DISUSUN OLEH :
JURUSAN GIZI
2022
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tidak menular merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi
perhatian nasional maupun global pada saat ini. Berdasarkan profil WHO, di Asia
Tenggara terdapat empat terbanyak penyakit tidak menular yaitu: penyakit
kardiovaskuler, kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes melitus
(WHO,2016). Hasil Riskesdas 2018 juga menunjukkan adanya peningkatan
dibandingkan dengan Riskesdas 2013, salah satunya adalah diabetes melitus.
Diabetes Melitus merupakan gejala yang timbul dikarenakan ada peningkatan
gula darah akibat dari kekurangan insulin baik absolut maupun relatif dan seorang
penderita diabetes akan mengalami defisiensi atau retensi insulin kronik,
terganggunya metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang menyebabkan
hiperglikemia yaitu meningkatnya gula darah (Syahbudin, 2009). Diabetes Melitus
disebabkan oleh adanya peningkatan glukosa darah akibat resistensi insulin sehingga
dapat menurunkan berat badan secara tidak sengaja dan dapat meningkatkan risiko
akan infeksi pada penderita. Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka dapat
meningkatkan risiko terjadinya gizi kurang, yang mana malnutrisi sering terjadi pada
pasien Diabetes Melitus di rumah sakit baik yang menjalani rawat inap maupun rawat
jalan. Terdapat 7,4% pasien Diabetes Melitus memiliki IMT < 18,5 dan 4,3% pasien
Diabetes Melitus dengan IMT < 20 yang sedang menjalani rawat inap. Selain itu,
terdapat 41% yang dirawat di ICCU dan 55,4% pasien usia lanjut perempuan yang
mengalami malnutrisi (Rohimah B., 2016).
Dalam kesehatan global, Diabetes Melitus termasuk dalam ancaman yang
serius. Lebih dari setengah beban penyakit 90 – 95% adalah Diabetes Melitus Tipe II
yang mana sebagian dapat dicegah, dikarenakan penyebabnya yaitu gaya hidup yang
tidak sehat (WHO, 2016). Menurut International Diabetes Federation (IDF) Atlas
2017, wabah Diabetes di Indonesia masih menunjukkan kecenderungan akan
peningkatan yang mana jumlah penyandang Diabetes di usia 20 sampai 79 tahun
sekitar 10,3 juta orang sehingga Indonesia menempati peringkat keenam di dunia.
Hasil Riskesdas 2018 berdasarkan pemeriksaan gula darah mengalami
peningkatan dari tahun 2013 yaitu prevalensi diabetes melitus naik dari 6,9% menjadi
8,5%. Berdasarkan Hasil Riskesdas 2018 juga menunjukkan bahwa prevalensi
2
Diabetes Melitus berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk yang berumur ≥ 15
tahun meningkat menjadi 2% bila dibandingkan dengan tahun 2013. Namun
prevalensi Diabetes Melitus di kalangan semua umur hasilnya 1,5% yang artinya
sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan prevalensi Diabetes Melitus pada usia
≥ 15 tahun.
Bronkitis adalah istilah umum untuk terjadinya infeksi yang menyebabkan
iritasi dan peradangan pada area bronkus di paru-paru (Muttaqin, 2008). Pada orang
dewasa, definisi bronkitis kronis adalah kondisi kronis atau berulang (rekuren) dari
batuk produktif yang terjadi selama tiga bulan dalam setahun dan berlangsung selama
dua tahun.
Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah
dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan cairan
dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat tetap stabil,
serta memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam mengendalikan tekanan
darah, membuat sel darah merah dan menjaga tulang tetap kuat. Peningkatan ureum
kreatinin yang terjadi pada pasien DM dapat menyebabkan terjadinya komplikasi
CKD (chronic kidney desease).
Penyakit ginjal kronis (PGK)/CKD merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang
buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah
penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit DM serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10
populasi global mengalami PGK pada stadium tertentu. Hasil systematic review dan
metaanalysis yang dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global
PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil Global Burden of Disease tahun 2010, PGK
merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat
menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010.
Berdasarkan uraian di atas, pasien dengan hipoglikemia DM tipe II dilakukan
proses asuhan gizi terstandar untuk pasien DM Tipe II dengan Metode International
Dietetics Nutrition Terminology (IDNT).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menyusun pelaksanaan proses asuhan gizi terstandar pada pasien Diabetes
Melitus Tipe II dengan bronchitis.
3
2. Tujuan Khusus
a. Mengkaji adanya risiko malnutrisi berdasarkan hasil penapisan/skrining gizi
pada pasien Diabetes Melitus Tipe II dengan bronkitis .
b. Mengkaji adanya permasalahan berdasarkan hasil pengkajian gizi/assesment
antropometri, biokimia, fisik/klinis, riwayat makan, dan riwayat personal pada
pasien Diabetes Melitus Tipe II dengan bronkitis
c. Menetapkan diagnosis gizi pada pasien Diabetes Melitus Tipe II dengan
bronkitis.
d. Menetapkan intervensi gizi berdasarkan diagnosis yang meliputi perencanaan
dan implementasi pada pasien Diabetes Melitus Tipe II dengan bronkitis.
e. Merencanakan tingkat keberhasilan intervensi gizi melalui monitoring dan
evaluasi pada pasien Diabetes Melitus Tipe II dengan bronkitis
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
penurunan berat badan (American Diabetes Association (ADA), 2021;
PERKENI, 2021).
c. Etiologi/Patofiologi
Konsumsi makanan tinggi karbohidrat akan meningkatkan kadar
glukosa darah, yang menyebabkan sekresi insulin meningkat. Peningkatan
sekresi insulin akan menyebabkan peningkatan pengambilan, penyimpanan,
dan penggunaan glukosa oleh semua jaringan tubuh, terutama hati, otot,
jaringan lemak (jaringan adiposa). Insulin juga akan merangsang sintesis
glikogen dalam hati dan otot. Glikogen yang disimpan dalam hati nantinya
akan dipecah menjadi glukosa (glikogenolisis) jika konsentrasi glukosa dalam
darah menurun, sedangkan glikogen yang disimpan dalam otot harus
digunakan in situ dan tidak pernah dibebaskan ke dalam peredaran darah,
karena jaringan ini tidak memiliki enzim glukose-6-fosfatase.
