Anda di halaman 1dari 29

Referat

Resusitasi Jantung Paru pada Era COVID-19

Oleh:
Mella Warizka 2040312027

Preseptor:
dr. Rinal Effendi, Sp.An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2020
KATA PENGANTAR 1

Rasa syukur penulis ucapkan pada Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Resusitasi Jantung
Paru pada Era COVID-19” referat ini penulis susun untuk memenuhi salah satu
syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Anestesiologi dan Terpai
Intensif RSUP Dr. M. Djamil Padang/Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Rinal Effendi, Sp.An selaku
pembimbing yang telah memberikan arahan dan petunjuk, dan semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan referat ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
referat ini masih memiliki banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat
penulis harapkan. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.

Padang, September 2020

Penulis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DAFTAR ISI 2

KATA PENGANTAR..................................................................................................1
DAFTAR ISI................................................................................................................ 2
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................3
1.1 Latar Belakang........................................................................................................3
1.2 Tujuan Penulisan.................................................................................................... 3
1.3 Metode Penulisan................................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penulisan.................................................................................................. 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................6
2.1 Anatomi Saluran Pernafasan.......................................................................... 6
2.2 Anatomi Paru..................................................................................................8
2.3 Anatomi Jantung...........................................................................................10
2.4 Definisi COVID-19...................................................................................... 11
2.5 Epidemiologi................................................................................................ 11
2.6 Cara Penularan..............................................................................................11
2.7 Faktor Risiko................................................................................................ 12
2.8 Diagnosis...................................................................................................... 12
2.9 Resusitasi Jantung Paru di Era COVID-19.................................................. 15
BAB 3 PENUTUP......................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................26

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


BAB I 3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut World Health Organization (WHO), penyakit terkait virus terus
muncul dan merupakan masalah serius dalam kesehatan masyarakat. Dalam dua
puluh tahun terakhir, beberapa epidemi virus seperti coronavirus severe acute
respiratory syndrome (SARS-CoV) pada 2002 hingga 2003, dan influenza H1N1
pada 2009. Baru-baru ini, coronavirus middle east respiratory syndrome (MERS-
CoV) pertama kali diidentifikasi di Arab Saudi pada 2012.1
Epidemi kasus dengan infeksi pernapasan yang tidak dapat dijelaskan
terdeteksi di Wuhan, daerah metropolitan terbesar di provinsi Hubei Cina, pertama
kali dilaporkan ke Kantor Negara WHO di Cina, pada 31 Desember 2019. Karena
mereka tidak dapat mengidentifikasi agen penyebabnya, kasus-kasus pertama ini
diklasifikasikan sebagai "pneumonia of unknown etiology." Awalnya, virus baru itu
disebut 2019-nCoV. Selanjutnya, para ahli dari International Committee on
Taxonomy of Viruses (ICTV) menyebutnya sebagai virus SARS-COV-2.2
Coronavirus disease (Covid-19) merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh
virus SARS-COV-2. Coronavirus disebut sebagai zoonotik karena dapat
ditransmisikan dari hewan ke manusia. Transmisi dari hewan ke manusia umumnya
terjadi akibat kontak langsung, droplet, serta melalui fecal-oral.3,4 Penularan dari
manusia ke manusia dapat terjadi melalui droplet saluran nafas dan melalui kontak
dengan benda yang terkontaminasi. SARS-COV-2 memiliki masa inkubasi rata-rata
5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang selama 14 hari.3 Tidak ada bukti bahwa
virus menyebar secara airborne serta tidak ada transmisi vertical dari ibu ke anak
pada kasus kehamilan.5
Tanda dan gejala utama pada Covid-19 adalah demam dengan suhu
tubuh >38 C, batuk, dan sesak nafas. Gejala lain seperti diare, fatigue, mialgia, dan
gejala gangguan pernafasan lain dapat timbul pada Covid-19. Pada kasus berat dapat
timbul acute respiratory distress syndrome (ARDS), syok septik, asidosis metabolik,
dan disfungsi koagulasi yang berujung kepada kematian.4,6 Pengobatan spesifik
untuk Covid-19 belum ditemukan sampai saat ini dan terapi antivirus tidak
memberikan hasil yang baik. Tatalaksana yang dilakukan berfokus pada pengobatan
simptomatik dan memberikan bantuan pernafasan. Covid-19 memiliki prognosis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


yang baik, kecuali pada lansia dan orang yang memiliki penyakit kronis. Selain itu4
neonatus juga perlu perhatian khusus dikarenakan sistem imun yang belum
sempurna.6
Wabah infeksi SARS-CoV2 yang terus meningkat dan menyebar luas tentu
berdampak pada upaya resusitasi dan memunculkan kebutuhan untuk memodifikasi
praktik resusitasi yang telah ada. Sekitar 12-19% pasien yang positif COVID-19
membutuhkan perawatan di rumah sakit, dan 3-6% berada pada kondisi kritis.
Komplikasi seperti hipoksemia akibat gagal nafas akut, jejas miokard, aritmia
ventrikular, dan syok banyak dijumpai pada pasien kritis dan menyebabkan pasien
tersebut lebih berisiko mengalami henti jantung. Dengan angka infeksi yang masih
bertambah secara eksponensial di berbagai belahan dunia, angka henti jantung pada
pasien COVID-19 juga kemungkinan besar akan bertambah.7
Tenaga kesehatan merupakan profesi dengan risiko tertinggi tertular penyakit
ini. Risiko ini semakin nyata seiring maraknya kelangkaan Alat Pelindung Diri
(APD) di seluruh dunia. Upaya resusitasi meningkatkan risiko penularan terhadap
tenaga kesehatan karena berbagai alasan. Pertama, RJP meliputi berbagai prosedur
yang menghasilkan aerosol, termasuk di dalamnya kompresi dada, ventilasi tekanan
positif, dan pemasangan alat bantu nafas lanjut (advanced airway). Selama prosedur
ini, partikel virus dapat tersuspensi di udara dengan waktu paruh kurang-lebih 1 jam
dan dihirup oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Kedua, upaya resusitasi
mengharuskan sejumlah penolong untuk bekerja dalam jarak dekat baik satu sama
lain maupun dengan pasien. Terakhir, henti jantung merupakan kegawatdaruratan
dimana kebutuhan pasien untuk mendapat resusitasi dalam waktu cepat dan hal ini
berpotensi menyebabkan kemerosotan praktik kewaspadaan standar untuk
mengontrol infeksi.7
1.2 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai Resusitasi Jantung Paru pada Era COVID-19.
1.3 Metode Penulisan
Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
dirujuk dari berbagai literatur seperti jurnal, buku teks dan case report terbaru.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


