Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem Kesehatan Nasional menyatakan bahwa segala upaya
dalam pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk
mencapai

derajat

kesehatan

yang

lebih

tinggi

yang

memungkinkan orang hidup lebih produktif baik sosial maupun


ekonomi (Suyono, 1999). Dengan meningkatnya status sosial dan
ekonomi, pelayanan kesehatan masyarakat, perubahan gaya
hidup, bertambahnya umur harapan hidup, maka di Indonesia
mengalami pergeseran pola penyakit dari penyakit menular
menjadi penyakit tidak menular, hal ini di kenal dengan transisi
epidemiologi. Kecenderungan meningkatnya prevalensi penyakit
tidak menular salah satunya adalah Diabetes mellitus (Bustan,
1999) .
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang
ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan
oleh kekurangan hormon insulin, kelainan sekresi insulin atau
kedua-duanya. World Health Organization (WHO) merumuskan bahwa DM
merupakan kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor
defesiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani,
2006). Absolut terjadi apabila sel beta pankreas tidak dapat menghasilkan insulin
dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan sehingga penderita membutuhkan
suntikan insulin. Relatif terjadi apabila sel beta pankreas masih mampu
memproduksi insulin yang dibutuhkan tetapi hormon yang dihasilkan tersebut
tidak dapat bekerja secara optimal (Risty, 2008). Bila hal ini dibiarkan tidak
terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun

komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun


makroangiopati.
Jumlah penderita Diabetes mellitus di dunia dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah
populasi yang meningkat, life expectancy bertambah, urbanisasi
yang merubah pola hidup tradisional ke pola hidup modern,
prevalensi

obesitas

meningkat

dan

kegiatan

fisik

kurang.

Diabetes mellitus perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik


progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan banyak
dampak negatif yang ditimbulkan ( Darmono, 2007).
Menurut survei yang di lakukan oleh organisasi kesehatan
dunia (WHO), jumlah penderita Diabetes mellitus di Indonesia
pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang, jumlah tersebut
menempati urutan ke-4 terbesar di dunia, sedangkan urutan di
atasnya adalah India (31,7 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika
Serikat (17,7 juta). Diperkirakan jumlah penderita Diabetes
mellitus akan meningkat pada tahun 2030 yaitu India (79,4 juta),
Cina (42,3 juta), Amerika Serikat (30,3 juta) dan Indonesia (21,3
juta). Jumlah penderita Diabetes Mellitus tahun 2000 di dunia
termasuk Indonesia tercatat 175,4 juta orang, dan diperkirakan
tahun 2010 menjadi 279,3 juta orang, tahun 2020 menjadi 300
juta orang dan tahun 2030 menjadi 366 juta orang (Darmono dan
Peter, 2007).
Diabetes melitus kini menjadi masalah serius bagi umat manusia di dunia.
Badan kesehatan dunia atau WHO memperkirakan pada tahun 2003, 194 juta atau
5,1 persen dari 3,8 miliar penduduk dunia usia 20-79 tahun menderita DM dan
pada tahun 2025 diperkirakan akan meningkat menjadi 333 juta jiwa menurut
Federasi Diabetes Internasional, diabetes melitus merupakan penyebab kematian
urutan ketujuh di dunia (Rudijanto, 2008).

