PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia atau tingginya kadar glukosa di dalam darah yang
diakibatkan gangguan sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau akibat dari
keduanya. Resiko berkembangnya DM tipe 2 ini akan terus meningkat dengan
bertambahnya usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik (American Diabetes
Association, 2018).
Jumlah penderita diabetes melitus sampai saat ini semakin meningkat.
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2018, jumlah penderita
diabetes sangat meningkat dari 108 juta penduduk pada tahun 2000 menjadi 422
juta pada tahun 2017. Berdasarkan ADA tahun 2018, penderita diabetes melitus
sebanyak 25,8 juta penduduk pada tahun 2014 dan meningkat menjadi 29,1 juta
penduduk pada tahun 2018.
Pravalensi dan insidensi penderita DM tipe 2 yang meningkat secara
signifikan dari tahun ke tahun menjadi sebuah ancaman kesehatan global
(PERKENI, 2017). Studi populasi Diabetes Mellitus tipe 2 di berbagai negara
melaporkan bahwa jumlah penderita DM di dunia telah mencapai 425 juta jiwa,
dimana prevalensi diabetes cenderung lebih tinggi pada pria (221 juta jiwa)
dibanding wanita (204 juta jiwa). Angka kematian akibat dari DM yang
dilaporkan adalah sebesar 4 juta jiwa, diprediksi jumlah penderita DM Pada
tahun 2045 mengalami peningkatan yang mencapai 629 juta jiwa. Amerika
Serikat menempati urutan ketiga dunia dengan pravalensi penderita diabetes
melitus 30,2 juta jiwa. Tahun 2045 diperkirakan terjadi peningkatan 35,6 juta
jiwa. Di Asia timur negara cina menempati posisi tertinggi pertama dunia dengan
jumlah penderita diabetes melitus sebanyak 114,4 juta jiwa. Pada tahun 2045
diperkirakan meningkat 134,3 juta jiwa (IDF, 2017).
Indonesia menempati urutan ke 6 sebagai negara dengan jumlah penderita
DM terbanyak didunia setelah China, India, United States, Brazil dan Mexico.
Berdasarkan area geografis, sebaran penderita DM terbanyak adalah diwilayah
DKI Jakarta sebanyak 3,4%, dan paling sedikit yaitu NTT sebanyak 0,9%. Angka
penderita diabetes melitus pun meningkat dari 6,9% pada tahun 2013 menjadi
8,5% pada tahun 201, yang artinya ada 22,9 juta penduduk dengan prevalensi
DM (Riset Kesehatan Dasar, 2018). Prevalensi dengan penderita DM pada tahun
2017 adalah 425 juta orang. Indonesia menempati urutan ke-6 (IDF, 2017). DM
tipe 2 merupakan jenis DM yang paling sering terjadi, mencakup sekitar 85%
pasien DM (Greenstain, Wood, 2018).
Angka kejadian DM di Provinsi Bengkulu masih sangat tinggi dengan
jumlah penderita sebanyak 19.353 orang. Jumlah terbanyak penderita DM yaitu
Kota Bengkulu dengan jumlah 6.060 orang,, disusul oleh Bengkulu Tengah pada
urutasn kedua dengan jumlah 4.463 orang, disusul lagi Kepahiang pada peringkat
ketiga dengan jumlah 1.854 orang. Angka terendah penderita DM berada di
Bengkulu Selatan dengan jumlah 255 orang penderita (Profil Dinas Kesehatan
Bengkulu, 2019).
Lamanya menderita DM menyebabkan keadaan hiperglikemia yang terus
menerus menginisiasi terjadinya hiperglisolia yaitu keadaan sel yang kebanjiran
glukosa. Akibat tingginya glukosa darah dalam jangka waktu yang lama akan
mempercepat terjadinya komplikasi sehingga banyak penderita DM mengalami
komplikasi kurang dari 5 tahun (Yuhelma, Hasneli & Nauli, 2014).