1.4 Manfaat Penulisan 5
Melalui makalah ini diharapkan bermanfaat untuk menambah ilmu dan
pengetahuan mengenai Resusitasi Jantung Paru pada Era COVID-19 sebagai bekal
untuk menjadi dokter.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


BAB II 6
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Saluran Pernafasan
Saluran pernafasan pada manusia terbagi menjadi dua yaitu saluran nafas atas
yang terdiri dari kavum nasi, nasofaring, orofaring dan laring, sedangkan saluran
nafas bawah terdiri dari trakea, bronkus utama dan percabangan bronkus.

Gambar 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan


1. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2
saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran
pencernaan (orofarings) pada bagian belakang. Pada bagian belakang faring
(posterior) terdapat laring (tekak) tempat terletaknya pita suara (pita vocalis).
Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar
sebagai suara. Makan sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan masuk ke
saluran pernapasan karena saluran pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka.
Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur agar peristiwa menelan, bernapas, dan
berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan
kesehatan.Fungsi utama faring adalah menyediakan saluran bagi udara yang keluar
masuk dan juga sebagi jalan makanan dan minuman yang ditelan, faring juga
menyediakan ruang dengung(resonansi) untuk suara percakapan.8
2. Faring
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2
saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran
pencernaan (orofarings) pada bagian belakang. Pada bagian belakang faring

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


(posterior) terdapat laring (tekak) tempat terletaknya pita suara (pita vocalis).7
Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar
sebagai suara. Makan sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan masuk ke
saluran pernapasan karena saluran pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka.
Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur agar peristiwa menelan, bernapas, dan
berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan.
Fungsi utama faring adalah menyediakan saluran bagi udara yang keluar masuk dan
juga sebagi jalan makanan dan minuman yang ditelan, faring juga menyediakan
ruang dengung (resonansi) untuk suara percakapan.8
3. Trakea
Trakea berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak sebagian di leher dan
sebagian di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh
cincin tulang rawan, dan pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi
menyaring benda-benda asing yang masuk ke saluran pernapasan. Batang tenggorok
(trakea) terletak di sebelah depan kerongkongan. Di dalam rongga dada, batang
tenggorok bercabang menjadi dua cabang tenggorok (bronkus). Di dalam paruparu,
cabang tenggorok bercabang-cabang lagi menjadi saluran yang sangat kecil disebut
bronkiolus. Ujung bronkiolus berupa gelembung kecil yang disebut gelembung paru-
paru (alveolus).8
4. Laring
Laring merupakan suatu saluran yang dikelilingi oleh tulang rawan. Laring
berada diantara orofaring dan trakea, didepan lariofaring. Salah satu tulang rawan
pada laring disebut epiglotis. Epiglotis terletak di ujung bagian pangkal laring.
Laring diselaputi oleh membrane mukosa yang terdiri dari epitel berlapis pipih yang
cukup tebal sehingga kuat untuk menahan getaran-getaran suara pada laring. Fungsi
utama laring adalah menghasilkan suara dan juga sebagai tempat keluar masuknya
udara. Pangkal tenggorok disusun oleh beberapa tulang rawan yang membentuk
jakun. Pangkal tenggorok dapat ditutup oleh katup pangkal tenggorok (epiglotis).
Pada waktu menelan makanan, katup tersebut menutup pangkal tenggorok dan pada
waktu bernapas katu membuka. Pada pangkal tenggorok terdapat selaput suara yang
akan bergetar bila ada udara dari paru-paru, misalnya pada waktu kita bicara.8
5. Bronkus
Trakea bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.
Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


bentuknya tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang8
rawannya melingkari lumen dengan sempurna. Bronkus bercabang- cabang lagi
menjadi bronkiolus. Batang tenggorokan bercabang menjadi dua bronkus, yaitu
bronkus sebelah kiri dan sebelah kanan. Kedua bronkus menuju paru-paru, bronkus
bercabang lagi menjadi bronkiolus. Bronkus sebelah kanan (bronkus primer)
bercabang menjadi tiga bronkus lobaris (bronkus sekunder), sedangkan bronkus
sebelah kiri bercabang menjadi dua bronkiolus. Cabang-cabang yang paling kecil
masuk ke dalam gelembung paru-paru atau alveolus. Dinding alveolus mengandung
kapiler darah, melalui kapiler-kapiler darah dalam alveolus inilah oksigen dan udara
berdifusi ke dalam darah.8
2.2 Anatomi Paru
Paru (kanan dan kiri) terletak di samping kanan dan kiri mediastinum . Di
antaranya, di dalam mediastinum, terletak jantung dan pembuluh darah besar. Paru
berbentuk kerucut dan diliputi oleh pleura visceralis. Paru tergantung bebas dan
dilekatkan pada mediastinum oleh radiksnya.9

