Anda di halaman 1dari 64

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH AIR REBUSAN DAUN KERSEN TERHADAP PENURUNAN


KADAR GULA DARAH PADA LANSIA PENDERITA DIABETES
MELITUS

Diajukan Oleh:
YENI CHARIA
17100002

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
CITRA DELIMA BANGKA BELITUNG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998

tentang kesejahteraan lanjut usia (lansia), yang dimaksud dengan lansia adalah

individu yang telah mencapai usia 60 tahun keatas (Aprilla, dkk, 2019).

Manusia secara alamiah akan mengalami proses penuaan atau menjadi tua.

Lansia adalah salah satu bagian dari proses tumbuh kembang manusia. Lansia

didefinisikan berdasarkan karakteristik sosial masyarakat, dimana orang yang

sudah lansia memiliki ciri-ciri rambut beruban, kerutan kulit dan hilangnya

gigi (Kusumawardani dan Andanawarih, 2018).

Jumlah lansia diseluruh dunia diperkirakan ada sekitar 500 juta jiwa

dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 meningkat

mencapai 1,2 milyar jiwa (Padila, 2013 dalam Sengkey, dkk, 2017). Menurut

world Health Organization (WHO) 2020 di dunia jumlah lansia pada tahun

2015 ada 12,3% jiwa, tahun 2020 ada 13,55% jiwa, tahun 2025 ada 14,9%

jiwa, tahun 2030 ada 16,4% jiwa.

Perkembangan proporsi penduduk lansia di Indonesia mengalami

peningkatan dari tahun 1980 sampai tahun 2020. Sejak tahun 2000, presentasi

penduduk lansia di Indonesia sudah melebihi 7% sehingga Indonesia mulai

masuk dalam kelompok Negara berstruktur tua. Hasil data dari Badan Pusat

Statistik RI, penduduk lansia di Indonesia tahun 2019 mencapai 9,60% atau
sekitar 25,64 juta jiwa, serta didominasi oleh lansia muda (60-69 tahun)

dengan jumlah 63,82%, lansia madya (70-79 tahun) dengan jumlah 27,68%

dan lansia tua (80 tahun ke atas) dengan jumlah 8,50% dan pada tahun 2020

jumlah penduduk lansi mencapai 28,7 juta orang. Sehingga diproyeksikan

jumlah penduduk lansia di Indonesia mencapai 301 juta orang pada tahun

2035 (Badan Pusat Statistik RI, 2020).

Saat individu sudah memasuki proses penuaan maka akan mengalami

masalah kesehatan antara lain kelemahan dan kemunduran fisik, kognitif,

mental dan sosial yang bisa menyebabkan lansia lebih beresiko dan rentan

terhadap suatu penyakit (Andri et, al., 2019 dalam Fitriana dan Salviana,

2021). Seiring dengan bertambahnya usia, fungsi fisiologis juga mengalami

penurunan akibat proses penuaan sehingga banyak penyakit degenerative yang

muncul. Penyakit degenerative yang dominan diderita lansia ketika memasuki

proses penuaan diantaranya hipertensi, artritis, stroke, penyakit paru, kanker,

penyakit jantung koroner, batu ginjal, gagal ginjal, gagal jantung dan diabetes

melitus (Misnaniarti, 2017).

Permasalahan kesehatan pada lansia ini terjadi karena adanya proses

menua yang menyebabkan banyak perubahan pada tubuh lansia seperti

perubahan psikologis, sosial dan penurunan fungsional tubuh. Akibat

penurunan kapasitas fungsional ini lansia umumnya tidak berespons terhadap

berbagai rangsangan seperti yang dapat dilakukan pada orang yang lebih

muda. Penurunan kapasitas untuk merespon rangsangan menyebabkan lansia

sulit untuk memelihara homeostasis tubuh. Gangguan terhadap homeostasis


ini menyebabkan disfungsi berbagai sistem organ dan meningkatkan

kerentanan lansia terhadap berbagai penyakit. Salah satu homeostasis yang

terganggu yaitu sistem pengaturan kadar glukosa darah. Terganggunya sistem

pengaturan kadar glukosa darah mengakibatkan peningkatan glukosa darah

lebih dari normal. Glukosa darah meningkat seiring dengan bertambahnya

usia. Seiring dengan proses penuaan semakin banyak lansia yang beresiko

terhadap terjadinya diabetes melitus (Reswan, dkk, 2017).

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2019 Diabetes melitus

pada lansia terjadi karena faktor usia yang menyebabkan penurunan sel fungsi

pankreas dan sekresi insulin. Hal ini terjadi pada lansia karena kurangnya

masa otot dan perubahan vaskuler, obesitas, kurangnya aktifitas fisik,

konsumsi obat yang bermacam-macam, faktor genetik, riwayat penyakit lain

dan sering menderita stress. International Diabetes Federation (IDF) 2019,

menjelaskan bahwa diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis

paling umum didunia, terjadi ketika produksi insulin pada pankreas tidak

mencukupi atau pada saat insulin tidak dapat digunakan secara efektif oleh

tubuh.

Jumlah penderita diabetes melitus tipe I sebanyak 5-10% dan diabetes

melitus tipe II sebanyak 90-95 % dari penderita diseluruh dunia (ADA, 2020).

Diabetes melitus sebagai permasalahan global terus meningkat prevalensinya

dari tahun ke tahun baik di dunia maupun di Indonesia. Berdasarkan data IDF

prevalensi diabetes melitus secara global tahun 2019 diperkirakan 9,3%

sebanyak 463 juta orang, naik menjadi 10,2% sebanyak 578 juta orang pada
tahun 2030 dan 10,9% sebanyak 700 juta orang pada tahun 2045 (IDF, 2019

dalamWidiastuti, 2020).

Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

tahun 2018 jumlah penderita diabetes melitus sebanyak 34.990 orang, yang

mendapatkan pelayanan kesehatan sebanyak 32.932. Pada tahun 2019

mengalami penurunan, dimana jumlah penderita diabetes melitus sebanyak

25.998 orang dan yang mendapatkan pelayanan kesehatan sebanyak 25.605

orang (98,5%). Kemudian dilihat dari Data penyakit diabetes melitus di

Puskesmas Kenanga mengalami peningkatan dari tahun 2019 sebanyak 423

jiwa (55,80%) dan yang mengalami diabetes melitus, pada tahun 2020

sebanyak 560 jiwa (89,46%).

Diabetes melitus akan menimbulkan beberapa dampak yang dapat

membahayakan lansia. Keadaan yang termasuk dalam komplikasi akut

diabetes melitus pada lansia adalah ketoasidosis diabetic (KAD) dan status

hiperglikemi hyperosmolar (SHH) yang dapat menyebabkan kondisi koma.

Adapun komplikasi kronik penyakit diabetes melitus dapat menyebabkan

kerusakan pada pembuluh darah baik pembuluh darah besar (makroangiopati)

maupun pembuluh darah kecil (mikroangiopati) dan kerusakan saraf

(neuropati diabetic) (Marinda, dkk, 2016).

Penatalaksanaan dan pengolahan diabetes melitus dititik beratkan pada

empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus, yaitu: edukasi, terapi gizi medis

latihan jasmani dan intervensi farmakologis (Marinda, dkk, 2016). Pengobatan

diabetes melitus meliputi terapi farmakologis seperti antihiperglikemik oral


atau injeksi insulin untuk mengontrol kadar gula darah dan terapi nutrisi medis

seperti modifikasi gaya hidup dan latihan jasmani yang rutin. Obat-obat

antihiperglikemik oral, umumnya bekerja dengan dua mekanisme, dengan

meningkatkan sekresi insulin, dan meningkatkan sensitasi insulin. Obat-obat

antihiperglikemik oral memiliki beberapa mekanisme, seperti peningkatan

aktivasi AMP activated protein kinase (metformin), agonis peroxisome

proliferator activated receptor gamma (PPAR-Gamma) (rosiglitazone,

pioglitazone), dan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin

yang tersimpan (glibenklamid dan golongan sulfonylurea lainnya). Serta

memperlambat pembentukkan monosakarida intraluminal dengan

menghambat enzim alpha glukosidase (acarbose) (Damara dan Sukohar, 2018)

Penatalaksanaan diabetes melitus yang masih cukup mahal, dan cukup

besarnya efek samping yang ditimbulkan, mendorong dilakukannya banyak

penelitian terkait menurunkan kadar gula darah dari tanaman herbal sebagai

pengobatan non farmakologi penyakit diabetes melitus, yang diharapkan dapat

membuat terapi hiperglikemia dapat menjadi lebih terjangkau, dengan efek

samping yang lebih minimal. Salah satunya adalah penelitian mengenai efek

daun kersen (Muntingia Calabua L.) sebagai antidiabetik. Daun tanaman

kersen dipilih karena berkaitan dengan mudahnya tanaman ini ditemukan dan

senyawa aktif yang terkandung didalamnya (Damara dan Sukohar, 2018).

Daun kersen merupakan tanaman yang tersebar dibelahan dunia dengan

iklim tropis. Tanaman ini menyebar diseluruh Indonesia dan dibelahan Asia

Tenggara lainnya, cukup sering ditanam sebagai tanaman rumah dan tanaman
peneduh jalan raya. Tanaman kersen mengandung berbagai senyawa

flavonoid, tannin dan chalcone. Hasil riset mengatakan daun kersen

mengandung berbagai senyawa flavonoid yang berpotensi untuk dijadikan

berbagai macam jenis obat, seperti antidiabetik, anti-inflamasi, antikanker, dan

antipiretik (Damara dan Sukohar, 2018).

Daun kersen memiliki antigen diabetik yang dapat membantu melepaskan

metabolisme glukosa darah bagi pasien diabetes salah satunya, dengan cara

mengkonsumsi air dari rebusan daun kersen (Program et., al 2016 dalam

Purwandari dan Suryaningsih, 2021). Beberapa senyawa kimia, yang

terkandung didalam daun kersen antara lain tripenoid, karbohidrat, protein,

polifenol, flavonoid, asam askorbat, dan klorofil. Daun kersen juga

mengandung kelompok senyawa yang menunjukkan aktivitas antioksidan.

Antioksidan tersebut digunakan untuk melindungi sel hati dari kerusakan yang

diakibatkan radikal bebas. Secara kualitatif diketahui bahwa senyawa yang

dominan dalam daun kersen adalah flavonoid (Andalia, 2017 dalam

Purwandari dan Suryaningsih, 2021).

