengurangan jumlah cairan dalam pembuluh darah dan menurunkan

tekanan pada dinding pembuluh darah.

2) Beta bloker dapat mengurangi kecepatan jantung dalam memompa

darah dan mengurangi jumlah darah yang dipompa oleh jantung.

3) ACE-inhibitor dapat mencegah penyempitan dinding pembuluh darah

sehingga bisa mengurangi tekanan pada pembuluh darah dan

menurunkan tekanan darah.

4) Ca bloker dapat mengurangi kecepatan jantung dan merelaksasikan

embuluh darah.

2.4.3 Pengukuran Konsistensi Pengendalian Hipertensi

Pengkuran konsistensi pengendalian hipertensi diukur dengan

menggunakan kuisioner yang merujuk pada sub variabel yang terdiri dari
36

pola hidup, perencanaan diet, diet rendah garam, aktivitas fisik, membatasi

alcohol, manajemen stress, dan terapi farmakologis.

Teknik yang digunakan untuk mengukur konsistensi pengendalian

hipertensi dilakukan dengan menempatkan orang ke dalam suatu kategori

dimana pilihannya lebih dari dua pilihan. Biasanya pilihan ini merupakan

tingkatan dari kesukaan atau ketidaksukaan, setuju atau ketidaksetujuan,

misalnya setuju, sangat setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju dan ragu-

ragu. Salah satu teknik pengukuran skala sikap yang paling umum

digunakan adalah skala Guttman (Budiman dan Riyanto, 2013). Teknik ini

menempatkan jawaban dalam bentuk Ya atau Tidak atau Benar dan Salah

dengan pemberian skor jika menjawab Ya diberi skor 1 dan jika menjawab

tidak diberi skor 0.

Untuk memberi interpretasi terhadap skor konsistensi pengendalian

hipertensi karna yang dinilai adalah masyarakat umum, maka pemberian

skor Penilaiannya adalah :

Konsisten Jika nilai >50%

Tidak Konsisten Jika < 50%.

2.5 Lansia

2.5.1 Pengertian

Menurut WHO lansia adalah seseorang yang sudah memasuki usia 60

tahun ke atas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah
37

memasuki tahapan akhir dar fase kehidupannya. Kelompok yang

dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut proses

penuaan. Lansia merupakan proses normal perubahan yang berhubungan

dengan waktu, sudah di mulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang waktu.

Usia tua adalah fase akhir dari rentang kehidupan (Fatimah, 2010).

2.5.2 Batasan Lanjut Usia

WHO menggolongan lansia menjadi 4 yaitu :

1. usia pertengahan (middle age) adalah 45-59 tahun.

2. lanjut usia (elderly) 60-74 tahun.

3. lanjut usia tua (old) adalah 75-90 tahun.

4. usia sangat tua (very old) adalah diatas ≥ 90.

2.5.3 Ciri-Ciri Lansia

Menurut Hurlock, (2012) terdapat beberapa ciri orang yang berusia

lanjut diantaranya yaitu:

1. Usia lanjut merupakan periode kemunduran

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor

psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia.

Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia.

Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang

rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran

itu akan lama terjadi.

2. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas


38

Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari

sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan

diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek terhadap lansia.

Pendapat-pendapat klise itu seperti: lansia lebih senang mempertahankan

pendapatnya daripada mendengarkan pendapat orang lain.

3. Menua membutuhkan perubahan peran

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami

kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya

dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari

lingkungan.

4. Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia

cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih

memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang

buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.

2.5.4 Proses Penuaan

Menjadi tua (menua) adalah suatu keadaan yang terjadi didalam

kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang

tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu tetapi dimulai dari mulai

kehidupan menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti bahwa

manusia sudah melalui berbagai tahap kehidupan mulai dari neonates,

toddler, pra sekolah, sekolah, remaja, dewasa dan lansia. Menua merupakan

tahap tubuh dalam mencapai titik maksimal, setelah itu tubuh menyusut
39

dikarenakan berkurangnya jumlah sel-sel dalam tubuh akibatnya tubuh akan

mengalami penurunan fungsi secara bertahap (Padila, 2013)

Daya tahan tubuh terhadap rangsangan dari luar juga akan mengalami

penurunan sehingga secara progresif akan kehilangan daya tahan tubuh

terhadap infeksi dan terjadi penumpukan distori metabolik dan struktural

yang disebut penyakit degenerative (IP. Suiraoka, 2012).

2.5.5 Teori-Teori Proses Menua

Banyak definisi yang menjelaskan tentang proses menua, proses

menua bersifat individual, yaitu dimana proses menua pada setiap orang

berbeda-beda. Terjadi faktor yang dapat mencegah proses menua (Padila,

2013). Teori-teori penuaan dapat digolongan sebagai berikut:

1. Teori genetik dan mutasi, menurut teori genetik dan mutasi semua

terprogran secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi

sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-

molekul DNA dan sel pada saatnya akan mengalami mutasi.

2. Pemakaian dan rusak kelebihan usaha dan stress menyebabkan tubuh

lelah.

3. Pengumpulan dari pigmen atau lemak dalam tubuh yang disebut teori

akumulasi dari produk sisa.

4. Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan.

5. Tidak ada perlindungan tubuh terhadap radiasi, penyakit dan

kekurangan gizi.

6. Reaksi dari kekebalan sendiri.


40

7. Immunology slow theory, sistem imun menjadi efektif dengan

bertambahnya usia dan masuknya virus kekebalan tubuh yang dapat

menyebabkan kerusakan organ tubuh.

8. Teori stress, mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel

yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat

mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan

stress yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

9. Teori radikal bebas, dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya

radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-

bahan oganik seperti karbohidrat dan potein. Radikal ini menyebabkan

sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.

10. Teori rantai silang, diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua

menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringankolagen. Ikatan ini

menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan dan hilangnya fungsi

sel.

11. Teori program, kemampuan organisme untuk menetapkan jumlahsel

yang akan membelah setelah sel tersebut mati.

2.5.6 Perubahan yang terjadi pada lanjut usia

Menurut Mujahidullah (2012) dan Wallace (2007), beberapa

perubahan yang akan terjadi pada lansia diantaranya adalah perubahan fisik,

intlektual, dan keagamaan.

1. Perubahan fisik
41

1) Sel, saat seseorang memasuki usia lanjut keadaan sel dalam tubuh

akan berubah, seperti jumlahnya yang menurun, ukuran lebuh besar

sehingga mekanisme perbaikan sel akan terganggu dan proposi

protein di otak, otot, ginjal, darah dan hati beekurang.

2) Sistem persyarafan, keadaan system persyarafan pada lansia akan

mengalami perubahan, seperti mengecilnya syaraf panca indra. Pada

indra pendengaran akan terjadi gangguan pendengaran seperti

hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga. Pada indra

penglihatan akan terjadi seperti kekeruhan pada kornea, hilangnya

daya akomodasi dan menurunnya lapang pandang. Pada indra peraba

akan terjadi seperti respon terhadap nyeri menurun dan kelenjar

keringat berkurang. Pada indra pembau akan terjadinya seperti

menurunnya kekuatan otot pernafasan, sehingga kemampuan

membau juga berkurang.

3) Sistem gastrointestinal, pada lansia akan terjadi menurunya selara

makan, seringnya terjadi konstipasi, menurunya produksi air liur

(Saliva) dan gerak peristaltic usus juga menurun.

4) Sistem genitourinaria, pada lansia ginjal akan mengalami pengecilan

sehingga aliran darah ke ginjal menurun.

5) Sistem musculoskeletal, pada lansia tulang akan kehilangan cairan

dan makin rapuh, keadaan tubuh akan lebih pendek, persendian kaku

dan tendon mengerut.


42

6) Sistem Kardiovaskuler, pada lansia jantung akan mengalami pompa

darah yang menurun, ukuran jantung secara kesuruhan menurun

dengan tidaknya penyakit klinis, denyut jantung menurun, katup

jantung pada lansia akan lebih tebal dan kaku akibat dari akumulasi

lipid. Tekanan darah sistolik meningkat pada lansia kerana hilangnya

distensibility arteri. Tekanan darah diastolic tetap sama atau

meningkat.

2. Perubahan intelektual

Menurut Hochanadel dan Kaplan dalam Mujahidullah (2012),

akibat proses penuaan juga akan terjadi kemunduran pada kemampuan

otak seperti perubahan Intelegenita Quantion (IQ) yaitu fungsi otak

kanan mengalami penurunan sehingga lansia akan mengalami kesulitan

dalam berkomunikasi nonverbal, pemecehan masalah, konsentrasi dan

kesulitan mengenal wajah seseorang. Perubahan yang lain adalah

perubahan ingatan, karena penurunan kemampuan otak maka seorang

lansia akan kesulitan untuk menerima rangsangan yang diberikan

kepadanya sehingga kemampuan untuk mengingat pada lansia juga

menurun.

3. Perubahan keagamaan

Menurut Maslow dalam Mujahidin (2012), pada umumnya lansia

akan semakin teratur dalam kehidupan keagamaannya, hal tersebut

bersangkutan dengan keadaan lansia yang akan meninggalkan kehidupan

dunia.
43

2.6 Kerangka Konsep dan Kerangka Kerja

2.6.1 Kerangka Konsep

Lansia Dukungan
Keluarga
1. Dukungan
Perubahan fisik dan informasi
psikologis 2. Dukungan
emosional
3. Dukungan
Perubahan degeneratif instrumental
Faktor resiko hipertensi 4. Dukungan
1. Faktor yang tidak bisa di penilaian
Hipertensi
kontrol
1) Keturunan’
2) Jenis kelamin
3) Umur Pengendalian
2. Faktor yang bisa di Hipertensi
kontrol
1) Kegemukan
2) Kurang olahraga
3) Pola makan
4) Merokok dan
mengkonsumsi alkohol
44

Farmakologi Non Farmakologi

: Diteliti

: Tidak Diteliti

Sumber : Friedman, (2013) Gusti, (2013) dan Sutanto, (2010).

