Anda di halaman 1dari 85

PENGARUH SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT)

TERHADAP PENURUNAN KECEMASAN DAN KADAR GULA DARAH PADA


PASIEN DIABETES MELLITUS DI PUSKESMAS KABUPATEN BUTON
SULAWESI TENGGARA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1, Latar Belakang

World Health Organization (WHO, 2016a) memperkirakan

bahwa secara global, 422 juta orang dewasa berusia di atas 18 tahun

yang hidup dengan diabetes pada tahun 2014. WHO memprediksi

kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun

2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini

menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak

2-3 kali lipat pada tahun 2035. International Diabetes Federation (IDF)

memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia

dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035

(Perkeni, 2015).

Berdasarkan data dari WHO (2011), kematian akibat penyakit tidak

menular sekitar 60% dari seluruh penyebab kematian di negara-negara

berkembang. Di Indonesia, data RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar, 2013)

menyebutkan, 60% kematian diakibatkan oleh penyakit degeneratif, dengan

tiga urutan penyakit tertinggi, yaitu stroke 26,9%, darah tinggi 12,3%, dan

diabetes 10,2% (Dinkes RI, 2013).

Menurut International Diabetes Federation Pada tahun 2017, sekitar

425 juta orang di seluruh dunia menderita DM. Jumlah terbesar orang

dengan DM yaitu berada di wilayah Pasifik Barat 159 juta dan Asia Tenggara

82 juta. China menjadi negara dengan penderita DM terbanyak di dunia

dengan 114 juta penderita, kemudian diikuti oleh India 72,9 juta, lalu Amerika
serikat 30,1 juta, kemudian Brazil 12,5 juta dan Mexico 12 juta penderita.

Indonesia menduduki peringkat ke tujuh untuk penderita DM terbanyak di

dunia dengan jumlah 10,3 juta penderita (International Diabetes Federation

(IDF, 2017).

Prevalensi Diabetes Militus di Indonesia berdasarkan hasil Riset

Kesehatan Dasar (RISKESDAS) prevalensi Diabetes Militus Perkeni 2011

pada penduduk umur ≥15 tahun, pada tahun 2013 dan tahun 2018

menunjukan kasus diabetes militus (Berdasarkan pemeriksaan darah)

meningkat dari 6,9% menjadi 8,5%. Sedangkan menurut konsensus

Perkemihan 2015 pada penduduk umur ≥15 tahun pada 2018 menunjukan

kasus diabetes militus sebesar 10,9% (RISKESDAS, 2018)

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara pada

tahun 2015 penyakit diabetes mellitus masuk kedalam sepuluh besar

penyakit dimana diabetes mellitus menduduki peringkat ke 5 dengan jumlah

kasus 3.206 pada tahun 2016 penyakit diabetes mellitus menduduki

peringkat ke 3 dengan jumlah kasus 2.983 dan pada tahun 2017 diabetes

mellitus menduduki peringkat ke 5 dengan jumlah kasus sebanyak 2.436

(Dinas Kesehatan Sultra 2019).

Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin, atau keduanya. Klasifikasi DM secara umum terdiri atas

DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) dan DM tipe 2

atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM). DM tipe 2 terjadi

karena sel β pankreas menghasilkan insulin dalam jumlah sedikit atau


mengalami resistensi insulin. Jumlah penderita DM tipe 1 sebanyak 5-10%

dan DM tipe 2 sebanyak 90-95% dari penderita DM di seluruh dunia (ADA,

2020).

Jumlah penderita Diabetes Mellitus (DM) dari tahun ke tahun

cenderung mengalami peningkatan, hampir di semua negara di dunia dan

telah mencapai jumlah wabah atau epidemik, sehingga DM merupakan

penyakit Global endemic (Shaw, Sicre, Zimmet, 2010). Diperkirakan tahun

2025 Indonesia akan naik ke nomor lima terbanyak untuk kasus DM di dunia.

Pada tahun 2030 prevalensi DM di Indonesia mencapai 21,3 juta orang

dengan asumsi prevalensi DM pada daerah urban 12 juta (14,7%) dan 8,1

juta (7,2%) di daerah rural (Diabetes Care, 2004). Berdasarkan Diabetes

Atlas 6th Edition tahun 2013, Indonesia menduduki peringkat ketiga jumlah

penderita DM terbanyak di kawasan Asia setelah China dan India.

Diperkirakan 5,6 % penduduk Indonesia atau sekitar 8,5 juta orang

menderita DM. Jumlah tersebut diperkirakan meningkat 14 juta orang atau

sekitar 6,7% di tahun 2035 (Soegondo, 2014 dalam Gatot, 2014).

DM sebagai permasalahan global terus meningkat prevalensinya dari

tahun ke tahun baik di dunia maupun di Indonesia. Berdasarkan data

International Diabetes Federation (IDF) prevalensi DM global pada tahun

2019 diperkirakan 9,3% (463 juta orang), naik menjadi 10,2% (578 juta) pada

tahun 2030 dan 10,9% (700 juta) pada tahun 2045 (IDF, 2019). Pada tahun

2015, Indonesia menempati peringkat 7 sebagai negara dengan penyandang

DM terbanyak di dunia, dan diperkirakan akan naik peringkat 6 pada tahun

2040 (Perkeni, 2019).


Seseorang yang menderita Diabetes Mellitus (DM), memiliki risiko

tinggi mengalami komplikasi serius (Siregar & Hidajat, 2017). Hal ini

disebabkan karena adanya peningkatan gula darah yang berlangsung lama

sehingga menyebabkan berbagai macam komplikasi mikrovaskuler atau

komplikasi makrovaskuler. Selain itu seseorang yang menderita Diabetes

Mellitus (DM) juga berdampak negatif terhadap dirinya baik secara fisik,

psikologis, sosial maupun ekonomi (Damayanti, Nursiswati & Kurniawan,

2014).

Penyakit kronis seperti diabetes mellitus dapat menimbulkan masalah

psikologis pada pasien. Informasi yang tidak tepat dapat menimbulkan

mispersepsi yang berpengaruh terhadap kondisi psikologis diantaranya

tingkat kecemasan bahkan stres. Diabetes merupakan penyakit genetik

yang dapat diwariskan pada keturunan berikutnya. Selain itu, dampak buruk

dan komplikasi yang parah seperti amputasi menambah kekhawatiran pasien

dan keluarga (Zainudin dkk., 2015).

kecemasan merupakan rasa takut, khawatir yang tidak jelas

sebabnya. Kecemasan pada penderita Diabetes Mellitus berpengaruh pada

terhadap fluktuasi glukosa darah yang menyebabkan kadar gula darah tidak

stabil, meskipun sudah diupayakan diet, latihan fisik maupun pemakaian

obat secara tepat. Hal tersebut disebabkan terjadinya peningkatan hormon

glukokortikoid (kortisol), ketolamin (epinefrin), hormon pertumbuhan (Jauhari,

2017).

Dampak psikologis yang dialami oleh penderita Diabetes Mellitus

(DM) antaralain ada rasa putus asa, mudah marah, merasa tidak berguna

dan kecemasan yang tinggi hingga depresi (Rahmawati, Muharyani &

Tarigan, 2019). Kecemasan merupakan reaksi emosional yang tidak

menyenangkan terhadap keadaan bahaya yang nyata atau imaginer yang

disertai dengan perubahan pada sistem saraf otonom dan pengalaman


subyektif sebagai tekanan, ketakutan dan kegelisahan (Lubis, Widianti, &

Amrullah, 2014).

Reaksi fisiologis akibat cemas bisa berdampak pada hipotalamus

hipofisis, sehingga mempengaruhi fungsi endokrin yang pada akhirnya

memicu kenaikan hormon kortisol yang berdampak antagonis terhadap

fungsi kortisol serta memberikan pengaruh yang buruk terhadap kestabilan

kadar glukosa darah. Penanganan pada pasien diabetes tidak hanya fokus

pada pengobatan secara fisik, namun dukungan terhadap kebutuhan

psikologis, sosial dan spiritual juga sangat dibutuhkan (Rahmawati, Natosba,

& Jaji, 2016).

Tingkat kecemasan pada penderita diabetes militus dikarenakan

bahwa diabetes dianggap suatu penyakit yang menakutkan, karena

mempunyai dampak negatif yang kompleks terhadap kelangsungan

kecemasan individu. Kecemasan yang terjadi karena seseorang merasa

terancam baik fisik maupun psikologis (Jauhari, 2016) Hasil penelitian

tentang Hubungan Kecemasan dengan Kadar Gula Darah Penderita

Diabetes Militus Tipe 2 menunjukan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara kecemasan dengan kadar gula darah penderita diabetes

militus tipe 2 di RSUD Salatiga pada penelitian ini didapatkan p=0,000 dan r=

0,902. Dalam hal ini seseorang dengan penyakit kronis termasuk diabetes

militus rentan mengalami kecemasan (Syari‘ati, 2015)

Salah satu carapenanganan yang dapat digunakan untuk mengatasi

stressor pada pasien kanker payudara adalah dengan menerapkan terapi

Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Spiritual emotional freedom

technique SEFT merupakan suatu teknik yang menggabungkan antara


spiritualitas berupa doa, keikhlasan dan kepasrahan, dengan Emotional

Freedom Technique (EFT) yang memanfaatkan sistem energi tubuh untuk

membantu memperbaiki kondisi pikiran, emosi, dan perilaku6. Berbagai

emosi negatif dapat diatasi dengan menerapkan terapi SEFT melalui sugesti

kalimat yang berupa doa dan ketukan ringan dengan dua ujung jari (tapping)

di bagian tubuh tertentu. Terapi SEFT sangat mudah dilakukan dengan 3

tahapan sederhana, yaitu set-up, tune-in dan tapping.

SEFT merupakan salah satu terapi komplementer yang dapat

digunakan untuk menurunkan tingkat stres. Keefektifan terapi ini terletak

pada pengabungan antara Spiritual Power dengan Energy Psychology.

Spiritual Power memiliki lima prinsip utama yaitu ikhlas, yakin, syukur, sabar

dan khusyu. Energy Psychology merupakan seperangkat prinsip dan teknik

memanfaatkan system energy tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran,

emosi dan perilaku (Freinstein dalam Zainudin, 2012). Jika dilihat dari aspek

reaksi fisiologis terhadap SEFT, maka perangsang dengan cara mengetuk-

ngetuk ringan (tapping) pada titik 12 titik meridian tubuh tersebut dapat

menstimulasi gland pituitary untuk mengeluarkan hormon endorphins

(Johnson, 1999; Nopadow etc 2008 dalam Rokade, 2011), dimana hormon

endorphins tersebut dapat memberikan efek menenangkan serta

menimbulkan perasaan bahagia (Goldstein dan Lowry, 1975 dalam Rokade,

2011). Hal yang diharapkan dari keluarnya hormon endorphin yaitu bisa

menurunkan hormon kortisol dan epineprin karena hormon ini berkerja

berlawanan. Sehingga bisa menekan produksi glukagon dan glukosa darah.


SEFT adalah terapi meridian energi versi sederhana akupunktur, yang

bekerja langsung pada sistem meridian di tubuh. EFT adalah teknik

penyembuhan tubuh dan pikiran yang mengkombinasikan efek fisik dari

perawatan meridian dengan efek mental dalam memfokuskan pada sakit

atau permasalahan pada waktu yang sama. Ketukan pada titik meridian

mengirimkan energy kinetis kepada energy sisitem dan membebaskan

hambatan yang menutupi aliran energy (Saputra, 2011)

Pada penelitian ditemukan bahwasanya SEFT mampu untuk

menurunkan glukosa darah (Mahnaz, et al, 2014). Metode terapi SEFT

dikembangkan berdasarkan pandangan bahwa beban emosional (pikiran

negatif) yang dialami individu menjadi penyebab utama dari penyakit fisik

maupun penyakit nonfisik yang dideritanya. Tekanan emosional yang tidak

teratasi akan menghambat aliran energi di dalam tubuh sehingga tubuh

menjadi lemah dan mudah terjangkiti penyakit. Untuk mengatasinya perlu

menetralisir pikiran-pikiran negatif dengan kalimat doa dan menumbuhkan

sikap positif bahwa apapun masalah pikiran, jiwa dan rasa sakitnya ia ikhlas

menerimanya serta mempasrahkan kesembuhannya pada Allah SWT

(Zainuddin, 2009; Saputra, 2012).

Dari data diatas maka Peneliti ingin mengembangkan penelitian

tentang pengaruh terapi SEFT terhadap penurunan kecemasan pada pasien

Diabetes Mellitus, yang mana kecemasan dapat berpengaruh terhadap

peingkatan glukosa darah. Oleh karena pentingnya hal tersebut peneliti

bermaksud melakukan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terapi

SEFT dalam menurunkan Kecemasan pada pasien Diabetes Mellitus.


1.2 Rumusan Masalah

Apakah pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) terhadap

kecemasan dan glukosa darah pada pasien Diabetes Mellitus?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique

terhadap kecemasan dan glukosa darah pada pasien Diabetes

Mellitus.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Menganalisis pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique

terhadap kecemasan pada pasien Diabetes Mellitus


b. Menganalisis pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique

terhadap gula darah pada pasien Diabetes Mellitus


c. Menganalisis tingkat kecemasan dan glukosa darah pasien

Diabetes Mellitus sebelum dan sesudah pemberian Spiritual

Emotional Freedom Technique

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil Penelitian diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan

sebagai dasar pengembangan asuhan keperawatan khususnya

terhadap terapi nonfarmakologi pada pasien Diabetes Mellitus.