Diabetes

mellitus

dibandingkan

dengan

penderita

non

Diabetes mellitus mempunyai kecenderungan 2 X lebih mudah


mengalami trombosis serebral, 25 X terjadi buta, 2 X terjadi
penyakit jantung koroner, 17 X terjadi gagal ginjal kronik,
dan 50 X menderita ulkus diabetika. Komplikasi menahun
Diabetes mellitus di Indonesia terdiri atas neuropati 60%,
penyakit jantung koroner 20,5%, ulkus diabetika 15%, retinopati
10%, dan nefropati 7,1%9,10.
Diabetes melitus kini menjadi masalah serius bagi umat manusia di dunia.
Badan kesehatan dunia atau WHO memperkirakan pada tahun 2003, 194 juta atau
5,1 persen dari 3,8 miliar penduduk dunia usia 20-79 tahun menderita DM dan
pada tahun 2025 diperkirakan akan meningkat menjadi 333 juta jiwa menurut
Federasi Diabetes Internasional, diabetes melitus merupakan penyebab kematian
urutan ketujuh di dunia (Rudijanto, 2008).
Diabetes berkaitan erat dengan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler
yang lebih besar pada wanita dibanding pria (Sowers et al, 2001), pada tahun
1971-2000 dari semua kematian akibat penyakit kardiovaskuler, pria dengan DM
mengalami penurunan angka kematian 43 %, dari 42,6 menjadi 24,4 per 1000
orang tiap tahun. Sedangkan pada wanita dengan diabetes , kematian akibat
penyakit kardiovaskuler mengalami sedikit penurunan dari 10,5 menjadi 9,4 per
1000 orang tiap tahun (Gregg, 2007).
Kadar gula darah yang tinggi dan terus menerus dapat menyebabkan suatu
keadaan gangguan pada berbagai organ tubuh. Akibat keracunan yang menetap
ini, timbul perubahan-perubahan pada organ-organ tubuh sehingga timbul
berbagai komplikasi. Komplikasi umumnya timbul pada semua penderita baik
dalam derajat ringan atau berat setelah penyakit berjalan 10-15 tahun (Permana,
2007).
Seseorang yang menderita diabetes akan terjadi penurunan fungsi dari organ
pemecahan glikogen dan menurunkan glukosa produk hati. Penderita DM terjadi
peningkatan glukosa produk hati yang tampak pada tingginya kadar glukosa. Pada
penelitian yang dilakukan pada orang sehat, peningkatan kadar insulin portal
sebesar 5 U/ml diatas nilai dasar akan menyebabkan lebih dari 50% penekanan

produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil demikian, penderita DM


membutuhkan kenaikan kadar insulin portal yang lebih tinggi. Hal tersebut
menunjukan terjadinya resistensi insulin pada hati. Peningkatan produksi glukosa
hati juga berkaitan dengan meningkatnya glukomagenesis akibat peningkatan
asam lemak bebas dan hormon anti insulin seperti glukogen (Corwin, 2009).
Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka perlu dilakukan pemeriksaan
kelainan hati pada penderita diabetes yang salah satunya dapat dilakukan dengan
pemeriksaan enzim SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) (Corwin,
2009).
Penderita Diabetes Melitus tipe II di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Gubug pada tahun 2009 tercatat 374 pasien rawat jalan dan 172 pasien rawat inap.
Tahun 2010 mengalami peningkatan yaitu 403 pasien rawat jalan dan 186 pasien
rawat inap.
Pemeriksaan kadar SGPT di laboratorium Rumah Sakit Umum Daerah simo
Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali bukan termasuk pemeriksaan rutin
sehingga pemeriksaan tersebut dikehendaki oleh klinisi pada saat ada keluhan
tertentu, sehingga penderita diabetes melitus yang memeriksakan diri di Rumah
Sakit ini tidak serta merta mendapat pelayanan pemeriksaan SGPT.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah pengaruh diabetes melitus terhadap kadar SGPT pada penderita diabetes
melitus tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah simo Kecamatan Simo, Kabupaten
Boyolali?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Menegetahui pengaruh diabetes melitus terhadap kadar SGPT pada penderita
diabetes melitus tipe II di di Rumah Sakit Umum Daerah simo Kecamatan Simo,
Kabupaten Boyolali.
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Mengukur kadar SGPT pada penderita diabetes melitus tipe II berdasarkan
umur penderita.

1.3.2.2 Mengukur kadar SGPT pada penderita diabetes melitus tipe II berdasarkan
1.3.2.3

jenis kelamin penderita.


Mengukur kadar SGPT pada penderita diabetes melitus tipe II

nerdasarkan lama sakit penderita.


1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Instansi laboratorium
Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi bagi instansi
laboratorium agar melakukanpemeriksaan SGPT pada penderita diabetes untuk
mengetahui kemungkinan komplikasi yang lebih luas.
1.4.2 Penderita diabetes melitus
Penderita diabetes melitus dapat memahami bahwa ada komplikasi yang
ditimbulkan oleh penyakit DM yang diderita.
1.5 Orisinalitas Penelitian