Bagan 2.1
Kerangka Konsep

2.6.2 Kerangka Kerja


Variabel bebas Variabel terikat
Ada hubungan
Dukungan Pengendalian
keluarga hipertensi
Tidak ada
hubungan

Bagan 2.2
Kerangka Kerja

2.7 Hipotesis Penelitian


45

Hipotesis merupakan jawaban sementara tehadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah penellitian telah dinyatakan dalam

bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2010).

2.7.1 Hipotesis Nol (Ho)

Hipotesis nol merupakan hipotesis yang menyatakan tidak ada

hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain atau hipotesis

yang menyatakan tidak ada perbedaan sesuatu kejadian antara kedua

kelompok.

2.7.2 Hipotesis Alternatif (Ha)

Hipotesis alternatif merupakan hipotesis yang menyatakan ada

hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain atau hipotesis

yang menyatakan ada perbedaan sesuatu kejadian antara kedua

kelompok.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara dukungan

keluarga dengan konsistensi pengendalian pada lansia di wilayah kerja

Puskesmas Langensari II.


46

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

3.1.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif yaitu

metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel

tertentu (Sugiyono, 2012).

Penelitian ini menggunakan desain analitik korelational. Penelitian

korelational merupakan tipe penelitian dengan karakteristik masalah berupa

hubungan atau korelasional dua variabel atau lebih. Peneliti dapat mencari,

menjelaskan hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori

yang ada (Dharma, 2011). Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara

dukungan keluarga dengan konsistensi pengendalian hipertensi pada lansia

di wilayah kerja Puskesmas Langensari II.

3.1.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian

dengan pendekatan cross sectional yaitu jenis rancangan penelitian yang

menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan

dependen hanya satu kali pada suatu saat. Tentunya tidak semua sebjek

penelitian harus diobservasi pada hari atau waktu yang sama, akan tetapi

baik variabel independen dan variabel dependen dinilai hanya satu kali saja

(Nursalam, 2015).

48
47

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau

subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik-karakteristik tertentu

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulan (Sugiyono 2012).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia berusia ≥60 tahun

yang mempunyai penyakit hipertensi di Kelurahan Muktisari wilayah kerja

Puskesmas Langensari II Kota Banjar yang tinggal bersama dengan

keluarga, baik yang laki-laki maupun perempuan yang berjumlah 76 orang.

3.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang diharapkan dapat mewakili

atau representative populasi (Riyanto, 2011). Teknik pengambilan sampel

dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik total sampling

yaitu teknik pengambilan sampel dengan menjadikan total keseluruhan

populasi untuk dijadikan sampel (Notoatmodjo, 2010). Kriteria sampel

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kriteria Inklusi (inclutive criteria)

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang harus terpenuhi setiap

masing-masing anggota populasi yang akan dijadikan sampel (Notoatmodjo,

2010). Kriteria inklusi (inclutive criteria) sebagai berikut:


48

1) Lansia yang bersedia menjadi responden.

2) Lansia yang didiagnosis menderita hipertensi.

3) Lansia yang tinggal dengan keluarganya.

4) Lansia yang masih dapat berkomunikasi dengan baik.

5) Lansia yang berusia ≥ 60 tahun.

2. Kriteria Ekslusi (exclusive criteria)

Kriteria eksklusi adalah kriteria atau ciri-ciri anggota populasi yang

tidak bisa dijadikan sebagai sampel peneltian (Notoatmodjo, 2010). Kriteria

eksklusi dalam penelitian ini adalah:

1) Lansia yang tidak berada ditempat pada saat penelitian

2) Lansia yang menolak dijadikan subjek penelitian

3) Lansia yang memiliki komplikasi penyakit lain selain hipertensi.

4) Lansia yang sedang dirawat di fasilitas kesehatan.

5) Lansia hipertensi yang mengalami kesehatan mendadak seperti pusing.

3.2 Variabel dan Definisi Operasional

3.3.1 Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu sifat yang akan diukur atau diamati yang nilainya

bervariasi antara satu objek ke objek lainnya dan terukur (Riyanto, 2011).

1. Variabel Independen

Variabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus, prediktor, antecendent.

Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas

adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya


49

atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Sugiyono, 2012). Variabel

indenpenden dalam penelitian ini adalah dukungan keluarga.

2. Variabel Dependen

Variabel dependen sering disebut juga sebagai variabel output, kriteria,

konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat.

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2012). Variabel dependen

dalam penelitian ini adalah konsistensi pengendalian hipertensi pada lansia.

3.3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan variabel-variabel yang akan diteliti secara

operasional dilapangan. Definisi operasional bermanfaat untuk mengarahkan

kepada pengukur atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang akan diteliti

serta untuk pengembangan instrument (Riyanto, 2011). Definisi Operasional

dalam penelitian ini adalah :


50

Tabel 3.1
Variabel dan Definisi Operasional

3.4 Cara Pengumpulan Data

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diambil langsung dari reponden yang

diambil dengan menggunakan instrument penelitian. Teknik yang digunakan

dalam pengumpulan data primer pada penelitian yaitu dengan cara

membagikan kuesioner yang disusun sesuai dengan variabel dependen dan

variabel independen.
51

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data pendukung yang diperoleh dari hasil

literatur, jurnal, atau laporan yang dilakukan melalui metode studi

kepustakaan atau melalui internet browsing (pencarian data di internet), dan

data yang diperoleh dari instansi terkait, misalnya dari data lansia yang

hipertensi se-Kota Banjar serta data lainnya yang secara tidak langsung

menunjang penelitian ini.

3.4.2 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk

mengumpulkan data, instrumen ini dapat berupa kuesioner, formulir

observasi, formulir lain yang berkaitan dengan pencatatan data dan

sebagainya (Notoatmojo, 2011).

Istrumen dukungan keluarga alat yang digunakan adalah kuesioner

yang mengacu pada empat dukungan keluarga menurut Friedman, Bowen,

dan Jones (2010) yang terdiri dari 36 pernyataan. Dukungan informasi (1-

16), dukungan emosional (17-22), dukungan instrumental (13-28), dan

dukungan penilaian atau penghargaan (29-36). Sedangkan untuk kuisioner

konsistensi pengendalian hipertensi peneliti menggunakan 20 pertanyaan.

Item pernyataan dukungan keluarga disusun dalam bentum pernyataan

positif (favorable) dan negatif (unfavorable) menggunakan skala likert

dengan 5 pilihan jawaban yaitu selalu, sering, kadang-kadang, pernah dan

tidak pernah. Untuk item yang positif (favorable) skor 5 = selalu, skor 4 =

sering, skor 3 = kadang-kadang, skor 2 = pernah, skor 1 = tidak pernah. Dan


52

untuk pernyataan negatif (unfavourable) skor 1 = selalu, skor 2 = sering,

skor 3 = kadang-kadang, skor 4 = pernah, skor 5 = tidak pernah. Sedangkan

pertanyaan konsistensi pengendalian hipertensi disusun dalam bentuk skala

guttman dengan kategori pilihan jika menjawab Ya diberi skor 1 dan jika

menjawab tidak diberi skor 0.

Tabel 3.2
Kisi-kisi kuesioner dukungan keluarga
Variabel Indikator Favourable unfavourable
Dukungan 1. Dukungan informasi 1,3,5,7,9,11,13 2,4,6, 8,10,12,14
keluarga ,15. 16.
2. Dukungan emosional 17,19,21. 18,20,22.
3. Dukungan instrumental 23,25,27. 24,26,28.
4. Dukungan penilaian 29,31,33,35. 30,32,34,36.

Instrumen konsistensi lansia alat yang digunakan adalah koesioner

yang mengacu pada pengendalian hipertensi menurut Hidayah, (2010)

terdiri dari 20 pertanyaan dalam bentuk skala guttman. Pengendalian non

farmakologis (1-18) dan farmakologis (19-20).


Tabel 3.3
Kisi-kisi kuesioner konsistensi pengendalian hipertensi

Variabel Indikator Nomor Item


Konsistensi pengendalian hipertensi 1. Non 1-16.
pada lansia Farmakologis
2. Farmakologis 17-20.

3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

1. Uji Validitas

Validitas merupakan ketepatan atau kecermatan pengukuran, valid

artinya alat tersebut mengukur apa yang ingin diukur (Riyanto, 2011).

Suatu alat ukur dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila tes

tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang


53

tepat dan akurat sesuai yang dimaksud. Uji validitas r hitung yang valid

harus lebih besar daripada r tabel dan derajat kebebasan (dk = n – 2).

Item dinyatakan valid apabila r hitung ≥ r tabel, sedangkan jika r hitung ≤

r tabel item dinyatakan tidak valid dan akan dihapus dari instrument.

Uji validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu

benar-benar mengukur apa yang akan diukur yaitu dengan

menggunakan tehnik korelasi product moment dengan rumus sebagai


N   xy     x  y 
Rxy 
berikut:
 
N  x2   x N  y2   y
2 2

N= Jumlah responden

x = Nomor pertanyaan

y = Skor total

xy = Skor nomor pertanyaan dikali skor total

Uji validitas telah peneliti laksanakan di Kelurahan Waringinsari

dari tanggal 17 Mei 2019 sampai tanggal 22 Mei 2019 terhadap 30 orang

responden. Pengujian validitas instrument penelitian dilakukan dengan

menggunakan bantuan program aplikasi komputer. Peneliti mengambil

lokasi tersebut dikarenakan ada kesamaan dari budaya dan bahasa. Hasil

dari uji validitas menunjukkan semua pertanyaan valid dengan nilai r

hitung terkecil sebesar 0.573 dan nilai terbesar yaitu 1.000 lebih besar
54

dari r tabel yaitu 0.374. Pengujian dilakukan dengan menentukan r tabel

ketentuan derajat kebebasan Dk= n-2 yaitu 30-2=28 sehingga r tabel

yang didapatkan adalah sebesar 0.374.

