Anda di halaman 1dari 62

PROPOSAL RISET

PENGARUH AKTIVITAS FISIK TERHADAR KADAR GULA DARAH

LANSIA (60-75) PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS CIANJUR KOTA

TAHUN 2020

Di Susun Oleh :

Egi Permana

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia atau lansia bukan merupakan suatu penyakit, namun tahap

lanjut dari proses tumbuh kembang yang ditandai dengan penurunan

kemampuan fungsi tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun

dari luar tubuh (Pudjiastuti, dkk 2014). Semakin lanjut usia seseorang, maka

kemampuan dalam melakukan aktifitas dan kemampuan kerja menjadi

menurun, sehingga dapat berpengaruh terhadap peran-peran sosial dan

kondisi kesehatannya. Seseorang dengan lanjut usia akan mengalami

kemunduran dan penurunan kondisi fisik, psikologis,serta perubahan kondisi

sosial,ekonomi dan status (Tamher, dkk 2015).

Dengan meningkatnya kesehatan masyarakat juga meningkatnya usia

harapan hidup artinya semakin panjang umurnya maka semakin banyak

lansia, semakin bertambah angka usia hidup termasuk di dunia maka berefek

pula jumlah populasi lansia. Data WHO menunjukan pada tahun 2000 usia

harapan hidup orang di dunia adalah 66 tahun, pada tahun 2012 naik menjadi

70 tahun dan pada tahun 2013 menjadi 71 tahun. Sedangkan usia harapan

hidup di Indonesia pada tahun 2013 adalah 70 tahun, dan pada tahun 2014

naik menjadi 72 tahun (11%) dari 6,9 milyar penduduk dunia adalah lansia

(WHO, 2014). Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2018 dari


Kementerian Kesehatan jumlah penduduk Indonesia adalah 267,7 juta jiwa

sedangkan jumlah lansia yang ber umur 60-70 tahun di Indonesia ada

19.937.285 orang (13.45%) penduduk indonesia adalah lansia, dengan jumlah

penduduk berusia (60-64) ada 9.352.819 orang (50.2%), yang berusia (65-69)

ada 6.365.877 orang (27%), yang berusia (70) ada 4.218.593 orang (21%)

(Kemenkes RI, 2018).

Indonesia juga menduduki rangking keempat di dunia yang memiliki

total jumlah lansia hingga lansia tua yakni 24 juta jiwa (60-70) 19.937.285

orang atau (13.45%) dan (70+) 4.062.715 orang (4.9%). Adapun provinsi di

Indonesia yang paling banyak penduduk lanjut usia adalah : Di Yogyakarta

5.751697 orang (12,48 %), Jawa Timur 3.890.34 orang (9,26 %), Jawa

Tengah 3.069.00 orang (9,36 %),Bali 3.438.82 orang (8,77 %) dan Jawa

Barat 3.347.72 orang (8,67 %). Sedangkan di Kabupaten Cianjur berjumlah

200.942 orang (2.0%) yang menduduki pringkat 3 di Jawa Barat setalah

Kabupaten Sukabumi pringkat 2 dengan jumlah 209.047 orang (2.09%) dan

di pringkat 1 adalah Kabupaten Bogor dengan jumlah 264.981 orang (2.64%).

(Kemenkes RI, 2018).

Peningkatan penduduk lansia membawa konsekuensi pada

meningkatnya penyakit dan masalah kesehatan yang timbul akibat dampak

penuaan. Selain itu penuaan menyebabkan daya tahan tubuh berkurang

sehingga lansia mudah terkena penyakit. Penyakit terbanyak yang diderita

lansia adalah penyakit tidak menular diantaranya adalah Diabetes Melitus

(Kemenkes RI, 2018)


Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada

seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula

(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif

(Suyono, 2015). DM merupakan penyakit yang menjadi masalah pada

kesehatan masyarakat. Oleh karena itu DM tercantum dalam urutan ke 4

prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif setelah penyakit

kardiovaskuler, serebrovaskuler, rheumatik dan katarak (Tjokroprawiro,

2014).

World Health Organization (WHO) mencatat pada tahun 2010

sekitar 10.9 juta (26,9%) lansia menderita diabetes, dan pada tahun 2050

angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 26,7 juta (55%). Masih

menurut WHO pada tahun 2000 terdapat 1 juta penduduk mengalami

kematian akibat diabetes dengan prevalensi sekitar 2% dan pada tahun

2012 terdapat 1,5 juta penduduk mengalami kematian akibat diabetes

dengan prevalensi sekitar 2,7%. Menurut International of Diabetic

Federation (IDF 2017) tingkat prevalensi penderita DM di Asia Tenggara

pada tahun 2017 sekitar 8.5% di perkirakan akan mengalami peningkatan

menjadi 11.1% pada tahun 2045 dimana Indonesia menempati urutan

pertama setelah China , India, Amerika Serikat, Brazil, dan Mexico

dengan jumlah penderita DM sebesar 10.3 juta penderita. Seluruh

kematian akibat DM di dunia, 70% kematian terjadi di negara-negara

berkembang termasuk Indonesia.


Data Riskesdas tahun 2013 penderita DM di Indonesia berusia 65

sampai 74 tahun berjumlah 13,20% dan usia 75 tahun keatas berjumlah

13.20%. Dan di Jawa Barat sendiri pada tahun 2018 terdapat kasus DM

pada usia 60-75 tahun sebesar 58.745 orang dengan prevalensi sekitar

9.35%.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur kasus

diabetes melitus pada lansia tinggi, terutama di Puskesmas Cianjur Kota

yaitu 239 kasus diabetes melitus pertaun (laki -laki sejumlah 110,

perempuan sejumlah 129), di wilayah kerja Puskesmas Sukaresmi

sejumlah 152 kasus pertahun ( laki-laki sejumlah 136, perempuan

sejumlah 16), di wilayah kerja Puskesmas Ciranjang sejumlah 108 kasus

pertahun (laki-laki sejumlah 54, perempuan sejumlah 54). (Dinas

Kesehatan Kabupaten Cianjur, 2018).Berdasarkan data dari Puskesmas

Cianjur Kota kasus diabetes melitus pada lansia di kelurahan Sayang

sejumlah 115 kasus, di kelurahan sawah gede sejumlah 96 kasus, di

kelurahan pamoyanan sejumlah 72 kasus, sedangkan di solokpanadan

sejumlah 62 kasus. (Puskesmas Cianjur Kota, 2019).

Diabetes Mellitus (DM) pada lanjut usia (geriatri) terjadi karena

timbulnya resistensi insulin pada usia lanjut yang disebabkan oleh 4 faktor

pertama adanya perubahan komposisi tubuh, komposisi tubuh berubah

menjadi air 53%, sel solid 12%, lemak 30%, sedangkan tulang dan mineral
menurun 1% sehingga tinggal 5%. Faktor yang kedua adalah turunnya

aktivitas fisik yang akan mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin

yang siap berikatan dengan insulin sehingga kecepatan transkolasi GLUT-

4 (glucosetransporter-4) juga menurun. Faktor ketiga adalah perubahan

pola makan pada usia lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya gigi

geligi sehingga prosentase bahan makanan karbohidrat akan meningkat.

Faktor keempat adalah perubahan neurohormonal, khususnya

Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1) dan dehydroepandrosteron (DHtAS)

plasma (Rochmah, 2015).Kebiasaan melakukan aktivitas fisik dan

olahraga akan mempengaruhi kadar gula darah. Pada pasien diabetes

melitus terutama lansia, aktivitas sedentary harus dihindari seperti

menonton televisi, menggunakan internet, dan duduk santai. (Budhiarta,

dkk. 2014).

Aktivitas Fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh

otot rangka yang memerlukan energi, kurangnya aktivitas fisik merupakan

faktor risiko independen untuk penyakit kronis dan secara keseluruhan di

perkirakan menyebabkan kematian secara global (WHO, 2013).

Pengaruh aktivitas fisik atau olahraga secara langsung

berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemulihan glukosa otot

(seberapa banyak otot mengambil glukosa dari aliran darah). Saat

berolahraga, otot menggunakan glukosa yang tersimpan dalah otot dan jika

glukosa berkurang, otot mengisi kekosongan dengan mengambil glukosa

dari darah. Ini akan mengakibatkan menurunnya glukosa darah sehingga


memperbesar pengendalian glukosa darah (Barnes, 2012).

Aktivitas fisik yang dianjurkan untuk para penderita DM adalah

aktifitas fisik secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30

menit dan sesuai dengan CRIPE (continuous,rhythmical,interval,

progresive, endurance training). Dan diusahakan mencapai 75-85%

denyut nadi maksimal (Waspadji, 2011). Menurut Plotmikoff 2006 dalam

Canadian journal of Diabetes aktifitas fisik merupakan kunci dalam

pengelolaan DM terutama sebagai pengontrol gula darah dan memperbaiki

faktor risiko Kardiovaskuler seperti menurunkan Hiperinsulinemia,

meningkatkan sensitifitas insulin, menurunkan lemak tubuh, serta

menurunkan tekanan darah. Aktivitas fisik sedang yang teratur

berhubungan dengan penurunan angka mortalitas sekitar 45-70% pada

populasi DM serta menurunkan kadar HbA1c ke level yang bisa mencegah

terjadinya komplikasi. Aktifitas minimal 150 menit seminggu yang terdiri

dari latihan aerobic, latihan ketahanan maupun kombinasi keduanya

berkaitan dengan penurunan kadar HbA1c pada penderita DM .

