Anda di halaman 1dari 12

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH TERAPI TERTAWA DENGAN KOMBINASI


AROMA TERAPI MAWAR TERHADAP PENURUNAN
TEKANAN DARAH PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI
PRIMER

Oleh :

I GUSTI AYU WULAN SARI DEWI


NIM: 16.321.2482

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi dapat menyerang pada usia dewasa maupun pada lanjut usia

dan berkembang secara perlahan lahan dalam waktu yang lama, sehingga terkesan

hanya menyerang seseorang yang lanjut usia. Hipertensi banyak menyerang

seseorang di atas 50 tahun, tetapi akhir-akhir ini usia produktif (15-64 tahun) pun

banyak yang terserang (Iskandar, 2010). Menurut dokter Jeffri Aloys Gunawan

CH, CHt, dari Indonesia society of gastrology mengungkapkan bahwa satu dari

10 orang berusia produktif terkena hipertensi dan ketika hal ini tidak diwaspadai

maka resikonya akan meningkat menjadi lima dari 10 orang ketika memasuki usia

paruh baya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan jumlah penderita

hipertensi akan terus meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang

bertambah, diperkirakan pada 2025 mendatang sekitar 29% warga dunia terkena

hipertensi (Depkes RI 2017).

Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari

suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua

merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap

kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Memasuki usia tua berarti mengalami

kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang

mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,

penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figure tubuh yang tidak

propesional (Wahjudi, 2015).


Lansia adalah individu yang berusia di atas 60 tahun, pada umumnya

memiliki tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi biologis, psikologis,

sosial, ekonomi. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang

untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Lansia

bukam penyakit namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang

ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress

lingkungan (Abdul Muhith, 2016).

Persentase penduduk lansia Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat.

Pada tahun 2018, persentase lansia mencapai 9,27 persen lansia atau sekitar 24,49

juta orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang bertransisi menuju

ke arah struktur penduduk tua (ageing population) karena persentase penduduk

berusia di atas 60 tahun mencapai di atas 7 persen dari keseluruhan penduduk.

Fenomena tersebut akan semakin berarti jika kelompok lanjut usia bisa mandiri,

berkualitas, dan tidak menjadi beban masyarakat serta dapat berperan dalam

pembangunan nasional. Keberadaan penduduk lansia tersebut tersebar di

perkotaan dan perdesaan. Pada tahun 2017, lansia di perdesaan mencapai 50,36

persen, sedangkan di perkotaan sekitar 49,64 persen. Pada tahun 2018 terjadi

suatu pergeseran, lansia Indonesia lebih banyak yang tinggal di perkotaan (51,60

persen) dibandingkan di perdesaan (48,40 persen). Adapun persentase lansia di

Indonesia didominasi oleh lansia muda (kelompok umur 60-69 tahun) yang

persentasenya mencapai 63,39 persen, sisanya adalah lansia madya (kelompok

umur 70-79 tahun) sebesar 27,92 persen dan lansia tua (kelompok umur 80+)

sebesar 8,69 persen (BPS, 2018).

2
Meningkatnya jumlah penduduk lansia dapat meningkatkan berbagai

masalah kesehatan, permasalahan yang timbul karena lansia mengalami

perubahan dalam kesehatan baik secara fisik, kognitif, mental maupun sosial.

Salah satu gangguan kesehatan yang paling banyak terjadi pada lansia yaitu

kesehatan pada sistem kardiovaskuler. Oleh sebab itu, lansia dianjurkan untuk

selalu memeriksakan tekanan darah secara teratur agar dapat mencegah penyakit

kardiovaskuler khususnya hiprtensi (Martono HH, 2009 dalam Ita, 2017).

Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati, maka dalam jangka panjang akan

menyebabkan kerusakan arteri di dalam tubuh sampai organ yang mendapat suplai

darah dari arteri tersebut dan dapat mengakibatkan komplikasi seperti jantung

coroner, stroke dan gagal ginjal.

Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2014 menyatakan bahwa, ada

beberapa faktor resiko yang dapat memicu terjadinya hipertensi, yaitu antara lain

faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan / diubah seperti umur, jenis kelamin,

riwayat keluarga dan genetik, kemudian untuk faktor resiko yang dapat

dikendalikan/diubah seperti kebiasaan merokok, konsumsi garam, konsumsi

lemak jenuh, penggunaan jelantah, kebiasaa konsumsi minum-minuman

beralkohol, obesitas, penggunaan estrogen dan kurang aktifitas fisik

(Kemenkes,2014).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah

sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg

pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup

istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu

3
lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung

(penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi

secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak pasien hipertensi

dengan tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya terus meningkat. Oleh

karena itu, partisipasi semua pihak, baik dokter dari berbagai bidang peminatan

hipertensi, pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan agar hipertensi

dapat dikendalikan (Kemenkes, 2014). Penyakit hipertensi merupakan

peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan

tekanan diastolik sama atau lebih besar 95 mmHg. Hipertensi dikategorikan

ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95-104 mmHg, hipertensi sedang jika

tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan

diastoliknya 115 mmHg atau lebih (Padila, 2017).

Hipertensi primer adalah suatu kondisi dimana terjdinya tekanan darah

tinggi sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan factor lingkungan.

Seseorang yang pola makannya tidak terkontrol dan meningkatkan kelebihan berat

badab dan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena penyakit tekanan

darah tinggi. Begitu pula seseorang yang berada dalam lingkungan atau kondisi

stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan darah tinggi, termasuk

orangorang yang kurang olahraga pun bisa mengalami tekanan darah tinggi

(Wahda, 2011 dalam Ratmaja, 2016).

WHO menyebutkan negara ekonomi berkembang memiliki penderita

hipertensi sebesar 40% sedangkan negara maju hanya 35%, kawasan Afrika

memegang posisi puncak penderita hipertensi, yaitu sebesar 40%. Kawasan

4
Amerika sebesar 35% dan Asia Tenggara 36%. Kawasan Asia penyakit ini telah

membunuh 1,5 juta orang setiap tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga

orang menderita hipertensi. (Widiyani, 2013). Menurut hasil dari riset kesehatan

dasar tahun 2018 ditemukan bahwa angka prevalensi hipertensi penduduk usia ≥

18 tahun di Indonesia mencapai 34,1% meningkat sebanyak 8,3% dari tahun 2013

yaitu 25,8%, di Bali sendiri, menurut data dikes provinsi bali tahun 2017

prevalensi hipertensi penduduk usia ≥ 18 tahun tertinggi di dapatkan berada di

wilayah kabupaten buleleng dengan prevalensi 30,20 % dan wilayah dengan

prevalensi tertinggi di temukan di wilayah puskesmas busungbiu II dengan

prevalensi 32,8 %.

Berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi hipertensi berdasarkan hasil

pengukuran pada penduduk usia 18 tahun sebesar 34,1%, tertinggi di Kalimantan

Selatan (44.1%), sedangkan terendah di Papua sebesar (22,2%). Sedangkan

penderita hipertensi di Provinsi Bali berdasarkan data dari Dinas kesehatan pada

tahun 2014 berjumlah 8.860 jiwa atau kurang lebih 45,5%. Hipertensi terjadi pada

kelompok umur 31-44 tahun (31,6%), umur 45-54 tahun (45,3%), umur 55-64

tahun (55,2%). Prevalensi hipertensi sebesar 34,1% diketahui bahwa sebesar 8,8%

terdiagnosis hipertensi dan 13,3% orang yang terdiagnosis hipertensi tidak minum

obat serta 32,3% tidak rutin minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian

besar penderita hipertensi tidak mengetahui bahwa dirinya Hipertensi sehingga

tidak mendapatkan pengobatan. Alasan penderita hipertensi tidak minum obat

antara lain karena penderita hipertensi merasa sehat (59,8%), kunjungan tidak

teratur ke fasyankes (31,3%), minum obat tradisional (14,5%), menggunakan

5
terapi lain (12,5%), lupa minum obat (11,5%), tidak mampu beli obat (8,1%),

terdapat efek samping obat (4,5%), dan obat hipertensi tidak tersedia di Fasyankes

(2%).

Penatalaksanaan hipertensi dapat diatasi dengan terapi farmakologis dan

terapi non farmakologis. Terapi farmakologis penanganan berupa obat-obatan

antihipertensi, yang dalam penerapannya menyebabkan ketergantungan yang

cukup besar. Terapi non farmakologis salah satunya seperti terapi tertawa.

Tertawa 20 menit setara dengan berolahraga ringan selama 2 jam karena dengan

tertawa peredaran darah dalam tubuh lancar, kadar oksigen dalam darah

meningkat, dan tekanan darah akan normal. Tertawa sama dengan efek latihan

fisik yang membantu meningkatkan suasana hati, menurunkan hormon stres,

meningkatkan aktivitas kekebalan tubuh, menurunkan kolesterol jahat dan tekanan

darah sistolik serta meningkatkan kolesterol baik. Lansia tidak mampu melakukan

banyak latihan fisik karena masalah otot lemah dan radang persendian, oleh

karena itu tawa merupakan latihan ideal bagi mereka yang mempunyai

keterbatasan fisik (Petrus, 2014).

Terapi tertawa adalah suatu terapi untuk mencapai kegembiraan di dalam

hati yang dikeluarkan melalui mulut dalam bentuk suara tawa, atau senyuman

yang menghiasi wajah, perasaan hati yang lepas dan bergembira, dada yang

lapang, peredaran darah yang lancar sehingga dapat mencegah penyakit dan

memelihara kesehatan. Terapi ini dapat dilakukan dengan cara memberikan

stimulus humor dan sengaja tertawa. Tertawa juga dapat membantu membentuk

pola pikir positif sehingga seseorang akan berpikir dengan cara yang lebih positif.

6
Tertawa merupakan cara yang paling baik dan paling ekonomis dalam melawan

kecemasan dalam tertawa akan merelaksasikan otot-otot yang tegang, juga

melebarkan pembuluh darah sehingga memperlancar aliran darah ke seluruh tubuh

(Ayu, 2010).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan masalah

sebagai berikut: Apakah ada pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan tekanan

darah pada lansia dengan hipertensi primer?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi

tertawa terhadap penurunan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi primer.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi tekanan darah pada lansia hipertensi sebelum diberikan terapi

tertawa.

2. Mengidentifikasi tekanan darah pada lansia hipertensi sesudah diberikan terapi

tertawa.

3. Menganalisi pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan tekanan darah pada

lansia.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

7
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber

informasi dan pengetahuan tentang pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan

tekanan darah pada lansia.

1.4.2 Manfaat praktis

1. Bagi Tenaga Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumber masukan untuk

menangani atau mencegah peningkatan hipertensi dengan cara terapi non

farmakologis salah satunya terapi tertawa.

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharpakan dapat memberikan informasi bagi masyarakat

agar masyarakat lebih mengenal pentingnya terapi tertawa untuk menurunkan

tekanan darah.

1.5 Keaslian Penelitian

1. Penelitian yang dilakukan Petrus, 2014 dengan judul “Pengaruh Terapi

Tertawa Terhadap Perubahan Tekanan Darah Pada Lansia Dengan Hipertensi

Sistolik Terisolasi Di Panti Sosial Budi Agung Kupang”. Penelitian ini

dilakukan di Panti Sosial Budi Agung Kupang. Penelitian ini merupakan

penelitian desain Quasy-Experiment dengan rancangan one group design pre-

test and post-test design. Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia yang

menderita hipertensi sistolik tersisolasi sebanyak 20 orang ada di Panti Sosial

Budi Agung Kupang Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive

sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel

diantara populasi sesuai dengan kehendak peneliti (tujuan atau masalah dalam
8
penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi

yang telah dikenal sebelumnya. Pengambilan sampel dengan memenuhi

kriteria sebagai berikut Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah Lansia

hipertensi dengan tekanan darah ≥ 160/ <90 mmHg. Kriteria eksklusi dalam

penelitian ini adalah Lansia dengan penyakit wasir, Lansia dengan penyakit

hernia, Lansia dengan penyakit jantung yang tidak toleran, Lansia dengan

sesak nafas, Lansia dengan penyakit TBC, Lansia dengan penyakit influenza,

Lansia dengan glaucoma, Lansia yang pikun, Lansia yang mengalami

penurunan pendengaran.

2. Penelitian yang dilakukan Christina,dkk. (2015) dengan judul “Pengaruh

Terapi Tertawa Terhadap Stres Psikologis Pada Lanjut Usia Di Panti Werdha

Kota Manado”. Penelitian ini dilakukan di BPLU Senja Cerah Paniki

Kecamatan Mapanget Manado dan di Panti Werdha Damai Ronomuut

Manado. Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimental dengan One

group pre-test-post-test design. Populasi pada penelitian ini adalah semua

lanjut usia yang mengalami stres di Panti Werdha Kota Manado yang

berjumlah 37 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan total

sampling atau sampling jenuh yaitu suatu teknik penetapan sampel bila semua

anggota populasi digunakan sebagai sampel (Setiadi 2013). Sampel dalam

penelitian ini berjumlah 37 responden. Instrumen pengumpulan data dalam

penelitian ini menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Kuesioner ini

dipakai untuk mengukur tingkat stres lansia sebelum dan sesudah diberikan

terapi tertawa.

9
10

Anda mungkin juga menyukai