1.4.2 Manfaat Praktisi
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengubah cara berpikir

pasien tentang pentingnya kesadaran diri yang disertai dengan

peningkatan motivasi secara spiritual berupa keyakinan positif

untuk meningkatkan kesadaran individu akan diri dan lingkungan

b. sekitar dan mampu membangun presepsi diri yang baik terhadap

penerimaan terhadap diri, mengurangi kecemasan yang yang

pada akhirnya glukosa darah terkontrol


c. Manfaat bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan

sebagai data dasar atau studi perbandingan pada peneliti lainnya

yang mempunyai minat topic penelitian yang sama tentang aspek

spiritual yang diberikan dengan cara spiritual emotional freedom

technique sebagai salah satu intervensi pada penatalaksanaan

DM
d. Manfaat bagi perawat, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan

positif dalam modifikasi intervensi asuhan keperawatan untuk

membantu menegakkan pilar menejemen DM untuk membangun

pikiran dan perilaku positif yang juga memberikan terapi alternatif

berupa manajemen stres sehingga komplikasi penyakit dapat

dihindari

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Diabetes Mellitus

2.1.1 Pengertian Diabetes Mellitus


Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin, atau keduanya. Klasifikasi DM secara umum terdiri atas

DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) dan DM tipe 2

atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM). DM tipe 2 terjadi

karena sel β pankreas menghasilkan insulin dalam jumlah sedikit atau

mengalami resistensi insulin. Jumlah penderita DM tipe 1 sebanyak 5-10%

dan DM tipe 2 sebanyak 90-95% dari penderita DM di seluruh dunia (ADA,

2020).

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2015).

Diabetes Meliitus merupakan penyakit kelainan metabolisme yang

disebabkan oleh kurangnya hormon insulin dalam tubuh (Santosa, 2014).

2.1.2 Etiologi Diabetes Mellitus

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa etiologi Diabetes mellitus

bermacam-macam meskipun pada akhirnya akan mengarah pada

insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan

penting pada mayoritas penderita Diabetes mellitus baik pada IDDM

maupun NIDDM (Price A. Sylvia, 2014).

Secara garis besar penyebab dari Diabetes mellitus ini digolongkan menjadi

dua faktor yaitu :

1. Faktor genetik

Penyakit autoimun yang ditemukan secara genetik dengan gejala-

gejala yang pada akhirnya menuju pada proses bertahap perusakan

imunologik sel-sel yang memproduksi insulin.


2. Faktor non genetik

Dapat disebabkan oleh infeksi virus yang dianggap sebagai faktor

utama seperti virus rubella, hepatitis, coksali, mononukrosis infecsiosa.

Gangguan nutrisi seperti : obesitas, malnutrisi, protein, alcohol bisa juga

disebabkan obat-obatan, stress yang pada akhirnya dapat menstimulasi

autoimun yang bersifat sitotoksik terhadap sel bheta (Price A. Sylvia,

2014).

Diabetes Mellitus disebabkan karena berkurangnya produksi dan

ketersediaan insulin dalam tubuh atau terjadinya gangguan fungsi insulin

yang sebenarnya berjumlah cukup. Kekurangan insulin disebabkan adanya

kerusakan sebagian kecil atau sebagian besar sel-sel pulau langerhans

dalam kelenjar pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin. Namun, jika

dirunut lebih lanjut, beberapa faktor yang menyebabkan Diabetes Mellitus

sebagai berikut :

1. Genetik atau faktor keturunan. Diabetes Mellitus cenderung diturunkan

atau diwariskan, bukan ditularkan. Anggota keluarga penderita Diabetes

Mellitus memiliki kemungkinan besar terserang penyakit ini dibandingkan

dengan anggota keluarga yang tidak menderita Diabetes Mellitus. Para

ahli kesehatan juga menyebutkan Diabetes Mellitus merupakan penyakit

yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Biasanya kaum laki-laki

menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan kaum perempuan sebagai

pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak-anaknya.

2. Virus dan bakteri. Virus penyebab Diabetes Mellitus adalah rubela,

mumps, dan human coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi

sitolitik dalam sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi
otoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta.

Diabetes Mellitus akibat bakteri masih belum bisa dideteksi. Namun, para

ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan Diabetes

Mellitus .

3. Bahan toksik atau beracun. Bahan beracun yang mampu merusak sel

beta secara langsung adalah alloxan, pyrinuron (rodentisida) dan

strepzoctin (produk dari sejenis jamur). Bahan lain adalah sianida yang

berasal dari singkong.

4. Nutrisi. Nutrisi yang berlebihan (overnutrition) merupakan faktor resiko

pertama yang diketahui menyebabkan Diabetes Mellitus Semakin berat

badan berlebih atau obesitas akibat nutrisi yang berlebihan, semakin

besar kemungkinan seseorang terjangkit Diabetes Mellitus .

5. Kadar kortikosteroid yang tinggi.

6. Kehamilan diabetes gestasional, yang akan hilang setelah melahirkan.

7. Obat-obatan yang dapat merusak pankreas.

8. Racun yang mempengaruhi pembentukan atau efek dari insulin.

(Maulana, 2008)

Sedangkan menurut Lanywati (2011) penyebab Diabetes Mellitus

adalah sebagai berikut :

1. Makan yang berlebihan menyebabkan gula dan lemak dalam tubuh

menumpuk secara berlebihan. Kondisi tersebut menyebabkan kelenjar


pankreas terpaksa harus bekerja keras memproduksi hormon insulin

untuk mengolah gula yang masuk. Jika suatu saat pankreas tidak mampu

memenuhi kebutuhan hormon insulin yang terus bertambah, maka

kelebihan gula tidak dapat terolah lagi dan akan masuk ke dalam darah

serta urine (air kencing).

2. Pada saast tubuh melakukan aktivitas/gerakan, maka sejumlah gula akan

dibakar untuk dijadikan tenaga gerak. Sehingga jumlah gula dalam tubuh

akan berkurang, dan dengan demikian kebutuhan akan hormon insulin

juga berkurang. Pada orang yang kurang gerak dan jarang berolah raga,

zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar, tetapi hanya

akan ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Proses pengubahan

zat makanan menjadi lemak dan gula. memerlukan hormon insulin.

Namun, jika hormon insulin kurang mencukupi, maka akan timbul gejala

penyakit Diabetes Mellitus .

3. Penyakit saat hamil, untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan janinnya,

seorang ibu secara naluri akan menambah jumlah konsumsi

makanannya, sehingga umumnya berat badan ibu hamil akan naik

sekitar 7 kg-10 kg. Pada saat penambahan jumlah konsumsi makanan

tersebut terjadi, jika ternyata produksi insulin kurang mencukupi, maka

akan timbul gejala penyakit Diabetes Mellitus.

2.1.3 Patofisiologi DM

Menurut Suyono (2009) bahwa manusia memerlukan bahan bakar

yang berasal dari bahan makanan yang kita makan sehari-hari, yang terdiri

dari karbohidrat (gula dan tepun-tepungan), protein (asam amino) dan lemak

(asam lemak). Saluran pencernaan memecah makanan menjadi bahan


dasar dari makanan itu, karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam

amino dan lemak menjadi asam lemak.Zat glukosa didalam sel dibakar

melalui proses kimia yang rumit yang hasil akhirnya adalah energi. Proses

ini disebut metabolisme, dalam metabolisme itu insulin memegang peranan

penting yang bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel. Insulin adalah

hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas. Diabetes terjadi karena

risistensi insulin dan adanya kelainan didalam sel hingga glukosa tidak dapat

masuk kedalam sel untuk dimetebolisme akibatnya glukosa tetap diluar sel

sehingga kadar glukosa darah meningkat.

2.1.3Klasifikasi Diabetes Mellitus

Menurut Santosa (2014) tipe Diabetes Mellitus atau klasitifikasi Diabetes

Mellitus yang utama adalah :

1. Diabetes Mellitus tipe 1

Diabetes Mellitus tipe 1 terjadi karena tubuh penderita tidak mampu

memproduksi insulin. Diabetes Mellitus tipe 1 juga sering disebut sebagai

penyakit autoimun. Penyakit ini terjadi karena sistem imun tubuh pada

suatu individu secara spesifik menyerang dan merusak sel- sel penghasil

insulin yang terdapat pada pankreas.

2. Diabetes Mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 disebabkan oleh faktor kombinasi antara

faktor genetika dan faktor lingkungan. Pada Diabetes Mellitus tipe 2, faktor

genetika lebih dominan bila dibandingkan dengan Diabetes Mellitus tipe 1.


dari berbagai penelitian diketahui bahwa sebagian besar penderita

diabetes tipe 2 memiliki anggota keluarga yang jugamenderita penyakit

atau masalah kesehatan yang berhubungan dengan Diabetes Mellitus.

3. Gestational Diabetes Mellitus.

Diabetes Mellitus tipe ini terjadi saat kondisi gula darah menjadi

tinggi pada masa kehamilan dan terjadi pada orang yang tidak menderita

Diabetes Mellitus. Umumnya akan kembali normal setelah masa

kehamilan. Meskipun tipe Diabetes ini bersifat sementara, bila tidak

ditangani dengan baik, dapat membahayakan kesehatan janin maupun

sang ibu

2.1.4 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus

Tanda-tanda seseorang terkena atau mengidap Diabetes Mellitus

adalah sebagai berikut : gejala diabetes tipe I muncul secara tiba-tiba pada

saat usia anak-anak sebagai akibat dari kelainan genetika, sehingga tubuh

tidak memproduksi insulin dengan baik. Gejala-gejalanya antara lain adalah :

1) Sering buang air kecil.

2) Terus menerus lapar dan haus.

3) Berat badan menurun.

4) Kelelahan.

5) Penglihatan kabur.

6) Infeksi pada kulit yang berulang.

7) Meningkatkanya kadar gula dalam darah dan air seni.

8) Cenderung terjadi pada mereka yang berusia di bawah 20 tahun.

Sedangkan gejala Diabetes Mellitus tipe II mencul secara perlahan- lahan

sampai menjadi gangguan yang jelas, dan pada tahap permulaannya seperti
gejala Diabetes Mellitus tipe I, yaitu :

1) Cepat lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit.

2) Sering buat air kecil.

3) Terus menerus lapar dan haus.

4) Kelelahana yang berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya.

5) Mudah sakit yang berkepanjangan.

6) Biasanya terjadi pada mereka yang berusia di atas 40 tahun, tetapi

prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak dan remaja.

Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai

keletihan akibat kerja. Jika glukosa darah sudah tumpah ke saluran urin dan

urin tersebut tidak disiram, makan akan dikerubuti oleh semut yang

merupakan tanda adanya gula. Gejala lain yang biasanya muncul adalah :

1) Penglihatan kabur.

2) Luka yang lama sembuh.

3) Kaki terasa kebas, geli atau merasa terbakar.

4) Infeksi jamur pada saluran reproduksi wanita.

5) Impotensi pada pria. (Maulana, 2008).

Sedangkan menurut Lanywati (2011) gejala klasik penyakit Diabetes

Mellitus, dikenal dengan istilah trio-P, yaitu meliputi poliuria (banyak

kencing), polidipsi (banyak minum) dan polipagio (banyak makan).

1) Poliuria (banyak kencing), merupakan gejala umum pada penderita

Diabetes Mellitus, banyaknya kencing ini disebabkan kadar gula dalam

darah berlebihan, sehingga merangsang tubuh untuk berusaha

mengeluarkannya melalui ginjal bersama air dan kencing, gejala banyak

kencing ini terutama menonjol pada waktu malam hari, yaitu saat kadar

gula dalam darah relatif tinggi.


2) Polidipsi (banyak minum), sebenarnya merupakan akibat (reaksi tubuh)

dari banyak kencing tersebut. Untuk menghindari tubuh kekurangan

cairan (dehidasi), maka secara otomatis akan timbul rasa haus/kering

yang menyebabkan timbulnya keinginan untuk terus minum selama

kadar gula dalam darah belum terkontrol baik. Sehingga dengan

demikian, akan terjadi banyak kencing dan banyak minum.

3) Polipagi (banyak makan), merupakan gejala yang tidak menonjol.

Terjadinya banyak makan ini disebabkan oleh berkurangnya cadangan

gula dalam tubuh meskipun kadar gula dalam darah tinggi. Sehingga

dengan demikian, tubuh berusaha untuk memperoleh cadangan gula dari

makanan yang diterima.

Gejala-gejala yang biasa tampak pada penderita Diabetes

Mellitus adalah sebagai berikut

1) Adanya perasaan haus yang terus-menerus.

2) Sering buang air kecil (kencing) dan jumlah yang banyak.

3) Timbulnya rasa letih yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

4) Timbulnya rasa gatal dan peradangan kulit yang menahun.

Adapun pada penderita yang berat, akan timbul beberapa gejala atau tanda

yang lain, yaitu sebagai berikut :

1) Terjadinya penurunan berat badan.

2) Timbulnya rasa kesemutan (mati rasa) atau sakit pada tangan atau kaki.

3) Timbulnya borok (luka) pada kaki yang tak kunjung sembuh.

4) Hilangnya kesadaran diri (Lanywati, 2011).

Table 2.1 Kriteria diagnostik glukosa darah

Bukan Pra diabetes Diabetes


diabetes mg/dl Mg/dl
mg/dl
Puasa < 110 110-125 ≥ 126
Sewakt < 110 110-199 ≥ 200
u
Sumber Perkeni (2015)

2.1.5 Pencegahan Diabetes Mellitus

Beberapa usaha pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat

secara umum adalah sebagai berikut :

1) Diet yang baik dan terukur agar berat badan tidak berlebihan.

Usahakan untuk dapat mencapai dan mempertahankan berat badan

normal, atau bahkan berat badan ideal. Jangan makan dalam porsi yang

berlebihan, dan kurangi makan gula atau makanan yang manis serta

berlemak tinggi

2) Olah raga secara teratur dan terukur, agar kelebihan gula dan lemak di

dalam tubuh dapat berkurang (diubah menjadi energi gerak). Di samping

itu, dengan olah raga secara teratur, otot-otot tubuh akan menjadi

kencang dan organ-organ tubuh dapat bekerja dengan lebih lancar, baik

dan efisien (Lanywati, 2011).

Sedangkan menurut Maulana (2008) pencegahan komplikasi Diabetes

Mellitus ada 9 cara untuk berperan aktif dalam perawatan Diabetes Mellitus

sehingga dapat menikmati hidup lebih sehat di masa yang akan datang :

1) Lakukan pemeriksaan fisik setiap tahun

Selain pemeriksaan rutin untuk mengawasi perawatan Diabetes

Mellitus, lakukan pemeriksaan fisik sekali setahun.

2) Periksa mata setahun sekali

Pergi ke spesialis mata sekali tiap tahun dapat membantu untuk

mendeteksi masalah penglihatan yang berkaitan dengan Diabetes

Mellitus untuk dapat mendeteksi secara dini, sehingga lebih mudah

ditangani maupun dicegah.