Penderita DM tipe 2 memiliki resiko komplikasi yang tidak jauh berbeda
dengan DM tipe 1 (Smeltzer & Bare, 2013). komplikasi yang mungkin terjadi
pada penderita DM sangat kompleks karena dapat menyerang organ-organ vital
tubuh. Komplikasi DM secara umum di bagi menjadi 2 (dua), yaitu komplikasi
akut (hipoglikemi, hiperglikemia ketoasidosis dan hiperglikemia hyperosmolar
nonketotik) serta komplikasi kronis (Penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskular, hipertensi, infeksi, penyakit vaskular perifer, penyakit arteri
perifer, dan neuropati, (Black & Hawks, 2014). Pada klien dengan DM terdapat
tiga gejala klasik yakni, poliuria (banyak kencing), polidipsia (banyak minum)
dan poliphagia (banyak makan). Selain itu terdapat beberapa gejala lain seperti
sering mengantuk, gatal – gatal terutama di daerah kemaluan, pandangan mata
kabur, mati rasa atau rasa sakit pada bagian tubuh bagian bawah, infeksi kulit,
cepat naik darah, sangat lemah atau cepat lelah, dan mual muntah (Novitasari,
2016).
Sifat alamiah dari penyakit dapat mencegah individu untuk mendapatkan
istirahat yang cukup (Potter & Perry, 2005). Pasien dengan kondisi penyakit
kronik seperti DM akan lebih sering mengalami insomnia. Beberapa penelitian
menunjukan satu dari tiga pasien DM tipe 2 mengalami gangguan tidur (Surani S
et al, 2014).Hasil penelitian Bing-Qian Zhu et al (2014) menemukan bahwa
insidensi kejadian gangguantidur pada penderita DM tipe 2adalah sebesar 47,1%
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.Selain itu hasil
penelitian Faith Set al (2016) tentang kualitas tidur dan kualitas hidup pada
dewasa dengan DM tipe 2 juga menemukan 55% partisipan mengalami kualitas
tidur yang buruk.
Nokturia merupakan penyebab tersering gangguan tidur pada penderita
DM. Penelitian yang dilakukan di Australia dengan 74 pasien DM tipe 2
menunjukan bahwa terdapat hubungan nokturia dengan gangguan tidur (Lamond
N et al, 2000 dalam Surani S et al, 2014).Munculnya nokturia pada pasien DM
berhubungan dengan gejala polyuria. Nokturia didefenisikan dengan terbangun di
malam hari untuk buang air kecildanberpengaruh secara klinis apabila muncul
dua kali atau lebih per malam (Surani S et al, 2014). Sekitar 61% penyebab
penderita DM type 2 terbangun di malam hariuntuk buang air kecil (nokturia),
sedangkan 28% mengeluh nyeri yang menyebabkan tidurnya terganggu (Faith et
al, 2014).
Gangguan – gangguan tidur yang terjadi pada penderita DM akan
menyebabkan penurunan pada kualitas tidurnya. Kualitas tidur adalah sebuah
kepuasan dari pengalaman tidur, yang berintegrasi pada aspek tidur permulaan,
pengaturan tidur, kuantitas tidur dan perasaan segar saat bangun tidur (National
Sleep Foundation[NSF], 2016).
Menurut DeLaune & Ladner (2002) dalam Arifin (2016), kualitas tidur
yang buruk dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan motorik, penurunan
produktivitas, perubahan mood, penurunan daya ingat, disorientasi serta adanya
keluhan fatigue sehingga dapat mempengaruhi kemampuan penderita dalam
melakukan aktivitas sehari – hari.
Selain itu hasil penelitian Spiegel et al (2016) menemukan bahwa
kurangnya tidur meningkatkan level cortisol di malam hari dengan mengaktivasi
hypotalamus pituitary- adrenalaxis, sehingga merusak toleransi glukosa yang
pada akhirnya menimbulkan resistensi insulin. Hal ini akan memperburuk onset
penyakit dan memperlama proses penyembuhan DM sehinggaberdampak negatif
pada berbagai aspek kehidupan penderita baik fisik, psikologis maupun sosial.
