Anda di halaman 1dari 23

AKTIFITAS STABILITAS GULA DARAH DIABETES MELITUS (DM)

Oleh :
SANTY DEWI
NIP. 19800901 200701 2 007

PUSKESMAS BUBAKAN
DINAS KESEHATAN KABUPATEN PACITAN
TAHUN 2021

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus adalah kelainan metabolik yang ditandai dengan intoleren
glukosa. Penyakit ini dapat dikelola dengan menyesuaikan perencanaan makanan,
kegiatan jasmani dan pengobatan yang sesuai dengan konsensus pengelolaan
diabetes dunia yang dikenal dengan Pentalogi Terapi DM. Pentalogi terapi DM
terdiri dari terapi primer: penyuluhan, diet diabetic, dan latihan fisik, serta terapi
sekunder yang meliputi obat – obatan medis (Armstrong and Sigal, 2015).
Diabetes merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan, penyakit ini
hanya bisa dikelola agar tidak menimbulkan komplikasi yang justru menjadi
ancaman nyata bagi penderita diabetes melitus. Komplikasi dapat timbul karena
ketidakpatuhan pasien dalam menjalankan program terapi, termasuk ketidakpatuhan
dalam menjalankan aktivitas fisik sehari – hari (Kusnanto, 2013).
Program terapi diabetes melitus itu sendiri sebenarnya hanya berfokus untuk
menjaga stabilitas gula darah, jika gula darah penderita DM menunjukkan
kestabilan yang baik, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan akan terjadinya
komplikasi hampir tidak ada (Bhandari and Kim, 2016).
Jumlah pasien diabetes meningkat, dengan lebih 346 juta orang diperkirakan
menderita diabetes secara global, dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat
menjadi 592 juta pada tahun 2035 (Waki et al., 2016). Penelitian epidemiologi
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi
DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan
jumlah penderita diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang (Al-amer
et al., 2016). Sekitar 20% -25% penduduk berusia di atas 65 tahun di Amerika
Serikat dan Korea menderita diabetes (Song et al., 2015). WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 dan komposisinya lebih banyak pada usia
muda dan usia yang produktif. International Diabetes Federation (IDF) pada tahun

2
2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009
menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Laporan keduanya menunjukkan adanya
peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2–3 kali lipat pada tahun 2030.
Proporsi penderita diabetes di kalangan masyarakat umum di provinsi Jawa Timur
Indonesia lebih besar (2,5%) daripada rata-rata nasional (2,1%). (Kusnanto, 2013)
Orang dengan diabetes akan menghadapi komplikasi kronis dari penyakit ini
(Kav et al., 2017). Mempertimbangkan beberapa komplikasi kronis diabetes,
seperti gangguan visual, ginjal, kardiovaskular dan saraf. Pencegahan, pengendalian
dan perawatan penyakit yang tepat dan segera, akan dapat mengatasi masalah
pasien diabetes. Perawatan diabetes, biaya pengobatan dan komplikasi, perubahan
perilaku, meningkatkan kontrol metabolik merupakan tujuan utama dalam
pengobatan diabetes yang bergantung pada perilaku perawatan diri pasien. Program
terapi yang baik akan meningkatkan kualitas hidup dan secara berkelanjutan dapat
mencegah komplikasi akut dan kronis dari penyakit ini atau menunda komplikasi
(Vazini and Barati, 2014).
Namun banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang justru
menemukan ketidakpatuhan pasien DM terhadap program terapi itu sendiri.
Kurangnya perhatian terhadap perilaku perawatan mandiri maupun pola aktifitas
yang tidak dijaga dengan baik diabetes merupakan penyebab utama kegagalan
program terapi diabetes (Vazini and Barati, 2014).
Berdasarkan uraian fakta di atas, penulis tertarik untuk menyusun studi
pustaka dengan topik aktivitas fisik dan stabilisasi gula darah pada pasien diabetes
melitus. Studi pustaka ini disusun guna memenuhi tugas perkuliahan dan untuk
menambah wawasan mahasiswa termasuk penulis dalam menangani pasien dengan
kasus diabetes melitus.

3
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran pola aktifitas fisik dan stabilitas kadar gula darah pada pasien
diabetes melitus?
1.3 Tujuan Penulisan
A. Tujuan Umum
Menjelaskan gambaran pola aktifitas fisik dan stabilitas kadar gula darah pada
pasien diabetes melitus.
B. Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep dasar diabetes melitus.
2. Menjelaskan self care behavior pada pasien diabetes melitus.
3. Menjelaskan pola aktifitas fisik pasien diabetes melitus.
4. Menjelaskan stabilitas kadar gula darah pasien diabetes melitus.
1.4 Manfaat Penulisan
A. Pasien
Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai masukkan kepada pasien diabetes
melitus untuk menjaga pola aktifitas fisik dalam rangka stabilisasi kadar gula
darah dan meningkatkan self care behavior diabetes secara teratur.
B. Praktisi Kesehatan
Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai acuan oleh tenaga kesehatan
khususnya perawat dalam menangani pasien dengan kasus diabetes melitus.
C. Mahasiswa
Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan untuk menambah wawasan
guna mendukung proses perkuliahan khususnya pada bidang ilmu penyakit
dalam.
1.5 Metode Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan metode studi pustaka
(liberary research), yakni pengutipan dan pengumpulan materi – materi scientific
articles dari e-journal database yang didapatkan dari scopus, EBSCO, dan science
direct, dengan menggunakan kata kunci “Diabetes Melitus”, ”therapy”,
“activity”, dan “glucose”