3) Temui dokter gigi setahun dua kali

Kadar gula darah yang tinggi mengganggu sistem kekebalan

tubuh, membatasi kemampuan tubuh untuk berperang dengan bakteri

dan virus yang menyebabkan infeksi. Karena mulut penuh dengan

bakteri, maka infeksi juga dapat terjadi pada gusi. Oleh sebab itu sangat

dianjurkan untuk menemui dokter gigi setahun dua kali untuk

memeriksakan kesehatan mulut dan gigi

4) Vaksinasi tepat waktu

Selalu up to date terhadap vaksinasi yang dapat membantu

mencegah terjadinya komplikasi akibat Diabetes Mellitus. Contohnya

vaksinasi untuk radang paru. Hampir tiap dokter akan

merekomendasikan pada penderita Diabetes Mellitus untuk vaksinasi

radang paru-paru. Apabila telah menderita komplikasi akibat Diabetes

Mellitus atau berusia lebih dari 65 tahun maka akan dibutuhkan vaksinasi

ulang setiap 5 tahun.

5) Rawat kebersihan dan kesehatan kaki

6) Jangan merokok

Orang yang menghidap Diabetes Mellitus dan merokok sering kali

ditemukan meninggal karena serangan jantung, stroke dan penyakit

lainnya daripada penderita Diabetes Mellitus yang tidak merokok. Hal ini

karena merokok menyempitkan pembuluh darah, serta menurunkan

aliran darah menuju kaki.

7) Awasi tekanan darah

Sama seperti Diabetes Mellitus, tekanan darah yang tinggi juga

dapat merusak pembuluh darah. Bila kedua keadaan ini muncul, maka
dapat terjadi serangan jantung, stroke atau kondisi lain yang mengancam

jiwa.

8) Memeriksa kadar gula darah

Mengatur kadar gula darah merupakan hal yang paling penting

untuk merasa lebih baik dan mencegah komplikasi lebih lanjut dari

Diabetes Mellitus. Dengan mengawasi kadar gula darah dan tetap

menjaganya normal, maka akan mengurangi resiko kerusakan mata,

ginjal, pembuluh darah dan saraf.

9) Penanganan stres

Stres dapat meningkatkan produksi hormon yang dapat memblokir

efek dari insulin, yang menyebabkan kadar gula darah meningkat. Bila

sedang terserang stres, maka akan sulit untuk merawat diri sendiri

maupun mengelola Diabetes Mellitus

2.1.6 Pengobatan Diabetes Mellitus

Menurut Sutedjo (2010) pemberian obat pada penderita Diabetes

Mellitus bertujuan untuk mempertahankan kadar gula darah puasa maupun

sesudah makan dalam batas normal.

Obat hipoglikemik oral (OHO)

1) Tujuan pemberian dan cara kerja OHO

OHO diberikan dengan tujuan mempertahankan kadar gula dalam darah

agar tetap normal dan digunakan pada Diabetes Mellitus tipe II. OHO

bekerja dengan cara sebagai berikut:

a. Merangsang sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin dalam

jumlah cukup.

b. Menurunkan berat badan


2) Prinsip penggunaan OHO

a. Dimulai dari dosis kecil dan secara bertahap ditingkatkan sampai

dosis yang sesuai, yaitu diperolehnya kadar gula darah yang normal.

b. Sebaiknya dihindari obat OHO efek panjang pada orang tua karena

menyebabkan hipoglikemi.

c. Pada saat minum OHO sebaiknya dihindari obat-obat yang antagonis

atau melawan efek OHO. Apabila terpaksa harus mendapatkan obat

antagonis tersebut konsultasikan dengan dokter. Obat anagonis OHO

di antaranya adalah kortikosteroid dan adrenalin.

2.1.7Komplikasi DM

Beberapa komplikasi dari Diabetes Melitus adalah

1. Akut

1) Hipoglikemia yaitu gangguan kesehatan yang terjadi ketika kadar

didalm darah berada di bawah kadar normal.

2) Hiperglikemia yaitu istilah medis untuk keadaan dimana kadar gula

dalam darah lebih tinggi dari nilai normal. Dalam keadaan normal, gula

darah berkisar antar 70-100 mg/dl.

3) Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar, penyakit

jantung koroner ( cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).

4) Penyakit mikrovaskuler : mengenai pembuluh darah kecil, retinopati

dan nefropati.

2. Komplikasi menahun DM.

1) Neuropatik diabetikum merupakan kerusakan syaraf di kaki yang

meningkatkan kejadian ulkus kaki, infeksi bahkan keharusan untuk

amputasi
2) Retinopati diabetikum merupakan salah satu penyebab utama

kebutaan, terjadi akibat kerusakan pembuluh darah.

3) Nefropatik diabetikum merupakan penyakit ginjal dibetes yang

mengkibatkan kegagalan fungsi ginjal.

4) Proteinuria merupakan faktor resiko penurunn faal ginjal.

5) Kelainan koroner.merupakan suatu keadan akibat terjdinya

penyempitan, penyumbatan dan kelainan pembuluh nadi koroner.

Penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah

ke otot yang di tandai dengan rasa nyeri.

6) Ulkus/ gangren diabetikum adalah kematian yang di sebabkan oleh

penyumbatan pembuluh darah (ischemic necrosis) karena adnya

mikroemboli retrombosis akibat penyakit vaskular perifir oklusi yang

penyertai penderita dibetes sebagai kompliksi menahun dari dibetes itu

sendiri

2.2 Konsep Kecemasan

2.2.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah gangguan alam sadar (effective) yang ditandai

dengan perasaan ketakutan atau kehawatiran yang mendalam dan

berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality

Testing Ability/RTA), masih baik, kepribadian masih tetap utuh (tidak

mengalami keretakan kepribadian/ splitting of personality ), perilaku dapat

terganggu tapi masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2012).

Kecemasan (Ansietas) adalah manifestasi dari berbagai proses emosi

yang bercampur baur dan terjadi ketika mengalami tekanan perasaan


(frustasi) dan pertentangan batin (Darajat, 2017).

Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb, Kecemasan adalah situasi yang

mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai

perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah

dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup (Fitri, 2015).

Kecemasan ialah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang

berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini

tidak memiliki objek yang spesifik (Stuart, 2007)

2.2.2 Teori Kecemasan

Cemas merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan

sesuatu di luar dirinya dan meknisme diri yang digunakan dalam mengatasi

permasalahan. Menurut Stuart (2007) ada beberapa teori yang menjelaskan

tentang kecemasan, antara lain:

1. Teori Psikoanalisis

Dalam pandangan psikoanalisis, cemas adalah konflik emosional

yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id

mewakili dorongan insting dan implus primitif seseorang, sedangkan

superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh

norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi mengetahui tuntutan dari

dalam elemen tersebut, dan fungsi ansietas adalah meningkatkan ego

bahwa ada bahaya.

2. Teori Interpersonal

Dalam pandangan interpersonal, cemas timbul dari perasaan takut

terhadap penolakan saat berhubungan dengan orang lain. Hal ini juga

berhubungan dengan trauma pada masa pertumbuhan, seperti

kehilangan dan perpisahan dengan orang yang dicintai. Penolakan


terhadap eksistensi diri oleh orang lain atau pun masyarakat akan

menyebabkan individu yang bersangkutan menjadi cemas, namun bila

keberadaannya diterima oleh orang lain, maka ia akan merasa tenang dan

tidak cemas. Dengan demikian cemas berkaitan dengan hubungan antara

manusia.

3. Teori Perilaku

Menurut pandangan perilaku, cemas merupakan produk frustasi

yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang

untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku lain menganggap

cemas sebagai suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari

dalam untuk menghindari kepedihan. Peka tentang pembelajaran meyakini

bahwa individu yang terbiasa dalam kehidupan dirinya dihadapkan pada

ketakutan yang berlebih sering menunjukan cemas pada kehidupan

selanjutnya

4. Teori keluarga

Kajian keluarga menunjukan bahwa gangguan cemas merupakan

hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga, Adanya tumpang tindih

antara gangguan cemas dan gangguan depresi.

5. Teori biologis

Kajian biologis menujukan bahwa otak mengandung reseptor khusus

untuk benzodiazepine, reseptor ini mungkin memicu cemas.

Penghambatan asam aminobuitrik-gamma neuroregulator (GABA) juga

memungkinkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan

dengan kecemasan, sebagaimana halnya dengan endorphin. Selain

itu telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai

akibat nyata sebagai predisposisi terhadap cemas.


Rentang Respon Ansietas ꞉

Respon Respon

Antis Ringa Sed Berat P

Gambar 2.1: Rentang respon kecemasan

Sumber: Stuart dan Sundeen dalam buku Asmadi (2018).

2.2.3Tingkat dan Karakteristik kecemasan

Setiap tingkatan ansietas mempunyai karakteristik atau manifestasi

yang berbeda satu sama lain. Manifestasi yang terjadi tergantung pada

kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi tantangan, harga diri,

dan mekanisme koping yang digunakan (Stuart, 2007).

Tingkat kecemasan, yaitu:

1. Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-

hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan

lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar dan

menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.

2. Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal

yang penting dan mengenyampingkan pada hal yang lain, sehingga

seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan

sesuatu yang lebih terarah.

3. Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang


cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik dan tidak

berfikir tentang hal yang lain, semua perilaku ditunjukan untuk mengurangi

ketegangan

4. Panik berhubungan dengan terperangah ketakutan dan eror. Rincian

terpecah dari proporsinya karena mengalami kehilangan kendali. Orang

yang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan

pengarahan, panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik

terjadi aktifitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan

dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran

yang rasional.

Gejala klinis kecemasan Menurut. Dadang Hawari, Psikiater (2012):

Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami

gangguan kecemasan antara lain:

1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan fikirannya sendiri, mudah

tersinggung.

2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.

3. Takut sendirian, takut pada keramaian, dan banyak orang.

4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.

5. Gangguan konsenterasi dan daya ingat.

6. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang.

Pendengaran berdenging, berdebar –debar, sesak napas, gangguan

pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya.

2.2.4Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan, antara lain:

Faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat

berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor

eksternal). Pencetus ansietas menurut Asmadi (2018) dapat dikelompokan ke

dalam dua kategori yaitu (Asmadi, 2018):

1. Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidak mampuan fisiologis atau


gangguan dalam melakukan aktifitas sehari-hari guna pemenuhan terhadap

2. kebutuhan dasarmya.

3. Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat

mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status/peran diri,

dan hubungan interpersonal.

Menurut Dadang Hawari (2012) mekanisme terjadinya cemas yaitu

psiko-neuro-imunologi atau psiko-neuro-endokrinolog. Stresor psikologis yang

menyebabkan cemas adalah perkawinan, orangtua, antar pribadi, pekerjaan,

lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik, faktor keluarga,

dan trauma. Akan tetapi tidak semua orang yang mengalami stressor

psikososial akan mengalami gangguan cemas hal ini tergantung pada struktur

perkembangan kepribadian diri seseorang tersebut yaitu usia, tingkat

pendidikan, pengalaman, jenis kelamin, dukungan sosial dari keluarga,

teman, dan masyarakat.

1. Usia

pertumbuhan dan perkembangan seorang individu. Umur berkorelasi

dengan pengalaman, pengalaman berkorelasi dengan pengetahuan,

pemahaman dan pandangan terhadap suatu penyakit atau kejadian

sehingga akan membentuk persepsi dan sikap. Kematangan dalam proses

berpikir pada individu yang berumur dewasa lebih memungkinkannya untuk

menggunakan mekanisme koping yang baik dibandingkan kelompok umur

anak-anak, ditemukan sebagian besar kelompok umur anak yang

mengalami insiden fraktur cenderung lebih mengalami respon cemas yang

berat dibandingkan kelompok umur dewasa (Lukman, 2017)

2. Pengalaman

Robby,2009 pengalaman masa lalu terhadap penyakit baik yang


positif maupun negatif dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan

menggunakan koping. Kebehasilan seseorang dapat membantu individu

untuk mengembangkan kekuatan coping, sebaliknya kegagalan atau

reaksi emosional menyebabkan seseorang menggunakan coping yang

maladaptif terhadap stressor tertentu.

3. Dukungan

Menurut Kaplan dan Saddock, 1994 dukungan psikososial keluarga

adalah mekanis mehubungan interpersonal yang dapat melindungi

seseorang dari efek stress yang buruk. Pada umumnya jika seseorang

memiliki sistem pendukung yang kuat, kerentanan terhadap penyakit

mental akan rendah (Bahsoan,2013).

4. Jenis kelamin

Berkaitan dengan kecemasan pada pria dan wanita, Myers (1983)

mengatakan bahwa perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya

dibanding dengan laki-laki, laki-laki lebih aktif, eksploratif, sedangkan

perempuan lebih sensitif. Penelitian lain menunjukkan bahwa laki-laki

lebih rileks dibanding perempuan (Power dalam Myers, 1983) (Creasoft,

2017).

Sunaryo, 2014 menulis dalam bukunya bahwa pada umumnya

seorang laki-laki dewasa mempunyai mental yang kuat terhadap sesuatu

hal yang dianggap mengancam bagi dirinya dibandingkan perempuan.Laki-

laki lebih mempunyai tingkat pengetahuan dan wawasan lebih luas

dibanding perempuan, karena laki-laki lebih banyak berinteraksi dengan

lingkungan luar sedangkan sebagian besar perempuan hanya tinggal

dirumah dan menjalani aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga, sehingga

tingkat pengetahuan atau transfer informasi yang di dapatkan terbatas

tentang pencegahan penyakit.


5. Pendidikan

Hasil Riset yang dilakukan Stuarth and Sundden (1999) menunjukan

responden yang berpendidikan tinggi lebih mampu menggunakan

pemahaman mereka dalam merespon kejadian fraktur secara adaptif

dibandingkan kelompok responden yang berpendidikan rendah

(Lukman,2017). Kondisi ini menunjukan respon cemas berat cenderung

dapat kita temukan pada responden yang berpendidikan rendah karena

rendahnya pemahanan mereka terhadap kejadian fraktur sehingga

membentuk persepsi yang menakutkan bagi mereka dalam merespon

kejadian fraktur.