Selain itu, keterbatasan jumlah insulin pada DM mengakibatkan kadar gula
dalam darah meningkat, hal ini menyebabkan rusaknya pembuluh darah, saraf,
dan struktur internal lainnya sehingga pasokan darah perifer (kaki dan tangan)
semakin terhambat, akibatnya pasien DM akan mengalami gangguan sirkulasi
darah pada kaki (Nasution, 2010).
Penyakit arteri perifer merupakan manifestasi dari arterosklerosis yang
ditandai dengan adanya penyakit penyumbatan arteri pada ekstremitas bawah
(Sihombin, 2016). Menurut Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit
Indonesia (PERSI) tahun 2011 angka kejadian neuropati pada pasien DM lebih
dari 50%. Gangguan kaki diabetes dengan neuropati berupa gangguan sensorik,
motorik dan otonomik. Neuropati sensorik ditandai dengan perasaan kebal
(parastesia), kurang berasa (hipestesia) terutama pada ujung kaki terhadap rasa
panas, dingin dan sakit (Monalisa & Gultom, 2017).
Menurut Tzoulaki (2008) penyakit arteri perifer menghambat pasokan
darah ke anggota tubuh bagian bawah. Tingkat keparahan DM tipe 2
meningkatkan rsiko kejadian penyumbatan sebesar 1,5-4 kali lipat. Sekitar 75%
penderita DM tipe 2 meninggal karena penyakit vaskuler arteri perifer
(Simatupang, 2013). Pencegahan kondisi yang buruk dapat dicegah dengan cara
pemeriksaan vascular non-invasif seperti pemeriksaan ankle brachial index ABI)
secara rutin (Sudoyo, 2018)
Ancle Brachial Index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif pembuluh
darah yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis dari iskemia,
penurunan perfusi perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan neuropati
diabetic (Mulyati, 2017). Nilai ABI dianggap normal apabila ≥1.0 sedangkan
nilai ABI ≤ 0.9 daianggap tidak normal dengan rincian: obstruksi ringan bila ABI
0,71 - <0,9; obstruksi sedang bila ABI 0,41 - <0,71; dan obstruksi berat bila ABI
<0,41 (PERKENI, 2017).
Seseorang yang menderita diabetes melitus lebih dari 20 tahun dapat
mempengaruhi nilai ABI yaitu <0,9 dengan nilai OR=1,54 yang berarti lama
seseorang menderita diabetes melitus dapat berpengaruh terhadap nilai ABI
sebesar 1,54 kali, dengan tingkat kepercayaan 95% (Escobedo et al, 2010).
Semakin rendah nilai ABI maka akan meningkatkan risiko tinggi penyakit
vaskular (Kirsner, 2010). Pada kondisi tersebut pasien seringkali mengeluhkan
klaudikasio (nyeri pada ekstremitas), sementara itu jika indeks sudah mencapai
<0.5, penderita biasanya sudah mengalami klaudikasio pada saat istirahat
(Williams & Wilkins, 2011).
Terdapat beberapa terapi yang telah dilakukan untuk mengatasi penurunan
sensitivitas kaki dan tangan pada Diabetes millitus yaitu terapi senam kaki
dengan koran (Setiawan, 2011) dan senam kaki dengan tempurung kelapa
(Natalia, 2013). Cara tepat untuk pengendalian kadar glukosa darah yaitu dengan
terapi komplementer. Terapi komplementer adalah pengobatan non-farmakologi
yang ditunjukkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Ada banyak
jenis terapi komplementer, salah satu diantaranya adalah foot masase (Kemenkes,
2017).
Foot massage adalah terapi merambatkan ibu jari kaki pada satu titik,
teknik menekan dan menahan. Rangsangan-rangsangan berupa tekanan pada
tangan dan kaki dapat memancarkan gelombang-gelombang relaksasi ke seluruh
tubuh (Wahyuni, 2014). Terapi pijat dilakukan untuk pelancaran sirkulasi darah
dengan efek yang langsung dirasakan ke saraf–saraf yang terdapat di kaki
sehingga dalam darah tidak terjadi endapan gula dan darah yang membawa
oksigen dan nutrisi yang akan disampaikan keseluruh bagian sampai ujung–ujung
jari kaki dapat mengalir. Sehingga seluruh bagian kaki akan mendapat suplai
oksigen yang cukup maka kesemutan dan rasa baal yang merupakan tanda dan
gejala dari neuropati diabetikum akan berkurang atau menurun (Kohar, 2008).