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Diabetes Melitus


A. Definisi
DM merupakan suatu penyakit kronis yang ditandai oleh ketidakmampuan
tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehingga
menyebabkan peningkatan kadar gula darah (Ishak et al., 2017).
Pendapat lain mendefinisikan diabetes melitus sebagai suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikema yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kelainan kerja insulin (tidak efektif), atau keduanya (Bhandari and
Kim, 2016).
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik metabolik yang komplek
melibatkan gangguan metabolik karbohidrat, protein dan lemak dan perkembangan
komplikasi secara microvaskuler, macrovaskuler serta neuropati . Diabetes Melitus
merupakan kelainan heterogen , ditandai dengan sirkulasi glukosa , lipid dan asam
amino berkadar tinggi, karena tidak memadainya insulin dalam memenuhi tuntutan
metabolisme tubuh (Kav et al., 2017)
Terdapat dua jenis DM, yaitu DM tipe 1 akibat penurunan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan DM tipe 2 akibat penurunan sensitivitas reseptor insulin
(tyrosine kinase) di permukaan sel, sehingga pada jenis DM tipe 2 jumlah insulin
yang disekresikan oleh sel beta pankreas bisa normal, bahkan meningkat. DM tipe 2
inilah yang jumlahnya paling banyak di Indonesia dengan usia rata-rata di atas 40
tahun (Armstrong and Sigal, 2015).
Insulin adalah hormon yang berperan dalam regulasi glukosa darah
melalui peningkatan up take glukosa darah ke dalam sel dan jaringan (melalui
GLUT 4) serta pembentukan cadangan glukosa (glikogen di hati dan otot,
trigliserida, dan protein). Pengeluaran insulin dipengaruhi beberapa faktor yaitu
kadar glukosa dan asam amino dalam darah, hormon pada saluran cerna (glucose-
dependentinsulinotropic peptide) dan aktivitas saraf parasimpatik pada saluran

5
cerna (Jannoo et al., 2017). Dalam keadaan normal, insulin akan ditangkap oleh
reseptor insulin yang ada pada permukaan sel, kemudian membuka pintu masuk ke
sel, hingga glukosa dapat masuk. Pada pasien DM tipe 2 proses ini tidak dapat
berjalan dengan baik, sehingga menghambat metabolisme glukosa, baik
penggunaan oleh sel maupun penyimpanan menjadi glikogen (Thiel et al., 2016).
B. Penyebab dan Faktor Resiko
Penyebab terjadinya diabetes melitus meliputi (Kusnanto, 2013):
1. Kadar kortikosteroid yang tinggi
2. Kehamilan diabetes gestasional), akan hilang setelah melahirkan.
3. Obat-obatan yang dapat merusak pankreas.
4. Racun yang mempengaruhi pembentukan atau efek dari insulin.
Faktor resiko terjadinya diabetes melitus (Giani et al., 2018) :
1. Keturunan
2. Usia lebih dari 40 tahun
3. Obesitas
4. Tekanan darah tinggi
5. Kadar trigliserida tinggi
6. Kadar kolesterol tinggi
C. Klasifikasi
Berikut adalah tabel 1. Tipe diabetes melitus menurut (Kusnanto, 2013):
Diabetes Mellitus tipe 1 Diabetes Mellitus tipe 2
Penderita menghasilkan sedikit insulin atau Pankreas tetap menghasilkan insulin,
sama sekali tidak menghasilkan insulin. kadang kadarnya lebih tinggi dari normal.
Tetapi tubuh membentuk kekebalan
terhadap efeknya, sehingga terjadi
kekurangan insulin relatif.
Umumnya terjadi sebelum usia 30 tahun, yaitu Bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa,
anak-anak dan remaja. tetapi biasanya terjadi setelah usia 30
tahun
Para ilmuwan percaya bahwa faktor Faktor resiko untuk diabetes tipe 2 adalah
lingkungan (berupa infeksi virus atau faktor obesitas dimana sekitar 80-90% penderita
gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa awal) mengalami obesitas.
menyebabkan sistem kekebalan
menghancurkan sel penghasil insulin di
pankreas. Untuk terjadinya hal ini diperlukan
kecenderungan genetik.
90% sel penghasil insulin (sel beta) mengalami Diabetes Mellitus tipe 2 juga cenderung
kerusakan permanen. Terjadi kekurangan diturunkan secara genetik dalam keluarga.

6
insulin yang berat dan penderita harus
mendapatkan suntikan insulin secara teratur.
D. Tanda dan Gejala
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah
yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa
akan dikeluarkan melalui air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan
membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang.
Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka
penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri). Akibatnya, maka
penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi).
Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, sehingga penderita mengalami
penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali
merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi) (Song et al.,
2015).
Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya
ketahanan tubuh selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang gula
darahnya kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi. Berikut adalah tabel gejala
menurut tipe DM (Kusnanto, 2013):
Tabel 2. Tanda dan gejala berdasarkan tipe DM
Diabetes Mellitus tipe 1 Diabetes Mellitus tipe 2
Timbul tiba-tiba. Tidak ada gejala selama beberapa tahun.
Jika insulin berkurang semakin parah maka
sering berkemih dan sering merasa haus.
Berkembang dengan cepat ke dalam Jarang terjadi ketoasidosis.
suatu keadaan yang disebut dengan
ketoasidosis diabetikum.