Berdasarkan penelitian Reski dkk (2020) tentang “Pengaruh Pemberian

Rebusan Daun Kersen Terhadap Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Melitus

Tipe II Di Klinik Pratama Alifa” membuktikan bahwa adanya pengaruh

pemberian rebusan daun kersen terhadap penurunan kadar gula darah (p=

0,009). Penelitian lain, yang dilakukan oleh Zakiah dan Rosanti (2020)

tentang “Pengaruh Air Rebusan Daun Kersen Terhadap Kadar Gula Darah

Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Tanjungpinang Kota” ini


membuktikan (p= 0,003). Kedua penelitian tersebut sejalan dengan Penelitian

oleh Norma dan Nur Hadrayanti tentang “Pengaruh Rebusan Daun Kersen

Terhadap Penurunan Gula Darah Sewaktu Pada Klien Diabetes Melitus Tipe

II Di Wilayah Kerja Puskesmas Klasaman Kota Sorong tahun 2018”, hasil

dari penelitian ini menunjukkan uji T berpasangan dengan nilai (p=0,000)

berarti adanya pengaruh rebusan daun kersen terhadap penurunan kadar gula

darah sewaktu.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang pengaruh air rebusan daun kersen terhadap penurunan kadar

gula darah pada lansia penderita diabetes melitus di Wilayah Desa Kenanga.

beberapa teori menjelaskan daun kersen memiliki kandungan yang efektif

dalam menurunkan kadar glukosa darah dan hal ini didukung oleh beberapa

penelitian dan publikasi sebelumnya.

B. Rumusan Masalah

Data dari Puskesmas Kenanga, jumlah lansia yang menderita diabetes

melitus mengalami peningkatan dari tahun 2019 sampai tahun 2020. Pada

tahun 2020 terdapat kasus lansia yang mengalami diabetes melitus sebanyak

560 jiwa (89,46%). Pengobatan dengan menggunakan tanaman herbal menjadi

salah satu alternatif pengobatan non farmakologi bagi penderita DM. Tanaman

herbal yang mengandung senyawa antioksidan dan antihiperglikemik seperti

daun kersen antaralain flavonoid, tannin, tripenoid, dan asam askorbat yang

dapat membantu menurunkan kadar glukosa darah. Oleh karena itu, rumusan

masalah dalam penelitian ini, yaitu “Apakah ada pengaruh konsumsi air
rebusan daun kersen terhadap penurunan kadar gula darah pada lansia

penderita diabetes melitus di Desa Kenanga?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh konsumsi air rebusan daun kersen

terhadap penurunan kadar gula darah pada lansia penderita diabetes melitus

di Desa Kenanga tahun 2021.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui rata-rata kadar gula darah lansia penderita diabetes

melitus sebelum mengkonsumsi air rebusan daun kersen di Desa

Kenanga.

b. Untuk mengetahui rata-rata kadar gula darah lansia penderita diabetes

melitus sesudah mengkonsumsi air rebusan daun kersen di Desa

Kenanga.

c. Untuk mengetahui pengaruh konsumsi air rebusan daun kersen terhadap

kadar gula darah lansia penderita diabetes melitus di Desa Kenanga.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Untuk menambah ilmu pengetahuan dibidang penelitian, menerapkan

ilmu pengetahuan yang telah didapat selama mengikuti pendidikan

terutama dalam ilmu metedologi penelitian khususnya tentang pengaruh air

rebusan daun kersen terhadap penurunan kadar gula darah pada lansia
penderita diabetes melitus dan sebagai landasan untuk diterapkan

dilapangan kerja.

2. Bagi Tempat penelitian

Hasil penelitian dapat menambah wawasan masyarakat mengenai

manfaat air rebusan daun kersen untuk menurunkan kadar gula darah serta

mengaplikasikannya kepada lansia penderita diabetes melitus.

3. Bagi Stikes Citra Delima Bangka Belitung

Memberikan gambaran dan informasi pada mahasiswa mengenai

kondisi masyarakat, khususnya lansia. Menambahkan refrensi perpustakaan

dan sumber bacaan tentang pengaruh air rebusan daun kersen terhadap

penurunan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus bagi

mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Citra Delima Bangka Belitung khususnya dan mahasiswa kesehatan pada

umumnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lansia (Lanjut Usia)

1. Pengertian

Lansia adalah tahap terakhir dari proses pertumbuhan seorang

manusia. Pada lansia terjadi perubahan fisik secara biologis, emosional

maupun psikososial yang berpotensi memunculkan masalah kesehatan,

dimana salah satunya adalah terjadi kecemasan (Rindayanti, dkk, 2020).

Tahap lansia merupakan tahap terjadinya penuaan dan penurunan, yang

lebih jelas daripada tahap usia baya. Pada usia lanjut, terjadi penurunan

kemampuan fisik aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan,

dan mereka cenderung kehilangan semangat (Fitriani, 2016). Lansia

merupakan masa dimana orang akan mengalami pada akhirnya nanti

(Trisnanto, 2016 dalam Sakinah, dkk, 2020).

2. Batasan-batasan Lanjut Usia

Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda-beda, umumnya

berkisar antara 60-65 tahun. Beberapa pendapat para ahli mengenai batasan

usia yaitu sebagai berikut:

a. Undang-undang No 13 tahun 1998 dalam bab 1 pasal 1 ayat 2 yang

berbunyi “ lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke

atas”.

b. World Health Organization (WHO), lansia di bagi menjadi 4 kriteria

yaitu: usia pertengahan (middle age) dari umur 45-59 tahun, usia lanjut
(elderly) dari umur 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) dari umur 75-90

tahun dan usia sangat tua (very old) ialah umur di atas 90 tahun.

c. Menurut Dra. Ny. Jos Masdani, Psikolog dari Universitas Indonesia

kedewasaan dibagi empat bagian yaitu fase iuventus (usia 25-40 tahun),

fase verilitas (usia 40-50 tahun), fase prasenium (usia 55-65 tahun), fase

senium (usia 65 tahun hingga tutup usia).

d. Menurut Prof. DR. Koesoemanto Setyonegoro, Sp.Kj., batasan usia

dewasa sampai lanjut usia dikelompokkan menjadi: usia dewasa muda

(elderly adulthood) usia 18/29-25 tahun, usia dewasa penuh (middle

years) atau maturitas usia 25-60 tahun, lanjut usia (geriatric age) usia >

65/70 tahun, terbagi atas: young old (usia 70-75 tahun), old ( usia 75-80

tahun), very old (usia >80 tahun).

e. Menurut Bee (1996), bahwa tahapan dewasa adalah sebagai berikut: masa

dewasa muda (usia 18-25 tahun), masa dewasa awal (usia 25 -40 tahun),

masa dewasa tengah (usia 40-65 tahun), masa dewasa lanjut (usia 65-75

tahun), masa dewasa sangat lanjut (usia>75 tahun).

f. Menurut Hurlock (1979), perbedaan lanjut usia ada dua tahap: early old

age (usia 60-70 tahun), advanced old age (usia >70 tahun).

g. Menurut Burnsie (1979), ada empat tahap lanjut usia yaitu: young old

(usia 60-69 tahun), middle age old (usia 70-79 tahun), old-old (usia 80-89

tahun), very old-old (usia >90 tahun).


h. Menurut sumber lain, mengemukakan: elderly (usia 60-65 tahun), junior

old age (usia >65-75 tahun), formal old age (usia >75-90 tahun),

longevity old age (usia >90-120 tahun).

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

kehidupan manusia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat 2, 3 ,4 undang-undang

No. 13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah

seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008

dalam Sunaryo dkk, 2015).

3. Proses Penuaan

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-

lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat

bertahan terhadap lesion atau luka (infeksi) dan memperbaiki kerusakan

yang diderita. Hal ini dikarenakan fisik lansia dapat menghambat atau

memperlambat kemunduran fungsi tubuh tersebut dapat menyebabkan

kehilangan daya tahan tubuh terhadap infeksi salah satunya adalah

penurunan masa otot dan susunan saraf. Banyak perubahan dan masalah

terjadi pada lansia seiring dengan proses penuaan, seperti penurunan fungsi

biologis, psikologis, sosial, ataupun ekonomi (Friska, dkk, 2020). Penuaan

adalah terjadi akumulasi perubahan pada manusia dari waktu kewaktu yang

meliputi perubahan biologis, psikologis dan sosial yang berkorelasi terhadap

penurunan daya tahan tubuh dan terjadinya penyakit (Kar, 2019 dalam

Rindayanti, dkk, 2020).


Menurut (Maryam dkk, 2008 dalam Sunaryo dkk, 2015) terdapat

beberapa teori penuaan (aging process) yaitu:

a. Teori Biologis

Teori Biologis berfokus pada proses fisiologi dalam kehidupan

seseorang dari lahir sampai meninggal dunia, perubahan yang terjadi pada

tubuh dapat dipengaruhi oleh faktor luar yang bersifat patologi. Proses

menua merupakan terjadinya perubahan struktur dan fungsi tubuh selama

fase kehidupan. Teori biologis lebih menekan pada perubahan structural

sel atau organ tubuh termasuk pengaruh agen patologi.

b. Teori Psikologi ( Psycologic Theories Aging)

Teori psikologi ini menjelaskan bagaimana seseorang dalam merespon

perkembangannya. Perkembangan seseorang akan terus berjalan

walaupun seseorang tersebut telah menua. Teori psikologi terdiri dari

teori hierarki kebutuhan manusia maslow (maslow’shierarchy of human

needs), yaitu tentang kebutuhan dasar manusia dari tingkat yang paling

rendah (kebutuhan biologis/fisiologis/sex, rasa aman, kasih sayang dan

harga diri) sampai tingkat paling tinggi (aktualisasi diri). Teori

individualisme jung (jung’s theory of individualisme), yaitu sifat manusia

terbagi menjadi dua, yaitu ekstrover dan introver. Pada lansia akan

cenderung introver, lebih suka menyendiri. Teori delapan tingkat

perkembangan erikson (erikson’s eight stages of life), yaitu tugas

perkembangan terakhir yang harus di capai seseorang adalah ego

integrity vs disappear. Apabila seseorang mampu mencapai tugas ini


maka dia akan berkembang menjadi orang yang bijaksana (menerima

dirinya apa adanya, merasa hidup penuh arti, menjadi lansia yang

bertanggung jawab dan kehidupannya berhasil).

c. Teori Kultural

Teori kultural dikemukakan oleh Blakemore dan Boneham (1992)

yang menjelaskan bahwa tempat kelahirannya seseorang berpengaruh

pada budaya yang dianutnya. Budaya merupakan sikap, perasaan, nilai

dari kepercayaan yang terdapat pada suatu daerah dan dianut oleh kaum

tua. Budaya yang dimiliki sejak ia lahir akan selalu dipertahankan sampai

tua.

d. Teori Sosial

Teori sosial dikemukakan oleh Lemon (1972) yang meliputi teori

aktivitas (lansia yang aktif dan memiliki banyak kegiatan sosial), teori

pembebasan (perubahan usia seseorang mengakibatkan seseorang

menarik diri dari kehidupan sosialnya) dan teori kesinambungan (adanya

kesinambungan pada siklus kehidupan lansia, lansia tidak diperbolehkan

meninggalkan peran dalam proses penuaan).

e. Teori Genetika

Teori genetika dikemukakan oleh Hayflick (1965) bahwa proses

penuaan memiliki komponen genetic. Dilihat dari pengamatan bahwa

anggota keluarga yang cenderung hidup pada umur yang sama dan

mereka mempunyai umur yang rata-rata sama, tanpa mengikutsertakan

meninggal akibat kecelakaan atau penyakit.


f. Teori rusaknya sistem imun tubuh

mutasi yang berulang-ulang mengakibatkan sistem imun untuk

mengenali dirinya berkurang sehingga terjadinya kelainan pada sel,

perubahan ini disebut peristiwa autoimun (Hayflick, 1965).

g. Teori menua akibat metabolisme

pada zaman dahulu disebut lansia adalah seseorang yang botak,

kebingungan, pendengaran yang menurun atau disebut dengan “budeg”,

bungkuk, dan beser atau inkontinensia urin (Martono, 2006).

h. Teori kejiwaan sosial

teori kejiwaan sosial meliputi activity theory yang menyatakan bahwa

lansia adalah orang yang aktif dan memiliki banyak kegiatan sosial.