Nama

Judul

pengarang,

tahun
Dardiri, 2009

Keterangan

Metabolisme
glukosa
penderita

DM berkembang sebagai hasil dari


pada gangguan progresif sekresi insulin

sirosis bersama

hati

denga

berkembangnya

resistensi insulin hepatitik yang


menjadi heperglikemia dan profil

Peterson
Krssak

KF., Contribution
M., net

Navaro V., 2005

hapatic peningkatan glukoneogenesis dan

glycogenolysis

penurunan

ana

produksi

gluconeogenesis

dengan subyek kontrol

to
production
3

toleransi glukosa diabetes


of Pada pasien sirosis terdapat
glikolgenolisis
glukosa

untuk

dibandingkan

glucose
in

cirrhosis
Yosef Purwoko, Profil lipid kadar Kadar LDL pasien lanjut usia

2010

LDL pasien lanjut dengan DM adalah lebih tinggi


usia

Erna
2003

dengan dibandingkan non DM

dabetes mandiri
Mirani, Hubungan profil Terdapat hubungan yang signifikan
lipid

dengan antara profil lipid dan PJK.

penyakit

jantung

koroner

pada

penderita diabetes
melitus

yang

dirawat di bangsal
penyakit
RSUD
Kariadi

dalam
Dokter

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus
Penyakit diabetes melitus adalah penyakit dengan kadar gula darah yang
disebabkan oleh tubuh tidak lagi memiliki hormon insulin atau insulin tidak dapat
bekerja sebagaimana mestinya. Insulin disekresikan oleh sel-sel beta yang
merupakan salah satu dari empat tipe sel dalam pulau-pulau langerhans pankreas.
Sekresi insulin akan meningkat dan menggerakan glukosa kedalam sel-sel otot,
hati serta lemak. Insulin di dalam sel-sel tersebut menimbulkan efek seperti
menstimulasi penyimpanan glukosa dalam hati dan otot (dalam bentuk glikogen),
meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan dalam jaringan adiposa dan
mempercepat pengangkutan asam-asam amino (yang berasal dari protein
makanan) ke dalam sel (Smeltzer dan Bare, 2002).
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
2.1.2.1 DM tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependen Diabetes Melitus).
DM tipe I adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan sistem imun atau
kekebalan tubuh penderita dan mengakibatkan kelainan pada sel pankreas
sehingga terjadi reaksi autoimun yang menyebabkan kerusakan sel beta. Penderita
diabetes tipe I dikenal sebagai diabetes yang tergantung pada insulin. Tipe ini
berkembang jika sel-sel beta pankreas memproduksi insulin terlalu sedikit atau
bahkan tidak memproduksi sama sekali. Jenis ini biasanya muncul sebelum usia
40 tahun bahkan termaksud pada usia anak-anak (Iman, 2010).

Berdasarkan jumlah semua penderita diabetes 5-10 % nya adalah penderita


diabetes tipe 1. Diabetes tipe ini, sel-sel beta pankreas yang dalam keadaan
normal menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh suatu proses autoimun,
sebagai akibatnya penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar
glukosa darah (Smeltzer dan Bare, 2002).
2.1.2.2 DM tipe II atau NIDDM (Non Insulin Dependen Diabetes Melitus).
Diabetes tipe II yaitu diabetes yang tidak tergantung dengan insulin, biasanya
terjadi skitar 90 sampai 95 % dari penderita diabetes secara keseluruhan. Diabetes
tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin atau akibat penurunan
jumlah produksi insulin. Keadaan normal insulian akan terikat dengan reseptor
khusus pada permukaan sel, sebagai akibatnya insulin dengan reseptor tersebut,
terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Sehingga insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa
oleh jaringan. Upaya untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah
terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Penderita dengan toleransi glukosa terganggu, keadaan ini
terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian
jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi kebutuhan akan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Diabetes tipe ini mulanya
diatasi dengan det dan latihan, jika kenaikan glukosa darah tetap terjadi, terapi
diaet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat hiperglikemi oral (Smeltzer dan
Bare, 2002).
2.1.2.3 DM tipe III atau MRDM ( Malnutrition Related Diabetes Melitus).
Diabetes tipe ini berkaitan dengan sindrom hiperosmoler nonkeotik, disertai
denga keadaan yang diketahui atau dicurigai dapat menyebabkan penyakit
pankreatitis, kelainan hormonal, obat-obatan seperti glukokortikoid dan preparat
yang mengandung estrogen penyandang diabetes. Penderita tipe III bergantung
pada pankreas untuk menghasilkan insulin ( Soegondo, 1995).
2.1.2.4 DM tipe IV atau diabetes pada kehamilan (Gestasional Diabetes).