2. Uji Reliabilitas

Setelah mengukur validitas, maka perlu mengukur reliabilitas data,

apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Uji reliabitas dari

instrument menjadi hal yang sangat penting dalam suatu penelitian

karena uji ini menggambarkan sejauh mana hasil suatu pengukuran

dapat dipercaya. Angket atau kuesioner itu dapat dikatakan reliable jika

jawaban seseorang terhadap pertanyaan tersebut konsisten atau stabil

dari waktu ke waktu (Pamungkas, 2016). Dalam penelitian ini

digunakan reliabilitas internal yaitu menganalisis data dari satu kali hasil

pengetesan, yang dibantu dengan tata cara pendekatan statistik dengan

menggunakan teknik spearman brown yang lebih dikenal dengan

sebutan tes belah dua (tes ganjil genap) (Badriah, 2009). Rumusnya

adalah sebagai berikut :

Keterangan :

r11 = Reliabilitas instrumen

r1/21/2 = rxy disebut sebagai Indeks Korelasi antar dua belahan butir tes.

Uji reliabilitas telah peneliti laksanakan di Kelurahan Waringinsari

dari tanggal 17 Mei 2019 sampai tanggal 22 Mei 2019 terhadap 30


55

orang responden. Hasil dari uji reliabilitas dari variabel dukungan

keluarga didapatkan nilai koefisien reliabilitas sebesar 0.761 dan

instrument variabel konsistensi pengendalian hipertensi sebesar 0.772


Daftar Skripsi
lebih besar dari r tabel
S1yaitu
Ilmu0.374.
Keperawatan
Ditolak
3.5 Jalannya Penelitian
Pengajuan
Outline Penelitian Mencari Lagi

Jurusan Mengajukan Usulan


Pembimbing Utama dan Pendamping

LPPM mengesahkan pembimbing


Skripsi

Bimbingan Proposal

Bimbingan proposal dikoordinir oleh


LPPM (terbuka)

Penelitian, bimbingan, penyusunan


laporan
Tidak
Sempurna
Sidang hasil dikoordinir oleh LPPM
(tertutup)
Tidak Lulus
Yudisium
Tidak Lulus Tidak
memperbaiki
Dinyatakan lulus dengan perbaikan dalam 1 Semester
Tidak
Perbaikan Lulus

Lulus

Bagan 3.1
Jalannya Penelitian
56

3.6 Alur Penelitian

3.6.1 Tahap Perencanaan

Tahap ini diawali dengan peneliti mengidentifikasi masalah,

merumuskan masalah, mengadakan study pendahuluan atau pra survey,

merumuskan hipotesis, menentukan sampel penelitian dan menyusun

rencana penelitian. Pada tahap ini calon peneliti memulai dengan mengirim

surat permohonan ijin penelitian dan pengambilan data awal penelitian

kepada instansi terkait (Dinas Kesehatan dan Puskesmas Langensari II).

Pengambil data awal dilakukan setelah menerima surat balasan dari instansi

terkait. Tahap pra survey dilakukan pada bulan November 2018. Dan

selanjutnya dilakukan penyusunan Proposal sampai bulan April 2019.

Proposal disusun dan diajukan kepada tim penguji untuk kemudian

diberikan rekomendasi untuk melanjutkan penelitian.


3.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini berlangsung dengan diawali pengajuan izin penelitian

tempat yang dijadikan lokasi penelitian. Setelah mendapatkan izin

penelitian, kemudian peneliti melakukan penelitian sesuai jadwal dan waktu

yang telah ditentukan. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah

dengan membagikan kuisioner terhadap lansia serta melakukan study


57

dokumentasi. Setelah lembar kuisioner terisi maka selanjutnya dianalisa dan

dilakukan pengolahan data untuk mendapatkan jawaban dari hipotesis

penelitian.

3.6.3 Tahap Laporan Penelitian


Lembar kuisioner yang telah diolah berdasarkan tahap-tahap

pengolahan data kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi,

setelah laporan hasil penelitian disetujui maka hasil tersebut didaftarkan ke

LPPM untuk diuji dalam sidang penelitian. Hasil sidang direvisi dan

kemudian dicetak untuk dibagikan kepada pihak-pihak terkait dalam

penelitian. Kemudian terakhir menerbitkan jurnal hasil penelitian yang

ditujukan kepada LPPM STIKes Bina Putera Banjar.

3.7 Strategi Analisis


3.7.1 Pengolahan Data
1. Editing
Merupakan kegiatan pengecekan dan perbaikan isian formulir atau

kuesioner. Pengecekan ini berupa kelengkapan jawaban pernyataan,

kejelasan, dan keterbacaan jawaban, jawaban relevan dengan pernyataan,

kosistensi jawaban responden (Notoatmodjo, 2010). Peneliti mengecek

kelengkapan jawaban responden ketika responden selesai mengisi

koesioner.
2. Scoring

Setelah tahap editing data, langkah selanjutnya yaitu memberikan skor

atau nilai dari hasil jawaban responden. Jawaban untuk pertanyaan

dukungan keluarga dengan jawaban dari pernyataan positif (favourable)

Nilai jawaban favorable SL=5, SS=4, KK=3, PR=2, TPR=1. Untuk


58

jawaban unfavorable SL=1, SS=2, KK=3, PR=4, TPR=5. Proses scoring

telah dilakukan pada saat pemeriksaan jawaban dan lembar instrument

penelitian telah terkumpul semua pada peneliti. Pemberian skor untuk

variabel konsistensi pengendalian hipertensi adalah jika menjawab Ya

diberi skor 1 dan jika menjawab Tidak diberi skor 0.

3. Coding
Yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka

dengan tujuan untuk mempermudah pada saat melakukan analisis data

dan mempercepat pada saat entry data (Notoatmodjo, 2010). Pemberian

kode untuk variabel dukungan keluarga adalah Kode “1” dukungan

keluarga baik dan Kode “2” dukungan keluarga buruk. Sedangkan

pemberian kode untuk konsistensi pengendalian hipertensi lansia adalah

Kode “1” konsisten dan Kode “2” tidak konsisten.


4. Processing
Setelah semua kuesioner dan lembar observasi terisi penuh dan benar

serta sudah melewati pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah

memproses data agar dapat dianalisis. Pemprosesan data dilakukan

dengan cara mengentri data dari kuisioner dan lembar observasi ke paket

program komputer.
5. Cleaning data
Setelah data dientri ke program komputer langkah selanjutnya adalah

melakukan pengecekan kembali data apakah ada kesalahan mengentry

data atau tidak. Pengecekan dilakukan dengan melihat satu persatu data

yang sudah dientry.


6. Tabulating data
59

Tabulasi adalah kegiatan untuk memasukkan data yang didapat dari hasil

entry ke dalam tabel-tabel yang telah dipersiapkan. Proses tabulasi yang

penulis lakukan meliputi :


1) Mempersiapkan tabel dengan kolom dan barisnya
2) Menghitung banyaknya frekuensi untuk setiap kategori hasil

observasi
3) Menyusun tabel distribusi frekuensi dengan tujuan agar data dapat

tersusun rapi, mudah untuk dibaca dan dinalisis.


7. Penyajian data
Agar hasil penelitian lebih mudah dipahami dan data disajikan dalam

bentuk tabel.
3.7.2 Analisa Data
1. Analisa Univariat

Analisis univariat adalah analisa yang dilakukan pada suatu variabel

dari hasil penelitian, yang bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya

dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap

variabel yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Untuk dukungan keluarga dan

konsistensi pengendalian hipertensi pada lansia peneliti terlebih dahulu

mencari nilai mean atau rata-rata dengan menggunakan aplikasi komputer.

dengan cara memasukan skor jawaban setiap responden ke dalam bentuk

tabel. Untuk menjawab tujuan khusus 1 dan 2, terlebih dahulu ditetapkan

nilai/bobot skor dari setiap alternative jawaban:

1) Aspek dukungan keluarga selanjutnya diinterpretasikan kedalam

standar kriteria objektif yaitu :


(1) Dukungan baik Jika skor T > Mean T
(2) Dukungan buruk Jika Skor T < Mean T
60

2) Aspek konsistensi pengendalian hipertensi diinterpretasikan kedalam

standar kriteria objektif yaitu:


(1) Konsisten Jika skor >50%
(2) Tidak konsisten Jika Skor < 50%
3) Data dikategorikan dan diberi kode kemudian data dianalisis dengan

cara statistik deskriptif yaitu dengan prosentase dengan menggunakan

rumus yang dikemukakan oleh (Arikunto, 2010) sebagai berikut :

X
P x100%
N
Keterangan:

P : Persentase

X : Jumlah responden sesuai hasil ukur

N : Jumlah keseluruhan populasi.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang di gunakan untuk

membandingkan persamaan atau perbedaan anatara dua variabel

(Notoatmodjo, 2012). Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui

hubungan anatara variabel dependen dan independen yaitu hubungan

dukungan keluarga dengan konsistensi pengendalian hipertensi lansia.