Continuity theory adalah perubahan yang terjadi pada lansia dipengaruhi

oleh tipe personality yang dimilikinya, dan disengagement theory adalah

akibat bertambahnya usia seseorang mereka mulai menarik diri dari

pergaulan.

4. Permasalahan kesehatan pada Lansia

Memasuki masa lanjut usia, seseorang akan mengalami kemunduran

fisik, mental, dan sosial sedikit demi sedikit sampai tidak dapat

melaksanakan tugasnya sehari-hari. Sehingga bagi banyak orang, masa tua

merupakan masa yang kurang menyenangkan. Dengan bertambahnya umur,

fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat proses penuaan sehingga

penyakit tidak menular banyak muncul. Selain itu masalah degenerative

menurunkan daya tahan tubuh sehingga rentan terkena infeksi penyakit


menular. Penyakit tidak menular pada lansia diantaranya hipertensi, stroke,

diabetes melitus, dan radang sendi atau rematik. Adapun penyakit menular

yang banyak diderita lansia adalah tuberculosis, diare, pneumonia, dan

hepatitis (Misnaniarti, 2017).

Lansia mengalami masalah kesehatan yang meliputi kemunduran dan

kelemahan baik kemunduran fisik, kognitif, perasaan, mental, dan sosial.

Fleksibilitas sendi pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri.

Terjadi erosi pada kapsul persendian, sehingga akan menyebabkan

penurunan luas dan gerak sendi, yang akan menimbulkan gangguan berupa

pembengkakan dan nyeri (Azizah, 2011 dalam Andri, dkk, 2019). Penyebab

penyakit degeneratif adalah aktivitas fisik yang kurang, obesitas, tingkat

stress yang tinggi, dan faktor usia yang dapat menyebabkan kelainan

miokardium dan aterosklerosis yang mengakibatkan insufiensi aliran darah

koroner dan hipertensi, kondisi tersebut merupakan proses degeneratif.

Penyebab penyakit degeneratif lainnya yaitu diabetes melitus yang juga

dapat menyebabkan kematian (Harijati et, al., 2017 dalam Sakinah, dkk,

2020).

B. Konsep Gula Darah

1. Hiperglikemia

Hiperglikemia merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar glukosa

darah melebihi normal (Apriyani, dkk, 2011 dalam Jiwintarum, dkk, 2019).

Hiperglikemia adalah keadaan peningkatan kadar glukosa darah diatas 200

mg/dl dan merupakan gejala awal terjadinya penyakit diabetes melitus.


Hiperglikemia disebabkan tubuh kekurangan insulin. Kadar glukosa darah

tergantung pada kemampuan produksi dan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas (Kumar et, al., 2010 dalam Yuniastuti, dkk, 2018).

2. Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan suatu keadaan saat kadar gula darah secara

abnormal rendah (Dewi, 2014 dalam Jiwintarum, dkk, 2019). Hipoglikemia

pada pasien diabetes melitus (insulin reaction) merupakan komplikasi akut

diabetes melitus yang dapt terjadi secara berulang dan dapat memperberat

penyakit diabetes melitus bahkan dapat menyebabkan kematian (Cryer, 2016

dalam Husna dan Putra, 2020). Komplikasi hipoglikemia terjadi sebagai

akibat dari kurangnya glukosa keotak sehingga pasien dengan hipoglikemia

sering mengalami pusing, bingung, lelah, lemah, sakit kepala, tidak mampu

berkosentrasi, kejang dan koma. Apabila hipoglikemia tidak segera

ditangani secara serius akan menyebabkan kerusakan otak secara permanen

yang berujung pada kematian (Fatimah, 2015 dalam Husna dan Putra, 2020).

3. Kadar gula darah normal

Menurut Azwar 2021, kadar gula normal terbagi menjadi 2 yaitu

kadar glukosa darah sewaktu dan kadar glukosa darah puasa:

Tabel. 1
Kadar gula darah

Kadar glukosa DM Belum pasti DM


darah sewaktu

Plasma vena >200 mg/dl 100-200 mg/dl


Darah kapiler >200 mg/dl 80-100 mg/dl
Kadar glukosa DM Belum pasti DM
darah puasa
Plasma vena >120 mg/dl 110-120 mg/dl
Darah kapiler >110 mg/dl 90-110 mg/dl

C. Konsep Diabetes Melitus

1. Pengertian

Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai

dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah dan selalu disertai dengan

komplikasi. Glukosa darah adalah gula yang terdapat dalam darah yang

terbentuk dari karbohidrat dalam makanan dan simpanan sebagai glikogen

dihati dan otot-otot rangka (Umami, 2013 dalam Jiwintarum, dkk, 2019).

Glukosa merupakan salah satu bentuk hasil metabolisme karbohidrat yang

berfungsi sebagai sumber energi utama yang dikontrol oleh insulin (Auliya,

dkk, 2016. Diabetes melitus adalah gangguan metabolik yang ditandai

dengan tingginya kadar gula dalam darah yang disebut hiperglikemia dengan

gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan

karena kerusakan dalam produksi insulin dan kerja dari insulin tidak optimal

(Sari dan Purnama, 2019). Diabetes melitus merupakan salah satu kelompok

penyakit metabolic yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan

sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Keadaan hiperglikemia

kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,

gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf,

jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2012 dalam Rahmasari dan Wahyuni,

2019). ). Komplikasi dari penderita diabetes melitus merupakan masalah


kesehatan utama dalam masyarakat (Bilous dan Donelly, 2014 dalam

Supriyadi, 2017).

2. Etiologi

Sebenarnya, pembentukan diabetes melitus dikarenakan produksi

insulin yang kurang (yang kemudian dikenal sebagai diabetes melitus tipe

1), atau jaringan tubuh kurang sensitive terhadap insulin (diabetes melitus

tipe 2, bentuk yang lebih umum). Selain itu, ada beberapa jenis diabetes

tetapi diabetes ini sering terjadi pada wanita hamil. Meskipun demikian,

diabetes melitus selama kehamilan akan sembuh sendiri setelah persalinan

biasanya, penderita diabetes melitus tipe 1 membutuhkan penyuntikan

insulin, sedangkan penderita diabetes melitus tipe 2 hanya membutuhkan

insulin bila obatnya tidak efektif dan diobati secara oral (Adib, 2011 dalam

Azwar , 2021). Pada umumnya, penyakit diabetes melitus terjadi jika tubuh

tidak menghasilkan cukup insulin untuk mempertahankan kadar gula darah

yang normal. Atau jika sel tidak memberikan respon yang tepat terhadap

insulin. Karena itu, ada dua tipe diabetes melitus, yaitu diabetes melitus tipe

1 (diabetes yang bergantung pada insulin) dan diabetes tipe 2 (diabetes yang

tidak bergantung pada insulin).

a. Diabetes Melitus Tipe 1: disebabkan oleh beberapa faktor seperti genetic

(penderita diabetes tidak mewarisi diabetes melitus tipe 1 itu sendiri

tetapi mewarisi suatu predesposisi atau kecenderungan genetik kearah

terjadinya diabetes melitus tipe 1. Kecenderungan genetik ini ditentukan

pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen)
tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas

antigen transplantasi dan proses imun lainnya). Faktor imunologi (pada

diabetes tipe 1 terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini

merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan

normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang

dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing). Serta faktor lingkungan

(faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta pankreas, sebagai

contoh hasil penyelidikn menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu

dapat memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel

beta pankreas).

b. Diabetes Melitus Tipe 2: pada penderita diabetes melitus tipe 2, pankreas

tetap menghasilkan insulin, namun kadarnya lebih tinggi dari normal.

Akibatnya, tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga

menyebabkan kekurangan insulin cukup banyak. Penyakit ini bisa terjadi

pada anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah usia 30 tahun.

Sebenarnya, faktor utama penyebab diabetes melitus tipe 2 adalah

obesitas. Karena itu, diabetes melitus tipe 2 cenderung diturunkan secara

genetic dalam keluarga. Biasanya, penderita diabetes melitus tipe 2 tidak

menunjukkan gejala selama beberapa tahun.

Jika kekurangan insulin semakin parah maka penderita akan sering

merasa haus dan buang air kecil. Meskipun demikian, penderita diabetes

melitus tipe 2 jarang mengalami ketoasidosis. Jika kadar gula darah

sangat tinggi yakni >1.000 mg/dl yang biasanya terjadi akibat infeksi atau
obat-obatan, maka penderita akan mengalami dehidrasi berat yang biasa

menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang, dan koma

hiperglikemik hyperosmolar nonketotik. Faktor resiko yang berhubungan

dengan proses terjadinya diabetes melitus tipe 2, diantaranya adalah: usia

(resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun),

obesitas, serta riwayat keluarga.

