Anda di halaman 1dari 27

PROFIL PENDERITA DIABETES MELITUS PADA KOMUNITAS

LANSIA DI PUSKEMAS KAPASA PERIODE JANUARI 2020 HINGGA


MARET 2020

DISUSUN OLEH :

1. Aulia Kusumaning Ati, C014182248

2. Ismet Nur Mulyadi Abbas, C014182244

3. Asfira Asmawat, C014182241

4. Adelia Grania Amanda Salekede, C014182249

5. Novia Sila Kandai, XC064191018

Supervisor I : dr. Joko Hendarto, DAP&E, M.Biomed, Ph.D (Bagian IKK &
IKP)

Supervisor II : dr. Muh. Gisman, M.Kes

BAGIAN KEDOKTERAN KOMUNITAS DAN KEDOKTERAN


PENCEGAHAN FAKULTAS KEDOKTERAN HASANUDDIN

AGUSTUS, 2020
PROFIL PENDERITA DIABETES MELITUS PADA KOMUNITAS
LANSIA DI PUSKESMAS KAPASA PERIODE JANUARI 2020 HINGGA
MARET 2020
Aulia Kusumaning A1*, Ismet Nur Mulyadi A1*, Asfira Asmawat1*, Adelia
Grania A.S1*,Novia Sila Kandai1*, Joko Hendarto1*, Muh Gisman1*,
1) Bagian Kedokteran Komunitas dan Kedokteran Pencegahan
2) Puskesmas Kapasa, Makassar, Sulawesi Selatan
*Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia

ABSTRAK
Latar Belakang: Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksikan
peningkatan DM akan menjadi salah satu ancaman global. Laporan dari
International Diabetes Federation (IDF) 2017, Indonesia menempati
peringkat ke enam di dunia dengan 10,3 juta penderita dan IDF juga
memprediksikan akan adanya kenaikan jumlah penderita DM di dunia dari
425 juta jiwa menjadi 629 juta jiwa pada tahun 2045 nantinya (IDF, 2017).
Berdasarkan kategori umur, penderita DM terbesar di Indonesia pada usia
55-64 tahun (6,3%) dan 65-74 tahun (6%).

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan potong


lintang. Data diambil dari laporan kunjungan pasien Diabetes Mellitus
Puskesmas Kapasa dari Januari 2020 hingga Maret 2020. Data tersebut
kemudia dikelola menggunakan Excel.

Hasil: Jumlah pasien yang masuk dalam komunitas lansia pada tahun
2020 adalah 33 orang. 7 orang diantaranya Diabetes Mellitus, 11 orang
DM dengan komorbid Hipertensi dan 15 orang lainnya adalah hipertensi.
Total penderita DM pada komunitas lansia pada Januari hingga Februari
2020 adalah 6 orang dan pada Maret bertambah menjadi 7 orang.
Penderita DM didominasi oleh perempuan sejak Januari hingga Maret
2020. Didapatkan jumlah kasus tetinggi GDP >126 (n = 5) sebanyak 90%
sedangkan GDP <126 (n = 1) sebanyak 10% pada penderita DM dalam
komunitas lansia periode Januari hingga Maret 2020. Indeks massa tubuh
(IMT) pada komunitas ini didominasi oleh IMT normal, berat badan lebih
yang berisiko dan pasien obesitas 1 yaitu sebesar 33,33%.

Kesimpulan: Pasien DM lebih banyak ditemukan dengan jenis kelamin


perempuan, dengan GDP yang tidak terkontrol (GDP > 126), Indeks
Massa Tubuh (IMT) yang didominasi didominasi oleh IMT normal, berat
badan lebih yang berisiko dan obesitas 1.

Kata kunci : Diabetes Mellitus, Puskesmas Kapasa Makassar, Komunitas


Lansia
PROFILE OF PATIENTS WITH DIABETES MELLITUS AMONG THE
ELDERLY COMMUNITY IN THE PUBLIC HEALTH CENTER FROM
JANUARY 2020 UNTIL MARCH 2020
Aulia Kusumaning A1*, Ismet Nur Mulyadi A1*, Asfira Asmawat1*, Adelia
Grania A.S1*,Novia Sila Kandai1*, Joko Hendarto1*, Muh Gisman1*,
1) Department of Community Medicine
2) Kapasa Public Health Center, Makassar, South Sulawesi
*Faculty of Medicine Hasanuddin University, Makassar, Indonesia

ABSTRACT
Background: The World Health Organization (WHO) predicts an increase
in DM will become one of the global threats. Report from the International
Diabetes Federation (IDF) 2017, Indonesia is ranked sixth in the world
with 10.3 million sufferers and IDF also predicts an increase in the number
of DM sufferers in the world from 425 million to 629 million in 2045 later
(IDF, 2017). Based on the age category, the largest DM sufferers in
Indonesia are at the age of 55-64 years (6.3%) and 65-74 years (6%).

Method: This research is a descriptive research method using cross


sectional approach. Data were taken from reports of patients with
Diabetes Mellitus visiting Kapasa Health Center from January 2020 to
March 2020. The data were managed using the Excel program.

Results: The number of patients who entered the elderly community in


2020 was 33 people. 7 of them were Diabetes Mellitus, 11 were diabetic
with comorbid hypertension and 15 were hypertension. The total number
of DM sufferers in the elderly community from January to February 2020
was 6 people and in March it increased to 7 people. DM patients were
dominated by women from January to March 2020. The highest number of
cases was GDP> 126 (n = 5) as much as 90% while GDP <126 (n = 1)
was 10% in DM sufferers in the elderly community from January to March
2020. Body mass index (BMI) in this community is dominated by normal
BMI, risky overweight and obese 1 patients, which is 33.33%.
Conclusion: DM patients are more likely to be female, with uncontrolled
GDP (GDP> 126), Body Mass Index (BMI) which is dominated by normal
BMI, overweight at risk and obesity 1.