Analisis bivariat yang digunakan adalah uji chi square. Uji chi square

adalah suatu teknik statistik yang dimaksudkan untuk mengetahui

korelasi atau menguji perbedaan antara dua kelompok atau lebih dengan

gejala nominal. Hasil dari variabel independen dan variabel dependen

adalah data nominal dan nominal. Menurut Dahlan, (2010) uji statistik

yang digunakan untuk menguji data dengan skala nominal adalah dengan
61

menggunakan uji statistik chi square dengan tingkat kesalahan yang

digunakan adalah µ = 0,05 sedangkan prevalen ratio yang digunakan

Confiden Interval (CI) adalah 95 %, apabila memenuhi syarat, apabila uji

chi square telah dilakukan dan tidak memenuhi syarat, maka akan

dilakukan uji alternative yaitu uji fisher exact test. Berikut ini merupakan

rumus Chi Square :

Keterangan :

2 = Chi Square

fo = Frekuensi yang diobservasi

fh = Frekuensi yang diharapkan

dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai r value yang didapat adalah

0.000 <a (0.05) maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti ada

hubungan antara dukungan keluarga dengan konsistensi pengendalian

pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Langensari II.

3.8 Etika Penelitian

Etika penelitian bertujuan untuk melindungi mahasiswa, institusi

tempat praktek, dan tenaga kesehatan, di samping tetap perlu mendukung

penelitian yang bertujuan memajukan ilu pengetahuan guna meningkatkan


62

pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam bidang pelayanan

keperawatan. Adapun syarat penelitian ini adalah:

3.8.1 Sukarela / voluntary

Penelitian bersifat sukarela, tidak ada unsur paksaan atau tekanan secara

langsung maupun tidak langsung, atau paksaan secara halus, atau

adanya ketergantungan.

3.8.2 Anonymity

Anonymity merupakan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian

dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden

pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

3.8.3 Comfidetiality

Comfidetiality merupakan jaminan kerahasiaan hasil penelitian baik

informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang

telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil penelitian.

3.8.4 Privacy

Privacy merupakan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian yang

mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus

dirahasiakan.

3.8.5 Self determination

Self determination merupakan jaminan yang diberikan kepada subjek

agar diperlakukan secara manusiawi. Sebjek mempunyai hak


63

memutuskan untuk bersedia menjadi responden ataupun tidak, tanpa

adanya sangsi apapun. Hal ini dibuktikan dengan pemberian informed

consent kepada responden, yang menyatakan bahwa responden berhak

mengatakan bersedia atau tidak bersedia menjadi responden.

3.9 Tempat dan Waktu Penelitian

3.9.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas

Langensari II yang terdiri dari tiga desa yaitu Desa Muktisari, Desa

Langensari, dan Desa Waringinsari.

3.9.2 Waktu Penelitian

Waktu yang dibutuhkan untuk penyusunan skripsi ini dimulai bulan

Mei Sampai dengan Bulan Agustus 2019, dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 3.4
Jadwal Kegiatan Penelitian

No Tahapan Kegiatan Bulan Dalam Tahun 2019


Maret April Mei Juni Juli Agst Sep
1 Studi kepustakaan
2 Pengajuan judul
3 Pembuatan proposal
4 Sidang proposal
PELAKSANAAN
5 Pengumpulan data
6 Pemeriksaan data
7 Pengolahan data
8 Analisa data
64

PENYUSUNAN DAN LAPORAN


9 Akhir Skripsi
10 Pengadaan, penjilidan skripsi
65

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Muktisari adalah salah satu kelurahan yang ada di Kota

Banjar. Secara geografis kelurahan muktisari terdapat di Kecamatan

Langensari dan terletak di sebelah timur kecamatan Pataruman dengan jarak

ke pusat kota sejauh 15 km dengan batas wilayah utara Desa Langensari,

selatan Desa Kalapasawit, timur Kelurahan Waringinsari, dan sebelah barat

Desa Langensari, yang memiliki luas kurang lebih 446,48 Ha.

Puskesmas Langensari II adalah unit pelaksana Teknik dinas

Kesehatan Kota Banjar yang bertanggung jawab melaksanakan

pembangunan kesehatan di satu atau sebagian wilayah kecamatan. Sebagai

pelaksana teknis, Puskesmas melaksanakan sebagian tugas Dinas

KesehatanKota Banjar.

Puskesmas Langensari II merupakan salah satu dari dua Puskesmas

yang ada di Kecamatan Langensari dengan wilayah kerja meliputi 2 Desa

dan 1 Kelurahan. Luas wilayah Puskesmas Langensari II adalah 1.628,64

Ha atau sekitar 12.3% dari keseluruhan wilayah Kota Banjar. Puskesmas

Langensari II menempati lokasi Dusun di Dusun Sukahurip, Desa

Langensari, Kecamatan Langensari Kota Banjar tepatnya beralamat di Jalan

Mandjalikin No 56 Kecamatan Langensari Kota Banjar.

67
66

Puskesmas Langensari II Kota Banjar didirikan sejak Thaun 1980

dengan fungsi bangunan ber ubah ubah darimulai Pustu, dan berubah

menjadi Dengan Tempat Perawatan (DTP) dari tahun 2004 sampai dengan

sekarang. Sejak awal beridirinya sampai dengan sekarang, Puskesmas

Langensari II Kota Banjar mengalami beberapa peningkatan baik mengenai

Fisik bangunan, sarana dan prasarana, hingga peningkatan jumlah sumber

daya manusia. Puskesmas Langensari II Kota Banjar memiliki batas - batas

wilayah sebagai berikut :

1. Timur : Desa Cintaratu Kecamatan Lakbok

2. Barat : Desa Rejasari Wilayah PKM Langensari 1

3. Utara : Kecamatan Wanareja Propinsi Jawa Tengah

4. Selatan : Desa Tambakreja Kecamatan Lakbok

Visi dan misi dari Puskesmas Langensari II Kota Banjar adalah

“Terwujudnya Puskesmas Tersenyum” (Tertib Sehat, Nyaman, Unggul, dan

Mandiri) di tahun 2022. Sementara misi dari Puskesmas Langensari II kota

Banjar adalah:
1. Meningkatkan profesionalisme SDM Puskesmas yang berkompeten
2. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan terjangkau oleh

masyarakat
3. Menggalang kemitraan dengan seluruh potensi masyarakat.
4.1.2 Karakteristik Responden

Karakteristik merupakan fitur pembeda anatara yang satu dengan yang

lain (Kualitas/Sifat) dibedakannya dari Bentuk, Struktur, Pola dll. Untuk

menunjang pembahasan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti


67

memberikan gambaran karakteristik responden yang menjadi responden.

Karakteristik responden dalam penelitian ini, peneliti kelompokkan menurut

usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Berikut merupakan

karakteristik responden dalam penelitian:

1. Usia Responden
Berdasarkan penelitian diperoleh karakteristik Responden

berdasarkan usia, usia responden diklasifikasikan kedalam 4 kategori usia.

Menurut World Health Organization (WHO) didalam Azizah, (2011)

menggolongkan lansia menjadi 4 kategori yaitu usia pertengahan (midlle

age) usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) usia 60 - 74 tahun, lanjut usia

tua (old) usia 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) usia >90 tahun.

Pada penelitian ini kategori usia lansia yang diteliti adalah rentang usia 60 –

74 tahun, untuk lebih jelasnya distribusi frekuensi lansia berdasarkan usia

di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar

dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut:

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia di Posbindu
Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II
Kota Banjar

No Usia f %
1 60-65 Tahun 37 48.7
2 66-74 Tahun 39 51.3
Jumlah 76 100.0
Sumber : Data Primer 2019.

Berdasarkan tabel 4.1 terkait distribusi frekuensi responden

berdasarkan usia responden di Kelurahan Muktisari wilayah kerja


68

Puskesmas Langensari II Kota Banjar diketahui, jumlah responden lansia

paling banyak berusia antara 66-74 tahun sebanyak 39 responden atau

51.3%, dan usia 60-65 tahun sebanyak 37 orang atau 48.7%.

2. Jenis Kelamin Responden

Jenis kelamin responden lansia pada penelitian ini dikelompokkan ke

dalam 2 kelompok yaitu kelompok laki-laki dan perempuan. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini:

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di
Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II
Kota Banjar

No Jenis Kelamin f %
1 Laki-Laki 25 32.9
2 Perempuan 51 67.1
Total 76 100.0
Sumber : Data Primer 2019

Berdasarkan data pada tabel 4.2 terkait distribusi frekuensi responden

lansia berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Muktisari wilayah kerja

Puskesmas Langensari II Kota Banjar diketahui jumlah responden lansia

laki-laki yaitu sebanyak 25 orang atau 32.9%, dan perempuan sebanyak 51

orang atau 67.1%.

3. Pendidikan Responden

Pendidikan responden lansia pada penelitian ini dikelompokkan ke

dalam 4 kelompok yaitu SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini:

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di
Posbindu Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II
69

Kota Banjar

No Pendidikan f %
1 SD 39 51.3
2 SMP 25 32.9
3 SMA 6 7.9
4 Perguruan Tinggi 6 7.9
Total 76 100.0
Sumber : Data Primer 2019.

Berdasarkan tabel 4.3 terkait distribusi frekuensi responden lansia

berdasarkan pendidikan di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas

Langensari II Kota Banjar, diketahui bahwa pendidikan responden paling

banyak adalah SD yaitu sebanyak 39 orang atau 51.3%, SMP sebanyak 25

orang atau 32.9%, sedangkan sisanya masing-masing 6 responden atau 7.9%

memiliki pendidikan SMA dan Perguruan Tinggi.