2.2.5 Mekanisme Koping kecemasan

Setiap ada stressor penyebab individu mengalami kecemasan, maka

secara otomatis muncul upaya untuk mengatasi dengan berbagai

mekanisme koping. Penggunaan mekanisme koping akan efektif bila didukung

dengan kekuatan lain dan adanya keyakinan pada individu yang bersangkutan

bahwa mekanisme yang digunakan dapat mengatasi kecemasannya.

Kecemasan harus segera ditangani untuk mencapai homeostatis pada diri

individu, baik secara fisiologis maupun psikologis

Menurut Asmadi (2008) mekanisme kopingterhadap kecemasan

dibagi menjadi dua kategori :

1. Strategi pemecahan masalah (problem solving strategic)

2. Strategi pemecahan masalah ini bertujuan untuk megatasi atau

menanggulangi masalah/ancaman yang ada dengan

kemampuanpengamatan secara realistis. Secara ringkas pemecahan


masalah ini menggunakan metode Source, Trial and Error, Others Play

and Patient (STOP).

3. Mekanisme pertahanan diri (defence mekanism)

Mekanisme pertahanan diri ini merupakan mekanisme

penyesuaian ego yaitu usaha untuk melindungi diri dari perasaan tidak

adekuat.

Beberapa ciri mekanisme pertahanan diri antara lain:

2.2.6Alat ukur tingkat kecemasan

Pengukuran tingkat kecemasan dapat dinilai menggunakan alat ukur

kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) (Thompson,

2015). Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan

pada munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan.

Menurut skala HARS terdapat 14 gejala yang nampak pada individu yang

mengalami kecemasan.

Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang

diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam

pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic (Thompson,

2015). Skala HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup

tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian trial clinic

yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan

dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid dan

reliable.

Tabel 2.3 Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS)


Nilai Angka (Skor)
No Gejala Kecemasan 0 1 2 3 4
1 Perasaan kecemasan
a. Cemas
b. Firasat buruk
c. Takut akan pikiran sendiri
d. Mudah tersinggung
2 Ketegangan
a. Merasa tegang
b. Lesu
c. Tidak bisa istirahat tenang
d. Mudah terkejut
e. Mudah menangis
f. Gemetar
g. Gelisah
3 Ketakutan
a. Pada gelap
b. Pada orang lain
c. Ditinggal sendiri
4 Gangguan tidur
a. Sukar tidur
b. Terbangun malam hari
c. Tidur tidak nyenyak
d. Bangun dengan lesu
e. Mimpi buruk
5 Gangguan kecerdasan
a. Sukar kosentrasi
b. Daya ingat menurun
c. Daya ingat buruk

6 Perasaan depresi (murung)


a. Hilangnya minat
b. Sedih
c. Bangun dini hari
d. Perasaan berubah-ubah
7 Gejala somatik/fisik (otot)
a. Sakit dan nyeri di otot
b. Kaku
c. Kedutan otot
d. Gigi gemerutuk
e. Suara tidak stabil
8 Gejala somatik/fisik (sensorik)
a. Tinitus (telinga berdenging)
b. Penglihatan kabur
c. Muka merahatau pucat
d. Merasa lemas
9 Gejala kardiovaskular
a. Takikardia
b. Berdebar-debar
c. Nyeri di dada
d. Denyut nadi mengeras
e. Rasa lesu/lemas seperti
mau pingsan
10 Gejala respiratori (pernapasan)
a. Rasa tertekan
b. Rasa tercekik
c. Sering menarik nafas
d. Nafas pendek /sesak
11 Gejala gastrointestinal
a. Sulit menelan
b. Perut melilit
c. Gangguan pencernaan
d. Nyeri sebelum atau
sesudah makan
e. Rasa penuh dan kembung
f. Buang air besar lembek
atau konstipasi
12 Gejala perkemihan
a. Sering buang air seni
b. Tidak dapat
menahan air seni
13 Gejala autonomy
a. Mulut kering
b. Muka merah
c. Mudah berkeringat
d. Kepala terasa berat
14 Tingkah laku
a. Gelisah
b. Tidak tenang
c. Jari gemetar
d. Keut kening
e. Muka tegang
f. Otot tegang/mengeras

Keterangan:
Penilaian kecemasan (Nursalam, 2015) adalah dengan
memberikan nilai dengan kategori:

0 = tidak ada gejala sama sekali

1 = Satu dari gejala yang ada

2 = Sedang/ separuh dari gejala yang ada


3 = berat/lebih dari separuh gejala yang ada

4 = sangat berat/ semua gejala ada

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan


item 1-14 dengan hasil:
1. Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan.
2. Skor 7 – 14 = kecemasan ringan.
3. Skor 15 – 27 = kecemasan sedang.
4. Skor lebih dari 27 = kecemasan berat.

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah

ringan, sedang, berat atau berat sekali dengan menggunakan alat ukur yang
digunakan Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS - A).

Alat ukur ini dari 14 kelompok, yaitu:

1. Perasaan cemas, yang meliputi firasat buruk, takut akan pikiran sendiri,

mudah tersinggung dan cemas.

2. Ketegangan, yang meliputi merasa tegang, lesu, tidak bisa istirahat tenang,

3. mudah terkejut, mudah menangis, gemetar, gelisah.

4. Gangguan tidur yang meliputi sukar masuk tidur, terbangun malam hari, tidur

tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi-mimpi buruk, mimpi

menakutkan.

5. Ketakutan yang meliputi ketakutan pada gelap, pada orang asing, ditinggal

sendiri, takut pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas, takut pada

kerumunan orang banyak.

6. Gangguan kecerdasan, yang meliputi hilangnya minat, berkurangnya

kesenangan pada hobi, bagun dini hari, perasaan berubah-ubah

sepanjang hari.

7. Perasaan depresi (murung), yang meliputi hilangnyaminat,

berkurangnya kesenangan pada hobi, sedih, bangun dini hari, perasaan

berubah-ubah sepanjang hari.

8. Gejala somatik fisik (otot), yang meliputi sakit dan nyeri di otot-otot, kaku,

kedutan otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil.

9. Gejala somatik/fisik(sensorik) yang meliputi tinitus (telinga berdenging),

penghilatan kabur, muka merah atau pucat, merasa lemas, perasaan ditusuk-

tusuk.

10. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) yang meliputi takikardia

(denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri pada dada, denyut nadi

mengeras, rasa lesu/lemas seperti mau pingsan, detak jantung menghilang


(berhenti sekejap).

11. Gejala respirasi (pernapasan) yang meliputi, rasa tertekan atau sempit di

dada, rasa tercekik, sering menarik nafas, nafas pendek dan sesak. Gejala

gatrointerstinal (pencernaan)

12. Sulit menelan, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan

sesudah makan, perasaan terbakar di perut, rasa penuh atau kembung,

mual, muntah, buang air besar lembek, sukar buang air besar (konstipasi),

kehilangan berat badan.

13. Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin), yang meliputi sering buang air

kecil. Tidak dapat menahan air seni, menjadi dingin), menstruasi tidak

teratur. Gejala autonom yang meliputi mulut kering, berkeringat banyak pada

tangan, bulu roma berdiri, perasaan panas dan dingin, berkeringat seluruh

tubuh.

14. Gejala perubahan perilaku, yang meliputi gelisah, ketegangan fisik, gugup

bicara cepat, lambat dalam beraktivitas.

2.3 Kadar Gula Darah

2.3.1 Definisi

Kontrol glikemik pada pasien DM dapat dilihat dari dua hal yaitu glukosa

darah sesaat dan glukosa darah jangka panjang. Pemantauan glukosa darah

sesaat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu,

glukosa darah puasa, dan glukosa darah 2 jam postprandial. Kontrol glikemik

jangka panjang dievaluasi dengan pemeriksaan kadar hemoglobin terglikasi

(Qaseem, et al., 2007).


1. Glukosa plasma

Glukosa adalah substrat metabolik primer di dalam tubuh. Kadar glukosa

plasma sekitar 100 mg/dl pada keadaan status makan maupun puasa.

Glukosa memasuki sel bergantung pada adanya insulin, kecuali otak.

Penggunaan glukosa di serebrum bebas dari pengaruh insulin,

dan hanya membutuhkan kadar glukosa plasma 60 mg/dl. Kadar dibawah

ini menyebabkan disrupsi fungsi otak dan menstimulasi saraf simpatis

untuk meningkatkan aliran darah ke otak. Glukosa plasma merupakan

representasi keseimbangan antara absorbsi glukosa dari diet, pergerakan

ke dalam dan ke luar kantong penyimpanan, serta penggunaan oleh

jaringan (Black & Hawks, 2014).

Sumber penyimpanan glukosa adalah termasuk glikogen,

komponen gliserol dari lemak, dan asam amino. Meskipun hanya insulin

yang menurunkan kadar glukosa darah plasma, tetapi semua hormon

glukagon, kortisol, hormon pertumbuhan, dan epinefrin dapat

meningkatkan kadar glukosa plasma. Kontrol endokrin yang multipel

mampu mempertahankan satu atau lebih sumber penyimpanan glukosa.

Sebagai contoh, glukagon memobilisasi sumber penyimpanan,

menghasilkan peningkatan kadar glukosa plasma. Hormon pertumbuhan

mencegah glukogenesis tetapi meningkatkan kadar glukosa melalui

mekanisme lain. Kortisol menjaga penyimpanan glikogen dan lemak di

pusat tubuh akan tetapi memobilisasi sumber penyimpanan glukosa

lainnya, termasuk glukogenesis. Epinefrin memobilisasi lemak dan sumber

glikogen. Setelah makan, kelebihan kadar glukosa plasma dipindahkan ke

bentuk simpanan, melalui fasilitas insulin. Selama periode puasa, glukosa


diambil dari sumber-sumber penyimpanan, kali pertama adalah glikogen,

kemudian lemak, dan jika masih kurang dari sumber asam amino (Black &

Hawks, 2014).

2. Kadar glukosa darah sewaktu (gula darah acak)

Pemeriksaan glukosa darah tanpa memperhatikan waktu makan.

Peningkatan kadar glukosa darah dapat terjadi setela makan, stress atau

pada diabetes mellitus. Nilai normal antara 70 mg/dL hingga 125 mg/dL.

Pasien dikatakan mengalami DM apabila kadar glukosa darah sewaktunya

≥ 200 mg/dL (Perkeni, 2019).

3. Kadar glukosa darah puasa

Kadar glukosa darah puasa diukur setelah terlebih dahulu pasien

tidak makan selama 8 jam. Kadar glukosa darah ini menggambarkan level

glukosa yang diproduksi oleh hati dan menunjukkan kadar glukosa darah

basal tubuh. Nilai normal berkisar antara 70 mg/dL sampai 110 mg/dL.

Pasien dikatakan mengalami DM apabila kadar glukosa darah puasanya ≥

126 mg/dL (Perkeni, 2019)

4. Kadar glukosa darah 2 jam postprandial (GDPP)

Pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam post pandrial yaitu

mengukur kadar glukosa darah tepat 2 jam setelah makan atau setelah

pemberian glukosa secara oral (75 g glukosa untuk dewasa atau 1,75

g/kg untuk anak-anak). Pemeriksaan ini menggambarkan efektifitas

insulin dalam transportasi glukosa ke sel. Normalnya kadar glukosa darah


akan sama dengan kembali dengan kadar glukosa darah puasa dalam

waktu 2 jam. Nilai normalnya antara 100 mg/dL-140 mg/dL. Pasien

dikatakan mengalami DM apabila kadar glukosa darah 2 jam setelah

makan ≥ 200 mg/dL (Perkeni, 2019).

5. Kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c)

Hemoglogin terglikasi atau HbA1c adalah salah satu fraksi hemoglobin di

dalam tubuh manusia yang berkaitan dengan glukosa secara enzimatik.

Kadar HbA1c yang terukur mencerminkan kadar glukosa rata-rata pada

waktu 2-3 bulan yang lalu sesuai dengan umur sel darah merah manusia

yaitu 100-120 hari (Nathan, et al., 2008).

1) Nilai normal HbA1c

HbA1c merupakan pemeriksaan yang mengukur jumlah glycated

hemoglobin dalam darah. Glycated hemoglobin adalah ikatan antara

glukosa dengan hemoglobin (terglikasi) dalam sel darah merah. Nilai

normal HbA1c sebagai berikut :

(1) Nilai HbA1c <6,5 % berarti kendali diabetes baik

(2) Nilai HbA1c 6,5 - 8 % berarti kendali diabetes sedang

(3) Nilai HbA1c >8 % berarti kendali diabetes buruk (Perkeni, 2019)

2) Waktu pemeriksaan

Tes hemoglobin terglikosilasi yang disebut juga sebagai

glikohemoglobin disingkat A1c merupakan cara yang digunakan untuk

menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak

dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.

Pemeriksaan A1c dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun

(Perkeni, 2019)

3) Keuntungan dan kerugian


Keuntungan dalam melakukan pemeriksaan HbA1c dalam

mendiagnosis DM antara lain tidak diperlukan puasa, sehingga

nyaman untuk pasien. Hasil yang stabil untuk memantau kondisi

hiperglikemik selama tiga bulan yang lalu tanpa dipengaruhi kondisi

stres dan sakit. HbA1c juga dapat digunakan sebagai tes saring bagi

seseorang dengan risiko tinggi terkena DM (WHO, 2011).

2.4 Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)

2.4.1 Sejarah SEFT

Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) dikembangkan dari

Emotional Freedom Technique (EFT). Emotional Freedom Technique (EFT)

adalah teknik penggabungan ilmu akupunktur dengan teknik perilaku dalam

psikologi (Dr. Axe, 2017). Terapi EFT pertama kali diperkenalkan pada tahun

1990an oleh Gary Craig, yang menganggap pendekatannya sebagai

kombinasi teknik mind-body dan akupresur yang efektif. Prinsip dasar EFT

adalah bahwa semua emosi dan pikiran adalah bentuk energi (Banerjee,

Puri and Luqman, 2015).

Energi positif maupun negatif, memiliki manifestasi fisik yang sangat

nyata sehingga dapat mempengaruhi seluruh fungsi tubuh (Dr. Axe, 2017).