Fungsi lain dari insulin terhadap metabolisme glukosa yaitu, apabila
terjadi kelebihan pasokan glukosa di dalam hati, maka kelebihan tersebut akan
dikonversi menjadi asam-asam lemak dan trigliserida dalam hati dan jaringan
adiposa. Trigliserida yang terbentuk di hati akan dilepaskan dalam bentuk
lipoprotein densitas sangat rendah (Very Low Density Lipoprotein atau VLDL)
melalui darah ke jaringan adiposa dan ditimbun sebagai lemak (Linder, 2010).
Secara patofisiologi, DM tipe 2 disebabkan oleh penurunan respon jaringan
perifer terhadap insulin (resistensi insulin) dan penurunan kemampuan sel β
pankreas untuk mensekresikan insulin (Nugroho, 2006). Pada awalnya tampak
terjadi resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula
berikatan dengan reseptor spesifik yang terdapat pada membran sel jaringan
otot dan adiposa, kemudian akan merangsang translokasi transporter GLUT-4
dari dalam sel ke membran plasma untuk mengangkut glukosa ke dalam sel
(Gropper et al., 2009).
Resistensi insulin pada DM tipe 2 berkaitan dengan penurunan
stimulasi transport glukosa pada jaringan otot dan adiposa, gangguan sinyal
insulin, serta gangguan intrinsik pada sistem transportasi glukosa. Ketika
sinyal insulin terganggu, maka terjadi gangguan transportasi glukosa ke dalam
sel yang diakibatkan oleh gagalnya translokasi transporter GLUT-4 ke
membran plasma (DeFronzo et al., 2015). Kondisi ini akan menyebabkan
penurunan penggunaan glukosa pada jaringan perifer sehingga akan
6
mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia.
Peningkatan kadar glukosa darah akan menyebabkan sel β pankreas merespon
dengan mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin meningkat
(hiperinsulinemia). Kondisi ini akan menyebabkan sel β pankreas mengalami
penyesuaian sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang
sensitif, dan akhirnya akan mengakibatkan defisiensi insulin (Nugroho, 2006).
Berkurangnya penggunaan glukosa oleh sel-sel yang dirangsang
insulin akan menyebabkan hidrolisis trigliserida yang disimpan menjadi asam
lemak dan gliserol (lipolisis). Akibatnya asam lemak dan gliserol akan
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah dalam jumlah yang banyak sehingga asam
lemak bebas di dalam darah akan meningkat. Asam lemak bebas ini
selanjutnya akan digunakan sebagai energi utama oleh seluruh jaringan tubuh
selain otak (Guyton & Hall, 1997).
Hiperglikemia yang terus-menerus akan memicu peningkatan radikal
bebas sehingga dapat meningkatkan produksi ROS dan menurunkan sistem
pertahanan antioksidan (Lekshmi et al., 2015). Reactive Oxygen Species
(ROS) dengan konsentrasi yang kecil akan mendukung fungsi fisiologis
seperti transkripsi gen, fungsi mitokondria, dan fungsi leukosit. Konsentrasi
yang tinggi, ROS akan menyebabkan kelainan biokimia dan kerusakan
struktural pada jaringan (Robertson, 2006; Johansen et al., 2005). Peningkatan
ROS (termasuk superoksida, nitrit oksida, hidrogen peroksida dan radikal
hidroksil) pada kondisi hiperglikemia kronik dapat terjadi melalui beberapa
jalur biokimia yang sensitif, antara lain meningkatnya jalur pembentukan AGE
(Advanced Glycosylation End), autoksidasi glukosa, glukosamin, serta
fosforilasi oksidatif. Keadaan tersebut akan mengakibatkan penurunan sistem
pertahanan antioksidan antara lain SOD, katalase, dan glutation peroksidase
(R. Paul Robertson et al., 2003). Ketidakseimbangan antara sistem pertahanan
antioksidan dan peningkatan produksi reactive species yang berupa ROS dan
RNS merupakan awal dari kerusakan oksidatif yang dikenal sebagai stres
oksidatif (Evans et al., 2003).
7
d. Komplikasi
Diabetes mellitus merupakan salah satu kelainan metabolik yang dapat
menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang disebabkan oleh hiperglikemia
menyebabkan kerusakan pada pembuluh kecil (mikrovaskular) seperti
neuropati, nefropati, retinopati, serta kerusakan pembuluh besar
(makrovaskular) seperti pada penyakit kardiovaskular. Penyakit
kardiovaskular berupa disfungsi endotel dan aterosklerosis merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas (Johansen et al., 2005; Ahmed et
al., 2010). Menurut Ahmed et al. (2009), penderita DM memiliki risiko tiga
sampai empat kali untuk terjadi komplikasi aterosklerosis dan gangguan
vaskular. Penelitian yang dilakukan oleh Sosale et al. (2014) menemukan
bahwa pada orang dewasa yang berumur 18 tahun dan terdiagnosis DM tipe 2
kurang dari 3 bulan menunjukkan adanya komplikasi mikrovaskular yaitu
neuropati (13,15%), retinopati (6,1%), dan nefropati (1,06%), serta komplikasi
makrovaskular yaitu penyakit jantung iskemik sekitar 6%.