Latihan fisik teratur bersifat aerobic pada penderita diabetes

terutama lansia dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan menurunkan

risiko cardiovascular. Contohnya seperti, jalan kaki, bersepeda santai, dan

jogging merupakan latihan yang bersifat aerobic. Frekuensi latihan


dilakukan minimal 3-4 kali per minggu. Latihan fisik secara teratur dapat

menurunkan kadar HbA1c. Anjuran dokter kepada pasien dengan pre

diabetes dan dengan kadar glukosa normal untuk meningkatkan latihan

fisik masing-masing sebesar 59,1% dan 24,2%. (Budhiarta, dkk. 2014).

Klasifikasi aktivitas fisik ringan, sedang, dan berat mengacu pada

Riskesdas 2013. Manfaat besar dari aktivitas fisik atau berolah raga pada

DM antara lain menurunkan kadar glukosa darah, mencegah kegemukan,

ikut berperan dalam mengatasi terjadinya komplikasi, gangguan lipid

darah dan peningkatan tekanan darah (Ilyas, 2011).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang sudah peneliti lakukan

pada 10 orang lansia yang menderita penyakit DM di Puseksmas Cianjur

Kota, 6 orang lansia mengatakan mengalami keterbatasan dalam

melakukan aktivitas fisik karena tidak ada keluarga yang menemani

mereka, dan juga mereka mengatakan selama ini sering mengkonsumsi

makanan yang mengandung gula, ditambah lagi faktor usia yang

menyebabkan mereka sulit untuk beraktivitas seperti biasanya dan hanya

melakukan aktivitas di tempat tidur, lansia tersebut tidak melakukan

aktivitas fisik seperti berjalan kaki, besepeda dan aktivitas fisik lainnya

yang mereka biasa lakukan dulu. Lansia tersebut juga mengatakan cemas

dengan kondisinya yang tidak seperti dulu lagi dan banyak beban pikiran.

sedangkan 4 orang lansia lainnya mengatakan bisa melakukan aktivitas

fisik karena mendapat bantuan dari pihak keluarganya untuk melakukan

aktivitas sehari- hari seperti bejalan-jalan dan aktivitas lainnya.


Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti mengambil judul

“Pengaruh Aktvitas Fisik terhadap Kadar Gula Darah Lansia (60-75) pada

Pasien Diabetes Melitus di Wilayah Kerja Puskesmas Cianjur Kota “.

B. Rumusan Masalah

Angka kejadian DM di Kabupaten Cianjur cukup tinggi khususnya

di Wilayah Kerja Puskesmas Cianjur Kota yang menempati urutan ke 1

dari 45 Puskesmas yang tersebar di wilayah Kabupaten Cianjur, hal

tersebut dibuktikan dari data Dinas Kesehatan Cianjur bahwa jumlah

penderita DM di Wilayah Kerja Puskesmas tersebut sangat tinggi dengan

prevalensi 239 penderita. Aktivitas fisik berpengaruh terhadap indek

glukosa di dalam darah hal tersebut dikarenakan aktivitas fisik

membutuhkan kalori atau energi. Enegi atau kalori didalam tubuh

merupakan hasil dari metabolisme glukosa sehingga semakin berat

aktivitas fisik yang dilakukan oleh penderita DM glukosa didalam darah

semakin banyak digunakan. Penjelasan tersebut maka dapat dirumuskan

rumusan masalah “Adakah Pengaruh Aktvitas Fisik terhadap Kadar Gula

Darah Lansia (60-75) pada Pasien Diabetes Melitus di Wilayah Kerja

Puskesmas Cianjur Kota “.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Secara umum penelitian ini untuk mengetahui adanya Pengaruh

Aktvitas Fisik terhadap Kadar Gula Darah Lansia (60-75) pada Pasien
Diabetes Melitus di Wilayah Kerja Puskesmas Cianjur Kota

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui usia pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas

Cianjur Kota.

b. Mengetahui aktivitas fisik pada lansia di Wilayah Kerja

Puskesmas Cianjur Kota.

c. Mengetahui kejadian Diabetes Melitus pada lansia di

Wilayah Kerja Puskesmas Cianjur Kota.

d. Mengetahui Pengaruh Aktvitas Fisik terhadap Kadar Gula

Darah Lansia (60-75) pada Pasien Diabetes Melitus di

Wilayah Kerja Puskesmas Cianjur Kota.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dan

pengembangan ilmu asuhan keperawatan medikal bedah tentang

penanganan aktivitas fisik terhadap kadar gula darah pada diabetes

melitus.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Responden

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada responden

dalam melakukan pencegahan serta dapat memberikan informasi

tentang pengaruh aktivitas fisik terhadap kadar gula darah.

b. Bagi Puskesmas Cianjur Kota


Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan

ilmu pengetahuan bagi Puskesmas dalam hal pengendalian

aktivitas fisik yang dapat menimbulkan kadar gula darah.


BAB II

TINJAUAN KEPUASTAKAAN

A. Teori dan Konsep terkait

1. Konsep Lansia

a. Pengertian Lansia

Lanjut usia adalah fenomena biologis yang dapat dihindari oleh

setiap individu. UU No. IV, Tahun 1965 pasal 1 , menyatakan bahwa

seseorang dapat dikatakan lanjut usia setelah mencapai 55 tahun tidak

mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan

hidupnya sehari-hari, dan menerima nafkah dari orang lain.

Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahtraan lanjut usia,

lansia adalah seorang yang mencapai usia diatas 60 tahun . Dari kedua

pengertian yang sudah disebutkan dapat disimpulkan bahwa lansia

adalah seseorang yang telah berusia diatas 60 tahun dan tidak berdaya

mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebuuhan hidupnya sehari-

hari. Lanjut usia dibagi oleh sejumlah pihak dalam berbagai klasifikasi

dan batasan.

a) Menurut WHO batasan lanjut usia meliputi :

1) Middle Age : 45-59 tahun

2) Elderly : 60-70 tahun

3) Old : 75-90 tahun

4) Very Olda : Di atas 90 tahun


b) Maryam (2008) mengklasifikasi lansia antara lain:

1) Pralansia (prasenilis)

Seorang yang berusia antara 45-49 tahun.

2) Lansia

Seorang yang berusia 60 tahun atau lebih

3) Lansia Resiko Tinggi

Seorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia

60 tahun atau lebih dengan kesehatan ( Depkes RI, 2003).

4) Lansia potensial

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau

kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI,2003).

5) Lansia tidak potensial

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya

bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).

c) Menurut kementrian kesehatan RI (2015) lanjut usia dikelompokan

menjadi usia lanjut (60-69 tahun) dan usia lanjut dengan resiko

tinggi (lebih dari 70 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan).

Lansia adalah sesorang yang berusia lebih dari 60 tahun. Lansia

bukan suatu penyakit tetapi merupakan tahap akhir dari proses

kehidupan yang di tandai dengan penurunan kemampuan tubuh

(Bandiyah, 2015).
b. Ciri-ciri Lansia

Menurut Darmojo (2010) lanjut usia diartikan sebagai fase

menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan

adanya beberapa perubahan dalam hidup. Hal ini sejalan dengan

pendapat soejono (2010) yang mengatakan bahwa pada tahap

lansia, individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik

maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan

kemampuan yang perbah dimilikinya.

Perubahan fisik yang dimaksud antara lain rambut yang

mulai memutih muncul kerutan di wajah, ketajaman pancaindra

menurun, serta terjadi kemunduran daya tahan tubuh. Selain itu,

dimasa ini lansia juga harus berhadapan dengan kehilangan-

kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan

orang-orang dicintai. Maka dari itu, dibutuhkan kmampuan untuk

beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi perubahan

diusia lamjut secara bijak.