Diabetes tipe IV adalah diabetes yang timbul pada saat kehamilan, yang
diakibatkan oleh kombinasi dari kemampuan reaksi dan mengeluarkan hormon
insulin yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ekstra pada kehamilan.
Resiko terjadinya anomali kongenital berkaitan lansung dengan derajat
hiperglikemia pada saat diagnosis ditegakkan (Schaffer, 2000).
2.1.2.5 Diabetes tipe lain
Tipe diabetes lain berkaitan dengan keadaan sindrom tertentu, yaitu penyakit
pankreas, penyakit hormonal, keadaan yang disebabkan obat maupun bahan
kimia, kelainan reseptor insulin, sindrom genetik tertentu, serosis hepatik
(Soegondo, 1995).
2.1.3 Gejala Diabetes Melitus Tipe II
2.1.3.1 Gejala prediabetes
Kelelahan yang berlebihan, keletihan dan mengantuk setelah makan
2.1.3.2 Gejala diabetes
Sering buang air kecil terutama pada malam hari, sering haus dan lapar, cepat
lemas dan cepat lelah, berat badan menurun drastis, kesemutan pada jari tangan
dan kaki, gatal-gatal, penglihatan kabur atau berubah, gairah seks menurun, luka
sukar sembuh (Sudharmono, 2009).
2.1.4 Faktor-faktor Penyebab Diabetes Melitus Tipe II
Faktor-faktor penyebab diabetes meliputi (American Diabetes Association,
2004)
1. Genetik
Faktor genetik merupakan faktor yang penting pada diabetes melitus yang
dapat mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali dan
menyebarkan sel ransang sekretoris insulin. Keadaan ini meningkatkan kerentanan
individu tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat mengubah
integritas dan fungsi sel beta pankreas (Price dan Wilson, 2002)
2. Usia
DM tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi
setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut yang
mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50-92% (Medicastore, 2007,
Rochman dalam Sudoyo, 2006). Sekitar 6% individu berusia 45-64 tahun dan
11% individu diatas usia 65 tahun menderita DM tipe II (Ignativietis, dan
Workman, 2006).

Goldberg dan Coon dalam Rochman (2006) menyatakan bahwa umur sangat
erat kaitannyadengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin
meningkat usia maka prevalensi diabetes dalam gangguan toleransi glukosa
semakin tinggi. Proses menua yang berlansung setelah usia 30 tahun
mengakibatkan perubahan anatomi, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai
dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan pada khirnya pada tingkat
organ yang dapat mempengaruhi fungsi hemostasis. Komponen tubuh yang dapat
mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang menghasilkan hormon
insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan glukosa, sistem saraf dan
hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
3. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki memiliki resiko peningkatan diabetes lebih cepat. Para
ilmuwan dari University of Glasgow, Skotlandia mengungkap hal itu setelah
mengamati 51.920 laki-laki dan 43.137 perempuan.

Seluruhnya merupakan

pengidap diabetes tipe II dan umumnya memiliki indeks massa tubuh (IMT)
diatas batas kegemukan atau overweight. Laki-laki terkena diabetes padaIMT
rata-rata 31,83 kg/m2 sedangkan perempuan baru mengalaminya pada IMT 33,69
kg/m2. Perbedaan resiko ini dipengaruhi oleh distribusi lemak tubuh. Pada lakilaki, penumpukan lemak terkonsentrasi di sekitar perut sehingga memicu obesitas
sentral yang lebih beresiko memicu gangguan metabolisme (Pramodiarja, 2011).
4. Berat badan
Obesitas merupakan berat badan yang berlebihan minimal 20% dari BB ideal
atau indeks masa tubuh yang lebih dari 25 Kg/m2. Soegondo (2007) bahwa
obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa
darah berkurang, selain itu respon insulin pada sel di seluruh tubuh termkasud di
otot berkurang jumlahnya dan kurang sensitif.
5. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam
menyebabkan resistensi insulin pada DM tipe II (Soegondo, 2007).
Lebih lanjut Stevenson dan Lobman dalam Kriska (2007) menyatakan
mekanisme aktifitas fisik dapat mencegah atau menghambat perkembengan tipe II
yaitu penurunan resistensi insulin, peningkatan toleransi glukosa, penurunan
lemak adipose dan pengurangan lemak sentral perubahan jaringan otot (Kriska