Pada penderita diabetes tipe 1, terjadi suatu keadaan yang disebut dengan
ketoasidosis diabetikum. Meskipun kadar gula di dalam darah tinggi tetapi sebagian
besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, sehingga sel-sel ini
mengambil energi dari sumber yang lain. Sumber untuk energi dapat berasal dari
lemak tubuh. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa
kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala

7
awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan,
mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi
dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau
nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis
diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa
jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe 1 bisa
mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau
mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius (Armstrong
and Sigal, 2015).
Penderita diabetes tipe 2 bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama
beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala
yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis.
Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi
akibat infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat,
yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan
yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik (Wang, Janese and
Yang, 2016).
E. Kriteria Diagnostik
Diagnosis diabetes ditegakkan berdasarkan gejalanya yaitu 3P (polidipsi,
polifagi, poliuri) dan hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan kadar gula darah
yang tinggi (tidak normal). Untuk mengukur kadar gula darah, contoh darah
biasanya diambil setelah penderita berpuasa selama 8 jam atau bisa juga diambil
setelah makan. Perlu perhatian khusus bagi penderita yang berusia di atas 65 tahun
(Osborne et al., 2018). Sebaiknya pemeriksaan dilakukan setelah berpuasa dan
jangan setelah makan karena usia lanjut memiliki peningkatan gula darah yang
lebih tinggi (Siomos et al., 2017).
Diagnosis diabetes melitus ditegakkan pada kondisi sebagai berikut (Simon-
tuval, Shmueli and Harman-boehm, 2016) :
1. HbA1C = 6,5 % berdasarkan NGSP (National Glycated Hemoglobin
Standardization) atau,
2. Kadar Gula Darah Puasa (GDP) = 126 mg/dl (7 mmol/L). Puasa diartikan pasien
tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam atau,

8
3. Terdapat trias klasik Diabetes Melitus (poliuri, polidipsi dan penurunan BB) dan
kadar Gula Darah Acak (GDA) = 200 mg/dl (11,1 mmol/L) atau,
4. Kadar Gula Darah 2 jam post pandrial (PP) atau Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) 75 gr anhididrous yang dilarutkan dalam air (standar WHO) =200
mg/dl.
Kategori peningkatan risiko untuk diabetes (prediabetes):
1. Kadar glukosa darah puasa 100 mg/dL (5,6 mmol/L) sampai dengan 125 mg/dL
(6,9 mmol/L) atau,
2. Kadar Gula Darah 2 jam post pandrial (PP) atau Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) 75 gr adalah 140 mg/dL (7,8 mmol/L) sampai dengan 199 mg/dL (11
mmol/L) atau, HbAIC 5,7 – 6,4 %.
Sebelum berkembang menjadi diabetes tipe 2, biasanya selalu menderita pra-
diabetes, yang memiliki gejala tingkat gula darah lebih tinggi dari normal tetapi
tidak cukup tinggi untuk didiagnosa diabetes. Setidaknya 20% dari populasi usia 40
hingga 74 tahun menderita pra-diabetes (Wang, Janese and Yang, 2016).

Tabel 3. Kriteria diagnostik gula darah (mg/dl)


Bukan Diabetes Pra Diabetes Diabetes
Puasa < 110 110-125 > 126
Sewaktu < 110 110-199 > 200

Penelitian menunjukkan beberapa kerusakan dalam jangka panjang, terutama pada


jantung dan sistem peredaran darah selama pra-diabetes ini. Dengan pre-diabetes,
anda akan memiliki resiko satu setengah kali lebih besar terkena penyakit jantung.
Saat Anda menderita diabetes, maka risiko naik menjadi 2 hingga 4 kali (Osborne
et al., 2018). Akan tetapi, pada beberapa orang yang memiliki pra-diabetes,
kemungkinan untuk menjadi diabetes dapat ditunda atau dicegah dengan perubahan
gaya hidup. Diabetes dan pra-diabetes dapat muncul pada orang-orang dengan
umur dan ras yang beragam, tetapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko
lebih tinggi (Kusnanto, 2013).
F. Patofisiologi
Diabetes mellitus sebagai salah satu penyakit metabolik yang disebabkan
karena kekurangan atau ketidakefektifan hormon insulin. Hal ini disebabkan oleh

9
beberapa hal yaitu kerusakan pada sel beta pankreas, gaya hidup tidak seimbang,
yaitu intake glukosa yang tinggi tidak diimbangi dengan aktivitas fisik,
menyebabkan glukosa yang bersirkulasi di dalam darah tinggi, atau karena stres
kronik yang menyebabkan tingginya kadar kortisol di dalam darah yang
menurunkan sensitivitas sel terhadap insulin, sehingga kadar glukosa darah tidak
terkontrol (hipergikemi) (Johnson et al., 2018).
Diabetes yang tidak terkontrol telah banyak menyebabkan berbagai
komplikasi seperti penyakit jantung, stroke, tekanan darah tinggi, kebutaan,
penyakit ginjal, penyakit sistem saraf, amputasi kaki, dan kematian awal (Puntel,
2018). Penyakit diabetes yang bersifat kronis serta potensi diabetes terhadap
komplikasi yang serius sering menyebabkan masalah psikologis, finansial dan
menurunkan kualitas hidup. Selain itu kadar glukosa darah yang fluktuatif
memerlukan kontrol ketat terhadap pola diet dan aktivitas fisik, sehingga pasien
mengalami perubahan dan penyesuaian besar dalam pola hidupnya terutama apabila
jatuh pada komplikasi DM, dan hal inilah yang paling dikhawatirkan oleh pasien
DM. Oleh karena itu DM tidak hanya berpengaruh secara fisik, tetapi juga
berpengaruh secara kejiwaan. Saat seseorang didignosis menderita DM maka
respon emosi yang muncul yaitu penolakan, cemas, stress, hingga depresi. Pada
pasien yang menderita DM dalam waktu lama, respon psikologis yang sering
ditemukan adalah bosan, kehilangan motivasi, putus asa dan acuh terhadap program
manajemen yang dijalani sehingga berpotensi menurunkan kualitas hidup pasien
(Sundberg, 2018).
Untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan akibat diabetes mellitus, maka
diperlukan upaya perbaikan kondisi psikologis yang akan mendorong motivasi
pasien dan berdampak pada stabilisasi kadar glukosa darah serta pencegahan
komplikasi hiperglikemi, yaitu dengan memperbaiki persepsi pasien DM terhadap
penyakitnya. Salah satu pendekatan dalam memperbaiki persepsi yang dapat
dilakukan oleh perawat adalah dengan pendekatan spiritual yaitu dengan
membangun kesadaran diri dalam mengambil hikmah dari sakit yang diberikan oleh
Allah dan kepercayaan terhadap kuasa Allah (Kav et al., 2015).