Pijat refleksi pada telapak kaki dengan pemijatan di daerah tertentu akan
merangsang dan memperlancar sirkulasi darah dan bila ada bagian titik yang saat
dipijat terasa sakit dapat mengeluarkan kristal-kristal yang menyumbat
(Mahendra & Ruhito, 2011). Pernyataan tersebut dibuktikan oleh penelitian
Yuwono (2015) dengan judul “Pengaruh Terapi Pijat Refleksi Kaki Terhadap
Ankle Brachial Index (ABI) Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2” diperoleh hasil
terapi pijat refleksi kaki berpengaruh signifikan dalam meningkatkan ABI
dengan hasil p = 0,000. ABI merupakan pemeriksaan non invasif pembuluh
darah yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis dari iskemia,
penurunan fungsi perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan neuropati
diabetik (Mulyati, 2009). Asumsi peneliti bahwa pijat refleksi dapat
meningkatkan sensitivitas kaki DM karena sirkulasi darah mempengaruhi
sensitivitas kaki DM.
Pengelolaan penderita diabetes harus segera dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Langkah pertama yang harus dilakukan menurut Konsesus
Pekumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2017 adalah dengna
modifikasi gaya hidup sehat, sepert terapi nutrisi medis (pengaturan jumlah, jenis
dan jadwal makan) dan olahraga teratur. Bila diperlukan, gaya hidup sehat
tersebut juga disertai dengan ntervensi farmakologis dengan pemberian
antihiperglikemia oral atau injeksi insulin.
Istirahat dan tidur merupakan metode pengelolaan diabetes yang tepat,
karena tidur dan istirahat merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh
setiap manusia dalam proses pemulihan serta mengembalikan stamina tubuh
hingga berada dalam kondisi optimal. Setiap individu mempunyai kebutuhan
istirahat dan tidur yang berbeda dan jika dilakukan secara baik dan teratur akan
memberikan efek yang bagus terhadap kesehatan. Kebutuhan istirahat dan tidur
pada individu yang sakit sangat diperlukan untuk mempercepat proses
penyembuhan (Asmadi, 2008).
Foot massage bermanfaat untuk menurunkan resitensi perifer dan
meningkatkan elastisitas pembuluh darah. Peningkatan suplai darah dan oksigen
di kaki akan mencegah terjadinya kesemutan, rasa tidak nyaman dan nekrosis
jarinagan sehingga diharapkan aliran darah perifer menjadi lancar (Misnandiarly,
2016). Dengan berkurangnya gejala neuropati diharapkan kualitas tidur pasien
dapat meningkat. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui Pengaruh Buku Tata
Laksana Tidur dan Foot Massage terhadap kualitas tidur dan Ancle Brachial
Index (ABI) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas
Kota Bengkulu.
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh buku tata laksana tidur dan foot
massage terhadap kualitas tidur dan nilai Ankle Brachial Index (ABI) pada pasien
diabetes melitus tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Bengkulu.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh pemberian buku tata laksana tidur dan foot
massage terhadap nilai kualitas tidur dan nilai ankle brachial index (ABI)
pada pasien diabetes melitus tipe 2.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 meliputi usia,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
b. Mengetahui rata-rata kualitas tidur pasien diabetes melitus tipe 2 sebelum
intervensi dan sesudah intervensi.
c. Mengetahui rata-rata nilai ankle brachial index (ABI) pada pasien
diabetes melitus tipe 2 sebelum intervensi dan sesudah intervensi.
d. Mengetahui pengaruh pemberian buku tatalaksana tidur terhadap kualitas
tidur pada pasien diabetes melitus tipe 2.
e. Mengetahui pengaruh foot massage terhadap kualitas tidur pada pasien
diabetes melitus tipe 2.
f. Mengetahui pengaruh foot massage terhadap nilai ankle brachial index
(ABI) pada pasien diabetes melitus tipe 2.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penentu kebijakan kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu rujukan dalam
memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien diabetes melitus tipe II
tentang kualitas tidur dan nilai ankle brachial index (ABI).