2007). Semakin jarang kita melakukan aktivitas fisik maka gula yang dikonsumsi
dalam darah juga akan semakin tinggi.
6. Pola makan
Penurunan kalori berupa karbohidrat dan gula yang diproses secara
berlebihan, merupakan faktor eksternal yang dapat mengubah integritas dan
fungsi sel beta individu yang rentan (Prince & Wilson, 2002). Individu yang
obesitas harus melakukan diet untuk mengurangi pemasukan kalori sampai berat
badannya turun pada batas ideal. Penurunan kalori yang moderat (500-1000
kkal/hari) akan menghasilkan penurunan berat badan yang perlahan tapi progresif
(0,5-1 Kg/Minggu). Penurunan berat badan 2,5 sampai 7 Kg akan memperbaiki
kadar glukosa darah (American Diabetes Association; 2006; Prince & Wilson,
2002; Sukarji dalam Soegondo, 2007).
7. Stres
Respon stres dapat menyebabkan terjadinya sekresi sistem saraf simpatis
yang diikuti oleh sekresi simpetis-medular, dan bila menetap maka sistem
hipotalamus-pituitari akan diaktifkan dan akan mensekresika corticotropin
relasingfactor

yang

menstimulasi

pituitari

anterior

memproduksi

adenocorticotropic faktor (ACTH). ACTH menstimulasi produksi kortisol yang


akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah. (Guyton & Hall, 1996;
Smeltzer & Bare, 2008).
2.1.5 Lama Menderita Diabetes Melitus Tipe II
Lama menderita penyakit diabetes mellitus tipe II dapat menyebakan
terjadinya komplikasi. Penyebab spesifik dan patogenesis setiap jenis komplikasi
masih terus diselidiki, namun peningkatan kadar glukosa darah tampaknya
berperan dalam proses terjadinya kelainan neuropatik, komplikasi mikrovaskuler
dan sebagai faktor resiko timbulnya komplikasi makrovaskuler. Komplikasi
panjang pada diabetes tipe I dan II (Smeltzer & Bare, 2002).
2.2 Enzim
2.2.1 Pengertian enzim
Enzim merupakan protein yang berperan sebagai katalis dalam metabolisme
makhluk hidup berperan untuk mempercepat reaksi kimia yang terjadi di dalam
tubuh makhluk hidup, tetapi enzim itu sendiri tidak ikut bereaksi. Enzim terdiri
dari apoenzim dan gugus prostetik. Aktivitas enzim depengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya konsentrasi subtrat, suhu dan pH

2.2.2 Fungsi enzim


Enzim merupakan biomolekul berupa protein yang memiliki fungsi sebagai
katalis atau senyawa yang dapat mempercepat terjadinya proses reaksi. Enzim
berperan secara lebih spesifik dalam menentukan reaksi yang akan dipacu
dibandingkan dengan katalisator anorganik sehingga ribuan reaksi dapat
berlansung dengan tidak menghasilkan produk sampingan yang beracun (Isnaini,
2009).
2.3 Enzim Transaminase
Transaminase adalah sekelompok enzim yang merupakan katalisator dalam
proses pemindahan gugus amino dalam suatu asam alfa amino dengan suatu asam
keto, yang berkaitan dengan kerusakan inputseluller, yang sering digunakan dalam
menilai penyakit hati adalah GOT (Glutamic Oxalasetat Transaminase) dan GPT
(Glutamat Pyrufic Traransaminase) (Husadha, 1996).
Enzim GOT dan GPT mencerminkan keutuhan atau integrasi sel-sel hati yang
mengkatalisi reaksi konversi asam keto menjadi asam amino melalui transfer
gugus amino (Medicatherapy, 2007).
2.4 SGPT
GPT adalah enzim yang spesifik untuk hati, yang memberikan hasil
signifikan terhadap adanya peningkatan penyakit hepatobillary di hati.
Peningkatan GPT juga dapat berhubungan dengan kerusakan jantung, otot skeletal
dan lever parenkim GPT secara normal ditemukan dalam hati dengan kadar yang
rendah, tetapi ketika terdapat kerusakan atau penyakit hati, maka pelepasan GPT
dalam darah bertambah, yang menyebabkan GPT naik. Enzim GPT diindikasikan
dengan kerusakan hati. Pemeriksaan GPT dilakukan untuk identifikasi penyakit
hati, terutama sirosis dan hepatitis yang disebakan oleh alkohol, narkoba dan virus
(Medicatherapy, 2007).
SGPT adalah indikator-indikator yang sensitif dari kerusakan hati dengan
tipe-tipe yang berbeda. Namun harus ditekankan bahwa tingkat-tingkat enzimenzim hai yang lebih tinggi dari normal tidak harus secara otomatis disamakan
dengan penyakit hati (Husadha, 1996).
2.5 Metode Pemeriksaan SGPT
Pemeriksaan SGPT dilakukan dengan metode kolorimetrik dengan mengukur
kemampuan dari enzim transaminase yang ada di dalam serum (Soemoharjo,