10
G. Penatalaksanaan
Berikut adalah penatalaksanaan diabetes melitus yang dikutip dari sebuah
disertasi yang berjudul “Model Self Care Management-Holistic Psychospiritual
Care terhadap Kemandirian, Glukosa Darah, dan Hba1c Penderita Diabetes Melitus
Tipe 2” (Kusnanto, 2013):
Tujuan utama dari pengobatan diabetes adalah untuk mempertahankan kadar
gula darah dalam kisaran yang normal. Namun, kadar gula darah yang benar-benar
normal sulit untuk dipertahankan.Meskipun demikian, semakin mendekati kisaran
yang normal, maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara maupun jangka
panjang menjadi semakin berkurang. Untuk itu diperlukan pemantauan kadar gula
darah secara teratur baik dilakukan secara mandiri dengan alat tes kadar gula darah
sendiri di rumah atau dilakukan di laboratorium terdekat.
Pengobatan diabetes meliputi pengendalian berat badan, olah raga dan diet.
Seseorang yang obesitas dan menderita diabetes tipe 2 tidak akan memerlukan
pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan berolah raga secara
teratur.Namun, sebagian besar penderita merasa kesulitan menurunkan berat badan
dan melakukan olah raga yang teratur. Karena itu biasanya diberikan terapi sulih
insulin atau obat hipoglikemik (penurun kadar gula darah) per-oral.
Diabetes tipe 1 hanya bisa diobati dengan insulin tetapi tipe 2 dapat diobati
dengan obat oral. Jika pengendalian berat badan dan berolahraga tidak berhasil
maka dokter kemudian memberikan obat yang dapat diminum (oral = mulut) atau
menggunakan insulin.Berikut ini pembagian terapi farmakologi untuk diabetes,
yaitu:
1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO
Golongan sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar gula darah secara
adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe I.
Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan klorpropamid. Obat ini
menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh
pankreas dan meningkatkan efektivitasnya. Obat lainnya, yaitu metformin, tidak
mempengaruhi pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap
insulinnya sendiri. Akarbos bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di
dalam usus. Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada penderita

11
diabetes tipe II jika diet dan oleh raga gagal menurunkan kadar gula darah
dengan cukup. Obat ini kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari),
meskipun beberapa penderita memerlukan 2-3 kali pemberian.
Jika obat hipoglikemik per-oral tidak dapat mengontrol kadar gula darah dengan
baik, mungkin perlu diberikan suntikan insulin
2. Terapi Insulin
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus
diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui
suntikan, insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan
per-oral (ditelan). Bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang dalam
penelitian. Pada saat ini, bentuk insulin yang baru ini belum dapat bekerja
dengan baik karena laju penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah
dalam penentuan dosisnya. Insulin disuntikkan dibawah kulit ke dalam lapisan
lemak, biasanya di lengan, paha atau dinding perut. Digunakan jarum yang
sangat kecil agar tidak terasa terlalu nyeri. Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar,
masing-masing memiliki kecepatan dan lama kerja yang berbeda:
a. Insulin kerja cepat.
Contohnya adalah insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan paling
sebentar. Insulin ini seringkali mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20
menit, mencapai puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8
jam. Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani
beberapa kali suntikan setiap harinya dan disutikkan 15-20 menit sebelum
makan.
b. Insulin kerja sedang.
Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan.
Mulai bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimun dalam
waktu 6-10 jam dan bekerja selama 18-26 jam. Insulin ini bisa disuntikkan
pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan selama sehari dan dapat
disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
c. Insulin kerja lambat.
Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya
baru timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam.

12
Sediaan insulin stabil dalam suhu ruangan selama berbulan-bulan sehingga bisa
dibawa kemana-mana. Pemilihan insulin yang akan digunakan tergantung
kepada:
a. Keinginan penderita untuk mengontrol diabetesnya
b. Keinginan penderita untuk memantau kadar gula darah dan
menyesuaikan dosisnya
c. Aktivitas harian penderita
d. Kecekatan penderita dalam mempelajari dan memahami penyakitnya
e. Kestabilan kadar gula darah sepanjang hari dan dari hari ke hari
Sediaan yang paling mudah digunakan adalah suntikan sehari sekali dari insulin
kerja sedang. Tetapi sediaan ini memberikan kontrol gula darah yang paling
minimal. Kontrol yang lebih ketat bisa diperoleh dengan menggabungkan 2 jenis
insulin, yaitu insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Suntikan kedua
diberikan pada saat makan malam atau ketika hendak tidur malam.
Kontrol yang paling ketat diperoleh dengan menyuntikkan insulin kerja
cepat dan insulin kerja sedang pada pagi dan malam hari disertai suntikan insulin
kerja cepat tambahan pada siang hari. Beberapa penderita usia lanjut
memerlukan sejumlah insulin yang sama setiap harinya; penderita lainnya perlu
menyesuaikan dosis insulinnya tergantung kepada makanan, olah raga dan pola
kadar gula darahnya. Kebutuhan akan insulin bervariasi sesuai dengan
perubahan dalam makanan dan olah raga.
Beberapa penderita mengalami resistensi terhadap insulin. Insulin tidak
sepenuhnya sama dengan insulin yang dihasilkan oleh tubuh, karena itu tubuh
bisa membentuk antibodi terhadap insulin pengganti. Antibodi ini
mempengaruhi aktivitas insulin sehingga penderita dengan resistansi terhadap
insulin harus meningkatkan dosisnya. Penyuntikan insulin dapat mempengaruhi
kulit dan jaringan dibawahnya pada tempat suntikan. Kadang terjadi reaksi alergi
yang menyebabkan nyeri dan rasa terbakar, diikuti kemerahan, gatal dan
pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan selama beberapa jam.
Suntikan sering menyebabkan terbentuknya endapan lemak (sehingga
kulit tampak berbenjol-benjol) atau merusak lemak (sehingga kulit berlekuk-
lekuk). Komplikasi tersebut bisa dicegah dengan cara mengganti tempat

13
penyuntikan dan mengganti jenis insulin. Pada pemakaian insulin manusia
sintetis jarang terjadi resistensi dan alergi. Pengaturan diet sangat penting.
Biasanya penderita tidak boleh terlalu banyak makan makanan manis dan harus
makan dalam jadwal yang teratur. Penderita diabetes cenderung memiliki kadar
kolesterol yang tinggi, karena itu dianjurkan untuk membatasi jumlah lemak
jenuh dalam makanannya. Tetapi cara terbaik untuk menurunkan kadar
kolesterol adalah mengontrol kadar gula darah dan berat badan.
Semua penderita hendaknya memahami bagaimana menjalani diet dan
olah raga untuk mengontrol penyakitnya. Mereka harus memahami bagaimana
cara menghindari terjadinya komplikasi.Penderita juga harus memberikan
perhatian khusus terhadap infeksi kaki sehingga kukunya harus dipotong secara
teratur. Penting untuk memeriksakan matanya supaya bisa diketahui perubahan
yang terjadi pada pembuluh darah di mata.
H. Komplikasi
Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan
terjadinya penyakit lain) yang paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula
darah yang tinggi terus menerus, sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah,
saraf dan struktur internal lainnya (Waki et al., 2016).
Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah
menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat
penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju ke kulit dan
saraf. Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar
zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya
aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis
ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes. Sirkulasi darah yang buruk
ini melalui pembuluh darah besar (makro) bisa melukai otak, jantung, dan
pembuluh darah kaki (makroangiopati), sedangkan pembuluh darah kecil (mikro)
bisa melukai mata, ginjal, saraf dan kulit serta memperlambat penyembuhan luka
(Song et al., 2015).
Penderita diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi jangka panjang jika
diabetesnya tidak dikelola dengan baik. Komplikasi yang lebih sering terjadi dan
mematikan adalah serangan jantung dan stroke. Kerusakan pada pembuluh darah

14
mata bisa menyebabkan gangguan penglihatan akibat kerusakan pada retina mata
(retinopati diabetikum). Kelainan fungsi ginjal bisa menyebabkan gagal ginjal
sehingga penderita harus menjalani cuci darah (dialisa) (Ishak et al., 2017).
Gangguan pada saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk. Jika satu
saraf mengalami kelainan fungsi (mononeuropati), maka sebuah lengan atau
tungkai biasa secara tiba-tiba menjadi lemah. Jika saraf yang menuju ke tangan,
tungkai dan kaki mengalami kerusakan (polineuropati diabetikum), maka pada
lengan dan tungkai bisa dirasakan kesemutan atau nyeri seperti terbakar dan
kelemahan (Jin et al., 2011).
Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit lebih sering mengalami cedera
karena penderita tidak dapat meradakan perubahan tekanan maupun suhu.
Berkurangnya aliran darah ke kulit juga bisa menyebabkan ulkus (borok) dan
semua penyembuhan luka berjalan lambat. Ulkus di kaki bisa sangat dalam dan
mengalami infeksi serta masa penyembuhannya lama sehingga sebagian tungkai
harus diamputasi (Armstrong and Sigal, 2015)
Penelitian yang dilakukan di Boston USA menyimpulkan komplikasi
diabetes melitus sebagai berikut (Osborne et al., 2018):
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah suatu keadaan kadar glukosa darah yang sangat rendah
yang dapat mengakibatkan koma atau bahkan kematian jika tidak segera
ditangani. Keadaan ini dipicu oleh ketidakpatuhan pasien yang mendapatkan
terapi farmakologi terhadap jadwal diet. Gejala yang terjadi dapat berupa rasa
lapar, lemas, gemetar, sakit kepala, keringat dingin, dan bahkan kejang jika
kadar glukosa darah < 70 mg/dl. Beberapa hal yang dapat menyebabkan
terjadinya hipoglikemi yaitu: obat diminum sesuai aturan tetapi intake makanan
terlalu sedikit dari jumlah diit yang ditentukan, waktu yang terlambat atau
memanjang antara minum obat dan makan, olahraga yang tiba-tiba dan terlalu
berat tanpa tambahan kalori
2. Ketoasidosis (KAD)
KAD dapat dsebabkan karena tingginya kadar glukosa darah yang dipicu oleh
penyakit infeksi atau insulin yang tidak sesuai dosis.Insulin yang kurang
membuat tubuh tidak memperoleh energi dan karbohhidrat sehingga

15
menggunakan lemak dan protein sebagai sumber energi. Sehingga terjadi
produksi badan keton yang bersifat asam. Kondisi ini merupakan stressor
sehingga diikuti dengan peningkatan produksi glukagon, katekolamin, kortisol,
dan growth hormon. KAD ditandai dengan adanya hiperglikemia, diuresis
osmotik, lipolisis, dan asidosis.
3. Hiperglikemi Hiperosmolar Non-Ketotik (HHNK)
HHNK merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan
hiperglikemia yang disertai perubahan tiingkat kesadaran. Kelainan biokimia
pada sindrom ini adalah kekurangan insulin efektif. Keadaan hiperglikemia
menyebabkan diuresis osmotic sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit
yang disusul dengan hypernatremia dan peningkatan osmolaritas. Perbedaan
utama sindrom HHNK dengan KAD adalah tidak terdapatnya ketosis pada
HHNK.
4. Komplikasi jangka panjang
Komplikasi jangka panjang dapat menyerang pembuluh darah besar
(makrovaskuler) dan pembuluh darah kecil (mikrovaskuler). Komplikasi
makrovaskuler terjadi akibat perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah
besar. Komplikasi ini berupa coronary artery disease, cerebrovascular disease,
peripheral vascular disease. Komplikasi mikrovaskuler ditandai dengan
penebalan membrane basalis sel endotel kapiler yang disebabkan oleh kadar
glukosa darah yang tinggi. Komplikasi mikrovaskuler ini dapat berupa retinopati
diabetic, nefropati dan neuropati diabetic.

2.2 Self Care Behavior Pasien DM


Beberapa sumber menjelaskan bahwa dalam aplikasi di klinik self care
diabetes diartikan sama dengan self management pada klien DM. Self care diabetes
merupakan program atau tindakan yang harus dijalankan sepanjang kehidupan klien
dan menjadi tanggungjawab penuh bagi setiap klien diabetes (Ishak et al., 2017).
Self care diabetes adalah tindakan yang dilakukan perorangan untuk mengontrol
diabetes yang meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan komplikasi (Bhandari
and Kim, 2016). Self care diabetes merupakan kemampuan seseorang dalam
melakukan self care dan penampilan tindakan self care diabetes untuk

16
meningkatkan peningkatan pengaturan gula darah (Kusnanto, 2013)
Berdasarkan uraian pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa self care
diabetes adalah tindakan mandiri yang dilakukan oleh klien diabetes dalam
kehidupan sehari-hari dengan tujuan untuk mengontrol gula darah yang meliputi
aktifitas pengaturan pola makan (diet), latihan fisik (olahraga), pemantauan kadar
gula darah, minum obat dan perawatan kaki.
Pengukuran self care diabetes menggunakan pengukuran aktifitas self care
diabetes (The Summary of Diabetes Self-Care Activities / SDSCA). Aktifitas yang
termasuk dalam selfcare diabetes tersebut meliputi pengaturan pola makan (diet),
latihan fisik/exercise, pemantauan gula darah, pengobatan dan perawatan kaki(Waki
et al., 2016).

2.3 Aktifitas Fisik Pasien DM


Para ahli sepakat bahwa faktor keturunan memiliki pengaruh apakah
seseorang dapat terkena diabetes atau tidak. Selain keturunan, gaya hidup juga
berperan besar. Diabetes tipe 2 sering terjadi pada orang yang mengalami obesitas.
Obesitas atau kegemukan merupakan pemicu terpenting penyebab diabetes.
Obesitas atau kegemukan berhubungan dengan waktu yang dihabiskan di depan TV
dan komputer. Menonton TV akan menyebabkan tidak bergerak juga berpengaruh
terhadap pola makan mengemil. Caranya mudah, murah dan efektif untuk
mengatasi kegemukan dan menghindari diabetes, antara lain (Kusnanto, 2013):
1. Membiasakan diri untuk hidup sehat
2. Biasakan diri berolahraga secara teratur
3. Hindari menonton TV atau main komputer terlalu lama
4. Jangan mengkonsumsi permen, coklat, atau snack dengan kandungan garam dan
glukosa yang tinggi.
5. Hindari makanan siap saji dengan kandungan kadar karbohidrat dan lemak
tinggi.
6. Konsumsi sayuran dan buah-buahan
Obesitas artinya berat badan berlebih minimal sebanyak 20% dari berat badan
idaman. Juga berarti indeks masa tubuh lebih dari 25 kg/m2. Lemak yang berlebih
akan menyebabkan resistensi terhadap insulin. Ini menjelaskan mengapa diet dan

17
olahraga merupakan metode penatalaksanaan untuk diabetes tipe 2 (Johnson et al.,
2018).
Dengan menurunkan berat badan dan meningkatkan massa otot, akan
mengurangi jumlah lemak sehingga membantu tubuh memanfaatkan insulin dengan
lebih baik. Ternyata ada hubungan antara diabetes tipe 2 dengan letak tumpukan
lemak terbanyak. Bila timbunan lemak terbanyak terdapat di perut maka risiko
terkena diabetes lebih tinggi (Jin et al., 2011).
Para peneliti juga percaya bahwa gen yang membawa sifat obesitas ikut
berperan dalam menyebabkan diabetes. Gen yang bernama gen obes ini mengatur
berat badan melalui protein pemberi kabar apakah kita lapar atau tidak. Pada
percobaan dengan tikus, bila gen ini bermutasi maka tikus akan menjadi obes dan
mengalami diabetes tipe 2 (Ishak et al., 2017).