4. Pekerjaan Responden

Pekerjaan responden lansia pada penelitian ini dikelompokkan ke

dalam 2 kategori yaitu lansia yang tidak bekerja dan lansia yang masih aktif

bekerja. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini:

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di
Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II
Kota Banjar

No Pekerjaan f %
1 Bekerja 19 25.0
2 Tidak Bekerja 57 75.0
Total 76 100.0
Sumber : Data Primer 2019.
Berdasdarkan tabel 4.4 terkait distribusi frekuensi lansia berdasarkan

pekerjaan di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II

Kota Banjar diketahui bahwa responden paling banyak adalah tidak bekerja
70

yaitu sebanyak 57 orang atau 75.0% dan lansia yang masih aktif bekerja

sebanyak 19 orang atau 25.0%.

4.1.3 Analisa Univariat

1. Dukungan keluarga Keluarga

Hasil penelitian peneliti terhadap dukungan keluarga yang didapat

lansia diukur dengan menggunakan skala likert untuk mencari nilai mean,

nilai mean dari hasil analisa statistik didapatkan angka sebesar 145.0

dibulatkan menjadi 145, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel

sebagai berikut:

Tabel 4.5
Distibusi Frekuensi Dukungan keluarga Responden di Kelurahan
Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar

No Dukungan Keluarga f %
1 Baik 44 57.9
2 Buruk 32 42.1
Jumlah 76 100
Sumber: Data Primer 2019.

Berdasarkan tabel 4.5 terkait distribusi dukungan keluarga yang

diterima lansia di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas

Langensari II Kota Banjar diketahui bahwa sebagian besar lansia mendapat

dukungan keluarga baik yaitu sebanyak 44 orang atau 57.9%, dan lansia

yang mendapat dukungan buruk dari keluarga yaitu sebanyak 32 orang atau

42.1%.

2. Konsistensi Pengendalian Hipertensi


71

Konsistensi pengendalian hipertensi pada lansia diukur dengan

kuisioner dalam bentuk skala guttnan. Untuk konsistensi pengendalian

hipertensi pada lansia untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel sebagai

berikut:

Tabel 4.6
Distibusi Frekuensi Konsistensi Pengendalian Hipertensi Pada Lansia
di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II
Kota Banjar

No. Konsistensi F %
1 Konsisten 47 61.8
2 Tidak Konsisten 29 38.2
Jumlah 76 100
Sumber : Data Primer 2019.

Berdasarkan tabel 4.6 terkait konsistensi pengendalian hipertensi

yang dilakukan oleh lansia di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas

Langensari II Kota Banjar diketahui bahwa sebagian besar lansia konsisten

dalam pengendalian hipertensi yaitu sebanyak 47 orang 61.8%, dan sisanya

sebanyak 29 lansia atau 38.2% tidak konsisten dalam pengendalian

hipertensi.

4.1.4 Analisa Bivariat

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara 2 variabel yaitu

variabel bebas dan variabel terikat. Analisis bivariat menggunakan uji

statistik yang sesuai dengan tujuan penelitian dan skala data yang ada. Uji

statistik yang digunakan dalam analisa ini menggunakan Chi Square dengan

hasil sebagai berikut:


72

Tabel 4.7
Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Konsistensi Pengendalian
Hipertensi Pada Lansia Yang Mengalami Hipertensi di Kelurahan Muktisari
wilayah kerja Puskesmas Langensari II
Kota Banjar
Konsistensi P Value
Dukungan Jumlah
Konsisten Tidak Konsisten
keluarga
f % f % f %
Baik 37 84.1 7 15.9 44 100 0.000
Buruk 10 31.3 22 68.8 32 100
Jumlah 47 61.8 29 38.2 76 100
Sumber: Data Primer 2019.

Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa lansia yang mendapat

dukungan baik dari keluarga dengan konsistensi pengendalian hipertensi

konsisten yaitu sebanyak 37 orang 84.1%, dukungan keluarga baik dengan

konsistensi tidak kosnsisten sebanyak 7 orang 15.9%. Sedangkan dukungan

keluarga buruk dengan konsistensi pengendalian konsisten sebanyak 10 orang

31.3%, dan dukungan keluarga buruk dengan konsistensi tidak konsisten

sebanyak 22 orang 68.8%.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square didapatkan

Nilai p value sebesar 0.000 lebih kecil dari alfa 0.05, jadi dapat ditarik

kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan

keluarga dengan konsistensi pengendalian hipertensi pada lansia yang

mengalami hipertensi di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas

Langensari II Kota Banjar.

Nilai Odd Rasio yang diperoleh dari hasil Crosstabs Risk Estimate

adalah 2,691 yang berarti bahwa lansia yang mendapat dukungan dari

keluarganya mempunyai konsistensi menjalankan pengendalian hipertensi


73

sebesar 2,840 lebih baik dari lansia yang tidak mendapat dukungan dari

keluarganya.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Karakteristik Responden

1. Usia

Hasil penelitian terkait distribusi frekuensi responden berdasarkan

usia responden di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari

II Kota Banjar diketahui jumlah responden lansia paling banyak berusia

antara 66-74 tahun sebesar 51.3%, dan usia 60-65 tahun sebesar 48.7%.

Seseorang yang berusia lebih dari 65 tahun belum tentu bisa patuh

terhadap diet yang diberikan tenaga kesehatan dibandingkan dengan

penderita yang berusia kurang dari 65 tahun. Ini bisa disebabkan penderita

yang berusia > 65 tahun ingin diikuti semua keinginannya, baik dalam segi

makanan karena ada sebagian besar masyarakat mengatakan semakin

bertambahnya usia seseorang semakin kekanak-kanakan pola pikirannya,

yang selalu ingin diikuti keinginannya, sehingga diet yang dianjurkan

tersebut tidak berjalan dengan baik (Sigarlaki, 2016).

Usia adalah masa hidup penderita yang didasarkan pada tanggal lahir

atau pernyataan penderita dan biasanya dinyatakan dalam tahun. Hampir

setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah ketika usianya semakin

bertambah. Jadi semakin tua usianya, kemungkinan seseorang menderita


74

hipertensi juga semakin besar. Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia

80 tahun dan tekanan diastolik terus naik sampai usia 55-60 tahun,

kemudian secara perlahan atau bahkan drastis menurun (Indriyani, 2009).

Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tekanan darah.

usia berkaitan dengan tekanan darah tinggi (hipertensi). Semakin tua

seseorang maka semakin besar resiko terserang hipertensi (Khomsan, 2013).

Penelitian Hasurungan dalam Rahajeng dan Tuminah, (2009) menemukan

bahwa pada lansia dibanding umur 55-59 tahun dengan umur 60-64 tahun

terjadi peningkatan risiko hipertesi sebesar 2,18 kali, umur 65-69 tahun 2,45

kali dan umur >70 tahun 2,97 kali. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut

arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku karena itu darah

pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang

sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan darah

(Sigarlaki, 2016).

Semakin tua usia kejadian tekanan darah semakin tinggi. Hal ini

dikarenakan pada usia tua perubahan struktural dan fungsional pada system

pembuluh perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang

terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,

hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos

pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi

dan daya regang pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2011).


75

2. Jenis Kelamin

Hasil penelitian di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas

Langensari II Kota Banjar mengenai jenis kelamin responden menunjukan

bahwa responden lansia laki-laki yaitu sebesar 32.9%, dan perempuan

sebesar 67.1%.

Hasil analisis terlihat bahwa jenis kelamin perempuan lebih banyak

dbandingkan dengan responden laki-laki. Berdasarkan hasil studi yang telah

dilakukan selain masalah hormonal ada juga masalah stres yang bisa

membuat wanita jadi lebih rentan hipertensi daripada pria. Stres adalah

salah satu faktor yang telah diketahui berpengaruh terhadap hipertensi dan

menurut penelitian otak wanita memang lebih rentan stres. Dalam studi

yang telah dilaporkan dalam jurnal Molecular Psychiatry menyebut bahwa

sel-sel otak perempuan lebih peka terhadap hormon stres yang disebut

corticotropinreleasing faktor (CRF). Akibatnya perempuan lebih mungkin

untuk stres dua kali lipat daripada pria yang berujung juga pada risiko

hipertensi (Anwar, 2016).

Dari hasil analisa tentang jenis kelamin responden diketahui bahwa

sebesar 67.1% jenis kelaminnya adalah perempuan, hal tersebut menjadi

faktor yang menyebabkan tingginya angka kejadian hipertensi pada lansia

di Kelurahan Muktisari. Menurut Singalingging, (2011) rata-rata perempuan

akan mengalami peningkatan resiko tekanan darah tinggi (hipertensi)


76

setelah menopouse yaitu usia diatas 45 tahun. Perempuan yang belum

menopouse dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam

meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL

rendah dan tingginya kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein)

mempengaruhi terjadinya proses aterosklerosis (Anggraini dkk, 2009).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sarasaty, (2011) yang membuktikan bahwa ada hubungan antara jenis

kelamin dengan hipertensi pada lansia. Pada penelitian tersebut hasil

analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi lansia berjenis kelamin

perempuan lebih banyak dibandingkan dengan lansia berjenis kelamin laki-

laki yaitu sebanyak 46 orang untuk perempuan dan 23 orang untuk laki-laki.

Dari jumlah lansia yang berjenis kelamin perempuan rata-rata menderita

hipertensi dari grade 1 sampai dengan grade 3.

3. Pendidikan

Hasil penelitian di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas

Langensari II Kota Banjar mengenai tingkat pendidikan menunjukan bahwa

pendidikan responden paling banyak adalah SD yaitu sebesar 51.3%, SMP

sebesar orang atau 32.9%, sedangkan sisanya sebesar 7.9% memiliki

pendidikan SMA dan Perguruan Tinggi. Pendidikan dasar sangat

berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap seseorang terutama dalam

perilaku kesehatan. Pendidikan dengan jenjang yang lebih tinggi akan lebih

menambah wawasan dan memiliki pola pikir yang lebih baik.