Menurut Hurlock (1980) terdapat beberapa ciri-ciri yang

lanjut usia, yaitu:

a) Usia lanjut merupakan periode kemunduran

sebagai pemicu terjadinya kemunduran pada lansia adalah

faktor fisik dan faktor fisiologis. Dampak dari kondisi ini dapat

mempengaruhifisiologis lansia. Sehingga, setiap lansia


membutuhkan adanya motifasi. Motivasi berperan penting

dalam kemunduran pada lansia. Mereka akan menalami

kemunduran semakin cepat apabila mereka memiliki motivasi

yang kuat maka kemun duran itu akan lama terjadi.

b) Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas

Pandangan-pandangan negatif akan lansia dalam masyrakat

sosial secara tidak langsung berdampak pada terbentuknya status

kelompok minoritas pada mereka.

c) Menua membutuhkan perubahan peran

Kemunduran yang terjadi pada lansia berdampak pada

perubahan peran mereka dalam masyarakat sosial ataupun

keluarga. Namun demikian, perubahan peran ini sebaiknya

dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan

dari lingkungan.

d) Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perilaku buruk lansia terbentuk karena perlakuan buruk

yang mereka terima. Perlakuan buruk tersebut secara tidak

lansung membuat lansia cenderung mengembangkan konsep

diri yang buruk.

c. Tipe-tipe Lansia

Maryam, dkk. (2008) mengkelompokan tipe lansia dalam beberapa

poin, antara lain:


a) Tipe arif bijaksana

Tipe ini didasarkan pada lanjut usia yang memiliki banyak

pengalaman, kaya dengan hikmah, dapat menyesuaikan diri

dengan perubahan zaman, kesibukan, rumah, memiliki

kerendahan hati, sederhana, dermawan, dan dapat menjadi

panutan.

b) Tipe mandiri

Tipe lansia mandiri, yaitu mereka yang dapat menyesuaikan

perubahan pada dirinya. Mereka mengganti kegiatan yang

hilang dengan yang baru, selektif dalam mencapai pekerjaan,

dan dapat bergaul dengan teman.

c) Tipe tidak puas

Tipe lansia tidak puas adalah lansia yang selalu mengalami

konflik lahir batin. Mereka cenderung menentang proses

penuaan sehingga menjadi pemarah , tidak sabar, mudah

tersinggung, sulit dilayani, pengkritis, dan banayak menuntut.

d) Tipe pasrah

Lansia tipe ini memiliki kecenderungan menerima dan

menunggu nasib baik, rajin mengikuti kegiatan agama, dan

mau melakukan pekerjaan apa saja dengan ringan tangan

e) Tipe bingung
Lansia tipe ini terbentuk akibat mereka mengalami syok

akan perubahan status dan peran. Mereka mengalami

keterkejutan yang membuat lansia mengasingkan diri, minder,

menyesal, pasif, dan acuh tak acuh. Berdasarkn pengalaman

hidup, karakter, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan

ekonominya, orang lanjut usia oleh Nugroho (2010) dibagi

dalam beberapa tipe, yaitu :

a. Tipe optimis

Lansia tipe ini mempunyai pembawaan santai dan

periang. Mereka cukup baik dalam melakukan

penyesuaian. Masa lansia bagi mereka adalah bentuk besar

dari tanggung jawab dan dipandang sebagai kesempatan

untuk menuruti kebutuhan positifnya. Maka tipe ini sering

disebut juga dengan lansia tipe kursi goyang (the rocking

chairman).

b. Tipe konstruktif

Lania tipe ini umumnya integritas baik. Mereka

dapat menikmati hidup dengan toleransi yang tinggi,

humoristik, fleksibel, dan tahu diri. Sifat ini bisa jadi

biasanya terbentuk sejak usia muda. Maka ketika tua,

mereka bisa menghadapi proses penuaan dan masa akhir

dengan tenang.

c. Tipe ketergantungan
Lansia tipe ini bisanya pasif, tidak punya inisiatif

dan ambisi mereka kerap mengambil tindakan yang tidak

praktis. Namun demikian, mereka masih dapat diterima

ditengah masyarakat dan masih tahu diri. Biasanya lansia

ketergantungan ini senang pensiun, tidak suka bekerja, dan

senang berlibur, banyak makan dan minum.

d. Tipe defensif

Lansia tipe ini biasanya mempunyai riwayat

pekerjaan/jabatan yang tidak stabil di masa muda. Mereka

slalu menolak bantuan, memiliki emosi yang terkendali,

teguh dengan kebiasaan, dan berifat kompulsif aktif.

Namun anehnya lansia tipe defensif takut menghadapi

“masa tua” dan menyenangi masa pensiun.

d. Proses menua

Menjadi tua (menua) adalah suatu keadaan yang terjadi

didalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses

sepanjang hidup yang tidak hanya dimulai dari suatu waktu

tertentu tetapi dimulai dari mulai kehidupan. Menjadi tua

merupakan proses alamiah yang berarti bahwa manusia sudah

melalui berbagai tahap kehidupan mulai neonatus, toddler, pra

sekolah, sekolah, remaja, dewasa dan lansia.

Menua merupakan tahap tubuh dalam mencapi titik

maksimal, setelah itu tubuh menyusut di karenakan berkurangnya


jumlah sel –sel dalam tubuh akibatnya tubuh akan mengalami

penurunan fungsi secara bertahap (Padila, 2014).

Daya tahan tubuh terhadap rangsangan dari luar juga akan

mengalami penurunan sehingga secara progresif akan kehilangan

daya tahan tubuh terhadap infeksi dan terjadi penumpukan distorsi

metabolik dan struktural yang disebut penyakit degeneratif

(IP.Suiraoka, 2015). Beberapa jenis penyakit degeneratif yang akan

dialami lansia meliputi hipertensi, diabetes mellitus, asam urat,

stroke, asterosklerosis.

e. Teori-teori proses menua

Banyak definisi yang menjelakan tentang proses menua.

Proses menua bersifat individual : dimana proses menua pada

setiap orang berbeda-beda, terjadi pada usia yang beda, memiliki

gaya hidup yang berbeda-beda pula dan tidak ada faktor yang dapat

mencegah proses menua (Padila, 2014). Teori-teori penuaan dapat

digolongkan sebagai berikut

a. Teori biologis

Menurut Bandiyah (Chapter, 2015) Teori biologis mencakup

beberapa hal meliputi:

1) Teori genetik dan mutasi

Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram

secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi


sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh

molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan

mengalami mutasi.

1) Pemakaian dan rusak kelebihan usaha dan stress

menyebabkan sel- sel tubuh lelah.

2) Pengumpulan dari pigmen atau lemak dalam tubuh yang

disebut teori akumulasi dari produk sisa.

3) Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan.

4) Tidak ada perlindungan tubuh terhadapa radiasi, penyakit

dan kekurangan gizi.

5) Reaksi dari kekebalan sendiri.

6) Immunology slow theory

Menurut immunology slow theory, sistem imun menjadi

efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke

dalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ

tubuh.

7) Teori stres

Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya

sel- sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan

tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal,

kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh

lelah terpakai.

8) Teori radikal bebas


Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya

radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi

oksigen bahan- bahan organik seperti karbohidrat dan

protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat

melakukan regenerasi.

9) Teori rantai silang

Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia

sel-sel yang tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya

jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya

elastisitas kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.

10) Teori program

Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang

akan membelah setelah sel tersebut mati.

11) Teori kejiwaan social

Menurut Bandiyah (2015) teori kejiwaan social meliputi :

a) Aktivitas atau kegiatan (Activity Theory)

Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses adalah

lansia yang aktif dan banyak ikut dalam kegiatan sosial.

b) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)

Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi

pada lanjut usia dipengaruhi oleh tipe personality yang

dimiliki.

c) Teori pembebasan (Didengagement Theory)


Teori menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia,

seseorang akan berangsur-angsur mulai melepaskan diri

dari kehidupan social dan akan lebih menarik diri.

f. Perubahan-perubahan pada lansia

Menjadi tua atau menua membawa pengaruh serta

perubahan menyeluruh baik fisik, sosial, mental dan moral

spiritual, yang semuanya saling berkaitan antara satu bagian

dengan yang lainnya. Lansia perlu beradaptasi dengan perubahan-

perubahan yang terjadi, padahal dalam kenyataannya semakin tua

maka akan semakin sulit beradaptasi (Padila, 2014). Perubahan-

perubahan yang terjadi antara lain:

a. Perubahan fisik

1) Sel

Lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukuranya,

berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan

tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler, menurunnya

proporsi protein di otak, otot ginjal darah, dan hati, jumlah

sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel,

otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5 – 10%

(Bandiyah, 2015).

2) Sistem persyarafan

Berat otak menurun 10 – 20%. Gangguan yang

terjadi karena penurunan sistem persyarafan meliputi:


hubungan persyarafan menurun, lambat dalam bereaksi,

terjadi stress, pengecilan syaraf panca indra sehingga terjadi

berkurangnya penglihatan, berkurangnya pendengaran,

saraf pencium dan perasa mengecil, kurang sensitif

terhadapa sentuhan, kulit lebih sensitif terhadap perubahan

suhu yang terjadi (Bandiyah, 2015).

3) Sistem Pendengaran

Presbiakusis adalah hilangnya kemampuan

pendengaran pada telinga dalam. Terutama terhadap bunyi

suara atau nada–nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,

sulit mengerti kata–kata, terjadinya pengumpulan serumen

karena peningkatan keratin, pendengaran bertambah

menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa

atau stres (Bandiyah, 2015).