2. Bronkitis
a. Definisi dan Klasifikasi Bronkitis
Bronkitis adalah istilah umum untuk terjadinya infeksi yang
menyebabkan iritasi dan peradangan pada area bronkus di paru-paru
(Muttaqin, 2008). Ada 2 jenis bronkitis yaitu bronkitis akut dan kronis.
Bronkitis kronis adalah bentuk peradangan yang lama dan berkesinambungan
akibat serangan berulang bronkitis akut atau penyakit-penyakit umum kronis,
dan ditandai dengan batuk, ekspektorasi, dan perubahan sekunder jaringan
paru. Bronkitis akut adalah proses inflamasi selintas yang mengenai trakea,
bronkus utama dan menengah yang bermanifestasi sebagai batuk, serta
biasanya akan membaik tanpa terapi dalam 2 minggu. Walaupun diagnosis
bronkitis akut seringkali dibuat, pada anak keadaan ini agaknya bukan
merupakan suatu penyakit tersendiri, tapi berhubungan dengan keadaan lain
seperti asma dan fibrosis kistik. Bronkitis akut umumnya disebabkan oleh
virus. Bronkitis akut karena bakteri biasanya dikaitkan dengan Mycoplasma
pneumoniae, Bordetella pertussis, atau Corynebacterium diphtheriae
b. Diagnosis
Diagnosis bronkitis sering ditegakkan dalam praktek sehari-hari,
sehingga seharusnya bronkitis dapat dibedakan dan ditetapkan dengan mudah.
8
Akan tetapi, manifestasi utama yang paling menonjol pada penyakit ini adalah
batuk, yang bukan merupakan gejala spesifik dan dapat merupakan
gejala/bagian dari berbagai penyakit respiratori ataupun nonrespiratori. Hingga
saat ini, uji diagnostik spesifik noninvasif untuk mendiagnosis penyakit ini
pada anak masih belum ada.
Pada orang dewasa, definisi bronkitis kronis adalah kondisi kronis atau
berulang (rekuren) dari batuk produktif yang terjadi selama tiga bulan dalam
setahun dan berlangsung selama dua tahun. Pengertian bronkitis kronis pada
anak masih belum jelas. Selain itu, pembagian bronkitis akut, kronis, rekuren,
atau wheezy bronchitis pada anak belum disepakati karena tampilan klinis
yang seringkali serupa satu sama lain. Oleh karena itu, diagnosis bronkitis
haruslah dipertimbangkan secara matang karena dapat mempengaruhi
pemeriksaan dan tatalaksana selanjutnya.
c. Etiologi
Bronkitis kronis disebabkan karena adanya penebalan dinding bronkus
akibat inflamasi sehingga proses bernafas akan terganggu dan ini menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan sesak nafas. Penumpukan mukus pada
ruang bronkus dan paru-paru akibat proses inflamasi mengganggu jalan masuk
oksigen ke dalam tubuh. Penderita biasanya mempunyai riwayat merokok dan
sering mengalami infeksi pernapasan (Permatasari et al., 2020).
d. Patofisiologi
Bronkitis terjadi karena Respiratory Syncytial Virus (RSV),Virus
influenza, virus pra influenza, asap rokok, polusi udara yang terhirup selama
masa inkubasi virus kurang lebih 5-8 hari. Unsur-unsur iritan ini menimbulkan
inflamasi pada percabangan trakeobronkial, yang menyebabkan peningkatan
produksi sekret dan penyempitan atau penyumbatan jalan napas. Seiring
berlanjutnya proses inflamasi perubahan pada sel-sel yang membentuk dinding
traktus respiratorius akan mengakibatkan resistensi jalan napas yang kecil dan
ketidakseimbangan ventilasi perfusi yang berat sehingga menimbulkan
penurunan oksigenasi daerah arteri. Efek tambahan lainnya meliputi inflamasi
yang menyebar luas, penyempitan jalan napas dan penumpukan mukus di
dalam jalan napas. Dinding bronkus mengalami inflamasi, penebalan akibat
edemadan penumpukan sel-sel inflamasi. Efek bronkospasme otot polos akan
mempersempit lumen bronkus. Diawali dengan bronkus besar yang terlibat
9
inflamasi ini, tetapi kemudian semua saluran napas turut terkena. Jalan napas
menjadi tersumbat dan terjadi penutupan, khususnya pada saat ekspirasi.
Dengan demikian, udara napas akan terperangkap di bagian distal paru.
Keadaan ini akanterjadi hipoventilasi yang menyebabkan ketidakcocokan dan
timbul hipoksemia. Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi sekunder karena
hipoventilasi. Resistensi vaskuler paru meningkat ketika vasokonstriksi yang
terjadi karena inflamasi dan konpensasi pada daerah yang mengalami
hipoventilasi membuat arteri pulmonalis menyempit menyebabkan sesak
napas (Hall, 2018)
B. Intervensi Gizi
1. Terapi Gizi medis
Terapi gizi medis untuk pelaksanaan diet DM dilakukan untuk secara
komprehensif dengan melibatkan dokter, ahli gizi, petugas kesehatan lain, serta
pasien dan keluarganya. Prinsip pengaturan makan untuk pasien DM hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyrakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing masing individu. Pasien DM
perlu di berikan penakanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan jenis
dan jumlah kandungan kalori terutama pada pasien yang menggunakan terapi
insulin (Perkeni, 2021).