Keywords : Diabetes Mellitus, Kapasa Public Health Center, Elderly


Community
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia akibat dari kelainan sekresi insulin dan atau
kerja insulin atau kelainan pada keduanya. Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah. Kriteria diagnosis meliputi
adanya keluhan klasik DM dan adanya pemeriksaan GDP lebih dari atau
sama dengan 126 mg/dl, atau pemeriksaan glukosa plasma lebih dari atau
sama dengan 200 mg/dl 2 jam setelah TTGO dengan beban glukosa 75
gram, atau pemeriksaan GDS lebih dari 200 mg/dl, atau dengan
pemeriksaan HbA1C lebih dari atau sama dengan 6,5%. (PERKENI,
2015).

Menurut penelitian epidemiologi saat ini angka insidensi dan


prevalensi DM tipe 2 cenderung meningkat di berbagai penjuru dunia.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksikan peningkatan DM akan
menjadi salah satu ancaman global. Laporan dari Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) 2017 menyebutkan sebanyak 30,3 juta
penduduk di Amerika Serikat mengalami DM (Gao HX, 2016). Laporan
dari International Diabetes Federation (IDF) 2017, 10 negara teratas
dengan diagnosis DM (20-79 tahun) yaitu posisi pertama adalah Cina
dengan 114,4 juta penderita, India sebanyak 72,9 juta jiwa, Amerika
Serikat sebanyak 30,2 juta jiwa, Brasil 12,5 juta jiwa, dan Meksiko 12 juta
jiwa. Indonesia sendiri menempati peringkat ke enam di dunia dengan
10,3 juta penderita (IDF,2017). IDF juga memprediksikan akan adanya
kenaikan jumlah penderita DM di dunia dari 425 juta jiwa menjadi 629 juta
jiwa pada tahun 2045 nantinya. Indonesia sendiri diperkirakan memiliki
jumlah penderita DM sebanyak 5,4 juta pada tahun 2045 serta memiliki
angka kendali kadar gula darah yang rendah. (Artha et al, 2019).

Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar Depkes RI


menunjukkan bahwa prevalensi penderita Diabetes Mellitus di Indonesia
adalah 1,5% dengan provinsi terbanyak di Jakarta (2,6%), Jogjakarta
(2,4%), Kalimantan Timur (2,3%) dan Sulawesi Utara (2,3%). Berdasarkan
kategori umur, penderita DM terbesar di Indonesia pada usia 55-64 tahun
(6,3%) dan 65-74 tahun (6%). Selain itu, penderita DM di Indonesia lebih
banyak ditemukan pada perempuan (1,8%) daripada laki-laki (1,2%),
kemudian untuk daerah dengan diabetes mellitus lebih banyak di
perkotaan (1,9%) dibandingkan dengan daerah pedesaan (1,0%). Di
Provinsi Sulawesi Selatan, prevalensi orang dengan DM adalah 1,3%
untuk semua usia dan 1,8% untuk usia 15 tahun ke atas. (RISKESDAS,
2018). Menurut hasil Riskesdas Tahun 2013 Prevalensi Diabetes di
Sulawesi Selatan yang di diagnosis dokter sebesar 1,6 persen. DM yang
didiagnosis dokter atau berdasarkan gejala sebesar 3,4 persen.
Prevalensi diabetes yang didiagnosis dokter tertinggi terdapat di Pinrang
(2,8%), Makassar (2,5%), Toraja Utara (2,3%) dan Palopo (2,1%).
Prevalensi diabetes yang didiagnosis dokter atau berdasarkan gejala,
tertinggi di Tana Toraja (6,1%), Makassar (5,3%), Luwu (5,2%) dan Luwu
Utara (4,0%). Berdasarkan data Survailans Penyakit tidak menular Bidang
P2PL dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2015 terdapat
Diabetes Mellitus 17.843 yaitu 13,283 kasus di Puskesmas 4,520 kasus di
Rumah Sakit (Dinkes SulSel, 2015)

Faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian DM tipe 2


adalah pasien dengan obesitas, aktifitas fisik yang rendah, kadar gula
dalam tubuh yang tinggi, tingkat stress psikologis, faktor genetik, dan
proses degeneratif atau lansia. Dari beberapa hasil penelitian salah
satunya penelitian dari Prasetyani (2011), menunjukan bahwa presentase
penyebab penyakit DM antara lain faktor obesitas sebesar 53,6%, aktifitas
fisik yang rendah sebesar 50,7%, kadar gula puasa yang tinggi sebesar
75,4%. Selain faktor tersebut penelitian lain menunjukan bahwa ada faktor
usia, tingkat stres dan faktor genetik dimana pasien memiliki keluarga
dengan riwayat DM sebelumnya merupakan faktor yang mempengaruhi
terjadinya penyakit DM (Sujana T, 2019).

Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat


sel dan semua tingkat anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat
dibagi menjadi komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler yang dialami oleh pasien DM ini pernah
diteliti oleh Amalia (2010), dengan judul penelitiannya yakni gambaran
distribusi komplikasi kronik gangguan vaskuler pada penderita Diabetes
Mellitus di Instalasi Rawat inap RSUD Dr.Soetomo Surabaya diketahui
bahwa pada saat ini 96,93% pasien dengan DM di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya memiliki komplikasi vaskular. Komplikasi mikrovaskuler paling
sering terjadi pada pasien tersebut adalah nefropati (58,4%). Komplikasi
makrovaskuler yang paling sering adalah gangren (37,1%). Komplikasi
lainnya yang sering muncul berturut-turut adalah retinopati (32,1%),
hipertensi (24,4%), penyakit jantung koroner (12,7%), neuropati (10,9%),
stroke (10,4%), dan yang terakhir adalah infark miokard (3,2%) (Yuhelma,
2015). Berkaitan dengan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan
bertujuan untuk mengetahui profil penderita diabetes melitus di
Puskesmas Kapasa, Makassar.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode


penelitian observasional dengan pendekatan potong lintang (cross-
sectional). Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kapasa pada bulan
Agustus 2020. Subjek penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 berjumlah 7
orang pasien pada bulan Januari 2020 sampai Maret 2020 di puskesmas
Kapasa dengan data observasi, menjadi beberapa kelompok yaitu jenis
kelamin, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) serta kontrol glukosa darah
puasa (GDP)
Data dikumpulkan menggunakan BPJS Primary Care dan data
rekapitulasi bulanan di Puskesmas Kapasa. Pengumpulan data pada
pasien yang mengunjungi puskesmas Kapasa pada bulan Januari 2020
hingga Maret 2020 dengan kriteria yang didiagnosis diabetes mellitus tipe
2. Distribusi data di wilayah kerja puskesmas Kapasa diproses
menggunakan program Microsoft Excel dan kemudian grafik dianalisis
menggunakan program Microsoft word.

HASIL

Puskesmas Kapasa mencakup 2 kelurahan yaitu Kelurahan


Kapasa dan Kapasa Raya. Tabel 1 menunjukkan prevalensi kasus DM di
Puskesmas Kapasa periode Januari 2020 – Maret 2020. Jumlah pasien
yang masuk dalam komunitas lansia pada tahun 2020 adalah 33 orang. 7
orang diantaranya Diabetes Mellitus, 11 orang DM dengan komorbid
Hipertensi dan 15 orang lainnya adalah hipertensi. Karakteristik yang
diperoleh berupa jenis kelamin, pemeriksaan Laboratorium GDP, serta
Index Massa Tubuh (IMT) masing-masing penderita yang dapat dilihat
pada Tabel 1.
JANUARI 2020 FEBRUARI 2020 MARET 2020
KARAKTERISTIK
N (6) % N (6) % N (7) %
JENIS KELAMIN
Laki-Laki 0 0 0 0 1 14,28
Perempuan 6 100 6 100 6 85,72
INDEX MASSA TUBUH
Normal 2 33.33 2 33.33 3 42.85
Pre Obesitas 2 33.33 2 33.33 2 28.57
Obesitas I 2 33.33 2 33.33 2 28.57
Obesitas II 0 0 0 0 0 0
Obesitas III 0 0 0 0 0 0
PEMERIKSAAN LAB GDP
< 126 mg/dl 1 10 1 10 0 0
> 126 mg/dl 5 90 5 90 0 0
Tabel 1. Prevalensi kasus DM pada lansia di Puskesmas Kapasa periode Januari -
Maret 2020 (Sumber: Data rekapan Puskesmas Kapasa).
Jumlah Pasien DM pada Komunitas Lansia Berdasarkan Jenis
Kelamin Di Wilayah Puskemas Kapasa sejak bulan Januari 2020 -
Maret 2020
Jumlah pasien DM pada komunitas lansia pada Januari 2020
berdasarkan jenis kelamin sebesar 6 orang yang semua pasiennya adalah
jenis kelamin perempuan dan berlanjut hingga pada bulan februari dengan
total pasien yang sama dan berjenis kelamin sama. Sedangkan pada
bulan Maret 2020 terjadi peningkatan 1 pasien yaitu 1 pasien laki-laki
(14,28%) dan 6 pasien perempuan (85.72%) sehingga total pasien DM 7
orang.
120.00%
2 3 4

100.00%
1

80.00%

60.00% Laki-laki
Perempuan

40.00%

20.00%

0.00%
Januari 2020 Februari 2020 Maret 2020

Grafik 1. Karakteristik jenis kelamin pasien DM di komunitas lansia Puskesmas


Kapasa (Sumber: Data rekapan Puskesmas Kapasa)
Perbandingan Jumlah Pasien DM pada Komunitas Lansia
Berdasarkan GDP Di Wilayah Puskemas Kapasa sejak bulan Januari
2020 - Maret 2020
Distribusi kasus DM berdasarkan pemeriksaan GDP pada periode
Januari - Maret 2020, dikategorikan menjadi GDP >126 dan <126.
Didapatkan jumlah kasus tetinggi GDP >126 (n = 5) sebanyak 90%
sedangkan GDP <126 (n = 1) sebanyak 10%.

Grafik 2. Perbandingan GDP pasien DM di komunitas lansia PKM KAPASA

Perbandingan Jumlah Pasien DM pada Komunitas Lansia


Berdasarkan IMT Di Wilayah Puskemas Kapasa sejak bulan Januari
2020 - Maret 2020
Berdasarkan hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan
diperoleh indeks massa tubuh pada bulan januari hingga maret pada
pasien tetap sama. Tidak ada pasien DM dengan berat badan kurang
maupun pasien obesitas tingkat dua, kebanyakan dengan IMT normal,
berat badan lebih yang berisiko dan pasien obesitas 1.
Prevalensi IMT
Prevalensi IMT
33.33% 33.33% 33.33%

0.00% 0.00%

Grafik 3. Prevalensi IMT pada pasien DM di komunitas lansia pada bulan Januari -
Maret 2020

PEMBAHASAN

Penderita diabetes melitus pada lansia di wilayah kerja Puskesmas


Kapasa yaitu 19 orang sejak Januari 2020-Maret 2020. Jumlah penderita
DM sejak Januari 2020 sebanyak 6 orang dan pada bulan Februari 2020
terjadi stagnasi pada penderita DM tetap sebanyak 6 orang. Dan terjadi
penambahan kasus DM sebanyak 1 orang dari 6 pasien dibulan
sebelumnya sehingga total 19 orang pasien.

Hasil dari data diatas tidak asing lagi di dalam permasalahan


kesehatan Lansia. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 57 responden
di Puskesmas Kelurahan Kolongan tahun 2017, banyaknya penderita
diabetes melitus pada lansia di Kolongan di karenakan gaya hidup yang
kurang baik dan ada juga karena faktor keturunan. Hasil penelitian ini
juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dita (2012) tentang
faktor resiko diabetes melitus di Indonesia dengan Hasil penelitian
menyatakan prevalensi diabetes melitus mencapai 2,9% dimana angka
tersebut cukup tinggi dan beberapa faktor yang berhubungan adalah
umur dan riwayat keluarga. Penurunan fungsi organ pada Lansia seperti
terganggunya sistem pengaturan glukosa darah mengakibatkan
peningkatan glukosa darah lebih dari normal dimana Glukosa darah
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Maka dari faktor resiko
tersebut semakin banyak lansia yang berisiko terhadap terjadinya
Diabetes Melitus. ( Anis C, S dkk, 2017)

Karakteristik Penderita DM pada Komunitas Lansia Januari 2020


hingga Maret 2020
1. Jenis Kelamin

Berdasarkan Grafik 1, Jumlah pasien DM pada komunitas lansia


pada Januari 2020 berdasarkan jenis kelamin sebesar 6 orang yang
terdiri dari semua pasien berjenis kelamin perempuan (100%) dan
stagnan hingga bulan Februari 2020 sebanyak 6 orang pasien
perempuan. Sedangkan Pada Maret 2020 terjadi penambahan 1 pasien
laki-laki sehingga total pasien DM 7 orang, 6 orang pasien perempuan
(85,72%) dan 1 orang pasien laki-laki (14,28%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hayyumahdania Reswan


Gambaran Glukosa Darah pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
Sabai Nan Aluih Sicincin 2017, Distribusi frekuensi kadar glukosa darah
pada lansia berdasarkan jenis kelamin didapatkan lansia pria dengan
glukosa darah normal sebanyak 6 orang (84,21%) sedangkan lansia
wanita sebanyak 7 orang atau (87,50%). Terlihat dari presentase glukosa
darah normal antara lansia pria dan wanita tidak terlalu banyak
perbedaan. ( Reswan H, dkk 2017)
Berbeda dengan hasil penelitian yang didapatkan dari puskesmas
Kapasa adalah beberapa penelitian sejajar dengan pendapat yang
menyebutkan bahwa perempuan lebih berpeluang untuk terjadi DM
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan Fakhruddin tahun 2016 jenis kelamin
mempengaruhi kadar glukosa darah karena perubahan persentase
komposisi lemak tubuh pada lansia wanita lebih tinggi daripada lansia
pria yang dapat menurunkan sensitifitas insulin. Perubahan komposisi
lemak pada wanita yang telah menopouse terjadi karena penurunan
kadar hormon estrogen dan progesteron. Apabila hormon estrogen dan
progesteron menurun penggunaan lemak pada lansia wanita menjadi
berkurang (H Fakhruddin, 2016).
2. Gula Darah Puasa
Distribusi kasus Diabetes Melitus di Puskesmas Kapasa
berdasarkan pemeriksaan Gula Darah Puasa menunjukan lebih banyak
yang memiliki hasil GDP >126 mg/dl yaitu sebanyak 5 orang atau sekitar
90% sedangkan yang memiliki hasil GDP <126 mm/dl adalah 1 orang
atau 10% dari total 6 pasien yang didiagnosis DM. Hal ini sesuai dengan
diagnosis DM dengan melihat beberapa keluhan klasik seperti Poliuria,
Polidipsi, Polifagi, dan penurunan berat badan dengan penyebab yang
tidak diketahui dan ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah seperti Pemeriksaan Glukosa Darah Puasa ≥126 mg/dl, dimana
pasien dipuasakan dengan tidak adanya asupan kalori minimal 8 jam,
Pemeriksaan Glukosa Darah Ssewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan
klasik. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram
(PERKENI 2015). Pengukuran kadar glukosa darah puasa (GDP)
sebagai salah satu hasil dari tes glukosa darah puasa yang digunakan
untuk menguji efektivitas obat atau pengaruh makanan yang memberikan
hasil berbeda pada orang yang sudah didiagnosa sebagai penderita
diabetes . Konsensus Perkeni menyatakan GDP pada pasien yang
sudah menderita DM dikatakan terkendali jika nilai GDP sebesar 80-126
mg/dL.
Menurut penelitian Rara (2019) risiko responden yang mempunyai
kadar GDP yang tinggi dibandingkan dengan GDP yang rendah untuk
mengalami DM tipe 2 adalah sebesar 1,167 kali. Penelitian Amir et.al
(2015) yang dilakukan di Puskesmas Bahu Kota Manado juga
mendapatkan hasil bahwa rata-rata pasien DM memiliki kadar GDP yang
tinggi. Kadar GDP juga mempunyai hubungan signifikan dengan HbA1c
yang menandakan profil glukosa yang terikat dengan hemoglobin. Kadar
GDP biasa digunakan sebagai acuan untuk melakukan diagnosis DM.
Kadar glukosa dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
hormon, umur, stres, dan pola makan, sehingga profil glukosa darah
dapat bervariasi setiap hari. Ketika berusia di atas 30 tahun, maka
kenaikan setiap 10 tahunnya akan mengalami peningkatan kadar
glukosa darah sebanyak 1-2 mg/dL Maka penting bagi penderita DM
untuk memperharikan kadar glukosa darah agar terhindar dari
komplikasi.
3. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Salah satu faktor risiko penyakit diabetes mellitus adalah berat
badan lebih, obesitas abdominal/ sentral. Status gizi menurut IMT yang
didapatkan melalui pembagian berat badan dalam kilogram dengan tinggi
badan dalam meter yang kemudian dikelompokkan menjadi status gizi
underweight jika IMT <18,5 kg/m2, status gizi normal jika IMT dalam
rentang 18,5- 22,9 kg/m2, status gizi overweight jika IMT ≥ 23 kg/m2,
status gizi obesitas 1 jika IMT dalam rentang 25-29,9 kg/m2, dan status
gizi obesitas 2 jika IMT ≥ 30 kg/m2. Status gizi lebih dapat
mengakibatkan resistensi insulin. Hal ini menyebabkan kadar gula darah
meningkat dan memperburuk kondisi jaringan serta berdampak pada
komplikasi termasuk obesitas sentral karena lipolysis terhadap efek
insulin. Perbedaan hasil penelitian dapat disebabkan karena factor-faktor
lain yang menyebabkan perbedaan status gizi serta kadar gula dalam
darah. Berdasarkan grafik indeks massa tubuh pasien, ada pasien yang
memiliki berat badan kurang (underweight), normal serta obesitas 1
maupun 2. Status gizi yang kelebihan berat badan dan obesitas memang
menjadi salah satu factor risiko penyakit diabetes mellitus terutama DM
tipe 1, namun dari penelitian menyimpulkan status IMT tidak
berhubungan dengan GDP pasien penyakit DM tipe 2. (Suryanti et al.,
2019)
Rencana Aksi Pengendalian Diabetes Melitus
DM dapat dicegah dengan bukan hanya berfokus pada pengobatan
saja, tetapi juga pada pencegahan melalui upaya preventif dan promotive
kesehatan. Preventif diabetes melitus lebih fokus pada modifikasi faktor
risiko, misalnya resistensi terhadap insulin dan obesitas dengan
melakukan perubahan gaya hidup yang lebih sehat dan skrining agar
dapat mencegah atau mengurangi kejadian diabetes pada populasi yang
berisiko (at risk population) (Ratnawati et al, 2018).
Kemenkes bersama organisasi profesi dan lembaga sosial
kemasyarakatan mencanangkan program nasional yang dituangkan
dalam rencana aksi kegiatan pengendalian DM pada tahun 2012. Salah
satu program Kemenkes dalam upaya promosi dan prevensi Penyakit
Tidak Menular (PTM) dalam hal ini diabetes melitus adalah
mengembangkan program pos pembinaan terpadu (posbindu) PTM.
Program tersebut adalah kegiatan masyarakat dalam mengenali dan
memelihara masalah kesehatan sendiri khususnya faktor risiko seperti
berat badan berlebih, kurang aktivitas fisik, pola makan yang tidak sehat
dan merokok. Pengendalian diabetes melitus dan penyakit metabolik
lainnya dapat digambarkan pada diagram berikut:
Gambar 1. Diagram pengendalian DM dan penyakit metabolik
Program pengendalian diabetes melitus dilaksanakan secara terintegrasi
dalam program pengendalian penyakit tidak menular terintegrasi yaitu:
1. Pendekatan faktor risiko penyakit tidak menular terintegrasi di
fasilitas layanan primer (Pandu PTM)
 Untuk peningkatan tatalaksana factor risiko utama (konseling
berhenti merokok, hipertensi, dislipidemia, obesitas, dan
lainnya) di fasilitas pelayanan dasar seperti puskesmas,
dokter keluarga, dan praktik swasta
 Tata laksana terintegrasi hipertensi dan diabetes melitus
melalui pendekatan factor risiko
 Prediksi risiko penyakit jantung dan stroke dengan charta
WHO

Gambar 2. Diagram prediksi risiko WHO/ISH (International Society of Hypertension)

2. Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular)


Pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan kewaspadaan dini
dalam memonitoring factor risiko menjadi salah satu tujuan dalam
program ini khususnya diabetes melitus. Posbindu PTM merupakan
program pengendalian factor risiko penyakit tidak menular berbasis
masyarakat yang bertujuan meningkatkan kewaspadaan
masyarakat terhadap factor risiko baik terhadap dirinya, keluarga,
masyarakat lingkungan sekitarnya.
3. CERDIK dan PATUH di Posbindu PTM dan Balai Gaya Hidup
Sehat Program PATUH berupa Periksa Kesehatan secara rutin dan
ikuti anjuran dokter, Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat
dan teratur, Tetap diet sehat dengan gizi seimbang, Upayakan
beraktivitas fisik dengan aman dan Hindari rokok, alcohol dan zat
karsinogenik lainnya. Sedangkan program CERDIK berupa Cek
kondisi Kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin
aktifitas fisik, Diet sehat dengan kalori seimbang, Istirahat yang
cukup dan Kendalikan stress. (InfoDATIN, 2014).
4. Diabetes Self- Management Education (DSME) yang dapat
diberikan kepada diabetisi khususnya untuk meningkatkan
kesadaran diri dan akan menciptakan manajemen diri yang baik
untuk perawatan dirinya dalam kontrol gula darah. Bentuk kegiatan
intervensi Diabetes Self-Management Education (DSME), berupa
(1) Minggu pertama; pengantar diabetes mellitus, jenis DM, faktor
risiko, pencegahan, dan komplikasi diabetes melitus tipe 2
termasuk neuropati, nefropati, retinopati, kebutaan, penglihatan
kabur, borok kaki dan amputasi, dan masalah kardiovaskular; (2)
Minggu kedua; Jenis aktivitas fisik diperlukan untuk mencegah
komplikasi penyakit (berjalan, jogging, senam kaki); (3) Minggu
ketiga; tujuan gizi manajemen diabetes, makanan sehat dan tidak
sehat untuk diabetes melitus tipe 2 dengan fokus pada pencegahan
komplikasi melalui modifikasi gaya hidup. Selain itu, pengalaman
pasien, perilaku diet, dan aktivitas fisik dibahas secara rinci pada
setiap sesi pendidikan dan dilatih tentang tes glukosa harian juga.
Beberapa peneliti sebelumnya telah menunjukkan bahwa
pendidikan manajemen diri adalah teknik yang efektif untuk kontrol
glikemik. Intervensi ini juga telah dibuktikan berdasarkan hasil
penelitian yang menemukan bahwa status psikologis dan glukosa
darah pasien dengan diabetes yang menerima pendidikan
manajemen diri meningkat secara signifikan. (Andriyanto, 2020)

Hubungan Diabetes Melitus terhadap Covid-19, Tantangan, dan


Strategi Penanganan
Di seluruh dunia, orang dewasa yang lebih tua (berusia 70 tahun)
dengan penyakit penyerta seperti diabetes berada pada risiko tertinggi
untuk mengalami efek samping dan kematian yang disebabkan oleh
penyakit coronavirus 2019 (COVID-19). Hal ini sangat memengaruhi
kemampuan mereka untuk mengakses dan menerima perawatan
kesehatan, mendapatkan obat persediaan diabetes, dan
mempertahankan gaya hidup sehat dan hubungan sosial. Bukti yang
muncul menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko penting
untuk perkembangan dan kematian pada orang dewasa yang dirawat di
rumah sakit dengan COVID-19. Peran kelebihan berat badan dan
obesitas pada COVID-19 mungkin terkait dengan ventilasi; obesitas
merupakan faktor risiko yang diketahui untuk ventilasi abnormal dan
dapat berkontribusi pada penurunan kapasitas paru sisa fungsional dan
elastansi dinding dada . (Selvin E, 2020).
Dalam kondisi seperti ini, kami percaya bahwa pencegahan adalah
cara terbaik untuk melindungi populasi lansia yang paling rentan. Tidur
yang tepat, mendapatkan makanan yang tepat dan olahraga dapat
membantu untuk menjaga kekebalan di usia tua dan mencegah
kelemahan (yaitu, sindrom geriatrik dengan kerentanan tambahan
terhadap stres. Salah satu cara paling mudah untuk mencegah infeksi
COVID-19 adalah menjauhkan diri secara fisik dari orang lain, tetapi
dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan risiko depresi. Menjadi
optimis atau tangguh secara mental dapat menghindari masalah mental
seperti itu selama krisis. Cara lain untuk menjaga status mental yang
sehat adalah dengan menjaga interaksi sosial yang konstan melalui alat
komunikasi seperti internet dan alat media lainnya. Mendapatkan cukup
sinar matahari di pagi hari dapat memberikan Vitamin D yang dapat
mengurangi risiko infeksi pada orang dewasa yang lebih tua dengan
tingkat Vitamin D yang kurang optimal. Banyak orang lanjut usia
diketahui memiliki beberapa penyakit penyerta dan harus berhati-hati
dalam minum obat rutin mereka bahkan dalam isolasi. Mereka harus
meminta bantuan anggota keluarga / pengasuh untuk mendapatkan
kebutuhan sehari-hari termasuk perbekalan kesehatan. Belanja online
dapat digunakan jika tersedia. Dalam kasus gejala pernapasan seperti
sesak napas, nyeri dada, demam atau batuk terus menerus, kelelahan
dan kesadaran menurun, layanan gawat darurat harus dipanggil atau
seseorang harus mengunjungi ruang gawat darurat rumah sakit. Dan
yang terakhir adalah mensterilkan tangan seseorang bila memungkinkan
menggunakan pembersih atau sabun untuk menghentikan penyebaran
virus. (Chhetri JK, 2020).
Tidak seperti situasi lain di masa kini, terdapat beberapa tantangan
bagi para lansia dengan diabetes untuk terhindar dari COVID-19 (Tabel
2). (Sarah L, 2020)

Tabel 2. Strategi lansia dengan DM di era pandemi COVID-19


Masalah Strategi untuk mengatasi masalah

Aksesibilitas ke  Beralih ke telemedicine


perawatan
 Gunakan aplikasi atau platform untuk mendapatkan data dari
kesehatan
glucometer, monitor glukosa darah dan insulin
 Jadwalkan janji melalui telfon untuk pasien yang tidak dapat
menggunakan teknologi dan meminta pasien membaca nilai glukosa
melalui telepon jika tidak dapat mengunggah data
Multikompleksita  Identifikasi pasien berisiko tinggi dan prioritaskan tujuan pasien
s dan sindrom
 Sederhanakan rencana pengobatan dengan edukasi dan instruksi
geriatrik
berulang
 Selama periode penyakit akut, anjurkan pasien untuk tetap terhidrasi
saat mengalami hiperglikemia untuk menghindari dehidrasi
 Kurangi polifarmasi dan konsolidasikan dosis pengobatan
 Hindari hipoglikemia
Beban perawatan  Menunda pemeriksaan darah untuk HbA1C selama beberapa bulan ke
diri diabetes depan
 Kurangi frekuensi pemeriksaan glukosa jika glukosa berada dalam
kisaran yang dapat diterima untuk pasien diabetes tipe 2
 Mendorong nutrisi yang baik dengan makanan teratur daripada
mengoptimalkan diet diabetes; menyesuaikan obat dengan perubahan
pola makan
 Menganjurkan aktifitas fisik yang lebih aman seperti berjalan di dalam
rumah atau berjalan di tempat selama 10 menit 3 kali per hari dan
menganjurkan untuk mengikuti program latihan online.
Stress psikologis  Memastikan pasien untuk tetap terhubung menggunakan teknologi
(handphone, obrolan video, pesan teks), bertukar surat dengan
keluarga, teman, dan atau komunitas keagamaan
 Skrining depresi (geriatric depression scale) dan rujuk ke rekan
kesehatan mental jika memang memenuhi kriteria
 Berkomunikasi melalui telepon atau email dengan pengasuh yang
mengalami kesusahan dan tawarkan sumber daya local untuk
memberi dukungan.
Masalah obat dan  Memberi resep untuk supply selama 90 hari dan dikirim melalui surat
peralatan atau ke rumah (tanpa kontak)
 Pastikan pasien memiliki peralatan tambahan jika terjadi kekurangan
alat (misalnya insulin dan jarum suntik)