2.4 Stabilitas Kadar Gula Darah


Terdapat 5 pilar manajemen glukosa untuk menjaga stabilitas kadar gula darah pada
pasien diabetes mellitus menurut (Keshawarz et al., 2018) :
1. Manajemen Nutrisi
Nutrisi, diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari manajemen
diabetes mellitus. Pada prinsipnya perencanaan makan pada pasien diabetes
tidak berbeda dengan perencanaan makan orang normal, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan gizi masing-masing individu.
Pada penderita diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal, jenis, dan jumlah makanan. Terutama bagi mereka yang mendapat
obat hipoglikemik oral (OHO) atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah
makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat (45% - 60%),
protein 910% - 20%), dan lemak (20% - 25%) agar sesuai dengan kecukupan
gizi. Jumlah kalori disesuaikan dengan jenis kelamin, umur, aktifitas fisik atau
pekerjaan, kehamilan/laktasi, adanya komplikasi, dan berat badan.
2. Latihan Jasmani
Latihan menurunkan kadar glukosa darah secara langsung sampai selama 24 jam
setelah latihan. Permeabilitas membran terhadap glukosa akan meningkat pada
otot yang berkontraksi. Pada saat aktifitas fisik resistensi insulin jadi berkurang

18
dan sensitvitas terhadap insulin meningkat sehingga kebutuhan akan insulin jadi
berkurang.
3. Monitoring kadar glukosa darah
Monitoring kadar glukosa darah adalah landasan manajemen diabetes.
Monitoring dilakukan sendiri oleh pasien (Self Monitoring Of Blood
Glucose/SMBG) yang memungkinkan pasien menyesuaikan manajemen
diabetes lain untuk kontrol glukosa darah yang optimal. SMBG dapatmencegah
keadaan hipoglikemi dan hiperglikemi sehingga kadar glukosa darah normal
dapat terjaga dan akhirnya diharapkan dapat mencegah komplikasi jangka
panjang.
4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi dipertimbangkan jika kadar glukosa darah tidak dapat
mencapai normal atau mendekati normal dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani. Terapi farmakologi dapat berupa Obat Hipoglikemik Oral (OHO) atau
insulin. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respon kadar glukosa darah dan dapat diberikan sampai dosis optimal.
Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi dalam lima jenis yaitu:
a. Pemicu sekresi insulin (Sulfonylurea & Glinid),
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin (Biguanid & Tiazolidindion),
c. Penghambat glukosagenesis (metformin),
d. Penghambat glukosidase alfa
e. Penghambat DPP-4.
Jenis insulin berdasarkan lama kerjanya dikelompokkan dalam beberapa jenis
yaitu:
a. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
b. Insulin kerja pendek (short acting insulin)
c. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
d. Insulin kerja panjang (Long acting insulin)
e. Insulin campuran kerja cepat dan menengah (premised insulin).
5. Edukasi
Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan
ketrampilan bagi pasien diabetes yang bertujuan untuk menunjang perubahan

19
perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang
diperlukan untuk mencapai keadaan sehat optimal, dan penyesuaian keadaan
psikologik serta kualitas hidup yang lebih baik. Edukasi ini merupakan bagian
integral dari asuhan keperawatan pasien diabetes.

20
BAB 3
KESIMPULAN

Kesimpulan
Diabetes merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan, penyakit ini hanya
bisa dikelola agar tidak menimbulkan komplikasi yang justru menjadi ancaman nyata
bagi penderita diabetes melitus. Komplikasi dapat timbul karena ketidakpatuhan pasien
dalam menjalankan program terapi, termasuk ketidakpatuhan dalam menjalankan
aktivitas fisik sehari – hari
Self care behavior pada diabetes harus dijalankan sepanjang kehidupan klien
dan menjadi tanggungjawab penuh bagi setiap klien diabetes. Tindakan mandiri yang
dilakukan oleh klien diabetes dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan untuk
mengontrol gula darah yang meliputi aktifitas pengaturan pola makan (diet), latihan
fisik (olahraga), pemantauan kadar gula darah, minum obat dan perawatan kaki.
Aktifitas fisik pasien DM yang dianjurkan para ahli meliputi: membiasakan diri
untuk hidup sehat, membiasakan diri berolahraga secara teratur, menghindari menonton
TV atau main komputer terlalu lama, tidak mengkonsumsi permen, coklat, atau snack
dengan kandungan garam dan glukosa yang tinggi, menghindari makanan siap saji
dengan kandungan kadar karbohidrat dan lemak tinggi, mengkonsumsi sayuran dan
buah-buahan.
Terdapat 5 pilar manajemen glukosa untuk menjaga stabilitas kadar gula darah
pada pasien diabetes mellitus, antara lain: manajemen nutrisi, latihan jasmani,
monitoring kadar glukosa darah, terapi farmakologi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Al-amer, R. et al. (2016) ‘Issues in Mental Health Nursing Self-Efficacy , Depression ,


and Self-Care Activities in Adult Jordanians with Type 2 Diabetes : The Role of
Illness Perception Self-Efficacy , Depression , and Self-Care Activities in Adult
Jordanians with Type 2 Diabetes’, Issues in Mental Health Nursing,
2840(August). doi: 10.1080/01612840.2016.1208692.