2. Intervensi Edukasi
Edukasi merupakan proses formal dalam melatih keterampilan atau
membagi pengetahuan yang membantu pasien/ klien mengelola atau memodifikasi
diet dan perubahan perilaku secara sukarela untuk menjaga atau meningkatkan
kesehatan (Kemenkes RI, 2014). Edukasi gizi meliputi:
a. Edukasi gizi tentang konten/materi yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan.
b. Edukasi gizi aplikatif yang bertujuan untuk meningkatkan sikap dan
keterampilan
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat perlu dilakukan sebagai bagian
dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting bagi
pengelolaan DM secara holistic. Materi edukasi terdiri dari (Perkeni, 2021):
a. Materi edukasi tingkat awal dilaksanakan di pelayanan kesehatan primer yang
meliputi:
10
1) Perjalanan penyakit DM
2) Perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan
3) Penyulit DM dan risikonya
4) Intervensi non-farmakologi dan farmakologis serta target pengobatan
5) Interaksi antara asupan makan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia
oral atau insulin serta obat-obtan lain
6) Cara pematauan glukosa dara dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri.
7) Gejala dan penanganan awal hipoglikemia
8) Pentingnya Latihan jasmani yang teratur
9) Pentingnya perawatan kaki
10) Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan pada pelayanan kesehatan
sekunder dan/atau tersier yang meliputi:
1) Mengenal dan mencegah penyulit akut DM
2) Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
3) Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
4) Rencana kegiatan khusus
3. Intervensi Konseling
Konseling gizi merupakan proses pemberian dukungan pada pasien/klien
yang ditandai dengan hubungan kerjasama antara konselor dengan pasien/klien
dalam menentukan prioritas, tujuan/target, merancang rencana kegiatan yang
dipahami, dan membimbing kemandirian dalam merawat diri sesuai kondisi dan
menjaga kesehatan (Kemenkes RI, 2014).
Pasien diabetes perlu diberikan beberapa perawatan agar tidak semakin
parah dan tidak mengalami komplikasi yang dapat menimbulkan masalah
kesehatan baik makroangiopati maupun mikroangiopati. Jika kadar gula darah
dapat selalu dikendalikan dengan baik, diharapkan semua penyulit menahun
tersebut dapat dicegah sehingga pasien dapat menjalani kehidupannya secara
normal. Salah satu faktor utama kegagalan sebuah terapi adalah ketidakpatuhan
terhadap terapi yang telah direncanakan, maka salah satu upaya penting untuk
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi adalah dengan edukasi atau
pemberian konseling yang lengkap, akurat serta secara terstruktur tentang terapi
tersebut (Sucipto & Rosa, 2014). .
11
Adanya pemberian edukasi dan konseling ini sangat penting karena
penyakit diabetes merupakan penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup
pasien. Dengan pemberian edukasi dan konseling inilah pasien diharapkan
memiliki pengetahuan yang cukup tentang diabetes, yang selanjutnya dapat
merubah sikap dan perilakunya sehingga diharapkan dapat mengendalikan kondisi
penyakit dan kadar gula darahnya dan dapat meningkatkan kualitas hidupnya
(Sucipto & Rosa, 2014).
4. Koordinasi Dengan Provider Lain
Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja
bersama khususnya dalam usaha penggabungan pemikiran. Hal ini sesuai dengan
apa yang dikemukakan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa kolaborasi
sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terlibat memandang aspek-aspek
perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan tersebut dan
keterbatasan pandangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan. Menurut
American Medical Assosiation (AMA), setelah melalui diskusi dan negosiasi yang
panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan perawat,
mendefinisikan istilah kolaborasi adalah sebuah proses dimana dokter dan perawat
serta tenaga kesehatan lain merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega,
bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka
dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap setiap
orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan
atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator. Efektifitas
hubungan kolaborasi profesional membutuhkan mutual respek baik setuju atau
ketidaksetujuan yang dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership kolaborasi
merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome yang lebih baik
bagi pasien dalam mencapai upaya penyembuhan dan memperbaiki kualitas hidup
12
BAB III
HASIL
A. Identitas Pasien
1. Data Personal (CH)
13
Kesimpulan :
Pasien umur 66 tahun, jenis kelamin laki-laki masuk RS dengan keluhan penurunan
kesadaran menurun, lemas keringat dingin, mual muntah, nyeri kepala, nyeri perut, batuk
berdahak, dan sesak nafas. Diagnosis medis Hipoglikemia, DM tipe 2, Bronkitis.
14
Skor skrinning (sub total maksimal 14 poin), dengan kriteria
12-14 poin = status gizi normal
8-11 poin= beresiko malnutrisi
0-7 poin = malnutrisi
Assesment gizi
m. Berapa banyak cairan (air putih, jus, kopi, teh, susu) yang
dikonsumsi per hari?
0,0 = < 3 cangkir 1,0
0,5 = 3-5 cangkir
1,0 = >5 cangkir
15
0 = tidak dapat makan tanpa bantuan orang lain mendukung pada
1 = makan sendiri dengan beberapa kesulitan skenario kasus
2 = makan sendiri tanpa kesulitan
16
Kode
Jenis Data Keterangan
IDNT
FH-1.1 Asupan energi
SQFFQ :
Kesimpulan :
17
Berdssarkan hasil analisis kebiasaan makan dapat disimpulkan bahwa asupan makan
pasien inadekuat (kurang dari kebutuhan).
2. Recall 24 jam
Tanggal :
Makanan dari RS : Diet DM 1900 RG3
Makanan dari luar RS : -
Kesimpulan :
Berdasarkan hasil recall 24 pasien maka dapat disimpulkan bahwa asupan energi dan
zat gizi makro defisit dan belum memenuhi standar kebutuhan yang telah di tetapkan.