Gambar 2.2. Penampang melintang toraks

Masing-masing paru mempunyai apex yang tumpul, yang menonjol ke atas


ke dalam leher sekitar 2,5 cm di atas clavicula; basis yang konkaf yang terletak di
atas diaphragma; facies costalis yang konveks yang disebabkan oleh dinding thorax
yang konkaf; facies mediastinalis yang konkaf yang merupakan cetakan pericardium
dan alat-alat mediastinum lainnya. Sekitar pertengahan facies mediastinalis terdapat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


hilus pulmonis, yaitu suatu cekungan di mana bronkus, pembuluh darah, dan saraf9
yang membentuk radix pulmonis masuk dan keluar dari paru.9
Segmenta bronchopulmonalia merupakan unit paru secara anatomi, fungsi,
dan pembedahan. Setiap bronkus lobaris (sekunder) yang berjalan ke lobus paru
mempercabangkan bronkus segmentalis (tersier). Setiap bronkus segmentalis
kemudian masuk ke segmenta bronchopulmonalia. Setelah masuk segmenta
bronchopulmonalia, setiap bronkus segrnentalis terbagi dua berulang-ulang. Pada
saat bronkus menjadi lebih kecil, kartilago yang berbentuk U yang ditemui sejak dari
trakea perlahan-lahan diganti dengan lempeng kartilago yang lebih kecil dan lebih
sedikit jumlahnya. Bronkus yang paling kecil membelah dua menjadi bronkiolus,
yang diameternya kurang dari 1 mm. Bronkiolus tidak mempunyai cartilago di
dalam dindingnya dan dilapisi oleh epitel silender bersilia. Lapisan submucosa
mempunyai serabut otot polos melingkar yang utuh.9
Bronkiolus kemudian membagi dua menjadi bronkiolus terminalis yang
mempunyai kantong- kantong lembut pada dindingnya. Pertukaran gas yang terjadi
antara darah dan udara terjadi pada dinding kantong-kantong tersebut, karena itu
dinamakan bronkiolus respiratorius. Diameter bronkiolus respiratorius sekitar 0,5
mm. Bronkiolus respiratorius berakhir dengan bercabang menjadi ductus alveolaris
yang menuju ke arah saluran berbentuk kantong dengan dinding yang tipis disebut
saccus alveolaris. Saccus alveolaris terdiri dari beberapa alveoli yang terbuka ke satu
ruangan. Masing-masing alveolus dikelilingi oleh jaringan yang mengandung kapiler
yang padat. Pertukaran gas terjadi antara udara yang terdapat di dalam lumen alveoli,
melalui dinding alveoli ke dalam darah yang ada di dalam kapiler di sekitarnya.9

2.3 Anatomi Jantung

Gambar 2.2 Anatomi Jantung

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Jantung terletak di rongga toraks di antara paru – paru. Lokasi ini10
dinamakan mediastinum. Jantung memiliki panjang kira-kira 12cm (5 in.), lebar 9
cm (3,5 in.), dan tebal 6 cm (2,5 in.), dengan massa rata – rata 250 g pada wanita
dewasa dan 300 g pada pria dewasa. Dua pertiga massa jantung berada di sebelah
kiri dari garis tengah tubuh. Pangkal jantung berada di bagian paling atas, di
belakang sternum, dan semua pembuluh darah besar masuk dan keluar dari daerah
ini. Apeks jantung yang dibentuk oleh ujung ventrikel kiri menunjuk ke arah anterior,
inferior, dan kiri,serta berada di atas diafragma.10,11
Jantung mempunyai empat ruangan. Dua ruangan penerima di bagian
superior adalah atrium, sedangkan dua ruangan pemompa di bagian inferior
adalahventrikel. Atrium kanan membentuk batas kanan dari jantung dan menerima
darah dari vena kava superior di bagian posterior atas, vena kavainferior, dan sinus
koroner di bagian lebih bawah. Atrium kanan inimemiliki ketebalan sekitar 2 – 3
mm (0,08 – 0,12 in.). Dinding posterior dan anteriornya sangat berbeda, dinding
posteriornya halus, sedangkan dinding anteriornya kasar karena adanya bubungan
otot yang disebut pectinate muscles. Antara atrium kanan dan kiri ada sekat tipis
yang dinamakan septum interatrial. Darah mengalir dari atrium kanan ke ventrikel
kanan melewati suatu katup yang dinamakan katup trikuspid atau katup
atrioventrikular (AV) kanan.11,12

2.4 Definisi COVID-19


Corona virus termasuk ke dalam family coronaviridae dan ordo nidovirales.
Bentuk permukaan yang tampak seperti mahkota membuatnya dinamakan corona
virus. Pada Desember 2019, kasus corona virus pertama kali dilaporkan di Wuhan,
Provinsi Hubei, RRT. Awalnya, penyakit ini dinamakan sementara sebagai 2019
novel coronavirus (2019-nCoV), kemudian WHO mengumumkan nama baru pada
11 Februari 2020 yaitu Coronavirus Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh
virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-COV-2).13

2.5 Epidemiologi
Di dunia, total kasus konfirmasi COVID-19 global per tanggal 29 September
2020 adalah 33.226.004 kasus dengan 999.239 kematian di 215 Negara Terjangkit.
Daftar negara terjangkit COVID-19 dapat bertambah setiap harinya. Di Indonesia,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


kasus COVID-19 per tanggal 29 September 2020 adalah 282.724 kasus dengan11
10.601 kematian (CFR 3,7%).14

2.6 Cara Penularan


Penularan COVID-19 masih belum dapat dijelaskan secara lengkap.
Investigasi epidemiologis di Wuhan pada awal wabah mengidentifikasi adanya
hubungan dengan pasar makanan laut yang menjual hewan hidup, di mana sebagian
besar pasien telah bekerja atau berkunjung dan hingga akhirnya ditutup untuk
dilakukan disinfeksi. Namun, ketika wabah semakin berkembang, penyebaran orang-
ke-orang menjadi mekanisme utama penularan.
Penyebaran orang ke orang dari severe acute repiratory syndrome
coronavirus 2 (SARS-COV-2) diperkirakan terjadi terutama melalui droplet,
menyerupai penyebaran influenza. Dengan penularan droplet, virus dilepaskan
dalam sekresi pernapasan ketika seseorang yang terinfeksi batuk, bersin, atau
berbicara sehingga dapat menginfeksi orang lain jika ia melakukan kontak langsung.
Infeksi juga dapat terjadi jika seseorang menyentuh permukaan yang terinfeksi dan
kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulutnya. Droplet biasanya tidak bergerak
lebih dari enam kaki (sekitar dua meter) dan tidak berlama-lama di udara. Meskipun
sebuah penelitian di mana SARS-COV-2 disebutkan masih tetap hidup di udara
selama setidaknya tiga jam, relevansi ini dengan epidemiologi COVID-19 dan
implikasi klinisnya tidak jelas.15 Mengingat ketidakpastian saat ini mengenai
mekanisme transmisi, tindakan pencegahan melalui udara direkomendasikan dalam
situasi tertentu.