3. Klasifikasi

Penyakit diabetes melitus terdiri dari 3 tipe utama yaitu diabetes tipe 1,

tipe 2, dan tipe gestasional. Tipe diabetes yang disebut terakhir bersifat

incidental, berhubungan dengan kondisi kehamilan seseorang (Helmawati,

2014 dalam Rahayu, 2021)

a. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes tipe 1 sering disebut dengan insulin dependent diabetes

atau diabetes bergantung dengan insulin, merupakan diabetes yang sering

menyerang pada anak-anak. Diabetes tipe 1 juga ditemukan pada semua

umur terutama pada dewasa muda. Diabetes tipe 1 adalah penyakit

diabetes yang terjadi karena adanya gangguan pada pankreas,

menyebabkan pankreas tidak mampu memproduksi insulin dengan

optimal. Pankreas berperan penting dalam keseimbangan kadar gula

darah, namun pada diabetes melitus tipe 2 pankreas memproduksi insulin

dengan kadar yang sedikit sehingga tidak mencukupi kebutuhan untuk

mengatur kadar gula darah dengan tepat.

b. Diabetes Melitus Tipe 2


Diabetes tipe 2 disebut juga sebagai non insulin dependent diabetes

atau diabetes yang tidak bergantung pada insulin. Perbedaan diabetes tipe

1 dengan diabetes tipe 2 yaitu diabetes tipe 1 penderitanya memiliki

ketergantungan pada injeksi insulin. Hal ini dikarenakan organ pankreas

penderita tidak mampu memproduksi insulin dengan jumlah yang cukup

bahkan tidak memproduksi insulin sama sekali.

c. Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes gestasional adalah diabetes yang menyerang pada kondisi

kehamilan. Diabetes gestasional menyebabkan pankreas tidak dapat

menghasilkan insulin yang cukup untuk mengontrol gula darah pada

tingkat yang aman bagi si ibu dan janin. Diabetes gestasional didiagnosis

pada 24 sampai 28 minggu usia kehamilan dengan kondisi janin telah

membentuk organ tubuh. Karena kondisi tersebut, pada dasarnya diabetes

gestasional tidak sampai menyebabkan cacat pada janin, namun diabetes

gestasional yang tidak terkontrol sangat beresiko pada bayinya.

4. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis diabetes melitus tergantung pada tingkat

hiperglikemia yang dialami oleh pasien. Manifestasi klinis khas dapat

muncul pada seluruh tipe diabetes melitus trias poli, yaitu poliuria,

polidipsia dan poliphagia. Poliuria dan polidipsia terjadi sebagai akibat

kehilangan cairan berlebihan yang dihubungkan dengan diuresis osmotic.

Pasien juga mengalami poliphagia akibat dari kondisi metabolic yang

diinduksi oleh adanya defesiensi insulin serta pemecahan lemak dan protein.
Gejala-gejal lain yaitu kelemahan, kelelahan, perubahan penglihatan yang

mendadak, perasaan gatal atau kekebasan pada tangan atau kaki, kulit

kering, adanya lesi luka yang penyembuhan lambat dan infeksi berulang

(Smeltzer, et., al, 2008 dalam Damayanti, 2015).

5. Patofisiologi

Menurut Azwar, 2021:

a. Diabetes Melitus Tipe 1

Pada diabetes tipe1 terdapat ketidakmampuan untuk mengahsilkan

insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses

autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak

terukur oleh hati. Disamping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak

dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan

menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika kosentrasi

glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap

kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut

muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan

diekskreasikan kedalam urin, eksresi ini akan disertai pengeluaran cairan

dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotic.

Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami

peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga akan mengganggu metabolisme protein dan

lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat

mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya


simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.

Dalam keadaan normal insulin mengndalikan glikogenolisis (pemecahan

glukosa yang disimpan) dan gluconeogenesis (pembentukan glukosa baru

dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita

defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut

akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi

pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan

keton yang merupakan produk samping pemecah lemak. Badan keton

merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh

apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat

menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual,

muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan

menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian

insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki

dengan cepat kelainan metbolik tersebut dan mengatasi gejala

hiperglikemia serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan

kadr gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Pada diabetes tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan

dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.

Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan

sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi

suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel.


Resistensi insulin pada diabetes tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi

intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk

menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya

glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang

disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini

terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan

dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun

demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan

kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi

diabetes melitus tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang

merupakan ciri khas diabetes melitus tipe 2, namun masih terdapat insulin

dengan jumlah yang adekuat untuk mencegahpemecahan lemak dan

produksi badan keton yang menyertainya.karena itu ketoasidosis diabetic

tidak terjadi pada diabetes melitus tipe 2. Meskipun demikian, diabetes

melitus tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut

lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hyperosmolar nonketoik

(HHNK).

Diabetes melitus tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes

yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa

yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka

awitan diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya

dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup
kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama

sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar

glukosanya sangat tinggi).

6. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus adalah untuk mencegah

komplikasi dan menormalkan aktivitas insulin didalam tubuh.

Penatalaksanaan diabetes melitus terdiri dari empat pilar yaitu edukasi, diet,

latihan jasmani dan pengobatan secara farmakologi (perkumpulan

endokrinologi Indonesia, 2011 dalam Rahmasari dan Wahyuni, 2019)

a.` Edukasi, tujuan dari edukasi adalah mendukung usaha pasien yang

menderita diabetes melitus untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya,

mengetahui cara pengolahannya, mengenali masalah kesehatan atau

komplikasi yang mungkin timbul secara dini, ketaatan perilaku

pemantauan dan pengolahan penyakit secara mandiri, disertai perubahan

perilaku kesehatan yang diperlukan.

b. Diet, standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang

seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak sesuai dengan

kecukupan gizi baik, yaitu karbohidrat: 45-65% total asupan energi,

protein: 10-20% total asupan energi, lemak: 20-25% kebutuhan kalori.

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress

akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat

badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan

ideal dikali kebutuhan kalori basal (30 Kka/kg BB untuk laki-laki dan 25
Kkal/kg BB untuk wanita). Pada dasarnya kebutuhan kalori pada

diabetes melitus tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat

memenuhi kebutuhan untuk aktivitas fisik maupun psikis dan untuk

mempertahankan berat badan agar mendekati ideal. Terapi diet

merupakan terapi utama dalam penatalaksanaan diabetes melitus, diet

yang sehat dapat mengurangi perkembangan penyakit diabetes melitus

(Depkes RI, 2018 dalam Fitriana dan Salviana, 2021).

c. Latihan jasmani, dapat menurunkan kadar glukosa darh dengan

meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki

pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga dapat diperbaiki

dengan berolahraga. Penderita diabetes melitus harus diajarkan untuk

selalu melakukan latihan pada saat yang sama dan intensitas yang sama

setiap harinya.

d. Farmakologi, pengaturan makan dan latihan selama beberapa waktu (2-4

minggu). Apabila kadar gula darah belum mencapai sasaran, dilakukan

intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) atau

suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan

secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan

dekompensasi metabolic berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat

badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat

segera diberikan.
e. Non farmakologi, dapat menggunakan obat-obatan herbal, misalnya dari

tanaman atau buah-buahan (Brunner dan Suddart, 2012 dalam

Rahmasari dan Wahyuni, 2019).

7. Komplikasi

Dampak diabetes melitus tipe 2 jika tidak ditangani akan mengalami

komplikasi. Menurut (Fitriana dan Rachmawati, 2016 dalam Rahman dan

Rosanti, 2020), komplikasi diabetes melitus yaitu: infeksi, hipoglikemia,

kadar gula darah yang tidak stabil dapat menyebabkan kerusakan pada mat,

dapat menyerang kulit atau yang biasa disebut dengan diabetes dermopathy,

ditandai dengan adanya bercak merah kecoklatan pada kulit, dan jantung.

Menurut (Helmawati, 2014 dalam Rahayu, 2021), komplikasi diabetes

melitus dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Komplikasi jangka pendek (akut), ada beberapa komplikasi yang dapat

terjadi pada penyakit diabetes melitus akut (jangka pendek) yaitu:

1) Ketoasidosis diabetik: adalah suatu komplikasi diabetes melitus serius

saat tubuh memproduksi asam darah (keton) berlebihan.

2) Hipoglikemia: adalah suatu keadaan saat kadar gula darah secara

abnormal rendah

3) Sindrom hiperosmolar diabetik: adalah keadaan darudat medis yang

disebabkan oleh kadar glukosa darah yang sangat tinggi

b. Komplikasi jangka panjang (kronik), ada beberapa komplikasi yang

muncul pada penyakit diabetes melitus kronik (jangka panjang) yaitu:


1) Penyakit jantung koroner: adalah kondisi ketika pembuluh darah

utama yang memberi pasokan darah, oksigen, dan nutrisi untuk

jantung menjadi rusak.

2) Gangguan pada mata (retinopati diabetik): adalah terganggunya

penghliatan akibat rusaknya retina pada mata yang disebabkan oleh

komplikasi diabetes melitus.

3) Gangguan pada ginjal (nefropati diabetik): adalah suatu kerusakan

pada ginjal dan terbentuknya jaringan parut pada nefron yang

disebabkan diabetes melitus.

4) Gangguan pada saraf (neuropati diabetik): adalah suatu jenis

kerusakan saraf yang dapat terjadi akibat diabetes melitus yang

ditandai dengan kesemutan, nyeri, atau nyeri.

5) Diabetes dan infeksi: adalah sistem kekebalan tubuh penderita

diabetes melitus lebih lemah ketimbang orang normal. Dan dengan

adanya gangguan pemuluh darah dan saraf akibat kadar gula darah

yang tinggi, membuat orang dengan diabetes melitus lebih rentan

mengalami infeksi.

6) Kaki diabetik: adalah akibat dari dua komplikasi umum diabetes

melitus yaitu berkurangnya aliran darah akibat dari penyempitan

pembuluh darah dan kerusakan saraf sehingga penderita mengalami

penurunan fungsi sensitifitas pada kaki.


8. Pemeriksaan penunjang

Menurut (Arora, 2017 dalam Rahmasari dan Wahyuni, 2019)

Pemeriksaan dapat dilakukan meliputi 3 hal yaitu:

a. Postprandial, dilakukan 2 jam setelah makan atau setelah minum. Angka

diatas 130 mg/dl mengindikasikan diabetes.

b. Tes toleransi glukosa oral, dilakukan setelah berpuasa semalaman

kemudian pasien diberi air dengan 75 gr gula, dan akan diuji selama

periode 24 jam. Angka gula darah yan normal 2 jam setelah meminum

cairan tersebut harus < dari 140 mg/dl.

c. Tes glukosa darah dengan finger stick, jari ditusuk dengan sebuah jarum,

sampel darah diletakkan pada sebuah strip yang dimasukkan kedalam

celah pada mesin glucometer, pemeriksaan ini digunakan hanya untuk

memantau kadar glukosa yang dapat dilakukan dirumah.