1983). Metode IFCC ( Internatioanal Federation of Clinical Chemistry) dan


metode ultraviolet test (Human, 1999) yang prinsipnya adalah:
ALP
2-Oxoglutarat + L- Alanin
L- Glutamat + Piruvat
ALP
Piruvat + NADH + H+
L- Lactate + NAD+
2.6 Hubungan Hati dengan Diabetes Melitus tipe II
DM tipe II merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi
gen, disfungsi sel beta gangguan sekresi hormon insulin, resistensi sel terhadap
insulin yang menyebabkan sel jaringan terutama jaringan hati menjadi kurang
peka terhadap insulin sehingga menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik dan
meningkatkan sekresi darah oleh hati (Kimbal, 2010).
DM tipe II terjadi peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan
glukoneogenesis, penurunan laju reaksi olsidasi dan peningkatan laju reaksi
esteriikasi pada hati (Banerjee, 2010). Kerusakan hati dapat dipantau dengan
analisis aktivitas enzim di dalam serum. Abnormalitas enzim dapat juga
memeberikan informasi diagnistik yang menunjukan tingkat keadaan penyakit
hati (Suyono, 1993). Kerusakan hati biasanya dinyatakan dengan kenaikan
konsentrasi SGPT. Kerusakan sel-sel hati ini menyebabkan kebocoran enzimenzim tersebut yang seharusnya berada dihati akan berada pada serum (Guyton &
Hall, 1997).

2.7 Kerangka Teori


Faktor penyebab:

Keturunan
Usia
Jenis kelamin
Obesitas
Aktivitas fisik
Pola makan
Diabetes
Stress
Melitus Tipe II

Gula darah
meningkat

Disfungsi
hati

SGPT

2.8 Kerangka Konsep

Diabetes
Mellitus Tipe
2.9 Hipotesis
II

2.9.1

Kadar SGPT

Ho : tidak ada hubungan antara umur penderita Diabetes Mellitus tipe II


dengan peningkatan kadar SGPT
Ha : ada hubungan antara umur penderita Diabetes Mellitus tipe II dengan

2.9.2

peningkatan kadar SGPT


Ho : tidak ada hubungan antara jenis kelamin penderita Diabetes Mellitus
tipe II dengan peningkatan kadar SGPT
Ha : ada hubungan antara jenis kelamin penderita Diabetes Mellitus tipe II

2.9.3

dengan peningkatan kadar SGPT


Ho : tidak ada hubungan antara lama menderita Diabetes Mellitus tipe II
dengan peningkatan kadar SGPT
Ha : ada hubungan antara lama menderita Diabetes Mellitus tipe II dengan
peningkatan kadar SGPT

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang linkup keilmuan dalam penelitian ini yaitu ilmu kimia klinik.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat
Penelitian dilakukan di laboratorium klinik Rumah Sakit Umum PKU
Muhammadiyah, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobongan.
Waktu
Penelitian ini akan dilakukakan pada bulan Januari 2015.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah pasien DM tipe II rawat jalan dan
3.2.2

rawat inap di Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah, Kecamatan


3.3.2

Gubug, Kabupaten Grobongan.


Sampel
Sampel yang digunakan adalah total populasi dari penderita Diabetes
Mellitus tipe II yang melakukan rawat jalan dan rawat inap di Rumah

Sakit Umum Daerah Simo, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali pada


bulan Januari 2015.
Kriteria inklusi dalam sampel penelitian ini adalah :
1. Penderita Diabetes Mellitus tipe II
2. Penderita rawat jalan dan rawat inap
Kriteria eksklusi adalah :
1. Penderita Diabetes Mellitus tipe II
2. Penderita Diabetes Mellitus tipe I
3. Penderita Diabetes Mellitus tipe III
4. Penderita yang tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium

3.4 Variabel
3.4.1 Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, dan lama
3.4.2

menderita Diabetes Mellitus tipe II.


Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar SGPT penderita Diabetes

Mellitus tipe II.