SEFT merupakan penggabungan antara spiritualitas melalui doa,

keikhlasan, dan kepasrahan dengan energy psychology (Zainuddin 2012).

Dalam SEFT terdapat aspek spiritual, yaitu memasukkan doa sebagai


bagian dari dimulainya proses terapi hingga terapi berakhir (Zainuddin,

2012).

2.4.2 Definisi SEFT

Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) merupakan teknik

penggabungan dari sistem energi tubuh dan terapi spiritualitas dengan

menggunakan metode tapping pada beberapa titik tertentu pada tubuh

(Hakam, Yetti and Hariyati, 2009). Teknik SEFT ini berfokus pada kata atau

kalimat tertentu yang diucapkan berulang kali dengan ritme yang teratur

disertai sikap pasrah kepada Tuhan sesuai dengan keyakinan pasien

(Hakam, Yetti and Hariyati, 2009). Teori utama yang menjadi acuan dasar

dalam SEFT adalah energy pshycholog. Energy Pshychology memiliki lebih

banyak kesamaan dengan akupuntur, teknik pengobatan dari China (Church,

De Asis and Brooks, 2012).

Teori Energy Pshychology berasumsi bahwa setiap manusia

mempunyai suatu sistem energi yang mengatur seluruh sistem fisik maupun

psikis manusia. Sistem energi tersebut terdiri dari life force atau biasa

disebut acupoint sebagai pusat pembangkit energi dan penyuplai energi ke

sel tubuh manusia, dan 365 jalur meridian tubuh yang berfungsi sebagai

tempat mengalirnya chi (Church, Yount and Brooks, 2012).

Spiritual merupakan komponen yang membedakan antara SEFT dan

EFT. Terdapat penambahan unsur spiritual dalam SEFT berupa doa kepada

Tuhan (Alifi Karima, Kusnanto and Pradanie, 2016). Kondisi psikologis dan

penerimaan yang baik akan meningkatkan kualitas hidup. Ketidakberdayaan

pasien akan menimbulkan perubahan adaptasi pada respons psikologis,

sosial, dan spiritual.

Wachholtz and Sambamthoori (2013) melakukan penelitian pada


30.080 partisipan pada tahun 2002 dan 22.306 orang pada tahun 2007 yang

menderita sakit di rumah sakit. Mereka membagi semua partisipan menjadi 3

kelompok, yaitu kelompok yang tidak pernah berdoa, kelompok yang telah

berdoa selama 12 bulan dan kelompok yang tidak pernah berdoa semenjak

12 bulan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pada kelompok yang

berdoa, sama sekali tidak mengalami depresi dibandingkan kelompok yang

tidak berdoa.

2.4.3 Prosedur SEFT

1. Set-Up

Set-Up bertujuan untuk memastikan agar aliran energi tubuh

terarahkan dengan tepat (Feinstein and Ashland, 2012). Langkah ini

untuk menetralisir “psychological reversal” atau “perlawanan psikologis”.

Contoh psychological reversal (Church, 2013) :

a. Saya tidak bisa sembuh dari penyakit ini

b. Meskipun saya memiliki masalah ini

c. Saya benar-benar dan sepenuhnya menerima keadaan ini

Set-Up terdiri dari 2 aktivitas, yang pertama adalah mengucapkan

kalimat “Saya pasrah Ya Tuhan, meskipun sakit sesak ini sudah lama dan

belum sembuh, saya ikhlas, saya pasrah pada-Mu sepenuhnya”. Dengan

penuh rasa khusyu’, ikhlas, dan pasrah sebanyak 3 kali. Langkah kedua

adalah sambil mengucapkan dengan penuh perasaan, menekan dada

tepatnya di bagian “Sore Spot” (titik nyeri = daerah di sekitar dada atas

yang jika ditekan terasa agak sakit) atau mengetuk dengan dua ujung jari

di bagian “Karate Chop”. Setelah menekan titik nyeri atau mengetuk


karate chop sambil mengucapkan kalimat set-up seperti di atas, maka

lanjutkan dengan langkah kedua, “The Tune-In” (Zainuddin, 2012).

2. Tune-In

Masalah fisik, dilakukan tune-in, dengan cara merasakan rasa sakit

yang dialami, lalu mengarahkan pikiran ke tempat rasa sakit, diikuti dengan

hati dan mulut berdoa, “Ya Tuhan, saya pasrah, saya ikhlas.” Bersamaan

dengan Tune- In dilakukan langkah ketiga (Tapping). Pada proses inilah

terjadi proses menetralisir emosi negatif atau rasa sakit fisik (Zainuddin,

2012).

3. Tapping

Tapping adalah mengetuk ringan dengan dua ujung jari pada titik

tertentu di tubuh sambil terus Tune-In. Titik ini adalah titik kunci dari “The

Major Energy Meridians”, jika diketuk beberapa kali akan berdampak pada

ternetralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit yang dirasakan (Banerjee,

Puri and Luqman, 2015). Menurut penelitian Swingle et al. (2004) Tapping

mengurangi frekuensi gelombang otak yang terkait dengan stres atau

memperkuat yang terkait dengan relaksasi, serta menghasilkan perubahan

fisiologis yang bermanfaat lainnya (Church, 2013)


Gambar 2.5 Titik-titik tapping (Banerjee, Puri and Luqman, 2015)

Berikut adalah titik-titik tapping :

1) Cr = Crown

Pada titik di bagian atas kepala

2) EB = Eye Brow

Pada titik permulaan alis mata

3) SE = Side of The Eye

Di atas tulang di samping mata

4) UE = Under The Eye

2cm di bawah kelopak mata

5) UN = Under The None

Tepat di bawah hidung

6) Ch = Chin

Di antara dagu dan bagian bawah bibir

7) CB = Collar Bone

Di ujung tempat bertemunya tulang dada, collar bone, dan tulang

rusuk pertama

8) UA = Under The Arm

Di bawah ketiak sejajar dengan puting susu (pria) atau tepat di

bagian tengah tali bra (wanita)

9) BN = Bellow Nipple

2,5 cm di bawah puting susu (pria) atau di perbatasan antara

tulang dada dan bagian bawah payudara

10) IH = Inside The Hand


Di bagian dalam tangan yang berbatasan dengan telapak tangan

11) OH = Outside of Hand

Di bagian luar tangan yang berbatasan dengan telapak tangan

12)Th = Thumb

Ibu jari di samping luar bagian bawah kuku

13)IF = Index Finger Jari

Jari telunjuk di samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang

menghadap ibu jari).

14) MF = Middle Finger

Jari tengah samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang

menghadap ibu jari)

15)RF = Ring Finger

Jari manis di samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang

menghadap ibu jari)

16)BF = Baby Finger

Di jari kelingking di samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang

menghadap ibu jari)

17)KC = Karate Chop

Di samping telapak tangan, bagian yang kita gunakan untuk

mematahkan balok saat karate

18)GS = Gamut Spot

Di bagian antara perpanjangan tulang jari manis dan tulang jari

kelingking. Setelah menyelesaikan 9 gamut procedure, langkah

terakhir adalah mengulang lagi tapping dari titik pertama hingga ke-

17 (berakhir di karate chop). Dan diakhiri dengan mengambil napas


panjang dan menghembuskannya, sambil mengucapkan syukur

(Zainuddin, 2012).

2.4.4Kunci kesembuhan dengan SEFT

Ada lima hal yang harus diperhatikan agar SEFT yang dilakukan efektif.

Hal tersebut merupakan kunci keberhasilan SEFT dan harus dilakukan selama

proses terapi, mulai dari Set-up, Tune-in, sampai Tapping.

1. Yakin

Terapi dan pasien harus yakin atas Kuasa sang Pencipta. Segala

sesuatu ditentukan oleh Tuhan.

2. Khusyu’

Penderita harus berdoa dengan penuh kerendahan hati. Salah

satu penyebab tidak terkabulnya doa adalah karena tidak khusyu’, hati dan

pikiran tidak hadir saat berdoa, alias berdoa hanya di mulut saja, tidak

sepenuh hati (Zainuddin, 2012)

3. Ikhlas

Ikhlas artinya ridho atau menerima rasa sakit (baik fisik maupun

emosi) dengan sepenuh hati. Ikhlas artinya tidak mengeluh, tidak protes

atas musibah sakit yang sedang diterima (Zainuddin, 2012).

4. Pasrah

Pasrah adalah menyerahkan apa yang terjadi pada Allah SWT.

Pasrah memberikan ketenangan jiwa dan kedamaian pikiran.

5. Syukur

Syukur berarti menampakkan nikmat yang diperoleh dan

mempergunakannya pada hal yang lebih bermanfaat.


2.4.5 Pengaruh SEFT terhadap kecemasan dan kualitas tidur

Terapi SEFT terdiri dari dua aspek, yaitu spiritual dan biologis. Aspek

spiritual terdiri dari dua langkah, yaitu Set-Up yang bertujuan untuk

memastikan agar aliran energi tubuh terarahkan dengan tepat. Langkah ini

dilakukan untuk menetralisir “Psychological Reversal” atau “perlawanan

psikologis”, dan berisi doa kepasrahan (Church, 2013). Langkah kedua

adalah Tune-In dengan cara merasakan rasa sakit yang dialami, lalu

mengarahkan pikiran ke tempat rasa sakit (Self Hypnosis). Aspek kedua

adalah aspek biologi, yang terdiri dari tapping atau ketukan ringan pada 18

titik energi tubuh yang melewati 12 jalur meridian tubuh (The Major Energy

Meridians). Ketukan yang dilakukan akan merangsang “electrically active

cells” sebagai pusat aktif yang terdiri dari kumpulan sel aktif yang ada di

permukaan tubuh. Tapping yang dilakukan akan menimbulkan hantaran

rangsang berupa sinyal transduksi yang terjadi dalam proses biologik akibat

rangsangan pada titik utama EFT (Feinstein and Ashland, 2012).

Ketika seseorang dalam keadaan takut kemudian dilakukan tapping

pada titik acupoint maka terjadi penurunan akitivitas amygdala, dengan kata

lain terjadi penurunan aktivitas gelombang otak, hal tersebut juga membuat

respons fight or flight pada partisipan terhenti. Untuk kemudian

memunculkan efek relaksasi yang akan menetralisir segala ketegangan

emosi yang dialami individu (Feinstein and Ashland, 2012). Efek ini sama

dengan respons yang muncul ketika seseorang distimulasi dengan jarum

akupuntur pada titik meridiannya. Sementara itu, jika dilihat dari aspek reaksi

fisiologis terhadap SEFT, mengetuk ringan (tapping) pada 12 titik meridian

tubuh tersebut dapat menstimulasi gland pituitary untuk mengeluarkan

hormon endorphine (Rokade, 2011), di mana hormon tersebut akan


memberikan efek menenangkan serta menimbulkan perasaan bahagia

(Goldstein dan Lowry, 1975 dalam Rokade, 2011).

Kondisi depresi dan kecemasan yang berkepanjangan tanpa

penanganan, dapat menciptakan ketidakseimbangan serotonin, zat kimia

penting dalam otak yang bertanggung jawab untuk membuat orang bahagia

dan berjiwa sosial (Rokade, 2011). Menurut penelitian Swingle et al. (2004)

Tapping mengurangi frekuensi gelombang otak yang terkait dengan stres

atau memperkuat yang terkait dengan relaksasi, serta menghasilkan

perubahan fisiologis yang bermanfaat lainnya (Church, 2013).

2.5 Konsep Teori Model Adaptasi Sister Callista Roy

Sister Callista Roy adalah anggota Sister of Saint Joseph of Carondolet

yang lahir pada 14 Oktober 1939 di Los Angeles. Dia menerima gelar S1

keperawatan pada tahun 1963 di Mount Saint Mary’s College di Los Angeles

dan menyelesaikan master keperawatan di Universitas California pada tahun

1966. setelah menyelesaikan master keperawatan, Roy memulai pendidikan di

bidang sosiologi dan menyelesaikan master tahun 1973 dan doktroral tahun

1977 di Universitas California. Dalam seminar dengan Dorothy E. Jhonson,

Roy tertantang untuk mengembangkan sebuah model konsep keperawatan.

Konsep adaptasi mempengaruhi Roy dalam pengembangan konsep

keperawatan. Dimulai dengan pendekatan teori sistem, Roy menambahkan

kerja adaptasi dari Helsen seorang ahli fisiologi dan psikologi. Helsen

membangun pengertian dan konsep adaptasi dengan mengartikan respon

adaptif sebagai fungsi dari datangnya stimulus sampai tercapainya derajat

adaptasi yang dibutuhkan individu.

Model adaptasi Roy untuk keperawatan merupakan teori yang


diturunkan dari teori Harry Helson yang mengungkapkan bahwa proses

adaptasi merupakan fungsi dari stimulus yang datang dan tingkat adaptif (Roy,

1984). tingkat adaptasi merupakan gabungan dari tiga kelas stimulus berikut :

1. Stimulus fokal, yaitu stimulus yang memicu indivudu dengan segera.

2. Stimulus kontekstual yaitu segala stimulus selain stimulus fokal yang

menambah dampak stimulus fokal.

3. Stimulus Residual adalah faktor lingkungan yang dampaknya tidak jelas

dalam situasi tertentu dan sukar diobservasi. Stimulus yang mempengaruhi

proses adaptasi diantaranya:

a. kultur meliputi: status sosial ekonomi, etnis, sistem keyakinan

b. keluarga meliputi: struktur dan tugas-tugas

c. tahap perkembangan meliputi: factor usia, jenis kelamin, tugas,

keturunan dan genetik;

d. integritas mode adaptif meliputi: fungsi fisiologis (mencakup patologi

penyakit), konsep diri, fungsi peran, interdependensi;

e. efektivitas kognator meliputi : persepsi, pengetahuan, ketrampilan dan;

f. pertimbangan lingkungan meliputi: perubahan lingkungan internal atau

eksternal, pengelolaan medis, obat-obatan, alkohol dan tembakau

(Marriner & Alligood, 2014).