Saat ini salah satu pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan

oleh ADA sebagai pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis DM adalah

hemoglobin adult 1C (HbA1c), pemeriksaan HbA1c dapat digunakan

sebagai acuan untuk monitoring penyakit diabetes melitus karena HbA1c ini

dapat memberikan informasi yang lebih jelas tentang keadaan yang

sebenarnya pada penderita diabetes melitus. Pemeriksaan HbA1c merupakan

pemeriksaan yang mencerminkan kadar glukosa darah rata-rata selama

kurun waktu 2-3 bulan atau 120 hari sebelum dilakukan pemeriksaan

(Sulistyo dan Mutiara, 2015 dalam Sartika dan Hestiani, 2019).


Pemeriksaan kadar HbA1c memiliki banyak keunggulan sehingga

lebih direkomendasikan untuk monitoring pengendalian glukosa.

Pemmeriksaan ini tidak perlu puasa, tidak dipengaruhi perubahan gaya

hidup jangka pendek, lebih stabil dalam suhu kamar dibanding glukosa

plasma puasa. Pemeriksaan HbA1c lebih menguntungkan secara klinis

karena dapat memberikan informasi secara jelas tentang keadaan pasien dan

seberapa efektif terapi diabetic yang diberikan. Peningkatan kadar HbA1c

>8% sudah mengindikasikan DM yang tidak terkendali dan pada pasien

yang beresiko tinggi dapat mengalami komplikasi jangka panjang yang

dapat berakibat fatal, namun pemeriksaan ini juga memiliki keterbatasan

salah satunya adalah harganya lebih mahal disbanding pemeriksaan glukosa

darah (Suprihatini, 2016 dalam dalam Sartika dan Hestiani, 2019).

9. Fakto Resiko

Menurut (ADA, 2013 dalam Rahayu 2020) faktor resiko diabetes

melitus sebagai berikut:

a. Aktivitas fisik yang kurang

b. Riwayat keluarga dengan diabetes melitus

c. Ras tau etnis (Aborigin, Afrika, Asia, dan Hispanik)

d. Wanita dengn riwayat diabetes melitus gestasional

e. Hipertensi > 140/90 mmhg

f. Obesitas

7. Konsumsi obat-obatan (glukokortikoid, antipsikotik, aipikal, HAART)


Faktor lain yang terkait dengan resiko diabetes melitus tipe 2 menurut

(Helmawati,2014 dalam Rahayu, 2020) yakni:

1. Keturunan

Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki faktor resiko

genetic artinya diabetes melitus ada hubungan dengan faktor keturunan.

Seseorang yang kedua orang tuanya menderita diabetes melitus beresiko

terkena diabetes melitus. Faktor keturunan merupakan faktor pemicu

diabetes yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor ini tidak dapat nawar-

menawar, dengan memiliki riwayat diabetes dalam keluarga, maka resiko

seseorang untuk terkena penyakit gula darah menjadi tinggi jika

dibandingkan dengan orang lain yang tidak memiliki riwayat kencing

manis dalam keluarganya.

2. Gaya hidup yang salah

Setelah keturunan atau genetic, faktor resiko diabetes melitus

selanjutnya adalah gaya hidup. Gaya hidup dapat menentukan besar

kecilnya resiko seseorang untuk terkena diabetes, karena hal ini berkaitan

dengam pola makan dan aktivitas yang dilakukan seseorang sebagai gaya

hidupnya. Terbukti membawa dampak negatif dalam kesehatan pada

orang-orang masa kini, cenderung memiliki kesadaran yang rendah

terhadap pola makan, orang lebih mencari makanan yang enak rasanya

daripada makanan dengan kekayaan nutrisinya.


3. Obesitas atau kegemukan

Obesitas beresiko pada diabetes melitus berkaitan dengan

terjadinya resistansi insulin. Artinya, obesitas dapat menyebabkan

terjadinya resistansi insulin, dimana kondisi resistansi insulin merupakan

penyebab utama terjadinya diabetes, khususnya diabetes melitus tipe 2.

4. Faktor usia

Faktor resiko diabetes melitus selanjutnya adalah faktor usia.

Sebagaimana faktor resiko disebabkan keturunan, faktor usia merupakan

faktor yang tidak dapat dimodifikasi atau direkayasa. Orang dengan usia

40 tahun mulai memiliki resiko terkena diabetes. Selanjutnya, dengan

semakin bertambahnya usia, maka semakin besar pula resiko seseorang

mengalami diabetes melitus tipe 2.

5. Rokok dan alkohol

Kaitannya rokok dengan diabetes melitus ternyata merokok dapat

meningkatkan resiko seseorang terkena diabetes melitus tipe 2

dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok. Berdasarkan artikel

yang pernah dirilis oleh jurnal of the American medical Association.

Merokok dan diabetes memiliki keterkaitan, merokok akan memperparah

diabetes yang telah diderita. Sama halnya dengan rokok, alkohol juga

memiliki efek yang tidak beda jauh. Mengkonsumsi alkohol berelebihan

dapat meningkatkan resiko diabetes adalah daya rusak alkohol terhadap

organ-organ tubuh khususnya organ pankreas. Sehingga alkohol dapat

memperparah kondisi diabetes melitus yang telah diderita seseorang.


6. Stres

Salah satu faktor resiko timbulnya penyakit diabetes melitus yaitu

stress, stress memang faktor yang dapat membuat seseorang menjadi

rentan dan lemah, bukan hanya secara mental tetapi juga secara fisik.

Penelitian terbaru membuktikan komponen kecemasan, depresi, dan

gangguan tidur malam hari adalah faktor pemicu terjadinya penyakit

diabetes melitus khususnya dikalangan pria.

10. Pencegahan

Menurut Fatimah (2015), pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi

menjadi empat bagian yaitu:

a. Pencegahan primordial

Pencegahan primordial adalah upaya untuk memberikan kondisi

pada masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat

dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya.

Prakondisi ini harus diciptakan dengan multimitra. Pencegahan

primordial pada penyakit diabetes melitus misalnya adalah menciptakan

prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan

kebaratan-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup

santai atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi

kesehatan.

b. Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang

yang termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum


menderita diabetes melitus, tetapi berpotensi untuk menderita diabetes

melitus diantaranya:

1) Kelompok usia tua (>45 tahun)

2) Kegemukan (BB/kg > 120% BB idaman atau IMT > 27 Kg/m2

3) Tekanan darah tinggi (>140/ 90 mmhg)

4) Riwayat keluarga diabetes melitus

5) Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr

6) Dyslipidemia (Hvl < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl)

7) Pernah toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa

terganggu (GDPT)

untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap timbulnya diabetes melitus dan upaya untuk

menghilangkan faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu sangat penting

dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan

pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis

makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan resiko

merokok bagi kesehatan.

c. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat

timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan

pengobatan sejak awal penyakit. Dalam pengolahan pasien diabetes

melitus, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin


dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar utama

pengolahan diabetes melitus meliputi:

1) Penyuluhan

2) Perencanaan makanan

3) Latihan jasmani

4) Obat berkhasiat hipoglikemik

d. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan

lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum

kecacatan tersebut menetap. Pelayanan kesehatan yang holistic dan

terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama dirumah

sakit rujukan, misalnya para ahli sesame disiplin ilmu seperti

ahlipenyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi, dan lain-lain.

D. Konsep Daun Kersen

1. Pengertian

Tanaman kersen merupakan tumbuhan dikotil yang secara

mikrokopis struktur anatomi daun kersen muda dan tua yaitu terdiri dari

epidermis atas dan epidermis bawah, trikoma, mesofil, (parenkim

palisade/tiang dan parenkim spons/bunga karang), jaringan penguat

(kolenkim), Kristal, jaringan pembuluh (xylem dan floem) (Kuntorini et,

al, 2013 dalam Puspitasari dan Wulandari, 2017). Tanaman kersen

merupakan tanaman kaya akan antioksidan, yang dapat memperlambat

atau mencegah proses oksidasi dari molekul lain. Tanaman kersen


(muntingia calabura L) termasuk tanaman dengan klasifikasi sebagai

berikut: kingdom (plantae), division (spermatophyta), kelas

(dycotiledoneae), ordo (malvales), genus (muntingia), spesies (muntingia

calabura Linn), daun kersen, memiliki kandungan senyawa flavonoid

terdiri dari 2,4 –dihydroxy-3-methoxydihydrochalcone dan 8-hydroxy-6-

methoxyflavone (Damara dan Sukohar, 2018).

2. Kandungan daun kersen

Daun kersen (muntingia calabura L.) merupakan salah satu

alternative terapi non farmakologi secara ilmiah dengan rebusan daun

kersen efektif menurunkan kadar glukosa darah, dimana tumbuhan ini

mengandung senyawa flavonoid, tannin, saponin, dan alkaloid (Stevani

et, al, 2017 dalam Rahman dan Rosanti, 2020). flavonoid adalah

kelompok senyawa fenil propanoid dengan kerangka karbonC6-C3-C6.

Flavonoid dan isoflavonoid adalah salah satu golongan senyawa

metabolic sekunder yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan,

khususnya dari golongan leguminoceae (tanaman berbunga kupu-kupu).

Kandungan senyawa flavonoid dalam tanaman sangat rendah yaitu sekitar

25%. Senyawa-senyawa tersebut pada umunya dalam keadaan terikat

dengan senyawa gula.

Tannin dapat berfungsi sebagai astringent dan memiliki kemampuan

untuk menyamak kulit. Secara kimia, tanin adalah ester yang dapat

dihidrolisis oleh pemanasan dengan larutan asam sampai menghasilkan

senyawa fenol, biasanya merupakan derivate dari asam garlic dan gula.
Saponin merupakan senyawa glikosida kompleks yaitu senyawa hasil

kondensasi suatu gula dengan suatu senyawa hidroksil organic yang

apabila dihidrolisis akan menghasilkan gula (glikon) dan non gula

(aglikon). Saponin ini terdiri dari dua kelompok: saponin triterpenoid dan

saponin steroid. Saponin banyak digunakan dalam kehidupan manusia,

salah satunya terdapat dalam lerak yang digunakan untuk bahan pencuci

kain (batik) dan sebagai shampo. Saponin dapat diperoleh dari tumbuhan

melalui ekstraksi. Alkaloid merupakan kelompok senyawa yang

mengandung nitrogen dalam bentuk gugus fungsi amin. Alkaloid

merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang besar. Pada umumnya,

alkaloid mencakup senyawa yang bersifat basa mengandung satu atau

lebih atom N sebagai bagian dalam surem siklik.