Armstrong, M. J. and Sigal, R. J. (2015) ‘Exercise as Medicine : Key Concepts in


Discussing Physical Activity with Patients who have Type 2 Diabetes’, Canadian
Journal of Diabetes. Canadian Diabetes Association, 39, pp. S129–S133. doi:
10.1016/j.jcjd.2015.09.081.

Bhandari, P. and Kim, M. (2016) ‘Self-Care Behaviors of Nepalese Adults With Type 2
Diabetes’, Nursing Research, 65, pp. 202–214. doi:
10.1097/NNR.0000000000000153.

Giani, E. et al. (2018) ‘Performance of the Flash Glucose Monitoring System during
Exercise’, Diabetes Research and Clinical Practice. doi:
10.1016/j.diabres.2018.10.001.

Ishak, N. H. et al. (2017) ‘Diabetes self-care and its associated factors among elderly
diabetes in primary care’, Journal of Taibah University Medical Sciences.
Elsevier Ltd, 12(6), pp. 504–511. doi: 10.1016/j.jtumed.2017.03.008.

Jannoo, Z. et al. (2017) ‘Examining diabetes distress , medication adherence , diabetes


self-care activities , diabetes-specific quality of life and health-related quality of
life among type 2 diabetes mellitus patients’, Journal of Clinical & Translational
Endocrinology. The Authors, 9, pp. 48–54. doi: 10.1016/j.jcte.2017.07.003.

Jin, E. et al. (2011) ‘Psychometric properties of a Korean version of the summary of


diabetes self-care activities measure’, International Journal of Nursing Studies.
Elsevier Ltd, 48(3), pp. 333–337. doi: 10.1016/j.ijnurstu.2010.08.007.

Johnson, N. A. et al. (2018) ‘Self-reported physical activity in community-dwelling


adults with diabetes and its association with diabetes complications’, Journal of
Diabetes and Its Complications. Elsevier Inc. doi:
10.1016/j.jdiacomp.2018.10.017.

Kav, S. et al. (2015) ‘activities of people with type 2 diabetes in Turkey’, Collegian.
Australian College of Nursing Ltd. doi: 10.1016/j.colegn.2015.09.005.

Kav, S. et al. (2017) ‘self-eficacy, depression and self-are activities of people with type
2 diabetes in Turkey’, Collegian. Australian College of Nursing Ltd, 24(1), pp.
27–35. doi: 10.1016/j.colegn.2015.09.005.

Keshawarz, A. et al. (2018) ‘Lower objectively measured physical activity is linked


with perceived risk of hypoglycemia in type 1 diabetes’, Journal of Diabetes and

22
Its Complications. © 2018, p. #pagerange#. doi: 10.1016/j.jdiacomp.2018.05.020.

Kusnanto, K. (2013) ‘MODEL SELF CARE MANAGEMENT-HOLISTIC


PSYCHOSPIRITUAL CARE TERHADAP KEMANDIRIAN, GLUKOSA
DARAH, DAN HbA1C PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2’, Jurnal
Ners, 2.

Osborne, M. T. et al. (2018) ‘Psychoneuroendocrinology Amygdalar activity predicts


future incident diabetes independently of adiposity’, Psychoneuroendocrinology.
Elsevier, 100(September 2018), pp. 32–40. doi: 10.1016/j.psyneuen.2018.09.024.

Puntel, G. O. (2018) Predictive Antidiabetic Activities of Plants Used by Persons with


Diabetes mellitus, Complementary Therapies in Medicine. Elsevier Ltd. doi:
10.1016/j.ctim.2018.08.009.

Simon-tuval, T., Shmueli, A. and Harman-boehm, I. (2016) ‘Adherence to Self-Care


Behaviors among Patients with Type 2 Diabetes — The Role of Risk
Preferences’, Value in Health. Elsevier, 19(6), pp. 844–851. doi:
10.1016/j.jval.2016.04.003.

Siomos, M. Z. et al. (2017) ‘A Guide to Physical Activity for Individuals


With&nbsp;Diabetes’, TJNP: The Journal for Nurse Practitioners. Elsevier, Inc,
13(1), p. 82–88.e4. doi: 10.1016/j.nurpra.2016.10.025.

Song, M. et al. (2015) ‘Intervention Mapping Protocol for Developing a Theory-Based


Diabetes Self-Management Education Program’, Research and Theory for
Nursing Pratice, 29(2), pp. 94–112.

Sundberg, F. (2018) ‘Unawereness of low physical activity in people with type 1


diabetes.’, Journal of Diabetes and Its Complications. © 2018, p. #pagerange#.
doi: 10.1016/j.jdiacomp.2018.07.005.

Thiel, D. M. et al. (2016) ‘Association between Physical Activity and Health-Related


Quality of Life in Adults with Type 2 Diabetes’, Canadian Journal of Diabetes.
Elsevier Inc., pp. 1–6. doi: 10.1016/j.jcjd.2016.07.004.

Vazini, H. and Barati, M. (2014) ‘The Health Belief Model and Self-Care Behaviors
among Type 2 Diabetic Patients’, Iranian Journal Of Diabetes and Obesity, 6(3),
pp. 107–113.

Waki, S. et al. (2016) ‘Structural model of self-care agency in patients with diabetes : A
path analysis of the Instrument of Diabetes Self-Care Agency and body self-
awareness’, Japan Journal of Nursing Science, 13, pp. 478–486. doi:
10.1111/jjns.12127.

Wang, C., Janese, K. and Yang, H. (2016) ‘Exercise and its role in gestational diabetes
mellitus’, Chronic Diseases and Translational Medicine. Elsevier Ltd, 2(4), pp.
208–214. doi: 10.1016/j.cdtm.2016.11.006.

23

Anda mungkin juga menyukai