4) Sistem penglihatan

Sfingter pupil timbul sclerosis dan hilangnya respon

terhadap sinar kornea lebih terbentuk bola, katarak

menyebabkan gangguan penglihatan, meningkatnya

ambang pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap

kegelapan lebih lambat, dan susah melihat dalam cahaya

gelap, hilangnya daya akomodasi, berkurangnya lapang

pandang, menurunya daya membedakan warna biru atau

hijau (Padila, 2014).


5) Sistem kardiovaskuler

Elastisitas dinding aorta menurun, katup jatung

menebal dan menjadi kaku kemampuan jantung memompa

darah menurun 1% setiap tahun seudah berumur 20 tahun,

hal ini menyebkan merunnya kontraksi dan volumenya,

kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya

efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi,

perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa

menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg

(Bandiyah, 2015).

6) Sistem pengaturan temperatur tubuh

Hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu

thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu,

kemunduran terjadi berbagai faktor yang

mempengaruhinya. Sebagai akibat sering ditemui

temperatur tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologik ±

35°C ini akibat metabolisme yang menurun, keterbatasan

refleks menggigil dan tidak memproduksi panas yang

banyak sehingga terjadi rendahnya aktifitas otot (Bandiyah,

2015).

7) Sistem respirasi

Otot–otot pernafasan kehilangan kekuatan dan

menjadi kaku menurunya aktifitas dari sillia, paru-paru


kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik

nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum

menurun, dan kedalaman bernafas menurun, alveoli

ukurannya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang, O²

pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, CO² pada arteri

tidak terganti, kemampuan pegas dinding dada dan

kekuatan otot pernafasan akan menurun seiring dengan

pertambahan usia (Bandiyah, 2015).

8) Sistem gastrointestinal

Kehilangan gigi penyebab utama adanya periodontal

diase yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab

lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang

buruk, indera pengecap menurun adanya iritasi yang kronis

dari selaput lendir, atropi indra pengecap (±80%) hilangnya

sensitifitas dari saraf pengecap di lidah terutama rasa manis

dan asin, hilangnya sensitifitas dari saraf pengecap tentang

rasa asin, asam dan pahit, esophagus melebar, rasa lapar

menurun, asam lambung menurun, waktu mengosongkan

menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi,

fungsi absorpsi melemah, liver makin mengecil dan tempat

penyimpanan menurun, berkurangnya aliran darah

(Bandiyah, 2015).

9) Sistem reproduksi
Menciutnya ovari dan uterus, atrovi payudara, pada

laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa,

meskipun adanya penurunan secara berangsur–angsur,

dorongan seksual menetap sampai usia diatas 70 tahun

yaitu kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa

lanjut usia, hubungan seksual secara teratur membantu

mempertahankan kemampuan seksual, tidak perlu cemas

karena merupakan perubahan alami, selaput lendir vagina

menurun, permukaan menjadi halus, sekresi menjadi

berkurang, terjadi perubahan–perubahan warna (Bandiyah,

2015).

10) Sistem gastourinaria

Ginjal merupakan alat untuk mengeluarkan sisa

metabolisme tubuh, melalui urine darah ke ginjal, disaring

oleh satuan terkecil dari ginjal yang disebut nefron,

kemudian mengecil dan nefron menjadi atrofi, nilai ambang

ginjal terhadap glukosa meningkat, vesika urinaria

(kandung kemih) ototnya menjadi lemah, kapasitasnya

menurun menyebabkan frekuensi buang air seni meningkat,

vesika urinaria sudah dikosongkan pada pria lanjut usia

sehingga mengakibatkan meningkatkan retensi urin, atrovi

vulva dan vagina, tetapi kapasitas untuk melakukan dan

menikmati berjalan terus sampai tua (Bandiyah, 2015).


11) Sistem endokrin

Produksi dari hampir semua hormon menurun,

fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah,

pertumbuhan hormon ada tetapi tidak rendah dan hanya ada

didalam pembuluh darah, berkurangnya produksi dari

ACTH, TSH, FSH, dan LH, menurunya aktifitas tiroid,

menurunnya BMR (basal metabolic rate), dan menurunnya

daya pertukaran zat, menurunnya produksi aldosteron,

menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya

progesteron, estrogen, dan testeron (Bandiyah, 2015).

12) Sistem integumen

Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan

jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan bersisik (karena

kehilangan proses kratinasi serta perubahan ukuran dan

bentuk–bentuk sel epidermis), menurunya respon terhadap

trauma, mekanisme proteksi kulit menurun yaitu produksi

serum menurun, gangguan pegmentasi kulit, kulit kepala

dan rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam hidung

dan telingga menebal, bekurangnya elastisitas akibat dari

menurunnya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku

lebih lambat, kuku jari menjadi lebih keras dan rapuh, kuku

kaki bertumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk,


kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya, kuku

menjadi pudar, kurang bercahaya (Bandiyah, 2015).

13) System muskuluskeletal (musculoskeletal system)

Dewasa lansia yang melakukan aktifitas secara

teratur tidak kehilangan massa atau tonus otot dan tulang

sebanyak lansia yang tidak aktif. Serat otot berkurang

ukuranya. Dan kekuatan otot berkurang sebanding

penurunan massa otot. Penurunan massa dan kekuatan otot,

demeneralisasi tulang, pemendekan fosa akibat

penyempitan rongga intravertebral, penurunan mobilitas

sendi, tonjolan tulang lebih meninggi (terlihat). Tulang

kehilangan density (cairan) dan makin rapuh, kifosis

pinggang, pergerakan lutut dan jari–jari pergelangan

terbatas, discus intervertebralis menipis dan menjadi

pendek (tingginya berkurang), persendian membesar dan

menjadi rapuh, tendon mengerut dan mengalami sclerosis,

atrofin serabut otot sehingga seseorang bergerak menjadi

lamban, otot–otot kram menjadi tremor, otot–otot polos

tidak begitu berpengaruh (Padila, 2014).

14) Perubahan mental

Faktor–faktor yang mempengaruhi perubahan

mental yaitu perubahan fisik khususnya organ perasa


kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas),

dan lingkungan.

b. Kenangan

Kenangan (memory) terdiri dari kenangan jangka panjang

(berjam–jam sampai berhari–hari yang lalu mencakup beberapa

perubahan), dan kenangan jangka pendek atau seketika (0-10

menit, kenangan buruk).

c. I.Q. (Intellegentian Quantion )

I.Q. (Intellegentian Quantion) tidak berubah dengan

informasi matematika dan perkataan verbal, berkurangnya

penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor terjadinya

perubahan pada daya membayangkan karena tekanan–teanan

dari faktor waktu (Bandiyah, 2015).

Semua organ pada proses menua akan mengalami

perubahan struktural dan fisiologis, begitu juga otak. Perubahan

ini disebabkan karena fungsi neuron di otak secara progresif.

Kehilangan fungsi ini akibat menurunnya aliran darah ke otak,

lapisan otak terlihat berkabut dan metabolisme di otak lambat.

Selanjutnya sangat sedikit yang di ketahui tentang pengaruhnya

terhadap perubahan fungsi kognitif pada lanjut usia (Padila,

2014). Perubahan kognitif yang di alami lanjut usia adalah

demensia, dan delirium.

a. Perubahan psikologis
Lanjut usia akan mengalami perubahan–perubahan

psikososial seperti (Padila, 2014) :

1) Pensiun, nilai seseorang sering diukur produktifitasnya,

identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan.

Lansia yang mengalami pensiun akan mengalami

rangkaian kehilangan yaitu finansial (income berkurang),

status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi,

lengkap dengan segala faselitasnya), teman/kenalan atau

relasi, dan pekerjaan atau kegiatan.

2) Merasakan atau sadar akan kematian (sence of awareness

of mortality)

3) Perubahan dalam cara hidup yaitu memasuki rumah

perawatan, bergerak lebih sempit.

4) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic

derivation) meningkatkan biaya hidup pada penghasilan

yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan

5) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

6) Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan social.

7) Gangguan saraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian.

8) Gangguan gizi akibat kehilangan penghasilan atau jabatan

sehingga mengalami kekurangan ekonomi.

9) Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan

dengan teman teman dan famili serta pasangan.


10) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan

terhadap gambaran diri.

2. Konsep Diabetes Melitus

a. Pengertian Diabetes Mellitus

Pengertian Diabetes Mellitus (DM) Diabetes mellitus

(DM) atau penyakit gula atau kencing manis adalah penyakit

menahun yang ditandai kadar gula dalam darah melebihi nilai

normal, yaitu hasil pemeriksaan gula darah vena sewaktu

(GDS) >126 mg/dl (Kemenkes, 2015).

Diabetes mellitus merupakan penyakit degeneratif

yang ditandai dengan kadar gula darah tinggi yang

disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin didalam

tubuh. Jika kadar gula darah tidak terkontrol, maka akan

menyebabkan komplikasi jangka panjang pada penderita.

Bahkan, parahnya lagi bisa menyebabkan kematian

(Krisnatuti, dkk, 2014).