Ketiga stimuli tersebut akan bekerja bersamaan dan mempengaruhi level

adaptasi seseorang yaitu kemampuan seseorang untuk berespon positif

terhadap situasi. Level adaptasi menyesuaikan dengan mekanisme koping

individu dan control proccess. Dua subsistem tersebut dapat diobservasi

melalui 4 model adaptasi, yaitu :


1. Model adaptasi fisiologi

Merupakan bagaimana kemampuan fisik seseorang berespon

terhadap stimulus dari lingkungan. Kebutuhan fisik dalam model ini antara

lain oksigen, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat serta perlindungan.

Empat proses komplek dalam regulasi aktivitas dalam model ini antara lain

indra/fungsi sensori, cairan dan elektrolit, fungsi saraf dan fungsi endokrin.

Integritas fisik merupakan respon adaptif dari model ini.

2. Model adaptasi konsep diri

Model ini berisi psikologis dan spiritual dari individu. Konsep diri dari

seseorang terdiri dari perasaan dan kepercayaan yang terbentuk tentang

diri sendiri. Konsep diri terbentuk dari persepsi internal dan persepsi orang

lain. Konsep diri terdiri dari 2 komponen yaitu physical self (body sensation

and body image) dan personal self (self consistency, self ideal, and moral

ethical, spiritual self).

3. Model adaptasi fungsi peran

Model ini mengarah pada peran primer, sekunder, dan tersier dari individu

dalam masyarakat. Peran merupakan bagaimana individu dapat

menjalankan fungsinya dalam masyarakat sesuai dengan apa yang

diharapkan sesuai posisi dalam masyarakat.

4. Model adaptasi interdependen

Model ini mengarah pada mekanisme koping individu dalam sebuah

hubungan atau interaksi dengan orang lain dalam memberi dan menerima

cinta dan kasih sayang, perhatian dan nilai.


Roy berpendapat bahwa terdapat 5 objek utama dalam ilmu keperawatan yaitu

manusia, keperawatan, konsep sehat, konsep lingkungan dan tindakan

keperawatan dengan pembahasan sebagai berikut (Nursalam, 2016) :

1. Manusia

Roy menyatakan bahwa penerima jasa asuhan keperawatan adalah

individu, keluarga, kelompok, komunitas, atau sosial sebagai sistem

adaptasi yang holistik dan terbuka. Sistem terbuka tersebut berdampak

terhadap perubahan yang konstan terhadap informasi, kejadian, dan

energi antar sistem dan lingkungan. Perubahan tersebut harus

mempertahankan integritas dirinya yaitu beradaptasi secara kontinu.

1) Input

Sistem adaptasi memiliki input dari internal individu berupa suatu

stimulus. Stimulus merupakan suatu unit informasi, kejadian atau energi

yang berasal dari lingkungan. Respons individu terhadap stimulus

menentukan tingkat adaptasi dari individu tersebut. Tingkat respons

antara individu sangat unik dan bervariasi bergantung pada

pengalaman yang didapatkan sebelumnya, status kesehatan individu,

dan stressor yang diberikan.

2) Proses

(1) Roy menggunakan istilah mekanisme koping untuk menjelaskan

proses kontrol dari individu sebagai suatu sistem adaptasi.

Mekanisme koping dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan

dapat dipelajari. Roy menekankan ilmu keperawatan yang unik


untuk mengontrol mekanisme koping. Mekanisme tersebut

dinamakan regulator dan kognator.

(2) Subsistem regulator memiliki komponen input, proses internal dan

output. Stimulus input berasal dari dalam atau luar individu.

Perantara sistem regulator berupa kimiawi, saraf atau endokrin.

Refleks otonomi sebagai respons neural berasal dari batang otak

dan korda spinalis, diartikan sebagai suatu perilaku output dari

sistem regulasi. Organ target (endoterin) dari dan jaringan

dibawah kontrol endokrin juga memproduksi perilaku output

regulator.

(3) Contoh proses regulator tersebut terjadi ketika stimulus eksternal

divisualisasikan dan ditransfer melalui saraf mata menuju pusat

saraf otak dan bagian bawah pusat saraf otonomi. Saraf simpatetik

dari bagian ini mempunyai dampak yang bervariasi pada viseral,

termasuk peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.

(4) Stimulus terhadap subsistem kognator juga berasal dari faktor

internal dan eksternal. Perilaku output subsistem regulator dapat

menjadi umpan balik terhadap stimulus subsistem kognator.

Proses kontrol kognator berhubungan dengan fungsi otak yang

tinggi terhadap persepsi atau proses informasi, pengambilan

keputusan dan emosi. Persepsi proses informasi juga

berhubungan dengan proses imitasi dan penguatan. Penyelesaian

masalah dan pengambilan keputusan dan khususnya emosi untuk

mencari kesembuhan, dukungan yang efektif dan kebersamaan.

(5) Dalam mempertahankan integritas seseorang, kognator dan


regulator bekerja bersama. Sebagai suatu sistem adaptasi, tingkat

adaptasi seseorang dipengaruhi oleh perkembangan individu dan

penggunaan mekanisme koping yang maksimal akan berdampak

baik terhadap tingkat adaptasi individu dan meningkatkan tingkat

rangsangan sehingga individu dapat merespons terhadap positif.

3) Efektor

Roy mendefenisikan sistem efektor merupakan sistem adaptasi proses

internal yang terjadi pada individu yang meliputi : fisiologis, konsep diri,

fungsi peran dan ketergantungan.

(1) Fisiologis

a. Oksigenasi menggambarkan pola penggunaan oksigen yang

berhubungan dengan resirasi dan sirkulasi.

b. Nutrisi menggambarkan pola penggunaan nutrisi untuk

memperbaiki kondisi dan perkembangan tubuh klien.

c. Eliminasi menggambarkan pola eliminasi

d. Aktivitas dan istirahat menggambarkan pola aktivitas, latihan,

istirahat dan tidur

e. Integritas kulit menggambarkan fungsi fisiologis kulit

f. Rasa menggambarkan fungsi sensori perseptual yang

berhubungan dengan panca indera penglihatan, penciuman,

perabaan, pengecapan, dan pendengaran.

g. Cairan dan elektrolit menggambarkan pola fisiologis


penggunaan cairan dan elektrolit

h. Fungsi neurologis menggambarkan pola kontrol neurologis,

pengaturan dan intelektual

i. Fungsi endokrin menggambarkan pola kontrol dan pengaturan

termasuk respons stres dan sistem reproduksi.

(2) Konsep diri

Konsep diri mengidentifikasi nilai, kepercayaan, dan emosi yang

berhubungan dengan ide diri sendiri. Perhatian ditujukan pada

kenyataan keadaan diri sendiri tentang fisik, individual, dan normal

etik.

(3) Fungsi peran

Fungsi peran mengidentifikasi tentang pola interaksi sosial

seseorang yang berhubungan dengan orang lain akibat dari peran

ganda yang dijalankan.

(4) Ketergantungan

Interdependen mengidentifikasi pola nilai-nilai manusia,

kehangatan, cinta, dan memiliki. Proses tersebut terjadi melalui

hubungan interpersonal terhadap individu maupun kelompok.

4) Output

Perilaku seseorang berhubungan dengan metode adaptasi. Koping

yang tidak efektif terdampak terhadap respons sakit (maladaptif). Jika

klien masuk pada zona maladaptif maka klien mempunyai masalah


keperawatan (adaptif).

2. Keperawatan

Roy mendefenisikan bahwa tujuan keperawatan adalah

meningkatkan respons adaptasi yang berhubungan dengan empat model

respons adaptasi. Perubahan internal, eksternal, dan stimulus input

bergantung dari kondisi koping individu. Kondisi koping menggambarkan

tingkat adaptasi seseorang. Tingkat adaptasi ditentukan oleh stimulus

fokal, kontekstual, dan residual. Stimulus fokal adalah suatu respons yang

diberikan secara langsung terhadap input yang masuk. Stimulus

kontekstual adalah semua stimulus lain yang merangsang seseorang baik

internal maupun eksternal serta mempengaruhi situasi dan dapat

diobservasi, diukur, dan secara subjektif disampaikan oleh individu.

Stimulus residual adalah karakteristik/riwayat seseorang dan timbul secara

relevan sesuai dengan situasi yang dihadapi tetapi sulit diukur secara

obyektif.

Tindakan keperawatan yang diberikan adalah meningkatkan

respons adaptasi pada situasi sehat dan sakit. Tindakan tersebut

dilaksanakan oleh perawat dalam manipulasi stimulus fokal, kontekstual,

atau residual pada individu. Dengan memanipulasi semua stimulus

tersebut, diharapkan individu akan berada pada zona adaptasi. Jika

memungkinkan stimulus fokal yang dapat mewakili semua stimulus harus

dirangsang dengan baik. Untuk mengubah kebutuhan agar respons

adaptasi dapat terpenuhi. Jika stimulus fokal tidak dapat diubah, perawat
harus meningkatkan respons adaptif dengan memanipulasi stimulus

kontekstual dan residual.

3. Konsep sehat-sakit

Roy mendefenisikan sehat sebagai suatu kontinum dari meninggal

sampai dengan tingkatan tertinggi sehat. Dia menekankan sehat

merupakan suatu keadaan dan proses dalam upaya menjadikan dirinya

terintegrasi secara keseluruhan yaitu fisik, mental, dan sosial. Integritas

adaptasi individu dimanifestasikan oleh kemampuan individu untuk

memenuhi tujuan mempertahankan pertumbuhan dan reproduksi.

Sakit adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk

beradaptasi terhadap rangsangan yang berasal dari dalam dan luar

individu. Kondisi sehat dan sakit sangat relatif dipersepsikan oleh individu.

Kemampuan seseorang dalam beradaptasi (koping) bergantung pada latar

belakang individu tersebut dalam mengartikan dan mempersepsikan

sehat-sakit, misal tingkat pendidikan, pekerjaan, usia, budaya, dan lain-

lain.

4. Konsep lingkungan

Stimulus dari individu dan stimulus sekitarnya merupakan unsur

penting dalam lingkungan. Roy mendefenisikan lingkungan sebagai semua

kondisi yang berasal dari internal dan eksternal, yang mempengaruhi dan

berakibat terhadap perkembangan dan perilaku seseorang dan kelompok.

Lingkungan eksternal dapat berupa fisik, kimiawi, ataupun psikologis yang

diterima individu dan dipersepsikan sebagai suatu ancaman. Lingkungan

internal adalah keadaan proses mental dalam tubuh individu (berupa

pengalaman,kemampuan emosional, kepribadian) dan proses stressor

biologis yang berasal dari dalam tubuh individu.

5. Proses keperawatan
Model ilmu keperawatan adaptasi Roy memberikan pedoman

kepada perawat dalam mengembangkan asuhan keperawatan melalui

proses keperawatan. Unsur proses keperawatan meliputi pengkajian,

penetapan diagnosa, intervensi, dan evaluasi.

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual


Terapi spiritual priritual emotional freedom technique melalui
pendekatan spiritual berupa support, kalimat-kalimat motivasi,
kesyukuran dan kepasrahan diri menurunkan kecemasan, glukosa
darah
Niat, perhatian, komitmen, dan INPUT
motivasi
Anterior cingulate cortex (ACC) : regulasi perhatian

Menurunkan aktivasi amigdala PROSES

Prefrontal cortex (learning


proccess)
Perubahan perspektif
diri

Kesadaran mengambil E F
hikmah E K
Toleransi terhadap stres me , ketegangan T O
otot me R
Respon kognitif + emosional
spiritual
Hipotalamus : CRF

Pituitari : ACTH

Korteks adrenal : Kortisol

Kecemasan OUTPUT

Menghambat glukogenolisis

Penurunan kadar
glukosa

Keterang Diuku Tidak


an : r diukur
Gambar 3.1 Kerangka konseptual

Berdasarkan teori keperawatan adaptasi yang dikembangkan

oleh Sister Callista Roy menyatakan bahwa manusia dipandang

sebagai sistem yang beradaptasi, sistem tersebut terdiri dari input,

proses, efektor dan output. Roy dalam teorinya mengidentifikasi


bahwa input merupakan stimulus atau suatu informasi yang dapat

menimbulkan respon pada individu, baik adaptif maupun maladaptif.

Stimulus fokal adalah stimulus yang dirasakan langsung oleh

individu, yaitu perubahan status kesehatan menimbulkan berbagai

perubahan dalam hidup, kekhawatiran terhadap penyakit serta

komplikasi yang akan ditimbulkan penyakit menyebabkan terjadinya

kecemasan dan tidak terkontrolnya kadar glukosa darah. Gambar

3.1 menjelaskan tindakan keperawatan yang diberikan untuk

meningkatkan respon adaptasi psikis dan fisik.

Spiritual emotional freedom technique (SEFT) merupakan

salah satu terapi komplementer yang dapat digunakan untuk

menurunkan tingkat stres. Keefektifan terapi ini terletak pada

pengabungan antara Spiritual Power dengan Energy Psychology.

Spiritual Power memiliki lima prinsip utama yaitu ikhlas, yakin,

syukur, sabar dan khusyu. Energy Psychology merupakan

seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan system energy tubuh

untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku (Freinstein

dalam Zainudin, 2012). Jika dilihat dari aspek reaksi fisiologis

terhadap SEFT, maka perangsang dengan cara mengetuk-ngetuk

ringan (tapping) pada titik 12 titik meridian tubuh tersebut dapat

menstimulasi gland pituitary untuk mengeluarkan hormon

endorphins (Johnson, 1999; Nopadow etc 2008 dalam Rokade,

2011), dimana hormon endorphins tersebut dapat memberikan efek

menenangkan serta menimbulkan perasaan bahagia (Goldstein

dan Lowry, 1975 dalam Rokade, 2011). Hal yang diharapkan dari

keluarnya hormon endorphin yaitu bisa menurunkan hormon kortisol

dan epineprin karena hormon ini berkerja berlawanan. Sehingga


bisa menekan produksi glukagon dan glukosa darah.

3.2 Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh spiritual Spiritual emotional freedom technique

terhadap kecemasan pada pasien DM .

2. Ada pengaruh spiritual mindfulness based on breathing exercise

terhadap kadar glukosa darah pada pasien DM .