2.7 Faktor Risiko


Gejala yang berat dapat terjadi pada orang yang sehat dari segala usia, tetapi
hal itu terutama terjadi pada orang dewasa dengan usia lanjut atau memiliki penyakit
komorbid. Komorbiditas yang telah dikaitkan dengan keparahan penyakit dan
kematian meliputi:16-19
● Penyakit kardiovaskular
● Diabetes mellitus
● Hipertensi
● Penyakit paru obstruktif kronis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


● Kanker 12
● Penyakit ginjal kronis
The United States Centers for Disease Control and Prevention (CDC) juga
hati sebagai faktor risiko potensial untuk penyakit parah, meskipun data spesifik
mengenai risiko yang terkait dengan kondisi ini terbatas.

2.8 Diagnosis
2.8.1 Gejala Klinis
Masa inkubasi COVID-19 diperkirakan dalam 14 hari setelah paparan,
dengan sebagian besar kasus terjadi sekitar empat hingga lima hari setelah
paparan.20-22 Gejala pneumonia merupakan manifestasi serius yang paling sering
ditemukan, awalnya ditandai demam, batuk, dispnea, dan infiltrat bilateral pada
pencitraan dada. 21,23,24
Tidak ada gambaran klinis spesifik yang dapat membedakan
COVID-19 dari infeksi pernapasan virus lainnya.Meskipun tidak disorot dalam studi
kohort awal dari Cina, gangguan bau dan rasa (misalnya, anosmia dan dysgeusia)
juga telah dilaporkan sebagai gejala umum pada pasien dengan COVID-19.25 Gejala
lain yang kurang umum adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, dan rinore. Selain
gejala pernapasan, gejala gastrointestinal (misalnya, mual dan diare) juga telah
dilaporkan; dan pada beberapa pasien, gejala tersebut mungkin menjadi keluhan
utama.26 Beberapa pasien dengan gejala awalnya ringan dapat berkembang selama
seminggu. Dalam satu studi dari 138 pasien dirawat di rumah sakit di Wuhan untuk
pneumonia karena SARS-COV-2, dispnea berkembang setelah rata-rata lima hari
sejak timbulnya gejala, dan masuk rumah sakit setelah rata-rata tujuh hari sejak
timbulnya gejala.26 Dalam penelitian lain, waktu rata-rata untuk terjadinya dispnea
adalah delapan hari. Dalam sebuah penelitian, 138 pasien dengan COVID-19 di
Wuhan, gejala klinis yang paling umum pada awal penyakit dapat berupa demam
(99%), kelelahan (70%), batuk kering (59%), anoreksia (40%), myalgia (35%),
dispnea (31%), dan produksi dahak (27%).23 Spektrum infeksi simtomatik berkisar
dari ringan hingga beart; sebagian besar infeksi tidak parah.21,22
Dalam sebuah laporan dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
Tiongkok yang mencakup sekitar 44.500 infeksi yang dikonfirmasi dengan perkiraan
tingkat keparahan penyakit.17
a. Ringan (tidak ada atau pneumonia ringan) dilaporkan sebanyak 81%.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


b. Penyakit parah (misalnya, dengan dispnea, hipoksia, atau keterlibatan paru>13
50% pada pencitraan dalam waktu 24 hingga 48 jam) dilaporkan dalam 14%.
c. Penyakit kritis (misalnya, dengan gagal napas, syok, atau disfungsi multiorgan)
dilaporkan dalam 5%.
d. Tingkat fatalitas kasus secara keseluruhan adalah 2,3 persen; tidak ada kematian
yang dilaporkan di antara kasus-kasus nonkritis.

2.8.2 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Hasil laboratorium tertentu juga telah dikaitkan dengan prognosis penyakit Covid-19
yang lebih buruk. Berikut hasil laboratoriumnya:27,28
Limfopenia
Peningkatan enzim hati
Peningkatan laktat dehidrogenase (LDH)
Penanda inflamasi meningkat (mis., Protein C-reaktif [CRP], ferritin)
D-dimer meningkat (> 1 mcg / mL)
Peningkatan waktu protrombin (PT)
Peningkatan troponin
Peningkatan creatine phosphokinase (CPK)
Tanda gagal ginjal akut Sebagai contoh, dalam satu penelitian, penurunan
progresif jumlah limfosit dan kenaikan D-dimer banyak ditemukan pada pasien yang
akhirnya tidak lama bertahan hidup.27
CT Scan thoraks pada pasien dengan COVID-19 paling sering menunjukkan
ground glass opacification dengan atau tanpa konsolidasi, yang merupakan
gambaran yang biasa ditemukan pada pneumonia karena virus.27,28 Beberapa kasus
menunjukkan bahwa kelainan CT Scan thoraks lebih banyak terjadi bilateral,
distribusi perifer, dan melibatkan lobus bawah paru. Temuan yang kurang umum
termasuk penebalan pleura, efusi pleura, dan limfadenopati.
Di Amerika Serikat, CDC merekomendasikan pengumpulan spesimen swab
nasofaring untuk menguji SARS-COV-2.29 Swab orofaring dapat dikumpulkan tetapi
tidak penting; jika dikumpulkan, itu harus ditempatkan dalam wadah yang sama
dengan spesimen nasofaring. Swab orofaring, atau nasal adalah alternatif yang dapat
diterima jika swab nasofaring tidak tersedia.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Dahak yang dikeluarkan harus dikumpulkan dari pasien dengan batuk14
produktif; induksi dahak tidak dianjurkan. Aspirasi saluran pernapasan bagian bawah
atau lavase bronkoalveolar harus dikumpulkan dari pasien yang diintubasi.
RNA SARS-COV-2 dideteksi oleh RT PCR. Hasil tes positif untuk SARS-
COV-2 umumnya mengkonfirmasi diagnosis COVID-19, meskipun hasil tes positif
palsu bisa terjadi. Spesimen dari saluran pernapasan yang lebih rendah mungkin
memiliki viral load yang lebih tinggi dan lebih mungkin untuk menghasilkan tes
positif daripada spesimen yang diambil darisaluran pernapasan atas. Dalam sebuah
penelitian terhadap 205 pasien dengan COVID-19 yang diambil sampelnya di
berbagai tempat, tingkat tertinggi tes viral load positif dilaporkan dari lavase
bronchoalveolar (95%, 14 dari 15 spesimen) dan dahak (72 %, 72 dari 104
spesimen) , dibandingkan dengan swab orofaring (32%, 126 dari 398 spesimen).29
Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa kadar RNA virus lebih tinggi dan lebih
sering terdeteksi di hidung dibandingkan dengan spesimen oral, meskipun hanya
delapan swab hidung yang diuji.