Manajemen DM di era pandemic COVID-19


1. Krontrol dan pemantauan glikemik: Semua pasien diabetes
harus mempertahankan kontrol dan pemantauan glikemik selama
pandemi.  Oleh karena itu, pasien diabetes disarankan untuk
membeli bahan pemantauan glikemik dan obat-obatan lebih awal
melalui online. Selama pandemi, puasa dan glukosa darah
postprandial pada pasien diabetes yang mengonsumsi agen
antidiabetik oral dengan hasil yang dapat ditoleransi (yaitu catatan
glukosa darah stabil atau glukosa darah puasa kurang dari 125
mg / dl atau HbA1c kurang dari atau sama dengan 6,5%) dapat
dilakukan sekali atau dua kali seminggu. Sedangkan untuk
penderita diabetes yang memberikan insulin dengan outcome
buruk atau hipoglikemia intermiten, pemeriksaan glukosa darah
minimal empat kali sehari yaitu puasa, sebelum makan siang,
sebelum makan malam dan sebelum tidur. Setiap tanda atau gejala
hipoglikemia yang terjadi merupakan alasan untuk segera
melakukan pemeriksaan glukosa darah kapiler. Semua
pemeriksaan glukosa darah harus dicatat minimal tiga hari berturut-
turut dan dikomunikasikan kepada penyedia layanan kesehatan
melalui konsultasi jarak jauh.

2. Asupan makan: Penguncian selama pandemi COVID-19 dapat


memengaruhi kebiasaan makan pasien. Diet sehat dan seimbang
harus ditekankan dan didorong oleh ahli gizi untuk pasien diabetes
selama konsultasi. Asupan kalori yang direkomendasikan untuk
pasien diabetes obesitas dan non-obesitas adalah 20 kkal / kg dan
22-25 kkal / kg berat badan ideal dengan gaya hidup yang tidak
banyak bergerak. Saran diet harus mencakup asupan karbohidrat
rendah, asupan lemak rendah, dan asupan protein optimal tanpa
melewatkan makan. Diet sehari-hari harus dibagi menjadi tiga kali
makan dan camilan.
3. Aktivitas fisik: Aktivitas fisik yang disesuaikan selama karantina
harus dilakukan sekitar 60 menit / hari. Intensitas dan jenis aktivitas
dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien. Aktivitas
fisik yang direkomendasikan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu
senam aerobic (berkebun, jalan cepat), senam fleksibilitas (naik
turun tangga, kegiatan rutin rumah tanga), dan senam kekuatan
otot (push-up, sit-up, angkat beban ringan)
4. Pengobatan: Saat ini, Asosiasi Kardiologi dan Hipertensi Eropa
dan Amerika merekomendasikan penghambat ACE dan ARB untuk
mengobati COVID-19 meskipun tidak ada bukti yang mendukung.
Penyesuaian sulfonylurea dan dosis insulin mungkin diperlukan
untuk mencegah hipoglikemia. Semua pasien diabetes harus
diberikan informasi tentang efek samping dari agen anti-diabetes
dan mendorong mereka untuk melaporkan efek samping. Di antara
pasien COVID-19 dengan diabetes, hydroxychloroquine bekerja
sebagai agen hipoglikemia dengan menurunkan HbA1c dan
hiperglikemia. Penderita COVID-19 diabetes tipe 1 yang mendapat
terapi Chloroquine berpotensi mengalami hipoglikemia sebagai
efek sampingnya. Agen klorokuin memiliki efek hipoglikemia dan
imunomodulator, oleh karena itu semua pasien harus diawasi
secara ketat. Semua pasien diabetes yang menerima
hydroxychloroquine harus mendapatkan pendidikan tentang
kontraindikasi seperti neuropati diabetes dan riwayat kejang.

5. Edukasi diabetes: Dianjurkan untuk melakukan konsultasi online


atau tele untuk tetap berhubungan dengan penyedia layanan
Kesehatan. Radiologi, temuan laboratorium dan resep harus
diintegrasikan dalam rekam medis. Riwayat keluhan, alergi, dan
hipoglikemia sebelumnya menjadi perhatian utama. Identifikasi
defisit neurologis yang terlihat dapat diterapkan dengan meminta
pasien untuk melakukan tes neurologis sederhana. Video atau foto
dapat membantu saat mencurigai adanya lesi pada kaki, abses
atau luka yang terlihat. Semua pasien harus mengenali tanda /
gejala hipoglikemia dan mengetahui cara mengobatinya. Penyedia
layanan kesehatan harus selalu mengingatkan pasien untuk
mencuci tangan, teknik batuk, dan jarak sosial sebagai tindakan
pencegahan umum selama konsultasi jarak jauh. Ketika
telemedicine atau tele-konsultasi tidak cocok, kunjungan klinik tatap
muka dapat diterima dengan mempertimbangkan waktu dan tempat
untuk mencegah penularan Covid 19.
6. Pencegahan COVID 19: Secara umum, pasien diabetes harus
mematuhi kebijakan jarak sosial dan pengurungan rumah sebagai
metode pencegahan utama. Mereka harus menghindari kontak
atau paparan dengan pasien COVID-19 yang dikonfirmasi sebisa
mungkin. Dianjurkan agar pasien dengan diabetes harus mengatur
rencana manajemen diabetes individu saat tinggal di rumah atau
sakit. Mereka dapat membuat daftar tugas untuk asupan makanan,
aktivitas fisik, dan manajemen stres selama kurungan. Semua
pasien diabetes sangat disarankan untuk tetap mempertahankan
kontrol glikemik mereka sebagai bagian dari pengurangan risiko
infeksi dan / atau mencegah konsekuensi infeksi yang parah untuk
pasien COVID-19 yang dikonfirmasi dengan diabetes. (Wicaksana AG,
2020)

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan karakteristik penderita
diabetes melitus pada komunitas lansia di Puskesmas Kapasa periode
Januari hingga Maret 2020 adalah sebagai berikut :
1. Jenis Kelamin Perempuan lebih banyak yang menderita Diabetes
Mellitus
2. GDP yang terkontrol pada pasien yang sudah menderita DM lebih
sedikit dibandingkan dengan yang tidak terkontrol
3. Sebagian besar indeks massa tubuh pasien DM masih masuk
dalam kategori normal, berat badan lebih yang berisiko, dan pasien
obesitas 1
4. Pencegahan adalah cara terbaik untuk melindungi populasi lansia
yang paling rentan terhadap COVID-19

DAFTAR PUSTAKA
Amir, S. M. J. (2015). Kadar Glukosa Darah Sewaktu Pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Bahu Kota Manado, Journal
e-Biomedik, 3(1) 32-40.
Andriyanto, A., Rekawati, E., & Rahmadiyah, D. C. (2020). Pemberdayaan
pada Penderita Diabetes Tipe 2 dan Kader Kesehatan dalam
Pelaksanaan Program Pos Binaan Terpadu Penyakit Tidak Menular
(Posbindu PTM). Engagement: Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, 4(1)201211.https://doi.org/10.29062/engagement.v4i1.8
Artha IMJR, Bhargah A, Dharmawan NK, Pande UW, Triyana KA,
Mahariski PA, et al. High level of individual lipid profile and lipid ratio
as a predictive marker of poor glycemic control in type-2 diabetes
mellitus. Vasc Health Risk Manag. 2019;15:149-157.
Badan Penelitian dan pengembangan kesehatan. 2018. Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS 2018). Jakarta; Kementerian Kesehatan RI
Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan. (2015) Profil Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan. Makassar: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan; 2015
Chhetri JK. (2020). Prevention of COVID-19 in older adults: a brief
guidance from IAGG. J Nutr Health Aging. 2020;24(5):471-472
Gayatri, Rara Warih (2019), Hubungan factor riwayat Diabetes Melitus dan
kadar Gula Darah Puasa dengan kejadian Diabetes Melitus Tipe 2
pada pasien usia 25-64 tahun di Puskesmas Kendal Kerep Kota
Malang
Gao HX, Regier EE, Close KL. Prevalence of and trends in diabetes
among adults in the United States, 1988-2012. J Diabetes.
2016;8(1):8-9.
IDF (2017) IDF Diabetes atlas Eight edition 2017, International Diabetes
Federation (IDF)
InfoDATIN. 2014. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Kurniawaty, E., & Yanita, B. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe II.
Prasetyani D. Analisis faktor yang mempengaruhi kejadian diabetes
melitus (DM) tipe 2. Jurnal Kesehatan Al Irsyad. 2011;2(24):1–9.
Ratnawati D., Siregar T., Wahyudi T.C. (2018). IbM Kelompok Lansia
Penderita Diabetes Melitus (DM) di Wilayah Kerja Puskesmas Limo
Kota Depok Jawa Barat.

Sarah L. (2020) .Caring for Older Adults With Diabetes During the COVID-
19 Pandemic. American Medical Association.
Selvin E. (2020). Diabetes Epidemiology in the COVID-19 Pandemic.
Diabetes Care Publish Ahead of Print. https://doi.org/10.2337/dc20-
1295
Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A,
et al. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PB PERKENI; 2015:1-93
Soewondo P. (2014). Harapan Baru Penyandang Diabetes Melitus pada
Era Jamina Kesehatan Nasional 2014.
Sujana T., Triandhini R., Sanggaria A., (2019). Peran Puskesmas Dalam
Identifikasi Dini Penyakit Diabetes Melitus pada Lansia. Jurnal
Kesehatan Bakti Tunas Husada.
Suryanti, S., Raras, A., Dini, C.,& Ciptaningsih, A. (2019). Hubungan
Indeks Massa Tubuh dengan Kadar Gula Darah Puasa pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe II di RSUD dr.Saiful Anwar Malang. Poltekia:
Jurnal Ilmu Kesehatan, 13, 86. https://doi.org/10.33860/jik.v13i2.21
Yuhelma, Hasneli, Y.'., & Nauli, F.A. (2015). Identifikasi dan Analisis
Komplikasi Makrovaskuler dan Mikrovaskuler pada Pasien Diabetes
Mellitus.
Wicaksana AL, Hertanti NR, Ferdiana R, Pramono RB (2020). Diabetes
management and specific considerations for patients withdiabetes
during coronavirus diseases pandemic. Elsevier: Diabetes&Metabolic
Syndrome: Clinical Research&Reviews.

Anda mungkin juga menyukai