2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan referensi dalam
pelaksanaan pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien diabetes melitus
tipe II tentang kualitas tidur dan nilai ankle brachial index (ABI).
3. Bagi pelayanan keperawatan di puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Puskesmas
dalam penerapan pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien diabetes
melitus tipe II tentang kualitas tidur dan nilai ankle brachial index (ABI).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Tahapan Tidur
Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau
Rapid Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau
Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM
yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium
dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium empat, lalu diikuti oleh fase
REM (Patlak, 2005). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian
sekitar 4-6 siklus dalam semalam (Potter & Perry, 2005).
A) Tidur Stadium Satu
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan
dapat terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain.
Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan, dan
aktivitas otot melambat (Patlak, 2005).
B) Tidur Stadium Dua
Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung
melambat dan suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010). Pada
tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005).
C) Tidur Stadium Tiga
Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada
tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun,
individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering
merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010)
D) Tidur Stadium Empat
Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak
sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot,
untuk memulihkan energi fisik (Smith & Segal, 2010). Tahap tiga dan
empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat
restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup
istirahat dan energik di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini
biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu
akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya
berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat
menjelang pagi atau bangun (Japardi, 2002). Selama tidur REM, mata
bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata tetap
tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan
dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005).
3. Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga
seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah
terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata,
kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian
terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk
(Hidayat, 2006). Kualitas tidur, menurut American Psychiatric
Association (2000), dalam Wavy (2008), didefinisikan sebagai suatu
fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi.
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti
lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi
terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur
(Daniel et al, 1998; Buysse, 1998). Persepsi mengenai kualitas tidur itu
sangat bervariasi dan individual yang dapat dipengaruhi oleh waktu yang
digunakan untuk tidur pada malam hari atau efesiensi tidur. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa efisiensi tidur pada usia dewasa muda
adalah 80-90% (Dament et al, 1985; Hayashi & Endo,1982 dikutip dari
Carpenito, 1998). Di sisi lain, Lai (2001) dalam Wavy (2008)
menyebutkan bahwa kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang
mempersiapkan pola tidurnya pada malam hari seperti kedalaman tidur,
kemampuan tinggal tidur, dan kemudahan untuk tertidur tanpa bantuan
medis. Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di
pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan tidur. Dengan
kata lain, memiliki kualitas tidur baik sangat penting dan vital untuk
hidup sehat semua orang (Wavy, 2008).
Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemerikasaan
laboraorium yaitu EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak.
Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat
menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus menerus timbul dalam
otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari
keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang diderita. Tipe
gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, betha, tetha dan
delta (Guyyton & Hall, 2009).
C. Ankle Brachial Index (ABI)
Gangguan aliran darah pada kaki dapat dideteksi dengan mengukur
ankle brachial index (ABI) yaitu mengukur rasio dari tekanan sistolik di
lengan dengan tekanan sistolik kaki bagian bawah (Nussbaumerová et al.,
2011; Sato et al., 2011). ABI dihitung dengan membagi tekanan sistolik di
pergelangan kaki dengan tekanan darah sistolik di lengan. Pemeriksaan ABI
sangat berguna untuk mengetahui adanya penyakit arteri perifer (PAP)
(Bundó et al., 2013; Le Faucheur et al., 2006). Penyakit arteri perifer
merupakan manifestasi paling sering adanya aterosklerosis perifer yang
menyebabkan menurunnya sirkulasi darah pada kaki. Pada pasien yang
mengalami gangguan peredaran darah kaki maka akan ditemukan tekanan
darah tungkai lebih rendah dibandingkan dengan tekanan darah lengan yang
dapat dilihat dari skor ABI (Pessinaba et al., 2012). Keadaan yang tidak
normal dapat diperoleh bila nilai ABI (Ankle Brachial Index) 0,41 – 0,90
yang diindikasikan ada resiko tinggi luka di kaki, dan pasien perlu perawatan
tindak lanjut. ABI < 0.4 diindikasikan kaki sudah mengalami kaki nekrotik,
gangren, ulkus, borok yang perlu penanganan multi disiplin ilmu (PAPDI,
2007).