2.8.3 Alur Diagnosis


Covid-19 harus dipertimbangkan pada pasien demam onset baru dan/atau gejala
saluran pernafasan seperti batuk dan dyspnea. Kecurigaan harus dilakukan juga pada
pasien dengan penyakit saluran pernafasan bawah yang berat tanpa sebab yang jelas.
Berikut hal yang dapat menimbulkan kecurigaan Covid-19:
Berada di atau telah melakukan perjalanan dalam 14 hari sebelumnya ke lokasi di
mana ada transmisi komunitas dari coronavirus 2 sindrom pernapasan akut
(SARS-CoV-2; yaitu, sejumlah besar kasus yang tidak dapat dikaitkan dengan
rantai transmisi tertentu); atau
Telah memiliki kontak dekat dengan kasus COVID-19 yang dikonfirmasi atau
diduga dalam 14 hari sebelumnya, termasuk melalui pekerjaan di pengaturan
perawatan kesehatan. Kontak dekat termasuk berada dalam jarak kira-kira enam
kaki (sekitar dua meter) dari pasien untuk jangka waktu yang lama ketika tidak
mengenakan alat pelindung diri (APD) atau memiliki kontak langsung dengan
sekresi infeksius saat tidak memakai APD.
Pasien dengan dugaan COVID-19 yang tidak membutuhkan perawatan darurat
harus menelepon hotline COVID-19 di daerahnya sebelum datang ke fasilitas
perawatan kesehatan untuk evaluasi. Banyak pasien dapat dievaluasi mengenai

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


perlunya pengujian melalui telepon. Untuk pasien di fasilitas perawatan kesehatan,15
langkah-langkah pengendalian infeksi harus dilaksanakan segera setelah
kemungkinan COVID-19 dicurigai.22 Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (CDC) dan Masyarakat Penyakit Menular Amerika telah
menyarankan prioritas untuk pengujian; individu dengan prioritas tinggi termasuk
pasien yang dirawat di rumah sakit (terutama pasien yang sakit kritis dengan
penyakit pernapasan yang tidak dapat dijelaskan), petugas layanan kesehatan
simtomatik, dan individu dengan gejala yang memiliki faktor risiko penyakit parah.23

2.9 Resusitasi Jantung Paru (RJP) di Era COVID-19


2.9.1 Risiko RJP pada Pasien dengan COVID-19
Mekanisme utama dalam transmisi penyakit SARS-COV-2 adalah melalui
sekresi respirasi baik langsung melalui pasien atau dengan menyentuh permukaan
yang terkontaminasi. Sekresi respirasi berupa droplet (diameter >5-10 mikron) atau
partikel airborne (< 5 mikron). Droplet jatuh di atas permukaan pada jarak 1-2 meter
dari traktus respiratorius pasien sedangkan partikel airborne dapat bertahan di udara
pada waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, penolong membutuhkan alat pelindung
diri untuk proteksi diri dari penularan.7

Alat Pelindung Diri (APD)30


APD minimal terhadap droplet:
● Sarung tangan
● Apron lengan pendek
● Fluid resistant surgical mask
● Pelindung mata dan wajah (Fluid resistant surgical mask dengan faceshield atau
kacamata pengaman polikarbonat atau sejenisnya)
APD minimal terhadap airborne:
● Sarung tangan
● Gaun lengan panjang
● FIltering facepiece 3 (FFP3) atau masker/respirator N99 (FFP2 atau N95 jika
FFP3 tidak tersedia)
● Pelindung mata dan wajah (full faceshield/visor kacamata pengaman
polikarbonat atau sejenisnya)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


2.9.2 Prinsip Umum Resusitasi pada Pasien Terduga/ Positif COVID-19 16
a. Kurangi paparan terhadap penolong
● Gunakan APD lengkap sebelum memasuki ruangan/ tempat kejadian
● Batasi jumlah personel
● Pertimbangkan penggunaan alat RJP mekanik pada pasien dewasa dan dewasa
muda yang memenuhi kriteria tinggi dan berat badan.
● Komunikasikan status COVID-19 ke setiap penolong baru

b. Prioritaskan strategi oksigenasi dan ventilasi dengan risiko aerosolisasi rendah