Tabel berikut ini disajikan perbandingan asupan oral pasien dengan kebutuhan:
Kesimpulan :
Berdasarkan hasil recall 24 pasien maka dapat disimpulkan bahwa asupan energi dan
zat gizi makro defisit dan belum memenuhi standar kebutuhan yang telah di tetapkan.
3. Riwayat diet
Kode
Jenis Data Keterangan
IDNT
18
FH-2.1 Riwayat diet
FH-2.1.1 Order/ pemesanan diet Modifikasi diet : DM 1900 RG III
FH-2.1.2 Pengalaman diet Sudah menerapkan diet DM
pernah mendapatkan edukasi makanan
dan gizi
Kesimpulan :
Pasien mendapat diet DM 1900 RG III, pasien sudah mendapat edukasi makanan dan
gizi serta menerapkan diet DM
Kode
Jenis Data Keterangan
IDNT
CS-1.1 Estimasi Energi = 30 kkal/kg BB
Kebutuhan = 30 × 55
Energi = 1650 kkal/kg BB
Umur pasien = 66 tahun sehingga energi di kurangi 10%
= 10% x 1.650 kkal
= 165 kkal
Aktifitas fisik dalam keadaan istirahat sehingga di
tambahkan 10%
=10% x 1.650 kkal
= 165 kkal
BB = Kurus di tambah 20 -30 %
= 20% x 1.650 kkal
= 330 kkal
Energi total = energi basal – Koreksi umur + aktifitas fisik
+ koreksi BB
Energi Total = 1.650 – 165 + 165 + 330
= 1.980 kkal = diberikan diet DM 1900
19
CS-4.2 Estimasi Na = 1500 mg/hari
Kebutuhan
Mineral
E. Antropometri (AD)
20
PD-1.1.1 Penampilan keseluruhan Kompos mentis
PD-1.1.2 Bahasa tubuh Badan gemetar
PD-1.1.5 Sistem pencernaan Mual, muntah
PD-1.1.9 Tanda tanda vital Nadi 72x/menit (Normal)
Suhu 36 0C (Normal)
Respirasi 24x/menit
(Abnormal)
Tekanan darah 181/117
mmHg (Abnormal)
Pemeriksaan Penunjang :
Kesimpulan :
frekuensi pernapasan pada pasien DM tipe II mengalami peningkatan begitu pula dengan
tekanan darah yang mengalamai peningkatan dari batas normalnya.
G. Biokimia (BD)
Tanggal :
Kode Nilai
Data Biokimia Hasil Ket.
IDNT Rujukan*
Profil elektrolit
BD-1.2
dan ginjal
3,5-5,0
Kalium 4,4 mEq/l Normal
mmol/L
Kreatinin 0,55-1,02
2,68 mg/dL Meningkat
darah mg/dL
Ureum darah 33,38 mg/dL 8-25 mg/dL Meningkat
profil glukosa/
BD-1.5
endokrin
Glukosa
122 mg/dL <200 mg/dL Normal
sewaktu
BD-1.10 Profil anemia gizi
Hematokrit 39% 40-50 % Penurunan
Hemoglobin 12,1 gr/dL 13-16 g/dL Penurunan
MCV 94,8 fl 80-96 fl Normal
RDW 11,5 -
13% Normal
14,5%**
Eritrosit 4,5-5,5
4,07 10^6/uL Penurunan
juta/ul
*sumber : (persagi & asosiasi dietisien indonesia, 2019)
**sumber : (Putra & U. Y. Bintoro, 2019)
21
Kesimpulan :
Jenis Terapi
Kode Interaksi dengan
Medis Fungsi
IDNT makanan
CH-2.2 Inf Nacl 0,9% Mengembalikan keseimbangan
20 tpm elektrolit pada dehidrasi
22
penurunan kekentalan pada
mucus
Kesimpulan :
Setelah mengetahui keterkaitan obat yang diberikan terhadap makanan diketahui
bahwasanya obat Inj mecobalamin yang menyebabkan mual pada pasien. Dan obat Inj
omeprazole 1x1 menghambat pompa proton menghambat sekresi asam dan absorpsi
vitamin B12 dan zat besi sehingga kadar hemoglobin darah menurun
I. Diagnosis Gizi
1. Domain Intake
(NI.2.1)
DIAGNOSIS GIZI INTERVENSI
P Asupan oral tidak memadai Meningkatkan asupan makanan dan
E Mual muntah minuman oral hingga memenuhi
S Perkiraan asupan energi yang 75% kebutuhan
tidak mencukupi atau protein
berkualitas tinggi dari
makanan jika di bandingkan
dengan kebutuhan yaitu
Energi = 56%
Protein = 57,37%
Lemak = 60%
Karbohidrat = 55,1 %
(NI-2.1) asupan oral tidak memadai berkaitan dengan adanya mual dan muntah
ditandai dengan hasil recall konsumsi energi 56%, asupan protein 57,37%, asupan
lemak 60%, asupan karbohidrat 55,1 %.