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diabetes Mellitus

(DM)

Menurut Kemenkes (2013), faktor risiko DM dibagi menjadi :

1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

a. Usia

Di negara berkembang penderita diabetes mellitus

berumur antara 45-64 tahun dimana usia tergolong masih


sangat produktif. Umur merupakan salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi kesehatan (Soegondo, 2011).

Notoatmodjo (2012) mengungkapkan pada aspek psikologis

dan mental taraf berfikir seseorang semakin matang dan

dewasa. Menjelaskan bahwa makin tua umur seseorang maka

proses perkembangannya mental bertambah baik, akan tetapi

pada umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental

ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun.

b. Riwayat keluarga dengan DM (anak penyandang DM)

Menurut Hugeng dan Santos (2017), riwayat keluarga

atau faktor keturunan merupakan unit informasi pembawa sifat

yang berada di dalam kromosom sehingga mempengaruhi

perilaku.

Adanya kemiripan tentang penyakit DM yang di derita

keluarga dan kecenderungan pertimbangan dalam pengambilan

keputusan adalah contoh pengaruh genetik. Responden yang

memiliki keluarga dengan DM harus waspada. Resiko

menderita DM bila salah satu orang tuanya menderita DM

adalah sebesar 15%. Jika kedua orang-tuanya memiliki DM

adalah 75% (Diabetes UK, 2010).

c. Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir bayi > 4000 gram

atau pernah menderita DM saat hamil (DM Gestasional)

Pengaruh tidak langsung dimana pengaruh emosi dianggap


penting karena dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan dan

pengobatan. Aturan diit, pengobatan dan pemeriksaan sehingga

sulit dalam mengontrol kadarbula darahnya dapat

memengaruhi emosi penderita (Nabil, 2012).

2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

a. Overweight/berat badan lebih (indeks massa tubuh >

23kg/m2) Salah satu cara untuk mengetahui kriteria berat

badan adalah dengan menggunakan Indeks Masa Tubuh

(IMT).

Berdasarkan dari BMI atau kita kenal dengan Body Mass

Index diatas, maka jika berada diantara 25-30, maka sudah

kelebihan berat badan dan jika berada diatas 30 sudah

termasuk obesitas. Menurut Nabil (2012), ada beberapa hal

yang dapat dilakukan untuk mengurangi berat badan yaitu :

1) Makan dengan porsi yang lebih kecil

2) Ketika makan diluar rumah, berikan sebagian porsi untuk

anda untuk teman atau anggota keluarga yang lain.

3) Awali dengan makan buah atau sayuran setiap kali anda

makan.

4) Ganti snack tinggi kalori dan tinggi lemak dengan snack

yang lebih sehat.

b. Aktifitas fisik kurang

Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur


sangat bermanfaat bagi setiap orang karena dapat

meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan,

meningkatkan fungsi jantung, paru dan otot serta

memperlambat proses penuaan. Olahraga harus dilakkan

secara teratur. Macam dan takaran olahraga berbeda menurut

usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan kondisi kesehatan.

Jika pekerjaan sehari-hari seseorang kurang memungkinkan

gerak fisik, upayakan berolahraga secara teratur atau

melakukan kegiatan lain yang setara. Kurang gerakatau hidup

santai merupakan faktor pencetus diabetes (Nabil, 2012).

c. Merokok Penyakit dan tingginya angka kematian (Hariadi S,

2008).

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara

merokok dengan kejadian DM tipe (p = 0,000). Hal ini

sejalan dengan penelitian oleh Houston yang juga

mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki risiko 76% lebih

tinggi terserang DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak

(Irawan, 2010). Dalam asap rokok terdapat 4.000 zat kimia

berbahaya untuk kesehatan, dua diantaranya adalah nikotin

yang bersifat adiktif dan yang bersifat karsinogenik.

d. Hipertensi (TD > 140/90 mmHg)

Jika tekanan darah tinggi, maka jantung akan bekerja

lebih keras dan resiko untuk penyakit jantung dan diabetes


pun lebih tinggi. Seseorang dikatakan memiliki tekanan darah

tinggi apabila berada dalam kisaran > 140/90 mmHg. Karena

tekanan darah tinggi sering kali tidak disadari, sebaiknya

selalu memeriksakan tekanan darah setiap kali melakukan

pemeriksaan rutin (Nabil, 2012).

c. Klasifikasi Diabetes Melitus

American Diabetes Association / Word Health Organization, 2010

mengklasikasikan 4 macam penyakit diabetes melitus berdasarkan

penyebabnya, yaitu :

1) Diabetes Melitus tipe 1 atau insulin dependent diabetes melitus

(IDDM).

DM tipe ini terjadi karena adanya detraksi sel beta pankreas

karena sebab autoimun pada DM tipe ini terdapat sedikit atau

tidak sama sekali sekresi insulin dapat di tentukan dengan level

protein-c yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama

sekali, manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah

ketoasidosis.

2) Diabetes Melitus Tipe 2 atau insulin non –dependent diabetes

melitus / NIDDM.

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia terapi

insulin tidak bisa membawa glukosa masuk kedalam jaringan

karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya

kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh


jaringan perifer dan untuk menghambat glukosa oleh jaringan

perifer dan untuk menghambat dlukosa oleh hati.

3) Diabetes Melitus Tipe lain.

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain misalnya pada defek

genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit

endokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, latorgenik,

infeksi virus, penyakit autoimun, dan kelainan genetik lain.

4) Diabetes Gastasional selama masa kehamilan.

DM tipe ini terjadi dimana intoleransi glukosa didapati

pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester

kedua dan ketiga.

d. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association / Word Health

Organization, 2010 Beberapa keluhan dan gejala yang perlu

mendapat perhatian adalah:

1. Banyak kencing (Poliuria).

Karena sifatnya kadar glukosa darah yang tinggi akan

menghabiskan banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam

jumlah yang banyak akan sangat menganggu penderita, terutama

pada waktu malam hari.

2. Banyak minum (polidipsia).

Rasa haus amat sering dialami penderita karena banyaknya

cairan yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering


disalah tafsirkan. Dikiranya sebab rasa haus ialah udara yang

panas tau beban kerja yang berat. Untuk menghilagkan rasa haus

itu penderita banyak minum.

3. Banyak makan (polifagia).

Rasa lapar yang semakin besar sering timbul pada penderita

Diabetes Melitus karena pasien mengalami keseimbangan kalori

negatif, sehingga timbul rasa lapar itu penderita banyak makan.

4. Penurunan berat badan dan rasa lemah.

Penurunan berat badan yang berlangsung dalam relatif singkat

harus menimbulkan kecurigaaan. Hal ini dapat disebabkan

glukosa dalam darah tidak dapat masuk kedalam sel, sehingga

sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk

kelangsungan hidup, sumber tenaga diambil dari cadangan lain

yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan

jaringan lemak dan otot sehingga menjdi kurus.

5. Gangguan syaraf tepi dan kesemutan

Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada

kaki di waktu malam hari.

6. Gangguan penglihatan

Pada fase awal diabetes sering juga di jumpai gangguan

penglihatan berupa pandangan kabur.

7. Gatal- gatal dan bisul

Kelainan kulit berupa gatal biasanya terjadi pada daerah


kemaluan dan daerah lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah

payudara.

8. Gangguan fungsi seksual.

Dapat berupa gangguan ereksi,inponten yang disebabkan

gangguan pada syaraf bukan karena kekurangan hormone

testosterone.

9. Keputihan

Pada penderita wanita, keputihan dan gatal sering dirasakan, hal

ini disebabkan daya tahan tubuh penderita menurun.

e. Kompliksi Diabetes Melitus

Beberapa komplikasi dari Diabetes Melitus adalah

2. Akut

a) Hipoglikemia yaitu gangguan kesehatan yang terjadi ketika

kadar didalm darah berada di bawah kadar normal.

b) Hiperglikemia yaitu istilah medis untuk keadaan dimana

kadar gula dalam darah lebih tinggi dari nilai normal. Dalam

keadaan normal, gula darah berkisar antar 70-100 mg/dl.

c) Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar,

penyakit jantung koroner (cerebrovaskuler, penyakit

pembuluh darah kapiler).

d) Penyakit mikrovaskuler : mengenai pembuluh darah kecil,

retinopati dan nefropati.