● Gunakan penyaring HEPA (high-efficiency particulate air), bila ada, untuk
seluruh ventilasi
● Intubasi di awal menggunakan pipa endotrakeal dengan cuff, bila
memungkinkan
● Tugaskan intubator yang dengan kemungkinan terbesar untuk berhasil intubasi
dalam percobaan pertama
● Hentikan kompresi dada untuk intubasi
● Pertimbangkan penggunaan video laringoskopi bila ada
● Sebelum intubasi, gunakan bag-mask device (atau T-piece pada neonatus)
dengan penyaring HEPA dan penyekat kedap udara
● Untuk dewasa, pertimbangkan oksigenasi pasif dengan nonrebreathing face
mask sebagai alternatif bag-mask device untuk durasi pendek
● Jika intubasi harus ditunda, pertimbangkan supraglottic airway
● Minimalisir diskoneksi sirkuit tertutup

c. Pertimbangkan kelayakan untuk resusitasi


● Tetapkan tujuan perawatan
● Sesuaikan panduan untuk membantu pengambilan keputusan, dengan
mempertimbangkan faktor
2.9.3 Pertimbangan untuk Situasi dan Kondisi Tertentu
Henti Jantung di Luar Rumah Sakit
Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada
pasien terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di luar rumah sakit. Bergantung
kepada prevalensi lokal penyakit dan bukti persebaran di komunitas, adalah masuk

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


akal untuk mencurigai adanya COVID-19 pada seluruh kasus henti jantung di luar17
rumah sakit.7
● Penolong awam
RJP oleh penolong yang ada di dekat pasien saat kejadian telah terbukti
meningkatkan sintasan pasien henti jantung di luar rumah sakit, dan angka
sintasan tersebut menurun dengan setiap menit ditundanya RJP dan defibrilasi.
Penolong di komunitas kemungkinan besar tidak memiliki akses terhadap APD
yang cukup, dan oleh karenanya, mereka memiliki risiko lebih tinggi terpapar
COVID-19 selama RJP dibanding petugas kesehatan dengan APD mumpuni.
Penolong dengan usia tua dan memiliki komorbid seperti penyakit jantung,
diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung kronik memiliki risiko tinggi jatuh ke
dalam kondisi kritis bila terinfeksi SARS-CoV2. Meskipun begitu, bila henti
jantung terjadi di rumah (seperti dilaporkan pada 70% kasus henti jantung di
luar rumah sakit sebelum peraturan untuk berada di rumah saja diterapkan),
penolong awam kemungkinan telah terpapar dengan COVID-19.
− Kompresi dada
a. Untuk dewasa: penolong awam direkomendasikan melakukan RJP
dengan tangan saja (hands-only CPR) ketika menemukan kasus henti
jantung, jika bersedia dan mampu, terutama jika mereka tinggal di rumah
yang sama dengan korban sehingga telah terpapar dengan korban
sebelumnya. Masker wajah atau penutup kain di area mulut dan hidung
yang digunakan oleh penolong dan/ atau korban dapat menurunkan risiko
penularan kepada orang sekitar yang tidak tinggal di rumah tersebut.
b. Untuk anak: penolong awam harus melakukan kompresi dada dan
mempertimbangkan ventilasi mulut ke mulut, jika bersedia dan mampu,
mengingat tingginya kejadian henti nafas pada anak, khususnya jika
penolong tinggal di rumah yang sama dengan korban sehingga telah
terpapar dengan korban sebelumnya. Masker wajah atau penutup kain di
area mulut dan hidung yang digunakan oleh penolong dan/ atau korban
dapat menurunkan risiko penularan kepada orang sekitar yang tidak tinggal
di rumah tersebut, jika penolong tidak bersedia atau tidak dapat melakukan
ventilasi mulut ke mulut.
− Defibrilasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Karena defibrilasi bukanlah prosedur yang menghasilkan aerosol,18
penolong awam dapat menggunakan automated external defibrillation
(AED) jika ada untuk menolong korban henti jantung di luar rumah sakit.

Gambar 2.4 Algoritma BHD pada kasus henti jantung untuk pasien terduga atau
terkonfirmasi COVID-19

 Penolong tenaga medis


− Telekomunikasi (dispatch)
Telekomunikator/ operator, sesuai dengan protokol lokal yang berlaku,
direkomendaikan melakukan skrining terhadap semua telepon yang masuk
terkait pasien dengan gejala COVID-19 (demam, batuk, sesak nafas) atau
telah diketahui positif COVID-19 atau memiliki kontak dekat dengan pasien
positif lainnya. Untuk penolong awam, telekomunikator harus memberikan
panduan mengenai risiko paparan terhadap COVID-19 bagi penolong dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


memberikan instruksi untuk RJP dengan kompresi dada saja seperti di19
atas. Untuk penolong medis terlatih/ EMS, telekomunikator harus
mengingatkan tim untuk mengenakan APD jika mencurigai adanya infeksi
COVID-19.
− Transportasi
a. Keluarga dan orang lain yang berkontak dengan pasien terduga atau
positif COVID-19 sebaiknya tidak naik dalam kendaraan yang sama. Jika
kembalinya sirkulasi spontan tidak tercapai setelah upaya resusitasi optimal
telah dilakukan di lapangan, pertimbangkan untuk tidak membawa pasien
ke RS mengingat kemungkinan selamat yang rendah, dan risiko
peningkatan paparan tambahan terhadap tenaga kesehatan lainnya.