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan desain

quasi experimental study dengan pendekatan pretest-post test control group

design. Rancangan penelitian ini dipilih untuk mencari hubungan sebab-akibat

antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol, dengan kata lain

penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh spiritual emotional freedom

tekhique terhadap kecemasan, kadar glukosa darah pasien DM . Rancangan

penelitian digambarkan sebagai berikut :

Responden Pre Test Perlakuan Post Test

K.A O O1-A
I
O1-B

K.B O

Gambar 4.1 Rancangan penelitian

Keterangan :

K-A : Responden perlakuan


K-B : Responden kontrol
O : Pre test untuk mengukur kecemasan, kadar glukosa darah, pada
kelompok perlakuan dan kontrol sebelum intervensi spiritual
emotional freedom tekhique

I : Intervensi spiritual emotional freedom tekhique pada pasien DM

X : Pemberian intervensi standar Prolanis


O1-A : Post test untuk mengukur kecemasan, kadar glukosa darah, pada

kelompok perlakuan setelah pemberian intervensi spiritual spiritual

emotional freedom tekhique

O1-B : Post test untuk mengukur kecemasan, kadar glukosa darah, pada

kelompok kontrol

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien DM yang aktif

mengikuti program Prolanis di Puskesmas kab. Buton Sulawesi Tenggara

dan memenuhi kriteria sampel pada saat penelitian dilakukan.

4.2.2Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian pasien DM yang

mengikuti program Prolanis di Puskesmas Matanauwe dan Puskesmas

Kanawa kab. Buton Sulawesi Tenggara, dengan kriteria :

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini, yaitu pasien DM yang aktif

mengikuti program prolanis di Puskesmas Matanauwe dan Puskesmas

Kanawa Sulawesi Tenggara dan berusia 40 - 65 tahun, dalam kondisi

sadar, kooperatif dan mampu berkomunikasi dengan lancar, hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah puasa (GDP) > 126 mg/dl dan gula

darah 2 postprandial (GDPP) >200 mg/dl, pasien mengalami

kecemasan (ringan dan sedang), tidak mengalami perubahan terapi

obat dan terapi diet selama pemberian intervensi dan menjalani diet

rendah garam.
2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini, yaitu klien mengalami

komplikasi kronik DM (gagal ginjal, gagal jantung, anemia), pasien

sedang menjalani terapi komplementer lain dan atau mengalami

gangguan intelektual dan gangguan kognitif.

3. Kriteria drop out

Kriteria drop uot pada penelitian ini, yaitu pasien tidak mengikuti

intervensi 3 kali berturut-turut, pasien mengundurkan diri sebagai

responden.

4.2.3Besar sampel

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan

rumus Dahlan (2013), sebagai berikut:

n1 = n2 = 2σ²[z1- + z1-β]²

(µ1 - µ2)²
n1= n2 = 2 (6,448)². ( 1,96 + 0,84)²
(6,9 – (- 0,1))²
n= 672,295
49
n= 13,72 = 14
Keterangan:

n : besar sampel

Zα : kesalahan tipe I atau nilai standar normal untuk α=0,05 = 1,96 Zβ :

kesalahan tipe II atau nilai standar normal untuk β=20% = 0,84 Sd :

simpangan baku dari variabel yang diukur (6,548)

µ1- µ2 : selisih rerata dari variabel yang diukur atau perbedaan

klinis yang diinginkan.


Penghitungan koreksi atau penambahan jumlah sampel

berdasarkan prediksi sampel drop out dari penelitian (Dharma,

2011) :

nʹ = n
1–f

nʹ = 14 = 15,55 ≈ 16
1 - 0, 10

keterangan :

nʹ = besar sampel setelah dikoreksi

n = besar sampel berdasarkan estimasi sebelumnya (14)

f = prediksi presentase sampel drop out (10%)

Jadi besar sampel pada penelitian ini sebesar 16 orang pada kelompok

perlakuan dan 16 orang pada kelompok kontrol.

4.2.3 Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel (sampling) yang digunakan pada

penelitian ini melalui teknik purposive sampling.


4.3 Kerangka Operasional
Populasi

Pasien DM yang mengikuti program Prolanis di Puskesmas Matanauwe dan puskesmas kanawa kab.
Buton

Sampel

Pasien DM yang aktif mengikuti program prolanis di Puskesmas Matanauwe dan Puskesmas Kanawa
Kab Buton yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi

Purposive sampling

Kelompok perlakuan (16 responden) Kelompok kontrol (16 responden)

Melakukan pre test (mengukur tingkat


Melakukan pre test (mengukur tingkat kecemasan,
kecemasan, GDP, GDPP, tekanan darah) pada
GDP, GDPP, tekanan darah) pada minggu pertama
minggu pertama

Intervensi standar program Prolanis dan terapi spiritual emotional Kelompok kontrol hanya diberikan
freedom technique selama 4 minggu dengan pelaksanaan 15 menit
intervensi standar Prolanis
tiap kali intervensi sebanyak 3 kali sehari (pagi, siang, dan sebelum
tidur malam hari). Pengukuran kadar glukosa darah rata-rata dan
tekanan darah satu kali dalam satu minggu.

Melakukan post test (mengukur tingkat kecemasan, Melakukan post test (mengukur tingkat
kadar glukosa darah rata-rata) pada akhir minggu ke-5 kecemasan, kadar glukosa darah) pada akhir
minggu ke-5

Analisis deskriptif mean, standar deviasi. Analisis inferensial uji normalitas dan homogenitas, Mann Whitney
test, Wilcoxon test, dan Friedman test

Penyajian hasil dan kesimpulan

Gambar 4.2 Kerangka operasional


4.4 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

4.4.1Variabel bebas (independent variable)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah spiritual emotional

freedom technique Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan, kadar

glukosa darah, dan tekanan darah pada klien DM .


4.4.2Defenisi operasional
Tabel 4.1 Defenisi operasional pengaruh spiritual emotional freedom technique terhadap kecemasan,
kadar glukosa darah pada pasien DM
5

Variabel Defenisi operasional Parameter Alat ukur Skor


Skala

spiritual Suatu prosedur kegiatan Responden mampu menarik napas secara perlahan
emotional bernapas dengan melaksanakan terapi melalui hidung kemudian
freedom memusatkan perhatian pada spiritual emotional menghembuskannya secara
technique napas untuk mampu freedom technique dengan perlahan melalui mulut dengan
menerima apa yang terjadi baik dan benar dengan cara merasakan sensasi tiap tarikan dan
tanpa menilai, menolak, atau responden mengatur posisi hembusan napasnya, tiap udara
menghindari kondisi yang senyaman yang masuk dan keluar melalui
dialami saat ini dengan cara mungkin hidungnya, merasakan bagaimana
membawa perasaan dan (duduk/berbaring), boleh dadanya akan mengembang dan
pikiran fokus pada sensasi sambil memejamkan mata terangkat ketika menarik napas.
pernapasan yang dilakukan atau meluruskan pandangan Bagaimana dinding perutnya akan
kemudian melepaskan (bila mata terbuka) kemudian SOP -
ketegangan pikiran, responden diminta untuk
akan diperdengarkan membawa perasaan dan
rekaman audio berupa pikiran pada fisik dari ujung
serangkaian kalimat rambut sampai ujung kaki.
dukungan, kesyukuran dan Selanjutnya pasien diminta
kepasrahan diri atas segala mulai memusatkan perhatian
yang terjadi pada dirinya saat pada pernapasan yaitu
ini.
Variabel Defenisi operasional Parameter Alat ukur Skor
Skala

mengempis ketika
menghembuskan napas, dan mulai
melepaskan ketegangan pikiran,
rasa cemas dan khawatir yang
berlebihan. Selama proses
berlangsung, kesyukuran,
kepasrahan, keyakinan,
kepercayaan diri, adaptasi, dan
penerimaan diri pasien akan
ditingkatkan melalui serangkaian
kalimat motivasi kesabaran,
kesyukuran, dan kepasrahan diri
atas segala yang dialami oleh
dirinya saat ini seraya berucap
syukur pada sang pencipta karena
masih diberikan kesempatan hidup,
menghirup udara dengan nyaman
tanpa beban, masih diberikan
karunia umur yang panjang
sehingga bisa merasakan nikmatny
kehidupan. Latihan ini diberikan
dalam bentuk rekaman suara (MP3
player) bedurasi 15 menit yang
dilakukan sebanyak 3 kali sehari,
yaitu sebelum beraktivitas pada
pagi hari, pada saat istirahat siang,
dan sebelum tidur di malam hari
selama 4 minggu berturut-turut.
Variabel Defenisi operasional Parameter Alat ukur Skor
Skala

Tingkat kecemasan Skor Merasa gelisah dan cemas Keusioner Penjumlah Interval
kecemasan sebagai dari biasanya, takut tanpa Hamilton an nilai
respon
alasan yang jelas, mudah Rating
psikologis yang dapat marah, tersinggung, dan Scale For hasil
diukur melalui instrumen panik, kedua kaki dan tangan Anxiety pengukura
SRAS sering gemetar, sering (HRS) n SARS
terganggu oleh sakit kepala yaitu :
dan nyeri otot, badan lemah
Skor 0 - 80
dan mudah kencing dari
biasanya, mengalami mimpi
buruk. Penilaian tingkat
kecemasan akan
dilaksanakan pada saat pre
test (sebelum pelaksaan
intervensi) dan post test (di
akhir pelaksanaan
intervensi).

Kadar glukosa Nilai kadar glukosa darah Kadar glukosa darah rata-rata glukometer 1. Nilai G
darah rata-rata adalah hasil pasien yang diperiksa satu GDP: DP
penjumlahan dari kali dalam satu minggu P
<100 mg/dl - :
pengukuran gula darah bersamaan dengan
puasa (GDP) ditambah <
pelaksanaan program senam >126
pengukuran gula darah 2 14
Prolanis. mg/dl
0
jam pos prandial (GDPP)
dibagi dua. 2. Nilai
m Interval
g
/
d
l
-
>

2
0
0
4.5 Alat dan Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa jenis alat dan bahan,

diantaranya MP3 audio player, rekaman audio panduan pelaksanaan

spiritual emotional freedom technique earphone, glukometer, kertas,

pulpen, tinta.

4.6 Instrumen Penelitian

1. Instrumen yang digunakan pada pemberian intervensi yaitu panduan

instruksional dalam bentuk rekaman audio mp3 dengan rate proyek

sebesar 44100 hz dan 24-bit float.

2. Kuesioner kecemasan menggunakan instrumen Zung SRAS.

Kuesioner ini merupakan alat ukur yang cocok digunakan pada pasien

usia diatas 18 tahun. Tingkat kecemasan diukur menggunakan skala

likert, masing- masing kelompok diberi penilaian angka antara 1-4, untuk

pertanyaan unfavorable (5, 9, 13, 19) dengan penilaian (4) yaitu sangat

jarang (dirasakan seminggu sekali), (3) kadang -kadang, (2): sering, dan

(1) : selalu, sedangkan untuk pertanyaan favorable (1, 2, 3, 4, 6, 7, 8,

10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18 dan 20) dengan pilihan (1) : sangat

jarang, (2) : kadang-kadang, (3) : sering, dan (4) : selalu. Setiap gejala

dinilai dalam skala intensitas 0 - 4 kemudian skor dijumlahkan. Rentang

skor 20 - 80. Total skor 20 -44 : nornmal, 45 -59 : kecemasan ringan,


skor 60 - 74 : kecemasan sedang, skor 75 - 80 : kecemasan berat.

Penilaian pada kuesioner ini menggunakan skala data numerik untuk

analisis data dan skala data kategorik untuk menyajikan informasi yang

lebih informatif kepada pembaca.

3. Pemeriksaan glukosa darah rata-rata, yaitu dengan menganjurkan

responden untuk melakukan puasa selama 8 jam (boleh minum air

putih) lalu mengukur gula darah puasa (GDP) dengan menggunakan

darah perifer menggunakan stik pemeriksaan glukosa merk easy touch,

kemudian akan dilakukan pemberian terapi spiritual emotional freedom

technique selama 15 menit. Sepuluh menit setelah pelaksanaan

intervensi responden diperbolehkan makan sesuai dengan diet yang

sedang dijalani. Dua jam setelah makan akan dilakukan pengukuran

gula darah 2 jam postprandial (GDPP) pada responden. Hasil dari kedua

pemeriksaan tersebut kemudian akan dijumlahkan lalu dibagi dua.

Pemeriksaan gula darah rata-rata ini dilakukan satu minggu sekali.

4. Pemeriksaan tekanan darah menggunakan tensimeter aneroid merk

onemed dan stetoskop merk onemed yang telah dikalibrasi. Hasilnya

dicatat pada lembar observasi.

4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas instrumen telah dilakukan untuk

menjamin kualitas data hasil penelitian yang pada pasien DM yang


memiliki karakteristik yang sama dengan responden penelitian sebelum

penelitian dimulai.

Uji instrumen dilakukan pada Kelompok pasien DM dengan jumlah

20 responden yang memiliki karakteristik yang sama dengan penelitian.

Analisis uji validitas dan reliabilitas menggunakan program pearson

product moment dengan r tabel = 0,444 (N = 20, level of significance =

0,05). Hasil uji validitas kusioner kecemasan adalah 3 item pertanyaan

tidak valid, yaitu pertanyaan nomor 4 (r = 0,419), pertanyaan nomor 14

(r=0,336), dan pertanyaan nomor 16 (r=0,419). Hasil uji reliabilitas

kuesioner ini adalah r alpha cronbach’s 0,945. Karena hasil r hitung lebih

besar dari r tabel, maka kuesioner ini reliabel atau konsisten.

4.8 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Matanauwe

dan Puskesmas kanawa Kab. Buton Sulawesi Tenggara

4.9 Prosedur Pengumpulan Data

Langkah – langkah dalam pengambilan data pada penelitian ini

adalah sebagai berikut:

4.9.1Persiapan

1) Penelitian dilakukan setelah dinyatakan lulus uji laik etik

2) Sosialisasi kepada kepala Puskesmas, petugas program Prolanis

terkait penelitian yang dilaksanakan.


3) Dilakukan persamaan persepsi antara peneliti dan asisten peneliti

dengan memberikan penjelasan terkait penelitian dan prosedur

penelitian.