3. Manfaat daun kersen

Daun kersen memiliki berbagai macam manfaat seperti kandungan

yang terdapat pada daun kersen yaitu saponin dan flavonoid dapat

menghambat penyerapan gula darah dari usus, sehingga karbohidrat tidak

banyak diserap oleh usus, maka dari itu daun kersen dapat membantu

menurunkan kadar gula darah dan dapat dijadikan obat non farmakologi

untuk penderita diabetes melitus (Pahlawan et, al., 2016 dalam Khasanah

dkk, 2020). Daun kersen telah lama digunakan masyarakat untuk berbagai

tujuan pengobatan antara lain sebagai obat batuk, sakit kuning, dan asam

urat (Isnaniarti, 2013 dalam Puspitasari dan Wulandari, 2017).

Kandungan senyawa kimia saponin dan flavonoid yang terdapat pada


daun kersen juga dapat membantu mengurangi rasa sakit dan membantu

proses penyembuhan luka (Bangun dan Sarwono, 2002 dalam Hadi dan

Permatasari, 2019).

4. Cara penggunaan daun kersen

Penggunaan daun kersen dengan memetik perhelai daun dari

tangkainya. Daun kersen yang telah dipetik lalu dicuci hingga bersih

dengan air mengalir untuk menjaga kebersihan saat akan merebus

daunnya. Setelah itu diangin-anginkan didalam ruangan tanpa terkena

sinar matahari langsung, kemudian daun kersen ditimbang agar

mendapatkan berat daun 15 gram. Setelah itu Daun kersen direbus dengan

air sebanyak 200 ml dengan menggunakan panci, rebus hingga air tersisa

100 ml, setelah tersisa 100 ml kemudian saring air rebusan tersebut

kedalam botol atau gelas bersih. Diamkan hingga tidak terlalu hangat lalu

konsumsi air rebusan tersebut sebanyak 2 kali sehari setelah makan

diwaktu pagi dan sore hari. Lakukan hal yang sama tiap kali

mengkonsumsi rebusan daun kersen tersebut (Norma dan Hadrayanti,

2019). Pembuatan rebusan daun kersen untuk antidiabetes dapat

dilakukan dengan cara, gunakan 100 gram (10 lembar) daun kersen yang

telah dicuci bersih lalu rebus menggunakan panci dengan rebusan 200 cc

air hingga mendidih dan tersisah separuhnya. Hasil rebusan itu diminum

satu kali sehari dengan takaran sebanyak 1 gelas lalu diminum baik dalam

kondisi dingin ataupun hangat (Suhardjono, 2013 dalam Khasanah dkk,

2020).
E. Kerangka Teori

Kerangka teori penelitian “Pengaruh Air Rebusan Daun Kersen

Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Lansia Penderita Diabetes

Melitus” adalah :

Diabetes Melitus

Faktor-faktor resiko DM: Penatalaksanaan DM:


1. Aktivitas fisik yang kurang 1. Edukasi
2. Riwayat keluarga dengan DM 2. Diet
3. Ras/etnis 3. Latihan jasmani
4. Wanita dengan riwayat dm gestasional 4. Farmakologi
5. Hipertensi 5. Non farmakologi
6. Obesitas - Daun kersen
7. Konsumsi obat-obatan (glukokortikoid, dll)
8. Keturunan
9. Gaya hidup yang salah
10. Faktor usia
11. Rokok dan alkohol
12. Stres

Sumber: Rahayu (2020), Rahmasari dan Wahyuni (2019)

Gambar. 1
kerangka teori
Pengaruh Air Rebusan Daun Kersen Terhadap Penurunan Kadar
Gula Darah Pada Lansia Penderita Diabetes Melitus.
BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-

konsep yang akan diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan

dilaksanakan (Notoatmodjo, 2010 dalam Setiana dan Nuraeni, 2018).

Berdasarkan kerangka teori yang telah diuraikan maka variabel dalam

penelitian ini adalah variabel independen adalah konsumsi air rebusan daun

kersen dan variabel dependen adalah penurunan kadar gula darah pada lansia

penderita diabetes melitus.

Variabel Independen: Variabel Dependen:

Konsumsi air rebusan daun Kadar gula darah lansia


kersen penderita diabetes melitus

Gambar. 2
Kerangka konsep pengaruh konsumsi air rebusan daun kersen terhadap
penurunan kadar gula darah lansia penderita diabetes melitus.
B. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati yang memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau

fenomena (Nurdin dan Hartati, 2019).

Tabel. 2
Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala


operasional ukur
1. Kadar Hasil Glukometer Mengukur Hasil ukur
gula darah metabolisme lembar hasil kadar gula dalam bentuk
karbohidrat pengukuran darah satuan Mg/dl
makanan yang kadar gula
terdapat dalam darah
darah dan
berfungsi
sebagai sumber
energi utama
yang dikontrol
insulin
2. Konsumsi Memberikan 2 Air rebusan Observasi
air gelas air rebusan daun kersen
rebusan daun kersen
daun untuk
kersen dikonsumsi 1
gelas diminum
pada pagi hari
setelah makan
dan 1 gelas
diminum sore
hari setelah
makan
C. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan dugaan, atau

dalil sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut.

Setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian, maka hipotesis tersebut

dapat benar atau salah, dapat diterima atau ditolak (Notoatmodjo, 2010 dalam

Setiana dan Nuraeni, 2018). Hipotesis dalam penelitian ini adalah: ada

pengaruh konsumsi air rebusan daun kersen terhadap penurunan kadar gula

darah pada lansia penderita diabetes melitus di Desa Kenanga Tahun 2021.
BAB IV

METEDOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian adalah kerangka kerja sistematis yang digunakan

untuk melaksanakan penelitian. Pola desain penelitian dalam setiap disiplin

ilmu memiliki kekhasan masing-masing, namun prinsip-prinsip umumnya

memiliki banyak kesamaan. Desain penelitian memberikan gambaran tentang

prosedur untuk mendapatkan informasi atau data yang diperlukan untuk

menjawab seluruh pertanyaan penelitian. Oleh karena itu sebuah desain

penelitian yang baik akan meghasilkan sebuah proses penelitian yang efektif

dan efesien (Nurdin dan Hartati, 2019). Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan desain penelitian quasi eskperimental dengan rancangan

penelitian yaitu, non equivalent control group. Dimana rancangan ini memilih

sampel tidak secara random melainkan dengan tujuan tertentu yaitu melihat

kesetaraan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimental. Bentuk

rancangan penelitian ini adalah:

X1 Intervensi X2

X3 X4
Keterangan:

X1: Pengukuran kadar gula darah pada kelompok intervensi sebelum konsumsi air

rebusan daun kersen/pretest

X2: Pengukuran kadar gula darah pada kelompok intervensi setelah konsumsi air

rebusan daun kersen/posttest

X3: Pengukuran kadar gula darah pada kelompok kontrol sebelum/pretest

X4: Pengukuran kadar gula darah pada kelompok kontrol setelah/posttest

Gambar. 3
Rancangan penelitian non equivalent control group

B. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

tersebut (Notoatmodjo, 2010 dalam Setiana dan Nuraeni, 2018). Populasi

dalam penelitian ini adalah lansia yang mengalami diabetes melitus di Desa

Kenanga dengan jumlah populasi 20 orang. Responden dibagi menjadi dua

kelompok yaitu 10 responden kelompok intervensi/perlakuan konsumsi air

rebusan daun kersen 2 kali sehari dalam 1 minggu dan 10 responden

kelompok kontrol (penderita diabetes melitus yang tidak konsumsi air

rebusan daun kersen).

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti yang dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010 dalam

Setiana dan Nuraeni, 2018). Sampel yang diambil dari penelitian ini adalah
seluruh dari populasi yang telah ditetapkan yaitu lansia penderita diabetes

melitus di Desa Kenanga yang memenuhi kriteria sebagai sampel.

Berdasarkan data populasi penderita diabetes melitus yang akan dijadikan

sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusi

adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target

terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2008 dalam Setiana dan Nuraeni,

2018). kriteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Klien berusia 45-60 tahun

b. Klien dengan kadar gula darah >200 mg/dl

c. Klien dalam keadaan sadar penuh / kooperatif

d. Tidak ada gangguan jiwa

e. Klien bersedia menjadi responden

Adapun kriteria ekslusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan

subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab

(Nursalam, 2008 dalam Setiana dan Nuraeni, 2018).

a. Klien meninggal

b. Selama proses perlakuan klien menolak meneruskan tindakan dengan

alasan kesehatan

C. Tempat dan waktu penelitian

1. Tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Kenanga Kecamatan Sungailiat

Kabupaten Bangka. Pemilihan tempat penelitian ini dipilih atas

pertimbangan karena belum adanya penatalaksanaan terkait diabetes


melitus dengan mengkonsumsi air rebusan daun kersen dan jumlah

populasi sudah cukup untuk dilakukan penelitian.

2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24 mei sampai dengan 10 juli

2021 dengan survei awal pengambilan data tanggal 18 maret 2021.

3. Teknik sampling

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan

teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah suatu teknik

penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu atau seleksi khusus .

Teknik ini digunakan peneliti karena teknik pengambilan sampel

berdasarkan keinginan atau sesuai dengan apa yang dikehendaki.

D. Pengumpulan data

1. Sumber data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berasal dari dua sumber

data yaitu data primer dan data skunder.

a. Data primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri

(Riyanto, 2011 dalam Setiana dan Nuraeni, 2018). data primer penelitian

ini diperoleh langsung dari lansia penderita diabetes melitus berupa hasil

pengukuran kadar gula darah sebelum dan sesudah perlakuan.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diambil dari suatu sumber dan

biasanya data tersebut sudah dikompilasi lebih dahulu oleh instansi atau
pemilik data (Riyanto, 2011 dalam Setiana dan Nuraeni, 2018). data

sekunder pada penelitian ini adalah data yang diperoleh dari Dinas

Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kota Sungailiat, dan Puskesmas

Kenanga berupa data kejadian diabetes melitus yang digunakan untuk

merumuskan masalah dan menetapkan populasi penelitian

2. Instrumen pengumpulan data

Instrumen penelitian adalah alat ukur untuk penelitian atau suatu alat

yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang

diamati. Secara spesifik semua fenomena tersebut disebut variabel

penelitian (Sugiono, 2012, dalam Setiana dan Nuraeni, 2018). Instrumen

untuk pengumpulan data pada penelitian ini adalah lembar observasi,

glukometer, dan air rebusan daun kersen. Lembar observasi digunakan

untuk mencatat hasil pengukuran kadar gula darah pretest dan posttest.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dalam dua tahap

yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.

a. Tahap persiapan

1) Peneliti mengurus surat perizinan tempat penelitian dengan

mengajukan surat permohonan izin penelitian dari pimpinan dan

prodi Ilmu Keperawatan Stikes Citra Delim Bangka Belitung yang

ditunjukkan ke Kepala Desa Kenanga Kecamatan Sungailiat.

2) Peneliti mengidentifikasi karakteristik responden sesuai dengan

kriteria inklusi.
b. Tahap pelaksanaan

Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan teknik

pengukuran langsung kadar gula darah baik terhadap kelompok yang

mendapatkan perlakuan maupun kelompok yang tidak mendapatkan

perlakuan. Teknik lain yang digunakan adalah observasi terhadap

kelompok yang dilakukan intervensi untuk dinilai apakah air rebusan

daun kersen benar-benar dikonsumsi. Tahap-tahap pelaksanaan

pengumpulan data yaitu:

1) Menjelaskan kepada responden maksud dan tujuan penelitian.

2) Responden mengisi dan menandatangani lembar persetujuan

tindakan /informed consent untuk mengantisipasi adanya faktor resiko

dari kegiatan penelitian.

3) Peneliti mengisi dilembar observasi penelitian yang berisi nama

(inisial), jenis kelamin, dan umur responden.

4) Peneliti mengukur kadar gula darah responden dengan menggunakan

glukometer kemudian mengelompokkan responden sesuai dengan

kriteria inklusi, responden dibagi menjadi dua kelompok yaitu

kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

5) Mencatat dilembar observasi hasil kadar gula darah responden kontrol

dan responden intervensi sebelum diberikan air rebusan daun kersen 2

kali sehari selama 1 minggu (pretest).

6) Memberikan air rebusan daun kersen 2 kali sehari yaitu pagi dan sore

hari selama 1 minggu keresponden intervensi.


7) Mengukur kadar gula darah responden dengan menggunakan

glukometer dan mencatat kembali dilembar observasi hasil kadar gula

darah responden kontrol dan responden intervensi setelah 1 minggu

diberikan air rebusan daun kersen (posttest).

8) Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan untuk tahap analisa data.

E. Pengolahan data

Menurut Notoatmodjo (2012) setelah data terkumpul, maka langkah

yang dilakukan adalah pengolahan data. Pengolahan data pada penelitia ini

akan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Editing (pengeditan data)

Pengeditan adalah kegiatan untuk pengecekkan dan perbaikan isi

formulir atau kuesioner. Dalam penelitian ini editing yang digunakan yaitu

setelah kuesioner oleh responden, maka setiap kuesioner akan diperiksa

apakah sudah diisi dengan benar dan semua item sudah dijawab oleh

responden.

2. Decoding (pengkodean)

Pengkodean adalah mengubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data angka atau bilangan. Coding atau pemberian kode ini sangat

berguna dalam memasukkan data (data entry).

3. Processing (memproses data)

Memproses data adalah jawaban-jawaban dari masing-masing

responden yang dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan

kedalam program atau “software” computer.


4. Cleaning (pembersihan data)

Pembersihan data adalah sema data dari setiap sumber data atau

responden selesai dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat

kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya,

kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

F. Analisa data

Menurut Notoatmodjo (2012) analisa data penelitian dilakukan dengan

dua tahap yaitu:

1. Analisa Univariat (analisis deskriptif)

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis unvariat tergantung

dari jenis data pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.

2. Analisa Bivariat

Apabila telah dilakukan analisis univariat tersebut, hasilnya akan

diketahui karakteristik atau distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan

analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara

dua variabel, yaitu variabel dependen dan variabel independen. Dimana

analisa ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh

pemberian air rebusan daun kersen (independen) dan penurunan kadar gula

darah pada lansia penderita diabetes melitus (dependen) dengan

menggunakan uji sampel T test, dengan derajat kepercayaan 95% (α= 0,05).

Dengan batas kemaknaan p (probabilitas) <0,05 artinya ada pengaruh yang


bermakna dan jika p (probabilitas) >0,05, berarti tidak ada pengaruh yang

bermakna. Hipotesis penelitian ini adalah untuk membuktikan kebenaran

Ha, yaitu terdapat pengaruh konsumsi air rebusan daun kersen terhadap

penurunan kadar gula darah pada lansia penderita diabetes melitus.

G. Etika penelitian

Menurut Notoatmodjo (2012), seorang peneliti dalam menjalankan

penelitian hendaknya memegang teguh sikap ilmiah (scientific attitute) serta

berpegang tegauh pada etika penelitian, meskipun mungkin penelitian yang

dilakukan tidak akan merugikan atau membahayakan bagi subjek penelitian.

Secara garis besar, dalam melakukan penelitian ada empat prinsip yang harus

dipegang teguh yaitu:

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk

mendapatkan informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian

tersebut. Disamping itu, peneliti juga memberikan kebebasan kepada subjek

untuk memberikan informasi (berpartisipasi). Sebagai ungkapan, peneliti

menghormati harkat dan martabat subjek penelitian, peneliti seyogyanya

mempersiapkan formulir persetujuan subjek (informed consent) yang

mencakup:

a. Penjelasan manfaat penelitian

b. Penjelasan kemungkinan resiko dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan

c. Penjelasan manfaat yang didapatkan


d. Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan

subjek berkaitan dengan prosedur penelitian

e. Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek peneliti kapan

saja

f. Jaminan anonimitas dan kerahasiaan terhadap identitas dan informasi

yang diberikan oleh responden

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (pespet privacy and

confidentiality)

Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan

kebebasan individu dalam memberikan informasi. Setiap orang berhak

untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh

sebab itu, peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas

dan kerahasiaan identitas subjek. Peneliti seyogyanya cukup menggunakan

conding sebagai pengganti identitas responden.

3. Keadilan dan inklusivitas / keterbukaan (respet for justice inclusiveness)

Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan

kejujuran, keterbukaan, dan berhati-hati. Untuk itu, lingkungan penelitian

perlu dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yakni dengan

menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin bahwa

semua subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama,

tanpa membedakan jender, agama, etnis, dan sebagainya.

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harms and benefits)


Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal

mungkin bagi masyarakat pada umumnya, dan subjek penelitian pada

khususnya, penelitian hendaknya berusaha meminimalisir dampak yang

merugikan bagi subjek. Oleh sebab itu, penatalaksanaan penelitian harus

dapat dicegah atau paling tidak mengurangi rasa sakit, cedera, stress,

maupun kematian subjek penelitian.


DAFTAR PUSTAKA

Andri, J. Resi, K. Padila. Harsismanto. J. Andri, S. (2019, desember). Terapi

Aktivitas Senam Ergonomis Terhadap Peningkatan Kemampuan

Fungsional Lansia. Jurnal Of Telenursing (JOTING). Volume 1 No. 2. E-

ISSN: 2684-8988. Dikutip dari

https://journal.ipm2kpe.or.id/index.php/JOTING/article/view/933.

Diakses pada tanggal 3 april 2021.

Aprilla, V. Dedi, A. Lita. Nurlisis. Ika, P, D. (2019, oktober). Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kunjungan Lansia Ke Posyandu Lansia Tahun

2019. Excellent Midwifery Journal. Volume 2 No. 2. E-ISSN: 2620-9829.

Dikutip dari

https://jurnal.mitrahusada.ac.id/index.php/emj/article/download/91/57

Diakses pada tanggal 21 maret 2021.

Auliya, P. Fadil, O. Zelly, D, R. (2016). Gambaran Kadar Gula Darah Pada

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Yang Memiliki

Berat Badan Berlebih Dan Obesitas. Jurnal Kesehatan Andalas. Volume 5

No. 3. Dikutip dari

http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/571. Diakses pada

tanggal 3 april 2021.

Azwar (2021). Terapi Non Farmakologi Pada Pasien Diabetes Melitus. E-ISBN:

978-623-6842-53-9 (PDF). Dikutip dari

http://webadmin.ipusnas.id/ipusnas/publications/books/170475. Diakses

pada tanggal 26 maret 2021.


Badan Pusat Statistik. (2020, 21 desember). Dikutip dari

https://www.bps.go.id/publication/2020/12/21/0fc023221965624a644c11

11/statistik-penduduk-lanjut-usia-2020.html. Diakses pada tanggal 21

maret 2021.

Damara, A. Asep, S. (2018, juni). Efektivitas Infusa Daun Kersen (Muntingia

Calabura Linn) Sebagai Antidiabetik. Jurnal Kesehatan dan

Agromedicine. Volume 5 No.1. ISSN: 2356-332X. Dikutip dari

https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/view/1998.

Diakses pada tanggal 21 maret 2021.

Damayanti, S. (2015, November). Diabetes melitus dan Penatalaksanaan

Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2020). Dikutip dari

http://dinkes.babelprov.go.id/. Diakses pada tanggal 21 maret 2021.

Fatimah, R, N. (2015, februari). Diabetes Melitus Tipe 2. Medical Journal Of

Lampung University. Volume 4 No. 5. Dikutip dari

https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/615.

Diakses pada tanggal 5 april 2021.

Fitriani, M. (2016, juni). Problem Psikospiritual Lansia Dan Solusinya Dengan

Bimbingan Penyuluhan Islam (Studi Kasus Balai Pelayanan Sosial

Cepiring Kendal). Jurnal Ilmu Dakwah. Volume 36 No. 1. ISSN: 1693-

8054. Dikutip dari

https://journal.walisongo.ac.id/index.php/dakwah/article/view/1626.

Diakses pada tanggal 1 april 2021.


Fitriana, Z. Eka, A, S. (2021, 22 februari). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi

Kepatuhan Menjalankan Diet Pada Lansia Penderita Diabetes Melitus

Tipe Dua. Jurnal Keperawatan Silampari. Volume 4 No. 2. E-ISSN:

2581-1975. Dikutip dari

https://journal.ipm2kpe.or.id/index.php/JKS/article/view/1635. Diakses

pada tanggal 22 maret 2021.

Friska, B. Usraleli. Idayanti. Magdalena. Sakhnan. (2020, mei). The Relationship

Of Family Support With The Quality Of Elderly Living In Sidomulyo

Health Center Work Area In Pekanbaru Road. Jurnal Proteksi Kesehatan.

Volume 9 No. 1. ISSN: 2580-0191. Dikutip dari

https://jurnal.pkr.ac.id/index.php/JPK/article/view/194. Diakses pada

tanggal 4 april 2021.