(NI-5.3)
23
(NI-5.3) Kebutuhan nutrisi menurun (karbohidrat) berkaitan dengan adanya
perubahan metabolisme karbohidrat akibat diabetes melitus ditandai dengan
konsumsi teh manis sebanyak 5-6x/hari
(NI-5.3)
N.I-5.1
24
KH 71,24 %
(NC-3.1) berat badan kurang berkaitan dengan Asupan kurang ditandai dengan
status gizi underwight (%LILA 70%) dan ketidakcukupan intake makanan
dibandingkan dengan perhitungan kebutuhan sesuai aktifitas yakni : Energi 75,67 %,
Protein 82,96%, Lemak 84,9 %, KH 71,24 %
3. Domain Behavior
(NB-1.4)
3. Syarat diet
a. Memberikan energy cukup yaitu 30 kalori per kg berat badan ideal, 1980 kkal
b. Protein cukup sebanyak 15% total asupan energy, 74,25 g
25
c. Lemak sedang sebanyak 25% kebutuhan kalori, 55 g
d. Karbohidrat sedang sebanyak 60% total asupan energy, 297 g
e. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi
batas aman konsumsi harian (accepted daily intake ADI).
f. Asupan natrium dibatasi <2300 mg/hari, jika penurunan tekanan darah belum
mencapai target dibatasi hingga mencapai 1500 mg/hari. Penyandang diabetes
yang menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara
individual.
g. Anjuran konsumsi serat adalah 20-25 gram/hari yang berasal dari berbagai sumber
bahan makanan, seperti kacang kacangan, buah, sayuran, dan sumber karbohidrat
yang tinggi serat.
26
putih)125 gram gram
Lauk hewani 25 gram Lauk hewani 40 gram
Lauk nabati 30 gram Lauk nabati 50 gram
Sayur 175 gram Sayur 160 gram
Buah 100 gram Buah 180 gram
Minyak 7,5 gram Minyak 5 gram
6. Domain Konseling
a. Tujuan
Meningkatkan motivasi penerimaan diet yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi
pasien.
b. Preskripsi
1) Sasaran : Pasien dan Keluarga
2) Tempat : Ruang Perawatan
3) Waktu : 30 menit
4) Permasalahan gizi : anemia, hipertensi, DM tipe II,bronkitis, hipoglikemia
5) Metode : Ceramah dan diskusi
6) Media : Leaflet
7) Materi :
a) Makanan yang diperbolehkan, makanan yang dibatasi
b) Diet DM dan hipertensi
27
7. Domain Edukasi Gizi (E)
Pasien sebelumnya telah mendapatkan edukasi
K. Kolaborasi (RC)
L. Rencana Monitoring
Anamnesis Hal Yang Waktu Target Evaluasi
diukur Pengukuran
Antropometri Berat badan Setiap Meningkatkan Membandingkan
minggu berat badan hingga hasil
mencapai normal penimbangan
dengan standar
rujukan
Tinggi badan Diakhir Berat badan dan Membandingkan
intervensi tinggi badan sesuai hasil pengukuran
28
dengan standar dengan standar
yang di tentukan rujukan
Status gizi Diakhir Status gizi normal Membandingkan
intervensi hasil pengukuran
IMT dengan
pengelompokkan
status gizi
Biokimia Kreatinin darah Tergantung Menurunkan kadar Membandingkan
indikasi keratinin darah hasil nilai Lab
medis hingga mencapai dengan standar
batas normal yaitu rujukan
0,55 – 1,02 mg/dL
Ureum darah Tergantung Menurunkan kadar Membandingkan
indikasi ureum darah hasil nilai Lab
medis hingga mencapai dengan standar
batas normal yaitu rujukan
8-25 mg/dL
Hematokrit Tergantung Meningkatkan Membandingkan
indikasi kadar hematokrit hasil nilai Lab
medis hingga mencapai dengan standar
batas normal yaitu rujukan
40-50%
Hemoglobin Tergantung Meningkatkan Membandingkan
indikasi kadar hemoglobin hasil nilai Lab
medis hingga mencapai dengan standar
batas normal yaitu rujukan
13-15 g/dL
Klinis/fisik Respirasi Setiap hari frekuensi respirasi Membandingkan
menurun hingga hasil pemeriksaan
mencapai normal dengan standar
yaitu 12-20x/menit rujukan
Tekanan darah Setiap hari Tekanan darah Membandingkan
menurun sampai hasil pemeriksaan
batas normal dengan standar
rujukan
Asupan Energi Setiap hari Asupan 75%dari Membandingkan
kebutuhan total asupan dengan
kebutuhan dengan
metode recall
24jam
Protein Setiap hari Asupan 75% dari Membandingkan
kebutuhan total asupan dengan
kebutuhan dengan
metode recall
24jam
Lemak Setiap hari Asupan 75% dari Membandingkan
kebutuhan total asupan dengan
kebutuhan dengan
metode recall 24
jam
29
Karbohidrat Setiap hari Asupan 75% dari Membandingkan
kebutuhan total asupan dengan
kebutuhan dengan
metode recall 24
jam
Serat Setiap hari Asupan 75% dari Membandingkan
kebutuhan total asupan dengan
kebutuhan dengan
metode recall 24
jam
Natrium Setiap hari Asupan 75% dari Membandingkan
kebutuhan total asupan dengan
kebutuhan dengan
metode recall 24
jam
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan pengkajian gizi pasien Hipoglikemia DM tipe II dengan bronkitis,
didapatkan hasil pengukuran status gizi Underweight diukur dengan menggunakan %LILA =
75%. Kemudian berdasarkan tingkat asupan pasien yaitu Inadekuat atau defisit dengan
melihat hasil recall pasien, dimana total perhitungan %asupan yaitu Kalori 58%, Protein
73,99%, Lemak 77,6% dan KH 50,5%. Dengan ini di berikan diet DM 1900 kkal sampai
2100 kkal karena melihat total hasil perhitungan kebutuhan pasien.
Selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan laboraturium pasien yaitu nilai kreatini
dalam darah 2,68 mg/dL dan ureum dalam darah 33,38 mg/dL keduanya mengalami
peningkatan, ini disebakan oleh terganggunya fungsi ginjal atau pankreas dalam penyaringan
zat gizi tertentu sehingga ini mengindikasikan pasien mengalami diebetes melitus. Ini sejalan
dengan tujuan diet yang diberikan yaitu Menghindari komplikasi akut pasien yang
menggunakan insulin, seperti hipoglikemia, komplikasi jangka pendek dan jangka lama serta
masalah yang berhubungan dengan latihan jasmani Kemudian untuk hasil pemeriksaan
hemoglobin pasien mengalami penurunan yaitu 12,1 gr/dL sehingga pasien di indikasi
mengalami Anemia.
Prinsip pemberian diet yaitu Kebutuhan energi cukup, protein cukup dengan
pengaturan makan 3J yaitu teratur jumlah, jadwal, dan jenis dan perlu adanya pembatasan
natrium, dan juga Kebutuhan kalori pada penderita diabetes harus dipenuhi guna mencegah
terjadinya pembakaran protein tubuh dan merangsang pengeluaran insulin. Pengaturan 3J ini
dilakukan dengan pemberian makanan porsi kecil tapi sering yaitu 3x makanan utama dan 3x
selingan, ini bertujuan agar pasien tidak mengalami kondisi lapar yang berlebihan dan juga
30
kenyang yang berlebihan. Karena ketika ini terjadi kerja pankreas pada pasien akan lebih
ekstra dan juga dapat memperparah kondisi pasien.
Lalu pada pemberian konseling pada pasien ini mngeraha pada metode ceramah atau
diskusi, ini di harapkan agar dapat berdampak pada perubahan prilaku dalam mengonsumsi
teh manis, Penatalaksanaan DM, Hipoglikemia dan Bronkitis.
Sehingga dalam penatlaksaan diet pasien ini juga dilakukan koordinasi dengan profesi
lain agar dapat disesuaikan dengan intreaksi obat dan makanan yang di berikan kepada
pasien. Kemudian dalam rencana monitoring pasien setidak tidaknya asupan dapat mengikat
hingga 75% secara bertahap hingga 90-100% yang dilihat melalui hasil recall pasien.
Kemudian untuk kondisi klinik nya ini berdasarkan hasil pemeriksaan indikasi medis.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hasil pengkajian riwayat penyakit menunjukkan bahwa diagnosis penyakit pasien
adalah hipoglikemia DM tipe II, bronchitis.
2. Hasil skrining dengan menggunakan MNA menunjukkan bahwa pasien
mengalami malnutrisi
3. Hasil pengkajian riwayat gizi menunjukkan bahwa asupan pasien kurang dari
kebutuhan, pasien masih sering mengonsumsi minuman manis
4. Hasil pengkajian antropometri menunjukkan bahwa pasien memiliki status gizi
underweight
5. Hasil pengkajian fisik/klinis menunjukkan bahwa pasien mengalami mual,
muntah, dan tekanan darah tinggi
6. Hasil pengkajian biokimia menunjukkan bahwa pasien mengalami hiperuremia,
hiperkreatinin, dan anemia
7. Diagnosis gizi yang ditetapkan adalah NI-2.1, NI-5.3, NI-5.1, NC-3.1, NB-1.4
8. Intervensi gizi yang direncanakan adalah terapi diet yaitu diet DM 1900 + diet
DASH dan konseling gizi.
B. Saran
Perlu dilakukan pengawasan ketat terhadap pemberian makan pada pasien penderita
DM tipe II dengan memperhatikan pengaturan makan 3J yaitu teratur jumlah, jadwal,
dan jenis.
31
32
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, K. A., Muniandy, S., & Ismail, I. S. (2010). Type 2 Diabetes and Vascular
Complications: A Pathophysiologic View. Biomedical Research-India, 21(2), 147–155.
Ahmed, K. a, Muniandy, S., & Ismail, I. S. (2009). Nε-(Carboxymethyl)lysine and Coronary
Atherosclerosis-Associated Low Density Lipoprotein Abnormalities in Type 2 Diabetes:
Current Status. Journal of Clinical Biochemistry and Nutrition, 44(1), 14–27.
American Diabetes Association (ADA). (2021). 2 . Classification and Diagnosis of Diabetes :
Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care, 44(January), 15–33.
https://doi.org/10.2337/dc21-S002
DeFronzo, R. A., Ferrannini, E., Zimmet, P., & Alberti, K. G. M. M. (2015). International
Textbook of Diabetes Mellitus (Fourth Edi). John Wiley.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Evans, J. L., Goldfine, I. D., Maddux, B. a., & Grodsky, G. M. (2003). Perspectives in
Diabetes. Diabetes, 52, 1–8.
Gropper, S. S., Smith, J. L., & Groff, J. L. (2009). Advanced Nutrition and Human
Metabolism (Fifth Edit). Wadsworth. https://doi.org/10.1111/j.1753-
4887.1997.tb01621.x
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (1997). Fisiologi Kedokteran (I. Setiawan (ed. & trans.); 9th ed.).
Hall, J. (2018). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (M. Widjajakusumah, A. Tanzil, & E. Ilyas
(eds.); 13th editi).
Ilayperuma, I., Nanayakkara, G., & Palahepitiya, N. (2010). A Model for the Estimation of
Personal Stature from the Length of Forearm. International Journal of Morphology,
28(4), 1081–1086. https://doi.org/10.4067/s0717-95022010000400015
International Diabetes Federation. (2021). IDF Diabetes Atlas 10th Edition.
Johansen, J. S., Harris, A. K., Rychly, D. J., & Ergul, A. (2005). Oxidative stress and the use
of antioxidants in diabetes: linking basic science to clinical practice. Cardiovascular
Diabetology, 4(1), 5.