2. Komplikasi menahun DM.


a) Neuropatik diabetikum merupakan kerusakan syaraf di kaki

yang meningkatkan kejadian ulkus kaki, infeksi bahkan

keharusan untuk amputasi.

b) Retinopati diabetikum merupakan salah satu penyebab

utama kebutaan, terjadi akibat kerusakan pembuluh darah.

c) Nefropatik diabetikum merupakan penyakit ginjal dibetes

yang mengkibatkan kegagalan fungsi ginjal.

d) Proteinuria merupakan faktor resiko penurunn faal ginjal.

e) Kelainan koroner.merupakan suatu keadan akibat terjdinya

penyempitan, penyumbatan dan kelainan pembuluh nadi

koroner. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat

menghentikan aliran darah ke otot yang di tandai dengan

rasa nyeri.

f) Ulkus/ gangren diabetikum adalah kematian yang di

sebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah (ischemic

necrosis) karena adnya mikroemboli retrombosis akibat

penyakit vaskular perifir oklusi yang penyertai penderita

dibetes sebagai kompliksi menahun dari dibetes itu sendiri.

f. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Dalam mempertahankan gula

darah membutuhkan manajemen diri agar konsisten dalam berperilaku

hidup sehat. Manajemen diri adalah usaha individu dengan menggunakan

teknik terapeutik (teknik yang secara otomatis dapat menyembuhkan)

yang akan diberikan sebagai intervensi dan pengelolaan mengendalikan


dan mengarahkan diri, selain itu untuk mendukung perubahan perilaku

menuju polahidup sehat setelah terdiagnosa diabetes mellitus (Hugeng

dan Santos, 2017).

Pengelolaan diabetes mellitus sering dikenal dengan 4 Pilar

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus (DM). Menurut Perkeni(2015), 4 Pilar

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus (DM) terdiri dari :

1. Edukasi

DM Edukasi yang dilakukan kepada diabetesi dibutuhkan untuk

pengelolaan penyakit diabetes yang optimal yang membutuhkan

perubahan perilaku dari diabetes. Edukasi dengan tujuan promosi

hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya

pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari

pengelolaan holistik secara penting.Materi edukasi terdiri dari materi

edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.

a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan

Kesehatan Primer, yang meliputi:

1) Materi tentang perjalanan penyakit DM.

2) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara

berkelanjutan.

3) Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.

4) Pentingnya latihan jasmani yang teratur.

b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan Materi edukasi

pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Sekunder

dan / atau Tersier, yang meliputi:

1) Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.


2) Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.

3) Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).

4) Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari

sakit) 5) Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi

mutakhir tentang DM.

2. Latihan Jasmani

Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang

bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 - 70% denyut jantung

maksimal). Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara

mengurangi angka 220 dengan usia pasien. Pada penderita DM tanpa

kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol,

retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance trainning

(latihan beban) 2-3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter.

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status

kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM

yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM

yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan

disesuaikan dengan masing-masing individu.

3. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan

makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis

terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat Antihiperglikemia

Oral berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi

menjadi :

a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue) dan Sulfonilurea.


Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi

insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah

hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan

sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua,

gangguan faal hati, dan ginjal). Glinid merupakan obat yang cara

kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada

peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2

macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid

(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah

pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat

ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang

mungkin terjadi adalah hipoglikemia.

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin dan Metformin. Metformin

mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan

perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar

kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal (GFR 30 - 60 ml/menit/1,73 m2 ). Metformin

tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan, seperti: GFR.

3. Konsep Kadar Gula Darah

a. Definisi kadar gula darah

Glukosa adalah karbohidrat terpenting bagi tubuh karena

glukosa bertindak sebagai bahan bakar metabolik utama. Glukosa

juga berfungsi sebagai perkursor untuk sintesis karbohidrat lain,

misalnya glikogen, galaktosa, ribosa, dan deoksiribosa. Glukosa


merupakan produk akhir terbanyak dari metabolisme karbohidrat.

Sebagian besar karbohidrat diabsorbsi kedalam darah dalam bentuk

glukosa, sedangkan monosakarida lain seperti fruktosa dan

galaktosa akan diubah menjadi glukosa di dalam hati. Karena itu,

glukosa merupakan monosakarida terbanyak didalam darah

( Murry,Granner, dan Rodwell,2010).

Kadar glukosa darah diatur sedemikian rupa agar dapat

memenuhi kebutuhan tubuh, dalam keadaan absorbtif, sumber

energi utama adalah glukosa. Glukosa yang berlebih akan di

simpan dalam bentuk glikogen atau triglisenda. Dalam keadaan

pasca- absorbtif, glukosa harus dihemat untuk digunakan oleh otak

dan sel darah merah yang sangat bergantung pada glukosa.

Jaringan lain yang dapat menggunakan bahan bakar alternatif

(Sherwood, 2012).

b. Pemeriksaan kadar glukosa darah

Menurut ADA ( 2014) ada berbagai cara yang biasanya dilakukan

untuk memeriksa kadar glukosa darah diantaranya.

1. Tes Gula Darah Sewaktu.

Kadar gula darah sewaktu disebut juga kadar gula darah acak

atau kecuali tes gula darah sewaktu dapat dilakukan kapan saja.

Hasil Kadar Sewaktu


Normal 180 mg/dl
Tinggi >200 mg/dl
Rendah <70 mg/dl
2. Uji HbAIc
Uji HbAIc mengukur kadar glukosa darah rata-rata dalam 2-3

bulan terkhir. Uji ini lebih sering digunakan untua mengontrol

kadar glukosa darah pada penderita diabetes.

Hasil Kadar HbAIc


Normal Kurang dari 5,7%

Prediabete 5,7-6,4%

s Diabetes Sama atau lebih 6,5 %


Tabel 2.2 Kadar HbAIc

c. Kadar Gula Darah Tinggi (Hiperglikemia)

Seseorang disebut diabetisi atau menderita diabetes jika

pemeriksaan gula darah puasanya melebihi angka 126 mg/ dl atau

selama 2 kali berturut-turut pemeriksaan gula darah 2 jam sesudah

makan angka yang didapat melebihi 180 mg/ dl (Matanews, 2009).

Kenaikan kadar glukosa darah yang terjadi pada pagi hari

dapat disebabkan oleh dosis insulin yang tidak adekuat (Smeltzer,

2002).

d. Kadar Gula Darah Rendah (hipoglikemia)

Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula

darah (glukosa) secara abnormal rendah. Dalam keadaan normal

tubuh mempertahankan kadar gula darah antara 70-110 mg/dL.


Pada diabetes, kadar gula darah terlalu tinggi sedangkan pada

hipoglikemia kadar gula darah terlalu rendah. Kadar gula darah

yang rendah menyebabkan berbagai sistem organ tubuh mengalami

kelainan fungsi (Fahmi, 2010).

Reaksi hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh

kekurangan glukosa, dengan tanda-tanda: rasa lapar, gemetar,

keringat dingin, pusing dan sebagainya (Darni, 2006).

Hipoglikemia harus segera diatasi karena dalam beberapa menit

bisa menjadi berat, menyebabkan koma dan kadang cedera otak

menetap. Jika terdapat tanda hipoglikemia, penderita harus segera

makan gula (Lestari, 2009).

4. Konsep Aktivitas Fisik

1. Pengertian Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik dapat di definisikan sebagai gerakan

fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem

penunjangnya (Almatsier, 2002).

Aktivitas fisik di bagi menjadi dua yaitu aktivitas

fisik internal dan aktivitas fisik ekternal. Aktivitas fisik

internal adalah suatu aktivitas fisik dimana proses

bekerjanya organ-organ dalam tubuh sewaktu istirahat,

sedangkan aktivitas fisik secara ekternal adalah aktivitas

fisik yang dilakukan oleh pergarakan anggota tubuh yang


dilakukan selama 24 jam serta banyak mengeluarkan energi

(Fatonah,1996).

Aktivitas fisik adalah pergarakan anggota tubuh

yang menyababkan pengeluaran energi secara sederhana

yang sangat penting bagi pemeliharaan fisik, mental, dan

kualitas hidup sehat (Hudha, 2006).

2. Beban Aktivitas Fisik Berdasarkan Kebutuhan Kalori

a. Pengertian Kalori

Kalori merupakan satuan energi yang yang diperoleh

dari adanya usaha atau aktivitas dengan proses oksidasi

didalam sel manusia (PERKENI, 2002).

Kalori adalah hasil dari pembakaran zat-zat nutrisi

oleh sel didalam tubuh manusia dengan bantuan oksigen

dan juga diperoleh sisa pembakaran atau oksidasi berupa air

dan karbondioksida. Bahan atau sumber kalori terdiri dari

glukosa, yang diperoleh dari pemecahan makanan, glikogen

adalah glukosa didalam hati, dan trigleserida atau

penimbunan glukosa dalam bentuk lemak yang merupakan


penimbunan glukosa yang tidak terpakai akibat tidak

adanya keseimbangan antara asupan nutrisi dengan proses

metabolisme sel yang dipengaruhi oleh aktivitas (Asdie,

1996).

b.Katagori Aktivitas fisik

Salah satu kebutuhan umum dalam aktivitas fisik

adalah oksigen yang dibawa oleh darah ke otot untuk

pembakaran zat yang berguna untuk menghasilkan energi.

tenaga kerja Indonesia melalui Kep. No 51 tahun

1999, menetapkan beban kerja menurut kebutuhan kalori

sebagai barikut :

1) Beban kerja ringan : 100-200 kilo kalori / jam

2) Beban kerja sedang : 200-350 kilo kalori / jam

3) Beban kerja berat : 350-500 kilo kalori / jam

b. Kebutuhan Kalori

Menurut Grandjean (1993) bahwa kebutuhan kalori

seseorang dalam melakukan aktivitas fisik di bagi menjadi

tiga hal :
i. Kebutuhan kalori untuk metabolisme basal. Keterangan

kebutuhan kalori untuk metabolisme seorang laki-laki

dewasa adalah 23,87 kilo kalori per 24 jam per BB,

sedangkan untuk wanita dewasa adalah memiliki kebutuhan

kalori 23,39 kilo kalori per 24 jam per BB.

ii. Kebutuhan kalori untuk kerja. Kebutuhan kalori untuk kerja

sangat ditentukan oleh berat ringannya pekerjaan atau jenis

aktivitas kerja yang dilakukan.

iii. Kebutuhan kalori untuk aktivitas lain diluar jam kerja.