Hadi, K. Intan, P. (2019, agustus). Uji Fitokimia Kersen (Muntingia Calabura L)

Dan Pemanfaatan Sebagai Alternatif Penyembuhan Luka. Jurnal

MIPAkes. Volume 1. E-ISSN: 2714-7991. Dikutip dari

https://ejurnal.umri.ac.id/index.php/Semnasmipakes/article/download/157

9/889. Diakses pada tanggal 7 april 2021.

Husna, C. Bahagia, A, P. (2020, November). Faktor-faktor Yang Berhubungan

Dengan Kemampuan Melakukan Deteksi Hipoglikemia Pada Pasien

Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Ilmu Keperawatan Medikal Bedah.

Volume 3 No. 2. ISSN: 2621-2986. Dikutip dari

http://journal.ppnijateng.org/index.php/jikmb/article/download/515/pdf.

Diakses pada tanggal 26 maret 2021.


Jiwintarum, Y. Iswari, F. Maruni, W, D. Indriyani, N, S. (2019, februari).

Penurunan Kadar Gula Darah Antara Yang Melakukan Senam Jantung

Sehat Dan Jalan Kaki. Jurnal Kesehatan Prima. Volume 13. No. 1. E-

ISSN: 2460-8661. Dikutip dari http://jkp.poltekkes-

mataram.ac.id/index.php/home/article/view/192. Diakses pada tanggal 3

april 2021.

Khasanah, H, R. heru, L. Putri, W, W. (2020, april). Kadar Gula Darah Penderita

Diabetes melitus Tipe II Yang Mengkonsumsi Air Rebusan Daun Kersen

(Muntingia Calabura L) Di Curup Kota Bengkulu. Jurnal Ilmiah. Volume

15 No. 1. ISSN: 1978-0664. Dikutip dari

http://jurnal.umb.ac.id/index.php/avicena/article/download/648/pdf.

Diakses pada tanggal 26 maret 2021.

Kusumawardani, D. Putri, A. (2018, januari). Peran Posyandu Lansia Terhadap

Kesehatan Lansia Di Perumahan Bina Griya Indah Kota Pekalongan.

Jurnal SIKLUS. Volume 7 No. 1. E-ISSN: 2549-5054. Dikutip dari

https://ejournal.poltektegal.ac.id/index.php/siklus/article/view/748

Diakses pada tanggal 21 maret 2021.

Lande, N, P. Yanti, M. Michaela, P. (2015, april). Perbandingan Kadar Glukosa

Sebelum Dan Sesudah Aktivias Fisik Intensitas Berat. Jurnal e-Biomedik

(eBm). Volume 3 No. 1. Dikutip dari

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik/article/view/6603.

Diakses pada tanggal 4 april 2021.


Marinda, F, D. Jhons, F, S. Aila, K. (2016 agustus). Tatalaksana Farmakologi

Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Wanita Lansia Dengan Kadar Gula Tidak

Terkontrol. Jurnal Medula Unila. Volume 5 No. 2. Dikutip dari

https://juke/kedokteran/unila.ac.id/index.php/medula/article/view/1505.

Diakses pada tanggal 22 maret 2021.

Misnaniarti. (2017, 1 juli). Analisis Situasi Penduduk Lanjut Usia Dan Upaya

Peningkatan Kesejahteraan Sosial Di Indonesia. Jurnal Ilmu Kesehatan

Masyarakat. Volume 8 No. 2. E-ISSN: 2548-7949. Dikutip dari

http://ejournal/fkm.unsri.ac.id/index.php/jikm/article/download/258/204/3

93. Diakses pada tanggal 22 maret 2021.

Norma. Nur, H. (2019, April). Pengaruh Rebusan Daun Kersen Terhadap

Penurunan Gula Darah Sewaktu Pada Klien Diabetes Melitus Tipe II Di

Wilayah Kerja Puskesmas Klasaman Kota Sorong Tahun 2018. Jurnal

Ilmiah Praktisi Kesehatan Masyarakat Sulawesi Tenggara. Volume 3 No.

2. E-ISSN: 2620-3294. Dikutip dari

http://ojs.uho.ac.id/index.php/preventifjournal/article/view/6068. Diakses

pada tanggal 23 maret 2021.

Nurdin, I. Sri, H. (2019). Metedologi Penelitian Sosial. ISBN: 978-623-90984-3-

8. Dikutip dari https://books.google.co.id/books?

id=tretDwaAQBAJ&printsec=frontcover&dq=buku+pengertian+kerangk

a+konsep+menurut+Notoatmodjo+2014. Diakses pada tanggal 9 april

2021.
Purwandari, K, P. Lilis, S. (2021, januari). Efektifitas Rebusan Daun Kersen

(Muntungia Calabura L) Untuk Menurunkan Kadar Gula Darah Terhadap

Penderita Diabetes Melitus Di Desa Kedung Ringin Giripurwo Wonogiri.

Jurnal Keperawatan GHS. Volume 10 No. 1. ISSN: 2088-2734. Dikutip

dari

https://journal.akpergshwng.ac.id/index.php/gsh/article/download/121/10

6. Diakses pada tanggal 21 maret 2021.

Puspitasari, A, D. Ririn, L, W. (2017, oktober). Aktivitas Antioksidan Dan

Penetapan Kadar Flavonoid Total Ekstrak Etil Asetat Daun Kersen

(Muntingia Calabura). Jurnal Pharmascience. Volume 4 No. 2. ISSN:

2460-9560. Dikutip dari

http://journal.uad.ac.id/index.php/PHARMACIANA/article/download/71

04/pdf_55. Diakses pada tanggal 26 maret 2021.

Rahayu, A. (2021). Senam Kaki Pada Diabetes Melitus. Dikutip dari

http://webadmin.ipusnas.id/ipusnas/publications/books/170500. Diakses

pada tanggal 4 apri 2021.

Rahman, Z. Rosanti. (2020, januari). Pengaruh Air Rebusan Daun Ceri Terhadap

Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas

Tanjungpinang Kota. Jurnal Keperawatan. Volume 10 No. 1. E-ISSN:

2621-7694. Dikutip dari http://jurnal/stikeshangtuah-

tpi.ac.id/index.php/jurkep/article/view/165/140. Diakses pada tanggal 23

maret 2021.
Rahmasari, I. Endah, S, W. (2019, februari). Efektivitas Memordoca Carantia

(Pare) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah. Jurnal Ilmiah Rekam

Medis dan Informatika Kesehatan. Volume 9 No.1. ISSN: 2086-2628.

Dikutip dari https://ojs.udb.ac.id/index.php/infokes/article/view/720.

Diakses pada tanggal 4 april 2021.

Reski, P. Wira, E, A. Fajar, S, T. (2020, September). Pengaruh Pemberian

Rebusan Daun Kersen (Muntingia Calabura L) Terhadap Kadar Gula

Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe II Di Klinik Pratama Alifa. Jurnal

Kesehatan Global. Volume 3 No. 3. ISSN: 2614-7866. Dikutip dari

http://ejournal.helvetia.ac.id/index.php/jkg/article/view/4713. Diakses

pada tanggal 21 maret 2021.

Reswan,H. Yustini, A. Rauza, S, R. (2017). Gambaran Glukosa Darah Pada

Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin. Jurnal

Kesehatan Andalas. Volume 6 No. 3. Dikutip dari

http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/756. Diakses pada

tanggal 22 maret 2021.

Rindayati. Abdul, N. Yuni, A. (2020 mei). Gambaran Kejadian Dan Tingkat

Kecemasan Pada Lanjut Usia. Jurnal Kesehatan Vokasional. Volume 5

No. 2. ISSN: 2599-3275. Dikutip dari

https://jurnal.ugm.ac.id/jkesvo/article/view/53948. Diakses pada tanggal

1 april 2021.

Sakinah, S. dkk (2020, april). Penyuluhan Kesehatan Orientasi Tanggap Tua

(OTT Lansia). Jurnal Kreativitas Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM).


Volume 3 No. 1. E-ISSN: 2622-6030. Dikutip dari

http://ejurnalmalahayati.ac.id/index.php/kreativitas/article/view/2652.

Diakses pada tanggal 1 april 2021.

Sari, N. Agus, P. (2019, oktober). Aktivitas Fisik Dan Hubungannya Dengan

Kejadian Diabetes Melitus. Jurnal Kesehatan. Volume 2 No. 4. E-ISSN:

2614-5375. Dikutip dari

https://jurnal.fkmumi.ac.id/index.php/woh/article/view/213. Diakses

pada tanggal 26 maret 2021.

Sartika, F. Nurul, H. (2019, 31 oktober). Kadar HbA1c Pada Pasien Wanita

Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di RSUD dr. Doris Sylvanus

Palangkaraya. Borneo Journal Of Medical Laboratory Technology.

Volume 2 No. 1. ISSN: 2622-6111. Dikutip dari

http://journal.umpalangkaraya.ac.id/index.php/bjmlt/article/view/1086.

Diakses pada tanggal 4 april 2021

Setiana, H, A. Rina, N. (2018, September). Riset Keperawatan. ISBN: 978-602-

489-006-3. Dikutip dari https://books.google.co.id/books?

id=wnweEAAAQBAJ&pg=PA114&dq=kerangka+konsep+menurut+not

oatmodjo+2018. Diakses pada tanggal 9 april 2021.

Sunaryo, dkk (2015). Asuhan Keperawatan Gerontik. ISBN: 978-979-29-5406-7.

Dikutip dari https://books.google.co.id/books?

id=58gFDgAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=buku+keperawatan+gero

ntik+sunaryo+2015+pdf. Diakses pada tanggal 4 april 2021.


Supriyadi (2017) Skrining Kaki Diabetes Melitus. E-ISBN: 978-602-453-568-1.

Dikutip dari

http://webadmin.ipusnas.id/ipusnas/publications/books/108924. Diakses

pada tanggal 26 maret 2021.

Widiastuti, L. (2020, 29 mei). Acupressure Dan Senam Kaki Terhadap Tingkat

Peripheral Arterial Disease Pada Klien DM Tipe 2. Jurnal Keperawatan

Silampari. Volume 3 No. 2. E-ISSN: 2581-1975. Dikutip dari

https://journal.ipm2kpe.or.id/index.php/JKS/article/view/1200. Diakses

pada tanggal 22 maret 2021.

Yuniastuti, A. R, S. R, S, I. (2018). Efek Infusa Umbi Garut (Marantha

Arundinaceae L) Terhadap Kadar Glukosa Dan Insulin Plasma Tikus

Yang Diinduksi Streptozocyn. Jurnal MIPA. Volume 41 No. 1. ISSN:

0215-9954. Dikutip dari

https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JM/article/view/15874. Diakses

pada tanggal 4 april 2021.

Anda mungkin juga menyukai