Lekshmi, R. K., Rajesh, R., & Mini, S. (2015). Ethyl Acetate Fraction of Cissus
Quadrangularis Stem Ameliorates Hyperglycaemia-Mediated Oxidative Stress and
Suppresses Inflammatory Response in Nicotinamide/Streptozotocin Induced Type 2
Diabetic Rats. Phytomedicine, 22(10), 952–960.
https://doi.org/10.1016/j.phymed.2015.06.014
Linder, M. C. (2010). Biokimia Nutrisi dan Metabolisme (A. Parakkasi (trans.)). UI Press.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan keperawatan klien dgn. gangguan sistem persarafan
(cetakan 1). Jakarta Salemba Medika.
Nugroho, A. E. (2006). Animal Models of Diabetes Mellitus : Pathology and Mechanism of
Some Diabetogenics. Biodiversitas, Journal of Biological Diversity, 7(4), 378–382.
https://doi.org/10.13057/biodiv/d070415
PERKENI. (2021). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. PB. PERKENI.
33
Permatasari, D., Fatahillah, A., & Setiawani, S. (2020). Pemodelan Matematika Aliran Udara
Pada Bronkus Akibat Penyakit Bronkitis Kronis. KadikmA, 11(1), 38.
https://doi.org/10.19184/kdma.v11i1.17914
persagi, & asosiasi dietisien indonesia. (2019). penuntun diet dan terapi gizi (Suharyati, B.
Hartati, T. Kresnawan, Sunarti, F. Udayan, & F. Darmarina (eds.); ed. 4). EGC.
Putra, B. F. K., & U. Y. Bintoro. (2019). Red cell Distribution Width sebagai Prediktor
Penyakit Kardiovaskuler. Cdk-280, 46(11), 692–696.
Robertson, R. P. (2006). Oxidative Stress and Impaired Insulin Secretion in Type 2 Diabetes.
Current Opinion in Pharmacology, 6(6), 615–619.
Robertson, R. Paul, Harmon, J., Tran, P. O., Tanaka, Y., & Takahashi, H. (2003). Glucose
Toxicity in β-Cells: Type 2 Diabetes, Good Radicals Gone Bad, and the Glutathione
Connection. Diabetes, 52.
Sosale, A., Prasanna Kumar, K. M., Sadikot, S. M., Nigam, A., Bajaj, S., Zargar, a H., &
Singh, S. K. (2014). Chronic Complications in Newly Diagnosed Patients with Type 2
Diabetes Mellitus in India. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism, 18(3),
355–360.
Sucipto, A., & Rosa, E. M. (2014). Efektifitas Konseling DM dalam Meningkatkan
Kepatuhan dan Pengendalian Gula Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Medika
Respati, 9(2), 9–20.
Wahyuni, Y., & Miftahul Huda, A. S. (2019). Pemantauan Kesehatan Gizi Ibu Hamil Dilihat
dari Pertambahan Berat Badan dan Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) Berbasis
E-Digital. Komputasi: Jurnal Ilmiah Ilmu Komputer Dan Matematika, 16(1), 235–244.
https://doi.org/10.33751/komputasi.v16i1.1594
34
LAMPIRAN
35
NAMA TIM : NURUL HIJRIANI MUTMAINNAH NIM : PO76304201028 TTD :
36
Minyak
5 44 0,0 5,0 0,0 0,0 0 0 0 0 0 0
Goreng
Selingan
Buah Pisang Ambon 50 54 0,5 0,4 12,2 1,0 5 10 0 0 0 5
pagi
Bubur
Beras Merah 100 352 7,3 0,9 76,2 0,8 10 15 4 0 0 0
Beras
Dada Ayam
Pepes ayam 40 78 11,8 3,1 0,0 0,0 157 0 0 0 0 0
Fillet
Tempe kuah
tempe 50 101 10,4 4,4 6,8 0,7 5 78 2 0 0 0
Makan kuning
siang Buncis 80 27 1,9 0,2 5,8 1,5 6 81 1 0 0 9
Wortel 80 29 0,8 0,5 6,3 0,8 56 36 1 0 0 14
Cah Buncis
Minyak
5 44 0,0 5,0 0,0 0,0 0 0 0 0 0 0
Goreng
Buah
Semangka 180 50 0,9 0,4 12,4 0,7 13 13 0 0 0 11
potong
Selingan
Pepaya Pepaya 110 51 0,6 0,1 13,4 1,8 4 25 2 0 0 86
sore
Bubur
Beras Merah 100 352 7,3 0,9 76,2 0,8 10 15 4 0 0 0
Beras
Daging Sapi
35 64 6,6 4,9 0,0 0,0 41 4 1 4 0 0
Semur Gemuk
Daging Minyak
5 44 0,0 5,0 0,0 0,0 0 0 0 0 0 0
Goreng
makan
Tahu 55 40 5,5 2,4 0,4 0,1 1 112 2 0 0 0
malam
Kacang
80 25 1,8 0,1 4,2 2,2 24 48 0 0 1 37
Lodeh tahu Panjang
Labu Waluh 50 17 1,8 0,3 2,3 1,5 8 23 1 0 0 26
Santan 15 18 0,3 1,5 1,1 0,2 1 4 0 0 0 0
Buah
Apel 85 49 0,3 0,3 12,7 2,2 2 5 0 0 0 4
Potong
Selingan
buah naga buah naga 50 71 1,7 3,1 9,1 3,2 10 13 0 0 1 1
malam
37
Jumlah perencanan menu 2059 81,5 51,89 325,04 20,39 475,60
Estimasi kebutuhan gizi 1980 74,25 55 297 20 1500
Persentase pemenuhan (%) 103,98 109,76 94,51 109,44 102 31,71
38
39
40