77

Notoatmodjo, (2007) mengungkapkan bahwa pendidikan adalah suatu

proses penyampaian bahan materi pendidikan kepada sasaran pendidikan

guna mencapai perubahan tingkah laku. Memperhatikan hasil penelitian,

ternyata sebagian besar dari ibu mempunyai pendidikan SD dan SMP,

pendidikan sangat memungkinkan ada perbedaan tingkat pengetahuan dan

pengambilan keputusan, walaupun demikian adanya pemahaman yang sama

terhadap imunisasi dasar yang diberikan kepada bayi.

Seseorang dengan Pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki

pengetahuan dan wawasan yang lebih luas, begitu juga dengan lansia

penderita hipertensi di Kelurahan Muktisari, lansia yang memiliki

Pendidikan dengan jenjang yang lebih tinggi wawasannya lebih luas tentang

kondisi penyakitnya, lansia yang berwawasan akan lebioh memperhatikan

asupan makanan yang dikonsumsi dan lebih rajin memeriksakan diri ke

petugas kesehatan untuk mengetahui kondisi penyakitnya. Hal tersebut

diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Novian, (2013) yang berjudul

faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan diet hipertensi, dimana

lansia yang memiliki jenjang Pendidikan tinggi, sebagian besar patuh

terhadap pengobatan hipertensi. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa

pendidikan merupakan proses belajar mengajar sehingga terbentuk

seperangkat tingkah laku, kegiatan atau aktivitas. Dengan belajar baik

secara formal maupun non formal manusia akan memiliki pengetahuan,

dengan pengetahuan yang diperoleh maka klien akan mengetahui manfaat


78

dari saran atau nasihat perawat sehingga akan termotivasi untuk patuh

menjalani pengobatan diperkenalkan.

4.3 Pekerjaan

Hasil penelitian di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas

Langensari II Kota Banjar terhadap status pekerjaan lansia paling banyak

adalah tidak bekerja yaitu sebesar 75.0% dan lansia yang masih aktif

bekerja sebesar 25.0%.

Lansia memang bukan halangan untuk seseorang tetap bekerja,

semangat untuk bekerja tidak pernah surut karena keinginan untuk tetap

diakui dan aktualisasi diri di masyarakat, selain itu biaya kebutuhan sehari-

hari yang semakin mahal dan keinginan yang tidak ada batasnya yang

membuat seseorang walau telah pensiun tetap ingin bekerja dan

menjalankan aktivitas. Undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku saat

ini belum ada yang secara khusus membahas tentang batas umur untuk

pensiun, penetapan oleh Perusahaan yang lazim diikuti adalah mengikuti

batasnormal pension umur 55 tahun dan batas usia wajib pensiun umur 60

tahun yang dijadikan batas untuk mengakhirimasa kerja seseorang (Nina,

2016).

Akan tetapi dengan segala keterbatasan fungsi fisik, memang lansia

tidak diwajibkan atau tidak boleh dipaksakan untuk tetap bekerja, apalagi

lansia yang memiliki berbagai komplikasi penyakit. Lansia dengan penyakit


79

hipertensi akan lebih beresiko tinggi apabila melakukan pekerjaan yang

berlebih.

Secara teori memang tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan

kepatuhan menjalankan pengobatan seseorang, yang berarti lansia yang

masih aktif bekerja akan tetap patuh dalam menjalankan diet hipertensi. Hal

tersebut diperkuat oleh hasil penlitian yang dilakukan oleh Sukma, dkk

(2018) yang berjudul faktor faktor yang berhubungan dengan kepatuhan

pasien hipertensi dalam melakukan terapi di Puskesmas Pandanaran Kota

Semarang. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa tidak terdapat

hubungan antara pekerjaan responden dengan kepatuhan dalam melakukan

terapi hipertensi (p = 0,063). Responden yang memiliki pekerjaan, terdapat

61,1% yang masuk kategori patuh. Sedangkan responden yang tidak

memiliki pekerjaan, terdapat 33,3% yang masuk kategori patuh.

4.3.1 Analisis Univariat

1. Dukungan Keluarga

Hasil penelitian di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas

Langensari II Kota Banjar tentang dukungan keluarga bahwa sebagian besar

lansia mendapat dukungan keluarga baik yaitu sebesar 57.9%, dan lansia

yang mendapat dukungan buruk dari keluarga yaitu sebesar 42.1%.

Dari hasil analisis terlihat bahwa lebih dari separuhnya 57.9%

dukungan keluarga terhadap lansia di Kelurahan Muktisari wilayah kerja

Puskesmas Langensari II Kota Banjar dalam kategori baik, dan sebesar

42.1% dukungan keluarga dalam kategori buruk. Banyaknya dukungan


80

keluarga dalam kategori buruk akan meengakibatkan kurangnya

kepercayaan diri pada lansia. Hal tersebut bisa diakibatkan oleh beberapa

faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah dari pengetahuan keluarga

sendiri, keluarga belum memahami tentang kehidupan lansia yang

membutuhkan perhatian lebih dari keluarga. Dukungan yang diberikan

keluarga sangat penting diberikan terhadap lansia dengan adanya dukungan

yang baik maka lansia akan merasa lebih diperhatikan sehingga

kebutuhannya dapat terpenuhi.

Sarafino, (2013), menjelaskan bahwa dukungan keluarga dapat dilihat

dari empat aspek, yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan,

dukungan instrumental, dan dukungan informative. Dukungan sosial dapat

diperoleh dari pasangan hidupnya, kekasih, keluarga, teman sekerja, atau

organisasi kemasyarakatan yang diikuti. Dalam aspek dukungan keluarga

terhadap lansia yang mengalami hipertensi penting bagi keluarga untuk

memberikan semua aspek yaitu emosional, penghargaan, dukungan

instrumental, dan informasi. Sebagai contoh dukungan informasi, dengan

memberikan dukungan informasi terhadap lansia penderita hipertensi,

maka lansia akan lebih mengetahui kondisi dirinya sendiri maupun kondisi

penyakitnya, dengan itu maka lansia akan lebih menjaga kondisi

kesehatannya.

Dukungan didefinisikan sebagai verbal atau non-verbal, saran,

bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang yang akrab
81

dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran

dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosiaonal atau

berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini lansia yang

merasa memproleh dukungan dari keluarga, secara emosional merasa lega

karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada

dirinya.

Dari hasil analisis kuisioner tentang dukungan keluarga terlihat bahwa

skor terendah terdapat pada aspek bahwa keluarga tidak mengingatkan

lansia untuk membatasi konsumsi sumber natrium seperti garam dapur,

penyedap rasa, mie instan, dll kepada lansia, padahal asupan natrium

harus dibatasi untuk mengantisipasi terjadinya kekambuhan pada lansia

penderita hipertensi. Selain dari pada itu dari hasil analisis kuisioner juga

terlihat bahwa terkadang keluarga bersikap tidak perduli kepada lansia

apakah akan pergi ke posbindu atau tidak, padahal pemeriksaan lansia ke

Posbindu sangat penting bagi lansia terutama lansia yang menderita

hipertensi untuk mengontrol tekanan darah lansia.

2. Konsistensi pengendalian hipertensi

Hasil penelitian di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas

Langensari II Kota Banjar, tentang konsistensi pengendalian hipertensi pada

lansia menunjukkan bahwa sebesar 61.8% konsisten dalam pengendalian

hipertensi, dan sisanya sebesar 38.2% tidak konsisten dalam pengendalian

hipertensi.
82

Dari hasil terserbut terlihat bahwa sebagian besar lansia di wilayah

tersebut sudah konsisten tentang pengendalian hipertensi, akan tetapi tidak

sedikit lansia yang masih belum konsisten dalam pengendalian penyakit

tersebut. Penyakit hipertensi dapat dicegah apabila penderita dapat lebih

teratur dalam memilih makanan dan mengkonsumsi obat, akan tetapi yang

terjadi di Kelurahan Muktisari masih terdapat lansia yang belum memahami

hal tersebut.

Susanto, (2013) mengatakan konsistensi yang kurang dalam

pengendalian hipertensi terjadi karena rendahnya pemahaman pasien

(lansia) dalam memahami tujuan terapi dan pasien (lansia) mengatur sendiri

jadwal minum obat yang tidak sesuai anjuran tenaga kesehatan. Menurut

wawacara peneliti kepada responden didapatkan keterangan bahwa, lansia

sulit mengatur mengkonsumsi obat hipertensi dikarenakan sering lupa atau

apabila tidak terdapat keluhan sakit yang berat maka tidak perlu

menggunakan obat padahal obat hipertensi harus dikonsumsi setiap hari

bagi penderita hipertensi.

Sementara itu dari aspek pola makan yang dikonsumsi penderita

hipertensi, lansia yang tidak konsisten mengatakan bahwa mereka

mengkonsumsi makanan sesuai yang disajikan dirumah saja, mereka tidak

tau makanan tersebut mengandung kadar garam tinggi atau tidak yang dapat

menyebabkan kekambuhan pada penderita hipertensi, hal tersebutlah yang

menjadi ketidak konsistenan pengendalian hipertensi pada lansia di

Kelurahan Muktisari.
83

Secara teoritis konsistensi dapat dioartikan melakukan suatu kegiatan

secara terus menerus dengan tekun dan benar tanpa keluar dari jalur /

batasan-batasan yang telah di tentukan maupun sesuai dengan ucapan yang

telah dilontarkan. Pada jaman sekarang ini banyak orang yang hanya bisa

mengutarakan namun untuk pengaplikasiannya terkesan tidak ada.

Konsisten salah satu sikap dari manusia yang sifatnya adalah untuk

memegang teguh suatu prinsip atau pendirian dari segala hal yang telah di

tentukan (Gusti, 2013).