3.5 Defenisi Operasional
1. Penderita DM adalah penderita DM tipe II rawat jalan dan rawat inap di
Rumah Sakit Umum Daerah Simo, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali.
2. Umur penderita DM tipe II adalah lamanya kehidupan seseorang dihitung
sejak tahun lahir sampai tahun saat dilakukan penelitian dihitung dengan
angka tahun.
3. Jenis kelamin merupakan persifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin
tertentu dengan skala nominal.
4. Lama sakit DM tipe II adalah lamanya waktu menderita penyakit Diabetes
Mellitus tipe II berdasarkan catatan medis penderita dihitung dengan skala
interval.
5. Pemeriksaan kadar SGPT adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap
serum

yang

diukur

dengan

menggunakan

alat

fotometer

dan

pemeriksaannya dilakukan dengan metode IFCC dengan nilai normal lakilaki < 41 U/l dan perempuan <34 U/l dihitung skala interval.
3.6 Alat dan Bahan Penelitian
3.6.1 Alat penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah fotometer stardast, tabung


reaksi, rak tabung reaksi, mikropipet 10 l, mikropipet 1000 l, blue tip,
yellow tip, spoit steril, turniquet, timer.

3.6.2

Reagen dan bahan penelitian


Bahan yang digunakan adalah serum, kapas alkohol 70%, reagen SGPT

merk Diasys dengan nomor katalog 12701 99 83 021 L.


3.7 Prosedur Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data meliputi langkah-langkah yaitu untuk data umur, jenis
kelamin dan lama sakit didapatkan melalui pendataan identitas pasien dari catatan
medis rumah sakit sedangkan data SGPT dengan melaksanakan pemeriksaan
terhadap kadar SGPT sehingga didapatkan kadar SGPT dalam serum dengan
dengan prosedur kerja sebagai berikut:
3.7.1 Cara pengambilan darah vena
1. Pilih bagian vena median cubital atau cephalic. Dilakukan perabaan
(palpasi) untuk memastikan posisi vena. Apabila vena teraba seperti
sebuah pipa kecil, elastic dan memiliki dinding tebal.
2. Dipasangkan turniket kira-kira 10 cm diatas lipatan siku
3. Dibersihkan kulit pada bagian yang akan diambil dengan kapas
alkohol 70% dan biarkan kering, dengan catatan kulit yang sudah

3.7.2

3.7.3

dibersihkan jang dipegang lagi.


4. Tusuk bagian vena dengan posisi lubang jarum menghadap ke atas.
Jika jarum telah masuk ke dalam vena, akan terlihat darah masuk
kedalam semprit (flash). Usahakan sekali tusuk vena, lalu turniket
dilepas.
5. 10) Setelah volume darah dianggap cukup, minta pasien membuka
kepalan tangannya. Volume darah yang diambil 2 kali jumlah serum
atau plasma yang diperlukan untuk pemeriksaan.
6. 11) Diletakan kapas di tempat suntikan lalu segera lepaskan / tarik
jarum. Tekan kapas beberapa saat lalu plester selama 15 menit
Cara membuat serum
1. Darah dalam tabung kemudian didiamkan 15 menit.
2. Setelah darah mengeluarkan sedikit serum kemudian disentrifuge
dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.
3. Serum dipisahkan dan dimasukan pada tabung yang bersih dan kering.
Cara pemeriksaan SGPT

1. Alat fotometer stardust dihidupkan, biarkan kurang lebih 10 menit,


hingga alat siap dipakai.
2. Dilakukan pemeriksaan terhadap serum kontrol
3. Hasil pemeriksaan serum kontrol sesuai dengan nilai rujukan maka lata
siap digunakan untuk pemeriksaan terhadap sampel.
4. Sampel pemeriksaan yang telah disiapkan dalam cup sampel diambil
100 l ditambah dengan reagen SGPT 1000 l kemudian dicampur
hingga homogen.
5. Sampel dimasukan kedalam alat melalui selang, hasil akan muncul
setelah 90 detik.
3.8 Analisis Statistik
Melakukan editing, ciding dab entry pada data yang diperoleh dalam file
komputer. Setelah dilakukan cleaning, data dianalisis secara statistik dengan
bantuan program SPSS for window.
3.9 Etika Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengajukan ijin kepada atasan lansung, dalam
hal ini direktur Rumah Sakit Umum Daerah Simo, Kecamatan Simo, Kabupaten
Boyolali. Proses penelitian ini peneliti tidak berhubungan lansung dengan
responden, maka tidak diperlukan inform concent.

Anda mungkin juga menyukai