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa diabetes
melitus ini sangat serius dan memerlukan tindakan preventif dalam
menurunkan atau mencegah komplikasinya terutama komplikasi kaki
diabetes, antara lain dengan melakukan senam kaki. Senam kaki diabetes
yang masih belum popular di tengah masyarakat juga menjadi alasan
pentingnya permasalahan ini dijadikan sebagai bahan penelitian. Oleh karena
itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang ankle brachial index
(ABI) sebelum dan sesudah senam kaki diabetes pada penderita diabetes
melitus tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Janti.
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa
darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatarbelakangi oleh
resistensi insulin (Suyono, 2009). Komplikasi kronik pada DM adalah
Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan manifestasi paling sering adanya
aterosklerosis, yang mempunyai karakteristik terdapat oklusi aterosklerosis
pada tungkai bawah. Gejala PAP paling sering yaitu kladikasio intermiten,
yang dikeluhkan sebagai: rasa nyeri, kram otot atau sakit pada telapak kaki,
betis atau bokong. Penyebab penyakit arteri perifer pada usia di atas 40 tahun
adalah aterosklerosis. Aterosklerosis sendiri bisa disebabkan karena
hiperglikemi yang menahun, hipertensi, hiperkolesterolemia, dan pada
perokok (PAPDI, 2007).
D. Konsep foot-massage
1. Definisi Foot Massage
Massage dapat diartikan Stimulasi kulit dan jaringan di bawahnya
dengan berbagai tingkat tekanan tangan untuk mengurangi nyeri,
menghasilkan relaksasi, dan / atau meningkatkan sirkulasi (Mosby, 2004).
(Trisnowiyanto , 2012)
Menurut (Puthusseril, 2006) Foot massage adalah teknik dimana
kedua kaki penerima diadakan di berbagai posisi, membelai lembut dan
berirama untuk mencapai respon relaksasi, foot massage ini menggunakan
manipulasi jaringan lunak untuk mempengaruhi orang secara
keseluruhan, meningkatkan sirkulasi, jaringan otot dan saraf dan
memblokir transmisi impuls nyeri sehingga menghasilkan analgesik
endorphin di tubuh kita sehingga nyeri yang dirasakan berkurang.
Foot Massage adalah manipulasi jaringan ikat melalui pukulan,
gosokan atau meremas untuk memberikan dampak pada peningkatan
sirkulasi, memperbaiki sifat otot dan memberikan efek relaksasi (Potter &
Perry,2011)
2. Tujuan foot-massage
Pada dasarnya foot massage terapy bertujuan melancarkan sirkulasi darah.
Proses pemijatan refleksi, memijat pada titik – titik refleksi untuk
menghilangkan endapan dalam titik tersebut. Yang merupakan salah satu
penyebab organ tubuh mengalami gangguan atau sakit adalah adanya
penyumbatan aliran darah menuju organ tersebut (Zaki, 2012).
3. Manfaat foot-massage
A) Meredakan stress
Berdasarkan studi oleh Internasional Of Alternative And
Complementary Medicine menyatakan bahwa orang yang menderita
stress dan depresi merasa ada perbaikan setelah menjalani tepai
pijatan selama 30 menit setiap minggu
B) Meningkatkan daya tahan tubuh
Melalui pemijatan, daya tahan tubuh dapat ditingkatkan sehingga
tubuh menjadi lebih bugar dan stamina tubuh meningkat. Hal ini
terjadi karena teknik pijatan ini dapat meningkatkan energi tubuh.