Hasil Analisa terhadap kuisioner konsistensi pengendalian hipertensi

pada lansia terlihat bahwa skor terendah terdapat pada aspek manajemen

stress pada lansia. Lansia terlihat jarang menceritakan permasalahan

pribadinya terhadap keluarga, padahal hal tersebut sangat mempengaruhi

kesehatan lansia terutama kondisi psikologis lansia. Selain itu keluarga juga

jarang meluangkan waktu dengan keluarga, berdasarkan asumsi peneliti hal

tersebut diakibatkan oleh kesibukan masing-masing anggota keluarga

sehingga waktu luang untuk berkumpul menjadi berkurang, ditambah ada

anggota keluarga yang bekerja diluar kota sehingga waktu berkumpulpun

menjadi tidak menentu.

4.3.3 Analisis Bivariat, Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan

Konsistensi pengendalian hipertensi Pada Lansia Yang Mengalami

Hipertensi di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas

Langensari II Kota Banjar.

Hasil penelitian di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas


84

Langensari II Kota Banjar tentang dukungan keluarga dengan konsistensi

pengendalian hipertensi menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan

antara dukungan keluarga dengan konsistensi pengendalian hipertensi pada

lansia di Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota

Banjar dengan p value sebesar 0.000 dimana lansia yang mendapat dukungan

baik dari keluarga dengan konsistensi pengendalian hipertensi konsisten yaitu

sebanyak 37 orang 84.1%, dukungan keluarga baik dengan konsistensi tidak

kosnsisten sebanyak 7 orang 15.9%.

Berdasarkan hasil uji bivariat diperoleh Nilai p value sebesar 0.000

lebih kecil dari alfa 0.05, jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan konsistensi

pengendalian hipertensi pada lansia yang mengalami hipertensi di

Kelurahan Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar.

Nilai Odd Rasio yang diperoleh dari hasil Crosstabs Risk Estimate adalah

2,691 yang berarti bahwa lansia yang mendapat dukungan dari keluarganya

mempunyai konsistensi menjalankan pengendalian hipertensi sebesar 2,840

lebih baik dari lansia yang tidak mendapat dukungan dari keluarganya.

Penelitian sejenis dilakukan oleh Handayani, (2012) yang menyimpulkan

terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan kekambuhan pasien

hipertensi di Puskesmas Jatinangor. Pada penelitian tersebut memberikan fakta

bahwa dukungan keluarga yang baik memberikan kontribusi sebesar 20,25%,

sehingga kekambuhan pada pasien hipertensi menurun. Dengan demikian


85

dukungan keluarga sangat penting diberikan kepada lansia yang menderita

hipertensi untuk mencapai kesembuhan.

Dukungan keluarga dapat diperoleh dari individu maupun orang –

orang disekitarnya baik dari keluarga dan teman dekat, Menurut Rook dan

Dooley, (2015) ada dua sumber dukungan keluarga yaitu sumber natural dan

sumber artificial. Dukungan keluarga artificial adalah dukungan keluarga

yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan

keluarga akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial.

Setelah dilakukan penelitian hubungan dukungan keluarga konsistensi

pengendalian hipertensi pada lansia di Kelurahan Muktisari wilayah kerja

Puskesmas Langensari II Kota Banjar, peneliti beranggapan bahwa

ketidakkonsistenan pengendalian hipertensi yang terjadi pada lansia bukan

hanya karena di sebabkan oleh kurangnya dukungan keluarga akan tetapi dapat

disebabkan pula kurangnya pengetahuan tentang diit hipertensi pada lansia

maupun keluarga sehingga walaupun keluarga telah memberikan dukungan

dalam merawat lansia tetapi diit yang diberikan tidak sesuai dengan anjuran

dari petugas kesehatan, sehingga kekambuhan hipertensi dapat terjadi kembali.

Hal ini sesuai dengan penelitian Geleise, (2010) yang menyatakan bahwa

pengetahuan dan perilaku dari anggota keluarga sangat diperlukan untuk

mencegah atau mengurangi terjadinya hipertensi pada lansia dengan

melaksanakan diit yang harus dipatuhi. Sedangkan menurut penelitian

agrina (2011) menyatakan bahwa hipertensi terjadi karena dukungan

keluarga yang kurang serta karena kurang pengetahuan ataupun sikap dari
86

penderita itu sendiri sehingga responden atau lansia yang menderita

hipertensi kurang patuh danj konsisten dalam pengendalian hipertensi.

Dari hasil crosstabs terlihat bahwa ada 7 lansia (15.9%) yang memiliki

dukungan keluarga baik tetapi tidak konsisten dalam pengendalian

hipertensi, berdasarkan keterangan dari keluarga dan lansia diketahui bahwa

7 lansia tersebut tinggal dirumah sendiri dan hanya sesekali keluarganya

menengok lansia tersebut, keluarga yang menjenguk lansia juga

memberikan dukungan serta selalu mengingatkan lansia terkait kondisi

penyakitnya, akan tetapi ternyata dukungan keluarga lansia yang tidak

serumah dengan anggota keluarga lain tidak efektif dalam memberikan

dukungan, sehingga kesimpulannya lansia yang tidak tinggal serumah

dengan anggota keluarga lain tidak konsisten dalam melakukan diet

hipertensi.
87

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian yang telah peneliti lakukan tentang hubungan antara

dukungan keluarga dengan konsistensi lansia pada pengendalian hipertensi,

dapat peneliti simpulkan sebagai berikut:

1. Dukungan keluarga terhadap lansia penderita hipertensi di Kelurahan

Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar dalam

kategori baik sebanyak 44 responden (57.9%).

2. Konsistensi pengendalian hipertensi pada lansia hipertensi di Kelurahan

Muktisari wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar dalam

kategori konsisten sebanyak 47 responden (61.8%).

3. Ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan

konsistensi pengendalian hipertensi pada lansia di Kelurahan Muktisari

wilayah kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar didapat nilai p value

sebesar 0.000 < α 0.05.

5.2 Saran

5.2.1 Teoritis
Diharapkan dapat mengembangkan teori-teori baru tentang

dukungan keluarga dan konsistensi pengendaliuan hipertensi pada lansia,

89
88

serta diharapkan keluarga memberikan perhatian dan dukungan yang baik

kepada lansia yang menderita hipertensi dalam menjalankan pengendalian

hipertensi. Diharapkan pula keluarga meningkatkan pengetahuan tentang cara

pengendalian hipertensi dengan mengikuti penyuluhan kesehatan sehingga

dapat menunjang program pengendalian hipertensi yang telah dianjurkan oleh

petugas pelayanan kesehatan.


5.2.2 Praktis
1. Bagi Lansia
Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa sebesar 38.2%

lansia tidak konsisten dalam mengendalikan hipertensi. Masih banyak

lansia yang tidak bisa menjaga pola makan misalnya makan-makanan

yang mengandung banyak garam, lemak dan lainnya, sehingga

diharapkan lansia penderita hipertensi dapat konsisten dalam

mengendalikan penyakitnya untuk mencegah kekambuhan dan berbagai

komplikasi dari penyakit tersebut, serta lansia dapat lebih meningkatkan

pengetahuannya tentang pengendalian hipertensi sehingga dapat lebih

menjaga kesehatan khususnya asupan makanan yang baik untuk

penderita hipertensi.
2. Bagi Keluarga dari Lansia
Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa sebesar 61,8%

Keluarga belum bisa memahami tentang kebutuhan lansia yang

membutuhkan perhatian lebih dari keluarga, dengan adanya dukungan

yang baik maka lansia akan merasa lebih diperhatikan. Sehingga


89

diharapkan lebih mengoptimalkan dukungan baik dukungan instrument,

penghargaan serta dukungan lainnya secara optimal kepada penderita

hipertensi dalam upaya pengendalian penyakitnya. Keluarga juga perlu

memperbaiki dukungan informasional terutama dengan tidak

menganggap lansia yang menderita hipertensi sebagai beban dan selalu

mencarikan informasi penting tentang perawatan penyakit hipertensi

pada lansia. Keluarga lansia yang tidak tinggal serumah dengan lansia

diharapkan dapat mengingatkan lansia secara rutin tentang kondisi

penyakit lansia, sehingga lansia dapat konsisten dalam melakukan diet

hipertensi.
3. Bagi Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan khususnya perawat diupayakan dapat senantiasa

memberikan penyampaian tentang konsistensi pengendalian hipertensi

pada lansia dengan metode, media ataupun cara penyampaian informasi

yang mudah dipahami oleh lansia dan keluarga mengenai penyakit

hipertensi, dan secara umumnya dapat memerikan asuhan keperawatan

keluarga dan asuhan keperawatan gerontik bagi keluarga yang memiliki

lansia dengan penyakit hipertensi.


4. Bagi Stikes Bina Putera Banjar
Bagi institusi pendidikan khusnya STIKes Bina Putera Banjar supaya

dapat menjadi sumber pustaka serta dapat menambah pengetahuan

tentang ilmu keperawatan gerontik dan keperawatan keluarga tentang

dukungan keluarga dengan kepatuhan diet hipertensi pada lansia.


90

DAFTAR PUSTAKA

Agrina, Rini, & Hairitama (2011). Kepatuhan Lansia Penderita Hipertensi


dalam Diet Hipertensi. Vol. 6, No.1:51. ISSN 190 – 364X. Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Riau.

Ainun, A.S., Arsyad, D.S., & Rismayanti. ( 2012). Hubungan Gaya Hidup
Dengan Kejadian Hipertensi Pada Mahasiswa Di Lingkup Kesehatan
Universitas Hasanudin. Makasar: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanudin.

Anandati. (2015). Hipertensi pada lansia. diperoleh tanggal 26 April 2019 melalui
https://anandati.wordpress.com/hipertensi-pada-lansia/

Anggara, F., & Prayitno, N. (2013). Faktor yang berhubungan dengan tekanan
darah di puskesmas Telaga Murni Cikarang Barat tahun 2012. jakarta:
Jurnal Ilmiah esehatan. Fakultas kedokteran universitas indonesia.