Rata-rata kebutuhan kalori diluar jam kerja adalah 573 kilo

kalori. Untuk lakilaki dewasa sekitar (425-477 kilo kalori)

per hari untuk wanita dewasa jadi kebutuhan peningkatan

kalori seseorang berbanding terbalik dengan berat badan

(Asmadi, 2002).

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik

a. Aspek Bologis.

Faktor usia berpengaruh terhadap kemampuan

aktivitas seseorang, dikarenakan seorang yang telah lanjut

usia mengalami kelemahan musculoscelektal dan

penurunan fungsi otot, karna selsel otot mengalami

kematian.

1) Kesehatan Fisik.
Toleransi gerak dan aktivitas dipengaruhi atau

diakibatkan oleh adanya kerusakan penyakit yang merusak

system saraf. System musculoskelektal dan vestibular

apparatus, dan penyakit yang berupa kerusakan system

syaraf seperti, parkinson, Sklerosa, tomor system saraf

pusat (Kozeir, Erb, Berman, 2000).

2) Kesehatan Mental.

Mental seperti depresi kronis, akan menjadikan

seseorang memacu aktivitas, orang yang depresi dapat

kurang melakukan aktivitas dan kekurangan energi untuk

melakukan aktivitas yang biasa

3) Nutrisi.

Baik kelebihan atau kekurangan nutrisi akan

mengakibatkan mempengaruhi aktivitas, seorang yang

intake nutrisinya kurang maka aktivitasnya tidak maksimal,

hal tersebut dikarenakan nutrisi didalam tubuh merupakan

bahan untuk memperoleh energi (Owen, 1985).

6. Nilai Energi Aktivitas Fisik

Nilai energi atau kalori yang dikeluarkan

dipengaruhi oleh dari asupan makanan dan aktivitas

seseseorang. Seorang yang memiliki aktivitas yang berat


maka membutuhkan kalori yang cukup besar jumlahnya

dibandingkan seseorang yang memiliki aktivitas yang

ringan maka asupan makanan seseorang harus seimbang

dengan tingkat aktivitas yang dikerjakan karena didalam

aktivitas akan meningkatkan proses metabolisme. Pasien

DM perlu mengetahui indeks glukosa sehinga dapat

menyeimbangkan antara pola makan, glukosa darah dan

kalori yang akan dikeluarkan didalam aktivitas fisik

(Waspadji, 2002).

Pasien diabetes mellitus yang ingin melakukan

aktivitas seperti olah raga yang banyak gerakan seperti

berlari atau sepak bola maka kalori yang akan digunakan 20

per menit, jika lama aktivitas berlari dalam sepak bola 30

menit, maka kalori yang dipakai adalah 20x 30 = 600 kalori.

Tambahkan kalori sebanyak 600 kalori tersebut yaitu untuk

mencegah terjadinya reaksi insulin selama melakukan olah

raga. Disamping itu harus disiapkan paket pencegah reaksi

insulin, yaitu dengan menyuntikan glukagon. Jika

hipoglikemia muncul maka perlu dilakukan cara seperti di

atas, dalam waktu 20-30 detik tanda-tanda hipoglikemia

akan menghilang (Asdie, 1996).

7. Efek aktivitas fisik terhadap penderita DM


Hipoglikemia pengidap DM kususnya DM tipe I

perlu diwaspadai bagi pengidap DM yang memiliki

aktivitas fisik yang berat, untuk itu cara pembarian makanan

ekstra ini dibuat sedemikian rupa sehingga penyerapan

makanan ekstra kira-kira bertepatan dengan puncak

terjadinya hipoglikemi. Efek baik aktivitas untuk

meningkatkan metabolisme didalam tubuh, semisal aktivitas

fisik olah raga bagi penderita DM dapat meningkatkan

perbaikan ikatan insulin dengan reseptornya dan perbaikan

pada sensitifitas insulin hampir selalu proposional dengan

kesegaran jasmani yang dapat diukur dengan VO2

maksimum. Aktivitas fisik juga mempengaruhi agregasi

trombosit pada pengidap DM jika melakukan aktivitas fisik

olah raga dengan tepat, sehingga dapat mencegah penyakit

trombosis pada DM, terutama yang berkaitan dengan

kebutaan. Penderita diabetes mellitus lansia sangatlah

diperlukan latian aktivitas fisik untuk memperbaiki

peredaran darah di kaki (Asdie, 1996).

Olahraga membantu penderita DM mengontrol berat

badan yang merupakan indikator penunjuk penderita DM.

penderita diabetes memiliki terlalu banyak glukosa dalam

darah akibat kekurangan insulin, hormon yang membantu

sel menyerap glukosa. Olahraga dapat membantu


melarutkan pembekuan darah lebih mudah. Tingginya

tingkat insulin dalam darah memungkinkan terjadi

pembekuan darah lebih mudah karena itu mengapa diabetes

erat kaitannya dengan penyakit Kardiovaskuler (Infokes,

2004).

Kurang berolahraga merupakan salah satu faktor

risiko utama terjadinya DM. Menurut Haznam (1991)

olahraga dianjurkan karena bertambahnya kegiatan fisik

menambah reseptor insulin dalam sel target. Dengan

demikian insulin dalam tubuh bekerja lebih efektif. Latihan

olahraga merupakan modifikasi kedua pada pengobatan

hiperglikemia pada DM. Glukosa dapat masuk kedalam sel-

sel otot yang aktif tanpa bantuan insulin, dan kemudian

dioksidasi menjadi karbondioksida dan air, sehingga

olahraga mempunyai aksi hipoglikemik. Olahraga juga

mampu untuk menurunkan resistensi insulin dan

menurunkan berat badan pada diabetik dengan obesitas

(kegemukan).

Olahraga tidak begitu besar mempengaruhi kadar

gula darah penderita diabetes mellitus tipe I, karena

produksi insulin yang terganggu atau tidak ada. Tetapi

keuntungan yang lainnya adalah mengurangi risiko penyakit


jantung, gangguan pembuluh darah perifer. Sedangkan pada

penderita DM tipe II, latihan jasmani berperan utama dalam

pengaturan glukosa darah. Pada saat berolahraga,

permeabilitas membran meningkat pada otot yang

berkontraksi, sehingga resistensi insulin berkurang (Tilarso,

1999).

6.Pedoman untuk Olahraga Diabetes

Latihan fisik sehari-hari dan latihan fisik secara

teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit)

merupakan salah satu pilar dalam perawatan diabetes

mellitus tipe II (Yuli, 2010).

Mansjoer et al (1999) menganjurkan bahwa latihan

secara teratur 3-4 kali setiap minggu selama kurang lebih

setengah jam sifatnya CRIPE (Continous, Ritmikal,

Interval, Progresive, Edurance Training).

Latihan kontinyu diberikan secara

berkesinambungan, dilakukan terus menerus tanpa berhenti,

contoh bila dipilih jogging selama 30 menit, maka selama

30 menit pengidap melakukan jogging tanpa istirahat.

Latihan ritmis, olahraga harus dipilih yang berirama,

yaitu otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur.


Contoh latihan ritmis adalah jalan kaki, joging berlari,

berenang, bersepeda, mendayung, main golf, tenis, atau

badminton tidak memenuhi syarat karena banyak

berhentinya.

Latihan interval dilakukan selang seling antara gerak

cepat dan lambat. Misalnya jalan cepat diselingi jalan

lambat, jogging diselingi jalan, berenang cepat 2 kali

panjang kolam diselingi 1 kali renang lambat, dan

sebagainya. Dengan kegiatan yang bergantian pengidap

dapat bernafas dengan lega tanpa menghentikan latihan

sama sekali.

Latihan progresif harus dilakukan secara berangsur-

angsur dari sedikit ke latihan yang lebih berat, secara

bertahap. Jadi beban olahraga dinaikan sedikit sesuai

pencapaian latihan sebelumnya.

Latihan daya tahan memperbaiki sistim

kardiovaskular. Oleh karena itu sebelum mengikuti program

latihan olahraga, tahap pengidap harus dilakukan

pemeriksaan kardiovaskular. Kapasitas kerja dapat

dievaluasi untuk menentukan tingkat latihan yang dapat

dilakukan dengan aman.