Henti Jantung di Lingkungan Rumah Sakit


Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada pasien
terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di lingkungan rumah sakit.7
● Sebelum henti jantung
− Diskusikan pelayanan lanjutan dan tujuan perawatan dengan semua pasien
(atau wali) yang terduga/ positif COVID-19 begitu sampai di rumah sakit
dan apa yang ingin dilakukan begitu ada perubahan yang signifikan pada
klinis pasien
− Monitor ketat tanda dan gejala perburukan klinis untuk meminimalkan
kebutuhan intubasi emergensi yang meningkatkan risiko bagi pasien dan
tenaga medis
− Jika pasien berisiko henti jantung, pertimbangkan untuk secara proaktif
memindahkan pasien ke ruangan bertekanan negatif bila ada, untuk
meminimalkan risiko paparan terhadap penolong selama resusitasi.
● Tutup pintu jika memungkinkan untuk mencegah kontaminasi ruangan yang
berdekatan.
● Untuk pasien yang terintubasi pada saat henti jantung
− Pertimbangkan untuk memberikan pasien ventilator mekanik dengan
penyaring HEPA untuk mempertahankan sirkuit tertutup dan menurunkan
aerosolisasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


− Sesuaikan pengaturan ventilator untuk memungkinkan ventilasi asinkron20
(sesuaikan pengaturan waktu kompresi dada dengan ventilasi pada bayi baru
lahir).
− Jika sirkulasi spontan pasien kembali (ROSC), atur ventilator sesuai dengan
klinis pasien
● Untuk pasien dengan posisi pronasi saat henti jantung
− Pada pasien terduga/ positif COVID-19 yang berada dalam posisi pronasi
tanpa alat bantu nafas lanjut (advanced airway), upayakan untuk reposisi
pasien ke dalam posisi supinasi untuk melanjutkan resusitasi
− Meskipun efektivitas RJP dalam posisi pronasi tidak diketahui secara pasti,
untuk pasien yang berada dalam posisi pronasi dengan alat bantu nafas
lanjut (advanced airway), hindari reposisi ke supinasi kecuali tidak ada
risiko lepas alat bantu nafas dan aerosolisasi. Pertimbangkan untuk
menempatkan bantalan defibrilasi pada posisi anterior-posterior dan berikan
RJP dalam posisi pronasi dengan tangan di posisi standar di atas korpus
vertebra T7 atau T10
● Pada pasien post henti jantung
− Konsultasikan bagian pengendalian infeksi terkait transportasi pasca
resusitasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


21

Gambar 2.5 Algoritma BHJL pada kasus henti jantung untuk pasien terduga atau
terkonfirmasi COVID-19

Pertimbangan Khusus untuk Ibu Hamil dan Neonatus7


Resusitasi neonatus:
Penolong terlatih harus ada dan siap melakukan resusitasi pada seluruh bayi baru
lahir terlepas dari status COVID-19. Meskipun tidak diketahui secara pasti apakah
bayi baru lahir terinfeksi atau berpotensi menularkan ketika ibu terduga/ positif
COVID-19, tenaga kesehatan harus menggunakan APD yang adekuat. Ibu
melahirkan adalah sumber aerosolisasi potensial bagi tim perawatan neonatus.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


● Langkah awal: Pelayanan neonatus rutin dan langkah awal resusitasi neonatus22
kemungkinan besar tidak menghasilkan aerosol; diantaranya mengeringkan bayi,
stimulasi taktil, menempatkan bayi dalam balutan plastik, penilaian laju detak
jantung, serta pemasangan oksimetri dan lead EKG.
● Suction: suction pada jalan nafas setelah lahir sebaiknya tidak dilakukan secara
rutin jika cairan amnion jernih atau terkontaminasi meconium. Suctioning
merupakan prosedur yang menghasilkan aerosol dan tidak diindikasikan untuk
persalinan normal
● Medikasi endotrakeal: Pemberian obat-obatan secara endotrakeal, seperti
surfaktan atau epinefrin, merupakan prosedur yang menghasilkan aerosol,
terutama bila dilakukan dengan pipa endotrakea tanpa cuff. Pemberian epinefrin
secara intravena dengan kateter vena umbilikus letak rendah (low-lying
umbilical venous catheter) merupakan rute administrasi pilihan pada resusitasi
neonatus
● Inkubator tertutup: Pemindahan dan perawatan pasien dalam inkubator tertutup
(dengan pengaturan jarak yang sesuai) sebaiknya digunakan untuk pasien
neonatus yang menjalani rawat intensif jika memungkinkan, namun hal ini tidak
melindungi mereka dari aerosolisasi virus.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


23

Gambar 2.6 Algoritma BHJL pada kasus henti jantung untuk pasien anak terduga
atau terkonfirmasi COVID-19

Henti jantung pada ibu hamil:


Prinsip henti jantung pada ibu hamil tidak berbeda untuk perempuan terduga/ positif
COVID-19.
● Perubahan fisiologis jantung paru pada saat kehamilan berpotensi meningkatkan
risiko dekompensasi akut pada pasien hamil dengan COVID-19 yang jatuh kritis.
● Persiapan untuk persalinan perimortem, setelah 4 menit resusitasi, perlu
dipertimbangkan lebih awal pada algoritma resusitasi guna memberi waktu bagi
tim obstetri dan neonatus untuk menggunakan APD, bahkan jika sirkulasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


spontan (ROSC) berhasil kembali dan persalinan perimortem tidak lagi24
dibutuhkan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


BAB 3 25
PENUTUP
Penyebaran utama COVID-19 adalah melalui droplet dan permukaan benda
yang terkena virus (fomite). Droplet yang mengandung virus dapat menyebabkan
penularan langsung pada kontak jarak dekat atau menyebabkan kontaminasi pada
permukaan benda seperti pakaian, peralatan dan perabotan, dimana virus aktif dari
beberapa jam hingga beberapa hari. Beberapa tindakan perawatan pasien Covid-19
dapat menimbulkan aerosolisasi sehingga meningkatkan risiko infeksi bagi petugas
kesehatan.
Resusitasi jantung paru pada pasien COVID-19 harus mempertimbangkan
keselamatan petugas dan pasien. Penggunaan APD harus secara hati-hati dan tepat
untuk mencegah kontaminasi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana
memastikan pasien dengan atau tanpa COVID-19 yang mengalami henti jantung
mendapatkan kesempatan untuk selamat tanpa membahayakan keselamatan
penolong – yang tentunya akan dibutuhkan untuk merawat pasien-pasien berikutnya.
Ditambah dengan COVID-19 yang sangat menular, hal ini tentunya menimbulkan
tantangan tersendiri dalam hal respon emergensi dan mungkin mempengaruhi angka
morbiditas maupun mortalitas.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DAFTAR PUSTAKA 26