Secara mekanis, saraf dan otot tubuh menjadi terlatih, sehingga tubuh
menjadi lebih fit dan dapat mencegah terjadinya penyakit.
C) Terapi massage bisa melancarkan sirkulasi darah membantu tubuh
kita menjadi rileks serta Terapi massage dapat memperlancar aliran
darah, tekanan darah bias menggerakkan darah melalui area yang
tersumbat.
D) Membantu mengurangi stress dan nyeri
Keadaan kesehatan fisik yang memburuk meningkatkan stress.
Dengan melakukan foot massage therapy, keadaan fisik dapat di
kembalikan pada keadaan normal setelah diberikan foot massage , dan
foot massage dapat membantu mengurangi nyeri saat di berikan
pijatan dan akan merangsang pengeluaran endorphin sehingga
membuat tubuh menjadi rileks karena saraf simpatis menurun
sehingga secara perlahan nyeri berkurang dan menghilang. (Alfirdaus
I,2011)
4. Teknik Dasar Foot Massage
Pijat kaki adalah bentuk pemijatan khusus yang menggunakan empat
teknik dasar berikut (Hollis, 1998; Salvo, 2003). Teknik ini memiliki
mekanisme dalam mengurangi rasa sakit. Untuk penjelasan lebih rinci
dibahas seperti di bawah ini:
A) Effleurage (menggosok)
Gerakan urut mengusap secara ritmis atau berirama dan berturut
turut dari arah bawah ke atas. Effleurage dilakukan dengan telapak
tangan dan jari merapat. Tujuannya adalah memperlancar peredaran
darah, cairan getah bening (limfe) dan meningkatkan suhu kulit.
B) Petrissage (memijat-mijat)
yaitu gerakan menekan kemudian meremas jaringan. Tujuannya
adalah untuk mendorong keluarnya sisa-sisa metabolisme dan
mengurangi ketegangan otot.
C) Vibration (menggetarkan)
yaitu gerakan menggetarkan yang dilakukan secara manual atau
mekanik. Mekanik lebih baik daripada manual. Tujuannya adalah
untuk merangsang saraf secara halus dan lembut agar mengurangi
atau melemahkan rangsang yang berlebihan pada saraf yang dapat
menimbulkan ketegangan
D) Tapotement (Memukul-mukul)
Tapotement adalah gerakan memukul masa otot yang dapat
mempengaruhi tonus syaraf otonom jaringan perifer sehingga
mengalami relaksasi. Tujuannya mendorong atau mempercepat
aliran darah dan mendorong keluar sisa-sisa pembakaran dari tempat
persembunyiannya.
E) Friction (Menggerus)
Friction adalah menghancurkan bekuan dan pengerasan di dalam
jaringan ikat dan otot. Friction dapat dikerjakan dengan ujung-ujung
jari, atau pangkal telapak tangan, disesuaikan dengan keadaan.
Caranya gerakan menggerus yang arahnya naik dan turun secara
bebas., tujuannya yaitu memperlancar aliran darah sehingga sirkulasi
darah kembali normal dan meningkatkan pertukaran zat di dalam
masa otot.
Kerangka Teori
Bagan 2.1
Kerangka Teori Penelitian
(Sumber :Modifikasi Azwar, 2011: Suryani & Widyasih, 2008: Notoatmodjo,2010)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperiment with
control design, dimana pada penelitian ini sampel dibagi menjadi dua kelompok
yaitu kelompok intervensi dan kelompok control diobservasi terlebih dahulu
sebelum diberi perlakuan kemudian setelah diberi perlakuan sampel tersebut
diobservasi kembali (Hidayat,2007). Bentuk rancangan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
P1
O1 O2
S
P2
O3 O4
Keterangan :
S = Sampel
P1 = Kelompok Perlakuan
O 1 = Pre test kelompok perlakuan sebelum pemberian booklet tata laksana tidur
dan footmassage
O 2 = Post test kelompok perlakuan setelah pemberian booklet tata laksana tidur
dan footmassage
P2 = Kelompok kontrol
O3 = Pre test kelompok control sebelum pemberian booklet tata laksana tidur
O 4 = Post test kelompok control setelah pemberian booklet tata laksana tidur:
Karakteristik :
Umur
Pekerjaan
Pendidian
C. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini :
HA : Booklet kualitas tidur dan footmassage berpengaruh dalam meningkatkan
Kualitas Tidur Dan Nilai Ankle Brachial Index (ABI)
HO :Booklet kualitas tidur dan footmassage tidak berpengaruh dalam
meningkatkan Kualitas Tidur Dan Nilai Ankle Brachial Index (ABI)
D. Definisi Operasional
Tabel. 3.1 Definisi Operasional
1. Waktu
Penelitian ini akan dilakukan selama dua bulan mulai dari Bulan Maret
2. Tempat penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
2. Sampel
Menurut Sugiyono (2009) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik
populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada
populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu dari peneliti.