Penderita DM harus dievaluasi terhadap adanya

retinopati, neuropati, dan hipertensi karena jenis latihan

tertentu harus dihindari pada keadaankeadaan ini.

Manfaat olahraga bagi penderita DM adalah

mengurangi risiko penyakit jantung, mengurangi berat

badan bagi yang berat badannya berlebih, menstabilkan

KDG, memperkuat rasa kebersamaan (bila dilakukan pada

kelompok), memperbaiki profil lemak (Arief, 2008).

7. Tahap-tahap latihan fisik bagi penderita Diabetes

Pertama yaitu peregangan (stretching), latihan ini

bertujuan untuk mencegah cedera otot dan dilakukan

selama 5 menit.Pemanasan (warming up), sebaiknya

dilakukan dalam gerakan lambat selama 5 sampai 10 menit

sehingga kecepatan jantung meningkat cesara

bertahap.Latihan inti dengan kecepatan penuh (full speed),

dilakukan dengan kecepatan irama lebih cepat selama 20-30

menit.Pendinginan (cooling down), dilakukan dengan

tempo lambat selama 5-10 menit. Semua otot-otot

diregangkan untuk mencegah nyeri atau cedera.


Nafas secara normal, makan dan minum cukup,

menghapus pemborosan badan, gerak dan keseimbangan

tubuh, tidur dan beristirahat, memilih baju dan pakaian

yang pantas dan bukan pakaian, memelihara temperature

badan, membersihkan badan dengan baik, menghindari

bahaya-bahaya di lingkungan, komunikasi, pemujaan

menurut iman seseorang, bekerja, bermain, dan belajar

merupakan 14 komponen dasar ilmu keperawatan

(Henderson, 1966, 1991).

Dari 14 komponen tersebut, yang diterapkan dalam

penelitian kali ini adalah gerak dan keseimbangan tubuh,

tidur dan istirahat.

Gerak dan kesembangan tubuh, dengan melakukan

aktivitas fisik seharihari mampu mengontrol kadar gula

darah agar menjadi seimbang. Dengan melakukan gerak

dan menjaga keseimbangan tubuh maka penderita diabetes

juga mampu untuk mengontrol berat badannya.

Tidur dan istirahat, orang yang mengalami

gangguan tidur biasanya akan merusak kemampuan tubuh

untuk mengatur kadar gula dalam darah. Kurang tidur juga

dapat menyebabkan kegemukan (Irawan, 2010).


8. Hal yang diperhatikan dalam melakukan aktivitas fisik bagi

penderita DM

Penderita dm dalam melakukan aktivitas fisik perlu diperhatikan

halhal sebagai berikut :

a) Jangan melakukan aktivitas fisik yang berat jika kadar

glukosanya rendah semisal sebelum makan

b) Memakai alas kaki yang pas dan benar, karena dapat

menghindari luka pada kaki

c) Pengidap DM harus selalu membawa permen jika melekukan

aktivitas fisik yang berat untuk mengindari terjadinaya

hipoglikemi (Waspadji, 2002).

Adapun strategi untuk menghindarin terjadinya hipoglikmi

antara lain dapat dilakukan dengan berbagai cara. Penderita dapat

mempelajari respon glukosa darah sendiri terhadap berbagai

tingkatan aktivitas, selama dan segara setelah pengukuran dengan

mengukur kadar gula darah.

Penderita sebaiknya melakukan aktivitas 1-3 jam setelah

makan sehingga dapat terjadi keseimbangan antara glukosa darah

dan kebutuhan kalori, Penderita harus mengetahui efek kerja

puncak insulin karena aktivitas dapat mempercepat kerja insuluin,

makanan tambahan perlu disiapkan terutama jika penderita

mengalami tanda-tanda hipoglikemia (PERKENI, 2002).


B. Penelitian Terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Gumilang Mega Paramitha (2014)

Penelitian yang berjudul “ Hubungan aktivitas fisik dengan kadar gula

darah pada pasien diabetes melitus” tujuan Penelitian ini adalah untuk

menjelaskan hubungan aktivitas fisik dengan kadar gula darah pasien

diabetes melitus yang dilakukan pada tahun 2014. Desain penelitian ini

purposive sampling Design: analitik observasional dengan pendekatan

cross sectional. Jumlah sampel distribusi sampel berdasarkan jenis

kelamin, responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 61,0%

terdiri dari 36 orang, sedangkan jenis kelamin laki- laki sebanyak 39,0 %

terdiri dari 23 orang. Distribusi sampel berdasarkan usia menurut data

yang di dapatkan, sebagian besar responden berada pada kelompok usia 51

sampai 60 tahun kelompok usia 61 sampai 70 tahun yaitu masing-masing

sebesar 33,9% (20 orang) dan 39,0% (23 orang). Distribusi sampel

menurut lamanya menderita DM tipe 2. Responden terbanyak (25 orang)

adalah yang telah menderita DM tipe 2 selama 1-5 tahun sebesar 42,4 %.

Distribusi sampel aktivitas fisik menunjukkan bahwa sebagian besar

responden memiliki aktivitas fisik sedang yaitu sebanyak 89,8 % (53

orang). Sedangkan untuk responden yang melakukan aktivitas fisik berat

hanya sebesar 5,1% (3 orang) dan tingkat aktivitas fisik rendah sebesar 5,1

% (3 orang). Distribusi sampel menurut kadar gula darah puasa dari yang

tertinggi adalah kadar gula darah puasa kategori buruk yaitu sebesar 81,4

% (48 orang), kemudian kadar gula darah kategori baik sebesar 15,3% (9
orang) dan kadar gula darah kategori sedang sebesar 3,4% (2 orang).

Tehnik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Analisa

data menggunakan uji korelasi pearson. Setelah data aktivitas fisik dan

kadar gula darah di analisis dengan uji korelasi pearson didapatkan hasil

nilai p = 0,0001 dan nilai korelasi r= - 0,433, nilai p<0,05menunjukkan

terdapat hubungan pola aktivitas fisik dengan kadar gula darah pada

diabetes melitus tipe 2. Nilai korelasi r = - 0,433 menunjukkan adanya

korelasi kekuatan sedang yang berpola negatif antara kedua variabel. Nilai

korelasi yang berpola negatif memiliki arti semakin berat aktivitas yang

dilakukan, maka semakin rendah kadar gula darah puasanya. Demikian

dapat disimpulkan hipotesis penelitian yang diajukan dapat diterima.

C. Kerangka Teori

DM (Diabetes Melitus)

Usia
1. Usia Jenis kelamin
Kadar gula darah 2. Obesitas Pendidikan
3. pola makan Pekerjaan
4. aktivitas
fisik

Normal rendah

Tinggi
Berat Sedang Ringan
Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI

OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dari visualisasi hubungan atau kaitan

antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang

satu dengan variabel yang lain dari masalah yang di teliti. (Notoatmodjo,

2012).
B. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan

penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2012)

Dari kajian di atas tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut :

H1 : Ada pengaruh aktivitas fisik terhadap peningkatan kadar gula darah

pada Diabetes Melitus.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati

(diukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional (Nursalam,

2016).

Definisi Alat
Variabel Parameter Skala Skor
operasional ukur
Variabel Aktivitas Aktivitas fisik K O Kriteria :
independen : yaitu setiap - Lari/ jogging U R Ringan jika METs-min/
Aktivitas gerakan - Memasak E D minggu <600
fisik tubuh yang - Mengepel S I Sedang, jika METs-
di hasilkan - Mengankat I N min/minggu 600-<1500
oleh otot beban O A Berat, jika METs-
rangka yang - Bersepeda N L min/minggu > 1500 (
memerlukan - Senam E Petterson, 2010 )
pengeluaran - Mencakul R Cara perhitungan
energi - Jalan aktivitas fisik menurut
- Membersihkan ptterson ( 2010 ) :
rumah METs menit/ minggu
- Main computer berjalan= 3,3 x durasi
- Membaca berjalan/ hari (menit ) x
- Menonton tv frekuensi berjalan/
- Membaca Koran minggu (hari ).
Menurut Dwi
Rahmawati (2013). METs menit/minggu
aktivitas fisik sedang =
4 x durasi aktivitas
sedang/ hari (menit ) x
frekuensi aktivitas
sedang/ minggu (hari ).

METs menit/minggu
akyivitas berat=8 x
frekuensi aktivitas berat
/minggu (hari).

Total METs
menit/minggu aktivitas
berjalan + METs
menit
/minggu aktivitas berat
Variabel Kandungan 1. Kadar gula darah O O Kriteria :
dependen : glukosa di puasa B R Tes glukosa darah
kadar gula dalam darah 2. Kadar gula darah S D sewaktu :
darah. sewaktu E I Normal :<200 mg/dl
3. Kadar gula darah R N Tinggi : >200 mg/dl
oral V A Rendah : <100 mg/dl
A L
S
I

Anda mungkin juga menyukai