1. Perlman S, Netland J. Coronaviruses post-SARS: update on replication and


pathogenesis. Nat. Rev. Microbiol. 2009 Jun;7(6):439-50.
2. Cascella M, Rajnik M, Cuomo A, et al. Features, Evaluation and Treatment
Coronavirus (COVID-19) [Updated 2020 Mar 20]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
3. Isbaniah F, Dyani K, Pompini AS, Aditya S, Retno W, Vivi S, et al. Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (Covid-19) Revisi ke-4.
Jakarta: Kemenkes RI; 2020. p. 11-12.
4. Burhan E, Fathiyah I, Agus DS, Tjandra YA, Soedarsono, Teguh RS, et al.
Pneumonia Covid-19 Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
PDPI; 2020. p. 3-16.
5. Chhikara BS, Brijesh R, Jyoti S, Poonam. Corona Virus SARS-CoV-2
disease COVID- 19: Infection, Prevention, and Clinical Advance of the
Prospective Chemical Drug Therapeutics. Chemical Biology Letters. 2020;
7(1): 63-72.
6. Guo YR, Qing DC, Zhong SH, Yuan YT, Shou DC, Hong JJ, et al. The
Origin, Transmission, and Clinical Therapies on Coronavirus Disease 2019
(COVID-19) Outbreak – An Update on The Status. Millitary Medical
Research. 2020; 7(11): 1-10
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Bantuan
Hidup Dasar dan Bantuan Hidup Jantung Lanjut pada Dewasa, Anak dan
Neonatus Terduga/Positif COVID-19. Indonesian Heart Association.
8. Patwa, A. and Shah, A. Anatomy and physiology of respiratory system
relevant to anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia. 2015; 59(9), p.533
9. Collins J, Stern EJ. Chest Radiology The Essentials. Wisconsin: Lippincott
Williams & Wilkins; 2008.
10. Scanlon VC, Sanders T. Essentials of Anatomy and Physiology 5ed.
Philadelphia: F.A Davis Company. 2007
11. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 13th
Edition. United States of America: John Wiley and Sons, Inc. 2012.
12. Ellis, Harold. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Student and Junior
Doctors 11th Editio. Blackwell Publishing. 2006.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


13. World Health Organization. Naming the coronavirus disease (COVID-19)27
and the virus that causes it [Internet]. Geneva: World Health Organization;
2020 [cited 2020 March 29]. Available from :
https://www.who.int/emergencies/diseases/novelcoronavirus-2019/technical-
guidance/naming-the-coronavirusdisease-(covid-2019)-and-the-virus-that-
causes-it
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Terkini.
https://covid19.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/info-
coronavirus/situasi-terkini-perkembangan-coronavirus-covid-19-25-mei-
2020/#.Xol_QW5uLIV (Diakses pada tanggal 29 September 2020)
15. Van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, et al. Aerosol and Surface
Stability of SARS- CoV-2 as Compared with SARS-CoV-1. N Engl J Med.
2020
16. Zhou F, Yu T, Du R, et al. Clinical course and risk factors for mortality of
adult inpatients with COVID-19 in Wuhan, China: a retrospective cohort
study. Lancet 2020; 395:1054.
17. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and Important Lessons From the
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Outbreak in China: Summary of a
Report of 72 314 Cases From the Chinese Center for Disease Control and
Prevention. JAMA 2020.
18. Liang W, Guan W, Chen R, et al. Cancer patients in SARS-CoV-2 infection:
a nationwide analysis in China. Lancet Oncol 2020; 21:335.
19. CDC COVID-19 Response Team. Preliminary Estimates of the Prevalence of
Selected Underlying Health Conditions Among Patients with Coronavirus
Disease 2019 — United States, February 12–March 28, 2020. MMWR Morb
Mortal Wkly Rep 2020.
20. Li Q, Guan X, Wu P, et al. Early Transmission Dynamics in Wuhan, China,
of Novel Coronavirus-Infected Pneumonia. N Engl J Med 2020; 382:1199.
21. Guan WJ, Ni ZY, Hu Y, et al. Clinical Characteristics of Coronavirus
Disease 2019 in China. N Engl J Med 2020.
22. Chan JF, Yuan S, Kok KH, et al. A familial cluster of pneumonia associated
with the 2019 novel coronavirus indicating person-to-person transmission: a
study of a family cluster. Lancet 2020; 395:514

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


23. Chen N, Zhou M, Dong X, et al. Epidemiological and clinical28
characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus pneumonia in Wuhan,
China: a descriptive study. Lancet 2020; 395:507.
24. Wang D, Hu B, Hu C, et al. Clinical Characteristics of 138 Hospitalized
Patients With 2019 Novel Coronavirus-Infected Pneumonia in Wuhan, China.
JAMA 2020.
25. Giacomelli A, Pezzati L, Conti F, et al. Self-reported olfactory and taste
disorders in SARS- CoV-2 patients: a cross-sectional study. Clin Infect Dis
2020.
26. Jin X, Lian JS, Hu JH, et al. Epidemiological, clinical and virological
characteristics of 74 cases of coronavirus-infected disease 2019 (COVID-19)
with gastrointestinal symptoms. Gut 2020.
27. Shi H, Han X, Jiang N, et al. Radiological findings from 81 patients with
COVID-19 pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study. Lancet Infect
Dis 2020; 20:425.
28. Zhao W, Zhong Z, Xie X, et al. Relation Between Chest CT Findings and
Clinical Conditions of Coronavirus Disease (COVID-19) Pneumonia: A
Multicenter Study. AJR Am J Roentgenol 2020.
29. Centers for Disease Control and Prevention. Interim Guidelines for
Collecting, Handling, and Testing Clinical Specimens from Persons Under
Investigation (PUIs) for Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). February 14,
2020. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-nCoV/lab/guidelines-clinical-
specimens.html (Diakses pada tanggal 13 Juni 2020)
30. European Resuscitation Council. European Resuscitation Council COVID-19
Guidelines. April 24, 2020.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai