Anda di halaman 1dari 73

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

HIPERTENSI USIA MUDA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS


WAY HALIM KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2020

OLEH:
Ns. DESIANA, Skep
NIP: 197209271998032002

UPT PUSKESMAS WAY HALIM


KOTA BANDAR LAMPUNG
2020
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
HIPERTENSI USIA MUDA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
WAY HALIM KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2020

xiv + 65 Halaman + 6 Tabel + 2 Gambar + 9 Lampiran

ABSTRAK

Masyarakat penderita hipertensi cenderung lebih tinggi pada usia dewasa muda
dibandingkan dengan usia lansia, dapat menjadi masalah kesehatan yang serius karena
dapat mengganggu aktivitas dan dapat mengakibatkan komplikasi yang berbahaya jika
tidak terkendali dan tidak diupayakannya pencegahan dini. Hipertensi Dewasa muda 50%
diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka
cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak
mengetahui faktor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial. Tujuan
penelitian ini adalah diketahui Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi usia muda Di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung
Tahun 2020.
Jenis penelitian kuantitatif, rancangan analitik observasional dengan pendekatan
case control. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat ke
Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung dimana rata–rata pengunjung dalam satu
bulan ke BP umum sebanyak 459 orang, dengan jumlah kasus hipertensi sejumlah 279
kasus hipertensi dan yang berusia 13-18 tahun sejumlah 107 kasus. jumlah sampel pada
penelitian ini adalah 186 sampel yaitu 93 kasus dan 93 kontrol. Pengambilan data
menggunakan kuesioner. Teknik analisis data menggunakan uji statistik Chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 186 responden yang diteliti, sebagian
besar tidak obesitas yaitu sebanyak 128 responden (68,8%), merokok sebanyak 119
responden (64,0%), tidak konsumsi kafein sebanyak 100 responden (53.8%), mengalami
stress sebanyak 96 responden (51.6%), dan yang mengalami hipertensi usia muda
sebanyak 93 responden (50.0%). Ada hubungan obesitas, stress, merokok dan konsumsi
kafein dengan kejadian hipertensi usia muda Di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim
Kota Bandar Lampung Tahun 2020 (p value 0,001). Disarankan memberikan kegiatan
serta informasi lebih mengenai faktor risiko kejadian hipertensi melalui edukasi seperti
memberikan penyuluhan kepada masyarakat.

Kata Kunci : faktor, hipertensi usia muda


Kepustakaan : 35 (2008-2020)
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang menjadi salah satu

penyebab utama kematian prematur di dunia. Organisasi kesehatan dunia

(World Health Organization/WHO) mengestimasikan saat ini prevalensi

hipertensi secara global sebesar 22% dari total penduduk dunia. Dari sejumlah

penderita tersebut, hanya kurang dari seperlima yang melakukan upaya

pengendalian terhadap tekanan darah yang dimiliki, hipertensi esensial

merupakan penyakit yang paling banyak diderita masyarakat. (Kemenkes, RI,

2020)

Berdasarkan data Centers For Disease Control and Prevention (CDC) di

Amerika tahun 2017 Jumlah kematian akibat hipertensi esensial dan penyakit

ginjal hipertensi sebesar 35.316 kasus dan Sebanyak 33,2% orang dewasa

berusia 20 dan lebih dengan hipertensi (diukur tekanan darah tinggi dan / atau

minum obat antihipertensi) (CDC, 2017) Diperkirakan 1,13 miliar orang di

seluruh dunia menderita hipertensi, sebagian besar (dua pertiga) tinggal di

negara berpenghasilan rendah dan menengah. Pada 2015, 1 dari 4 pria dan 1

dari 5 wanita menderita hipertensi. (WHO, 2019 )

Angka kematian dewasa lebih tinggi di bandingkan remaja, hal ini

terjadi di karenakan mereka mengalami asalah kesehatan kronis, masalah

pernafasan, dan flu dibandingkan ketika mereka masih anak- anak. Sebagian

1
2

besar dewasa muda mengetahui cara mencegah penyakit dan meningkatkan

kesehatan mereka tidak menerapkan pengetahuan dan informasi yang mereka

punya dengan baik terhadap diri mereka (Suntrock, 2012).

Secara Nasional hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi

penduduk dengan tekanan darah tinggi sebesar 34,11%. Prevalensi tekanan

darah tinggi pada perempuan (36,85%) lebih tinggi dibanding dengan laki-

laki (31,34%). Prevalensi di perkotaan sedikit lebih tinggi (34,43%)

dibandingkan dengan perdesaan (33,72%), Provinsi yang tertinggi di

Kalimantan Selatan dengan prevalensi sebesar 44,13% dan terendah di

Provinsi papua sebesar 22,22% sedangkan Provinsi Lampung sebesar 29,94%

(Riskesdas, 2018) Estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebesar

63.309.620 orang, sedangkan angka kematian di Indonesia akibat hipertensi

sebesar 427.218 kematian (Kemenkes, RI, 2018)

Prevalensi hipertensi terbesar berdasarkan hasil pengukuran pada

penduduk umur 15 tahun keatas menurut Kabupaten/Kota di Provinsi

Lampung, kasus tertinggi yaitu Kabupaten Way Kanan 25,99%, Kabupaten

Lampung Barat 20.56%, Kabupaten Lampung Timur 20,54%, Tulang

Bawang Barat 19.49%, dan terendah Kabupaten Tanggamus 10.03%

(Riskesdas Lampung , 2018).

Pada Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2019, capaian

pelayanan penderita hipertensi sesuai standar belum mencapai target yang

ditetapkan, capaian Provinsi Lampung Tahun 2019 sebesar 49,10%. Terdapat

kabupaten yang capaiannya mendekati 100%, yaitu Kota Metro (95,43%).


3

Memiliki angka capaian di bawah target yakni Kabupaten Lampung Tengah

dengan capaian 46,88%, Tulang Bawang 37,59 %, Tulang Bawang Barat

34,35 %, Kabupaten yang Alasan tidak tercapainya target SPM ini kurang

lebih sama dengan indikator SPM penyakit tidak menular lainnya.

Pada Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2019, kejadian

hipertensi di Provinsi Lampung memiliki rata-rata 15,10% dengan penderita

hipertensi dari 6.137.912 jumlah penduduk Provinsi Lampung. Dimana angka

kejadian hipertensi di atas rata-rata terjadi pada Kota Bandar Lampung

16,71%, Kabupaten Lampung Utara 17,85%, Kota Bandar Lampung

19,49%. Dari jumlah penderita hipertensi terdapat 25,7% penderita hipertensi

yang berobat teratur (mengakses FKTP, pelayanan kesehatan lainnya), yang

berarti terdapat 74,3% penderita hipertensi yang tidak berobat teratur.

Hipertensi terjadi pada kelompok umur 18-24 tahun sebesar 13,22%,

kelompok umur 25 – 34 tahun sebesar 20,13% kelompok umur 35-44 tahun

sebesar 31,6%, umur 45-54 tahun sebesar 45,3%, umur 55-64 tahun sebesar

55,2%. Kelompok umur 65-74 tahun sebesar 63.22% dan kelompok umur 75+

sebesar 69.53% (Riskesdas, 2018).

Masyarakat penderita hipertensi cenderung lebih tinggi pada usia dewasa

muda dibandingkan dengan usia lansia, dapat menjadi masalah kesehatan yang

serius karena dapat mengganggu aktivitas dan dapat mengakibatkan

komplikasi yang berbahaya jika tidak terkendali dan tidak diupayakannya

pencegahan dini. Gejala penyakit lanjutan yang dapat terjadi seperti stroke,

kerusakan mata, sakit pembesaran otot jantung, otak (pening), dan ginjal.
4

Selain itu, masyarakat yang menderita hipertensi cenderung lebih memilih

cara pengobatan dengan membeli obat sakit kepala di warung karena jarak

dari rumah ke puskesmas cukup jauh (Sarumaha, 2018).

Dewasa dini (muda) merupakan tahapan dalam perkembangan

kehidupan manusia yang harus dijalani. Perkembangan dewasa dibagi menjadi

3 yaitu Dewasa Muda (dewasa dini ) dengan usia berkisar antara 18 sampai 40

tahun, dewasa madya (dewasa menengah ) dengan usia berkisar antara 40

sampai 60 tahun, dan dewasa lanjut (usia lanjut ) dengan usia mulai 60 tahun

ke atas (Hurlock, 2011).

Hipertensi Dewasa muda 50% diantaranya tidak menyadari sebagai

penderita hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi

berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui faktor risikonya,

dan 90% merupakan hipertensi esensial (Candradewi, 2014). Faktor risiko

hipertensi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) faktor yaitu faktor yang tidak

dapat diubah berupa ras, umur, jenis kelamin, dan keturunan (riwayat

hipertensi keluarga). Faktor yang dapat diubah seperti kegemukan (obesitas),

stress, merokok, kurang olahraga, konsumsi alkohol berlebih, konsumsi garam

berlebih. (Rohkuswara, 2016).

Menurut Amanda (2016) Obesitas meningkatkan tekanan darah dengan

meningkatkan reabsorpsi natrium tubular ginjal, mengganggu tekanan

natriuresis, dan menyebabkan ekspansi volume melalui aktivasi sistem saraf

simpatetik dan renin-angiotensinaldosteron sistem dan dengan kompresi fisik

ginjal, terutama ketika ada peningkatan adipositas visceral. Faktor risiko


5

hipertensi yang lain adalah stress. Pada saat seseorang mengalami stress,

hormon adrenalin akan dilepaskan dan kemudian akan meningkatkan tekanan

darah melalui kontraksi arteri (vasokontriksi) dan peningkatan denyut jantung.

Apabila stress berlanjut, tekanan darah akan tetap tinggi sehingga orang

tersebut akan mengalami hipertensi. (Suparta, 2018)

Hasil penelitian Gunawan (2018) menunjukkan 21,1% responden

mengalami overweight dan 42,1% mengalami obesitas. 65,8% responden

mengalami stres ditandai dengan perolehan skor DASS di atas 14. Dua puluh

tujuh responden mengalami prehipertensi dan 12 responden mengalami

hipertensi tingkat 1. Analisis statistik menunjukkan adanya hubungan positif

antara obesitas (r=0,577) dan tingkat stress dengan kejadian hipertensi.

Risiko terjadinya hipertensi tidak terlepas dari gaya hidup seseorang.

Gaya hidup merupakan faktor terpenting yang sangat mempengaruhi

kehidupan masyarakat, salah satunya dari jenis makanan yang dikonsumsi

yang menyebabkan hipertensi yaitu malas berolahraga, merokok, kebiasaan

minuman beralkohol, konsumsi makanan yang siap saji yang mengandung

pengawet, kadar garam yang terlalu tinggi dalam makanan, kelebihan

konsumsi lemak. Begitu juga dengan kegemukan (obesitas) yang dapat

mempengaruhi tekanan darah akibat dari peningkatan lemak (Irianto, 2016).

Merokok merupakan masalah yang terus berkembang dan belum dapat

ditemukan solusinya di Indonesia sampai saat ini. Merokok dapat

menyebabkan hipertensi akibat zat-zat kimia yang terkandung di dalam

tembakau yang dapat merusak lapisan dalam dinding arteri, sehingga arteri
6

lebih rentan terjadi penumpukan plak (arterosklerosis). Hal ini terutama

disebabkan oleh nikotin yang dapat merangsang saraf simpatis sehingga

memacu kerja jantung lebih keras dan menyebabkan penyempitan pembuluh

darah, serta peran karbonmonoksida (Co2) yang dapat menggantikan oksigen

dalam darah dan memaksa jantung memenuhi kebutuhan oksigen tubuh

(Setyanda, 2015).

Sebuah studi longitudinal mengungkapkan bahwa sebagian besar

kebiasaan yang merugikan kesehatan terbentuk pada masa bernjak dewasa

atau masa dewasa muda seperti kurang gerak, diet, obesitas, penyalahgunaan

zat terlarang, perawatan kesehatan reproduksi, akses perawatan kesehatan

semakin memburuk pada masa dewasa. Ketika beranjak dewasa dan masa

dewasa awal (muda) beberapa individu berhenti memikirkan bagaimana gaya

hidup yang akan mempengaruhi kesehatan mereka nanatinya ketika dewasa.

Ketika beranjak dewasa, banyak dari kita mengembangkan pola tidak

sarapan, makan tidak teratur, dan mengandalkan kudapan sebagai sumber

makanan utama sepanjang hari. Makan berlebihan sampai melebihi batas

berat badan normal untuk usia dewasa muda. Menjadi perokok sedang atau

berat minum alkohol sesekali atau menjadi peminum berat tidak olah raga dan

kurang tidur di malam hari (Suntrock, 2012).

Data Penyakit hipertensi menjadi salah satu penyebab kematian.

Jumlah kematian akibat hipertensi sebanyak 34 kasus. Jika dilihat dari

kunjungan ke pusat pelayanan kesehatan penyakit hipertensi menempati

urutan pertama jumlah kunjungan terbanyak dengan total kunjungan kasus


7

baru sebanyak 2081 kasus dan sebanyak 7438 kasus lama dengan prevalensi

sebesar 20,3% berdasarkan total kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan

(Dinas Kesehatan Tulang Bawang , 2019)

Angka kesakitan hipertensi di Kota Bandar Lampung pada tahun 2018

sebesar 32,56 per 1000 penduduk > 18 tahun (13.495 ks/413.234 penduduk >

18 tahun), dengan angka tertinggi terdapat di Kecamatan Way Halim 190,29

per 1000 penduduk >15 tahun (4.344 ks/ 22.828 penduduk 18 tahun),

Kecamatan Mercu Buana sebesar 63,98 per 1000 penduduk > 18 tahun (837

ks/ 13.082 penduduk > 18 tahun) (1908 ks/ 32.910 penduduk > 18 tahun)

(Profil Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2019).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Puskesmas

yang ada di Kabupaten Tulang Bawang pada tahun 2020, dari 9 Puskesmas

yang ada 3 diantaranya memiliki jumlah penderita hipertensi usia dewasa

muda yang cukup tinggi yaitu Puskesmas Way Halim dengan jumlah 279

kasus, Puskesmas Sukarame dengan 44 kasus, dan Puskesmas gedung Air

dengan 83 kasus.

Berdasarkan hasil prasurvey yang dilakukan di wilayah kerja

Puskesmas Way Halim pada tanggal 2-14 Desember 2019 diketahui dari 15

penderita hipertensi, sebanyak 6 orang dengan usia berkisar 13-18 tahun dan

sebanyak 9 orang dengan usia > 18 tahun. dari 9 responden tersebut 5 orang

mengungkapkan bahwa merokok dan minum kopi serta jarang berolahraga

terkadang seminggu hanya 1 kali atau tidak pernah sama sekali, sedangkan
8

sebanyak 4 orang melakukan olahraga rutin setiap minggu. Dari ke 9

responden tersebut, sebanyak 4 orang terlihat obesitas.

Berdasarkan angka kejadian dan dampak yang ditimbulkan dari

kejadian hipertensi usia muda, sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui

lebih lanjut penyebab dari kejadian hipertensi usia muda yang hasilnya nanti

akan menjadi salah satu sarana untuk melakukan promosi kesehatan dalam

rangka menurunkan angka kejadian hipertensi di usia muda sehingga generasi

muda dapat meningkatkan kualitas hidupnya selain itu dapat meningkatkan

derajat kesehatan khususnya pada usia muda. Peneliti mengambil

permasalahan ini, dikarenakan penelitian ini masih jarang dan belum pernah

dilakukan sebelumnya Di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar

Lampung.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

yang berjudul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi

usia muda Di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung

Tahun 2020”

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apa saja faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian hipertensi usia muda Di Wilayah Kerja

Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020?”


9

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi usia muda Di

Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun

2020

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi hipertensi, obesitas, stres,

merokok, kafein (kopi / teh) Di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim

Kota Bandar Lampung Tahun 2020

b. Untuk mengetahui hubungan obesitas dengan kejadian hipertensi usia

muda Di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung

Tahun 2020

c. Untuk mengetahui hubungan stres dengan kejadian hipertensi usia

muda Di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung

Tahun 2020

d. Untuk mengetahui hubungan merokok dengan kejadian hipertensi usia

muda Di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung

Tahun 2020

e. Untuk mengetahui hubungan kafein (Kopi / teh) dengan kejadian

hipertensi usia muda Di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota

Bandar Lampung Tahun 2020


10

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapakan dapat menjadi sumbangsih pemikiran untuk

khususnya mengenai faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian

hipertensi usia muda Di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota

Bandar Lampung Tahun 2020

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan bagi Rumah

Sakit dalam memutuskan strategi yang tepat dalam meningkatkan derajat

kesehatan untuk pasien hipertensi dan hasil penelitian ini dapat

meningkatkan pengetahuan dan motivasi untuk merubah gaya hidup yang

tidak sehat, sehingga dapat meningkatkan kualitas derajat kesehatan

terutama dalam menurunkan angka kejadian hipertensi

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan desain case control.

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-Faktor yang berhubungan

dengan kejadian hipertensi usia muda. Subyek penelitian ini yaitu pasien Di

Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020.

Adapun analisis data yang digunakan dengan uji chi square untuk menguji

bivariate.
11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi

1. Pengertian Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang

memberi gejala yang akan berlanjut ke suatu organ target seperti stroke

(untuk otak), penyakitjantung koroner (untuk pembuluh darah jantung)

dan hipertrofi ventrikel kanan //eft ventricle hypertrophy (untuk otot

jantung). Dengan target organ di otak yang berupa stroke, hiper’tensi

menjadi penyebab utama stroke yang membawa kematian yang tinggi

(Bustan, 2007).

Tekanan darah tinggi atau hipertensi berarti tekanan tinggi di dalam

arteri. Arteri adalah pembuluh yang mengangkut darah dari jantung yang

memompa keseluruh jaringan dan organ-organ tubuh. Tekanan darah

tinggi bukan berarti tegangan emosi yang berlebihan, walaupun tegangan

emosi dan stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara.

Tekanan darah normal adalah di bawah 120/80, tekanan darah antara

120/80 dan 139/89 disebut “pra-hipertensi” (pre-hypertension) dan suatu

tekanan darah dari 140/90 atau di atasnya dianggap tinggi (Irianto, 2015).

Banyaknya penderita hipertensi diperkirakan sebesar 15 juta

bangsa Indonesia tetapi hanya 4% yang controlled hypertension. Yang

dimaksud dengan hipertensi terkendali adalah mereka yang menderita

11
12

hipertensi dan tahu bahwa mereka menderita hipertensi dan sedang

berobat untuk itu (Bustan, 2007).

Menurut Bustan (2007) sebagai gambaran umum masalah

hipertensi ini adalah:

a. Tingkat prevalensi sebesar 6-1 5% pada orang dewasa. Sebagai suatu

proses degeneratif, hipertensi tentu hanya ditemukan pada golongan

dewasa. Ditemukan kecenderungan peningkatan prevalensil

hipertensi menurut peningkatan usia.

b. Sebesar 50% penderita tidak menyadari diri sebagai penderita HT.

Karena itu mereka cenderung untuk menderita hipertensiyang Iebih

berat karena penderita tidak berupaya mengubah dan menghindari

faktor risiko.

c. Sebanyak 70% adalah HT ringan, karena itu hipertensi banyak

diacuhkan atau terabaikan sampail saat menjadi ganas (hipertensi

maligna).

d. Sejumlah 90% HT esensill, mereka dengan HT yang tidak diketahui

seluk-beluk penyebabnya. Aninya, karena penyebabnya tidak jelas

maka sulit untuk mencari bentuk intervensi dan pengobatan yang

sesuai.

2. Patofisiologi

Dimulai dengan atherosklerosis, gangguan struktur anatomi pembuluh

darah peripher yang berlanjutdengan kekakuan pembuluh darah.

Kekakuan pembuluh darah disertai dengan penyempitan dan


13

kemungkinan pembesaran plaque yang menghambat gangguan peredaran

darah peripher. Kekakuan dan kelambanan aliran darah menyebabkan

beban jantung bertambah berat yang akhirnya dikompensasi dengan

peningkatan upaya pemompaan jantung (Bustan, M.N, 2007).

3. Etiologi Hipertensi

a. Hipertensi primer (esensial)

Hipertensi primer (esensial) adalah suatu peningkatan persisten

tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme

kontrol homeostatik normal, lebih dari 90% pasien dengan hipertensi

merupakan hipertensi essensial (hipertensi primer). Hipertensi yang

tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial.

Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer, untuk

membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-

sebab yang diketahui.Beberapa mekanisme yang mungkin

berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi,

namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis

hipertensi primer tersebut (Asdie,2012).

b. Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari

penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan

tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat

penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab

sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung


14

ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi ataumemperberat

hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Asdie,2012).

4. Klasifikasi Hipertensi orang dewasa menurut JNC (Joint National

Commite)

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC (Joint National Commite) untuk pasien

dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan

darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis. Klasifikasi tekanan

darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah

sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80 mm

Hg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi

mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung

meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua

tingkat (stage) hipertensi , dan semua pasien pada kategori ini harus diberi

terapi obat.

Tabel 2.1
Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun
menurut JNC VII
Klasifikasi Tek darah sistolik Tek darah diastolic
mm Hg mm Hg
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Sumber :Asdie,2012

5. Tanda dan Gejala Hipertensi

Pada sebagian besar penderita, hipertensi lidak menimbulkan

gejala; meskipun secara tidak sengala beberapa gejalaterjadi bersamaan

dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah ungg (padahal


15

sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala.

perdarahan dari hidung pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang

bisa saja terjadi baik pada penderita hipenens maupun pada seseorang

dengan tekanan darah yang normal.

Jika hipenensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa

timbul gejala: sakit kepala kelelahan, mual, muntah, sesak napas, gelisah,

pandangan menjadi kabur. Yang terjadi karena adanya kerusakan pada

otak. mata, jantung dan ginjal. Kadang penderita hipertensi berat

mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi

pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang

memerlukan penanganan segera (Irianto, 2015).

6. Komplikasi Hipertensi

Pada umumnya gejala komplikasi hipertensi berbeda-beda antara satu

tempat dan dan tempat lainnya. Gejala hipertensi yang terjadi komplikasi

pada :

a. Jantung

Bisa menyebabkan gagal jantung, gagal jantung bisa mempercepat

proses arterosclerosis pada penyakit jantung koroner. Salah satu teori

menyebutkan bahwa sel intim dari dinding pembuluh darah koroner

yang mempercepat timbulnya pengendapan kolesterol pada bagian

dalam dinding pembuluh darah. Hipertensi juga bisa menyebabkan

tekanan sistolik dalam bilik kiri bertambah. Hal ini menyebabkan

tekanan otot jantung naik, sehingga kebutuhan oksigen pada otot


16

jantung meningkat. Selanjutnya terjadi ketidak seimbangan antara

kebutuhan oksigen dan darah yang dialirkan sehingga terjadi angina

pectoris (Asdie,2012).

b. Otak

Bisa menyebabkan stroke yang membuat anggota badan lumpuh.

Serangan isekmi pada otak bisa ditandai dengan kesemutan pada wajah

dan anggota badan atau kehilangan kesadaran dan kembali pulih

setelah 24 jam. Peningkatan tekanan darah mendadak pada orang yang

sebelumnya memiliki tekanan darah normal bisa menyebabkan

pembuluh darah di otak mengalami penciutan mendadak. Sebagian lagi

mengalami pelebaran disertai merembesnya serum atau cairan dari

dinding pembuluh darah otak yang menyebabkan otak menjadi lembap

yang biasanya disebut dengan stroke yang berakibat pada kelumpuhan

saraf otak (Asdie, 2012).

7. Pantangan Makanan Penyakit Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)

a. Makanan mengandung kolesterol (lemak jahat dari hewan). Misalnya

daging berlemak, dagng kambing, telur puyuh. kuning telur, telur

bebek, belut, otak sapi, jeroan, kulit hewan, dagng ayam, susu sapi,

keju dan bebek. Juga hindari jenis seafood berikut ini‘: kepiting,

udang, cumcumi, ikan hiu, dan kerang.

b. Makanan mengandung trigleserin. Trigleserin merupakan provokator

yang membuat kolesterol jahat (LDL) semakin berulah merusak

pembu|uh darah. Trigleserin merupakan lemak jahat dan tumbuhan,


17

Maka hindari makanan yang diolah dengan minyak goreng kelapa

sawit. terutama minyak goreng yang sudah dipakai Iebih dari 2 kali.

Santan, duriam air kelapa, margarin dan sayuran yang memperparah

asam urat. Makan goreng ayam merupakan cara cepal mendapatkan

hipertensi. stroke, dan jantung koroner.

c. Makanan mengandung gula alkoholik. Misalnya durian dan makanan

olahannya, nangka, tape. dan brem.

d. Kopi dan minuman soda. lni merupakan minuman jenis deuretik yang

menguras cadangan kals‘um dari tubuh. Salah satu akibatnya iekanan

darah menjadi naik, jantung tidak normal, d3“ pembuluh darah makin

tidak elastis.

e. Makanan terlalu asin. Garam akan memberatkan ginjal sebagai organ

pengontrol tekanan darah Pada penderita hipertensi organ ginjalnya

pasti sudah rusak dan lemah. Ciri umum ginjal Iemah adalah ejakulasi

dini. keputihan, dan tekanan darah fluktuatif.

f. Kekurangan air putih. Air putih membantu kerja ginjal, Air putih juga

membantu mengurangi terJad kekentalan darah. Terutama pada

penderita hipertensi, kolesterol tinggi, dan perokok (Irianto, 2015).


18

8. Pencegahan Hipertensi
Tabel 2.2
Pencegahan Hipertensi

Level Level pencegahan Perjalanan HT Intervensi


pathogenesis Pencegahan
Prepatogenesis Level I :
a. Primodial a. Sehat/normal a. Meningkatkan
b. Promotif b. Interaksi trias derajat
c. Proteksi epidemiologi kesehatan
spesifik c. Belum ada dengan gizi
gejala tapi dan perilaku
ada risiko hidup sehat
b. Pertahankan
keseimbangan
trias
epidemiologi
c. Turunkan atau
hindari risiko
Pathogenesis Level II :
a. Diagnose HT ringan a. Pemeriksaan
awal HT sedang periodic tek.
b. Pengobatan HT berat darah
yang tepat b. Hindari
lingkungan
yang stress
Post- Level III :
patogenesis Rehabilitasi Komplikasi Jaga kualitas
Kronis hidup optimum
Meninggal
Sumber : Bustan, M.N (2007).

B. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi

Hipertensi

Adapun berapa faktor penyebab tekanan darah tinggi tersebut antara lain:

1. Obesitas (Kegemukan)

Faktor ini bisa Anda kendalikan. Orang yang memiliki berat badan

di atas 30 persen berat badan ideal, memiliki kemungkinan lebih besar

menderita tekanan darah tinggi. Obesitas diartikan sebagai suatu


19

keadaan dimana terjadi penimbunan lemak yang berlebihan di jaringan

lemak tubuh, dan dapat mengakibatkan terjadinya beberapa penyakit.

Parameter yang umum digunakan untuk menentukan keadaan tersebut

adalah indeks massa tubuh seseorang 25-29,9 kg/m2 (Arisman, 2012).

Indeks massa tubuh adalah ukuran kekurusan dan kegemukan dan

dihitung dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi

badan dalam meter dikuadratkan.

IMT = Berat badan dalam kg


(Tinggi badan dalam meter)2
Pada dekade terakhir prevalensi obesitas makin meningkat. Di

USA prevalensi obesitas pada dewasa muda adalah sekitar 17,9% dan

overweight > 60% untuk laki-laki dan 55% untuk wanita. Pada populasi

dan etnik tertentu (Mexican-American dan Afrikan-American) prevalensi

lebih tinggi lagi yaitu lebih dari 65%. Pada anak-anak angka kejadian ini

juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Di beberapa area seperti

Amerika utara dan tengah, Australia, Afrika, Asia tenggara termasuk

Indonesia yang sebelumnya memiliki prevalensi obesitas yang rendah,

terjadi kecenderungan peningkatan angka prevalensi. Hal ini mungkin

berhubungan dengan peningkatan urbanisasi penduduk, perubahan pola

makanan dan aktifitas yang terjadi didaerah tersebut (Susilo, 2011).


20

Tabel 2.3
Klasifikasi Basal Metabolisme Tubuh
Klasifikasi BMI (Kg/m2)
Kekurangan berat < 18,50
badan
Berat < 16,00
Menengah 16,00-16,99
Ringan 17,00 – 18,49
Batas normal 18,50-24,99
Kelebihan berat ≥ 25,00
badan
Pre obesitas 25,00 – 29,99
Obesitas ≥ 30,00
Obesitas I 30,00 – 34,99
Obesitas II 35,00 – 39,99
Obesitas III ≥ 40,00
Sumber Arisman (2012)

Obesitas terutama tipe sentral/ abdominal sering dihubungkan

dengan beberapa keadaan seperti diabetes melitus, hiperlipidemia,

penyakit jantung, hipertensi, penyakit hepatobiliar dan peningkatan

resiko mortalitas dan morbiditas. Swedish Obese Study mendapatkan

kejadian hipertensi pada 13,6% populasi obesitas sedangkan Tromo study

membuktikan adanya hubungan antara peningkatan indeks massa

dengan peningkatan tekanan darah baik pada laki-laki dan wanita.

Peningkatan risiko ini juga seiring dengan peningkatan waist -hip- ratio

(WHR) dan waist circumference dimana dikatakan risiko tinggi bila

memiliki WHR > 0,95 untuk laki-laki dan > 0,85 untuk wanita, serta

waist circumference> 102 cm untuk laki-laki dan > 88 cm untuk wanita

(Kapojos, 2009). Laki-laki memiliki resiko angka kejadian penyakit

kardiovaskular yang lebih tinggi dibanding wanita, karena obesitas tipe


21

sentral ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita. Hal ini

disebabkan adanya perbedaan distribusi lemak tubuh antara laki-laki dan

wanita. Pada laki-laki distribusi lemak tubuh terutama pada daerah

abdomen sedangkan wanita lebih banyak pada daerah gluteal dan

femoral.

Meskipun telah banyak penelitian yang dilakukan, akan tetapi

patogenesis hipertensi pada obesitas masih belum jelas benar. Beberapa

ahli berpendapat peranan faktor genetik sangat menentukan kejadian

hipertensi pada obesitas, tetapi yang lainnya berpendapat bahwa faktor

lingkungan mempunyai peranan yang lebih utama. Hal ini dapat dilihat

dari terjadinya peningkatan prevalensi obesitas dari tahun ke tahun tanpa

adanya perubahan genetik, selain itu pada beberapa populasi/ ras dengan

genetik yang sama mempunyai angka prevalensi yang sangat berbeda.

Mereka berkesimpulan walaupun faktor genetik berperan tetapi faktor

lingkungan mempunyai andil yang besar (Kapojos, 2009).

Saat ini dugaan yang mendasari timbulnya hipertensi pada

obesitas adalah peningkatan volume plasma dan peningkatan curah

jantung yang terjadi pada obesitas berhubungan dengan hiperinsulinemia,

resistensi insulin dan sleep apnea syndrome, akan tetapi pada tahun-

tahun terakhir ini terjadi pergeseran konsep, dimana diduga terjadi

perubahan neuro-hormonal yang mendasari kelainan ini. Hal ini mungkin

disebabkan karena kemajuan pengertian tentang obesitas yang


22

berkembang pada tahun-tahun terakhir ini dengan ditemukannya leptin

(Kapojos,2009).

Leptin sendiri merupakan asam amino yang disekresi terutama

oleh jaringan adipose dan dihasilkan oleh gen ob/ob. Fungsi utamanya

adalah pengaturan nafsu makan dan pengeluaran energi tubuh melalui

pengaturan pada susunan saraf pusat, selain itu leptin juga berperan pada

perangsangan saraf simpatis, meningkatkan sensitifitas insulin,

natriuresis, diuresis dan angiogenesis. Normal leptin disekresi kedalam

sirkulasi darah dalam kadar yang rendah, akan tetapi pada obesitas

umumnya didapatkan peningkatan kadar leptin dan diduga peningkatan

ini berhubungan dengan hiperinsulinemia melalui aksis adipoinsular.

Pada penelitian perbandingan kadar leptin pada orang gemuk

(IMT > 27) dan orang dengan berat badan normal (IMT < 127)

didapatkan kadar leptin pada orang gemuk adalah lebih tinggi

dibandingkan orang dengan berat badan normal ( 31,3 + 24,1 ng/ml

versus 7,5 + 9,3 ng/ml). Hiperleptinemia ini mungkin terjadi karena

adanya resistensi leptin.

2. Stres.

Stres dan kondisi emosi yang tidak stabil juga dapat memicu

tekanan darah tinggi. Stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik

terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Bila seseorang setelah mengalami

stres mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga
23

yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya

dengan baik, maka disebut mengalami distres (Hawari 2013).

a. Macam-Macam Stres

Kondisi stres seseorang dapat dikelompokkan (Hawari, 2013)

menjadi dua macam: kondisi eustres (tidak stres) adalah kondisi

seseorang yang dapat mengatasi stres dan tidak ada gangguan pada

fungsi organ tubuh. Sedangkan kondisi distress (stres) adalah pada

saat seseorang menghadapi stres dan terjadi gangguan pada 1 atau

lebih organ tubuh sehingga orang tersebut tidak dapat menjalankan

fungsinya dengan baik.

Bila dikaji maka keluhan atau gejala sebagaimana digambarkan di

atas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan

oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh, sebagai akibat stresor

psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk

mengatasinya.

b. Reaksi Fisiologis Terhadap Stres

Situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya

mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan

sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap

impuls saraf dan hipotalamus yaitu :

1) Mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di

bawah pengendaliannya.
24

2) Meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil.

Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medulla adrenal.

3) Untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah.

4) Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus

mensekresikan suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar

hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus.

5) Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH

(adrenocorticotropic) yang dibawa melalui aliran darah ke

korteks adrenal.

6) Menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol

yang meregulasi kadar gula darah.

7) ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk

melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai

hormon stres yang dibawa melalui aliran darah ditambah

aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik

berperan dalarn respons fight or flight.

c. Pengukuran Tingkat Stres

Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya

stres yang dialami seseorang. Tingkatan stres ini bisa diukur dengan

banyak skala. Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) atau

lebih diringkaskan sebagai Depression Anxiety Stres Scale 21 (DASS

21) oleh Lovibond & Lovibond (1995). Psychometric Properties of

The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42 item


25

dan Depression Anxiety Stres Scale 21 terdiri dari 21 item. DASS

adalah seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur

status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS 42

dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara konvensional mengenai

status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk

pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun

dari status emosional, secara signifikan biasanya digambarkan

sebagai stres. DASS dapat digunakan baik itu oleh kelompok atau

individu dengan tujuan penelitian (Lovibond & Lovibond, 1995).

Tingkatan stres pada instrumen ini berupa normal, ringan,

sedang, berat, sangat berat. Psychometric Properties of The

Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42 item,

mencakup :

1) Skala depresi terdapat pada pernyataan nomor 3, 5, 10, 13, 16,

17, 21, 24, 26, 31, 34, 37, 38, 42.

2) Skala kecemasan terdapat pada pernyataan nomor 2, 4, 7, 9, 15,

19, 20, 23, 25, 28, 30, 36, 40, 41.

3) Skala stress terdapat pada pernyataan nomor 1, 6, 8, 11, 12, 14,

18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39.

Keterangan Scor :

Stres : Scor > 14

Tidak Stres : Scor ≤14


26

3. Rokok.

Merokok juga dapat meningkatkan tekanan darah menjadi tinggi.

Kebiasan merokok dapat meningkatkan risiko diabetes, serangan jantung

dan stroke. Karena itu, kebiasaan merokok yang terus dilanjutkan ketika

memiliki tekanan darah tinggi, merupakan kombinasi yang sangat

berbahaya yang akan memicu penyakit-penyakit yang berkaitan dengan

jantung dan darah (Irianti, 2015). Merokok merupakan salah satu

kebiasaan yang lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Di mana-

mana, mudah menemui orang merokok, lelaki wanita, anak kecil-tua

renta, kaya-miskin; tidak ada terkecuali. Betapa merokok merupakan

bagian hidup masyarakat. Dari segi kesehatan, tidak ada satu titik yang

menyetujui atau melihat manfaat yang dikandungnya. Namun tidak

mudah untuk menurunkan terlebih menghilangkannya. Karena itu gaya

hidup ini menarik sebagai suatu masalah kesehatan, minimal dianggap

sebagai faktor risiko dari berbagai macam penyakit (Bustan, M.N,

(2007)).

a. Masalah merokok

Beberapa kecenderungan mengenai siluasi rokok ini yang cukup

mencemaskan dalam pembengkakan permasalahan merokok:

1) Umur usia merokok makin muda

2) Ancaman khusus kelompok anak

3) Semakin banyak wanita merokok


27

4) Kecenderungan peningkatan konsumsi rokok di negara sedang

berkembang

5) Makin meningkatnya masalah passive smokinh

6) Pengiriman rokok ke negara-negara berkembang

b. Merokok Sebagai Faktor Risiko

Penyakit di mana rokok dianggap sebagai faktor risiko penting:

1) Batuk menahun

2) penyakit paru seperti penyakit paru obstruktif menahun (PPOM)

bronkhitis, dan empisema.

3) Ulkus peptikum.

4) infertiliti.

5) Gangguan kehamilan, bisa berupa keguguran, kehamilan iuar

rahim.

6) Artherosklerosis sampai penyakit jantung koroner.

7) Beberapa jenis kanker seperti kanker mulut kanker paru, kanker

sistem pernapasan lainnya. Juga kanker kandung kemih,

pankreas, atau ginjal.

c. Identifikasi Keberadaan Merokok

Untuk mengetahuiIa adanya keterpaparan rokok maka dapat

dilakukan berbagai cara:

1) Dengan wawancara, menanyakan Iangsung kepada yang

bersangkutan ada tidaknya merokok dan halsl-hal yang terkait

dengan rokok.
28

2) Dengan menanyakan kepada orang atau keluarga terdekat.

3) Dengan pemeriksaan eksresi komponen rokok pada urine,

misalnya nikotin.

Variabel rokok-merokok sebagai variabel independen dalam suatu

penelitian mempunyai variasi yang cukup iuas dalam kaitannya

dengan dampak yang diakibatkannya. Karena itu keterpaparan

rokok perlu diidentifikasi selengkapnya dari berbagai segi:

1) Jenis perokok: perokok aktif atau pasif.

2) Jumlah rokok yang diisap: dalam satuan batang, bungkus atau

pak per hari.

3) Dari sini jenis perokok dapat dibagi atas perokok ringan sampai

berat.

a) Perokok ringan jika merokok kurang dari 10 batang per hari

b) Perokok sedang mengisap 10-20 batang

c) Perokok berat jika lebih 20 batang.

4) Jenis rokok yang diisap: keretek, cerutu atau rokok putih; pakai

filter atau tidak.

5) Cara mengisap rokok: mengisap dangkal, di mulut saja atau isap

dalam.

6) Alasan mulai merokok: sekadar Ingin hebat, ikut-ikutan

kesepian, pelarian sebagai gaya, meniru orang tua

7) Umur mulai merokok sejak umur 10 tahun atau lebih


29

Dalam melakukan aksinya, rokok bisa menjadi lebih agresif jika

ditemani faktoI-faktor lain. Interaksi rokok dengan asbes dapat

memberikan peningkatan sekitar sepuluh kali terjadinya kanker

paru.

Untuk mengetahui adanya keterpaparan rokok maka dapat

dilakukan berbagai cara (Bustan, 2007):

a. Dengan wawancara menanyakan Iangsung kepada yang

bersangkutan ada tidaknya merokok dan hal-hal yang terkait

dengan rokok.

b. Dengan menanyakan kepada orang atau keluarga terdekat.

c. Dengan pemeriksaan eksresi komponen rokok pada urine,

misalnya nikotin.

d. Karena itu keterpaparan rokok perlu diidentifikasi

selengkapnya dari berbagai segi :

Jenis Perokok: perokok aktif atau pasif. Perokok adalah

seseorang yang suka merokok, disebut perokok aktif bila

orang tersebut yang merokok secara aktif, dan disebut

perokok pasif bila orang tersebut hanya menerima asap rokok

saja, bukan melakukan aktivitas merokok sendiri (KBBI,

2012)

Jumlah rokok yang diisap: dalam satuan batang, bungkus atau

pak per hari. Sering tidaknya perilaku muncul mungkin cara

yang paling sederhana untuk mencatat perilaku hanya


30

dengan menghitung jumlah munculnya. perilaku tersebut.

Frekuensi sangatlah bermanfaat untuk mengetahui sejauh

mana perilaku merokok seseorang muncul atau tidak. Dari

frekuensi dapat diketahui perilaku merokok seseorang yang

sebenarnya sehingga pengumpulan data frekuensi menjadi

salah satu ukuran yang paling banyak digunakan untuk

mengetahui perilaku merokok seseorang.

Bustan (2007), membagi perokok dibagi atas tiga kategori,

yaitu ringan (1-10 batang perhari), sedang (11-20 batang

perhari) dan berat (lebih dari 20batang perhari). Klasifikasi

perokok juga dapat ditentukan oleh Indeks Brinkman (IB)

dengan rumus: jumlah rata-rata konsumsi rokok perhari

(batang) x lama merokok (tahun), dengan hasil ringan (0-

199), sedang (200-599) dan berat (>600).

Dari sini jenis perokok dapat dibagi atas perokok ringan

sampai berat. Perokok ringan jika merokok kurang dari 10

batang per hari, perokok sedang mengisap 10-20 batang, dan

perokok berat jika lebih 20 batang. mg Jenis rokok yang

diisap: keretek, cerutu atau rokok putih; pakai i lter atau

tidak.

Cara mengisap rokok: mengisap dangkal, di mulut saja atau

isap dalam. Alasan mulai merokok : sekadar ingin hebat,


31

ikut-ikutan sepian, pelarian, sebagai gaya, meniru. Adapun

alasan seseorang merokok ialah sebagai berikut:

1) Khawatir tidak diterima di lingkungannya jika tidak

merokok.

2) Ingin tahu, alasan ini banyak dikemukakan oleh kalangan

muda, terutama perokok wanita.

3) Untuk kesenangan, alasan ini lebih banyak diutarakan oleh

perokok pria.

4) Mengatasi ketegangan, merupakan alasan yang paling

sering dikemukakan, baik pria maupun wanita.

5) Pergaulan, karena ingin menyenangkan teman atau

membuat suasana menyenangkan, misalnya dalam

pertemuan bisnis.

6) Tradisi, alasan ini hanya berlaku untuk etnis tertentu.

e. Umur mulai merokok: sejak umur 10 tahun atau lebih.

Dalam melakukan aksinya, rokok bisa menjadi lebih agresif

jika ditemani faktor-faktor lain. lnteraksi rokok dengan asbes

dapat memberikan peningkatan sekitar sepuluh kali

terjadinya kanker paru. Rokok dan hipertensi akan meningkat

2 kali lipat untuk penyakit jantung koroner (Bustan, 2007).

4. Kafein.

Kafein yang terdapat pada kopi, teh maupun minuman cola bisa

menyebabkan peningkatan tekanan darah. Kebiasaan minum kopi secara


32

berlebihan dapat merugikan kesehatan karena kafein yang terdapat dalam

kopi. Kafein yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan tekanan

darah, kadar kolesterol total dan kolesterol LDL dalam darah tinggi

(Junaidi, 2011).

Kafein biasa berada di Kopi yang di Konsumsi oleh masyarakat, Faktor

kebiasaan minum kopi yang didapatkan dari satucangkir kopi

mengandung 75 – 200 mg kafein, di manadalam satu cangkir tersebut

berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.

bahwa ini ada hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian hipertensi

dan hasil penelitian didapatkan bahwa 52 % konsumsi kopi rendah pada

perokok berat dan 48 % konsumsi kopi tinggi pada perokok berat.

Menurut penelitian Kurniawati, (2018) Beberapa penelitian menunjukan

bahwa orang yang mengkonsumsi kafein (kopi) secara teratur sepanjang

hari mempunyai tekanan darah rata-rata lebih tinggi dibandingkan

dengan didalam 2-3 gelas kopi (200-250 mg) terbukti meningkatkan

tekanan sistolik sebesar 3-14 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 4-13

mmHg pada orang yang tidak mempunyai Hipertensi. Mengkonsumsi

kafein secara teratur sepanjang hari mempunyai tekanan darah rata-rata

lebih tinggi di bandingkan dengan kalau mereka tidak mengkonsumsi

sama sekali. Kebiasaan mengkonsumsi kopi dapat meningkatkan kadar

kolesterol darah dan meningkatkan risiko terkena penyakit jantung.

Menurut G.Sianturi (2013) kebiasaan minum kopi diklasifikasikan

menjadi: a. Minum kopi ringan bila konsumsi kopi kurang dari 200 mg
33

perhari (1-2 gelas sehari ) atau kurang dari 4 sdm perhari b. Minum kopi

sedang bila konsumsi kopi 200-400 mg perhari (3-4 gelas sehari) atau

konsumsi 4-8 sdm perhari c. Minum kopi berat bila konsumsi lebih dari

400 mg perhari (> 5 gelas sehari) atau konsumsi lebih dari 8 sdm perhari.

5. Alkohol.

Konsumsi alkohol secara berlebihan juga menyebabkan tekanan darah

tinggi. Pola konsumsi dapat bersifat rutin atau episodic. Dilakukan

sewaktu-waktu berhubungan dengan hari menerima gaji malam hari

libur, pesta perayaan. Tetapi hal nya dengan perilaku merokok, preferensi

jenis minuman beralkoholyang diminum dan di intensitaskan yang

berhubungan dengan banyaknya minuman beralkohol yang beresiko

terhadap kesehatan untuk mengukur intensitas digunakan istilah standard

drink atau minuman standard.

Satu minuman standard mengandung sekitar 10 (8-13) g etanol murni.

6. Kurang Olahraga.

Kurang olahraga dan bergerak bisa menyebabkan tekanan darah

dalam tubuh meningkat. Olahraga teratur mampu menurunkan tekanan

darah tinggi Anda namun jangan melakukan oIahraga yang berat jika

Anda menderita tekanan darah tinggi (Irianto, 2015). Aktivitas fisik

yang cukup (vigorous) terutama berhubungan dengan menurunnya

tingkat kematian karena penyakit koroner yang diduga bermanfaat pada

penurunan proses aterosklerosis. Aktivitas fisik secara teratur dapat

menurunkan tekanan gula darah, menigkatkan kadar kolesterol HDL dan


34

menurunkan kolesterol LDL, menurunkan berat badan, mendorong

berhenti merokok. Aktifitas fisik dapat dinilai dari aktifitas ditempat

kerjanya maupun kegiatan olahraga, aktifitas berat dipengaruhi dari

kegiatan yang lebih banyak diluar ruangan dan banyak bergerak seperti

atletik, tentara dan buruh bangunan. Aktifitas ini dilakukan lebih dari 3

hari dalam seminggu dan lebih dari 3 jam seminggu (Junaidi, 2011).

Aktivitas fisik yang cukup (vigorous) terutama berhubungan

dengan menurunnya tingkat kematian karena penyakit koroner yang

diduga bermanfaat pada penurunan proses aterosklerosis. Aktivitas fisik

secara teratur dapat menurunkan tekanan gula darah, menigkatkan kadar

kolesterol HDL dan menurunkan kolesterol LDL, menurunkan berat

badan, mendorong berhenti merokok. Aktifitas fisik dapat dinilai dari

aktifitas ditempat kerjanya maupun kegiatan olahraga, aktifitas berat

dipengaruhi dari kegiatan yang lebih banyak diluar ruangan dan banyak

bergerak seperti atletik, tentara dan buruh bangunan. Aktifitas ini

dilakukan lebih dari 3 hari dalam seminggu dan lebih dari 3 jam

seminggu (Junaidi, 2011).

Aktifitas sedang dipengaruhi dari kegiatan yang dilakukan baik

didalam ruangan maupun di luar ruangan, seseorang kurang aktif secara

fisik (yang olahraganya kurang dari tiga kali atau kurang per minggu 30

menit) memiliki hampir 50% resiko terkena stroke dibanding mereka

yang aktif. Berbagai kemudahan hidup yang didapat seperti mencuci

dengan mesin cuci untuk rumah tangga, banyaknya kendaraaan bermotor


35

serta kemajuan teknologi membuat aktifitas seseorang semakin hari

semakin ringan atau mudah, namun dampak dari kemajuan teknologi ini

sesorang dapat menjadi pasif dan cenderung menimbulkan masalah berat

badan dan dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi yang nantinya

memicu terjadinya aterosklerosis bila masalah berat badan tidak

diimbangi dengan olahraga yang cukup (Wahyu, 2009).

Siswanto (2005), dalam penelitiannya menunjukan bahwa resiko

untuk terjadinya stroke berulang pada penderita stroke yang tidak rutin

dalam melakukan aktivitas fisik sebesar 1,77 kali dibandingkan dengan

penderita stroke yang melakukan aktivitas fisik secara rutin.

Terdapat beberapa pengertian dari beberapa ahli mengenai aktivitas

fisik diantaranya menurut (Almatsier, 2013) aktivitas fisik ialah gerakan

fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Aktivitas

fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang

memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada

(kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk

penyakit kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan

kematian secara global (WHO, 2016). Jadi, kesimpulan dari pengertian

aktivitas fisik ialah gerakan tubuh oleh otot tubuh dan sistem

penunjangnya yang memerlukan pengeluaran energi.

Zaman modern seperti sekarang, banyak kegiatan yang dapat

dilakukan dengan cepat dan praktis. Manusiapun cenderung mencari

segala sesuatu yang mudah dan praktis sehingga secara otomatis tubuh
36

tidak bergerak. Selain itu dengan adanya kesibukan yang luar biasa,

manusiapun merasa tidak punya waktu lagi untuk berolahraga.Akibatnya

menjadi kurang gerak dan kurang olahraga. Kondisi inilah yang memicu

kolesterol tinggi dan juga adanya tekanan darah yang terus menguat

sehingga memunculkan hipertensi (Susilo, 2009). Gaya hidup yang tidak

aktif (malas berolah raga) bisa memicu terjadinya hipertensi pada orang-

orang memiliki kepekaan yang diturunkan.

Lakukan minimal 30 menit olahraga sedang untuk kesehatan

jantung, 60 menit untuk mencegah kenaikan berat badan dan 90 menit

untuk menurunkan berat badan ( Nurmalina, 2011). Olah raga aerobik

secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal

untuk kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik,

seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat

menurunkan tekanan darah (Susilo, 2009). Olah raga aerobik secara

teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk

kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti

jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat

menurunkan tekanan darah (Susilo, 2011).

B. Penelitian Terkait

Menurut penelitian Agustina (2015) dengan judul Faktor Risiko Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Usia Produktif (25-54 Tahun)

dengan . Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang

berhubungan dengan hipertensi usia produktif (25-54 tahun) adalah faktor


37

genetik (p value=0,019, OR=4,125), obesitas (p value=0038, OR=3,5),

kebiasaan merokok (p value=0,017, OR=6,0), konsumsi garam (p

value=0,004, OR=5,675), penggunaan minyak jelantah (p value=0,009,

OR=4,929) dan stress psikis (p value=0,002, OR=6,417). Variabel yang tidak

berhubungan adalah aktifitas fisik (p value=0,065), konsumsi alkohol (p

value=0,148), jenis pekerjaan (p value=0,333), pendapatan keluarga (p

value=0,531) lama kerja (p value=0,588). Saran bagi penderita hipertensi usia

produktif (25-54 tahun) di Kedungmundu supaya lebih meningkatkan status

kesehatan dengan lebih teratur memeriksakan kesehatannya, khususnya

tekanan darah. Bagi Puskesmas untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat

tentang hipertensi. Bagi peneliti lain untuk menambah faktor risiko lain yang

berhubungan dengan hipertensi usia produktif

Menurut penelitian Sundari (2015) yang berjudul Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi. Hasil penelitian didapatkan

terdapat tiga faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi, yakni

faktor jenis kelamin dengan p-value 0,04, faktor merokok p-value 0,04 dan

faktor usia p-value 0,01 dimana p-value=0,05sehingga terdapat hubungan

yang bermakna antara faktor jenis kelamin, merokok dan usia dengan

kejadian hipertensi di Desa Karang Anyar. Terdapat tiga faktor yang tidak

berhubungan dengan kejadian hipertensi yakni faktor Berolahraga p-value

0,17, keturunan p-value 0,12, obesitas pvalue 1,93 sehingga tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara faktor olahraga, keturunan dan obesitas

dengan kejadian hipertensi di Desa Karang Anyar. Hasil penelitian


38

disarankan kepada masyarakat untuk menjaga dan mengatur pola hidup sehat,

tidak merokok, aktif berolahraga secara rutin, untuk mencegah terjadinya

komplikasi dan menstabilkan tekanan darah.

Penelitian Sulastri (2012) dengan judul Hubungan Obesitas Dengan

Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Etnik Minangkabau Di Kota Padang.

Hasil penelitian menemukan bahwa lebih dari separuh penderita hipertensi

mengalami obesitas (56,6%) dan obesitas sentral (54,9%) terdapat hubungan

bermakna antara obesitas dengan kejadian hipertensi (p<0,05; OR=1,82) dan

obesitas sentral dengan kejadian hipertensi (p<0,05; OR= 2,72). Uji

Independent sample T-test menunjukkan hasil yang signifikan (p<0,05)

dimana ada perbedaan rata-rata IMT (p= 0,025) antara responden hipertensi

dan tidak hipertensi dan ada perbedaan rata-rata LP (p= 0,002) antara

responden hipertensi dan tidak hipertensi. Hasil penelitian menyimpulkan

bahwa terdapat hubngan antara kejadian obesitas dan obesitas sentral dengan

hipertensi pada masyarakat etnik Minangkabau di kota Padang.

Menurut penelitian Ambasari (2013) berjudul Hubungan Riwayat

Hipertensi pada Keluarga dengan Aktivitas Saraf Otonom. Hasil penelitian

ebanyak 25 orang (56,8%) memiliki riwayat hipertensi pada keluarga dan

mengalami ketidakseimbangan aktivitas saraf otonom, 19 orang (43,2%)

tanpa riwayat hipertensi dimana 10 orang (22,7%) dengan keseimbangan

aktivitas saraf otonom dan 9 orang (20,5%) mengalami ketidakseimbangan

aktivitas saraf otonom. Hasil uji korelasi Fisher menunjukkan hubungan

yang bermakna (p< 0,05) dan uji korelasi Lamdamenunjukkan korelasi positif
39

dengan kekuatan sangat lemah 0,100, ini (p= 0,10). Riwayat hipertensi pada

keluarga berhubungan dengan aktivitas saraf otonom dengan keeratan

hubungan yang sangat lemah.

Penelitian Lestari (2015) yang berjudul Analisis Faktor Risiko

Kebiasaan Mengkonsumsi Garam, Alkohol, Kebiasaan Merokok Dan Minum

Kopi Terhadap Kejadian Dipertensi Pada Nelayan Suku Bajo Di Pulau Tasipi

Kabupaten Muna Barat Tahun 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

secara signifikan semua variabel independen merupaka faktor risiko kejadian

penyakit hipertensi di Pulau Tasipi yaitu kebiasaan mengonsumsi garam nilai

(OR = 5,271; p=0.04), konsumsi alkohol (OR=7,917 ; p=0.00), merokok nilai

(OR = 6,750; p=0.00), dan minum kopi nilai (OR=12,500 ; p=0.00)

Diharapkan kepada masyarakat agar meningkatkan pencegahan dan

penanggulangan hipertensi secara komprehensif dan berkesinambungan agar

terhindar dari penyakit DBD dan dapat meminimalisir risiko penyakit

hipertensi.

Penelitian yang dilakukan oleh Arifin (2016) dengan judul faktor-

faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah kerja UPT Puskesmas

Petang I, Kabupaten Badung tahun 2016. Penelitian ini merupakan studi

analitik dengan desain cross-sectional study dan menggunakan pendekatan

retrospektif. Sampel yang digunakan berjumlah 112 orang yang diambil

secara konsekutif pada posyandu yang di tujuh banjar di desa Petang,

Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Hasil Penelitian terdapat hubungan


40

yang bermakna antara stress (p < 0,0001; RP = 2,043; IK 95%1,184 sampai

2,141) dengan kejadian hipertensi.

C. Kerangka Teori

Kerangka teori yang akan dijadikan dalam penelitian ini adalah faktor yang

berhubunngan dengan kejadian hipertensi. Maka dapat digambarkan kerangka

teori seperti dibawah ini :

faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya hipertensi


secara umum adalah:

1. Keturunan
2. Usia
3. Konsumsi Garam
4. Kolesterol
5. Obesitas (Kegemukan)
6. Stress
7. Rokok
8. Kafein
9. Konsumsi Alkohol
10. Kurang Olahraga (Aktifitas Fisik)
11. Gaya hidup modern
12. Pola makan tidak sehat
13. Ras
14. Jenis kelamin Hipertensi
15. Penyakit ginjal, vaskuler, saraf, kelainan endokrin
16. Obat- obatan
Sari (2017)

Faktor Penyebab Hipertensi

1. Keturunan
2. Usia
3. Garam
4. Kolesterol
5. Obesitas
6. Stres
7. Merokok
8. Kafein
9. Alkohol
10. Kurang Olahraga

Irianto (2015)

Sumber modifikasi : Irianto (2015) dan Susilo (2011), Sari (2017)


41

D. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori diatas, maka kerangka konsep peneliti dapat

dilihat pada gambar berikut :

Gambar
Kerangka Konsep

Obesitas (Kegemukan)

Stress 8)
9) Kejadian Hipertensi

Kebiasaan
10)Merokok

Kafein

I. Hipotesis

Ha:

1. Ada hubungan obesitas dengan kejadian hipertensi usia muda Di Wilayah

Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020

2. Ada hubungan stres dengan kejadian hipertensi usia muda Di Wilayah

Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020

3. Ada hubungan merokok dengan kejadian hipertensi usia muda Di Wilayah

Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020

4. Ada hubungan kafein dengan kejadian hipertensi usia muda Di Wilayah

Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020


42

H0 :

1. Tidak ada hubungan obesitas dengan kejadian hipertensi usia muda Di

Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020

2. Tidak ada hubungan stres dengan kejadian hipertensi usia muda Di

Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020

3. Tidak ada hubungan merokok dengan kejadian hipertensi usia muda Di

Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020

4. Tidak ada hubungan kafein dengan kejadian hipertensi usia muda Di

Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020
43

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kuantitatif adalah metode penelitian yang dapat diartikan sebagai metode

yang berlandaskan pada filsafat positifisme digunakan untuk meneliti pada

populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen

penelitian analisis data bersifat kuantitatif dengan tujuan untuk menguji

hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2016).

B. Tempat dan Waktu

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan Di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota

Bandar Lampung Tahun 2020

2. Waktu Pengambilan Data

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret 2020

C. Rancangan Penelitian

Rancangan atau desain penelitian yang digunakan adalah penelitian

observasional analitik, dengan rancangan atau desain studi kasus kontrol (case

control study) yaitu studi yang mempelajari faktor risiko dengan

menggunakan pendekatan Retrospective yaitu penelitian dimulai dengan

mengidentifikasi kelompok yang terkena penyakit atau faktor efek/status

kesehatan tertentu (kasus) diidentifikasi pada saat ini kemudian kelompok

44
44

tanpa efek/faktor risiko (kontrol) diidentifikasi terjadinya pada saat sebelum

terpapar atau pada waktu yang lalu (Sugiyono, 2016)

Rancangan studi kasus kontrol (case control study) yaitu studi yang

mempelajari faktor resiko dengan menggunakan pendekatan Retrospective

yaitu penelitian dimulai dengan mengidentifikasi kelompok yang terkena

penyakit atau faktor efek/status kesehatan tertentu (kasus) diidentifikasi pada

saat ini kemudian kelompok tanpa efek/faktor resiko (kontrol) diidentifikasi

terjadinya pada saat sebelum terpapar atau pada waktu yang lalu (Sugiyono,

2016).

Rancangan penelitian kasus kontrol ini adalah sebagai berikut:

Factor risiko (+) (kasus)


Retrospektif Efek +
Faktor risiko (-)

Populasi (sampel)

Faktor risiko (+) (kontrol)


Retrospektif Efek
Faktor risiko (-)

Sumber : Rianto (2011)

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat ke

Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung dimana rata–rata

pengunjung dalam satu bulan ke BP umum sebanyak 459 orang, dengan


45

jumlah kasus hipertensi sejumlah 279 kasus hipertensi dan yang berusia

13-18 tahun sejumlah 107 kasus

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti

dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel adalah sebagian yang

diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012). Besar sampel dalam penelitian ini

dihitung dengan menggunakan rumus dari Lemeshow dalam Rianto

(2011):

Tabel. 3.1
Perhitungan besar sampel dari penelitian terdahulu

No Peneliti Tahun P1 P2 Hasil Bagi

1 2017 0.78 0.41 26.47


Elvivin
2 0.67 0.21 12.89
3 Witasari 2018 0.6 0.1 6.91
5 2017 0.93 0.5 18.66
Sundari
6 0.89 0.97 93.17
8 Seran 2016 0.38 0.72 28.03

Berdasarkan penelitian terdahulu maka diperoleh sampel minimal sebesar

93 orang. karena menggunakan rancangan case control maka peneliti

melakukan perbandingan 1:1 sehingga 93 sampel untuk kasus Hipertensi


46

pada usia muda dan 93 dengan kelompok kontrol pada dewasa usia muda

yang datang ke Puskesmas bukan dengan keluhan hipertensi. Sehingga

jumlah sampel pada penelitian ini adalah 186 sampel.

Tabel 3.1
Karakteristik sampel

Kriteria Inklusi Eksklusi


Kasus  Pasien penderita hipertensi esensial Responden dengan
berdasarkan catatan rekam medis keadaaan
 Bersedia menjadi responden kegawatdaruratan
 Berusia 13 tahun – 18 tahun Terdapat gangguan rentan
 Mampu berkomunikasi dengan baik gerak.
(tulisan dan lisan)

Kontrol  Bersedia menjadi responden Responden dengan


 Berusia 13 tahun – 18 tahun keadaaan
 Dengan keluhan bukan hipertensi kegawatdaruratan
saat datang ke puskesmas rawat inap Terdapat gangguan rentan
Tulang Barat gerak.
 Mampu berkomunikasi dengan baik
(tulisan dan lisan)

E. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terdiri dari variabel dependen dan independent.

1. Variabel dependent atau variabel terikat penelitian ini adalah kejadian

hipertensi

2. Variabel independent atau variabel bebas penelitian ini terdiri dari:

kolesterol, obesitas, stress, merokok, olahraga, kafein.


47

F. Definisi Operasional Penelitian

Definisi operasional penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.1
Definsi Operasional
Tabel Definisi Alat Cara Hasil Skala
Operasional Ukur Ukur Ukur
Hipertensi Tekanan darah yang tensi meter Mengkukur 0. Tidak Ordinal
lebih tinggi dari air raksa tekanan hipertensi
normal, dengan darah (sistolik <
menggunakan diastolik dan 140 mmHg,
kriteria JNC/WHO, sistolik diastolik < 90
hipertensi mmHg)
grade : sistolik / 1. Hipertensi
diastolik> 140/90 grade 1
mmHg (sistolik ≥140
mmHg,
diastolik ≥ 90

Kegemukan Suatu kadaan Timbangan Mengukur 0. Tidak obesitas Ordinal


/ obesitas dimana indeks masa BB dan menggunaka jika IMT < 30
tubuh seseorang ≥ Tinggi badan n rumus kg/m2
30kg/m2 IMT 1. Obesitas Jika
IMT ≥ 30kg/m2
Kebiasaan Kebiasaan/ perilaku Kuesioner Mengisi 0. Tidak Nominal
merokok Menghisap rokok kuesioner merokok
dan atau pernah 1. Perokok
merokok dalam (Bustan ,
sehari-hari 2010)
Kafein Keadaan seseorang Kuesioner Wawancara 0: tidak konsumsi ordinal
konsumsi kopi dan kafein jika tidak
masih rutin dalam mengkonsumsi
mengkonsumsi kopi kopi/kafein
hingga sekarang 1: konsumsi
sekurang-kurangnya kafein jika
satu gelas perhari. mengkonsumsi
sekurang-
kurangnya satu
gelas perhari.
Stress Suatukeadaan non Kuesioner Wawancara 0. Tidak stress Ordinal
spesifik yang (apabila skor≤
dialami responden 14
48

Tabel Definisi Alat Cara Hasil Skala


Operasional Ukur Ukur Ukur
Stress Suatukeadaan non Kuesioner Mengisis 0. Tidak stress Ordinal
spesifik yang DASS kuesioner (apabila skor≤
dialami responden DASS 14
akibat tuntutan
1. Stres
emosi,fisik atau
(apabila skor >
lingkungan yang
14)
melebihi daya dan
(Hawari, 2013).
kemampuan
responden untuk
mengatasi dengan
efektif yang
dirasakan selama
satuminggu
terakhir.

G. Alat Ukur

Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

1. Kuesioner

Metode ini berbentuk berupa kumpulan pertanyaan yang disusun secara

sistematis dalam sebuah daftar pertanyaan, kemudian dikirim kepada

responden untuk diisi. Kuesioner merupakan alat pengumpul utama

penelitian ini. Kuesioner digunakan untuk mengambil data identitas

responden, obesitas, stress, kafein, merokok. Kuesioner Stress

menggunakan kuesioner dari DASS dan di gunakan 14 pertanyaan khusus

cemas sesuai panduan DASS. Pada variabel merokok dan kafein akan di

lakukan uji validitas di wilayah Puskesmas Tulang Bawang setelah

proposal di setujui.

2. Dokumentasi

Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data sekunder yang

berkaitan dengan profil Puskesmas Way Halim


49

H. Pengumpulan

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri, dengan mengambil

langsung pada pasien dan merupakan data primer dan skunder. Dalam

penelitian ini, teknik pengumpulan data merupakan faktor penting demi

keberhasilan penelitian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara

mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan apa alat yang digunakan

(Arikunto, 2013)

Peneliti menggunakan teknik wawancara terstruktur dengan menggunakan

kuisioner.

1. Setelah proposal di setujui peneliti melakukan perizinan tempat

penelitian,

2. Tidak lupa peneliti selalu menaati protokol kesehatan saat ini yaitu,

menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak aman.

3. Peneliti menentukan calon responden terlebih dahulu sesuai kriteria

sampel, peneliti menentukan enumerator khusus bidang kesehatan

berjumlah 5 orang , dengan dibantu oleh tim yang telah dilatih terlebih

dahulu (Enumerator).

4. Peneliti melakukan penelitian secara langsung terhadap subjek yang

ditelitinya.

5. Menjelaskan penelitian yang akan dilakukan.

6. Menentukan responden sesuai kriteria inklusi dan ekslusi

7. Meminta persetujuan responden untuk menjadi responden

8. Menjelaskan cara pengisian kuesioner


50

9. Mendampingi responden dalam mengisi dan membaca kuesioner

10. Pengisian kuesioner oleh responden dilakukan tanpa menuliskan

namanya (anonim) dengan tujuan agar diperoleh.

11. Membagikan angket secara langsung kepada responden sampel yang

telah dipilih berdasarkan Jumlah sampel, dengan dibantu oleh tim yang

telah dilatih terlebih dahulu.

12. Memberi waktu kepada responden untuk menjawab lembar angket.

13. Mengumpulkan kembali kuesioner yang telah diisi oleh responden.

I. Pengolahan Data

Setelah hasil wawancara dan kuesioner dikumpulkan, dilakukan pengolahan

data melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Editing

Upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau

dikumpulkan. Dilakukan pada tahap pengumpulan data. Dari hasil

penelitian yang telah dilakukan maka penulis melakukan editing dengan

cara :

a. Mengkoreksi kejelasan pengisian jawaban yang dilakukan oleh

responden, pertanyaan telah terisi semua dan jelas, mudah terbaca

sehingga dapat dimasukkan dalam tabel pegolahan.

b. Mengoreksi kembali pertanyaan yang dibuat bersangkut paut atau

relevan dan konsisten dengan tujuan dari penelitian yang dibuat.

c. Semua data yang sudah dikoreksi kemudian dimasukkan ke tabel

pengolahan.
51

2. Coding

Merupakan kegiatan pemberian kode pada hasil ukur.

3. Processing

Data yang telah dimasukkan diperiksa kembali untuk memastikan bahwa

data telah bersih dari kesalahan, baik pada waktu pengkodean maupun

dalam waktu membaca kode, sehingga siap untuk dianalisa. Data – data

yang telah berbentuk angka kemudian di tabulasi dengan bantuan

program komputer.

4. Cleaning

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry

apakah ada kesalahan atau tidak.

J. Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan masing-masing

variabel yang diteliti (Hastono, 2016). Analisis univariat pada

penelitian ini digunakan untuk menganalisis distribusi frekuensi setiap

variabel, baik variabel bebas maupun variabel terikat yang disajikan

dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

b. Analisis Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel

dapat disajikan dalam bentuk tabel silang atau kurva untuk melihat

hubungan kedua variabel tersebut. Uji statistik yang dipilih tergantung


52

dari skala variabel independen dan dependen yang digunakan (Supardi,

2013). Analisa yang digunakan untuk menguji 2 asosiasi 2 variabel

kategorik digunakan uji statistik yaitu uji Chi Square.

Pada penelitian kesehatan uji signifikan dilakukan dengan

menggunakan batas kemaknaan (alpa)=0,05 dan 95% taraf kesalahan

(Confidence interval) dengan ketentuan bila:

1) P value ≤ 0,05 berarti Ho ditolak (P value  ). Uji statistik

menunjukan adanya hubungan signifikan.

2) P value > 0,05 gagal ditolak (P value > ). Uji statistik

menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan.

Dalam penelitian cross sectional, untuk mengetahui faktor risiko

dari masing-masing variabel independen yang diteliti terhadap

variabel dependen digunakan Prevalen Odd Rasio (POR). Bila

POR < 1 artinya faktor protektif yaitu faktor yang dapat mencegah

terjadinya risiko. Jika POR = 1 artinya faktor yang diteliti bukan

merupakan faktor risiko. POR > 1 artinya faktor yang diteliti

merupakan faktor risiko (Riyanto, 2011).


53

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

1. Analisis Univariat

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kegemukan, Kebiasaan
Merokok, Konsumsi Kafein, Stres dan Hipertensi Usia Muda Di Wilayah
Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020

Karakteristik Jumlah Persentase


Kegemukan:
- Tidak Obesitas 128 68.8
- Obesitas 58 31.2
Kebiasaan Merokok:
- Tidak Merokok 67 36.0
- Merokok 119 64.0
Konsumsi Kafein:
- Tidak Konsumsi kafein 100 53.8
- Konsumsi kafein 86 46.2
Stres:
- Tidak Stres 90 48.4
- Stres 96 51.6
Hipertensi Usia Muda:
- Tidak Hipertensi 93 50.0
- Hipertensi 93 50.0
Jumlah 186 100.0

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 186 responden yang diteliti, sebagian

besar tidak obesitas yaitu sebanyak 128 responden (68,8%), merokok

sebanyak 119 responden (64,0%), tidak konsumsi kafein sebanyak 100

responden (53.8%), mengalami stress sebanyak 96 responden (51.6%), dan

yang mengalami hipertensi usia muda sebanyak 93 responden (50.0%).

53
54

2. Analisis Bivariat

Setelah diketahui karakteristik masing–masing variabel dapat diteruskan

analisis lebih lanjut. apabila diinginkan analisis hubungan antara dua variabel,

maka analisis dilanjutkan pada tingkat bivariat. Untuk mengetahui hubungan

dua variabel tersebut biasanya digunakan pengujian statistik. Jenis uji statistik

yang digunakan sangat tergantung jenis data/variabel yang dihubungkan. Pada

penelitian ini analisis bivariat yang digunakan adalah uji Chi Square karena

kedua variabel merupakan data kategorik. Untuk mengetahui kekuatan antara

faktor risiko dengan kejadian malaria digunakan perhitungan Odds Ratio

(OR).

a. Hubungan Kegemukan Dengan Kejadian Hipertensi Usia Muda

Tabel 4.2
Hubungan Kegemukan Dengan Kejadian Hipertensi Usia Muda Di
Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020

Hipertensi Usia Muda


OR
Tidak P
Kegemukan Hipertensi Total (95%
Hipertensi value
CI)
n % n % n %
Tidak Obesitas 78 60.9 50 39.1 128 100.0 4,47
Obesitas 15 25.9 43 74.1 58 100.0 <0,001 (2,25-
Total 93 50.0 93 50.0 186 100.0 8,87)

Pada tabel 4.2, hasil uji chi square (X²) menunjukkan bahwa ada

hubungan kegemukan dengan kejadian hipertensi usia muda (nilai p value

< 0,001), sementara nilai perhitungan OR didapat hasil OR=4,47 dengan

Confidence Interval (CI) 95%= 2,25-8,87. Hasil ini dapat di

interprestasikan orang obesitas lebih beresiko untuk menderita hipertensi

usia muda 4,47 kali lebih besar dari yang tidak obesitas.
55

b. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Hipertensi Usia


Muda

Tabel 4.3
Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Hipertensi Usia Muda Di
Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020

Hipertensi Usia Muda


OR
Kebiasaan Tidak P
Hipertensi Total (95%
Merokok Hipertensi value
CI)
n % n % n %
Tidak Merokok 48 71.6 19 28.4 67 100.0 4,15
Merokok 45 37.8 74 62.2 119 100.0 <0,001 (2,17-
Total 93 50.0 93 50.0 186 100.0 7,94)

Pada tabel 4.5, hasil uji chi square (X²) menunjukkan bahwa ada

hubungan Kebiasaan Merokok dengan kejadian hipertensi usia muda (nilai

p value < 0,001), sementara nilai perhitungan OR didapat hasil OR=4,15

dengan Confidence Interval (CI) 95%= 2,17-7,94. Hasil ini dapat di

interprestasikan orang yang memiliki kebiasaan merokok lebih beresiko

untuk menderita hipertensi usia muda 4,15 kali lebih besar dari yang tidak

merokok.

c. Hubungan Konsumsi Kafein Dengan Kejadian Hipertensi Usia Muda

Tabel 4.4
Hubungan Konsumsi Kafein Dengan Kejadian Hipertensi Usia Muda Di
Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020

Hipertensi Usia Muda


OR
Tidak P
Konsumsi Kafein Hipertensi Total (95%
Hipertensi value
CI)
n % n % n %
Tidak Konsumsi
65 65.0 35 35.0 100 100.0 3,85
Kafein
<0,001 (2,09-
Konsumsi Kafein 28 32.6 58 67.4 86 100.0
7,08)
Total 93 50.0 93 50.0 186 100.0
56

Pada tabel 4.4, hasil uji chi square (X²) menunjukkan bahwa ada

hubungan Konsumsi Kafein dengan kejadian hipertensi usia muda (nilai p

value < 0,001), sementara nilai perhitungan OR didapat hasil OR= 3,85

dengan Confidence Interval (CI) 95%= 2,09-7,08. Hasil ini dapat di

interprestasikan orang yang memiliki Konsumsi Kafein lebih beresiko

untuk menderita hipertensi usia muda 2,09 kali lebih besar dari yang tidak

konsumsi kafein.

d. Hubungan Stres Dengan Kejadian Hipertensi Usia Muda

Tabel 4.5
Hubungan Stres Dengan Kejadian Hipertensi Usia Muda Di Wilayah Kerja
Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020

Hipertensi Usia Muda


OR
Tidak P
Stres Hipertensi Total (95%
Hipertensi value
CI)
n % n % n %
Tidak Konsumsi
57 63.3 33 36.7 90 100.0 2,88
Kafein
0,001 (1,59-
Konsumsi Kafein 36 37.5 60 62.5 96 100.0
5,22)
Total 93 50.0 93 50.0 186 100.0

Pada tabel 4.5, hasil uji chi square (X²) menunjukkan bahwa ada

hubungan stres dengan kejadian hipertensi usia muda (nilai p value

0,001), sementara nilai perhitungan OR didapat hasil OR= 2,88 dengan

Confidence Interval (CI) 95%= 1,59-5,22. Hasil ini dapat di

interprestasikan orang yang memiliki stres lebih beresiko untuk menderita

hipertensi usia muda 2,88 kali lebih besar dari yang tidak stres.
57

B. Pembahasan

1. Hubungan Kegemukan Dengan Kejadian Hipertensi Usia Muda

Pada tabel 4.2, hasil uji chi square (X²) menunjukkan bahwa ada

hubungan kegemukan dengan kejadian hipertensi usia muda (nilai p value

< 0,001), sementara nilai perhitungan OR didapat hasil OR=4,47 dengan

Confidence Interval (CI) 95%= 2,25-8,87. Hasil ini dapat di

interprestasikan orang obesitas lebih beresiko untuk menderita hipertensi

usia muda 4,47 kali lebih besar dari yang tidak obesitas.

Hal ini sesuai dengan survei yang dilakukan pada populasi

MONICA (Monitoring Trends and Determinant in Cardiovascular) di

Jakarta yang menyebutkan bahwa persentase hipertensi pada individu

obesitas 27,5% jauh lebih tinggi dibandingkan individu dengan berat

badan normal 12,5%.

Studi Framingham menunjukkan hal yang serupa dimana dari 165

responden yang mengalami hipertensi, sebanyak 133 responden

mengalami obesitas. Hal ini berarti hanya 32 orang saja yang tidak

mengalami obesitas. Hasil penelitian Akintunde dkk juga menunjukkan

hal yang sama, dimana dari 816 responden yang mengalami hipertensi

esensial, lebih dari setengahnya (494 orang) mengalami obesitas. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manampiring

AE dkk (2009) pada penduduk di kelurahan Pakowa kecamatan Wanea

kota Manado yang sebagian besar beretnis Minahasa, dimana hasilnya


58

menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status gizi lebih dengan

kejadian hipertensi.

Obesitas merupakan salah satu dari faktor resiko hipertensi.

Seseorang yang memiliki berat badan berlebih atau mengalami obesitas

akan membutuhkan lebih banyak darah untuk menyuplai oksigen dan

makanan ke jaringan tubuhnya, sehingga volume darah yang beredar

melalui pembuluh darah meningkat, curah jantung ikut meningkat dan

akhirnya tekanan darah ikut meningkat. Selain itu kelebihan berat badan

juga meningkatkan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin ini

menyebabkan retensi natrium pada ginjal sehingga tekanan darah ikut

naik.

2. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Hipertensi Usia


Muda

Pada tabel 4.5, hasil uji chi square (X²) menunjukkan bahwa ada

hubungan Kebiasaan Merokok dengan kejadian hipertensi usia muda (nilai

p value < 0,001), sementara nilai perhitungan OR didapat hasil OR=4,15

dengan Confidence Interval (CI) 95%= 2,17-7,94. Hasil ini dapat di

interprestasikan orang yang memiliki kebiasaan merokok lebih beresiko

untuk menderita hipertensi usia muda 4,15 kali lebih besar dari yang tidak

merokok.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Setyanda (2015) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi dengan nilai p (p-


59

value) 0,003. Nikotin yang ada di dalam rokok dapat mempengaruhi

tekanan darah seseorang, dapat melalui pembentukan plak aterosklerosis,

efek langsung nikotin terhadap pelepasan hormon epinefrin dan

norepinefrin, maupun melalui efek CO yang dapat berikatan dengan sel

darah merah (Setyanda, 2015).

Di samping itu, nikotin akan meningkatkan tekanan darah dengan

merangsang pelepasan sistem humoral kimia, yaitu norephinephrin melalui

saraf adrenergik dan meningkatkan katekolamin yang dikeluarkan oleh

medula adrenal. Akibatnya, terjadi perubahan diameter pembuluh darah

(penyempitan pembuluh darah), maka akan terjadi perubahan pada nilai

osmotik dan tekanan hidrostatis di dalam vaskuler dan di ruang-ruang

interstisial di luar pembuluh darah. Tekanan hidrostatis dalam vaskuler

akan meningkat, sehingga tekanan darah juga akan meningkat (Tawbariah

et al, 2014).

Zat-zat kimia dalam rokok dapat merusak lapisan dinding arteri

berupa plak yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri yang

dapat meningkatkan tekanan darah. Nikotin meningkatkan hormon

epinefrin yang bisa meningkatkan terjadinya penyempitan pembuluh darah

arteri. (Aggie & Herbert, 2012). Karbon monoksida bersifat toksik yang

bertentangan dengan oksigen dalam transpor maupun penggunaanya.

Karbon monoksida juga dapat menimbulkan desaturasi hemoglobin,

menurunkan langsung peredaran oksigen desaturasi hemoglobin,


60

mengganggu pelepasan oksigen dan mempercepat arterosklerosis

(pengapuran dan penebalan pembuluh darah) (Dwiputra, 2014

3. Hubungan Konsumsi Kafein Dengan Kejadian Hipertensi Usia Muda

Pada tabel 4.4, hasil uji chi square (X²) menunjukkan bahwa ada

hubungan Konsumsi Kafein dengan kejadian hipertensi usia muda (nilai p

value < 0,001), sementara nilai perhitungan OR didapat hasil OR= 3,85

dengan Confidence Interval (CI) 95%= 2,09-7,08. Hasil ini dapat di

interprestasikan orang yang memiliki Konsumsi Kafein lebih beresiko

untuk menderita hipertensi usia muda 2,09 kali lebih besar dari yang tidak

konsumsi kafein.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martiani (2012)

kebiasaan minum kopi >4 cangkir perhari dapat mentoleransi efek kafein

pada kopi, sehingga tidak mengakibatkan peningkatan tekanan darah.

Paparan kafein pada kopi secara hemodinamik dan hormonal yang terjadi

terus menerus dapat ditoleransi oleh tubuh yang memiliki regulasi hormon

kompleks yang bertugas menjaga tekanan darah tetap stabil.

Kopi mengandung kalium dan polifenol yang dapat menurunkan

tekanan darah, selain memiliki kandungan yang dapat meningkatkan

tekanan darah. Kopi instan merupakan kopi yang dikonsumsi oleh

responden. Polifenol (antioksidan) terkandung dalam Kopi instan yang

terdapat serat larut air yang tinggi. Polifenol menghambat terjadinya

atherogenesis dan memperbaiki fungsi vaskuler. Selain polifenol,


61

kandungan yang cukup tinggi dalam kopi diketahui adalah kalium. Kalium

menghambat pelepasan renin yang berfungsi menurunkan tekanan darah

sistolik dan diastolik sehingga terjadi peningkatan eksresi air dan natrium.

Pelepasan renin tersebut menyebabkan terjadinya penurunan curah

jantung, tekanan perifer dan volume plasma, sehingga tekanan darah akan

turun (Indriyani, 2009).

Polifenol dan kalium dapat menyeimbangkan efek kafein. Adapun

upaya individu dalam mengurangi kebiasaan minum kopi yaitu dengan

berolahraga secara teratur dan menggantikan kebiasaan minum kopi

dengan minuman lain. Jika kebiasaan minum kopi terus dilakukan tidak

menutup kemungkinan maka akan memicu terjadinya hipertensi atau

peningkatan tekanan darah dikarenakan salah satu zat dari kopi dapat

memicu peningakatan tekanan darah dalam tubuh yaitu kafein. Kafein

dapat membuat tekanan darah meningkat dan jantung berdebar (Purnomo,

2009).