Anggraini, F (2008). Hubungan antara gaya hidup dengan status kesehatan lansia
binaan puskesmas pekayon jaya bekasi tahun 2008. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Arif D, Rusnoto, & Hartinah D. (2013). Faktor- faktor yang berhubungan


dengan kejadian hipertensi pada lansia di Pusling Desa Klumpit UPT
Puskesmas Gribig Kabupaten Kudus. JIKK 4:28-30.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi


Vl. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Arikunto, S. (2013). Prosedur penelitian: Suatu pendekatan praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.

Azizah, L., M. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.


91

Bangun, A. P. (2012) Sikap bijak bagi perokok: solusi tuntas untuk mengurangi
rokok dan berhenti merokok. Jakarta: Indocamp.

BPS. (2017). Statistik Penduduk Lanjut Usia Tahun 2017. Jakarta : ISBN.

Dalyoko, D.A.P. Kusumawati, Y. Ambarwati. Faktor-faktor yang berhubungan


dengan control Hipertensi pada lansia di pos pelayanan terpadu Wilayah
kerja puskesmas mojosongo boyolali. Jurnal Kesehatan, ISSN 1979-
7621,

Dewi. K.C.C, Prapti. N.K.G & Saputra. K. (2016). Hubungan Dukungan


Keluarga Dengan Tingkat Kepatuhan Penatalaksanaan Diet Lansia
Dengan Hipertensi Di Lingkungan Kelurahan Tonja. Jurnal
Keperawatan, Community Of Publishing In Nersing. ISSN:2303-1298.
Efendi. (2009). Pengelolaan Posyandu Lansia. Diakses pada 26 mei 2018. Dari
C:\Users\User\Downloads\ipi347750.pdf.

Felly, PS.& Yuana W. (2012). Gambaran Status Kesehatan Penduduk di Daerah


Perbatasan. Jurnal Ekologi Kesehatan, 11 (2), 99-111.

Fitri Delima P.N. Yunie, A. & Mamat, S (2012). Hubungan dukungan keluarga
dengan Kepatuhan Diet Rendah Garam dan Keteraturan Kontrol
Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di Poliklinik RSUD Tugu
Rejo Semarang.http://www.e-jurnal.com/2013/10/hubungan-dukungan-
keluarga-dengan.html.

Friedman, (1998). Keperawatan keluarga. Jakarta : EGC.

Friedman, B., & Jones. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga: Riset, Teori, dan
praktek. Jakarta: EGC.

Friedman, B., M. (2010). Buku ajar keperawatan komunitas. Jakarta: EGC

Friedman, M. M., Bowden, V. R., & Jones, E. G. (2010). Buku ajar


Keperawatan Keluarga: Riset, teori,dan praktik, diterjemahkan oleh AA
Nasution Edisi 5. Jakarta: EGC.

Ghezelbasg, S. & Ghorbani, A. (2012). Lifestyle modification modification and


hypertension prevention. ARYA Atherosclerosis journal, vol.8, hal. 202-
207.

Hairunisa, (2014). Hubungan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Dan Diet


Dengan Tekanan Darah Terkontrol Pada Penderita Hipertensi Lansia Di
92

Wilayah Kerja Puskesmas Perumnas 1 Kecamatan Pontianak Barat.


Skripsi.

Handayani, D., Wahyuni. (2013). Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan


lansia dalam mengikuti posyandu lansia jetis desa krajan kecamatan
kabupaten sukoharjo. Universitas Udayana Denpasar.

Herlinah Lily, Wiwin W, Etty R (2013). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan


Perilaku Lansia dalam Pengendalian Hipertensi di Wilayah Kecamatan
Koja Jakarta Utara. Jurnal Keperawatan Komunitas, Vol 1, No. 2,
November 2013; 108-115.
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKK/article/view/987/1036.

Herlinah, L., Wiwin, W., R, Etty. (2011). Hubungan dukungan keluarga dengan
perilaku lansia dalam pengendalian hipertensi. Universitas Indonesia.
https://www.google.co.id/?gws_rd=cr&ei=LJeTWKvhIsnzvATupioBg#q=
hipertensi+pdf+2015. Diakses tanggal 3 februari 2017.

Junaidi, I. (2010) Hipertensi. Jakarta: Gramedia.

Kemenkes RI. (2015). Pusat data dan informasi Kementrian Kesehatan RI,
Hipertensi.

Kowalski, R., E. (2010). Terapi hipertensi: Program 8 minggu menurunkan


tekanan darah tinggi dan mengurangi resiko serangan jantung dan stroke
secara alami. Bandung: Qanita.

Khomsan, A. (2013). Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta : PT.


Rajagrafindo Persada.

Makhfudi & Efendi, F. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: Teori dan


praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Maryam, R. S., Mia, F. E., Rosidawati., Ahmad & Irwan, B. (2008). Mengenal
usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.

Misbah. (2009). Hubungan Antara Kebiasaan Hidup Dengan Kejadian Hipertensi


Pada Lansia. Study Di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas
Barabai, Kecamatan Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, propinsi
kalimantan selatan. Diakses pada 23 April 2019.
C:\Users\User\Downloads\ipi347750.pdf.
93

Mubarak, W, I., Cahyatin, N., & Santoso, B, A. (2009). Ilmu keperawatan


komunitas konsep dan aplikasi. Jakarta: Salemba Medika

Muhammadun, A, S. (2010). Hidup bersama hipertensi. Jogjakarta: In-Books.

Muttaqin, A. (2010). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.

Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka


Cipta.
Notoatmodjo, S. (2012).Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Nugroho, H. (2008). Gerontik dan gerianti karakter lansia. Jakarta: EGC.

Nugroho, W. (2012). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC


Nurjanah. (2009). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Lansia
Dalam Memeriksakan Tekanan Darahnya. Ypgyakarta : Fitramaya.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu


Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu


keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Nuryati. (2017). Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan lansia hipertensi


dalam memeriksakan tekanan darahnya di desa kedalawa kecamatan talang
kabupaten tegal. STIKes Bhakti Mandala Husada Slawi.

Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Nuha Medika: Yogyakarta.

Potter. A. P. & Perry. G. A. (2010). Fundamental Keperawatan Buku 1, edisi 7.


Jakarta. Salemba Medika.

Prasetyaningrum, Y,I. (2014). Hipertensi Bukan Untuk Ditakuti. Jakarta Selatan:


Media.

Prihandana, S. 2012. ‘Studi Medika Fenomenologi: Pengalaman Kepatuhan


Keperawatan Mandiri pada pasien Hipertensi di Poliklinik RSI
Sitihajar Kota Tegal’, Tesis, Universitas Indonesia, Depok.
94

Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI (2015). Data Statistik lansia di Indonesia
diperoleh tanggal 20 maret 2019 melalui http://www.depkes.go.id

Putri. (2016). Hubungan dukungan keluarga dengan perawatan pasien hipertensi di


wilayah kerja puskesmas jelbuk kabupaten jember. Skripsi. Universitas
Jember.

Rahajeng, E., Tuminah, S. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di


Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia.

Ratna. (2009). Gejala Hipertensi. Diperoleh tanggal 26 april 2019 melalui


http://ratnarespati.com/2009/04/15gejala-hipertensi/.

Ridwan, M. (2009). Mengenal, Mencegah, Mengatasi Silent Killer “Hipertensi”.


Semarang: Pustaka Widyamara.

Riskesdas 2013, diakses tanggal 19 April 2019.


http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil
%20Riskesdas %202013.pdf.

Setiadi, (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Surabaya: Graha


Ilmu.

Setiadi. (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha


Ilmu.

Setyowati, S. Anita M. (2008). Asuhan Keperawatan Keluarga Konsep dan


Aplikasi Kasus, Yogyakarta: Mitra Cendekia Press.

Sigarlaki, HJO. (2016). Karakteristik Dan Faktor Berhubungan Dengan


Hipertensi Di Desa Bocor, Kecamatan Bulus Pesantren,
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah Tahun 2016. Makara, Kesehatan.

Stanley J& Bare. (2012). Pengantar Komunikasi Massa Jilid 1 Edisi 5. Jakarta:
Erlangga.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Sugiyono. (2014). Statistika Untuk Peneltian. CV Alfabeta. Bandung.

Susilo, Y, & Wulandari, A. (2011). Cara jitu mengatasi hipertensi. Yogyakarta:


Andi.
95

Tumenggung, I. (2013). Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Dengan


Kepatuhan Diet Pasien Hipertensi di RSUD Toto Kabila Kabupaten
Bone Bolanggo. Health and Sport, Vol.
7,Nohttp://www.ejurnal.ung.ac.id/index.php/JHS/article/view/1085.
Vol. 4, No. 1, Juni 2011: 201-214.
https://www.publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/2928/
10.% 2DYAH 20AYU%20P.pdf?sequence=1&isAllowed=y.

Wawan. (2010). Teori Dan Pengukuran Pengetahuan Perilaku dan Sikap Manusia.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Wawan. (2010). Teori Dan Pengukuran Pengetahuan Perilaku dan Sikap


Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.

WHO (2012). World Health Day 2013 : Measure your blood pressure, reduce your
risk,
http://www.who.int/mediacentre/news/release/2013/world_healt_day_ 2
0130403/en/. diakses tanggal 13 April 2019.

WHO. (2010). Definition of an older or elderly person. Diperoleh tanggal 22


maret 2019 melalui http://www.who.int/healthinfo/survey/ageing
defnolder/en/

Zaidin. (2010). Pengantar keperawatan keluarga. Jakarta: EGC


96
97
98
99

99

Anda mungkin juga menyukai