4.9.2Pelaksanaan

Prosedur pelaksanaan pengambilan data dan penelitian ini sebagai

berikut:

1) Responden dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi

kemudian dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok perlakuan

dan kelompok kontrol masing-masing kelompok berjumlah 16

responden dengan teknik purposive sampling.

2) Perkenalan diri kepada calon responden dan diminta

kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian, selanjutnya

diberikan penjelasan tujuan penelitian, manfaat serta prosedur

bagi calon responden.

3) Pasien yang masuk dalam kategori subjek penelitian dan bersedia

menjadi responden diminta menandatangani lembar informed

consent sebelum mengikuti proses penelitian.

4) Pre-test. Pembagian kuisioner data demografi, kuesioner

kecemasan dan mengukur kadar glukosa darah rata-rata pada

seluruh pasein yang terpilih. Kuisioner dilengkapi dengan kolom

kode responden. Penilaian pre-test dilakukan pada minggu


pertama bersamaan dengan jadwal kegiatan senam Prolanis di

Puskesmas. Pengumpulan data juga dilakukan melalui studi

dokumentasi untuk melihat keaktifan pasien dalam mengikuti

program Prolanis, jenis terapi obat dan diet yang sedang dijalani,

komplikasi penyakit yang dialami pasien.

5) Dilakukan pertemuan dengan enumerator untuk menyamakan

persepsi dalam melaksanakan intervensi dan pelaksanaannya

sesuai dengan SOP.

6) Dilakukan pertemuan dengan responden kelompok intervensi

untuk melaksanakan terapi spiritual emotional freedom technique

yang dilakukan dengan mendemonstrasikan langkah-langkah

pelaksanaan intervensi mindfulness based on breathing exercise

yang sesuai dengan SOP menggunakan media mp3 yaitu media

yang berisikan rekaman suara peneliti dalam format mp3 berisi

panduan mindfulness based on breathing exercise yang dapat

didengarkan melalui headset. Responden diminta untuk mengatur

posisi senyaman mungkin (duduk/berbaring), boleh sambil

memejamkan mata atau meluruskan pandangan (bila mata

terbuka) kemudian pasien diminta untuk membawa perasaan dan

pikiran pada fisik dari ujung rambut sampai ujung kaki. Langkah

selanjutnya pasien diminta mulai memusatkan perhatian pada

pernapasan yaitu menarik napas secara perlahan melalui hidung


kemudian menghembuskannya secara perlahan melalui mulut

dengan merasakan sensasi tiap tarikan dan hembusan napasnya

kemudian mulai melepaskan ketegangan pikiran, rasa cemas dan

khawatir yang berlebihan. Seluruh prosedur latihan dilakukan

selama 15 menit tiap kali latihan sebanyak 3 kali sehari, yaitu

sebelum memulai aktivitas pagi hari, pada saat istirahat siang

hari, dan sebelum tidur malam selama 4 minggu. Pelaksanaan

selanjutnya dilakukan secara mandiri oleh pasien di rumah

masing-masing dan dikunjungi secara door to door yaitu dengan

melakukan observasi pada pelaksanaan terapi yang dilakukan

pasien dan pengukuran GDP, GDPP, dan tekanan darah.

7) Kelompok kontrol hanya mendapatkan intervensi standar Prolanis

dan tidak diberikan intervensi spiritual mindfulness based on

breathing exercise selama proses penelitian berlangsung, tetapi

diberikan setelah pelaksanaan pengukuran akhir.

8) Post-test. Pengukuran kadar glukosa darah rata-rata dilakukan

tiap minggu, yaitu pada minggu kedua, ketiga, dan keempat.

Penilaian akhir dilakukan pada minggu kelima setelah

pelaksanaan intervensi selama empat minggu.

4.10Analisis Data

Data yang telah terkumpul, sebelum dilakukan analisis data


terlebih dahulu diolah untuk mengubah data menjadi informasi, dengan

langkah sebagai berikut:

4.10.1 Analisis deskriptif

Analisis deskriptif pada penelitian ini berupa frekuensi,

presentasi, mean, simpangan baku (SD), nilai minimum dan

maksimum masing-masing variabel. Analisis deskriptif dalam

penelitian ini yaitu karakteristik responden yang meliputi usia,

jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan lama menderita

penyakit.

4.10.2 Analisis inferensial

Analisis ini digunakan untuk menganalisis hubungan dua

variabel pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Untuk

menentukan analisis statistik yang sesuai, terlebih dahulu

dilakukan uji homogenitas dan uji normalitas data tiap variabel

pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Hasil uji

homogenitas menunjukkan variabel kecemasan, kadar glukosa

darah rata-rata pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

adalah homogen, namun hasil uji normalitas menunjukkan data

tidak terdistribusi normal. Variabel kecemasan dianalisis dengan

uji statistik Mann Whitney test untuk menganalisis perbedaan

pengaruh intervensi antar kelompok (kelompok perlakuan dengan

kelompok kontrol), uji Wilcoxon Signed Rank test untuk


mengetahui perbedaan pengaruh intervensi dalam kelompok

(kelompok perlakuan dan kelompok kontrol). Variabel kadar

glukosa darah, dan tekanan darah dianalisis dengan uji Friedman

test untuk menguji hasil pengukuran variabel kadar glukosa darah

pada kelompok yang diberikan intervensi. Pengukuran dilakukan

setiap minggu selama 4 minggu untuk melihat perbedaan selama

pemberian intervensi, dilanjutkan dengan uji posthoc Wilcoxon

Signed Rank test untuk mengetahui selisih perbedaan rata-rata

pengukuran antar waktu kadar gula darah pada kelompok

perlakuan maupun kelompok kontrol. Uji statistik untuk seluruh

analisis tersebut dianalisis dengan tingkat kemaknaan 95% (α ≤

0,05).

4.11Etika Penelitian

Penelitian ini menggunakan etika penelitian sebagai berikut:

1) Prinsip manfaat (beneficience dan nonmaleficience)

Pelaksanaan penelitian ini sesuai dengan prosedur penelitian

(beneficience). Peneliti meminimalisir dampak yang dapat merugikan

subjek (nonmaleficience) dengan menerapkan standar operasional

prosedur pelaksanaan intervensi spiritual mindfulness based on

breathing exercise.

2) Menghargai hak-hak pasien (respect of human dignity)


Peneliti menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pribadi

yang bebas berkehendak dalam memilih dan bertanggung jawab

secara pribadi terhadap keputusan. Jika calon responden bersedia

mengikuti penelitian dapat menandatangani informed consent

sebagai bentuk persetujuan antara peneliti dengan subjek penelitian

agar subjek yang akan diteliti paham akan maksud dan tujuan dari

penelitian.

3) Tanpa nama (anonimity)

Menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak

mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data,

cukup dengan memberi kode tertentu.

4) Prinsip keadilan (respect for justice)

Subjek yang terpilih dalam penelitian ini sesuai dengan kriteria

inklusi yang telah ditetapkan dan semua subjek diperlakukan sama

dan adil.

5) Prinsip kebebasan (autonomy and freedom)

Menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang

memiliki kebebasan memilih dan bertanggung jawab secara pribadi

terhadap keputusannya sendiri. Otonomi responden diprioritaskan

selama proses pengumpulan data. Calon responden yang bersedia

mengikuti penelitian maka dapat menandatangani informed consent


dan tidak memaksa subjek

DAFTAR PUSTAKA

ADA. (2020). Classification and Diagnosis of Diabetes: Standards of Medical


Care in Diabetes-2020. In Diabetes care (Vol. 43, pp. S14–S31).
https://doi.org/10.2337/dc20-S002

Asmadi. (2018). Konsep Dasar Keprerawatan. Jakarta: EGC.

Black J.M & Hawk J.H. 2014. Keperawatan Medikal Bedah :


Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. (Edisi 8). St. Louis:
Elsevier. Inc. Hal : 1124-1145.

Bahsoan, H (2013 Hubungan mekanisme koping dengan kecemasan pada


pasien pre operasi di Ruang PerawatanBedah. Karya Tulis Ilmiah
Strata Satu, Universitas Negeri Gorontalo.

Church, D., Yount, G. and Brooks, A. J. 2012. ‘The Effect of Emotional


Freedom Techniques on Stress Biochemistry’, The Journal of
Nervous and Mental Disease, 200(10), pp. 891–896. doi:
10.1097/NMD.0b013e31826b9fc1.

Damayanti, S., Nursiswati & Kurniawan, T. (2014). Dukungan keluarga pada


pasien diabetes melitus tipe 2 dalam menjalankan self-management
diabetes family support of patients type 2 diabetes mellitus in
performing diabetes self-management. Jurnal Keperawatan
Padjajaran, 2(1), 43–50. Retrieved from
http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/j kp/article/viewFile/81/77

DepKes RI. (2013). Pedoman Konseling pelayanan Kefarmasian di Sarana


Kesehatan. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik.Direktorat
Jendral Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. Jakarta:
DepartemenKesehatan RI.

Dinkes Provinsi SULTRA. (2019). Profil dinas kesehatan provingsi Sulawesi


tenggara tahun 2019.Dinkes Sulawesi tenggara
Feinstein, D. and Ashland, O. 2012. ‘What Does Energy Have to Do With
Energy Psychology?’, Energy Psychology, 4(2), pp. 59–78. Available
at: http://technosociology.org/?p=1021.

Hawari, D. (2012). Manajemen stres, cemas, dan depresi. Ed 1. Cetakan 4.


FKUI, Jakarta.

IDF,(2017). International Diabetes Federation Diabetes Atlas 5th edition.

Jauhari. Dukungan Sosial Dan Kecemasan Pada Pasien Diabetes Mellitus.


2016 Desember; Vol.7.

Lanywati. 2011. Diabetes mellitus penyakit kencing manis. Yogyakarta.


Kanisius.

Nursalam, 2015. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan


Praktis.4th Edn. Jakarta: Salemba Medika.

Lubis, P.Y, Widianti, E., & Amrullah, A.A. (2014). Tingkat kecemasan orangtua
dengan anak yang akan dioperasi. Jurnal Keperawatan Padjadjaran,
2(3), 154–160. https://doi.org/10.24198/jkp.v2n3.3

Marriner T A., & Alligood, M. R. 2014. Nursing theory and their work (8th ed.).
St. Louis: Mosby.
Nursalam. 2016. Metodologi ilmu penelitian keperawatan, ed. 4. Jakarta :
Salemba Medika.

Maulana, M. 2008. Mengenal Diabetes Mellitus. Jogjakarta. Kata Hati.


sia Panjang. Yogjakarta.Kanisius.

Nathan., 2008. Medical management of hyperglycemia in type 2 diabetes : a


consensus algorithm for the initiation and adjustment of therapy.
Diakses pada tanggal 10Oktober 2020, dari http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/ pmc/ articles/ PMC2606813/

Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus


Tipe 2 Di Indonesia. 2015. Jakarta. PT Perkeni

Putra ST., 2011. Psikoneuroimunologi kedokteran ed. 2, Surabaya:


Airlangga University Press.
Qaseem A., Vijan S., Snow V., Cross JT., 2007. Glycemic control and type 2
diabetes mellitus : the optimal hemoglobin a1c targets. a guidance
statements from the american college of physicians. Diakses tanggal
20 Oktober 2017, dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17876024

Rahmawati, F., Natosba, J., & Jaji, J. (2016). Skrining diabetes mellitus
gestasional dan faktor risiko yang mempengaruhinya. Jurnal
Keperawatan Sriwijaya, 3(2), 33–43. Retrieved from
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/ jk_sriwijaya/article/view/4240

RISKESDAS, (2018) Prevalensi Penderita Diabetes Militus Di Indonesian


http://www.depkes.go.id/resources/download
/infoterkini/materirakorpop2018/Hasil20Riskesdas%202018. Diakses
pada tanggal 10Oktober 2020

Robby. (2009). Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat KMB. Jakarta:


EGC.

Safitri, R. P. and Sadif, R. S. 2013. ‘Spiritual Emotional Freedom Technique


(SEFT) to Reduce Depression for Chronic Renal Failure Patients are in
Cilacap Hospital to Undergo Hemodialysis’, International Journal of
Social Science and Humanity, 3(3), pp. 300–303. doi:
10.7763/IJSSH.2013.V3.249.

Santosa. 2014. Sembuh Total Diabetes dan Hipertensi dengan Ramuan


Herbal.Jakarta. Pinang Merah.

Stuart, W. G. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Sutedjo. 2010. Strategi Penderita Diabetes Mellitus Berusia Panjang.


Yogjakarta.Kanisius.

Suyono,S. 2009. Patofisiologi Diabetes Melitus dalam Penatalaksanaan


diabetes terpadu.Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Syari‘ati, A. W. (2015). Hubungan Kecemasan dengan Kadar Gula Darah
Penderita Diabetes Militus Tipe 2 di RSUD Salatiga. Diakses pada
http://eprint.ums.ac.id/39515/14/NASKAHPUBLIKASI. 19,November
2015.
Wachholtz, A. B. and Sambamthoori, U. 2013. ‘National Trends in Prayer Use
as a Coping Mechanism for Depression: Changes from 2002 to 2007’,
Journal of Religion and Health, 52(4), pp. 1356–1368. doi:
10.1007/s10943-012-9649-y.

WHO. (2011). Definational and diagnosis of diabetes mellitus and intermedia


hyperglikemia.

World Health Organization. (2016a). Global report on diabetes. Diakses pada


10 Oktober 2020, dari
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/204871/1/978924
1565257_eng.pdf?ua=1

Zainuddin, A.F. 2012. SEFT For Healing And Success, Happiness And
Greatness, Afzan Publishing, Jakarta.

Zainudin, M., Utomo, W. Dan Herlina. (2015). Hubungan Stres Dengan


Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. JOM Vol. 2(1)
hal(890-898)

RENCANA SUMBER BIAYA

Rencana sumber biaya selama pendidikan Megister Keperawatan selama 4 semester


yaitu di tanggung oleh orang seutuhnya selama proses pendidikan, dan sanggup
membayar sumbangan peningkatan dan pengembangan pendidikan (SP3) sebesar
tujuhbelas juta lima Ratus Ribu Rupiah/ Rp 17.500.000, serta mampu membayar SOP
dan Matrikulasi selama Proses pendidikan

Anda mungkin juga menyukai