Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia atau tingginya kadar glukosa di dalam darah yang
diakibatkan gangguan sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau akibat dari
keduanya. Resiko berkembangnya DM tipe 2 ini akan terus meningkat dengan
bertambahnya usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik (American Diabetes
Association, 2018).
Jumlah penderita diabetes melitus sampai saat ini semakin meningkat.
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2018, jumlah penderita
diabetes sangat meningkat dari 108 juta penduduk pada tahun 2000 menjadi 422
juta pada tahun 2017. Berdasarkan ADA tahun 2018, penderita diabetes melitus
sebanyak 25,8 juta penduduk pada tahun 2014 dan meningkat menjadi 29,1 juta
penduduk pada tahun 2018.
Pravalensi dan insidensi penderita DM tipe 2 yang meningkat secara
signifikan dari tahun ke tahun menjadi sebuah ancaman kesehatan global
(PERKENI, 2017). Studi populasi Diabetes Mellitus tipe 2 di berbagai negara
melaporkan bahwa jumlah penderita DM di dunia telah mencapai 425 juta jiwa,
dimana prevalensi diabetes cenderung lebih tinggi pada pria (221 juta jiwa)
dibanding wanita (204 juta jiwa). Angka kematian akibat dari DM yang
dilaporkan adalah sebesar 4 juta jiwa, diprediksi jumlah penderita DM Pada
tahun 2045 mengalami peningkatan yang mencapai 629 juta jiwa. Amerika
Serikat menempati urutan ketiga dunia dengan pravalensi penderita diabetes
melitus 30,2 juta jiwa. Tahun 2045 diperkirakan terjadi peningkatan 35,6 juta
jiwa. Di Asia timur negara cina menempati posisi tertinggi pertama dunia dengan
jumlah penderita diabetes melitus sebanyak 114,4 juta jiwa. Pada tahun 2045
diperkirakan meningkat 134,3 juta jiwa (IDF, 2017).
Indonesia menempati urutan ke 6 sebagai negara dengan jumlah penderita
DM terbanyak didunia setelah China, India, United States, Brazil dan Mexico.
Berdasarkan area geografis, sebaran penderita DM terbanyak adalah diwilayah
DKI Jakarta sebanyak 3,4%, dan paling sedikit yaitu NTT sebanyak 0,9%. Angka
penderita diabetes melitus pun meningkat dari 6,9% pada tahun 2013 menjadi
8,5% pada tahun 201, yang artinya ada 22,9 juta penduduk dengan prevalensi
DM (Riset Kesehatan Dasar, 2018). Prevalensi dengan penderita DM pada tahun
2017 adalah 425 juta orang. Indonesia menempati urutan ke-6 (IDF, 2017). DM
tipe 2 merupakan jenis DM yang paling sering terjadi, mencakup sekitar 85%
pasien DM (Greenstain, Wood, 2018).
Angka kejadian DM di Provinsi Bengkulu masih sangat tinggi dengan
jumlah penderita sebanyak 19.353 orang. Jumlah terbanyak penderita DM yaitu
Kota Bengkulu dengan jumlah 6.060 orang,, disusul oleh Bengkulu Tengah pada
urutasn kedua dengan jumlah 4.463 orang, disusul lagi Kepahiang pada peringkat
ketiga dengan jumlah 1.854 orang. Angka terendah penderita DM berada di
Bengkulu Selatan dengan jumlah 255 orang penderita (Profil Dinas Kesehatan
Bengkulu, 2019).
Lamanya menderita DM menyebabkan keadaan hiperglikemia yang terus
menerus menginisiasi terjadinya hiperglisolia yaitu keadaan sel yang kebanjiran
glukosa. Akibat tingginya glukosa darah dalam jangka waktu yang lama akan
mempercepat terjadinya komplikasi sehingga banyak penderita DM mengalami
komplikasi kurang dari 5 tahun (Yuhelma, Hasneli & Nauli, 2014).
Penderita DM tipe 2 memiliki resiko komplikasi yang tidak jauh berbeda
dengan DM tipe 1 (Smeltzer & Bare, 2013). komplikasi yang mungkin terjadi
pada penderita DM sangat kompleks karena dapat menyerang organ-organ vital
tubuh. Komplikasi DM secara umum di bagi menjadi 2 (dua), yaitu komplikasi
akut (hipoglikemi, hiperglikemia ketoasidosis dan hiperglikemia hyperosmolar
nonketotik) serta komplikasi kronis (Penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskular, hipertensi, infeksi, penyakit vaskular perifer, penyakit arteri
perifer, dan neuropati, (Black & Hawks, 2014). Pada klien dengan DM terdapat
tiga gejala klasik yakni, poliuria (banyak kencing), polidipsia (banyak minum)
dan poliphagia (banyak makan). Selain itu terdapat beberapa gejala lain seperti
sering mengantuk, gatal – gatal terutama di daerah kemaluan, pandangan mata
kabur, mati rasa atau rasa sakit pada bagian tubuh bagian bawah, infeksi kulit,
cepat naik darah, sangat lemah atau cepat lelah, dan mual muntah (Novitasari,
2016).
Sifat alamiah dari penyakit dapat mencegah individu untuk mendapatkan
istirahat yang cukup (Potter & Perry, 2005). Pasien dengan kondisi penyakit
kronik seperti DM akan lebih sering mengalami insomnia. Beberapa penelitian
menunjukan satu dari tiga pasien DM tipe 2 mengalami gangguan tidur (Surani S
et al, 2014).Hasil penelitian Bing-Qian Zhu et al (2014) menemukan bahwa
insidensi kejadian gangguantidur pada penderita DM tipe 2adalah sebesar 47,1%
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.Selain itu hasil
penelitian Faith Set al (2016) tentang kualitas tidur dan kualitas hidup pada
dewasa dengan DM tipe 2 juga menemukan 55% partisipan mengalami kualitas
tidur yang buruk.
Nokturia merupakan penyebab tersering gangguan tidur pada penderita
DM. Penelitian yang dilakukan di Australia dengan 74 pasien DM tipe 2
menunjukan bahwa terdapat hubungan nokturia dengan gangguan tidur (Lamond
N et al, 2000 dalam Surani S et al, 2014).Munculnya nokturia pada pasien DM
berhubungan dengan gejala polyuria. Nokturia didefenisikan dengan terbangun di
malam hari untuk buang air kecildanberpengaruh secara klinis apabila muncul
dua kali atau lebih per malam (Surani S et al, 2014). Sekitar 61% penyebab
penderita DM type 2 terbangun di malam hariuntuk buang air kecil (nokturia),
sedangkan 28% mengeluh nyeri yang menyebabkan tidurnya terganggu (Faith et
al, 2014).
Gangguan – gangguan tidur yang terjadi pada penderita DM akan
menyebabkan penurunan pada kualitas tidurnya. Kualitas tidur adalah sebuah
kepuasan dari pengalaman tidur, yang berintegrasi pada aspek tidur permulaan,
pengaturan tidur, kuantitas tidur dan perasaan segar saat bangun tidur (National
Sleep Foundation[NSF], 2016).
Menurut DeLaune & Ladner (2002) dalam Arifin (2016), kualitas tidur
yang buruk dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan motorik, penurunan
produktivitas, perubahan mood, penurunan daya ingat, disorientasi serta adanya
keluhan fatigue sehingga dapat mempengaruhi kemampuan penderita dalam
melakukan aktivitas sehari – hari.
Selain itu hasil penelitian Spiegel et al (2016) menemukan bahwa
kurangnya tidur meningkatkan level cortisol di malam hari dengan mengaktivasi
hypotalamus pituitary- adrenalaxis, sehingga merusak toleransi glukosa yang
pada akhirnya menimbulkan resistensi insulin. Hal ini akan memperburuk onset
penyakit dan memperlama proses penyembuhan DM sehinggaberdampak negatif
pada berbagai aspek kehidupan penderita baik fisik, psikologis maupun sosial.
Selain itu, keterbatasan jumlah insulin pada DM mengakibatkan kadar gula
dalam darah meningkat, hal ini menyebabkan rusaknya pembuluh darah, saraf,
dan struktur internal lainnya sehingga pasokan darah perifer (kaki dan tangan)
semakin terhambat, akibatnya pasien DM akan mengalami gangguan sirkulasi
darah pada kaki (Nasution, 2010).
Penyakit arteri perifer merupakan manifestasi dari arterosklerosis yang
ditandai dengan adanya penyakit penyumbatan arteri pada ekstremitas bawah
(Sihombin, 2016). Menurut Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit
Indonesia (PERSI) tahun 2011 angka kejadian neuropati pada pasien DM lebih
dari 50%. Gangguan kaki diabetes dengan neuropati berupa gangguan sensorik,
motorik dan otonomik. Neuropati sensorik ditandai dengan perasaan kebal
(parastesia), kurang berasa (hipestesia) terutama pada ujung kaki terhadap rasa
panas, dingin dan sakit (Monalisa & Gultom, 2017).
Menurut Tzoulaki (2008) penyakit arteri perifer menghambat pasokan
darah ke anggota tubuh bagian bawah. Tingkat keparahan DM tipe 2
meningkatkan rsiko kejadian penyumbatan sebesar 1,5-4 kali lipat. Sekitar 75%
penderita DM tipe 2 meninggal karena penyakit vaskuler arteri perifer
(Simatupang, 2013). Pencegahan kondisi yang buruk dapat dicegah dengan cara
pemeriksaan vascular non-invasif seperti pemeriksaan ankle brachial index ABI)
secara rutin (Sudoyo, 2018)
Ancle Brachial Index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif pembuluh
darah yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis dari iskemia,
penurunan perfusi perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan neuropati
diabetic (Mulyati, 2017). Nilai ABI dianggap normal apabila ≥1.0 sedangkan
nilai ABI ≤ 0.9 daianggap tidak normal dengan rincian: obstruksi ringan bila ABI
0,71 - <0,9; obstruksi sedang bila ABI 0,41 - <0,71; dan obstruksi berat bila ABI
<0,41 (PERKENI, 2017).
Seseorang yang menderita diabetes melitus lebih dari 20 tahun dapat
mempengaruhi nilai ABI yaitu <0,9 dengan nilai OR=1,54 yang berarti lama
seseorang menderita diabetes melitus dapat berpengaruh terhadap nilai ABI
sebesar 1,54 kali, dengan tingkat kepercayaan 95% (Escobedo et al, 2010).
Semakin rendah nilai ABI maka akan meningkatkan risiko tinggi penyakit
vaskular (Kirsner, 2010). Pada kondisi tersebut pasien seringkali mengeluhkan
klaudikasio (nyeri pada ekstremitas), sementara itu jika indeks sudah mencapai
<0.5, penderita biasanya sudah mengalami klaudikasio pada saat istirahat
(Williams & Wilkins, 2011).
Terdapat beberapa terapi yang telah dilakukan untuk mengatasi penurunan
sensitivitas kaki dan tangan pada Diabetes millitus yaitu terapi senam kaki
dengan koran (Setiawan, 2011) dan senam kaki dengan tempurung kelapa
(Natalia, 2013). Cara tepat untuk pengendalian kadar glukosa darah yaitu dengan
terapi komplementer. Terapi komplementer adalah pengobatan non-farmakologi
yang ditunjukkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Ada banyak
jenis terapi komplementer, salah satu diantaranya adalah foot masase (Kemenkes,
2017).
Foot massage adalah terapi merambatkan ibu jari kaki pada satu titik,
teknik menekan dan menahan. Rangsangan-rangsangan berupa tekanan pada
tangan dan kaki dapat memancarkan gelombang-gelombang relaksasi ke seluruh
tubuh (Wahyuni, 2014). Terapi pijat dilakukan untuk pelancaran sirkulasi darah
dengan efek yang langsung dirasakan ke saraf–saraf yang terdapat di kaki
sehingga dalam darah tidak terjadi endapan gula dan darah yang membawa
oksigen dan nutrisi yang akan disampaikan keseluruh bagian sampai ujung–ujung
jari kaki dapat mengalir. Sehingga seluruh bagian kaki akan mendapat suplai
oksigen yang cukup maka kesemutan dan rasa baal yang merupakan tanda dan
gejala dari neuropati diabetikum akan berkurang atau menurun (Kohar, 2008).
Pijat refleksi pada telapak kaki dengan pemijatan di daerah tertentu akan
merangsang dan memperlancar sirkulasi darah dan bila ada bagian titik yang saat
dipijat terasa sakit dapat mengeluarkan kristal-kristal yang menyumbat
(Mahendra & Ruhito, 2011). Pernyataan tersebut dibuktikan oleh penelitian
Yuwono (2015) dengan judul “Pengaruh Terapi Pijat Refleksi Kaki Terhadap
Ankle Brachial Index (ABI) Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2” diperoleh hasil
terapi pijat refleksi kaki berpengaruh signifikan dalam meningkatkan ABI
dengan hasil p = 0,000. ABI merupakan pemeriksaan non invasif pembuluh
darah yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis dari iskemia,
penurunan fungsi perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan neuropati
diabetik (Mulyati, 2009). Asumsi peneliti bahwa pijat refleksi dapat
meningkatkan sensitivitas kaki DM karena sirkulasi darah mempengaruhi
sensitivitas kaki DM.
Pengelolaan penderita diabetes harus segera dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Langkah pertama yang harus dilakukan menurut Konsesus
Pekumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2017 adalah dengna
modifikasi gaya hidup sehat, sepert terapi nutrisi medis (pengaturan jumlah, jenis
dan jadwal makan) dan olahraga teratur. Bila diperlukan, gaya hidup sehat
tersebut juga disertai dengan ntervensi farmakologis dengan pemberian
antihiperglikemia oral atau injeksi insulin.
Istirahat dan tidur merupakan metode pengelolaan diabetes yang tepat,
karena tidur dan istirahat merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh
setiap manusia dalam proses pemulihan serta mengembalikan stamina tubuh
hingga berada dalam kondisi optimal. Setiap individu mempunyai kebutuhan
istirahat dan tidur yang berbeda dan jika dilakukan secara baik dan teratur akan
memberikan efek yang bagus terhadap kesehatan. Kebutuhan istirahat dan tidur
pada individu yang sakit sangat diperlukan untuk mempercepat proses
penyembuhan (Asmadi, 2008).
Foot massage bermanfaat untuk menurunkan resitensi perifer dan
meningkatkan elastisitas pembuluh darah. Peningkatan suplai darah dan oksigen
di kaki akan mencegah terjadinya kesemutan, rasa tidak nyaman dan nekrosis
jarinagan sehingga diharapkan aliran darah perifer menjadi lancar (Misnandiarly,
2016). Dengan berkurangnya gejala neuropati diharapkan kualitas tidur pasien
dapat meningkat. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui Pengaruh Buku Tata
Laksana Tidur dan Foot Massage terhadap kualitas tidur dan Ancle Brachial
Index (ABI) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas
Kota Bengkulu.
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh buku tata laksana tidur dan foot
massage terhadap kualitas tidur dan nilai Ankle Brachial Index (ABI) pada pasien
diabetes melitus tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Bengkulu.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh pemberian buku tata laksana tidur dan foot
massage terhadap nilai kualitas tidur dan nilai ankle brachial index (ABI)
pada pasien diabetes melitus tipe 2.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 meliputi usia,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
b. Mengetahui rata-rata kualitas tidur pasien diabetes melitus tipe 2 sebelum
intervensi dan sesudah intervensi.
c. Mengetahui rata-rata nilai ankle brachial index (ABI) pada pasien
diabetes melitus tipe 2 sebelum intervensi dan sesudah intervensi.
d. Mengetahui pengaruh pemberian buku tatalaksana tidur terhadap kualitas
tidur pada pasien diabetes melitus tipe 2.
e. Mengetahui pengaruh foot massage terhadap kualitas tidur pada pasien
diabetes melitus tipe 2.
f. Mengetahui pengaruh foot massage terhadap nilai ankle brachial index
(ABI) pada pasien diabetes melitus tipe 2.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penentu kebijakan kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu rujukan dalam
memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien diabetes melitus tipe II
tentang kualitas tidur dan nilai ankle brachial index (ABI).
2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan referensi dalam
pelaksanaan pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien diabetes melitus
tipe II tentang kualitas tidur dan nilai ankle brachial index (ABI).
3. Bagi pelayanan keperawatan di puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Puskesmas
dalam penerapan pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien diabetes
melitus tipe II tentang kualitas tidur dan nilai ankle brachial index (ABI).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Diabetes Melitus


1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme glukosa yang
disebabkan oleh gangguan dalam tubuh. Tubuh individu dengan diabetes
tidak menghasilkan cukup insulin, sehingga menyebabkan kelebihan glukosa
dalam darah (Yuniarti, 2013:26).
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolik yang tidak menular
melanda beberapa jutaan orang di seluruh dunia. Hal ini terkait dengan
beberapa komplikasi mikro dan makrovaskuler. Hal ini juga merupakan
penyebab utama kematian. Masalah yang belum terselesaikan adalah bahwa
definisi dari ambang diagnostik untuk diabetes (Kumar, 2016:397).
Diabetes adalah kompleks, penyakit kronis yang membutuhkan
perawatan medis terus-menerus dengan strategi pengurangan risiko
multifaktorial di luar kendali glikemik (ADA, 2016:1).

2. Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010
(ADA) dalam (Ndraha 2014:10), dibagi dalam 4 jenis yaitu:
A) Diabetes mlitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab
autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali.
Sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang
jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinis
pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.
B) Diabetes melitus tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes
Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak
bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi
insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin
(reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi
dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut
dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa
bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan
mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini
terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya
resistensi insulin yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan
sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering
terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
C) Diabetes melitus gestasional
Komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih
besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun
setelah melahirkan. DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana
intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya
pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan
meningkatnya.
D) Diabetes melitus tipe lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik
fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit
autoimun dan kelainan genetik lain.
Menurut Maulana (2015:44-46), klasifikasi diabetes meliputi empat
kelas klinis :
1) Diabetes Mellitus tipe 1
Hasil dari kehancuran sel β pankreas pada pulau-pulau langherhans,
biasanya menyebabkan defisiensi insulin yang absolut.
2) Diabetes Mellitus tipe 2
Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif ynag menjadi latar
belakang terjadinya resistensi insulin.
3) Diabetes gestasional
Melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran
hormon insulin yang tidak cukup. Jenis diabetes ini terjadi selama
kehamilan dan bisa saja meningkat atau lenyap.
4) Diabetes tipe spesifik lain
Misalnya : gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik
pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic
fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam
pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).

3. Gejala Diabetes Mellitus


Gejala diabetes mellitus digolongkan menjadi gejala akut dan gejala
kronik. Gejala akut ini adalah gejala yang umum muncul pada penderita
diabetes mellitus seperti banyak makan (polifagia), banyak minum
(polidipsi), banyak kencing (polyuria) atau yang biasanya disingkat 3P. Fase
ini biasanya penderita menunjukan berat badan yang terus naik (bertambah
gemuk), karena pada saat ini jumlah insulin yang masih mencukupi, bila
keadaan tersebut tidak segera diobati, lama-kelamaan akan timbul gejala
yang disebakan karena kurangnya insulin seperti mual dan nafsu makan
mulai berkurang. Kadang-kadang penderita DM tidak menunjukan gejala
akut (mendadak) tetapi baru menunjukan gejala sesudah beberapa bulan atau
beberapa tahun mengidap penyakit DM gejala seperti ini disebut gejala
kronik. Gejala kronik ini seperti kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk – tusuk, rasa tebal dikulit sehingga kalau berjalan seperti di atas
bantal atau kasur, kram, mudah mengantuk, mata kabur dan sering ganti
kacamata, gatal di sekitar kemalauan, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
dan kemampuan seksual menurun bahkan impoten (Misdiarly, 2006:14-17).
4. Patofisiologis Diabetes Melitus tipe 2
Kadar gula darah pada kondisi normal akan selalu terkendali berkisar
70-110 mg/dl, karena pengaruh kerja hormon insulin oleh kelenjar pankreas.
Setiap sehabis makan terjadi penyerapan makanan seperti tepung-tepungan
(karbohidrat) di usus dan kadar gula darah akan meningkat. Peningkatan
kadar gula darah ini memicu produksi hormon insulin oleh pankreas. Berkat
pengaruh hormon ini, gula dalam darah sebagian masuk ke dalam berbagai
macam sel tubuh (terbanyak sel otot) dan akan digunakan sebagai bahan
energi dalam sel tersebut. Sel otot kemudian menggunakan gula untuk
beberapa keperluan yakni sebegai energi, sebagian disimpan sebagai
glikogen dan jika masih ada sisa maka sebagian sisa tersebut di ubah
menjadi lemak dan protein. Jika fungsi insulin mengalami defisiensi
(kekurangan) insulin, hiperglikemia akan timbul dan hiperglikemia ini
adalah diabetes. Kekurangan insulin dikatakan relatif apabila pankreas
menghasilkan insulin dalam jumlah yang normal, tetapi insulinnya tidak
efektif. Hal ini seperti pada DM tipe II ada resistensi insulin, Baik
kekurangan insulin maupun relative akan mengakibatkan gangguan
metabolisme bahan bakar, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak. Tubuh
memerlukan metabolisme untuk melangsungkan fungsinya, membangun
jaringan baru, dan memperbaiki jaringan. Semua hormon yang terkait dalam
metabolisme glukosa, hanya insulin yang bisa menurunkan gula darah.
Insulin adalah hormon yang kurang dalam penyakit DM (Aulia, 2009:88-90).
Hormon insulin dihasilkan oleh sel beta pulau langherhans yang
terdapat pada pankreas. Peran insulin untuk memastikan bahwa sel tubula
dapat memakai bahan bakar. Insulin mempunyai peran untuk membuka pintu
sel agar bahan bakar bisa masuk ke dalam sel. Permukaan setiap sel terdapat
reseptor. Dengan reseptor membuka (oleh insulin), glukosa bisa masuk ke
dalam tubuh. Glukosa bisa masuk ke dalam sel, sehingga sel tanpa hormon
insulin tidak bisa memproduksi untuk mendapatkan energi. Pulau
Langerhans mengandung sel khusus seperti sel alfa, sel beta, sel delta, dan
sel F. Sel alfa menghasilkan glukagon, sedangkan sel beta menghasilkan
insulin. Kedua hormon ini membantu mengatur metabolisme. Sel delta
menghasilkan somastotatin (faktor penghambat pertumbuhan hipotalamik)
yang bisa mencegah sekresi glucagon dan insulin. Sel f menyekresi
polipeptida pankreas yang di keluarkan ke dalam darah setelah individu
makan. Penyebab gangguan pankreas adalah produksi dan kecepatan
pemakain metabolik insulin. Kekurangan insulin dapat mengakibatkan
pengikatan glukosa dalam darah dan peningkatan glukosa dalam urin,
dengan insulin, hepar dapat mengambil glukosa, lemak, dan dari peredaran
darah. Hepar menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen, yang lain
disimpan dalam sel otot, dan sel lemak. Glikogen dapat diubah kembali
menjadi glukosa apabila di butuhkan. Kekurangan insulin dapat
mengakibatkan hiperglikemia dan tergantung pada metabolisme lemak.
Setelah makan, karena jumlah insulin yang berkurang atau insulin tidak
efektif, glukosa tidak bisa ditarik dari peredaran darah dan glikogenesis
(pembentukan glikogen dari glukosa) akan terhambat. Karena sel tidak
memperoleh bahan bakar, hepar memproduksi glukosa (melalui glikogenesis
atau gluconeogenesis) dan mengirim glukosa ke dalam peredaran darah,
keadaan iniakan memperberat hiperglikemia (Baradero, 2009:87-92).
5. Komplikasi Diabetes Melitus
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik
akut maupun komplikasi vaskuler kronik, naik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat diabetes yang
tidak terkendali adalah:
A) Kerusakan saraf (Neuropati)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan
sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ
lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung
dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus
tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun
atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal,
terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang
lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka
akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang
memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut
neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat
mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan
rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung
dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena
(Ndraha, 2014 ). Neuropati diabetes otonom juga menyebabkan
morbiditas yang signifikan dan bahkan kematian pada pasien diabetes.
Disfungsi neurologis dapat terjadi dikebanyakan sistem organ seperti
gastroparesis, sembelit, diare, disfungsi kandung kemih, disfungsi
ereksi, intoleransi aktivitas, iskemi dan bahkan henti jantung. Disfungsi
otonom kardiovaskular berhubungan dengan peningkatan risiko iskemi
miokard dan kematian (Fowler, 2008).
B) Kerusakan ginjal (Nefropati)
Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh
darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan
darah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau
kencing. Ginjal bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan
darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada
nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan,
sedangkan protein yang dipertahankan ginjal bocor ke luar. Gangguan
ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau
kerusakan saraf. Menurut (Fowler 2008 ), bahwa nefropati diabetik
didefinisikan oleh proteinuria > 500 mg dalam 24 jam pada keadaan
diabetes, tetapi biasanya diawali dengan derajat proteinuria yang lebih
rendah atau “mikroalbuminuria”. Mikroalbuminuria didefinisikan
sebagai ekskresi albumin 30-299 mg/24 jam. Tanpa intervensi, pasien
diabetes dengan mikroalbuminuria biasanya akan mengarah ke
proteinuria dan nefropati diabetik (Ndraha, 2014:11).
C) Kerusakan mata (retinopati)
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadi
penyebab utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang
disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan
makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang sangat kecil.
Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2)
katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi
keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah
dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi
peningkatan tekanan dalam bola mata
sehingga merusak saraf mata (Ndraha, 2014). Menurut (Fowler 2008),
bahwa retinopati diabetes merupakan komplikasi mikrovaskuler yang
paling umum. Risiko retinopati diabetes atau komplikasi mikrovaskuler
lainnya tergantung pada durasi dan keparahan hiperglikemia.
Pengembangan retinopati diabetes pada pasien dengan diabetes melitus
tipe 2 diakibatkan karena keparahan hiperglikemia dan Penyakit jantung
koroner (PJK)
Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan
penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh
darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan
darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi.
D) Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang
dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus
diingat hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati,
kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serang jantung dan stroke menjadi
dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi.
E) Penyakit pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang
dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini
dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang
tidak menderita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah
atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10
tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini.
Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau
neuropati dan infeksi yang sukar
6. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2
Tujuan utama terapi diabetes adalah utuk menormalkan aktifitas
insulin dan kadar glukosa darah untuk mengurangi komplikasi yang
ditimblkan akibat DM. caranya yaitu menjaga kadar glukosa dalam batas
normal tanpa terjadi hipoglikemia serta memelihara kualitas hidup yang
baik. Ada lima macam komponen dalam penatalaksanaan DM tipe 2 yaitu :
A) Manajement diet
Tujuan dari penatalaksanaan diet antara lain yaitu untuk mencapai dan
mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid mendekati normal,
mencapai dan mempertahankan berat badan dalam batas normal kurang
lebih dari 10% dari berat badan idaman, mencegah komplikasi akut dan
kronik serta meningkatkan kualitas hidup (Damayanti, 2015:33).
B) Terapi nutrisi
Terapi nutrisi khusus untuk meningkatkan pasien dengan lebih intensif
lagi menilai makan dan asupan gizi, memberikan konseling yang
menghasilkan peningkatan kesehatan dan dapat mengurangi komplikasi
DMT2. terapi nutrisi diabetes dapat menghasilkan penghematan biaya
dan peningkatan hasil seperti pengurangan A1c. terapi nutrisi dapat
dipersonalisasi berdasarkan kebutuhan pasien, komorbiditas, kondisi
kronis yang ada dan faktor kunci lainnya (Redmon, 2014:24).
C) Latihan fisik (oleh raga)
Dengan berolahraga dapat mengaktifasi ikatan insulin dan reseptor
insulin di membrane plasma sehingga dapat menurunkan kadar glukosa
dalam darah. Latihan fisik yang rutin dapat memelihara berat badan
yang normal dengan indeks massa tubuh. Manfaat dari latihan fisik ini
adalah dapat menurunkan kadar gula darah dengan meningkatkan
pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin,
memperbaiki sirkulasi darah dan tonus otot, mengubaha kadar lemak
dalam darah (Damayanti, 2015:34)
D) Pemantauan kadar gula darah (monitoring)
Pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri atau self-monitoring
blood glucose (SMBG) memungkinkan untuk deteksi dan mencegah
hiperglikemia atau hipoglikemia, pada akhirnya akan mengurangi
komlikasi diabetik jangka panjang. Beberapa hal yang harus
dimonitoring adalah glukosa darah, glukosa urin, keton darah, keton
urin. Selain itu juga pengkajian tambahan seperti cek berat badan secara
regular, pemeriksaan fisik secara teratur dan pendidikan kesehatan
(Damayanti, 2015:38).
E) Pendidikan perawatan kaki
Pendidikan harus disesuaikan dengan pengetahuan pasien saat ini,
kebutuhan individu dan faktor risiko. Pasien harus menyadari faktor
risiko dan langkah yang tepat untuk menghindari komplikasi.
Pendidikan harus mencakup: 1) memeriksa kaki setiap hari terkait luka,
memar, perdarahan, kemerahan dan masalah kuku. 2) usahakan Cuci
kaki setiap hari kemudian keringkan dengan benar, termasuk di antara
sela-sela jari kaki. 3) Jangan merendam kaki kecuali ditentukan oleh
dokter, perawatan atau tenaga kesehatan (Redmon, 2014:31).
B. Konsep Tidur
1. Definisi Tidur
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana
seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik
atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall, 2009). Tidur adalah suatu
proses perubahan kesadaran yang terjadi berulang-ulang selama periode
tertentu (Potter & Perry, 2005). Menurut Chopra (2003), tidur merupakan
dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara
tenang dan aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga
otak sedang bekerja lebih keras selama periode bermimpi dibandingkan
dengan ketika beraktivitas di siang hari (Harson, 2007).

2. Tahapan Tidur
Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau
Rapid Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau
Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM
yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium
dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium empat, lalu diikuti oleh fase
REM (Patlak, 2005). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian
sekitar 4-6 siklus dalam semalam (Potter & Perry, 2005).
A) Tidur Stadium Satu
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan
dapat terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain.
Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan, dan
aktivitas otot melambat (Patlak, 2005).
B) Tidur Stadium Dua
Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung
melambat dan suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010). Pada
tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005).
C) Tidur Stadium Tiga
Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada
tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun,
individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering
merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010)
D) Tidur Stadium Empat
Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak
sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot,
untuk memulihkan energi fisik (Smith & Segal, 2010). Tahap tiga dan
empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat
restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup
istirahat dan energik di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini
biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu
akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya
berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat
menjelang pagi atau bangun (Japardi, 2002). Selama tidur REM, mata
bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata tetap
tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan
dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005).
3. Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga
seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah
terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata,
kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian
terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk
(Hidayat, 2006). Kualitas tidur, menurut American Psychiatric
Association (2000), dalam Wavy (2008), didefinisikan sebagai suatu
fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi.
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti
lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi
terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur
(Daniel et al, 1998; Buysse, 1998). Persepsi mengenai kualitas tidur itu
sangat bervariasi dan individual yang dapat dipengaruhi oleh waktu yang
digunakan untuk tidur pada malam hari atau efesiensi tidur. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa efisiensi tidur pada usia dewasa muda
adalah 80-90% (Dament et al, 1985; Hayashi & Endo,1982 dikutip dari
Carpenito, 1998). Di sisi lain, Lai (2001) dalam Wavy (2008)
menyebutkan bahwa kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang
mempersiapkan pola tidurnya pada malam hari seperti kedalaman tidur,
kemampuan tinggal tidur, dan kemudahan untuk tertidur tanpa bantuan
medis. Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di
pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan tidur. Dengan
kata lain, memiliki kualitas tidur baik sangat penting dan vital untuk
hidup sehat semua orang (Wavy, 2008).
Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemerikasaan
laboraorium yaitu EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak.
Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat
menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus menerus timbul dalam
otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari
keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang diderita. Tipe
gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, betha, tetha dan
delta (Guyyton & Hall, 2009).
C. Ankle Brachial Index (ABI)
Gangguan aliran darah pada kaki dapat dideteksi dengan mengukur
ankle brachial index (ABI) yaitu mengukur rasio dari tekanan sistolik di
lengan dengan tekanan sistolik kaki bagian bawah (Nussbaumerová et al.,
2011; Sato et al., 2011). ABI dihitung dengan membagi tekanan sistolik di
pergelangan kaki dengan tekanan darah sistolik di lengan. Pemeriksaan ABI
sangat berguna untuk mengetahui adanya penyakit arteri perifer (PAP)
(Bundó et al., 2013; Le Faucheur et al., 2006). Penyakit arteri perifer
merupakan manifestasi paling sering adanya aterosklerosis perifer yang
menyebabkan menurunnya sirkulasi darah pada kaki. Pada pasien yang
mengalami gangguan peredaran darah kaki maka akan ditemukan tekanan
darah tungkai lebih rendah dibandingkan dengan tekanan darah lengan yang
dapat dilihat dari skor ABI (Pessinaba et al., 2012). Keadaan yang tidak
normal dapat diperoleh bila nilai ABI (Ankle Brachial Index) 0,41 – 0,90
yang diindikasikan ada resiko tinggi luka di kaki, dan pasien perlu perawatan
tindak lanjut. ABI < 0.4 diindikasikan kaki sudah mengalami kaki nekrotik,
gangren, ulkus, borok yang perlu penanganan multi disiplin ilmu (PAPDI,
2007).
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa diabetes
melitus ini sangat serius dan memerlukan tindakan preventif dalam
menurunkan atau mencegah komplikasinya terutama komplikasi kaki
diabetes, antara lain dengan melakukan senam kaki. Senam kaki diabetes
yang masih belum popular di tengah masyarakat juga menjadi alasan
pentingnya permasalahan ini dijadikan sebagai bahan penelitian. Oleh karena
itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang ankle brachial index
(ABI) sebelum dan sesudah senam kaki diabetes pada penderita diabetes
melitus tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Janti.
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa
darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatarbelakangi oleh
resistensi insulin (Suyono, 2009). Komplikasi kronik pada DM adalah
Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan manifestasi paling sering adanya
aterosklerosis, yang mempunyai karakteristik terdapat oklusi aterosklerosis
pada tungkai bawah. Gejala PAP paling sering yaitu kladikasio intermiten,
yang dikeluhkan sebagai: rasa nyeri, kram otot atau sakit pada telapak kaki,
betis atau bokong. Penyebab penyakit arteri perifer pada usia di atas 40 tahun
adalah aterosklerosis. Aterosklerosis sendiri bisa disebabkan karena
hiperglikemi yang menahun, hipertensi, hiperkolesterolemia, dan pada
perokok (PAPDI, 2007).
D. Konsep foot-massage
1. Definisi Foot Massage
Massage dapat diartikan Stimulasi kulit dan jaringan di bawahnya
dengan berbagai tingkat tekanan tangan untuk mengurangi nyeri,
menghasilkan relaksasi, dan / atau meningkatkan sirkulasi (Mosby, 2004).
(Trisnowiyanto , 2012)
Menurut (Puthusseril, 2006) Foot massage adalah teknik dimana
kedua kaki penerima diadakan di berbagai posisi, membelai lembut dan
berirama untuk mencapai respon relaksasi, foot massage ini menggunakan
manipulasi jaringan lunak untuk mempengaruhi orang secara
keseluruhan, meningkatkan sirkulasi, jaringan otot dan saraf dan
memblokir transmisi impuls nyeri sehingga menghasilkan analgesik
endorphin di tubuh kita sehingga nyeri yang dirasakan berkurang.
Foot Massage adalah manipulasi jaringan ikat melalui pukulan,
gosokan atau meremas untuk memberikan dampak pada peningkatan
sirkulasi, memperbaiki sifat otot dan memberikan efek relaksasi (Potter &
Perry,2011)
2. Tujuan foot-massage
Pada dasarnya foot massage terapy bertujuan melancarkan sirkulasi darah.
Proses pemijatan refleksi, memijat pada titik – titik refleksi untuk
menghilangkan endapan dalam titik tersebut. Yang merupakan salah satu
penyebab organ tubuh mengalami gangguan atau sakit adalah adanya
penyumbatan aliran darah menuju organ tersebut (Zaki, 2012).
3. Manfaat foot-massage
A) Meredakan stress
Berdasarkan studi oleh Internasional Of Alternative And
Complementary Medicine menyatakan bahwa orang yang menderita
stress dan depresi merasa ada perbaikan setelah menjalani tepai
pijatan selama 30 menit setiap minggu
B) Meningkatkan daya tahan tubuh
Melalui pemijatan, daya tahan tubuh dapat ditingkatkan sehingga
tubuh menjadi lebih bugar dan stamina tubuh meningkat. Hal ini
terjadi karena teknik pijatan ini dapat meningkatkan energi tubuh.
Secara mekanis, saraf dan otot tubuh menjadi terlatih, sehingga tubuh
menjadi lebih fit dan dapat mencegah terjadinya penyakit.
C) Terapi massage bisa melancarkan sirkulasi darah membantu tubuh
kita menjadi rileks serta Terapi massage dapat memperlancar aliran
darah, tekanan darah bias menggerakkan darah melalui area yang
tersumbat.
D) Membantu mengurangi stress dan nyeri
Keadaan kesehatan fisik yang memburuk meningkatkan stress.
Dengan melakukan foot massage therapy, keadaan fisik dapat di
kembalikan pada keadaan normal setelah diberikan foot massage , dan
foot massage dapat membantu mengurangi nyeri saat di berikan
pijatan dan akan merangsang pengeluaran endorphin sehingga
membuat tubuh menjadi rileks karena saraf simpatis menurun
sehingga secara perlahan nyeri berkurang dan menghilang. (Alfirdaus
I,2011)
4. Teknik Dasar Foot Massage
Pijat kaki adalah bentuk pemijatan khusus yang menggunakan empat
teknik dasar berikut (Hollis, 1998; Salvo, 2003). Teknik ini memiliki
mekanisme dalam mengurangi rasa sakit. Untuk penjelasan lebih rinci
dibahas seperti di bawah ini:
A) Effleurage (menggosok)
Gerakan urut mengusap secara ritmis atau berirama dan berturut
turut dari arah bawah ke atas. Effleurage dilakukan dengan telapak
tangan dan jari merapat. Tujuannya adalah memperlancar peredaran
darah, cairan getah bening (limfe) dan meningkatkan suhu kulit.
B) Petrissage (memijat-mijat)
yaitu gerakan menekan kemudian meremas jaringan. Tujuannya
adalah untuk mendorong keluarnya sisa-sisa metabolisme dan
mengurangi ketegangan otot.
C) Vibration (menggetarkan)
yaitu gerakan menggetarkan yang dilakukan secara manual atau
mekanik. Mekanik lebih baik daripada manual. Tujuannya adalah
untuk merangsang saraf secara halus dan lembut agar mengurangi
atau melemahkan rangsang yang berlebihan pada saraf yang dapat
menimbulkan ketegangan
D) Tapotement (Memukul-mukul)
Tapotement adalah gerakan memukul masa otot yang dapat
mempengaruhi tonus syaraf otonom jaringan perifer sehingga
mengalami relaksasi. Tujuannya mendorong atau mempercepat
aliran darah dan mendorong keluar sisa-sisa pembakaran dari tempat
persembunyiannya.
E) Friction (Menggerus)
Friction adalah menghancurkan bekuan dan pengerasan di dalam
jaringan ikat dan otot. Friction dapat dikerjakan dengan ujung-ujung
jari, atau pangkal telapak tangan, disesuaikan dengan keadaan.
Caranya gerakan menggerus yang arahnya naik dan turun secara
bebas., tujuannya yaitu memperlancar aliran darah sehingga sirkulasi
darah kembali normal dan meningkatkan pertukaran zat di dalam
masa otot.
Kerangka Teori

Nilai ABI (Ankle


Kualitas tidur Brachial Index)
mengalami tidak normal 0,41 –
penurunan 0,90

1. Kualitas tidur membaik


Edukasi booklet dan 2. Nilai ABI (Ankle Brachial
foot massage
Index ) dalam batas normal

Factor yang mempengaruhi


pengetahuan :
1. Tingkat pendidikan
2. Media massa/informasi
3. Sosial budaya dan ekonomi
4. lingkungan

Bagan 2.1
Kerangka Teori Penelitian
(Sumber :Modifikasi Azwar, 2011: Suryani & Widyasih, 2008: Notoatmodjo,2010)
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperiment with
control design, dimana pada penelitian ini sampel dibagi menjadi dua kelompok
yaitu kelompok intervensi dan kelompok control diobservasi terlebih dahulu
sebelum diberi perlakuan kemudian setelah diberi perlakuan sampel tersebut
diobservasi kembali (Hidayat,2007). Bentuk rancangan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
P1
O1 O2

S
P2
O3 O4

Gambar 3.1 Rancangan penelitian

Keterangan :
S = Sampel
P1 = Kelompok Perlakuan

O 1 = Pre test kelompok perlakuan sebelum pemberian booklet tata laksana tidur

dan footmassage

O 2 = Post test kelompok perlakuan setelah pemberian booklet tata laksana tidur

dan footmassage

P2 = Kelompok kontrol

O3 = Pre test kelompok control sebelum pemberian booklet tata laksana tidur
O 4 = Post test kelompok control setelah pemberian booklet tata laksana tidur:

Pada penelitian terhadap kelompok perlakuan dilakukan pengukuran awal


(pre test) terhadap Ankle Brachial Index (ABI) dan kualitas tidur responden
sebelum dilakukan pemberian footmassage dan booklet tata laksana tidur ,
kemudian dilakukan pengukuran kedua (post test) terhadap ABI dan kualitas tidur
responden setelah dilakukan pemberian footmassage dan booklet tata laksana
tidur,
Sementara untuk kelompok control dilakukan pengukuran awal (pre test)
terhadap Ankle Brachial Index (ABI) dan kualitas tidur responden sebelum
dilakukan pemberian booklet tata laksana tidur , kemudian dilakukan pengukuran
kedua (post test) terhadap ABI dan kualitas tidur responden setelah dilakukan
pemberian booklet tata laksana tidur,

B. Kerangka Konsep Penelitian

Responden Footmassage, booklet tata Nilai ABI


laksana tidur

Karakteristik :
Umur
Pekerjaan
Pendidian

C. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini :
HA : Booklet kualitas tidur dan footmassage berpengaruh dalam meningkatkan
Kualitas Tidur Dan Nilai Ankle Brachial Index (ABI)
HO :Booklet kualitas tidur dan footmassage tidak berpengaruh dalam
meningkatkan Kualitas Tidur Dan Nilai Ankle Brachial Index (ABI)
D. Definisi Operasional
Tabel. 3.1 Definisi Operasional

Definisi Cara Alat Skala


Variabel Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur Ukur
Umur Usia dalam tahun Study Cek-list Mean ±SD
berdasarkan dokument
tanggal dan bulan asi dan
kelahiran yang wawancar
terdata di PSTW a
Bengkulu
Pendidikan Pendidikan formal Study Cek-list Tdk Sekolah Ordin
terakhir yang telah dokument SD al
diselesaikan oleh asi dan SMP
SLTA
responden wawancar
a

Jenis Laki-laki dan Study Cek-list 0 = laki-laki Nomin


kelamin perempuan dokument 1= Perempuan al
asi dan
wawancar
a
Footmassa Peemberian terapi Melaksan SOP Footmassage
ge nonfarmakologi akan dilakukan
untuk kaki footmass sesuai dengan
penderita diabetes age Standar
tipe II yang Operasional
dilakukan selama 2 prosedur
kali seminggu
selama 4 minggu
oleh peneliti
Booklet Suatu metode Memberi
tata pemberian kan
laksana pendidikan booklet
tidur kesehatan
mengenai kualitas
tidur secara
mandiri untuk
penderita diabetes
tipe II.
Kualitas Kualitas tiduradalah Penilaian Quisioner kor≤5 :Kualita Ordinal
tidur takaran baikdan diperoleh PSQI sTidur Baik-
buruk dari dariskor Skor
kebiasaan tidur yangdiper >5 :KualitasTi
seseorang selama 1 oleh durBuruk
bulan terakhir. darirespo
ndenyang
telahmen
jawabper
tanyaan-
pertanya
anpadaku
esioner
PSQI

Ankle perbandingan Melakuk vascular interval


Brachial antara tekanan an doppler
Index darah sistolik yang pemeriks
(ABI) diukur pada aan ABI
pergelangan kaki
dengan arteri
brachialis

E. Waktu dan tempat penelitian

1. Waktu

Penelitian ini akan dilakukan selama dua bulan mulai dari Bulan Maret

sampai dengan Mei 2020.

2. Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Bengkulu

F. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah penderita DM tipe

II di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Bengkulu

2. Sampel

Menurut Sugiyono (2009) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik

yang dimiliki oleh populasi tersebut. Pengambilan sampel dilakukan bila

populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada

populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu dari peneliti.

Sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik Simple Random

Sampling yaitu pengambilan sampel dengan cara acak tanpa memperhatikan

strata yang ada dalam anggota populasi.

Rumus besar sampel

Ket :
n = Besar sampel
Zα = Standar normal deviasi untuk α (standar deviasi α = 0,05 =
1,96)
Zβ = Standar normal deviasi untuk β (standar deviasi β = 0.1 =
1,28)
µo = Nilai mean kelompok intervensi yang didapat dari literature
µa = Nilai mean kelompok kontrol yang didapat dari literature
σ2 = Estimasi standar deviasi dari beda mean pretest dan post
test literatur (Dharma,2012)

Berdasarkan penelitian Laksmi Ida (2018) didapatkan :


2 2
2 σ ( Zα + Z 1−β )
n= 2
( μ 0−μa )

2 ( n 1−1 ) S 12 + ( n 2−1 ) S 22
2
σ =S = P
( n 1−1 ) + ( n 2−1 )

σ2 = 0,513
2(0 ,513 )(10 .4976 )
n= 0,67
= 16.0759
= 17.
Peneliti menghindari adanya drop out dengan menambahkan 10% dari
perkiraan besar sampel sehingga besar sampel sejumlah 20 responden.
Kriteria inklusi :
a) Bersedia menjadi responden
b) kriteria umur 40-60 tahun
c) pasien DM tipe 2
d) Mampu berkomunikasi dengan baik
Kriteria Eklusi
a) Saat penelitian berlangsung responden mengalami kondisi yang dapat
mengganggu penelitian.
b) infeksi pada daerah kaki
c) Memiliki luka kaki diabetikum
G. Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang dilakukan adalah :


1. Proses kegiatan penelitian dilakukan setelah mendapatkan persetujuan secara
akademis, kemudian peneliti mempersiapkan surat permohonan izin untuk
melakukan penelitian.
2. Peneliti mendapat surat pengantar dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
untuk melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Kota Bengkulu.
3. Peneliti menyerahkan surat izin penelitian ke Wilayah kerja Puskesmas Kota
Bengkulu dan mendapatkan izin melakukan penelitian.
4. Setelah mendapatkan izin, peneliti melakukan kesepakatan dengan calon
responden.
5. Sebelum penelitian dilakukan, peneliti menjelaskan tujuan penelitian.
6. Setelah memahami tujuan penelitian, responden diminta menandatangani
surat pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian.
7. Peneliti mempersiapkan media dan alat ukur.
8. Peneliti melakukan pre test nilai ABI pada responden sebelum dilakukan
intervensi.
9. Responden diberikan booklet kualitas tidur dan footmassage yang dilakukan
2 kali dalam waktu minggu dengan durasi 10-15 menit untuk tiap
pertemuan.
10. Mengukur kembali nilai ABI setelah pemberian booklet kualitas tidur dan
footmassage
H. Pengolahan data

Pengolahan data dalam penelitian ini terdiri dari yaitu editing, coding,

processing, dan cleaning.

1. Tahap editing

dilakukan dengan mengecek data yang sudah terkumpul diperiksa kembali

untuk memastikan kelengkapan, kesesuaian dan kejelasan.

2. Tahap coding

Tindakan memberi kode pada lembar kuesioner dan lembar observasi masing-

masing responden

3. Tahap processing
Memasukkan data dari kuisioner ke dalam komputer dengan salah satu

program computer untuk dilakukan analisis menggunakan software statistik.

4. Cleaning

Proses pembersihan data dilakukan dengan mengecek kembali data yang

sudah di entry, pengecekan ini untuk melihat apakah ada data yang hilang

(missing) dengan melakukan list, koreksi kembali apakah data yang sudah di

entry benar atau salah dengan melihat variasi data atau kode yang digunakan.

I. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran masing-masing variabel

baik variabel dependen maupun variabel independen.

2. Analisis bivariat

Sebelum uji statistik dilakukan terlebih dahulu dilakukan uji normalitas

data dengan uji Kolmogorof Smirnov yang dikumpulkan kemudian di tentukan uji

statistik yang akan dilakukan dengan uji Wilcoxon atau T-Paired bertujuan untuk

mengetahui dampak dari perlakuan terhadap nilai ABI setelah pemberian

footmassage dan booklet kualitas tidur dengan tingkat kepercayaan 95% atau

nilai alpha (α) 0,05. Pengambilan kesimpulan batas kebermaknaan yang

digunakan adalah dilakukan berdasarkan perbandingan P-value dengan taraf

signifikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5%.

J. Ethical Clearance
Menurut Hamid, (2008) peneliti telah mempertimbangkan etik dan legal

penelitian untuk melindungi responden dan terhindar dari segala bahaya dan

ketidaknyamanan fisik dan psikologi. Secara umum prinsip etika dalam

penelitian/pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu; prinsip

manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek, dan prinsip keadilan.

1. Prinsip manfaat

a. Bebas dari penderitaan

Responden diperlakuan secara adil dari awal sampai akhir tanpa ada

diskriminasi. Peneliti memberikan reward kepada semua responden

berupa Booklet kualitas tidur, footmassage , pengukuran nilai ABI dan

pengukuran tekanan darah secara gratis bagi yang telah berpartisipasi

dalam penelitian sampai selesai. Dalam penelitian tidak ada perlakuan

yang menyakiti responden, sehingga tidak akan menimbulkan penderitaan

baru atau masalah kesehatan baru setelah mengikuti penelitian ini yang

pernyataannya telah dimasukkan dalam informed consent.

b. Risiko (benefits ratio)

Peneliti dapat menjelaskan keuntungan dari penelitian dan tidak ada

kerugian bagi responden jika ikut berpartisipasi atau tidak dalam

penelitian ini. Peneliti menjamin bahwa penelitian ini tidak akan

menimbulkan ketidak nyamanan baik secara fisik atau psikologis.

c. Bebas dari eksploitasi


Peneliti tidak boleh melakukan tindakan penelitian secara berulang-ulang

setiap hari dalam melaksanakan penelitian, akan tetapi peneliti melakukan

penelitian dengan frekuensi 2x seminggu selama 6 minggu agar

responden tidak merasa dirugikan/terganggu.

2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)

a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)

Responden berhak memutuskan dirinya untuk ikut berpartisipasi atau

tidak dalam penelitian ini. Peneliti memberikan kebebasan kepada

responden untuk ikut dalam penelitian atau menolak melalui informed

consent yang di tanda tangan responden dan peneliti menghormati serta

menghargai keputusan responden tersebut.

b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to

full disclosure)

Setiap responden berhak mendapatkan jaminan jika terjadi hal yang tidak

diinginkan saat penelitian berlangsung dalam bentuk apapun, peneliti

meninggalkan nomor handphone peneliti dan surat izin penelitian dari

Kesbangpolinmas.

c. Informed consent

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti harus menjelaskan tentang

penelitian ini terlebih dahulu baik secara lisan dan tertulis dalam bentuk

lembaran informed consent. Pada informed consent juga dicantumkan


bahwa data yang diperoleh hanya akan dipergunakan untuk

pengembangan ilmu.

2. Prinsip keadilan (right to justice)

a. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)

Identitas dan semua informasi responden dirahasiakan oleh peneliti dalam

bentuk apapun. Kerahasiaan ini diartikan sebagai semua informasi yang

didapat dari responden tidak akan disebarluaskan ke orang lain dan hanya

peneliti yang mengetahuinya. Informasi yang telah terkumpul dari subjek

dijamin rahasia. Kelompok data tertentu yang telah disajikan pada hasil

penelitian. Data yang diperoleh mengenai responden hanya akan

dipergunakan sesuai kebutuhan penelitian, data disimpan dalam bentuk

file agar terjaga kerahasiaannya, file disimpan dalam kurun waktu 5

tahun.

b. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)

Responden pada penelitian ini akan diberikan tindakan terapi secara adil

yaitu pemberian senam laansia bekatak kurak kariak pada kelompok

intervensi dan senam lansia regular pada kelompok kontrol.

c. Tanpa Nama (Anonimity)

Setiap responden dalam penelitian ini tidak dicantumkan nama lengkap

baik pada lembar persetujuan maupun lembar observasi/pengumpulan

data, indentitas responden hanya menggunakan nama inisial atau kode


responden, dan mencantumkan tanda tangan pada lembar persetujuan

sebagai responden

Anda mungkin juga menyukai