4. Hubungan Stres Dengan Kejadian Hipertensi Usia Muda

Pada tabel 4.5, hasil uji chi square (X²) menunjukkan bahwa ada

hubungan stres dengan kejadian hipertensi usia muda (nilai p value

0,001), sementara nilai perhitungan OR didapat hasil OR= 2,88 dengan

Confidence Interval (CI) 95%= 1,59-5,22. Hasil ini dapat di

interprestasikan orang yang memiliki stres lebih beresiko untuk menderita

hipertensi usia muda 2,88 kali lebih besar dari yang tidak stres.
62

Stres merupakan reaksi tubuh dan psikis terhadap tuntutan-tuntutan

lingkungan kepada seseorang. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres dengan kejadian

hipertensi pada penderita hipertensi. Hasil penelitian ini mendukung

penelitian Khotimah (2013) mengenai stres sebagai faktor terjadinya

peningkatan tekanan darah yang menunjukkan hubungan yang signifikan

antara stres dengan peningkatan tekanan darah.

Hasil yang sama diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Fajar

Hermawan (2014) tentang hubungan tingkat stres dengan tekanan darah

pada lansia hipertensi di Gamping Sleman Yogyakarta, yang

menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat stres dengan tekanan

darah. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Deasy Eka Saputri tentang

hubungan stres dengan hipertensi pada penduduk indonesia tahun 2007

juga menunjukkan adanya hubungan antara stres dengan hipertensi.

Berdasarkan analisa dari uraian di atas dapat diartikan bahwa

semakin tinggi tingkat stres yang dialami oleh seseorang maka hipertensi

yang dialaminyapun akan semakin tinggi pula, sebaliknya semakin ringan

tingkat stres yang dialami oleh seseorang maka semakin ringan pula

hipertensi yang dialaminya.Mengacu pada hasil penelitian yang telah

dilakukan dapat disimpulkan bahwa perlu adanya upaya untuk mencegah

terjadinya tingkat stres yang lebih berat sehingga penderita hipertensi tidak

mengalami hipertensi yang lebih berat dan tidak mengalami komplikasi

seperti penyakit stroke, jantung, dan lain sebagainya. Pencegahan tersebut


63

bisa dilakukan oleh petugas kesehatan dengan melakukan pendidikan

kesehatan bagaimana manajemen stres dan koping stres yang baik,

sehingga penderita hipertensi dapat mempraktikannya dalam kehidupan

sehari-hari.

Dengan demikian, peneliti berasumsi bahwa tingkat stres dan

hipertensi merupakan bentuk sikap atau perilaku individu yang saling

berkaitan karena apabila individu dapat menghadapi stresnya secara baik

maka kesehatan akan terjaga tetapi sebaliknya apabila individu tersebut

tidak dapat menghadapi stresnya dan berlangsung berkepanjangan maka

akan menimbulkan masalah kesehatan


64

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Dari 186 responden yang diteliti, sebagian besar tidak obesitas yaitu

sebanyak 128 responden (68,8%), merokok sebanyak 119 responden

(64,0%), tidak konsumsi kafein sebanyak 100 responden (53.8%),

mengalami stress sebanyak 96 responden (51.6%), dan yang mengalami

hipertensi usia muda sebanyak 93 responden (50.0%).

2. Ada hubungan obesitas dengan kejadian hipertensi usia muda Di Wilayah

Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020 (p value

< 0,001)

3. Ada hubungan stres dengan kejadian hipertensi usia muda Di Wilayah

Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020 (p value

< 0,001)

4. Ada hubungan merokok dengan kejadian hipertensi usia muda Di Wilayah

Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020 (p value

< 0,001)

5. Ada hubungan kafein dengan kejadian hipertensi usia muda Di Wilayah

Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2020 (p value

0,001)

64
65

B. Saran

Puskesmas disarankan dapat memberikan kegiatan serta informasi lebih

mengenai faktor risiko kejadian hipertensi melalui edukasi seperti

memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya

hipertensi atau penyakit tidak menular serta memiliki kesadaran untuk

mengubah gaya hidup dan pola hidup yang lebih sehat lagi agar tidak

terjadinya komplikasi, seperti melakukan aktifitas fisik sedang atau olahraga

teratur minimal 30 menit, dan menjaga berat badan


66

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2013). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan Kesembilan.Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Ambasari, R. P., & Sarosa, H. (2013). Hubungan Riwayat Hipertensi pada Keluarga dengan
Aktivitas Saraf Otonom Relationship between Family History of Hypertention and
Autonomic Nervous System Activity. Sains Medika, 5(1), 8-10.

Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

Arisman, MB. (2012). Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakrta:EGC

Asdie, A. H., Wiyono, P., Rahardjo, P., Triwibowo, M. S., & Danawati, W. (2012). Harrison
prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, edisi ke-13. Jakarta: EGC. hlm, 1638-63.

Bustan M.N. (2007). Epidemologi Penyakit Tidak Menular. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Departemen Kesehatan, RI. (2006). Pedoman Teknis Penemuan Dan Tatalaksana Penyakit
Hipertensi. Diakses di http://www.depkes.go.id/index.php /berita/press-release/1909-
masalah-hipertensi-stroke-di-indonesia.html

Dinkes Provinsi Lampung. (2019). Profil Kesehatan Lampung. Dinas Kesehatan Provinsi
Lampung.

Hurlock, E.B. 2011. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


Kehidupan. Alih bahasa: Istiwidayati & Soedjarwo. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Hastono. (2016). Analisis Data Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UI.

Hawari, Dadang. (2013). Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta. FKUI

Hidayat, A.A.Alimul. (2009). Kebutuhan Dasar Manusia. Salemba Medika. Jakarta.

Irianto, Koes, (2015). Memahami Berbagai Macam Penyakit: Penyebab, Gejala,. Penularan,
Pengobatan, Pemulihan dan Pencegahan. Bandung: CV. Alfabeta.
Junaidi, Said. 2011. Pembinaan Fisik Lansia melalui Aktivitas Olahraga Jalan Kaki. Jurnal
Media Ilmu Keolahragaan Indonesia. Volume 1. Edisi 1. Juli 2011. ISSN: 2088-6802.

Kapojos. (2009). Hubungan obesitas dengan hipertensi. http://INASH.org.com /2012/02 /

Kasjono. (2009). Teknik Sampling untuk Penelitian Kesehatan, Edisi Pertama, Graha Ilmu,
Yogyakarta.

Kemenkes. (2015). Hipertensi. The Silent Killer. Pusat Data dan Informasi - Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2015.
67

Kemenkes. (2016). Pedoman Umum Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga.
2016.

Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2019. Jakarta : Kemenkes. RI; 2020.

Lestari, H., Elvivin, E., & Ibrahim, K. (2017). Analisis Faktor Risiko Kebiasaan
Mengkonsumsi Garam, Alkohol, kebiasaan Merokok dan Minum Kopi terhadap
Kejadian Dipertensi pada Nelayan Suku Bajo di Pulau Tasipi Kabupaten Muna
Barat Tahun 2015. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, 1(3).

Lovibond dan Lovibond, P.F. (1995). Manual for the Depression Anxiety & Stress Scale
shttps://www.google.com/url

Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. P.T Rineka Cipta. Jakarta.

Riskesdas. (2018). Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan


RI Tahun 2013 . Kemenkes.

Riskesdas Final Lampung (2018). Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan


Kementerian Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2018 . Kemenkes

Santrock, John W. 2012. Life-span Development. 13 th Edition. University of Texas, Dallas :


Mc Graw-Hill

Sugiharto. (2007). Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II Pada Masyarakat (Studi Kasus
di Kabupaten Karanganyar). Program Studi Magister Epidemiologi Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Sugiyono. (2016). Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Penerbit ALFABETA.
Bandung

Sulastri, D., Elmatris, E., & Ramadhani, R. (2012). Hubungan obesitas dengan kejadian
hipertensi pada masyarakat etnik minangkabau di kota padang. Majalah Kedokteran
Andalas, 36(2), 188-201.

Suparto. (2010). Hubungan Faktor Risiko Penyakit Hipertensi pada Masyarakat di


Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar. [Thesis]. Surakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Susilo, Yekti dan Ari Wulandari. (2011). Cara jitu mengatasi Hipertensi. Andi: Yogyakarta

Udjianti, Wajan. (2011). Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika


68

INSTRUMENT PENELITIAN

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI DI


WILAYAH KERJA PUSKESMAS WAY HALIM
KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2020

I. Identitas Responden
a. Kode responden : ...............................................................
b. Umur : ...............................................................
c. Jenis kelamin : ...............................................................
d. Pendidikan : ...............................................................
e. Pekerjaan : ...............................................................
f. Diagnosa : ...............................................................

Hipertensi

Berat badan :.............................

Tinggi badan :.............................

IMT :.............................

Kategori : ............................
69

Petunjuk Pengisian:
Isilah jawaban dengan (√) pada kolom yang sesuai menurut saudara
Merokok
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah saudara merokok?
2 Apakah anda harus merokok setiap saat ?
3 Apakah anda merokok pada saat tertentu saja (saat sedang
mengendarai mobil/kumpul bersama teman-teman)?
4 Apakah anda merokok 10 batang perhari
5 Apakah anda merokok 10-20 batang perhari
6 Apakah anda merokok lebih dari 20 batang perhari
7 Apakah anda Menghisap rokok melewati tenggorokan (isap
dalam)
8 Apakah anda merokok lebih dari 1 tahun
9 Apakah merasa lemas, tidak bergairah saat tidak merokok ?
70

Petunjuk Pengisian:
Isilah jawaban dengan (√) pada kolom yang sesuai menurut saudara
Kafein
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah anda suka mengkonsumsi kopi ?
2 Apakah anda mengkonsumsi kopi asli tanpa tambahan
susu/ crem
3 Apakah anda mengkonsumsi kopi dengan tambahan
susu/creamer
4 Apakah anda mengkonsumsi kopi dengan tambahan gula
banyak (manis)
6 Apakah anda mengkonsumsi kopi sebelum sarapan /
makan setiap hari ?
7 Apakah anda mengkonsumsi kopi saat anda mengantuk
saja ?
8 Apakah anda mengkonsumsi kopi hingga menghabiskan
butiran kopi pada gelas?
9 Berapa gelas sehari anda mengkonsumsi Kopi ?
10 Apakah anda suka mengkonsumsi teh ?
11 Berapa gelas anda mengkonsumsi teh sehari ?
12 Apakah anda suka mengkonsumsi cola/ soft drink ?
13 Berapa gelas anda mengkonsumsi cola/ soft drink sehari ?
71

TES DASS (Kuesioner Stres)


Petunjuk Pengisian
Terdapat empat pilihan jawaban yang disediakan dengan cara memberi tanda silang (X)
pada salah satu kolom yang paling sesuai yaitu:
0 : Tidak sesuai dengan saya sama sekali, atau tidak pernah.
1 : Sesuai dengan saya sampai tingkat tertentu, atau kadang kadang.
2 : Sesuai dengan saya sampai batas yang dapat dipertimbangkan, atau lumayan sering.
3 : Sangat sesuai dengan saya, atau sering sekali.

No. Aspek Penilaian 0 1 2 3


1 Menjadi marah karena hal-hal kecil/sepele
2 Cenderung bereaksi berlebihan pada situasi
3 Kesulitan untuk relaksasi/bersantai
4 Mudah merasa kesal
5 Merasa banyak menghabiskan energi karena cemas
6 Tidak sabaran
7 Mudah tersinggung
8 Sulit untuk beristirahat
9 Mudah marah
10 Kesulitan untuk tenang setelah sesuatu yang
mengganggu
11 Sulit mentoleransi gangguan-gangguan terhadap hal
yang sedang dilakukan
12 Berada pada keadaan tegang
Tidak dapat memaklumi hal apapun yang
13 menghalangi anda untuk menyelesaikan hal yang
sedang Anda lakukan
14 Mudah gelisah

Skor : ........................................

Anda mungkin juga menyukai