Ket :
n = Besar sampel
Zα = Standar normal deviasi untuk α (standar deviasi α = 0,05 =
1,96)
Zβ = Standar normal deviasi untuk β (standar deviasi β = 0.1 =
1,28)
µo = Nilai mean kelompok intervensi yang didapat dari literature
µa = Nilai mean kelompok kontrol yang didapat dari literature
σ2 = Estimasi standar deviasi dari beda mean pretest dan post
test literatur (Dharma,2012)
2 ( n 1−1 ) S 12 + ( n 2−1 ) S 22
2
σ =S = P
( n 1−1 ) + ( n 2−1 )
σ2 = 0,513
2(0 ,513 )(10 .4976 )
n= 0,67
= 16.0759
= 17.
Peneliti menghindari adanya drop out dengan menambahkan 10% dari
perkiraan besar sampel sehingga besar sampel sejumlah 20 responden.
Kriteria inklusi :
a) Bersedia menjadi responden
b) kriteria umur 40-60 tahun
c) pasien DM tipe 2
d) Mampu berkomunikasi dengan baik
Kriteria Eklusi
a) Saat penelitian berlangsung responden mengalami kondisi yang dapat
mengganggu penelitian.
b) infeksi pada daerah kaki
c) Memiliki luka kaki diabetikum
G. Pengumpulan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini terdiri dari yaitu editing, coding,
1. Tahap editing
2. Tahap coding
Tindakan memberi kode pada lembar kuesioner dan lembar observasi masing-
masing responden
3. Tahap processing
Memasukkan data dari kuisioner ke dalam komputer dengan salah satu
4. Cleaning
sudah di entry, pengecekan ini untuk melihat apakah ada data yang hilang
(missing) dengan melakukan list, koreksi kembali apakah data yang sudah di
entry benar atau salah dengan melihat variasi data atau kode yang digunakan.
I. Analisis Data
1. Analisis Univariat
2. Analisis bivariat
data dengan uji Kolmogorof Smirnov yang dikumpulkan kemudian di tentukan uji
statistik yang akan dilakukan dengan uji Wilcoxon atau T-Paired bertujuan untuk
footmassage dan booklet kualitas tidur dengan tingkat kepercayaan 95% atau
J. Ethical Clearance
Menurut Hamid, (2008) peneliti telah mempertimbangkan etik dan legal
penelitian untuk melindungi responden dan terhindar dari segala bahaya dan
1. Prinsip manfaat
Responden diperlakuan secara adil dari awal sampai akhir tanpa ada
baru atau masalah kesehatan baru setelah mengikuti penelitian ini yang
full disclosure)
Setiap responden berhak mendapatkan jaminan jika terjadi hal yang tidak
Kesbangpolinmas.
c. Informed consent
penelitian ini terlebih dahulu baik secara lisan dan tertulis dalam bentuk
pengembangan ilmu.
didapat dari responden tidak akan disebarluaskan ke orang lain dan hanya
dijamin rahasia. Kelompok data tertentu yang telah disajikan pada hasil
tahun.
Responden pada penelitian ini akan diberikan tindakan terapi secara adil
sebagai responden